rabies 2
yang sebaiknya
diperhatikan dalam upaya melakukan pemberantasan
rabies karena anjing yaitu hospes utama penularan
rabies. Populasi anjing yang tidak terkendali akan
meningkatkan risiko penularan ke manusia dan
juga menimbulkan permasalahan lainnya, seperti
masalah (1) kesejahteraan hewan, (2) penyakit rabies
dan penyakit lainnya; (3) cedera melalui kecelakaan
lalu lintas; dan (4) permasalahan sosial lainnya yang
seperti keluhan dari warga dan rasa takut dari
warga terhadap gigitan anjing.
Program MPA komprehensif memiliki 8 komponen
yang berbeda yaitu (1) edukasi, (2) legislasi,
(3) registrasi dan identifikasi, (4) sterilisasi dan
kontrasepsi, (5) fasilitas penampungan sementara
dan pusat pengembalian hewan/satwa, (6)
pengendalian akses ke sumber makanan, (7)
vaksinasi dan perlakuan lainnya, dan (8) euthanasia.
Tergantung dengan situasi yang spesifik, komponen-
komponen di atas dibanyak kasus bisa dilakukan
secara bersamaan dan hal ini tidak perlu dilakukan
secara berurutan. Penjelasan lebih lanjut dari
8 komponen dari MPA ada pada lampiran
manajemen populasi anjing.
--- | 27
RENCANA
OPERASIONAL
PEMBERANTASAN RABIES
05
28 | ---
Bab 5
5.1 Tahapan
Pemberantasan
Pemberantasan rabies dilaksanakan secara bertahap
sesuai dengan kondisi penyakit dan sumber daya
yang ada di setiap daerah. Dalam pelaksanaannya,
sebelum pelaksanaan pemberantasan rabies dengan
pendekatan tahapan dan pendekatan zona, pada
tahap awal diperlukan adanya penetapan status
daerah.
5.1.1. Penetapan Status dan
Situasi Daerah
Sebelum pelaksanaan program pemberantasan
rabies di negara kita , diperlukan adanya penetapan
status dan situasi daerah yang dipakai untuk
membuat prioritisasi strategi pemberantasan rabies
setiap daerah. Menurut UU No. 18 Tahun 2009,
pemerintah menetapkan status daerah menjadi
daerah tertular, daerah terduga, dan daerah
bebas penyakit hewan menular, serta pedoman
pemberantasannya.
Secara keseluruhan, jumlah kabupaten/kota di
seluruh daerah tertular berjumlah 269 atau 47%
dari jumlah seluruh kabupaten/kota yang ada di
negara kita (469 kabupaten ditambah 98 kota) atau
72% dari jumlah kabupaten/kota di 26 provinsi
tertular. Lima belas provinsi (58%) mempunyai
kabupaten/kota yang tertular dengan persentase
80-100% dari seluruh jumlah kabupaten/kota
yang ada. Enam provinsi (23%) mempunyai jumlah
kabupaten/kota tertular 50-79% dari seluruh jumlah
kabupaten/kota di provinsi ini . Hanya lima
provinsi (19%) mempunyai jumlah kabupaten/kota
tertular 20-49% dari seluruh jumlah kabupaten/
kota di provinsi.
Rencana Operasional
Pemberantasan Rabies
Dengan melihat kondisi geografis negara kita
sebagai negara kepulauan dengan situasi rabies
yang berbeda di sejumlah daerah atau pulau, maka
strategi eliminasi rabies nasional akan memakai
pendekatan daerah (pulau) berdasar situasi
epidemiologinya.
berdasar data insidensi rabies pada manusia yang
terlaporkan per satu juta penduduk selama periode
2010-2018, maka seluruh wilayah negara kita dapat
dibagi menjadi:
1. daerah/wilayah tertular berat;
2. daerah/wilayah tertular sedang;
3. daerah/wilayah tertular ringan;
4. daerah/wilayah bebas terancam; dan
5. daerah/wilayah bebas.
Kriteria untuk daerah tertular berat, tertular sedang,
tertular ringan, bebas terancam dan bebas dapat
dilihat pada Tabel 1.
Perhitungan untuk penentuan kriteria daerah:
Jumlah penduduk / 1.000.000 orang /
kasus rabies pada manusia tertinggi (2010-2018)
Misal:
Jumlah penduduk di Sulawesi Utara = 2.461.000
jiwa.
Kasus rabies pada manusia tertinggi di Sulawesi
Utara pada periode 2010-2018 = 39.
Kriteria daerah tertular berat = 2.461.000 /
1.000.000 / 39 = 86 kasus (kisaran 51-150).
Penetapan status daerah tertular berat, sedang dan
ringan dihitung berdasar kriteria seperti yang
dimaksudkan dalam Tabel 6 di bawah ini dapat
dilihat pada Lampiran 7.
--- | 29
Tabel 1. Penetapan daerah/wilayah berdasar situasi rabies
No. Situasi Kriteria Provinsi/pulau
1 Daerah tertular
berat
Daerah dengan insidensi rabies pada
manusia yang terlaporkan lebih dari
51-150 kasus per satu juta penduduk*)
Sumatera Utara (Pulau Nias, Tapanuli Utara, Simalungun,
Humbang Hasudutan), Sulawesi Selatan (Gowa, Bone)
Riau, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Flores
dan Lembata), Kalimantan Barat (seluruh kabupaten), Bali
(seluruh kabupaten), Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara,
Maluku
2 Daerah tertular
sedang
Daerah dengan insidensi rabies pada
manusia yang terlaporkan lebih dari
16-50 kasus per satu juta penduduk*)
Jawa Barat (Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Cianjur dan Kota
Sukabumi), Lampung, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara
Barat (Dompu, Sumbawa), Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tenggara
3 Daerah tertular
ringan
Daerah dengan insidensi rabies pada
manusia yang terlaporkan kurang dari
1-15 kasus per satu juta penduduk*)
Aceh, Banten (Lebak dan Pandeglang), Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Bengkulu, Sulawesi
Barat, Maluku Utara, Gorontalo
4 Daerah bebas
terancam
Daerah yang dinyatakan bebas secara
resmi setelah eliminasi rabies berhasil
dilakukan, akan tetapi berada satu
pulau dengan daerah lain yang tertular
DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur
5 Daerah bebas Daerah yang rabies tidak pernah
terlaporkan paling tidak selama 25
tahun atau memiliki status bebas
historis (OIE Article 1.4.6.)
Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Papua, Papua
Barat
Catatan: *) berdasar data kasus rabies pada manusia tertinggi selama periode 2010-2018.
Gambar 6. Tahapan pemberantasan rabies
Evaluasi
Penilaian dan
penentuan
status
Identifikasi
sumber daya
manusia dan
finansial
Penentuan
strategi
pemberantasan
Implementasi
strategi
pemberantasan
Monitoring
Gambar 7 menunjukkan pemetaan daerah berdasar situasi rabies dengan kriteria pada seperti pada
Tabel 6 di atas.
Gambar 7. Pemetaan daerah berdasar situasi rabies dalam periode 2010-2018.
Daerah Tertular Berat
Daerah Tertular Sedang
Daerah Tertular Ringan
Situasi Rabies di negara kita
Daerah Bebas Terancam
Daerah Bebas
30 | ---
5.1.2 Implementasi Pendekatan
Tahapan dan Pendekatan
Zona dalam Pengendalian dan
Penanggulangan Rabies
Pelaksanaan program pengendalian dan
penanggulangan rabies menuju negara kita bebas
rabies 2030 dilaksanakan secara bertahap sesuai
dengan situasi dan kondisi rabies di daerah
(pendekatan zona) serta bagaimana sumberdaya
yang ada di daerah ini (pendekatan tahapan).
Dalam tahap awal pelaksanaan pembebasan rabies
perlu diketahui bagaimana kondisi dan status
terkini rabies di daerah ini . Selain deteksi
kasus, diperlukan juga adanya data dan situasi
terkait dengan sumber daya yang dimiliki setiap
daerah. Salah satu aspek yang paling penting
yaitu kapasitas untuk dapat melakukan vaksinasi
dan Takgit sehingga dapat mencegah penyebaran
penyakit.
Pembebasan rabies secara bertahap diperlukan
adanya penilaian resiko rabies di setiap daerah sebagai
dasar dalam penetapan prioritas lokasi pengendalian
menuju pembebasan yang dilaksanakan secara
bersama-sama antara pemerintah pusat dan daerah.
Wilayah negara kita dibagi menjadi 2 (dua) kategori
yaitu daerah tertular dan bebas.
