Selasa, 30 April 2024

sapi 8


  



Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen pakan ternak sapi potong di 

peternakan rakyat di Desa Sejaro Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Ilir. Metode yang 

digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yang terdiri dari data primer dan data 

sekunder. Data primer diperoleh langsung di lapangan melalui wawancara dengan setiap peternak 

sapi potong, sedangkan data sekunder didapat dari instansi-instansi yang terkait. Data yang 

diperoleh kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk deskripsi dan gambar. Hasil yang didapat 

selama pelaksanaan yaitu jenis ternak sapi yang dipelihara di desa ini adalah sapi Bali dan sapi 

Peranakan Ongole. Manajemen pakan yang diterapkan peternak masih belum tepat, di mana ternak 

hanya digembalakan untuk mencari makan sendiri pada siang hari, jumlah pakan yang diberikan 

belum memenuhi kebutuhan, ternak tidak diberi pakan berupa konsentrat, serta frekuensi dan cara 

pemberian pakan yang belum tepat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peternak rakyat di Desa 

Sejaro Sakti belum menerapkan manajemen pakan yang baik terhadap ternak sapi potong.  

Keberhasilan usaha ternak sapi potong 

ditentukan oleh salah satu faktor terbesar, 

yaitu pakan. Pakan adalah semua yang bisa 

dimakan oleh ternak, baik berupa bahan 

organik maupun anorganik, yang sebagian 

atau seluruhnya dapat dicerna dan tidak 

mengganggu kesehatan ternak 

Pakan yang diberikan kepada sapi 

potong harus memiliki syarat sebagai pakan 

yang baik. Pakan yang baik yaitu pakan yang 

mengandung zat makanan yang memadai 

kualitas dan kuantitasnya, seperti energi, 

protein, lemak, mineral, dan vitamin, yang 

semuanya dibutuhkan dalam jumlah yang 

tepat dan seimbang sehingga bisa 

menghasilkan produk daging yang berkualitas 

dan berkuantitas tinggi,

Pakan yang diberikan kepada sapi 

potong pada umumnya terdiri dari hijauan dan 

konsentrat. Hijauan merupakan pakan yang 

berasal dari tumbuhan yang diberikan pada 

sapi potong dalam bentuk segar, sedangkan 

konsentrat merupakan pakan penguat yang 

disusun dari biji-bijian dan limbah hasil 

proses industri bahan pangan yang berfungsi 

meningkatkan nilai nutrisi yang rendah agar 

memenuhi kebutuhan normal ternak untuk 

tumbuh dan berkembang secara sehat ,

Pemberian pakan berupa kombinasi 

kedua bahan itu akan memberi peluang 

terpenuhinya nutrien dan biayanya relatif 

murah. Namun, bisa juga terdiri dari hijauan 

ataupun konsentrat saja. Apabila pakan terdiri 

dari hijauan saja maka biayanya relatif murah 

dan lebih ekonomis, tetapi produksi yang 

tinggi sulit tercapai, sedangkan pemberian 

pakan yang hanya terdiri dari konsentrat saja 

akan memungkinkan tercapainya produksi 

yang tinggi, tetapi biaya ransumnya relatif 

mahal dan kemungkinan bisa terjadi 

gangguan pencernaan (Siregar, 2008), 

sehingga pakan dapat dimanfaatkan seefisien 

mungkin dan dapat memenuhi kebutuhan 

ternak bila ditunjang dengan manajemen 

pakan yang baik.  

Manajemen pakan yang baik yaitu yang 

memperhatikan jenis pakan yang diberikan, 

jumlah pakan yang diberikan sesuai 

kebutuhan, imbangan hijauan dan konsentrat, 

serta frekuensi dan cara pemberian pakan 

yang tepat. Bedasarkan hal itu , perlu 

dilakukan kegiatan praktek lapangan tentang 

manajemen pakan ternak sapi potong di Desa 

Sejaro Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten 

Ogan Ilir. 

 


Penelitian ini dilaksanakan Desa Sejaro 

Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan 

Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Selama 2 

bulan  

Metode yang digunakan dalam 

penelitian ini adalah dengan survei melalui 

pengamatan langsung maupun dengan 

melakukan wawancara terhadap peternak di 

Desa Sejaro Sakti dengan memakai  

kuisioner. 

Analisa Data 

Data yang diperoleh dari praktek 

lapangan ini terdiri dari data primer yang 

merupakan data hasil pengamatan langsung di 

lapangan dan data sekunder yaitu data yang 

berasal dari hasil studi pustaka dan laporan-

laporan instansi yang terkait seperti kelurahan 

dan kantor kepala desa. Analisa data yang 

diperoleh dalam kegiatan praktek lapangan  

ini dengan mengidentifikasi masalah dan 

menganalisa data primer maupun sekunder 

untuk mengetahui berbagai masalah dan 

kendala yang dihadapi peternak di Desa 

Sejaro Sakti mengenai manajemen pakan. 

Dari identifikasi masalah di lapangan yang 

memuat keadaan umum wilayah, manajemen 

pakan di desa itu  yang kemudian 

datanya dianalisa secara deskriptif. 

 

Kependudukan dan Mata Pencarian 

Hasil pengamatan di lapangan 

menunjukkan bahwa Desa Sejaro Sakti 

memiliki penduduk yang berjumlah 1.146 

jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak 

50,87% dan penduduk perempuan 49,13% 

dari seluruh jumlah penduduk. Sebagian 

perempuan di desa ini ikut berperan dalam 

peningkatan produktivitas desa, khususnya di 

bidang usaha peternakan. Menurut Mastuti 

dan hidayah (2008) bahwa perempuan juga 

terlibat dalam kegiatan usaha tani, terutama 

usaha keluarga. 

Tingkat Pendidikan di desa Sejaro Sakti 

bervariasi mulai dari TK sampai tingkat 

perguruan tinggi. Tinggi rendahnya 

Pendidikan ini dapat menjadi faktor yang 

mempengaruhi keberhasilan program 

pengembangan Desa Sejaro Sakti, khususnya 

di bidang peternakan. Desa ini memiliki 

penduduk yang sebagian besar belum sekolah 

dan tidak sekolah, yaitu secara berturut-turut 

sebanyak 21,47% dan 15,19%, sedangkan 

pendidikan tertinggi yang dimiliki penduduk 

desa ini adalah S1 dengan persentase yang 

rendah yaitu 0,61% (Tabel 1) 

Tingkat pendidikan yang relatif rendah 

menyebabkan peternakan di Desa Sejaro Sakti 

tidak mengalami perubahan yang bersifat 

progresif. Peternak rakyat di desa ini masih 

mempertahankan kebiasaan beternak mereka 

dengan cara tradisional dan tidak menerima 

kemajuan teknologi peternakan.  


 

Hal ini sesuai dengan pendapat 

Kusumawati (2004), menyatakan bahwa 

tingkat pendidikan sangat mempengaruhi 

kemampuan penerimaan informasi. 

Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah 

akan lebih baik mempertahankan tradisi‐

tradisi yang berhubungan dengan daya 

pikirnya, sehingga sulit menerima informasi 

baru. Lahan di desa ini cocok untuk dijadikan 

sebagai sarana bercocok tanam, sehingga 

banyak penduduk di desa ini yang memiliki 

mata pencarian sebagai petani. Sedangkan 

penduduk dengan mata pencarian utama 

beternak yaitu sebanyak 15,76% (Tabel 2). 

