Tampilkan postingan dengan label hukum kontrak. 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum kontrak. 3. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Mei 2023

hukum kontrak 3


a diminta 
untuk menerima atau menolak isi perjanjian tersebut.
Mariam Darus Badrulzaman mengemukaan bahwa standar kontrak merupa­
kan perjanjian yang telah dibakukan (Mariam Darus Badrulzaman, 1980: 4). 
Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri perjanjian 
baku adalah sebagai berikut.
1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) 
kuat.
2) Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan 
isi perjanjian.
3) Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
4) Bentuk tertentu (tertulis).
5) Dipersiapkan secara massal dan kolektif (Mariam Darus Badrulzaman, 
1980: 11).
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hakikat dari perjanjian baku adalah per­
janjian yang telah distandardisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan 
pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila 
debitur menerima isi perjanjian tersebut maka ia menandatangani perjanjian
tersebut, tetapi apabila ia menolak maka perjanjian itu dianggap tidak ada. 
Hal ini disebabkan debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut. Dalam 
praktiknya, seringkali debitur yang membutuhkan uang hanya menandatangani 
perjanjian tersebut tanpa dibacakan isinya. Akan tetapi isi perjanjian baru 
dipersoalkan oleh debitur pada saat debitur tidak mampu melaksanakan 
prestasinya, karena kreditur tidak hanya membebani debitur membayar pokok 
disertai bunga, tetapi juga membebani debitur dengan membayar denda 
keterlambatan atas bunga sebesar 50% dari besarnya bunga yang dibayar 
setiap bulannya. Jadi, utang yang harus dibayar oleh debitur sangat tinggi. 
Kreditur berpendapat bahwa penerapan denda keterlambatan itu karena 
dalam standar kontrak telah ditentukan dan diatur secara jelas dan rinci. 
Dengan demikian tidak ada alasan bagi debitur untuk menolak pemenuhan 
denda keterlambatan tersebut. Oleh sebab itu, debitur harus membayar 
pokok, bunga, beserta denda keterlambatannya.
b. Jenis-Jenis Standar Kontrak
Secara kuantitatif, jumlah standar kontrak yang hidup dan berkembang dalam 
masyarakat sangat banyak, karena masing-masing perusahaan atau lembaga, 
baik yang bergerak di bidang perbankan dan nonbank maupun lainnya, selalu 
menyiapkan standar baku dalam mengelola usahanya. Hal ini bertujuan untuk 
mempermudah dan mempercepat lalu lintas hukum. Hondius mengemukakan 
bahwa dewasa ini terdapat syarat-syarat baku, dihampir semua bidang yang 
dibuat kontrak. Beberapa aktivitas penting dan cabang perusahaan, banyak 
perjanjian dibuat atas dasar syarat-syarat baku, seperti perjanjian kerja 
(perjanjian kerja kolektif), perbankan (syarat-syarat umum perbankan), 
pembangunan (syarat-syarat seragam administratif untuk pelaksanaan 
pekerjaan), perdagangan eceran, sektor pemberian jasa, sewa upah (erpacht), 
dagang dan perniagaan, perusahaan pelabuhan, sewa menyewa, beli sewa, 
hipotik, pemberian kredit, pertanian, urusan makelar, praktik notaris dan hukum 
lainnya, perusahaan-perusahaan umum, penyewaan urusan pers, perusahaan 
angkutan (syarat-syarat umum angkutan, syarat-syarat umum ekspedisi 
Belanda), penerbitan, urusan asuransi (dalam Sudikno Mertokusumo, 1995: 
3-4).
Hondius tidak mengklasifikasikan jenis-jenis standar kontrak tersebut, baik 
berdasarkan usahanya maupun lainnya. Namun, Mariam Darus Badrulzaman 
membagi jenis perjanjian baku menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut.
1) Perjanjian baku sepihak, yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh 
pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat 
di sini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) 
kuat dibandingkan pihak debitur.
2) Perjanjian baku timbal balik, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan
oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang terdiri dari pihak 
majikan (kreditur) dan pihak buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya 
terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
3) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu perjanjian baku 
yang isinya ditentukan Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum 
tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak 
atas tanah. Dalam bidang agraria, lihatlah misalnya formulir-formulir 
perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri 
tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977 berupa antara lain akta jual 
beli.
4) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, yaitu 
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk 
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris 
atau advokat yang bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis 
keempat ini disebut contract model.
Mariam Darus Badrulzaman tidak menyebutkan secara jelas perjanjian baku 
yang berlaku di kalangan perbankan, namun ia hanya menyebutkan bahwa 
perjanjian baku yang dibuat oleh pihak ekonomi kuat terhadap debitur yang 
kedudukan ekonominya lemah. Pihak ekonomi kuat ini, dapat ditafsirkan 
sebagai pihak pemberi kredit atau lembaga perbankan yang memberikan 
kredit pada debitur. Memang di dalam lembaga perbankan syarat-syarat 
baku itu telah disiapkan oleh lembaga perbankan, sedangkan nasabah atau 
debitur tinggal menerima atau menolak isi perjanjian. Apabila ia menerima 
maka ia menandatangani isi perjanjian tersebut. Berikut ini disajikan sebuah 
standar kontrak yang dibuat antara Bank Tabungan Negara dengan nasabah, 
dengan maksud untuk mempermudah para mahasiswa maupun kalangan 
lainnya untuk menganalisis standar kontrak tersebut.
PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH  
ANTARA
BANK TABUNGAN NEGARA  
dan
Salim H.S.
No: 1134/PN/DPS/89
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Bank Tabungan Negara, berkedudukan di Jakarta, Jalan Gajah Mada Nomor 
1 dalam hal ini berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1968, Lembaran 
Negara RI No. 73 Tahun 1968, Tambahan Lembaran Negara RI No. 2873 
diwakili oleh:
Dokterrandus Soenyoto, Kepala Cabang Bank Tabungan Negara di Denpasar
bertempat tinggal di Denpasar, dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat 
Keputusan Direksi Bank Tabungan Negara No. 441 tanggal 25 Januari
1988 selaku kuasa Direksi dari ....................................................................
dan dengan demikian sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang No. 20 
Tahun 1968, Lembaran Negara RI No. 2873 bertindak untuk dan atas 
nama Bank Tabungan Negara selanjutnya disebut Bank:
II. Nyonya Mardiana, Kuasa dari Salim H.S., S.H. No. 09 tanggal 15 November
1988 karyawan dari SDN No. IV Karang Pule Ampenan bertempat tinggal 
di Jalan Towuti 1 No. 6, Perumnas Mataram dalam hal ini bertindak untuk 
dirinya sendiri, selanjutnya disebut Debitur pada hari ini tanggal 06 Februari
1989 bertempat di Mataram telah setuju untuk dan dengan ini pula Bank 
memberi pinjaman uang kepada Debitur yang dengan ini mengaku berutang 
kepada Bank karena uang yang dipinjamnya dari Bank tersebut, yaitu sampai 
jumlah maksimum sebesar Rp2.570.000,00 ( dua juta lima ratus tujuh puluh 
ribu rupiah).
Perjanjian ini selanjutnya disebut Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, dan 
dibuat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
Pasal 1
Jumlah Kredit dan Penggunaannya
Dengan penandatanganan perjanjian ini debitur mengaku telah menarik dan 
jumlah kredit maksimal sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) 
dan dengan demikian sejak penandatanganan perjanjian kredit ini yang merupakan 
tartggal penarikan kredit-debitur wajib untuk memenuhi kewajiban-kewajiban 
atas kreditnya sesuai dengan perjanjian ini.
Jumlah kredit tersebut pada ayat (1) perjanjian ini bahwa diberikan oleh 
Bank kepada Debitur dan hanya digunakan oleh Debitur untuk membeli sebuah 
rumah, berikut tanahnya guna dimiliki dan dihuni sendiri oleh Debitur dari
Proyek Perumahan : Perum Perumnas Mataram.--------------------------------
Lokasi : Perumnas Batu Dawa Mataram.-------------------------
Developer : Perum Perumnas Unit Mataram.-------------------------
(1) Untuk pembayaran lunas harga rumah berikut tanahnya tersebut pada ayat
(2) pasal ini dengan penandatanganan perjanjian ini Debitur sekaligus memberi 
kuasa kepada bank untuk dan atas nama Debitur membayarkan pada saat 
yang dianggap baik oleh Bank jumlah uang yang diperoleh dari kredit tersebut 
pada ayat (1) pasal ini kepada Perum Perumnas Unit Mataram.
(2) Sesuai dengan ayat (1) pasal ini, perjanjian ini efektif berlaku sejak ditanda­
tangani oleh Bank dan Debitur, sehingga tanggal pembayaran oleh bank 
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini tidak mempunyai pengaruh 
apa pun atas hak dan kewajiban pihak Debitur dalam perjanjian ini.
Pasal 2
Suku Bunga dan Provisi Bank
(1) Terhadap kredit ini, debitur dikenakan bunga sebesar 12% setahun yang 
diperhitungkan sejak hari berikut dari tanggal penarikan kredit sampai dengan 
dilunasinya seluruh jumlah utang.
(2) Kecuali bunga tahun pertama yang diperhitungkan atas dasar jumlah kredit 
yang ditarik, bunga tahun-tahun selanjutnya diperhitungkan atas dasar sisa 
utang (yang terdiri dari pokok kredit dan pembebanan bunga biaya-biaya 
tertunggak) pada tanggal 31 Desember tahun yang mendahului.
(3) Setiap saat Bank berhak untuk merubah tarip suku bunga kredit ini untuk 
disesuaikan dengan kebijaksanaan Pemerintah c.q. Bank Indonesia; setiap 
perubahan suku bunga berlaku efektif paling cepat tiga puluh hari kalender 
setelah tanggal surat pemberitahuan Bank untuk itu.
(4) Debitur dikenakan Provisi Bank sebesar Rp 22.380,00 (dua puluh dua ribu 
tiga ratus delapan puluh rupiah) yaitu 5% dari harga rumah berikut tanah 
tersebut pada ayat (2) Pasal 1 perjanjian ini, yang harus telah dilunasi pada 
saat penandatanganan perjanjian ini.
Pasal 3
Jaminan dan Cara Pengikatannya
(1) Untuk menjamin lebih jauh pembayaran kembali segala sesuatu yang atas 
ketentuan Perjanjian ini atau karena apa pun juga harus dibayar Debitur 
kepada Bank, baik karena pokok kredit, bunga dan biaya-biaya lainnya 
maka Debitur memberikan jaminan kebendaan (harta) antara lain rumah 
dan tanah yang akan disebut dalam akta tersendiri baik secara notariil 
maupun di bawah tangan, semata-mata menurut pertimbangan dan ketentuan 
Bank, sedang akta pemberian jaminan tersebut merupakan bagian yang 
tidak dapat dipisahkan dari Perjanjian Kredit ini.
(2) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan dirinya untuk 
menyerahkan semua surat dan dokumen apa pun, yang asli serta sah dan 
membuktikan pemilikan atas segala harta yang dijadikan jaminan termaksud 
dalam ayat (1) pasal ini, kepada Bank dipergunakan untuk pelaksanaan 
pengikatan harta tersebut sebagai jaminan kredit dan selanjutnya dikuasai 
oleh Bank sampai dilunasi seluruh jumlah utangnya.
(3) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk memberikan 
bantuan sepenuhnya guna memungkinkan Bank melaksanakan pengikatan 
barang jaminan kredit menurut cara dan pada saat yang dianggap baik oleh 
Bank.
(4) Debitur menyetujui dan mewajibkan diri serta mengikatkan diri, dan dengan 
penandatanganan Perjanjian ini sekaligus memberi kuasa kepada Bank yang
tidak dapat ditarik kembali sebelum seluruh utangnya kepada Bank dilunasi, 
untuk dan atas nama Debitur menutup pertanggungan asuransi kebakaran 
dan risiko kebendaan lainnya atas barang jaminan kredit ini, pada perusahaan 
asuransi maupun serta dengan ketentuan, nilai pertanggungan, jangka waktu 
pertanggungan dan klausula yang dianggap baik oleh Bank.
(5) Seluruh biaya yang diperlakukan dalam pengikatan barang jaminan dan 
pertanggungan asuransinya, termasuk di dalamnya biaya-biaya notaris PPAT 
(Pejabat Pembuat Akta Tanah) pungutan-pungutan pemerintah seperti bea 
meterai dan apabila perlu bea pendaftaran/pencatatan di Kantor Agraria 
dan lain sebagainya serta biaya premi asuransi menjadi tanggungan Debitur 
dalam hal Bank telah membayarkannya terlebih dahulu, seketika setelah 
menerima penagihan pertama dari Bank, Debitur harus langsung dengan 
sekaligus lunas membayarkannya kembali kepada Bank.
Pasal 4
Jaminan Tambahan
Apabila Bank berpendapat bahwa dari segala sesuatu yang tersebut pada
ayat (1) Pasal 3 Perjanjian ini tidak lagi mencukupi untuk dijadikan jaminan kredit.
Maka Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk atas
permintaan pertama dari Bank:
a. membayar kepada Bank sejumlah uang menurut ketetapan Bank, atau
b. menambah barang-barang/benda-benda tertentu lainnya yang ditetapkan oleh 
Bank untuk dijadikan jaminan tambahan menurut ketetapan Bank.