Daerah tertular merupakan daerah di mana
ditemukan kasus penyakit rabies pada hewan
berdasar diagnosa klinis, epidemiologis, maupun
laboratoris. Untuk daerah tertular dapat dibagi
menjadi tiga berdasar tingkat insidensi penyakit
pada hewan, yaitu daerah tertular ringan, tertular
sedang, dan tertular berat. Daerah bebas merupakan
daerah yang tidak ditemukan kasus rabies selama
dua tahun terakhir. Daerah bebas berdasar
tingkat risikonya dapat dibagi menjadi daerah resiko
rendah dan resiko tinggi (bebas terancam).
Sampai dengan akhir tahun 2017, hanya sembilan
dari 34 provinsi di negara kita yang dinyatakan sebagai
daerah bebas rabies, di mana lima di antaranya
yaitu bebas secara historis (Kepulauan Riau,
bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat
dan Papua), sedangkan empat yang lain berhasil
dibebaskan (DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta
dan Jawa Timur) (Kementerian Kesehatan 2017).
Pada Bulan Maret tahun 2019, Provinsi Nusa
Tenggara Barat secara resmi dideklarasikan tertular
oleh penyakit rabies (Menteri Pertanian 2019).
Penerapan pendekatan zona secara nasional tidak
mudah untuk dilakukan dan mungkin saja memiliki
banyak kelemahan dan kurang akurat, oleh karena
itu perlu dikombinasikan dengan pendekatan
tahapan. Penetapan ini sangat tergantung kepada
hasil surveilans epidemiologi yang dilakukan sesuai
prosedur oleh masing-masing daerah. Pada saat
Masterplan ini dibuat, ada beberapa daerah
yang sudah melakukan surveilans awal untuk
penetapan prevalensi, tetapi masih banyak juga
daerah yang belum melakukan surveilans penetapan
status awal.
Kepulauan/pulau/provinsi dengan status
tidak diketahui
Status suatu daerah/kepulauan/pulau/provinsi
dianggap tidak diketahui apabila daerah ini
tidak mempunyai sistem untuk mendata kasus
rabies namun diduga kasus rabies pernah terjadi;
kasus rabies pada daerah ini diketahui hanya
didasarkan pada deskripsi/gejala klinis dari suatu
kasus (pada hewan atau manusia) tanpa adanya
konfirmasi laboratorium; kasus gigitan hewan
pembawa rabies (GHPR) di daerah ini jarang
sekali terkonfirmasi dengan insidensi/prevalensi
serta distribusinya yang tidak diketahui dengan
pasti; daerah ini tidak memilik laboratorium
terstandar sesuai aturan dalam negeri atau dengan
referensi internasional; serta tidak memiliki
pedoman pengendalian dan penanggulangan rabies
nasional atau jika tersedia, tidak diimplementasikan.
Pihak kesehatan hewan berwenang perlu
mengetahui insidensi kasus rabies pada dugaan kasus
GHPR melalui implementasi Takgit dan kegiatan
surveilans. Prevalensi Rabies harus diketahui melalui
implementasi Takgit dan tindak lanjut kasus gigitan
dan surveilans. Pemerintah perlu untuk memberikan
notifikasi kasus yang telah terkonfirmasi oleh
laboratorium terstandar (referensi international)
kepada WHO (kasus rabies pada manusia) dan OIE
(kasus rabies pada hewan).
Pada tahap selanjutnya, diperlukan penilaian
epidemiologi rabies secara lokal serta penyusunan
--- | 31
rencana aksi jangka pendek. Pada tahapan ini
pemerintah perlu melakukan penilaian terhadap
infrastruktur dan sumberdaya apa yang sudah ada
dan aktifitas apa yang telah dinisiasi. Pemerintah
pusat perlu memulai melakukan pendataan dan
analisa seperti jumlah kasus GHPR dan penilaian
strategi pengendalian dan penanggulangan di
wilayah ini . Selain itu, diperlukan inisiasi dan
pelaksanaan tindak lanjut dan investigasi dari suatu
laporan kasus ataupun laporan wabah. Hal lain yang
sangat penting yaitu pengumpulan informasi dan
pengembangan program jangka pendek (seperti
siapa saja pemangku kepentingan yang sebaiknya
terlibat) memahami kebutuhan yang diperlukan
(sumberdaya dan infrastruktur).
Lebih lanjut, pemerintah perlu untuk membentuk
satgas rabies lintas sektoral yang dibuktikan dengan
kerja sama lintas setoral secara regular. Semua
kasus rabies wajib dilaporkan dan dibuktikan
dengan catatan data kasus rabies pada hewan dan
manusia yang dapat dipercaya. Kesenjangan utama
pengendalian dan penanggulangan rabies dan
aktifitas apa yang harus dilakukan untuk mengatasi
hal ini (rencana jangka pendek) harus diketahui.
Surveilans dasar harus berjalan secara regular
yang disertai dengan vaksinasi massal pada anjing
dilakukan di beberapa wilayah. Stok atau persediaan
VAR cukup untuk penanganan korban gigitan HPR.
Strategi teknis ini harus didukung dengan
adanya peningkatan kesadaran di warga terkait
dengan rabies.
Kegiatan yang harus dilaksanakan pada daerah
dengan status tidak diketahui yaitu KIE, Takgit,
surveilans, investigasi kasus rabies dengan konfirmasi
laboratorium, membuat program pengendalian/
penanggulangan, serta identifikasi dukungan
regulasi.
Kepulauan/pulau/provinsi tertular berat
Pengembangan strategi pencegahan dan
pengendalian rabies harus dilakukan pada daerah
dengan status tertular berat. Strategi dimulai dengan
penerapan langkah-langkah pengendalian rabies
secara menyeluruh dalam suatu wilayah contoh atau
daerah dengan status tertular berat. berdasar
rencana jangka pendek, fokus kegiatan pada daerah
ini yaitu pengembangan kapasitas yang
dibutuhkan dan elaborasi standar operasional
prosedur atau protokol kegiatan. Penyelarasan
dan adaptasi yang komprehensif terhadap legislasi
nasional dan lokal diperlukan dalam rangka strategi
penanggulangan rabies nasional. Semua pemangku
kepentingan daerah harus dapat diidentifikasi dan
diketahui termasuk dalam hal pembagian pendanaan
(pembagian pendanaan oleh lokal, nasional dan
internasional). Selain fokus pada kegiatan ini ,
sebagian besar kegiatan pada tahap 1 harus terus
dilanjutkan dan dikembangkan.
Pemerintah harus dapat memberikan dukungan,
terutama dalam hal pendanaan untuk menjalankan
implementasi strategi.Kegiatan yang harus
dilaksanakan pada daerah dengan status tertular
berat yaitu KIE, Takgit, vaksinasi, pengawasan lalu
lintas hewan, surveilans, manajemen populasi anjing
(MPA), investigasi kasus rabies dengan konfirmasi
laboratorium, penelusuran sumber penularan kasus,
dan kaji ulang program setiap tahun. Jenis vaksinasi
yang harus dilakukan yaitu vaksinasi massal,
vaksinasi darurat, dan vaksinasi penyisiran/sweeping.
Vaksinasi massal harus dilakukan untuk mengurangi
rantai penularan kasus dan harus disertai dengan
vaksinasi darurat dalam menanggapi semua kasus
dan wabah rabies. Vaksinasi penyisiran/sweeping
juga harus dilaksanakan untuk menjaga cakupan
vaksinasi dan kekebalan kelompok masih berada
pada level yang tinggi. Hal ini harus didukung dengan
tersedianya VAR yang cukup dan dapat diakses di
seluruh wilayah. Kampanye kesadaran terhadap
rabies harus dilakukan secara nasional dan dapat
mencakup seluruh wilayah.
Kepulauan/pulau/provinsi tertular sedang
Seperti pada daerah tertular berar, pada daerah
dengan status tertular sedang, implementasi strategi
pengendalian dan penanggulangan rabies harus
dilakukan sepenuhnya ke seluruh wilayah. Semua
pemangku kepentingan harus mempunyai kesadaran
yang tinggi dan terlibat dalam pelaksanaan
pengendalian dan penanggulangan rabies secara
nasional. Koordinasi dan komunikasi secara
rutin harus dilakukan untuk bertukar informasi
dan mengevaluasi kemajuan pengendalian dan
penanggulangan rabies antara tingkat pusat dan
daerah, serta antar sektoral terkait.
Target selanjutnya yang wajib dicanangkan pada
daerah tertular ringan yaitu tidak adanya kasus
32 | ---
kematian manusia karena rabies selama 12 bulan
berturut-turut. Hal ini harus didukung dengan
dokumentasi bukti kampanye vaksinasi pada anjing
yang sesuai dengan strategi pengendalian dan
penanggulangan rabies nasional serta tersedianya
VAR yang dapat diakses di seluruh wilayah dengan
jumlah yang cukup. Dokumentasi kampanye edukasi
kepada publik juga harus dilakukan sesuai dengan
strategi pengendalian dan penanggulangan rabies
nasional.
