Tampilkan postingan dengan label kartun 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kartun 1. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Juli 2023

kartun 1


Seiring dengan semakin maraknya bisnis jurnalistik, secara langsung juga 
membawa konsekuensi semakin gigihnya usaha berbagai media massa untuk menarik 
atau paling tidak mempertahankan jumlah pembaca dan pelanggannya. Untuk itu, 
pihak-pihak yang terkait dengan penerbitan media massa terus-menerus berusaha 
meningkatkan kualitas media massanya dengan berbagai upaya. 
Penciptaan rubrik khusus tampaknya menjadi salah satu alternatif usaha para 
redaktur untuk meningkatkan kualitas dan daya tarik penerbitan media massa 
tersebut. Berkaitan dengan ini, adanya rubrik humor kartun Benny dan Mice dalam 
harian Kompas merupakan salah satu usaha pihak harian Kompas untuk memikat para 
penggemarnya. Rubrik humor kartun Benny dan Mice merupakan salah satu kolom 
andalan yang menjadikan media ini memiliki daya tarik tersendiri bagi para 
penggemarnya. 
Kartun dan karikatur merupakan karya jurnalistik yang sudah lama dikenal di 
dunia pers. Kartun dalam mengungkap persoalan tidak jauh dari berita atau situasi 
yang sedang terjadi. Semua persoalan itu dimuat dalam bentuk gambar dan tuturan 
yang memberi makna kritis terhadap masalah yang sedang berkembang dalam 
masyarakat agar lebih menarik dan mudah dipahami oleh pembaca. 
Pada kenyataannya, rubrik humor kartun Benny dan Mice yang pada mulanya 
hadir dalam harian Kompas edisi Minggu memang banyak ditunggu oleh para 
penggemarnya. Mereka lebih memilih untuk terlebih dahulu membaca rubrik ini 
sebelum membaca berita lainnya. Keadaan ini dimungkinkan karena para pembaca 
menginginkan bacaan yang ringan, tidak membebani, serta segar dan menghibur. 
Keanehan-keanehan serta kelucuan yang dimunculkan dalam wacana humor 
kartun Benny dan Mice sebenarnya terjadi dari hal-hal yang sederhana namun 
terkadang mengesankan kebodohan, kekonyolan, dan ketidaktahuan, atau bahkan 
terjadi karena ketidaksengajaan. Terkadang pembaca rubrik ini tidak pernah menduga 
bahwa ternyata ada kejadian-kejadian seperti itu di dalam kenyataan hidup sehari￾hari. Selain itu, kejadian yang dialami para tokoh dalam wacana humor kartun Benny 
dan Mice seringkali mengandung kejutan dan keunikan karena orang tidak pernah 
memikirkan sebelumnya. Kejutan dan keunikan yang tidak pernah terpikirkan inilah 
yang kerap kali membawa efek menggelikan bagi para pembacanya. 
Budiyanto (2005:45) mengatakan, humor yang bersifat verbal akan 
menghasilkan wacana humor, yang penciptaannya dilakukan dengan cara mengolah 
aspek-aspek linguistik seperti bunyi, kata, frasa, dan kalimat, terutama pada aspek 
semantiknya, dengan mengadakan penyimpangan-penyimpangan kaidah maupun 
logika. Dengan melakukan penyimpangan-penyimpangan kaidah maupun logika, 
asumsi-asumsi pragmatik, implikatur-implikatur, dan pengertian-pengertian yang 
muncul dalam benak pendengar atau pembaca mengenai topik yang dibicarakan itu 
meleset, sehingga tergelitik untuk tersenyum atau tertawa
Wacana humor kartun Benny dan Mice merupakan salah satu wacana humor 
yang sangat menarik untuk diteliti. Wacana humor kartun Benny dan Mice adalah 
wacana humor yang mengetengahkan realisme sosial kehidupan rakyat jelata yang 
dikemas secara menarik dan lucu sehingga menimbulkan tawa bagi yang 
membacanya. Selain itu, wacana humor kartun Benny dan Mice sudah cukup dikenal 
dan diakui kepopulerannya. Harian Suara Merdeka edisi 4 Januari 2009:27 
menyatakan, seperti dalam buku-buku kartun sebelumnya, Benny dan Misrad selalu 
memiliki sudut pandang nakal, jeli, dan kocak. Mereka mendekati persoalan dengan 
cara beda; penuh gelitik, kadang kurang ajar sedikit, kadang sirik banget, tetapi 
sesekali mereka juga cukup sportif dan tidak pandang bulu: menertawakan ketololan 
dan kesialan diri. Dengan kata lain, selain mendapatkan hiburan yang cukup oke, 
Anda juga diajak mencermati situasi psikologis yang terdapat pada perilaku manusia￾manusia modern. 
Sejauh ini, wacana humor kartun Benny dan Mice selain dipublikasikan dalam 
harian Kompas juga diterbitkan dalam bentuk buku. Penerbitan buku kartun Benny 
dan Mice ini didasari oleh kesadaran penerbit bahwa sebenarnya kartun Benny dan 
Mice memiliki kalangan penggemar tersendiri sehingga sangat menjanjikan dalam hal 
pemasarannya. Buku-buku kartun Benny dan Mice yang telah terbit antara lain 
“Kartun Benny & Mice: Jakarta Luar Dalem” (2007), “Lagak Jakarta:Edisi Koleksi” 
jilid 1 dan 2 (2007), “Lagak Jakarta: 100 Tokoh Yang Mewarnai Jakarta” (2008), 
dan “Kartun Benny & Mice: Talk About Hape” (2008).Dalam penelitian ini penulis memfokuskan penelitian pada topik kajian 
pragmatik berupa wujud implikatur percakapan yang terdapat dalam wacana humor 
kartun Benny dan Mice. Penulis memilih wacana humor kartun Benny dan Mice
sebagai bahan penelitian untuk menjawab masalah pokok penelitian karena beberapa 
asumsi. Asumsi-asumsi tersebut yaitu (1) wacana humor kartun Benny dan Mice
adalah wacana humor kartun berbahasa Indonesia, (2) tuturan-tuturan di dalam 
wacana humor kartun Benny dan Mice mengandung wujud implikatur percakapan 
sebagai akibat pelanggaran prinsip percakapan.
Wacana humor kartun Benny dan Mice menjadi menarik untuk diteliti karena 
tuturan-tuturan yang terdapat di dalam wacana tersebut mengandung implikatur 
percakapan. Peneliti mengambil data dari dua buku yaitu Kartun Benny & Mice: 
Jakarta Luar Dalem (2007) dan Kartun Benny & Mice: Talk About Hape (2008). 
Kedua buku tersebut merupakan karya Benny Rachmadi dan Muh Misrad.
Menurut Grice dan Gazdar (dalam Rustono 1999:82), implikatur percakapan 
adalah implikasi pragmatis yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai 
akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Sejalan dengan batasan tentang 
implikasi pragmatis, implikatur percakapan itu adalah proposisi atau “pernyataan” 
implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh 
penutur yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur..
Seorang penutur tidak selalu mengungkapkan maksud yang dikehendakinya 
secara terang-terangan. Ada kalanya penutur menyiratkan apa yang dimaksudkannya
di balik tuturannya. Dengan cara seperti itu, seorang penutur bisa jadi memiliki tujuan 
tertentu di balik tuturannya. 
Seorang penutur mungkin saja mempunyai maksud yang tersirat dan 
tersembunyi di balik apa yang sebenarnya dituturkannya. Seperti ujaran “Tidak saya 
sangka” di dalam percakapan berikut.
P-1 : Bagaimana, enak masakan warung makan ini?
P-2 : Tidak saya sangka
Tuturan tersebut dapat mengandung implikatur bahwa masakan di warung itu 
enak. Implikatur “Masakan di warung itu enak” tidak merupakan bagian tuturan 
“Tidak saya sangka” dan tidak merupakan konsekuensi tuturan itu. Proposisi 
implikatif itulah yang dimaksudkan oleh P-1 sebagai mitra tutur P-2.
Implikatur percakapan erat kaitannya dengan prinsip kerja sama. Rustono 
(1999:87) mengatakan, di dalam pembahasan tentang komunikasi antarpemakai 
bahasa, relevansi antara konsep implikatur dan prinsip percakapan menjadi topik 
penting. Implikatur percakapan yang dapat merupakan hasil inferensi dari adanya 
pelanggaran prinsip percakapan menjadi dasar pentingnya pembahasan kedua hal 
tersebut. Pembicaraan tentang implikatur percakapan tanpa mengaitkannya dengan 
prinsip percakapan tentulah menjadi kurang bermakna.
Prinsip percakapan terdiri atas prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. 
Prinsip kerja sama mencakup empat bidal yakni bidal kuantitas, kualitas, relevansi, 
dan cara. Adapun prinsip kesantunan mencakup enam bidal yakni bidal 
ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenaan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Implikatur percakapan timbul akibat pelanggaran kedua prinsip 
percakapan tersebut. Implikatur percakapan juga terjadi apabila terjadi pelanggaran 
pada bidal-bidal yang dimiliki kedua prinsip percakapan tersebut.
Wijana (2001) dalam penelitiannya yang berjudul Implikatur Wacana Pojok
mengkaji implikatur yang terdapat dalam wacana pojok dalam harian Kedaulatan 
Rakyat yang terbit pada Januari s.d. Oktober 2001 dan aneka tindak tutur yang 
dipergunakan untuk menyampaikannya. Hasil penelitian ini menunjukkan aneka 
tuturan yang dipakai dalam pengungkapan implikatur wacana pojok di harian 
Kedaulatan Rakyat adalah tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, dan 
tindak tutur tidak lateral.
Perbedaan antara penelitian Wijana dengan peneliti yaitu data yang dijadikan 
objek penelitian dalam penelitian Wijana adalah wacana pojok di harian Kedaulatan 
Rakyat, sedangkan peneliti mengambil data dari wacana humor kartun Benny dan 
Mice. Persamaan penelitian Wijana dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu 
membahas implikatur percakapan, meskipun peneliti lebih menekankan pada wujud 
implikatur sedangkan Wijana menekankan pada penggunaan aneka tuturan sebagai 
pengungkapan implikatur. 
Arifah (2003) dalam penelitiannya berjudul Implikatur Wacana Kartun 
Berbahasa Indonesia Berdasarkan Makna dan Tindak tutur membahas implikatur 
berdasarkan jenis tindak tutur dan makna yang terkandung dalam wacana kartun 
berbahasa Indonesia serta frekuensi penggunaan jenis implikatur di dalam wacana 
kartun berbahasa Indonesia karya Gatot Eko Cahyono. Hasil penelitian yang 
ditemukan adalah tidak semua jenis implikatur terdapat dalam data penelitan. Dari 
lima jenis implikatur berdasarkan jenis tindak tutur yang digunakan sebagai landasan teoretis, hanya empat jenis implikatur yang berhasil diidentifkasi, yaitu (1) 
representatif dengan subfungsi melaporkan dan menyatakan, (2) direktif dengan 
subfungsi menuntut, menyarankan, dan memohon, (3) ekspresif dengan subfungsi 
mengritik, mengeluh, mengecewakan, dan mendukung, (4) isbati.
Perbedaan penelitian Arifah dengan peneliti yaitu pada penelitian Arifah 
membahas frekuensi penggunaan jenis implikatur di dalam wacana kartun berbahasa 
Indonesia, sedangkan peneliti lebih menekankan pada wujud implikatur dalam 
wacana humor kartun Benny dan Mice. Persamaan penelitian Arifah dengan peneliti 
ada pada data yang digunakan berupa wacana kartun. Kedua penelitian ini bertujuan 
mengungkapkan implikatur yang terdapat dalam wacana kartun. 
