penyakit anjing 2
Perkembangan zaman yang begitu cepat telah meningkatkan taraf dan gaya
hidup masyarakat. Banyak kebutuhan yang perlu dipenuhi seperti kebutuhan
primer, sekunder dan tersier. Kebutuhan tersier yang kini merupakan bagian
penting dari kebutuhan masyarakat contohnya hobi. Hobi yang tidak mudah
pasang-surut di kalangan masyarakat adalah memelihara hewan kesayangan,
salah satunya adalah anjing.
Anjing merupakan hewan kesayangan yang banyak dipelihara orang, selain
untuk kesenangan dan keindahan juga sebagai tambahan ekonomi bagi
keluarga dari sebagian masyarakat tertentu. Oleh karena itu kesehatan hewan
kiranya perlu diperhatikan supaya dapat melanjutkan keturunan, serta
terpelihara kelestariannya ,
Banyak orang memelihara anjing untuk dijadikan teman bermain, berburu,
sekaligus penjaga rumah yang dapat diandalkan.Pada dasarnya semua jenis
anjing sifatnya multi fungsi, hal ini wajar karena anjing sudah menjadi
binatang peliharaan sejak berabat – abat yang lalu , Pada
dasarnya semua jenis anjing sifatnya multi fungsi, hal ini wajar karena anjing
sudah menjadi binatang peliharaan sejak berabad-abad yang lalu. Namun,
sering kali pemilik mendapat hambatan dalam pengelolaan anjingnya karena
adanya penyakit, di antaranya adalah penyakit kulit dan parasit darah pada
anjing milik mereka.
Dalam memelihara anjing ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk
menjaga kesehatannya. Beberapa infeksi ektoparasit walaupun sangat ringan
dapat memicu rasa tidak nyaman bagi hewan, banyak parasit eksternal
dapat memicu gatal – gatal yang parah, lesi kulit dan penyakit kulit
kronis ,
Parasit eksternal pembawa berbagai penyakit menular dan dapat
menularkan penyakit saat menghisap darah hospes. Penyakit kulit yang sering
menyerang anjing yaitu demodecosis, pyoderma, ringworm, pediculosis, dan
phthiriasis sedangkan penyakit akibat parasit darah yaitu babesiosis dan
ehrlichiasis. Tiga jenis parasit eksternal yang paling sering ditemukan pada
anjing adalah kutu, caplak dan tungau. Ketiga parasit ini di klasifikasikan
sebagai arthropoda. Kutu termasuk golongan insekta dengan enam kaki, dan
caplak serta tungau adalah arachnida dan mempunyai delapan kaki ,
Tungau lebih banyak menghabiskan siklus hidupnya di bawah permukaan
kulit dan mampu memicu gangguan ringan kulit yang parah atau
gangguan telinga pada anjing yang terinfeksi.Adanya parasit di dalam tubuh
meskipun dalam jumlah besar mungkin hanya memicu parasitosis
subklinis.Penderita hanya sedikit mengalami gangguan klinis dan hanya
dengan pemeriksaan maka dapat di kenali penderita ini memerlukan
pengobatan terhadap parasit yang di kandungnya.
Demodecosis adalah penyakit yang dipicu oleh infeksi demodex
canis yang merupakan flora normal pada kulit anjing, dan menimbulkan
gangguan pada kulit anjing saat terjadi overpopulasi yang biasanya dikaitkan
dengan kondisi kekebalan tubuh yang rendah (imuno-supresi) pada hewan
Pyoderma merupakan suatu infeksi bakteri yang dapat terjadi pada
berbagai lapisan kulit. Infeksi kulit ini sering terjadi pada anjing dan jarang
terjadi pada anjing ,Pyoderma ini terjadi ketika pertahanan
alami kulit menurun sehingga memungkinkan bakteri kulit berkembang biak.
Bakteri-bakteri yang biasanya tidak hidup di kulit juga dapat berkoloni ketika
pertahanan kulit sedang menurun. Organisme lain, seperti organisme ragi dan
jamur, juga bisa mengambil keuntungan dari perubahan kulit yang mengalami
pyoderma dan membentuk infeksi mereka sendiri ().
Pediculosis merupakan penyakit akibat infestasi kutu (lice). Pada anjing
paling banyak dilakukan oleh kutu menggigit yang termasuk ke dalam subordo
Mallopaga dan kutu penghisap. Kutu ini dapat dijumpai di berbagai bagian
kulit tubuh, terutama pada bagian yang ada lipatannya,
Ringworm atau dermatofitosis adalah penyakit mikotik yang dipicu
oleh kapang dermatofit dan menyerang hewan (anjing, kucing, sapi, unggas
dan lain-lainnya). Penyebarannya hampir meliputi seluruh dunia.
Dermatofitosis ini dapat menular antar sesama hewan, dan antara manusia
dengan hewan (antropozoonosis) dan hewan kemanusia (zoonosis) dan
merupakan penyakit mikotik yang tertua di dunia. Dinamakan ringworm
karena pernah diduga penyebabnya adalah worm dan karena gejalanya dimulai
dengan adanya peradangan pada permukaan kulit yang bila dibiarkan akan
meluas secara melingkar seperti cincin, maka dinamai ringworm, meski
sebelumnya memang penyakit ini dipicu oleh cendawan namun akhirnya
pemakaian istilah ini tetap dipakai sampai sekarang. Penularan dari hewan
kemanusia (zoonosis) dilaporkan pada tahun 1820 dari sapi ke manusia. Hewan
yang terserang umumnya hewan piaraan adalah anjing, babi, domba, kucing,
kuda, kambing, sapi dan lainnya, namun yang paling utama ialah anjing,
kucing, sapi ,
Ehrlichiosis merupakan penyakit akibat infeksi mikroba. Pada anjing,
infeksi oleh agen penyakit ehrlichiosis yaitu Ehrlichia canis ditandai dengan
septicemia dan merupakan penyakit kuman ricketsia di daerah tropis. Agen ini
dapat ditemukan dalam leukosit, bersifat intrasitoplasmik, berbentuk coccoid,
serta hidup berkoloni ,
Babesiosis pada anjing tersebar di Afrika, Asia, Bagian Selatan Eropa,
Rusia, Amerika Tengah dan Selatan, sebagian kecil di Amerika Serikat. Di
Asia, penyakit ini telah dilaporkan ada di India, Sri Lanka, Jepang, dan China
(). Babesiosis merupakan infeksi oleh parasit intraeritrosit yang
dipicu oleh Babesia sp. Penyakit ini sering ditemukan di daerah yang
beriklim tropis, subtropis, dan beriklim sedang. Patogenitas dari spesies
Babesia di seluruh dunia beragam seiring dengan vektor biologisnya yang
tersebar secara luas. Keberadaan babesiosis di Indonesia sudah dilaporkan
sejak tahun 1986, tetapi sampai sekarang belum dapat diberantas , penyakit ini bersifat endemic
di daerah Bogor dan sekitarnya sehingga banyak ditemukan kasus babesiosis
dalam bentuk menahun.
Phthiriasis adalah penyakit akibat infeksi pinjal atau yang sering kita
sebut sebgaai kutu loncat. Secara langsung atau tidak infestasi pinjal
memicu gangguan yang lebih besar secara dermatologic daripada agen
etiologi lainnya. Hewan–hewan yang menjadi sasaran infestasi pinjal meliputi
anjing, serigala, kucing, babi, kuda, sapi, unggas dan manusia (
Penyakit ini dipicu oleh sejenis tungau yang disebut Demodex sp.,
berbentuk seperti cerutu atau wortel, mempunyai 4 pasang kaki yang
pendek dan gemuk serta memiliki 3 ruas.Bagian perutnya terbungkus kitin
dan bergaris melintang menyerupai cincin serta memipih ke arah caudal.
Ukuran tungau bervariasi antara 0,2 – 0,4 mm. Beberapa spesies tungau
memiliki inang spesifik, seperti demodecosis pada sapi. Pada sapi
dipicu oleh D.bovis, pada anjing oleh D.canis, D.cornei dan
D.injai.Pada kucing dipicu oleh D.cati dan D.gatoi, pada kambing
oleh D.caprae, D.criceti pada marmot, D.phylloides pada babi D.equi pada
kuda dan D.folliculorum pada manusia
Demodex cornei, demodex ini berbentuk lebih pendek (short-bodied)
dibanding Demodex canis. Dan satu parasit lagi yaitu Demodex injai yang
bertubuh lebih panjang (long bodied) dari Demodex canis. Demodex
cornei yang bertubuh lebih pendek dibanding Demodex canis ). Sedangkan Demodex injai yang bertubuh lebih
panjang dibanding Demodex canis dilaporkan oleh Desch and Hillier
(2003). Demodex injai ini ditemukan oleh Desch dan Hillier pada anjing di
Columbus, OH bulan Oktober 1996. Temuan ini pernah dilaporkan
oleh Desch dan Hilier pada tahun 1999 namun belum diberi nama dan baru
diberi nama Demodex injai pada tahun 2003 oleh Desch dan Hillier.
Demodex injai dan Demodex cornei ini mempunyai habitat di dalam
folikel rambut dan kelenjar sebaseus, sama sebagaimana pada Demodex
canis.