Pasal 5
Penghunian Rumah
(1) Debitur wajib dan berhak untuk segera setelah menandatangani perjanjian 
ini, untuk menempati rumah yang dibeli dengan serta dijadikan jaminan bagi 
kredit ini, sepanjang dan selama debitur memenuhi dengan baik semua 
kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian ini.
(2) Dengan menempati rumah tersebut debitur menurut hukum dianggap telah 
mengetahui serta menerima sepenuhnya keadaan sebagaimana yang
diterimanya dari Perum Perumnas Mataram ..........................................
sehingga apabila di kemudian hari ternyata ada cacat ataupun kekurangan 
apa pun juga termasuk di dalamnya cacat tersembunyi, kiranya yang demikian 
itu ternyata ada pada rumah tersebut maka hal itu semata-mata menjadi 
tanggung jawab debitur sendiri dan Bank tidak dapat dikaitkan/dipertanggung- 
jawabkan dengan cara atau dalih apa pun juga atasnya.
(3) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk:
a. menempati rumah tersebut secara layak;
b. memelihara dengan baik atas biaya sendiri;
c. memperbaiki atas beban sendiri segala kerusakan yang terjadi atas rumah 
tersebut;
d. membayar Ireda/Ipeda maupun pungutan-pungutan lain dari yang 
berwajib yang lazim dikenakan terhadap pemilik/penghuni rumah secara 
tepat dan teratur.
(4) Debitur tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dan Bank dilarang untuk:
a. merubah bentuk atau konstruksi rumah tersebut;
b. membebani harta tersebut dengan hipotik, atau dengan sesuatu jenis 
pemberian lain apa pun juga untuk keuntungan sesuatu pihak kecuali 
Bank menyewakan atau mengizinkan penempatan atau penggunaan 
maupun menguasakan harta tersebut kepada pihak lain;
c. menyerahkan harta tersebut kepada pihak lain;
d. menjamin penerimaan uang sewa atas harta tersebut;
e. menerima setiap uang muka, sewa, atau sesuatu pembayaran lainnya 
atau pembayaran kompensasi di muka terhadap sewa menyewa 
penempatan, penjualan, atau sesuatu bentuk penguasaan lainnya atas 
harta tersebut dari pihak lain.
Pasal 6
Pembayaran Kembali dan Jangka Waktu Kredit
(1) Pembayaran kembali kredit dilakukan secara angsuran bulanan, yang terdiri 
dari angsuran pokok kredit dan bunganya, dengan cara perhitungan anuitas.
(2) Berdasarkan cara perhitungan anuitas dan sepanjang tingkat suku bunga 
adalah sama seperti yang telah ditetapkan pada ayat (1) Pasal 2 perjanjian 
ini maka jumlah angsuran bulanan yang wajib dibayar oleh Debitur kepada 
Bank adalah Rp28.680,00 (dua puluh delapan ribu enam ratus delapan puluh 
rupiah) setiap bulannya.
(3) Perubahan jumlah angsuran bulanan yang disebabkan oleh perubahan suku 
bunga, akan diberitahukan secara tertulis oleh Bank; Debitur setuju, mewajibkan 
dan mengikatkan diri untuk menaati dan melaksanakan perubahan angsuran 
bulanan sebagaimana ditetapkan oleh Bank.
(4) Angsuran bulanan tersebut pada ayat (2) atau ayat (3) pasal ini harus telah 
diterima oleh Bank pada atau sebelum tanggal 5 setiap bulan menurut cara 
pembayaran dan dibayar pada kantor yang ditentukan Bank.
(5) Pembayaran angsuran bulanan pertama yang merupakan salah satu 
komponen uang muka telah dilakukan pada bulan Februari 1989 dan angsuran 
selanjutnya dibayar berturut-turut setiap bulan sejak bulan tersebut selama 
jangka waktu 20 tahun.
Pasal 7
Kuasa Penerimaan Gaji dan Surat Tagihan
(1) Sepanjang mengenai kewajiban-kewajiban pembayaran debitur kepada Bank 
yang timbul dari perjanjian ini, debitur menyetujui dan dengan penandatanganan 
perjanjian ini, sekaligus memberi kuasa kepada Bank untuk selama jumlah 
utang debitur belum dibayar lunas kepada Bank, selanjutnya meminta dan 
menerima bagian gaji dan penerimaan lainnya yang menjadi hak debitur dari 
pejabat yang berwenang membayarkan gaji dan penerimaan lainnya dari Instansi/ 
Kantor tersebut, untuk pertama-tama dipergunakan untuk membayar/melunasi 
utang debitur kepada Bank, mendahului kewajiban debitur kepada pihak lain.
(2) Pemberian kuasa tersebut pada ayat (1) pasal ini sama sekali tidak mengurangi 
pertanggungjawaban pribadi debitur atas kewajiban-kewajiban pembayaran 
kepada Bank yang timbul dari perjanjian ini, sehingga bagaimanapun Bank 
berhak untuk apabila menganggap perlu melakukan penagihan langsung kepada 
debitur atas kewajiban-kewajiban pembayaran tersebut.
(3) Bank tidak diwajibkan untuk mengirimkan surat-surat tagihan kepada debitur, 
sehingga dengan atau tanpa adanya surat tagihan, debitur harus tetap memenuhi 
pembayaran-pembayaran angsuran setiap bulannya sebagaimana yang di­
tentukan di dalhm ayat (2) dan ayat (3) Pasal 6 perjanjian ini.
Pasal 8
Pelunasan Kembali Sebelum Berakhirnya Jangka Waktu
(1) Menyimpang dari ketentuan jangka waktu sebagaimana disetujui pada ayat
(3) Pasal 6 perjanjian ini Debitur dapat melunasi utangnya sebelum akhir 
jangka waktu tersebut yang akan berlaku dua bulan kalender setelah Bank 
menerima pemberitahuan dari Debitur mengenai maksudnya tersebut ataupun 
dalam hal Debitur tidak akan memberitahukannya terlebih dahulu, pembayaran 
demikian itu baru berlaku dua bulan kalender setelah tanggal pembayaran, 
ataupun setelah Debitur membayar di muka bunga ekstra sekaligus dua bulan.
(2) Untuk mengurangi jumlah utangnya , Debitur dapat, untuk di samping membayar 
angsuran bulanannya sebagaimana ditentukan dalam ayat (2) Pasal 6 perjanjian 
ini, juga melakukan pembayaran di muka angsuran pokok dengan syarat 
bahwa angsuran demikian itu jumlahnya setiap saat tidak kurang dari 
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) dalam kelipatan bulat dan berlaku sejak 
dua bulan setelah bank menerima pemberitahuan dari Debitur mengenai 
maksudnya, ataupun dalam hal Debitur tidak memberitahukan terlebih dahulu, 
pembayaran demikian itu baru berlaku sejak dua bulan kalender setelah tanggal 
pembayaran; angsuran pokok demikian itu tidak akan merubah besarnya 
jumlah angsuran bulanan tetapi akan mengurangi jangka waktu kredit yang 
bersangkutan.
iPasal 9
Pengawasan dan Pemeriksaan Barang Jaminan
(1) Selama Debitur belum melunasi seluruh utangnya yang timbul dalam Peijanjian 
ini maka Bank berhak setiap saat yang dianggap layak oleh Bank, melakukan 
pemeriksaan dan meminta keterangan-keterangan setempat yang diperlukan.
(2) Debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk memberikan 
keterangan-keterangan secara benar atas berbagai pertanyaan pihak Bank 
dalam rangka pengawasan dan pemeriksaan barang jaminan ini.
Pasal 10
Penagihan Seketika Seluruh Utang
\
(1) Tanpa memperhatikan ketentuan mengenai angsuran bulanan dan jangka 
waktu kredit ini, Bank berhak dan dapat untuk seketika menagih pelunasan 
sekaligus atas seluruh sisa utang Debitur kepada Bank yang timbul dari 
perjanjian ini, dan Debitur wajib membayarnya dengan seketika dan sekaligus 
lunas untuk seluruh sisa utang yang ditagih oleh Bank, dalam hal terjadi 
salah satu atau beberapa keadaan di bawah ini.
a. Debitur cedera janji, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11 
perjanjian ini.
b. Debitur tidak mungkin lagi atau tidak mempunyai dasar hukum untuk 
memenuhi sesuatu ketentuan atau kewajiban berdasarkan Perjanjian 
Kredit antara lain: meninggal dunia, diberhentikan dari kantor/instansi 
yang bersangkutan, dijatuhi hukuman pidana, mendapat cacat badan 
sehingga oleh karenanya belum/tidak dapat dipekerjakan lagi, dipindahkan 
ke kota/daerah lain atau ke luar negeri.
c. Perusahaan tempat Debitur bekerja telah dinyatakan pailit atau tidak 
mampu membayar atau telah dikeluarkan perintah oleh pejabat yang 
berwenang untuk menunjuk wali atau kurator Debitur.
d. Debitur membuat atau menyebabkan atau menyetujui dilakukan atau 
membiarkan dilakukan sesuatu tindakan yang membahayakan atau dapat 
membahayakan, mengurangi atau meniadakan jaminan yang diberikan 
untuk utang.
e. Harta-harta Debitur yang diberikan sebagai jaminan telah musnah.
f. Setiap keterangan yang diberikan, hal-hal yang disampaikan atau jaminan 
yang dibuat Debitur kepada Bank terbukti palsu atau menyesatkan 
dalam segala segi atau Debitur lalai atau gagal untuk memberikan 
keterangan yang bermakna atau sesungguhnya kepada Bank.
g. Debitur gagal dalam memenuhi atau Debitur bertindak bertentangan 
dengan sesuatu peraturan pemerintah atau daerah, undang-undang atau 
peraturan-peraturan yang mempunyai akibat penting terhadap atau 
mempengaruhi hubungan kerjanya dengan Kantor tempat bekerja.
h. Setiap sebab atau kejadian lainnya yang telah terjadi atau mungkin 
akan terjadi sehingga menjadi layak bagi Bank untuk melakukan 
penagihan-penagihan seketika mengenai seluruh (sisa) utang guna 
melindung kepentingan-kepentingannya, satu dan lainnya semata-mata 
menurut penetapan/pertimbarigan Bank.
(2) Apabila setelah mendapat peringatan dari Bank, Debitur tidak dapat melunasi 
seluruh sisa kewajiban pembayarannya yang seketika ditagih oleh Bank karena 
terjadinya hal-hal yang disebutkan di dalam ayat (1) pasal ini maka Bank 
berhak memerintahkan kepada Debitur untuk mengosongkan rumah berikut 
tanahnya yang telah dijaminkan oleh Debitur kepada Bank dalam perjanjian 
ini, dan Debitur mengikatkan untuk melaksanakan pengosongan rumah dan 
tanah termaksud, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari dihitung 
mulai tanggal perintah Bank itu, tanpa syarat dan ganti rugi apa pun.
(3) Apabila Debitur ternyata tidak mengosongkan rumah dalam jangka waktu 
yang ditentukan dalam ayat (2) pasal ini, maka Bank berhak untuk meminta 
bantuan pihak yang berwenang guna mengeluarkan Debitur dan mengosongkan 
rumah tersebut.
(4) Debitur dengan ini menyatakan melepaskan haknya untuk meminta bantuan 
dari Instansi mana pun mengenai pengosongan rumah tersebut, apabila haknya 
untuk itu memang ada.
Pasal 11
Debitur Cedera Janji
Bank dapat menetapkan telah tejadinya cedera janji pihak Debitur dalam hal
berikut ini.
a. Debitur tidak membayar angsuran bulanannya ataupun jumlah angsuran 
bulanan yang dibayarinya kurang dari jumlah yang ditetapkan dalam ayat (2) 
Pasal 6 Perjanjian ini dan atau tidak melunasi kewajiban angsuran bulanannya 
menurut batas tanggal yang ditetapkan dalam ayat (3) Pasal 6 perjanjian ini 
sehingga untuk itu debitur telah mendapat Surat Peringatan tiga kali ber­
turut-turut dari Bank.
b. Debitur melakukan berbagai penunggakan atas kewajiban angsuran bulanannya 
sebagaimana ditentukan dalam ayat (4) pasal 6 perjanjian ini selama dua kali 
baik berturut-turut maupun tidak dalam satu tahun takwim, sehingga untuk itu 
Debitur telah mendapat peringatan terakhir dari Bank.
c. Debitur tidak memenuhi dengan baik kewajibannya sebagaimana ditentukan 
dalam ayat (2), (3), (4), dan (5) Pasal 3 serta ayat (3) Pasal 5 perjanjian ini.
d. Debitur melanggar ketentuan-ketentuan pada ayat (4) Pasal 5 perjanjian ini.
e. Debitur tidak memenuhi dengan baik kewajiban-kewajibannya atau melanggar 
ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian ini, satu dan lain semata-mata menurut 
penetapan/pertimbangan Bank.
Pasal 12
Pelaksanaan (Eksekusi) Barang Jaminan
(1) Apabila berdasarkan Pasal 10 perjanjian ini Bank menggunakan haknya untuk 
menagih pelunasan sekaligus atas utang Debitur, dan Debitur tidak dapat 
memenuhi kewajiban membayar pelunasan tersebut walaupun telah mendapat 
peringatan dari Bank, maka Bank berhak untuk setiap saat melaksanakan 
eksekusinya atas jaminan yang dipegangnya, menurut cara dan dengan harga 
yang dianggap baik oleh Bank dalam batas-batas yang diberikan oleh undang- 
undang serta peraturan hukum lainnya.