Handayani (2003) dalam penelitiannya berjudul Tuturan Humor dalam 
Wacana Ketoprak Humor di RCTI (Kajian Sosiopragmatik) membahas pelanggaran 
prinsip percakapan dalam wacana Ketoprak Humor, faktor-faktor penyebab 
munculnya tuturan humor dalam Ketoprak Humor di RCTI, serta aspek-aspek 
kebahasaan yang dimanfaatkan dalam Ketoprak Humor di RCTI. Hasil penelitian ini 
menunjukkan (1) pelanggaran prinsip kerja sama meliputi kuantitas, kualitas, 
relevansi, dan cara, (2) pelanggaran prinsip kesantunan meliputi ketimbangrasaan, 
kerendahhatian, kesetujuan, kesimpatian, (3) faktor penyebab kelucuan dalam 
Ketoprak Humor yaitu (a) faktor dari dalam pemain seperti tuturan yang diplesetkan, 
salah ucap, menyindir lawan main, dan sebagainya, dan (b) faktor dari luar pemain 
seperti pelemparan barang dari penonton ke pemain sehingga menimbulkan ekspresi 
wajah yang menimbulkan kelucuan.Perbedaan penelitian Handayani dengan peneliti yaitu penelitian Handayani 
menggunakan kajian sosiopragmatik. Kajian sosiopragmatik didasarkan pada 
kenyataan bahwa prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun beroperasi secara 
berbeda dalam kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat bahasa yang berbeda, dalam 
situasi sosial yang berbeda, dalam kelas-kelas sosial yang berbeda (Leech, 1993). 
Adapun peneliti menggunakan kajian pragmatik dalam penelitiannya. Penelitian 
Handayani juga tidak mengungkapkan implikatur dalam wacana Ketoprak Humor, 
melainkan hanya membahas pelanggaran-pelanggaran prinsip percakapan yang 
merupakan sumber implikatur. Persamaan penelitian Handayani dengan peneliti yaitu 
dalam pembahasan pelanggaran prinsip percakapan. Peneliti membahas pelanggaran 
prinsip percakapan sebagai sumber implikatur percakapan. 
Susilowati (2004) dalam penelitiannya berjudul Implikatur Politis Wacana 
Kartun Kolom Oom Pasikom Karya G.M. Sudarta di Harian Kompas mengkaji jenis 
dan fungsi tuturan berimplikasi politis yang terdapat dalam wacana kartun kolom 
Oom Pasikom. Dalam penelitian tersebut ditemukan jenis tuturan berimplikasi politis, 
meliputi (1) Jenis tuturan berimplikasi politis langsung tak harfiah, (2) Jenis tuturan 
berimplikasi politis tidak langsung harfiah, (3) Jenis tuturan berimplikasi politis tidak 
langsung tidak harfiah. Selanjutnya dianalisis pula wacana kartun tersebut 
berdasarkan fungsi pragmatisnya sehingga ditemukan fungsi-fungsi pragmatis (1) 
representatif, (2) direktif, (3) ekspresif, dan (4) isbati.
Perbedaan penelitian Susilowati dengan peneliti yaitu pada penelitian 
Susilowati lebih ditekankan pembahasan jenis tuturan berimplikasi politis dalam wacana kartun “Oom Pasikom”, sedangkan peneliti lebih menekankan wujud 
implikatur percakapan dalam wacana humor kartun Benny dan Mice. Persamaan 
penelitian Susilowati dengan peneliti ada pada data penelitian berupa tuturan tertulis 
dalam wacana kartun. Kedua penelitian ini juga bertujuan mengungkapkan implikatur 
yang terdapat dalam wacana kartun. 
Effendi (2005) dalam penelitian berjudul Tindak Tutur Gus Dur Sebagai 
Pengungkapan Humor Kajian Pragmatik membahas jenis tindak tutur Gus Dur yang 
digunakan sebagai pengungkapan humor serta fungsi pragmatis tindak tutur Gus Dur 
sebagai pengungkapan humor. Hasil penelitian ini menunjukkan jenis tindak tutur 
yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi (1) tindak tutur konstatif dan 
performatif, (2) tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi, (3) tindak tutur langsung, 
taklangsung, harfiah, takharfiah, langsung harfiah, langsung takharfiah, taklangsung 
harfiah, dan taklangsung takharfiah, (5) tindak tutur representatif, direkstif, ekspresif, 
komisif, dan isbati. Fungsi pragmatis yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi 
(1) representatif dengan subfungsi menyatakan, melaporkan, menegaskan, dan 
menyebutkan; (2) direktif dengan subfungsi menyuruh, memohon, meminta, bertanya; 
(3) ekspresif dengan subfungsi memuji, mengritik, mengeluh, mengejek; (4) komisif 
dengan subfungsi berjanji, bersumpah, dan mengancam; (5) isbati dengan subfungsi 
memutuskan, melarang dan mengizinkan.
Perbedaan penelitian Effendi dengan peneliti yaitu penelitian Effendi lebih 
menekankan pembahasan pada jenis tindak tutur sebagai pengungkapan humor dan 
fungsi pragmatis tuturan tersebut. Sayang sekali Effendi tidak membahas implikatur yang juga berfungsi sebagai pengungkapan humor, adapun peneliti lebih 
memfokuskan pembahasan pada wujud implikatur dalam tuturan wacana kartun 
sebagai pengungkapan humor. 
Novitasari (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Jenis, Fungsi Pragmatis, 
dan Implikatur Tuturan Humor dalam Acara “Extravaganza” di Trans-TV
membahas (1) jenis tuturan humor apa saja yang terdapat dalam acara 
“Extravaganza” di Trans-TV, (2) apa saja fungsi pragmatis tuturan humor yang 
terdapat dalam acara “Extravaganza” di Trans-TV, dan (3) implikatur tuturan humor 
yang terdapat dalam acara “Extravaganza” di Trans-TV. Hasil penelitian 
menunjukkan (1) jenis tuturan humor yang terdapat dalam acara “Extravaganza” di 
Trans-TV adalah konstatif, performatif, ilokusi, perlokusi, representatif, direktif, 
komisif, ekspresif, deklarasi (isbati); tuturan langsung, tuturan tak langsung; harfiah, 
dan tak hafiah. (2) fungsi pragmatis tuturan humor yang terdapat dalam acara 
“Extravaganza” di Trans-TV adalah representatif, direktif, ekspresif, komisif, isbati. 
(3) implikatur tuturan humor yang terdapat dalam acara “Extravaganza” di Trans-TV 
adalah menyebutkan, menunjukkan, menyuruh, memohon, menyarankan, menuntut, 
memuji, berterima kasih, mengkritik, mengeluh, dan berjanji.
Perbedaan penelitian Novitasari dengan peneliti yaitu pada data penelitian. 
Novitasari menganalisis data lisan berupa tuturan humor yang terdapat dalam acara 
“Extravaganza” di Trans-TV, sedangkan peneliti menganalisis data tuturan tertulis 
dalam wacana humor kartun Benny dan Mice. Di samping itu, peneliti lebih 
menitikberatkan pembahasan pada wujud implikatur beserta faktor-faktor penunjangterjadinya implikatur percakapan, sedangkan Novitasari lebih menitikberatkan kajian 
pada jenis, fungsi pragmatis, dan implikatur tuturan humor.
Anina (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Implikatur Percakapan 
dalam Wacana Humor Berbahasa Indonesia membahas implikatur percakapan yang 
ada dalam wacana humor berbahasa Indonesia. Adapun fokus permasalahan yang 
diangkat meliputi tiga hal yaitu, (1) wujud lingual yang mewadahi implikatur 
percakapan dalam wacana humor berbahasa Indonesia, (2) implikasi pragmatis dalam 
wacana humor berbahasa Indonesia, dan (3) fungsi implikatur percakapan dalam 
wacana humor berbahasa Indonesia. Data penelitian berupa humor tulis verbal 
berbahasa Indonesia dalam teks yang diambil dari tiga buah buku humor sebagai 
sumber data. Ketiga buku tersebut adalah (1) Lagi-Lagi Hua Ha Ha Ha (kumpulan 
humor kekuasaan, seks, militer, bisnis, neraka, percintaan, dan ratusan hua ha ha ha 
eksklusif lainnya) dihimpun dan disunting oleh Tim Hua Ha Ha Ha, (2) Humor 
Mahasiswa oleh James Danandjaja, dan (3) Humor Obat Stres 2 oleh Joginder Singh. 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wacana humor berbahasa Indonesia memiliki 
karakteristik wujud lingual implikatur percakapan, implikasi pragmatis implikatur 
percakapan, dan fungsi implikatur percakapan. Wujud lingual implikatur percakapan 
dalam wacana humor berbahasa Indonesia dapat berupa (1) kalimat deklaratif, (2) 
kalimat imperatif, dan (3) kalimat interogatif, (4) gabungan antara kalimat interogatif 
dengan deklaratif, (5) gabungan antara kalimat interogatif dengan kalimat imperatif, 
(6) gabungan antara kalimat deklaratif dengan kalimat imperatif, dan (7) gabungan 
antara kalimat deklaratif, interogatif, dan kalimat imperatif. Wujud lingual implikatur percakapan yang dibangun dengan kalimat deklaratif, kalimat imperatif, dan kalimat 
interogatif tersebut dimanfaatkan sebagai sumber kelucuan dalam wacana humor 
berbahasa Indonesia. Selain itu, implikasi pragmatis implikatur percakapan dalam 
wacana humor berbahasa Indonesia meliputi implikasi pragmatis yang menyatakan 
(1) penutur kurang memahami tuturan yang disampaikan oleh mitratutur, (2) penutur 
meminta pengertian mitratutur akan tuturan yang disampaikannya, (3) penutur 
mengelabuhi mitratutur, (4) penutur merasa senang, (5) penutur harus atau pasti 
melakukan pekerjaan yang dimaksudkan oleh penutur, dan (6) apa yang disampaikan 
penutur sesuai dengan yang sebenarnya terjadi. Dan fungsinya meliputi (1) 
menyindir, (2) menghibur, (3) memerintah, dan (4) mengejek.
Perbedaan penelitian Anina dengan peneliti ada pada data yang menjadi objek 
penelitian. Penelitian Anina menggunakan data berupa wacana humor tulis verbal 
berbahasa Indonesia, sedangkan peneliti menggunakan data berupa tuturan dalam 
wacana humor kartun. Anina memfokuskan kajian pada wujud lingual yang 
mewadahi implikatur percakapan dalam wacana humor berbahasa Indonesia, 
implikasi pragmatis dalam wacana humor berbahasa Indonesia, dan fungsi implikatur 
percakapan dalam wacana humor berbahasa Indonesia, sedangkan peneliti lebih 
memfokuskan kajian pada wujud implikatur percakapan dalam tuturan wacana kartun 
beserta faktor yang menjadi sumber implikatur percakapan dalam tuturan wacan 
kartun.Dari berbagai penelitian di atas, kajian implikatur percakapan pada tuturan 
dalm wacana kartun tampak masih sedikit sekali dilakukan. Penelitian tuturan dalam 
wacana kartun penting dilakukan karena wacana kartun sekarang ini berkembang 
pesat di masyarakat, di samping itu juga berguna memperkaya khazanah kajian 
pragmatik. Penelitian ini berusaha melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya 
dengan memanfatkan metode yang berbeda. 
2.2 Landasan Teoretis 
Dalam subbab ini diuraikan beberapa teori dan konsep yang digunakan 
sebagai landasan kerja penelitian. Teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian 
ini antara lain situasi tutur, implikatur percakapan, prinsip percakapan, wacana 
kartun, dan humor.