Tungau demodex hidup di dalam kelenjar minyak dan kelenjar
keringat (glandula sebacea) dan memakan epitel serta cairan limfe dari
beberapa hewan, kecuali unggas.Dalam kondisi tertentu tungau demodek
dapat menginfestasi manusia
Demodekosis merupakan penyakit yang dipicu oleh parasit yang
termasuk dalam genus Demodex yang berlokasi di folikel rambut
Penularan demodekosis ini terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari.
Dalam kondisi normal, parasit ini tidak memberikan kerugian bagi anjing,
namun bila kondisi kekebalan anjing menurun maka demodex akan
berkembang menjadi lebih banyak dan menimbulkan penyakit kulit. Pada
anak anjing akan tertular oleh induknya, namun setelah sistem kekebalan
tubuhnya meningkat kira-kira pada umur 1 minggu, maka parasit ini akan
menjadi flora normal dan tidak menimbulkan penyakit kulit
Demodex yang menginfeksi kulit akan mengalami perkembangbiakan
(siklus hidup) di dalam tubuh hospes ini . Siklus hidup lengkap
demodex adalah 20-30 hari pada tubuh hospes. Ada empat tahapan
perkembangan demodex dalam tubuh hospes yaitu: telur (fusiform), larva
berkaki enam (six legged), nimfa berkaki delapan (eight legged), demodex
dewasa (eight legged adult). Seluruh tahapan perkembangan ini hanya
terjadi pada satu hospes, jadi tidak ada perkembangan pada hospes lain,
sebagaimana yang terjadi pada parasit lain. Penyakit ini akan menyebar
luas melalui lesi dari moncong, mata, dan plantar kaki depan dan akan
meluas ke seluruh tubuh
jika tungau berkembang, tungau akan di temukan di seluruh
rambut, yang akhirnya kanal ini membengkak karena meradang.
Rambut mati dan lepas, yang di ikuti terbentuknya lesi yang bersifat
kering dan bersisik.Bagian yang mengalami lesi mengalami alopecia,
disertai perubahan hyperkeratosis ringan, yang di lapisi oleh sisik atau
keropemg yang berwarna abu-abu. Di sisi lain lesi dapat meluas, hingga
sebagian besar kulit penderita mengalami alopesia di sertai hyperkeratosis,
dengan keropeng berbentuk sisik sebagai akibat kematian sel epitel kulit
Gejala klinis yang tampak pada kulit berupa alopecia (kebotakan),
kemerahan, dan kulit mejadi berkerak.Pada tahap yang lebih lanjut, dapat
terjadi demodecosis general disertai dengan peradangan dan infeksi
sekunder oleh bakteri.Lapisan kulit yang terinfeksi terasa lebih berminyak
saat disentuh.Tungau sangat menyukai bagian tubuh yang kurang lebat
bulunya, seperti moncong hidung dan mulut, sekitar mata, telinga, bagian
bawah badan, pangkal ekor, leher sepanjang punggung dan kaki. Rasa
gatal yang ditandai dengan hewan selalu mengaruk dan menggosokkan
badannya pada benda lain atau menggigit bagian tubuh yang gatal,
sehingga terjadi iritasi pada bagian yang gatal berupa luka/lecet, kemudian
terjadi infeksi sekunder sehingga timbul abses, sering luka mengeluarkan
cairan (eksudat) yang kemudian mengering dan menggumpal dan
membentuk kerak pada permukaan kulit (Shipstone, 2000).
Diagnosa berdasar gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium
untuk mengidentifi kasi adanya tungau Demodex sp. Langkah Diagnosa
yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan deep skin scraping atau
pengerokan kulit hingga berdarah.Scraping dilakukan dengan memegang
dan menggosok daerah terinfeksi untuk mengeluarkan tungau dari folikel
dengan memakai scalpel. Scraping dilakukan pada beberapa tempat.
Kerokan kulit yang agak dalam dari bagian tengah lesi, kemudian diberi
tetesan KOH 10 % untuk diamati di bawah mikroskop. jika positif
maka akan ditemukan parasit demodex yang bentuknya seperti wortel atau
cerutu dengan ukuran 250-300 μm x 400 μm. Parasit ini tinggal di folikel
rambut dan kelenjar sebaceus dan siklus hidupnya terjadi pada tubuh induk
semang 20-35 hari. Hewan penderita yang sering diserang pada usia anjing
di bawah umur 1 tahun namun demikian pada anjing di atas umur tahun
banyak mengalami kejadian infeksi penyakit ini
Diferensial diagnosa dari Demodekosis diantaranya ialah :
Folikulitis/furunkulosis akibat bakteri, dermatophytosis,
pemphigus
kompleks, dermatitis kontak, dermatomiositis, dan lupus
erytrematous
kompleks.
Dermatitis yang dipicu oleh jamur atau Scabies .
f. Prognosis
Prognosis adalah proses suatu kasus penyakit berdasar hasil
Diagnosa . Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu fausta dengan tingkat
kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan
infausta dengan tingkat kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa
dari kasus ini dapat dikatakan fausta. Namun jika sampai menimbulkan
infeksi sekunder dan lama kelamaan menurunkan nafsu makan hewan,
maka akan memicu kematian.
g. Terapi
Pengobatan pada demodecosis bergantung pada tingkat keparahan
kasus yang terjadi. Pengobatan yang diberikan memerlukan waktu yang
lama dan harus dipantau secara berkala selama 4-6 minggu, untuk
memastikan populasi Demodex kembali normal. Pemeriksaan skin scrap
perlu dilakukan dengan interval 2 minggu, jika hasil pemeriksaan
menunjukkan tidak ditemukannya Demodex pada 2 kali pemeriksaan,
maka hewan ini dapat dikatakan sudah sembuh, dan pengobatan
dapat dihentikan Pengobatan dilarang memakai kortikosteroid
sistemik maupun topikal, karena kortikosteroid dapat memicu
imunosupresi yang kemungkinan akan memperparah demodecosis.
Pengobatan pada demodecosis lokal dapat dilakukan dengan memberikan
salep yang mengandung 1 % rotenone (goodwinol ointment) maupun gel
benzoyl peroxide 5 % yang diaplikasikan sekali sehari setiap hari selama
1-3 minggu.Selain itu, pengobatan harus disertai dengan memandikan
hewan dan melakukan pemberian shampoo yang mengandung antiseboroik
(benzoyl peroxide) secara berkala minimal semingu sekali. Selanjutnya
dapat memberikan amitraz yang diencerkan dengan konsentrasi 0,1 %
pada area alopecia sehari sekali selama dua minggu. Pemberian amitraz
dilakukan bila demodecosis sudah menyeluruh dan tanpa disertai
komplikasi. Untuk mengurangi efek samping dari amitraz dapat
memakai yohimbin dengan dosis 0,25 ml/10 kg BB secara intravena
perlahan-lahan ,
Pada anjing yang memiliki bulu panjang dan lebat, harus dilakukan
pencukuran rambut terlebih dahulu agar obat lebih mudah meresap. Obat
sistemik yang dapat diberikan adalah ivermectin (300-600 µg/kg bb/hari),
Milbemycin (1.0-2.0 mg/kg bb/hari), Moxidectine (0.5 mg/kg bb 2 minggu
1x secara topikal), dan vitamin E sebagai penguat efek terapi akarisida
(400- 800 IU 3-5x/hari) ,
B. Pyoderma
a. Etiologi
Pyoderma adalah fenomena infeksi kulit oleh kuman penghasil
nanah.Klasifikasi pyoderma tergantung pada etiologi, tempat dalam tubuh,
dan kedalamannya di dalam kulit. Kulit anjing yang normal pada awalnya
ditempati oleh mikrokokus (dalam bentuk koloni), sedikit difteroid dan
clostridia. Kadang-kadang kuman staphylococcus aureus, proteus dan
kuman gram negatif sebagai penghuni sementara dari populasi kuman
kulit. Hampir selalu terjadi bila ada luka kulit, baik internal maupun
eksternal, akan mengusik keseimbangan kuman, hingga staphylococcus
aureus atau kuman pathogen lainnya seperti proteus dan pseudomonas
berbiak dalam jumlah banyak, hingga terjadi pyoderma (Subronto, 2013).
Pyoderma dapat terjadi karena adanya infeksi dari berbagai macam
jenis bakteri. Bakteri yang memicu pyoderma antara lain
Staphylococcus intermedius, Staphylo-coccus ureus, Staphylococcus
hyicus, Pasteurella multocida, atau Pseudo-monas aeroginosa (Paterson
2008).
