sapi 8
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen pakan ternak sapi potong di
peternakan rakyat di Desa Sejaro Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Ilir. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yang terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh langsung di lapangan melalui wawancara dengan setiap peternak
sapi potong, sedangkan data sekunder didapat dari instansi-instansi yang terkait. Data yang
diperoleh kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk deskripsi dan gambar. Hasil yang didapat
selama pelaksanaan yaitu jenis ternak sapi yang dipelihara di desa ini adalah sapi Bali dan sapi
Peranakan Ongole. Manajemen pakan yang diterapkan peternak masih belum tepat, di mana ternak
hanya digembalakan untuk mencari makan sendiri pada siang hari, jumlah pakan yang diberikan
belum memenuhi kebutuhan, ternak tidak diberi pakan berupa konsentrat, serta frekuensi dan cara
pemberian pakan yang belum tepat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peternak rakyat di Desa
Sejaro Sakti belum menerapkan manajemen pakan yang baik terhadap ternak sapi potong.
Keberhasilan usaha ternak sapi potong
ditentukan oleh salah satu faktor terbesar,
yaitu pakan. Pakan adalah semua yang bisa
dimakan oleh ternak, baik berupa bahan
organik maupun anorganik, yang sebagian
atau seluruhnya dapat dicerna dan tidak
mengganggu kesehatan ternak
Pakan yang diberikan kepada sapi
potong harus memiliki syarat sebagai pakan
yang baik. Pakan yang baik yaitu pakan yang
mengandung zat makanan yang memadai
kualitas dan kuantitasnya, seperti energi,
protein, lemak, mineral, dan vitamin, yang
semuanya dibutuhkan dalam jumlah yang
tepat dan seimbang sehingga bisa
menghasilkan produk daging yang berkualitas
dan berkuantitas tinggi,
Pakan yang diberikan kepada sapi
potong pada umumnya terdiri dari hijauan dan
konsentrat. Hijauan merupakan pakan yang
berasal dari tumbuhan yang diberikan pada
sapi potong dalam bentuk segar, sedangkan
konsentrat merupakan pakan penguat yang
disusun dari biji-bijian dan limbah hasil
proses industri bahan pangan yang berfungsi
meningkatkan nilai nutrisi yang rendah agar
memenuhi kebutuhan normal ternak untuk
tumbuh dan berkembang secara sehat ,
Pemberian pakan berupa kombinasi
kedua bahan itu akan memberi peluang
terpenuhinya nutrien dan biayanya relatif
murah. Namun, bisa juga terdiri dari hijauan
ataupun konsentrat saja. Apabila pakan terdiri
dari hijauan saja maka biayanya relatif murah
dan lebih ekonomis, tetapi produksi yang
tinggi sulit tercapai, sedangkan pemberian
pakan yang hanya terdiri dari konsentrat saja
akan memungkinkan tercapainya produksi
yang tinggi, tetapi biaya ransumnya relatif
mahal dan kemungkinan bisa terjadi
gangguan pencernaan (Siregar, 2008),
sehingga pakan dapat dimanfaatkan seefisien
mungkin dan dapat memenuhi kebutuhan
ternak bila ditunjang dengan manajemen
pakan yang baik.
Manajemen pakan yang baik yaitu yang
memperhatikan jenis pakan yang diberikan,
jumlah pakan yang diberikan sesuai
kebutuhan, imbangan hijauan dan konsentrat,
serta frekuensi dan cara pemberian pakan
yang tepat. Bedasarkan hal itu , perlu
dilakukan kegiatan praktek lapangan tentang
manajemen pakan ternak sapi potong di Desa
Sejaro Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten
Ogan Ilir.
Penelitian ini dilaksanakan Desa Sejaro
Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan
Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Selama 2
bulan
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan survei melalui
pengamatan langsung maupun dengan
melakukan wawancara terhadap peternak di
Desa Sejaro Sakti dengan memakai
kuisioner.
Analisa Data
Data yang diperoleh dari praktek
lapangan ini terdiri dari data primer yang
merupakan data hasil pengamatan langsung di
lapangan dan data sekunder yaitu data yang
berasal dari hasil studi pustaka dan laporan-
laporan instansi yang terkait seperti kelurahan
dan kantor kepala desa. Analisa data yang
diperoleh dalam kegiatan praktek lapangan
ini dengan mengidentifikasi masalah dan
menganalisa data primer maupun sekunder
untuk mengetahui berbagai masalah dan
kendala yang dihadapi peternak di Desa
Sejaro Sakti mengenai manajemen pakan.
Dari identifikasi masalah di lapangan yang
memuat keadaan umum wilayah, manajemen
pakan di desa itu yang kemudian
datanya dianalisa secara deskriptif.
Kependudukan dan Mata Pencarian
Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa Desa Sejaro Sakti
memiliki penduduk yang berjumlah 1.146
jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak
50,87% dan penduduk perempuan 49,13%
dari seluruh jumlah penduduk. Sebagian
perempuan di desa ini ikut berperan dalam
peningkatan produktivitas desa, khususnya di
bidang usaha peternakan. Menurut Mastuti
dan hidayah (2008) bahwa perempuan juga
terlibat dalam kegiatan usaha tani, terutama
usaha keluarga.
Tingkat Pendidikan di desa Sejaro Sakti
bervariasi mulai dari TK sampai tingkat
perguruan tinggi. Tinggi rendahnya
Pendidikan ini dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi keberhasilan program
pengembangan Desa Sejaro Sakti, khususnya
di bidang peternakan. Desa ini memiliki
penduduk yang sebagian besar belum sekolah
dan tidak sekolah, yaitu secara berturut-turut
sebanyak 21,47% dan 15,19%, sedangkan
pendidikan tertinggi yang dimiliki penduduk
desa ini adalah S1 dengan persentase yang
rendah yaitu 0,61% (Tabel 1)
Tingkat pendidikan yang relatif rendah
menyebabkan peternakan di Desa Sejaro Sakti
tidak mengalami perubahan yang bersifat
progresif. Peternak rakyat di desa ini masih
mempertahankan kebiasaan beternak mereka
dengan cara tradisional dan tidak menerima
kemajuan teknologi peternakan.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Kusumawati (2004), menyatakan bahwa
tingkat pendidikan sangat mempengaruhi
kemampuan penerimaan informasi.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah
akan lebih baik mempertahankan tradisi‐
tradisi yang berhubungan dengan daya
pikirnya, sehingga sulit menerima informasi
baru. Lahan di desa ini cocok untuk dijadikan
sebagai sarana bercocok tanam, sehingga
banyak penduduk di desa ini yang memiliki
mata pencarian sebagai petani. Sedangkan
penduduk dengan mata pencarian utama
beternak yaitu sebanyak 15,76% (Tabel 2).
Umumnya, penduduk yang memiliki ternak di
desa ini memiliki mata pencarian lain sebagai
mata pencarian utama, dan beternak hanya
sebagai mata pencarian sampingan dan
sebagai tabungan yang dapat dijual saat
memiliki kebutuhan mendesak. Sesuai dengan
pendapat Siswadi et al., (2001) yang
menyatakan bahwa usaha peternakan sapi
potong masih bersifat sebagai usaha
sampingan dan sapi yang dipelihara
digunakan sebagai tabungan.