(2) Hasil eksekusi dan atau penjualan barang jaminan tersebut dalam ayat (1) 
pasal ini pertama-tama akan digunakan untuk melunasi sisa utang Debitur 
kepada Bank. Termasuk semua biaya yang telah dikeluarkan Bank guna 
melaksanakan eksekusi barang jaminan, dan apabila masih ada sisanya jumlah 
sisa tersebut akan dibayarkan kembali kepada debitur.
(3) Apabila dari hasil penjualan atau eksekusi barang jaminan kredit sebagaimana 
tersebut pada ayat (2) pasal ini jumlahnya belum mencukupi untuk melunasi 
seluruh utang Debitur kepada Bank maka sesuai dengan ketentuan/peraturan 
yang berlaku Bank berhak untuk mengambil pelunasan atas sisa utang tersebut 
dari penjualan barang-barang lain milik Debitur, yang ditunjuk oleh Debitur 
sebagai jaminan tambahan atas kredit ini.
Pasal 13
Timbul dan Berakhirnya Hak-Hak dan Kewajiban
(1) Perjanjian Kredit ini berlaku efektif dan mengikat kedua belah pihak setelah 
ditandatangani oleh Bank dan Debitur.
(2) Dalam hal Debitur telah melunasi seluruh utangnya dan untuk itu telah 
menerima pernyataan lunas dari Bank maka Bank untuk menghapuskan/ 
menghentikan pengikatan barang jaminan dan/atau meroya hipotik atas barang- 
barang tersebut pada Pasal 3 dan Pasal 4 perjanjian ini.
(3) Selanjutnya Bank wajib menyerahkan kembali kepada Debitur semua surat- 
surat dan dokumen-dokumen mengenai rumah berikut tanahnya, serta surat-
surat bukti lainnya yang disimpan/dikuasai Bank.
(4) Seluruh biaya yang diperlukan untuk penghapusan hipotik dan/atau pelepasan 
pengikatan barang jaminan lainnya tersebut pada ayat (2) pasal ini, apabila 
ada, dibebankan kepada Debitur.
Pasal 14
Penyerahan Piutang kepada Pihak Lain
Debitur menyetujui dan memberikan hak sepenuhnya kepada Bank untuk
menyerahkan (mencessikan) piutang dan/atau tagihan Bank kepada Debitur berikut
semua janji ciccesoimya hak-hak jaminan atas kredit ini, kepada pihak lain yang
ditetapkan oleh Bank sendiri, setiap saat diperlukan oleh Bank.
Pasal 15
Alamat Para Pihak
(1) Seluruh pembayaran utang atau setiap bagian dari utang Debitur dan surat- 
menyurat harus dilakukan/dialamatkan pada Kantor Bank yang telah ditentukan; 
jam-jam kerja dan kantor yang bersangkutan.
(2) Semua surat-menyurat dan pernyataan-pernyataan tertulis yang timbul dari 
dan berakar pada Perjanjian Kredit ini dianggap telah diserahkan dan diterima 
apabila dikirimkan kepada:
-  Pihak Bank dengan Alamat : Jalan Surapati No. 13, Denpasar.
-  Pihak Debitur dengan Alamat : Fakultas Hukum, Universitas Mataram.
(3) Kedua belah pihak masing-masing akan memberitahukan secara tertulis 
pada kesempatan pertama secepatnya setiap terjadi perubahan alamat, 
Debitur pindah/tidak lagi menghuni rumah yang bersangkutan dan sebagainya.
Pasal 16
Kuasa yang Tidak Dapat Ditarik Kembali
Semua kuasa juga yang dibuat dan diberikan oleh Debitur dalam perjanjian 
ini merupakan kuasa mutlak yang tak terpisahkan dari perjanjian ini dan tidak 
dapat ditarik kembali karena sebab-sebab apa pun, juga yang dapat mengakhiri 
kuasa terutama yang dimaksud dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum 
Perdata, dan debitur mengikatkan serta mewajibkan diri untuk tidak membuat 
surat-surat kuasa dan/atau janji-janji yang sifat dan atau isinya serupa kepada 
pihak lain, selain kepada Bank.
Pasal 17
Hukum yang Berlaku
Atas perjanjian ini, baik mengenai pelaksanaannya maupun mengenai 
penafsirannya berlaku hukum perdata sebagaimana termaktub dalam Kitab 
Undang-Undang Hukum Perdata untuk Indonesia.
Pasal 18 
Lain-Lain
Hak dan Kewajiban yang timbul dan berakar pada Perjanjian ini diatur
dengan ketentuan dan prosedur kerja yang berlaku pada Bank; semua 
pemberitahuan tertulis dari Bank dan semua surat-menyurat antara Bank dan 
Debitur dalam pelaksanaan perjanjan ini mengikat dan harus ditaati oleh Debitur.
Pasal 19 
Domisili
t
Tentang Perjanjian ini dan segala akibatnya kedua belah pihak memilih tempat
tinggal hukum (domisili) pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri .... Mataram ....
Pihak Bank 
ttd.
Drs. Soenyoto
Mataram, 06 Februari 1989 
Pihak Debitur 
ttd.
Nyonya Mardiana
Nomor: 16/A/Net/1989
Pada hari ini, hari Senin, tanggal enam Februari seribu sembilan ratus delapan 
puluh sembilan, telah menghadap di muka saya, Abdurrahim, Sarjana Hukum, 
Wakil Notaris Sementara di Mataram, menerangkan bahwa Perjanjian Kredit 
Pemilikan Tanah tersebut di depan, telah dibacakan dan dijelaskan hingga dimengerti 
maksud dan tujuannya kepada para penghadap Drs. Soenyoto dan Nyonya 
Mardiana, dan selanjutnya mereka menyatakan setuju dan sah di hadapan saya, 
lalu ditandatangani oleh para penghadap dan saya, Wakil Notaris Sementara tersebut.
Apabila diperhatikan standar kontrak tersebut, ternyata bahwa standar kontrak 
tersebut telah ditentukan secara sepihak oleh Bank Tabungan Negara (BTN), 
tetapi di dalam kontrak itu ada beberapa hal yang masih kosong, seperti nama 
nasabah, jumlah kredit yang akan diterimanya, penggunaan kredit, besarnya 
bunga, provisi bank, besarnya angsuran yang harus disetor nasabah setiap 
bulannya, alamat para pihak, dan tempat tinggal (domisili) nasabah. Sedangkan 
yang telah ditentukan secara baku oleh Bank Tabungan Negara, seperti:
a. jaminan dan cara pengikatannya,
b. jaminan tambahan,
c . penghuni rumah,
d. kuasa menerima gaji dan surat tagihan,
e. pelunasan kembali sebelum berakhirnya jangka waktu,
f. pengawasan dan pemeriksaan barang jaminan,
g. penagihan seketika seluruh utang,
h. debitur cedera janji,
i. pelaksanaan (eksekusi) barang jaminan,
j. timbul dan berakhirnya hak-hak dan kewajiban,
k. penyerahan piutang kepada pihak lain,
l. kuasa yang tidak dapat ditarik kembali,
m. hukum yang berlaku, dan
n. lain-lain. Hal ini berisi tentang hak dan kewajiban yang timbul dan 
berakar pada perjanjian ini diatur dalam ketentuan dan prosedur kerja
. yang berlaku pada bank dan semua pemberitahuan tertulis dari bank
Wakil Notaris Sementara
Abdurrahim, S.H.
dan semua surat-menyurat antara bank dan debitur dalam pelaksanaan 
perjanjian ini mengikat dan harus ditaati oleh debitur.
Dari 19 pasal yang tercantum dalam kontrak standar antara Bank Tabungan 
Negara dengan nasabah maka pasal yang sangat memberatkan nasabah 
adalah Pasal 6 ayat (3). Pasal 6 ayat (3) perjanjian kredit pemilikan rumah 
antara Bank Tabungan Negara dengan nasabah berbunyi:
’’Perubahan jumlah angsuran bulanan yang disebabkan oleh perubahan suku 
bunga, akan diberitahukan secara tertulis oleh Bank, debitur setuju, mewajibkan 
dan mengikatkan diri dan menaati dan melaksanakan perubahan angsuran 
bulanan, sebagaimana yang ditetapkan Bank.”
Sejak terjadinya krisis multidemensi pada tahun 1997 yang lalu, ketentuan 
ini dijadikan instrumen oleh Bank untuk menaikkan suku bunga kredit yang 
diterima oleh nasabah. Pada mulanya nasabah hanya dibebankan bunga se­
besar 14%/tahun, namun sejak terjadinya krisis multidimensi maka suku bunga 
yang diberlakukan bagi nasabah antara 16-18%/tahun. Dengan demikian 
sehingga angsuran rumah yang akan dibayar oleh nasabah sangat tinggi. Ini 
berarti bahwa nasabah tinggal menerima apa yang dinyatakan oleh Bank, 
walaupun mereka menerimanya dengan sangat terpaksa.
Begitu juga dengan denda keterlambatan pembayaran angsuran. Nasabah 
yang terlambat membayar angsuran setiap bulannya dikenakan denda keter­
lambatan sebesar 50% dari tarif bunga per bulan (Pasal 2 ayat (3) Surat 
Pengakuan Utang BRI). Apabila nasabah membayar pokok setiap bulannya 
sebesar Rp500.000,00/bulan dan bunga sebesar Rp200.000,00/bulan maka 
total pembayaran pokok+bunga sebanyak Rp700.000,00/bulan. Apabila terlambat 
1 (satu) bulan maka nasabah membayar pokok+bunga+denda keterlambatan 
sebesar 50% dari tarif bunga, sehingga total pembayaran utang nasabah 
sebesar Rp800.000,00/setiap keter-lambatan.
d. Kekuatan Mengikat Perjanjian Baku (Standar)
Perjanjian yang dibuat antara Bank Tabungan Negara dengan nasabah, 
ternyata ada beberapa pasal yang merugikan nasabah, seperti perubahan 
suku bunga yang diberlakukan kepada nasabah. Persoalannya kini, apakah 
dengan adanya berbagai klausula-klausula tersebut, perjanjian itu mempunyai 
kekuatan mengikat. Dalam perpustakaan hukum telah dicoba untuk membuat 
dasar ikatan dengan syarat-syarat baku. Pertama-tama ada ajaran 
penaklukan kemauan (wilsonderwerping) dari Zeylemaker. Ia berpendapat 
bahwa:
’’Orang mau, karena orang merasa takluk kepada satu pengaturan yang 
aman, disusun secara ahli dan tidak sepihak, atau karena orang tidak dapat 
berbuat lain daripada takluk, tetapi orang mau dan orang tahu bahwa orang 
mau.” (dalam Sudikno Mertokusumo, 1995: 12)
Stein tidak sependapat dengan cara berpikir ini. Pihak peserta lain sama 
sekali tidak mau takluk kepada syarat-syarat yang tidak menguntungkan dia, 
melainkan kepada klausula yang pantas. Selanjutnya Stein mengatakan bahwa 
kebutuhan praktis dari lalu lintas hukum memaksa satu kesimpulan bahwa 
pihak lain terikat pada semua syarat-syarat, tanpa mempertimbangkan apakah 
ia mengetahui syarat-syarat itu (Sudikno Mertokusumo, 1995: 12-13). 
Hondius berpendapat bahwa dua konstruksi itu tidak meyakinkan. Pendapat 
Zeylemaker memang dapat dipakai sebagai dasar pengikatan, tetapi hanya 
dengan syarat bahwa hal itu dilengkapi dengan alasan kepercayaan. Hal ini 
mengandung arti penandatanganan hanya ada nilai dalam kerangka pem­
bicaraan: penandatanganan tidak hanya mengikat kalau ia mau, juga jika ia 
sepanjang telah menciptakan kepercayaan pada pihak peserta lain dengan 
cara dapat diperhitungkan, bahwa ia mau terikat (dalam Sudikno Mertokusumo, 
1995: 12).
Pandangan lain berpendapat bahwa perjanjian baku bukan merupakan 
perjanjian karena bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Pendapat 
ini diwakili oleh Sluijter dan Mariam Darus Badrulzaman. Sluijter mengatakan 
bahwa:
’’Perjanjian baku, bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam 
perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio 
particuliere wet-gever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam 
perjanjian itu adalah undang-undang dan bukan perjanjian.” (dalam Mariam 
Darus Badrulzaman, 1980: 14)
Pandangan ini melihat perjanjian baku dari aspek pembuatan substansi 
kontrak. Substansi kontrak itu dibuat oleh pengusaha secara sepihak. Sluijter 
berpendapat substansi kontrak itu bukan kontrak, tetapi undang-undang swasta 
yang diberlakukan bagi debitur. Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman 
berpendapat bahwa:
’’Perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan 
kesempatan pada debitur mengadakan real bargaining dengan pengusaha 
(kreditur). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak 
dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Oleh karena itu, perjanjian 
baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki Pasal 1320 KUH Perdata jo. 