Umumnya, penduduk yang memiliki ternak di 

desa ini memiliki mata pencarian lain sebagai 

mata pencarian utama, dan beternak hanya 

sebagai mata pencarian sampingan dan 

sebagai tabungan yang dapat dijual saat 

memiliki kebutuhan mendesak. Sesuai dengan 

pendapat Siswadi et al., (2001) yang 

menyatakan bahwa usaha peternakan sapi 

potong masih bersifat sebagai usaha 

sampingan dan sapi yang dipelihara 

digunakan sebagai tabungan. 

 


Keadaan Umum Peternakan di Desa 

Sejaro Sakti 

Umumnya, peternak di Desa Sejaro 

Sakti memelihara ternak ruminansia, seperti 

sapi, kerbau, kambing, dan domba, juga 

ternak unggas seperti itik, bebek, dan ayam. 

Namun, di antara jenis-jenis ternak itu , 

ternak yang paling mendominasi di desa ini 

adalah sapi potong dan kerbau. 

Jenis ternak sapi potong yang ada di 

Desa Sejaro Sakti adalah Sapi Bali dan Sapi 

Peranakan Ongole (Tabel 3). Hal ini sesuai 

dengan yang disampaikan Sugeng (2008) 

bahwa sapi-sapi di Indonesia yang dijadikan 

sumber daging adalah Sapi Bali, sapi Ongole, 

sapi Peranakan Ongole, dan sapi Madura, dari 

populasi sapi potong yang ada, yang 

penyebarannya dianggap merata masing-

masing adalah sapi Bali, sapi PO, sapi 

Madura, dan sapi Brahman. Ternak sapi 

potong di Desa Sejaro Sakti berjumlah 294 

ekor dengan sapi dewasa berjumlah 50,66% 

dan pedet 49,32%. Sapi potong betina 

berjumlah 80,62%, sedangkan sapi potong 

jantan berjumlah 19,38% dari jumlah 

keseluruhan (Tabel 3). 

 

 

 

 

 

Sapi potong yang dimiliki peternak di 

Desa Sejaro Sakti sebagian besar adalah milik 

bersama antara beberapa orang, serta milik 

sendiri. Namun, sapi potong yang statusnya 

milik sendiri hanya berjumlah beberapa ekor, 

sesuai dengan pendapat Soeradji (1987) 

menyatakan bahwa skala usaha peternakan 

rakyat digambarkan oleh jumlah kepemilikan 

ternak yang kecil, ternak yang dimiliki petani 

hanya satu sampai beberapa ekor.  

 

Pakan Ternak Sapi 

Pakan memiliki peranan penting bagi 

ternak, baik untuk pertumbuhan ternak muda 

maupun untuk mempertahankan hidup dan 

menghasilkan produk (susu, anak, daging), 

serta tenaga bagi ternak dewasa. Fungsi lain 

dari pakan adalah untuk memelihara daya 

tahan tubuh dan kesehatan. Agar ternak 

tumbuh sesuai dengan yang diharapkan, jenis 

pakan yang diberikan pada ternak harus 

bermutu baik dan dalam jumlah cukup 

(Tilman, 2008). Namun, hal ini tidak 

diterapkan oleh peternak di Desa Sejaro Sakti. 

Pakan ternak diberikan dalam jumlah yang 

terbatas sesuai kemampuan peternak dan 

ketersediaan pakan sehingga tidak diketahui 

apakah pakan yang diberikan itu  sudah 

memenuhi kebutuhan atau tidak. Hal ini 

dikarenakan peternak belum memiliki 

pengetahuan yang mendalam mengenai pakan 

ternak yang baik, sedangkan Siregar (2008) 

menyatakan bahwa pakan yang baik adalah 

pakan yang mengandung zat makanan yang 

memadai kualitas dan kuantitasnya, seperti 

energi, protein, karbohidrat, lemak, vitamin 

dan mineral, yang semuanya dibutuhkan 

dalam jumlah yang tepat dan seimbang 

sehingga bisa menghasilkan produk daging 

yang berkualitas dan berkuantitas tinggi. 

Pakan untuk sapi potong di Desa Sejaro 

Sakti berupa rumput gajah, pucuk tebu, dan 

rumput kumpai. Sedangkan pakan konsentrat 

tidak pernah diberikan kepada ternak. 

Menurut Siregar (2008), ransum ternak 

ruminansia pada umumnya terdiri dari hijauan 

dan konsentrat. Pemberian ransum berupa 

kombinasi kedua bahan itu akan memberi 

peluang terpenuhinya nutrien dan biayanya 

relatif murah. Apabila ransum terdiri dari 

hijauan saja maka biayanya relatif murah dan 

lebih ekonomis, tetapi produksi yang tinggi 

sulit tercapai. Hal itulah yang menyebabkan 

produktivitas sapi potong di desa ini 

terhambat. 

Salah satu jenis hijauan berupa rumput 

yang dijadikan pakan ternak di Desa Sejaro 

Sakti adalah rumput kumpai. Rumput kumpai 

merupakan jenis rumput yang tersedia 

berlimpah dan mudah didapatkan di desa ini 

sehingga peternak menjadikan rumput ini 

sebagai salah satu pakan hijauan. Rumput 

kumpai (Hymenachine amplexicaulis (Rudge) 

Nees) merupakan jenis rumput yang biasanya 

tumbuh di rawa-rawa, jenis tanaman 

menahun, cepat berbiak, membentuk rumpun-

rumpun besar dengan tinggi 0,5-1 m. helai 

daun lebih panjang serta lebih lebar dibanding 

rumput Brachiaria mutica tetapi kaku dan 

kasar dengan panjang daun antara 10-30 cm 

dan lebar mencapai 2,5 cm. daun bawah 

membulat lebar dengan ujung lancip, kuncup, 

daun muda melipat ke dalam daun. Rumput 

ini tumbuh menjulur dengan batang berbuku-

buku. Pada tiap buku ditumbuhi bulu-bulu 

akar serta di dalam batang ada lapisan gabus 

(Sanderson, 2008). 

Jenis rerumputan lain yang digunakan 

sebagai pakan sapi potong di Desa Sejaro 

Sakti adalah rumput gajah. Rumput gajah 

(Pennisetum purpureum) banyak 

dimanfaatkan pada bidang peternakan yaitu 

sebagai pakan ternak seperti sapi, kambing, 

dan kuda.  

Umumnya rumput gajah yang 

digunakan di Sumatera Selatan adalah rumput 

yang tumbuh secara liar. Namun, untuk 

peternakan yang relatif besar maka rumput 

yang digunakan adalah rumput yang sengaja 

ditanaman atau dipelihara secara khusus. Hal 

ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan 

pakan ternak. Rumput-rumputan dipilih 

karena merupakan tanaman yang 

produktifitasnya tinggi dan memiliki sifat 

yang dapat memperbaiki kondisi tanah 

(Gonggo et al., 2008).  

Sapi potong di Desa Sejaro Sakti juga 

diberi pakan dari limbah perkebunan berupa 

pucuk tebu sebagai salah satu pakan. ada  

perkebunan tebu di desa ini sehingga dapat 

dimanfaatkan peternak dengan mengambil 

limbah tebu itu  sebagai pakan sapi 

potong. Pucuk tebu dapat digunakan untuk 

pakan penggemukan sapi. Namun, kandungan 

gizinya kurang memadai untuk pakan ternak, 

sehingga harus ditambah dengan pakan 

suplemen.  

Pucuk tebu yang dimanfaatkan sebagai 

pakan ternak adalah ujung atas batang tebu 

berikut 5-7 helai daun yang dipotong dari tebu 

yang dipanen untuk tebu bibit atau bibit 

giling. Pucuk tebu digunakan sebagai hijauan 

makanan ternak pengganti rumput gajah tanpa 

ada pengaruh negatif pada sapi potong.  