Selain itu, infeksi kulit ini dapat terjadi sebagai akibat komplikasi dari
alergi kulit (alergi kutu, alergi lingkungan, dan alergi makanan),
ketidakseimbangan hormon (hipotiroidism, Cushing’s disease), dan
kondisi lain yang berkaitan dengan sistem imun
Pyoderma adalah infeksi bakteri pada kulit. Ini terjadi ketika
pertahanan alami kulit menurun sehingga memungkinkan bakteri kulit
berkembang biak. Bakteri-bakteri yang biasanya tidak hidup di kulit juga
dapat berkoloni ketika pertahanan kulit sedang menurun. Organisme lain,
seperti organisme ragi dan jamur, juga bisa mengambil keuntungan dari
perubahan kulit yang mengalami pyoderma dan membentuk infeksi
mereka sendiri ,
Penyebab pyoderma di bedakan menjadi dua yaitu infeksi primer dan
infeksi sekunder. Infeksi sekunder dapat di sebabkan oleh berbagai lesi
kulit atau terkait dengan proses penyakit, baik itu sistemik maupun hanya
kulit saja. Tempat predileksi ada di antara jari-jari kaki, axilla dan
selakangan, titik-titik tekanan, cacat anatomic dan perpindahan mukosa
dengan kulit.Infeksi kuman di permudah oleh adanya trauma kulit, luka
akibat garukan karena gatal(pruritus), luka saat mencukur rambut, kulit
kering, ektoparasit, dan perubahan hormonal.Dari kuman-kuman yang di
usahakan di temukan dalam pyoderma Staphylococcus aureus merupakan
yang tertinggi ,
c. Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada infeksi pyoderma superfisial secara
umum adalah terbentuknya pustula pada kulit, merah, bengkak (berisi pus
berwarna putih pada bagian tengahnya, gatal, dan kerontokan
rambut.Bagian tubuh yang paling sering mengalami pyoderma superfisial
biasanya pada bagian leher, kepala, dan proksimal ekstremitas.Sedangkan
gejala klinis yang muncul pada deep pyoderma adalah rasa sakit, bau,
ada eksudat darah dan pus, erythema, kebengkakan, dan ulserasi pada
kulit.Infeksi deep pyoderma sering terjadi pada bagian interdigital, hock,
dan tungkai bagian lateral (Moriello, 2013).
Gejala klinis untuk impetigo ialah lesi berupa pustule dalam jumlah
banyak, terutama daerah yang tidak berbulu.Gejala klinis untuk folikulitis
superficial ialah lesi berupa papulae dan berkerak yang jumlahnya banyak,
kondisi radang kulit ini lebih berat dari pada impetigo.Pada bagian yang
hilang bulunya mungkin timbul hiperpigmentasi, memicu rasa gatal
yang sangat yang mungkin hal ini berkaitan dengan hipersensitivitas
terhadap kuman, alopesia, eritema, keropeng di bagian bawah tubuh anjing
Gejala klinis furunkulosis yaitu ketika folikulitis ini pecah dan kuman
menyebar, maka terjadilah furunkulosis, ukuran lesinya pun menjadi lebih
besar dan keluar nanah, sering terjadi di daerah moncong anjing. Gejala
klinis untuk cellulitis di tandai dengan radang difus, luas di sertai oedem
dan kadang juga nanah.Gejala klinis untuk hidradenitis supuratif berupa
radang bernanah dari kelenjar keringat dan lapisan kulit di dekatnya,
eritema bernanah, granulomatous di ketiak dan selakangan.Dan pyoderma
juvenil memiliki gejala klinis berupa bibir dan kelopak mata bengkak,
kelenjar limfe bengkak dan tidak jarang bernanah, cellulitis, folikulitis
yang disertai keopeng dan nanah
d. Diagnosa
Diagnosa pada pyoderma biasanya didasarkan pada anamnesis dan
sejarah medis dari hewan ini . Selain itu dapat juga dilakukan uji
tambahan seperti uji darah, kulturkulit, dan uji sensitivitas terhadap
antibiotik serta uji kultur fungi pada kulit.Dapat juga dilakukan
pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan laboratorium
e. Diferensial Diagnosa
Diferensial diagnosa utama untuk kasus pyoderma ialah dermatitis,
ringworm, demodex, penyakit hormonal (hipo-tiroidism, Cushing’s
disease), pustula, eritema, papula, dermato-phytosis, pemphigus kompleks,
derma-titis kontak, dermatomiositis, dan lupus erytrematous kompleks.
f. Prognosis
Prognosis adalah proses suatu kasus penyakit berdasar hasil
Diagnosa . Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu fausta dengan tingkat
kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan
infausta dengan tingkat kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa dari
kasus ini dapat dikatakan fausta.
g. Terapi
Terapi dapat dilakukan dengan pemberian Ivermectin 0.2 mg/kg bb sc,
Metronidazole 20 mg/kg bb, CTM 4 mg, dan Dexamethasone 0.3 mg/kg
bb . Pemberian Ivermectin bertujuan mengantisipasi jika ternyata
kejadian pyoderma pada kasus ini merupakan akibat dari infeksi parasit.
Metronidazole yang diberikan bertujuan untuk mengatasi infeksi bakteri
yang terjadi. Dexamethasone bertujuan untuk mengatasi proses inflamasi
dan alergi yang terjadi. Pemberian Dexamethasone dilakukan bersamaan
dengan pemberian CTM.
Menurut Smith dan Tilley (2000), pyoderma akibat Staphylococcus
intermedius dapat diterapi dengan pemberian Cephalosporin, Cloxacillin,
Oxacillin, Methicillin, Amoxicillin-clavulanate, Erythromycin, dan
Chloramphenicol.Terkadang isolat sudah resisten terhadap Amoxicillin,
Ampicillin, Penicillin, Tetrasiklin, dan Sulfonamida. Hindari pemakaian
steroid karena akan merangsang resistensi dan pengulangan kejadian
meskipun diberikan bersamaan dengan antibiotik. Oleh karena itu,
pemberian Dexamethasone yang merupakan turunan dari corticosteroid
sebaiknya tidak dipakai lagi untuk mengatasi kasus pyoderma.
C. Ringworm
a. Etiologi
Kapang atau cendawan merupakan salah satu jenis parasit yang
terdiri atas genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.
Berbagai spesies dari tiga genus kapang ini dapat menginfeksi kulit,
bulu/rambut dan kuku/tanduk dalam berbagai intensitas infeksi.
Hampir semua jenis hewan dapat diserangnya, dan penyakit ini secara
ekonomis sangat penting ,
Infeksi oleh kapang ini dinamakan ringworm (dermatophyte)
karena diduga penyebabnya adalah worm dan karena gejalanya
dimulai dengan adanya peradangan pada permukaan kulit yang bila
dibiarkan akan meluas secara melingkar seperti cincin. Nama
dermatofit (dermatophyte) merupakan jenis kapang penyebab
kerusakan di kulit karena zat keratin yang ada di kulit diperlukan
untuk pertumbuhannya ,
Pada anjing ringworm yang sering dipicu oleh kapang jenis
Trichophyton sp. dan Microsporum sp. karena Indonesia yang berada
di daerah tropis dengan kelembaban tinggi merupakan daerah yang
cocok bagi tumbuhnya berbagai jenis jamur. Bulu tebal dan panjang
pada anjing menjadi predileksi yang cocok bagi tumbuhnya jamur
b. Patogenesis
Dermatophyte ditularkan karena kontak dengan rambut atau kulit
yang terinfeksi dan elemen fungi pada hewan, di lingkungan atau
fomite (seperti, sisir, sikat, alat pencukur, kasur, pengangkutan sangkar
burung, dll). M. canis dapat berasal dari debu, ventilasi, dan penyaring
perapian tertutup. Spora M. canis dapat terus hidup di lingkungan
sampai 18 bulan. Jamur penyebab ringworm tumbuh subur di daerah
panas dan basah. T. mentagrophytes yang sebelumnya sudah ada
dalam kebanyakan sarang tikus, dan M.gypseum dari tanah yang
terkontaminasi sangat berpotensial untuk menyebarkan ringwom dari
hewan satu ke hewan lainnya dalam suatu lingkungan yang sudah
terkontaminasi pula, ini juga yang menjadi masalah utama pada
tempat-tempat penampungan atau pet shop. Ringworm bisa sangat
tahan lama di lingkungan dan dapat terbawa ke benda-benda furnitur,
karpet, debu, kipas angin,dll, dan dapat mengontaminasi hewan
peliharaan selama beberapa bulan bahkan tahun. Ringworm juga dapat
tersebar pada alat-alat grooming, mainan, dan selimut, atau bahkan
pada pakaian dan tangan manusia. Ringworm juga dapat ditemukan
pada bulu hewan dari lingkungan yang terkontaminasi tanpa
menimbulkan gejala apapun. Secara alami periode inkubasi untuk
kasus ringworm antara 4 hari – 4 minggu .
c. Gejala Klinis
Gejala yang terlihat pada anjing sering terjadi kerusakan disertai
kerontokan bulu di seluruh muka, hidung dan telinga, perubahan yang
tampak pada kulit berupa lingkaran atau cincin dengan batas jelas dan
umumnya dijumpai di daerah leher, muka terutama sekitar mulut, pada
kaki, dan perut bagian bawah. Selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan
kerak, dan dibagian keropeng biasanya bagian tengahnya kurang aktif,
sedangkan pertumbuhan aktif ada pada bulu berupa kekusutan,
rapuh dan akhirnya patah, ditemukan pula kegatalan .
d. Diagnosa
Uji klinis dan munculnya lesi zoonotik dapat dijadikan patokan,
namun pengobatan tidak dapat dilakukan tanpa diagnostik yang lain.
