Tampilkan postingan dengan label penyakit anjing 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit anjing 2. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 April 2024

penyakit anjing 2


  






Perkembangan zaman yang begitu cepat telah meningkatkan taraf dan gaya 

hidup masyarakat. Banyak kebutuhan yang perlu dipenuhi seperti kebutuhan 

primer, sekunder dan tersier. Kebutuhan tersier yang kini merupakan bagian 

penting dari kebutuhan masyarakat contohnya hobi. Hobi yang tidak mudah 

pasang-surut di kalangan masyarakat adalah memelihara hewan kesayangan, 

salah satunya adalah anjing. 

Anjing merupakan hewan kesayangan yang banyak dipelihara orang, selain 

untuk kesenangan dan keindahan juga sebagai tambahan ekonomi bagi 

keluarga dari sebagian masyarakat tertentu. Oleh karena itu kesehatan hewan 

kiranya perlu diperhatikan supaya dapat melanjutkan keturunan, serta 

terpelihara kelestariannya ,

Banyak orang memelihara anjing untuk dijadikan teman bermain, berburu, 

sekaligus penjaga rumah yang dapat diandalkan.Pada dasarnya semua jenis 

anjing sifatnya multi fungsi, hal ini wajar karena anjing sudah menjadi 

binatang peliharaan sejak berabat – abat yang lalu , Pada 

dasarnya semua jenis anjing sifatnya multi fungsi, hal ini wajar karena anjing 

sudah menjadi binatang peliharaan sejak berabad-abad yang lalu. Namun, 

sering kali pemilik mendapat hambatan dalam pengelolaan anjingnya karena 

adanya penyakit, di antaranya adalah penyakit kulit dan parasit darah pada 

anjing milik mereka. 

Dalam memelihara anjing ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk 

menjaga kesehatannya. Beberapa infeksi ektoparasit walaupun sangat ringan 

dapat memicu  rasa tidak nyaman bagi hewan, banyak parasit eksternal 

dapat memicu  gatal – gatal yang parah, lesi kulit dan penyakit kulit 

kronis ,

Parasit eksternal pembawa berbagai penyakit menular dan dapat 

menularkan penyakit saat menghisap darah hospes. Penyakit kulit yang sering 

menyerang anjing yaitu demodecosis, pyoderma, ringworm, pediculosis, dan 

phthiriasis sedangkan penyakit akibat parasit darah yaitu babesiosis dan 

ehrlichiasis. Tiga jenis parasit eksternal yang paling sering ditemukan pada 

anjing adalah kutu, caplak dan tungau. Ketiga parasit ini di klasifikasikan 

sebagai arthropoda. Kutu termasuk golongan insekta dengan enam kaki, dan 

caplak serta tungau adalah arachnida dan mempunyai delapan kaki ,

Tungau lebih banyak menghabiskan siklus hidupnya di bawah permukaan 

kulit dan mampu memicu  gangguan ringan kulit yang parah atau 

gangguan telinga pada anjing yang terinfeksi.Adanya parasit di dalam tubuh 

meskipun dalam jumlah besar mungkin hanya memicu parasitosis 

subklinis.Penderita hanya sedikit mengalami gangguan klinis dan hanya 

dengan pemeriksaan maka dapat di kenali penderita ini  memerlukan 

pengobatan terhadap parasit yang di kandungnya. 

Demodecosis adalah penyakit yang dipicu oleh infeksi demodex 

canis yang merupakan flora normal pada kulit anjing, dan menimbulkan 

gangguan pada kulit anjing saat terjadi overpopulasi yang biasanya dikaitkan 

dengan kondisi kekebalan tubuh yang rendah (imuno-supresi) pada hewan 

Pyoderma merupakan suatu infeksi bakteri yang dapat terjadi pada 

berbagai lapisan kulit. Infeksi kulit ini sering terjadi pada anjing dan jarang 

terjadi pada anjing ,Pyoderma ini terjadi ketika pertahanan 

alami kulit menurun sehingga memungkinkan bakteri kulit berkembang biak. 

Bakteri-bakteri yang biasanya tidak hidup di kulit juga dapat berkoloni ketika 

pertahanan kulit sedang menurun. Organisme lain, seperti organisme ragi dan 

jamur, juga bisa mengambil keuntungan dari perubahan kulit yang mengalami 

pyoderma dan membentuk infeksi mereka sendiri (). 

Pediculosis merupakan penyakit akibat infestasi kutu (lice). Pada anjing 

paling banyak dilakukan oleh kutu menggigit yang termasuk ke dalam subordo 

Mallopaga dan kutu penghisap. Kutu ini dapat dijumpai di berbagai bagian 

kulit tubuh, terutama pada bagian yang ada lipatannya,

Ringworm atau dermatofitosis adalah penyakit mikotik yang dipicu 

oleh kapang dermatofit dan menyerang hewan (anjing, kucing, sapi, unggas 

dan lain-lainnya). Penyebarannya hampir meliputi seluruh dunia. 

Dermatofitosis ini dapat menular antar sesama hewan, dan antara manusia 

dengan hewan (antropozoonosis) dan hewan kemanusia (zoonosis) dan 

merupakan penyakit mikotik yang tertua di dunia. Dinamakan ringworm 

karena pernah diduga penyebabnya adalah worm dan karena gejalanya dimulai 

dengan adanya peradangan pada permukaan kulit yang bila dibiarkan akan 

meluas secara melingkar seperti cincin, maka dinamai ringworm, meski 

sebelumnya memang penyakit ini dipicu oleh cendawan namun akhirnya 

pemakaian istilah ini  tetap dipakai sampai sekarang. Penularan dari hewan 

kemanusia (zoonosis) dilaporkan pada tahun 1820 dari sapi ke manusia. Hewan 

yang terserang umumnya hewan piaraan adalah anjing, babi, domba, kucing, 

kuda, kambing, sapi dan lainnya, namun yang paling utama ialah anjing, 

kucing, sapi ,

Ehrlichiosis  merupakan penyakit akibat infeksi mikroba. Pada anjing, 

infeksi oleh agen penyakit ehrlichiosis yaitu Ehrlichia canis ditandai dengan 

septicemia dan merupakan penyakit kuman ricketsia di daerah tropis. Agen ini 

dapat ditemukan dalam leukosit, bersifat intrasitoplasmik, berbentuk coccoid, 

serta hidup berkoloni ,

Babesiosis pada anjing tersebar di Afrika, Asia, Bagian Selatan Eropa, 

Rusia, Amerika Tengah dan Selatan, sebagian kecil di Amerika Serikat. Di 

Asia, penyakit ini telah dilaporkan ada di India, Sri Lanka, Jepang, dan China 

(). Babesiosis merupakan infeksi oleh parasit intraeritrosit yang 

dipicu oleh  Babesia sp. Penyakit ini sering ditemukan di daerah yang 

beriklim tropis, subtropis, dan beriklim sedang. Patogenitas dari spesies 

Babesia di seluruh dunia beragam seiring dengan vektor biologisnya yang 

tersebar secara luas.  Keberadaan babesiosis di Indonesia sudah dilaporkan 

sejak tahun 1986, tetapi sampai sekarang belum dapat diberantas , penyakit ini bersifat endemic 

di daerah Bogor dan sekitarnya sehingga banyak ditemukan  kasus  babesiosis  

dalam  bentuk menahun. 

Phthiriasis adalah penyakit akibat infeksi pinjal atau yang sering kita 

sebut sebgaai kutu loncat. Secara langsung atau tidak infestasi pinjal 

memicu  gangguan yang lebih besar secara dermatologic daripada agen 

etiologi lainnya. Hewan–hewan yang menjadi sasaran infestasi pinjal meliputi 

anjing, serigala, kucing, babi, kuda, sapi, unggas dan manusia (

Penyakit ini dipicu oleh sejenis tungau yang disebut Demodex sp., 

berbentuk seperti cerutu atau wortel, mempunyai 4 pasang kaki yang 

pendek dan gemuk serta memiliki 3 ruas.Bagian perutnya terbungkus kitin 

dan bergaris melintang menyerupai cincin serta memipih ke arah caudal. 

Ukuran tungau bervariasi antara 0,2 – 0,4 mm. Beberapa spesies tungau 

memiliki inang spesifik, seperti demodecosis pada sapi. Pada sapi 

dipicu oleh D.bovis, pada anjing oleh D.canis, D.cornei dan 

D.injai.Pada kucing dipicu oleh D.cati dan D.gatoi, pada kambing 

oleh D.caprae, D.criceti pada marmot, D.phylloides pada babi D.equi pada 

kuda dan D.folliculorum pada manusia 

Demodex cornei, demodex ini berbentuk lebih pendek (short-bodied) 

dibanding Demodex canis. Dan satu parasit lagi yaitu Demodex injai yang 

bertubuh lebih panjang (long bodied) dari Demodex canis. Demodex 

cornei yang bertubuh lebih pendek dibanding Demodex canis ). Sedangkan Demodex injai yang bertubuh lebih 

panjang dibanding Demodex canis dilaporkan oleh Desch and Hillier 

(2003). Demodex injai ini ditemukan oleh Desch dan Hillier pada anjing di 

Columbus, OH bulan Oktober 1996. Temuan ini  pernah dilaporkan 

oleh Desch dan Hilier pada tahun 1999 namun belum diberi nama dan baru 

diberi nama Demodex injai pada tahun 2003 oleh Desch dan Hillier. 

Demodex injai dan Demodex cornei ini mempunyai habitat di dalam 

folikel rambut dan kelenjar sebaseus, sama sebagaimana pada Demodex 

canis. 

Tungau demodex hidup di dalam kelenjar minyak dan kelenjar 

keringat (glandula sebacea) dan memakan epitel serta cairan limfe dari 

beberapa hewan, kecuali unggas.Dalam kondisi tertentu tungau demodek 

dapat menginfestasi manusia 

Demodekosis merupakan penyakit yang dipicu oleh parasit yang 

termasuk dalam genus Demodex yang berlokasi di folikel rambut 


Penularan demodekosis ini terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari. 