Pasal 1338 KUH Perdata.” (Mariam Darus Badrulzaman, 1980: 13)
Pandangan Mariam Darus Badrulzaman juga mengkaji dari aspek kebebasan 
para pihak. Di sini pihak debitur tidak mempunyai kekuatan tawar-menawar 
dalam menentukan isi kontrak dengan pihak kreditur. Pihak kreditur tinggal 
menyodorkan isi kontrak tersebut kepada debitur dan debitur tinggal menyetujui 
”ya” atau ’’tidak”. Apabila debitur menyetujui substansinya maka ia me­
nandatangani kontrak tersebut, tetapi apabila substansi itu tidak disetujui, maka
ia tidak menandatangani kontrak tersebut. Dengan demikian, kebebasan 
berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata tidak mempunyai 
arti bagi debitur, karena hak-hak debitur dibatasi oleh kreditur.
Dari kedua pandangan tersebut, penulis menyetujui pandangan yang dikemu- 
kakan oleh Stein dan Hondius yang menitikberatkan kekuatan mengikat 
perjanjian baku karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Pada 
dasarnya, masyarakat menginginkan hal-hal yang bersifat pragmatis. Artinya 
dengan menandatangani formulir, ia akan segera mendapatkan sesuatu yang 
diinginkannya, tanpa memerlukan waktu dan pikiran yang lama. Misalnya, 
apabila ia membutuhkan kredit bank begitu ia menandatangani perjanjian 
kredit maka perjanjian sudah terjadi. Dengan telah ditandatanganinya standar 
kontrak tersebut, timbullah hak dan kewajiban para pihak. Hak dari penerima 
kredit adalah menerima uang, dan kewajibannya membayar pokok dan 
bunga sesuai yang disepakatinya dalam formulir perjanjian kredit.
Di samping hal di atas, dalam pembuatan kontrak juga ada pembatasannya. 
Pembatasannya, yaitu sebagai berikut.
1. Pembatasan atau persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh hukum dan 
badan-badan Pemerintah. Ketentuan-ketentuan administratif dari instansi 
tertentu, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang 
Penanaman Modal Asing. Setiap perjanjian/kontrak yang dibuat oleh 
perusahaan penanaman modal asing mengenai asetnya, saham dan tenaga 
kerja harus memperoleh persetujuan dari Badan Penanaman Modal (BKPM). 
Karena itu momentum berlakunya kontrak tersebut baru berlaku dan mengikat 
sejak memperoleh persetujuan dari BKPM.
2. Pembatasan dalam penjualan benda tak bergerak.
Seperti kita tahu bahwa tidak setiap orang atau badan hukum diperkenankan 
untuk memperoleh hak milik terhadap benda tak bergerak, khususnya tanah.- 
Karena di dalam UUPA telah ditentukan bahwa yang berhak memiliki hak 
milik adalah warga negara Indonesia, sedangkan orang asing tidak diper­
kenankan untuk mendapatkan hak milik. Sedangkan kepada WNA hanya 
diberikan hak untuk memperoleh HGB, HGU, dan hak pakai. Oleh karena 
itu, setiap notaris yang akan membuatkan kontrak tentang jual beli benda 
tidak bergerak, harus menanyakan tentang status hukum dari pihak pembeli.
Apabila WNA maka notaris akan menolak membuat perjanjian tersebut.
3. Persyaratan dari Departemen Tenaga Kerja mengenai perjanjian untuk jangka 
waktu tertentu. Syarat adanya perjanjian kerja:
a. jangka waktu kontrak 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang,
b. masa percobaan tidak diperkenankan.
4. Persyaratan dalam perjanjian keagenan dan distributor. Syaratnya:
a. menunjuk badan hukumAVNI sebagai agen tunggal,
b. jangka waktu perjanjian keagenan minimal 3 (tiga) tahun,
c. hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia, dan
d. agen harus terdaftar di Departemen Perdagangan dan Industri. 
Apabila keempat hal itu telah diperhatikan oleh para pihak dan atau para
Notaris maka kemungkinan untuk pembatalan kontrak menjadi berkurang.
B. PRINSIP-PRINSIP DALAM PENYUSUNAN KONTRAK
Di dalam mempersiapkan kontrak, ada dua prinsip hukum yang harus 
diperhatikan, yaitu
(1) beginselen der contrachtsvrijheid atau party autonomy, dan
(2) pacta sunt servanda.
Beginselen der contrachtsvrijheid atau party autonomy, yaitu para pihak 
bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan, dengan syarat tidak 
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Untuk 
menghindari ketidakjelasan maksud para pihak maka langkah pertama yang harus 
dilakukan adalah eksekutif perusahaan harus menjelaskan sejelas-jelasnya kepada 
mereka yang terlibat dan bertugas melakukan transaksi. Sedangkan kewajiban 
pertama ahli hukum adalah mengomunikasikan kepada kliennya mengenai apakah 
yang telah dirumuskannya tersebut sudah sesuai dengan keinginan kliennya.
C. PRAPENYUSUNAN KONTRAK
Sebelum kontrak disusun, ada empat hal yang harus diperhatikan oleh para 
pihak. Keempat hal itu yakni identifikasi para pihak, penelitian awal aspek 
terkait, pembuatan Memorandum o f Understanding (MOU) dan negosiasi. 
Keempat hal itu dijelaskan berikut ini.
1. Identifikasi Para Pihak
Para pihak dalam kontrak harus teridentifikasi secara jelas, perlu diperhatikan 
peraturan perundang-undangan yang berkaitan, terutama tentang kewenangannya 
sebagai pihak dalam kontrak yang bersangkutan, dan apa yang menjadi dasar 
kewenangannya tersebut. Di samping itu, juga perlu diperhatikan syarat yang 
harus dipenuhi terutama dalam  kaitan dengan tindakan sebagai wakil dari badan 
hukum. Dalam praktik biasanya ditentukan secara rinci dalam anggaran dasar 
(AD), perlu diperhatikan bagaimana jika tindakan tersebut dilakukan oleh orang 
yang berwenang atau dilakukan melebihi kewenangan yang diberikan.
2. Penelitian Awal Aspek Terkait
Pada dasarnya pihak-pihak berharap bahwa kontrak yang ditandatangani 
dapat menampung semua keinginannya, sehingga apa yang menjadi hakikat kontrak 
benar-benar terperinci secara jelas. Penyusunan kontrak harus menjelaskan hal- 
hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkutan, konsekuensi yuridis, serta 
alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan. Pada akhirnya penyusun kontrak
menyimpulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, memperhatikan hal terkait 
dengan isi kontrak, seperti unsur pembayaran, ganti rugi, serta perpajakan.
3. Pembuatan Memorandum o f Understanding (MOU)
Memorandum o f Understanding (MOU) sebenarnya tidak dikenal dalam 
hukum konvensional Indonesia, tetapi dalam praktik sering terjadi. MOU dianggap 
sebagai kontrak yang simpel dan tidak disusun secara formal serta MOU 
dianggap sebagai pembuka suatu kesepakatan.
Pada hakikatnya MOU merupakan suatu perjanjian pendahuluan dalam arti 
akan diikuti perjanjian lainnya. Alasannya dapat dikemukakan sebagai berikut.
a. Dalam prospeknya belum jelas untuk menghindari kesulitan pembatalan 
dibuat MOU yang relatif lebih mudah dibatalkan.
b. Dalam penandatanganan kontrak memerlukan waktu yang lama, sehingga 
dibuat MOU yang akan berlaku sementara waktu.
c. Adanya keraguan para pihak dan memerlukan waktu untuk berpikir jika 
menandatangani kontrak maka untuk sementara dibuat MOU.
Ciri-ciri MOU, yaitu
a. isinya singkat berupa hal pokok,
b. merupakan pendahuluan, yang akan diikuti suatu kontrak terperinci,
c. jangka waktunya terbatas, dan
d. biasanya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang 
memaksa untuk adanya kontrak terperinci.
Meskipun MOU diakui banyak manfaatnya, tetapi banyak pihak meragukan 
berlakunya secara yuridis.
4. Negosiasi
a. Pengertian Negosiasi
Negosiasi merupakan sarana bagi para pihak untuk mengadakan komunikasi 
dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan sebagai akibat adanya 
perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal dan dilatarbelakangi oleh kesamaan/ 
ketidaksamaan kepentingan di antara mereka.
b. Jenis-Jenis Negosiasi
Ada dua corak negoisasi, yaitu position bargainer dan hard position 
bargainer (keras). Position bargainer (lunak) ini banyak dilakukan di 
lingkungan keluarga, antara sahabat, dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk 
membina hubungan baik (culitivating). Kelebihan corak ini cepat 
menghasilkan kesepakatan, namun mengandung risiko, yakni memungkinkan 
pola menang-kalah (win-lose). Sedangkan hard position bargainer (keras) 
sangat mungkin menemui kebuntuan /deadlock akibat adanya tekanan, serta 
ancaman, terutama jika terbentur pada situasi saat bertemu perunding keras 
sesama perunding keras lainnya.
Dengan membandingkan kedua corak tersebut maka yang paling efektif adalah 
perpaduan antara keduanya/corak principled negotiation/interest based 
negotiation, yang menganut pola win-win, yaitu keras dalam permasalahan 
tetapi lunak terhadap orang (hard on the merits, soft on the people). 
Corak perpaduan itu menekankan pada pentingnya pemisahan antara oran'g 
dan masalah, memfokuskan serangan pada permasalahan, dan bukan pada 
orang serta mengandalkan adanya pilihan. Pilihan ini akan mudah diterima 
jika dilandasi adanya kriteria objektif, seperti scientific judgement, peraturan 
perundang-undangan, dan nilai pasar.
Tahapan Negosiasi
Ada dua tahap yang harus dilakukan oleh negosiator dalam melakukan 
negosiasi terhadap kontrak, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. 
Tahap persiapan, yaitu tahap sebelum terjadinya negosiaisi.
Pada tahap persiapan ini, seorang negosiator harus melakukan hal-hal sebagai 
berikut:
1) menguasai konsep/rancangan kontrak bisnis secara komprehensif dan 
rinci;
2) menguasai pengetahuan tentang industri dari apa yang diperjanjikan;
3) menguasai peraturan perundang-undangan yang melingkupi apa yang 
diperjanjikan;
4) memahami betul apa yang diinginkan oleh pihak yang diwakili dan 
posisinya;
5) mengidentifikasi poin-poin yang berpotensi menjadi masalah atau 
dipermasalahkan;
6) mengantisipasi solusi apa dari poin-poin yang berpotensi menjadi masalah 
dan dipermasalahkan serta mendiskusikan solusi tersebut terlebih dahulu 
dengan pihak yang diwakili;
7) menumbuhkan percaya diri;
8) sedapat mungkin meminta counterpart agar negosiasi dilakukan di 
kantor atau di tempat yang dipilih negosiator (Hikmahanato Juwana, 
tt: 1-3).
Hal-hal yang harus dilakukan negosiator dalam tahap pelaksanaan, yaitu
1) sedapat mungkin memimpin negosiasi;
2) mengetahui betul siapa yang dihadapi dan mengukur kekuatan dengan 
menanyakan berbagai hal;
3) menetapkan apa saja yang hendak dicapai dalam negosiasi;
4) meminta pihak counterpart untuk memberitahukan lebih dahulu apa 
yang menjadi keinginannya. Sedapat mungkin dimulai dari awal konsep/ 
rancangan kontrak bisnis. Setelah itu baru kemukakan apa yang menjadi
keinginan negosiator. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengindentifikasi 
poin-poin dalam kontrak bisnis di mana para pihak berbeda pandangan. 
Di samping itu hal ini dimaksudkan juga untuk bargaining chips dalam 
proses negosiasi selanjutnya;
5) menyelesaikan poin-poin yang mudah untuk diselesaikan terlebih dahulu 
atau menunda (pending) hal-hal yang rumit untuk diselesaikan;
6) memberikan argumentasi yang logis serta analogi untuk menjelaskan 
posisi/pandangan;
7) mempermainkan emosi: kapan emosi harus meninggi dan kapan harus 
mereda. Cairkan situasi apabila menjadi tegang, misalnya dengan 
membuat lelucon atau keluar dari ruangan negosiasi;
8) apabila terdapat poin yang tidak terselesaikan, jangan terburu-buru dan 
terjebak untuk diselesaikan;
9) tidak mengambil keputusan tehadap poin yang perlu mendapat arahan 
dari pihak yang diwakili sebelum melakukan konsultasi;
10) apabila ada waktu, jangan menyelesaikan negosiasi dalam satu kali 
pertemuan;
11) catat semua hal yang disepakati dan tuangkan dalam kontrak bisnis 
dengan mark-up.
Apabila kesebelas hal itu dilakukan oleh Negosiator dengan baik, maka 
kontrak yang dibuat oleh para pihak akan memberikan kepastian hukum 
dan keadilan bagi kedua belah pihak, karena substansi kontrak itu telah 
diformulasikan dengan para negosiator.
D. TAHAP PENYUSUNAN
Salah satu tahap yang menentukan dalam pembuatan kontrak, yaitu tahap 
penyusunan kontrak. Penyusunan kontrak ini perlu ketelitian dan kejelian dari para 
pihak maupun para Notaris. Karena, apabila keliru di dalam pembuatan kontrak 
maka akan menimbulkan persoalan di dalam pelaksanaannya. Ada lima tahap 
dalam penyusunan kontrak di Indonesia, sebagaimana dikemukakan berikut ini.
