Tampilkan postingan dengan label sapi 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sapi 5. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 April 2024

sapi 5


 



Parameter untuk mengetahui kesempurnaan kematian pada sapi sesudah  disembelih yaitu dengan 

melihat refleks kelopak mata dan atau waktu henti darah memancar. kematian 

merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan respirasi fisiologis dan sirkulasi darah telah berhenti 

sebagai akibat dari pusat sistem itu  di batang otak secara permanen kehilangan fungsi karena 

kekurangan oksigen dan energi. Waktu henti darah memancar merupakan indikasi bahwa jantung 

sudah tidak dapat memompa darah keluar dari tubuh karena tidak ada lagi asupan oksigen darah dalam 

jantung, sehingga hewan itu  dapat dikatakan mati. Tujuan dari penelitian ini untuk menghitung 

waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan metode pemingsanan dan tanpa 

pemingsanan yang dipotong di rumah potong hewan ruminansia besar (RPHRB), sehingga diperoleh 

data rataan waktu hewan mati sempurna. Tiga puluh ekor sapi Brahman Cross dibagi menjadi 2 kelompok 

perlakuan yaitu, sebanyak 15 ekor yang disembelih dengan pemingsanan (kelompok 1) dan sebanyak 15 

ekor yang disembelih tanpa pemingsanan (kelompok 2). Waktu henti darah memancar dihitung sesaat 

sesudah  hewan disembelih sampai darah berhenti memancar. Hasil dari penelitian diperoleh rataan waktu 

henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan sebelum disembelih adalah sebesar 3,02 menit dan 

rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih tanpa pemingsanan adalah sebesar 

2,13 menit. Selang waktu henti darah memancar antara sapi yang dipingsankan dengan sapi yang tidak 

dipingsankan sebelum disembelih adalah 53,4 detik. Waktu henti darah memancar dipengaruhi oleh 

perlakuan hewan sebelum pemotongan, yaitu dengan atau tanpa pemingsanan.


Kebutuhan daging sapi dan kerbau untuk kon-

sumsi dan industri di Indonesia pada tahun 2012 

mencapai 484 ribu ton , 

Setiap tahun permintaan itu  akan terus me-

ningkat seiring dengan bertambahnya populasi pen-

duduk dan tingginya minat warga  terhadap 

konsumsi daging. Tingginya permintaan menye-

babkan intensitas pemotongan juga meningkat, 

sehingga keberadaan rumah potong hewan (RPH) 

sebagai tempat untuk pemotongan hewan sangat 

diperlukan. Dalam pelaksanaannya RPH harus dapat 

menjaga kualitas daging, baik dari tingkat kebersih-

an, kesehatan, ataupun kehalalan dagingnya. 

Di Indonesia ada 2 metode sebelum pemotong-

an, yaitu dengan pemingsanan dan tanpa peming-

sanan. Praktik pemotongan sapi tanpa dipingsan-

kan telah dilakukan sejak lama di Indonesia, sedang-

kan pemotongan dengan pemingsanan bertujuan 

agar sapi mendapatkan perlakuan sesuai dengan 

kesejahteraan hewan, sehingga meminimalkan ke-

jadian stres pada sapi. Hampir sebagian besar RPH 

masih memakai  metode konvensional dalam 

proses penyembelihan, yaitu dengan cara sapi di-

ikat dan ditarik dengan kuat sehingga sapi roboh ke 

lantai baru kemudian disembelih. Perlakuan yang 

kasar dalam penanganan pemotongan hewan akan 

memicu  stres pada hewan dan menghasilkan 

kualitas daging yang rendah. Penanganan hewan 

saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk 

mempertahankan standar karena kesejahteraan 

hewan merupakan bagian dari kualitas daging 

(Grandin, 2001). Untuk meminimalkan stres dan rasa 

sakit pada hewan potong, khususnya pada sapi, 

di beberapa RPH dilakukan pemingsanan sebelum 

hewan disembelih.

Daging yang dihasilkan oleh RPH harus memenuhi 

persyaratan aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). 

Halal merupakan syarat penting yang harus di-

penuhi oleh daging yang dihasilkan oleh RPH karena 

sebagian besar warga  Indonesia memeluk 

agama Islam. Titik kritis dari makanan halal ter-

utama daging, terletak pada sumber bahan baku, 

proses penyembelihan, dan proses produksinya. 

Pemingsanan pada sapi harus dilakukan dengan 

benar agar memenuhi aspek kesejahteran hewan 

dan kehalalan pada daging yang dihasilkan. Untuk itu 

diperlukan pengetahuan untuk memastikan agar 

metode pemingsanan tidak memicu  kerusak-

an berat/permanen pada otak dan pengetahuan 

tentang indikator kematian hewan sehingga hewan 

benar-benar telah mati sebelum dilakukan pe-

nanganan lebih lanjut.

Parameter yang dapat digunakan untuk melihat 

hewan mati sempurna adalah dengan melihat re-

fleks kornea dan atau waktu henti darah memancar. 