Dalam kondisi normal, parasit ini tidak memberikan kerugian bagi anjing, 

namun bila kondisi kekebalan anjing menurun maka demodex akan 

berkembang menjadi lebih banyak dan menimbulkan penyakit kulit. Pada 

anak anjing akan tertular oleh induknya, namun setelah sistem kekebalan 

tubuhnya meningkat kira-kira pada umur 1 minggu, maka parasit ini akan 

menjadi flora normal dan tidak menimbulkan penyakit kulit 

Demodex yang menginfeksi kulit akan mengalami perkembangbiakan 

(siklus hidup) di dalam tubuh hospes ini . Siklus hidup lengkap 

demodex adalah 20-30 hari pada tubuh hospes. Ada empat tahapan 

perkembangan demodex dalam tubuh hospes yaitu: telur (fusiform), larva 

berkaki enam (six legged), nimfa berkaki delapan (eight legged), demodex 

dewasa (eight legged adult). Seluruh tahapan perkembangan ini hanya 

terjadi pada satu hospes, jadi tidak ada perkembangan pada hospes lain, 

sebagaimana yang terjadi pada parasit lain. Penyakit ini akan menyebar 

luas melalui lesi dari moncong, mata, dan plantar kaki depan dan akan 

meluas ke seluruh tubuh 

jika  tungau berkembang, tungau akan di temukan di seluruh 

rambut, yang akhirnya kanal ini  membengkak karena meradang. 

Rambut mati dan lepas, yang di ikuti terbentuknya lesi yang bersifat 

kering dan bersisik.Bagian yang mengalami lesi mengalami alopecia, 

disertai perubahan hyperkeratosis ringan, yang di lapisi oleh sisik atau 

keropemg yang berwarna abu-abu. Di sisi lain lesi dapat meluas, hingga 

sebagian besar kulit penderita mengalami alopesia di sertai hyperkeratosis, 

dengan keropeng berbentuk sisik sebagai akibat kematian sel epitel kulit 

Gejala klinis yang tampak pada kulit berupa alopecia (kebotakan), 

kemerahan, dan kulit mejadi berkerak.Pada tahap yang lebih lanjut, dapat 

terjadi demodecosis general disertai dengan peradangan dan infeksi 

sekunder oleh bakteri.Lapisan kulit yang terinfeksi terasa lebih berminyak 

saat disentuh.Tungau sangat menyukai bagian tubuh yang kurang lebat 

bulunya, seperti moncong hidung dan mulut, sekitar mata, telinga, bagian 

bawah badan, pangkal ekor, leher sepanjang punggung dan kaki. Rasa 

gatal yang ditandai dengan hewan selalu mengaruk dan menggosokkan 

badannya pada benda lain atau menggigit bagian tubuh yang gatal, 

sehingga terjadi iritasi pada bagian yang gatal berupa luka/lecet, kemudian 

terjadi infeksi sekunder sehingga timbul abses, sering luka mengeluarkan 

cairan (eksudat) yang kemudian mengering dan menggumpal dan 

membentuk kerak pada permukaan kulit (Shipstone, 2000). 

 

Diagnosa  berdasar  gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium 

untuk mengidentifi kasi adanya tungau Demodex sp. Langkah Diagnosa  

yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan deep skin scraping atau 

pengerokan kulit hingga berdarah.Scraping dilakukan dengan memegang 

dan menggosok daerah terinfeksi untuk mengeluarkan tungau dari folikel 

dengan memakai  scalpel. Scraping dilakukan pada beberapa tempat. 

Kerokan kulit yang agak dalam dari bagian tengah lesi, kemudian diberi 

tetesan KOH 10 % untuk diamati di bawah mikroskop. jika  positif 

maka akan ditemukan parasit demodex yang bentuknya seperti wortel atau 

cerutu dengan ukuran 250-300 μm x 400 μm. Parasit ini tinggal di folikel 

rambut dan kelenjar sebaceus dan siklus hidupnya terjadi pada tubuh induk 

semang 20-35 hari. Hewan penderita yang sering diserang pada usia anjing 

di bawah umur 1 tahun namun demikian pada anjing di atas umur tahun 

banyak mengalami kejadian infeksi penyakit ini 

Diferensial diagnosa dari Demodekosis diantaranya ialah : 

 Folikulitis/furunkulosis akibat bakteri, dermatophytosis, 

pemphigus 

kompleks, dermatitis kontak, dermatomiositis, dan lupus 

erytrematous 

kompleks. 

 Dermatitis yang dipicu oleh jamur atau Scabies . 

 

f. Prognosis 

 

Prognosis adalah proses suatu kasus penyakit berdasar  hasil 

Diagnosa . Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu fausta dengan  tingkat 

kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan 

infausta dengan tingkat kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa 

dari kasus ini dapat dikatakan fausta. Namun jika sampai menimbulkan 

infeksi sekunder dan lama kelamaan menurunkan nafsu makan hewan, 

maka akan memicu  kematian. 

 

g. Terapi 

 

Pengobatan pada demodecosis bergantung pada tingkat keparahan 

kasus yang terjadi. Pengobatan yang diberikan memerlukan waktu yang 

lama dan harus dipantau secara berkala selama 4-6 minggu, untuk 

memastikan populasi Demodex kembali normal. Pemeriksaan skin scrap 

perlu dilakukan dengan interval 2 minggu, jika hasil pemeriksaan 

menunjukkan tidak ditemukannya Demodex pada 2 kali pemeriksaan, 

maka hewan ini  dapat dikatakan sudah sembuh, dan pengobatan 

dapat dihentikan Pengobatan dilarang memakai  kortikosteroid 

sistemik maupun topikal, karena kortikosteroid dapat memicu  

imunosupresi yang kemungkinan akan memperparah demodecosis. 

Pengobatan pada demodecosis lokal dapat dilakukan dengan memberikan 

salep yang mengandung 1 % rotenone (goodwinol ointment) maupun gel 

benzoyl peroxide 5 % yang diaplikasikan sekali sehari setiap hari selama 

1-3 minggu.Selain itu, pengobatan harus disertai dengan memandikan 

hewan dan melakukan pemberian shampoo yang mengandung antiseboroik 

(benzoyl peroxide) secara berkala minimal semingu sekali. Selanjutnya 

dapat memberikan amitraz yang diencerkan dengan konsentrasi 0,1 % 

pada area alopecia sehari sekali selama dua minggu. Pemberian amitraz 

dilakukan bila demodecosis sudah menyeluruh dan tanpa disertai 

komplikasi. Untuk mengurangi efek samping dari amitraz dapat 

memakai  yohimbin dengan dosis 0,25 ml/10 kg BB secara intravena 

perlahan-lahan ,

Pada anjing yang memiliki bulu panjang dan lebat, harus dilakukan 

pencukuran rambut terlebih dahulu agar obat lebih mudah meresap. Obat 

sistemik yang dapat diberikan adalah ivermectin (300-600 µg/kg bb/hari), 

Milbemycin (1.0-2.0 mg/kg bb/hari), Moxidectine (0.5 mg/kg bb 2 minggu 

1x secara topikal), dan vitamin E sebagai penguat efek terapi akarisida 

(400- 800 IU 3-5x/hari) ,

 

B. Pyoderma 

 

a. Etiologi 

 

Pyoderma adalah fenomena infeksi kulit oleh kuman penghasil 

nanah.Klasifikasi pyoderma tergantung pada etiologi, tempat dalam tubuh, 

dan kedalamannya di dalam kulit. Kulit anjing yang normal pada awalnya 

ditempati oleh mikrokokus (dalam bentuk koloni), sedikit difteroid dan 

clostridia. Kadang-kadang kuman staphylococcus aureus, proteus dan 

kuman gram negatif sebagai penghuni sementara dari populasi kuman 

kulit. Hampir selalu terjadi bila ada luka kulit, baik internal maupun 

eksternal, akan mengusik keseimbangan kuman, hingga staphylococcus 

aureus atau kuman pathogen lainnya seperti proteus dan pseudomonas 

berbiak dalam jumlah banyak, hingga terjadi pyoderma (Subronto, 2013). 

Pyoderma dapat terjadi karena adanya infeksi dari berbagai macam 

jenis bakteri. Bakteri yang memicu  pyoderma antara lain 

Staphylococcus intermedius, Staphylo-coccus ureus, Staphylococcus 

hyicus, Pasteurella multocida, atau Pseudo-monas aeroginosa (Paterson 

2008). 