Test secara mikroskopik dengan cairan KOH dapat mengetahui adanya
spora pada rambut, dan rontokannya. Namun kadang terjadi banyak
kesalahan pada teknik ini. Test dengan menyinari lesi pada kulit
dengan UV hanya dapat dipakai untuk kasus M. canis
dermatophytosis, bila hasilnya positif maka akan terlihat flouresen
berwarna hijau. Test dengan media Sabouraud’s merupakan jalan
terbaik untuk menjalankan diagnosa. Jika hewan peliharaan telah
didiagnosa terkena dermatophytosis, penting juga mengidentikfikasi
apakah hewan peliharaan yang lain terkena atau tidak. Jika setelah
ditest hasilnya negatif, sebaiknya dilakukan test fungi ulang setelah 2
minggu dari hasil status negatif. Jika hewan peliharaan negatif,
sebaiknya segera diisolasi dari hewan lain yang terinfeksi
e. Diferensial Diagnosa
Gambaran klinis kasus ringworm sering dikelirukan dengan
penyakit lainnya seperti pyoderma superficial, demodecosis,
seborrhea, dermatitis dan pemphigus complex.
f. Prognosa
Prognosa dari penyakit ringworm ini ialah fausta, tetapi jika
kronis maka bisa dubius-infausta.
g. Terapi
Terapi topikal
Pengobatan dapat dikatakan tepat bila hanya memakai terapi
topikal. Obat antifngal topikal seperti miconazole dan clotrimazole
dapat berfungsi untuk lesi yang kecil, sedangkan enilconazole atau
limesulfur (4-8 oz/galon) dengan mencelupkan hewan dengan infeksi
yang luas. Pemakaian tunggal clorhexidine tidak efektif untuk
menghilangkan dermatophytosis ataupun mencegah kontaminasi
lingkungan. Infeksi yang terjadi di cattery dianjurkan dalam waktu
yang lama dan perlu dilakukan perubahan manajemen kandang
Terapi Sistemik
Terapi sistemik dapat dipakai untuk pengobatan semua jenis
dermatophytosis. Pilihan obat yang dipakai adalah griseofulvin (50
mg/kg PO q 24h) dicampur dengan makanan yang berminyak.
Griseovulvin merupakan obat keras sehingga tidak dapat dipakai
pada hewan yang hamil. Efek sampingnya yaitu depresi, ataxia dan
anemia. Efek samping ini akan berhenti bila konsumsi obat tidak
dilanjutkan. Depresi umsum tulang belakang akan terjadi pada kucing
yang terinfeksi FeLV. Obat alternative lain yaitu ketoconazol (5-10
mg/kg PO q 24h) atau dapat pula dipilih itraconazole (100 mg/kg PO q
24h). Pengobatan harus berlanjut paling tidak 4-6 minggu dan tidak
boleh berhenti sampai jamur tidak tumbuh lagi, agar pertumbuhan
jamur dapat terjadi lagi .
D. Pediculosis
a. Etiologi
Infeksi kutu (lice) pada anjing paling banyk dilakukan oleh kutu
menggigit, yang termasuk subordo Mallhopaga, dan kutu pengisap
yang termasuk subordo Anopleura. Dari subordo yang pertama
terbanyak dilakukan oleh kutu Heterdoxus sp dan Trichodectes sp
sedang dari yang kedua oleh Linognathus sp. Kutu berbentuk sebagai
insekta tanpa sayap berukuran 1-3 mm, ditopang oleh 6 kaki, tidak bisa
bergerak cepat. Mereka adalah ektoparasit yang bersifat host-spesific,
dan ditularkan lewat kontak antar hewan. Kutu dewasa bertelur
dibatang rambut, melekat erat, dan di dalam mencapai dewasa
mengalami perubahan bentuk beberapa kali (Subronto, 2006).
Kutu heterodoxus spp yang berukuran 3 m, langsing, termasuk
sering ditemukan menginfestasi anjing. Kutu Linognathus sitosus
sering ditemukan pada anjing yang berbulu lebat (Subronto, 2006).
Kutu Tricodectes canis yang berukuran 1-2 mm, merupakan hospes
antara bagi cacing Dipylidium caninum dan cacing jantung
Dipetalonema reconditum. Kutu Heterodoxus spp yang berukuran
3mm, langsing, termasuk sering ditemukan menginfestasi anjing. Kutu
Linognathus setosus sering ditemukan pada anjing yang berbulu lebat
b. Patogenesis
Kutu dapat dijumpai di berbagai bagoan kulit tubuh, terutama pada
bagian kulit yang ada lipatannya. Daun telinga anjing yang
menggantung juga sering disenangi oleh kutu karena teduh dan
lembab. Infestasi yang bersifat sedang hanya menimbulkan rasa gatal
dan ketidaktenangan. Pad infestasi yang bersifat berat terjadi
kemerahan (eritema) kulit, exkoriasi, dan rontoknya rambut. Pada
infestasi oleh kutu pengisap dapat terjadi anemia
Anjing liar dan anjing yang dipelihara bersama hewan lain, atauang
pemeliharaanya kurang higienis sering terinfeksi parasit, termasukutu,
sampai derajat berat. Sebaliknya pada anjing yang dirawat dengan
baik, infestasi kutu tidak merupakan masalah. Hal ini dianggap
penting dalam mengatasi infeksi kutu, apakah cukup membersihkan
pada anjingnya saja, atau juga mencakup pembersihan lingkungan dan
memakai inteksida .
c. Gejala Klinis
Gejala yang timbul akibat infestasi ektoparasit ini yaitu
ketidaknyamanan dan pruritus (bervariasi tiap individu), terlihat
butiran yang menyebar di rambut, alopecia pada dorsal dan lateral
kaki belakang, timbul papula dan kerak pada daerah kaki belakang,
ginggivitis kadang-kadang terjadi dan sering menimbulkan hair-ball,
bagian yang menjadi prediliksi tungau ini mayoritas yaitu dorsothorak
dan caudal anjing,
Anjing dapat mengalami gejala yaitu adanya bercak-bercak coklat
kehitaman di rambut pada bagian punggung dan ekor yang diakibatkan
oleh adanya tungau dewasa dan larya sehingga nampak seperti taburan
garam dan merica, gejala pruritus ringan, grooming yang berlebihan
yang dikarenakan adanya ketidaknyamanan pada rambut sehingga
memicu adanya hair-ball pada lambung dan sering dimuntahkan
oleh anjing, ada bulu-bulu yang patah dan keropeng di kulit pada
bagian medial kaki belakang karena aktifnya aktifitas grooming di
daerah ini , gingivo-stomatitis terjadi karena adanya tungau yang
terbawa saat grooming akibat antigen tungau ini
d. Diagnosa
Diagnosa pedikulosis didasarkan pada ditemukannya kutu, yang
tidak begitu sulit, dan untuk identifikasi perlu diperhatikan morfologi,
warna dan anatomi kutu ,
e. Diferensial Diagnosa
Penyakit pediculosis ini memiliki diferensial diagnosa meliputi
scabies dan dermatitis.
f. Prognosis
Prognosis adalah proses suatu kasus penyakit berdasar hasil
Diagnosa . Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu fausta dengan tingkat
kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan
infausta dengan tingkat kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa dari
kasus ini dapat dikatakan dubius ataupun infausta.
g. Terapi
Infestasi kutu secara umum dapat diobati dengan cara dimandikan
atau disemprot dengan insektisida yang tersedia, cat, mandi debu.
Terapi yang dapat diberikan pada anjing Coumaphos 0,5% (di lap),
Ronnel 0,25% - 1% (topical), Lindane 1% (disemprot atau direndam),
Chlordane 4% (direndam), Carbaryl (Shampo).
Mengingat daur hidup kutu berlangsung dan diselesaikan pada
hospes secara individual pengobatan dilakukan dengan memakai
insektisida (Acarisida) baku. Obat yang dipakai untuk mengatasi
scabies maupun demodikosis dipandang mencakupi, dengan ulangan 1
minggu kemudian. Penderita yang memiliki rambut panjang, perlu
dicukur pendek.
Dapat pula dengan pemberian ivermectin dengan dosis 0.2 mg/kg
BB secara subcutan sebanyak 3 kali dengan interval pemberian selama
10 – 14 hari atau peroral dengan dosis 300µg/kg BB. Selain itu,
pengobatan dengan dipping dalam Lime-sufur juga efektif untuk
menanggulangi infestasi tungau ini ,
E. Phthiriasis
a. Etiologi
Phthiriasis merupakan penyakit kulit pada anjing yang dipicu
oleh infestasi pinjal. Pinjal merupakan insekta tanpa sayap, berbentuk
pipih, memiliki kaki-kaki kuat untuk meloncat. Infestasi pinjal yang
banyak merugikan pada anjing ada beberapa jenis, yaitu yang termasuk
familia Pulicidae dan familia Sarcopsyllidae. Spesies pinjal dari fam
Pulicidae meliputi antara lain Pulex, Ctenocephalides, dan
Septopsylla. Yang termasuk Sarcopsyllidae antara lain Echidnophaga.
Spesies pinjal yang paling sering menyerang anjing dan kucing adalah
Ctenocephalides canis dan Ct. felis, yang juga dapat menyerang
berbagai hewan antara lain babi, kuda, serigala dan manusia ,
b. Patogenesis
Pinjal dapat bertindak sebagai vector berbagai agen penyakit.
Sudah menjadi kenyataan bahwa aktivitas pinjal anjing-kucing sangat
terkait dengan suhu lingkungan, dimana jika suhu lingkungan panas
pinjal akan semakin aktif bergerak dan menghisap darah. Lain halnya
dengan pinjal ayam, dimana pinjal akan membuat terowongan kedalam
kulit yang jarang ditumbuhi bulu seperti sekitar mata. Pada saat aktif
bergerak atau saat menghisap darah menimbulkan iritasi dan rasa sakit
, tempat gigitan terjadi reaksi alergi, karena air liurnya adalah hapten
(antigen yang tidak lengkap) dan jika berikatan dengan kolagen kulit
akan menjadi zat allergen, memicu terjadi alergi tipe ringan yang
memiliki tanda karakteristik ditemukan Ig E dan Eosinofilia, dengan
gejala kegatalan. Anjing dan kucing memiliki kepekaan yang sangat
berbeda terhadap gigitan pinjal. Pada yang peka akan terjadi alergi
sehingga timbul kegatalan.
c. Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat timbul akibat penyakit ini antara lain
menggosok, menggigit, menggaruk, tempat gigitan, akibat lainnya
terjadi kerontokan rambut, dan kadang-kadang terjadi kelukaan kulit).