2.2.1 Situasi Tutur
Leech (dalam Wijana 1996:10-12) mengemukakan sejumlah aspek yang 
senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek yang 
disebut juga konteks situasi pertuturan tersebut adalah (1) penutur dan lawan tutur, 
(2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau 
aktivitas, (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. Secara singkat aspek-aspek 
tersebut dijelaskan berikut ini.1. Penutur dan Lawan Tutur 
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila 
tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang 
berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial 
ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dsb.
Tuturan, “Demonstrasi harus dilakukan” tidak jelas maksudnya tanpa diketahui 
penuturnya. Jika tuturan itu diekspresi oleh para mahasiswa reformis, maksud 
demonstrasi itu adalah unjuk rasa. Akan tetapi, jika penuturnya ibu-ibu yang 
berkecimpung di bidang tata boga, maksud tuturan itu adalah praktek pembuatan 
suatu jenis makanan atau masakan (Rustono 1999:22).
2. Konteks Tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik 
atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik 
lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting sosial disebut konteks. Di 
dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang 
pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan 
lawan tutur.
Sebagai contoh, maksud ekspresi, “Terima kasih, selamat jalan” sebagai rambu￾rambu lalu lintas di sebuah ujung jalan jelas karena didukung oleh ekspresi 
sebelumnya “Jalan pelan-pelan, banyak anak-anak!”. Maksud ekspresi pertama tidak 
akan dapat tertangkap jika ekspresi kedua tidak dikenali. Di dalam kasus itu ekspresi
kedua merupakan ko-teks bagi kejelasan maksud ekspresi pertama (Rustono 1999:20-
21).
3. Tujuan Tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh 
maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang 
bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau 
sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di 
dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (good 
oriented activities). 
Di dalam aneka peristiwa tutur, berbagai tuturan dapat diekspresi untuk 
menyatakan suatu tujuan. Untuk tujuan agar jendela dibuka, penutur dapat berkata, 
“Tolong bukakan jendela itu!”, “Enak ya, kalau jendela itu dibuka”, “Bagaimana 
kalau jendela itu dibuka?”, dst. Di pihak lain, bermacam-macam tuuran dapat 
dinyatakan dengan tuturan yang sama. Untuk tujuan menyatakan bahwa sekarang 
tidak belajar, atau besok libur ketika disuruh belajar oleh ibunya, seorang anak dapat 
mengekspresi tuturan yang sama, yaitu “Besok libur, Bu.” (Rustono 1999:29-30).
4. Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas.
Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, 
seperti kalimat dalam studi sintaksis,dsb., pragmatik berhubungan dengan tindak 
verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini pragmatik
menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih kongkret dibanding dengan tata 
bahasa. Tuturan sebagai entitas yang kongkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta 
waktu dan tempat pengutaraannya. 
Tindak tutur sebagai suatu tindakan tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit 
dan menendang. Hanya saja, bagian tubuh yang berperan berbeda. Pada tindakan 
mencubit tanganlah yang berperan, pada tindakan menendang kakilah yang berperan, 
sedangkan pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. Tangan, kaki, dan alat 
ucap adalah bagian tubuh manusia (Rustono 1999:30).
5. Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan 
dalam kriteria kekempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya tuturan 
yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Dalam hubungan ini dapat 
ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan 
(utterance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang 
diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu. 
Pragmatik adalah studi ilmu bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada 
konteks situasi tuturan yang ada di masyarakat dan wahana kebudayaan yang 
mewadahinya. Konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka macam 
kemungkinan latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang muncul dan 
dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun oleh mitra tutur, serta aspek-aspek nonkebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi 
hadirnya sebuah pertuturan tertentu (Rahardi 2003:18). Wijana (dalam Rahardi 
2003:19) menyatakan bahwa konteks yang semacam itu diebut juga konteks situasi 
pertuturan (speech situational context).
2.2.2 Implikatur Percakapan
Grice (dalam Wijana 1996:37-38) mengemukakan bahwa sebuah tuturan 
dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan 
bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). 
Karena implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, 
hubungan kedua proposisi itu bukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary 
consequence).
Grice (dalam Rustono 1999:83) membahas implikatur yang mencakupi 
pengembangan teori hubungan antara ekspresi, makna, makna penutur, dan implikasi 
suatu tuturan. Di dalam teorinya itu, ia membedakan tiga macam implikatur, yaitu 
implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional, dan praanggapan. Selanjutnya, 
implikatur nonkonvensional dikenal dengan nama implikatur percakapan. Selain 
ketiga macam implikatur itu, ia pun membedakan dua macam implikatur percakapan, 
yaitu implikatur percakapan khusus dan implikatur percakapan umum. Berdasarkan 
teori itu, Harnish (dalam Rustono 1999:83) membuat skema seperti berikut.Rustono (1999:82) mengemukakan implikatur percakapan yakni implikasi 
pragmatis yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya 
pelanggaran prinsip percakapan. Gunarwan (dalam Rustono 1999:86) menegaskan 
tiga hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan implikatur itu. Tiga hal tersebut 
adalah (1) implikatur itu tidaklah merupakan bagian tuturan, (2) implikatur itu 
bukanlah akibat logis tuturan, (3) mungkin saja sebuah tuturan memiliki lebih dari 
satu implikatur dan itu bergantung kepada konteksnyaRahardi (2003 85-86) mengemukakan, di dalam sosok implikatur, hubungan 
proposisi dengan tuturan-tuturan yang mengimplikasikannya itu tidak bersifat mutlak 
harus ada. Dengan tidak adanya hubungan maknawi yang secara nyata dan bersifat 
mutlak antara sebuah tuturan dengan sesuatu yang diimplikasikannya itu, maka 
sangat dimungkinkan bahwa sebuah tuturan akan memiliki implikatur makna yang 
bermacam-macam dan bisa tidak terbatas jumlahnya. Maka inferensi untuk dapat 
memahami maksud tuturan yang sesungguhnya itu harus didasarkan pada konteks 
situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut, dan pertimbangannya harus 
benar-benar cermat dan teliti. 
Zamzani (2007:32) mengemukakan, implikatur merupakan (a) segala sesuatu 
yang tersembunyi di balik penggunaan bahasa secara aktual dan nyata, (b) masalah 
makna tuturan, bukan makna kalimat, (c) implikasi pragmatik, (d) masalah 
bagaimana orang menggunakan bahasa, yang memiliki prinsip/dasar kerja sama, dan 
kesopanan.
Dari berbagai pandangan para ahli di atas, dapat disimpulkan implikatur 
adalah maksud atau pernyataan implikatif penutur yang disiratkan atau dimaksudkan 
oleh penutur. Maksud yang tersirat itu berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan 
oleh penutur.
2.2.2.1 Implikatur Menurut Fungsi Pragmatis Tersiratnya
Implikatur dapat berupa fungsi pragmatis tersirat, yaitu fungsi yang diacu 
secara implisit oleh maksud tuturan di dalam pemakaiannya untuk berkomunikasi antarpemakai bahasa (Rustono 2000:180). Mengikuti nama fungsi pragmatis 
berdasarkan nama lima jenis tindak tuturan sebagai hasil taksonomi Searle (dalam 
Rustono 2000:180), kategorisasi implikatur percakapan menurut fungsi pragmatis 
tersiratnya terbagi menjadi lima bentuk, yaitu:
a. Implikatur Representatif
Implikatur representatif yaitu implikatur yang menyatakan fungsi tersirat 
representatif, yaitu fungsi pragmatis yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas 
implikatur yang dikandung di dalam tuturannya.
Penggalan wacana humor berikut ini mengandung tuturan yang berimplikatur 
representatif dan berfungsi sebagai penunjang kelucuan.
(21) KONTEKS : PRAPTO, MAJIKAN TENI, SEDANG 
MEMPERMASALAHKAN GAJI PEMBANTUNYA 
ITU. TENI TERSENTAK KETIKA MAJIKANNYA 
BERKATA BAHWA GAJINYA AMAT BESAR.
 PRAPTO : O, gitu. Masak kamu kerja di sini sudah lama. Coba 
gajinya orang-orang itu. kerja di warung kayak sederhana 
ini paling dua ratus sudah tinggi. Kamu, masa empat juta. 
Kurang?
 TENI : Kapan saya terima empat juta?
Implikatur yang dikandung oleh tuturan teni akibat pelanggaran prinsip kerja 
sama bidal cara di dalam penggalan wacana (20) adalah implikatur representatif, 
yaitu menyatakan bahwa Teni tidak pernah mendapat gaji empat juta. Pernyataan 
implikatif Teni itu mengikatnya akan kebenaran apa yang diimplikasinya itu. Implikatur direktif yaitu implikatur yang menyatakan fungsi pragmatis tersirat 
direktif, yakni berupa implikatur yang dimaksudkan agar mitra tutur melakukan 
tindakan seperti yang disiratkan penutur dengan implikaturnya itu.
Di dalam penggalan wacana humor berikut ini terdapat tuturan yang 
berimplikatur direktif.
(22) KONTEKS : RINA BERTAMU DI RUMAH PEGI, AKAN TETAPI 
SUGUHANNYA BELUM JUGA DIKELUARKAN, 
PADAHAL PEMBANTU PEGI ADA.
 RINA : Ini pembantumu, ya?
 PEGI : Ya.
 RINA : Biasanya kalau pembantu, ada tamu minumnya 
dikeluarin.
(Sumber : Rustono 2000:182)
Tuturan Rina di dalam penggalan wacana (22) itu mengandung implikatur 
direktif yaitu menyuruh pembantu Pegi mengeluarkan minuman. Suruhan implikatif 
Rina itu dimaksudkan agar pembantu Pegi, mitra tuturnya, melakukan tindakan 
mengeluarkan minuman.
c. Implikatur Ekspresif
Implikatur ekspresif yaitu implikatur yang memiliki fungsi pragmatis tersirat 
ekspresif, yaitu fungsi pragmatis yang disiratkan dengan maksud agar implikaturnya 
diartikan sebagai bahan evaluasi tentang hal yang diimplikasikan dalam tuturannya.
Penggalan wacana humor berikut ini berisi tuturan yang berimplikatur 
ekspresif.(23) KONTEKS : PESANAN DALANG UNTUK PENTAS WAYANG 
PADA HARI ULANG TAHUN PERKAWINAN 
KABUL TELAH DATANG. KARENA TIDAK 
PANTAS SEBAGAI DALANG, KABUL PUN 
MENCOBA MENGGUGATNYA.
 KABUL : Dalang ini?
 RIBUT : Ya, dalang.
 KABUL : Coba, coba, coba!
 RIBUT : Bawa wayang.
 KABUL : Coba, coba! Waduh, dalang potongannya kayak 
ember bangunan gini. Maaf, maaf!.
(Sumber : Rustono 2000:184)
Implikatur yang dikandung oleh tuturan Kabul di dalam penggalan wacana 
(23) itu adalah implikatur ekspresif, yaitu menilai bahwa potongan dalang, mitra 
tuturnya dalam lakon humor itu, seperti ember bangunan. Pernyataan implikatif 
Kabul itu dimaksudkan sebagai evaluasi atas tampilan Ribut, mitra tuturnya. 
d. Implikatur Komisif
Implikatur komisif yaitu implikatur yang memiliki fungsi pragmatis tersirat 
komisif, yakni implikatur yang mengikat penuturnya untuk melakukan tindakan yang 
diimplikasikannya.
Di dalam penggalan wacana humor berikut ini terdapat tuturan yang 
berimplikatur komisif.
(24) KONTEKS : PELATIH TIDAK TERIMA ATAS KEKALAHAN 
PETINJUNYA. HAL ITU MENJADI BAHAN 
PERDEBATAN DAN OLOK-OLOK PROMOTOR.
