Tampilkan postingan dengan label Religiositas 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Religiositas 3. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Oktober 2025

Religiositas 3


 









han yang dirasakan dari 

berbagai teknologi termasuk CCS.

5.4 Eko-Religius

Keterlibatan agama dalam isu-isu lingkungan telah menjadi gerakan 

yang berkembang dalam beberapa waktu (Watling, 2015). Gerakan 

ini terutama terlihat dalam bidang agama dan ekologi, yang berupaya 

untuk memfasilitasi eksplorasi dan promosi gagasan-gagasan eko-religius 

dengan menganalisis, membandingkan, dan menggabungkan pandangan-

pandangan berbeda agama tentang alam dan interaksi manusia dengan 

alam.

Cobb (2021) menjelaskan bahwa eko-religius yaitu   pandangan dunia 

atau pemahaman agama yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritualitas 

dan keberlanjutan ekologi. Baginya, eko-religius yaitu   pendekatan yang 

memadukan keyakinan agama dengan kesadaran ekologis, sehingga 

melahirkan tanggung jawab terhadap lingkungan alam sebagai bagian dari 

pemahaman agama itu sendiri. Ini berarti eco-religious menempatkan 

lingkungan alam sebagai aspek penting dari keyakinan agama dan 

mendorong tindakan yang bertanggung jawab terhadap alam sebagai 

wujud dari penghormatan terhadap ciptaan Tuhan. Eko-religius, dalam 

pandangan Cobb, yaitu   cara untuk menjembatani pemahaman agama 

dengan tantangan-tantangan lingkungan yang dihadapi manusia dalam 

era modern.

Pemikiran Cobb (2021) memiliki urgensi yang besar dalam konteks 

keberlanjutan lingkungan. Ia mendorong kesadaran ekologi dan 

menghubungkannya dengan keyakinan agama, menjadikan ekologi sebagai 

bagian integral dari keyakinan. Konsep keberlanjutan yang dikembangkan 

oleh Cobb didasarkan pada nilai-nilai agama dan mengingatkan kita 

bahwa tindakan kita memiliki konsekuensi moral terhadap alam. 

Pemikirannya memotivasi tindakan nyata untuk merawat lingkungan alam 

dengan menggabungkan nilai-nilai agama dan keberlanjutan ekologi, 

78



mengajak kita untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan 

yang berakar pada keyakinan agama. Dalam era tantangan lingkungan 

global yang semakin mendesak, pemikiran eko-religius Cobb memiliki 

urgensi yang kuat dalam membantu manusia menjalani kehidupan yang 

sejalan dengan alam dan nilai-nilai agama untuk menjaga dan merestorasi 

ekosistem bumi.

Nasr (2007) mendorong penggabungan keyakinan agama dengan 

tanggung jawab terhadap alam. Ia menggarisbawahi bahwa agama 

memiliki peran utama dalam mengilhami perlindungan dan perawatan 

alam sebagai aspek tak terpisahkan dari kehidupan spiritual. Pentingnya 

ini tercermin dalam usahanya untuk menyatukan nilai-nilai agama dengan 

upaya nyata untuk merawat lingkungan sebagai bagian penting dari 

tugas agama. Selain itu, pemikiran Nasr juga meresapkan pemahaman 

Islam dalam konteks isu-isu lingkungan, yang memiliki implikasi global 

signifikan mengingat jumlah besar umat Muslim di dunia. Menurut Sayem 

(2022), kontribusi pemikiran Nasr yaitu   dalam mengingatkan individu 

dan komunitas akan peran sentral agama dalam membentuk kesadaran 

ekologi dan mendorong tindakan yang berkelanjutan dalam melindungi 

dan merawat alam, yang pada gilirannya berkontribusi pada usaha global 

untuk menjaga keberlanjutan planet ini. 

Konsep eko-religius telah menginspirasi banyak peneliti di seluruh 

dunia yang telah berkontribusi dalam memahami hubungan antara 

agama, spiritualitas, dan alam. Di antara mereka, beberapa peneliti 

yang mencolok. Taylor (2010, 2020) merupakan seorang ahli ekologi dan 

agama. Ia dikenal karena karyanya dalam mengembangkan konsep “Earth 

religions” atau “ecological religions”. Ia menyoroti bagaimana beberapa 

agama dan kepercayaan tradisional menghubungkan manusia dengan 

alam sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Taylor juga meneliti 

gerakan-gerakan spiritual kontemporer yang mempromosikan pelestarian 

alam dan aktivisme lingkungan.

Grim dan Tucker (2014) merupakan pemikir utama di bidang studi 

agama dan ekologi. Mereka telah menyelidiki berbagai agama dan budaya 

di seluruh dunia untuk memahami pandangan-pandangan mereka 

79

5. Agama dan Perubahan Iklim

tentang alam dan lingkungan. Karya mereka menekankan pentingnya 

dialog antaragama dalam menemukan solusi untuk perubahan iklim dan 

pelestarian alam, Allison (2016) berkata kata  Grim dan Tucker (2014) 

dalam buku “Ecology and Religion” mencoba membangun jembatan 

antara praktisi agama dan ilmuwan ekologi, menunjukkan bagaimana 

agama dapat memberikan kontribusi positif dalam pemahaman hubungan 

antara manusia dan alam. Selain itu, mereka membahas tantangan dalam 

mengintegrasikan perhatian ekologi ke dalam berbagai budaya di seluruh 

dunia dan menyajikan pola-pola umum yang menghubungkan manusia 

dengan lingkungan. Buku tersebut menghadirkan pandangan inklusif 

terhadap berbagai tradisi agama dari seluruh dunia dan menunjukkan 

bahwa pandangan agama tidak terbatas pada monoteisme atau 

kepercayaan kepada satu dewa saja. Mereka juga mencatat pentingnya 

memahami peran agama dalam pemahaman tentang motivasi manusia 

dan perubahan sosial, meskipun ada   tantangan dan ketegangan 

dalam dialog ini. Dengan menyajikan pemikiran-pemikiran dari berbagai 

teolog dan ilmuwan ekologi, buku ini memberikan kontribusi yang 

berharga dalam menggali hubungan antara agama dan ekologi serta 

menghadirkan pemahaman bersama tentang kontribusi agama dalam 

mencapai keberlanjutan ekologi global.

Berkes (2017) yaitu   seorang ilmuwan lingkungan dan antropologis. 

Ia telah mengembangkan pemikiran bahwa banyak budaya dan warga   

tradisional memiliki pemahaman mendalam tentang lingkungan alam 

yang dianggap suci. Ia berpendapat bahwa dalam budaya-budaya ini, 

alam tidak hanya dianggap sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga 

sebagai bagian integral dari sistem kepercayaan dan nilai-nilai spiritual. 

Ia menekankan pentingnya memahami dan menghormati pengetahuan 

lokal dan kebijaksanaan tradisional dalam pengelolaan sumber daya 

alam. Ia berargumen bahwa model-model pengelolaan yang berpusat 

pada pengetahuan lokal dan kearifan tradisional dapat menjadi 

alternatif yang lebih berkelanjutan daripada pendekatan-pendekatan 

modern yang sering kali mengabaikan nilai-nilai budaya dan spiritual 

dalam hubungannya dengan alam.

80



Glaeser (2023) berkata kata  bahwa respons agama terhadap 

perubahan lingkungan global dapat memengaruhi cara manusia 

memperlakukan lingkungan dunia dan bagaimana hal ini memengaruhi 

pandangan terhadap tindakan manusia dan apa yang dianggap sebagai 

tatanan sosial yang rasional. Konsep-konsep ini telah membentuk situasi 

budaya saat ini yang menginterpretasikan perubahan lingkungan global 

sebagai sesuatu yang berisiko. Ia mengusulkan bahwa eko-religius yaitu   

kondisi yang diperlukan untuk mengimplan perilaku ekologis yang rasional.

Berry (1999, 2009) mengajukan sejumlah ide pokok yang 

menghubungkan agama dengan perubahan iklim. Salah satu ide 

utamanya yaitu   mengenai hubungan erat antara spiritualitas, agama, 

dan lingkungan alam. Berry mendorong kita untuk melihat dunia dengan 

pandangan yang lebih holistik, mengakui keagungan alam sebagai 

sesuatu yang sakral yang harus dihormati. Ia menegaskan pentingnya 

mengintegrasikan dimensi spiritual dalam respons kita terhadap krisis 

lingkungan, termasuk perubahan iklim. Selain itu, Berry juga mengupas 

tantangan yang dihadapi oleh berbagai agama dalam menghadapi isu-isu 

lingkungan, dengan mengidentifikasi bagaimana beberapa tradisi agama 

telah mengabaikan tanggung jawab moral terhadap lingkungan alam. Hal 

ini membawa kita pada pertanyaan krusial tentang peran positif agama 

dalam menjaga keberlangsungan bumi. Berry juga menawarkan solusi 

dengan gagasan bahwa kita perlu mengubah paradigma dari eksploitasi 

alam menjadi upaya pemeliharaan dan harmoni dengan lingkungan. 

Ia percaya bahwa dengan menggabungkan spiritualitas dengan usaha 

pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam yang bijak, kita dapat 

merintis gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab 

terhadap alam semesta tempat kita tinggal.

Rasmussen (2012) menghadirkan ide-ide yang mendasar seputar 

peran agama dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan 

lingkungan di dalam bukunya yang berjudul “Earth-Honoring Faith: 

Religious Ethics in a New Key”. Salah satu ide pokok yang ditekankan dalam 

buku ini yaitu   perlunya membangun hubungan yang lebih mendalam 

antara agama dan ekologi. Rasmussen mengajukan gagasan bahwa agama 

81

5. Agama dan Perubahan Iklim

harus menjadi sumber inspirasi untuk tindakan perlindungan lingkungan, 

bukan hanya sebagai aspek spiritual yang terpisah. Ia berpendapat 

bahwa agama harus memimpin perubahan dalam pandangan dunia dan 

praktik-praktik manusia untuk mengatasi perubahan iklim dan kerusakan 

lingkungan yang semakin meningkat. Permasalahan yang diangkat dalam 

buku tersebut mencakup perdebatan etika seputar eksploitasi alam, 

konsumsi berlebihan, dan pengabaian terhadap kerentanan ekosistem 

bumi. Rasmussen secara tegas menyoroti ketidakseimbangan yang 

ada dalam cara manusia berinteraksi dengan alam, terutama dalam 

konteks ekonomi global yang didorong oleh pertumbuhan tanpa henti. 