Pucuk tebu yang merupakan limbah 

panenan tebu, potensinya sangat tergantung 

pada luas areal panen, varietas clan produksi 

per satuan luas tanaman tebu. Seperti halnya 

limbah yang mengandung serat pada 

umumnya, pucuk tebu sebagai pakan 

mempunyai faktor pembatas, yaitu kandungan 

nutrisi dan kecernaannya yang sangat rendah, 

pucuk tebu mempunyai kadar serat kasar dan 

kadar lignin sangat tinggi sehingga tidak 

boleh diberikan dalam jumlah banyak 

Peternak di Desa Sejaro Sakti tidak 

menambahkan konsentrat ke dalam pakan 

sapi potong, sedangkan peranan konsentrat 

adalah untuk meningkatkan nilai nutrien yang 

rendah agar memenuhi kebutuhan normal 

hewan untuk tumbuh dan berkembang secara 

sehat.  

Penambahan konsentrat dalam ransum 

ternak merupakan suatu usaha untuk 

mencukupi kebutuhan zat-zat makanan, 

sehingga akan diperoleh produksi yang tinggi. 

Selain itu, dengan penggunaan konsentrat 

dapat meningkatkan daya cerna bahan kering 

ransum, pertambahan bobot badan, serta 

efisien dalam penggunaan ransum (Akoso, 

2009). 

Peternak di Desa Sejaro Sakti tidak 

memberikan konsentrat sebagai pakan ternak 

disebabkan kurangnya pengetahuan tentang 

teknologi pakan sapi potong sehingga 

peternak masih mempertahankan kebiasaan 

beternaknya dan sulit menerima informasi 

tentang teknologi pakan ternak.  

Kusumawati (2004) menyatakan bahwa 

tingkat pendidikan sangat mempengaruhi 

terhadap kemampuan penerimaan informasi. 

Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah 

akan lebih baik mempertahankan tradisi‐

tradisi yang berhubungan dengan daya 

pikirnya, sehingga sulit menerima informasi 

baru. 

 

Manajemen Pakan Ternak 

Manajemen pakan ternak merupakan 

hal yang menunjang berkembang atau 

tidaknya suatu peternakan, jika semakin baik 

manajemen pakan, maka akan semakin baik 

pula produktivitas ternak itu . 

Manajemen pakan yang harus diperhatikan 

adalah sebagai berikut. 

 

Jenis Pakan 

Umumnya, peternak di Desa Sejaro 

Sakti dalam memenuhi kebutuhan pakan sapi 

potong memanfaatkan limbah perkebunan 

seperti pucuk dan daun tebu, serta rumput 

gajah dan rumput kumpai segar yang tumbuh 

di rawa-rawa di desa itu . Pakan yang 

digunakan hanya berupa hijauan dan tidak 

ditambahkan pakan konsentrat, padahal 

konsentrat merupakan pakan penguat yang 

digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi 

ternak. Pemberian pakan hijauan saja pada 

penggemukan sapi tidak akan memberikan 

pengaruh yang signifikan terhadap 

pertambahan bobot badan yang tinggi dalam 

waktu yang singkat. Pertambahan bobot sapi 

lebih tinggi dengan waktu penggemukan yang 

relatif singkat bila sapi diberi ransum yang 

terdiri dari konsentrat dan hijauan 

Peternak di desa Sejaro Sakti tidak 

memiliki pengetahuan yang mendalam 

tentang manajemen pakan dan jenis pakan 

ternak yang memiliki kandungan nutrisi dan 

mutu yang baik terhadap ternak, sehingga 

peternak tidak memperhatikan pakan yang 

diberikan pada ternaknya apakah sudah 

mencukupi kebutuhan atau tidak. Padahal, 

mutu, jumlah pakan, dan cara-cara 

pemberiannya sangat mempengaruhi 

kemampuan produksi sapi potong, untuk 

mempercepat penggemukan, selain dari 

rumput perlu juga diberi pakan penguat 

berupa konsentrat yang merupakan campuran 

berbagai bahan pakan umbi-umbian, sisa hasil 

pertanian, sisa hasil pabrik dan lain-lain yang 

mempunyai nilai nutrien cukup dan mudah 

dicerna  

 

Jumlah Pemberian 

Ternak di Desa Sejaro Sakti diberi 

pakan dalam jumlah yang sangat terbatas, 

bahkan kurang dari kebutuhan ternak. 

Peternak tidak mengukur pakan yang 

diberikan itu .  

Pakan itu  hanya diberikan sesuai 

ketersediaan dan tidak diketahui apakah 

pakan yang diberikan itu  mencukupi 

kebutuhan atau tidak, baik secara kualitas 

maupun kuantitasnya. Hijauan yang diberikan 

kepada sapi potong itu  yaitu sekitar 5 kg 

per ekor sapi potong. Hal ini tidak sesuai 

dengan rata-rata kebutuhan konsumsi pakan 

bagi sapi potong yaitu 10% dari berat badan ,

 

Frekuensi Pemberian 

Ternak di Desa Sejaro Sakti diberi 

pakan 1 kali sehari pada sore hari dalam 

jumlah yang sangat terbatas yang berfungsi 

sebagai pakan tambahan setelah ternak 

digembalakan selama seharian. Pemberian 

pakan yang terbatas ini disebabkan pakan 

yang disediakan peternak berjumlah terbatas. 

Seharusnya pemberian hijauan dilakukan 

secara bertahap dan minimal 4 kali dalam 

sehari semalam.  

Frekuensi pemberian hijauan yang lebih 

sering dilakukan dapat meningkatkan 

kemampuan sapi itu untuk mengonsumsi 

ransum dan juga meningkatkan kencernaan 

bahan kering hijauan, peningkatan kecernaan 

bahan kering ransum akan menambah jumlah 

zat-zat gizi yang dapat dimanfaatkan untuk 

produksi, termasuk pertumbuhan ,

 

Cara Pemberian 

Peternak di Desa Sejaro Sakti 

menerapkan cara pemberian pakan dengan 

kombinasi antara penggembalaan (pasture 

fattening) dan kereman (dry lot fattening), 

yaitu dengan cara menggembalakan sapi di 

padang penggembalaan dan saat sapi 

dikandangkan diberi pakan tambahan dengan 

cara dijatah (Tangendjaja, 2009). Cara ini 

merupakan cara pemberian pakan yang 

terbaik diantara ketiga cara itu , tetapi 

walaupun kombinasi antara kedua cara ini 

baik dilakukan, peternak di ini belum 

memberikan pakan yang cukup, baik secara 

kualitas maupun kuantitas karena jumlah 

pakan yang diberikan hanya sesuai 

ketersediaan.  

Kesimpulan dari penelitian ini adalah 

peternak rakyat di Desa Sejaro Sakti belum 

menerapkan manajemen pakan yang baik 

terhadap ternak sapi potong. Hal ini 

dikarenakan kurangnya pengetahuan peternak 

tentang manajemen pakan yang baik. 

