uang
Boks:
Tingkat Penggunaan dan Perputaran Uang
di Indonesia
Secara umum, tingkat penggunaan uang (tingkat monetisasi) dalam
suatu masyarakat menunjukkan berapa banyak uang yang digunakan
untuk setiap volume transaksi ekonomi yang dilakukan, seperti
perdagangan dan perindustrian. Tingkat penggunaan uang tersebut
biasanya diukur dari perbandingan (rasio) uang beredar terhadap
pendapatan nasional. Dengan demikian, tingkat penggunaan uang
sangat terkait dengan kemajuan faktor kelembagaan dan tingginya
tingkat pendapatan suatu masyarakat. Dalam hal ini, untuk setiap
volume transaksi ekonomi, masyarakat industri/perdagangan
menggunakan jumlah uang yang lebih besar dibandingkan dengan
masyarakat agraris/tradisional. Contoh sederhananya ialah
perbandingan pembayaran uang sekolah di daerah-daerah pedesaan
yang masih tradisional dengan daerah perkotaan yang sudah maju.
Di desa-desa tersebut masih banyak dijumpai siswa yang membayar
biaya sekolah dengan menggunakan hasil-hasil bumi, misalnya kelapa
dan beras atau pun hasil ternak, seperti telor. Sementara itu, di
perkotaan hal tersebut sangatlah jarang ditemukan. Mereka pada
umumnya sudah mampu untuk membayar biaya sekolahnya dengan
menggunakan uang.
Sementara itu, tingkat perputaran uang mencerminkan tingkat
rata-rata perputaran/perpindahan uang dari satu tangan ke tangan
lainnya. Agak berbeda dengan tingkat penggunaan uang, tingkat
perputaran uang mempunyai ukuran yang bervariasi mengingat
banyaknya faktor yang mempengaruhi perubahannya. Namun, ukuran
yang umum digunakan adalah perbandingan (rasio) pendapatan
nasional terhadap uang. Kebalikan dengan tingkat penggunaan uang,
dengan semakin majunya suatu masyarakat, tingkat perputaran uang
menjadi semakin rendah. Hal ini mengingat masyarakat yang sudah
maju tidak banyak menggunakan uang kertas dan logam. Selain itu,
mereka lebih banyak menggunakan uang jenis lainnya serta sekaligus
menanamkan uangnya untuk keperluan lain yang lebih mengun tungkan. Hal tersebut relatif mudah dengan semakin majunya sistem
keuangan.
Dengan menggunakan data tahunan, perkembangan tingkat
penggunaan dan perputaran uang di Indonesia dapat dilihat pada tabel
dan grafik di bawah ini
Sebagaimana terlihat, dalam perjalanan sejarah perekonomian
Indonesia, perilaku kedua indikator tersebut bervariasi, sejalan dengan
perkembangan kondisi struktural, kelembagaan, dan kebijakan di
bidang ekonomi di Indonesia. Seperti yang telah diketahui bersama,
sejak 1983 perekonomian Indonesia mengalami perubahan struktural
yang pesat sebagai akibat dikeluarkannya kebijakan-kebijakan
ekonomi mendasar baik di sektor keuangan, perpajakan, maupun
investasi dan perdagangan. Secara khusus, pada 1 Juni 1983
Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di bidang perbankan.
Kebijakan yang meniadakan pembatasan jumlah pemberian kredit
dan suku bunga ini menjadikan sektor keuangan Indonesia
berkembang sangat pesat.
Sebagaimana dilihat, sementara tingkat penggunaan uang M1
relatif konstan, tingkat penggunaan uang M2 terus mengalami
peningkatan secara berarti, dari 0.19 pada tahun 1983 menjadi 0.28
pada tahun 1988. Selanjutnya, sebagai akibat kebijakan lainnya, yaitu
Paket Oktober 1988 (Pakto), rasio tersebut melipat ganda menjadi
0.60 pada awal periode terjadinya krisis ekonomi tahun 1998.
Mengingat krisis tersebut berdampak menyeluruh, termasuk terhadap
perkembangan uang beredar dan output nasional (PDB), rasio kedua
indikator tersebut tidak berubah banyak pada periode pasca krisis,
yaitu menjadi 0.57 pada akhir tahun 2001.
Sebagaimana dapat diperkirakan, tingkat perputaran uang
mengalami penurunan secara proposional, sejalan dengan
peningkatan penggunaan uang. Sekali lagi, tingkat perputaran uang
M2 cenderung mengalami penurunan yang sangat besar dibandingkan
dengan uang M1.
Dalam pembicaraan sehari-hari mengenai kondisi perekonomian,
masyarakat sering mengaitkan uang beredar dengan pertumbuhan
ekonomi, kenaikan harga (inflasi), suku bunga, dsb. Sering dikatakan
bahwa jumlah uang beredar yang terlalu banyak akan mendorong kegiatan
ekonomi berkembang dengan sangat pesat. Apabila berlangsung terus,
hal ini dianggap berbahaya karena harga barang-barang akan meningkat
tajam. Sebaliknya, apabila uang beredar terlalu sedikit maka kegiatan
ekonomi menjadi seret atau melambat. Sering juga dikatakan bahwa
apabila uang beredar terlalu banyak maka suku bunga akan cenderung
turun dan sebaliknya. Apakah pandangan-pandangan di atas sesuai dengan
fakta yang terjadi? Apakah uang beredar mempunyai peranan dan
keterkaitan yang erat dengan kegiatan suatu perekonomian? Bagaimana
halnya dengan fakta yang terjadi dalam perekonomian Indonesia? Bab
terakhir dari Seri Kebanksentralan ini akan diarahkan untuk menjelaskan
sekaligus menjawab pandangan dan pertanyaan tersebut di atas.
Uang dan Kegiatan Ekonomi
Pada dasarnya, peranan dan keterkaitan yang erat antara uang dengan
kegiatan suatu perekonomian dapat dianggap sebagai suatu hal yang
bersifat alami karena semua kegiatan perekonomian moderen, misalnya
produksi, investasi, dan konsumsi, selalu melibatkan uang. Bahkan, dalam
perkembangannya uang tidak hanya digunakan untuk mempermudah
transaksi perdagangan di pasar barang namun uang itu sendiri juga menjadi
suatu komoditas yang dapat diperdagangkan di pasar uang. Dengan kondisi
tersebut, sangatlah sulit dibayangkan apabila tidak ada benda yang
namanya uang.
Bagaimana melihat peranan uang seperti yang telah dipaparkan di
atas? Salah satu cara adalah dengan memahami bagaimana aliran atau
arus perputaran barang dan uang terjadi dalam suatu perekonomian. Perlu
diketahui bahwa perkembangan kegiatan suatu perekonomian pada
dasarnya dapat diamati dari dua sektor yang saling berkaitan, yaitu sektor
riil (barang dan jasa) dan sektor moneter (uang). Sektor riil dan sektor
moneter tidak hanya berkaitan erat, kedua sektor tersebut bahkan seperti
dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Secara teoritis,
sektor yang satu merupakan cerminan dari sektor lainnya. Sebagai contoh,
dalam suatu transaksi jual-beli akan terdapat penjual yang memiliki barang
dan pembeli yang memiliki uang. Pembeli memiliki uang tetapi mem butuhkan barang, sementara penjual memiliki barang tetapi membutuhkan
uang. Dengan demikian, apabila transaksi tersebut dilakukan maka nilai
transaksi jual-beli barang dan jasa harus sama dengan nilai uang yang
diserahterimakan.32
Ilustrasi sederhana mengenai aliran atau arus perputaran barang dan
uang terjadi dalam suatu perekonomian dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sesuai dengan fungsi uang sebagaimana telah diuraikan dalam bab
pertama, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat membutuhkan uang
untuk memperlancar kegiatan ekonominya baik berupa kegiatan produksi,
investasi, maupun konsumsi. Sebagaimana diketahui, dalam setiap
kegiatan ekonomi tersebut selalu terdapat dua macam aliran, yaitu aliran
barang dan aliran uang atau dana. Sebagai contoh, dalam suatu kegiatan
produksi, untuk menghasilkan suatu produk perusahaan membutuhkan
input, misalnya berupa bahan baku dan tenaga kerja. Dalam proses tersebut
perusahaan akan membeli bahan baku dan menyewa tenaga (keahlian)
dari masyarakat sehingga akan terjadi aliran barang dan jasa berupa bahan
baku dan tenaga kerja dari masyarakat. Pada saat yang sama juga terjadi
aliran uang dari perusahaan untuk pembayaran bahan baku yang dibeli
tersebut. Aliran uang keluar tersebut bagi perusahaan akan menjadi pos
biaya, sementara bagi masyarakat, aliran uang masuk tersebut merupakan
pos pendapatan. Sementara itu, setelah perusahaan menghasilkan suatu
produk dan menjualnya ke masyarakat akan terjadi aliran uang keluar
dari masyarakat dan sebaliknya terjadi aliran uang masuk yang merupakan
pendapatan perusahan. Mekanisme yang serupa juga terjadi pada kegiatan
investasi dan kegiatan ekonomi lainnya. Berdasarkan contoh tersebut,
dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perekonomian aliran uang akan
sebanding dengan aliran barang dan jasa.
Uang dan Suku Bunga
Dalam bab tiga telah diuraikan secara singkat mekanisme penciptaan uang,
yaitu bahwa penciptaan uang beredar pada dasarnya ditentukan atau
dipengaruhi oleh otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat. Jumlah
uang beredar yang tercipta tersebut merupakan jumlah uang yang ditinjau
dari penyediaannya atau sisi penawaran. Sementara itu, dari sisi
permintaan, masyarakat membutuhkan uang, baik uang kartal, uang giral,
maupun uang kuasi, untuk membiayai semua kegiatan ekonominya.
Idealnya, jumlah uang yang tercipta atau tersedia harus seimbang jumlah
uang yang dibutuhkan atau diminta oleh masyarakat sehingga tidak ter dapat kelebihan atau kekurangan jumlah uang yang beredar. Dalam praktik,
permintaan masyarakat akan uang sulit diperhitungkan mengingat
kebutuhan masyarakat akan uang tersebut tidak hanya dilandasi oleh motif
untuk melakukan transaksi saja namun juga motif lainnya, yaitu untuk
berjaga-jaga atau bahkan untuk melakukan kegiatan yang sifatnya
spekulatif.33
Sesuai dengan hukum permintaan pasar, apabila jumlah uang yang
disediakan melebihi jumlah uang yang diminta maka akan terjadi kelebihan
penyediaan uang yang pada akhirnya dapat mengakibatkan penurunan
harga uang atau suku bunga.34 Sebaliknya, apabila jumlah uang yang di
minta melebihi jumlah uang yang disediakan maka akan dapat mengaki batkan kenaikan harga uang atau suku bunga. Perlu dikemukakan bahwa
suku bunga yang dimaksud adalah suku bunga keseimbangan pasar, yiatu
suku bunga yang mencerminkan kesesuaian antara suku bunga simpanan
(sisi penawaran uang) dan suku bunga pinjaman (sisi permintaan uang).