Selain itu, infeksi kulit ini dapat terjadi sebagai akibat komplikasi dari 

alergi kulit (alergi kutu, alergi lingkungan, dan alergi makanan), 

ketidakseimbangan hormon (hipotiroidism, Cushing’s disease), dan 

kondisi lain yang berkaitan dengan sistem imun 

Pyoderma adalah infeksi bakteri pada kulit. Ini terjadi ketika 

pertahanan alami kulit menurun sehingga memungkinkan bakteri kulit 

berkembang biak. Bakteri-bakteri yang biasanya tidak hidup di kulit juga 

dapat berkoloni ketika pertahanan kulit sedang menurun. Organisme lain, 

seperti organisme ragi dan jamur, juga bisa mengambil keuntungan dari 

perubahan kulit yang mengalami pyoderma dan membentuk infeksi 

mereka sendiri ,

Penyebab pyoderma di bedakan menjadi dua yaitu infeksi primer dan 

infeksi sekunder. Infeksi sekunder dapat di sebabkan oleh berbagai lesi 

kulit atau terkait dengan proses penyakit, baik itu sistemik maupun hanya 

kulit saja. Tempat predileksi ada  di antara jari-jari kaki, axilla dan 

selakangan, titik-titik tekanan, cacat anatomic dan perpindahan mukosa 

dengan kulit.Infeksi kuman di permudah oleh adanya trauma kulit, luka 

akibat garukan karena gatal(pruritus), luka saat mencukur rambut, kulit 

kering, ektoparasit, dan perubahan hormonal.Dari kuman-kuman yang di 

usahakan di temukan dalam pyoderma Staphylococcus aureus merupakan 

yang tertinggi ,

 

c. Gejala Klinis 

 

Gejala klinis yang muncul pada infeksi pyoderma superfisial secara 

umum adalah terbentuknya pustula pada kulit, merah, bengkak (berisi pus 

berwarna putih pada bagian tengahnya, gatal, dan kerontokan 

rambut.Bagian tubuh yang paling sering mengalami pyoderma superfisial 

biasanya pada bagian leher, kepala, dan proksimal ekstremitas.Sedangkan 

gejala klinis yang muncul pada deep pyoderma adalah rasa sakit, bau, 

ada  eksudat darah dan pus, erythema, kebengkakan, dan ulserasi pada 

kulit.Infeksi deep pyoderma sering terjadi pada bagian interdigital, hock, 

dan tungkai bagian lateral (Moriello, 2013). 

Gejala klinis untuk impetigo ialah lesi berupa pustule dalam jumlah 

banyak, terutama daerah yang tidak berbulu.Gejala klinis untuk folikulitis 

superficial ialah lesi berupa papulae dan berkerak yang jumlahnya banyak, 

kondisi radang kulit ini lebih berat dari pada impetigo.Pada bagian yang 

hilang bulunya mungkin timbul hiperpigmentasi, memicu  rasa gatal 

yang sangat yang mungkin hal ini berkaitan dengan hipersensitivitas 

terhadap kuman, alopesia, eritema, keropeng di bagian bawah tubuh anjing 

Gejala klinis furunkulosis yaitu ketika folikulitis ini pecah dan kuman 

menyebar, maka terjadilah furunkulosis, ukuran lesinya pun menjadi lebih 

besar dan keluar nanah, sering terjadi di daerah moncong anjing. Gejala 

klinis untuk cellulitis di tandai dengan radang difus, luas di sertai oedem 

dan kadang juga nanah.Gejala klinis untuk hidradenitis supuratif berupa 

radang bernanah dari kelenjar keringat dan lapisan kulit di dekatnya, 

eritema bernanah, granulomatous di ketiak dan selakangan.Dan pyoderma 

juvenil memiliki gejala klinis berupa bibir dan kelopak mata bengkak, 

kelenjar limfe bengkak dan tidak jarang bernanah, cellulitis, folikulitis 

yang disertai keopeng dan nanah 

d. Diagnosa  

 

Diagnosa  pada pyoderma biasanya didasarkan pada anamnesis dan 

sejarah medis dari hewan ini . Selain itu dapat juga dilakukan uji 

tambahan seperti uji darah, kulturkulit, dan uji sensitivitas terhadap 

antibiotik serta uji kultur fungi pada kulit.Dapat juga dilakukan 

pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan laboratorium 

 

e. Diferensial Diagnosa  

 

Diferensial diagnosa utama untuk kasus pyoderma ialah dermatitis, 

ringworm, demodex, penyakit hormonal (hipo-tiroidism, Cushing’s 

disease), pustula, eritema, papula, dermato-phytosis, pemphigus kompleks, 

derma-titis kontak, dermatomiositis, dan lupus erytrematous kompleks. 

 

f. Prognosis 

 

Prognosis adalah proses suatu kasus penyakit berdasar  hasil 

Diagnosa . Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu fausta dengan  tingkat 

kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan 

infausta dengan tingkat kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa dari 

kasus ini dapat dikatakan fausta. 

 

g. Terapi 

 

Terapi dapat dilakukan dengan pemberian Ivermectin 0.2 mg/kg bb sc, 

Metronidazole 20 mg/kg bb, CTM 4 mg, dan Dexamethasone 0.3 mg/kg 

bb . Pemberian Ivermectin bertujuan mengantisipasi jika  ternyata 

kejadian pyoderma pada kasus ini merupakan akibat dari infeksi parasit. 

Metronidazole yang diberikan bertujuan untuk mengatasi infeksi bakteri 

yang terjadi. Dexamethasone bertujuan untuk mengatasi proses inflamasi 

dan alergi yang terjadi. Pemberian Dexamethasone dilakukan bersamaan 

dengan pemberian CTM. 

Menurut Smith dan Tilley (2000), pyoderma akibat Staphylococcus 

intermedius dapat diterapi dengan pemberian Cephalosporin, Cloxacillin, 

Oxacillin, Methicillin, Amoxicillin-clavulanate, Erythromycin, dan 

Chloramphenicol.Terkadang isolat sudah resisten terhadap Amoxicillin, 

Ampicillin, Penicillin, Tetrasiklin, dan Sulfonamida. Hindari pemakaian 

steroid karena akan merangsang resistensi dan pengulangan kejadian 

meskipun diberikan bersamaan dengan antibiotik. Oleh karena itu, 

pemberian Dexamethasone yang merupakan turunan dari corticosteroid 

sebaiknya tidak dipakai  lagi untuk mengatasi kasus pyoderma. 

 

C. Ringworm 

a. Etiologi  

  Kapang atau cendawan merupakan salah satu jenis parasit yang 

terdiri atas genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. 

Berbagai spesies dari tiga genus kapang ini dapat menginfeksi kulit, 

bulu/rambut dan kuku/tanduk dalam berbagai intensitas infeksi. 

Hampir semua jenis hewan dapat diserangnya, dan penyakit ini secara 

ekonomis sangat penting ,

Infeksi oleh kapang ini dinamakan ringworm (dermatophyte) 

karena diduga penyebabnya adalah worm dan karena gejalanya 

dimulai dengan adanya peradangan pada permukaan kulit yang bila 

dibiarkan akan meluas secara melingkar seperti cincin. Nama 

dermatofit (dermatophyte) merupakan jenis kapang penyebab 

kerusakan di kulit karena zat keratin yang ada  di kulit diperlukan 

untuk pertumbuhannya ,

Pada anjing ringworm yang sering dipicu oleh kapang jenis 

Trichophyton sp. dan Microsporum sp. karena Indonesia yang berada 

di daerah tropis dengan kelembaban tinggi merupakan daerah yang 

cocok bagi tumbuhnya berbagai jenis jamur. Bulu tebal dan panjang 

pada anjing menjadi predileksi yang cocok bagi tumbuhnya jamur 


b. Patogenesis 

 Dermatophyte ditularkan karena kontak dengan rambut atau kulit 

yang terinfeksi dan elemen fungi pada hewan, di lingkungan atau 

fomite (seperti, sisir, sikat, alat pencukur, kasur, pengangkutan sangkar 

burung, dll). M. canis dapat berasal dari debu, ventilasi, dan penyaring 

perapian tertutup. Spora M. canis dapat terus hidup di lingkungan 

sampai 18 bulan. Jamur penyebab ringworm tumbuh subur di daerah 

panas dan basah. T. mentagrophytes yang sebelumnya sudah ada  

dalam kebanyakan sarang tikus, dan M.gypseum dari tanah yang 

terkontaminasi sangat berpotensial untuk menyebarkan ringwom dari 

hewan satu ke hewan lainnya dalam suatu lingkungan yang sudah 

terkontaminasi pula, ini juga yang menjadi masalah utama pada 

tempat-tempat penampungan atau pet shop. Ringworm bisa sangat 

tahan lama di lingkungan dan dapat terbawa ke benda-benda furnitur, 

karpet, debu, kipas angin,dll, dan dapat mengontaminasi hewan 

peliharaan selama beberapa bulan bahkan tahun. Ringworm juga dapat 

tersebar pada alat-alat grooming, mainan, dan selimut, atau bahkan 

pada pakaian dan tangan manusia. Ringworm juga dapat ditemukan 

pada bulu hewan dari lingkungan yang terkontaminasi tanpa 

menimbulkan gejala apapun. Secara alami periode inkubasi untuk 

kasus ringworm antara 4 hari – 4 minggu .

 

c. Gejala Klinis 

Gejala yang terlihat pada anjing sering terjadi kerusakan disertai 

kerontokan bulu di seluruh muka, hidung dan telinga, perubahan yang 

tampak pada kulit berupa lingkaran atau cincin dengan batas jelas dan 

umumnya dijumpai di daerah leher, muka terutama sekitar mulut, pada 

kaki, dan perut bagian bawah. Selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan 

kerak, dan dibagian keropeng biasanya bagian tengahnya kurang aktif, 

sedangkan pertumbuhan aktif ada  pada bulu berupa kekusutan, 

rapuh dan akhirnya patah, ditemukan pula kegatalan .

 

d. Diagnosa  

 Uji klinis dan munculnya lesi zoonotik dapat dijadikan patokan, 

namun pengobatan tidak dapat dilakukan tanpa diagnostik yang lain. 