Waktu henti darah memancar merupakan indikasi 

bahwa jantung sudah tidak dapat memompa darah 

keluar dari tubuh akibat tidak ada lagi asupan 

oksigen darah dalam jantung, sehingga hewan ter-

sebut dapat dikatakan mati. Menurut EFSA (2004) 

kematian merupakan suatu keadaan yang ditandai 

dengan respirasi fisiologis dan sirkulasi darah telah 

berhenti sebagai akibat dari pusat sistem itu  

di batang otak secara permanen kehilangan fungsi 

karena kekurangan oksigen dan energi. Selama ini 

parameter yang digunakan untuk menentukan 

hewan mati sempurna adalah dengan melihat re-

fleks kelopak mata. Tujuan dari penelitian ini, yaitu 

mendapatkan data rataan waktu henti darah me-

mancar pada penyembelihan sapi dengan peming-

sanan dan tanpa pemingsanan. 


Sampel berupa 30 ekor sapi Brahman Cross yang 

dipilih memakai  metode purposive sampling. 

Penelitian ini dilakukan di RPHR wilayah Depok, 

Tangerang, dan Tasikmalaya dari bulan September 

2013 sampai dengan Maret 2014.  Sapi yang diamati 

pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 

sebanyak 15 ekor disembelih dengan dilakukan pe-

mingsanan terlebih dahulu dan 15 ekor disembelih 

tanpa melalui proses pemingsanan. Penyembelih-

an dilakukan pada malam hari sesuai dengan waktu 

penyembelihan dari masing-masing RPH-R 

Waktu henti darah memancar pada sapi yang 

disembelih dengan dan tanpa pemingsanan di-

hitung memakai  stopwatch. Tombol start pada 

stopwatch ditekan sesaat sesudah  sapi disembelih 

dan terlihat darah pertama kali memancar. Ditunggu 

selang beberapa waktu sampai terlihat darah 

sudah tidak lagi memancar lalu tombol stop pada 

stopwatch ditekan dan dilihat waktu (detik) yang 

tertera pada layar stopwatch.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. 

Data dianalisis dengan uji t untuk mengetahui per-

bedaan waktu henti darah memancar pada pe-

nyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa 

pemingsanan dengan memakai  SPSS 16.


Tabel 1 Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan dan tanpa pemingsangan 

Perlakuan sebelum penyembelihan

Waktu henti darah memancar (menit)

Rataan Minimun Maksimum

Pemingsanan 3,02a 1,53 4,33

Tanpa pemingsanan 2,13b 1,04 3,14

Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan uji berbeda nyata (p<0,05)

Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya per-

bedaan waktu henti darah yang signifikan (p<0,05) 

pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan 

sapi yang disembelih tanpa pemingsanan terlebih 

dahulu. Rataan waktu henti darah memancar pada 

sapi yang dipingsankan terlebih dahulu sebelum 

disembelih adalah sebesar 3,02 menit dengan waktu 

henti darah maksimum sebesar 4,33 menit dan 

minimum sebesar 1,53 menit. Sedangkan waktu 

yang dibutuhkan untuk darah berhenti memancar 

pada sapi yang disembelih tanpa dipingsankan ter-

lebih dahulu mempunyai nilai rataan sebesar 2,13 

menit dengan waktu henti darah minimum sebesar 

1,04 menit dan maksimum sebesar 3,14 menit. Per-

bedaan waktu henti darah berhenti memancar 

antara sapi yang dipingsankan dengan sapi yang 

tidak dipingsankan sebelum disembelih adalah 53,4 

detik. 




Sapi yang dipingsankan sebelum disembelih 

membutuhkan waktu henti darah lebih lama di-

bandingkan sapi yang tidak dipingsankan. Waktu 

henti darah memancar dipengaruhi oleh perlakuan 

hewan sebelum penyembelihan. Sapi yang diamati 

dengan perlakuan pemingsanan sebelum penyem-

belihan, dipingsankan mengunakan captive bolt stun 

gun non-penetrating. Non-penetrating captive bolt 

stun gun yang digunakan di RPH di Indonesia 

adalah tipe Cash Magnum Knocker caliber 0,25 yang 

menghilangkan rasa sakit pada hewan dan me-

mudahkan manusia dalam melaksanakan penyem-

belihan. Jantung pada sapi dapat memompa darah 

lebih stabil tanpa adanya peningkatan frekuensi 

jantung. Penurunan tekanan jantung terutama ven-

trikel selama pengeluaran darah terjadi karena pe-

nurunan oksigen darah pada miokardium. Respirasi 

pada hewan yang dipingsankan akan menurun 

sehingga distribusi oksigen ke jantung juga me-

nurun. Hal ini mengakibatkan kekuatan frekuensi 

jantung dan tekanan darah menurun (Vemini et al., 

1983). Kondisi itu  membuat waktu henti darah 

memancar pada sapi yang dipingsankan lebih lama 

dibandingkan dengan sapi yang tidak dipingsankan.