 CAHYONO : Tinju sekarang begini.
 PRAPTO : Bapakmu tidak terima, sekarang Lu jadi pelatih. Bapak 
Lu jadi petinju jujur.
 CAHYONO : Untuk mengalahkan John Rocky, menang, satu juta 
dolar.Tuturan Cahyono, “Untuk mengalahkan John Rocky, menang, satu juta 
dolar.” di dalam penggalan wacana (24) itu mengandung impplikatur komisif, yaitu 
berjanji kepada mitra tuturnya di dalam lakon humor itu bahwa jika dapat 
mengalahkan John Rocky, mitra tuturnya akan memperoleh hadiah satu juta dolar. 
Pernyataan implikatif Cahyono yang timbul akibat pelanggaran prinsip kerja sama 
bidal cara itu dimaksudkan sebagai janji yang harus dipenuhi jika memang mitra 
tuturnya itu mampu mengalahkan John Rocky.
e. Implikatur Isbati,
Implikatur isbati yaitu implikatur yang memiliki fungsi pragmatis tersirat 
isbati, yaitu implikatur yang disiratkan penuturnya untuk menciptakan sesuatu yang 
diimplikasinya.
Penggalan wacana humor (25) berikut ini beisi tuturan yang mengandung 
implikatur isbati.
(25) KONTEKS : KETIKA AKRI MENGATUR PEMBAGIAN 
BANTUAN KORBAN BENCANA ALAM, ADA-ADA 
SAJA PERILAKU KORBAN YANG MENCARI 
KESEMPATAN DI DALAM KESEMPITAN. HAL ITU 
MEMBANGKITKAN KEWASPADAN AKRI.
 EKO : Oke, sebelah sana boleh, bawa satu.
 WARGA : Pak, buat saya satu lagi, ya!
 AKRI : Entar balik lagi bawa temen?
 WARGA : Makasih, Pak.
Di dalam penggalan wacana (25) itu, tuturan Akri, “Entar balik lagi bawa 
temen?” mengandung implikatur isbati karena melanggar prinsip kerja sama bidal 
cara, yaitu melarang mitra tuturnya kembali meminta bingkisan lagi. Pernyataan 
implikatif Akri itu dimaksudkan sebagai larangan kepada warga korban bencana 
alam, mitra tuturnya di dalam lakon humor itu, agar tidak minta bingkisan terus. 
Status baru akibat adanya implikatur isbati itu adalah tidak boleh minta lagi 
bingkisan, yang semula boleh minta terus. 
2.2.2.2 Wujud Implikatur Percakapan
Fungsi pragmatis tersirat yang diacu oleh maksud tuturan di dalam 
pemakaiannya untuk berkomunikasi antarpenutur di dalam suatu percakapan 
merupakan wujud implikatur percakapan (Rustono 2000:123). Keseluruhan fungsi 
pragmatis sebagai jabaran dari hasil taksonomi Searle (1969) atas jenis tindak tutur 
dapat dikategorisasi ke dalam lima kategori, yaitu (1) menyatakan, melaporkan, 
menunjukkan, menyebutkan; (2) menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, 
menantang; (3) memuji, mengucapkan terima kasih, mengritik, mengeluh; (4) 
berjanji, bersumpah, mengancam; dan (5) memutuskan, membatalkan, melarang, 
mengizinkan, memberikan maaf. Kelima kategori itu ditambah fungsi pragmatis lain 
yang dapat ditemukan sebagai akibat pelanggaran prinsip percakapan dapat menjadi 
implikatur percakapan jika kehadirannya tersirat di dalam suatu percakapan. Berikut 
ini deskripsi singkat atas wujud implikatur percakapan.
Menyatakan, Melaporkan, Menunjukkan, Menyebutkan
Implikatur percakapan menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan 
menyebutkan adalah fungsi pragmatis tersirat yang diacu oleh suatu tuturan dengan 
maksud menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan sesuatu (Rustono 
2000:123). Sebagai implikatur percakapan, maksud tuturan itu tidak diungkapkan 
secara eksplisit namun diekspresikan secara implisit. Ungkapan implisit yang 
mencakupi menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan itu terealisasi 
di dalam tuturan yang dinyatakan secara eksplisit dengan fungsi pragmatis tertentu.
Implikatur menyatakan terkandung dalam penggalan wacana di bawah ini.
(1) KONTEKS : PADA SUATU WAKTU PRAPTO DAN JOS 
BERCAKAP-CAKAP TENTANG SESUATU. DI 
DALAM PERCAKAPANNYA ITU PRAPTO INGIN 
MENGUJI KEMAHIRAN JOS DI DALAM 
BERBAHASA ASING.
PRAPTO : Jos, gini Jos, kamu saya lihat dari luar negeri.
JOS : Kenapa?
 PRAPTO : Pinter, pinter ngomong bahasa, bahasa Belanda, atau 
bahasa Inggris bisa?
JOS : Itu makanan saya sehari-hari.
(Sumber : Rustono 2000:124)
Tuturan Jos dalam penggalan wacana (1), “Itu makanan saya sehari-hari” 
merupakan tuturan representatif. Tuturan itu mengandung implikatur percakapan 
sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama bidal kualitas, yaitu 
menyatakan sesuatu yang tidak ada buktinya. Implikatur menyatakan itu memberikan 
konribusi terhadap kelucuan tuturan Jos.
Implikatur melaporkan terkandung dalam penggalan wacana di bawah ini.
KONTEKS : SUSI SEDANG MENYAMPAIKAN LAPORAN 
KEPADA KEDUA ORANG TUANYA, JUJUK DAN 
TARZAN BAHWA DIRINYA DIGODA OLEH MAMIK 
DAN BETET KETIKA BERBELANJA DI PASAR 
SWALAYAN.
 JUJUK : Polo, kamu itu gitu to.
 SUSI : Ini Pak, ini tadi kan kita belanja ke supermarket. Ini dua 
ondel-ondel ini godain kita terus. Ngejar-ngejar, megang￾megang!
 TARZAN : Brontak, banyak kalau kamu nggak mampu berbuat sesuatu 
kamu minta tolong, berteriak …
(Sumber: Rustono 2000:125)
Tuturan Susi dalam penggalan wacana (2) “Ini dua ondel-ondel ini godain 
kita terus.” Termasuk tuturan representatif. Tuturan tersebut mengandung implikatur 
percakapan akibat pelanggaran prinsip kerja sama bidal kualitas. Implikatur yang 
dikandung tuturan tersebut adalah melaporkan dan berfungsi sebagai penunjang 
humor. Alasannya adalah bahwa tindakan melaporkan yang tersirat itu berlebih￾lebihan; lebih-lebih tuturan yang berimplikatur itu berisi kata-kata yang kurang pada 
tempatnya.
Implikatur menunjukkan terkandung dalam penggalan wacana berikut ini.
(3) KONTEKS : DUA PEMBANTU DI RUMAH PEGI, TIMBUL DAN 
NURBUAT, SEDANG TERLIBAT PERDEBATAN 
TENTANG BAHASA BANYUMAS YANG KONYOL.
 NURBUAT : Coba tak Tanya.
 TIMBUL : Oke.
 NURBUAT : Mbul?
 TIMBUL : Apa?
 NURBUAT : Bapakmu Ana?
 TIMBUL : Ana.
 NURBUAT : Ibumu?
 TIMBUL : Ana.
 NURBUAT : Pamanmu?
 TIMBUL : Ana.
 NURBUAT : Bibimu?
TIMBUL : Ana.
 NURBUAT : Putumu?
 TIMBUL : Ana.
 NURBUAT : Lha anak semua. Semua anak, kan? Ya kan?
(Sumber: Rustono 2000 126-127)
Tuturan Nurbuat pada penggalan wacana (3) adalah tuturan direktif karena 
dimaksudkan penuturnya agar mitra tuturnya melakukan tindakan menjawab 
pertanyaan itu. Tuturan itu mengandung implikatur percakapan yaitu menunjukkan. 
Implikatur itu timbul karena pelanggaran prinsip kerja sama bidal kualitas. 
Implikatur menyebutkan terkandung di dalam penggalan wacan humor berikut
ini.
(4) KONTEKS : PADA SUATU KETIKA PRAPTO BERKUNJUNG KE 
RUMAH MEMET. KARENA TIDAK MEMAKAI 
KACAMATA, MEMET TIDAK LEKAS MENGENALI 
TEMANNYA ITU.
 PRAPTO : Duduk yang baik!
 MEMET : Sakit mata, ya? Tolong dong, he siapa namanya?
 PRAPTO : Sapi.
 MEMET : Siapa?
 PRAPTO : Sapi. Nama saya Prapto.
(Sumber: Rustono 2000:128)
Tuturan Prapto, “Sapi.” Di dalam penggalan wacana (4) mengandung 
implikatur percakapan karena melanggar prinsip kerja sama bidal kualitas. Implikatur 
yang dikandung tuturan itu adalah menyebutkan dan memiliki fungsi sebagai 
penunjang humor. Alasannya adalah bahwa tindakan menyebutkan yang tersirat itu 
menunjukkan kemarahan; lebih-lebih tuturan yang berimplikatur itu diujarkan dengan 
nada tinggi.
Menyuruh, Memohon, Menuntut, Menyarankan, Menantang
Tuturan dapat mengandung implikatur percakapan menyuruh, memohon, 
menuntut, menyarankan, dan menantang yang berupa fungsi pragmatis tersirat yang 
diacu oleh suatu tuturan di dalam percakapan dengan maksud menyuruh, memohon, 
menuntut, menyarankan, dan menantang mitra tuturnya (Rustono 2000:129). Sebagai 
implikatur percakapan, tindakan-tindakan itu tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi 
diekspresi secara implisit di dalam tindakan-tindakan yang dinyatakan secara eksplisit 
dengan fungsi pragmatis tertentu.
Impikatur percakapan menyuruh terkandung dalam penggalan wacana di 
bawah ini.
(5) KONTEKS : KETIKA KAFETARIA PRINGGONDANI DIBUKA 
PARA PEGAWAINYA SIBUK, AKAN TETAPI, MIING 
MALAH BERLATIH MENDALANG. HAL ITU 
MENJADIKAN IPEH, KARYAWAN LAIN, KESAL.
MIING : Bumi gonjang-ganjing, langit kelab-kelab. Ka … ton 
bagaskara. Gunung Jati ada di Cirebon. Gunung Sahadiraka 
jalannya. Artinya, artinya Cirebon jauh? Gunung Sahari 
deket kali, ye? Aku ngidung, bangga atas diriku sendiri 
walaupun ngaco, tapi nggak apa-apa mumpung tamu sepi, 
kagak ada orang.
IPEH : Aduh Abang, lainnya asyik-asyikan kerja lu malah 
nyanyi.
MIING : Malah nyanyi! Mana, kagak. Mana, kagak nyanyi.
(Sumber: Rustono 2000:130)
Tuturan Ipeh dalam penggalan wacana (2) “Aduh Abang, lainnya asyik￾asyikan kerja lu malah nyanyi.” Mengandung implikatur percakapan sebagai akibat 
pelanggaran prinsip kerja sama bidal kualitas. Implikatur percakapan yang dikandung 
tuturan Ipeh itu adalah menyuruh, yaitu menyuruh Miing, mitra tuturnya untuk
bekerja. Adanya implikatur menyuruh itu justru menyebabkan tuturan Ipeh itu 
menunjang kelucuan. Implikatur itu berfungsi menunjang humor karena mengejutkan 
mitra tuturnya. Miing terkejut karena Ipeh justru menyuruhnya bekerja bukan memuji 
kehebatannya mendalang.
Implikatur memohon terkandung di dalam penggalan wacana berikut ini.