Test secara mikroskopik dengan cairan KOH dapat mengetahui adanya 

spora pada rambut, dan rontokannya. Namun kadang terjadi banyak 

kesalahan pada teknik ini. Test dengan menyinari lesi pada kulit 

dengan UV hanya dapat dipakai  untuk kasus M. canis 

dermatophytosis, bila hasilnya positif maka akan terlihat flouresen 

berwarna hijau. Test dengan media Sabouraud’s merupakan jalan 

terbaik untuk menjalankan diagnosa. Jika hewan peliharaan telah 

didiagnosa terkena dermatophytosis, penting juga mengidentikfikasi 

apakah hewan peliharaan yang lain terkena atau tidak. Jika setelah 

ditest hasilnya negatif, sebaiknya dilakukan test fungi ulang setelah 2 

minggu dari hasil status negatif. Jika hewan peliharaan negatif, 

sebaiknya segera diisolasi dari hewan lain yang terinfeksi 

e. Diferensial Diagnosa  

Gambaran klinis kasus ringworm sering dikelirukan dengan 

penyakit lainnya seperti pyoderma superficial, demodecosis,

seborrhea, dermatitis dan pemphigus complex. 

f. Prognosa 

Prognosa dari penyakit ringworm ini ialah fausta, tetapi jika  

kronis maka bisa dubius-infausta. 


g. Terapi 

Terapi topikal  

 Pengobatan dapat dikatakan tepat bila hanya memakai  terapi 

topikal. Obat antifngal topikal seperti miconazole dan clotrimazole 

dapat berfungsi untuk lesi yang kecil, sedangkan enilconazole atau 

limesulfur (4-8 oz/galon) dengan mencelupkan hewan dengan infeksi 

yang luas. Pemakaian tunggal clorhexidine tidak efektif untuk 

menghilangkan dermatophytosis ataupun mencegah kontaminasi 

lingkungan. Infeksi yang terjadi di cattery dianjurkan dalam waktu 

yang lama dan perlu dilakukan perubahan manajemen kandang 

Terapi Sistemik 

Terapi sistemik dapat dipakai  untuk pengobatan semua jenis 

dermatophytosis. Pilihan obat yang dipakai  adalah griseofulvin (50 

mg/kg PO q 24h) dicampur dengan makanan yang berminyak. 

Griseovulvin merupakan obat keras sehingga tidak dapat dipakai  

pada hewan yang hamil. Efek sampingnya yaitu depresi, ataxia dan 

anemia. Efek samping ini akan berhenti bila konsumsi obat tidak 

dilanjutkan. Depresi umsum tulang belakang akan terjadi pada kucing 

yang terinfeksi FeLV. Obat alternative lain yaitu ketoconazol (5-10 

mg/kg PO q 24h) atau dapat pula dipilih itraconazole (100 mg/kg PO q 

24h). Pengobatan harus berlanjut paling tidak 4-6 minggu dan tidak 

boleh berhenti sampai jamur tidak tumbuh lagi, agar pertumbuhan 

jamur dapat terjadi lagi .

 

D. Pediculosis 

a. Etiologi 

Infeksi kutu (lice) pada anjing paling banyk dilakukan oleh kutu 

menggigit, yang termasuk subordo Mallhopaga, dan kutu pengisap 

yang termasuk subordo Anopleura. Dari subordo yang pertama 

terbanyak dilakukan oleh kutu Heterdoxus sp dan Trichodectes sp 

sedang dari yang kedua oleh Linognathus sp. Kutu berbentuk sebagai 

insekta tanpa sayap berukuran 1-3 mm, ditopang oleh 6 kaki, tidak bisa 

bergerak cepat. Mereka adalah ektoparasit yang bersifat host-spesific, 

dan ditularkan lewat kontak antar hewan. Kutu dewasa bertelur 

dibatang rambut, melekat erat, dan di dalam mencapai dewasa 

mengalami perubahan bentuk beberapa kali (Subronto, 2006). 

Kutu heterodoxus spp yang berukuran 3 m, langsing, termasuk 

sering ditemukan menginfestasi anjing. Kutu Linognathus sitosus 

sering ditemukan pada anjing yang berbulu lebat (Subronto, 2006). 

Kutu Tricodectes canis yang berukuran 1-2 mm, merupakan hospes 

antara bagi cacing Dipylidium caninum dan cacing jantung 

Dipetalonema reconditum. Kutu Heterodoxus spp yang berukuran 

3mm, langsing, termasuk sering ditemukan menginfestasi anjing. Kutu 

Linognathus setosus sering ditemukan pada anjing yang berbulu lebat 


b. Patogenesis 

Kutu dapat dijumpai di berbagai bagoan kulit tubuh, terutama pada 

bagian kulit yang ada lipatannya. Daun telinga anjing yang 

menggantung juga sering disenangi oleh kutu karena teduh dan 

lembab. Infestasi yang bersifat sedang hanya menimbulkan rasa gatal 

dan ketidaktenangan. Pad infestasi yang bersifat berat terjadi 

kemerahan (eritema) kulit, exkoriasi, dan rontoknya rambut. Pada 

infestasi oleh kutu pengisap dapat terjadi anemia 

Anjing liar dan anjing yang dipelihara bersama hewan lain, atauang 

pemeliharaanya kurang higienis sering terinfeksi parasit, termasukutu, 

sampai derajat berat. Sebaliknya pada anjing yang dirawat dengan 

baik, infestasi kutu tidak merupakan masalah. Hal ini  dianggap 

penting dalam mengatasi infeksi kutu, apakah cukup membersihkan 

pada anjingnya saja, atau juga mencakup pembersihan lingkungan dan 

memakai  inteksida .

 

c. Gejala Klinis 

 

Gejala yang timbul akibat infestasi ektoparasit ini yaitu 

ketidaknyamanan dan pruritus (bervariasi tiap individu), terlihat 

butiran yang menyebar di rambut, alopecia pada dorsal dan lateral 

kaki belakang, timbul papula dan kerak pada daerah kaki belakang, 

ginggivitis kadang-kadang terjadi dan sering menimbulkan hair-ball, 

bagian yang menjadi prediliksi tungau ini mayoritas yaitu dorsothorak 

dan caudal anjing,

Anjing dapat mengalami gejala  yaitu adanya bercak-bercak coklat 

kehitaman di rambut pada bagian punggung dan ekor yang diakibatkan 

oleh adanya tungau dewasa dan larya sehingga nampak seperti taburan 

garam dan merica, gejala pruritus ringan, grooming yang berlebihan 

yang dikarenakan adanya ketidaknyamanan pada rambut sehingga 

memicu adanya hair-ball pada lambung dan sering dimuntahkan 

oleh anjing, ada  bulu-bulu yang patah dan keropeng di kulit pada 

bagian medial kaki belakang karena aktifnya aktifitas grooming di 

daerah ini , gingivo-stomatitis terjadi karena adanya tungau yang 

terbawa saat grooming akibat antigen tungau ini  

 

d. Diagnosa  

 

Diagnosa  pedikulosis didasarkan pada ditemukannya kutu, yang 

tidak begitu sulit, dan untuk identifikasi perlu diperhatikan morfologi, 

warna dan anatomi kutu ,

 

e. Diferensial Diagnosa  

Penyakit pediculosis ini memiliki diferensial diagnosa meliputi 

scabies dan dermatitis. 

 

f. Prognosis 

 

Prognosis adalah proses suatu kasus penyakit berdasar  hasil 

Diagnosa . Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu fausta dengan  tingkat 

kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan 

infausta dengan tingkat kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa dari 

kasus ini dapat dikatakan dubius ataupun infausta. 

 

g. Terapi 

 

 Infestasi kutu secara umum dapat diobati dengan cara dimandikan 

atau disemprot dengan insektisida yang tersedia, cat, mandi debu. 

Terapi yang dapat diberikan pada anjing  Coumaphos 0,5% (di lap), 

Ronnel 0,25% - 1% (topical), Lindane 1% (disemprot atau direndam), 

Chlordane 4% (direndam), Carbaryl (Shampo). 

Mengingat daur hidup kutu berlangsung dan diselesaikan pada 

hospes secara individual pengobatan dilakukan dengan memakai  

insektisida (Acarisida) baku. Obat yang dipakai  untuk mengatasi 

scabies maupun demodikosis dipandang mencakupi, dengan ulangan 1 

minggu kemudian. Penderita yang memiliki rambut panjang, perlu 

dicukur pendek.  

Dapat pula dengan pemberian ivermectin dengan dosis 0.2 mg/kg 

BB secara subcutan sebanyak 3 kali dengan interval pemberian selama 

10 – 14 hari atau peroral dengan dosis 300µg/kg BB. Selain itu, 

pengobatan dengan dipping dalam Lime-sufur juga efektif untuk 

menanggulangi infestasi tungau ini  ,

 

E. Phthiriasis 

 

a. Etiologi 

 

Phthiriasis merupakan penyakit kulit pada anjing yang dipicu 

oleh infestasi pinjal. Pinjal merupakan insekta tanpa sayap, berbentuk 

pipih, memiliki kaki-kaki kuat untuk meloncat. Infestasi pinjal yang 

banyak merugikan pada anjing ada beberapa jenis, yaitu yang termasuk 

familia Pulicidae dan familia Sarcopsyllidae. Spesies pinjal dari fam 

Pulicidae meliputi antara lain Pulex, Ctenocephalides, dan 

Septopsylla. Yang termasuk Sarcopsyllidae antara lain Echidnophaga. 

Spesies pinjal yang paling sering menyerang anjing dan kucing adalah 

Ctenocephalides canis dan Ct. felis, yang juga dapat menyerang 

berbagai hewan antara lain babi, kuda, serigala dan manusia ,

b. Patogenesis 

 

Pinjal dapat bertindak sebagai vector berbagai agen penyakit. 

Sudah menjadi kenyataan bahwa aktivitas pinjal anjing-kucing sangat 

terkait dengan suhu lingkungan, dimana jika suhu lingkungan panas 

pinjal akan semakin aktif bergerak dan menghisap darah.  Lain halnya 

dengan pinjal ayam, dimana pinjal akan membuat terowongan kedalam 

kulit yang jarang ditumbuhi bulu seperti sekitar mata. Pada saat aktif 

bergerak atau saat menghisap darah menimbulkan iritasi dan rasa sakit 

, tempat gigitan terjadi reaksi alergi, karena air liurnya  adalah hapten 

(antigen yang tidak lengkap) dan jika berikatan dengan kolagen kulit 

akan menjadi zat allergen, memicu  terjadi alergi tipe ringan yang 

memiliki tanda karakteristik ditemukan Ig E dan Eosinofilia, dengan 

gejala kegatalan. Anjing dan kucing memiliki kepekaan yang sangat 

berbeda terhadap gigitan pinjal. Pada yang peka akan terjadi alergi 

sehingga timbul kegatalan. 