Sapi yang disembelih tanpa melalui proses pe-

mingsanan terlebih dahulu, difiksasi memakai  

restraining box mark IV. Menurut Grandin (1991), 

restraining box adalah alat yang digunakan untuk 

mengendalikan sapi sebelum disembelih agar ting-

kat stres pada sapi berkurang. Pada prinsipnya, 

tingkat stres dapat diturunkan karena (1) saat sapi 

masuk ke dalam restraining box sapi tidak merasa 

takut karena terhindar dari pengaruh lingkungan 

area penyembelihan, hal itu  penting terutama 

bagi sapi yang cukup agresif; (2) untuk mengatasi 

terjangan kepala sapi karena pandangan di sekeli-

ling sapi tertutup penuh; (3) memudahkan dalam 

merobohkan sapi tanpa perlakuan kasar; (4) stabili-

tas alat ini membuat sapi menjadi lebih tenang dan 

mengatasi gerakan berontak yang tiba-tiba; dan (5) 

tekanan alat pada sapi tidak menimbulkan kesakitan 

HASIL

Obyek penelitian yang digunakan dalam peneli-

tian ini adalah sapi Brahman Cross jantan. Jumlah 

total sapi yang diamati pada penghitungan waktu 

henti darah memancar adalah sebanyak 30 ekor 

yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu sebanyak 15 

ekor disembelih dengan dilakukan pemingsanan ter-

lebih dahulu dan 15 ekor disembelih tanpa melalui 

proses pemingsanan. Hasil penghitungan waktu 

henti darah memancar pada sapi Brahman Cross yang 

dipingsankan dan tanpa pemingsanan sebelum di-

sembelih disajikan dalam Tabel 1.

diproduksi oleh Accles dan Shelvoke. Cash Magnum 

Knocker menembakkan baut (bolt) berukuran 

panjang 121 mm dan diameter 11,91 yang berbentuk 

kepala jamur (mushroom-headed). Cartridge merupa-

kan tenaga pendorong untuk memicu  trauma 

ke korteks otak tanpa penetrasi ke dalam tengkorak 

Tipe non-penetrating 

memicu  ketidaksadaran melalui pelemahan 

sistem syaraf  yang mengakibatkan hilangnya ke-

sadaran tanpa perubahan anatomis di otak. Pe-

mingsanan merupakan salah satu teknik sebelum 

pemotongan pada hewan dengan tujuan untuk 

Penyembelihan Sapi dengan dan tanpa Pemingsanan 

dan berlangsung cepat. Pada prinsipnya, tingkat 

stres dapat diturunkan karena pergerakan alat 

halus, memiliki tingkat kebisingan yang rendah, 

tekanan alat pada sapi tidak menimbulkan kesakit-

an, dan sapi tidak merasa takut karena terhindar 

dari pengaruh lingkungan area penyembelihan. 

Upaya penurunan stres memakai  mark IV masih 

menyisakan sapi dalam keadaan sadar, sehingga 

stres masih berpengaruh pada sapi dibanding-

kan dengan metode pemingsanan. Implikasi dari 

penggunaan metode mark IV tetap mengakibatkan 

terjadinya peningkatan tekanan darah dan frekuensi 

jantung. Peningkatan frekuensi jantung menyebab-

kan darah yang dipompa keluar pada saat disembelih 

menjadi lebih cepat, sehingga darah yang memancar 

pada sapi akan lebih cepat berhenti. Peningkatan 

tekanan darah terjadi akibat adanya penyempitan 

pembuluh darah kapiler pada jaringan. Darah di-

pompakan melalui pembuluh darah oleh jantung. 

Pembuluh-pembuluh darah merupakan sistem yang 

tertutup, yang membawa darah dari jantung ke 

seluruh jaringan tubuh dan kembali ke jantung. Aliran 

darah ke tiap-tiap jaringan diatur oleh mekanisme 

kimia lokal dan mekanisme saraf umum yang 

melebarkan atau menyempitkan pembuluh darah 

jaringan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan 

oksigen pada jaringan melalui sistem kemoreseptor 

Mekanisme kimia lokal me-

rupakan mekanisme pengaturan saraf otonom, 

yaitu oleh zat-zat kimia seperti asetilkolin dan 

katekolamin, yang utama adalah norepinefrin dan 

epinefrin. Katekolamin memicu  penyempitan 

buluh-buluh darah sehingga terjadi peningkatan 

tekanan darah. Stres sehubungan dengan peming-

sanan dan pengeluaran darah secara normal menye-

babkan pelepasan katekolamin sehingga terjadi 

penyempitan pembuluh darah jaringan ,

Stunning menjadi sangat penting karena stres 

sebelum penyembelihan memiliki dampak buruk 

terhadap kualitas daging yang dihasilkan. Stres 

sebelum penyembelihan memicu  peningkat-

an kadar katekolamin dan kreatinin kinase dalam 

tubuh. Peningkatan kadar katekolamin dan kre-

atinin kinase memicu  glikolisis secara cepat 

sehingga terjadi penumpukan asam laktat pada 

daging. Stres sebelum penyembelihan juga menye-

babkan penurunan kadar glikogen yang menyebab-

kan tingginya pH daging dan daya ikat air. Selain itu, 

daging yang dihasilkan lebih keras dengan warna 

yang lebih gelap ,

Penyembelihan sapi dengan pemingsanan mau-

pun tanpa pemingsanan harus memenuhi kaidah 

halal diantaranya harus memotong tiga saluran 

pada leher, yaitu esofagus, trakhea, dan pembuluh 

darah (vena jugularis dan arteri karotis). Proses 

penyembelihan mengakibatkan pengeluaran darah 

dari pembuluh darah dalam jumlah yang besar. 