Dari hubungan di atas dapat dipahami bahwa perubahan suku bunga
dapat terjadi sebagai akibat adanya perubahan jumlah uang beredar yang
mencerminkan interaksi antara sisi permintaan dan sisi penawaran.
Bagaimana hubungan antara uang dan suku bunga yang terjadi pada
perekonomian Indonesia? Hubungan tersebut dapat dilihat pada grafik
pertumbuhan tahunan uang beredar dan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) di bawah ini.35 Dalam hal ini diasumsikan bahwa perkem bangan suku bunga SBI menjadi acuan bagi perkembangan suku-suku
bunga lainnya, baik suku bunga simpanan, suku pinjaman, maupun suku
bunga untuk transaksi di pasar uang (dengan tenggang waktu atau time
lag tertentu)
Sebagaimana dapat dilihat pada grafik di atas, kecuali pada periode
1999-2000, hubungan antara uang beredar baik M1 maupun M2 dengan
suku bunga adalah sejalan seperti apa yang telah dipaparkan sebelumnya.
Dalam hal ini, pada saat uang beredar berkembang pesat suku bunga
mengalami penurunan. Pada periode 1999-2000, saat krisis melanda
perekonomian Indonesia, hubungan yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu
perkembangan uang beredar yang pesat disertai dengan suku bunga yang
juga tinggi.37
Uang dan Kegiatan Ekonomi Sektor Riil
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat pada umumnya
membutuhkan uang atau dana untuk membiayai kegiatan ekonominya di
sektor riil, seperti produksi, investasi, dan konsumsi. Lalu, apa yang terjadi
apabila jumlah uang yang tersedia sangat terbatas sehingga tidak dapat
membiayai kegiatan ekonomi tersebut sepenuhnya? Atau sebaliknya, apa
yang terjadi apabila jumlah uang yang tersedia begitu melimpah, sementara
kegiatan ekonomi relatif kecil untuk dibiayai? Pertanyaan tersebut pada
dasarnya mengarah pada pemahaman bahwa terdapat keterkaitan yang
erat antara uang dan kegiatan ekonomi di sektor riil, seperti yang telah
disinggung pada awal bab ini.38 Pengaruh uang terhadap kegiatan ekonomi
di sektor riil pada dasarnya dapat bersifat langsung atau tidak langsung.
Pengaruh tidak langsung uang dapat dijelaskan melalui pengaruhnya
terhadap perkembangan suku bunga seperti telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Dalam hal ini, apabila terjadi penambahan jumlah uang
beredar (misalnya sebagai akibat kebijakan bank sentral) maka suku bunga
akan cenderung turun. Penurunan suku bunga tersebut akan menurunkan
biaya pendanaan kegiatan investasi, yang selanjutnya mendorong kegiatan
investasi dan kegiatan ekonomi pada umumya.
Bagaimana keterkaitan yang terjadi pada perekonomian Indonesia?
Untuk melihat keterkaitan tersebut akan lebih mudah dilakukan dengan
menganalisis grafik pertumbuhan tahunan uang dan pertumbuhan tahunan
Produk Domestik Bruto (PDB).39 Grafik tersebut secara tidak langsung
mencerminkan naik-turunnya perkembangan kedua variabel tersebut dari
waktu ke waktu.
Dari grafik di atas kita dapat melihat bahwa pada masa-masa
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (secara nominal), pertumbuhan
uang beredar, baik M1 dan M2, juga cukup tinggi. Masa-masa tersebut
adalah periode awal tahun-tahun 1970-an dan 1980-an, saat perekonomian
mengalami limpahan uang sebagai akibat kenaikan harga minyak di
pasaran internasional. Demikian pula, pada periode krisis ekonomi pada
akhir tahun 2000-an, keterkaitan antara pertumbuhan uang beredar dengan
pertumbuhan ekonomi juga terlihat cukup erat. Sejalan dengan itu, pada
masa-masa lainnya, pada saat pertumbuhan ekonomi cukup rendah (secara
nominal) pertumbuhan uang beredar, baik M1 dan M2, juga terlihat cukup
rendah.
Uang dan Harga
Pada bagian-bagian terdahulu telah dibahas secara berturut-turut
keterkaitan uang dengan suku bunga dan keterkaitan uang dengan kegiatan
ekonomi sektor riil. Keterkaitan uang dengan kedua variabel tersebut pada
dasarnya menunjukkan peranan uang dalam mempengaruhi perkembangan
kegiatan ekonomi secara keseluruhan, yang tercermin pada perkembangan
permintaan agregat (aggregate demand) masyarakat akan semua barang
dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian. Kegiatan produksi untuk
menghasilkan barang dan jasa tersebut tentunya harus didukung oleh
kapasitas ekonomi, yaitu suatu kondisi yang mencerminkan ketersediaan
sumber daya yang mencukupi, seperti bahan baku, tenaga kerja, dan
teknologi. Dalam ilmu ekonomi makro, kondisi ini dikenal dengan
penyediaan atau penawaran agregat (aggregate supply). Berbeda dengan
permintaan agregat yang dapat berubah dalam jangka pendek, penawaran
agregat relatif lebih sulit untuk berubah dalam jangka pendek. Dalam
kaitan ini, perubahan penawaran agregat lebih terkait dengan struktur dan
perkembangan suatu perekonomian.
Idealnya, permintaan agregat harus sama dengan penawaran agregat.
Bagaimana apabila tidak? Apabila permintaan agregat tidak sama dengan
penawaran agregat maka diperlukan penyesuaian kegiatan ekonomi agar
terjadi kesesuaian (keseimbangan), yang pada akhirnya dapat meng akibatkan perubahan harga barang dan jasa. Dalam hal ini, peningkatan
permintaan agregat yang melebihi penawaran agregat akan mendorong
kenaikan harga barang dan jasa.
Dengan demikian, mengingat perubahan jumlah uang beredar dapat
mempengaruhi perkembangan permintaan agregat, dapat disimpulkan
bahwa perubahan jumlah uang beredar dapat mempengaruhi perkem bangan harga.40 Hal ini juga berarti bahwa kecenderungan kenaikan harga
umum secara terus-menerus (inflasi) dapat terjadi apabila penambahan
jumlah uang beredar melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Dapat
dinyatakan secara sederhana bahwa: “jumlah uang beredar bertambah,
harga barang-barang naik”. Dalam kasus ini, mengingat inflasi sangat
dipengaruhi oleh perkembangan uang beredar maka inflasi dikenal sebagai
fenomena moneter.
Dalam kasus lain, inflasi yang tinggi dapat berlangsung dalam waktu
yang lama walaupun perkembangan jumlah uang beredar relatif rendah.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori Strukturalis yang menyatakan
bahwa inflasi dalam jangka panjang lebih disebabkan oleh adanya
kekakuan (ketidakelastisan) struktur perekonomian di negara berkembang,
terutama pada struktur penerimaan ekspor dan produksi bahan makanan
dalam negeri. Dengan demikian, tekanan inflasi akan muncul apabila
pertumbuhan sektor ekspor sangat lamban dibandingkan dengan sektor sektor lainnya, atau pun produksi bahan makanan dalam negeri kurang
memadai. Pendapat tersebut menempatkan inflasi sebagai fenomena
struktural.
Bagaimana dengan inflasi di Indonesia, merupakan fenomena moneter
atau fenomena struktural? Tidaklah mudah untuk menjawab pertanyaan
tersebut secara langsung. Lebih mudah untuk bertanya: sejauh mana
fenomena-fenomena tersebut terjadi di Indonesia? Walaupun sulit untuk
memilah kedua fenomena tersebut, jawaban atas pertanyaan tersebut dapat
diarahkan pada suatu kesimpulan dengan mencermati beberapa contoh
sebagai berikut.
Pertama, situasi ekonomi pada paro pertama dekade 1960-an, tingkat
inflasi (yang biasanya diukur dengan menggunakan perubahan harga
barang konsumsi) pada saat itu sangat tinggi, bahkan mencapai 600%.
Mengapa harga barang-barang dapat melonjak demikian tinggi? Hal ini
disebabkan oleh kebijakan pencetakan uang yang berlebihan pada masa
itu. Dengan kondisi ekonomi-politik saat itu, ditambah dengan kurang
matangnya manajemen pengendalian uang beredar, pencetakan uang
merupakan kebijakan yang lumrah dilakukan oleh pemerintah.
Berlebihnya penyediaan uang dalam perekonomian berdampak pada
kenaikan harga-harga secara tajam.
Kedua, krisis ekonomi yang puncaknya terjadi pada tahun 1998 lalu.
Pada waktu itu terjadi kelangkaan dana di perbankan sebagai akibat
penarikan dana oleh masyarakat yang sangat besar. Ditambah dengan
semakin melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS, kepercayaan
masyarakat terhadap rupiah semakin melemah. Untuk mengatasi masalah
tersebut, Pemerintah (Bank Indonesia) menyuntik dana ke pasar dalam
jumlah yang sangat besar dalam beberapa waktu, yang selanjutnya
berakibat pada melonjaknya inflasi beberapa saat kemudian. Begitu pula
selanjutnya, begitu pertumbuhan uang beredar mereda, inflasi juga kembali
melemah. Keterkaitan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah.
Ketiga, pelonjakan harga-harga barang secara langsung sesaat setelah
Pemerintah mengumumkan beberapa kebijakan, misalnya kenaikan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif dasar listrik, atau tarif angkutan.
Kebijakan lain berupa kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Upah
Minimum Regional (UMR) juga sangat berpengaruh terhadap kenaikan
harga barang-barang di masyarakat. Belum lagi kenaikan harga makanan
sebagai akibat banjir yang melanda daerah tertentu, yang mengakibatkan
tersendatnya penyediaan bahan makanan ke daerah lain. Salah satu atau
beberapa kebijakan di atas hampir pasti berlangsung setiap tahun.
Dari gambaran di atas, berdasarkan contoh pertama dan kedua, secara
tidak langsung dapat disimpulkan bahwa inflasi di Indonesia merupakan
fenomena moneter. Namun, apabila dicermati contoh ketiga dengan
berbagai kejadiannya, secara tidak langsung mungkin disepakati bahwa
inflasi di Indonesia merupakan fenomena struktural. Dengan demikian,
dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kedua fenomena tersebut terjadi
untuk kasus perekonomian Indonesia.
Pengendalian Jumlah Uang Beredar
Pengendalian jumlah uang beredar pada hakikatnya merupakan salah satu
bagian dari kerangka kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh otoritas
moneter. Dalam hal ini, sesuai dengan tujuan kebijakan moneter,
pengendalian jumlah uang beredar pada umumnya ditujukan untuk
menjaga kestabilan nilai uang dan mendorong kegiatan ekonomi. Yang
dimaksud dengan pengendalian di sini adalah upaya otoritas moneter baik
untuk menambah jumlah uang yang beredar (kebijakan ekspansi moneter)
maupun mengurangi jumlah uang yang beredar (kebijakan kontraksi
moneter). Pengendalian jumlah uang beredar tersebut juga mempunyai
peranan yang sangat strategis dalam kerangka kebijakan ekonomi makro.
