Religiositas 3
han yang dirasakan dari
berbagai teknologi termasuk CCS.
5.4 Eko-Religius
Keterlibatan agama dalam isu-isu lingkungan telah menjadi gerakan
yang berkembang dalam beberapa waktu (Watling, 2015). Gerakan
ini terutama terlihat dalam bidang agama dan ekologi, yang berupaya
untuk memfasilitasi eksplorasi dan promosi gagasan-gagasan eko-religius
dengan menganalisis, membandingkan, dan menggabungkan pandangan-
pandangan berbeda agama tentang alam dan interaksi manusia dengan
alam.
Cobb (2021) menjelaskan bahwa eko-religius yaitu pandangan dunia
atau pemahaman agama yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritualitas
dan keberlanjutan ekologi. Baginya, eko-religius yaitu pendekatan yang
memadukan keyakinan agama dengan kesadaran ekologis, sehingga
melahirkan tanggung jawab terhadap lingkungan alam sebagai bagian dari
pemahaman agama itu sendiri. Ini berarti eco-religious menempatkan
lingkungan alam sebagai aspek penting dari keyakinan agama dan
mendorong tindakan yang bertanggung jawab terhadap alam sebagai
wujud dari penghormatan terhadap ciptaan Tuhan. Eko-religius, dalam
pandangan Cobb, yaitu cara untuk menjembatani pemahaman agama
dengan tantangan-tantangan lingkungan yang dihadapi manusia dalam
era modern.
Pemikiran Cobb (2021) memiliki urgensi yang besar dalam konteks
keberlanjutan lingkungan. Ia mendorong kesadaran ekologi dan
menghubungkannya dengan keyakinan agama, menjadikan ekologi sebagai
bagian integral dari keyakinan. Konsep keberlanjutan yang dikembangkan
oleh Cobb didasarkan pada nilai-nilai agama dan mengingatkan kita
bahwa tindakan kita memiliki konsekuensi moral terhadap alam.
Pemikirannya memotivasi tindakan nyata untuk merawat lingkungan alam
dengan menggabungkan nilai-nilai agama dan keberlanjutan ekologi,
78
mengajak kita untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan
yang berakar pada keyakinan agama. Dalam era tantangan lingkungan
global yang semakin mendesak, pemikiran eko-religius Cobb memiliki
urgensi yang kuat dalam membantu manusia menjalani kehidupan yang
sejalan dengan alam dan nilai-nilai agama untuk menjaga dan merestorasi
ekosistem bumi.
Nasr (2007) mendorong penggabungan keyakinan agama dengan
tanggung jawab terhadap alam. Ia menggarisbawahi bahwa agama
memiliki peran utama dalam mengilhami perlindungan dan perawatan
alam sebagai aspek tak terpisahkan dari kehidupan spiritual. Pentingnya
ini tercermin dalam usahanya untuk menyatukan nilai-nilai agama dengan
upaya nyata untuk merawat lingkungan sebagai bagian penting dari
tugas agama. Selain itu, pemikiran Nasr juga meresapkan pemahaman
Islam dalam konteks isu-isu lingkungan, yang memiliki implikasi global
signifikan mengingat jumlah besar umat Muslim di dunia. Menurut Sayem
(2022), kontribusi pemikiran Nasr yaitu dalam mengingatkan individu
dan komunitas akan peran sentral agama dalam membentuk kesadaran
ekologi dan mendorong tindakan yang berkelanjutan dalam melindungi
dan merawat alam, yang pada gilirannya berkontribusi pada usaha global
untuk menjaga keberlanjutan planet ini.
Konsep eko-religius telah menginspirasi banyak peneliti di seluruh
dunia yang telah berkontribusi dalam memahami hubungan antara
agama, spiritualitas, dan alam. Di antara mereka, beberapa peneliti
yang mencolok. Taylor (2010, 2020) merupakan seorang ahli ekologi dan
agama. Ia dikenal karena karyanya dalam mengembangkan konsep “Earth
religions” atau “ecological religions”. Ia menyoroti bagaimana beberapa
agama dan kepercayaan tradisional menghubungkan manusia dengan
alam sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Taylor juga meneliti
gerakan-gerakan spiritual kontemporer yang mempromosikan pelestarian
alam dan aktivisme lingkungan.
Grim dan Tucker (2014) merupakan pemikir utama di bidang studi
agama dan ekologi. Mereka telah menyelidiki berbagai agama dan budaya
di seluruh dunia untuk memahami pandangan-pandangan mereka
79
5. Agama dan Perubahan Iklim
tentang alam dan lingkungan. Karya mereka menekankan pentingnya
dialog antaragama dalam menemukan solusi untuk perubahan iklim dan
pelestarian alam, Allison (2016) berkata kata Grim dan Tucker (2014)
dalam buku “Ecology and Religion” mencoba membangun jembatan
antara praktisi agama dan ilmuwan ekologi, menunjukkan bagaimana
agama dapat memberikan kontribusi positif dalam pemahaman hubungan
antara manusia dan alam. Selain itu, mereka membahas tantangan dalam
mengintegrasikan perhatian ekologi ke dalam berbagai budaya di seluruh
dunia dan menyajikan pola-pola umum yang menghubungkan manusia
dengan lingkungan. Buku tersebut menghadirkan pandangan inklusif
terhadap berbagai tradisi agama dari seluruh dunia dan menunjukkan
bahwa pandangan agama tidak terbatas pada monoteisme atau
kepercayaan kepada satu dewa saja. Mereka juga mencatat pentingnya
memahami peran agama dalam pemahaman tentang motivasi manusia
dan perubahan sosial, meskipun ada tantangan dan ketegangan
dalam dialog ini. Dengan menyajikan pemikiran-pemikiran dari berbagai
teolog dan ilmuwan ekologi, buku ini memberikan kontribusi yang
berharga dalam menggali hubungan antara agama dan ekologi serta
menghadirkan pemahaman bersama tentang kontribusi agama dalam
mencapai keberlanjutan ekologi global.
Berkes (2017) yaitu seorang ilmuwan lingkungan dan antropologis.
Ia telah mengembangkan pemikiran bahwa banyak budaya dan warga
tradisional memiliki pemahaman mendalam tentang lingkungan alam
yang dianggap suci. Ia berpendapat bahwa dalam budaya-budaya ini,
alam tidak hanya dianggap sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga
sebagai bagian integral dari sistem kepercayaan dan nilai-nilai spiritual.
Ia menekankan pentingnya memahami dan menghormati pengetahuan
lokal dan kebijaksanaan tradisional dalam pengelolaan sumber daya
alam. Ia berargumen bahwa model-model pengelolaan yang berpusat
pada pengetahuan lokal dan kearifan tradisional dapat menjadi
alternatif yang lebih berkelanjutan daripada pendekatan-pendekatan
modern yang sering kali mengabaikan nilai-nilai budaya dan spiritual
dalam hubungannya dengan alam.
80
Glaeser (2023) berkata kata bahwa respons agama terhadap
perubahan lingkungan global dapat memengaruhi cara manusia
memperlakukan lingkungan dunia dan bagaimana hal ini memengaruhi
pandangan terhadap tindakan manusia dan apa yang dianggap sebagai
tatanan sosial yang rasional. Konsep-konsep ini telah membentuk situasi
budaya saat ini yang menginterpretasikan perubahan lingkungan global
sebagai sesuatu yang berisiko. Ia mengusulkan bahwa eko-religius yaitu
kondisi yang diperlukan untuk mengimplan perilaku ekologis yang rasional.
Berry (1999, 2009) mengajukan sejumlah ide pokok yang
menghubungkan agama dengan perubahan iklim. Salah satu ide
utamanya yaitu mengenai hubungan erat antara spiritualitas, agama,
dan lingkungan alam. Berry mendorong kita untuk melihat dunia dengan
pandangan yang lebih holistik, mengakui keagungan alam sebagai
sesuatu yang sakral yang harus dihormati. Ia menegaskan pentingnya
mengintegrasikan dimensi spiritual dalam respons kita terhadap krisis
lingkungan, termasuk perubahan iklim. Selain itu, Berry juga mengupas
tantangan yang dihadapi oleh berbagai agama dalam menghadapi isu-isu
lingkungan, dengan mengidentifikasi bagaimana beberapa tradisi agama
telah mengabaikan tanggung jawab moral terhadap lingkungan alam. Hal
ini membawa kita pada pertanyaan krusial tentang peran positif agama
dalam menjaga keberlangsungan bumi. Berry juga menawarkan solusi
dengan gagasan bahwa kita perlu mengubah paradigma dari eksploitasi
alam menjadi upaya pemeliharaan dan harmoni dengan lingkungan.
Ia percaya bahwa dengan menggabungkan spiritualitas dengan usaha
pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam yang bijak, kita dapat
merintis gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab
terhadap alam semesta tempat kita tinggal.
Rasmussen (2012) menghadirkan ide-ide yang mendasar seputar
peran agama dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan
lingkungan di dalam bukunya yang berjudul “Earth-Honoring Faith:
Religious Ethics in a New Key”. Salah satu ide pokok yang ditekankan dalam
buku ini yaitu perlunya membangun hubungan yang lebih mendalam
antara agama dan ekologi. Rasmussen mengajukan gagasan bahwa agama
81
5. Agama dan Perubahan Iklim
harus menjadi sumber inspirasi untuk tindakan perlindungan lingkungan,
bukan hanya sebagai aspek spiritual yang terpisah. Ia berpendapat
bahwa agama harus memimpin perubahan dalam pandangan dunia dan
praktik-praktik manusia untuk mengatasi perubahan iklim dan kerusakan
lingkungan yang semakin meningkat. Permasalahan yang diangkat dalam
buku tersebut mencakup perdebatan etika seputar eksploitasi alam,
konsumsi berlebihan, dan pengabaian terhadap kerentanan ekosistem
bumi. Rasmussen secara tegas menyoroti ketidakseimbangan yang
ada dalam cara manusia berinteraksi dengan alam, terutama dalam
konteks ekonomi global yang didorong oleh pertumbuhan tanpa henti.