Respon fisiologis dari hewan yang kehilangan darah 

dalam jumlah yang besar secara tiba-tiba disebut 

syok hemoragik. Syok hemoragik merupakan gejala 

klinis akibat berkurangnya curah jantung dan perfusi 

darah ke organ karena penurunan volume darah 

(hipovolemia) yang disebabkan oleh hilangnya 

darah. Hal ini disebabkan ketidakmampuan sistem 

homestasis tubuh dalam mengembalikan jumlah 

normal darah akibat banyaknya darah yang keluar. 

Penurunan volume darah selama perdarahan akut 

memicu  penurunan tekanan vena cava dan 

pengisian darah ke jantung. Hal ini memicu  

penurunan curah jantung dan tekanan arteri. Tubuh 

memiliki sejumlah mekanisme yang menjadi aktif 

dalam upaya untuk mengembalikan tekanan arteri 

kembali normal melalui refleks baroreseptor dan 

refleks kemoreseptor. Namun, karena terhentinya 

asupan oksigen dan nutrisi ke jantung akibat per-

darahan yang sangat parah (hypovolemia) menye-

babkan jantung gagal berkontraksi. Kegagalan 

jantung berkontraksi mengakibatkan tidak ada lagi 

aliran darah dalam tubuh, sehingga perfusi darah 

ke organ tidak terjadi . Proses ini 

dapat berujung pada kematian.

Pengeluaran darah selama penyembelihan he-

wan sangat dipengaruhi oleh curah jantung, walau-

pun jantung bukan merupakan faktor utama dalam 

pengaturan curah jantung. ada  berbagai faktor 

sirkulasi perifer yang mempengaruhi aliran darah ke 

dalam jantung yang berasal dari vena, yang disebut 

aliran balik vena, yang merupakan pengatur utama. 

Alasan utama mengapa faktor-faktor perifer biasa-

nya lebih penting daripada jantung itu sendiri dalam 

mengatur curah jantung adalah karena jantung me-

miliki mekanisme di dalam jantung itu sendiri yang 

biasanya memungkinkan jantung untuk memompa 

secara otomatis berapapun darah yang mengalir ke 

dalam atrium kanan yang berasal dari vena. Tujuan 

dari pengeluaran darah adalah untuk mengeluarkan 

darah dan memastikan hewan mati dengan meng-

hentikan suplai oksigen ke otak , proses kehilangan darah 

(blood loss) membutuhkan waktu tertentu untuk 

mencapai tingkat kritis. Pemotongan yang efektif 

akan memicu  40%-60% volume darah hilang 

dalam pola dan tingkat yang sama pada spesies 

yang berbeda. bahwa 

33% darah akan hilang sesudah  30 detik pemotong-

an, 25% 

darah akan hilang sesudah  17 detik. 

setiap individu hewan membutuhkan waktu 

yang berbeda untuk mengalami perdarahan hingga 

kematian. Waktu kematian tertunda jika hanya 

arteri pada satu sisi leher yang terputus atau ujung 

arteri mengalami penyumbatan sebelum pendarah-

an sempurna. Perdarahan akan memicu  ke-

tidaksadaran yang berlanjut dengan kematian. Ke-

matian terjadi karena kurangnya suplai oksigen ke 

otak yang telah disuplai oleh aliran arteri.

Pengeluaran darah yang baik dapat terjadi pada 

hewan dalam keadaan sehat namun dapat diper-

lambat jika hewan mengalami kondisi demam, 

infeksi pada bagian jantung, paru-paru, dan otot 

. Kerusakan otot dapat 

disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena 

terbanting atau karena penyakit infeksius yang 

memicu  rusaknya pembuluh darah kapiler 

pada jaringan sehingga darah masuk ke otot yang 

memicu  kualitas daging menurun. Kesempur-

naan pengeluaran darah merupakan syarat agar 

kualitas daging yang dihasilkan baik. Kontraksi, 

gravitasi, dan aktifitas jantung merupakan faktor 

yang mempengaruhi pengeluaran darah otot-otot 

hewan ,oleh sebab itu, selama 

penyembelihan hewan harus dibiarkan berkontraksi 

hingga mati sempurna, sesudah  itu baru dilakukan 

penggantungan dan pelepasan kulit.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan 

bahwa sapi mati sempurna berdasarkan waktu 

henti darah memancar pada sapi yang disembelih 

dengan metode pemingsanan adalah 3,02 menit 

sedangkan pada sapi yang disembelih dengan me-

tode tanpa pemingsanan adalah 2,13 menit.


Sapi aceh merupakan rumpun sapi asli Indonesia yang mempunyai keseragaman bentuk, fisik, dan 

komposisi genetik serta kemampuan adaptasi dengan baik pada keterbatasan lingkungan, sehingga perlu 

dilindungi, dilestarikan, dan dikembangkan keunggulannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur 

histologis usus besar sapi aceh. Sampel penelitian diambil dari tiga ekor sapi aceh yang telah dewasa kelamin 

dan berjenis kelamin jantan yang dipotong di Rumah Potong Hewan Lambaro, Aceh Besar. Terhadap sampel 

penelitian dilakukan proses mikroteknik untuk selanjutnya dilakukan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). 