Kegiatan yang harus dilaksanakan pada daerah
dengan status tertular sedang yaitu KIE, Takgit,
vaksinasi massal, pengawasan lalu lintas hewan,
surveilans, manajemen populasi anjing (MPA),
investigasi kasus rabies dengan konfirmasi
laboratorium, penelusuran sumber penularan kasus,
dan kaji ulang program setiap tahun.
Kepulauan/pulau/provinsi tertular ringan
Implementasi strategi pengendalian dan
penanggulangan rabies di daerah dengan status
ringan harus difokuskan pada wilayah dengan
risiko tinggi. Semua pemangku kepentingan harus
mempunyai kesadaran yang tinggi dan terlibat dalam
pelaksanaan pengendalian dan penanggulangan
rabies secara nasional. Koordinasi dan komunikasi
secara rutin harus dilakukan untuk bertukar
informasi dan mengevaluasi kemajuan pengendalian
dan penanggulangan rabies antara tingkat pusat dan
daerah, serta antar sektoral terkait.
Walaupun sudah tidak ada kasus rabies yang
terjadi pada manusia, upaya pengendalian dan
penanggulangan rabies pada anjing harus terus
dilaksanakan. Hal ini harus disertai dengan
dokumentasi bukti kampanye vaksinasi pada anjing
yang sesuai dengan strategi pengendalian dan
penanggulangan rabies nasional serta tersedianya
VAR yang dapat diakses di seluruh wilayah dengan
jumlah yang cukup. Dokumentasi kampanye edukasi
kepada publik juga harus dilakukan sesuai dengan
strategi pengendalian dan penanggulangan rabies
nasional. Selain itu, harus dilakukan tahapan verifikasi
terkait dengan efektivitas strategi pemberantasan
rabies secara nasional dan pembuatan rencana
pasca-pemberantasan.
Dari kegiatan-kegiatan ini , diharapkan tidak
ada lagi kasus pada anjing atau hewan lainnya selama
12 bulan berturut-turut. Pada tahap selanjutnya,
perlu dilakukan deklarasi dan publikasi hasil data yang
terverifikasi tentang tidak adanya kasus rabies antar
anjing. Bukti tentang langkah-langkah yang efektif
untuk mencegah re-introduksi dan penyebaran lebih
lanjut dari rabies harus didokumentasikan yang
disertai dengan rekaman yang telah diperbaharui
terkait epidemiologi rabies dapat diakses oleh semua
pihak terkait.
Kegiatan yang harus dilaksanakan pada daerah
dengan status tertular ringan yaitu KIE, Takgit,
vaksinasi darurat, pengawasan lalu lintas hewan,
surveilans, manajemen populasi anjing (MPA), dan
mempertahankan investigasi kasus rabies dan
penelusuran sumber penularan kasus.
Kepulauan/pulau/provinsi bebas
Pada daerah bebas, diperlukan adanya monitoring
kasus rabies anjing ke anjing dan anjing ke
manusia. Strategi nasional untuk periode pasca-
Tabel 2. Tahap pengendalian dan penanggulangan dan deskripsi situasi rabies
Status
daerah
Tahap Pengendalian
dan Penanggulangan
Deskripsi situasi Situasi yang dituju untuk tahap selanjutnya
Status
tidak
diketahui
Tahap 0: Situasi tidak
diketahui
• Tidak ada sistem untuk mendata
kasus, diduga kasus rabies pernah
terjadi
• Kasus rabies hanya didasarkan pada
deskripsi klinis
• Kasus gigitan jarang sekali
terkonfirmasi, dan insidensi/
prevalensi serta distribusinya tidak
diketahui secara pasti
• Tidak memilik laboratorium terstandar
nasional atau internasional
• Tidak memiliki pedoman pengendalian
dan penanggulangan atau jika tersedia,
tidak diimplementasikan
• Perlu mengetahui insidensi kasus rabies pada
dugaan kasus GHPR melalui implementasi
Takgit dan kegiatan surveilans
• Prevalensi rabies diketahui melalui
implementasi TAKGIT dan tindak lanjut kasus
gigitan dan surveilans
KUNCI:
Memberikan notifikasi kasus yang telah
terkonfirmasi oleh laboratorium terstandar
(referensi international) kepada WHO (kasus
rabies pada manusia) dan OIE (kasus rabies pada
hewan)
--- | 33
Status
daerah
Tahap Pengendalian
dan Penanggulangan
Deskripsi situasi Situasi yang dituju untuk tahap selanjutnya
Status
tidak
diketahui
Tahap 1:
Penilaian
epidemiologi rabies
lokal, rencana aksi
jangka pendek
• Pemerintah menilai infrastruktur dan
sumber daya apa yang sudah ada dan
aktifitas apa yang telah dinisiasi
• Pemerintah pusat mulai melakukan
pendataan dan analisa jumlah
kasus GHPR dan penilaian strategi
pengendalian dan penanggulangan di
wilayah ini
• Pemerintah melakukan inisiasi
dan pelaksanaan tindak lanjut dan
investigasi laporan kasus atau wabah
• Mengumpulkan informasi dan
mengembangkan program jangka
pendek dan memahami kebutuhan
yang diperlukan (sumberdaya dan
infrastruktur)
Pemerintah membentuk satgas rabies lintas
sektoral, dan semua kasus rabies wajib dilaporkan
KUNCI:
• Bukti terbentuknya satgas rabies lintas
sektoral yang bekerja secara reguler
• Data kasus rabies pada hewan dan manusia
• Tantangan utama pengendalian dan
penanggulangan rabies dan solusinya diketahui
(rencana jangka pendek)
• Surveilans dasar berjalan secara regular
• Vaksinasi massal pada anjing dilakukan
dibeberapa wilayah
• VAR tersedia di beberapa wilayah
• Peningkatan kesadaran warga terkait
rabies
Tertular
berat
Tahap 2:
Pengembangan
strategi pencegahan
& pengendalian
rabies
• Pengembangan strategi pencegahan
dan pengendalian rabies nasional
• Penerapan langkah-langkah
pengendalian rabies secara
menyeluruh
• berdasar rencana jangka pendek,
fokus kegiatan yaitu pengembangan
kapasitas yang dibutuhkan dan
elaborasi SOP atau protokol
• Penyelarasan dan adaptasi yang
komprehensif terhadap legislasi
nasional dan lokal
• Semua pemangku kepentingan
diidentifikasi dan diketahui termasuk
dalam pembagian pendanaan
• Sebagian besar kegiatan pada tahap 1
terus berlanjut dan berkembang
Pemerintah memberikan dukungan dan
pendanaan dalam melakukan implementasi
strategi
KUNCI :
• Kontrol rabies nasional dan strategi
pencegahan disahkan dan pendanaan telah
ditetapkan
• Data epidemiologis pada hewan dan manusia
rabies, termasuk catatan GHPR dari seluruh
wilayah tersedia, teratur disusun dan dapat
diakses
• Vaksinasi dilakukan dalam menanggapi semua
kasus wabah
• VAR dapat diakses di seluruh negara
• Kampanye kesadaran rabies dilakukan secara
nasional
Tertular
sedang
dan
tertular
ringan
Tahap 3:
Implementasi Strategi
Pemberantasan
rabies
• Strategi pemberantasan rabies
nasional dilaksanakan sepenuhnya
• Semua pemangku kepentingan sadar
dan terlibat dalam pelaksanaan
pemberantasan rabies nasional
• Koordinasi rutin untuk bertukar
informasi dan mengevaluasi kemajuan
pengendalian dan pemberantasan
rabies antara tingkat pusat dan daerah,
serta antar sektoral
Tidak ada kematian manusia karena rabies selama
12 bulan berturut-turut
KUNCI:
• Dokumentasi bukti kampanye vaksinasi
pada anjing yang sesuai dengan strategi
pemberantasan rabies nasional
• VAR dapat diakses di seluruh daerah dengan
jumlah yang cukup
• Bukti kampanye edukasi publik dilakukan
sesuai dengan strategi pemberantasan rabies
nasional
• Tidak ada kematian manusia karena rabies
selama 12 bulan berturut-turut
34 | ---
Status
daerah
Tahap Pengendalian
dan Penanggulangan
Deskripsi situasi Situasi yang dituju untuk tahap selanjutnya
Tertular
ringan
Tahap 4:
Mempertahankan
bebas rabies pada
manusia, eliminasi
rabies pada anjing
• Pengembangan strategi pencegahan
dan pengendalian rabies nasional
• Mempertahankan tidak ada kasus
rabies di manusia dan melakukan
upaya pemberantasan rabies pada
anjing
• Melakukan tahapan verifikasi
efektivitas strategi pemberantasan
rabies secara nasional dan pembuatan
rencana pasca-pemberantasan.