Keadaan Umum Peternakan di Desa
Sejaro Sakti
Umumnya, peternak di Desa Sejaro
Sakti memelihara ternak ruminansia, seperti
sapi, kerbau, kambing, dan domba, juga
ternak unggas seperti itik, bebek, dan ayam.
Namun, di antara jenis-jenis ternak itu ,
ternak yang paling mendominasi di desa ini
adalah sapi potong dan kerbau.
Jenis ternak sapi potong yang ada di
Desa Sejaro Sakti adalah Sapi Bali dan Sapi
Peranakan Ongole (Tabel 3). Hal ini sesuai
dengan yang disampaikan Sugeng (2008)
bahwa sapi-sapi di Indonesia yang dijadikan
sumber daging adalah Sapi Bali, sapi Ongole,
sapi Peranakan Ongole, dan sapi Madura, dari
populasi sapi potong yang ada, yang
penyebarannya dianggap merata masing-
masing adalah sapi Bali, sapi PO, sapi
Madura, dan sapi Brahman. Ternak sapi
potong di Desa Sejaro Sakti berjumlah 294
ekor dengan sapi dewasa berjumlah 50,66%
dan pedet 49,32%. Sapi potong betina
berjumlah 80,62%, sedangkan sapi potong
jantan berjumlah 19,38% dari jumlah
keseluruhan (Tabel 3).
Sapi potong yang dimiliki peternak di
Desa Sejaro Sakti sebagian besar adalah milik
bersama antara beberapa orang, serta milik
sendiri. Namun, sapi potong yang statusnya
milik sendiri hanya berjumlah beberapa ekor,
sesuai dengan pendapat Soeradji (1987)
menyatakan bahwa skala usaha peternakan
rakyat digambarkan oleh jumlah kepemilikan
ternak yang kecil, ternak yang dimiliki petani
hanya satu sampai beberapa ekor.
Pakan Ternak Sapi
Pakan memiliki peranan penting bagi
ternak, baik untuk pertumbuhan ternak muda
maupun untuk mempertahankan hidup dan
menghasilkan produk (susu, anak, daging),
serta tenaga bagi ternak dewasa. Fungsi lain
dari pakan adalah untuk memelihara daya
tahan tubuh dan kesehatan. Agar ternak
tumbuh sesuai dengan yang diharapkan, jenis
pakan yang diberikan pada ternak harus
bermutu baik dan dalam jumlah cukup
(Tilman, 2008). Namun, hal ini tidak
diterapkan oleh peternak di Desa Sejaro Sakti.
Pakan ternak diberikan dalam jumlah yang
terbatas sesuai kemampuan peternak dan
ketersediaan pakan sehingga tidak diketahui
apakah pakan yang diberikan itu sudah
memenuhi kebutuhan atau tidak. Hal ini
dikarenakan peternak belum memiliki
pengetahuan yang mendalam mengenai pakan
ternak yang baik, sedangkan Siregar (2008)
menyatakan bahwa pakan yang baik adalah
pakan yang mengandung zat makanan yang
memadai kualitas dan kuantitasnya, seperti
energi, protein, karbohidrat, lemak, vitamin
dan mineral, yang semuanya dibutuhkan
dalam jumlah yang tepat dan seimbang
sehingga bisa menghasilkan produk daging
yang berkualitas dan berkuantitas tinggi.
Pakan untuk sapi potong di Desa Sejaro
Sakti berupa rumput gajah, pucuk tebu, dan
rumput kumpai. Sedangkan pakan konsentrat
tidak pernah diberikan kepada ternak.
Menurut Siregar (2008), ransum ternak
ruminansia pada umumnya terdiri dari hijauan
dan konsentrat. Pemberian ransum berupa
kombinasi kedua bahan itu akan memberi
peluang terpenuhinya nutrien dan biayanya
relatif murah. Apabila ransum terdiri dari
hijauan saja maka biayanya relatif murah dan
lebih ekonomis, tetapi produksi yang tinggi
sulit tercapai. Hal itulah yang menyebabkan
produktivitas sapi potong di desa ini
terhambat.
Salah satu jenis hijauan berupa rumput
yang dijadikan pakan ternak di Desa Sejaro
Sakti adalah rumput kumpai. Rumput kumpai
merupakan jenis rumput yang tersedia
berlimpah dan mudah didapatkan di desa ini
sehingga peternak menjadikan rumput ini
sebagai salah satu pakan hijauan. Rumput
kumpai (Hymenachine amplexicaulis (Rudge)
Nees) merupakan jenis rumput yang biasanya
tumbuh di rawa-rawa, jenis tanaman
menahun, cepat berbiak, membentuk rumpun-
rumpun besar dengan tinggi 0,5-1 m. helai
daun lebih panjang serta lebih lebar dibanding
rumput Brachiaria mutica tetapi kaku dan
kasar dengan panjang daun antara 10-30 cm
dan lebar mencapai 2,5 cm. daun bawah
membulat lebar dengan ujung lancip, kuncup,
daun muda melipat ke dalam daun. Rumput
ini tumbuh menjulur dengan batang berbuku-
buku. Pada tiap buku ditumbuhi bulu-bulu
akar serta di dalam batang ada lapisan gabus
(Sanderson, 2008).
Jenis rerumputan lain yang digunakan
sebagai pakan sapi potong di Desa Sejaro
Sakti adalah rumput gajah. Rumput gajah
(Pennisetum purpureum) banyak
dimanfaatkan pada bidang peternakan yaitu
sebagai pakan ternak seperti sapi, kambing,
dan kuda.
Umumnya rumput gajah yang
digunakan di Sumatera Selatan adalah rumput
yang tumbuh secara liar. Namun, untuk
peternakan yang relatif besar maka rumput
yang digunakan adalah rumput yang sengaja
ditanaman atau dipelihara secara khusus. Hal
ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
pakan ternak. Rumput-rumputan dipilih
karena merupakan tanaman yang
produktifitasnya tinggi dan memiliki sifat
yang dapat memperbaiki kondisi tanah
(Gonggo et al., 2008).
Sapi potong di Desa Sejaro Sakti juga
diberi pakan dari limbah perkebunan berupa
pucuk tebu sebagai salah satu pakan. ada
perkebunan tebu di desa ini sehingga dapat
dimanfaatkan peternak dengan mengambil
limbah tebu itu sebagai pakan sapi
potong. Pucuk tebu dapat digunakan untuk
pakan penggemukan sapi. Namun, kandungan
gizinya kurang memadai untuk pakan ternak,
sehingga harus ditambah dengan pakan
suplemen.
Pucuk tebu yang dimanfaatkan sebagai
pakan ternak adalah ujung atas batang tebu
berikut 5-7 helai daun yang dipotong dari tebu
yang dipanen untuk tebu bibit atau bibit
giling. Pucuk tebu digunakan sebagai hijauan
makanan ternak pengganti rumput gajah tanpa
ada pengaruh negatif pada sapi potong.