Hal ini disebabkan oleh keterkaitan yang erat antara uang dengan variabel variable ekonomi lainnya, seperti suku bunga, output, dan harga. Dengan
mengendalikan jumlah uang beredar tersebut, otoritas moneter akan dapat
mempengaruhi nilai uang sedemikian rupa sehingga perkembangannya
akan mampu mendorong perekonomian ke arah yang diinginkan sesuai
dengan sasaran akhir yang ditetapkan, seperti inflasi yang rendah dan/
atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Bagaimana dengan pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia?
Sesuai dengan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank
Indonesia merupakan otoritas moneter yang mempunyai tugas menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, antara lain dengan mengendalikan
jumlah uang beredar. Dalam pada itu, pengendalian jumlah uang beredar
dianggap cukup relevan, khususnya apabila dikaitkan dengan arah baru
penerapan kebijakan moneter di Indonesia yang menekankan pada
pencapaian sasaran tunggal, yaitu kestabilan nilai rupiah (harga).
Sesuai dengan salah satu aspek dalam paradigma kebijakan moneter
yang dianut saat ini, yaitu pencapaian target kuantitas, melalui
pengendalian jumlah uang beredar kebijakan moneter oleh Bank Indonesia
diarahkan untuk mempengaruhi kegiatan perekonomian agar sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan, yaitu tercapainya kestabilan harga.41
Dalam pelaksanaannya, pengendalian tersebut tidak dapat dilakukan secara
langsung mengingat perkembangan uang beredar sangat terkait dengan
perilaku pelaku ekonomi lainnya, yaitu perbankan dan masyarakat. Dalam
hal ini, yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia ialah pengendalian
jumlah uang primer. Pengendalian jumlah uang primer tersebut dilakukan
dengan mengasumsikan bahwa perilaku angka pelipat ganda uang (money
multiplier) cukup stabil.42 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
dengan mengendalikan jumlah uang primer, Bank Indonesia
mengendalikan jumlah uang beredar sehingga kegiatan ekonomi dapat
diarahkan untuk mencapai perkembangan harga yang cukup stabil (inflasi
yang rendah).
Namun, dalam praktiknya, pengendalian jumlah uang beredar yang
optimal sangatlah sulit dilakukan. Paling tidak, terdapat tiga faktor yang
menyebabkan sulitnya pengendalian jumlah uang beradar tersebut. Faktor
pertama adalah adanya unsur-unsur yang bersifat kontradiktif pada
pencapaian sasaran kebijakan. Misalnya, Bank Indonesia melakukan
kebijakan ekspansi moneter untuk mendorong kegiatan ekonomi yang
sedang lesu. Tindakan ini biasanya mempunyai dampak pada mening katnya inflasi. Sebaliknya, apabila diambil kebijakan kontraksi moneter
untuk meredam laju inflasi tersebut, perkembangan kegiatan ekonomi
diperkirakan akan terhambat. Faktor kedua adalah sulitnya memprediksi
dan mengendalikan permintaan uang masyarakat. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, perilaku permintaan uang masyarakat tergantung
pada beberapa motif yang beragam. Sejalan dengan pesatnya perkem bangan dan inovasi sektor keuangan dan keterbukaan perekonomian
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, perilaku tersebut cenderung tidak
stabil sehingga sulit untuk diprediksi dan dikendalikan. Faktor ketiga
adalah sulitnya memprediksi perilaku angka pelipat ganda uang. Seba gaimana perkembangan permintaan uang, perilaku angka pelipat ganda
uang juga cenderung tidak stabil sehingga sulit untuk diprediksi. Kesulitan
dan tantangan yang dihadapi Bank Indonesia dalam rangka pengendalian
jumlah uang beredar di masa mendatang diperkirakan akan semakin berat
dan kompleks. Untuk itu, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk
menjajagi dan mengkaji beberapa kemungkinan penerapan kerangka kerja
kebijakan moneter lain yang lebih optimal dalam rangka pencapaian
sasaran akhir kebijakan moneter, yaitu stabilitas nilai rupiah.
Uang telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu dan merupakan salah
satu penemuan manusia yang paling menakjubkan. Uang juga mempunyai
sejarah yang sangat panjang dan telah mengalami perubahan yang sangat
besar sejak dikenal manusia. Dengan kondisi tersebut, memang tidak
mudah untuk menjelaskan atau mendefinisikan uang secara singkat, jelas,
dan tepat. Namun, anehnya, dalam masyarakat moderen saat ini tidak ada
orang yang tidak mengenal uang. Besar/kecil, tua/muda, dan kaya/miskin
sejak bangun tidur sampai kembali tidur, semuanya tidak dapat melepaskan
diri dari benda yang satu ini: uang.
Apa sebenarnya benda yang disebut uang itu? Secara sekilas, jawaban
atas pertanyaan tersebut dapat diberikan dengan mudah; orang awam akan
dapat menunjukkan uang pecahan kertas atau logam yang berlaku yang
dipegangnya sebagai uang. Namun, apakah mereka juga mempunyai
anggapan yang sama terhadap uang pecahan kertas atau logam dari daerah
atau negara lain? Mungkin saja tidak. Mereka mungkin lebih yakin atau
senang untuk memegang uang yang barasal dari daerahnya sendiri
dibandingkan dengan uang yang berasal dari daerah lain. Pertanyaan yang
muncul selanjutnya adalah: mengapa orang tersebut lebih memilih benda
seperti kertas dan logam di atas sebagai uang, bukan benda lainnya,
misalnya kulit binatang atau lempengan besi?
Dari uraian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa ternyata sangatlah
sulit atau hampir mustahil untuk mendefinisikan uang baik menurut bentuk
fisik maupun ciri-cirinya karena bentuk fisik dan ciri-ciri uang begitu
bervariasi, tergantung pada waktu dan tempat penggunaannya. Dengan
demikian, untuk mempermudah dan menyederhanakan pemahamannya,
uang dilihat sebagaimana uang yang ada dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu dilihat dari kegunaan atau fungsinya bagi manusia. Dengan kata
lain, uang dipahami dari apa yang dapat dilakukan oleh manusia dengan
uang tersebut.
Uang adalah seperti yang kita bayangkan, yaitu suatu benda yang
dapat ditukarkan dengan benda lain, dapat digunakan untuk menilai benda
lain, dan dapat kita simpan. Selanjutnya, jangan lupa bahwa uang dapat
juga digunakan untuk membayar utang di waktu yang akan datang. Dengan
kata lain, uang adalah suatu benda yang pada dasarnya dapat berfungsi
sebagai: (1) alat tukar (medium of exchange), (2) alat penyimpan nilai
(store of value), (3) satuan hitung (unit of account), dan (4) ukuran
pembayaran yang tertunda (standard for deffered payment). Perlu
dikemukakan pula bahwa pada awalnya uang hanya berfungsi sebagai
alat penukar saja tetapi, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia
dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, fungsi tersebut telah
berkembang dan bertambah sehingga mempunyai fungsi seperti uang pada
saat ini.1 Di bawah ini akan diuraikan secara singkat keempat fungsi dasar
uang yang telah disampaikan di atas.
Uang sebagai alat tukar. Dapat dibayangkan betapa sulitnya hidup
dalam perekonomian moderen ini tanpa adanya benda yang dapat
digunakan sebagai alat penukar. Apabila tidak ada uang maka transaksi
hanya dilakukan dengan cara tukar-menukar antara barang yang satu
dengan barang yang lain. Misalnya, seseorang yang memiliki ayam dan
ingin menukarkannya dengan garam – karena ia mempunyai ayam yang
banyak dan sangat membutuhkan garam – harus bertemu dengan orang
lain yang memiliki garam dan ingin menukarkan garam dengan ayam.
Selanjutnya, mereka saling menukarkan ayam dengan garam. Kondisi ini
dinilai terlalu kaku dan sulit dipenuhi.2
Dengan adanya uang, seseorang
dapat secara langsung menukarkan uang tersebut dengan barang yang
dibutuhkannya kepada orang lain yang menghasilkan barang tersebut.
Uang sebagai alat penyimpan nilai. Sesuai dengan sifatnya, manusia
adalah mahluk yang gemar mengumpulkan dan menyimpan kekayaan
dalam bentuk barang-barang yang berharga untuk dipergunakan di masa
yang akan datang. Barang-barang berharga tersebut pada umumnya berupa
tanah, rumah, dan benda berharga lain. Walaupun kekayaan yang dapat
disimpan beragam bentuknya, tidak dapat dipungkiri bahwa uang
merupakan salah satu pilihan untuk menyimpan kekayaan.
Uang sebagai satuan hitung. Apabila tidak ada satuan hitung yang
diperankan oleh uang, dapat dibayangkan kesulitan dalam melakukan
penilaian terhadap suatu barang. Tanpa satuan hitung seseorang mungkin
akan menilai seekor sapi sama dengan dua ekor kambing dsb. Dengan
adanya uang, tukar-menukar dan penilaian terhadap suatu barang akan
lebih mudah dilakukan. Selain itu, dengan uang pertukaran antara dua
barang yang berbeda secara fisik juga dapat dilakukan.
Uang sebagai ukuran pembayaran yang tertunda. Fungsi uang ini
terkait dengan transaksi pinjam-meminjam; uang merupakan salah satu
cara untuk menghitung jumlah pembayaran pinjaman tersebut. Lebih
masuk akal untuk meminjamkan uang sebesar satu juta rupiah selama
lima tahun daripada meminjamkan satu ekor kambing dalam waktu yang
sama mengingat keadaan kambing dalam lima tahun mendatang akan
berbeda dengan keadaan kambing semula.
Sekilas Perkembangan Penggunaan Uang
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, uang mempunyai sejarah yang
sangat panjang dan telah mengalami perubahan dan perkembangan
sepanjang peradaban manusia. Pada awalnya, masyarakat primitif yang
hidup berkelompok dan dapat memenuhi kebutuhan sendiri (self sufficient)
belum mengenal atau membutuhkan benda yang namanya uang (misalnya
sebagai alat penukar). Dalam perkembangan selanjutnya, setelah suatu
kelompok masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain dan tidak
dapat lagi memenuhi kebutuhannya sendiri timbulah kebutuhan untuk
melakukan pertukaran antarindividu atau antarkelompok masyarakat
tersebut.
Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, pertukaran
atau transaksi antarindividu atau antarkelompok masyarakat tersebut pada
awalnya dilakukan dengan cara menukarkan barang yang satu dengan
barang yang lain. Sistem pertukaran barang dengan barang tersebut dikenal
dengan istilah sistem barter.3 Perlu dikemukakan bahwa dalam sistem
barter harus dipenuhi kondisi yang disebut kebetulan ganda (double
coincidence). Apa yang dimaksud dengan kebetulan ganda? Kebetulan
yang pertama adalah bahwa seseorang bertemu dengan orang lain yang
akan menukarkan barangnya dan kebetulan yang kedua adalah bahwa
barang tersebut adalah barang yang saling dibutuhkan. Sebagaimana yang
telah dicontohkan sebelumnya, dalam pola pertukaran antara ayam dan
garam antarindividu, kondisi yang harus dipenuhi adalah: orang yang
memiliki ayam dan berniat ingin menukarkannya dengan garam harus
mencari orang lain yang memiliki garam dan ingin menukarkan garam
dengan ayam. Dengan demikian, dalam sistem barter, semua barang harus
dapat diukur dengan seluruh atau sebagian barang lainnya. Dalam
perkembangan selanjutnya, terutama dengan semakin kompleksnya
kehidupan ekonomi suatu masyarakat, kebetulan ganda tersebut akan
semakin sulit ditemukan. Karena kondisi yang demikian, secara bertahap
timbulah kebutuhan akan adanya suatu alat penukar untuk mempermudah
tukar-menukar atau perdagangan antarindividu dan antarkelompok
masyarakat.
Penggunaan benda-benda sebagai alat penukar (yang selanjutnya
disebut sebagai uang) semula hanya didasarkan pada kesepakatan di antara
masyarakat yang mempergunakan. Suatu benda hanya dapat dipergunakan
sebagai alat tukar setelah disepakati secara umum oleh masyarakat yang
bersangkutan, yakni, hampir setiap orang harus mau menerima benda
tersebut untuk membayar barang-barang yang diperdagangkan. Proses
tersebut berlangsung secara bertahap dan sangat lama. Telah berabad abad berbagai benda dikembangkan sebagai alat pertukaran atau alat
pembayaran untuk dapat dipergunakan dalam perdagangan. Benda tersebut
dapat berupa kulit kerang, batu permata, gading, telur, garam, beras,
binatang ternak, atau benda-benda lainnya.4 Benda yang dipergunakan
dan diterima sebagai alat pembayaran dalam sistem perekonomian yang
sangat sederhana tersebut pada umumnya adalah benda yang dianggap
berharga dan seringkali juga yang mempunyai kegunaan untuk dikonsumsi
atau keperluan produksi. Benda yang di-pergunakan sebagai uang tersebut
pada umumnya juga mudah dibawa dan tidak mudah rusak atau tahan
lama.
Di berbagai tempat atau kelompok masyarakat benda yang diperguna kan sebagai alat penukar tersebut berbeda-beda dan sangat bervariasi.
Sebagai-mana telah disinggung sebelumnya, pada awalnya benda yang
dipergunakan sebagai alat tukar yang kemudian dikenal sebagai uang
tersebut tentunya hanya berlaku dalam kelompok masyarakat dengan
cakupan wilayah tertentu saja. Pemberlakuan uang tersebut selanjutnya
berkembang dan mencakup wilayah suatu negara. Dalam perkembangan
selanjutnya hubungan dan interaksi antara kelompok masyarakat, terutama
hubungan perdagangan antarwilayah dan antarkelompok masyarakat,
semakin meluas. Untuk mem-perlancar transaksi pertukaran dan jual-beli
tersebut semakin dirasakan perlunya benda tertentu yang dapat digunakan
secara praktis sebagai pengganti uang.
Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat menggunakan benda benda seperti logam berharga dan kertas sebagai uang. Sebelum diguna kannya kertas sebagai uang, logam berharga dikenal sebagai bentuk uang
yang paling populer karena memiliki ciri-ciri yang pantas dikehendaki sebagai
uang, yaitu dapat dipecah-pecah dan dinyatakan dalam unit-unit kecil
sehingga dapat diperguna-kan untuk melakukan transaksi dengan mudah.
Selain itu, uang logam mudah dibawa, tahan lama, dan tidak mudah rusak.
Berkaitan dengan penggunaan logam sebagai uang, telah dikenal uang
logam emas dan perak sebagai alat tukar yang banyak dipakai. Penggunaan
logam mulia tersebut sebagai alat pembayaran ternyata mengalami pasang surut, antara lain sebagai akibat terbatasnya ketersediaan dan/atau
mahalnya biaya penambangan logam tersebut.5 Dalam perkembangan
selanjutnya, selain kedua logam tersebut, tembaga juga sangat diminati
mengingat logam tersebut lebih mudah didapat sehingga lebih murah
harganya. Keberadaan beberapa uang logam tersebut secara bersamaan
di tengah masyarakat menimbulkan konsekuensi logis, yaitu semakin
diminatinya uang dengan kualitas rendah (tembaga) dibandingkan dengan
uang dengan kualitas baik (emas dan perak). Apabila terus berlanjut, hal
ini dapat menyebabkan hilangnya uang dengan kualitas baik dari
peredaran.6
Dalam perkembangannya, penggunaan logam-logam berharga tersebut
menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan sistem pembayaran,
khususnya untuk transaksi yang berjumlah besar, karena selain oleh adanya
kesulitan dan biaya pengangkutan, risiko mungkin akan timbul, misalnya
perampokan. Untuk mengatasi hal ini, lembaga-lembaga swasta atau
pemerintah mulai menyimpan sertifikat-sertifikat berharga yang mewakili
logam tersebut. Pada awal penggunaannya, sertifikat tersebut didukung
sepenuhnya oleh nilai logam yang disimpan di tempat penyimpanan atau
yang dikenal sebagai bank.7 Setelah beberapa waktu digunakan dan
diterima secara luas, sertifikat tersebut tidak bergantung secara penuh
pada dukungan logam dengan nilai penuh, misalnya hanya didukung 40%
oleh simpanan emas. Dengan demikian, nilai yang tercantum pada
sertifikat yang bersangkutan (nilai nominal) tidak sama dengan nilai
jaminan fisik logam yang disimpan (nilai intrinsik). Apabila nilai nominal
suatu mata uang lebih besar dibandingkan dengan nilai intrinsiknya, uang
tersebut dikenal dengan uang fiat. Dalam hal ini uang diakui sebagai tanda
setuju. Termasuk di antara uang fiat adalah uang kertas yang kita kenal
selama ini.8
Sejarah juga mencatat bahwa penjaminan uang kertas yang beredar
oleh simpanan logam berharga, seperti emas di bank negara, mengalami
pasang surut, sejalan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung. Uang
kertas yang sudah beredar bahkan sempat tidak dijamin sama sekali
dengan simpanan emas sesaat setelah Perang Dunia I. Baru kemudian
sesaat setelah Perang Dunia II, 44 negara mayoritas yang dipelopori oleh
Amerika Serikat sepakat untuk mengaitkan kembali mata uang di dunia
(dollar Amerika) dengan emas. Kesepakatan tersebut dikenal dengan
kesepakatan Bretton Woods. Dalam perkembangannya, kesepakatan
tersebut hanya bertahan selama seperempat abad. Sebagai akibat semakin
besarnya kegiatan transaksi pasar uang dan barang yang tidak mungkin
memadai lagi apabila dibiayai dengan emas, kesepakatan Bretton Woods
akhirnya dibatalkan pada tahun 1971. Dengan demikian, sejak saat itu
pula mata uang dunia tidak dikaitkan sama sekali dengan emas.
Dengan tidak berlakunya standar emas tersebut, sampai saat ini masya rakat dunia memasuki era yang pengelolaan uangnya bergantung sepenuh nya kepada kemampuan, kesadaran, dan tanggung jawab setiap negara
da-lam mengelola perekonomian masing-masing. Dalam standar ini, setiap
negara berupaya untuk mencetak uang sesuai dengan kebutuhan masing masing.
Penggunaan uang yang telah diuraikan di atas pada dasarnya terbatas
pada lingkup pengertian uang dalam bentuk fisiknya, yaitu uang tunai
yang berupa kertas dan logam yang beredar di masyarakat. Bagaimana
dengan penggunaan uang tidak tunai? Dalam perkembangannya,
penggunaan uang tidak tunai dalam transaksi ekonomi sudah dikenal
secara terbatas pada abad ke-18, pada saat dimulainya evolusi sistem
perbankan moderen. Sejalan dengan evolusi sistem perbankan tersebut,
proses giralisasi, yaitu penyim-panan uang dalam bentuk rekening giro
(demand deposit) baru dikenal secara luas pada awal pertengahan abad
ke-20. Dalam pada itu, masyarakat mempunyai keleluasaan untuk meng gunakan baik warkat perintah penarikan maupun cek untuk melakukan
transaksi. Dalam perkembangannya, simpanan giro begitu populer
sehingga jumlahnya melebihi jumlah uang kertas dan logam yang diguna kan pada waktu itu. Sejalan dengan perkembangan tersebut, simpanan
tabungan (savings deposit) juga mulai dikenal. Bahkan, pada tahun 1950-
an, perubahan praktik perbankan telah mendorong semakin besarnya
jumlah simpanan tabungan dibandingkan dengan simpanan giro.9
Perkembangan dan inovasi sistem perbankan yang pesat selanjutnya
mengarahkan penggunaan uang sebagai suatu komoditas yang tidak
berbentuk secara konkrit (intangible money). Hal ini terkait dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat
meningkatkan efisiensi sistem pembayaran serta mengurangi waktu dan
biaya yang diperlukan untuk melakukan transaksi dengan menggunakan
cek. Sejak tahun 1990-an hingga kini terdapat kecenderungan masyarakat
untuk menggunakan “uang eloktronis” (electronic money atau E-money),
seperti internet banking, debit cards, dan automatic teller machine (ATM)
cards. Evolusi uang tidak berhenti di sini. “Uang elektronis” juga muncul
dalam bentuk smart cards, yaitu penggunaan chips pada sebuah kartu.
Penggunaan smart cards sangat praktis, yaitu dengan “mengisi” chips
dengan sejumlah uang tertentu yang dikehen-daki, dan selanjutnya
menggunakannya untuk melakukan transaksi. 10
Otorita Penciptaan Uang
Dalam sejarah awal penggunaan uang sebagaimana telah diuraikan sebe lumnya, secara tersirat terlihat bahwa penguasa daerah atau negara yang
bersangkutanlah yang mempunyai wewenang untuk menciptakan dan
mengedarkan uang.11 Salah satu contohnya adalah penciptaan uang kertas
pertama kali pada awal abad ke-9 yang dilakukan oleh kaisar Cina.
Dalam perekonomian moderen, dalam suatu pemerintahan yang
struktur kelembagaannya sudah tertata dengan baik, penguasa negara
menetap-kan lembaga yang mempunyai wewenang dan memegang
peranan utama dalam penciptaan uang, yang meliputi kegiatan pengeluaran
dan pengedaran uang. Mengapa demikian? Hal ini terjadi tidak lain karena
keberadaan uang dianggap mewakili keberadaan negara yang bersang kutan. Sangatlah wajar apabila ditetapkan lembaga yang atas nama negara
atau pemerintahan yang berwenang untuk menciptakan uang. Pada
umumnya, lembaga ini dikenal sebagai otoritas moneter atau bank sentral.
Dengan semakin tumbuh dan berkembangnya suatu pemerintahan,
terutama dengan semakin meningkatnya kegiatan pereko-nomian suatu
negara, keberadaan lembaga yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
masalah uang tersebut semakin dibutuhkan.