Tidak ada penularan antar anjing selama 12 bulan
berturut-turut
KUNCI
• Tidak ada kasus yang dilaporkan pada anjing
• Melakukan deklarasi dan mempublikasikan
hasil data yang terverifikasi tentang tidak
adanya kasus rabies antar anjing
• Bukti tentang langkah-langkah yang efektif
untuk mencegah re-introduksi dan penyebaran
lebih lanjut dari rabies
• Rekaman yang terlah diperbaharui terkait
epidemiologi rabies dapat diakses
Bebas
dan bebas
terancam
Tahap 5:
Bebas penularan
rabies dari manusia
dan anjing yang
dimonitor
• Melakukan monitoring kasus rabies
anjing ke anjing dan anjing ke manusia
• Strategi nasional untuk pasca-
pemberantasan dijabarkan dan
disempurnakan termasuk protokol
untuk implementasi.
BEBAS RABIES
• Mempertahankan tidak ada kasus manusia dan
anjing (kecuali impor)
• Menjaga tidak ada kasus rabies anjing selama
12 bulan berturut-turut
• Melakukan deklarasi dan mempublikasikan
hasil data yang terverifikasi tentang tidak
adanya kasus tranmisi antar anjing ditingkat
nasional
• Strategi Nasional untuk mempertahankan
status bebas rabies anjing disahkan, didanai,
dan dikomunikasikan dan sepenuhnya
dilaksanakan
Penentuan prioritisasi strategi teknis pemberantasan rabies yang akan dilakukan harus didasarkan
kepada kondisi dari situasi penyakit dan juga sumber daya yang dipunyai oleh daerah ini , baik
sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Strategi pemberantasan yang penting yang
harus dilaksanakan yaitu Takgit, vaksinasi, dan KIE.
Pe
ny
ak
it
Takgit
Vaksinasi darurat dan sweeping
KIE
Takgit
Vaksinasi massal
KIE
Takgit
Vaksinasi massal
KIE
Takgit
Vaksinasi darurat dan sweeping
KIE
Gambar 8. Prioritisasi strategi pemberantasan rabies
Sumber daya
--- | 35
Alur diagram yang menggambarkan operasional kegiatan yaitu sebagai berikut:
Penentuan Status
(untuk daerah dengan
status tidak diketahui)
Waktu Status Daerah Strategi yang Dilakukan
Tertular Berat
Tertular Sedang
Tertular Ringan
Bebas Terancam
dan Bebas
1. KIE
2. Takgit
3. Surveilans
4. Investigasi kasus rabies dengan
konfirmasi laboratorium
5. Buat program pengendalian/
pemberantasan
6. Dukungan regulasi
1. KIE
2. Takgit
3. Vaksinasi massal, darurat, dan sweeping
4. Pengawasan lalu lintas hewan
5. Surveilans
6. Manajemen Populasi Anjing (MPA)
7. Investigasi kasus rabies dengan
konfirmasi laboratorium
8. Penelusuran sumber penularan kasus
9. Kaji ulang program setiap tahun
1. KIE
2. Takgit
3. Vaksinasi massal
4. Pengawasan lalu lintas hewan
5. Surveilans
6. MPA
7. Investigasi kasus rabies dengan
konfirmasi laboratorium
8. Penelusuran sumber penularan kasus
9. Kaji ulang program setiap tahun
1. KIE
2. Takgit
3. Vaksinasi darurat
4. Pengawasan lalu lintas hewan
5. Surveilans
6. MPA
7. Pertahankan investigasi kasus rabies dan
penelusuran sumber penularan
1. KIE
2. Takgit
3. Vaksinasi
4. Pengawasan lalu lintas hewan
5. MPA
Gambar 9. Tahapan pemberantasan rabies di negara kita
36 | ---
pemberantasan perlu dijabarkan dan disempurnakan
untuk dilaksanakan. Perlu untuk terus menjaga tidak
ada kasus rabies anjing selama 12 bulan berturut-
turut dalam rangka mempertahankan tidak ada
kasus manusia dan anjing (kecuali impor). Deklarasi
dan publikasi hasil data yang terverifikasi tentang
tidak adanya kasus tranmisi antar anjing di tingkat
nasional harus dilaksanakan. Strategi Nasional
untuk mempertahankan status bebas rabies
anjing disahkan, didanai, dan dikomunikasikan dan
sepenuhnya dilaksanakan.
Kegiatan yang harus dilaksanakan pada daerah
dengan status tertular ringan yaitu KIE, Takgit,
vaksinasi sweeping, pengawasan lalu lintas hewan,
dan manajemen populasi anjing (MPA).
5.2 Sumber Daya
Manusia dan Dana
Pelaksanaan program pemberantasan rabies
akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh
tersedianya sumber daya manusia (SDM) dan dana
yang mencukupi. SDM berlatar belakang kesehatan
hewan, seperti dokter hewan dan paramedis
kesehatan hewan diperlukan untuk kegiatan-
kegiatan yang bersifat teknis seperti vaksinasi,
surveilans, respon cepat dan penanganan hewan
suspek, evaluasi diagnostik, pengawasan lalu lintas,
dan MPA. SDM lain dapat berperan di dalam kegiatan
non-teknis, seperti tim logistik, tim komunikasi, data
encoder, dan tim survei pasca vaksinasi. Untuk
meningkatkan percepatan program pemberantasan
rabies di negara kita , diperlukan adanya peningkatan
SDM terkait dengan pemberantasan rabies.
Biaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan
program pemberantasan rabies menuju pembebasan
tidaklah sedikit. Pemerintah pusat harus
mengalokasikan biaya untuk pemberantasan dengan
jumlah yang besar namun tidak dapat memenuhi
seluruh biaya yang dibutuhkan untuk implementasi
Pemberantasan di seluruh daerah endemis di
negara kita sekaligus. Komitmen dana dan politik
dari pemerintah daerah merupakan sumber utama
untuk pelaksanaan kegiatan yang membutuhkan
Tabel 3. Sumber pembiayaan untuk implementasi pemberantasan rabies
No Kategori
Sumber Pendanaan Pemerintah
Sumber lainnya
Pusat Provinsi Kabupaten/Kota
1 Rapat Koordinasi
Nasional √ √ √ √
Provinsi √ √ √ √
Kabupaten/kota √ √ √ √
2 Vaksin dan vaksinasi
Vaksin √ √ √ √
Logistik √ √ √ √
Operasional √ √ √ √
Peningkatan kapasitas √ √ √ √
3 Surveilans
Antigen √ √ √ √
Peralatan √ √ √ √
Operasional √ √ √ √
4 Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Media √ √ √ √
Operasional √ √ √ √
5 Monitoring dan Evaluasi √ √ √ √
--- | 37
sumber dana dan sumber daya demikian juga untuk
menjamin keberlangsungan kegiatan pemberantasan
rabies yang dapat menelan dana dan waktu yang
tidak sedikit.
Pembiayaan untuk implementasi strategi
pemberantasan rabies bisa berasal dari berbagai
organisasi/kelembagaan sesuai dengan tingkatan
hirarkinya. Sumber pembiayaan pemerintah bisa
diperoleh dari APBN (termasuk Dana Desa), APBD
Provinsi, maupun APBD Kabupaten/Kota. Sumber
pembiayaan lainnya bisa diperoleh dari swasta.
Selain itu terbuka juga peluang untuk memperoleh
pembiayaan dari organsiasi internasional ataupun
dari lembaga/negara donor. Tabel di bawah ini
memuat pembagian peran dan tanggung jawab dalam
pembiayaan pemberantasan rabies di negara kita .
5.3 Kelembagaan,
Pengorganisasian,
dan Manajemen
5.3.1 Kelembagaan
Kapasitas teknis yang dimiliki oleh kelembagaan
yang berperan dan bertanggung jawab
merupakan elemen kunci dalam merancang dan
mengimplementasikan program pemberantasan
rabies. Begitu juga kemampuan kelembagaan dalam
menyediakan anggaran jangka panjang, fasilitas
laboratorium yang memadai, dan sumber daya
manusia yang kompeten.
Beberapa aspek kelembagaan yang perlu
Penggunaan BTT
untuk merespon
wabah/KLB
Kejadian
kasus rabies
terkonfirmasi
laboratorium
Pelaporan data
dan dokumen
teknis terkait
kasus oleh Dinas
Teknis kepada
Sekretariat
Daerah
Pengajuan Surat
Keputusan
terjadinya
wabah/KLB
rabies kepada
Kepala Daerah
Surat Keputusan
terjadinya
wabah/KLB oleh
Kepala Daerah
Pengajuan dana
Belanja Tidak
Terduga (BTT)
kepada BPBD
Gambar 10. Akses dana BTT untuk respon wabah penyakit zoonotik
diperhatikan dalam pemberantasan rabies yaitu
sebagai berikut:
6. Pengorganisasian, administrasi, koordinasi
dan supervisi seluruh kegiatan program,
serta interaksi dan komunikasi yang efektif
antar seluruh pemangku kepentingan
(stakeholder) yang terlibat merupakan aspek
esensial dalam program pemberantasan
rabies.