 

c. Gejala Klinis 

 

Gejala klinis yang dapat timbul akibat penyakit ini antara lain 

menggosok, menggigit, menggaruk,  tempat gigitan, akibat lainnya 

terjadi kerontokan rambut, dan kadang-kadang terjadi kelukaan kulit). 

Jika luka yang terjadi terinfeksi oleh bakteri sekunder (Staphylococcus 

sp) maka pada awalnya akan terbentuk papula kemudian melanjut 

terbentuk pustula, dan jika pecah terlihat eksudat atau nanah yang 

mengental dan mengering akhirnya ditemukan kerak atau keropeng. 

Pada kasus kronis terlihat kulit menebal, keriput. 

 

d. Diagnosa  

 

Diagnosa  didasarkan pada pemeriksaan parasit dibawah 

mikroskop, dengan melihat bentukan morfologi dan pergerakan dari 

parasit ini . Dapat pula dengan mengamati rambut hewan. Rambut 

biasanya kotor, tinja pinjal berwarna hitam ada  disela-sela rambut. 

Titik darah juga terlihat menempel di rambut, dimana darah ini  

merupakan makanan bagi larva pinjal 

 

e. Diferensial Diagnosa  

Diferensial diagnosa dari infestasi pinjal ini meliputi pediculosis, 

ringworm, scabies dan babesiosis.  

 

 

f. Prognosis 

 

Prognosis dari penyakit ini adalah fausta. Artinya persentase 

kesembuhan diatas 50%.  

 

g. Terapi 

 

Terapi pengobatan yang utama adalah untuk menghilangkan pinjal 

dari tubuh hewan. Obat-obat dapat berupa serbuk atau cairan untuk 

disemprotkan atau dimandikan. Obat berupa serbuk dapat mengandung 

Rotenon 1%, Malathion 2%, Sevin (Carvaryl) 5%, Maldison 2%, 

Piperonyl-Butoxide 2%. Dalam bentuk aerosol dapat berupa Carbaryl 

0,4-1%, Maldison 0,06%. Obat untuk memandikan dapat berupa 

Deltametrin 50EC dibuat dalam larutan 12,5 ppm atau 18,5 ppm, 

Fipronil 50EC buat larutan 1 : 1000.secara sistemik dapat diberikan 

Fenchlorphos dengan dosis 200mg/kg, diberikan per os tiap 3-4 hari 

sampai populasi pinjal terkendali. Selain itu dapat diberikan 

dichlorphos yang diimpregnasikan ke dalam kalung anjing, namun hat-

hati karena terkadang dijumpai anjing yang tidak tahan terhadap 

dichlorphos ,

 

F. Babesiosis (Babesiosis Canis) 

 

a. Etiologi 

Babesiosis dipicu oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp. 

Nama Babesia sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang 

mengidentifikasi organisme didalam sel darah merah pada tahun 1888. 

Selanjutnya, pada tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan protozoa 

intra eritotrosit pada penderita sapi yang mengalami haemoglobinuria. 

Adapun kasus Babesiosis pada manusia pertama kali ditemukan pada 

peternak sapi di daerah Yugoslavia pada tahun 1957. berdasar  

taksonominya, Babesia sp. tergolong dalam Filum Apicomplexa, Sub-kelas 

Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Babesiidae dan Genus Babesia 

(Delfi et all, 2000). 

Babesiosis pada anjing dipicu oleh B. canis dan B. gibsoni.B. 

canis adalah parasit protozoa darah yang menyerang eritrosit serta 

penularannya melalui gigitan caplak.B. canis pertama kali diidentifikasi 

oleh Pinna dan Galli Valerio tahun 1895 di Italia (Ressang,1984). Secara 

morfologi parasit darah ini menyerupai B. bigemina yang menyerang sapi 

dengan vektor caplak Dermacentor marginatus dan Rhipicephalus 

sanguineus. 

 

b. Patogenesis 

 

Patogenitas parasit tidak membedakan umur hospes, baik itu anak 

anjing maupun dewasa. Parasitemia yang berlangsung selamna 3-4 hari, 

diikuti periode hilangnya parasit dari peredaran darah perifer selama lebih 

kurang 10 hari. Dalam waktu 2 minggu pascainfeksi akan terjadi 

parasitemia kedua, dengan jumlah parasit yang lebih banyak di sel darah 

merah, sebagai hasil perbanyakan secara pembelahan (Subronto, 2010). 

Adanya infeksi babesia di peredaran darah khususnya pada eritrosit 

akan memacu respon imun dari hospes seperti peningkatan sitokin yang 

menimbulkan demam. Selain itu, sitokin yang berlebih dapat 

memicu  kerusakan sel dan eritrosit menjadi pecah. Perkembangan 

protozoa ini di eritrosit juga memicu  eitrosit menjadi pecah sehingga 

terjadi anemia ,

Dua sindrom yang dapat terlihat pada infeksi Babesia sp. adalah  

ditandai dengan anemia hemolitik dan terjadinya beberapa disfungsi organ 

yang dapat menjelaskan sebagian dari tanda-tanda klinis yang diamati 

pada hewan yang terinfeksi babesiosis.,Protozoa 

Babesia sp. umumnya ditularkan oleh kutu dan mencapai aliran darah 

ketika kutu menghisap darah inang. Setelah masuk ke dalam tubuh inang, 

parasit menempel ke eritrosit, kemudian masuk kedalam eritrosis melalui 

proses endositosis, mengalami pematangan, dan kemudian mulai 

bereproduksi melalui reproduksi aseksual, yang menghasilkan merozoit. 

Eritrosit yang terinfeksi akhirnya pecah dan merozoit dirilis menyerang 

eritrosit lain. Patogenesis utama yang terkait dengan Babesiosis adalah 

anemia hemolitik. Anemia hemolitik adalah hasil dari cedera eritrosit 

langsung yang dipicu oleh parasit dan juga oleh mekanisme imun. 

Selain itu, sebagian besar anjing dengan Babesiosis memiliki 

trombositopenia. Gejala klinis yang timbul dari penyakit ini antara anak 

anjing umumnya lebih rentan terhadap Babesiosis dan dan memiliki risiko 

terbesar dari penyakit ini dan dapat menimbulkan kematian. Pada kasus 

anemia progresif dapat memicu  terjadinya hemoglobinemia, 

hemogloinuria, bilirubinemia dan icterus. 

 

c. Gejala Klinis 

 

Gejala klinis yang dapat timbul akibat penyakit ini antara lain demam, 

anoreksia, malaise, hemoglobinuria,splenomegali, dan hemolisis darah 

yang sering kali memicu  kematian Kematian hewan 

yang terinfeksi dapat meningkat jika infeksi ini  tidak dikendalikan 

khususnya pada anak anjing. 

Pada kasus kronis kadang terjadi kondisi  anemia dan 

haemoglobinuria. Dilaporkan bahwa kejadian babesia umumnya 

berlangsung subklinis.Penyakit ini dapat memicu  terjadinya anemia 

hemolitik, trombositopenia, dan splenomegali. Tanda lainya yang dapat 

menunjukkan adanya infeksi babesia adalah  pucat gusi dan lidah, urin 

berwarna merah atau orange, penyakit kuning (semburat kuning pada kulit, 

gusi, putih mata, dll), pembesaran kelenjar getah bening, dan pembesaran 

limpa ,

Pada infeksi yang berat babesia dapat memicu  adanya anemia 

hemolitik yang berat.Selain itu, pada infeksi yang kronis anjing biasanya 

memperlihatkan anemia dan demam dengan hiperplasia limfoid dan 

limfositosis.Anjing yang terinfeksi babesiosis dapat menghasilkan 

kekebalan yang bertahan seumur hidup terhadap penyakit ini ,

 

d. Diagnosa  

 

Diagnosa pada babesiosis dapat dilakukan dengan melihat gejala 

klinis yang ada, seperti pada daerah yang endemic, anjing yang mengalami 

demam tinggi, anemia apalagi sampai ikterus perlu dicurigai menderita 

babesiosis. Parasit kadang-kadang tidak selalu ditemukan dalam preparat 

darah. Parasit dapat ditemukan dalam preparat darah yang dibuat dari tetes 

pertama dari kapiler di daun telinga anjing. Selain itu, adanya 

splenomegali, meningkatnya waktu darah mengucur (bleeding time), 

kenaikan laju endapan darah dan meningkatnya bilirubin darah merupakan 

temuan penting dalam Diagnosa  babesiosis ,

Mikroskopi merupakan tes diagnostik yang sederhana dan paling 

mudah untuk dokter hewan mengidentifikasi babesiosis dengan 

memakai  pewarnaan giemsa. Selain itu pemeriksaan pada babesiosis 

dapat memakai  PCR dan ELISA. Meskipun PCR merupakan alat 

Diagnosa  yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinngi. Namun 

pemakaian nya untuk mendiagnosa Babesiosis masih terbatas dan belum 

dipakai  secara luas. pemakaian  PCR dilakukan di Australia untuk 

membedakan B. vogeli dan B. gibsoni. Sebagian besar negara eropa 

memakai  PCR untuk membedakan antara spesies B. canis, B. gibsoni, 

dan B. vogeli ,

 

e. Diferensial Diagnosa  

, Diferensial diagnose dari 

penyakit babesiosis ialah trypanosome, anaplasmosis, theileriasis, 

bacillary haemoglobinuria, leptospirosis, eperythrozoonosis, malaria 

falciparum, dimana terjadi demam tinggi, anemia, hemoglobin di dalam 

air kemih, jaundice (sakit kuning) dan gagal ginjal.  


f. Prognosis 

Prognosis dari penyakit ini tergantung dari seberapa parah parasit 

darah ini telah berada dalam tubuh pasien.Hal pertama yang di perhatikan 

jika ingin mengambil keputusan ialah melihat gejala klinis yang di 

tunjukkan oleh pasien, kondisi tubuh pasien dan umur dari pasien ,Namun kebanyak dari penyakit ini jika tidak di tangani dengan 

cepat akan memicu  kematian. Prognosis adalah proses suatu kasus 

penyakit berdasar  hasil Diagnosa . Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu 

fausta dengan  tingkat kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat 

kesembuhan 50 : 50 dan infausta dengan tingkat kesembuhan <50%. 