Hampir setiap negara di dunia mempunyai lembaga yang bertugas
untuk melaksanakan fungsi otoritas moneter, yang salah satunya adalah
mengeluarkan dan mengedarkan uang.12 Di Indonesia fungsi tersebut
sesuai dengan undang-undang yang berlaku dilaksanakan oleh Bank
Indonesia yang merupakan bank sentral Republik Indonesia.13 Fungsi
otoritas moneter di berbagai negara pada umumnya juga dilaksanakan
oleh bank sentral negara yang bersangkutan, misalnya di Malaysia dilaku kan oleh Bank Negara Malaysia, di Thailand oleh Bank of Thailand, dan
di Inggris oleh Bank of England.14 Meskipun demikian, perlu dicatat
bahwa saat ini di beberapa negara lembaga selain bank sentral juga mem punyai wewenang dalam melaksanakan fungsi otoritas moneter. Di
Amerika Serikat, selain bank sentral (the Federal Reserve), Departemen
Keuangan (Treasury Department) juga mempunyai wewenang untuk
menciptakan uang dengan pecahan logam tertentu.15
Uang Beredar
Pengertian Uang Beredar
Setelah memahami seluk-beluk uang secara fisik dan perkembangannya
secara umum, selanjutnya akan dibahas pengertian uang secara lebih
khusus, yaitu uang beredar. Uang beredar adalah suatu istilah yang
dipergunakan dalam ilmu ekonomi moneter. Membaca istilah tersebut
mungkin akan timbul pertanyaan: Apa itu uang beredar? Apakah ada uang
yang tidak beredar? Apakah uang beredar sama dengan uang tunai? Banyak
pertanyaan yang dapat timbul dari istilah tersebut. Untuk itu, secara
bertahap akan diuraikan konsep tentang uang beredar tersebut.
Sebelum sampai pada pengertian atau konsep uang beredar perlu
dipahami terlebih dahulu penggunaan uang dalam praktik kehidupan
sehari-hari. Masyarakat pada umumnya lebih mengenal istilah uang tunai
yang terdiri dari uang kertas dan uang logam. Uang tunai adalah uang
yang ada di tangan masyarakat (di luar bank umum) dan siap dibelanjakan
setiap saat, terutama untuk pembayaran-pembayaran dalam jumlah yang
tidak terlalu besar. Uang tunai tersebut juga sering disebut sebagai uang
kartal. Di Indonesia, uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang
beredar di masyarakat yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank
Indonesia yang berfungsi sebagai otoritas moneter.
Apakah pembayaran tunai hanya dapat dilakukan dengan membayar
dengan uang tunai? Tentu saja tidak. Untuk melakukan pembayaran tunai
dalam jumlah yang besar tentunya tidak praktis kalau harus dilakukan
dengan membawa-bawa uang tunai. Selain berat membawanya, tentunya
juga kurang aman. Pembayaran tunai juga dapat dilakukan dengan cek.
Sebagaimana diketahui, cek adalah juga dianggap sebagai alat pembayaran
tunai. Satu hal yang harus diingat ialah bahwa seseorang yang ingin
melakukan pembayaran dengan cek sebelumnya harus mempunyai simpa nan dalam bentuk rekening giro di suatu bank umum (demand deposits).
Reke-ning giro adalah suatu rekening simpanan di bank umum yang
penarikan-nya dapat dilakukan sewaktu-waktu. Mempunyai rekening giro
sebenarnya sama dengan mempunyai uang tunai. Perbedaannya adalah
kalau akan membayar dengan uang, yang dilakukan cukup dengan membe rikan uang tunai, sedangkan apabila melakukan pembayaran dari uang yang
telah disimpan dalam rekening giro, perlu satu langkah lagi yang harus
dilakukan, yaitu menulis jumlah pembayaran yang diinginkan pada selembar
cek. Uang yang berada dalam rekening giro di bank umum terse-but sering
disebut sebagai uang giral.
16 Berdasarkan uraian tersebut, terlihat jelas
bahwa bank umum adalah sebagai lembaga keuangan yang dapat
menciptakan uang, yaitu yang namanya uang giral. Oleh sebab itu, bank
umum juga dikenal sebagai bank umum pencipta uang giral (BPUG).
Dengan uang kartal dan uang giral masyarakat dapat melakukan pem bayaran tunai secara langsung. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
dengan simpanan uang tunai dalam bentuk tabungan (savings deposits)
dan/atau deposito berjangka (time deposits) di bank? Sebagaimana
diketahui, penarikan simpanan berupa tabungan dan deposito berjangka
tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu. Lazimnya, penarikan rekening
tabungan dan deposito berjangka adalah sesuai dengan yang telah
diperjanjikan antara penabung dengan bank, misalnya dalam jangka waktu
1 bulan atau 3 bulan.18 Karena penarikannya tidak dapat dilakukan
sewaktu-waktu, pemilik rekening tabungan dan deposito berjangka
tersebut untuk sementara tidak dapat melakukan pembayaran secara
langsung karena harus menunggu sampai rekening tabungan atau deposito
berjangka tersebut jatuh tempo.19 Uang yang disimpan dalam rekening
tabungan dan deposito berjangka tersebut disebut sebagai uang kuasi.
Dari ketiga jenis uang yang telah diuraikan sebelumnya terdapat dua
perbedaan pokok. Yang pertama, apabila dilihat dari lembaga yang
mengeluarkan dan mengedarkan, terlihat bahwa uang kartal dikeluarkan
dan diedarkan bank sentral, sementara uang giral dan uang kuasi diciptakan
dan diedarkan oleh bank umum. Perbedaan yang kedua, apabila dilihat
dari penggunaanya, uang kartal dan uang giral dapat dipergunakan
langsung sebagai alat pembayaran sedangkan uang kuasi tidak dapat
langsung dipergunakan sebagai alat pembayaran. Dengan kata lain, uang
kartal dan uang giral lebih likuid dibandingkan dengan uang kuasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa otoritas
moneter (bank sentral) dan bank umum adalah lembaga yang dapat
menciptakan uang. Bank sentral mengeluarkan dan mengedarkan uang
kartal sedangkan bank umum mengeluarkan dan mengedarkan uang giral
serta uang kuasi. Kedua lembaga ini disebut sebagai lembaga yang
termasuk dalam sistem moneter. Disebut demikian karena kedua lembaga
tersebut mempunyai fungsi moneter, yaitu antara lain dapat menciptakan
uang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Semua uang yang dikeluarkan dan diedarkan merupakan kewajiban
lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkannya. Sebagai contoh,
sebuah bank mempunyai kewajiban uang giral sebesar rekening giro yang
disimpan masyarakat, ditambah dengan kewajiban uang kuasi sebesar
tabungan dan deposito berjangka yang disimpan masyarakat di bank yang
bersangkutan.
Dengan mengeluarkan dan mengedarkan uang berarti sistem moneter
mempunyai kewajiban kepada sektor swasta domestik atau penduduk/
masyarakat yang terdiri dari individu, badan usaha, dan lembaga lain nya.20 Berdasarkan pengertian tersebut, uang beredar didefinisikan sebagai
kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik.
Jenis-jenis Uang Beredar
Dalam praktik, berbagai negara menggunakan uang beredar dengan jenis
yang beragam. Jenis-jenis uang beredar tersebut secara resmi didefinisikan
ber-dasarkan komponen yang tercakup di dalamnya. Komponen tersebut
pada umumnya adalah ketiga jenis uang yang telah dikenal pada bagian
sebelumnya, yaitu uang kartal, uang giral, dan uang kuasi. Dengan demi kian, sesuai dengan cakupan uang beredar yang beragam, jenis uang
beredar pun beragam, mulai dari pengertian atau definisi yang paling
sempit sampai yang paling luas. Uang kartal atau uang tunai seperti yang
telah diuraikan di atas sebenarnya merupakan jenis uang beredar dalam
pengertian yang paling sempit.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, uang beredar didefinisikan
sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik. Di
Indonesia saat ini kita hanya mengenal dua macam uang beredar saja,
yaitu:
Uang beredar dalam arti sempit, yang sering diberi simbol M1,
didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta
domestik yang terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D).
- Uang beredar dalam arti luas, yang sering juga disebut sebagai
likuiditas perekonomian dan diberi simbol M2, didefinisikan sebagai
kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri
dari uang kartal (C), uang giral (D), dan uang kuasi (T). Dengan kata
lain M2 adalah M1 ditambah dengan uang kuasi (T).
Sementara itu, definisi uang beredar di berbagai negara dapat bervariasi
sesuai dengan kondisi sektor keuangan dan perbankan serta kebutuhan
otoritas moneter negara yang bersangkutan. Di Amerika Serikat misalnya,
definisi uang beredar tidak hanya mengenal istilah M1 dan M2 saja, namun
juga M3. Sebagai ilustrasi, perkembangan uang beredar di Indonesia dalam
dua dekade terakhir dapat dilihat grafik di bawah ini.
Pada awal tulisan ini telah dikemukakan berbagai kesulitan dalam
mendefinisikan uang, terutama apabila sudah dikaitkan dengan pengertian
uang beredar karena pengertian uang telah mengalami evolusi dalam waktu
yang sangat panjang. Pada awalnya, dalam sistem perekonomian yang
sederhana, yang dimaksud dengan uang adalah uang yang dikeluarkan
dan diedarkan oleh penguasa (otoritas moneter) pada waktu tersebut dan
merupakan uang kartal saja.
Pada pertengahan abad ke-19, pada saat bank bank umum komersial
baru pada tahap awal perkembangannya, simpanan dalam bentuk rekening
giro (uang giral) masih baru dan hanya dikenal oleh orang-orang kaya
atau pedagang saja; masyarakat luas belum mengenal dan menggunakan nya. Pada waktu tersebut timbul perdebatan apakah simpanan dalam
bentuk giro yang sebenarnya merupakan substitusi uang tunai tersebut
dapat dikategorikan sebagai uang. Pada waktu itu disepakati bahwa uang
simpanan di bank tersebut tidak dapat dianggap sebagai uang.