Ia juga menggambarkan dampak perubahan iklim yang sudah terjadi 

dan risiko serius yang dihadapi manusia dan lingkungan. Ia mengajak 

agar ajaran agama dapat menjadi katalisator untuk menghargai alam 

sebagai sesuatu yang suci dan mendukung tanggung jawab etis terhadap 

bumi. Ia juga menyarankan untuk membangun komunitas agama yang 

memprioritaskan pelestarian alam dan tindakan nyata untuk mengatasi 

perubahan iklim, sehingga agama dapat menjadi kekuatan positif dalam 

menjaga keseimbangan ekologi dan menciptakan masa depan yang lebih 

berkelanjutan.

Kinsley (1995) berkata kata  bahwa banyak tradisi agama di seluruh 

dunia memiliki elemen-elemen ekologis yang mendalam yang dapat 

memberikan pandangan berharga tentang bagaimana manusia dapat 

menjaga keseimbangan dengan alam. Ia mencatat bahwa dalam banyak 

tradisi, ada   penghargaan mendalam terhadap alam sebagai sesuatu 

yang suci. Solusi yang ditawarkan yaitu   bahwa kita perlu belajar dari 

tradisi-tradisi ini dan mengintegrasikan pemahaman ekologis mereka 

ke dalam pandangan dunia modern. Kinsley menyarankan bahwa 

pengembangan etika ekologis yang didasarkan pada prinsip-prinsip 

agama-agama ini dapat membantu manusia untuk hidup secara lebih 

berkelanjutan dan menjaga keberlangsungan alam. Selain itu, Kinsley 

menggarisbawahi pentingnya pembaruan ajaran agama yang merujuk 

pada upaya mengintegrasikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekologis ke 

dalam ajaran dan praktik agama, menghasilkan pemahaman baru tentang 

tanggung jawab manusia terhadap lingkungan alam, mengubah praktik 

82



ibadah, dan mendidik umat tentang pentingnya menjaga lingkungan serta 

menciptakan pemikiran teologis baru yang mencerminkan kesadaran 

ekologis dalam tradisi agama.

PEMBANGUNAN EKONOMI 

DAN PERUBAHAN IKLIM

Pembangunan ekonomi dan perubahan iklim merupakan dua 

aspek yang saling terkait dan memerlukan perhatian serius. Sementara 

pembangunan ekonomi yang cepat dapat membawa kemakmuran, juga 

dapat memperburuk dampak perubahan iklim jika tidak dikelola dengan 

bijak. Peningkatan produksi dan konsumsi dalam proses pembangunan 

ekonomi sering kali menghasilkan emisi GRK yang menyebabkan 

pemanasan global. Oleh karena itu, tantangan utama yaitu   mencari solusi 

yang memungkinkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, di mana 

pertumbuhan ekonomi beriringan dengan upaya untuk mengurangi emisi 

karbon, mempromosikan energi terbarukan, dan mengadopsi teknologi 

yang ramah lingkungan. Pada bagian ini akan dibahas tentang teori-teori 

relevan yang menjelaskan hubungan ekonomi dengan perubahan iklim, 

hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) dan Pollution Haven/Halo 

Hypothesis (PHH, dan studi empiris ekonomi dan perubahan iklim.

6.1 Ekonomi Lingkungan

Merujuk pada kajian literatur yang dilakukan oleh Loiseau (2016), 

para ekonom neoklasik menilai masalah lingkungan disebabkan oleh 

penggunaan yang tidak efisien dari sumber daya alam dan penilaian yang 

kurang tepat terhadap modal alam. Asumsi mendasar di sini yaitu   bahwa 

modal buatan manusia dan modal alam dapat saling menggantikan. 

Salah satu asumsi utama dari perspektif ini yaitu   bahwa pertumbuhan 

ekonomi dan penggunaan sumber daya yang berkelanjutan dapat dicapai 

secara bersamaan (Borel-Saladin & Turok, 2013; Bina & La Camera, 2011). 

Asumsi tersebut layak mendapat perhatian khusus karena menawarkan 

bahwa ada solusi saling menguntungkan baik bagi ekonomi maupun 

lingkungan (Porter & Van der Linde, 1995). Poter mengusulkan bahwa 

6

84



regulasi lingkungan dapat memacu inovasi wirausaha, meningkatkan 

kinerja bisnis, dan dengan demikian memberikan manfaat tidak hanya bagi 

lingkungan tetapi juga dimensi ekonomi (Ambec et al., 2013). Perspektif 

ini optimis tentang kemampuan manusia untuk menyelesaikan masalah 

apa pun yang mungkin timbul akibat penipisan sumber daya (Williams & 

Millington, 2004).

Titik awal ekonomi lingkungan yaitu   konsep efek eksternal (Pigou, 

1920). Oleh karena itu, strategi yang ditempuh oleh ekonomi lingkungan 

yaitu   untuk menetapkan harga yang benar (internalisasi) dengan 

memberikan penilaian yang akurat terhadap modal ini. Untuk menilai 

modal alam, efek eksternal diestimasi memakai  berbagai metode, 

dan saran-saran dibuat untuk menginternalisasikan efek-efek ini (Rennings 

& Wiggering, 1997). Biaya lingkungan eksternal dapat memiliki berbagai 

bentuk, mulai dari lokal (misalnya, kebisingan bandara) hingga global 

(misalnya, emisi GRK dan polusi udara lintas batas jarak jauh). Manfaat 

eksternal dapat terkait dengan penggunaan “commons” seperti manfaat 

spill-over regional dari area perlindungan daerah aliran sungai. Jika insentif 

perilaku pribadi tidak mencerminkan biaya atau manfaat bagi pihak ketiga 

atau warga   secara keseluruhan, keputusan yang diambil tidak akan 

mencapai optimum sosial dan dapat mengurangi kesejahteraan sosial.

Biaya dan/atau manfaat yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan kepada 

pihak ketiga harus diatasi oleh instrumen ekonomi sedemikian rupa 

sehingga pelaku yang bersangkutan memasukkan nilai-nilai ini ke dalam 

pengambilan keputusan. Sejumlah besar instrumen potensial dapat 

digunakan untuk internalisasi, seperti peraturan dan pengendalian, pajak, 

subsidi, izin yang dapat diperdagangkan, hukum tanggung jawab, atau 

pembayaran untuk layanan ekosistem. Asumsi mendasar dari pendekatan 

ini yaitu   bahwa begitu warga   secara keseluruhan menetapkan 

harga yang tepat (mencerminkan biaya eksternal), penggunaan sumber 

daya alam yang tidak berkelanjutan akan berhenti (Williamson, 1994). 

Asumsi ini mengimplikasikan gagasan keberlanjutan lemah di mana 

kesejahteraan konstan dari waktu ke waktu dapat (i) diperoleh dengan 

menggantikan modal alam dengan modal buatan manusia dan manusia, 

85

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

dan (ii) modal alam tidak ditandai oleh ambang batas kritis sehingga 

degradasi lingkungan dapat dibalikkan (Pelenc & Ballet, 2015). Asumsi-

asumsi ini sering diformalkan dalam bentuk fungsi kesejahteraan dengan 

modal berbagai barang sebagai input, terutama ekspresi matematis 

tentang tingkat substitusi, misalnya dalam hal elastisitas input.

Field dan Field (2017) di dalam buku berjudul “Environmental 

Economics: An Introduction” mendefinisikan ekonomi lingkungan sebagai 

cabang ilmu ekonomi yang mempelajari interaksi antara sistem ekonomi 

manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi ini, ekonomi lingkungan 

memfokuskan perhatiannya pada bagaimana aktivitas ekonomi, seperti 

produksi dan konsumsi, memengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan 

alam. Ini mencakup analisis dampak ekonomi dari masalah lingkungan 

seperti polusi, perubahan iklim, dan keberlanjutan sumber daya alam. 

Definisi tersebut menekankan pentingnya memahami bagaimana 

kegiatan ekonomi dapat memiliki dampak positif atau negatif terhadap 

lingkungan, serta bagaimana ekonomi dapat digunakan sebagai alat untuk 

mengatasi tantangan lingkungan. Field juga membahas konsep-konsep 

seperti biaya eksternalitas (eksternalities) di mana dampak negatif dari 

aktivitas ekonomi tercermin dalam biaya lingkungan, serta cara untuk 

menginternalisasi biaya-biaya ini dalam pengambilan keputusan ekonomi. 

Ini yaitu   pandangan dasar dalam ekonomi lingkungan yang membantu 

pembaca memahami cara ekonomi dapat digunakan sebagai alat untuk 

mendorong tindakan yang lebih berkelanjutan terhadap lingkungan.

Menurut Kolstad (2010) dalam bukunya “Environmental Economics”, 

ekonomi lingkungan yaitu   cabang dari ilmu ekonomi yang mempelajari 

cara-cara untuk mencapai keseimbangan antara kegiatan ekonomi 

manusia dan pelestarian lingkungan alam. Definisi ini menekankan 

pentingnya memahami interaksi antara aktivitas ekonomi, seperti 

produksi dan konsumsi, dengan dampaknya terhadap lingkungan, seperti 

polusi udara, pencemaran air, deforestasi, dan perubahan iklim. Ekonomi 

lingkungan berusaha untuk mengukur dan mengelola konsekuensi 

ekonomi dari kerusakan lingkungan serta mengidentifikasi kebijakan dan 

instrumen ekonomi yang dapat digunakan untuk mendorong praktik-

86



praktik yang lebih berkelanjutan. Hal ini melibatkan analisis biaya-manfaat, 

pengembangan pajak atau insentif, serta pemahaman tentang bagaimana 

pasar dan mekanisme harga dapat digunakan untuk mengatasi masalah 

lingkungan. Dengan kata lain, ekonomi lingkungan yaitu   alat untuk 

memahami dan mencari solusi terhadap konflik antara pertumbuhan 

ekonomi dan perlindungan lingkungan alam.