(6) KONTEKS : MENJELANG KEDATANGAN AYAHNYA, POLO 
MINTA TOLONG KEPADA TIMBUL AGAR 
MENCARI WANITA UNTUK MENJADI 
PENDAMPINGNYA. TIMBUL MENCOBA 
MENANYAKAN UPAH ATAS JASA YANG AKAN 
DILAKUKANNYA ITU.
 POLO : Ya, jangan sampai no! Kamu kan tahu aturannya orang 
datang dari Solo terus langsung naik pesawat.
 TIMBUL : Tapi, ya?
 POLO : Aku sudah akan berangkat.
 TIMBUL : Ndak dikasih duit?
(Sumber: Rustono 2000:131)
Tuturan Timbul, “Ndak dikasih duit?” dalam penggalan wacana (6) 
mengandung implikatur percakapan akibat pelanggaran prinsip kerja sama bidal cara. 
Implikatur yang dikandung tuturan itu adalah memohon dan berfungsi sebagai 
penunjang humor. Alasannya adalah bahwa tindakan memohon atau meminta uang 
yang tersirat itu kekanak-kanakan.
Implikatur menuntut terkandung di dalam penggalan wacana humor berikut 
7) KONTEKS : KEDATANGAN PRAPTO DI RUMAH PACARNYA, 
SUSI, DISERTAI DENGAN PERUBAHAN SIKAP. HAL 
ITU MENGEJUTKAN SUSI.
 SUSI : Prap, kok kamu nggak cium keningku Prap?
 PRAPTO : Cium, dikira aku bebek apa?
 SUSI : Prapto nggak biasanya deh kaya gini.
(Sumber: Rustono 2000:132)
Tuturan Susi di dalam penggalan wacana (7), “Prap, kok kamu nggak cium 
keningku Prap?” mengandung implikatur percakapan yaitu menuntut Prapto untuk 
mencium keningnya. Implikatur itu timbul akibat pelanggaran prinip kerja sama bidal 
cara. Adanya implikatur menuntut itu menunjang humor. Implikatur itu terasa 
berlebihan meskipun di dalam kondisi wajar tuntutan itu justru menyenangkan orang 
yang dituntutnya, Prapto.
Implikatur menyarankan terkandung di dalam penggalan wacana humor 
berikut ini.
(8) KONTEKS : GOGON DATANG KE RUMAH DUKUN ASMUNI
HENDAK MINTA TOLONG AGAR IA DAPAT 
BERCERAI DARI ISTRINYA.
 GOGON : Ya, padahal istri saya cakep, supaya cerai bagaimana?
 ASMUNI : Perbuatan cerai itu sebetulnya juga diridoi sama 
Tuhan, tapi paling dibenci Allah.
(Sumber: Rustono 2000:133)
Tuturan Asmuni, “Perbuatan cerai itu sebetulnya juga diridoi sama 
Tuhan, tapi paling dibenci Allah.” Mengandung implikatur percakapan yang timbul 
sebagai akibat pelanggaran prinsip kerja sama bidal cara. Implikatur yang dikandung 
tuturan itu adalah menyarankan, yaitu menyarankan agara Gogon tidak bercerai dari 
istrinya. Implikatur itu berfungsi sebagai penunjang humor. Alasannya bahwa 
tindakan Asmuni menyarankan secara tersirat itu mengejutkan mitra tuturnya, Gogon.Padahal Gogon amat berharap Asmuni dapat menolongnya agar dapat bercerai dari 
istrinya.
Implikatur menantang terkandung di dalam penggalan wacana humor berikut 
ini.
(9) KONTEKS : EKO DAN YETI (SUAMI ISTRI) DATANG KE RUMAH 
DUKUN ASMUNI DENGAN MEMBAWA TUKANG 
PUKUL. DUKUN ASMUNI MELIHAT GELAGAT 
AKAN TERJADINYA MAIN HAKIM SENDIRI 
TERHADAP TARZAN (YANG SUKA MENGGANGGU 
YETI) YANG JUGA BERADA DI RUMAHNYA.
 YETI : Oh, Embah berani sama tukang pukul saya? 
 ASMUNI : E, lho.
 EKO : Apa itu?
 YETI : Apa itu?
 EKO : Jurus apa itu?
 ASMUNI : Sudah sini! Sana panggil tukang pukulmu, suruh lawan 
saya!
 YETI : Berani Embah sama tukang pukulku?
(Sumber: Rustono 2000:134-135)
Tuturan Asmuni dalam penggalan wacana humor (9), “Sana panggil tukang 
pukulmu, suruh lawan saya!” mengandung implikatur percakapan sebagai akibat 
melanggar prinsip kerja sama bidal cara. Implikatur percakapan yang dikandung 
tuturan itu adalah menantang, yaitu menantang tukang pukul Yeti. Implikatur itu 
berfungsi menunjang kelucuan tuturan Asmuni di dalam penggalan wacana itu karena 
mengejutkan mitra tuturnya.
2.2.2.2.3 Memuji, Berterima kasih, Mengritik, Mengeluh
Implikatur percakapan memuji, berterima kasih, mengritik, dan mengeluh
adalah fungsi pragmatis tersirat yang diacu oleh suatu tuturan dengan maksud memuji, berterima kasih, mengritik, dan mengeluh (Rustono 2000:136). Sebagai 
implikatur percakapan, tindakan-tindakan itu tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi 
diekspresi secara implisit.
Implikatur memuji terkandung dalam penggalan wacana di bawah ini.
(10) KONTEKS : DUKUN ASMUNI DAPAT MENYEBUT NAMA 
ORANG YANG BARU DIKENALNYA. HAL ITU 
MEMBUAT HERAN ORANG-ORANG YANG 
HENDAK MINTA PERTOLONGAN KEPADANYA.
ASMUNI : Ini Bu Mia?
NURBUAT : He, eh.
ASMUNI : Kalau ini, … Bambang Gentolet.
BAMBANG : Kok, Eyang tahu? Kok, Eyang tahu?
ASMUNI : He … eh. Ini Bu Mia, ini Bambang Gentolet … dan yang 
baru datang ini, kalau tidak salah Gogon Margono.
(Sumber: Rustono 2000:136)
Tuturan Bambang di dalam penggalan wacana (3) “ Kok, Eyang tahu? Kok, 
Eyang tahu?” mengandung implikatur percakapan karena melanggar prinsip kerja 
sama bidal cara. Implikatur percakapan yang dikandung tuturan Bambang itu adalah 
memuji, yaitu memuji kehebatan Asmuni (Eyang Dukun) yang dapat mengetahui 
nama-nama orang yang baru dikenalnya. Implikatur memuji itu menunjang kelucuan 
tuturan Bambang karena menunjukkan keheranan Bambang. Situasi tutur yang 
mendukung kelucuan tuturan itu adalah bahwa nama-nama orang yang baru 
dikenalnya itu tidak lain teman-teman Asmuni dalam kelompok lawak Srimulat.
Implikatur berterima kasih terkandung di dalam penggalan wacana humor 
berikut ini.(11) KONTEKS : KEDUA PEMBANTU TARZAN, POLO DAN BASUKI, 
KEDAPATAN SEDANG MEMPERGUNJINGKANNYA. 
PERISTIWA ITU MEMBUAT TARZAN BERSIKAP 
LAIN DARI BIASANYA.
 TARZAN : Beritamu itu kok menggembirakan. Saya bangga punya 
pembantu seperti kamu. Kalau itu tidak mimpi kamu 
berarti beneran. Ah, alangkah bahagianya di rumah ini 
termasuk ada pemberani seperti kamu. Dengan 
keberanianmu aku akan memberi hadiah sama kamu.
(Sumber: Rustono 2000:138)
Tuturan Tarzan, “Dengan keberanianmu aku akan memberi hadiah sama 
kamu” dalam penggalan wacana (11) mengandung implikatur berterima kasih
sebagai akibat pelanggaran prinsip kerja sama bidal cara. Implikatur itu berfungsi 
ebagai penunjang humor. Alasannya adalah bahwa tindakan berterima kasih yang 
tersirat itu sebenarnya membombong.
Implikatur mengritik terkandung di dalam penggalan wacana humor berikut 
ini. 
(12) KONTEKS : PARTO YANG HENDAK BERKEMAH KETIKA 
TERJADI BENCANA ALAM MENDAPAT 
HAMBATAN DARI EKO. PERDEBATAN DI ANTARA 
KEDUANYA PUN TERJADI.
 EKO : Katanya anak-anak Jakarta sering ribut?
 PARTO : Kata siapa?
 EKO : Lha, saya baca koran.
 PARTO : Percaya koran atau sama kejadian?
 EKO : Lha yang bener yang mana?
(Sumber: Rustono 2000:139)
Tuturan Parto di dalam penggalan wacana (12), “Percaya koran atau sama 
kejadian?” mengandung implikatur percakapan yang timbul sebagai akibat 
pelanggaran prinsip kerja sama bidal cara. Implikatur tuturan itu adalah mengritik, 
yang ditujukan kepada Eko (juga pihak lain) yang lebih mempercayai koran daripada kejadian yang sesungguhnya. Implikatur mengritik itu telah menunjang kelucuan 
tuturan Parto karena menyinggung perasaan Eko, mitra tuturnya.
Implikatur mengeluh terkandung di dalam penggalan wacana humor berikut
ini. 
(13) KONTEKS : KETIKA PARTO YANG AKAN MENONTON 
BERSAMA PACARNYA TERLALU LAMA PARKIR, 
PACARNYA KESAL. PERDEBATAN PUN TERJADI.
 PARTO : Gue tungguin di tempat parkir, lu. Muter-muter gue, tak 
goletin.
 GADIS : Kelamaan!
 PARTO : Ya aku kan parkirnya ndingin.
 GADIS : Sampai jamuran gue nungguinnya.
(Sumber : Rustono 2000:140)
Tuturan tokoh gadis (pacar Parto), “Sampai jamuran gue nungguinnya.” 
mengandung implikatur percakapan karena melanggar prinsip kerja sama bidal 
kualitas. Implikatur yang dikandung tuturan itu adalah mengeluh, yaitu mengeluh atas 
terlalu lamanya Parto memarkir kendaraan. Implikatur itu berfungsi menunjang 
humor. Alasannya adalah bahwa tindakan mengeluh secara tersirat itu membuat salah 
paham Parto, mitra tuturnya, karena Parto juga ternyata telah lama pula menunggunya 
di tempat lain.
2.2.2.2.4 Berjanji, Bersumpah, Mengancam
Di dalam suatu peristiwa tutur percakapan, tuturan dapat mengandung 
implikatur percakapan berjanji, bersumpah, dan mengancam yang berupa fungsi 
pragmatis tersirat yang diacu oleh suatu tuturan dengan maksud berjanji, bersumpah, 
dan mengancam (Rustono 2000:141). Sebagai implikatur percakapan, tindakan itu tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi diekspresi secara implisit di dalam sejumlah 
tuturan dengan fungsi pragmatis tertentu.
Implikatur percakapan berjanji terkandung di dalam penggalan wacana 
berikut ini.
(14) KONTEKS : KARENA TIMBUL MENYENANGI ANAK 
MAJIKANNYA, PEGI, NURBUAT 
MENGINGATKANNYA. KEDUA PEMBANTU ITU 
PUN BERDEBAT.
NURBUAT : Kamu jangan gitu, Mbul. Memalukan lho, Mbul?
TIMBUL : Kalau saya dapat Jeng Pegi, kamu ndak jadi pelayan.