Ia juga menggambarkan dampak perubahan iklim yang sudah terjadi
dan risiko serius yang dihadapi manusia dan lingkungan. Ia mengajak
agar ajaran agama dapat menjadi katalisator untuk menghargai alam
sebagai sesuatu yang suci dan mendukung tanggung jawab etis terhadap
bumi. Ia juga menyarankan untuk membangun komunitas agama yang
memprioritaskan pelestarian alam dan tindakan nyata untuk mengatasi
perubahan iklim, sehingga agama dapat menjadi kekuatan positif dalam
menjaga keseimbangan ekologi dan menciptakan masa depan yang lebih
berkelanjutan.
Kinsley (1995) berkata kata bahwa banyak tradisi agama di seluruh
dunia memiliki elemen-elemen ekologis yang mendalam yang dapat
memberikan pandangan berharga tentang bagaimana manusia dapat
menjaga keseimbangan dengan alam. Ia mencatat bahwa dalam banyak
tradisi, ada penghargaan mendalam terhadap alam sebagai sesuatu
yang suci. Solusi yang ditawarkan yaitu bahwa kita perlu belajar dari
tradisi-tradisi ini dan mengintegrasikan pemahaman ekologis mereka
ke dalam pandangan dunia modern. Kinsley menyarankan bahwa
pengembangan etika ekologis yang didasarkan pada prinsip-prinsip
agama-agama ini dapat membantu manusia untuk hidup secara lebih
berkelanjutan dan menjaga keberlangsungan alam. Selain itu, Kinsley
menggarisbawahi pentingnya pembaruan ajaran agama yang merujuk
pada upaya mengintegrasikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekologis ke
dalam ajaran dan praktik agama, menghasilkan pemahaman baru tentang
tanggung jawab manusia terhadap lingkungan alam, mengubah praktik
82
ibadah, dan mendidik umat tentang pentingnya menjaga lingkungan serta
menciptakan pemikiran teologis baru yang mencerminkan kesadaran
ekologis dalam tradisi agama.
PEMBANGUNAN EKONOMI
DAN PERUBAHAN IKLIM
Pembangunan ekonomi dan perubahan iklim merupakan dua
aspek yang saling terkait dan memerlukan perhatian serius. Sementara
pembangunan ekonomi yang cepat dapat membawa kemakmuran, juga
dapat memperburuk dampak perubahan iklim jika tidak dikelola dengan
bijak. Peningkatan produksi dan konsumsi dalam proses pembangunan
ekonomi sering kali menghasilkan emisi GRK yang menyebabkan
pemanasan global. Oleh karena itu, tantangan utama yaitu mencari solusi
yang memungkinkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, di mana
pertumbuhan ekonomi beriringan dengan upaya untuk mengurangi emisi
karbon, mempromosikan energi terbarukan, dan mengadopsi teknologi
yang ramah lingkungan. Pada bagian ini akan dibahas tentang teori-teori
relevan yang menjelaskan hubungan ekonomi dengan perubahan iklim,
hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) dan Pollution Haven/Halo
Hypothesis (PHH, dan studi empiris ekonomi dan perubahan iklim.
6.1 Ekonomi Lingkungan
Merujuk pada kajian literatur yang dilakukan oleh Loiseau (2016),
para ekonom neoklasik menilai masalah lingkungan disebabkan oleh
penggunaan yang tidak efisien dari sumber daya alam dan penilaian yang
kurang tepat terhadap modal alam. Asumsi mendasar di sini yaitu bahwa
modal buatan manusia dan modal alam dapat saling menggantikan.
Salah satu asumsi utama dari perspektif ini yaitu bahwa pertumbuhan
ekonomi dan penggunaan sumber daya yang berkelanjutan dapat dicapai
secara bersamaan (Borel-Saladin & Turok, 2013; Bina & La Camera, 2011).
Asumsi tersebut layak mendapat perhatian khusus karena menawarkan
bahwa ada solusi saling menguntungkan baik bagi ekonomi maupun
lingkungan (Porter & Van der Linde, 1995). Poter mengusulkan bahwa
6
84
regulasi lingkungan dapat memacu inovasi wirausaha, meningkatkan
kinerja bisnis, dan dengan demikian memberikan manfaat tidak hanya bagi
lingkungan tetapi juga dimensi ekonomi (Ambec et al., 2013). Perspektif
ini optimis tentang kemampuan manusia untuk menyelesaikan masalah
apa pun yang mungkin timbul akibat penipisan sumber daya (Williams &
Millington, 2004).
Titik awal ekonomi lingkungan yaitu konsep efek eksternal (Pigou,
1920). Oleh karena itu, strategi yang ditempuh oleh ekonomi lingkungan
yaitu untuk menetapkan harga yang benar (internalisasi) dengan
memberikan penilaian yang akurat terhadap modal ini. Untuk menilai
modal alam, efek eksternal diestimasi memakai berbagai metode,
dan saran-saran dibuat untuk menginternalisasikan efek-efek ini (Rennings
& Wiggering, 1997). Biaya lingkungan eksternal dapat memiliki berbagai
bentuk, mulai dari lokal (misalnya, kebisingan bandara) hingga global
(misalnya, emisi GRK dan polusi udara lintas batas jarak jauh). Manfaat
eksternal dapat terkait dengan penggunaan “commons” seperti manfaat
spill-over regional dari area perlindungan daerah aliran sungai. Jika insentif
perilaku pribadi tidak mencerminkan biaya atau manfaat bagi pihak ketiga
atau warga secara keseluruhan, keputusan yang diambil tidak akan
mencapai optimum sosial dan dapat mengurangi kesejahteraan sosial.
Biaya dan/atau manfaat yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan kepada
pihak ketiga harus diatasi oleh instrumen ekonomi sedemikian rupa
sehingga pelaku yang bersangkutan memasukkan nilai-nilai ini ke dalam
pengambilan keputusan. Sejumlah besar instrumen potensial dapat
digunakan untuk internalisasi, seperti peraturan dan pengendalian, pajak,
subsidi, izin yang dapat diperdagangkan, hukum tanggung jawab, atau
pembayaran untuk layanan ekosistem. Asumsi mendasar dari pendekatan
ini yaitu bahwa begitu warga secara keseluruhan menetapkan
harga yang tepat (mencerminkan biaya eksternal), penggunaan sumber
daya alam yang tidak berkelanjutan akan berhenti (Williamson, 1994).
Asumsi ini mengimplikasikan gagasan keberlanjutan lemah di mana
kesejahteraan konstan dari waktu ke waktu dapat (i) diperoleh dengan
menggantikan modal alam dengan modal buatan manusia dan manusia,
85
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
dan (ii) modal alam tidak ditandai oleh ambang batas kritis sehingga
degradasi lingkungan dapat dibalikkan (Pelenc & Ballet, 2015). Asumsi-
asumsi ini sering diformalkan dalam bentuk fungsi kesejahteraan dengan
modal berbagai barang sebagai input, terutama ekspresi matematis
tentang tingkat substitusi, misalnya dalam hal elastisitas input.
Field dan Field (2017) di dalam buku berjudul “Environmental
Economics: An Introduction” mendefinisikan ekonomi lingkungan sebagai
cabang ilmu ekonomi yang mempelajari interaksi antara sistem ekonomi
manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi ini, ekonomi lingkungan
memfokuskan perhatiannya pada bagaimana aktivitas ekonomi, seperti
produksi dan konsumsi, memengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan
alam. Ini mencakup analisis dampak ekonomi dari masalah lingkungan
seperti polusi, perubahan iklim, dan keberlanjutan sumber daya alam.
Definisi tersebut menekankan pentingnya memahami bagaimana
kegiatan ekonomi dapat memiliki dampak positif atau negatif terhadap
lingkungan, serta bagaimana ekonomi dapat digunakan sebagai alat untuk
mengatasi tantangan lingkungan. Field juga membahas konsep-konsep
seperti biaya eksternalitas (eksternalities) di mana dampak negatif dari
aktivitas ekonomi tercermin dalam biaya lingkungan, serta cara untuk
menginternalisasi biaya-biaya ini dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Ini yaitu pandangan dasar dalam ekonomi lingkungan yang membantu
pembaca memahami cara ekonomi dapat digunakan sebagai alat untuk
mendorong tindakan yang lebih berkelanjutan terhadap lingkungan.
Menurut Kolstad (2010) dalam bukunya “Environmental Economics”,
ekonomi lingkungan yaitu cabang dari ilmu ekonomi yang mempelajari
cara-cara untuk mencapai keseimbangan antara kegiatan ekonomi
manusia dan pelestarian lingkungan alam. Definisi ini menekankan
pentingnya memahami interaksi antara aktivitas ekonomi, seperti
produksi dan konsumsi, dengan dampaknya terhadap lingkungan, seperti
polusi udara, pencemaran air, deforestasi, dan perubahan iklim. Ekonomi
lingkungan berusaha untuk mengukur dan mengelola konsekuensi
ekonomi dari kerusakan lingkungan serta mengidentifikasi kebijakan dan
instrumen ekonomi yang dapat digunakan untuk mendorong praktik-
86
praktik yang lebih berkelanjutan. Hal ini melibatkan analisis biaya-manfaat,
pengembangan pajak atau insentif, serta pemahaman tentang bagaimana
pasar dan mekanisme harga dapat digunakan untuk mengatasi masalah
lingkungan. Dengan kata lain, ekonomi lingkungan yaitu alat untuk
memahami dan mencari solusi terhadap konflik antara pertumbuhan
ekonomi dan perlindungan lingkungan alam.