Kolstad (2010) juga menguraikan berbagai kebijakan ekonomi 

lingkungan yang dapat digunakan untuk mengatasi tantangan perlindungan 

lingkungan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Salah satunya 

yaitu   pajak dan bea karbon, yang memungkinkan internalisasi biaya 

eksternal emisi karbon. Selain itu, Kolstad mencatat pentingnya perizinan 

perdagangan karbon sebagai alat yang memberikan fleksibilitas dalam 

memenuhi target emisi. Regulasi dan standar lingkungan juga merupakan 

elemen penting dalam upaya mengendalikan polusi dan membatasi 

dampak negatif kegiatan ekonomi. Selain itu, subsidi lingkungan digunakan 

untuk memberikan insentif finansial bagi praktik-praktik berkelanjutan 

dan teknologi hijau. Terakhir, evaluasi biaya-manfaat menjadi prinsip 

kunci dalam perumusan kebijakan, memastikan bahwa langkah-langkah 

yang diambil yaitu   yang paling efisien.

Dalam bukunya “Environmental Economics: A Very Short Introduction”, 

Smith (2011) mendefinisikan ekonomi lingkungan sebagai cabang ekonomi 

yang mempelajari cara sumber daya alam dan lingkungan alam digunakan, 

diperdagangkan, dan dikelola dalam konteks ekonomi. Hal ini mencakup 

analisis mengenai cara aktivitas ekonomi manusia memengaruhi 

lingkungan, bagaimana lingkungan memengaruhi perekonomian, serta 

upaya untuk mengembangkan kebijakan ekonomi yang mendukung 

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan perlindungan lingkungan. 

Dengan kata lain, ekonomi lingkungan berkaitan erat dengan cara kita 

mengukur, mengelola, dan mencapai keseimbangan antara pertumbuhan 

ekonomi dan konservasi lingkungan alam.

Smith (2011) menguraikan beberapa prinsip dasar ekonomi 

lingkungan. Pertama, yaitu   prinsip efisiensi, yang menekankan bahwa 

sumber daya alam harus digunakan secara efisien agar manfaat maksimum 

87

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

dapat diperoleh dari mereka. Kedua, yaitu   prinsip keberlanjutan, yang 

menuntut agar penggunaan sumber daya alam tidak merusak lingkungan 

alam dalam jangka panjang, sehingga sumber daya ini tetap tersedia untuk 

generasi mendatang. Ketiga, yaitu   prinsip insentif, di mana penggunaan 

pajak, subsidi, atau mekanisme pasar lainnya digunakan untuk mendorong 

individu dan perusahaan untuk bertindak secara lingkungan. Terakhir, 

yaitu   prinsip keadilan, yang mempertimbangkan distribusi manfaat dan 

beban lingkungan secara adil di antara berbagai kelompok warga  . 

Dengan mematuhi prinsip-prinsip ini, ekonomi lingkungan berusaha 

mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian 

lingkungan alam.

Nordhaus (2013) berkata kata  ekonomi lingkungan yaitu   yaitu   

pengkajian tentang bagaimana kegiatan ekonomi manusia berinteraksi 

dengan lingkungan alam. Khususnya, ekonomi lingkungan mencakup 

analisis ekonomi terhadap isu-isu lingkungan seperti perubahan iklim, 

polusi udara, dan air, serta berfokus pada pemahaman dampak-dampak 

ekonomi dari tindakan-tindakan tersebut. Definisi ini menekankan 

pentingnya memahami bagaimana aktivitas ekonomi kita berdampak 

pada lingkungan alam dan bagaimana kebijakan ekonomi dapat digunakan 

untuk mengelola dampak-dampak tersebut secara efisien. Dalam bukunya 

yang berjudul “The Climate Casino: Risk, Uncertainty, and Economics for a 

Warming World”, Nordhaus juga menjelaskan bahwa ekonomi lingkungan 

melibatkan analisis biaya dan manfaat dalam konteks kebijakan lingkungan. 

Artinya, ekonomi lingkungan mempertimbangkan bagaimana mengambil 

tindakan yang dapat meminimalkan dampak negatif pada lingkungan 

sambil mempertimbangkan biaya ekonomi yang terlibat. Dengan kata 

lain, ekonomi lingkungan membantu kita menemukan keseimbangan 

antara upaya melindungi lingkungan dengan mempertimbangkan 

implikasi ekonomi, dan ini membantu dalam pengambilan keputusan 

yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

Stavins (2013) dalam bukunya berjudul “Economics of climate 

change and environmental policy” mengulas berbagai kebijakan ekonomi 

lingkungan yang dapat digunakan untuk menghadapi perubahan iklim 

88



dan isu-isu lingkungan. Ia membahas instrumen-instrumen seperti pajak 

karbon, perdagangan emisi, regulasi, dan berbagai insentif kebijakan 

lainnya. Stavins menekankan pentingnya menciptakan insentif ekonomi 

yang tepat untuk mengurangi emisi GRK dan menjaga lingkungan. Ia juga 

menyoroti peran penting kerja sama internasional dalam menangani 

masalah lingkungan global serta perlunya kesepakatan antarnegara untuk 

mengatasi perubahan iklim. Secara keseluruhan, bukunya memberikan 

pandangan yang komprehensif tentang cara memakai  prinsip-prinsip 

ekonomi untuk merancang kebijakan lingkungan yang efektif dan efisien.

Nordhaus (2013) menjelaskan beragam kebijakan ekonomi 

lingkungan yang bisa digunakan untuk menghadapi perubahan iklim 

dan tantangan lingkungan. Salah satu metode yang dia bahas yaitu   

penerapan pajak karbon untuk mengurangi emisi GRK, menciptakan 

dorongan bagi perusahaan dan individu untuk mengurangi emisi mereka. 

Selain itu, Nordhaus juga mencermati rencana perdagangan karbon 

yang memungkinkan perusahaan untuk menjual izin emisi mereka, 

yang memberikan insentif bagi pengurangan emisi yang efisien. Dia juga 

menekankan pentingnya investasi dalam teknologi yang ramah lingkungan, 

peraturan pengendalian polusi, kerja sama internasional, peningkatan 

kesadaran warga  , dan pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu 

lingkungan sebagai komponen utama dalam penanganan perubahan iklim 

secara berkelanjutan.

Freeman et al., (2014) dalam bukunya berjudul “The Measurement of 

Environmental and Resource Values: Theory and Methods” menguraikan 

berbagai teori dan metode yang digunakan dalam ekonomi lingkungan dan 

sumber daya alam. Salah satu metode utama yang dibahas yaitu   analisis 

biaya-manfaat, di mana nilai lingkungan diukur dengan membandingkan 

manfaat ekonomi dari pelestarian atau pengelolaan sumber daya alam 

dengan biaya yang diperlukan untuk melakukannya. Selain itu, mereka 

juga membahas penggunaan teknik ekonometri untuk mengestimasi 

nilai lingkungan, seperti penggunaan model statistik yang kompleks 

untuk menghubungkan variabel ekonomi dengan perubahan lingkungan. 

Buku tersebut juga menguraikan pendekatan eksperimental dalam 

89

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

mengukur nilai lingkungan, seperti penggunaan survei preferensi dan 

pengujian eksperimental untuk menilai nilai-nilai lingkungan. Freeman 

mengeksplorasi berbagai jenis nilai lingkungan, termasuk nilai penggunaan 

langsung (seperti manfaat langsung dari alam) dan nilai eksistensi (nilai 

yang diberikan kepada keberlanjutan lingkungan, bahkan jika tidak ada 

manfaat langsung yang diperoleh). Metode-metode ini membantu para 

peneliti dan pengambil kebijakan untuk memahami dan mengukur nilai-

nilai lingkungan yang penting dalam pengambilan keputusan kebijakan 

yang berkelanjutan.

6.2 Ekonomi Ekologi

Herman Daly yaitu   seorang ahli ekonomi lingkungan terkemuka 

yang telah memberikan sumbangan signifikan dalam pengembangan 

teori ekonomi ekologi. Ia telah menghasilkan beberapa buku yang 

memiliki dampak besar di dalam domain ini. Daly (2007) mendefinisikan 

ekonomi ekologi sebagai cabang ekonomi yang mengakui bahwa ekonomi 

manusia yaitu   subsistem dari ekosistem alam yang lebih besar. Definisi 

ini menekankan pentingnya memasukkan aspek lingkungan ke dalam 

analisis ekonomi dan mengenali keterbatasan sumber daya alam dalam 

mendukung pertumbuhan ekonomi. Ia juga menekankan bahwa ekonomi 

ekologi mencoba untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan 

ekonomi dan kelestarian lingkungan, serta mengutamakan konsep 

pembangunan yang berkelanjutan. Dalam perspektif Daly, ekonomi ekologi 

tidak hanya mempertimbangkan nilai ekonomi dari aktivitas manusia, 

tetapi juga dampaknya terhadap ekosistem, keberlanjutan sumber daya 

alam, dan kesejahteraan jangka panjang manusia. Ini berarti mengukur 

kesejahteraan bukan hanya dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi, 

tetapi juga dari keseimbangan ekologis dan keberlanjutan lingkungan. Ia 

menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan aspek lingkungan dalam 

pengambilan keputusan ekonomi dan mencapai keselarasan antara 

kepentingan manusia dan alam.

90



Hal serupa juga disampaikan oleh Faber et al., (1996) yang 

berkata kata  ekonomi dan ekologi bukanlah dua disiplin yang terpisah, 

tetapi seharusnya saling terkait dalam pemahaman tentang bagaimana 

manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Ekonomi beroperasi dalam 

konteks lingkungan alam, dan aktivitas ekonomi manusia memiliki 

dampak signifikan pada ekosistem dan sumber daya alam. Oleh karena itu, 

pemahaman ekonomi yang benar harus mempertimbangkan aspek-aspek 

ekologi, seperti keterbatasan sumber daya alam, kerusakan lingkungan, 

dan keberlanjutan.