Pucuk tebu yang merupakan limbah
panenan tebu, potensinya sangat tergantung
pada luas areal panen, varietas clan produksi
per satuan luas tanaman tebu. Seperti halnya
limbah yang mengandung serat pada
umumnya, pucuk tebu sebagai pakan
mempunyai faktor pembatas, yaitu kandungan
nutrisi dan kecernaannya yang sangat rendah,
pucuk tebu mempunyai kadar serat kasar dan
kadar lignin sangat tinggi sehingga tidak
boleh diberikan dalam jumlah banyak
Peternak di Desa Sejaro Sakti tidak
menambahkan konsentrat ke dalam pakan
sapi potong, sedangkan peranan konsentrat
adalah untuk meningkatkan nilai nutrien yang
rendah agar memenuhi kebutuhan normal
hewan untuk tumbuh dan berkembang secara
sehat.
Penambahan konsentrat dalam ransum
ternak merupakan suatu usaha untuk
mencukupi kebutuhan zat-zat makanan,
sehingga akan diperoleh produksi yang tinggi.
Selain itu, dengan penggunaan konsentrat
dapat meningkatkan daya cerna bahan kering
ransum, pertambahan bobot badan, serta
efisien dalam penggunaan ransum (Akoso,
2009).
Peternak di Desa Sejaro Sakti tidak
memberikan konsentrat sebagai pakan ternak
disebabkan kurangnya pengetahuan tentang
teknologi pakan sapi potong sehingga
peternak masih mempertahankan kebiasaan
beternaknya dan sulit menerima informasi
tentang teknologi pakan ternak.
Kusumawati (2004) menyatakan bahwa
tingkat pendidikan sangat mempengaruhi
terhadap kemampuan penerimaan informasi.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah
akan lebih baik mempertahankan tradisi‐
tradisi yang berhubungan dengan daya
pikirnya, sehingga sulit menerima informasi
baru.
Manajemen Pakan Ternak
Manajemen pakan ternak merupakan
hal yang menunjang berkembang atau
tidaknya suatu peternakan, jika semakin baik
manajemen pakan, maka akan semakin baik
pula produktivitas ternak itu .
Manajemen pakan yang harus diperhatikan
adalah sebagai berikut.
Jenis Pakan
Umumnya, peternak di Desa Sejaro
Sakti dalam memenuhi kebutuhan pakan sapi
potong memanfaatkan limbah perkebunan
seperti pucuk dan daun tebu, serta rumput
gajah dan rumput kumpai segar yang tumbuh
di rawa-rawa di desa itu . Pakan yang
digunakan hanya berupa hijauan dan tidak
ditambahkan pakan konsentrat, padahal
konsentrat merupakan pakan penguat yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi
ternak. Pemberian pakan hijauan saja pada
penggemukan sapi tidak akan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap
pertambahan bobot badan yang tinggi dalam
waktu yang singkat. Pertambahan bobot sapi
lebih tinggi dengan waktu penggemukan yang
relatif singkat bila sapi diberi ransum yang
terdiri dari konsentrat dan hijauan
Peternak di desa Sejaro Sakti tidak
memiliki pengetahuan yang mendalam
tentang manajemen pakan dan jenis pakan
ternak yang memiliki kandungan nutrisi dan
mutu yang baik terhadap ternak, sehingga
peternak tidak memperhatikan pakan yang
diberikan pada ternaknya apakah sudah
mencukupi kebutuhan atau tidak. Padahal,
mutu, jumlah pakan, dan cara-cara
pemberiannya sangat mempengaruhi
kemampuan produksi sapi potong, untuk
mempercepat penggemukan, selain dari
rumput perlu juga diberi pakan penguat
berupa konsentrat yang merupakan campuran
berbagai bahan pakan umbi-umbian, sisa hasil
pertanian, sisa hasil pabrik dan lain-lain yang
mempunyai nilai nutrien cukup dan mudah
dicerna
Jumlah Pemberian
Ternak di Desa Sejaro Sakti diberi
pakan dalam jumlah yang sangat terbatas,
bahkan kurang dari kebutuhan ternak.
Peternak tidak mengukur pakan yang
diberikan itu .
Pakan itu hanya diberikan sesuai
ketersediaan dan tidak diketahui apakah
pakan yang diberikan itu mencukupi
kebutuhan atau tidak, baik secara kualitas
maupun kuantitasnya. Hijauan yang diberikan
kepada sapi potong itu yaitu sekitar 5 kg
per ekor sapi potong. Hal ini tidak sesuai
dengan rata-rata kebutuhan konsumsi pakan
bagi sapi potong yaitu 10% dari berat badan ,
Frekuensi Pemberian
Ternak di Desa Sejaro Sakti diberi
pakan 1 kali sehari pada sore hari dalam
jumlah yang sangat terbatas yang berfungsi
sebagai pakan tambahan setelah ternak
digembalakan selama seharian. Pemberian
pakan yang terbatas ini disebabkan pakan
yang disediakan peternak berjumlah terbatas.
Seharusnya pemberian hijauan dilakukan
secara bertahap dan minimal 4 kali dalam
sehari semalam.
Frekuensi pemberian hijauan yang lebih
sering dilakukan dapat meningkatkan
kemampuan sapi itu untuk mengonsumsi
ransum dan juga meningkatkan kencernaan
bahan kering hijauan, peningkatan kecernaan
bahan kering ransum akan menambah jumlah
zat-zat gizi yang dapat dimanfaatkan untuk
produksi, termasuk pertumbuhan ,
Cara Pemberian
Peternak di Desa Sejaro Sakti
menerapkan cara pemberian pakan dengan
kombinasi antara penggembalaan (pasture
fattening) dan kereman (dry lot fattening),
yaitu dengan cara menggembalakan sapi di
padang penggembalaan dan saat sapi
dikandangkan diberi pakan tambahan dengan
cara dijatah (Tangendjaja, 2009). Cara ini
merupakan cara pemberian pakan yang
terbaik diantara ketiga cara itu , tetapi
walaupun kombinasi antara kedua cara ini
baik dilakukan, peternak di ini belum
memberikan pakan yang cukup, baik secara
kualitas maupun kuantitas karena jumlah
pakan yang diberikan hanya sesuai
ketersediaan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah
peternak rakyat di Desa Sejaro Sakti belum
menerapkan manajemen pakan yang baik
terhadap ternak sapi potong. Hal ini
dikarenakan kurangnya pengetahuan peternak
tentang manajemen pakan yang baik.