 


Pangalengan terletak di wilayah pegunungan dengan ketinggian 1.0001.420 dpl, yang memiliki rataan temperatur 

sekitar 17,80 ± 1,46 C dan kelembapan 63,99 ± 2,74%. Kondisi ini sangat mungkin memengaruhi nilai fisiologis sapi 

perah, terutama selama periode laktasi. Namun demikian, informasi tentang nilai fisiologis sapi laktasi di 

Pangalengan sampai saat ini belum tersedia. Penelitian ini memakai  20 ekor sapi perah, dan nilai fisiologis 

diukur pada pagi, siang, dan sore hari. Kisaran frekuensi denyut jantung, respirasi, dan temperatur rektal sapi perah 

laktasi secara berturut-turut adalah 59,8272,02 kali/min, 26,0136,69 kali/min, dan 37,3238,36 C. Kisaran nilai 

hemoglobin, hematokrit, eritrosit, dan leukosit sapi perah laktasi secara berturut-turut adalah 8,299,51 g/dl, 

24,5229,70%, 6,108,18 juta/µl, dan 6.22010.600 sel/µl. Kisaran nilai diferensial leukosit sapi perah laktasi ialah 

limfosit 32,6463,14%, neutrofil 28,3453,24%, monosit 0,414,85%, eosinofil 1,5815,78%, dan basofil 0%. Kisaran 

rasio N/L pada sapi perah laktasi adalah 0,141,63. Studi ini menyimpulkan bahwa sapi perah laktasi yang dipelihara 

pada kondisi iklim Pangalengan yang sejuk masih menunjukkan nilai fisiologis yang berada dalam kisaran normal. 

Produksi susu sapi perah di Indonesia belum 

mampu memenuhi kebutuhan nasional, seiring dengan 

populasi induk sapi perah yang cenderung turun. 

Produktivitas sapi perah Friesian Holstein (FH) di 

Indonesia masih rendah. Suprayogi et al. (2013a) 

melaporkan bahwa maksimum produksi susu sapi FH 

di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) 

Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ter-

catat sekitar 16,00 ± 1,15 l/hari/ekor.  

Pangalengan merupakan salah satu kecamatan di 

Kabupaten Bandung, yang merupakan sentra peterna-

kan sapi perah di Indonesia. Secara geografis, wilayah 

Pangalengan berada pada ketinggian 1.0001.420 

mdpl memiliki suhu udara 1228 C dan kelembapan 

relatif 6070% (Qodarudin 1993). Mikroklimat suatu 

wilayah seperti temperatur udara, kelembapan, teka-

nan udara, kecepatan angin, dan arah angin meme-

ngaruhi parameter fisiologis ternak, terutama pada 

frekuensi respirasi, denyut jantung, dan suhu rektal 

Kondisi fisiologis sapi yang 

ada di wilayah peternakan dapat bergeser dari zona 

nyaman (termonetral) ke kondisi yang tidak nyaman 

(stres), sebagai akibat dari berbagai faktor diantaranya 

pergeseran iklim. Pergeseran iklim ini dapat meme-

ngaruhi kondisi fisiologis ternak dan produktivitas 

ternak sehingga nilai fisiologis ternak di suatu wilayah 

peternakan harus dipantau. Studi ini bertujuan untuk 

mengetahui nilai fisiologis sapi perah pada masa 

laktasi di wilayah peternakan dataran tinggi (Pangale-

ngan) dengan parameter hematologi, denyut jantung, 

frekuensi respirasi, dan suhu tubuh.  

Penelitian ini dilaksanakan di peternakan rakyat 

Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) 

Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dan 

Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, 

dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut 

Pertanian Bogor. Parameter lingkungan, yaitu suhu 

dan kelembapan diukur di dalam kandang dengan 

memakai  alat termohigrometer pada bulan 

JuliAgustus 2012. Pengambilan data suhu (C) dan 

kelembapan (% rel.) udara lingkungan dilakukan setiap 

jam selama tiga hari berturut-turut. Nilai rataan suhu 

dan kelembapan diperoleh dari tiga hari pengukuran di 

atas. 

Pengukuran rataan nilai fisiologis (denyut jantung, 

frekuensi respirasi, dan suhu tubuh) dilakukan pada 20 

ekor sapi perah milik peternak anggota KPBS Panga-

lengan. Seluruh sapi pada penelitian ini berada pada 

masa laktasi ke-2 dan ke-3. Pengukuran dilakukan pagi 

hari pukul 06:0008:00 WIB, siang 12:0014:00 WIB, 

dan sore 16:0018:00 WIB. 

Pengambilan sampel darah (whole blood) sebanyak 

10 ml dilakukan pada vena coccygealis ventralis, 

ditampung dalam tabung yang berisi antikoagulan 

EDTA, untuk dianalisis gambaran darahnya. Jumlah 

eritrosit dan leukosit dihitung dengan metode hemo-

sitometer, konsentrasi hemoglobin diukur dengan 

metode sahli, nilai hematokrit diukur dengan metode 

mikrokapiler, dan diferensial leukosit dihitung dengan 

metode apus darah dan diamati memakai  mik-

roskop. 


Kondisi Lingkungan Pangalengan 

Iklim merupakan faktor eksternal yang cukup domi-

nan dalam memengaruhi produktivitas dan fisiologis 

ternak. Parameter iklim (mikroklimat) antara lain me-

liputi temperatur, kelembapan, tekanan udara, kecepa-

tan angin, dan arah angin sangat memengaruhi pro-

duktivitas ternak  Hasil 

penelitian ini menunjukkan kondisi lingkungan di KPBS 

Pangalengan berada dalam kisaran termonetral, 

dengan rataan suhu udara 17,80 ± 1,46 °C dan 

kelembapan 63,99 ± 2,74%. Kondisi di Pangalengan ini 

mampu menopang kesehatan dan produktivitas sapi 

perah, mengingat iklim itu  masih dalam zona 

nyaman, dengan batas maksimum dan minimum suhu 

dan kelembapan lingkungan masih berada pada ter-

monetral. Sapi FH menunjukkan penampilan produksi 

terbaik apabila di tempatkan pada lingkungan dengan 

suhu sekitar 18,3 °C  dan ke-

lembapan lingkungan 6070% ,

Sapi perah akan mengalami stres bila berada di luar 

kondisi itu . Sapi perah laktasi yang berada di luar 

zona nyaman akan mengalami penurunan produksi 

dan komposisi susu karena adanya cekaman panas 


 

Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal 

Nilai fisiologis sapi perah laktasi di KPBS 

Pangalengan maupun di wilayah lain di Pulau Jawa 

dengan lingkungan sapi perah yang serupa, yaitu 

frekuensi respirasi, denyut jantung, dan suhu rektal 

dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai fisiologis sapi perah 

laktasi di KPBS Pangalengan juga digambarkan 

berdasar  waktu pengukuran, yaitu pagi, siang, dan 

sore hari yang disajikan pada Tabel 2. 

Tabel 1 menunjukkan bahwa sapi perah laktasi di 

Pangalengan memiliki denyut jantung pada kisaran 

59,8272,02 kali/menit. Hasil penelitian ini sesuai 

dengan penelitian yang dilakukan oleh Utomo et al. 

(2010) pada sapi perah laktasi yang dipelihara di 

Boyolali dengan kisaran denyut jantung 67,5473,56 

kali/menit. Senada dengan hasil penelitian  bahwa denyut jantung sapi perah 

laktasi yang dipelihara di Baturraden berkisar 

46,0084,00 kali/menit. Perbedaan kisaran denyut 

jantung sapi perah laktasi ini mungkin disebabkan oleh 

faktor meteorologi maupun non-meteorologi yang 

memengaruhi kondisi fisiologis ternak ,

Peningkatan rataan denyut jantung sapi perah laktasi 

terjadi dari pagi hingga siang dan relatif konstan hingga 

sore hari. Peningkatan denyut jantung merupakan 

salah satu upaya ternak untuk menjaga keseimbangan 

suhu tubuh. Peningkatan ini merupakan respons dari 

tubuh ternak untuk menyebarkan panas tubuh hasil 

metabolisme melalui peningkatan sirkulasi perifer 

sebagai upaya percepatan pelepasan panas tubuh 

Frekuensi respirasi ternak sapi perah laktasi di 

Pangalengan memiliki kisaran 26,0136,69 kali/menit. 