Berbeda dengan ekonomi lingkungan, ekonomi ekologi yaitu   

pendekatan yang lebih holistik terhadap ekonomi yang berakar dalam 

ilmu ekologi. Ini menekankan hubungan yang kompleks antara manusia, 

ekonomi, dan ekosistem alam. Ekonomi ekologi mencoba memahami 

bagaimana ekonomi manusia secara intrinsik terkait dengan sistem 

ekologi, dan bagaimana perubahan dalam ekonomi dapat memengaruhi 

keseimbangan ekologis. Pendekatan ini lebih luas dan lebih mendalam 

daripada ekonomi lingkungan, karena mencakup pemahaman tentang 

berbagai interaksi ekologis dalam konteks ekonomi. Jadi, sementara 

ekonomi lingkungan lebih fokus pada analisis dampak kegiatan ekonomi 

pada lingkungan alam, ekonomi ekologi memperluas cakupan untuk 

memahami keterkaitan yang lebih dalam antara ekonomi dan ekologi 

secara keseluruhan (Loiseau et al., 2016).

Daly dan Farley (2011) mengembangkan gagasan tentang ekonomi 

ekologi dengan fokus pada prinsip-prinsip dasarnya. Pertama, konsep 

keberlanjutan, yaitu menjaga sumber daya alam untuk generasi 

mendatang. Kedua, advokasi pemikiran tentang batas pertumbuhan 

ekonomi, yaitu mengenali bahwa sumber daya alam dan lingkungan 

memiliki keterbatasan yang harus dihormati dalam aktivitas ekonomi. 

Ketiga, pemisahan antara ekonomi fisik dan ekonomi abstrak, yaitu 

mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu berarti peningkatan 

kesejahteraan jika itu merusak lingkungan. Terakhir, mengukur 

kesejahteraan manusia dengan parameter yang lebih luas daripada hanya 

pertumbuhan ekonomi, sehingga faktor-faktor seperti kualitas lingkungan 

91

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

dan kebahagiaan manusia juga diperhitungkan dalam evaluasi kinerja 

ekonomi. Dengan prinsip-prinsip ini, mereka menciptakan kerangka kerja 

ekonomi ekologi yang lebih berkelanjutan dan sesuai dengan keterbatasan 

alam.

Prinsip-prinsip tersebut dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks, 

Salah satunya yaitu   dalam pengembangan kebijakan lingkungan, 

di mana prinsip keberlanjutan menjadi landasan dalam merancang 

langkah-langkah yang tidak merusak sumber daya alam untuk generasi 

mendatang. Dalam bisnis, prinsip ekonomi ekologi dapat digunakan untuk 

mengintegrasikan aspek lingkungan ke dalam strategi perusahaan, seperti 

mengadopsi praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan atau mengukur 

dampak ekologis dari aktivitas perusahaan. Di tingkat individu, prinsip 

tersebut dapat digunakan untuk memandu konsumen dalam membuat 

pilihan yang lebih berkelanjutan, seperti mengurangi jejak karbon atau 

mendukung produk dan layanan yang memperhatikan lingkungan. 

Selain itu, dalam perencanaan kota dan pembangunan wilayah, prinsip 

ekonomi ekologi membantu mengintegrasikan faktor-faktor lingkungan 

ke dalam kebijakan pembangunan yang lebih berkelanjutan dan ramah 

lingkungan. Kesimpulannya, prinsip-prinsip ekonomi ekologi memiliki 

aplikasi praktis yang sangat relevan dalam berbagai aspek kehidupan, 

membantu mengarahkan tindakan menuju lingkungan yang lebih sehat 

dan berkelanjutan.

Costanza (1991) dalam bukunya berjudul “Ecological Economics: The 

Science and Management of Sustainability” berkata kata  bahwa ekonomi 

ekologi yaitu   studi tentang bagaimana manusia dan warga   

berinteraksi dengan ekosistem alam untuk mencapai kesejahteraan 

manusia yang berkelanjutan. Konsep ekonomi berkelanjutan yaitu   

pendekatan dalam ekonomi yang bertujuan untuk menciptakan 

kesejahteraan manusia tanpa merusak atau menguras sumber daya alam 

dan lingkungan. Ini melibatkan pemahaman bahwa sumber daya alam dan 

ekosistem memiliki batasan dalam hal daya dukung mereka, dan ekonomi 

harus beroperasi dalam kerangka ini untuk menjaga keberlanjutan jangka 

panjang. Konsep ini menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya 

92



alam yang bijak, pemulihan ekosistem yang rusak, dan pengurangan dampak 

lingkungan dari aktivitas ekonomi. Selain itu, ekonomi berkelanjutan juga 

mempertimbangkan aspek sosial, termasuk pemerataan pendapatan, 

keadilan, dan kesejahteraan sosial secara umum, untuk menciptakan 

warga   yang seimbang dan berkelanjutan secara ekologis. Ini yaitu   

pendekatan integral dalam mengatasi tantangan perubahan iklim dan 

perlindungan lingkungan di abad ke-21.

Praktik-praktik ekonomi yang berkelanjutan dan berpusat pada ekologi, 

seperti yang digagas oleh Robert Costanza, mencakup berbagai inisiatif 

dan kebijakan yang bertujuan untuk mempromosikan keberlanjutan 

lingkungan. Salah satu contoh praktik tersebut yaitu   pengembangan 

ekowisata, di mana wilayah alam yang sensitif secara lingkungan digunakan 

untuk pariwisata yang berkelanjutan, yang memberikan manfaat ekonomi 

sambil menjaga integritas lingkungan. Selain itu, penggunaan pasar 

karbon juga merupakan praktik yang dapat menghargai lingkungan. 

Dalam sistem ini, izin emisi karbon diperdagangkan, memberikan insentif 

bagi perusahaan untuk mengurangi emisi mereka. Pajak karbon juga 

digunakan dalam upaya untuk memasukkan biaya lingkungan dalam 

keputusan bisnis. Demikian pula, praktik-praktik ekonomi berkelanjutan 

juga mencakup upaya konservasi yang lebih luas, seperti perlindungan 

hutan hujan tropis atau pemulihan ekosistem alami yang terancam. 

Semua ini bertujuan untuk menciptakan ekonomi yang lebih seimbang 

dengan alam, di mana keberlanjutan lingkungan menjadi prioritas utama.

Pemikiran ekonomi ekologi juga lahir dari Elinor Ostrom yang 

merupakan pemenang nobel ekonomi wanita pertama. Ostrom (1990) 

dalam karyanya berjudul “Governing the Commons: The Evolution of 

Institutions for Collective Action” menekankan pentingnya institusi lokal, 

seperti aturan yang dibuat oleh kelompok warga   yang memakai  

sumber daya tersebut, dalam mengatur pengelolaan sumber daya alam. 

Ostrom menentang pandangan konvensional bahwa pengelolaan sumber 

daya alam hanya dapat diatur melalui properti pribadi atau pemerintah 

sentral. Ia menunjukkan bahwa warga   lokal dapat mengembangkan 

aturan-aturan sendiri untuk mengatur penggunaan sumber daya alam 

93

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

yang berkelanjutan. Pemikiran Ostrom mengakui pentingnya pengetahuan 

lokal dan partisipasi aktif warga   dalam pengelolaan sumber daya 

alam. Ia juga menyoroti perlunya adanya mekanisme kontrol sosial dalam 

menjaga keberlanjutan penggunaan sumber daya alam. Pemikirannya 

telah memberikan kontribusi signifikan dalam pemahaman tentang 

bagaimana warga   dapat berperan dalam menjaga lingkungan dan 

mengatasi tantangan lingkungan secara efektif.

6.3 Ekonomi Hijau

Konsep ekonomi hijau (green economy) telah menjadi sangat penting 

dalam beberapa tahun terakhir (Zvarych et al., 2023). Salah satu definisi 

yang sering dikutip untuk ekonomi hijau berasal dari UNEP. Ekonomi 

hijau yaitu   sistem yang berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan 

manusia dan pemerataan sosial sambil mengurangi risiko lingkungan dan 

kekurangan ekologi (UNEP, 2011a). Pada dasarnya, konsep ekonomi hijau 

meyakini bahwa pembangunan ekonomi terkait erat dengan kebijakan 

yang melindungi sumber daya alam dan kualitas lingkungan alami (Barbier, 

2012). 

Konsep ekonomi hijau terkait dengan beberapa teori ekonomi yang 

berbeda, konsep, pendekatan praktis, dan alat penilaian. Ekonomi hijau 

dapat terkait dengan kedua teori ekonomi lingkungan dan ekonomi 

ekologi. Implementasi kedua teori ini dalam praktik menghasilkan berbagai 

konsep dan pendekatan yang berbeda. Ekonomi lingkungan berkaitan erat 

dengan produksi bersih dan efisiensi sumber daya, sedangkan ekonomi 

ekologi bergantung pada konsep-konsep canggih seperti ekologi industri 

atau ekonomi sirkular. Hirarki limbah dapat terkait dengan baik ekonomi 

lingkungan maupun ekonomi ekologi, tergantung pada sejauh mana 

pendekatan-pendekatan yang berbeda diimplementasikan (Loiseau, 

2016). Konsep ini sangat menarik bagi pemerintah dan bisnis karena 

bertujuan memberikan solusi simultan terhadap masalah pengangguran 

dan masalah lingkungan dengan industri hijau baru dan alat untuk 

mengurangi kerusakan lingkungan (Borel-Saladin & Turok, 2013).

94



Kajian ekonomi yang paling dekat dengan isu perubahan iklim yaitu   

ekonomi hijau. Menurut Pearce (1992), ekonomi hijau menyiratkan 

pemikiran ulang tentang gagasan bahwa ilmu ekonomi dirancang untuk 

memenuhi keinginan manusia yang tak terbatas, di mana pelaku ekonomi 

diasumsikan menimbang biaya dan manfaat untuk dirinya sendiri dan 

bertindak untuk memaksimalkan keuntungan bersih. Ekonomi hijau 

diharapkan dapat menciptakan pembangunan yang dapat mengurangi 

kelangkaan ekologi dan risiko lingkungan, serta bertujuan untuk 

pembangunan ekonomi berkelanjutan tanpa degradasi lingkungan. 