Jika luka yang terjadi terinfeksi oleh bakteri sekunder (Staphylococcus
sp) maka pada awalnya akan terbentuk papula kemudian melanjut
terbentuk pustula, dan jika pecah terlihat eksudat atau nanah yang
mengental dan mengering akhirnya ditemukan kerak atau keropeng.
Pada kasus kronis terlihat kulit menebal, keriput.
d. Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada pemeriksaan parasit dibawah
mikroskop, dengan melihat bentukan morfologi dan pergerakan dari
parasit ini . Dapat pula dengan mengamati rambut hewan. Rambut
biasanya kotor, tinja pinjal berwarna hitam ada disela-sela rambut.
Titik darah juga terlihat menempel di rambut, dimana darah ini
merupakan makanan bagi larva pinjal
e. Diferensial Diagnosa
Diferensial diagnosa dari infestasi pinjal ini meliputi pediculosis,
ringworm, scabies dan babesiosis.
f. Prognosis
Prognosis dari penyakit ini adalah fausta. Artinya persentase
kesembuhan diatas 50%.
g. Terapi
Terapi pengobatan yang utama adalah untuk menghilangkan pinjal
dari tubuh hewan. Obat-obat dapat berupa serbuk atau cairan untuk
disemprotkan atau dimandikan. Obat berupa serbuk dapat mengandung
Rotenon 1%, Malathion 2%, Sevin (Carvaryl) 5%, Maldison 2%,
Piperonyl-Butoxide 2%. Dalam bentuk aerosol dapat berupa Carbaryl
0,4-1%, Maldison 0,06%. Obat untuk memandikan dapat berupa
Deltametrin 50EC dibuat dalam larutan 12,5 ppm atau 18,5 ppm,
Fipronil 50EC buat larutan 1 : 1000.secara sistemik dapat diberikan
Fenchlorphos dengan dosis 200mg/kg, diberikan per os tiap 3-4 hari
sampai populasi pinjal terkendali. Selain itu dapat diberikan
dichlorphos yang diimpregnasikan ke dalam kalung anjing, namun hat-
hati karena terkadang dijumpai anjing yang tidak tahan terhadap
dichlorphos ,
F. Babesiosis (Babesiosis Canis)
a. Etiologi
Babesiosis dipicu oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp.
Nama Babesia sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang
mengidentifikasi organisme didalam sel darah merah pada tahun 1888.
Selanjutnya, pada tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan protozoa
intra eritotrosit pada penderita sapi yang mengalami haemoglobinuria.
Adapun kasus Babesiosis pada manusia pertama kali ditemukan pada
peternak sapi di daerah Yugoslavia pada tahun 1957. berdasar
taksonominya, Babesia sp. tergolong dalam Filum Apicomplexa, Sub-kelas
Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Babesiidae dan Genus Babesia
(Delfi et all, 2000).
Babesiosis pada anjing dipicu oleh B. canis dan B. gibsoni.B.
canis adalah parasit protozoa darah yang menyerang eritrosit serta
penularannya melalui gigitan caplak.B. canis pertama kali diidentifikasi
oleh Pinna dan Galli Valerio tahun 1895 di Italia (Ressang,1984). Secara
morfologi parasit darah ini menyerupai B. bigemina yang menyerang sapi
dengan vektor caplak Dermacentor marginatus dan Rhipicephalus
sanguineus.
b. Patogenesis
Patogenitas parasit tidak membedakan umur hospes, baik itu anak
anjing maupun dewasa. Parasitemia yang berlangsung selamna 3-4 hari,
diikuti periode hilangnya parasit dari peredaran darah perifer selama lebih
kurang 10 hari. Dalam waktu 2 minggu pascainfeksi akan terjadi
parasitemia kedua, dengan jumlah parasit yang lebih banyak di sel darah
merah, sebagai hasil perbanyakan secara pembelahan (Subronto, 2010).
Adanya infeksi babesia di peredaran darah khususnya pada eritrosit
akan memacu respon imun dari hospes seperti peningkatan sitokin yang
menimbulkan demam. Selain itu, sitokin yang berlebih dapat
memicu kerusakan sel dan eritrosit menjadi pecah. Perkembangan
protozoa ini di eritrosit juga memicu eitrosit menjadi pecah sehingga
terjadi anemia ,
Dua sindrom yang dapat terlihat pada infeksi Babesia sp. adalah
ditandai dengan anemia hemolitik dan terjadinya beberapa disfungsi organ
yang dapat menjelaskan sebagian dari tanda-tanda klinis yang diamati
pada hewan yang terinfeksi babesiosis.,Protozoa
Babesia sp. umumnya ditularkan oleh kutu dan mencapai aliran darah
ketika kutu menghisap darah inang. Setelah masuk ke dalam tubuh inang,
parasit menempel ke eritrosit, kemudian masuk kedalam eritrosis melalui
proses endositosis, mengalami pematangan, dan kemudian mulai
bereproduksi melalui reproduksi aseksual, yang menghasilkan merozoit.
Eritrosit yang terinfeksi akhirnya pecah dan merozoit dirilis menyerang
eritrosit lain. Patogenesis utama yang terkait dengan Babesiosis adalah
anemia hemolitik. Anemia hemolitik adalah hasil dari cedera eritrosit
langsung yang dipicu oleh parasit dan juga oleh mekanisme imun.
Selain itu, sebagian besar anjing dengan Babesiosis memiliki
trombositopenia. Gejala klinis yang timbul dari penyakit ini antara anak
anjing umumnya lebih rentan terhadap Babesiosis dan dan memiliki risiko
terbesar dari penyakit ini dan dapat menimbulkan kematian. Pada kasus
anemia progresif dapat memicu terjadinya hemoglobinemia,
hemogloinuria, bilirubinemia dan icterus.
c. Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat timbul akibat penyakit ini antara lain demam,
anoreksia, malaise, hemoglobinuria,splenomegali, dan hemolisis darah
yang sering kali memicu kematian Kematian hewan
yang terinfeksi dapat meningkat jika infeksi ini tidak dikendalikan
khususnya pada anak anjing.
Pada kasus kronis kadang terjadi kondisi anemia dan
haemoglobinuria. Dilaporkan bahwa kejadian babesia umumnya
berlangsung subklinis.Penyakit ini dapat memicu terjadinya anemia
hemolitik, trombositopenia, dan splenomegali. Tanda lainya yang dapat
menunjukkan adanya infeksi babesia adalah pucat gusi dan lidah, urin
berwarna merah atau orange, penyakit kuning (semburat kuning pada kulit,
gusi, putih mata, dll), pembesaran kelenjar getah bening, dan pembesaran
limpa ,
Pada infeksi yang berat babesia dapat memicu adanya anemia
hemolitik yang berat.Selain itu, pada infeksi yang kronis anjing biasanya
memperlihatkan anemia dan demam dengan hiperplasia limfoid dan
limfositosis.Anjing yang terinfeksi babesiosis dapat menghasilkan
kekebalan yang bertahan seumur hidup terhadap penyakit ini ,
d. Diagnosa
Diagnosa pada babesiosis dapat dilakukan dengan melihat gejala
klinis yang ada, seperti pada daerah yang endemic, anjing yang mengalami
demam tinggi, anemia apalagi sampai ikterus perlu dicurigai menderita
babesiosis. Parasit kadang-kadang tidak selalu ditemukan dalam preparat
darah. Parasit dapat ditemukan dalam preparat darah yang dibuat dari tetes
pertama dari kapiler di daun telinga anjing. Selain itu, adanya
splenomegali, meningkatnya waktu darah mengucur (bleeding time),
kenaikan laju endapan darah dan meningkatnya bilirubin darah merupakan
temuan penting dalam Diagnosa babesiosis ,
Mikroskopi merupakan tes diagnostik yang sederhana dan paling
mudah untuk dokter hewan mengidentifikasi babesiosis dengan
memakai pewarnaan giemsa. Selain itu pemeriksaan pada babesiosis
dapat memakai PCR dan ELISA. Meskipun PCR merupakan alat
Diagnosa yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinngi. Namun
pemakaian nya untuk mendiagnosa Babesiosis masih terbatas dan belum
dipakai secara luas. pemakaian PCR dilakukan di Australia untuk
membedakan B. vogeli dan B. gibsoni. Sebagian besar negara eropa
memakai PCR untuk membedakan antara spesies B. canis, B. gibsoni,
dan B. vogeli ,
e. Diferensial Diagnosa
, Diferensial diagnose dari
penyakit babesiosis ialah trypanosome, anaplasmosis, theileriasis,
bacillary haemoglobinuria, leptospirosis, eperythrozoonosis, malaria
falciparum, dimana terjadi demam tinggi, anemia, hemoglobin di dalam
air kemih, jaundice (sakit kuning) dan gagal ginjal.
f. Prognosis
Prognosis dari penyakit ini tergantung dari seberapa parah parasit
darah ini telah berada dalam tubuh pasien.Hal pertama yang di perhatikan
jika ingin mengambil keputusan ialah melihat gejala klinis yang di
tunjukkan oleh pasien, kondisi tubuh pasien dan umur dari pasien ,Namun kebanyak dari penyakit ini jika tidak di tangani dengan
cepat akan memicu kematian. Prognosis adalah proses suatu kasus
penyakit berdasar hasil Diagnosa . Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu
fausta dengan tingkat kesembuhan > 50%, dubius dengan tingkat
kesembuhan 50 : 50 dan infausta dengan tingkat kesembuhan <50%.