1. Pembuatan draf pertama, yang meliputi:
a. Judul kontrak
Dalam kontrak harus diperhatikan kesesuaian isi dengan judul serta 
ketentuan hukum yang mengaturnya, sehingga kemungkinan adanya 
kesalahpahaman dapat dihindari.
b. Pembukaan
Biasanya berisi tanggal pembuatan kontrak.
c. Pihak-pihak dalam kontrak
Perlu diperhatikan jika pihak tersebut orang pribadi serta badan hukum, 
terutama kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum dalam 
bidang kontrak.
d. Racital
Yaitu penjelasan resmi/latar belakang terjadinya suatu kontrak.
e. Isi kontrak
Bagian yang merupakan inti kontrak. Yang memuat apa yang 
dikehendaki, hak, dan kewajiban termasuk pilihan penyelesaian sengketa.
f. Penutup
Memuat tata cara pengesahan suatu kontrak.
Sedangkan di USA, draf kontrak berisi hal-hal berikut ini.
a. Part racital, yaitu penjelasan resmi/latar belakang terjadinya suatu 
kontrak.
b. Consideration, yaitu berisi tentang prestasi.
c. Warranties and representation.
d. Risk allocation.
e. Condition.
f. Dates and term.
g. Boillerplate.
h. Signature.
2. Saling menukar draf kontrak.
3. Jika perlu diadakan revisi.
4. Dilakukan penyelesaian akhir.
5. Penutup dengan penandatanganan kontrak oleh masing-masing pihak.
E. STRUKTUR DAN ANATOMI KONTRAK
Pada dasarnya, susunan dan anatomi kontrak, dapat digolongkan menjadi 
tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, isi, dan penutup. Ketiga hal itu dijelaskan 
berikut ini.
1. Bagian Pendahuluan
Dalam bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga subbagian.
a. Subbagian pembuka (description o f the instrument).
Subbagian ini memuat tiga hal berikut, yaitu
(1) sebutan atau nama kontrak dan penyebutan selanjutnya (penyingkatan) 
yang dilakukan,
(2) tanggal dari kontrak yang dibuat dan ditandatangani, dan
(3) tempat dibuat dan ditandatanganinya kontrak.
b. Subbagian pencantuman identitas para pihak {caption).
Dalam subbagian ini dicantumkan identitas para pihak yang mengikat diri 
dalam kontrak dan siapa-siapa yang menandatangani kontrak tersebut. Ada 
tiga hal yang perlu diperhatikan tentang identitas para pihak, yaitu 
(1) para pihak harus disebutkan secara jelas;
(2) orang yang menandatangani harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa;
(3) pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak,
c. Subbagian penjelasan.
Pada subbagian ini diberikan penjelasan mengapa para pihak mengatakan 
kontrak (sering disebut bagian premis).
2. Bagian Isi
Ada empat hal yang tercantum dalam bagian isi.
a. Klausula definisi (definition)
Dalam klausula ini biasanya dicantumkan berbagai definisi untuk keperluan 
kontrak. Definisi ini hanya berlaku pada kontrak tersebut dan dapat mempunyai 
arti dari pengertian umum. Klausula definisi penting dalam rangka mengefisienkan 
klausula-klausula selanjutnya karena tidak perlu diadakan pengulangan.
b. Klausula transaksi (operative language)
Klausula transaksi adalah klausula-klausula yang berisi tentang transaksi yang 
akan dilakukan. Misalnya dalam jual beli aset maka harus diatur tentang 
objek yang akan dibeli dan pembayarannya. Demikian pula dengan suatu 
kontrak usaha patungan, perlu diatur tentang kesepakatan para pihak dalam 
kontrak tersebut.
c. Klausula spesifik
Klausula spesifik mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi. Artinya 
klausula tersebut tidak terdapat dalam kontrak dengan sanksi yang berbeda.
d. Klausula ketentuan umum
Klausula ketentuan umum adalah klausula yang seringkah dijumpai dalam 
berbagai kontrak dagang maupun kontrak lainnya. Klausula ini antara lain 
mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum, 
pemberitahuan, keseluruhan dari perjanjian, dan lain-lain.

Ada dua hal yang tercantum pada bagian penutup.
a. Subbagian kata penutup (closing), kata penutup biasanya menerangkan bahwa 
perjanjian tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki 
kapasitas untuk itu. Atau para pihak menyatakan ulang bahwa mereka akan 
terikat dengan isi kontrak.
b. Subbagian ruang penempatan tanda tangan adalah tempat pihak-pihak 
menandatangani perjanjian atau kontrak dengan menyebutkan nama pihak 
yang terlibat dalam kontrak, nama jelas orang yang menandatangani dan 
jabatan dari orang yang menandatangani.
Di dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang 
Jasa Konstruksi telah ditentukan uraian-uraian yang harus dimuat dalam Kontrak 
Kerja Konstruksi. Uraian-uraian tersebut adalah sebagai berikut.
1. Para pihak, yang memuat secara jelas para pihak. Yang dimaksud dengan 
identitas para pihak adalah nama, alamat, kewarganegaraan, wewenang 
penanda tangan, dan domisili.
2. Rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup 
kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Lingkup kerja meliputi:
a. volume pekerjaan, yakni besarnya pekerjaan yang harus dilaksanakan, 
termasuk volume pekerjaan tambah atau kurang. Dalam mengadakan 
pembahan volume pekerjaan, perlu ditetapkan besarnya pembahan volume 
yang tidak memerlukan persetujuan para pihak terlebih dahulu;
b. persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para 
pihak dalam mengadakan interaksi;
c. persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh 
penyedia jasa;
d. pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara 
lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan 
bagi tenaga kerja dan masyarakat. Perlindungan tersebut dapat berupa 
antara lain asuransi atau jaminan yang diterbitkan oleh bank atau lembaga 
bukan bank;
e. laporan hasil pekerjaan konstruksi.
3. Nilai pekerjaan, yakni jumlah besarnya biaya yang akan diterima oleh penyedia 
jasa untuk pelaksanaan lingkup pekerjaan. Batas waktu pelaksanaan adalah 
jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk 
masa pemeliharaan.
4. Masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka 
waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab 
penyedia jasa.
5. Tenaga ahli, yang memuat tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga 
ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi.
6. Hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh 
hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan 
yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan 
imbalan serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi.
7. Cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna 
jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi.
8. Cedera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal 
salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
9. Penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara 
penyelesaian akibat ketidaksepakatan.
10. Pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang 
pemutusan kontrak kerja kontruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya 
kewajiban salah satu pihak.
11. Keadaan memaksa (force majeur), yang memuat ketentuan tentang kejadian 
yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan 
kerugian bagi salah satu pihak.
12. Perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak 
dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial.
13. Aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan 
ketentuan tentang lingkungan.
Di samping itu, di dalam kontrak kerja konstruksi dapat juga dimasukkan 
tentang:
1. kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif,
2. subpenyedia jasa, dan
3. pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan yang 
harus memenuhi standar yang berlaku.
Untuk kontrak kerja konstruksi pekerjaan perencanaan harus memuat tentang 
hak atas kekayaan intelektual. Hak atas kekayaan intelektual adalah hasil inovasi 
perencanaan konstruksi dalam suatu pelaksanaan kontrak kerja konstruksi baik 
bentuk hasil akhir perencanaan dan/atau bagian-bagiannya yang kepemilikannnya 
dapat diperjanjikan. Ini berarti bahwa atas kekayaan intelektual itu dapat dimiliki 
oleh pemberi jasa atau penyedia jasa. Dengan demikian, salah satu pihak, baik 
pemberi jasa maupun penyedia jasa dapat mengajukan haknya kepada Pemerintah.
Apabila dianalisis uraian-uraian tentang substansi kontrak kerja konstruksi, 
tampaklah bahwa uraian-uraian itu telah memenuhi syarat, baik syarat teoretis 
maupun pragmatis. Uraian kontrak itu telah mengatur secara lengkap tentang hal- 
hal yang harus tercantum di dalam kontrak konstruksi. Para pelaksana proyek di 
lapangan, apakah itu Pimpro maupun Penyedia Konstruksi tinggal merinci pasal 
demi pasal dalam kontrak tersebut, karena di dalam uraian tersebut telah jelas hal- 
hal yang harus tercantum di dalamnya.
Untuk mempermudah maka berikut ini disajikan sebuah kontrak konsultansi 
yang dibuat antara Pemerintah c.q. Bappeda Kabupaten Dompu dengan 
Konsultansi PDM DKE, yaitu Yayasan Abdi Insani.
Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja)
Pekerjaan Konsultan Pendamping Kabupaten (Kp-Kab)
Proyek Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi 
(PDM-DKE) Kabupaten Dompu Tahun 2000 
Nomor : 050/139/Bappeda 
Tanggal : 5 Oktober 2000
Pada hari ini, Kamis 5 Oktober tahun Dua Ribu, kami yang bertanda tangan 
di bawah ini:
1. Nama : Drs. Imran M. Hasan
Jabatan : Pemimpin Proyek Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi 
Dampak Krisis Ekonomi Kabupaten Dompu
Alamat : Jin. Soekarno-Hatta No. 29 Dompu
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Dompu Nomor: 954/76/008/2000, tanggal 
28 Juli 2000, telah ditunjuk sebagai Pemimpin Proyek Pemberdayaan Daerah 
dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) Kabupaten Dompu, 
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kabupaten Dompu 
yang selanjutnya dalam perjanjian ini disebut Pihak Pertama.
2. Nama : Dr. Mahsun, MS.
Jabatan : Direktur Eksekutif Yayasan Abdi Insani Mataram 
Alamat : Jin. Panji Asmara IV No. 6 Tanjung Karang-Ampenan 
Berdasarkan Akte Pendirian Notaris Nomor: 6 tanggal 9 Maret 1998 oleh 
Notaris Abdullah. SH. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Anggaran 
Dasarnya bertindak untuk dan atas nama Yayasan Abdi Insani yang selanjutnya 
dalam perjanjian ini disebut Pihak Kedua.
Dengan ini Pihak Pertama dan Pihak Kedua menyatakan telah sepakat 
membuat perjanjian kerja sama dalam Pekerjaan Konsultan Pendamping 
Kabupaten (KP-Kab) Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak 
Krisis Ekonomi (PDM-DKE) Kabupaten Dompu Tahun 2000, sebagai hasil proses 
penunjukan langsung yang dilaksanakan sesuai dengan surat penetapan Pemimpin 
Proyek Nomor: 050/137/ Bappeda dengan ketentuan pada pasal-pasal berikut ini.
Pasal 1
Surat Perintah Kerja
Tujuan Surat Perintah Kerja ini adalah Pihak Kedua harus melaksanakan 
pekerjaan sebagai Konsultan Pendamping Kabupaten Pelaksanaan Program PDM- 
DKE Kabupaten Dompu Tahun 2000 sesuai dengan ketentuan yang berlaku, 
sehingga memberikan hasil yang memuaskan bagi Pihak Pertama.
Pasal 2
Jenis Pekerjaan
Pekerjaan yang dilaksanakan adalah Pekerjaan sebagai Konsultan 
Pendamping Kabupaten (KP-Kab) Pelaksanaan Program Pemberdayaan Daerah 
dalam mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) di Kabupaten Dompu 
Tahun 2000, sesuai dengan Dokumen Pelelangan yang diajukan oleh Pihak 
Kedua.
Pasal 3
Tata Cara Pelaksanaan SPK
1. Untuk melaksanakan tugas tersebut pada Pasal 1 Surat Perjanjian Kerja 
(Kontrak Kerja) ini, Pihak Kedua diwajibkan memenuhi persyaratan yang 
terdapat pada dokumen kontrak yang terdiri dari: 
a. Surat Perjanjian Kerja;
b. Kerangka Acuan Kerja;
c. Dokumen Data Teknis;
d. Surat Penawaran;
e. Rencana Kerja;
f. dan lain-lain.
2. Semua dokumen tersebut di atas merupakan suatu kesatuan yang tidak 
terpisah satu dengan lainnya.
Pasal 4
Hasil Pekerjaan
Produk dari pekerjaan-pekerjaan sesuai dengan Pasal 2 di atas berupa buku- 
buku laporan.
a. Laporan Pendahuluan, merupakan laporan kemajuan pertama konsultan yang 
menguraikan hal-hal yang telah dilaksanakan oleh konsultan hingga bulan 1 
sebanyak 10 (sepuluh) eksemplar.
b. Laporan Kemajuan Bulanan, mengenai kegiatan program PDM-DKE di 
Kabupaten, yaitu
a. Laporan Kemajuan Bulan ke-1 berupa laporan pelaksanaan kegiatan 
sampai dengan bulan ke-2. Laporan ini dibuat sebanyak sepuluh 
eksemplar;
b. Laporan Kemajuan Bulan ke-2 berupa laporan pelaksanaan kegiatan 
sampai dengan bulan ke-3 termasuk laporan indikator dan target kinerja. 
Laporan ini dibuat sebanyak 10 (sepuluh) eksemplar;
c. Laporan Kemajuan Bulan ke-3 merupakan laporan pelaksanaan kegiatan 
sampai dengan bulan ke-4 termasuk laporan indikator dan target kinerja. 
Laporan ini dibuat sebanyak 10 (sepuluh) eksemplar;
d. Konsep Laporan Akhir, menguraikan sepuluh kegiatan yang telah 
dilaksanakan konsultan. Laporan ini dibuat sebanyak 10 (sepuluh) 
eksemplar;
e. Laporan Akhir, laporan ini dibuat sebanyak 20 (dua puluh) eksemplar;
f. Eksekutif Summary, laporan ini dibuat sebanyak 20 (dua puluh) eksemplar.