Pengamatan terhadap struktur histologi menggunakan mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan struktur 

histologi sekum, kolon, dan rektum sapi aceh tersusun atas empat lapisan, yaitu tunika mukosa, submukosa, 

muskularis, dan serosa. Tunika mukosa sekum, kolon, dan rektum tersusun oleh epitel silindris selapis, sel 

Goblet, kelenjar Lieberkuhn, limfosit, jaringan ikat longgar, fibroblas, dan otot polos. Ketebalan mukosa sekum 

yaitu (419±12 µm), kolon (749±13 µm), dan rektum (1308±10 µm). Tunika submukosa terdiri dari jaringan ikat 

longgar, fibroblas, sel lemak, pembuluh darah dan nodus limfatikus dengan ketebalan sekum (943±13 µm), 

kolon (744±10 µm), dan rektum (2076±10 µm). Tunika muskularis tersusun oleh otot polos transversal dan 

longitudinal, plexus saraf mientericus, dan jaringan ikat, dengan ketebalan masing masing yaitu sekum (2579±19 

µm), kolon (2380±16 µm), dan rektum (4748±19 µm). Tunika serosa merupakan lapisan paling luar dari usus 

besar yang terdiri dari sel lemak, pembuluh darah, dan jaringan ikat dengan ketebalan sekum (1621±13 µm), 

kolon (331±18 µm), dan rektum (1639±9 µm). Dapat disimpulkan, bahwa struktur histologi sekum, kolon, dan 

rektum sapi aceh memiliki lapisan yang sama, namun memiliki ketebalan yang berbeda pada tiap lapisan, 

ketebalan lapisan berhubungan dengan fungsi dan letak dari usus besar, dimana rektum memiliki ketebalan 

lapisan yang lebih tebal dibandingkan sekum, dan kolon. 

 Ternak plasma nutfah merupakan ternak yang dipelihara turun temurun oleh peternak , Salah satu ternak yang tergolong ternak plasma nutfah 

adalah sapi aceh ,

daya genetik salah satu rumpun sapi lokal yang harus dilindungi, dilestarikan, dan 

dikembangkan keunggulannya . Sapi aceh mempunyai pola warna 

bervariasi yaitu merah bata, kuning langsat, putih hingga berwarna hitam, namun warna 

dominan yang ditemui adalah merah bata ,

Sapi tergolong hewan ruminansia yang mempunyai keistimewaan pada alat 

pencernaannya ,Struktur anatomis sistem pencernaan sapi sangat berbeda 

dengan ternak kecil misalnya unggas, hal ini dikarenakan sapi memiliki lambung ganda yang 

khas yang terdiri dari rumen, retikulum, omasum, dan abomasum . Fungsi dari 

sistem pencernaan adalah menghidrolisis komponen-komponen yang ada  pada makanan 

untuk diubah menjadi produk daging, mengabsorbsi zat-zat nutrisi, dan mengekresikan yang 

tidak diabsorbsi sebagai residu melalui anus , saluran pencernaan terdiri dari suatu saluran 

berongga yang panjang, yang disebut dengan traktus yang berawal dari rongga mulut dan 

berakhir di anus. Sistem ini terdiri dari rongga mulut, esofagus, lambung, usus halus, usus 

besar, dan kanalis analis. organ terpanjang pada saluran 

pencernaan adalah usus, yang dibedakan antara usus halus dan usus besar.  

 Usus merupakan suatu bagian yang berfungsi dalam penyerapan nutrisi pada proses 

pencernaan , Salah satu bagian dari usus yang berfungsi menyerap air, 

fermentasi sisa ingesta, serta pembentukan feses adalah usus besar , Secara 

anatomi usus besar terbagi pada tiga bagian yaitu sekum, kolon, dan rektum  Usus besar terletak diantara anus dan ujung akhir ileum, bagian ini lebih pendek 

dan kurang berkelok kelok dibandingkan usus halus 

 Secara umum struktur histologis usus besar tersusun atas tunika mukosa, submukosa, 

muskularis, dan serosa. Tunika mukosa terdiri dari lamina epitelia, lamina propria, dan lamina 

muskularis mukosa. Tunika submukosa terdiri atas jaringan ikat padat tidak beraturan, 

pembuluh darah, limfe, saraf, dan ditandai dengan adanya kelenjar. Tunika muskularis terdiri 

atas lapisan otot polos yang tersusun memanjang (longitudinal) dan melingkar (transversal), 

sedangkan tunika serosa terdiri dari jaringan ikat longgar, pembuluh darah, dan sel adiposa ,

 Studi histologis usus besar sudah pernah dilaporkan diantaranya pada sapi bali , kambing dan kerbau  

Namun studi histologis usus besar pada sapi aceh belum pernah dilaporkan, oleh karena itu 

penelitian ini sangat perlu dilakukan untuk melengkapi informasi tentang studi histologis usus 

besar sapi aceh.   

 

Rumusan Masalah 

 Bagaimanakah struktur histologis usus besar (sekum, kolon, dan rektum) sapi aceh? 

 

Tujuan Penelitian 

 Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur histologis usus besar (sekum, 

kolon, dan rektum) sapi aceh. 

 

Manfaat Penelitian 

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai struktur histologis 

usus besar sapi aceh serta sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 


Tempat dan Waktu Penelitian 

 Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran 

Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Penelitian ini dimulai pada bulan November 

sampai Desember 2018. 