Sedangkan prognosa dari kasus ini dapat dikatakan dubius.
Prognosis bergantung pula pada tingkat perawatan dan banyaknya
Babesia sp. di dalam tubuh. pemakaian transfusi darah memiliki dampak
besar pada kelangsungan hidup hewan yang mengalami anemia berat.
Kasus babesiosis dengan komplikasi pada organ lain seperti kasus gagal
ginjal akut, sindrom gangguan pernapasan akut atau Babesiosis serebral
memiliki prognosis paling buruk dan kematian dapat mecapai 50%. Di
dalam beberapa kasus mendekati 100%, meskipun pengobatan yang
dilakukan telah sangat intensif ,
g. Terapi
Terapi Pengobatan yang utama adalah untuk menghilangkan parasit di
dalam darah dan mengembalikan keadaan anjing yang mengalami anemia.
Pemberian obat Diminazene aceturate, trypan blue and imidocarb
dipropionate efektif diberikan kepada B. canis. Pada penyakit yang bersifat
ringan sampai dengan sedang hewan dapat kembali sembuh setelah
pemberian antibabesia. Selain mengunakan antibabesia pengendalian
vektor penyakit perlu diperhatikan agar penyebaran babesia sp. tidak
meluas. Pengendalian terbaik adalah dengan eliminasi atau penghilangan
caplak yang menularkan babesia sp. ini . Penghilangan caplak ini
bisa dengan cara rajin menyisir dan menyikat rambut anjing, memandikan
anjing dengan sampoo serta memakai produk yang bisa membunuh
atau mengusir kutu dan caplak contohnya Selamectin. Dosis pemberian
obat untuk babesiosis adalah sebagai berikut Imidocarb dipropionat pada
dosis 7,5 mg/kg diberikan satu kali atau 7 mg/kg diberikan dua kali dengan
interval pemberian 14 hari telah terbukti menghilangkan infeksi.
Perhitungan dosis Diminazene harus teliti karena dosis terapeutik yang
rendah, terutama pada anakan. Obat diberikan kembali setelah pengobatan
pertama jika masih terjadi infeksi. Pemberian obat untuk babesiosis harus
diperhatikan karena beberapa obat dapat memicu toksik pada otak.
Tripan blue merupakan obat tertua untuk antibabesia. Namun di beberapa
negara obat ini masih dipakai untuk mengobati penyakit babesiosis
Pengobatan pertama yang telah terbukti efektif terhadap B. gibsoni
adalah kombinasi atovaquone dan azitromisin
Parasit ini sangat sulit untuk dibersihkan dengan terapi konvensional dan
anjing biasanya menjadi reservoir dan bersifat karier. Hewan yang terlihat
anemia dan mengalami komplikasi memerlukan berbagai perawatan
suportif, tergantung pada tingkat keparahan kasus ,
Transfusi darah dapat diberikan pada anjing yang mengalami anemia.
Pemberian elektrolit perlu diberikan untuk menambah cairan tubuh dan
menyetabilkan tubuh. Cairan elektrolit yang diberikan seperti kalium
klorida dan diuretik pada kasus gagal ginjal akut ,Alat
bantu respirasi sering diperlukan untuk kasus dengan edema paru akibat
sindrom gangguan pernapasan akut.
G. Ehrlichiasis
a. Etiologi
Ehrlichia merupakan tipe bakteri yang menyerang anjing dan
spesies lainnya di dunia yang memicu penyakit Ehrlichiosis.
Ehrlichiosis dapat pula disebut sebagai penyakit tropical canine
pancytopenia yang biasanya ditularkan melalui kutu. Ehrlichia
menyerang sel darah putih ,
b. Patogenesis
Erhlicia canis menginfeksi sel darah dengan melalui vektor
Rhicicephalus sanguineus. Transmisi terjadi melalui vektor yang
menginfeksi host dnegan kelenjer saliva yang menyerap darah.
Erhlichia sp masuk ke dalam leukosit atau mungkin trombosit
kemudian akan bertahan hidup lalu berkembang dan menyebar ke
seluruh tubuh host melalui aliran darah menuju ke jaringan perifer.
Ehrlichia canis mengnfeksi monosit dan limfosit di jaringan. Siklus
hidup dari Ehrlichia canis ada tiga tahap yaitu elementary bodies,
initial bodies dan morulae. Selama sel kecil dari elementary bodies
berkembang menjadi initial bodies dan masuk intracytoplasmis
menjadi morulae. Organisme ini akan meninggalkan sel dan akan
menjadi sel yang hancur atau disebut exocytosis .
c. Gejala Klinis
Gejala yang ditimbulkan tergantung pada spesies dan sistem imun
anjing. Gejala klinis yang biasanya muncul antara lain demam, letargy,
nafsu makan menurun, kehilangan berat badan, pembesaran
limfonodus, splenomegali, rasa sakit dan kekakuan (terjadi akibat
arthritis dan rasa sakit pada otot), batuk, ocular dan nasal discharge,
muntah, diare, inflamasi daerah mata, gejala syaraf .
d. Diagnosa
Diagnosa Ehrlichiosis sulit dilakukan. Pemeriksaan darah
menunjukkan penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) dan
penurunan sel darah merah (anemia) dan/atau sel darah putih
(leukopenia) ,
Diagnosa dapat dilakukan dengan Immuno Fluoresecence Test (IF
test) denhgan memakai agen penyebab yang diisolasi dari kultur
macrophage. Dengan demikian diagnosa ditegakkan berdasar
gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium melalui deteksi
antibodi memakai antigen spesifik ditandai dengan naik-turunnya
titer antibodi sebanyak 4 kali pada pemeriksan berikutnya. Preparat
apus darah dan preparat usap dari endapan buffy coat darah dapat
dilakukan dengan melihat preparat apus darah untuk menemukan
benda inklusi (morula) di limfpsit, monosit dan neutrofil. Diagnosa
lain adalah dengan teknik diagnosa immunohistochemistry, PCR
e. Diferensial Diagnosa
Diferensial diagnosa dari Erhchia canis seperti anaplosmosis,
babesiosis, dan bartonelosis
f. Prognosis
Prognosis dari penyakit ini tergantung dari seberapa parah parasit
darah ini telah berada dalam tubuh pasien.Hal pertama yang di
perhatikan jika ingin mengambil keputusan ialah melihat gejala klinis
yang di tunjukkan oleh pasien, kondisi tubuh pasien dan umur dari
pasien Namun kebanyak dari penyakit ini jika tidak di
tangani dengan cepat akan memicu kematian. Prognosis adalah
proses suatu kasus penyakit berdasar hasil Diagnosa . Terdiri dari
tiga tingkatan, yaitu fausta dengan tingkat kesembuhan > 50%, dubius
dengan tingkat kesembuhan 50 : 50 dan infausta dengan tingkat
kesembuhan <50%. Sedangkan prognosa dari kasus ini dapat
dikatakan dubius.
g. Terapi
Pengobatan yang biasanya diberikan pada kasusa ini yaitu
doxyxyclin, imidocarb dipropionate. pada kasus Ehrlichiacanis dapat diberikan obat seperti
doxycyclin, glucocorticoid , androgenic steroid. Glucocorticoid
berfungsi sebagai imunosupresif androgenic steroid yang berfungsi
dalam menstimulasi produksi sumsum tulang. Imidocarb
diproprionate, dosis 5-7 mg/kg yang disuntikkan intramuscular atau
subcutan dan diulangi setelah 14 hari. Untuk mengatasi anemia perlu
diberikan terapi supportif dan bila perlu dilakuakn transfuse darah
1) Demodecosis ialah penyakit kulit yang dipicu oleh tungau
demodex dan biasanya menyerang anjing muda. Ada 3 jenis
spesies demodex yaitu D.canis, D.injai, D.mite. D.canis dapat
di temukan di pilosebaceous unit yaitu folikel rambut, saluran
sebaceous, dan kelenjar sebaceous.
2) Pyoderma adalah infeksi kulit yang dipicu oleh kuman
penghasil nanah. Klasifikasi pyoderma tergantung pada
etiologi, tempat dalam tubuh, dan kedalamannya di dalam kulit.
Kulit anjing yang normal pada awalnya ditempati oleh
mikrokokus.
3) Ringworm ialah penyakit kulit yang dipicu oleh jamur
yang menginfeksi kulit, bulu/rambut dan kuku/tanduk dalam
berbagai intensitas infeksi.
4) Pedikulosis ialah penyakit kulit yang dipicu oleh kutu.
Jenis kutu yang menyerang pada anjing ialah heterodoxus spp
5) Babesiosis pada anjing dipicu oleh B. canis dan B.
gibsoni. B. canis adalah parasit protozoa darah yang
menyerang eritrosit serta penularannya melalui gigitan caplak.