Pasal 5
Pengawasan dan Pelaksanaan Pekerjaan
1. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan yang disebutkan dalam Surat Perjanjian 
Kerja (SPK) akan dilakukan oleh Pengurus Yayasan, Konsultan Manajemen 
Pusat (KM-Pusat), Konsultan Monitoring Provinsi (KM-Prov), Tim Koordinasi 
Pengelola Program Kabupaten (TKPP-Kab)
2. Konsultan diharuskan melaksanakan pekerjaan tersebut berdasarkan perintah 
dan petunjuk dari Pengurus Yayasan, Konsultan Manajemen Pusat (KM-
Pusat), Konsultan Monitoring Provinsi (KM-Prop), Tim Koordinasi Pengelola 
Program Kabupaten (TKPP-Kab) dalam batas-batas dokumen penawaran.
3. Pengurus bertanggung jawab untuk mempersiapkan dan menyerahkan 
kepada konsultan segala sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan 
pekerjaan pada waktunya, sebelum atau selama berlangsungnya pekerjaan.
Pasal 6
Harga Kontrak
Harga kontrak tersebut pada Pasal 1 adalah sebesar Rp 150.200.000,00 
(seratus lima puluh juta dua ratus ribu rupiah).
Pasal 7
Prosedur Pembayaran
1. Pembayaran dilakukan sebagai Beban Tetap melalui Bank Pemerintah yang 
ditunjuk.
2. Pembayaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini, dilakukan atas dasar Berita 
Acara Pemeriksaan prestasi kerja.
Pasal 8
Cara Pembayaran
Pembayaran harga kontrak pekerjaan sebagaimana disebutkan pada Pasal 6 
Surat Perjanjian Kerja ini dilaksanakan secara bertahap sebagai berikut.
1. Uang muka 30% dari harga kontrak, yaitu: 30% x Rp 150.200.000,00 = 
Rp45.060.000,00 (empat puluh lima juta enam puluh ribu rupiah)
2. Pembayaran dilakukan sekaligus tiga kali dari harga kontrak, yaitu
a. Pembayaran angsuran I (pertama) = 50% x Rpl50.200.000 = 
Rp75.100.000,00
Pengembalian uang muka = 50 % x Rp45.060.000,00 = Rp22.530.000,00 
Jumlah yang diterima = Rp52.570.000,00
(lima puluh dua juta lima ratus tujuh puluh ribu rupiah), dibayarkan 
apabila kemajuan pekerjaan telah mencapai 50% dan pihak kedua telah 
menyerahkan buku Laporan Pendahuluan, Laporan Bulanan Pertama 
dan Kedua serta diterima dengan baik oleh Pihak Pertama yang dinyatakan 
dengan Berita Acara kemajuan Pekerjaan yang disetujui oleh Pihak 
Pertama.
b. Pembayaran Angsuran II (kedua) = 40% x Rpl50.200.000,00 = Rp60.800.000,00 
Pengembalian Uang Muka = 40% x Rp45.060.000,00 = Rp18.024.000,00 
Jumlah yang diterima = Rp42.776.000,00
(empat puluh dua juta enam ribu rupiah), dibayarkan apabila kemajuan 
pekerjaan telah mencapai 90% dan Pihak Kedua telah menyerahkan
buku Draf Laporan Akhir, serta diterima dengan baik oleh Pihak Pertama 
yang dinyatakan dengan Berita Acara Kemajuan Pekerjaan yang 
disetujui oleh Pihak Pertama.
c. Pembayaran Angsuran III = 10% x Rpl50.200.000,00 = Rpl5.020.000,00 
Pengembalian uang muka = 10% x Rp45.060.000,00 = Rp4.506.000,00 
Jumlah yang diterima = Rp 10.514.000,00
(sepuluh juta lima ratus empat belas ribu rupiah), dibayarkan apabila 
kemajuan pekerjaan telah mencapai 100% dan Pihak Kedua telah 
menyerahkan buku Executif Summary, serta diterima dengan baik oleh 
Pihak Pertama yang dinyatakan dengan Berita Acara Kemajuan 
Pekerjaan yang disetujui oleh Pihak Pertama.
Pasal 9 
Uang Muka
Jaminan Uang Muka:
1. Sebelum pembayaran uang muka oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua 
dilakukan maka Pihak Kedua wajib menyerahkan kepada Pihak Pertama 
jaminan uang muka berupa syarat jaminan yang diterbitkan oleh Menteri 
Keuangan sebesar Rp45.060.000,00 (empat puluh lima juta enam puluh ribu 
rupiah) atau 30% dari harga kontrak.
2. Jaminan uang muka tersebut pada ayat 9.1. pasal ini secara berangsur- 
angsur diperhitungkan dalam tahap-tahap pembayaran sebagaimana 
dimaksud pada Pasal 8.
3. Surat jaminan uang muka dalam ayat 9.1. pasal ini menjadi milik negara dan 
dapat dicairkan oleh Pihak Pertama secara langsung apabila terjadi pemutusan 
perjanjian antara Pihak Pertama dan Pihak Kedua sebagaimana yang di­
maksud pada Pasal 15 surat perjanjian ini.
Pasal 10
Pajak dan Pungutan Resmi Lainnya
Semua jenis pajak dan pungutan resmi lainnya yang berhubungan dengan
pelaksanaan pekerjaan pada Pasal 1 di atas ditanggung oleh Pihak Kedua.
Pasal 11
Jangka Waktu Pelaksanaan
1. Seluruh pekerjaan ini harus selesai dalam jangka waktu sesuai dengan 
waktu 3 (tiga) bulan terhitung tanggal 5 Oktober 2000 dan berakhir pada 
tanggal 31 Desember 2000.
2. Pekerjaan yang tercantum dalam F’asal 1 surat perjanjian ini harus diselesaikan 
tahap demi tahap, setelah mendapat persetujuan dari Pihak Pertama.
Pasal 12 
Domisili
Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat untuk memilih domisili tetap dan 
segala yang timbul akibat Surat Perintah Kerja (SPK) ini yaitu di Kantor Pengadilan 
Negeri Dompu.
Pasal 13
Keadaan Memaksa (Force Mejeure)
1. Jika kedaan memaksa Pihak Kedua akan dibebaskan dari tanggung jawab 
atas kerugian dan keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
2. Yang dimaksud keadaan memaksa pada ayat di atas adalah keadaan atau 
peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan Pihak Kedua untuk dapat mengatasinya 
maka dapat dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan adanya perubahan 
waktu pelaksanaan.
3. Yang dapat dianggap force mejeure antara lain, seperti
h. bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, dan banjir),
i. kebakaran,
j. perang, huru-hara, pemberontakan, pemogokan dan epidemi (wabah 
penyakit),
k. tindakan pemerintah di bidang moneter yang langsung mengakibatkan 
kerugian luar biasa, dan
l. untuk kelancaran pekerjaan, penentuan keadaan memaksa dalam hal 
tersebut dapat diselesaikan secara musyawarah antara kedua belah 
pihak.
Pasal 14
Penyelesaian Perselisihan
1. Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, pada dasarnya diselesaikan 
secara musyawarah.
2. Jika dengan jalan ayat (1) di atas gagal, maka dibentuk suatu Panitia Perwasitan 
(Arbitrase) yang anggotanya terdiri dari 3 (tiga) orang, yaitu
e. seorang wakil dari Pihak Pertama sebagai anggota,
f. seorang wakil dari Pihak Kedua sebagai anggota, dan
g. seorang Ahli sebagai Ketua pengangkatannya disetujui oleh kedua belah 
pihak.
3. Jika ternyata dengan jalan ayat (1) dan (2) gagal maka perselisihan ini akan 
diteruskan ke Pengadilan Negeri Dompu.
Pasal 15
Pembatalan Pekerjaan
1. Pihak Pertama berhak membatalkan pemberian tugas pekerjaan ini apabila 
ternyata Pihak Kedua telah menyerahkan atau melimpahkan pekerjaan pada 
Pihak Ketiga.
2. Apabila Pihak Kedua menurut pertimbangan Pihak Pertama ternyata dinilai 
tidak dapat atau tidak mampu lagi menyelenggarakan atau menyelesaikan 
pekerjaan tersebut maka Pihak Pertama dapat membatalkan pekerjaan 
tersebut.
Pasal 16
Denda-Denda dan Sanksi-Sanksi
Kepada Pihak Kedua akan dikenakan denda/sanksi apabila:
1. pekerjaan tidak dapat diselesaikan sesuai dengan batas waktu tersebut 
dalam Pasal 10;
2. dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut terbukti telah melanggar syarat-syarat 
yang telah ditentukan dan telah mendapat teguran secara tertulis selama 
tiga kali berturut-turut tapi tidak diindahkan;
3. besarnya denda untuk setiap hari keterlambatan ditetapkan 1/1000 (satu 
permil) dari nilai kontrak atau setinggi-tingginya 5% dari nilai kontrak;
4. semua penerimaan denda dalam hal ini seluruhnya disetor ke Kas Daerah;
5. apabila Pihak Kedua melanggar ketentuan yang tercantum dalam dokumen 
lelang ini maka kontrak akan dibatalkan dan Pihak Kedua bersedia untuk 
tidak diundang untuk mengikuti segala jenis proyek selama satu tahun.
Pasal 17
Aturan Tambahan
1. Segala sesuatu yang terjadi atas pelaksanaan pekerjaan ini yang belum diatur 
dalam pasal-pasal terdahulu akan diatur kemudian secara musyawarah oleh 
kedua belah pihak.
2. Jika dalam Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja) dimaksud terdapat 
kekeliruan dan kesalahan akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Pasal 18
Penutup
1. Surat perjanjian kerja ini dianggap sah dan mengikat setelah ditandatangani 
oleh kedua belah pihak.
2. Surat perjanjian kerja ini beserta lampiran-lampirannya merupakan suatu 
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
3. Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja) ini dibuat dan ditandatangani di 
Dompu oleh kedua belah pihak pada hari, tanggal, bulan, dan tahun tersebut
di atas masing-masing dibubuhi meterai Rp6.000,00. Untuk keperluan 
administrasi Surat Perjanjian Kerja ini dibuat dalam rangkap sepuluh untuk 
dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Pihak Kedua 
Yayasan Abdi Insani 
ttd.
Dr. Mahsun. M.S.
Direktur Eksekutif
Pihak Pertama 
Pemimpin Proyek 
ttd.
Drs. Imran M. Hasan
NIP. 610 010 289
Mengetahui
Ketua BAPPEDA Kabupaten Dompu 
ttd.
Drs. H.B. Thamrin Rayes 
NIP. ....
Apabila diperhatikan struktur dan substansi kontrak konsultasi di atas, tampaklah 
bahwa struktur dan substansi kontrak tersebut telah memenuhi persyaratan- 
persyaratan teoretis, namun yang masih kurang dalam kontrak di atas adalah 
belum dicantumkan berbagai definisi-definisi yang penting dalam kontrak. Sehingga 
pada masa yang akan datang definisi tersebut perlu dicantumkan.
Struktur dan substansi kontrak konsultan pendamping ini dikemukakan berikut 
ini.
1. Subbagian pembuka (description o f the instrument), yang terdiri dari: (1) 
nama kontrak adalah Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja) Pekerjaan 
Konsultan Pendamping Kabupaten (KP-Kab) Proyek PDM-DKE, (2) tanggal 
kontrak, yaitu 5 Oktober 2000, dan (3) tempat dibuatnya perjanjian ini, adalah 
di Kabupaten Dompu.
2. Subbagian pencantuman identitas para pihak (caption). Para pihak dalam 
perjanjian konsultan ini adalah Drs. Imran Hasan sebagai Pimpinan Proyek 
dan Dr. Mahsun, M.S. sebagai Konsultan Pendamping.
3. Alasan mengadakan kontrak, yaitu untuk menjadi konsultan pendamping 
dalam pelaksanaan PDM-DKE.
4. Bagian Isi
Bagian isi dari kontrak konsultan pendamping ini dimulai dari Pasal 1 sampai 
dengan Pasal 16. Isinya meliputi:
(1) surat perintah kerja,
(2) jenis pekerjaan,
(3) tata cara pelaksanaan SPK,
(4) hasil pekerjaan,
(5) pengawasan dan pelaksanaan pekerjaan,
(6) harga kontrak,
(7) prosedur pembayaran,
(8) cara pembayaran,
(9) uang muka,
(10) pajak dan pungutan resmi lainnya,
(11) jangka waktu pelaksanaan,
(12) domisili,
(13) keadaan memaksa,
(14) penyelesaian perselisihan,
(15) pembatalan pekerjaan, serta
(16) denda-denda dan sanksi.
5. Bagian Penutup
Bagian penutup dalam kontrak hanya mengatur satu pasal, yaitu Pasal 18. 
Pasal 18 ini berisi tentang: (1) kekuatan mengikat dari kontrak, (2) SPK 
beserta lampirannya merupakan satu kesatuan, dan (3) penandatanganan 
kontrak oleh para pihak.
Para ahli hukum dan konsultan kontrak haruslah menguasai dan memahami 
struktur dan anatomi kontrak. Karena dengan memahami struktur dan anatomi 
kontrak dapat mempermudah para konsultan untuk dapat memformulasikan 
substansi kontrak dengan baik.