Alat dan Bahan Penelitian 

 Alat yang digunakan adalah gelas ukur, botol sampel, surgery minor set, tissue 

casset, cetakan blok, wadah untuk pewarnaan (staining jar), oven, embedding processor, 

mikrotom, pisau mikrotom, object glass, cover glass, kertas label, slide warmer 37⁰C, 

waterbath, mikroskop Olympus CX31 yang dipadukan dengan software toupview. 

 Bahan-bahan yang digunakan adalah usus besar (sekum, kolon, dan rektum) sapi 

aceh, larutan NaCl Fisiologis 0,9%, Neutral Buffer Formalin (NBF) 10%, aquadest, silol, 

alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, dan absolut), parafin, Hematoksilin-

Eosin (HE), dan bahan perekat          . 

 

Metode Penelitian  

 Penelitian ini merupakan penelitian dalam bentuk eksploratif yaitu penelitian yang 

bertujuan untuk mengetahui struktur histologi usus besar sapi aceh. Sampel berasal dari tiga 

ekor sapi aceh jantan dewasa yang dipotong di rumah potong hewan Lambaro, Aceh Besar. 

Sampel kemudian dibuat menjadi preparat histologis dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin 

(HE) dan dilakukan pengukuran ketebalan masing-masing lapisannya dengan menggunakan 

mikroskop Olympus CX31 yang dipadukan dengan software toupview. 

 

Prosedur Penelitian 

Pengambilan Sampel 

 Sampel sekum, kolon, dan rektum masing-masing dipotong tiga cm pada bagian 

tengah. Sampel itu  selanjutnya dibilas dengan Nacl fisiologis 0,9% sampai bersih, lalu 

dibentangkan di atas plastik mika dan fiksasi di dalam Neutral Buffer Formalin (NBF) 10% 

selama 48 jam. Sampel dipotong 0,5 cm dan dimasukkan ke dalam tissue cassete, selanjutnya 

dilakukan stoping point dalam alkohol 70%. 

 

Pembuatan Preparat Histologis 

 Pembuatan preparat histologis usus besar mengacu pada metode Kiernan,

Proses itu  dimulai dengan dehidrasi jaringan menggunakan alkohol dengan konsentrasi 

bertingkat (80%, 90%, 95%, absolut I, dan absolut II), penjernihan dengan larutan silol, 

infiltrasi jaringan dalam parafin cair, dan dilanjutkan dengan embedding menggunakan 

parafin cair hingga menjadi blok parafin (blocking). Tahap selanjutnya dilakukan sectioning 

menggunakan mikrotom dengan ketebalan 5 µm, kemudian irisan diletakkan pada tissue bath, 

lalu diambil dengan object glass untuk selanjutnya diinkubasikan ke dalam slide warmer. 

 

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin 

 Pewarnaan dimulai dengan proses deparafinisasi menggunakan silol I selama lima 

menit dan dalam silol II selama dua menit. Kemudian dilanjutkan dengan proses rehidrasi 

dengan alkohol menurun dari alkohol absolut I dan II, alkohol 96% I dan II, dan alkohol 90%, 

slide dimasukkan masing-masing selama dua menit, selanjutnya slide jaringan dibilas dengan 

air mengalir. Kemudian slide dimasukkan ke dalam hematoksilin selama lima menit, dan 

dibilas dengan air mengalir sampai bersih. Selanjutnya slide dimasukkan ke dalam eosin 

selama lima menit. Kemudian dilakukan proses dehidrasi kembali dengan menggunakan 

alkohol 96% I dan II, absolut I dan II masing-masing dua kali celup. Setelah itu dilakukan 

proses clearing dengan silol I, II, dan III masing-masing selama tiga menit, lalu dilakukan 

mounting dengan          . Pengamatan dilakukan dengan mikroskop cahaya Olympus dan 

dilanjutkan dengan pengambilan foto mikrograf 

Parameter Penelitian 

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah struktur histologis usus besar yaitu 

tunika mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa, serta ketebalan dari setiap lapisannya. 

 

Analisis Data 

 Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif yang disajikan dalam bentuk 

gambaran histologis dan ditabulasikan dalam bentuk rataan±simpangan baku. 

Ketebalan Lapisan Usus Besar Sapi Aceh 

Hasil pengamatan struktur histologis sekum, kolon, dan rektum sapi aceh, secara 

umum tidak berbeda dengan struktur histologis sekum, kolon, dan rektum pada ruminansia 

umumnya, yang tersusun atas empat lapisan yaitu tunika mukosa, submukosa, muskularis, 

dan serosa. Ketebalan pada masing-masing lapisan itu  dapat dilihat pada Tabel 1.  

      

berdasar  hasil pengolahan data didapatkan bahwa tunika mukosa, submukosa, 

muskularis, dan serosa rektum lebih tebal dibandingkan sekum dan kolon. Hal ini berkaitan 

dengan fungsi dan letak dari rektum, dimana rektum merupakan bagian paling ujung dari usus 

besar yang berfungsi sebagai tempat terjadinya penyerapan air dalam proses pembentukan 

feses dengan konsistensi yang lebih padat. Hal ini sesuai dengan pernyataan  menyatakan bahwa rektum merupakan salah satu 

bagian usus besar yang paling ujung yang berfungsi menyerap air, fermentasi sisa ingesta, dan 

pembentukan feses. Lapisan rektum yang lebih tebal berfungsi agar tidak terjadi kerusakan 

pada dinding usus, dan membantu dalam proses gerakan peristaltik untuk pengeluaran feses. 