Kolstad (2010) juga menguraikan berbagai kebijakan ekonomi
lingkungan yang dapat digunakan untuk mengatasi tantangan perlindungan
lingkungan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Salah satunya
yaitu pajak dan bea karbon, yang memungkinkan internalisasi biaya
eksternal emisi karbon. Selain itu, Kolstad mencatat pentingnya perizinan
perdagangan karbon sebagai alat yang memberikan fleksibilitas dalam
memenuhi target emisi. Regulasi dan standar lingkungan juga merupakan
elemen penting dalam upaya mengendalikan polusi dan membatasi
dampak negatif kegiatan ekonomi. Selain itu, subsidi lingkungan digunakan
untuk memberikan insentif finansial bagi praktik-praktik berkelanjutan
dan teknologi hijau. Terakhir, evaluasi biaya-manfaat menjadi prinsip
kunci dalam perumusan kebijakan, memastikan bahwa langkah-langkah
yang diambil yaitu yang paling efisien.
Dalam bukunya “Environmental Economics: A Very Short Introduction”,
Smith (2011) mendefinisikan ekonomi lingkungan sebagai cabang ekonomi
yang mempelajari cara sumber daya alam dan lingkungan alam digunakan,
diperdagangkan, dan dikelola dalam konteks ekonomi. Hal ini mencakup
analisis mengenai cara aktivitas ekonomi manusia memengaruhi
lingkungan, bagaimana lingkungan memengaruhi perekonomian, serta
upaya untuk mengembangkan kebijakan ekonomi yang mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan perlindungan lingkungan.
Dengan kata lain, ekonomi lingkungan berkaitan erat dengan cara kita
mengukur, mengelola, dan mencapai keseimbangan antara pertumbuhan
ekonomi dan konservasi lingkungan alam.
Smith (2011) menguraikan beberapa prinsip dasar ekonomi
lingkungan. Pertama, yaitu prinsip efisiensi, yang menekankan bahwa
sumber daya alam harus digunakan secara efisien agar manfaat maksimum
87
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
dapat diperoleh dari mereka. Kedua, yaitu prinsip keberlanjutan, yang
menuntut agar penggunaan sumber daya alam tidak merusak lingkungan
alam dalam jangka panjang, sehingga sumber daya ini tetap tersedia untuk
generasi mendatang. Ketiga, yaitu prinsip insentif, di mana penggunaan
pajak, subsidi, atau mekanisme pasar lainnya digunakan untuk mendorong
individu dan perusahaan untuk bertindak secara lingkungan. Terakhir,
yaitu prinsip keadilan, yang mempertimbangkan distribusi manfaat dan
beban lingkungan secara adil di antara berbagai kelompok warga .
Dengan mematuhi prinsip-prinsip ini, ekonomi lingkungan berusaha
mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian
lingkungan alam.
Nordhaus (2013) berkata kata ekonomi lingkungan yaitu yaitu
pengkajian tentang bagaimana kegiatan ekonomi manusia berinteraksi
dengan lingkungan alam. Khususnya, ekonomi lingkungan mencakup
analisis ekonomi terhadap isu-isu lingkungan seperti perubahan iklim,
polusi udara, dan air, serta berfokus pada pemahaman dampak-dampak
ekonomi dari tindakan-tindakan tersebut. Definisi ini menekankan
pentingnya memahami bagaimana aktivitas ekonomi kita berdampak
pada lingkungan alam dan bagaimana kebijakan ekonomi dapat digunakan
untuk mengelola dampak-dampak tersebut secara efisien. Dalam bukunya
yang berjudul “The Climate Casino: Risk, Uncertainty, and Economics for a
Warming World”, Nordhaus juga menjelaskan bahwa ekonomi lingkungan
melibatkan analisis biaya dan manfaat dalam konteks kebijakan lingkungan.
Artinya, ekonomi lingkungan mempertimbangkan bagaimana mengambil
tindakan yang dapat meminimalkan dampak negatif pada lingkungan
sambil mempertimbangkan biaya ekonomi yang terlibat. Dengan kata
lain, ekonomi lingkungan membantu kita menemukan keseimbangan
antara upaya melindungi lingkungan dengan mempertimbangkan
implikasi ekonomi, dan ini membantu dalam pengambilan keputusan
yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
Stavins (2013) dalam bukunya berjudul “Economics of climate
change and environmental policy” mengulas berbagai kebijakan ekonomi
lingkungan yang dapat digunakan untuk menghadapi perubahan iklim
88
dan isu-isu lingkungan. Ia membahas instrumen-instrumen seperti pajak
karbon, perdagangan emisi, regulasi, dan berbagai insentif kebijakan
lainnya. Stavins menekankan pentingnya menciptakan insentif ekonomi
yang tepat untuk mengurangi emisi GRK dan menjaga lingkungan. Ia juga
menyoroti peran penting kerja sama internasional dalam menangani
masalah lingkungan global serta perlunya kesepakatan antarnegara untuk
mengatasi perubahan iklim. Secara keseluruhan, bukunya memberikan
pandangan yang komprehensif tentang cara memakai prinsip-prinsip
ekonomi untuk merancang kebijakan lingkungan yang efektif dan efisien.
Nordhaus (2013) menjelaskan beragam kebijakan ekonomi
lingkungan yang bisa digunakan untuk menghadapi perubahan iklim
dan tantangan lingkungan. Salah satu metode yang dia bahas yaitu
penerapan pajak karbon untuk mengurangi emisi GRK, menciptakan
dorongan bagi perusahaan dan individu untuk mengurangi emisi mereka.
Selain itu, Nordhaus juga mencermati rencana perdagangan karbon
yang memungkinkan perusahaan untuk menjual izin emisi mereka,
yang memberikan insentif bagi pengurangan emisi yang efisien. Dia juga
menekankan pentingnya investasi dalam teknologi yang ramah lingkungan,
peraturan pengendalian polusi, kerja sama internasional, peningkatan
kesadaran warga , dan pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu
lingkungan sebagai komponen utama dalam penanganan perubahan iklim
secara berkelanjutan.
Freeman et al., (2014) dalam bukunya berjudul “The Measurement of
Environmental and Resource Values: Theory and Methods” menguraikan
berbagai teori dan metode yang digunakan dalam ekonomi lingkungan dan
sumber daya alam. Salah satu metode utama yang dibahas yaitu analisis
biaya-manfaat, di mana nilai lingkungan diukur dengan membandingkan
manfaat ekonomi dari pelestarian atau pengelolaan sumber daya alam
dengan biaya yang diperlukan untuk melakukannya. Selain itu, mereka
juga membahas penggunaan teknik ekonometri untuk mengestimasi
nilai lingkungan, seperti penggunaan model statistik yang kompleks
untuk menghubungkan variabel ekonomi dengan perubahan lingkungan.
Buku tersebut juga menguraikan pendekatan eksperimental dalam
89
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
mengukur nilai lingkungan, seperti penggunaan survei preferensi dan
pengujian eksperimental untuk menilai nilai-nilai lingkungan. Freeman
mengeksplorasi berbagai jenis nilai lingkungan, termasuk nilai penggunaan
langsung (seperti manfaat langsung dari alam) dan nilai eksistensi (nilai
yang diberikan kepada keberlanjutan lingkungan, bahkan jika tidak ada
manfaat langsung yang diperoleh). Metode-metode ini membantu para
peneliti dan pengambil kebijakan untuk memahami dan mengukur nilai-
nilai lingkungan yang penting dalam pengambilan keputusan kebijakan
yang berkelanjutan.
6.2 Ekonomi Ekologi
Herman Daly yaitu seorang ahli ekonomi lingkungan terkemuka
yang telah memberikan sumbangan signifikan dalam pengembangan
teori ekonomi ekologi. Ia telah menghasilkan beberapa buku yang
memiliki dampak besar di dalam domain ini. Daly (2007) mendefinisikan
ekonomi ekologi sebagai cabang ekonomi yang mengakui bahwa ekonomi
manusia yaitu subsistem dari ekosistem alam yang lebih besar. Definisi
ini menekankan pentingnya memasukkan aspek lingkungan ke dalam
analisis ekonomi dan mengenali keterbatasan sumber daya alam dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi. Ia juga menekankan bahwa ekonomi
ekologi mencoba untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan
ekonomi dan kelestarian lingkungan, serta mengutamakan konsep
pembangunan yang berkelanjutan. Dalam perspektif Daly, ekonomi ekologi
tidak hanya mempertimbangkan nilai ekonomi dari aktivitas manusia,
tetapi juga dampaknya terhadap ekosistem, keberlanjutan sumber daya
alam, dan kesejahteraan jangka panjang manusia. Ini berarti mengukur
kesejahteraan bukan hanya dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi,
tetapi juga dari keseimbangan ekologis dan keberlanjutan lingkungan. Ia
menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan aspek lingkungan dalam
pengambilan keputusan ekonomi dan mencapai keselarasan antara
kepentingan manusia dan alam.
90
Hal serupa juga disampaikan oleh Faber et al., (1996) yang
berkata kata ekonomi dan ekologi bukanlah dua disiplin yang terpisah,
tetapi seharusnya saling terkait dalam pemahaman tentang bagaimana
manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Ekonomi beroperasi dalam
konteks lingkungan alam, dan aktivitas ekonomi manusia memiliki
dampak signifikan pada ekosistem dan sumber daya alam. Oleh karena itu,
pemahaman ekonomi yang benar harus mempertimbangkan aspek-aspek
ekologi, seperti keterbatasan sumber daya alam, kerusakan lingkungan,
dan keberlanjutan.