Kahle dan Gurel-Atay (2014) berkata kata  ekonomi hijau berakar kuat 

pada akuntabilitas lingkungan dan terkait dengan ekonomi ekologis, 

tetapi dengan fokus yang lebih politis. Burkart (2009) berkata kata  

ekonomi hijau mencakup enam bidang utama, yaitu bangunan ramah 

lingkungan, transportasi berkelanjutan, energi terbarukan, pengelolaan 

lahan, pengelolaan air, dan pengelolaan limbah. Pada tahun 2011, UNEP 

mengeluarkan laporan yang berkata kata  bahwa ekonomi hijau harus 

efektif dan adil. Keadilan menyiratkan pengakuan dimensi kesetaraan 

tingkat negara dan global, terutama dalam memastikan transisi yang adil 

menuju ekonomi yang efisien sumber daya, rendah karbon, dan inklusif 

secara sosial. Demikian pula, International Chamber of Commerce (ICC) 

melihat ekonomi hijau sebagai kolaborasi pertumbuhan ekonomi dan 

tanggung jawab lingkungan yang saling memperkuat sekaligus mendukung 

kemajuan pembangunan sosial (ICC, 2012). 

Pemahaman tentang ekonomi hijau dapat diuraikan dari tiga 

perspektif yang berbeda: yang pertama yaitu   perspektif konseptual-

teoritis yang penting dalam merumuskan strategi, kebijakan, dan program 

pembangunan. Meskipun definisi-definisi individu dapat bervariasi dalam 

detail, inti dari konsep ini berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan 

yang telah berkembang sejak tahun 1970-an. Dalam pemahaman ini, tiga 

dimensi utama, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan, dianggap sama 

penting dan saling terkait. Keterkaitan antara dimensi-dimensi ini dan 

perlunya mencapai keseimbangan antara kebutuhan dan kepentingan 

generasi-generasi yang berbeda harus tercermin dalam New Green 

Economic Deal. Melalui pendekatan ekonomi hijau, pertumbuhan hijau, 

95

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

dan pembangunan berkelanjutan, target keadaan yang bergerak dapat 

terwujud (Daniek, 2020). Di banyak negara, perhatian telah diberikan 

untuk memastikan bahwa paket-paket tindakan “New Green Deal” 

mencakup solusi fiskal terkait lingkungan yang akan merangsang ekonomi 

saat ini dan menjadi dasar bagi pembangunan berkelanjutan di masa 

depan (Bowen & Fankhauser, 2011).

Ekonomi hijau menekankan hubungan dan ketergantungan antara 

ekonomi dan ekosistem, yang menjadi dasar untuk mengoperasikan 

gagasan keberlanjutan. Sebagian besar definisi memisahkan antara 

konsep pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau, dengan yang 

terakhir berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan 

yang berkelanjutan. Terlepas dari definisinya, prinsip dasar ekonomi hijau 

mencakup elemen-elemen seperti menghilangkan ancaman terhadap 

lingkungan dan memelihara nilai-nilainya; manajemen yang bijaksana 

terhadap sumber daya alam dan bahan mentah; inklusi sosial dan efisiensi 

ekonomi. Investasi dalam mengurangi emisi gas berbahaya dan polutan, 

perilaku sosial yang mendukung lingkungan, serta aktivitas ekonomi yang 

memastikan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi memegang peran utama 

dalam mewujudkan konsep ini. Oleh karena itu, konsep ekonomi hijau erat 

terkait dengan gagasan pertumbuhan hijau yang menjamin ketahanan 

terhadap perubahan iklim dan pembangunan yang berkelanjutan 

(Adamowicz, 2022).

Ekonomi hijau memiliki potensi yang luar biasa untuk menghasilkan 

perubahan yang substansial dan transformatif menuju tujuan 

pembangunan berkelanjutan. Dengan memprioritaskan pertumbuhan 

yang ramah lingkungan, penggunaan sumber daya yang bijak, dan inovasi 

teknologi yang berkelanjutan, ekonomi hijau dapat memberikan solusi 

terhadap tantangan seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan 

ketidaksetaraan ekonomi. Ini bukan sekadar pendekatan kosmetik, tetapi 

serangkaian kebijakan dan praktik yang mendasar yang dapat mengubah 

paradigma produksi dan konsumsi, menciptakan lapangan kerja baru di 

sektor-sektor berkelanjutan, dan memberikan manfaat jangka panjang 

bagi warga  , ekonomi, dan ekosistem global. Dengan komitmen yang 

96



kuat dan kerja sama lintas sektor, ekonomi hijau memiliki potensi untuk 

menjadi pilar utama dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan 

secara menyeluruh (Borel-Saladin, 2013). 

Walaupun memiliki potensi, penerapan ekonomi hijau tidaklah mudah. 

Perdebatan mengenai konsep ekonomi hijau merupakan tantangan yang 

sangat berbeda bagi berbagai pemangku kepentingan, sektor ekonomi, dan 

wilayah di seluruh dunia. Pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, 

industri, LSM, dan warga   sipil, sering memiliki sudut pandang yang 

beragam terkait dengan dampak ekonomi hijau terhadap kepentingan 

mereka. Sektor ekonomi pun menghadapi tantangan yang berbeda dalam 

mengadaptasi model bisnis mereka untuk menjadi lebih berkelanjutan, 

tergantung pada jenis industri yang mereka operasikan. Wilayah-wilayah 

juga memiliki kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi yang beragam, 

yang membuat implementasi ekonomi hijau harus disesuaikan secara 

kontekstual. Oleh karena itu, upaya untuk memahami dan merumuskan 

konsep ekonomi hijau perlu mempertimbangkan keragaman perspektif, 

kepentingan, dan kondisi yang ada di seluruh dunia agar dapat mencapai 

kesepahaman dan aksi yang efektif dalam mendukung pembangunan 

berkelanjutan (Nina & Althaus, 2012).

Ekonomi hijau juga tidak mudah untuk diterapkan di negara-negara 

berkembang yang melibatkan keseimbangan antara pertumbuhan 

ekonomi yang berkelanjutan dan perlindungan lingkungan. Negara-negara 

ini sering menghadapi tekanan untuk mengatasi masalah sosial dan 

ekonomi yang mendesak, sehingga transisi ke ekonomi hijau memerlukan 

investasi besar dalam teknologi ramah lingkungan dan perubahan dalam 

perilaku konsumen dan produksi. Selain itu, kurangnya akses ke modal, 

kurangnya kapasitas teknis, dan ketidaksetaraan sosial ekonomi dapat 

menjadi hambatan serius dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi 

hijau. Namun, dengan dukungan internasional, regulasi yang tepat, dan 

kesadaran warga   yang meningkat tentang pentingnya lingkungan, 

negara-negara berkembang memiliki potensi untuk mengatasi tantangan 

97

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

ini dan meraih manfaat jangka panjang dari ekonomi hijau, seperti 

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan perlindungan sumber 

daya alam (Shafter, 2021).

UNEP (2011b) berkata kata  bahwa dalam jangka panjang, trade-off 

antara kemajuan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan yaitu   mitos. 

Penerapan konsep ekonomi hijau diharapkan mendorong pemisahan 

(decoupling) pertumbuhan ekonomi dari emisi GRK dan dampak negatif 

lainnya terhadap lingkungan. Ide utama di balik pemikiran ini yaitu   

bahwa ekonomi dapat terus tumbuh tanpa meningkatkan emisi GRK atau 

merusak lingkungan. Decoupling dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu 

relatif dan absolut. Decoupling relatif terjadi ketika tingkat pertumbuhan 

ekonomi melebihi tingkat pertumbuhan emisi GRK. Artinya, meskipun 

emisi masih meningkat, tetapi laju pertumbuhan emisi lebih lambat 

daripada laju pertumbuhan ekonomi. Decoupling absolut, di sisi lain, 

terjadi ketika emisi GRK benar-benar menurun meskipun ekonomi 

terus tumbuh. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi decoupling 

economy terkait perubahan iklim termasuk adopsi teknologi yang lebih 

bersih dan efisien, kebijakan pemerintah yang mendukung pengurangan 

emisi, investasi dalam energi terbarukan, dan perubahan pola konsumsi 

warga   (Parrique et al., 2019; York & McGee, 2017).

Pemikiran tentang decoupling economy ini patut mendapat perhatian 

khusus karena mengasumsikan bahwa ada solusi saling menguntungkan 

bagi ekonomi dan lingkungan (Porter dan Van der Linde, 1995). 

Hipotesis “Porter” yang disebut demikian telah banyak diperdebatkan 

dan menjadi inti dari konseptualisasi hubungan antara berbagai asumsi 

teoretis tentang tingkat penggantian yang mungkin. Mengingat elemen-

elemen ini, sebagian besar perdebatan tentang ekonomi hijau berkaitan 

dengan sejauh mana perubahan yang diperlukan dan bagaimana cara 

mencapainya (Pearce, 1992).

Namun, pertanyaan empiris tentang sejauh mana aktivitas ekonomi 

dapat dikeluarkan dari konsumsi dan eksploitasi sumber daya alam 

belum terjawab. Pemisahan kerusakan lingkungan dari produksi ekonomi 

memiliki dua dimensi penting, yaitu pertama, pemisahan relatif, di mana 

98



kedua indikator terus tumbuh, pembilangnya dengan laju lebih lambat, 

dan kedua, pemisahan absolut, yang berarti pembilangnya berkurang dari 

waktu ke waktu dalam bentuk absolut (Wernick et al., 1996). Misalnya, 

UNEP (2011c) telah menunjukkan bagaimana pemisahan sumber daya 

relatif sedang terjadi, tetapi dalam hal absolut, tidak ada pengurangan nyata 

yang terjadi, sementara pengurangan yang substansial dalam kebutuhan 

sumber daya untuk aktivitas ekonomi akan diperlukan. Efek ini dipicu oleh 

globalisasi dan akses pasar yang semakin luas yang meningkatkan aktivitas 

ekonomi dan oleh karena itu, polusi yang dihasilkan tetap tinggi. 

Jacobs (1933) kebijakan ekonomi dapat diubah untuk mempromosikan 

pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan pelestarian lingkungan. 