Kisaran ini menunjukkan nilai yang sesuai dengan 

frekuensi respirasi sapi perah laktasi di lokasi lain. 

 bahwa kisaran frekuen-

si respirasi normal pada sapi perah laktasi di Lembang 

adalah 28,7340,77 kali/menit, dan di Boyolali dengan 

frekuensi respirasi berkisar 25,1228,52 kali/menit 

(), sedangkan di BBPTU sapi perah 

Baturraden adalah 25,3380,00 kali/menit , Rataan frekuensi respirasi pada siang 

hari terlihat lebih rendah dibandingkan dengan pagi 

hari, namun perbedaan itu  tidak nyata (p>0,05). 

Peningkatan frekuensi respirasi terlihat nyata (p<0,05) 

pada sore hari. Hal ini terjadi karena kelembapan 

lingkungan pada sore hari lebih tinggi, sehingga terjadi 

peningkatan respirasi untuk pengambilan oksigen yang 

cukup ,

Tabel 1 menunjukkan kisaran suhu rektal ternak 

sapi perah, yakni 37,3238,36 °C. Suhu rektal ternak 

sapi perah laktasi di Pangalengan ini berada pada 

kisaran yang sama dengan sapi perah di Baturraden 

, namun sedikit lebih tinggi bila dibandingkan 

dengan data yang diperoleh  di 

Boyolali, yaitu 35,5637,10 °C. Perbedaan nilai suhu 

rektal sapi perah laktasi di Boyolali diduga disebabkan 

perbedaan kondisi mikroklimat (suhu dan kelembapan) 

di Boyolali lebih tinggi bila dibanding dengan mikro-

klimat di Pangalengan. Tingginya suhu dan kelemba-

pan udara menyebabkan penurunan laju metabolisme 

tubuh ternak Penurunan laju 

metabolisme itu  sebagai upaya ternak mem-

pertahankan mekanisme fisiologi tubuh untuk men-

cegah peningkatan suhu tubuh ,

Rataan suhu rektal mengalami peningkatan dari pagi 

hingga sore hari (Tabel 2). Peningkatan suhu rektal ini 

kemungkinan disebabkan oleh panas hasil meta-

bolisme di dalam tubuh ternak ,

 

Nilai Hematologi Ternak Sapi Perah Laktasi 

Kondisi fisiologis ternak dapat juga diamati melalui 

nilai hematologi. Sampai saat ini belum ditemukan nilai 

hematologi sapi perah laktasi di Indonesia, khususnya 

di Pangalengan. Perhitungan nilai hematologi pada 

ternak sapi perah laktasi di Pangalengan disajikan 

pada Tabel 3. 

 

Nilai Hemoglobin dan Hematokrit 

Nilai hemoglobin darah ternak sapi perah laktasi di 

Pangalengan masih sesuai dengan nilai hemoglobin 

pada sapi perah laktasi di lokasi lain (Tabel 3). bahwa konsentrasi 

hemoglobin sapi perah laktasi di daerah subtropik 

adalah 8,6011,90 g/dl. , konsentrasi hemoglobin sapi 

perah laktasi di daerah subtropik adalah 7,6910,99 

g/dl, sedangkan menurut Mirzadeh et al. (2010) ber-

kisar 8,899,59 g/dl. Kadar hemoglobin dalam darah 

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya umur, 

jenis kelamin, musim, pola perilaku spesies, aktivitas 

tubuh, dan penyakit ,

Kisaran nilai hematokrit ternak sapi perah laktasi di 

Pangalengan menunjukkan nilai hematokrit yang 

masih sesuai dengan pustaka di atas. Hasil penelitian 

ini memperlihatkan kisaran nilai hematokrit ternak sapi 

perah laktasi adalah sebesar 24,5229,70%. Nilai 

hematokrit sapi perah normal adalah 23,1031,70% 

(Divers & Peek 2008). Menurut Sattar dan Mirza (2009) 

dan Mirzadeh et al. (2010), nilai hematokrit pada sapi 

perah laktasi di daerah subtropik masing-masing 

adalah 23,1731,67 dan 27,9531,55%. Nilai hemtokrit 

berhubungan langsung dengan jumlah eritrosit di-

karenakan nilai hematokrit merupakan gambaran 

persentase yang mewakili eritrosit di dalam 100 ml 

darah  Nilai hematokrit dipengaruhi 

oleh beberapa faktor yang memengaruhi jumlah dan 

ukuran eritrosit  Peningkatan 

nilai hematokrit dapat terjadi pada ternak yang 

mengalami dehidrasi, aspiksia, atau stres 

Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) 

Kisaran eritrosit ternak sapi perah laktasi di 

Pangalengan adalah sebesar 6,108,18 juta sel/µl. 


Kisaran nilai jumlah eritrosit ini masih berada pada 

kisaran normal seperti yang disebutkan yaitu antara 5,007,20 juta sel/µl. 

Sebaliknya, pada Tabel 3 terlihat jumlah eritosit lebih 

tinggi dari kisaran normal yang disebutkan Kondisi 

ini karena rendahnya rataan suhu lingkungan dan 

relatif tingginya kelembapan udara di Pangalengan 

(17,80 °C dan 63,99%) dibandingkan dengan lokasi 

penelitian Sattar dan Mirza (2009), yaitu suhu udara 

24,30 °C dengan kelembapan 37,92%, dan Mirzadeh 

et al. (2010), yaitu suhu udara 25,30 °C dengan 

kelembapan 45,20%. 

jumlah eritrosit akan meningkat pada suhu lingkungan 

rendah dan akan menurun pada suhu lingkungan yang 

tinggi.  

 

Total Leukosit  

Kisaran jumlah leukosit ternak sapi perah laktasi di 

Pangalengan adalah sebesar 6.22010.600 sel/µl. 

Jumlah ini sesuai dengan hasil penelitian ,  

. Secara rinci diferensiasi leukosit 

dan rasio N/L ternak sapi perah laktasi di KPBS 

Pangalengan disajikan pada Tabel 4. 

 

Diferensiasi Leukosit 

Menurut Divers dan Peek (2008), kisaran per-

sentase normal limfosit pada peredaran darah ternak 

sapi perah adalah 41,0073,20%, berbeda dengan 

Sattar dan Mirza (2009), bahwa persentase limfosit 

pada sapi perah laktasi berkisar antara 62,2068,20%. 

Penelitian ini memperlihatkan kisaran persentase 

limfosit ternak sapi perah laktasi di KPBS Pangalengan 

adalah sebesar 32,6463,14%. Nilai ini masih dalam 

kisaran yang sesuai bila dibandingkan dengan nilai 

limfosit pada pustaka di atas. Jumlah limfosit di dalam 

peredaran darah dapat dipengaruhi tingkat produksi, 

resirkulasi, dan penggunaan atau penghancuran 

limfosit. Penurunan jumlah limfosit (limfopenia) dapat 

terjadi karena penggunaan kortikosteroid, timektomi, 

radiasi, kemoterapi, penurunan produksi, dan infeksi 

virus akut. Peningkatan limfosit di peredaran darah 

(limfositosis) dapat terjadi karena fisiologis, reaktif, dan 

proliferatif ,

Neutrofil merupakan lini pertahanan pertama ter-

hadap infeksi mikroorganisme. Neutrofil berfungsi 

memfagositosis dan membunuh organisme , Kisaran persentase neutrofil ternak sapi perah 

laktasi di KPBS Pangalengan adalah sebesar 

28,3453,24%. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian 

yang dilaporkan oleh Divers dan Peek (2008). Namun 

nilai neutrofil itu  sedikit lebih tinggi bila di-

bandingkan dengan nilai yang dilaporkan oleh Sattar 

dan Mirza (2009) di daerah subtropik, yaitu antara 

20,3326,27%. 