Dengan semakin berkembangnya kegiatan bank umum pada per tengahan pertama abad ke-20, terutama di Amerika, Inggris, dan Kanada,
yang diikuti oleh berkembangnya kegiatan ekonomi, semakin banyak
masyarakat yang memanfaatkan jasa-jasa bank umum. Pada waktu itu
simpanan dalam bentuk giro (demand deposit) yang merupakan substitusi
dari uang tunai, sebagaimana uang giral pada saat ini, mulai diakui sebagai
uang beredar. Sejak saat itu mulai dikenal apa yang sekarang merupakan
konsep uang beredar dalam arti sempit, yang diberi simbol M1. Pada
awal tahun 1960 mulai dikenal konsep uang beredar dalam arti luas atau
yang dikenal sebagai M2, yaitu dengan menambahkan uang kuasi yang
terdiri dari simpanan berjangka di bank terhadap definisi uang dalam arti
sempit (M1). 22
Salah satu isyu yang juga terjadi dalam perekonomian Indonesia adalah
mengenai keberadaan simpanan tabungan (savings deposits) dalam M2,
padahal, sebagaimana diketahui, kebanyakan tabungan yang ditawarkan
oleh perbankan dewasa ini adalah jenis tabungan yang dapat ditarik
sewaktu-waktu. Ditambah dengan kemudahan pelayanan melalui
penggunaan kartu ATM, sifat simpanan tabungan dinilai sama dengan
simpanan giral, bahkan hampir sama dengan uang tunai. Dengan demikian,
simpanan tabungan jenis tersebut seharusnya digolongkan ke dalam jenis
uang M1, bukan M2.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian uang beredar telah
berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan
di sektor keuangan dan perbankan. Seperti yang telah diketahui, menjelang
akhir abad ke-20 sektor keuangan dan perbankan telah berkembang sangat
pesat. Keadaan tersebut terutama juga ditunjang oleh pesatnya perkem bangan teknologi informasi dan komunikasi dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan perkembangan tersebut, telah berkembang produk-produk baru
di bidang keuangan dan perbankan, seperti credit cards, debit cards, dan
internet banking. Dengan perkembangan tersebut, pengertian uang beredar
tentunya juga akan mengalami perubahan. Hal ini tentunya dimaksudkan
secara tidak langsung untuk menampung keragaman transaksi keuangan
masyarakat. Seperti telah dicontohkan sebelumnya, Bank Sentral Amerika
Serikat dalam mengitung jumlah uang beredar tidak hanya menggunakan
jenis pengelompokan M1 dan M2 saja, namun juga M3. Inggris mengguna kan jenis pengelompokan M1, M2, dan M4. Sementara itu, Kanada meng gunakan jenis pengelompokan yang lebih rinci lagi, yaitu M1, M2, M2+,
adjusted M2+, dan M3.23
Mekanisme Penciptaan Uang
Dalam bab satu telah dibahas pengertian uang menurut fungsinya, perkem bangan penggunaan uang, dan otoritas yang mempunyai wewenang untuk
megeluarkan serta mengedarkan uang. Adapun dalam bab dua telah di bahas pula pengertian uang beredar, jenis-jenis uang beredar, dan perkem bangan pengertian uang beredar dari waktu ke waktu. Selanjutnya, akan
dibahas bagaimana uang beredar itu diciptakan.
Untuk menjelaskan hal tersebut, perlu duraikan terlebih dahulu siapa
saja pelaku dalam proses penciptaan uang. Berdasarkan pengelompokan
peranannya, secara umum dikenal tiga pelaku utama, yaitu (i) otoritas
moneter, (ii) bank umum, dan (iii) masyarakat atau sektor swasta domestik.
Pada dasarnya, ketiga pelaku tersebut berinteraksi sedemikian rupa sehingga
penyediaan (penawaran) uang oleh otoritas moneter dan bank sesuai dengan
kebutuhan (permintaan) masyarakat akan uang tersebut. Secara sederhana
dapat diuraikan: otoritas moneter menciptakan uang kartal, sementara bank
umum menciptakan uang giral dan uang kuasi, sedangkan masyarakat akan
menggunakan uang yang diciptakan oleh otoritas moneter dan bank umum
tersebut untuk melaksanakan kegiatan ekonomi.
Penciptaan Uang Primer oleh Otoritas Moneter
Sebelum dikenal konsep otoritas moneter, hak monopoli untuk menge luarkan dan mengedarkan uang ada pada penguasa; dalam hal ini misalnya
raja (atau kerajaan). Sejalan dengan berkembangnya sistem ekonomi dan
dikenalnya sistem perbankan, konsep otoritas moneter atau bank sentral
juga mulai dikenal. Pada tahap ini hak monopoli untuk mengeluarkan
dan mengedarkan uang pada umumnya berada pada bank sentral.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bab dua, sebagai
pelaksana fungsi otoritas moneter, bank sentral mempunyai wewenang
untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal yang terdiri dari uang
kertas dan uang logam. Dalam praktik, ternyata bank sentral juga menerima
simpanan giro bank umum. Uang kartal dan simpanan giro bank umum
di bank sentral tersebut selanjutnya disebut sebagai uang primer atau
uang inti karena jenis uang ini merupakan inti atau “biang” dalam proses
penciptaan uang beredar yang sudah dikenal dari uraian sebelumnya, yaitu
uang kartal, uang giral, dan uang kuasi.
Di Indonesia uang primer didefinisikan sebagai kewajiban otoritas
moneter (Bank Indonesia) terhadap sektor swasta domestik dan bank
umum, yang berupa uang kertas dan uang logam yang berada di luar
Bank Indonesia serta simpanan giro bank umum di Bank Indonesia. Ilus trasi mengenai perkembangan uang primer dan uang beredar di Indonesia
dalam dua dekade terakhir dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Untuk mempermudah pengertian uang primer, dapat diberikan contoh
sebagai berikut.
Seorang eksportir Indonesia menerima pembayaran dalam bentuk wesel
ekspor sebesar $1 juta dengan kurs Rp5.000,00/dolar. Kemudian si
eksportir menjual wesel ekspor tersebut ke Bank A. Terhadap penjualan
ini, si eksportir melepaskan haknya atas uang $1 juta tersebut dan
sebagai gantinya Bank A akan membukukan sejumlah Rp5 miliar
sebagai tambahan pada saldo rekening si eksportir di Bank A. Apabila
si eksportir tidak bermaksud menarik tunai simpanan gironya maka
yang terjadi selanjutnya adalah Bank A menjual wesel ekspor tersebut
ke Bank Indonesia. Terhadap penjualan ini, Bank A melepaskan haknya
atas uang $1 juta tersebut dan sebagai gantinya Bank Indonesia akan
membukukan sejumlah Rp5 miliar sebagai tambahan pada saldo
rekening giro Bank A pada Bank Indonesia. Dengan penambahan pada
saldo rekening giro Bank A di Bank Indonesia tersebut pada dasarnya
telah tercipta uang primer sebesar Rp5 miliar.
Dari uraian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa apakah si eksportir
berniat atau tidak untuk menguangkan ceknya tidak mengubah kenyataan
bahwa uang primer sebesar Rp5 miliar telah tercipta. Bentuk uang primer
tersebut dapat berupa saldo rekening giro Bank A di Bank Indonesia atau
dapat pula berupa uang tunai yang diterima si eksportir.
Berdasarkan contoh di atas, uang primer di Indonesia dapat didefini sikan sebagai:
(i) uang tunai (uang kartal) yang dipegang baik oleh masyarakat maupun
bank umum, ditambah dengan
(ii) saldo rekening giro atau cadangan milik bank umum dan masyarakat
di Bank Indonesia.24
Dalam praktik uang primer tersebut diberi simbol M0. Perlu diketahui
bahwa semua uang tunai yang dicetak oleh otoritas moneter adalah uang
primer, tidak peduli apakah dipegang oleh masyarakat atau disimpan di
bank-bank umum. Dengan demikian, uang kartal adalah uang primer tetapi
tidak semua uang primer adalah uang kartal.
Hubungan antara komponen-komponen M0, M1, dan M2 dapat diilus trasikan melalui diagram di bawah ini.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Primer
Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi uang primer perlu
diketahui terlebih dahulu Neraca Otoritas Moneter. Di Indonesia, neraca
tersebut secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut.
Secara garis besar, sisi pasiva (kewajiban) neraca otoritas moneter
memuat komponen-komponen uang primer, yang terdiri dari (i) Uang
kartal yang beredar di masyarakat maupun uang kartal yang ada di kas
bank umum, dan (ii) Saldo rekening giro atau cadangan milik bank umum
dan masyarakat di Bank Indonesia
Sementara itu, sisi aktiva (kekayaan) neraca otoritas moneter memuat
sumber atau faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan uang primer,
yaitu:
(i) Aktiva Luar Negeri Bersih (net foreign assets)
Faktor atau sumber ini antara lain timbul sebagai akibat terjadinya
transaksi luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya
penarikan dan pelunasan pinjaman luar negeri.
(ii) Aktiva Dalam Negeri Bersih (net domestic assets)
Faktor ini bersumber dari transaksi dalam bentuk mata uang domestik
yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta domestik, dan bank
umum. Transaksi oleh pemerintah antara lain berkaitan dengan
penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang tercermin dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Sementara itu,
tagihan kepada sektor swasta domestik dan bank umumantara lain
berkaitan dengan pemberian bantuan likuiditas dalam rangka
pelaksanaan fungsi lender of last resort.
(iii) Aktiva Lainnya Bersih (net other items)
Faktor atau sumber ini merupakan pos yang disediakan untuk
menampung berbagai pos yang tidak dimasukkan ke dalam kelompok kelompok yang telah disebutkan sebelumnya. Salah satu contohnya
adalah pos Modal dan Cadangan.
Penciptaan Uang oleh Bank Umum
Seperti yang telah dijelaskan, bank umum memiliki kedudukan yang
khusus dalam sistem moneter karena bank umum mempunyai kemampuan
untuk menciptakan uang dalam bentuk uang giral dan uang kuasi.
Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana terciptanya uang giral dan uang
kuasi tersebut?
Penciptaan uang giral dan uang kuasi tersebut secara umum dapat
melalui beberapa cara sebagai berikut.
(i) Substitusi, melalui proses substitusi ini seseorang dapat menyetorkan
uang kartal ke bank umum untuk dimasukkan ke dalam simpanan
giro, simpanan tabungan, atau sebagai deposito.
(ii) Transformasi, melalui proses transformasi ini bank umum dapat
membeli surat-surat berharga dan kemudian membukukan surat-surat
berharga yang dibeli ke dalam simpanan giro atas nama yang
bersangkutan atau membukukan ke dalam simpanan tabungan atau
deposito.
(iii) Pemberian kredit, melalui proses ini bank-bank umum dapat
memberikan kredit kepada nasabahnya dan membukukan kredit
tersebut ke rekening giro atas nama debitur yang menerima kredit
tersebut.
Perlu diketahui bahwa dalam proses substitusi dan transformasi
terdapat kemungkinan terjadinya perpindahan bentuk dari uang giral ke
uang kuasi melalui pemindahbukuan. Hal tersebut dapat terjadi karena
dalam praktik suku bunga deposito berjangka pada umumnya lebih tinggi
dibandingkan dengan jasa giro. Namun, pergeseran tersebut tergantung
pada daya tarik simpanan dalam bentuk tabungan atau deposito berjangka
dibandingkan dengan simpanan dalam bentuk giro. Sementara itu, dalam
proses pemberian kredit pada umumnya tidak dibukukan sebagai tabungan
atau deposito karena, pada umumnya, suku bunga pinjaman lebih tinggi
dibandingkan dengan suku bunga tabungan atau deposito.
Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar:
Keberadaan Angka Pelipat Ganda Uang
Setelah dibahas proses penciptaan uang baik oleh bank umum maupun
otoritas moneter dan sekilas mengenal uang primer (M0), uang beredar
dalam arti sempit (M1), dan uang beredar dalam arti luas (M2), pada bagian
ini akan dibahas hubungan antara M0 dengan M1 dan M0 dengan M2.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, uang primer atau M0
merupakan “inti” dalam proses penciptaan uang beredar. Sementara itu,
juga sudah diketahui bahwa bank sentral mempunyai kemampuan untuk
mengendalikan uang primer yang berada pada sisi pasiva Neraca Otoritas
Moneter. Apakah dengan demikian otoritas moneter dapat sepenuhnya
mengendalikan uang beredar?
Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak mudah mengingat kemampuan
otoritas moneter dalam mengatur jumlah uang beredar sangat tergantung
pada berbagai faktor dan terutama karena bank umum juga mempunyai
peranan dan kemampuan untuk menciptakan uang giral dan uang kuasi.
Sementara itu, uang beredar juga dipengaruhi oleh perilaku masyarakat
dalam membelanjakan uangnya.
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui terlebih dahulu konsep
angka pelipat ganda uang (money multiplier). Konsep ini muncul sejalan
dengan kondisi bahwa dalam menciptakan uang giral dan uang kuasi bank
tidak harus menjamin sepenuhnya uang tersebut dengan uang tunai yang
ada di kasnya. Berikut ini ilustrasi yang sangat sederhana untuk memahami
keberadaan angka pelipat ganda uang tersebut.
Misalnya, seorang nasabah mempunyai uang tunai sebesar Rp1 juta
yang disimpan dalam rekening tabungannya di Bank A. Bank A sebagai
lembaga yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat tentunya
tidak akan menahan uang begitu saja. Karena atas rekening tabungan
tersebut Bank A harus membayar biaya bunga maka dana yang berasal
dari tabungan tersebut akan kembali ditanamkan, misalnya dalam bentuk
pemberian kredit. Tentu saja Bank A tidak dapat menanamkan seluruh
dana yang disimpan masyarakat untuk pemberian kredit karena Bank A
harus mempertimbangkan pula keperluan lainnya, misalnya menyimpan
dana untuk keperluan berjaga-jaga atau memenuhi ketentuan bank sentral
yang umumnya juga mewajibkan kepada seluruh bank umum untuk
menyimpan sebagian dananya di bank sentral. Ketentuan bank sentral
tersebut sering disebut sebagai Reserve Requirement, yang di Indonesia
dikenal dengan ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM). Pada saat ini
Bank Indonesia menetapkan GWM dalam rupiah sebesar 5% dari seluruh
simpanan masyarakat.
Misalnya, semua bank umum hanya mempertimbangkan pemenuhan
kewajiban atas ketentuan GWM yang telah ditetapkan, yaitu 5%. Dengan
demikian, Bank A harus menyisakan untuk cadangan sebesar 5% x Rp1
juta atau sebesar Rp50 ribu sehingga Bank A masih dapat memberikan
kredit sebesar Rp950.000,00. Proses tersebut tidak berhenti sampai di
sini. Misalnya, penerima kredit tersebut menyimpan dana tersebut di Bank
B maka proses yang terjadi adalah seperti pada Bank A. Selanjutnya,
Bank B menahan dana sebesar 5% dari Rp950.000,00 atau sebesar
Rp47.500,00 dan menyalurkan sisanya sebesar Rp902.500,00 ke pihak
lain dalam bentuk kredit. Demikian pula, seandainya pihak lain tersebut
menyimpan dana tersebut ke Bank C maka proses yang terjadi adalah
seperti pada Bank A dan Bank B. Dalam hal ini, Bank C menahan dana
sebesar 5% dari Rp902.500,00 atau sebesar Rp45.125,00 dan menyalurkan
sisanya sebesar Rp857.375,00 ke pihak lain dalam bentuk kredit. Proses
ini berlangsung seterusnya sampai waktu yang tidak terhingga. Apabila
diasumsikan bahwa ketentuan GWM sebesar 5% tersebut berlangsung
terus dan dalam proses tersebut tidak terdapat kebocoran, baik berupa
biaya transaksi/administrasi maupun penyimpangan perilaku bank umum
dan masyarakat dalam mengelola dananya, maka potensi penyaluran kredit
dapat dihitung secara sederhana, yaitu:
1 juta + [(1 - 5%) x 1 juta] + [(1 -5%)2 x 1 juta] + [(1 - 5%)3 x 1 juta] +
… = 1 juta + 950.000 + 902.500 + 857.375 + ….. = 20 juta
Penjumlahan angka tersebut dapat dituliskan dalam rumus sederhana,
yaitu:
1/(5%) x 1 juta = 20 juta
Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam proses penciptaan uang
beredar penambahan uang primer sebesar Rp1 juta dapat mengakibatkan
pertambahan uang beredar menjadi sekitar Rp20 juta, yaitu dalam bentuk
kredit. Hal ini terjadi karena terdapat faktor yang “melipatgandakan” uang
primer tersebut, yaitu sekitar 20 kali. Besarnya pelipatgandaan yang terjadi
tentunya tergantung pada perilaku otoritas moneter, bank umum, dan
masyarakat. Berdasarkan contoh di atas, misalnya otoritas moneter
mengubah rasio GWM dari 5% menjadi 1%, maka uang beredar akan
dapat bertambah menjadi 1/(1%) x 1 juta, atau Rp100 juta.
Perlu ditekankan bahwa uraian di atas hanya mempertimbangkan
perilaku otoritas moneter. Pengamatan terhadap proses penciptaan uang
beredar yang lebih lengkap tentunya harus mempertimbangkan perilaku
bank umum dan masyarakat secara keseluruhan. Proses tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Seperti telah diketahui, dari Neraca Otoritas Moneter diketahui bahwa
secara umum, uang primer terdiri dari uang kartal (C) dan saldo giro bank
umum di bank sentral (R) atau dapat diformulasikan dalam persamaan
sebagi berikut.27
M0 = C + R …. (1)
Sementara itu, berdasarkan Neraca Sistem Moneter, uang beredar
dalam arti sempit (M1) terdiri uang kartal (C) dan uang giral (D) sedangkan
uang beredar dalam arti luas (M2) terdiri dari M1 ditambah dengan uang
kuasi (T).28
Konsep tersebut dapat diformulasikan dalam persamaan
sebagai berikut.
M1 = C + D …. (2)
M2 = C + D + T …. (3)
Dengan menyederhandakan C/D = c, T/D = t, dan R/(D+T) = r, maka
didapatkan angka pelipat ganda uang untuk masing-masing M1 dan M2
(yang disimbolkan dengan mm1 dan mm2) yang dapat menggambarkan
interaksi antara otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat, yaitu:
mm1 = M1/M0 =
c + 1
…. (4)
c + [r x (t + 1)]
mm2 = M2/M0 =
c + t + 1
…. (5)
c + [r x (t + 1)]
Formulasi di atas merupakan definisi angka pelipat ganda uang, yaitu
perbandingan atau rasio uang beredar terhadap uang primer. 29
Pada hakikatnya, c, t, dan r merupakan determinan angka pelipat ganda
uang. c adalah rasio uang kartal terhadap uang giral atau sering disebut
currency ratio. t adalah rasio tabungan dan deposito (uang kuasi) terhadap
uang giral atau sering disebut time and savings deposit ratio. r adalah
rasio cadangan bank terhadap total simpanan yang meliputi uang giral
dan uang kuasi atau sering disebut sebagai reserve ratio. Apabila dikaitkan
dengan contoh sebelumnya yang hanya mempertimbangkan perilaku
otoritas moneter, penghitungan angka pelipat ganda uang hanya
mempertimbangkan determinan reserve ratio (r), yaitu dalam bentuk rasio
ketentuan GWM. Setelah mempertimbangkan interaksi antara otoritas
moneter, bank umum, dan masyarakat, tidak hanya reserve ratio (r) yang
diperhitungkan namun juga determinan lain, yaitu currency ratio (c) dan
time and savings deposit ratio (t).
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa naik turunnya angka pelipat ganda
uang dipengaruhi oleh ketiga determinan angka pelipat ganda uang, yaitu
currency ratio, time and savings deposit ratio, dan reserve ratio. Perlu
dikemukakan bahwa perkembangan angka pelipat ganda uang tidaklah
bersifat konstan. Angka tersebut senantiasa berubah-ubah sejalan dengan
pola interaksi antara otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat. Angka
pelipat ganda uang di Indonesia dalam tiga dekade terakhir dapat dilihat
pada grafik di bawah.
Berikut akan dibahas faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
determinan-determinan angka pelipat ganda uang tersebut.
Currency Ratio ( c )
Tinggi rendahnya currency ratio pada dasarnya dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat dalam memilih memegang uang kartal atau uang giral. Dalam
hal ini, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat
tersebut, antara lain biaya pemegangan, kenyamanan, dan keamanan dalam
menggunakan uang kartal atau uang giral.
a. Biaya penggunaan uang giral
Dalam hal memilih untuk menggunakan uang kartal atau uang giral,
masyarakat tentunya akan memperhitungkan biaya-biaya yang timbul
dari penggunaan uang tersebut, antara lain biaya transportasi menuju
ke bank dan biaya pemeliharaan rekening giro yang dikenakan oleh
bank. Dalam perekonomian yang kurang maju, khususnya di daerah
yang tidak didukung oleh sektor perbankan dengan baik, biaya tersebut
bisa jadi merupakan faktor utama yang dipertimbangkan oleh
masyarakat, terutama kalau mengingat pemeliharaan rekening giro yang
umumnya tidak diberikan bunga; kalau pun ada, bunga atau jasa giro
yang diberikan sangat rendah.30 Dalam hal terdapat bunga atau jasa
giro, masyarakat akan memperhitungkan biaya penggunaan yang
timbul, yaitu biaya pemeliharaan rekening dikurangi jasa giro. Dalam
kasus ini, biasanya biaya pemegangan uang giral lebih tinggi dibanding kan dengan bunga atau jasa giro sehingga masyarakat cenderung
memegang uang kartal daripada uang giral. Dapat disimpulkan bahwa
rasio uang kartal terhadap uang giral berubah searah dengan biaya
penggunaan uang giral.
b. Kenyamanan dan Keamanan
Namun, kondisi yang diuraikan di atas bukan merupakan kasus dalam
perekonomian yang sudah maju, yang masyarakatnya akan mem pertimbangkan faktor lain yang dianggap lebih relevan, antara lain
kenyaman dan keamanan. Dua faktor tersebut merupakan dua di antara
beberapa kelebihan uang giral apabila dibandingkan dengan uang
kartal. Untuk transaksi dalam jumlah yang relatif besar, pembayaran
dengan menggunakan uang giral dapat dilakukan dengan lebih praktis
dan mudah karena selain dapat dilakukan melalui transfer, pembayaran
tersebut juga tidak memerlukan pecahan tertentu dan sebagainya. Selain
itu, penyimpanan dalam bentuk uang giral lebih aman dari pencurian,
kebakaran, dan sebagainya.
Currency ratio di Indonesia dalam tiga dekade terakhir dapat dilihat pada
grafik di bawah. Sejalan dengan perkembangan perekonomian, khususnya
di sektor keuangan, currency ratio secara umum cenderung mengalami
penurunan.