(sumber: Rustono 2000:142)
Tuturan Timbul dalam penggalan wacana (4), “Kalau saya dapat Jeng Pegi, 
kamu ndak jadi pelayan.” mengandung implikatur percakapan karena melanggar 
prinsip kerja sama bidal cara. Implikatur percakapan yang dikandung tuturan Timbul 
adalah berjanji, yaitu Timbul berjanji kepada Nurbuat bahwa jika dirinya 
mendapatkan Pegi, Nurbuat tidak akan jadi pelayan lagi. Implikatur berjanji itu 
mendukung kelucuan karena berlebihan. Di balik itu, situasi tutur yang mendukung 
tuturan itu adalah bahwa kedua pelaku percakapan itu sama-sama pelayan.
Implikatur percakapan bersumpah terkandung di dalam penggalan wacana 
berikut ini.
(14) KONTEKS : TIMBUL MENGHADAPI PARA PENAGIHNYA 
DENGAN JANJI-JANJI. MESKIPUN DEMIKIAN 
MEREKA TIDAK PERCAYA BEGITU SAJA. UNTUK 
ITU TIMBUL MEMBERIKAN KETEGASAN.
 TESI : Pakai duit? Sumpah?
 TIMBUL : Sumpah!
 TESI : Sekarang sumpah sama aku.
 TIMBUL : Saya putra putri Indonesia e…
 YETTY : Keliru, Mas!
 TIMBUL : Lha, iku sumpah. Sumpah Pemuda. Pokoknya besok 
Mbak Tesi, Bu Jujuk, dan Mas Prapto datang lunas.
 POLO : Saya ikut bertanggung jawab.
(Sumber : Rustono 2000:143)
Tuturan Timbul, “Pokoknya besok Mbak Tesi, Bu Jujuk, dan Mas Prapto 
datang lunas.” mengandung implikatur tuturan sebagai akibat pelanggaran prinsip 
kerja sama bidal cara. Implikatur yang dikandung tuturan itu adalah bersumpah dan 
berfungsi sebagai penunjang humor. Alasannya bahwa tindakan bersumpah yang 
tersirat itu, sebenarnya mustahil terlaksana mengingat kondisi perdagangan Timbul 
yang hancur.
Implikatur percakapan mengancam terkandung di dalam penggalan wacana 
berikut ini.
(15) KONTEKS : JOJON KEWALAHAN MENGHADAPI BEKAS 
KEKASIHNYA, LILI, YANG TERUS MINTA 
DINIKAH. UNTUK MEREDAM DESAKAN ITU, IA 
MENGUMPAT. 
 LILI : Eh, eh Kang nanti datang, ya! Ntar undangannya yang 
bagus, kaya kupu-kupu.
 JOJON : Li, Li, sedang apa?
 LILI : Abang jangan lupa nyiurnya! Daun melambai dan daun 
ketupat.
 JOJON : E perempuan, kamu udah pernah dicekek belum sih?
Kok susah amat diaturnya.
Tuturan Jojon dalam penggalan wacana (15), “E perempuan, kamu udah 
pernah dicekek belum sih?” mengandung implikatur percakapan karena melanggar 
prinsip kerja sama bidal cara. Implikatur yang terkandung adalah mengancam. 
Implikatur tersebut juga berfungsi menunjang humor. Alasannya tuturan Jojon itu 
terkesan berlebih-lebihan dan semena-mena.
2.2.2.2.5 Memutuskan, Membatalkan, Melarang, Mengizinkan, Memberikan 
Maaf
Impikatur percakapan memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, 
dan memberikan maaf adalah implikasi pragmatis tersirat yang diacu oleh suatu 
tuturan dengan maksud memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan 
memberikan maaf (Rustono 2000:146). Sebagai implikatur percakapan, tindakan itu 
tidak dituturkan, tetapi dinyatakan secara implisit di dalam tindakan yang dinyatakan 
secara eksplisit dengan fungsi pragmatis tertentu.
Implikatur percakapan memutuskan terkandung di dalam penggalan wacana 
berikut ini.
(16) KONTEKS : KEINGINAN TARZAN UNTUK MEMPERSUNTING 
NUNUNG, GADIS DESA, MENDAPAT 
TANTANGAN DARI KEDUA ISTRINYA, SUSI DAN 
MURTI. PERDEBATAN PUN TAK TERELAKKAN.
 MURTI : Gini lho, Mas. Kalau musti dimadu saya nggak apa-apa. 
Tapi jangan yang itu! Itu nggak level.
 SUSI : Wanita itu untuk memperbaiki keturunan. Ya, kan?
 NUNUNG : Kurang ajar.
 TARZAN : Oke Sus, jadi kalau kamu nggak setuju, boleh kamu 
tinggalkan rumah ini. Urusan lain dibicarakan besok.
Tuturan Tarzan, “Oke Sus, jadi kalau kamu nggak setuju, boleh kamu 
tinggalkan rumah ini.” mengandung implikatur percakapan memutuskan sebagai 
akibat pelanggaran prinsip kerja sama bidal cara. Implikatur itu menunjang kelucuan 
tuturan itu karena terasa terlalu terburu-buru. Hanya karena ada gadis desa yang 
datang, istri diputus begitu saja lalu diusir secara halus agar meninggalkan rumah 
tempat tinggalnya. 
Implikatur percakapan membatalkan terkandung di dalam penggalan wacana 
berikut ini.
(17) KONTEKS : AKRI, PETUGAS KEBERSIHAN DI SEBUAH 
GEDUNG BIOSKOP MENARUH HATI KEPADA 
KARYAWAN BAGIAN KARCIS. SUATU HAL 
MENJADI KENDALA CINTANYA ITU.
 AKRI : Hallo, saya sebetulnya sudah lama lho menaruh perhatian 
sama kamu. Cuman karena sepertinya jarak 
memisahkan kita. Hah, bisa diangkat, jangan terlalu 
menantang ah! Rasanya belum apa-apa sudah terasa 
rindu.
(Sumber : Rustono 2000:147-148)
Tuturan Akri dalam penggalan wacana (17), “Cuman karena sepertinya 
jarak memisahkan kita.” mengandung implikatur percakapan akibat melanggar 
prinsip kerja sama bidal cara. Implikatur yang dikandung tuuran itu adalah 
membatalkan dan berfungsi sebagai penunjang humor. Alasannya adalah tindakan 
membatalkan yang dilakukan secara tersirat itu terkesan pelakunya mudah putus asa.
Implikatur percakapan melarang terkandung di dalam penggalan wacana 
berikut ini.
18) KONTEKS : SUATU KETIKA KIRUN KEDATANGAN TAMU 
SEORANG BAPAK YANG MENGAKU ORANG 
TUANYA. IA MARAH KARENANYA.
TAMU : Waduh, kamu sudah kaya. Lama enggak ketemu dengan 
Bapak. Sudah beda, Run.
KIRUN : Siapa yang suruh duduk di atas?
(Sumber : Rustono 2000:149)
Tuturan Kirun dalam penggalan wacana (5), “Siapa yang suruh duduk di 
atas?” mengandung implikatur percakapan karena melanggar prinsip kerja sama 
bidal cara. Implikatur yang dikandung oleh tuturan Kirun itu adalah melarang, yaitu 
melarang tamunya duduk di kursinya. Implikatur itu berfungsi sebagai penunjang 
humor karena tidak lazim tuan rumah melarang tamunya duduk di atas kursi, lebih￾lebih tamu itu adalah seorang bapak yang mengaku ayahnya.
Implikatur percakapan mengizinkan terkandung di dalam penggalan wacana 
berikut ini.
(19) KONTEKS : MUNCULNYA DUA WANITA YANG HENDAK 
DIPERKENALKAN KEPADA AYAHNYA, 
MEMBUAT POLO BINGUNG. IA MINTA MAAF 
ATAS KEJADIAN YANG TIDAK TERDUGA ITU.
 POLO : Rama, maafkan Polo, Rama!
 TARZAN : Memang! Kalau memang Polo menghendaki punya 
istri dua, Bapak mungkin tidak melarang asalkan 
Polo adil.
(Sumber : Rustono 2000:150)
Tuturan Tarzan, “Kalau memang Polo menghendaki punya istri dua, 
Bapak mungkin tidak melarang asalkan Polo adil.” dalam penggalan wacana (19) 
mengandung implikatur percakapan. Implikatur yang timbul akibat pelanggaran 
prinsip kerja sama bidal cara itu adalah mengizinkan, yaitu mengizinkan Polo beristri 
dua. Implikatur itu berfungsi menunjang kelucuan. Alasannya adalah bahwa tindakan
Tarzan mengizinkan secara tersirat itu membuat Polo, mitra tuturnya, ketakutan 
karena memang hal itu tidak dikehendakinya, lebih-lebih satu dari dua calon istrinya 
itu wanita tapi laki-laki (yang kemudian menjadi judul lakon ini).
Implikatur memberikan maaf terkandung di dalam penggalan wacan humor 
berikut ini.
(20) KONTEKS : PERDEBATAN ANTARA TARZAN DAN KEDIUA 
ISTRINYA TERJADI AKIBAT TARZAN HENDAK 
MENIKAH LAGI. KARENA SUATU HAL, SEORANG 
ISTRINYA (MURTI) TERPAKSA MENGUBAH 
SIKAP.
 MURTI : Lho, gitu ya Mas, tega ya, Mas.
 SUSI : Lho, kok tega. Habis manis sepah dibuang.
 TARZAN : Makanya jadi wanita yang nrima ing pandum.
 SUSI : Gimana, saya sudah sabar. Istri sudah punya dua. 
Sekarang mau istri lagi, emang saya nggak sabar nih, 
Mas?
 MURTI : Gini lho, Mas. Kalau musti dimadu saya nggak apa￾apa. Tapi jangan yang itu! Itu nggak level!
(Sumber : Rustono 2000:151)
Tuturan Murti di dalam penggalan wacana (20), “Kalau musti dimadu saya 
nggak apa-apa.” mengandung implikatur percakapan sebagai akibat pelanggaran 
prinsip kerja sama bidal cara. Implikatur percakapan yang dikandung tuturan itu 
adalah memberikan maaf, yaitu memberikan maaf kepada Tarzan seandainya dirinya 
dimadu. Implikatur itu ternyata berfungsi menunjang humor karena tindakan 
terselubung itu tak terduga mitra tuturnya, lebih-lebih calon madunya itu wanita desa 
yang tidak pantas dijadikan istri baru bagi Tarzan. Selain itu, lazimnya si istri lebih 
baik memilih bercerai daripada dimadu.
Implikatur percakapan timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip 
percakapan. Dengan pernyataan lain bahwa sumber impliktur percakapan itu 
pelanggaran prinsip percakapan (Rustono 1999:87). Prinsip percakapan mencakup 
dua hal yakni prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. 
Rustono (2000:191) mengemukakan, di dalam pembahasan tentang 
komunikasi antarpemakai bahasa pun, keeratan hubungan antara konsep implikatur 
dan prinsip kerja sama menjadi topik penting. Implikatur percakapan yang dapat 
merupakan hasil inferensi dari adanya pelanggaran prinsip kerja sama menjadi dasar 
pentingnya pembahasan kedua hal tersebut. Pembicaraan tentang implikatur 
percakapan tanpa mengaitkannya dengan prinsip kerja sama tentulah menjadi kurang 
bermakna. 