Berbeda dengan ekonomi lingkungan, ekonomi ekologi yaitu
pendekatan yang lebih holistik terhadap ekonomi yang berakar dalam
ilmu ekologi. Ini menekankan hubungan yang kompleks antara manusia,
ekonomi, dan ekosistem alam. Ekonomi ekologi mencoba memahami
bagaimana ekonomi manusia secara intrinsik terkait dengan sistem
ekologi, dan bagaimana perubahan dalam ekonomi dapat memengaruhi
keseimbangan ekologis. Pendekatan ini lebih luas dan lebih mendalam
daripada ekonomi lingkungan, karena mencakup pemahaman tentang
berbagai interaksi ekologis dalam konteks ekonomi. Jadi, sementara
ekonomi lingkungan lebih fokus pada analisis dampak kegiatan ekonomi
pada lingkungan alam, ekonomi ekologi memperluas cakupan untuk
memahami keterkaitan yang lebih dalam antara ekonomi dan ekologi
secara keseluruhan (Loiseau et al., 2016).
Daly dan Farley (2011) mengembangkan gagasan tentang ekonomi
ekologi dengan fokus pada prinsip-prinsip dasarnya. Pertama, konsep
keberlanjutan, yaitu menjaga sumber daya alam untuk generasi
mendatang. Kedua, advokasi pemikiran tentang batas pertumbuhan
ekonomi, yaitu mengenali bahwa sumber daya alam dan lingkungan
memiliki keterbatasan yang harus dihormati dalam aktivitas ekonomi.
Ketiga, pemisahan antara ekonomi fisik dan ekonomi abstrak, yaitu
mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu berarti peningkatan
kesejahteraan jika itu merusak lingkungan. Terakhir, mengukur
kesejahteraan manusia dengan parameter yang lebih luas daripada hanya
pertumbuhan ekonomi, sehingga faktor-faktor seperti kualitas lingkungan
91
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
dan kebahagiaan manusia juga diperhitungkan dalam evaluasi kinerja
ekonomi. Dengan prinsip-prinsip ini, mereka menciptakan kerangka kerja
ekonomi ekologi yang lebih berkelanjutan dan sesuai dengan keterbatasan
alam.
Prinsip-prinsip tersebut dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks,
Salah satunya yaitu dalam pengembangan kebijakan lingkungan,
di mana prinsip keberlanjutan menjadi landasan dalam merancang
langkah-langkah yang tidak merusak sumber daya alam untuk generasi
mendatang. Dalam bisnis, prinsip ekonomi ekologi dapat digunakan untuk
mengintegrasikan aspek lingkungan ke dalam strategi perusahaan, seperti
mengadopsi praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan atau mengukur
dampak ekologis dari aktivitas perusahaan. Di tingkat individu, prinsip
tersebut dapat digunakan untuk memandu konsumen dalam membuat
pilihan yang lebih berkelanjutan, seperti mengurangi jejak karbon atau
mendukung produk dan layanan yang memperhatikan lingkungan.
Selain itu, dalam perencanaan kota dan pembangunan wilayah, prinsip
ekonomi ekologi membantu mengintegrasikan faktor-faktor lingkungan
ke dalam kebijakan pembangunan yang lebih berkelanjutan dan ramah
lingkungan. Kesimpulannya, prinsip-prinsip ekonomi ekologi memiliki
aplikasi praktis yang sangat relevan dalam berbagai aspek kehidupan,
membantu mengarahkan tindakan menuju lingkungan yang lebih sehat
dan berkelanjutan.
Costanza (1991) dalam bukunya berjudul “Ecological Economics: The
Science and Management of Sustainability” berkata kata bahwa ekonomi
ekologi yaitu studi tentang bagaimana manusia dan warga
berinteraksi dengan ekosistem alam untuk mencapai kesejahteraan
manusia yang berkelanjutan. Konsep ekonomi berkelanjutan yaitu
pendekatan dalam ekonomi yang bertujuan untuk menciptakan
kesejahteraan manusia tanpa merusak atau menguras sumber daya alam
dan lingkungan. Ini melibatkan pemahaman bahwa sumber daya alam dan
ekosistem memiliki batasan dalam hal daya dukung mereka, dan ekonomi
harus beroperasi dalam kerangka ini untuk menjaga keberlanjutan jangka
panjang. Konsep ini menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya
92
alam yang bijak, pemulihan ekosistem yang rusak, dan pengurangan dampak
lingkungan dari aktivitas ekonomi. Selain itu, ekonomi berkelanjutan juga
mempertimbangkan aspek sosial, termasuk pemerataan pendapatan,
keadilan, dan kesejahteraan sosial secara umum, untuk menciptakan
warga yang seimbang dan berkelanjutan secara ekologis. Ini yaitu
pendekatan integral dalam mengatasi tantangan perubahan iklim dan
perlindungan lingkungan di abad ke-21.
Praktik-praktik ekonomi yang berkelanjutan dan berpusat pada ekologi,
seperti yang digagas oleh Robert Costanza, mencakup berbagai inisiatif
dan kebijakan yang bertujuan untuk mempromosikan keberlanjutan
lingkungan. Salah satu contoh praktik tersebut yaitu pengembangan
ekowisata, di mana wilayah alam yang sensitif secara lingkungan digunakan
untuk pariwisata yang berkelanjutan, yang memberikan manfaat ekonomi
sambil menjaga integritas lingkungan. Selain itu, penggunaan pasar
karbon juga merupakan praktik yang dapat menghargai lingkungan.
Dalam sistem ini, izin emisi karbon diperdagangkan, memberikan insentif
bagi perusahaan untuk mengurangi emisi mereka. Pajak karbon juga
digunakan dalam upaya untuk memasukkan biaya lingkungan dalam
keputusan bisnis. Demikian pula, praktik-praktik ekonomi berkelanjutan
juga mencakup upaya konservasi yang lebih luas, seperti perlindungan
hutan hujan tropis atau pemulihan ekosistem alami yang terancam.
Semua ini bertujuan untuk menciptakan ekonomi yang lebih seimbang
dengan alam, di mana keberlanjutan lingkungan menjadi prioritas utama.
Pemikiran ekonomi ekologi juga lahir dari Elinor Ostrom yang
merupakan pemenang nobel ekonomi wanita pertama. Ostrom (1990)
dalam karyanya berjudul “Governing the Commons: The Evolution of
Institutions for Collective Action” menekankan pentingnya institusi lokal,
seperti aturan yang dibuat oleh kelompok warga yang memakai
sumber daya tersebut, dalam mengatur pengelolaan sumber daya alam.
Ostrom menentang pandangan konvensional bahwa pengelolaan sumber
daya alam hanya dapat diatur melalui properti pribadi atau pemerintah
sentral. Ia menunjukkan bahwa warga lokal dapat mengembangkan
aturan-aturan sendiri untuk mengatur penggunaan sumber daya alam
93
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
yang berkelanjutan. Pemikiran Ostrom mengakui pentingnya pengetahuan
lokal dan partisipasi aktif warga dalam pengelolaan sumber daya
alam. Ia juga menyoroti perlunya adanya mekanisme kontrol sosial dalam
menjaga keberlanjutan penggunaan sumber daya alam. Pemikirannya
telah memberikan kontribusi signifikan dalam pemahaman tentang
bagaimana warga dapat berperan dalam menjaga lingkungan dan
mengatasi tantangan lingkungan secara efektif.
6.3 Ekonomi Hijau
Konsep ekonomi hijau (green economy) telah menjadi sangat penting
dalam beberapa tahun terakhir (Zvarych et al., 2023). Salah satu definisi
yang sering dikutip untuk ekonomi hijau berasal dari UNEP. Ekonomi
hijau yaitu sistem yang berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan
manusia dan pemerataan sosial sambil mengurangi risiko lingkungan dan
kekurangan ekologi (UNEP, 2011a). Pada dasarnya, konsep ekonomi hijau
meyakini bahwa pembangunan ekonomi terkait erat dengan kebijakan
yang melindungi sumber daya alam dan kualitas lingkungan alami (Barbier,
2012).
Konsep ekonomi hijau terkait dengan beberapa teori ekonomi yang
berbeda, konsep, pendekatan praktis, dan alat penilaian. Ekonomi hijau
dapat terkait dengan kedua teori ekonomi lingkungan dan ekonomi
ekologi. Implementasi kedua teori ini dalam praktik menghasilkan berbagai
konsep dan pendekatan yang berbeda. Ekonomi lingkungan berkaitan erat
dengan produksi bersih dan efisiensi sumber daya, sedangkan ekonomi
ekologi bergantung pada konsep-konsep canggih seperti ekologi industri
atau ekonomi sirkular. Hirarki limbah dapat terkait dengan baik ekonomi
lingkungan maupun ekonomi ekologi, tergantung pada sejauh mana
pendekatan-pendekatan yang berbeda diimplementasikan (Loiseau,
2016). Konsep ini sangat menarik bagi pemerintah dan bisnis karena
bertujuan memberikan solusi simultan terhadap masalah pengangguran
dan masalah lingkungan dengan industri hijau baru dan alat untuk
mengurangi kerusakan lingkungan (Borel-Saladin & Turok, 2013).
94
Kajian ekonomi yang paling dekat dengan isu perubahan iklim yaitu
ekonomi hijau. Menurut Pearce (1992), ekonomi hijau menyiratkan
pemikiran ulang tentang gagasan bahwa ilmu ekonomi dirancang untuk
memenuhi keinginan manusia yang tak terbatas, di mana pelaku ekonomi
diasumsikan menimbang biaya dan manfaat untuk dirinya sendiri dan
bertindak untuk memaksimalkan keuntungan bersih. Ekonomi hijau
diharapkan dapat menciptakan pembangunan yang dapat mengurangi
kelangkaan ekologi dan risiko lingkungan, serta bertujuan untuk
pembangunan ekonomi berkelanjutan tanpa degradasi lingkungan.