Pangalengan terletak di wilayah pegunungan dengan ketinggian 1.0001.420 dpl, yang memiliki rataan temperatur
sekitar 17,80 ± 1,46 C dan kelembapan 63,99 ± 2,74%. Kondisi ini sangat mungkin memengaruhi nilai fisiologis sapi
perah, terutama selama periode laktasi. Namun demikian, informasi tentang nilai fisiologis sapi laktasi di
Pangalengan sampai saat ini belum tersedia. Penelitian ini memakai 20 ekor sapi perah, dan nilai fisiologis
diukur pada pagi, siang, dan sore hari. Kisaran frekuensi denyut jantung, respirasi, dan temperatur rektal sapi perah
laktasi secara berturut-turut adalah 59,8272,02 kali/min, 26,0136,69 kali/min, dan 37,3238,36 C. Kisaran nilai
hemoglobin, hematokrit, eritrosit, dan leukosit sapi perah laktasi secara berturut-turut adalah 8,299,51 g/dl,
24,5229,70%, 6,108,18 juta/µl, dan 6.22010.600 sel/µl. Kisaran nilai diferensial leukosit sapi perah laktasi ialah
limfosit 32,6463,14%, neutrofil 28,3453,24%, monosit 0,414,85%, eosinofil 1,5815,78%, dan basofil 0%. Kisaran
rasio N/L pada sapi perah laktasi adalah 0,141,63. Studi ini menyimpulkan bahwa sapi perah laktasi yang dipelihara
pada kondisi iklim Pangalengan yang sejuk masih menunjukkan nilai fisiologis yang berada dalam kisaran normal.
Produksi susu sapi perah di Indonesia belum
mampu memenuhi kebutuhan nasional, seiring dengan
populasi induk sapi perah yang cenderung turun.
Produktivitas sapi perah Friesian Holstein (FH) di
Indonesia masih rendah. Suprayogi et al. (2013a)
melaporkan bahwa maksimum produksi susu sapi FH
di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)
Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ter-
catat sekitar 16,00 ± 1,15 l/hari/ekor.
Pangalengan merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten Bandung, yang merupakan sentra peterna-
kan sapi perah di Indonesia. Secara geografis, wilayah
Pangalengan berada pada ketinggian 1.0001.420
mdpl memiliki suhu udara 1228 C dan kelembapan
relatif 6070% (Qodarudin 1993). Mikroklimat suatu
wilayah seperti temperatur udara, kelembapan, teka-
nan udara, kecepatan angin, dan arah angin meme-
ngaruhi parameter fisiologis ternak, terutama pada
frekuensi respirasi, denyut jantung, dan suhu rektal
Kondisi fisiologis sapi yang
ada di wilayah peternakan dapat bergeser dari zona
nyaman (termonetral) ke kondisi yang tidak nyaman
(stres), sebagai akibat dari berbagai faktor diantaranya
pergeseran iklim. Pergeseran iklim ini dapat meme-
ngaruhi kondisi fisiologis ternak dan produktivitas
ternak sehingga nilai fisiologis ternak di suatu wilayah
peternakan harus dipantau. Studi ini bertujuan untuk
mengetahui nilai fisiologis sapi perah pada masa
laktasi di wilayah peternakan dataran tinggi (Pangale-
ngan) dengan parameter hematologi, denyut jantung,
frekuensi respirasi, dan suhu tubuh.
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan rakyat
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)
Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dan
Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi,
dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor. Parameter lingkungan, yaitu suhu
dan kelembapan diukur di dalam kandang dengan
memakai alat termohigrometer pada bulan
JuliAgustus 2012. Pengambilan data suhu (C) dan
kelembapan (% rel.) udara lingkungan dilakukan setiap
jam selama tiga hari berturut-turut. Nilai rataan suhu
dan kelembapan diperoleh dari tiga hari pengukuran di
atas.
Pengukuran rataan nilai fisiologis (denyut jantung,
frekuensi respirasi, dan suhu tubuh) dilakukan pada 20
ekor sapi perah milik peternak anggota KPBS Panga-
lengan. Seluruh sapi pada penelitian ini berada pada
masa laktasi ke-2 dan ke-3. Pengukuran dilakukan pagi
hari pukul 06:0008:00 WIB, siang 12:0014:00 WIB,
dan sore 16:0018:00 WIB.
Pengambilan sampel darah (whole blood) sebanyak
10 ml dilakukan pada vena coccygealis ventralis,
ditampung dalam tabung yang berisi antikoagulan
EDTA, untuk dianalisis gambaran darahnya. Jumlah
eritrosit dan leukosit dihitung dengan metode hemo-
sitometer, konsentrasi hemoglobin diukur dengan
metode sahli, nilai hematokrit diukur dengan metode
mikrokapiler, dan diferensial leukosit dihitung dengan
metode apus darah dan diamati memakai mik-
roskop.
Kondisi Lingkungan Pangalengan
Iklim merupakan faktor eksternal yang cukup domi-
nan dalam memengaruhi produktivitas dan fisiologis
ternak. Parameter iklim (mikroklimat) antara lain me-
liputi temperatur, kelembapan, tekanan udara, kecepa-
tan angin, dan arah angin sangat memengaruhi pro-
duktivitas ternak Hasil
penelitian ini menunjukkan kondisi lingkungan di KPBS
Pangalengan berada dalam kisaran termonetral,
dengan rataan suhu udara 17,80 ± 1,46 °C dan
kelembapan 63,99 ± 2,74%. Kondisi di Pangalengan ini
mampu menopang kesehatan dan produktivitas sapi
perah, mengingat iklim itu masih dalam zona
nyaman, dengan batas maksimum dan minimum suhu
dan kelembapan lingkungan masih berada pada ter-
monetral. Sapi FH menunjukkan penampilan produksi
terbaik apabila di tempatkan pada lingkungan dengan
suhu sekitar 18,3 °C dan ke-
lembapan lingkungan 6070% ,
Sapi perah akan mengalami stres bila berada di luar
kondisi itu . Sapi perah laktasi yang berada di luar
zona nyaman akan mengalami penurunan produksi
dan komposisi susu karena adanya cekaman panas
Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal
Nilai fisiologis sapi perah laktasi di KPBS
Pangalengan maupun di wilayah lain di Pulau Jawa
dengan lingkungan sapi perah yang serupa, yaitu
frekuensi respirasi, denyut jantung, dan suhu rektal
dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai fisiologis sapi perah
laktasi di KPBS Pangalengan juga digambarkan
berdasar waktu pengukuran, yaitu pagi, siang, dan
sore hari yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1 menunjukkan bahwa sapi perah laktasi di
Pangalengan memiliki denyut jantung pada kisaran
59,8272,02 kali/menit. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Utomo et al.
(2010) pada sapi perah laktasi yang dipelihara di
Boyolali dengan kisaran denyut jantung 67,5473,56
kali/menit. Senada dengan hasil penelitian bahwa denyut jantung sapi perah
laktasi yang dipelihara di Baturraden berkisar
46,0084,00 kali/menit. Perbedaan kisaran denyut
jantung sapi perah laktasi ini mungkin disebabkan oleh
faktor meteorologi maupun non-meteorologi yang
memengaruhi kondisi fisiologis ternak ,
Peningkatan rataan denyut jantung sapi perah laktasi
terjadi dari pagi hingga siang dan relatif konstan hingga
sore hari. Peningkatan denyut jantung merupakan
salah satu upaya ternak untuk menjaga keseimbangan
suhu tubuh. Peningkatan ini merupakan respons dari
tubuh ternak untuk menyebarkan panas tubuh hasil
metabolisme melalui peningkatan sirkulasi perifer
sebagai upaya percepatan pelepasan panas tubuh
Frekuensi respirasi ternak sapi perah laktasi di
Pangalengan memiliki kisaran 26,0136,69 kali/menit.