Sedangkan prognosa dari kasus ini dapat dikatakan dubius. 

Prognosis bergantung pula  pada tingkat perawatan dan  banyaknya 

Babesia sp. di dalam tubuh. pemakaian  transfusi darah memiliki dampak 

besar pada kelangsungan hidup hewan yang mengalami anemia berat. 

Kasus babesiosis dengan komplikasi pada organ lain seperti kasus gagal 

ginjal akut, sindrom gangguan pernapasan akut atau Babesiosis serebral 

memiliki prognosis paling buruk dan kematian dapat mecapai 50%. Di 

dalam beberapa kasus mendekati 100%, meskipun pengobatan yang 

dilakukan telah sangat intensif ,

 

g. Terapi  

 

Terapi Pengobatan yang utama adalah untuk menghilangkan parasit di 

dalam darah dan mengembalikan keadaan anjing yang mengalami anemia. 

Pemberian obat Diminazene aceturate, trypan blue and imidocarb 

dipropionate efektif diberikan kepada B. canis. Pada penyakit yang bersifat 

ringan sampai dengan sedang hewan dapat kembali sembuh setelah 

pemberian antibabesia. Selain mengunakan antibabesia pengendalian 

vektor penyakit perlu diperhatikan agar penyebaran babesia sp. tidak 

meluas. Pengendalian terbaik adalah dengan eliminasi atau penghilangan 

caplak yang menularkan babesia sp. ini . Penghilangan caplak ini  

bisa dengan cara rajin menyisir dan menyikat rambut anjing, memandikan 

anjing dengan sampoo serta memakai  produk yang bisa membunuh 

atau mengusir kutu dan caplak contohnya Selamectin. Dosis pemberian 

obat untuk babesiosis adalah sebagai berikut Imidocarb dipropionat pada 

dosis 7,5 mg/kg diberikan satu kali atau 7 mg/kg diberikan dua kali dengan 

interval pemberian 14 hari telah terbukti menghilangkan infeksi. 

Perhitungan dosis Diminazene  harus teliti karena dosis terapeutik yang 

rendah, terutama pada anakan. Obat diberikan kembali setelah pengobatan 

pertama jika masih terjadi infeksi. Pemberian obat untuk babesiosis harus 

diperhatikan karena beberapa obat dapat memicu  toksik pada otak. 

Tripan blue merupakan obat tertua untuk antibabesia. Namun di beberapa 

negara obat ini masih dipakai  untuk mengobati penyakit babesiosis 

Pengobatan pertama yang telah terbukti efektif terhadap B. gibsoni 

adalah kombinasi atovaquone dan azitromisin 

Parasit ini sangat sulit untuk dibersihkan dengan terapi konvensional dan 

anjing biasanya menjadi reservoir dan bersifat karier. Hewan yang terlihat 

anemia dan mengalami komplikasi memerlukan berbagai perawatan 

suportif, tergantung pada tingkat keparahan  kasus ,

Transfusi darah dapat diberikan pada anjing yang mengalami anemia. 

Pemberian elektrolit perlu diberikan untuk menambah cairan tubuh dan 

menyetabilkan tubuh. Cairan elektrolit yang diberikan seperti kalium 

klorida dan diuretik pada kasus gagal ginjal akut  ,Alat 

bantu respirasi sering diperlukan untuk kasus dengan edema paru akibat 

sindrom gangguan pernapasan akut.  

 

G. Ehrlichiasis 

 

a. Etiologi 

Ehrlichia merupakan tipe bakteri yang menyerang anjing dan 

spesies lainnya di dunia yang memicu  penyakit Ehrlichiosis. 

Ehrlichiosis dapat pula disebut sebagai penyakit tropical canine 

pancytopenia yang biasanya ditularkan melalui kutu. Ehrlichia 

menyerang sel darah putih ,

 

b. Patogenesis 

 

Erhlicia canis menginfeksi sel darah dengan melalui vektor 

Rhicicephalus sanguineus. Transmisi terjadi melalui vektor yang 

menginfeksi host dnegan kelenjer saliva yang menyerap darah. 

Erhlichia sp masuk ke dalam leukosit atau mungkin trombosit 

kemudian akan bertahan hidup lalu berkembang dan menyebar ke 

seluruh tubuh host melalui aliran darah menuju ke jaringan perifer. 

Ehrlichia canis mengnfeksi monosit dan limfosit di jaringan.  Siklus 

hidup dari Ehrlichia canis ada tiga tahap yaitu elementary bodies, 

initial bodies dan morulae. Selama sel kecil dari elementary bodies 

berkembang menjadi initial bodies dan masuk intracytoplasmis 

menjadi morulae. Organisme ini  akan meninggalkan sel dan akan 

menjadi sel yang hancur atau disebut exocytosis .

 

c. Gejala Klinis 

 

Gejala yang ditimbulkan tergantung pada spesies dan sistem imun 

anjing. Gejala klinis yang biasanya muncul antara lain demam, letargy, 

nafsu makan menurun, kehilangan berat badan, pembesaran 

limfonodus, splenomegali, rasa sakit dan kekakuan (terjadi akibat 

arthritis dan rasa sakit pada otot), batuk, ocular dan nasal discharge, 

muntah, diare, inflamasi daerah mata, gejala syaraf .

 

d. Diagnosa  

Diagnosa Ehrlichiosis sulit dilakukan. Pemeriksaan darah 

menunjukkan penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) dan 

penurunan sel darah merah (anemia) dan/atau sel darah putih 

(leukopenia) ,

Diagnosa dapat dilakukan dengan Immuno Fluoresecence Test (IF 

test) denhgan memakai  agen penyebab yang diisolasi dari kultur 

macrophage. Dengan demikian diagnosa ditegakkan berdasar  

gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium melalui deteksi 

antibodi memakai  antigen spesifik ditandai dengan naik-turunnya 

titer antibodi sebanyak 4 kali pada pemeriksan berikutnya. Preparat 

apus darah dan preparat usap dari endapan  buffy coat darah dapat 

dilakukan dengan melihat preparat apus darah untuk menemukan 

benda inklusi (morula) di limfpsit, monosit dan neutrofil. Diagnosa 

lain adalah dengan teknik diagnosa immunohistochemistry, PCR 


e. Diferensial Diagnosa  

Diferensial diagnosa dari Erhchia canis seperti anaplosmosis, 

babesiosis, dan bartonelosis 

 

f. Prognosis 

 

Prognosis dari penyakit ini tergantung dari seberapa parah parasit 

darah ini telah berada dalam tubuh pasien.Hal pertama yang di 

perhatikan jika ingin mengambil keputusan ialah melihat gejala klinis 

yang di tunjukkan oleh pasien, kondisi tubuh pasien dan umur dari 

pasien  Namun kebanyak dari penyakit ini jika tidak di 

tangani dengan cepat akan memicu  kematian. Prognosis adalah 

proses suatu kasus penyakit berdasar  hasil Diagnosa . Terdiri dari 

tiga tingkatan, yaitu fausta dengan  tingkat kesembuhan > 50%, dubius 

dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan infausta dengan tingkat 

kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa dari kasus ini dapat 

dikatakan dubius. 

 

g. Terapi 

 

Pengobatan yang biasanya diberikan pada kasusa ini yaitu 

doxyxyclin,  imidocarb dipropionate.  pada kasus Ehrlichiacanis dapat diberikan obat seperti 

doxycyclin, glucocorticoid , androgenic steroid. Glucocorticoid 

berfungsi sebagai imunosupresif androgenic steroid yang berfungsi 

dalam menstimulasi produksi sumsum tulang. Imidocarb 

diproprionate, dosis 5-7 mg/kg yang disuntikkan intramuscular atau 

subcutan dan diulangi setelah 14 hari. Untuk mengatasi anemia perlu 

diberikan terapi supportif dan bila perlu dilakuakn transfuse darah 


1) Demodecosis ialah penyakit kulit yang dipicu oleh tungau 

demodex dan biasanya menyerang anjing muda. Ada 3 jenis 

spesies demodex yaitu D.canis, D.injai, D.mite. D.canis dapat 

di temukan di pilosebaceous unit yaitu folikel rambut, saluran 

sebaceous, dan kelenjar sebaceous. 

2) Pyoderma adalah infeksi kulit yang dipicu oleh kuman 

penghasil nanah. Klasifikasi pyoderma tergantung pada 

etiologi, tempat dalam tubuh, dan kedalamannya di dalam kulit. 

Kulit anjing yang normal pada awalnya ditempati oleh 

mikrokokus. 

3) Ringworm ialah penyakit kulit yang dipicu oleh jamur 

yang menginfeksi kulit, bulu/rambut dan kuku/tanduk dalam 

berbagai intensitas infeksi. 

4) Pedikulosis ialah penyakit kulit yang dipicu oleh kutu. 

Jenis kutu yang menyerang pada anjing ialah heterodoxus spp 

5) Babesiosis pada anjing dipicu oleh B. canis dan B. 

gibsoni. B. canis adalah parasit protozoa darah yang 

menyerang eritrosit serta penularannya melalui gigitan caplak. 