6) Ehrlichiosis dapat pula disebut sebagai penyakit tropical canine
pancytopenia yang biasanya ditularkan melalui kutu. Ehrlichia
menyerang sel darah putih
Saran untuk pemilik hewan kesayangan dibutuhkan pengetahuan
tentang cara pemeliharaan dan pengetahuantentang kesehatan juga
harus mengenal penyakit dancara pengobatannya.
Penyakit pernapasan menular (Kennel cough) atau canine infectious respiratory disease akibat
infeksi virus maupun bakteri dapat menyebabkan reaksi batuk. Faktor predisposisi terjadinya kennel
cough pada anjing yaitu spesies, umur, jenis kelamin, musim, kepadatan anjing pada kennel, dan status
vaksinasi. Anjing kasus belum pernah divaksinasi dan dipelihara dengan cara dibiarkan lepas Anjing
kampung berumur 10 bulan dengan jenis kelamin betina menunjukkan gejala klinis berupa gangguan
pernapasan seperti batuk, bersin, leleran pada mata dan hidung, serta demam. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan uji laboratorium (X-ray, hematologi rutin, test kit distemper) anjing kasus
didiagnosis menderita penyakit pernapasan menular atau canine infectious respiratory disease (kennel
cough) dengan prognosis fausta. Pemberian terapi dilakukan selama lima hari dengan prednison 1
mg/kg BB, aminopilin 9 mg/kg BB, suplemen Sangobion® 1x1 tablet, dan doksisiklin 8 mg/kg BB.
Terapi ini memberikan hasil yang baik. Anjing kasus menunjukkan tanda kesembuhan setelah
pengobatan.
Penyakit pada saluran respirasi dapat disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri,
virus, fungi, dan protozoa yang transmisinya melalui kontak langsung, tidak langsung, aerosol,
air, dan pakan yang terkontaminasi serta hewan pembawa/carrier (Dallas, 2006). Infeksi
saluran pernapasan pada anjing sering disebut dengan kennel cough atau canine infectious
respiratory disease (Edinboro et al., 2004). ada beberapa agen penyebab kennel cough,
yaitu canine respiratory coronavirus (CRCoV), canine herpesvirus (CHV), canine distemper
virus (CDV), canine influenza virus (CIV), canine parainfluenza virus (CPiV), canine
adenovirus type-2 (CAV-2), dan Bordetella bronchieptica (Maboni et al., 2019). Meskipun
kennel cough dianggap infeksi dengan banyak agen penyebab, terdapat dua bentuk utama.
Bentuk pertama lebih ringan dan disebabkan oleh infeksi Bordetella bronchiseptica dan virus
parainfluenza anjing. Bentuk kedua memiliki kombinasi organisme penyebab yang lebih
kompleks dan manifestasi klinisnya lebih parah dibandingkan bentuk pertama, seperti CDV
dan CAV-2 ,
Kennel cough adalah infeksi yang menyerang anjing dari berbagai umur , Virus dan bakteri penyebab kennel cough disebarkan melalui droplet pernapasan yang
dihasilkan dari bersin dan batuk hewan sakit. Agen infeksi ini juga menyebar melalui
kontak dengan permukaan yang terkontaminasi. Penyakit kennel cough biasanya terjadi ketika
sejumlah besar anjing ditempatkan bersama dalam kandang-kandang yang tertutup. Tanda
klinis dimulai setelah masa inkubasi dan sebagian besar kasus dapat sembuh sendiri. Akan
tetapi, pada anak-anak anjing atau hewan dengan sistem imun yang rendah, infeksi campuran
atau sekunder dapat berkembang menjadi infeksi saluran pernapasan bagian bawah seperti
radang paru atau pneumonia ,
Kennel cough memiliki morbiditas yang tinggi dan ditandai dengan batuk kering,
anoreksia, dan depresi serta dapat menyebabkan trakeobronkitis, pneumonia, dan bahkan
kematian pada kasus yang parah. Penyakit ini secara historis dianggap sebagai infeksi
kompleks, karena terjadi infeksi gabungan beberapa virus (canine parainfluenza virus dan
canine adenovirus type-2) dan agen bakteri mengakibatkan peningkatan gejala klinis Adanya koinfeksi dapat meningkatkan keparahan penyakit dibandingkan dengan
patogen tunggal
Hewan kasus merupakan anjing kampung berumur 10 bulan, berwarna putih-kuning
keemasan, berjenis kelamin betina dengan bobot badan 6,9 kg. Anjing kasus diperiksa pada
tanggal 12 Agustus 2020.
Anjing kasus dipelihara sejak umur tiga bulan, belum pernah divaksin dan diberikan
obat cacing. Anjing sekitar tiga bulan lalu pernah diinjeksi antiparasit ivermectin (Intermectin®,
PT. Tekad Mandiri Citra, Bandung, Indonesia) dengan dosis anjuran 0,2-0,4 mL/kg BB secara
subkutan untuk mengatasi infeksi ektoparasit dan antihistamin chlorfeniramin meleat (CTM®,
PT. Ciubros Farma, Semarang, Indonesia) dengan dosis anjuran 2-4 mg/kg BB untuk menekan
gatal. Anjing dipelihara dengan cara dilepas di area sekitar rumah. ada dua ekor anjing
termasuk anjing kasus yang dipelihara dan satu ekor yang telah divaksin lengkap. Pakan yang
sering diberikan yaitu nasi dicampur daging dan kadang-kadang diberikan pakan kering (Bolt®,
PT Central Proteina Prima, Jakarta, Indonesia). Anjing kasus mulai menunjukkan gejala
gangguan pernapasan seperti batuk dan bersin pada tanggal 3 Agustus 2020. Mata dan hidung
mengeluarkan leleran dan nafsu makan masih baik. Gejala gangguan pernapasan berlangsung
selama 10 hari.
Pemeriksaan Fisik dan Tanda Klinis
Berdasarkan pemeriksaan status praesens, diperoleh data hasil anjing kasus yang
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pemeriksaan status praesens pada anjing kasus
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Temperatur (oC) 40,1 37,7-39,2 Tinggi
Denyut Jantung (/menit) 116 120-130 Rendah
Pulsus (/menit) 88 90-120 Rendah
Respirasi (/menit) 40 10-30 Tinggi
Capillary Refill Time (detik) < 2 detik < 2 detik Normal
Sumber: Lukiswanto dan Yuniarti (2013)
Pemeriksaan fisik menunjukkan anjing kasus memiliki skor kondisi tubuh 3/9,
tergolong kurus (German et al., 2006). ada leleran (discharge) pada kedua mata dan
hidung, demam, terdengar batuk dengan intensitas sedang, diakhir batuk tampak berusaha
mengeluarkan sesuatu dari tenggorokannya (gagging), terkadang diikuti bersin, dan rambut
kusam dan kasar. Saat dilakukan palpasi pada farings dan trakhea terdapat refleks batuk serta
limfonodus normal (tidak mengalami peradangan). Saat dilakukan auskultasi, paru-paru masih
terdengar normal. Namun, pernapasan sedikit terganggu karena adanya batuk yang muncul
dan pernapasan cepat tapi reguler.
Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai pemeriksaan penunjang dalam membantu menegakkan diagnosis, dilakukan
pemeriksaan hematologi rutin, complete blood count (iCell-8000Vet Auto Hematology
Analyzer, Shenzhen iCubio Biomedical Technology Co., China), X-ray (X-ray Mobile SF
100BY Blessmed, PT. Agusta Global Mandiri, Indonesia), dan test kit Antigen CDV
(BIONOTE Co., Korea Selatan).
Tabel 2. Hasil pemeriksaan hematologi rutin anjing kasus
Parameter Nilai Rujukan* Hasil Keterangan
WBC(x103/µl) 5,5-19,5 14 Normal
Limfosit (x103/µl) 0,8-5,1 7,2 Tinggi
Monosit (x103/µl) 0,1-8,0 0,5 Normal
Granulosit (x103/µl) 4-12,6 6,3 Normal
Limfosit% 12-30 50,9 Tinggi
Granulosit% 60-80 45,4 Rendah
Monosit% 2-9 3,7 Normal
RBC (x10^6/ul) 6,0-10,0 5,26 Rendah
HGB (g/dl) 9,5-15,0 2,9 Rendah
MCV (fl) 62-72 58,7 Rendah
MCH (pg) 13,3-17,5 5,5 Rendah
MCHC (g/dL) 31-36 9,4 Rendah
HCT (%) 37-55 30,9 Rendah
PLT (x10^3/ul) 200-500 160 Rendah
Keterangan: WBC (White blood cell), RBC (Red blood cell), HGB (Hemoglobin), MCV (Mean cell volume),
MCH (Mean corpuscular hemoglobin), MCHC (Mean corpuscular hemoglobin concentration),
HCT (Hematocrit), PLT (Platelets), *Williams dan Wilkins, 2000
Hasil pemeriksaan hematologi rutin menunjukkan terjadinya limfositosis, anemia
mikrositik hipokromik, dan trombositopenia. Pemeriksaan radiografi (X-ray) regio thoraks
pada posisi rebah kiri (left recumbency) dan ventrodorsal menunjukkan trakhea normal (tidak
mengalami penyempitan ataupun pelebaran). Bronkhus dan paru-paru normal tidak
mengalami peradangan (tidak mengalami bronkhitis, pneumonia, ataupun bronkhopneumonia).
Pada pemeriksaan test kit CDV menunjukkan hasil negatif.
Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium, anjing kasus
didiagnosis menderita penyakit pernapasan menular pada anjing atau canine infectious
respiratory disease. Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium,
prognosis yang dapat diambil yaitu fausta.
Penanganan
Penanganan yang diberikan pada hewan kasus adalah pemberian antiradang prednison
dengan dosis 1 mg/kg BB PO selama lima hari (2x1 tablet); aminopilin 9 mg/kg BB PO selama
lima hari (3x1/3 tablet) sebagai bronkodilatator; Sangobion® 1x1 tablet selama lima hari
sebagai suplemen untuk menangani anemia dengan merangsang proses hematopoietis; dan
antibiotik doxycycline 8 mg/kg BB PO selama lima hari (1x1/2 kapsul) untuk mencegah infeksi
sekunder .
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan uji laboratorium, anjing kasus
didiagnosis menderita penyakit pernapasan menular pada anjing atau canine infectious
respiratory disease (kennel cough). Anjing kasus menunjukkan gejala klinis seperti
peningkatan suhu tubuh (demam), gangguan pernapasan (bersin, batuk, discharge/leleran dari
hidung), dan discharge pada mata. Menurut Edinboro et al. (2004) masa inkubasi kennel cough
berkisar antara 1-8 hari dan menunjukkan tanda-tanda klinis selama 1-2 minggu. Pada saat
pemeriksaan, anjing kasus sudah menunjukkan gejala gangguan pernapasan selama 10 hari.
Berdasarkan tanda klinis yang muncul, terdapat beberapa diagnosis tentatif dari agen penyebab
kennel cough seperti CDV, CPiV, CAV-2, dan B. bronchieptica. Dugaan ini didasarkan
pada riwayat anjing yang belum pernah divaksinasi.
Hasil pemeriksaan X-ray pada bagian thoraks terlihat normal pada bagian trakhea,
bronkhus, dan paru-paru (belum menunjukkan tanda pneumonia). Pada umumnya, tanda
pneumonia muncul pada bentuk canine infectious respiratory disease (CIRD) yang parah atau
komplikasi dari gabungan beberapa agen penyebab CIRD. Tanda pneumonia juga muncul
pada pemeriksaan auskultasi paru-paru yang ditunjukkan dengan peningkatan intensitas suara
paru-paru (Buonavoglia dan Martella, 2007). Pada saat pemeriksaan auskultasi pada anjing
kasus, tidak terdengar peningkatan intensitas suara paru-paru dan hal ini diperkuat dengan hasil
X-ray yang normal, namun anjing kasus menunjukkan refleks batuk saat dipalpasi pada bagian
trakhea yang menunjukkan adanya peradangan (trakheitis ringan). Pada hasil X-ray, trakhea
terlihat tidak mengalami pelebaran ataupun penyempitan. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan karena anjing kasus tidak terinfeksi oleh agen penyebab kennel cough yang
kompleks, sehingga gejala yang ditimbulkan lebih ringan. Hasil test kit CDV yang negatif
memperkuat dugaan ini .
Hasil pemeriksaan darah lengkap (hematologi rutin) lebih menunjukkan diagnosis ke
arah penyakit virus, karena interpretasi hematologi rutin menunjukkan terjadinya limfositosis,
anemia mikrositik hipokromik, dan trombositopenia. Limfositosis mengindikasikan infeksi
virus , anemia mikrositik hipokromik mengindikasikan radang kronis
dan defisiensi Fe ,dan trombositopenia mengindikasikan terjadinya
penurunan sistem peredaran darah Anemia dapat terjadi karena agen
infeksius sudah menyebar secara viremia dan bertahan di sumsum tulang belakang
menyebabkan erythroid hypoplasia dan juga dapat menyebabkan nonregeneratif anemia
Hal ini juga dapat memengaruhi penyerapan zat besi menjadi kurang
optimal, sehingga zat besi tidak tersedia untuk perkembangan retikulosit dan terjadilah anemia
Agen penyebab kennel cough pada anjing kasus kemungkinan disebabkan oleh CPiV
ataupun CAV-2. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, bentuk kennel
cough pada anjing kasus termasuk ringan. Menurut Schulz et al. (2014), CPiV termasuk dalam
bentuk lebih ringan, sedangkan CAV-2 termasuk bentuk kedua yang memiliki kombinasi
organisme penyebab yang lebih kompleks dan manifestasi klinisnya lebih parah dibandingkan
bentuk pertama. Penyakit CDV disingkirkan dari diagnosis sementara berdasarkan hasil test
kit yang negatif, Bordetella bronchieptica disingkirkan berdasarkan hasil hematologi rutin
yang menunjukkan adanya infeksi virus bukan bakteri, Penyakit CRCoV dan CHV
disingkirkan karena tidak adanya tanda klinis yang spesifik selain gangguan saluran pernapasan.
Pengujian terhadap CPiV ataupun CAV-2 dapat diuji dengan Polymerase Chain Reaction/PCR
Pengujian menggunakan PCR memerlukan biaya yang tinggi,
sehingga pengujian pada tingkat agen tidak dapat dilakukan.
Anjing kasus setelah pengobatan menunjukkan kondisi yang lebih baik. Pemberian
antiradang, bronkhodilatator, suplemen untuk menangani anemia dengan merangsang proses
hemopoitik, dan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder mampu menurunkan frekuensi
batuk, bersin, melancarkan pernafasan, dan anjing mulai terlihat aktif. Akan tetapi, perlu
diperhatikan bila anjing yang terinfeksi dapat melepaskan agen patogen ke lingkungannya
selama 2-3 bulan setelah pemulihan klinis
Gambar 1. Foto sebelah kiri memperlihatkan anjing kasus sebelum pengobatan (terdapat
leleran mukus pada bagian hidung) dan foto sebelah kanan anjing teramati dalam
kondisi lebih baik setelah pengobatan
Penyakit infeksius pada sistem pernapasan anjing/CIRD atau disebut dengan kennel
cough merupakan penyakit pernapasan sangat menular yang dapat menyebar dengan cepat di
antara anjing, terutama jika mereka saling berdekatan. Beberapa faktor predisposisi terjadinya
kennel cough pada anjing yaitu spesies, umur, jenis kelamin, musim, dan kepadatan anjing pada
kandang kennel
Agen-agen yang dapat menyebabkan CIRD antara lain: canine respiratory coronavirus
(CRCoV), canine herpesvirus (CHV), CDV, canine influenza virus (CIV), canine
parainfluenza virus (CPiV), canine adenovirus type-2 (CAV-2). Selain virus, agen bakterial
yang mampu menyebabkan CIRD antara lain Mycoplasma spp, B. bronchieptica,
Streptococcus zooepidemicus, dan Chlamydophila sp., (Maboni et al., 2019). Agen penyebab
kennel cough yang paling umum adalah bakteri B. bronchiseptica (ditemukan pada 78,7%
kasus di Jerman Selatan), diikuti oleh virus parainfluenza anjing (37,7% kasus), dan pada
tingkat lebih kecil, virus korona anjing (9,8% kasus)
prevalensi terbesar kasus gangguan pada sistem
pernapasan akibat bakterial terjadi pada anjing ras pug, kemudian labrador retriever,
doberman pinscher, dachshund, boxer, crossbreed, german shepherd, golden retriever, lalu
pomeranian. Berdasarkan usianya, prevalensi kasus gangguan sistem respirasi terbesar terjadi
pada usia 0-6 bulan, lalu diikuti anjing pada usia 6-48 bulan, kemudian anjing di atas 48 bulan.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi terbesar terjadi pada hewan betina. Berdasarkan musim,
prevalensi kasus gangguan pernapasan terbesar terjadi pada musim dingin. Tingkat kepadatan
yang tinggi pada kennel dapat meningkatkan prevalensi kasus gangguan sistem pernapasan.
Adanya koinfeksi dapat meningkatkan keparahan penyakit dibandingkan dengan patogen
infeksi tunggal, namun prevalensi dan peran koinfeksi dalam penyebab kennel cough masih
belum jelas (Mitchell et al., 2017).
Gejala paling umum pada penyakit kennel cough pada anjing adalah serangan batuk
kering dan kasar, yang mungkin diikuti dengan bersin, mendengus, tersedak, atau muntah
sebagai respons terhadap tekanan ringan pada trakhea atau setelah beraktivitas , Penyakit ini bisa lebih atau kurang serius tergantung pada usia dan kondisi kesehatan
umum anjing atau anak anjing . Gejala lainnya mungkin juga mencakup:
hidung berair, bersin, dan leleran mata. Kemunculan demam bervariasi dari kasus ke kasus
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan uji laboratorium, anjing kasus
didiagnosis menderita penyakit menular pada sistem pernapasan anjing (canine infectious
respiratory disease/kennel cough). Pemberian terapi selama lima hari memberikan hasil yang
baik dan anjing kasus menunjukkan tanda kesembuhan setelah pengobatan.
Disarankan kepada seluruh pemilik hewan kesayangan untuk melakukan tindakan
pencegahan penyakit infeksius berupa pemberian vaksinasi lengkap pada anak anjing yang
dipelihara, baik pada usia dini (2,0-2,5 bulan) ataupun vaksin booster (ulangan) tiap tahun.
Apabila hewan kesayangan menunjukkan gejala sakit, segera dibawa ke dokter hewan terdekat
untuk dilakukan pemeriksaan sehingga pengobatan secara dini dapat segera diberikan.