Kisaran ini menunjukkan nilai yang sesuai dengan
frekuensi respirasi sapi perah laktasi di lokasi lain.
bahwa kisaran frekuen-
si respirasi normal pada sapi perah laktasi di Lembang
adalah 28,7340,77 kali/menit, dan di Boyolali dengan
frekuensi respirasi berkisar 25,1228,52 kali/menit
(), sedangkan di BBPTU sapi perah
Baturraden adalah 25,3380,00 kali/menit , Rataan frekuensi respirasi pada siang
hari terlihat lebih rendah dibandingkan dengan pagi
hari, namun perbedaan itu tidak nyata (p>0,05).
Peningkatan frekuensi respirasi terlihat nyata (p<0,05)
pada sore hari. Hal ini terjadi karena kelembapan
lingkungan pada sore hari lebih tinggi, sehingga terjadi
peningkatan respirasi untuk pengambilan oksigen yang
cukup ,
Tabel 1 menunjukkan kisaran suhu rektal ternak
sapi perah, yakni 37,3238,36 °C. Suhu rektal ternak
sapi perah laktasi di Pangalengan ini berada pada
kisaran yang sama dengan sapi perah di Baturraden
, namun sedikit lebih tinggi bila dibandingkan
dengan data yang diperoleh di
Boyolali, yaitu 35,5637,10 °C. Perbedaan nilai suhu
rektal sapi perah laktasi di Boyolali diduga disebabkan
perbedaan kondisi mikroklimat (suhu dan kelembapan)
di Boyolali lebih tinggi bila dibanding dengan mikro-
klimat di Pangalengan. Tingginya suhu dan kelemba-
pan udara menyebabkan penurunan laju metabolisme
tubuh ternak Penurunan laju
metabolisme itu sebagai upaya ternak mem-
pertahankan mekanisme fisiologi tubuh untuk men-
cegah peningkatan suhu tubuh ,
Rataan suhu rektal mengalami peningkatan dari pagi
hingga sore hari (Tabel 2). Peningkatan suhu rektal ini
kemungkinan disebabkan oleh panas hasil meta-
bolisme di dalam tubuh ternak ,
Nilai Hematologi Ternak Sapi Perah Laktasi
Kondisi fisiologis ternak dapat juga diamati melalui
nilai hematologi. Sampai saat ini belum ditemukan nilai
hematologi sapi perah laktasi di Indonesia, khususnya
di Pangalengan. Perhitungan nilai hematologi pada
ternak sapi perah laktasi di Pangalengan disajikan
pada Tabel 3.
Nilai Hemoglobin dan Hematokrit
Nilai hemoglobin darah ternak sapi perah laktasi di
Pangalengan masih sesuai dengan nilai hemoglobin
pada sapi perah laktasi di lokasi lain (Tabel 3). bahwa konsentrasi
hemoglobin sapi perah laktasi di daerah subtropik
adalah 8,6011,90 g/dl. , konsentrasi hemoglobin sapi
perah laktasi di daerah subtropik adalah 7,6910,99
g/dl, sedangkan menurut Mirzadeh et al. (2010) ber-
kisar 8,899,59 g/dl. Kadar hemoglobin dalam darah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya umur,
jenis kelamin, musim, pola perilaku spesies, aktivitas
tubuh, dan penyakit ,
Kisaran nilai hematokrit ternak sapi perah laktasi di
Pangalengan menunjukkan nilai hematokrit yang
masih sesuai dengan pustaka di atas. Hasil penelitian
ini memperlihatkan kisaran nilai hematokrit ternak sapi
perah laktasi adalah sebesar 24,5229,70%. Nilai
hematokrit sapi perah normal adalah 23,1031,70%
(Divers & Peek 2008). Menurut Sattar dan Mirza (2009)
dan Mirzadeh et al. (2010), nilai hematokrit pada sapi
perah laktasi di daerah subtropik masing-masing
adalah 23,1731,67 dan 27,9531,55%. Nilai hemtokrit
berhubungan langsung dengan jumlah eritrosit di-
karenakan nilai hematokrit merupakan gambaran
persentase yang mewakili eritrosit di dalam 100 ml
darah Nilai hematokrit dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang memengaruhi jumlah dan
ukuran eritrosit Peningkatan
nilai hematokrit dapat terjadi pada ternak yang
mengalami dehidrasi, aspiksia, atau stres
Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)
Kisaran eritrosit ternak sapi perah laktasi di
Pangalengan adalah sebesar 6,108,18 juta sel/µl.
Kisaran nilai jumlah eritrosit ini masih berada pada
kisaran normal seperti yang disebutkan yaitu antara 5,007,20 juta sel/µl.
Sebaliknya, pada Tabel 3 terlihat jumlah eritosit lebih
tinggi dari kisaran normal yang disebutkan Kondisi
ini karena rendahnya rataan suhu lingkungan dan
relatif tingginya kelembapan udara di Pangalengan
(17,80 °C dan 63,99%) dibandingkan dengan lokasi
penelitian Sattar dan Mirza (2009), yaitu suhu udara
24,30 °C dengan kelembapan 37,92%, dan Mirzadeh
et al. (2010), yaitu suhu udara 25,30 °C dengan
kelembapan 45,20%.
jumlah eritrosit akan meningkat pada suhu lingkungan
rendah dan akan menurun pada suhu lingkungan yang
tinggi.
Total Leukosit
Kisaran jumlah leukosit ternak sapi perah laktasi di
Pangalengan adalah sebesar 6.22010.600 sel/µl.
Jumlah ini sesuai dengan hasil penelitian ,
. Secara rinci diferensiasi leukosit
dan rasio N/L ternak sapi perah laktasi di KPBS
Pangalengan disajikan pada Tabel 4.
Diferensiasi Leukosit
Menurut Divers dan Peek (2008), kisaran per-
sentase normal limfosit pada peredaran darah ternak
sapi perah adalah 41,0073,20%, berbeda dengan
Sattar dan Mirza (2009), bahwa persentase limfosit
pada sapi perah laktasi berkisar antara 62,2068,20%.
Penelitian ini memperlihatkan kisaran persentase
limfosit ternak sapi perah laktasi di KPBS Pangalengan
adalah sebesar 32,6463,14%. Nilai ini masih dalam
kisaran yang sesuai bila dibandingkan dengan nilai
limfosit pada pustaka di atas. Jumlah limfosit di dalam
peredaran darah dapat dipengaruhi tingkat produksi,
resirkulasi, dan penggunaan atau penghancuran
limfosit. Penurunan jumlah limfosit (limfopenia) dapat
terjadi karena penggunaan kortikosteroid, timektomi,
radiasi, kemoterapi, penurunan produksi, dan infeksi
virus akut. Peningkatan limfosit di peredaran darah
(limfositosis) dapat terjadi karena fisiologis, reaktif, dan
proliferatif ,
Neutrofil merupakan lini pertahanan pertama ter-
hadap infeksi mikroorganisme. Neutrofil berfungsi
memfagositosis dan membunuh organisme , Kisaran persentase neutrofil ternak sapi perah
laktasi di KPBS Pangalengan adalah sebesar
28,3453,24%. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian
yang dilaporkan oleh Divers dan Peek (2008). Namun
nilai neutrofil itu sedikit lebih tinggi bila di-
bandingkan dengan nilai yang dilaporkan oleh Sattar
dan Mirza (2009) di daerah subtropik, yaitu antara
20,3326,27%.