Negara-negara dan organisasi internasional dapat berkolaborasi untuk 

mencapai tujuan ini. Konsep ekonomi hijau dinilai sudah mapan dalam 

ranah politik dan muncul dalam banyak agenda kebijakan lembaga-

lembaga internasional. Namun, mungkin terjadi penafsiran yang salah 

terhadap konsep ini dan kurangnya alat pendukung keputusan berbasis 

ilmu pengetahuan yang tepat dapat menghambat penggunaannya dalam 

politik. Kebijakan saat ini sering kali mendukung kepentingan tertentu 

dengan menghasilkan dokumen-dokumen samar dan proyek-proyek 

teoritis yang menunda perubahan efektif di masa depan.

Stiglitz (2019) juga menyoroti pentingnya kebijakan yang mendukung 

kesejahteraan warga   serta keberlanjutan lingkungan. Ia mengadvokasi 

peran pemerintah yang kuat dalam mengatasi ketidaksetaraan ekonomi 

dan sosial, sambil merangkul prinsip-prinsip pembangunan yang 

berkelanjutan. Para pengambil keputusan ekonomi hijau mungkin ingin 

mempertimbangkan pendekatan ekonomi ekologi atau keberlanjutan 

yang kuat jika gagasan ekonomi hijau yang saling menguntungkan, yaitu 

kesejahteraan manusia yang makmur dalam batasan planet, ingin menjadi 

kenyataan. Pada saat ini, ada   kesenjangan pengetahuan utama 

tentang bagaimana pergeseran ini akan diimplementasikan secara praktis. 

Sektor ekonomi yang berbeda juga mungkin memerlukan tindakan yang 

99

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

berbeda. Hal ini dapat didokumentasikan dan panduan dapat diberikan 

jika secara khusus dibahas dalam riset  -riset   masa depan 

tentang penghijauan ekonomi (Loiseau, 2016).

Untuk menjelaskan berbagai konsep ekonomi hijau, perlu disiapkan 

kerangka kerja generik berbagai teori, konsep, dan pendekatan yang 

berbeda dan membahas hubungannya dengan keberlanjutan yang lemah 

dan kuat. Bergantung pada solusi yang dipilih, perubahan yang diperlukan 

untuk mengimplementasikan strategi ekonomi hijau dapat lebih atau 

kurang bersifat inkremental. Beberapa solusi lebih sesuai dengan ekonomi 

mainstream dan memerlukan sedikit perubahan, misalnya produksi bersih 

yang didefinisikan sebagai adaptasi untuk produksi hijau yang efisien, 

sementara solusi lain didasarkan pada transformasi mendalam terhadap 

pola produksi dan konsumsi kita seperti ekologi industri atau solusi 

berbasis alam yang memerlukan investasi skala besar dalam infrastruktur 

hijau.

Transisi ke ekonomi hijau berarti mengamalkan jenis ekonomi 

tertentu berdasarkan kebijakan dan investasi yang seharusnya mampu 

menciptakan hubungan antara pembangunan ekonomi, keanekaragaman 

hayati, ekosistem, perubahan iklim, kesehatan, dan kesejahteraan dalam 

jangka menengah dan panjang (Porfir’ev, 2012; Babonea & Joia, 2012). 

Regulasi dan insentif yang bijak dapat berperan kunci dalam mendorong 

pembangunan berkelanjutan. Regulasi yang ketat terhadap polusi dan 

penggunaan sumber daya alam, bersamaan dengan insentif fiskal yang 

mendukung investasi dalam teknologi dan praktik ramah lingkungan, 

dapat mendorong perusahaan dan individu untuk berpindah ke model 

bisnis yang lebih berkelanjutan. Selain itu, insentif finansial dan pajak 

yang menguntungkan bagi sektor-sektor seperti energi terbarukan dan 

transportasi berkelanjutan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi yang 

ramah lingkungan. Kombinasi yang tepat antara regulasi yang efektif dan 

insentif dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pembangunan 

berkelanjutan, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan 

menghasilkan manfaat jangka panjang bagi warga   dan planet ini. 

(Nadiroh & Emilkamayana, 2021). 

100



6.4 Ekonomi Sirkular

Model ekonomi saat ini yang bergantung pada ekstraksi berlebihan 

sumber daya alam dan penghancuran telah menjadi usang dan tidak 

lagi relevan dalam menghadapi tantangan masa kini. Dalam konteks 

perubahan iklim, kelangkaan sumber daya, dan meningkatnya limbah, 

terjadi kebutuhan mendesak akan perubahan dalam cara kita berpikir 

tentang produksi, konsumsi, dan pengelolaan sumber daya. Perubahan 

ini mengarah pada ekonomi sirkular yang lebih berkelanjutan, di mana 

penggunaan sumber daya dan pembuangan limbah dikelola dengan lebih 

bijaksana melalui praktik seperti penggunaan ulang, daur ulang, dan 

efisiensi sumber daya. Ini yaitu   langkah kritis untuk mengatasi tantangan 

lingkungan dan memastikan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi 

planet ini (Coste-Maniere, 2019). 

Ekonomi sirkular yaitu   sebuah konsep yang berfokus pada 

pengurangan limbah dan penggunaan sumber daya yang lebih efisien. 

Cara kerjanya yaitu   dengan mengubah paradigma dari model ekonomi 

linear menjadi model ekonomi yang lebih berkelanjutan. Dalam ekonomi 

sirkular, produk dan bahan-bahan tidak hanya digunakan sekali dan 

kemudian dibuang, tetapi dirancang agar bisa dipakai lebih lama, 

diperbaiki, dipulihkan, atau didaur ulang. Ini mencakup praktik seperti 

daur ulang kertas, plastik, logam, dan barang-barang elektronik, serta 

pemakaian ulang produk dan penggunaan bahan-bahan yang lebih ramah 

lingkungan. Selain itu, ekonomi sirkular berupaya mengurangi emisi GRK 

dan polusi melalui penggunaan energi terbarukan dan teknologi bersih. 

Tujuan akhirnya yaitu   menciptakan ekonomi yang lebih berkelanjutan, 

yang tidak hanya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan tetapi 

juga meningkatkan efisiensi sumber daya dan manfaat ekonomi serta 

sosial bagi warga   (Ellen Macarthur Foundation).

Stahel (2010, 2019) mendefinisikan ekonomi sirkular sebagai suatu 

sistem ekonomi dimana produk dan bahan digunakan, diproduksi ulang, 

dan didaur ulang sedemikian rupa sehingga mengurangi pembuangan 

limbah dan penggunaan sumber daya alam yang baru. Dalam ekonomi 

101

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

sirkular, siklus hidup produk diperpanjang melalui praktik seperti 

perbaikan, pemakaian kembali, dan pemulihan bahan, sehingga 

menciptakan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. 

Ide dasarnya yaitu   untuk menggantikan model ekonomi linier tradisional 

yang menghasilkan banyak limbah dengan model yang lebih efisien dalam 

pemanfaatan sumber daya. Walter Stahel mengemukakan prinsip-prinsip 

ekonomi sirkular yang melibatkan konsep utama “reuse, remanufacture, 

recycle” (memakai  kembali, memproduksi ulang, mendaur ulang). 

Prinsip-prinsip ini mengadvokasi untuk memaksimalkan penggunaan 

produk dan material, serta meminimalkan pembuangan limbah. Dalam 

ekonomi sirkular, produk dan komponennya dirancang agar dapat 

digunakan kembali atau diperbaharui sehingga memperpanjang siklus 

hidupnya. Ketika produk sudah tidak dapat digunakan lagi, bahan-

bahannya harus dapat didaur ulang untuk digunakan dalam produk-

produk baru. Prinsip-prinsip ini mendorong perubahan fundamental 

dalam pola konsumsi dan produksi untuk menciptakan ekonomi yang 

lebih berkelanjutan dengan jejak lingkungan yang lebih rendah.

Prinsip-prinsip ekonomi sirkular berfokus pada tiga konsep utama. 

Pertama, eliminate waste and pollution, yaitu menitikberatkan pada 

upaya mengurangi dan akhirnya menghilangkan limbah dan polusi dalam 

setiap tahap siklus hidup produk. Kedua, circulate products and materials, 

yaitu menekankan pentingnya menjaga produk dan material digunakan 

sepanjang mungkin melalui praktik seperti daur ulang, perbaikan, dan 

penggunaan kembali. Terakhir, regenerate nature, yaitu menekankan 

perlunya memulihkan dan mengembalikan ekosistem dan sumber daya 

alam untuk memastikan keberlanjutan lingkungan. Prinsip-prinsip ini 

bersama-sama menggerakkan model ekonomi yang berkelanjutan yang 

meminimalkan dampak lingkungan sambil mendorong efisiensi dan inovasi. 

Murray et al., (2017) berkata kata  prinsip ekonomi sirkular menekankan 

pentingnya merancang ulang proses-proses dan menggalakkan daur 

ulang bahan-bahan yang digunakan dalam aktivitas ekonomi. Ini berarti 

produk dan material harus dirancang agar memiliki masa pakai yang lebih 

panjang, dengan perbaikan, pemeliharaan, penggunaan ulang, dan daur 

102



ulang yang mudah dilakukan. Prinsip ini bertujuan untuk mengurangi 

limbah, meminimalkan konsumsi sumber daya alam, serta menciptakan 

ekonomi yang lebih berkelanjutan dengan dampak lingkungan yang lebih 

rendah.

Pemikiran ekonomi sirkular yang lebih bijaksana membuka peluang 

bagi organisasi untuk mencapai hasil ekonomi yang lebih berkelanjutan 

sambil mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Dengan 

mengadopsi prinsip-prinsip ekonomi sirkular seperti penggunaan ulang, 

daur ulang, dan pemakaian ulang bahan dan produk, organisasi dapat 

mengurangi limbah, meningkatkan efisiensi sumber daya, dan menciptakan 

produk yang lebih tahan lama. Ini tidak hanya berkontribusi pada 

ketahanan bisnis jangka panjang, tetapi juga mendukung upaya mitigasi 

perubahan iklim dan pelestarian lingkungan alam. Dengan demikian, 

ekonomi sirkular menjadi pendorong penting dalam menciptakan bisnis 

yang berkelanjutan (Barros et al., 2021). 