7. Pembentukan tim koordinasi dan penunjukan
pejabat pemerintah pemerintah sebagai
koordinator atau penanggung jawab program
merupakan yang yang sangat membantu
dalam pencapaian sasaran, terutama
pada kondisi di mana politik kelembagaan
negara kita terdesentralisasi.
8. Peran dan tanggung jawab berbagai
kelembagaan terkait (pusat/regional/lokal)
harus jelas, dipahami oleh masing-masing
kelembagaan, dan harus diperkuat.
9. Kerja sama antar kelembagaan yang
terlibat dalam pemberantasan rabies
menjadi sangat penting dan masing-masing
kelembagaan harus berkomitmen secara
aktif dan berkontribusi secara penuh dalam
implementasi semua kegiatan.
10. Alur data, informasi, dan komunikasi antar
kelembagaan harus dibangun secara efektif.
11. Kapasitas diagnostik laboratorium harus
terus-menerus ditingkatkan, terutama
jaminan kualitas termasuk standardisasi
prosedur pengujian dan reagen diagnostik.
12. Kapasitas epidemiologi yang memadai harus
dimiliki di semua tingkatan (pusat/regional/
lokal) untuk bisa menilai dan mengukur
Sumber pendanaan lain dapat diakses apabila suatu daerah memerlukan anggaran dalam respon terhadap suatu
wabah/kejadian luar biasa (KLB) di daerah ini , antara lain Dana Desa dan Belanja Tidak Terduga (BTT).
38 | ---
indikator kemajuan program pemberantasan.
13. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi
berkesinambungan untuk mengkaji ulang
efektivitas dari implementasi kegiatan
program harus dijalankan untuk memastikan
adaptasi apabila diperlukan.
5.3.2 Pengorganisasian dan
Manajemen
Dalam implementasi strategi pemberantasan
rabies, Direktorat Kesehatan Hewan yaitu otoritas
veteriner nasional yang memegang peranan penting
dalam pengorganisasian dan mengelola program
pemberantasan di seluruh wilayah negara kita .
Seluruh otoritas veteriner nasional harus bekerja
sama dengan dinas berwenang yang membidangi
fungsi kesehatan hewan di tingkat provinsi yang
mengarahkan dan memimpin implementasi
strategi dan mengelola program pemberantasan
di wilayahnya. Sedangkan dinas berwenang yang
membidangi fungsi kesehatan hewan di kabupaten
dan kota memegang peranan utama dalam
merencanakan, mengkonsolidasi, dan mengelola
program, serta memobilisasi sumber daya di
lapangan.
Selain itu, dalam implementasi strategi
pemberantasan rabies, Direktorat Kesehatan
Hewan juga perlu melibatkan pihak-pihak terkait,
terutama jajaran Badan Karantina Pertanian sampai
ke daerah, terutama dalam pengendalian lalu lintas
ternak. Pelibatan sektor dan kementerian lainnya,
seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian
Dalam Negeri sangat dibutuhkan dalam upaya
pemberantasan rabies dengan pendekatan One
Health di mana kolaborasi, koordinasi, dan komunikasi
merupakan aspek utama dalam pendekatan ini.
Organisasi dan kelembagaan yang berperan penting
dalam pembebasan rabies yaitu sebagai berikut:
1. Kementerian Pertanian
a. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan
1) Direktorat Kesehatan Hewan
2) Direktorat Kesehatan Masyarakat
Veteriner
3) Balai / Balai Besar Veteriner (BVet/
BBvet)
4) Pusat Veteriner Farma (Pusvetma)
5) Balai Besar Pengujian Mutu
dan Standardisasi Obat Hewan
(BBPMSOH)
b. Badan Karantina Pertanian
1) Pusat Karantina Hewan
2) Balai Besar Karantina Pertanian kelas
I/II
3) Stasiun Karantina Pertanian
c. Balai Besar Penelitian Veteriner
(BBLITVET)
2. Kelembagaan dan Institusi lain
a. Kementerian Koordinator
b. Kementerian Kesehatan
c. Kementerian Dalam Negeri
d. Kementerian Keuangan
e. Kementerian Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi
f. TNI/POLRI
g. BNPB dan BPBD
3. Pemerintah Daerah
a. Pimpinan Daerah
--- | 39
b. Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan di
provinsi
1) Laboratorium kesehatan hewan
provinsi
c. Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan di
kabupaten/kota
1) Laboratorium kesehatan hewan
kabupaten/kota
2) Puskeswan di kecamatan
d. Dinas Kesehatan provinsi dan kabupaten/
kota
e. BPBD
Pembentukan Satuan Tugas (Satgas)
Untuk mewujudkan koordinasi dan komunikasi yang
efektif sebagaimana diperlukan di atas, perlu dibentuk
adanya Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Rabies
mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat kabupaten/
kota. Satgas dibentuk berdasar surat keputusan
resmi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah
di masing-masing tingkatan. Untuk tingkat pusat,
satgas didasarkan kepada surat keputusan Menteri
Pertanian, di tingkat provinsi oleh gubernur, dan
tingkat kabupaten/kota oleh bupati/wali kota.
Satgas di tingkat pusat terdiri atas perwakilan dari
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, BBVet/BVet, Pusvetma, dan Badan
Karantina Pertanian. Satgas ini juga bertindak
sebagai komite pengarah dari implementasi strategi
pemberantasan rabies secara nasional dengan
melibatkan tenaga ahli, baik dari lembaga penelitian,
perguruan tinggi, Perhimpunan Dokter Hewan
negara kita (PDHI), dan/atau lembaga non pemerintah
lainnya.
Satgas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terdiri
atas perwakilan dari dinas berwenang, laboratorium
kesehatan hewan, karantina pertanian, dan asosiasi
di bidang kesehatan hewan. Satgas di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota melaksanakan rapat koordinasi
paling tidak dua kali dalam setahun. Sedangkan di
tingkat pusat, rapat koordinasi paling tidak dilakukan
sekali dalam setahun. Pada saat diperlukan, tenaga
ahli dari lembaga penelitian dan/atau perguruan
tinggi dapat diikutsertakan dalam rapat koordinasi di
tingkat pusat.
Gambar 11. Pembagian tugas Gugus Kerja Rabies
40 | ---
Pembentukan Gugus Kerja Rabies
Pengelolaan program dan koordinasi teknis
merupakan garis komando teknis yang dibentuk
di tingkat provinsi dan kabupaten kota dalam
pelaksanaan program pemberantasan. Pada
dasarnya PPKT dibuat dengan tujuan untuk membagi
peran dan tanggung jawab teknis dalam program
pemberantasan rabies sehingga diharapkan dapat
berjalan dengan efektif dan efisien.
Pengelolaan program dan koordinasi teknis
dikomandoi oleh seorang koordinator yang juga
seorang kepala Dinas atau pejabat lainnya yang
ditunjuk oleh kepala Dinas melalui surat keputusan.
Koordinator ini akan membawai 5 koordinator yaitu
koordinator pelaksanaan vaksinasi, koordinator
KIE, koordinator reaksi cepat (pelaporan kasus
gigitan), koordinator tim survey pasca vaksinasi dan
koordinator logistik.
Bagan dari pengelolaan gugus kerja rabies dapat
dilihat pada gambar dibawah ini:
Peran dan Tanggung Jawab Organisasi/
Lembaga
Peran dan tanggung jawab masing-masing organisasi/
kelembagaan pada tingkat pusat dan daerah dapat
dilihat dari uraian sebagai berikut.