Monosit berfungsi melindungi tubuh dari organisme
penyerang dengan cara fagositosis (Guyton & Hall
2008). Hasil penelitian ini menunjukkan persentase
monosit ternak sapi perah laktasi di KPBS Panga-
lengan berkisar 0,414,85%, dan nilai ini masih dalam
kisaran yang sama dengan nilai yang dilaporkan oleh
Divers dan Peek (2008). Namun nilai monosit itu
lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai yang
dilaporkan oleh Sattar dan Mirza (2009) di daerah
subtropik, yaitu antara 5,627,18%.
Eosinofil diproduksi dalam jumlah besar pada
penderita infeksi parasit dan bermigrasi ke jaringan
Peningkatan jumlah eosinofil di
peredaran darah (eosinofilia) merupakan respons
adanya infeksi parasit ,Penelitian ini mem-
perlihatkan kisaran persentase eosinofil ternak sapi
perah laktasi di KPBS Pangalengan adalah sebesar
1,5815,78%. Nilai ini masih dalam kisaran nilai yang
dilaporkan
Basofil memiliki peran utama dalam membangun
reaksi hipersensitif dan sekresi mediator yang bersifat
vasoaktif (). Penelitian ini me-
nunjukkan nilai basofil sapi perah laktasi di KPBS
Pangalengan masih sesuai dengan nilai yang dilapor-
kan Namun, nilai basofil
itu lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai
yang dilaporkan di daerah
subtropik, yaitu 0,601,00%.
Adanya perbedaan nilai diferensial leukosit pada
sapi perah di Pangalengan dengan wilayah lain
mungkin saja terjadi, hal ini karena perbedaan kondisi
lingkungan maupun manajemen peternakan sapi
perah di setiap lokasi yang berbeda.
Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L)
Stres merupakan perubahan kondisi tubuh sebagai
respons terhadap suatu ancaman tertentu sehingga
tubuh melakukan penyesuaian terhadap kondisi ter-
sebut. Stres pada hewan dapat diukur melalui rasio
neutrofil/limfosit (N/L).
ternak yang mengalami stres mengalami peningkatan
jumlah neutrofil dan penurunan jumlah limfosit. Hal ini
disebabkan oleh respons kortisol di dalam darah.
profil leukosit
dapat merefleksikan peningkatan kortisol yang di-
sebabkan oleh stres.
peningkatan kortisol dalam peredaran darah akan
diikuti peningkatan mobilisasi neutrofil, perpanjangan
hidup neutrofil, dan penghancuran limfosit sehingga
terjadi peningkatan rasio neutrofil/limfosit.
Penelitian ini menunjukkan nilai rasio N/L ternak
sapi perah laktasi di KPBS Pangalengan masih berada
pada kisaran yang dilaporkan
yaitu 1,13159. berdasar Tabel 4, ternak sapi
perah laktasi di KPBS Pangalengan memiliki nilai rasio
N/L pada kisaran 0,411,63. kisaran normal rasio N/L sapi perah laktasi
adalah 1,131,59. berdasar hasil itu , nilai
rasio N/L ternak sapi perah laktasi di KPBS
Pangalengan berada pada kisaran normal, artinya sapi
perah laktasi itu tidak mengalami gangguan
fisiologis (tercekam) yang nyata pada kondisi ling-
kungan di KPBS Pangalengan.
Kisaran nilai fisiologis sapi perah laktasi, yaitu
denyut jantung (59,8272,02 kali/ menit), frekuensi
respirasi (26,0136,69 kali/menit), suhu rektal
(37,3238,36 C), konsentrasi hemoglobin (8,299,51
g/dl), hematokrit (24,5229,70%), eritrosit (6,108,18
juta/µl), leukosit (6,2210,60 ribu/µl), dan nilai
diferensial leukosit ialah limfosit 32,6463,14%,
neutrofil 28,3453,24%, monosit 0,414,85%, eosinofil
1,5815,78%, dan basofil 0% masih dalam kisaran
normal pada kondisi lingkungan sejuk di KPBS
Pangalengan. Selain itu, ternak sapi perah laktasi di
KPBS Pangalengan tidak berada pada kondisi ter-
cekaman (stres) dengan nilai rasio N/L (0,141,63).
Nilai fisiologis sapi perah laktasi di KPBS Pangalengan
ini dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan
produktivitas sapi perah di KPBS Pangalengan.
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki nilai gizi berupa protein yang
tinggi dan mengandung susunan asam amino yang lengkap dan seimbang. Bahan pangan ini juga
mengandung vitamin B kompleks (niasin, riboflavin dan tiamin), mineral kalsium, fosfor dan besi
Daging yang layak dikonsumsi dapat dinilai dari keempukan atau
kelunakan daging. Keempukan daging merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat ketertarikan
konsumen terhadap daging yang ditentukan oleh adanya jaringan ikat dan jaringan lemak
intramuskuler yang terdapat di dalam daging ,
Proses pematangan daging dengan panas (pemasakan) sangat bermanfaat untuk membunuh
mikroba dan meningkatkan cita rasa. Daging yang akan diolah terkadang membutuhkan waktu
yang cukup lama sampai menjadi empuk. Bahan-bahan alami banyak digunakan sebagai
pengempuk daging yang dapat mempercepat proses pengempukan seperti kulit nanas, getah
pepaya, daun pepaya, buah papaya dan jahe ,Jahe (Zingiber
Officinale Roscoe) merupakan tanaman rempah yang dimanfaatkan sebagai minuman atau
campuran pada bahan pangan ,Pada tahun 1973,
menemukan adanya enzim proteolitik pada jahe yang kemudian disebut dengan zingibain. Enzim
proteolitik atau protease adalah enzim yang dapat menguraikan protein menjadi asam amino
sehingga bisa melunakkan daging ,
Penelitian tentang enzim protease pada jahe telah banyak dilakukan.
() dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa penambahan jahe hingga 8% pada daging sapi
akan meningkatkan keempukan daging. juga melakukan penelitian tentang efek
ekstrak jahe dan asam sitrat terhadap keempukan otot dada pada bebek. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa ekstrak jahe memiliki efek mengempukkan otot dada pada bebek.
Analisis profil protein daging dilakukan dengan pemisahan protein menjadi molekul yang
lebih sederhana dengan menggunakan teknik elektroforesis SDS-PAGE, selanjutnya dilakukan
pengukuran jarak perpindahan (Rf) untuk mengidentifikasi profil protein pada masing-masing
sampel , Tujuan penelitian yaitu menganalisis profil protein pada daging
kambing, kerbau dan sapi sebelum dan sesudah direndam dengan larutan jahe konsentrasi 4% v/v,
6% v/v, 8% v/v dan 10% v/v selama 30 menit dengan metode SDS-PAGE.
Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat
daging bagian bibir, hidung, dan telinga yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong.