6) Ehrlichiosis dapat pula disebut sebagai penyakit tropical canine 

pancytopenia yang biasanya ditularkan melalui kutu. Ehrlichia 

menyerang sel darah putih 

 

 Saran untuk pemilik hewan kesayangan dibutuhkan pengetahuan 

tentang cara pemeliharaan dan pengetahuantentang kesehatan juga 

harus mengenal penyakit dancara pengobatannya.  

 

 





Penyakit pernapasan menular (Kennel cough) atau canine infectious respiratory disease akibat 

infeksi virus maupun bakteri dapat menyebabkan reaksi batuk.  Faktor predisposisi terjadinya kennel 

cough pada anjing yaitu spesies, umur, jenis kelamin, musim, kepadatan anjing pada kennel, dan status 

vaksinasi.  Anjing kasus belum pernah divaksinasi dan dipelihara dengan cara dibiarkan lepas   Anjing 

kampung berumur 10 bulan dengan jenis kelamin betina menunjukkan gejala klinis berupa gangguan 

pernapasan seperti batuk, bersin, leleran pada mata dan hidung, serta demam.  Berdasarkan anamnesis, 

pemeriksaan fisik, dan uji laboratorium (X-ray, hematologi rutin, test kit distemper) anjing kasus 

didiagnosis menderita penyakit pernapasan menular atau canine infectious respiratory disease (kennel 

cough) dengan prognosis fausta.  Pemberian terapi dilakukan selama lima hari dengan prednison 1 

mg/kg BB, aminopilin 9 mg/kg BB, suplemen Sangobion® 1x1 tablet, dan doksisiklin 8 mg/kg BB.  

Terapi ini  memberikan hasil yang baik.  Anjing kasus menunjukkan tanda kesembuhan setelah 

pengobatan.  

 


Penyakit pada saluran respirasi dapat disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri, 

virus, fungi, dan protozoa yang transmisinya melalui kontak langsung, tidak langsung, aerosol, 

air, dan pakan yang terkontaminasi serta hewan pembawa/carrier (Dallas, 2006).  Infeksi 

saluran pernapasan pada anjing sering disebut dengan kennel cough atau canine infectious 

respiratory disease (Edinboro et al., 2004).  ada  beberapa agen penyebab kennel cough, 

yaitu canine respiratory coronavirus (CRCoV), canine herpesvirus (CHV), canine distemper 

virus (CDV), canine influenza virus (CIV), canine parainfluenza virus (CPiV), canine 

adenovirus type-2 (CAV-2), dan Bordetella bronchieptica (Maboni et al., 2019).  Meskipun 

kennel cough dianggap infeksi dengan banyak agen penyebab, terdapat dua bentuk utama.  

Bentuk pertama lebih ringan dan disebabkan oleh infeksi Bordetella bronchiseptica dan virus 

parainfluenza anjing.  Bentuk kedua memiliki kombinasi organisme penyebab yang lebih 

kompleks dan manifestasi klinisnya lebih parah dibandingkan bentuk pertama, seperti CDV 

dan CAV-2 ,

Kennel cough adalah infeksi yang menyerang anjing dari berbagai umur , Virus dan bakteri penyebab kennel cough disebarkan melalui droplet pernapasan yang 

dihasilkan dari bersin dan batuk hewan sakit.  Agen infeksi ini  juga menyebar melalui 

kontak dengan permukaan yang terkontaminasi.  Penyakit kennel cough biasanya terjadi ketika 

sejumlah besar anjing ditempatkan bersama dalam kandang-kandang yang tertutup.  Tanda 

klinis dimulai setelah masa inkubasi dan sebagian besar kasus dapat sembuh sendiri.  Akan 

tetapi, pada anak-anak anjing atau hewan dengan sistem imun yang rendah, infeksi campuran 

atau sekunder dapat berkembang menjadi infeksi saluran pernapasan bagian bawah seperti 

radang paru atau pneumonia ,

Kennel cough memiliki morbiditas yang tinggi dan ditandai dengan batuk kering, 

anoreksia, dan depresi serta dapat menyebabkan trakeobronkitis, pneumonia, dan bahkan 

kematian pada kasus yang parah.  Penyakit ini secara historis dianggap sebagai infeksi 

kompleks, karena terjadi infeksi gabungan beberapa virus (canine parainfluenza virus dan 

canine adenovirus type-2) dan agen bakteri mengakibatkan peningkatan gejala klinis   Adanya koinfeksi dapat meningkatkan keparahan penyakit dibandingkan dengan 

patogen tunggal 

  

Hewan kasus merupakan anjing kampung berumur 10 bulan, berwarna putih-kuning 

keemasan, berjenis kelamin betina dengan bobot badan 6,9 kg. Anjing kasus diperiksa pada 

tanggal 12 Agustus 2020.  

Anjing kasus dipelihara sejak umur tiga bulan, belum pernah divaksin dan diberikan 

obat cacing.  Anjing sekitar tiga bulan lalu pernah diinjeksi antiparasit ivermectin (Intermectin®, 

PT. Tekad Mandiri Citra, Bandung, Indonesia) dengan dosis anjuran 0,2-0,4 mL/kg BB secara 

subkutan untuk mengatasi infeksi ektoparasit dan antihistamin chlorfeniramin meleat (CTM®, 

PT. Ciubros Farma, Semarang, Indonesia) dengan dosis anjuran 2-4 mg/kg BB untuk menekan 

gatal.  Anjing dipelihara dengan cara dilepas di area sekitar rumah.  ada  dua ekor anjing 

termasuk anjing kasus yang dipelihara dan satu ekor yang telah divaksin lengkap.  Pakan yang 

sering diberikan yaitu nasi dicampur daging dan kadang-kadang diberikan pakan  kering (Bolt®, 

PT Central Proteina Prima, Jakarta, Indonesia).  Anjing kasus mulai menunjukkan gejala 

gangguan pernapasan seperti batuk dan bersin pada tanggal 3 Agustus 2020.  Mata dan hidung 

mengeluarkan leleran dan nafsu makan masih baik.  Gejala gangguan pernapasan berlangsung 

selama 10 hari.  

Pemeriksaan Fisik dan Tanda Klinis  

Berdasarkan pemeriksaan status praesens, diperoleh data hasil anjing kasus yang 

disajikan pada Tabel 1.  

Tabel 1.  Hasil pemeriksaan status praesens pada anjing kasus   

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Keterangan 

Temperatur (oC) 40,1 37,7-39,2 Tinggi 

Denyut Jantung (/menit) 116  120-130  Rendah 

Pulsus (/menit) 88  90-120  Rendah 

Respirasi (/menit) 40  10-30  Tinggi 

Capillary Refill Time (detik) < 2 detik < 2 detik Normal 

Sumber: Lukiswanto dan Yuniarti (2013) 

 

Pemeriksaan fisik menunjukkan anjing kasus memiliki skor kondisi tubuh 3/9, 

tergolong kurus (German et al., 2006).  ada  leleran (discharge) pada kedua mata dan 

hidung, demam, terdengar batuk dengan intensitas sedang, diakhir batuk tampak berusaha 

mengeluarkan sesuatu dari tenggorokannya (gagging), terkadang diikuti bersin, dan rambut 

kusam dan kasar.  Saat dilakukan palpasi pada farings dan trakhea terdapat refleks batuk serta 

limfonodus normal (tidak mengalami peradangan).  Saat dilakukan auskultasi, paru-paru masih 

terdengar normal.  Namun, pernapasan sedikit terganggu karena adanya batuk yang muncul 

dan pernapasan cepat tapi reguler.  

Pemeriksaan Laboratorium  

Sebagai pemeriksaan penunjang dalam membantu menegakkan diagnosis, dilakukan 

pemeriksaan hematologi rutin, complete blood count (iCell-8000Vet Auto Hematology 

Analyzer, Shenzhen iCubio Biomedical Technology Co., China), X-ray (X-ray Mobile SF 

100BY Blessmed, PT. Agusta Global Mandiri, Indonesia), dan test kit Antigen CDV 

(BIONOTE Co., Korea Selatan).  

Tabel 2. Hasil pemeriksaan hematologi rutin anjing kasus 

Parameter Nilai Rujukan* Hasil Keterangan 

WBC(x103/µl) 5,5-19,5 14 Normal 

Limfosit (x103/µl) 0,8-5,1 7,2 Tinggi 

Monosit (x103/µl) 0,1-8,0 0,5 Normal 

Granulosit (x103/µl) 4-12,6 6,3 Normal 

Limfosit% 12-30 50,9 Tinggi 

Granulosit% 60-80 45,4 Rendah 

Monosit% 2-9 3,7 Normal 

RBC (x10^6/ul) 6,0-10,0 5,26  Rendah 

HGB (g/dl) 9,5-15,0 2,9  Rendah 

MCV (fl) 62-72 58,7  Rendah 

MCH (pg) 13,3-17,5 5,5  Rendah 

MCHC (g/dL) 31-36 9,4  Rendah 

HCT (%) 37-55 30,9  Rendah 

PLT (x10^3/ul) 200-500 160 Rendah 

Keterangan: WBC (White blood cell), RBC (Red blood cell), HGB (Hemoglobin), MCV (Mean cell volume), 

MCH (Mean corpuscular hemoglobin), MCHC (Mean corpuscular hemoglobin concentration), 

HCT (Hematocrit), PLT (Platelets),  *Williams dan Wilkins, 2000 

 

Hasil pemeriksaan hematologi rutin menunjukkan terjadinya limfositosis, anemia 

mikrositik hipokromik, dan trombositopenia.  Pemeriksaan radiografi (X-ray) regio thoraks 

pada posisi rebah kiri (left recumbency) dan ventrodorsal menunjukkan trakhea normal (tidak 

mengalami penyempitan ataupun pelebaran).  Bronkhus dan paru-paru normal tidak 

mengalami peradangan (tidak mengalami bronkhitis, pneumonia, ataupun bronkhopneumonia).  