Time and savings deposit ratio ( t )
Tinggi rendahnya time deposit ratio pada dasarnya dipengaruhi oleh
perilaku masyarakat dalam memilih memegang uang kuasi atau uang giral.
Dalam hal ini, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku
masyarakat tersebut, antara lain biaya relatif (oportunity cost), pendapatan
masyarakat, dan inovasi atau kemajuan layanan sektor perbankan.
a. Biaya relatif (oportunity cost)
Pertama, perlu diasumsikan terlebih dahulu bahwa terdapat bunga atau
jasa giro walaupun relatif sangat rendah. Dengan demikian, rasio uang
kuasi terhadap uang giral akan berubah secara berlawanan arah dengan
biaya untuk menahan uang kuasi relatif terhadap biaya menahan uang
giral. Biaya relatif menahan uang kuasi adalah sebesar suku bunga
pasar dikurangi dengan suku bunga yang dibayarkan untuk uang
kuasi.31 Biaya relatif untuk menahan uang giral adalah suku bunga
pasar dikurangi dengan suku bunga rekening giro. Dengan demikian,
rasio uang kuasi terhadap uang giral berubah searah dengan suku bunga
untuk uang kuasi dan berlawanan arah dengan suku bunga untuk uang
giral.
b. Pendapatan masyarakat
Seperti halnya rasio uang kartal terhadap uang giral, perubahan
pendapatan pada umumnya akan mendorong perubahan rasio uang
kuasi terhadap uang giral, sepanjang kedua jenis uang tersebut mem punyai respon (elastisitas) terhadap pendapatan yang berbeda. Pada
umumnya, orang berpendapat bahwa uang kuasi lebih elastis terhadap
pendapatan dibandingkan dengan uang giral. Dengan demikian, rasio
uang kuasi terhadap uang giral akan berubah searah dengan perubahan
tingkat pendapatan.
c. Kemajuan layanan sektor perbankan
Dalam kondisi belum terdapatnya layanan bank secara otomatis melalui
layanan elektronis, untuk dapat menggunakan uang kuasi dalam ber-
transaksi seseorang mengorbankan waktu, biaya, dan ketidaknya manan, misalnya harus pergi ke lokasi tertentu tempat bank berada
baik untuk melakukan penarikan secara tunai maupun transfer dana ke
rekening gironya terlebih dahulu (agar dapat menggunakan cek).
Dengan adanya inovasi produk perbankan yang memberikan
kemudahan layanan kepada nasabah, seperti ATM, transfer elektronis
melalui internet atau telepon, pengorbanan waktu, biaya, dan
ketidaknyamanan seperti di atas dapat dikurangi secara berarti. Dengan
demikian, layanan sektor perbankan yang semakin maju mendorong
masyarakat untuk menggunakan uang kuasi sehingga rasio uang kuasi
terhadap uang giral akan meningkat.
Time and savings deposit ratio di Indonesia dalam tiga dekade terakhir
dapat dilihat pada grafik di bawah. Sejalan dengan perkembangan
perekonomian, khususnya di sektor keuangan, sejak tahun 1983 time and
savings deposit ratio mengalami peningkatan yang berarti secara terus menerus. Seperti diketahui, sejalan dengan Kebijakan Deregulasi
Perbankan 1 Juni 1983, pagu suku bunga dan kredit dihapuskan. Hal ini
mendorong peningkatan suku bunga simpanan, yang selanjutnya
mendorong mobilisasi dana masyarakat untuk mendukung kegiatan
ekonomi. Kebijakan deregulasi tersebut secara mendasar juga ikut
mendorong perubahan struktural perekonomian Indonesia, khususnya
sektor keuangan. Hal ini antara lain tercermin pada meningkatnya tingkat
penggunaan uang (monetisasi) di masyarakat serta menurunnya tingkat
perputaran uang dalam perekonomian. (Boks: Tingkat Penggunaan dan
Perputaran Uang di Indonesia)
Reserve ratio ( r )
Dalam pelaksanaan operasional kegiatan bank, jumlah uang tunai yang
dicadangan secara total sebenarnya susah untuk dihitung. Hal ini me ngingat jumlah cadangan tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen dengan jumlah tetap dan komponen lainnya yang merupakan
kelebihan dari jumlah tetap. Komponen pertama yang tentunya dapat
diperkirakan jumlahnya dikenal sebagai cadangan resmi (legal reserve).
Sementara itu, komponen kedua adalah kelebihan cadangan (excess
reserve). Dengan demikian, reserve ratio dapat dibagi menjadi dua
komponen juga, yaitu rasio cadangan resmi terhadap simpanan masyarakat
(legal reserve ratio) yang dipengaruhi oleh ketentuan otoritas moneter
dan rasio kelebihan cadangan terhadap simpanan masyarakat (excess
reserve ratio) yang dipengaruhi oleh keperluan bank akan likuiditas jangka
pendek.
a. Ketentuan otoritas moneter
Perubahan legal reserve ratio hanya terjadi apabila bank sentral atau
otoritas moneter menghendakinya dalam rangka pengaturan uang beredar.
Berlainan dengan currency ratio dan time deposit ratio yang berubah
secara berarti hanya dalam jangka panjang sebagai akibat pengaruh
perubahan struktur dan perkembangan ekonomi umunya serta tingkat
pendapatan masyarakat khususnya, legal reserve ratio dapat sewaktu waktu diubah oleh bank sentral, baik rasio maupun komponennya.
b. Likuiditas bank
Perubahan excess reserve ratio sangat dipengaruhi oleh pengelolaan
likuiditas atau kekayaan yang dapat digunakan sewaktu-waktu oleh
bank-bank. Sebagai contoh, bank-bank yang dana pihak ketiganya
sebagian besar terdiri dari simpanan dalam bentuk giro tentunya akan
memelihara likuiditas yang lebih besar dibandingkan dengan bank bank yang dana pihak ketiganya sebagian besar terdiri dari deposito.
Dalam kondisi yang demikian, jumlah excess reserve bank tersebut
juga akan lebih besar dan rasio likuiditas lebihnya juga akan lebih besar.
Sudah tentu bank-bank pada umumnya akan berusaha untuk menjaga
keseimbangan penyebaran antara dana yang berjangka pendek dan yang
berjangka panjang sesuai dengan kondisi dan tujuan yang ingin dicapai
oleh bank yang bersangkutan. Secara umum, bank-bank akan berusaha
memperkecil kelebihan likuiditas. Apabila bank ingin meningkatkan
potensi penggunaan dananya agar dapat memperoleh keuntungan lebih
maka bank tersebut akan berusaha mengatur kelebihan cadangannya
serendah mungkin. Namun, apabila bank ingin menjaga tingkat
likuiditasnya untuk menghadapi kemungkinan penarikan uang kartal
oleh nasabahnya maka bank tersebut akan memelihara kelebihan
cadangannya cukup tinggi.
Reserve ratio di Indonesia dalam tiga dekade terakhir dapat dilihat pada
grafik di bawah. Perkembangan reserve ratio sangat terkait dengan
perkembangan kebijakan penetapan reserve requirement (RR) oleh Bank
Indonesia. Rasio ini mengalami peningkatan pada pertengahan tahun
1970-an sebagai akibat kebijakan penetapan RR sebesar 30% pada tahun
1973 (pada saat oil boom). Penurunan rasio secara berarti terus terjadi,
sejalan dengan penurunan RR menjadi 15% pada tahun 1977 dan 2%
pada tahun 1988. Peningkatan reserve rasio selanjutnya terjadi sejalan
dengan peningkatan RR (GWM dalam rupiah) secara berturut-turut
menjadi 3% pada tahun 1996 dan 5% pada tahun 1997.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Beredar
Dari penjelasan yang runtun di atas telah diketahui bagaimana hubungan
uang primer dengan uang beredar dicerminkan oleh keberadaan angka
pelipat ganda uang. Kita juga telah mencermati faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi perubahan baik uang primer maupun angka pelipat
ganda uang. Dengan arah pemikiran yang sederhana kita dapat pula
memahami bahwa uang beredar merupakan hasil pengalian uang primer
dengan angka pelipat ganda uang. Pertanyaan selanjutnya adalah: faktor faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar itu
sendiri? Jawabannya tidak terlalu sulit.
Mari kita cermati kembali persamaan (4) – (5). Dari hubungan yang telah
dijelaskan sebelumya kita mendapatkan :
M1 = mm1 x M0
M2 = mm2 x M0
Dengan demikian, apabila kita berbicara tentang perubahannya
(disimbolkan dengan tanda ∆ — dibaca delta), maka kita akan
mendapatkan pula hubungan di atas sebagai:
∆M1 = mm1 x ∆M0
∆M2 = mm2 x ∆M0
Hubungan tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi uang beredar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
(i) Faktor-faktor yang mempengaruhi angka pelipat ganda uang
Faktor-faktor ini tidak lain adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
determinan uang primer itu sendiri (c, t, dan r), yaitu antara lain biaya
penggunaan uang giral, kenyaman dan keamanan, biaya relatif
(opportunity cost) — yaitu suku bunga, pendapatan masyarakat,
kemajuan layanan sektor perbankan, ketentuan otoritas moneter, dan
keperluan bank akan likuditas jangka pendek.
(ii) Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan uang primer
Faktor-faktor ini terkait dengan perubahan transaksi keuangan oleh
masyarakat yang tercermin pada pos-pos Neraca Otoritas Moneter,
baik dari sisi penggunaan uang primer (uang kartal dan saldo giro/
cadangan bank umum di bank sentral) maupun faktor yang
mempengaruhi uang primer (aktiva luar negeri bersih, aktiva dalam
negeri bersih, dan aktiva lainnya bersih).
Pada komponen penggunaan, perubahan uang primer dipengaruhi oleh
perilaku masyarakat dalam menggunakan uang kartal yang umumnya
terkait dengan tingkat kemajuan perekonomian suatu negara, khususnya
sektor keuangannya. Sementara itu, penentuan besarnya cadangan bank
yang disimpan di bank sentral dan perubahan-perubahan yang terjadi pada
transaksi keuangan pada sisi aktiva Neraca Otoritas Moneter lebih terkait
dengan struktur dan perkembangan ekonomi negara yang bersangkutan.
Sebagai contoh, apakah suatu negara memiliki sektor ekspor yang
kompetitif dan struktur keuangan pemerintah yang kuat.
Sementara itu, dari faktor-faktor yang mempengaruhi, perubahan uang
primer sangat terkait dengan beberapa faktor utama, antara lain pola
transaksi masyarakat dengan luar negeri (misalnya ekspor-impor dan aliran
modal), perkembangan dan mekanisme di bidang perkreditan, serta
manajemen keuangan pemerintah yang tercermin pada stuktur anggaran
belanja pemerintah. Faktor-faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh
kekuatan struktur dan perkembangan ekonomi suatu negara.
Dengan demikian, secara garis besar dapat disimpulkan beberapa
faktor yang mempengaruhi perubahan uang beredar, antara lain: tingkat
pendapatan masyarakat, suku bunga, kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan otoritas moneter, dan faktor-faktor lain yang
mencerminkan kekuatan struktur dan perkembangan ekonomi suatu
negara.