Kahle dan Gurel-Atay (2014) berkata kata ekonomi hijau berakar kuat
pada akuntabilitas lingkungan dan terkait dengan ekonomi ekologis,
tetapi dengan fokus yang lebih politis. Burkart (2009) berkata kata
ekonomi hijau mencakup enam bidang utama, yaitu bangunan ramah
lingkungan, transportasi berkelanjutan, energi terbarukan, pengelolaan
lahan, pengelolaan air, dan pengelolaan limbah. Pada tahun 2011, UNEP
mengeluarkan laporan yang berkata kata bahwa ekonomi hijau harus
efektif dan adil. Keadilan menyiratkan pengakuan dimensi kesetaraan
tingkat negara dan global, terutama dalam memastikan transisi yang adil
menuju ekonomi yang efisien sumber daya, rendah karbon, dan inklusif
secara sosial. Demikian pula, International Chamber of Commerce (ICC)
melihat ekonomi hijau sebagai kolaborasi pertumbuhan ekonomi dan
tanggung jawab lingkungan yang saling memperkuat sekaligus mendukung
kemajuan pembangunan sosial (ICC, 2012).
Pemahaman tentang ekonomi hijau dapat diuraikan dari tiga
perspektif yang berbeda: yang pertama yaitu perspektif konseptual-
teoritis yang penting dalam merumuskan strategi, kebijakan, dan program
pembangunan. Meskipun definisi-definisi individu dapat bervariasi dalam
detail, inti dari konsep ini berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan
yang telah berkembang sejak tahun 1970-an. Dalam pemahaman ini, tiga
dimensi utama, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan, dianggap sama
penting dan saling terkait. Keterkaitan antara dimensi-dimensi ini dan
perlunya mencapai keseimbangan antara kebutuhan dan kepentingan
generasi-generasi yang berbeda harus tercermin dalam New Green
Economic Deal. Melalui pendekatan ekonomi hijau, pertumbuhan hijau,
95
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
dan pembangunan berkelanjutan, target keadaan yang bergerak dapat
terwujud (Daniek, 2020). Di banyak negara, perhatian telah diberikan
untuk memastikan bahwa paket-paket tindakan “New Green Deal”
mencakup solusi fiskal terkait lingkungan yang akan merangsang ekonomi
saat ini dan menjadi dasar bagi pembangunan berkelanjutan di masa
depan (Bowen & Fankhauser, 2011).
Ekonomi hijau menekankan hubungan dan ketergantungan antara
ekonomi dan ekosistem, yang menjadi dasar untuk mengoperasikan
gagasan keberlanjutan. Sebagian besar definisi memisahkan antara
konsep pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau, dengan yang
terakhir berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan
yang berkelanjutan. Terlepas dari definisinya, prinsip dasar ekonomi hijau
mencakup elemen-elemen seperti menghilangkan ancaman terhadap
lingkungan dan memelihara nilai-nilainya; manajemen yang bijaksana
terhadap sumber daya alam dan bahan mentah; inklusi sosial dan efisiensi
ekonomi. Investasi dalam mengurangi emisi gas berbahaya dan polutan,
perilaku sosial yang mendukung lingkungan, serta aktivitas ekonomi yang
memastikan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi memegang peran utama
dalam mewujudkan konsep ini. Oleh karena itu, konsep ekonomi hijau erat
terkait dengan gagasan pertumbuhan hijau yang menjamin ketahanan
terhadap perubahan iklim dan pembangunan yang berkelanjutan
(Adamowicz, 2022).
Ekonomi hijau memiliki potensi yang luar biasa untuk menghasilkan
perubahan yang substansial dan transformatif menuju tujuan
pembangunan berkelanjutan. Dengan memprioritaskan pertumbuhan
yang ramah lingkungan, penggunaan sumber daya yang bijak, dan inovasi
teknologi yang berkelanjutan, ekonomi hijau dapat memberikan solusi
terhadap tantangan seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan
ketidaksetaraan ekonomi. Ini bukan sekadar pendekatan kosmetik, tetapi
serangkaian kebijakan dan praktik yang mendasar yang dapat mengubah
paradigma produksi dan konsumsi, menciptakan lapangan kerja baru di
sektor-sektor berkelanjutan, dan memberikan manfaat jangka panjang
bagi warga , ekonomi, dan ekosistem global. Dengan komitmen yang
96
kuat dan kerja sama lintas sektor, ekonomi hijau memiliki potensi untuk
menjadi pilar utama dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan
secara menyeluruh (Borel-Saladin, 2013).
Walaupun memiliki potensi, penerapan ekonomi hijau tidaklah mudah.
Perdebatan mengenai konsep ekonomi hijau merupakan tantangan yang
sangat berbeda bagi berbagai pemangku kepentingan, sektor ekonomi, dan
wilayah di seluruh dunia. Pemangku kepentingan, termasuk pemerintah,
industri, LSM, dan warga sipil, sering memiliki sudut pandang yang
beragam terkait dengan dampak ekonomi hijau terhadap kepentingan
mereka. Sektor ekonomi pun menghadapi tantangan yang berbeda dalam
mengadaptasi model bisnis mereka untuk menjadi lebih berkelanjutan,
tergantung pada jenis industri yang mereka operasikan. Wilayah-wilayah
juga memiliki kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi yang beragam,
yang membuat implementasi ekonomi hijau harus disesuaikan secara
kontekstual. Oleh karena itu, upaya untuk memahami dan merumuskan
konsep ekonomi hijau perlu mempertimbangkan keragaman perspektif,
kepentingan, dan kondisi yang ada di seluruh dunia agar dapat mencapai
kesepahaman dan aksi yang efektif dalam mendukung pembangunan
berkelanjutan (Nina & Althaus, 2012).
Ekonomi hijau juga tidak mudah untuk diterapkan di negara-negara
berkembang yang melibatkan keseimbangan antara pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan dan perlindungan lingkungan. Negara-negara
ini sering menghadapi tekanan untuk mengatasi masalah sosial dan
ekonomi yang mendesak, sehingga transisi ke ekonomi hijau memerlukan
investasi besar dalam teknologi ramah lingkungan dan perubahan dalam
perilaku konsumen dan produksi. Selain itu, kurangnya akses ke modal,
kurangnya kapasitas teknis, dan ketidaksetaraan sosial ekonomi dapat
menjadi hambatan serius dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi
hijau. Namun, dengan dukungan internasional, regulasi yang tepat, dan
kesadaran warga yang meningkat tentang pentingnya lingkungan,
negara-negara berkembang memiliki potensi untuk mengatasi tantangan
97
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
ini dan meraih manfaat jangka panjang dari ekonomi hijau, seperti
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan perlindungan sumber
daya alam (Shafter, 2021).
UNEP (2011b) berkata kata bahwa dalam jangka panjang, trade-off
antara kemajuan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan yaitu mitos.
Penerapan konsep ekonomi hijau diharapkan mendorong pemisahan
(decoupling) pertumbuhan ekonomi dari emisi GRK dan dampak negatif
lainnya terhadap lingkungan. Ide utama di balik pemikiran ini yaitu
bahwa ekonomi dapat terus tumbuh tanpa meningkatkan emisi GRK atau
merusak lingkungan. Decoupling dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu
relatif dan absolut. Decoupling relatif terjadi ketika tingkat pertumbuhan
ekonomi melebihi tingkat pertumbuhan emisi GRK. Artinya, meskipun
emisi masih meningkat, tetapi laju pertumbuhan emisi lebih lambat
daripada laju pertumbuhan ekonomi. Decoupling absolut, di sisi lain,
terjadi ketika emisi GRK benar-benar menurun meskipun ekonomi
terus tumbuh. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi decoupling
economy terkait perubahan iklim termasuk adopsi teknologi yang lebih
bersih dan efisien, kebijakan pemerintah yang mendukung pengurangan
emisi, investasi dalam energi terbarukan, dan perubahan pola konsumsi
warga (Parrique et al., 2019; York & McGee, 2017).
Pemikiran tentang decoupling economy ini patut mendapat perhatian
khusus karena mengasumsikan bahwa ada solusi saling menguntungkan
bagi ekonomi dan lingkungan (Porter dan Van der Linde, 1995).
Hipotesis “Porter” yang disebut demikian telah banyak diperdebatkan
dan menjadi inti dari konseptualisasi hubungan antara berbagai asumsi
teoretis tentang tingkat penggantian yang mungkin. Mengingat elemen-
elemen ini, sebagian besar perdebatan tentang ekonomi hijau berkaitan
dengan sejauh mana perubahan yang diperlukan dan bagaimana cara
mencapainya (Pearce, 1992).
Namun, pertanyaan empiris tentang sejauh mana aktivitas ekonomi
dapat dikeluarkan dari konsumsi dan eksploitasi sumber daya alam
belum terjawab. Pemisahan kerusakan lingkungan dari produksi ekonomi
memiliki dua dimensi penting, yaitu pertama, pemisahan relatif, di mana
98
kedua indikator terus tumbuh, pembilangnya dengan laju lebih lambat,
dan kedua, pemisahan absolut, yang berarti pembilangnya berkurang dari
waktu ke waktu dalam bentuk absolut (Wernick et al., 1996). Misalnya,
UNEP (2011c) telah menunjukkan bagaimana pemisahan sumber daya
relatif sedang terjadi, tetapi dalam hal absolut, tidak ada pengurangan nyata
yang terjadi, sementara pengurangan yang substansial dalam kebutuhan
sumber daya untuk aktivitas ekonomi akan diperlukan. Efek ini dipicu oleh
globalisasi dan akses pasar yang semakin luas yang meningkatkan aktivitas
ekonomi dan oleh karena itu, polusi yang dihasilkan tetap tinggi.
Jacobs (1933) kebijakan ekonomi dapat diubah untuk mempromosikan
pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan pelestarian lingkungan.