F. PASCA PENYUSUNAN KONTRAK
Apabila kontrak telah dibuat dan ditandatangani oleh para pihak, maka ada 
dua hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu sebagai berikut.
1. Pelaksanaan dan penafsiran
Setelah suatu kontrak disusun barulah dapat dilaksanakan. Kadang-kadang 
kontrak yang telah disusun tidak jelas/tidak lengkap sehingga masih diperlukan 
adanya penafsiran. Berkaitan dengan hal tersebut, undang-undang telah 
menentukan sejauh mana penafsiran dapat dilaksanakan dengan memper­
hatikan hal berikut ini:
a. kata-kata yang dipergunakan dalam kontrak,
b. keadaan dan tempat dibuatnya kontrak,
c. maksud para pihak,
d. sifat kontrak yang bersangkutan, dan
e. kebiasaan setempat.
2. Alternatif penyelesaian sengketa
Dalam pelaksanaan kontrak mungkin terdapat sengketa. Para pihak bebas 
menentukan cara yang akan ditempuh jika timbul sengketa di kemudian 
hari. Biasanya penyelesaian sengketa diatur secara tegas dalam kontrak. 
Para pihak dapat memilih lewat pengadilan atau di luar pengadilan. Setiap 
cara yang dipilih mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang
harus dipertimbangkan sebelum memilih cara yang dianggap cocok untuk 
diterapkan. Jika memilih lewat pengadilan, apakah pengadilan berwenang 
menyelesaikan sengketa tersebut, kemungkinan dapat dilaksanakannya secara 
penuh, juga waktu dan biaya yang diperlukan selama proses pengadilan.

A. BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA
Pada dasarnya setiap kontrak (perjanjian) yang dibuat para pihak harus dapat 
dilaksanakan dengan sukarela atau iktikad baik, namun dalam kenyataannya kontrak 
yang dibuatnya seringkah dilanggar. Persoalannya kini, bagaimanakah cara 
penyelesaian sengketa yang terjadi di antara para pihak? Pola penyelesaian sengketa 
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu (1) melalui pengadilan, dan (2) alternatif 
penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaian 
sengketa yang terjadi antara para pihak yang diselesaikan oleh pengadilan. 
Putusannya bersifat mengikat. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui alternatif 
penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda 
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di 
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian 
ahli (Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase 
dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa). Apabila mengacu ketentuan 
Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 maka cara penyelesaian 
sengketa melalui ADR dibagi menjadi lima cara, yaitu
1. konsultasi,
2. negosiasi,
3. mediasi,
4. konsiliasi, atau
5. penilaian ahli.
Di dalam literatur juga disebutkan dua pola penyelesaian sengketa, yaitu the 
binding adjudicative procedure dan the nonbinding adjudicative procudere. 
1. The binding adjudicative procedure, yaitu suatu prosedur penyelesaian 
sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim mengikat para pihak. 
Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu
(1) Litigasi,
(2) Arbitrase,
(3) Mediasi-Arbitrase, dan
(4) Hakim Partikelir.
2. The nonbinding adjudicative procedure, yaitu suatu proses penyelesaian 
sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim atau orang yang ditunjuk 
tidak mengikat para pihak. Penyelesaian sengketa dengan cara ini dibagi 
menjadi enam macam, yaitu
(1) Konsiliasi,
(2) Mediasi,
(3) Mini-Trial,
(4) Summary Jury Trial,
(5) Neutral Expert Fact-Finding, dan
(6) Early Expert Neutral Evaluation (Rudjiono, 1996: 3).
Kedua penyelesaian sengketa itu berbeda antara satu dengan yang lainnya. 
Perbedaannya terletak pada kekuatan mengikat dari putusan yang dihasilkan 
oleh institusi tersebut. Kalau the binding adjudicative procedur, putusan yang 
dihasilkan oleh institusi yang memutuskan perkara adalah mengikat para pihak, 
sedangkan dalam the nonbinding adjudicative procedur, putusan yang 
dihasilkan tidak mengikat para pihak. Artinya dengan adanya putusan itu para 
pihak dapat menyetujui atau menolak isi putusan tersebut. Persamaan dari kedua 
pola penyelesaian sengketa tersebut adalah sama-sama memberikan putusan 
atau pemecahan dalam suatu kasus.
Kesepuluh jenis sengketa tersebut dijelaskan dalam sub-subbab berikut ini.
B. LITIGASI
Litigasi merupakan suatu proses gugatan, suatu sengketa diritualisasikan 
yang menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan 
kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan.
Penggunaan sistem litigasi mempunyai keuntungan dan kekurangannya dalam 
penyelesaian suatu sengketa. Keuntungannya, yaitu
1. dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurang-kurangnya 
dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi 
hasil dan dapat menjamin ketenteraman sosial;
2. litigasi sangat baik sekali untuk menemukan berbagai kesalahan dan masalah 
dalam posisi pihak lawan;
3. litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan 
peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum 
mengambil keputusan;
4. litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa pribadi;
5. dalam sistem litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang 
terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa litigasi tidak hanya menyelesaikan 
sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum, 
yang tertuang dalam undang-undang secara eksplisit maupun implisit. Namun
litigasi setidak-tidaknya sebagaimana terdapat di Amerika Serikat, memiliki banyak 
kekurangan (drawbacks) (Garry Goodpaster, dkk., 1995: 6). Kekurangan litigasi, 
yaitu
1. memaksa para pihak pada posisi yang ekstrem;
2. memerlukan pembelaan (aclvocasy) atas setiap maksud yang dapat mem­
pengaruhi putusan;
3. litigasi benar-benar mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, 
apakah persoalan materi (substantive) atau prosedur, untuk persamaan 
kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta yang 
ekstrem dan seringkah marginal;
4. menyita waktu dan meningkatkan biaya keuangan;
5. fakta-fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan, para 
pihak tidak selalu mampu mengungkapkan kekhawatiran mereka yang 
sebenarnya;
6. litigasi tidak mengupayakan untuk memperbaiki atau memulihkan hubungan 
para pihak yang bersengketa;
7. litigasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris, yaitu sengketa 
yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan 
alternatif penyelesaian.
Proses litigasi mensyaratkan pembatasan sengketa dan persoalan-persoalan 
sehingga para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap 
membuat keputusan.
C. ARBITRASE
1. Pengertian Arbitrase
Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah 
dicantumkan pengertian arbitrase. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata 
di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat 
secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Frank Alkoury dan Eduar Elkoury, 
mengartikan arbitrase adalah sebagai:
’’Suatu proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara 
sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru sita yang netral 
sesuai dengan pilihan mereka, di mana putusan mereka didasarkan dalil- 
dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima 
putusan tersebut secara final dan mengikat (dalam M. Husseyn Umar dan 
A. Suiani Kardono, tt: 2)
Kedua definisi arbitrase di atas terdapat perbedaan dan persamaan. 
Perbedaannya dapat dikaji dari unsur-unsur yang tercantum dalam kedua definisi 
tersebut. Unsur-unsur arbitrase yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang- 
Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu
a. penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum,
b. berdasarkan perjanjian arbitrase,
c. bentuk perjanjiannya tertulis, dan
d. disepakati para pihak.
Sedangkan unsur-unsur yang tercantum dalam definisi Frank Alkoury dan 
Eduar Elkoury adalah sebagai berikut:
a. proses yang mudah atau simpel,
b. dipilih para pihak secara sukarela,
c. diputus oleh juru sita, dan
d. berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut.
e. para pihak menyetujui putusan sejak semula secara final dan mengikat. 
Apabila dibandingkan kedua unsur tersebut di atas tampaklah bahwa pada
definisi yang pertama difokuskan pada ada atau tidak adanya perjanjian arbitrase 
yang dibuat oleh para pihak. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan 
berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang 
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase 
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Perjanjian arbitrase 
dibuat pada sebelum dan sesudah timbulnya sengketa. Sedangkan pada definisi 
kedua difokuskan pada proses pelaksanaan dari lembaga arbitrase, yaitu mudah 
dan simpel. Proses yang mudah atau simpel adalah suatu proses yang tidak me­
merlukan prosedur dan syarat-syarat yang berbelit-belit dan panjang, sebagaimana 
yang terjadi dalam perkara litigasi.
2. Dasar Hukum
Pada mulanya ketentuan tentang arbitrase diatur di dalam RV dan HIR. 
RV atau Burgerlijke Reglement op de Rechtsvoerdering adalah suatu ketentuan 
yang mengatur tentang tata cara beracara yang diberlakukan bagi golongan 
Eropa dan dipersamakan dengan itu. Ketentuan tentang arbitrase di dalam RV 
diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 RV.
Ketentuan dalam RV ini sekarang tidak berlaku lagi karena tidak sesuai 
dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya. Oleh karena itu, 
ketentuan dalam RV ini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 
1999 tentang Arbitrase Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ada tiga pertimbangan 
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Alternatif 
Penyelesaian Sengketa, yaitu
a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian 
sengketa perdata, di samping dapat diajukan ke pengadilan umum juga ter­
buka kemungkinan melalui arbitrase penyelesaian sengketa;
b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian 
sengketa melalui arbitrase tidak sesuai dengan perkembangan dunia usaha 
dan hukum pada umumnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf 
a dan b, perlu membentuk undang-undang tentang arbitrase dan alternatif 
penyelesaian sengketa.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 terdiri atas 11 bab dan 82 pasal.
Masing-masing bab dikemukakan berikut ini:
Bab I : Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 Undang-Undang 
Nomor 30 Tahun 1999);
Bab II : Alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 
30 Tahun 1999);
Bab III : Syarat arbitrase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar (Pasal 7 
s.d. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);
Bab IV : Acara yang berlaku di hadapan majelis arbitrase (Pasal 27 sampai 
dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);
Bab V : Pendapat dan putusan arbitrase (Pasal 52 sampai dengan Pasal 58 
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);
Bab VI : Pelaksanaan putusan arbitrase (Pasal 59 sampai dengan Pasal 69 
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);
Bab VII : Pembatalan putusan arbitrase (Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);
Bab VIII : Berakhir tugas arbitrase (Pasal 73 sampai dengan Pasal 74 Undang- 
Undang Nomor 30 Tahun 1999);
Bab IX : Biaya arbitrase (Pasal 75 sampai dengan Pasal 77 Undang-Undang 
Nomor 30 Tahun 1999).
3. Jenis-Jenis Lembaga Arbitrase
Lembaga arbitrase dibagi dua macam, yaitu (1) arbitrase acl hoc dan (2) 
arbitrase institusional. Arbitrase ad hoc atau volunter adalah arbitrase yang 
ditujukan untuk kasus tertentu untuk satu kali penunjukan (M. Yahya Harahap, 
1991: 150). Sedangkan arbitrase institusional (institusional arbitration) adalah 
lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen (Pasal 1 ayat (2) Konvensi 
New York, 1958). Arbitrase institusional dibagi menjadi dua sifat, yaitu nasional 
dan internasional (Pasal 59 dan 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). 
Dikatakan bersifat nasional karena pendiriannya hanya untuk kepentingan bangsa 
dari negara yang bersangkutan. Yang termasuk arbitrase nasional, adalah Bani 
(Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan Bami (Badan Arbitrase Muamalat 
Indonesia).
Arbitrase internasional merupakan pusat penyelesaian persengketaan antara 
berbagai pihak yang berbeda kewarganegaraannya (M. Yahya Harahap, 1991: 
152). Yang termasuk arbitrase yang bersifat internasional, adalah (1) The Court 
o f Arbitration o f the International Chamber o f Commerce (ICC) Paris, (2) 
The London Court o f International Arbitration, (3) Arbitration Institute 
Stocholm, (4) The American Arbitration Association, (5) The International 
Center for The Settlement o f Investment Disputes (ICSID), dan (6) The United 
Nations Commission on International Trade (UNCINTRAL).
4. Alasan Memilih Arbitrase
Di dalam laporan Seminar Nasional Mengenai Arbitrase sebagai Alternatif 
Penyelesaian Sengketa, dicantumkan tiga alasan pemilihan institusi arbitrase, 
yaitu sebagai berikut:
a. Penyelesaian cepat
Umumnya prosedur arbitrase dicantumkan dengan batas-batas waktu 
penyelesaian dalam setiap tahap penyelesaian sengketa. Di negara yang 
sudah maju proses arbitrase hanya memerlukan waktu sekitar 60 hari. Di 
samping itu, keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat (final and 
binding) sehingga tidak tersedia upaya naik banding.
b. Terjaga kerahasiaannya (confidential)
Proses pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan 
secara tertutup (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999) dan 
tidak ada publikasi. Dengan demikian bagi pihak-pihak yang bersengketa 
terjaga kerahasiaannya. Para arbiter juga terikat oleh ketentuan untuk tidak 
mem-beritahukan materi sengketa tanpa seizin seluruh pihak yang bersengketa. 
Pelanggaran terhadap batasan ini maka para arbiter dianggap melampaui 
wewenang (manifestly exceeded its power) dan merupakan perbuatan 
melawan hukum, sehingga dapat dituntut pertanggungjawaban hukumnya. 