Ekonomi sirkular bukan sekadar pilihan, melainkan menjadi suatu 

kebutuhan mendesak dalam menghadapi tantangan lingkungan dan 

ekonomi saat ini. Dalam konteks perubahan iklim, penipisan sumber 

daya alam, dan meningkatnya limbah, model ekonomi konvensional yang 

mengandalkan konsumsi berlebihan dan pembuangan berlebihan telah 

menimbulkan risiko yang tak terbantahkan. Ekonomi sirkular, dengan 

prinsip-prinsipnya yang mengedepankan penggunaan ulang, daur ulang, 

dan efisiensi sumber daya, tidak hanya membantu melindungi lingkungan, 

tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru dan pertumbuhan yang 

berkelanjutan. Konsep ini menjadi esensial dalam merespons tantangan 

masa depan yang berkaitan dengan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan 

(Gardetti, 2019).

Negara-negara seharusnya mengimplementasikan strategi-strategi 

yang mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan konsep 

ekonomi sirkular dan pelatihan lingkungan sebagai bentuk perhatian 

terhadap keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks ini, ekonomi sirkular 

menawarkan kerangka kerja untuk mengurangi limbah, mengoptimalkan 

penggunaan sumber daya, dan mengurangi dampak lingkungan, sambil 

103

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

menciptakan peluang ekonomi yang berkelanjutan. Sementara itu, 

pelatihan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan 

pemahaman warga   tentang isu-isu lingkungan, mempromosikan 

tindakan yang ramah lingkungan, dan mendorong tanggung jawab kolektif 

terhadap “rumah bersama”, yaitu planet Bumi. Dengan menggabungkan 

kedua konsep ini, negara-negara dapat bergerak menuju pembangunan 

yang lebih berkelanjutan sambil melibatkan warga   dalam merawat 

lingkungan kita bersama-sama (Garcia & Rivas, 2022; Wang & Li, 2006). 

Tseng et al., (2020) berkata kata  komunitas ekonomi sirkular 

diharapkan dapat melibatkan berbagai atribut dalam sistem rantai pasokan 

multi-level dan dalam berbagai kegiatan yang terkait. Hal ini menjadi 

esensial untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan, 

di mana penggunaan sumber daya dan limbah dikelola dengan lebih 

efisien. Dalam konteks ini, ekonomi sirkular memungkinkan konsumsi dan 

produksi yang berkelanjutan dalam sistem rantai pasokan yang kompleks, 

dengan mendorong praktik seperti penggunaan ulang, daur ulang, dan 

pemakaian ulang bahan dan produk. Hal ini membantu mengurangi 

tekanan terhadap lingkungan sambil mempromosikan pertumbuhan 

ekonomi yang berkelanjutan. 

Meski konsep ekonomi sirkular telah menjadi topik yang semakin 

relevan, kontennya dalam bidang ilmiah dan riset   masih cenderung 

kabur dan terpisah dari berbagai disiplin ilmu lainnya. Sebagai contoh, 

dalam konteks riset   mengenai peluang dan hambatan bagi usaha 

kecil dan menengah (UKM), pemahaman yang komprehensif tentang 

bagaimana menerapkan prinsip-prinsip ekonomi sirkular dalam praktik 

bisnis UKM masih terbatas. Diperlukan integrasi lebih lanjut antara 

disiplin ilmu, termasuk ekonomi, manajemen, dan lingkungan, untuk 

memahami lebih baik bagaimana UKM dapat menghadapi tantangan 

dan memanfaatkan peluang yang terkait dengan ekonomi sirkular. 

(Suryantini et al., 2021). Oleh karena itu, perlu langkah-langkah konkrit 

untuk mendorong transisi ke arah ekonomi yang lebih berkelanjutan dan 

berorientasi pada daur ulang untuk semua skala ekonomi.

104



Aliran pemikiran yang beririsan dengan ekonomi sirkular diantaranya 

yaitu   konsep “Cradle to Cradle” yang dikembangkan oleh Ahli kimia 

Jerman Michael Braungart dan arsitek Amerika Bill McDonough, “Blue 

Economy” oleh Gunter Pauli, “Regenerative Design” oleh John T. Lyle, 

“Biomimicry” oleh Janine Benyus, dan “The Performance Economy” oleh 

Walter Stahel.

6.5 Ekonomi Biru

Ekonomi biru (blue economy) merupakan model bisnis yang terinspirasi 

dari alam dengan cara melakukan inovasi dalam memanfaatkan sumber 

daya dan produk limbah untuk: (i) menciptakan 100 juta hingga lapangan 

kerja hingga 2020 (ii) menghasilkan tambahan keuntungan bisnis dan 

mencapai zero emisi dunia pada tahun 2050. Model bisnis ini melibatkan 

dan memanfaatkan sistem jaringan bisnis internasional, para investor dan 

kalangan peneliti.

Ekonomi biru digagas oleh Gunter Pauli dengan mendirikan lembaga 

yaitu Blue Economy Institute (BEI) dan Blue Economy Alliance (BEA). 

Istilah Ekonomi Biru, merujuk pada warna lautan, langit biru dan bumi 

yang dilihat dari luar angkasa. Ide awal Ekonomi Biru berasal dari 100 

inovasi teknologi yang terbaik dan ramah terhadap iklim dan lingkungan, 

serta efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang bernilai kompetitif. 

Inovasi teknologi tersebut dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya 

air, energi, pembangunan kontruksi dan melaksanakan proses produksi 

pangan bagi warga  .

Titik pangkal dari pengembangan ekonomi biru yaitu   proyek 

“Nature 100 Best” yang dilakukan atas kerja sama kolaboratif antara Zerro 

Emission Researh Inisiative (ZERI) yang didirikan Gunter Pauli dengan 

Institute Biomimcry. Hasil kegiatan proyek ini yaitu   terciptanya 100 ide-

ide inovatif yang kemudian ditulis Gunter Pauli dalam bentuk buku yang 

berjudul “Blue Economy”. Dengan terbitnya buku tersebut, lembaga BEA 

telah memberikan informasi tentang inovasi-inovasi yang dapat diakses 

105

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

warga   secara online sehingga warga   dapat berpartisipasi dalam 

memberikan dukungan melalui implementasinya dalam model aktivitas 

bisnis di seluruh dunia.

Dalam pandangan Pauli (2010), ekonomi biru melampaui gagasan 

ekonomi hijau karena sepenuhnya bersifat ramah lingkungan dan 

bertujuan untuk mentransformasikan sistem ekonomi secara keseluruhan. 

Tesis yang dibangun dalam ekonomi biru yaitu   (i) melahirkan generasi 

baru yang melakukan bisnis dengan hanya (i) memanfaatkan sumber 

daya yang tersedia secara lokal termasuk kearifan lokal di suatu daerah; 

(ii) memanfaatkan limbah sebagai bahan baku untuk menghasilkan 

produk baru, dan; (iii) memakai  produk manufaktur yang efisien 

dan berkelanjutan sehingga tercipta model ekonomi baru. Menurut tesis 

ini, bekerjanya konsep ekonomi biru akan menciptakan kesempatan 

kerja di masa datang, makin meluasnya modal sosial, serta ekonomi dan 

kehidupan warga   menuju ke arah yang berkelanjutan.

Secara konsepsional, ekonomi biru berdasarkan pada fungsi ekosistem. 

Model ekonominya mengacu pada prinsip alam yang berarti bahwa limbah 

yang dihasilkan melalui proses metabolisme di alam dianggap sebagai 

sumber untuk proses berikutnya untuk menghasilkan barang dan jasa. 

Salah satu contohnya penerapan prinsip ini yaitu   pemanfaatan ampas 

kopi. Ampas kopi selama ini dianggap sebagai limbah dan ideal sebagai 

media untuk menumbuhkan jamur. Akan tetapi, ampas kopi tersebut 

juga ternyata mengandung dan kaya asam amino sehingga sangat baik 

dijadikan sebagai bahan pakan ternak ayam. Dari memelihara ternak ayam 

yang diberi pakan yang dicampur ampas kopi tersebut akan menghasilkan 

kotoran yang kemudian dapat diolah menjadi biogas. Biogas tersebut 

dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak dan dalam skala 

ekonomi yang lebih besar dapat menghasilkan energi listrik. Dari proses 

menunjukkan bahwa semua produk sampingan dari semula sebagai ampas 

kopi hingga menjadi kotoran ayam dapat dipergunakan kembali sebagai 

faktor input dalam proses produksi dan meminimalkan limbah, sehingga 

proses siklus kehidupan berlangsung lama dan dipergunakan secara 

efisien. Dari contoh ini menunjukkan bahwa penerapan Ekonomi Biru 

106



melalui inovasi-inovasi baru yang terinspirasi dari hukum alam yang lebih 

mematuhi dan mengikuti hukum-hukum fisika seperti hukum kekekalan 

energi yakni energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Energi hanya 

dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Sementara, proses 

kimiawi yang biasanya menghasilkan limbah dan polutan berbahaya 

tidak bisa dijadikan input dalam proses produksi kembali dalam konsep 

ekonomi biru.

Ekonomi biru yaitu   model bisnis yang bertujuan memanfaatkan 

limbah sebagai faktor input untuk menghasil- kan produk-produk yang 

berkualitas baik dengan biaya yang lebih rendah yang secara bersamaan 

memberikan tambahan pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja. 

Lembaga BAE memberikan akses yang terbuka bagi 100 ide-ide inovatif 

dan memberikan dukungan dalam mempraktikkannya.

6.6 Ekonomi Donat

Dalam bukunya yang berjudul “Doughnut Economics” yang diterbitkan 

pada tahun 2017, Kate Raworth membawa terobosan dalam cara kita 

memahami ekonomi. Konsep utama yang dia perkenalkan yaitu   ekonomi 

donat yang merupakan pendekatan yang menggabungkan aspek-aspek 

sosial dan lingkungan dalam model ekonomi yang lebih berkelanjutan. 

Konsep ini diilustrasikan dengan gambar donat, yang memiliki dua batas, 

yaitu batas dalam dan tepi.