Ketebalan di tunika mukosa rektum menandakan jumlah komponen-komponen pada tunika 

mukosa rektum lebih dari sekum dan kolon, salah satu komponen yang ada  pada tunika 

mukosa adalah kelenjar Lieberkuhn.  

Kelenjar Lieberkhun berfungsi menunjang perkembangan sel epitel dan sel Goblet, 

proses pergantian sel epitel itu  berlangsung secara berkesinambungan , Sel Goblet berfungsi memberikan perlindungan pada dinding serta permukaan 

usus, dan sebagai media untuk pertahanan parasit dengan cara mensekresikan mukus 

glikoprotein berbentuk gel ,

Salah satu sel pertahanan yang dijumpai pada tunika mukosa rektum adalah nodus 

limfatikus, merupakan masa jaringan limfe yang tidak memiliki kapsul. Jumlah nodus 

limfatikus sangat banyak di jaringan ikat membran mukosa yang melapisi saluran 

gastrointestinal. Sebagian besar nodus limfatikus berukuran kecil dan soliter, namun ada  

beberapa agregasi. Fungsi nodus limfatikus adalah sebagai filter atau tempat penyaringan 

benda asing, serta sebagai pertahanan seluler dengan menghasilkan limfosit T dan pertahanan 

humoral dengan menghasilkan limfosit B ,

 Tunika submukosa rektum merupakan lapisan paling tebal dibandingkan sekum dan 

kolon. Tunika submukosa rektum yang tebal memungkinkan memiliki komponen sel yang 

lebih banyak dibandingkan sekum dan kolon, salah satu komponen yang ada  pada tunika 

submukosa adalah jaringan ikat. Jaringan ikat berfungsi untuk merekatkan, mengikat, atau 

menghubungkan berbagai sel atau bangunan yang ada di dalam tubuh, sebagai media tempat 

pembuluh darah lewat untuk mendistribusikan berbagai bahan makanan pada organ yang 

bersangkutan dan mengangkut produk sisa metabolisme, serta sebagai barier untuk mencegah 

perjalanan kuman ,Tunika submukosa rektum yang tebal 

membantu fungsi tunika mukosa sebagai perlindungan, serta membatu tunika muskularis 

rektum menjalankan fungsi gerakan peristaltik dalam proses defekasi. 

Tunika muskularis rektum merupakan tunika muskularis yang lebih tebal 

dibandingkan sekum dan kolon, fungsi dari tunika muskularis yang tebal adalah membantu 

kontraksi dan relaksasi dari usus. Hal ini dibutuhkan karena konsistensi feses yang lebih padat 

dibandingkan bagian usus besar sebelumya seperti sekum dan kolon. Tunika serosa rektum 

memiliki ketebalan yang lebih tebal dibandingkan sekum dan kolon. Fungsi tunika serosa 

rektum sama dengan tunika submukosa yaitu memperkuat jaringan dan membantu gerakan 

peristaltik rektum.  

Secara umum ketebalan setiap lapisan sekum, kolon, dan rektum sapi aceh berbeda 

dengan sapi bali,  yang menyatakan bahwa sapi bali 

memiliki ketebalan lapisan usus besar yang lebih tebal dibandingkan sapi aceh. Perbedaan ini 

kemungkinan berkaitan dengan jenis pakan yang dikonsumsi, namun sejauh ini belum 

didapatkan referensi tentang apa sesungguhnya yang menyebabkan perbedaan ketebalan 

lapisan usus antara sapi aceh dan sapi bali. 

 

Struktur Histologis Sekum Sapi Aceh 

Tunika mukosa sekum sapi aceh tersusun dari tiga lapisan utama yaitu lamina epitelia, 

lamina propria, dan lamina muskularis mukosa. Lamina epitelia sekum sapi aceh terdiri dari 

epitel silindris selapis dan sel Goblet, pada lamina propria ditemukan jaringan ikat longgar, 

fibroblas, kelenjar Lieberkuhn, limfosit, dan sel Goblet, serta pada lamina muskularis mukosa 

ditemukan otot polos, yang berada paling ujung dari tunika mukosa. Tunika submukosa 

sekum tersusun dari jaringan ikat longgar, fibroblas, sel lemak, dan pembuluh darah. 

Komponen jaringan yang dijumpai pada tunika mukosa dan submukosa sekum sapi aceh juga 

dijumpai pada sapi bali pada kuda 

dan pada kambing 

Tunika muskularis terdiri dari otot polos yang tersusun transversal dan longitudinal, 

diantara kedua lapisan itu  ada  plexus saraf mienterikus, jaringan ikat, dan pembuluh 

darah. Tunika serosa merupakan lapisan paling luar yang terdiri dari jaringan ikat longgar, 

jaringan lemak, dan pembuluh darah.  pada sapi bali, dan , pada kambing menemukan komponen yang sama pada tunika muskularis dan serosa 

sapi aceh, namun  pada kerbau yang 

menyatakan bahwa pada tunika muskularis sekum kerbau hanya ada  otot polos 

transversal. Struktur histologis tunika mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa sekum sapi 

aceh disajikan pada Gambar 1.  