Zamzani (2007:30-31) mengemukakan, implikatur terkait dengan teori tentang 
bagaimana orang menggunakan bahasa, yang oleh Grice dinyatakan ada empat aturan 
percakapan atau empat maksim yang secara umum dipandang sebagai prinsip/dasar 
kerja sama. Keempat hal tersebut adalah maksim kuantitas, kualitas, hubungan, dan 
cara. Selain itu, masih ada dasar yang lain yang dapat dipandang sebagai pelengkap 
prinsip kerja sama yaitu kesopanan. Kesopanan berkaitan dengan masalah 
kebudayaan (aturan sosial atau moral) sehingga mau tidak mau masalah kebudayaan 
memiliki pengaruh terhadap implikatur yang dihasilkan tuturan tertentu.Prinsip percakapan (conversational principle) adalah prinsip yang mengatur 
mekanisme percakapan antarpesertanya agar dapat bercakap-cakap secara kooperatif 
dan santun (Rustono 1999:55). Kerja sama diartikan dengan keterlibatan membentuk 
suatu percakapan lengkap dengan unsur-unsur yang dibutuhkannya baik dalam 
bentuk bahasa turunan maupun unsur pendukung bahasa (Syamsuddin dalam 
Novitasari 2006:32). 
2.2.3.1 Prinsip Kerja Sama
Prinsip kerja sama harus dilakukan antara penutur dan mitra tutur dalam 
sebuah percakapan. Hal itu dimaksudkan agar proses komunikasi berjalan lancar. 
Prinsip ini mengatur apa yang harus dilakukan pesertanya agar percakapan itu 
terdengar koheren. Penutur yang tidak memberikan kontribusi terhadap koherensi 
percakapan sama dengan tidak mengikuti prinsip kerja sama (Rustono 1999:57)
Kridalaksana (2008:199) mengemukakan prinsip kerja sama (co-operative 
principle) adalah persetujuan tersirat di antara penutur bahasa untuk mengikuti 
seperangkat konvensi yang sama dalam berkomunikasi.
Grice dalam Rustono (2000:44) mengemukakan prinsip kerja sama yang 
berbunyi, ”Make your conversational contribution such as required, at the stage at 
which it occur, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which 
you are engaged!” (Buatlah sumbangan percakapan Anda seperti yang diinginkan 
pada saat berbicara, berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang Anda ikuti!). Selanjutnya, prinsip ini dijabarkan ke dalam 
empat bidal – istilah Gunarwan (dalam Rustono 2000:44) untuk maxim. Empat bidal 
Grice beserta sub-subbidalnya adalah bidal kuantitas (maxim of quantity), bidal 
kualitas (maxim of quality), bidal relevansi (maxim of relevance), dan bidal cara 
(maxim of manner). Berikut ini adalah penjelasan mengenai bidal-bidal prinsip kerja 
sama.
a. Bidal Kuantitas
Leech (1993:11) menjelaskan bidal kuantitas pada hakikatnya peserta 
percakapan harus memberikan informasi yang tepat dalam peristiwa tutur. Bidal 
kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang 
secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya (Wijana 1996:46). 
Bidal ini berprinsip bahwa informasi yang diberikan harus seinformatif yang 
dibutuhkan dan jangan melebihi yang dibutuhkan.
Kuantitas menyangkut jumlah kontribusi terhadap koherensi percakapan. 
Bidal ini mengarahkan kontribusi yang cukup memadai dari seorang penutur dan 
petutur di dalam suatu percakapan. Tuturan (1) tentu dipilih penutur di dalam 
percakapan yang wajar daripada tuturan (2).Hal itu terjadi karena percakapan yang wajar hanya membutuhkan kontribusi 
seperti yang terdapat di dalam tuturan (1). Tuturan (2) memberikan kontribusi yang 
berlewah ke dalam percakapan yang wajar. Kontribusi yang demikian tidak sejalan 
dengan prinsip kerja sama bidal kuantitas (Rustono 1999:58-59).
Levinson dalam Cummings (2007:15) mengemukakan, prinsip maksim (bidal)
kuantitas adalah sebagai berikut:
(i) Berikan kontribusi anda sebagai kontribusi yang dapat memberikan 
informasi sebagaimana yang diperlukan untuk tujuan-tujuan pertukaran 
percakapan yang ada
(ii) Jangan memberikan kontribusi yang lebih informatif dari yang diperlukan.
b. Bidal Kualitas
Bidal kualitas menurut Leech (1993:11) berprinsip informasi yang diberikan 
harus benar. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Wijana (1996:48) yang 
menyatakan bidal percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan 
hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada 
bukti-bukti yang memadai. Bidal kualitas memiliki prinsip jangan mengatakan 
sesuatu yang diyakini tidak benar dan jangan mengatakan sesuatu yang bukti 
kebenarannya kurang meyakinkan atau kurang sahih.
Bidal kualitas berisi nasehat untuk memberikan kontribusi yang benar dengan 
bukti-bukti tertentu. Dua jabaran bidal ini adalah “Jangan mengatakan sesuatu yang 
anda tidak mempunyai buktinya!”, kedua subbidal itu mengharuskan peserta percakapan mengatakan hal yang benar. Atas dasar dua subbidal itu pula, penutur 
hendaknya mendasarkan tuturannya pada bukti-bukti yang memadai.
Tuturan (3) berikut bersifat kooperatif karena memenuhi bidal kualitas.
(3) Peringatan Pertempuran Lima Hari di Semarang diselenggarakan di 
pelataran Tugu Muda.
Tuturan (3) tersebut secara kualitatif benar karena memang penuturnya 
meyakininya dan memiliki bukti yang cukup memadai tentang pelaksanaan 
peringatan itu. Bukti yang memadai tentang tuturan (3) itu misalnya penutur 
menyaksikan berlangsungnya peristiwa itu di layar televisi (Rustono 1999:60).
Sementara itu, Levinson (dalam Cummings 2007:15) mengemukakan, prinsip 
maksim (bidal) kualitas adalah “Usahakan memberikan kontribusi yang benar.”, 
khususnya:
(i) tidak mengatakan apa yang anda yakini salah
(ii) tidak mengatakan sesuatu yang buktinya tidak anda miliki secara 
memadai.
c. Bidal Relevansi
Leech (1993:11) menjelaskan, usahakan agar perkataan penutur ada 
relevansinya. Rustono (1999:61) juga berpendapat penutur disarankan mengatakan 
apa-apa yang relevan. Setiap peserta percakapan hendaknya memberikan tuturan 
yang relevan dengan masalah pembicaraan.Bidal relevansi menyarankan penutur untuk mengatakan apa-apa yang 
relevan. Mengikuti nasehat itu sama dengan mengikuti prinsip kerjasama yang akan 
menghasilkan tuturan yang bersifat kooperatif. Sebaliknya, tidak mengikuti atau 
melanggar nasehat itu sama dengan tidak menjalankan prinsip kerjasama yang akan 
menghasilkan tuturan yang tidak kooperatif. Kontribusi penutur yang relevan dengan 
masalah yang dibicarakan merupakan keharusan bagi penutur dalam mengikuti bidal 
relevansi ini. Tuturan B pada contoh (4) berikut merupakan tuturan yang memberikan 
kontribusi yang relevan.
(4) A : Aduh, aku pusing lagi, Pak.
 B : bagaimana kalau kita ke dokter saja?
Apa yang dikatakan penutur B tersebut relevan dengan masalah yang dihadapi 
di dalam pembicaraan. Tuturan A berisi keluhan bahwa pusingnya kambuh. Tuturan 
itu menyebabkan B mengekspresikan tuturan yang sesuai atau terkait dengan pokok 
persoalan yang diutarakan A (Rustono 1999:61).
Levinson (dalam Cummings 2007:15) mengemukakan, prinsip maksim (bidal)
relevansi adalah “Buatlah kontribusi anda relevan.”
d. Bidal Cara 
Leech (1993:11) menjelaskan, tuturan antarpeserta tutur haruslah mudah 
dimengerti. Bidal cara sebagai bagian prinsip kerja sama menyarankan penutur untuk 
mengatakan sesuatu dengan jelas (Rustono 1999:62). Leech (1993:11) juga 
memberikan strategi agar tuturan peserta tutur mudah dimengerti, yaitu (1) hindari
pernyataan-pernyataan yang samar, (2) hindari ketaksaan, (3) usahakan agar ringkas, 
(4) usahakan agar berbicara dengan teratur. Prinsip bidal ini adalah penutur 
hendaknya mengatakan sesuatu dengan jelas.
Bidal cara sebagai bagian prinsip kerja sama menyarankan penutur untuk 
mengatakan sesuatu dengan jelas. Bidal keempat ini mengharuskan penutur berbicara 
secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, tidak berlebih-lebihan, dan runtut. Berbicara 
dengan jelas berarti penutur hendaknya mengupayakan tuturan yang jelas dapat 
didengar dan maksud yang jelas pula. Tuturan (5) berikut yang diujarkan secara wajar 
memenuhi kejelasan tuturan, baik dari segi ucapan maupun dari segi maksud tuturan.
(5) Bersihkan ruang tamu!
Penutur yang normal dapat menangkap tuturan (5) itu dengan jelas. Di dalam 
hal kedunguan, mungkin tuturan (5) itu menyebabkan petutur membebaskan semua 
benda yang ada di ruang tamu. Tetapi, kedunguan merupakan ketidaknormalan. 
Sementara itu, tuturan (5) yang wajar memang dimaksudkan untuk petutur yang 
normal (Rustono 1999:62).
Levinson dalam Cummings (2007:15) mengemukakan, prinsip maksim (bidal) 
cara adalah “Bersikaplah agar mudah dipahami.”, dan khususnya sebagai berikut:
(i) Hindari ketidakjelasan
(ii) Hindari ketaksaan
(iii) Jangan berbelit-belit
(iv) Bersikaplah teratur.
Prinsip kesantunan (politeness principle) berkenaan dengan aturan tentang 
hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur (Grice dalam 
Rustono 1999:66). Leech (dalam Rustono 1999:70) mengemukakan secara lengkap 
prinsip kesantunan yang meliputi enam bidal beserta subbidalnya sebagai berikut.
1. Bidal Kearifan atau Ketimbangrasaan (Tact Maxim)
a) Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin!
b) Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin!
Bidal ketimbangrasaan di dalam prinsip kesantunan memberikan petunjuk 
bahwa pihak lain di dalam tuturan hendaknya dibebani biaya seringan-ringannya 
tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya (Rustono 1999:71). Berikut ini 
merupakan contoh tuturan yang mengungkapkan tingkat kesantunan yang berbeda￾beda.
(6) Datang ke pertemuan ilmiah itu!
(7) Datanglah ke pertemuan ilmiah itu!
(8) Silahkan datang ke pertemuan ilmiah itu!
(9) Sudilah kiranya datang ke pertemuan ilmiah itu!
(10) Jika tidak berkeberatan, sudilah datang ke pertemuan ilmiah itu!
(Sumber: Rustono 1999: 71)
Tingkat kesantunan terentang dari nomor yang rendah ke yang tinggi pada 
contoh tuturan tersebut. Tuturan yang bernomor kecil mengungkapkan tingkat 
kesantunan yang lebih rendah dibandingkan dengan tuturan dengan nomor yang lebih 
besar. Semakin besar nomor tuturan pada contoh itu makin tinggi kesantunannya,
demikian sebaliknya. Hal itu demikian karena tuturan dengan nomor besar, nomor 
(10) misalnya, membutuhkan biaya yang besar bagi diri sendiri ditandai dengan 
besarnya jumlah kata yang diekspresi dan hal itu berarti memaksimalkan kerugian 
pada diri sendiri dan meminimalkan biaya kepada pihak lain sebagai mitra tutur 
dengan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pihak lain sebagai mitra tutur. 
2. Bidal Kedermawanan atau Kemurahhatian (Generosity Maxim)
a) Minimalkan keuntungan kepada diri sendiri!
b) Maksimalkan keuntungan kepad pihak lain!
Nasehat yang dikemukakan di dalam bidal kemurahhatian adalah bahwa 
pihak lain di dalam tuturan hendaknya diupayakan mendapat keuntungan yang 
sebesar-besarnya sementara itu diri sendiri atau penutur hendaknya berupaya 
mendapatkan keuntungan yang sekecil-kecilnya (Rustono 1999:72). Tuturan berikut 
ini merupakan contoh tuturan yang berkenaan dengan bidal kemurahhatian.