Peran dan tanggung jawab Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan
Peran dan tanggung jawab Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan yaitu sebagai
berikut:
1. Membuat pedoman nasional yang ditetapkan
melalui Keputusan Menteri Pertanian
2. Membuat surat edaran ke provinsi
3. Melakukan koordinasi dan komunikasi
dengan instansi terkait (jajaran karantina dan
komisi nasional)
4. Melaksanakan rapat koordinasi tingkat
nasional setiap tahun dan apabila diperlukan
melibatkan lembaga penelitian, perguruan
tinggi, dan organisasi kelembagaan swasta
terkait
5. Melaksanakan peningkatan kapasitas dalam
bentuk pelatihan dan lokakarya
6. Membuat analisa epidemiologi dan kajian
kerugian ekonomi terkait rabies secara
nasional
7. Menyiapkan pembiayaan untuk vaksin,
antigen, operasional vaksinasi, operasional
diagnostik, dan surveilans
8. Menyiapkan materi dan sarana untuk
peningkatan komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE)
9. Melaksanakan surveilans aktif untuk
pembuktian status bebas suatu daerah dan
pelaporannya
10. Menerbitkan sertifikat bebas rabies
11. Melakukan monitoring dan evaluasi program
pemberantasan rabies
Peran dan tanggung jawab dinas berwenang di
tingkat provinsi
Peran dan tanggung jawab dinas berwenang yang
membawahi bidang kesehatan hewan di tingkat
provinsi yaitu sebagai berikut:
1. Membuat petunjuk pelaksanaan (juklak)
berdasar pedoman nasional yang
ditetapkan dengan keputusan gubernur
2. Membuat surat edaran ke kabupaten/kota
3. Melaksanakan koordinasi dan komunikasi
dengan instansi terkait
4. Membuat rencana pemberantasan dan
analisa epidemiologi dan ekonomi
5. Membentuk tim pemberantasan
6. Melaksanakan rapat koordinasi tingkat
provinsi dua kali setahun
7. Menerbitkan surat keterangan kesehatan
hewan (SKKH) dengan lampiran surat
keterangan vaksinasi rabies untuk HPR yang
akan dilalulintaskan antar provinsi
8. Melaksanakan peningkatan kapasitas berupa
pelatihan dan lokakarya
9. Menyiapkan pembiayaan untuk vaksin,
antigen, operasional vaksinasi, dan
operasional surveilans
10. Menyiapkan materi dan sarana untuk
peningkatan KIE
11. Melaksanakan operasionalisasi peningkatan
KIE
--- | 41
12. Melaksanakan monitoring dan evaluasi
Peran dan tanggung jawab dinas berwenang di
tingkat kabupaten/ kota
Peran dan tanggung jawab dinas berwenang yang
membawahi bidang kesehatan hewan di tingkat
kabupaten/kota yaitu sebagai berikut:
1. Membuat petunjuk teknis (juknis)
berdasar pedoman nasional yang
ditetapkan dengan keputusan gubernur
2. Melaksanakan koordinasi dan komunikasi
dengan instansi terkait
3. Membuat rencana operasional
pemberantasan dan analisa epidemiologi dan
ekonomi
4. Membentuk tim pengendalian dan
penanggulangan
5. Melaksanakan rapat koordinasi tingkat
kabupaten
6. Menerbitkan surat keterangan kesehatan
hewan (SKKH) dengan lampiran surat
keterangan vaksinasi rabies untuk HPR yang
akan dilalulintaskan antar kabupaten
7. Melaksanakan peningkatan kapasitas berupa
pelatihan dan lokakarya
8. Menyiapkan pembiayaan untuk vaksin,
antigen, operasional vaksinasi, dan
operasional surveilans
9. Menyiapkan materi dan sarana untuk KIE
10. Melaksanakan operasionalisasi peningkatan
KIE
11. Melaksanakan monitoring dan evaluasi
Peran dan tanggung jawab karantina hewan
Peran dan tanggung jawab karantina hewan yaitu
sebagai berikut:
1. Membuat pedoman karantina dan
pengendalian lalu lintas terkait dengan
pedoman nasional pengendalian dan
penanggulangan rabies
2. Melakukan koordinasi dan komunikasi
dengan instansi terkait
3. Memeriksa SKKH untuk semua HPR
yang dilalu-lintaskan
4. Melakukan koordinasi dan komunikasi
dengan dinas berwenang
5. Menyiapkan materi dan sarana untuk
peningkatan KIE
6. Melaksanakan monitoring dan evaluasi
Peran dan tanggung jawab kelembagaan non-
pemerintah
Peran dan tanggung jawab kelembagaan non-
pemerintah yaitu sebagai berikut:
1. Melakukan penandatanganan nota
kesepahaman dengan pemerintah dan
pemerintah daerah untuk kerja sama dan
mengembangkan program yang sinergis
2. Melakukan sosialisasi program pengendalian
dan penanggulangan rabies ke perangkat
organisasi di bawahnya
3. Melakukan koordinasi dan komunikasi
dengan pemerintah dan pemerintah daerah
4. Membantu pelaksanaan operasional
program pengendalian dan penanggulangan
rabies sesuai dengan nota kesepahaman
5. Membantu menyiapkan pembiayaan untuk
vaksin, antigen, operasional vaksinasi, dan
operasional surveilans
6. Membantu menyiapkan materi dan sarana
untuk peningkatan KIE
5.4 Pelibatan Pihak
Terkait
Untuk mendukung program pengendalian dan
penanggulangan rabies, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah perlu melibatkan tenaga ahli
dari berbagai pihak seperti lembaga penelitian,
universitas, lembaga internasional, dan LSM terutama
dalam upaya melaksanakan peningkatan kapasitas
dalam bentuk pelatihan dan/atau lokakarya. Selain
itu juga perlu melibatkan pihak swasta seperti LSM,
organisasi profesi dan pihak swasta lainnya sesuai
dengan perannya masing-masing.
5.5 Sistem Informasi
Sistem informasi kesehatan hewan (iSIKHNAS)
merupakan sub-sistem penunjang di dalam sistem
42 | ---
kesehatan hewan nasional (Siskeswannas) yang
dipakai untuk mencatat dan mengkompilasi
data penyakit hewan menular strategis, kemudian
hasil analisa terhadap date ini dipakai
sebagai informasi untuk mengetahui situasi dan
status penyakit. Selain itu, hasil analisa juga dapat
dipakai untuk kepentingan perencanaan,
pembuatan program dan evaluasi program
pengendalian dan penanggulangan penyakit.
Sistem informasi ini telah dikembangkan di mana
database-nya dirancang secara terintegrasi untuk
dipakai di dalam pengelolaan data terkait dengan
program pengendalian dan penanggulangan.
Sistem informasi harus dapat mencakup data
pelaksanaan program secara harian pada struktur
wilayah terkecil (tingkat desa dan banjar/dusun/
dukuh) sehingga dapat dilakukan analisa data secara
harian pada saat pelaksanaan program. Hal ini akan
sangat bermanfaat dalam monitoring serta evaluasi
pelaksanaan program.
5.6 Dukungan Regulasi
Dukungan regulasi merupakan salah satu aspek
penting dalam program pengendalian dan
penanggulangan rabies. Regulasi merupakan dasar
bagi pemerintah, khusus tim pelaksana teknis baik
di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum
dukungan regulasi terkait upaya pengendalian dan
penanggulangan rabies telah tertuang dalam UU No
18 Tahun 2009 dan UU No 41 Tahun 2014. Regulasi
ini juga diperkuat oleh aturan yang dikeluarkan
oleh Kementrian Pertanian berupa Peraturan
Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 4026/Kpts/
Ot.140/04/2013 tentang Penyakit Hewan Menular
Strategis (PHMS) yang menetapkan rabies sebagai
salah satu PHMS yang harus menjadi perhatian.
Peraturan perundangan terutama Undang-Undang
No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan dan Undang Undang No. 41
Tabel 4. Peraturan perundangan terkait rabies di negara kita
Aspek Regulasi
Pengendalian dan penanggulangan Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Pasal 39 (1)
Undang-Undang No. 41 Tahun 2014
Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2014
Instruksi Presiden No 4 Tahun 2019
Surveilans Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Pasal 40 (1)
Undang-Undang No. 41 Tahun 2014
SK Menteri Pertanian No. 828/Kpts/OT.210/10/ 1998
Instruksi Presiden No 4 Tahun 2019
Pelaporan penyakit oleh peternak Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Pasal 45 (1)
Undang-Undang No. 41 Tahun 2014
Pengendalian lalu lintas ternak Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Pasal 42 (5)
Undang-Undang No. 41 Tahun 2014
SK Menteri Pertanian No. 828/Kpts/OT.210/10/ 1998
Pelarangan lalu lintas hewan dan produk hewan dari
daerah tertular/tersangka ke daerah bebas
Undang-Undang No. 18 Tahun 2009
Undang-Undang No. 41 Tahun 2014
Vaksinasi dan Manajemen Populasi Anjing Undang-Undang No. 18 Tahun 2009
Undang-Undang No. 41 Tahun 2014
Daerah/Provinsi/Kabupaten Regulasi
DKI Jakarta Peraturan Gubernur No. 199 Tahun 2016
Bali Peraturan Daerah No. 15 Tahun 2009
Bali Peraturan Gubernur No. 19 tahun 2010
Kota Pontianak, Kalimantan Barat Peraturan Walikota No. 42 Tahun 2016
Desa Miau Merah, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat Peraturan Desa No. 7 Tahun 2016
Desa Kutuh, Badung, Bali Peraturan Desa No. 5 Tahun 2015
Desa Adat di Bali Pararem dan Awig-Awig Desa Adat di Bali
Flores Peraturan Paroki/Gereja
Dalam menerjemahkan kebijakan yang bersifat umum ini, diperlukan kebijakan lain yang bersifat lebih spesifik, baik yang berupa
peraturan daerah yang bersifat resmi maupun aturan adat atau agama yang berlaku bagi warga setempat. Contoh peraturan dari
daerah tentang rabies yaitu sebagai berikut.