Gambar 1. Struktur histologis sekum sapi aceh. Struktur histologis sekum sapi aceh. A. Tunika mukosa sekum 

sapi aceh. Lamina epitelia (LE), Lamina propria (LP), kelenjar Lieberkuhn (KL), Lamina muskularis mukosa 

(LMM). B. Tunika submukosa sekum sapi aceh. Jaringan ikat (JI), Pembuluh darah (PD), Sel lemak (SL). C. 

Tunika muskularis sekum sapi aceh. Otot polos longitudinal (OPL), Otot polos transversal (OPT). D. Tunika 

serosa sekum sapi aceh. Kapiler (K). Pewarnaan HE, perbesaran 40 dan 100 kali. 

 

Struktur Histologis Kolon Sapi Aceh 

Tunika mukosa kolon tersusun atas lapisan yang sama dengan sekum dan rektum, 

namun pada tunika mukosa kolon memiliki kelenjar Lieberkuhn yang lebih panjang 

dibandingkan sekum dan rektum. Tunika submukosa kolon juga memiliki struktur yang sama 

dengan sekum dan rektum, namun pada kolon dijumpai jaringan ikat yang lebih tebal 

dibandingkan sekum. Struktur tunika mukosa dan submukosa kolon sapi aceh sama dengan 

tunika mukosa dan submukosa pada sapi bali 

pada kuda ,

Tunika muskularis kolon memiliki struktur yang sama dengan sekum, namun pada 

tunika muskularis kolon ditemui serat otot polos longitudinal yang lebih tebal dibandingkan 

sekum, dan pada tunika serosa kolon memiliki komponen yang sama dengan sekum dan 

rektum, namun tunika serosa kolon memiliki sel lemak yang lebih banyak dibandingkan 

sekum.  menemukan komponen yang sama pada tunika muskularis dan 

tunika serosa sapi bali. Struktur histologis tunika muskularis dan serosa  kolon sapi aceh 

disajikan pada Gambar 2. 

Gambar 4. Struktur histologis kolon sapi aceh. A.Tunika mukosa kolon sapi aceh. Lamina epitelia (LE), 

Limfosit (L), Lamina propria (LP), Kelenjar Lieberkuhn (KL), Lamina muskularis mukosa (LMM). B. Tunika 

submukosa kolon sapi aceh. Nodus limfatikus (NL), Jaringan ikat (JI), Pembuluh darah (PD). C.Tunika 

muskularis kolon sapi aceh. Otot polos longitudinal (OPL), Otot polos transversal (OPT). D. Tunika serosa 

kolon sapi aceh. Sel lemak (SL). Pewarnaan HE, perbesaran 100 kali.  

 

Struktur Histologis Rektum Sapi Aceh 

Tunika mukosa rektum memiliki komponen yang sama dengan tunika mukosa sekum 

dan kolon, namun kelenjar yang ada  pada tunika mukosa rektum berbentuk lebih pendek 

dibandingkan sekum dan kolon. Tunika submukosa rektum memiliki komponen yang sama 

dengan sekum dan kolon, namun pada tunika submukosa jaringan ikat dijumpai lebih tebal 

dibandingkan  sekum dan kolon. Komponen yang dijumpai pada tunika mukosa dan 

submukosa rektum pada sapi aceh sama dengan sapi bali,

Rektum memiliki struktur tunika muskularis yang sama dengan kolon, namun 

memiliki struktur yang berbeda dengan sekum, hal ini dikarenakan struktur dari otot polos 

longitudinal yang lebih tebal dibandingkan sekum. Tunika serosa rektum juga memiliki 

komponen yang sama dengan sekum dan kolon, yang terdiri dari jaringan ikat, pembuluh 

darah, dan sel lemak. Struktur tunika muskularis dan serosa rektum sapi aceh sama dengan 

tunika muskularis dan serosa pada sapi bali yang dilaporkan 

pada kuda ,Struktur histologis tunika 

muskularis dan tunika serosa disajikan pada Gambar 3.  

Gambar 5. Struktur histologis rektum sapi aceh. A. Tunika mukosa rektum sapi aceh. Lamina epitelia (LE), 

Limfosit (L), Kelenjar Lieberkuhn (KL), Lamina propria (LP), Lamina muskularis mucosa (LMM). B. Tunika 

submukosa rektum sapi aceh. Nodus limfatikus (NL), Pembuluh darah (PD), Jaringan ikat (JI). C. Tunika 

muskularis rektum sapi aceh. Otot polos longitudinal (OPL), Otot polos transversal (OPT). D. Tunika Serosa 

rektum sapi aceh. Sel lemak (SL). Pewarnaan HE, perbesaran 40 dan 100 kali. 

berdasar  hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa struktur histologis sekum, 

kolon, dan rektum sapi aceh memiliki lapisan yang sama, namun memiliki ketebalan yang 

berbeda pada tiap lapisan. Ketebalan lapisan berhubungan dengan fungsi dan letak dari usus 

besar, dimana rektum memiliki ketebalan lapisan yang lebih tebal dibandingkan sekum, dan 

kolon.