Monosit berfungsi melindungi tubuh dari organisme 

penyerang dengan cara fagositosis (Guyton & Hall 

2008). Hasil penelitian ini menunjukkan persentase 

monosit ternak sapi perah laktasi di KPBS Panga-

lengan berkisar 0,414,85%, dan nilai ini masih dalam 

kisaran yang sama dengan nilai yang dilaporkan oleh 

Divers dan Peek (2008). Namun nilai monosit itu  

lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai yang 

dilaporkan oleh Sattar dan Mirza (2009) di daerah 

subtropik, yaitu antara 5,627,18%.  

Eosinofil diproduksi dalam jumlah besar pada 

penderita infeksi parasit dan bermigrasi ke jaringan 

Peningkatan jumlah eosinofil di 

peredaran darah (eosinofilia) merupakan respons 

adanya infeksi parasit ,Penelitian ini mem-

perlihatkan kisaran persentase eosinofil ternak sapi 

perah laktasi di KPBS Pangalengan adalah sebesar 

1,5815,78%. Nilai ini masih dalam kisaran nilai yang 

dilaporkan 

Basofil memiliki peran utama dalam membangun 

reaksi hipersensitif dan sekresi mediator yang bersifat 

vasoaktif (). Penelitian ini me-

nunjukkan nilai basofil sapi perah laktasi di KPBS 

Pangalengan masih sesuai dengan nilai yang dilapor-

kan  Namun, nilai basofil 

itu  lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai 

yang dilaporkan  di daerah 

subtropik, yaitu 0,601,00%.  

Adanya perbedaan nilai diferensial leukosit pada 

sapi perah di Pangalengan dengan wilayah lain 

mungkin saja terjadi, hal ini karena perbedaan kondisi 

lingkungan maupun manajemen peternakan sapi 

perah di setiap lokasi yang berbeda. 

 

Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) 

Stres merupakan perubahan kondisi tubuh sebagai 

respons terhadap suatu ancaman tertentu sehingga 

tubuh melakukan penyesuaian terhadap kondisi ter-

sebut. Stres pada hewan dapat diukur melalui rasio 

neutrofil/limfosit (N/L). 

ternak yang mengalami stres mengalami peningkatan 

jumlah neutrofil dan penurunan jumlah limfosit. Hal ini 

disebabkan oleh respons kortisol di dalam darah. 

profil leukosit 

dapat merefleksikan peningkatan kortisol yang di-

sebabkan oleh stres. 

peningkatan kortisol dalam peredaran darah akan 

diikuti peningkatan mobilisasi neutrofil, perpanjangan 

hidup neutrofil, dan penghancuran limfosit sehingga 

terjadi peningkatan rasio neutrofil/limfosit. 

Penelitian ini menunjukkan nilai rasio N/L ternak 

sapi perah laktasi di KPBS Pangalengan masih berada 

pada kisaran yang dilaporkan 

yaitu 1,13159. berdasar  Tabel 4, ternak sapi 

perah laktasi di KPBS Pangalengan memiliki nilai rasio 

N/L pada kisaran 0,411,63. kisaran normal rasio N/L sapi perah laktasi 

adalah 1,131,59. berdasar  hasil itu , nilai 

rasio N/L ternak sapi perah laktasi di KPBS 

Pangalengan berada pada kisaran normal, artinya sapi 

perah laktasi itu  tidak mengalami gangguan 

fisiologis (tercekam) yang nyata pada kondisi ling-

kungan di KPBS Pangalengan.  

Kisaran nilai fisiologis sapi perah laktasi, yaitu 

denyut jantung (59,8272,02 kali/ menit), frekuensi 

respirasi (26,0136,69 kali/menit), suhu rektal 

(37,3238,36 C), konsentrasi hemoglobin (8,299,51 

g/dl), hematokrit (24,5229,70%), eritrosit (6,108,18 

juta/µl), leukosit (6,2210,60 ribu/µl), dan nilai 

diferensial leukosit ialah limfosit 32,6463,14%, 

neutrofil 28,3453,24%, monosit 0,414,85%, eosinofil 

1,5815,78%, dan basofil 0% masih dalam kisaran 

normal pada kondisi lingkungan sejuk di KPBS 

Pangalengan. Selain itu, ternak sapi perah laktasi di 

KPBS Pangalengan tidak berada pada kondisi ter-

cekaman (stres) dengan nilai rasio N/L (0,141,63). 

Nilai fisiologis sapi perah laktasi di KPBS Pangalengan 

ini dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan 

produktivitas sapi perah di KPBS Pangalengan. 

 





Daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki nilai gizi berupa protein yang 

tinggi dan mengandung susunan asam amino yang lengkap dan seimbang. Bahan pangan ini juga 

mengandung vitamin B kompleks (niasin, riboflavin dan tiamin), mineral kalsium, fosfor dan besi 

Daging yang layak dikonsumsi dapat dinilai dari keempukan atau 

kelunakan daging. Keempukan daging merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat ketertarikan 

konsumen terhadap daging yang ditentukan oleh adanya jaringan ikat dan jaringan lemak 

intramuskuler yang terdapat di dalam daging ,

Proses pematangan daging dengan panas (pemasakan) sangat bermanfaat untuk membunuh 

mikroba dan meningkatkan cita rasa. Daging yang akan diolah terkadang membutuhkan waktu 

yang cukup lama sampai menjadi empuk. Bahan-bahan alami banyak digunakan sebagai 

pengempuk daging yang dapat mempercepat proses pengempukan seperti kulit nanas, getah 

pepaya, daun pepaya, buah papaya dan jahe ,Jahe (Zingiber 

Officinale Roscoe) merupakan tanaman rempah yang dimanfaatkan sebagai minuman atau 

campuran pada bahan pangan ,Pada tahun 1973,

menemukan adanya enzim proteolitik pada jahe yang kemudian disebut dengan  zingibain. Enzim 

proteolitik atau protease adalah enzim yang dapat menguraikan protein menjadi asam amino 

sehingga bisa melunakkan daging ,

 

Penelitian tentang enzim protease pada jahe telah banyak dilakukan. 

() dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa penambahan jahe hingga 8% pada daging sapi 

akan meningkatkan keempukan daging. juga melakukan penelitian tentang efek 

ekstrak jahe dan asam sitrat terhadap keempukan otot dada pada bebek. Hasil penelitiannya  

menunjukkan bahwa ekstrak jahe memiliki efek mengempukkan otot dada pada bebek.  

Analisis profil protein daging dilakukan dengan pemisahan protein menjadi molekul yang 

lebih sederhana dengan menggunakan teknik elektroforesis SDS-PAGE, selanjutnya dilakukan 

pengukuran jarak perpindahan (Rf) untuk mengidentifikasi profil protein pada masing-masing 

sampel , Tujuan penelitian yaitu menganalisis profil protein pada daging 

kambing, kerbau dan sapi sebelum dan sesudah direndam dengan larutan jahe konsentrasi 4% v/v, 

6% v/v, 8% v/v dan 10% v/v selama 30 menit dengan metode SDS-PAGE. 