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki nilai gizi berupa protein yang
mengandung susunan asam amino yang lengkap , Daging
mengandung sekitar 75% air, protein sekitar 19%, substansi–substansi non-protein yang larut 3,5%
dan lemak sekitar 2,5% Daging kambing, kerbau dan sapi memiliki ciri masing-
masing yang diketahui dari warna daging, rasa, aroma dan tekstur daging. Kriteria daging yang
berkualitas ditentukan dari keempukan atau kelunakan, kandungan lemak (marbling), warna, rasa,
aroma dan kelembaban , Jalur distribusi perdagangan daging pasca
sembelih yang terlalu panjang akan berdampak pada pencapaian fase kekakuan atau fase
rigormortis. Pada fase ini terjadi perubahan tekstur daging, jaringan otot menjadi keras, kaku dan
tidak mudah digerakkan. Daging pada fase ini jika dilakukan pengolahan akan menghasilkan
daging olahan yang keras dan alot. Pada fase rigormortis akan menyebabkan penurunan nilai daya
terima pada daging ,
Protein merupakan suatu makromolekul karena memiliki berat molekul yang besar. Protein
secara umum terdiri dari 20 macam asam amino yang berikatan secara kovalen satu sama lain yang
membentuk suatu rantai polipeptida. Struktur protein tidak stabil terhadap beberapa faktor antara
lain pH, radiasi, temperatur dan pelarut organik. Berdasarkan sumbernya protein digolongkan
menjadi dua jenis yaitu protein hewani dan protein nabati. Protein hewani merupakan protein yang
berasal dari hewan seperti susu dan daging. Sedangkan protein nabati adalah protein yang
dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan baik secara langsung maupun hasil olahan dari tumbuh-
tumbuhan seperti sereal dan tepung ,
Struktur protein terdiri atas struktur primer, sekunder, tersier dan kuartener. Protein
berdasarkan strukturnya digolongkan menjadi protein sederhana dan protein gabungan. Protein
sederhana adalah protein yang hanya terdiri atas molekul-molekul asam amino sedangkan protein
gabungan adalah protein yang berkaitan dengan senyawa bukan protein. Jenis protein gabungan
antara lain mukoprotein, lipoprotein dan nukleoprotein ,
Protein daging diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar yaitu miofibril, stroma dan
sarkoplasma. Komponen protein miofibril yang terpenting dalam struktur serabut otot adalah aktin
dan miosin. Protein miofibril merupakan protein yang berlimpah dalam otot dan penting dalam
proses kontraksi (mengejang) dan relaksasi (istirahat) otot. Kondisi saat hewan akan dipotong dan
penanganan setelah pemotongan adalah saat yang penting dalam mengontrol kondisi kontraksi
(kejang) otot yang akan menentukan keempukan daging.
Protein stroma terdiri dari kolagen, elastin dan retikulin. Pada daging, kolagen merupakan
faktor utama yang mempengaruhi keempukan daging setelah proses pemasakan. Pemanasan
dengan suhu tertentu akan mengubah kolagen yang keras menjadi gelatin yang sifatnya empuk.
Protein daging lainnya adalah sarkoplasma yang terdiri dari pigmen hemoglobin yaitu protein sel ,
darah merah, mioglobin yaitu cairan yang terdapat dalam sel otot dan bermacam-macam enzim.
Pigmen hemoglobin dan mioglobin berkontribusi pada warna merah pada daging ,
Jahe (Zingiber Officinale Roscoe) merupakan salah satu jenis tanaman obat yang
berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai bumbu, bahan obat tradisional dan bahan baku
minuman serta makanan Klasifikikasi ilmiah jahe
yaitu Kingdom : Plantae; Divisi : Spermatophyta; Subdivisi :
Angiospermae; Kelas : Monocotyledonae; Ordo : Zingiberale; Famili : Zingiberaceae; Sub famili:
Zingiberoidae; Genus : Zingiber; Spesies : Zingiber officinale.
Jahe putih kecil biasa disebut jahe emprit yang berwarna putih, berbentuk agak pipih,
berserat lembut dan aromanya kurang tajam dibandingkan dengan jahe merah. Jahe emprit ini
memiliki ruas rimpang berukuran lebih kecil dan agak rata sampai agak sedikit menggembung.
Rimpangnya lebih kecil daripada jahe gajah, tetapi lebih besar dari jahe merah. Jahe emprit biasa
dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan jamu segar maupun kering, bahan pembuat minuman,
penyedap makanan, rempah-rempah, serta cocok untuk ramuan obat-obatan. Kadar minyak atsiri
jahe putih sebesar 1,7-3,8% dan kadar oleoresin 2,39-8,87% (Hesti Dwi Setyaningrum, 2015).
Rimpang jahe memiliki kandungan vitamin A, B, C, lemak, protein, minyak atsiri, pati,
dammar, asam organik, oleoresin (gingerin), zingeron, zingerol, zingeberol, zingiberin, borneol,
sineol dan felaudren (Heri Warsito, Rindiani 2015). Jahe juga mengandung enzim zingibain,
bisabolena, kurkumen, gingerol, filandrena dan resin pahit Enzim Zingibain
merupakan enzim protease yang dapat menghidrolisis protein dalam daging sehingga daging dapat
menjadi lebih lunak. Profil protein daging dapat dianalisa menggunakan metode SDS-PAGE.
SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamid Gel Electrophoresis) adalah suatu
metode elektroforesis yang digunakan untuk analisa pita protein secara kualitatif. Metode ini sering
digunakan untuk menentukan berat molekul suatu protein disamping untuk memonitor pemurnian
protein. Protein dalam gel dapat ditampakkan oleh pewarnaan Coomasie Brilliant Blue
Metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian dilakukan di laboratorium
Biologi Molekuler Universitas Muhammadiyah Semarang dan laboratorium Bioteknologi
Universitas Gajah Mada pada tanggal 5 s/d 13 Juni 2017.
Variabel penelitian ini yaitu daging, jahe dan profil protein daging. Daging merupakan
bagian dari tubuh hewan yang tidak memiliki tulang dan diperoleh dari pasar. Jahe adalah tanaman
yang digunakan sebagai bumbu, obat dan bahan baku minuman dan makanan. Profil protein daging
merupakan sub-sub unit protein pada daging yang diperoleh dengan menggunakan metode SDS-
PAGE.
Objek penelitian ini adalah daging kambing dan sapi yang dibeli di pasar Pedurungan
Semarang dan daging kerbau dari pasar Bintoro Demak kemudian direndam dengan larutan jahe
dengan konsentrasi 4% v/v, 6% v/v, 8% v/v dan 10% v/v selama 30 menit.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan
data yang diperoleh ditabulasikan kemudian disajikan dalam bentuk narasi deskriptif.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu blender, kertas saring, labu ukur, pipet
volume, beaker glass, timbangan analitik, pot, cawan mortir, vortex, centrifuge, microtube,
mikropipet, spektrofotometer, chamber elektroforesis, power supply, waterbath, rotator, box
plastik, plastik press dan kaca press.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging (kambing, kerbau dan sapi)
bagian has dalam (tenderloin), jahe emprit dibuat dalam bentuk larutan, H2O steril, polyakrilamid
30%, TEMED, APS 10%, SDS 10%, 1,5 M Tris pH 8,8 dan 6,8, staining 0,1% Coomasie Brilliant
Blue (CBB) R-250, destaining, asam asetat glasial 10%, butanol, alkohol 70%, running buffer 1x,
biorad assay, PBS pH 7,4, sampel buffer, dan marker protein
Prosedur penelitian yaitu jahe dibersihkan kemudian diblender dan disaring untuk
mendapatkan larutan jahe 100%. Larutan jahe 100% kemudian dibuat ke dalam konsentrasi 4%
v/v, 6% v/v, 8% v/v dan 10% v/v. Daging ditimbang sebanyak 10 g dan direndam selama 30 menit
dalam masing-masing konsentrasi. Daging ditiriskan dan dihaluskan dengan menambahkan PBS 1x
dan divortex. Sampel dimasukkan ke dalam kulkas selama 1 jam dan dicentrifuge sehingga
didapatkan supernatan (protein) dan kemudian dibaca total protein secara spektrofotometri.