Batas dalam donat melambangkan kebutuhan dasar manusia yang 

harus terpenuhi, seperti makanan, air bersih, pendidikan, dan kesehatan. 

Tugas utama ekonomi yaitu   memastikan bahwa semua orang memiliki 

akses ke kebutuhan dasar ini tanpa kekurangan. Di sisi lain, tepi donat 

melambangkan batas-batas lingkungan alam yang tidak boleh dilampaui, 

seperti tingkat emisi karbon yang aman, keanekaragaman hayati, dan 

penggunaan air bersih yang berkelanjutan. Konsep ekonomi donat ini akan 

menghasilkan ekonomi yang berkelanjutan yaitu   ekonomi yang berada 

dalam donat tersebut, di mana tidak ada kelaparan atau ketidaksetaraan 

sosial yang berlebihan, dan juga tidak ada kerusakan lingkungan yang 

berlebihan.

107

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

Konsep ekonomi donat telah menjadi dasar untuk banyak pembahasan 

tentang bagaimana mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Konsep 

ini mendorong para ahli untuk memikirkan ulang tentang bagaimana 

ekonomi bekerja dan untuk memprioritaskan kebutuhan dasar manusia 

sambil menjaga lingkungan alam. Dengan pendekatan yang lebih holistik 

ini, Raworth mengajak pihak terkait untuk membangun ekonomi yang 

lebih seimbang, inklusif, dan berkelanjutan untuk masa depan.

Raworth (2017) menawarkan tujuh cara berpikir yang memungkinkan 

ekonomi beroperasi dalam batasan-batasan tersebut; (1) Ubah tujuan 

ekonomi dengan mengalihkan fokus dari pertumbuhan ekonomi tanpa 

henti menjadi penciptaan kesejahteraan manusia dan kelestarian 

lingkungan. (2) Lihat ekonomi secara lingkungan, yaitu memahami bahwa 

ekonomi beroperasi dalam lingkungan alam yang terbatas, dan harus 

menghormati batasan ekologisnya. (3) Maksimalkan penciptaan nilai, 

yaitu mengutamakan penciptaan nilai bagi warga   dan lingkungan 

daripada sekadar mengukur nilai moneter. (4) Desain untuk distribusi, 

yakni memastikan bahwa manfaat ekonomi didistribusikan secara adil dan 

merata kepada semua orang. (5) Membangun pada pengetahuan, yaitu 

memakai  ilmu pengetahuan dan data empiris untuk mendukung 

kebijakan dan keputusan ekonomi. (6) Menciptakan resilensi, yaitu 

memastikan bahwa ekonomi memiliki ketahanan terhadap perubahan dan 

krisis. (7) Menjadi net-positive, memastikan bahwa ekonomi memberikan 

manfaat positif bagi lingkungan alam daripada merusaknya.

Raworth (2017) juga mengembangkan indikator kesejahteraan yang 

lebih komprehensif dan relevan dengan keberlanjutan mencakup berbagai 

aspek yang melampaui ukuran PDB, seperti keadilan sosial, kesehatan, 

pendidikan, kesetaraan, dan keberlanjutan lingkungan. Pendekatannya 

menekankan bahwa untuk mencapai kesejahteraan yang seimbang 

dan berkelanjutan, kita perlu memperhitungkan faktor-faktor tersebut 

secara holistik, tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi material 

tetapi juga mempertimbangkan dampak dan distribusi keuntungan dari 

kebijakan ekonomi. Dengan memperluas indikator kesejahteraan ini, 

Raworth berusaha mengukur keberhasilan ekonomi dengan cara yang 

lebih sesuai dengan kompleksitas tantangan abad ke-21.

108



Konsep ekonomi donat telah mulai diterapkan oleh beberapa 

organisasi, seperti Doughnut Economics Action Lab (DEAL), Circle Economy, 

C40 Cities, dan Biomimicry 3.8 yang berkolaborasi untuk mewujudkannya. 

Proyek percontohan ekonomi donat dilaksanakan di Amsterdam, Belanda, 

dengan fokus pada perencanaan kota dan pengambilan kebijakan 

perkotaan. Dikenal sebagai “The Amsterdam City  Doughnut”, inisiatif ini 

menjadikan konsep ekonomi donat sebagai alat untuk aksi transformatif, 

diletakkan sebagai visi jangka panjang kota tersebut, dan menjadi dasar 

bagi setiap keputusan yang diambil. Visi Amsterdam yaitu   menjadi 

kota yang berkembang, beregenerasi, dan inklusif bagi semua warganya, 

dengan tetap memperhatikan batasan planet bumi.

6.7 Gerakan Transisi

Gerakan transisi (transisition movement) yaitu   gerakan dari 

kelompok warga negara (warga  ) yang berkolaborasi di wilayah 

perkotaan maupun dalam komunitas yang lebih kecil pedesaan maupun 

untuk merespons dampak perubahan iklim dengan cara meminimalkan 

jejak karbon akibat penggunaan energi fosil (minyak bumi) berlebihan 

dan kelangkaan sumber energi tersebut di masa datang sehingga mereka 

memiliki dan mampu meningkatkan daya tahan terhadap dampak dari 

perubahan tersebut (Hopkins, 2013; Hopkins et al., 2008). Gerakan ini 

pertama kali digagas oleh Rob Hopkins, Naresh Giangrande, dan Louise 

Rooney. Gerakan transisi ini bukan model pendekatan bisnis melainkan 

pendekatan yang bersifat civil society dalam perspektif lokal maupun 

regional untuk menghadapi ancaman dan dampak perubahan iklim.

Gerakan transisi ini berkembang pertama kali di Irlandia dan Inggris 

Raya yang merupakan kelanjutan dari konsep permakultur. Perkembangan 

gerakan ini melahirkan konsep kota transisi yang pertama yaitu kota Kinsale 

(Irlandia) pada tahun 2005 dan Totnes (Inggris) pada tahun 2008 yang 

diinisiasi oleh Rob Hopkins. Gerakan ini kemudian menyebar di seluruh 

dunia melalui jaringan gerakan yang disebut “Transition Network” yang 

berdiri tahun 2007 dan meliputi beberapa negara antara lain Thailand, 

India, Nigeria, Brazil, dan Austria.

109

6. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Iklim

Gerakan Transisi menyediakan inspirasi dan katalisator perubahan. 

Aktivitas dan program-program yang dikembang- kan melalui gerakan 

ini dilaksanakan melalui konsultasi terbuka dan kreatif dari warga yang 

berkolaborasi. Aktivitas yang dilakukan berlangsung di tingkat lokal 

maupun regional yang sangat ditentukan oleh dukungan struktur pada 

tingkat lokal sehingga menjadi kunci pokok dalam mengembangkan 

inisiatif dan kreativitas warga maupun komunitas. Beberapa contoh 

gerakan transisi yang dilaksanakan warga maupun komunitas antara lain: 

swasembada pangan, pengembangan usaha energi alternatif di tingkat 

lokal dan sistem tanaman polikultur (pergiliran tanaman) dalam sistem 

pertanian tanaman pangan. Sementara, dalam kasus pengembangan kota 

transisi dalam konteks regional yang dicontohkan di Totnes telah dilakukan 

pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan budaya tradisional, 

kursus penghematan energi, dan penyusunan rencana aksi dalam konversi 

energi, dan proyek kebun warga  . Semua kegiatan ini bertujuan untuk 

melakukan regionalisasi produksi pangan dan perdagangan, sehingga 

tercipta kolaborasi di tingkat warga dan komunitas.

Gerakan transisi ini dilakukan secara beragam dan tergantung 

partisipasi, inisiatif dan kreativitas warga maupun individu di tingkat lokal, 

gerakan transisi ini merupakan gerakan akar rumput untuk merespons 

dampak perubahan iklim dan mengurangi ketergantungan warga maupun 

komunitas terhadap ancaman krisis pangan, krisis energi yang bersumber 

dari bahan bakar fosil.

6.8 Teori Degrowth 

Degrowth berarti mengurangi konsumsi dan produksi sebagai jalan 

menuju keadilan sosial, keberlanjutan ekologis, dan kesejahteraan yang 

lebih baik. Degrowth menunjukkan perampingan ekonomi yang intinya 

menurunkan konsumsi dan produksi. Di antaranya mengurangi: industri, 

pemanfaatan mobil, berbelanja di pusat perbelanjaan hingga menempuh 

perjalanan jarak jauh. Pendukung degrowth berpendapat bahwa umat 

manusia yang telah hidup di luar batas kemampuannya memburuk proses 

peregangan sistem ekologi. Akibat keterbatasan daya dukung ekosistem 

110



dan ketersediaan sumber daya alam, maka degrowth jadi keniscayaan. 

Pertanyaan mendasar dari pendukung degrowth yaitu   bagaimana 

mengelolanya di masa datang sehingga menghindari keruntuhan sosial 

dan ekologis. Supaya mencapai proses “soft landing” dan berkelanjutan 

secara ekologis serta berkeadilan sosial, seyogyanya mengurang konsumsi 

maupun produksi barang-barang material. Mengurangi konsumsi tidak 

identik berkurangnya kualitas hidup melainkan sebaliknya. Kesejahteraan 

manusia meningkat, karena manusia tak lagi menjalankan tugas-tugas 

mubazir, menimbulkan stres, membebani orang dalam pekerjaan, dan 

membebaskan diri dari materi yang berlebihan (D’Alisa et al., 2014; Kallis 

2018; Kallis et al., 2020; Liegey et al., 2020).

Gagasan degrowth lahir akibat maraknya perdebatan kritis seputar 

pertumbuhan konsep (growth). Pertumbuhan ekonomi dicirikan sebagai 

“problem” (as a problem) dan bukan sebagai solusi dalam mengatasi 

problem sosial dan ekologi. Inovasi teknologi, efisiensi sumber daya dan 

energi yang lebih besar tak mencukupi akibat timbulnya efek rebound 

yang mendongkrak tingginya produksi dan konsumsi. Dengan demikian, 

mengarah kepada tingginya konsumsi lingkungan. Secara teoritis 

dan praktiknya, degrowth mengkritisi ekonomi neoliberal, sehingga 

bertentangan dengan konsep pembangunan be