   

Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat 

daging bagian bibir, hidung, dan telinga yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong. 

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki nilai gizi berupa protein yang 

mengandung susunan asam amino yang lengkap , Daging 

mengandung sekitar 75% air, protein sekitar 19%, substansi–substansi non-protein yang larut 3,5% 

dan lemak sekitar 2,5% Daging kambing, kerbau dan sapi memiliki ciri masing-

masing yang diketahui dari warna daging, rasa, aroma dan tekstur daging. Kriteria daging yang 

berkualitas ditentukan dari keempukan atau kelunakan, kandungan lemak (marbling), warna, rasa, 

aroma dan kelembaban ,  Jalur distribusi perdagangan daging pasca 

sembelih yang terlalu panjang akan berdampak pada pencapaian fase kekakuan atau fase 

rigormortis. Pada fase ini terjadi perubahan tekstur daging, jaringan otot menjadi keras, kaku dan 

tidak mudah digerakkan. Daging pada fase ini jika dilakukan pengolahan akan menghasilkan 

daging olahan yang keras dan alot. Pada fase rigormortis akan menyebabkan penurunan nilai daya 

terima pada daging ,

Protein merupakan suatu makromolekul karena memiliki berat molekul yang besar. Protein 

secara umum terdiri dari 20 macam asam amino yang  berikatan secara kovalen satu sama lain yang 

membentuk suatu rantai polipeptida. Struktur protein tidak stabil terhadap beberapa faktor antara 

lain pH, radiasi, temperatur dan pelarut organik. Berdasarkan sumbernya protein digolongkan 

menjadi dua jenis yaitu protein hewani dan protein nabati. Protein hewani merupakan protein yang 

berasal dari hewan seperti susu dan daging. Sedangkan protein nabati adalah protein yang 

dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan baik secara langsung maupun hasil olahan dari tumbuh-

tumbuhan seperti sereal dan tepung ,

Struktur protein terdiri atas struktur primer, sekunder, tersier dan kuartener. Protein 

berdasarkan strukturnya digolongkan menjadi protein sederhana dan protein gabungan. Protein 

sederhana adalah protein yang hanya terdiri atas molekul-molekul asam amino sedangkan protein 

gabungan adalah protein yang berkaitan dengan senyawa bukan protein. Jenis protein gabungan 

antara lain mukoprotein, lipoprotein dan nukleoprotein ,

Protein daging diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar yaitu miofibril, stroma dan 

sarkoplasma. Komponen protein miofibril yang terpenting dalam struktur serabut otot adalah aktin 

dan miosin. Protein miofibril merupakan protein yang berlimpah dalam otot dan penting dalam 

proses kontraksi (mengejang) dan relaksasi (istirahat) otot. Kondisi saat hewan akan dipotong dan 

penanganan setelah pemotongan adalah saat yang penting dalam mengontrol kondisi kontraksi 

(kejang) otot yang akan menentukan keempukan daging. 

Protein stroma terdiri dari kolagen, elastin dan retikulin. Pada daging, kolagen merupakan 

faktor utama yang mempengaruhi keempukan daging setelah proses pemasakan. Pemanasan 

dengan suhu tertentu akan mengubah kolagen yang keras menjadi gelatin yang sifatnya empuk. 

Protein daging lainnya adalah sarkoplasma yang terdiri dari pigmen hemoglobin yaitu protein sel ,

darah merah, mioglobin yaitu cairan yang terdapat dalam sel otot dan bermacam-macam enzim. 

Pigmen hemoglobin dan mioglobin berkontribusi pada warna merah pada daging ,

Jahe (Zingiber Officinale Roscoe) merupakan salah satu jenis tanaman obat yang 

berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai bumbu, bahan obat tradisional dan bahan baku 

minuman serta makanan  Klasifikikasi ilmiah jahe 

yaitu Kingdom : Plantae; Divisi : Spermatophyta; Subdivisi : 

Angiospermae; Kelas : Monocotyledonae; Ordo : Zingiberale; Famili : Zingiberaceae; Sub famili: 

Zingiberoidae; Genus : Zingiber; Spesies : Zingiber officinale. 

Jahe putih kecil biasa disebut jahe emprit yang berwarna putih, berbentuk agak pipih, 

berserat lembut dan aromanya kurang tajam dibandingkan dengan jahe merah. Jahe emprit ini 

memiliki ruas rimpang berukuran lebih kecil dan agak rata sampai agak sedikit menggembung. 

Rimpangnya lebih kecil daripada jahe gajah, tetapi lebih besar dari jahe merah. Jahe emprit biasa 

dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan jamu segar maupun kering, bahan pembuat minuman, 

penyedap makanan, rempah-rempah, serta cocok untuk ramuan obat-obatan. Kadar minyak atsiri 

jahe putih  sebesar 1,7-3,8% dan kadar oleoresin 2,39-8,87% (Hesti Dwi Setyaningrum, 2015). 

Rimpang jahe memiliki kandungan vitamin A, B, C, lemak, protein, minyak atsiri, pati, 

dammar, asam organik, oleoresin (gingerin), zingeron, zingerol, zingeberol, zingiberin, borneol, 

sineol dan felaudren (Heri Warsito, Rindiani 2015). Jahe juga mengandung enzim zingibain, 

bisabolena, kurkumen, gingerol, filandrena dan resin pahit Enzim Zingibain 

merupakan enzim protease yang dapat menghidrolisis protein dalam daging sehingga daging dapat 

menjadi lebih lunak. Profil protein daging dapat dianalisa menggunakan metode SDS-PAGE.  

SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamid Gel Electrophoresis) adalah suatu 

metode elektroforesis yang digunakan untuk analisa pita protein secara kualitatif. Metode ini sering 

digunakan untuk menentukan berat molekul suatu protein disamping untuk memonitor pemurnian 

protein. Protein dalam gel dapat  ditampakkan oleh pewarnaan Coomasie Brilliant Blue 


Metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian dilakukan di laboratorium 

Biologi Molekuler Universitas Muhammadiyah Semarang dan laboratorium Bioteknologi 

Universitas Gajah Mada pada tanggal 5 s/d 13 Juni 2017. 

Variabel penelitian ini yaitu daging, jahe dan profil protein daging. Daging merupakan 

bagian dari tubuh hewan yang tidak memiliki tulang dan diperoleh dari pasar. Jahe adalah tanaman 

yang digunakan sebagai bumbu, obat dan bahan baku minuman dan makanan. Profil protein daging 

merupakan sub-sub unit protein pada daging yang diperoleh dengan menggunakan metode SDS-

PAGE. 

Objek penelitian ini adalah daging kambing dan sapi yang dibeli di pasar Pedurungan 

Semarang dan daging kerbau dari pasar Bintoro Demak kemudian direndam dengan larutan jahe 

dengan konsentrasi 4% v/v, 6% v/v, 8% v/v dan 10% v/v selama 30 menit. 

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan 

data yang diperoleh ditabulasikan kemudian disajikan dalam bentuk narasi deskriptif. 

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu blender, kertas saring, labu ukur, pipet 

volume, beaker glass, timbangan analitik, pot, cawan mortir, vortex, centrifuge, microtube, 

mikropipet, spektrofotometer, chamber elektroforesis, power supply, waterbath, rotator, box 

plastik, plastik press dan kaca press. 