Pada pemeriksaan test kit CDV menunjukkan hasil negatif. 

 

 

Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium, anjing kasus 

didiagnosis menderita penyakit pernapasan menular pada anjing atau canine infectious 

respiratory disease.  Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium, 

prognosis yang dapat diambil yaitu fausta.  

 

Penanganan  

Penanganan yang diberikan pada hewan kasus adalah pemberian antiradang prednison 

dengan dosis 1 mg/kg BB PO selama lima hari (2x1 tablet); aminopilin 9 mg/kg BB PO selama 

lima hari (3x1/3 tablet) sebagai bronkodilatator; Sangobion® 1x1 tablet selama lima hari 

sebagai suplemen untuk menangani anemia dengan merangsang proses hematopoietis; dan 

antibiotik doxycycline 8 mg/kg BB PO selama lima hari (1x1/2 kapsul) untuk mencegah infeksi 

sekunder .


Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan uji laboratorium, anjing kasus 

didiagnosis menderita penyakit pernapasan menular pada anjing atau canine infectious 

respiratory disease (kennel cough).  Anjing kasus menunjukkan gejala klinis seperti 

peningkatan suhu tubuh (demam), gangguan pernapasan (bersin, batuk, discharge/leleran dari 

hidung), dan discharge pada mata.  Menurut Edinboro et al. (2004) masa inkubasi kennel cough 

berkisar antara 1-8 hari dan menunjukkan tanda-tanda klinis selama 1-2 minggu.  Pada saat 

pemeriksaan, anjing kasus sudah menunjukkan gejala gangguan pernapasan selama 10 hari.  


Berdasarkan tanda klinis yang muncul, terdapat beberapa diagnosis tentatif dari agen penyebab 

kennel cough seperti CDV, CPiV, CAV-2, dan B. bronchieptica.  Dugaan ini  didasarkan 

pada riwayat anjing yang belum pernah divaksinasi.  

Hasil pemeriksaan X-ray pada bagian thoraks terlihat normal pada bagian trakhea, 

bronkhus, dan paru-paru (belum menunjukkan tanda pneumonia).  Pada umumnya, tanda 

pneumonia muncul pada bentuk canine infectious respiratory disease (CIRD) yang parah atau 

komplikasi dari gabungan beberapa agen penyebab CIRD.  Tanda pneumonia juga muncul 

pada pemeriksaan auskultasi paru-paru yang ditunjukkan dengan peningkatan intensitas suara 

paru-paru (Buonavoglia dan Martella, 2007).  Pada saat pemeriksaan auskultasi pada anjing 

kasus, tidak terdengar peningkatan intensitas suara paru-paru dan hal ini diperkuat dengan hasil 

X-ray yang normal, namun anjing kasus menunjukkan refleks batuk saat dipalpasi pada bagian 

trakhea yang menunjukkan adanya peradangan (trakheitis ringan).  Pada hasil X-ray, trakhea 

terlihat tidak mengalami pelebaran ataupun penyempitan.  Hal ini kemungkinan besar 

disebabkan karena anjing kasus tidak terinfeksi oleh agen penyebab kennel cough yang 

kompleks, sehingga gejala yang ditimbulkan lebih ringan.  Hasil test kit CDV yang negatif 

memperkuat dugaan ini .  

Hasil pemeriksaan darah lengkap (hematologi rutin) lebih menunjukkan diagnosis ke 

arah penyakit virus, karena interpretasi hematologi rutin menunjukkan terjadinya limfositosis, 

anemia mikrositik hipokromik, dan trombositopenia.  Limfositosis mengindikasikan infeksi 

virus , anemia mikrositik hipokromik mengindikasikan radang kronis 

dan defisiensi Fe ,dan trombositopenia mengindikasikan terjadinya 

penurunan sistem peredaran darah Anemia dapat terjadi karena agen 

infeksius sudah menyebar secara viremia dan bertahan di sumsum tulang belakang 

menyebabkan erythroid hypoplasia dan juga dapat menyebabkan nonregeneratif anemia 

  Hal ini  juga dapat memengaruhi penyerapan zat besi menjadi kurang 

optimal, sehingga zat besi tidak tersedia untuk perkembangan retikulosit dan terjadilah anemia 

 Agen penyebab kennel cough pada anjing kasus kemungkinan disebabkan oleh CPiV 

ataupun CAV-2.  Berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, bentuk kennel 

cough pada anjing kasus termasuk ringan.  Menurut Schulz et al. (2014), CPiV termasuk dalam 

bentuk lebih ringan, sedangkan CAV-2 termasuk bentuk kedua yang memiliki kombinasi 

organisme penyebab yang lebih kompleks dan manifestasi klinisnya lebih parah dibandingkan 

bentuk pertama.  Penyakit CDV disingkirkan dari diagnosis sementara berdasarkan hasil test 

kit yang negatif, Bordetella bronchieptica disingkirkan berdasarkan hasil hematologi rutin 

yang menunjukkan adanya infeksi virus bukan bakteri, Penyakit CRCoV dan CHV 

disingkirkan karena tidak adanya tanda klinis yang spesifik selain gangguan saluran pernapasan.  

Pengujian terhadap CPiV ataupun CAV-2 dapat diuji dengan Polymerase Chain Reaction/PCR 

Pengujian menggunakan PCR memerlukan biaya yang tinggi, 

sehingga pengujian pada tingkat agen tidak dapat dilakukan.  

Anjing kasus setelah pengobatan menunjukkan kondisi yang lebih baik.  Pemberian 

antiradang, bronkhodilatator, suplemen untuk menangani anemia dengan merangsang proses 

hemopoitik, dan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder mampu menurunkan frekuensi 

batuk, bersin, melancarkan pernafasan, dan anjing mulai terlihat aktif.  Akan tetapi, perlu 

diperhatikan bila anjing yang terinfeksi dapat melepaskan agen patogen ke lingkungannya 

selama 2-3 bulan setelah pemulihan klinis 

Gambar 1.  Foto sebelah kiri memperlihatkan anjing kasus sebelum pengobatan (terdapat   

leleran mukus pada bagian hidung) dan foto sebelah kanan anjing teramati dalam 

kondisi lebih baik setelah pengobatan 

 

 

Penyakit infeksius pada sistem pernapasan anjing/CIRD atau disebut dengan kennel 

cough merupakan penyakit pernapasan sangat menular yang dapat menyebar dengan cepat di 

antara anjing, terutama jika mereka saling berdekatan.  Beberapa faktor predisposisi terjadinya 

kennel cough pada anjing yaitu spesies, umur, jenis kelamin, musim, dan kepadatan anjing pada 

kandang kennel 

Agen-agen yang dapat menyebabkan CIRD antara lain: canine respiratory coronavirus 

(CRCoV), canine herpesvirus (CHV), CDV, canine influenza virus (CIV), canine 

parainfluenza virus (CPiV), canine adenovirus type-2 (CAV-2). Selain virus, agen bakterial 

yang mampu menyebabkan CIRD antara lain Mycoplasma spp, B. bronchieptica, 

Streptococcus zooepidemicus, dan Chlamydophila sp., (Maboni et al., 2019). Agen penyebab 

kennel cough yang paling umum adalah bakteri B. bronchiseptica (ditemukan pada 78,7% 

kasus di Jerman Selatan), diikuti oleh virus parainfluenza anjing (37,7% kasus), dan pada 

tingkat lebih kecil, virus korona anjing (9,8% kasus) 

prevalensi terbesar kasus gangguan pada sistem 

pernapasan akibat bakterial terjadi pada anjing ras pug, kemudian labrador retriever, 

doberman pinscher, dachshund, boxer, crossbreed, german shepherd, golden retriever, lalu 

pomeranian.  Berdasarkan usianya, prevalensi kasus gangguan sistem respirasi terbesar terjadi 

pada usia 0-6 bulan, lalu diikuti anjing pada usia 6-48 bulan, kemudian anjing di atas 48 bulan.  

Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi terbesar terjadi pada hewan betina. Berdasarkan musim, 

prevalensi kasus gangguan pernapasan terbesar terjadi pada musim dingin.  Tingkat kepadatan 

yang tinggi pada kennel dapat meningkatkan prevalensi kasus gangguan sistem pernapasan.  

Adanya koinfeksi dapat meningkatkan keparahan penyakit dibandingkan dengan patogen 

infeksi tunggal, namun prevalensi dan peran koinfeksi dalam penyebab kennel cough masih 

belum jelas (Mitchell et al., 2017).  

Gejala paling umum pada penyakit kennel cough pada anjing adalah serangan batuk 

kering dan kasar, yang mungkin diikuti dengan bersin, mendengus, tersedak, atau muntah 

sebagai respons terhadap tekanan ringan pada trakhea atau setelah beraktivitas , Penyakit ini bisa lebih atau kurang serius tergantung pada usia dan kondisi kesehatan 

umum anjing atau anak anjing .  Gejala lainnya mungkin juga mencakup: 

hidung berair, bersin, dan leleran mata.  Kemunculan demam bervariasi dari kasus ke kasus 


Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan uji laboratorium, anjing kasus 

didiagnosis menderita penyakit menular pada sistem pernapasan anjing (canine infectious 

respiratory disease/kennel cough).  Pemberian terapi selama lima hari memberikan hasil yang 

baik dan anjing kasus menunjukkan tanda kesembuhan setelah pengobatan. 

Disarankan kepada seluruh pemilik hewan kesayangan untuk melakukan tindakan 

pencegahan penyakit infeksius berupa pemberian vaksinasi lengkap pada anak anjing yang 

dipelihara, baik pada usia dini (2,0-2,5 bulan) ataupun vaksin booster (ulangan) tiap tahun. 

Apabila hewan kesayangan menunjukkan gejala sakit, segera dibawa ke dokter hewan terdekat 

untuk dilakukan pemeriksaan sehingga pengobatan secara dini dapat segera diberikan.