Dengan peraturan yang sudah ada, program pengendalian dan penanggulangan rabies tetap masih sangat memerlukan dukungan dan
komitmen pemerintah, terutama komitmen jangka panjang. Komitmen ini berupa dukungan dana dan tersedianya SDM yang memadai,
terutama SDM berlatarbelakang medis.
--- | 43
salah satu kunci dalam pemberantasan rabies
selain Takgit dan vaksinasi. KIE berperan dalam
peningkatan kesadaran warga , terutama yang
berada di daerah yang berisiko terhadap penularan
rabies. Lebih dari 40% kasus rabies yang dilaporkan
di seluruh dunia yaitu anak-anak di bawah usia 15
tahun. Selain itu, rabies sangat sering terjadi pada
warga miskin yang berada di wilayah terpencil di
Asia dan Afrika. Dua kelompok warga ini
merupakan target utama dalam melaksanakan KIE.
Jika risiko tentang penularan rabies telah dipahami
secara luas serta tingkat pemahaman warga
tentang cara pencegahan rabies sudah tinggi,
penularan rabies sepenuhnya akan dapat dicegah
(Mission Rabies 2019).
Peningkatan kesadaran warga dan edukasi
dapat berlangsung lebih efektif dan menyeluruh
apabila dilakukan pelibatan warga secara
langsung, seperti kader, kelompok penyayang anjing,
tokoh warga , dan lain sebagainya. Penyampaian
informasi dapat disampaikan secara langsung
kepada warga , baik melalui kunjungan dari
rumah ke rumah, maupun pada saat dilakukan acara
khusus untuk sosialisasi program. Bentuk informasi
dapat diberikan melalui media visual, seperti brosur,
poster, komik, dan media visual lainnya. Bentuk
informasi juga dapat diberikan melalui media audial,
seperti radio, serta melalui media audio-visual
seperti VCD dan TV.
Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UU No. 18
Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewansecara umum mengatur tentang penyakit
hewan menular, dimana salah satunya yaitu
rabies. Pada kenyataannya, salah satu faktor
yang masih lemah dalam implementasi strategi
pengendalian dan penanggulangan rabies di
lapangan yaitu dalam aspek penerapan peraturan
perundangan (law enfocerment) dan pedoman
teknis yang telah dibuat oleh pemerintah pusat
tidak selalu diikuti oleh pemerintah daerah. Suatu
titik kritis yang perlu diperhatikan secara serius
dan diperbaiki secara berkelanjutan, terutama
dalam mengimplementasikan strategi utama
yaitu vaksinasi, manajemen populasi anjing dan
komunikasi, informasi dan edukasi.
Peraturan perundangan yang mendukung
implementasi strategi pengendalian dan
penanggulangan rabies yang berlaku saat ini dapat
dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.
5.7 Peningkatan
Kesadaran
Masyarakat
Salah satu strategi yang harus dilaksanakan
oleh setiap daerah dalam pengendalian dan
penanggulangan rabies yaitu KIE. KIE merupakan
44 | ---
5.8 Monitoring dan
Evaluasi
Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan
dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dan
saling terkait. Pada program pengendalian dan
penanggulangan rabies, monev dilakukan mulai
sejak tahap persiapan, pelaksanaan dan pada akhir
kegiatan, bahkan sampai dengan pada saat program
sudah berakhir. Monev pada tahap persiapan
akan dilakukan dengan melakukan monitoring
dan evaluasi situasi awal penyakit, ketersediaan
sumber daya, ketersediaan sumber dana, komitmen
pemangku kepentingan di daerah setempat. Monev
pada tahap pelaksanaan merupakan kegiatan
monitoring dan evaluasi yang paling utama untuk
dilakukan.
Sementara monev pada tahapan akhir dilakukan
untuk melihat keberhasilan kegiatan pengendalian
dan penanggulangan dengan melakukan monitoring
dan evaluasi pada penurunan kasus, dan kemungkinan
pembebasan. Monev pada saat program sudah
berkahir yaitu untuk mengidentifikasi risiko-risiko
yang dapat memicu daerah-daerah tertular
kembali dan merekomendasikan kegiatan-kegiatan
yang dapat mencegah dan mengantisipasi risiko
ini .
Kegiatan monitoring dapat juga dilakukan oleh
beberapa instansi lain yaitu BBV/BV, BBPMSOH,
BBlitvet dan Pusvetma serta pihak lain bila dipandang
perlu. Monitoring tingkat pusat dilakukan oleh tim
pemantau rabies sedikitnya tiga kali dalam setahun
per provinsi. Sedangkan monitoring tingkat daerah
sedikitnya dua kali dalam setahun atau disesuaikan
dengan kondisi dan situasi daerah masing-masing.
Patogenesis
Semua informasi yang tersedia tentang patogenesis
virus rabies (Lyssavirus) kurang lebih sama. Virus
rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka gigitan
atau melalui luka terbuka dan mukosa tubuh yang
berkontak langsung dengan air liur dari hewan
terinfeksi. Virus rabies tidak menular melalui kontak
air liur hewan terinfeksi dengan kulit.
Virus rabies memperbanyak diri atau bereplikasi di
dalam otot atau jaringan lokal lainnya di mana virus
masuk ke dalam tubuh, kemudian mendapatkan
akses ke akson sel syaraf tepi melalui motor endplates
untuk dapat mencapai sistem syaraf pusat. Virus juga
dapat langsung masuk ke dalam motor endplates pada
sistem syaraf perifer saat masuk ke dalam melalui
luka. Kecepatan virus bermigrasi dari sistem syaraf
perifer ke otak tergantung pada jenis pergerakan
pada akson sel, yaitu melalui transport retrograde
centripetal atau gerakan centrifugal. Pada transport
retrograde centripetal, pergerakan virus terjadi sangat
cepat dengan kecepatan 5-100 mm/hari atau bahkan
bisa lebih. Sedangkan pada gerakan centrifugal,
kecepatan migrasi virus terjadi secara lambat karena
media geraknya lebih pasif.
Gambar 12. Patogenesis infeksi virus rabies
Virus memasuki sistem syaraf pusat dengan
pergerakan cepat retrograde centripetal pertama
yang menyebar luas pada transfer transneuron dan
menginfeksi serabut ganglia dorsal melalui hubungan
sentral dengan neuron motorik dan interneuron
spinal yang telah terinfeksi. Virus kemudian bergerak
secara centrifugal dari sistem syaraf pusat melalui
aliran aksoplasmik anterograde yang pelan pada
akson motorik menuju serabut dan syaraf ventral,
serta akson sensorik perifer pada serabut ganglia
dorsal yang memicu infeksi pada serabut otot,
kulit, folikel rambut dan jaringan non-syaraf yang lain,
seperti kelenjar air liur, otot jantung, paru-paru dan
organ pencernaan melalui inervasi syaraf sensorik.
Pada saat terjadi gejala klinis rabies, virus secara
luas tersebar ke seluruh tubuh melalui sistem syaraf
pusat dan organ extra-neural. Gejala klinis spesifik
pertama yang muncul yaitu adanya kesakitan
neuropatik pada lokasi gigitan. Hal ini terjadi karena
replikasi virus pada serabut ganglia dorsal dan
induksi peradangan oleh kekebalan selular.
Masa inkubasi virus sangat bervariasi, mulai dari 5
hari sampai beberapa tahun (biasanya terjadi selama
2-3 bulan, lebih dari 1 tahun jarang terjadi). Hal ini
tergantung pada jumlah virus yang masuk ke dalam
tubuh, kepadatan motor endplates pada tempat
gigitan atau kontak, dan jarak tempat masuknya virus
ke otak.
Diagnosa
Rabies merupakan peradangan otak (ensefalitis)
akut dan progresif yang dipicu oleh Lyssavirus.
Diagnosa klinis dari ensefalitis sulit dilakukan dan
Diagnosa berdasar laboratorium harus dipakai
untuk konfirmasi penyakit jika memungkinkan.
Selama satu dekade terakhir, perkembangan
yang signifikan telah dilakukan dalam Diagnosa
laboratorium untuk rabies, termasuk konfirmasi
kasus klinis dengan penggunaan antigen virus,
antobodi dan amplicon (WHO Expert Consultation
on Rabies .