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging (kambing, kerbau dan sapi) 

bagian has dalam (tenderloin), jahe emprit dibuat dalam bentuk larutan, H2O steril, polyakrilamid 

30%, TEMED, APS 10%,  SDS 10%, 1,5 M Tris pH 8,8 dan 6,8, staining 0,1% Coomasie Brilliant 

Blue (CBB) R-250, destaining, asam asetat glasial 10%, butanol, alkohol 70%, running buffer 1x, 

biorad assay, PBS pH 7,4, sampel buffer, dan marker protein

Prosedur penelitian yaitu jahe dibersihkan kemudian diblender dan disaring untuk 

mendapatkan larutan jahe 100%. Larutan jahe 100% kemudian dibuat ke dalam konsentrasi 4% 

v/v, 6% v/v, 8% v/v dan 10% v/v. Daging ditimbang sebanyak 10 g dan direndam selama 30 menit 

dalam masing-masing konsentrasi. Daging ditiriskan dan dihaluskan dengan menambahkan PBS 1x 

dan divortex. Sampel dimasukkan ke dalam kulkas selama 1 jam dan dicentrifuge sehingga 

didapatkan supernatan (protein) dan kemudian dibaca total protein secara spektrofotometri.  

Separating gel dibuat, ditambahkan butanol untuk menutupi permukaan dan dibiarkan 

sampai terjadi polimerisasi kemudian dibersihkan dengan aquades dan ditambahkan stacking gel. 

Sisir dimasukkan dan dibiarkan sampai terjadi polimerisasi. Sisir diangkat maka akan terbentuk 

sumuran (well). Dimasukkan sampel ke well dengan perbandingan 4:1 (16 µl sampel : 4 µl sampel 

buffer). Tambahkan running buffer pada alat dan power supply dihidupkan. Ditunggu hingga 

proses running selesai yang ditandai dengan turunnya Bromo Phenol Blue sampai ke dasar. 

Kemudian gel diwarnai dengan Commasie Brilliant Blue R-250 selama 120 menit hingga pita 

protein terwarnai. Destaining gel 3–4 kali hingga gel tampak bersih, dimasukkan gel ke dalam 

larutan asam asetat glasial 10%, kemudian dipress dan dikeringkan selama 48 jam di ruangan 

gelap. Untuk menentukan berat molekul protein, dihitung menggunakan Rf dan diplotkan pada 

grafik logaritma dari Rf marker protein yang berat molekulnya telah diketahui .


Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging kambing, daging kerbau dan 

daging sapi bagian has dalam (tenderloin) yang direndam larutan jahe dengan konsentrasi 4% v/v, 

6% v/v, 8% v/v dan 10% v/v selama 30 menit. Daging kambing dan sapi dibeli di Pasar 

Pedurungan  Semarang, sedangkan daging kerbau dibeli di pasar Bintoro Demak, Jawa Tengah. 

Total protein daging kambing, kerbau dan sapi dianalisa dengan menggunakan 

spektrofotometri. Hasil analisa total protein tersebut tertera pada tabel di bawah ini. 

 


Dari hasil spektrofotometri daging kontrol memiliki total protein yang lebih besar 

dibandingkan dengan daging yang direndam larutan jahe. Total protein daging yang tertinggi ialah 

daging sapi sebesar 29,22 µg/µl dan terendah adalah daging kerbau sebesar 18,64 µg/µl. 

Sedangkan daging yang telah direndam larutan jahe memiliki total protein yang lebih rendah 

dibandingkan daging kontrol.  

Penambahan larutan jahe pada sampel kambing dan kerbau sangat mempengaruhi total 

protein sedangkan pada daging kerbau tidak terlalu mempengaruhi besarnya penurunan total 

protein.  

Analisis profil protein dilakukan dengan metode SDS-PAGE terhadap daging yang 

direndam dengan larutan jahe selama 30 menit menunjukkan hasil yang tertera pada gambar 1, 2, 3 

dan 4. 

 


 


Keterangan : 

BM = Berat Molekul (kDa), M = Marker, C. Km = Kontrol Kambing, Km 4% = Kambing 

direndam larutan jahe 4%, Km 6% = Kambing direndam larutan jahe 6%, Km 8% = Kambing 

direndam larutan jahe 8%, Km 10% = Kambing direndam larutan jahe 10%, C. Kr = Kontrol 

Kerbau, Kr 4% = Kerbau direndam larutan jahe 4%, Kr 6% = Kerbau direndam larutan jahe 6%, Kr 

8% = Kerbau direndam larutan jahe 8%, Kr 10% = Kerbau direndam larutan jahe 10%, C. Sp = 

Kontrol Sapi, Sp 4% = Sapi direndam larutan jahe 4%, Sp 6% = Sapi direndam larutan jahe 6%, Sp 

8% = Sapi direndam larutan jahe 8%, Sp 10% = Sapi direndam larutan jahe 10%


 

 Berdasarkan gambar 1, 2, 3 dan 4 didapatkan jumlah pita mayor dan pita minor 

yang tertera pada tabel 2. 

 


 

Daging yang sudah direndam larutan jahe diisolasi protein,  kemudian diseparasi 

dengan metode Laemmli (1970) dan diwarnai dengan 0,1% Coomasie Brilliant Blue (CBB) 

R-250 selama 120 menit pada suhu ruangan hingga pita protein terwarnai. penentuan berat molekul (BM) protein dilakukan dengan 

menghitung Rf (Retardation Factor) dari masing-masing pita (band) protein dengan rumus 

sebagai berikut :  

 

Rf   = 

                                      

                                       

 

Berat molekul (BM) dan nilai Retardation Factor (Rf) marker diplotkan pada kertas 

logaritma sehingga didapatkan BM sampel yang tertera pada tabel 3, 4 dan 5. 


 

Jahe mengandung enzim protease yaitu zingibain yang dapat memecah ikatan 

peptida menjadi molekul-molekul protein yang lebih sederhana (asam amino) sehingga dapat 

melunakkan daging (Kurniawan, 2014). Hasil pemecahan protein tersebut akan membentuk 

ikatan yang mengkaitkan dua molekul asam amino yang disebut dipeptida. Dipeptida 

mempunyai gugus –COOH dan –NH2 yang akan membentuk oligopeptida seperti carnosine, 

balenine dan anserine yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan yang dapat 

menghambat reaksi oksidatif daging 

Enzim zingibain yang terdapat dalam jahe dapat menghidrolisa protein yang 

ditandai dengan berkurangnya pita protein mayor dan bertambahnya pita protein 

minor. Semakin tinggi konsentrasi larutan jahe, maka semakin banyak kandungan 

enzim zingibain sehingga kemampuan untuk menghidrolisa protein semakin tinggi. 

 

Enzim zingibain yang terdapat dalam jahe dapat memecah ikatan peptida pada 

protein daging sehingga protein membentuk mikromolekul (pita minor) yang dapat 

mengempukkan daging. Larutan jahe paling baik untuk merendam daging kambing, kerbau 

dan sapi selama 30 menit yaitu pada konsentrasi 4% karena masih banyak terdapat protein 

pada daging tersebut.  

Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan enzim 

zingibain yang berasal dari jahe gajah (jahe besar) dan jahe merah dengan variasi lama 

perendaman yang berbeda serta dapat menggunakan pengolahan sampel yang berbeda yaitu 

menggunakan serbuk jahe. 

Bagi masyarakat yang ingin mempercepat proses pengempukan daging sebanyak 

250 g, dapat menggunakan 40 ml sari jahe yang setara dengan 2 sdm sari jahe dan 

ditambahkan 625 ml air yang setara dengan dua gelas air minum, kemudian direndam selama 

30 menit.