Separating gel dibuat, ditambahkan butanol untuk menutupi permukaan dan dibiarkan
sampai terjadi polimerisasi kemudian dibersihkan dengan aquades dan ditambahkan stacking gel.
Sisir dimasukkan dan dibiarkan sampai terjadi polimerisasi. Sisir diangkat maka akan terbentuk
sumuran (well). Dimasukkan sampel ke well dengan perbandingan 4:1 (16 µl sampel : 4 µl sampel
buffer). Tambahkan running buffer pada alat dan power supply dihidupkan. Ditunggu hingga
proses running selesai yang ditandai dengan turunnya Bromo Phenol Blue sampai ke dasar.
Kemudian gel diwarnai dengan Commasie Brilliant Blue R-250 selama 120 menit hingga pita
protein terwarnai. Destaining gel 3–4 kali hingga gel tampak bersih, dimasukkan gel ke dalam
larutan asam asetat glasial 10%, kemudian dipress dan dikeringkan selama 48 jam di ruangan
gelap. Untuk menentukan berat molekul protein, dihitung menggunakan Rf dan diplotkan pada
grafik logaritma dari Rf marker protein yang berat molekulnya telah diketahui .
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging kambing, daging kerbau dan
daging sapi bagian has dalam (tenderloin) yang direndam larutan jahe dengan konsentrasi 4% v/v,
6% v/v, 8% v/v dan 10% v/v selama 30 menit. Daging kambing dan sapi dibeli di Pasar
Pedurungan Semarang, sedangkan daging kerbau dibeli di pasar Bintoro Demak, Jawa Tengah.
Total protein daging kambing, kerbau dan sapi dianalisa dengan menggunakan
spektrofotometri. Hasil analisa total protein tersebut tertera pada tabel di bawah ini.
Dari hasil spektrofotometri daging kontrol memiliki total protein yang lebih besar
dibandingkan dengan daging yang direndam larutan jahe. Total protein daging yang tertinggi ialah
daging sapi sebesar 29,22 µg/µl dan terendah adalah daging kerbau sebesar 18,64 µg/µl.
Sedangkan daging yang telah direndam larutan jahe memiliki total protein yang lebih rendah
dibandingkan daging kontrol.
Penambahan larutan jahe pada sampel kambing dan kerbau sangat mempengaruhi total
protein sedangkan pada daging kerbau tidak terlalu mempengaruhi besarnya penurunan total
protein.
Analisis profil protein dilakukan dengan metode SDS-PAGE terhadap daging yang
direndam dengan larutan jahe selama 30 menit menunjukkan hasil yang tertera pada gambar 1, 2, 3
dan 4.
Keterangan :
BM = Berat Molekul (kDa), M = Marker, C. Km = Kontrol Kambing, Km 4% = Kambing
direndam larutan jahe 4%, Km 6% = Kambing direndam larutan jahe 6%, Km 8% = Kambing
direndam larutan jahe 8%, Km 10% = Kambing direndam larutan jahe 10%, C. Kr = Kontrol
Kerbau, Kr 4% = Kerbau direndam larutan jahe 4%, Kr 6% = Kerbau direndam larutan jahe 6%, Kr
8% = Kerbau direndam larutan jahe 8%, Kr 10% = Kerbau direndam larutan jahe 10%, C. Sp =
Kontrol Sapi, Sp 4% = Sapi direndam larutan jahe 4%, Sp 6% = Sapi direndam larutan jahe 6%, Sp
8% = Sapi direndam larutan jahe 8%, Sp 10% = Sapi direndam larutan jahe 10%
Berdasarkan gambar 1, 2, 3 dan 4 didapatkan jumlah pita mayor dan pita minor
yang tertera pada tabel 2.
Daging yang sudah direndam larutan jahe diisolasi protein, kemudian diseparasi
dengan metode Laemmli (1970) dan diwarnai dengan 0,1% Coomasie Brilliant Blue (CBB)
R-250 selama 120 menit pada suhu ruangan hingga pita protein terwarnai. penentuan berat molekul (BM) protein dilakukan dengan
menghitung Rf (Retardation Factor) dari masing-masing pita (band) protein dengan rumus
sebagai berikut :
Rf =
Berat molekul (BM) dan nilai Retardation Factor (Rf) marker diplotkan pada kertas
logaritma sehingga didapatkan BM sampel yang tertera pada tabel 3, 4 dan 5.
Jahe mengandung enzim protease yaitu zingibain yang dapat memecah ikatan
peptida menjadi molekul-molekul protein yang lebih sederhana (asam amino) sehingga dapat
melunakkan daging (Kurniawan, 2014). Hasil pemecahan protein tersebut akan membentuk
ikatan yang mengkaitkan dua molekul asam amino yang disebut dipeptida. Dipeptida
mempunyai gugus –COOH dan –NH2 yang akan membentuk oligopeptida seperti carnosine,
balenine dan anserine yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan yang dapat
menghambat reaksi oksidatif daging
Enzim zingibain yang terdapat dalam jahe dapat menghidrolisa protein yang
ditandai dengan berkurangnya pita protein mayor dan bertambahnya pita protein
minor. Semakin tinggi konsentrasi larutan jahe, maka semakin banyak kandungan
enzim zingibain sehingga kemampuan untuk menghidrolisa protein semakin tinggi.
Enzim zingibain yang terdapat dalam jahe dapat memecah ikatan peptida pada
protein daging sehingga protein membentuk mikromolekul (pita minor) yang dapat
mengempukkan daging. Larutan jahe paling baik untuk merendam daging kambing, kerbau
dan sapi selama 30 menit yaitu pada konsentrasi 4% karena masih banyak terdapat protein
pada daging tersebut.
Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan enzim
zingibain yang berasal dari jahe gajah (jahe besar) dan jahe merah dengan variasi lama
perendaman yang berbeda serta dapat menggunakan pengolahan sampel yang berbeda yaitu
menggunakan serbuk jahe.
Bagi masyarakat yang ingin mempercepat proses pengempukan daging sebanyak
250 g, dapat menggunakan 40 ml sari jahe yang setara dengan 2 sdm sari jahe dan
ditambahkan 625 ml air yang setara dengan dua gelas air minum, kemudian direndam selama
30 menit.