Negara-negara dan organisasi internasional dapat berkolaborasi untuk
mencapai tujuan ini. Konsep ekonomi hijau dinilai sudah mapan dalam
ranah politik dan muncul dalam banyak agenda kebijakan lembaga-
lembaga internasional. Namun, mungkin terjadi penafsiran yang salah
terhadap konsep ini dan kurangnya alat pendukung keputusan berbasis
ilmu pengetahuan yang tepat dapat menghambat penggunaannya dalam
politik. Kebijakan saat ini sering kali mendukung kepentingan tertentu
dengan menghasilkan dokumen-dokumen samar dan proyek-proyek
teoritis yang menunda perubahan efektif di masa depan.
Stiglitz (2019) juga menyoroti pentingnya kebijakan yang mendukung
kesejahteraan warga serta keberlanjutan lingkungan. Ia mengadvokasi
peran pemerintah yang kuat dalam mengatasi ketidaksetaraan ekonomi
dan sosial, sambil merangkul prinsip-prinsip pembangunan yang
berkelanjutan. Para pengambil keputusan ekonomi hijau mungkin ingin
mempertimbangkan pendekatan ekonomi ekologi atau keberlanjutan
yang kuat jika gagasan ekonomi hijau yang saling menguntungkan, yaitu
kesejahteraan manusia yang makmur dalam batasan planet, ingin menjadi
kenyataan. Pada saat ini, ada kesenjangan pengetahuan utama
tentang bagaimana pergeseran ini akan diimplementasikan secara praktis.
Sektor ekonomi yang berbeda juga mungkin memerlukan tindakan yang
99
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
berbeda. Hal ini dapat didokumentasikan dan panduan dapat diberikan
jika secara khusus dibahas dalam riset -riset masa depan
tentang penghijauan ekonomi (Loiseau, 2016).
Untuk menjelaskan berbagai konsep ekonomi hijau, perlu disiapkan
kerangka kerja generik berbagai teori, konsep, dan pendekatan yang
berbeda dan membahas hubungannya dengan keberlanjutan yang lemah
dan kuat. Bergantung pada solusi yang dipilih, perubahan yang diperlukan
untuk mengimplementasikan strategi ekonomi hijau dapat lebih atau
kurang bersifat inkremental. Beberapa solusi lebih sesuai dengan ekonomi
mainstream dan memerlukan sedikit perubahan, misalnya produksi bersih
yang didefinisikan sebagai adaptasi untuk produksi hijau yang efisien,
sementara solusi lain didasarkan pada transformasi mendalam terhadap
pola produksi dan konsumsi kita seperti ekologi industri atau solusi
berbasis alam yang memerlukan investasi skala besar dalam infrastruktur
hijau.
Transisi ke ekonomi hijau berarti mengamalkan jenis ekonomi
tertentu berdasarkan kebijakan dan investasi yang seharusnya mampu
menciptakan hubungan antara pembangunan ekonomi, keanekaragaman
hayati, ekosistem, perubahan iklim, kesehatan, dan kesejahteraan dalam
jangka menengah dan panjang (Porfir’ev, 2012; Babonea & Joia, 2012).
Regulasi dan insentif yang bijak dapat berperan kunci dalam mendorong
pembangunan berkelanjutan. Regulasi yang ketat terhadap polusi dan
penggunaan sumber daya alam, bersamaan dengan insentif fiskal yang
mendukung investasi dalam teknologi dan praktik ramah lingkungan,
dapat mendorong perusahaan dan individu untuk berpindah ke model
bisnis yang lebih berkelanjutan. Selain itu, insentif finansial dan pajak
yang menguntungkan bagi sektor-sektor seperti energi terbarukan dan
transportasi berkelanjutan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi yang
ramah lingkungan. Kombinasi yang tepat antara regulasi yang efektif dan
insentif dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pembangunan
berkelanjutan, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan
menghasilkan manfaat jangka panjang bagi warga dan planet ini.
(Nadiroh & Emilkamayana, 2021).
100
6.4 Ekonomi Sirkular
Model ekonomi saat ini yang bergantung pada ekstraksi berlebihan
sumber daya alam dan penghancuran telah menjadi usang dan tidak
lagi relevan dalam menghadapi tantangan masa kini. Dalam konteks
perubahan iklim, kelangkaan sumber daya, dan meningkatnya limbah,
terjadi kebutuhan mendesak akan perubahan dalam cara kita berpikir
tentang produksi, konsumsi, dan pengelolaan sumber daya. Perubahan
ini mengarah pada ekonomi sirkular yang lebih berkelanjutan, di mana
penggunaan sumber daya dan pembuangan limbah dikelola dengan lebih
bijaksana melalui praktik seperti penggunaan ulang, daur ulang, dan
efisiensi sumber daya. Ini yaitu langkah kritis untuk mengatasi tantangan
lingkungan dan memastikan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi
planet ini (Coste-Maniere, 2019).
Ekonomi sirkular yaitu sebuah konsep yang berfokus pada
pengurangan limbah dan penggunaan sumber daya yang lebih efisien.
Cara kerjanya yaitu dengan mengubah paradigma dari model ekonomi
linear menjadi model ekonomi yang lebih berkelanjutan. Dalam ekonomi
sirkular, produk dan bahan-bahan tidak hanya digunakan sekali dan
kemudian dibuang, tetapi dirancang agar bisa dipakai lebih lama,
diperbaiki, dipulihkan, atau didaur ulang. Ini mencakup praktik seperti
daur ulang kertas, plastik, logam, dan barang-barang elektronik, serta
pemakaian ulang produk dan penggunaan bahan-bahan yang lebih ramah
lingkungan. Selain itu, ekonomi sirkular berupaya mengurangi emisi GRK
dan polusi melalui penggunaan energi terbarukan dan teknologi bersih.
Tujuan akhirnya yaitu menciptakan ekonomi yang lebih berkelanjutan,
yang tidak hanya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan tetapi
juga meningkatkan efisiensi sumber daya dan manfaat ekonomi serta
sosial bagi warga (Ellen Macarthur Foundation).
Stahel (2010, 2019) mendefinisikan ekonomi sirkular sebagai suatu
sistem ekonomi dimana produk dan bahan digunakan, diproduksi ulang,
dan didaur ulang sedemikian rupa sehingga mengurangi pembuangan
limbah dan penggunaan sumber daya alam yang baru. Dalam ekonomi
101
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
sirkular, siklus hidup produk diperpanjang melalui praktik seperti
perbaikan, pemakaian kembali, dan pemulihan bahan, sehingga
menciptakan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Ide dasarnya yaitu untuk menggantikan model ekonomi linier tradisional
yang menghasilkan banyak limbah dengan model yang lebih efisien dalam
pemanfaatan sumber daya. Walter Stahel mengemukakan prinsip-prinsip
ekonomi sirkular yang melibatkan konsep utama “reuse, remanufacture,
recycle” (memakai kembali, memproduksi ulang, mendaur ulang).
Prinsip-prinsip ini mengadvokasi untuk memaksimalkan penggunaan
produk dan material, serta meminimalkan pembuangan limbah. Dalam
ekonomi sirkular, produk dan komponennya dirancang agar dapat
digunakan kembali atau diperbaharui sehingga memperpanjang siklus
hidupnya. Ketika produk sudah tidak dapat digunakan lagi, bahan-
bahannya harus dapat didaur ulang untuk digunakan dalam produk-
produk baru. Prinsip-prinsip ini mendorong perubahan fundamental
dalam pola konsumsi dan produksi untuk menciptakan ekonomi yang
lebih berkelanjutan dengan jejak lingkungan yang lebih rendah.
Prinsip-prinsip ekonomi sirkular berfokus pada tiga konsep utama.
Pertama, eliminate waste and pollution, yaitu menitikberatkan pada
upaya mengurangi dan akhirnya menghilangkan limbah dan polusi dalam
setiap tahap siklus hidup produk. Kedua, circulate products and materials,
yaitu menekankan pentingnya menjaga produk dan material digunakan
sepanjang mungkin melalui praktik seperti daur ulang, perbaikan, dan
penggunaan kembali. Terakhir, regenerate nature, yaitu menekankan
perlunya memulihkan dan mengembalikan ekosistem dan sumber daya
alam untuk memastikan keberlanjutan lingkungan. Prinsip-prinsip ini
bersama-sama menggerakkan model ekonomi yang berkelanjutan yang
meminimalkan dampak lingkungan sambil mendorong efisiensi dan inovasi.
Murray et al., (2017) berkata kata prinsip ekonomi sirkular menekankan
pentingnya merancang ulang proses-proses dan menggalakkan daur
ulang bahan-bahan yang digunakan dalam aktivitas ekonomi. Ini berarti
produk dan material harus dirancang agar memiliki masa pakai yang lebih
panjang, dengan perbaikan, pemeliharaan, penggunaan ulang, dan daur
102
ulang yang mudah dilakukan. Prinsip ini bertujuan untuk mengurangi
limbah, meminimalkan konsumsi sumber daya alam, serta menciptakan
ekonomi yang lebih berkelanjutan dengan dampak lingkungan yang lebih
rendah.
Pemikiran ekonomi sirkular yang lebih bijaksana membuka peluang
bagi organisasi untuk mencapai hasil ekonomi yang lebih berkelanjutan
sambil mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Dengan
mengadopsi prinsip-prinsip ekonomi sirkular seperti penggunaan ulang,
daur ulang, dan pemakaian ulang bahan dan produk, organisasi dapat
mengurangi limbah, meningkatkan efisiensi sumber daya, dan menciptakan
produk yang lebih tahan lama. Ini tidak hanya berkontribusi pada
ketahanan bisnis jangka panjang, tetapi juga mendukung upaya mitigasi
perubahan iklim dan pelestarian lingkungan alam. Dengan demikian,
ekonomi sirkular menjadi pendorong penting dalam menciptakan bisnis
yang berkelanjutan (Barros et al., 2021).