(11) A : Pukulanmu sangat keras.
B : Saya kira biasa saja, Pak.
(12) A : Pukulanmu sangat keras.
B : Siapa dulu?
(Sumber: Rustono 1999:73)
Tuturan (11) B mematuhi bidal kemurahhatian, sedangkan tuturan (12) B 
melanggarnya. Hal itu demikian karena tuturan (11) B itu memaksimalkan 
keuntungan kepada pihak lain dan meminimalkan keuntungan kepada diri sendiri. 
Sementara itu, tuturan (12) B sebaliknya; memaksilmalkan keuntungan kepad diri 
sendiri dan meminimalkan keuntungan kepada pihak lain
3. Bidal Keperkenaan (Approbation Maxim)
a) Minimalkan penjelekan kepada pihak lain!
b) Maksimalkan pujian kepada orang lain!
Bidal keperkenaan adalah petunjuk untuk meminimalkan penjelekan terhadap 
pihak lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain (Rustono 1999:73). Tuturan 
(13) B berikut ini mematuhi bidal keperkenaan, sebaliknya tuturan (14) B 
melanggarnya.
(13) A : Mari Pak, seadanya!
B : Terlalu banyak, sampai-sampai saya susah memilihnya.
(14) A : Mari Pak, seadanya!
B : Ya, segini saja nanti kan habis semua.
(Sumber: Rustono 1999:73)
tuturan (13) B mematuhi bidal keperkenaan karena petutur meminimalkan 
penjelekan terhadap pihak lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain itu. 
Sementara itu, tuturan (14) B melanggar bidal ini karena meminimalkan penjelekan 
kepada diri sendiri dan memaksimalkan pujian kepada diri sendiri. 
4. Bidal Kerendahhatian (Modesty Maxim)
a) Minimalkan pujian kepada diri sendiri!
b) Maksimalkan penjelekan kepada diri sendiri!
Nasehat bahwa penutur hendaknya meminimalkan pujian kepada diri sendiri 
dan memaksimalkan penjelekan kepada diri sendiri merupakan isi bidal 
kerendahhatian. Bidal ini dimaksudkan sebagai upaya merendahhatikan – bukan merendahdirikan – penutur agar tidak terkesan sombong (Rustono 1999:74). Tuturan 
(15) merupakan tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan bidal kerendahhatian ini.
(15) Saya ini anak kemarin, Pak.
Hal itu demikian karena tuturan itu memaksimalkan penjelekan kepada diri 
sendiri. Karena sesuai dengan bidal kerendahhatian, tuturan (15) merupakan tuturan 
yang santun.
Di pihak lain, tuturan (16) merupakan tuturan yang melanggar prinsip 
kesantunan bidal kerendahhatian.
(16) Saya ini sudah makan garam.
Tuturan (16) melanggar prinsip kesantunan karena tidak sejalan dengan bidal 
kerendahhatian. Tuturan itu memaksimalkan pujian kepada diri sendiri dan 
meminimalkan penjelekan kepada diri sendiri.
5. Bidal Kesetujuan (Agreement Maxim)
a) Minimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan pihak lain!
b) Maksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain!
Bidal kesetujuan adalah bidal di dalam prinsip kesantunan yang memberikan 
nasehat untuk meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan pihak lain dan 
memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain (Rustono 1999:75).
Tuturan (17) B merupakan tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan bidal 
kesetujuan.
Tuturan (17) B merupakan tuturan yang meminimalkan ketidaksetujuan dan 
memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri sebagai penutur dengan pihak lain 
sebagai mitra tutur.
6. Bidal Kesimpatian (Sympathy Maxim)
a) Minimalkan antipati antara diri sendiri dan pihak lain!
b) Maksimalkan simpati antara diri sendiri dan pihak lain!
Bahwa penutur hendaknya meminimalkan antipati antara diri sendiri dan 
pihak lain dan memaksimalkan simpati antara diri sendiri dan pihak lain merupakan 
nasehat bidal kesimpatian. Jika penutur menghasilkan tuturan yang meminimalkan 
antipati dan memaksimalkan kesimpatian antara dirinya sendiri dengan pihak lain 
sebagai mitra tutur, penutur tersebut mematuhi prinsip kesantunan bidal kesimpatian. 
Jika sebaliknya, penutur itu melanggar prinsip kesantunan (Rustono 1999:76).
Berikut ini merupakan tuturan yang sejalan dengan bidal kesimpatian.
(18) Saya ikut berduka cita atas meninggalnya ibunda.
(Sumber : Rustono 1999:76)
Dikatakan sejalan karena tuturan (18) tersebut meminimalkan antipati dan 
memaksimalkan simpati antara penutur dan mitra tuturnya. Sebaliknya, tuturan (19) 
B berikut ini merupakan tuturan yang melanggar prinsip kesantunan.
(19) A : Pak, Ibu saya meninggal.
B : Semua orang akan meninggal.
(Sumber : Rustono 1999:77)
Tuturan (19) B melanggar bidal kesimpatian karena tidak meminimalkan 
antipati dan tidak memaksimalkan kesimpatian antara diri sendiri dan pihak lain, 
bahkan justru sebaliknya. Dengan demikian, tuturan tersebut merupakan tuturan yang 
tidak santun.
2.2.4 Wacana 
Para ahli bahasa umumnya berpendapat sama tentang wacana dalam hal 
satuan bahasa yang terlengkap (utuh), tetapi dalam hal lain ada perbedaannya. 
Perbedaannya terletak pada wacana sebagai unsur gramatikal tertinggi yang 
direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh dengan amanat lengkap dan dengan 
koherensi serta kohesi tinggi. Sebenarnya, wacana utuh harus dipertimbangkan dari 
segi isi (informasi) yang koheren, sedangkan kohesif dipertimbangkan dari 
keruntutan unsur pendukung (bentuk) (Idat 1994:2)
Lebih lanjut Idat mengemukakan, pemahaman bahwa wacana merupakan
satuan bahasa yang terlengkap dan merupakan satuan tertinggi dalam hierarki 
gramatikal, adalah pemahaman yang berasal dari pernyataan berdasarkan pendapat 
kridalaksana (1993) yaitu wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap; 
dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. 
Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh berupa novel, buku, seri 
ensiklopedia, dsb.,paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Dijelaskan bahwa wujud wacana dapat dilihat dari segi tataran bahasa, dari mulai 
tataran yang terkecil “kata” dapat memuat makna yang utuh, dilihat dari informasi 
yang mendukungnya (1994:3). Dari definisi tersebut, yang dipentingkan dalam 
wacana menurut Kridalaksana adalah keutuhan atau kelengkapan maknanya. Adapun 
bentuk kongkretnya dapat berupa apa saja (kata, kalimat, paragraph, atau sebuah 
karangan yang utuh) yang penting makna, isi, dan amanatnya lengkap. 
Moeliono, et al (2003:419) menyatakan bahwa wacana ialah rentetan kalimat 
yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat itu; atau 
wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang 
satu dengan proposisi yang lain membentuk satu kesatuan.
Badudu dalam Sumarlam, dkk (2003:14) memberikan batasan wacana sebagai 
berikut: (1) wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan 
proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, 
sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; (2) wacana 
adalah kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi di atas kalimat atau klausa 
dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan, yang mempunyai awal 
dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis. 
2.2.4.1 Jenis-Jenis Wacana
Wacana dapat diklasifikasikan menjadi berbagai jenis menurut dasar 
pengklasifikasiannya. Idat (1994:6) mengatakan, jenis wacana dapat dikaji dari segi 
eksistensinya (realitasnya), media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian. Menurut realitasnya, wacana merupakan verbal dan nonverbal sebagai media 
komunikasi berwujud tuturan lisan dan tulis, sedangkan dari segi pemaparan, kita 
dapat memperoleh jenis wacana yang disebut naratif, deskriptif, prosedural, 
ekspositori, dan hortatori; dari jenis pemakaian kita akan mendapatkan wujud 
monolog (satu orang penutur), dialog (dua orang penutur), dan polilog (lebih dari dua 
orang penutur).
Baryadi (2002:9-10) mengemukakan, berbagai jenis wacana dapat 
diklasifikasikan dengan dasar tertentu. Dasar klasifikasi itu antara lain adalah (i) 
media yang dipakai untuk mewujudkannya, (ii) keaktifan partisipan komunikasi, (iii) 
tujuan pembuatan wacana, (iv) bentuk wacana, (v) langsung tidaknya pengungkapan, 
(vi) genre sastra, dan (vii) isi wacana. Berbagai jenis wacana beserta dasar 
pengklasifikasiannya dapat ditunjukkan lewat tabel berikut.Wacana kartun termasuk di dalam jenis wacana berdasarkan bentuknya dalam 
klasifikasi Baryadi (2002:10). Secara harfiah kartun itu berasal dari bahasa latin 
cartoone yang berarti gambar lucu. Diinggriskan menjadi cartoon dan diindonesiakan 
menjadi “kartun” (Isoul 2008) Kartun itu terbentuk dari tiga unsur yang saling berkait 
satu sama lain, yaitu wawasan, olah rupa dan humor. Wawasan sebagai perspektif 
kartunis memandang tema, olah rupa sebagai bentuk komunikasi visual dan humor 
stimuli psikologis penikmat kartun. 
Setiawan (2009) membagi kartun menjadi dua tipe. Pertama, kartun humor 
atau sering disebut gag cartoon. Kartun ini mengangkat humor-humor yang sudah 
dipahami secara umum oleh masyarakat, dan kadang juga dipergunakan untuk 
menyindir kebiasaan-kebiasaan perilaku seseorang atau situasi tertentu. Kedua, 
kartun politik (political cartoon), yang mengangkat topik tentang situasi politik yang 
bisa dibuat lelucon, namun ada kalanya tidak bisa dibuat sebagai lelucon. Kartun 
politik sangat sarat dengan kritik tajam terhadap perilaku serta kebijakan “tokoh”. 
Tokoh ini dapat digambarkan sebagai individu pejabat pemerintah, aparat, politikus, 
lembaga, atau institusi tertentu, dan sebagainya.
Pramono (2009) mengemukakan karikatur merupakan bagian dari kartun 
opini, tetapi menjadi salah kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, 
dan sebagainya telah menjadi kartun opini. Muatan kartun opini secara situasional 
berlangsung singkat. Karena itu ada empat hal teknis yang harus diingat dalam 
membuat kartun opini, yaitu (1) harus informatif dan komunikatif; (2) harus situasional dengan pengungkapan yang hangat; (3) cukup memuat kandungan humor; 
(4) harus mempunyai gambar yang baik.
2.2.5 Humor
Pradopo dalam Budiyanto (2005:45) mengemukakan pengertian humor dapat 
dipahami melalui tiga teori berikut, yakni: (1) teori superioritas mengatakan bahwa 
humor merupakan aktivitas menertawakan sesuatu yang dianggap lebih rendah, lebih 
jelek, dan sebagainya, (2) teori degradasi menyatakan bahwa humor terjadi karena 
adanya penyimpangan antara konsep dengan objeknya, peloncatan secara tiba-tiba 
dari satu konteks ke konteks lain, dan adanya penggabungan dua peristiwa atau 
makna yang sesungguhnya saling terpisah, dan (3) teori pelepasan ketegangan dan 
pembebasan mengatakan bahwa humor terjadi karena adanya pembebasan dari 
ketegangan dan tekanan psikis.
Claire dalam Rustono (2000:33-34) berpendapat bahwa humor dapat 
membuat orang tertawa apabila mengandung satu atau lebih