Definisi kasus rabies pada hewan
Pemerintah harus memakai definisi standar
untuk rabies yang didukung dengan surveilans
berbasis laboratorium pada kasus suspek pada
manusia dan hewan. Gejala klinis rabies pada hewan
sangat bervariasi. Kasus suspek rabies secara
klinis pada hewan didefinisikan sebagai kasus yang
biasanya terjadi dengan beberapa gejala berikut ini
(FAO, Kementan, WAP 2015):
Rabies ganas (furious rabies):
a. Agresif
b. Perilaku abnormal
c. Menggigit lebih dari satu orang atau hewan lain
tanpa disertai provokasi
d. Pica atau mengunyah objek bukan makanan
e. Suara yang abnormal
f. Aktivitas diurnal pada hewan nokturnal
g. Berkeliaran tanpa tujuan
h. mati
Rabies paralisis (dumb rabies):
a. Inkoordinasi
b. Sindrom tersedak
c. Hipersalivasi/banyak mengeluarkan air liur
d. Paralisis/kelumpuhan
e. Kejang-kejang
f. Lethargi
g. Mati
Kasus rabies pada hewan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut (FAO, Kementan, WAP 2015):
a. Suspek tinggi
Hewan mempunyai ciri salah satu dari:
1. Lebih dari satu tanda rabies
2. Telah menggigit lebih dari satu kali
3. Hewan menggigit ditemukan mati atau
tidak ditemukan
4. Anak anjing dari induk positif
b. Suspek
Hewan tidak menunjukkan perilaku aneh,
hanya menggigit satu kali
Pengambilan dan Pengiriman Bahan
Pemeriksaan (spesimen)
Diagnosa penyakit rabies perlu untuk memperhatikan
beberapa hal, seperti riwayat penyakit, tanda klinis
dan pemeriksaan secara laboratoris. Pemeriksaan
spesimen secara laboratoris dapat memakai
spesimen dalam bentuk kepala utuh atau spesimen
otak yang segar. Spesimen untuk diagnosa
penyakit rabies harus ditransportasikan sesuai
dengan peraturan nasional dan internasional
untuk menghindari kontaminasi virus rabies ke
lingkungan. Kualitas spesimen untuk diagnosa
selama pengambilan, pengiriman, dan penyimpanan
sangat mempengaruhi hasil uji laboratorium
(Direktorat Kesehatan Hewan 2015). Berikut ini
cara yang direkomendasikan dalam pengambilan dan
pengiriman spesimen.
a. Spesimen segar
1. Seluruh kepala
Prosedur
• Seluruh kepala dipisahkan dari badan dengan
pisau besar dan dimasukkan bersama
potongan es sampai penuh ke dalam suatu
kontainer. specimen juga dapat dikirimkan
dalam keadaan beku memakai dry ice
(CO2 padat) atau nitrogen cair (N2 cair)
• Kontainer ini dimasukkan ke dalam kontainer
ke dua yang lebih besar. Perlu dipastikan
bahwa kontainer ini ditutup dengan
rapat
• Di tutup atas harus ditempelkan keterangan
tentang isi spesimen dengan label yang
bertuliskan “paket ini berisi spesimen kepala
anjing/hewan lain yang diduga terinfeksi
rabies”
• Setiap pengiriman spesimen harus disertai
dengan surat pengantar
• Pengiriman spesimen kepala harus tiba di
laboratorium dalam waktu satu hari (24 jam)
2. Otak
Prosedur
• Siapkan peralatan necropsy: pisau scalpel, pisau
dengan ukuran besar, gunting tulang, gergaji
tulang, larutan glycerine saline 50%, formalin
10%, dan container, serta meja dengan lapisan
bahan logam keras yang mudah dibersihkan
• Kulit kepala dibuka tepat di tengah kepala
menggunaka scalpel, kemudian kuakkan ke kiri
dan ke kanan agar tempurung kepala terlihat
• Semua jaringan ikat dan otot dibersihkan dari
tempurung kepala
• Gergaji tempurung kepala secara melingkar
dari atas mata sampai atas foramen magnum
dan kuakkan hingga otak terlihat, jika kesulitan
memakai gergaji, dapat dipakai
gunting tulang dan pinset
• Keluarkan otak secara hati-hati dengan
memotong medulla, syaraf cranialis dan bagian
depan thalamus
• Letakkan otak di atas cawan petri yang besar
dan steril
• Catat dan laporkan semua kelainan otak dan
jaringan lain
• Bila memungkinkan, otak dapat dikirimkan
secara segar ke laboratorium memakai
es
3. Hippocampus
Apabila pengiriman seluruh otak tidak
mungkin untuk dilakukan, maka sampel
yang dikirim cukup bagian hippocampus
saja.
Prosedur
• Buat irisan longitudinal pada bagian
permukaan dorsal otak kira-kira 2 cm dari
garis tengah, irisan melalui masa abu-abu
dan masa putih diperlebar sampai terlihat
hippocampus
• Hippocampus terlihat berbentuk semi
silinder berwarna putih dan berkilauan
4. Kelenjar ludah
Virus tidak selalu ditemukan di kelenjar
ludah walaupun otak telah terinfeksi
virus rabies. Namun untuk beberapa alas
an masih diperlukan pengiriman sampel
kelenjar ludah ke laboratorium.
Prosedur
• Buka kulit di bagian tengah leher mulai dari
bawah mulut dengan pisau scalpel
• Kuakkan kulit ke bagian kiri dan kanan.
Kelenjar ludah akan terlihat berada di bagian
bawah kulit
• Bersihkan jaringan ikat superfisial kemudian
ambil sebagian kelenjar ludah untuk dikirim
ke laboratorium
b. Spesimen untuk pemeriksaan cepat
1. Preparat sentuh
Preparat sentuh harus dibuat dari
hippocampus otak besar, cortex otak kecil,
dan otak kecil (yang paling penting yaitu
hippocampus). Jumlah preparat paing
sedikit 6 buah dari setiap bagian otak
ini .
Prosedur
• Buat potongan sedalam 2-3 mm pada jaringan
otak (hippocampus, cortex otak kecil, dan otak
kecil) dengan gunting
• Jaringan ini dipotong dan ditempatkan
pada kertas atau potongan kayu kecil (batang
es krim)
• Ambil gelas objek yang steril. Sentuh dan
tekan sedikit pada permukaan jaringan otak.
Sentuhakn dibuat pada tiga bagian/tempat
yang berbeda pada setiap gelas objek
• Dalam keadaan masih lembab, gelas objek
dimasukkan ke dalam pewarnaan Seller’s
2. Ulas otak
Jaringan yang dipakai pada preparat
ulas otak sama seperti preparat sentuh.
Prosedur
• Ambil sedikit jaringan dengan gunting dan
letakkan pada gelas objek
• Ambil gelas objek lainnya yang steril dan
tekan serta ulas jaringan pada gelas objek
pertama sampai jaringan menyebar secara
homogen dalam area ¾ permukaan gelas
objek
3. Rolling method
Prosedur
• Gunting sedikit jaringan otak sebesar biji
kacang kedelai
• Gulingkan di atas gelas objek steril dengan
sepotong tusuk gigi yang steril
• Warnai dengan pewarnaan Seller’s
c. Spesimen untuk pemeriksaan histopatologis
Spesimen yang diambil yaitu hippocampus,
cortex otak besar, dan otak kecil dengan ukuran
2 x 2 x 2 cm, diawetkan dalam formalin 10%
dengan perbandingan 1:3 (1 bagian specimen
3 bagian formalin). Kontainer penyimpanan
dapat berupa botol dari kaca atau plastik yang
bersih dan steril.
d. Spesimen untuk pemeriksaan biologis dan FAT
Jaringan yang dipakai yaitu hippocampus,
otak besar, otak keci, dan kelenjar ludah dan
dimasukkan ke dalam kontainer yang berisi
gliserin saline 5% dengan perbandingan 1:3 (1
bagian specimen 3 bagian gliserin saline).
Jenis Pemeriksaan Diagnosa
Rabies yaitu penyakit yang sangat berbahaya.
Selain penularan melalui gigitan, penularan di
laboratorium juga pernah dilaporkan. Pengerjaan
specimen harus dilakukan di ruangan yang steril
dengan level biosekuriti tinggi. Penentuan penyakit
rabies didasarkan riwayat penyakit, gejala klinis,
kelainan pasca mati yang diteguhkan dengan hasil
pemeriksaan laboratorium.
Beberapa metode yang dapat dipakai untuk
mendiagnosa penyakit rabies yaitu sebagai berikut:
1. FAT (fluorescent antibody technique)
Rabies pada hewan dapat dicurigai
berdasar sejarah gigitan dan tanda-tanda
klinis, tapi konfirmasi laboratorium melalui
FAT (flurorescent antibody test) sebagai