Ekonomi sirkular bukan sekadar pilihan, melainkan menjadi suatu
kebutuhan mendesak dalam menghadapi tantangan lingkungan dan
ekonomi saat ini. Dalam konteks perubahan iklim, penipisan sumber
daya alam, dan meningkatnya limbah, model ekonomi konvensional yang
mengandalkan konsumsi berlebihan dan pembuangan berlebihan telah
menimbulkan risiko yang tak terbantahkan. Ekonomi sirkular, dengan
prinsip-prinsipnya yang mengedepankan penggunaan ulang, daur ulang,
dan efisiensi sumber daya, tidak hanya membantu melindungi lingkungan,
tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru dan pertumbuhan yang
berkelanjutan. Konsep ini menjadi esensial dalam merespons tantangan
masa depan yang berkaitan dengan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan
(Gardetti, 2019).
Negara-negara seharusnya mengimplementasikan strategi-strategi
yang mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan konsep
ekonomi sirkular dan pelatihan lingkungan sebagai bentuk perhatian
terhadap keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks ini, ekonomi sirkular
menawarkan kerangka kerja untuk mengurangi limbah, mengoptimalkan
penggunaan sumber daya, dan mengurangi dampak lingkungan, sambil
103
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
menciptakan peluang ekonomi yang berkelanjutan. Sementara itu,
pelatihan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan
pemahaman warga tentang isu-isu lingkungan, mempromosikan
tindakan yang ramah lingkungan, dan mendorong tanggung jawab kolektif
terhadap “rumah bersama”, yaitu planet Bumi. Dengan menggabungkan
kedua konsep ini, negara-negara dapat bergerak menuju pembangunan
yang lebih berkelanjutan sambil melibatkan warga dalam merawat
lingkungan kita bersama-sama (Garcia & Rivas, 2022; Wang & Li, 2006).
Tseng et al., (2020) berkata kata komunitas ekonomi sirkular
diharapkan dapat melibatkan berbagai atribut dalam sistem rantai pasokan
multi-level dan dalam berbagai kegiatan yang terkait. Hal ini menjadi
esensial untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan,
di mana penggunaan sumber daya dan limbah dikelola dengan lebih
efisien. Dalam konteks ini, ekonomi sirkular memungkinkan konsumsi dan
produksi yang berkelanjutan dalam sistem rantai pasokan yang kompleks,
dengan mendorong praktik seperti penggunaan ulang, daur ulang, dan
pemakaian ulang bahan dan produk. Hal ini membantu mengurangi
tekanan terhadap lingkungan sambil mempromosikan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan.
Meski konsep ekonomi sirkular telah menjadi topik yang semakin
relevan, kontennya dalam bidang ilmiah dan riset masih cenderung
kabur dan terpisah dari berbagai disiplin ilmu lainnya. Sebagai contoh,
dalam konteks riset mengenai peluang dan hambatan bagi usaha
kecil dan menengah (UKM), pemahaman yang komprehensif tentang
bagaimana menerapkan prinsip-prinsip ekonomi sirkular dalam praktik
bisnis UKM masih terbatas. Diperlukan integrasi lebih lanjut antara
disiplin ilmu, termasuk ekonomi, manajemen, dan lingkungan, untuk
memahami lebih baik bagaimana UKM dapat menghadapi tantangan
dan memanfaatkan peluang yang terkait dengan ekonomi sirkular.
(Suryantini et al., 2021). Oleh karena itu, perlu langkah-langkah konkrit
untuk mendorong transisi ke arah ekonomi yang lebih berkelanjutan dan
berorientasi pada daur ulang untuk semua skala ekonomi.
104
Aliran pemikiran yang beririsan dengan ekonomi sirkular diantaranya
yaitu konsep “Cradle to Cradle” yang dikembangkan oleh Ahli kimia
Jerman Michael Braungart dan arsitek Amerika Bill McDonough, “Blue
Economy” oleh Gunter Pauli, “Regenerative Design” oleh John T. Lyle,
“Biomimicry” oleh Janine Benyus, dan “The Performance Economy” oleh
Walter Stahel.
6.5 Ekonomi Biru
Ekonomi biru (blue economy) merupakan model bisnis yang terinspirasi
dari alam dengan cara melakukan inovasi dalam memanfaatkan sumber
daya dan produk limbah untuk: (i) menciptakan 100 juta hingga lapangan
kerja hingga 2020 (ii) menghasilkan tambahan keuntungan bisnis dan
mencapai zero emisi dunia pada tahun 2050. Model bisnis ini melibatkan
dan memanfaatkan sistem jaringan bisnis internasional, para investor dan
kalangan peneliti.
Ekonomi biru digagas oleh Gunter Pauli dengan mendirikan lembaga
yaitu Blue Economy Institute (BEI) dan Blue Economy Alliance (BEA).
Istilah Ekonomi Biru, merujuk pada warna lautan, langit biru dan bumi
yang dilihat dari luar angkasa. Ide awal Ekonomi Biru berasal dari 100
inovasi teknologi yang terbaik dan ramah terhadap iklim dan lingkungan,
serta efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang bernilai kompetitif.
Inovasi teknologi tersebut dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya
air, energi, pembangunan kontruksi dan melaksanakan proses produksi
pangan bagi warga .
Titik pangkal dari pengembangan ekonomi biru yaitu proyek
“Nature 100 Best” yang dilakukan atas kerja sama kolaboratif antara Zerro
Emission Researh Inisiative (ZERI) yang didirikan Gunter Pauli dengan
Institute Biomimcry. Hasil kegiatan proyek ini yaitu terciptanya 100 ide-
ide inovatif yang kemudian ditulis Gunter Pauli dalam bentuk buku yang
berjudul “Blue Economy”. Dengan terbitnya buku tersebut, lembaga BEA
telah memberikan informasi tentang inovasi-inovasi yang dapat diakses
105
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
warga secara online sehingga warga dapat berpartisipasi dalam
memberikan dukungan melalui implementasinya dalam model aktivitas
bisnis di seluruh dunia.
Dalam pandangan Pauli (2010), ekonomi biru melampaui gagasan
ekonomi hijau karena sepenuhnya bersifat ramah lingkungan dan
bertujuan untuk mentransformasikan sistem ekonomi secara keseluruhan.
Tesis yang dibangun dalam ekonomi biru yaitu (i) melahirkan generasi
baru yang melakukan bisnis dengan hanya (i) memanfaatkan sumber
daya yang tersedia secara lokal termasuk kearifan lokal di suatu daerah;
(ii) memanfaatkan limbah sebagai bahan baku untuk menghasilkan
produk baru, dan; (iii) memakai produk manufaktur yang efisien
dan berkelanjutan sehingga tercipta model ekonomi baru. Menurut tesis
ini, bekerjanya konsep ekonomi biru akan menciptakan kesempatan
kerja di masa datang, makin meluasnya modal sosial, serta ekonomi dan
kehidupan warga menuju ke arah yang berkelanjutan.
Secara konsepsional, ekonomi biru berdasarkan pada fungsi ekosistem.
Model ekonominya mengacu pada prinsip alam yang berarti bahwa limbah
yang dihasilkan melalui proses metabolisme di alam dianggap sebagai
sumber untuk proses berikutnya untuk menghasilkan barang dan jasa.
Salah satu contohnya penerapan prinsip ini yaitu pemanfaatan ampas
kopi. Ampas kopi selama ini dianggap sebagai limbah dan ideal sebagai
media untuk menumbuhkan jamur. Akan tetapi, ampas kopi tersebut
juga ternyata mengandung dan kaya asam amino sehingga sangat baik
dijadikan sebagai bahan pakan ternak ayam. Dari memelihara ternak ayam
yang diberi pakan yang dicampur ampas kopi tersebut akan menghasilkan
kotoran yang kemudian dapat diolah menjadi biogas. Biogas tersebut
dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak dan dalam skala
ekonomi yang lebih besar dapat menghasilkan energi listrik. Dari proses
menunjukkan bahwa semua produk sampingan dari semula sebagai ampas
kopi hingga menjadi kotoran ayam dapat dipergunakan kembali sebagai
faktor input dalam proses produksi dan meminimalkan limbah, sehingga
proses siklus kehidupan berlangsung lama dan dipergunakan secara
efisien. Dari contoh ini menunjukkan bahwa penerapan Ekonomi Biru
106
melalui inovasi-inovasi baru yang terinspirasi dari hukum alam yang lebih
mematuhi dan mengikuti hukum-hukum fisika seperti hukum kekekalan
energi yakni energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Energi hanya
dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Sementara, proses
kimiawi yang biasanya menghasilkan limbah dan polutan berbahaya
tidak bisa dijadikan input dalam proses produksi kembali dalam konsep
ekonomi biru.
Ekonomi biru yaitu model bisnis yang bertujuan memanfaatkan
limbah sebagai faktor input untuk menghasil- kan produk-produk yang
berkualitas baik dengan biaya yang lebih rendah yang secara bersamaan
memberikan tambahan pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja.
Lembaga BAE memberikan akses yang terbuka bagi 100 ide-ide inovatif
dan memberikan dukungan dalam mempraktikkannya.
6.6 Ekonomi Donat
Dalam bukunya yang berjudul “Doughnut Economics” yang diterbitkan
pada tahun 2017, Kate Raworth membawa terobosan dalam cara kita
memahami ekonomi. Konsep utama yang dia perkenalkan yaitu ekonomi
donat yang merupakan pendekatan yang menggabungkan aspek-aspek
sosial dan lingkungan dalam model ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Konsep ini diilustrasikan dengan gambar donat, yang memiliki dua batas,
yaitu batas dalam dan tepi.
Batas dalam donat melambangkan kebutuhan dasar manusia yang
harus terpenuhi, seperti makanan, air bersih, pendidikan, dan kesehatan.
Tugas utama ekonomi yaitu memastikan bahwa semua orang memiliki
akses ke kebutuhan dasar ini tanpa kekurangan. Di sisi lain, tepi donat
melambangkan batas-batas lingkungan alam yang tidak boleh dilampaui,
seperti tingkat emisi karbon yang aman, keanekaragaman hayati, dan
penggunaan air bersih yang berkelanjutan. Konsep ekonomi donat ini akan
menghasilkan ekonomi yang berkelanjutan yaitu ekonomi yang berada
dalam donat tersebut, di mana tidak ada kelaparan atau ketidaksetaraan
sosial yang berlebihan, dan juga tidak ada kerusakan lingkungan yang
berlebihan.
107
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
Konsep ekonomi donat telah menjadi dasar untuk banyak pembahasan
tentang bagaimana mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Konsep
ini mendorong para ahli untuk memikirkan ulang tentang bagaimana
ekonomi bekerja dan untuk memprioritaskan kebutuhan dasar manusia
sambil menjaga lingkungan alam. Dengan pendekatan yang lebih holistik
ini, Raworth mengajak pihak terkait untuk membangun ekonomi yang
lebih seimbang, inklusif, dan berkelanjutan untuk masa depan.
Raworth (2017) menawarkan tujuh cara berpikir yang memungkinkan
ekonomi beroperasi dalam batasan-batasan tersebut; (1) Ubah tujuan
ekonomi dengan mengalihkan fokus dari pertumbuhan ekonomi tanpa
henti menjadi penciptaan kesejahteraan manusia dan kelestarian
lingkungan. (2) Lihat ekonomi secara lingkungan, yaitu memahami bahwa
ekonomi beroperasi dalam lingkungan alam yang terbatas, dan harus
menghormati batasan ekologisnya. (3) Maksimalkan penciptaan nilai,
yaitu mengutamakan penciptaan nilai bagi warga dan lingkungan
daripada sekadar mengukur nilai moneter. (4) Desain untuk distribusi,
yakni memastikan bahwa manfaat ekonomi didistribusikan secara adil dan
merata kepada semua orang. (5) Membangun pada pengetahuan, yaitu
memakai ilmu pengetahuan dan data empiris untuk mendukung
kebijakan dan keputusan ekonomi. (6) Menciptakan resilensi, yaitu
memastikan bahwa ekonomi memiliki ketahanan terhadap perubahan dan
krisis. (7) Menjadi net-positive, memastikan bahwa ekonomi memberikan
manfaat positif bagi lingkungan alam daripada merusaknya.
Raworth (2017) juga mengembangkan indikator kesejahteraan yang
lebih komprehensif dan relevan dengan keberlanjutan mencakup berbagai
aspek yang melampaui ukuran PDB, seperti keadilan sosial, kesehatan,
pendidikan, kesetaraan, dan keberlanjutan lingkungan. Pendekatannya
menekankan bahwa untuk mencapai kesejahteraan yang seimbang
dan berkelanjutan, kita perlu memperhitungkan faktor-faktor tersebut
secara holistik, tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi material
tetapi juga mempertimbangkan dampak dan distribusi keuntungan dari
kebijakan ekonomi. Dengan memperluas indikator kesejahteraan ini,
Raworth berusaha mengukur keberhasilan ekonomi dengan cara yang
lebih sesuai dengan kompleksitas tantangan abad ke-21.
108
Konsep ekonomi donat telah mulai diterapkan oleh beberapa
organisasi, seperti Doughnut Economics Action Lab (DEAL), Circle Economy,
C40 Cities, dan Biomimicry 3.8 yang berkolaborasi untuk mewujudkannya.
Proyek percontohan ekonomi donat dilaksanakan di Amsterdam, Belanda,
dengan fokus pada perencanaan kota dan pengambilan kebijakan
perkotaan. Dikenal sebagai “The Amsterdam City Doughnut”, inisiatif ini
menjadikan konsep ekonomi donat sebagai alat untuk aksi transformatif,
diletakkan sebagai visi jangka panjang kota tersebut, dan menjadi dasar
bagi setiap keputusan yang diambil. Visi Amsterdam yaitu menjadi
kota yang berkembang, beregenerasi, dan inklusif bagi semua warganya,
dengan tetap memperhatikan batasan planet bumi.
6.7 Gerakan Transisi
Gerakan transisi (transisition movement) yaitu gerakan dari
kelompok warga negara (warga ) yang berkolaborasi di wilayah
perkotaan maupun dalam komunitas yang lebih kecil pedesaan maupun
untuk merespons dampak perubahan iklim dengan cara meminimalkan
jejak karbon akibat penggunaan energi fosil (minyak bumi) berlebihan
dan kelangkaan sumber energi tersebut di masa datang sehingga mereka
memiliki dan mampu meningkatkan daya tahan terhadap dampak dari
perubahan tersebut (Hopkins, 2013; Hopkins et al., 2008). Gerakan ini
pertama kali digagas oleh Rob Hopkins, Naresh Giangrande, dan Louise
Rooney. Gerakan transisi ini bukan model pendekatan bisnis melainkan
pendekatan yang bersifat civil society dalam perspektif lokal maupun
regional untuk menghadapi ancaman dan dampak perubahan iklim.
Gerakan transisi ini berkembang pertama kali di Irlandia dan Inggris
Raya yang merupakan kelanjutan dari konsep permakultur. Perkembangan
gerakan ini melahirkan konsep kota transisi yang pertama yaitu kota Kinsale
(Irlandia) pada tahun 2005 dan Totnes (Inggris) pada tahun 2008 yang
diinisiasi oleh Rob Hopkins. Gerakan ini kemudian menyebar di seluruh
dunia melalui jaringan gerakan yang disebut “Transition Network” yang
berdiri tahun 2007 dan meliputi beberapa negara antara lain Thailand,
India, Nigeria, Brazil, dan Austria.
109
6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim
Gerakan Transisi menyediakan inspirasi dan katalisator perubahan.
Aktivitas dan program-program yang dikembang- kan melalui gerakan
ini dilaksanakan melalui konsultasi terbuka dan kreatif dari warga yang
berkolaborasi. Aktivitas yang dilakukan berlangsung di tingkat lokal
maupun regional yang sangat ditentukan oleh dukungan struktur pada
tingkat lokal sehingga menjadi kunci pokok dalam mengembangkan
inisiatif dan kreativitas warga maupun komunitas. Beberapa contoh
gerakan transisi yang dilaksanakan warga maupun komunitas antara lain:
swasembada pangan, pengembangan usaha energi alternatif di tingkat
lokal dan sistem tanaman polikultur (pergiliran tanaman) dalam sistem
pertanian tanaman pangan. Sementara, dalam kasus pengembangan kota
transisi dalam konteks regional yang dicontohkan di Totnes telah dilakukan
pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan budaya tradisional,
kursus penghematan energi, dan penyusunan rencana aksi dalam konversi
energi, dan proyek kebun warga . Semua kegiatan ini bertujuan untuk
melakukan regionalisasi produksi pangan dan perdagangan, sehingga
tercipta kolaborasi di tingkat warga dan komunitas.
Gerakan transisi ini dilakukan secara beragam dan tergantung
partisipasi, inisiatif dan kreativitas warga maupun individu di tingkat lokal,
gerakan transisi ini merupakan gerakan akar rumput untuk merespons
dampak perubahan iklim dan mengurangi ketergantungan warga maupun
komunitas terhadap ancaman krisis pangan, krisis energi yang bersumber
dari bahan bakar fosil.
6.8 Teori Degrowth
Degrowth berarti mengurangi konsumsi dan produksi sebagai jalan
menuju keadilan sosial, keberlanjutan ekologis, dan kesejahteraan yang
lebih baik. Degrowth menunjukkan perampingan ekonomi yang intinya
menurunkan konsumsi dan produksi. Di antaranya mengurangi: industri,
pemanfaatan mobil, berbelanja di pusat perbelanjaan hingga menempuh
perjalanan jarak jauh. Pendukung degrowth berpendapat bahwa umat
manusia yang telah hidup di luar batas kemampuannya memburuk proses
peregangan sistem ekologi. Akibat keterbatasan daya dukung ekosistem
110
dan ketersediaan sumber daya alam, maka degrowth jadi keniscayaan.
Pertanyaan mendasar dari pendukung degrowth yaitu bagaimana
mengelolanya di masa datang sehingga menghindari keruntuhan sosial
dan ekologis. Supaya mencapai proses “soft landing” dan berkelanjutan
secara ekologis serta berkeadilan sosial, seyogyanya mengurang konsumsi
maupun produksi barang-barang material. Mengurangi konsumsi tidak
identik berkurangnya kualitas hidup melainkan sebaliknya. Kesejahteraan
manusia meningkat, karena manusia tak lagi menjalankan tugas-tugas
mubazir, menimbulkan stres, membebani orang dalam pekerjaan, dan
membebaskan diri dari materi yang berlebihan (D’Alisa et al., 2014; Kallis
2018; Kallis et al., 2020; Liegey et al., 2020).
Gagasan degrowth lahir akibat maraknya perdebatan kritis seputar
pertumbuhan konsep (growth). Pertumbuhan ekonomi dicirikan sebagai
“problem” (as a problem) dan bukan sebagai solusi dalam mengatasi
problem sosial dan ekologi. Inovasi teknologi, efisiensi sumber daya dan
energi yang lebih besar tak mencukupi akibat timbulnya efek rebound
yang mendongkrak tingginya produksi dan konsumsi. Dengan demikian,
mengarah kepada tingginya konsumsi lingkungan. Secara teoritis
dan praktiknya, degrowth mengkritisi ekonomi neoliberal, sehingga
bertentangan dengan konsep pembangunan be