Asas ini bertolak belakang dengan praktik pengadilan, karena dalam keputusan 
pengadilan berlaku asas terbuka untuk umum, artinya setiap putusan pengadilan 
harus dalam sidang terbuka.
c. Biaya lebih rendah
Biaya arbitrase ditentukan oleh arbiter. Biaya itu meliputi: (1) honorarium, 
(2) biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan 
sengketa, dan (3) biaya administrasi (Pasal 76 Undang-Undang Nomor 30 
Tahun 1999). Jasa pengacara tidak terlalu diperlukan dalam proses arbitrase, 
karena prosedur arbitrase dibuat sesederhana mungkin, tidak formal bahkan 
dapat dengan tata cara yang diusulkan oleh pihak-pihak yang berperkara 
sendiri. Di samping itu, para arbiter adalah para ahli dan praktisi di bidang 
yang menjadi pokok sengketa, serta memiliki reputasi tinggi sehingga diharap­
kan mampu memberikan putusan dengan cepat dan objektif. Secara umum 
dapat dikatakan bahwa biaya arbitrase lebih rendah dibanding biaya perkara 
melalui pengadilan (Ery Setiawan dan Ny.Yuliana, 1995).
D' samping hasil seminar tersebut, Garry Goodpaster, dkk, juga mengemuka­
kan tujuh alasan para pihak memilih cara arbitrase dalam menyelesaikan sengketa 
yang timbul di antara mereka. Ketujuh alasan itu adalah
a. kebebasan, kepercayaan, dan keamanan,
b. keahlian (expertise),
c. cepat dan hemat biaya,
d. bersifat rahasia,
e. kepekaan arbiter, dan
f. pelaksanaan putusan (Garry Godpaster, dkk., 1995: 4-5).
Putusan arbitrase mudah dilaksanakan, dibandingkan dengan putusan 
pengadilan. Hal ini disebabkan putusan arbitrase pada umumnya bersifat final 
dan tidak dapat diajukan banding, kecuali atas dasar hal-hal yang sangat khusus.
5. Sengketa yang Dapat Diselesaikan Melalui Arbitrase
Pada dasarnya tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui lembaga 
arbitrase. Sengketa yang dapat diputus melalui arbitrase adalah
a. sengketa di bidang perdagangan, dan
b. mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan 
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa 
yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian 
(Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). Apabila kita mengacu pada 
ketentuan ini, jelaslah bahwa sengketa yang tidak dapat diputuskan oleh lembaga 
arbitrase adalah sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian. Dengan 
demikian, apabila sengketa tersebut dapat diadakan perdamaian maka sengketa 
tersebut dapat diajukan ke lembaga arbitrase.
6. Bentuk Klausula Perjanjian Arbitrase
Bentuk klausula perjanjian arbitrase diatur dalam Pasal 7 sampai dengan 
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Di dalam ketentuan itu, klausula 
perjanjian arbitrase dibagi dua macam, yaitu
a. pactum de compromittendo-,
b. akta kompromis.
Yang dimaksud dengan pactum de compromittendo adalah perjanjian 
arbitrase yang dibuat sebelum terjadinya perselisihan. Pactum de compromittendo 
ini biasa juga dikenal dengan istilah klausula arbitrase. Isi klausula arbitrase ini 
bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi 
antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase (Pasal 7 Undang-Undang 
Nomor 30 Tahun 1999). Klausula ini dibuat bersamaan dengan perjanjian pokok 
sehingga isinya hanya bersifat umum. Keuntungan mencantumkan klausula 
arbitrase dalam perjanjian pokoknya adalah apabila terjadi perselisihan maka 
otomatis akan diselesaikan oleh arbiter. Sedangkan kelemahannya adalah belum 
adanya penunjukan arbiter yang akan menangani perselisihan tersebut.
Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat 
tercatat, teleks, faksimili, e-mail, atau dengan buku ekspedisi kepada termohon 
bahwa syarat arbitrase yang diadakan antara pemohon dengan termohon berlaku 
(Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase memuat dengan jelas:
a. nama dan alamat para pihak,
b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku,
c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa,
d. dasar tuntutan dan jumlah dituntut, apabila ada,
e. cara penyelesaian yang dikehendaki, dan
f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila 
tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan 
usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Yang dimaksud dengan akta kompromis adalah suatu akta yang berisi perjanjian 
arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah terjadinya sengketa. Perjanjian arbitrase 
ini dibuat dalam Akta Notaris (Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang 
Nomor 30 Tahun 1999). Keuntungan menggunakan akta kompromis ini adalah 
penunjukan siapa arbiter yang akan menangani perselisihan sudah jelas. Sedangkan 
kelemahannya adalah bila terjadi perselisihan belum tentu bisa diselesaikan melalui 
arbitrase. Perjanjian tertulis ini harus memuat:
a. masalah yang dipersengketakan,
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak,
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase,
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan,
e. nama lengkap sekretaris,
f. jangka waktu penyelesaian sengketa,
g. pernyataan kesediaan dari arbiter, dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala 
biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase (Pasal 
9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal tersebut di atas adalah batal demi 
hukum. Artinya perjanjian itu dari semula dianggap tidak ada. Hal-hal yang tidak 
menyebabkan batal perjanjian arbitrase adalah keadaan-keadaan berikut ini:
a. meninggalnya salah satu pihak,
b. bangkrutnya salah satu pihak,
c. novasi,
d. insolvensi salah satu pihak,
e. pewarisan,
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok,
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga 
dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, 
dan
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 
30 Tahun 1999).
Walaupun keadaan tersebut terjadi maka perjanjian arbitrase tidak menjadi 
batal. Dengan adanya perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak 
untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam 
perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak 
akan intervensi dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui 
arbitrase, kecuali ditentukan lain.
7. Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase
Prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur dalam Pasal 27 
sampai dengan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase 
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Prinsip-prinsip atau asas-asas dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga 
arbitrase adalah sebagai berikut.
a. Semua pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup.
b. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan 
arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang 
akan digunakan.
c. Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama 
dalam mengemukakan pendapatnya masing-masing.
d. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat 
kuasa khusus.
e. Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan 
diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Syaratnya (1) 
terdapat unsur kepentingan yang terkait, (2) keturutsertaannya disepakati 
oleh para pihak yang bersengketa, dan (3) disetujui oleh arbiter atau majelis 
arbitrase.
f. Para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam 
pemeriksaan sengketa. Dengan syarat harus dituangkan dalam perjanjian 
yang tegas dan tertulis.
g. Semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau 
majelis arbitrase akan diperiksa dan diputuskan menurut ketentuan dalam 
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
h. Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat 
mengambil keputusan provisional atau putusan sela lainnya untuk mengatur 
ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan, 
memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang 
yang rusak.
i. Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen 
atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan 
oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Prosedur pemeriksaan dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase 
adalah pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan sengketa secara tertulis 
kepada arbiter atau majelis arbitrase. Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan 
apabila disetujui para pihak. Setelah menerima permohonan tersebut, langkah- 
langkah yang dilakukan oleh arbiter atau majelis arbitrase sebagai berikut.
a. Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, 
pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis 
arbitrase. Surat tuntutan itu harus memuat sekurang-kurangnya:
(1) nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak,
(2) uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti, 
dan
(3) isi tuntutan yang jelas.
b. Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis 
arbitrase menyampaikan suatu salinan tuntutan tersebut dengan disertai 
perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban secara 
tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya 
salinan tersebut oleh termohon.
c. Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah arbiter atau 
ketua majelis arbitrase, salinan jawaban diserahkan kepada pemohon.
d. Arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau 
kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling 
lama 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu.
e. Apabila termohon setelah lewat 14 (empat belas) hari tidak menyampaikan 
jawabannya, termohon akan dipanggil untuk menghadap pada sidang arbitrase 
berikutnya.
f. Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama termohon 
dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut 
pemohon diberi kesempatan untuk menanggapinya. Tuntutan balasan diperiksa 
dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama-sama dengan 
sengketa.
g. Apabila pada hari yang telah ditentukan, pemohon tanpa alasan yang sah 
tidak dapat menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat 
tuntutannya dinyatakan gugur, dan oleh arbiter atau majelis arbitrase dianggap 
selesai. Begitu juga sebaliknya, termohon tanpa alasan yang sah tidak datang 
menghadap sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau 
majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali.
h. Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon 
dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka 
persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan 
tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan 
atau tidak berdasarkan hukum.
i. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, 
arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian 
antara pihak yang bersengketa.
j. Apabila usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase 
membuat akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan meme­
rintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.
k. Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila perdamaian tidak 
tercapai.
l. Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis 
pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk 
menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter 
dan majelis arbitrase.
m. Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk 
mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya 
yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh majelis arbitrase.
n. Sebelum ada jawaban tertulis dari termohon, pemohon dapat mencabut 
surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
o. Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon, perubahan atau penambahan 
surat tuntutan hanya diperoleh dengan persetujuan termohon dan sepanjang 
perubahan atau penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja 
dan tidak menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar permohonan. 
Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama
180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. 
Jangka waktu itu dapat diperpanjang, asal ada persetujuan para pihak dan diperlu­
kan. Supaya dapat mengambil keputusan dengan adil dan patut maka arbiter 
atau majelis arbitrase, mempunyai kewenangan untuk:
a. menentukan tempat arbitrase, kecuali ditentukan oleh para pihak;
b. mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap 
perlu pada empat tertentu di luar tempat arbitrase diadakan;
c. pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase;
d. mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan. 
Keempat kewenangan harus dapat dijalankan dengan baik oleh para arbiter 
atau majelis arbitrase.
8. Pendapat dan Putusan Arbitrase
Selain kewenangan untuk menyelesaikan sengketa arbitrase, arbiter atau 
majelis arbitrase dapat juga diminta oleh para pihak untuk memohon pendapat 
yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan tertentu dari suatu perjanjian. 
Pendapat yang mengikat ini tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya 
hukum apa pun. Pendapat atau putusan lembaga arbitrase itu harus dituangkan 
dalam putusan arbitrase.
Putusan arbitrase harus memuat hal-hal berikut ini.
a. Kepala putusan yang berbunyi: ’’Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan 
Yang Maha Esa”.
b. Nama singkat sengketa.
c. Uraian singkat sengketa.
d. Pendirian para pihak.
e. Nama lengkap dan alamat arbiter.
f. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai 
keseluruhan sengketa.
g. Pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam 
majelis arbitrase.
h. Amar putusan.
i. Tempat dan tanggal putusan.
j. Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.
Apabila putusan arbitrase tidak ditandatangani oleh seorang arbiter dengan 
alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya 
putusan. Alasan tentang tidak adanya tanda tangan harus dicantumkan dalam 
putusan. Di samping itu, dalam putusan ditetapkan jangka waktu dilaksanakan 
putusan tersebut. Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera 
ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase.
Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan 
hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Putusan diucapkan dalam 
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima. 
Para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase 
untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah 
atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan.
9. Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Ada dua sifat lembaga arbitrase, yaitu nasional dan internasional. Dengan 
adanya perbedaan sifat antara arbitrase nasional dan internasional maka akan 
berbeda pula prosedur yang ditempuh oleh pemohon dalam pelaksanaan putusan 
lembaga arbitrase.
Prosedur pelaksanaan putusan arbitrase nasional dikemukakan berikut ini.
a. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan 
diucapkan, lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase diserahkan 
dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri.
b. Lembar asli atau salinan putusan dilakukan pencatatan dan penandatanganan 
pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri, 
yang merupakan akta pendaftaran.
c . Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan 
sebagai arbiter atau salinan autentiknya kepada panitera pengadilan negeri.
Apabila ketiga hal itu tidak dipenuhinya berakibat putusan arbitrase tidak 
dapat dilaksanakan. Sedangkan semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan 
akta kekuatan bersifat final, (2) mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan
(3) mengikat para pihak.
Apabila para pihak tidak dapat melaksanakan putusan arbitrase secara 
sukarela maka pelaksanaan putusan ditentukan sebagai berikut.
a. Putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas 
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
b. Perintah dimaksud diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari 
setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri.
c. Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah, memeriksa terlebih 
dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, 
serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
d. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan, Ketua Pengadilan 
Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan 
Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apa pun.
e. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari 
putusan arbitrase.
f. Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembaran asli dan salinan 
autentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.
g. Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri 
dilaksanakan sesuai ketentuan putusan dalam perkara perdata yang 
keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 62 sampai 
dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
Prinsip-prinsip dalam pelaksanaan arbitrase internasional dikemukakan berikut 
ini. Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan 
Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan 
Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum 
Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase 
di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik 
secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan 
putusan Arbitrase Internasional.
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas 
pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam 
ruang lingkup hukum perdagangan.
c . Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas 
pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah 
memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang 
menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam 
sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekutor dari 
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada 
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 65 sampai dengan Pasal 66 Undang- 
Undang Nomor 30 Tahun 1999).
Prosedur pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dikemukakan berikut 
ini. Permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah 
putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada 
panitia Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penyampaian berkas permohonan 
pelaksanaan putusan arbitrase harus disertai dengan:
a. lembar asli atau salinan autentik putusan Arbitrase Internasional dilakukan 
setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasa 
kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
b. lembar asli atau salinan autentik perjanjian yang menjadi dasar putusan 
Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal autentifikasi dokumen asing, 
dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;
c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat 
putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa 
negara pemohon terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun 
multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan 
pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional.
Berdasarkan permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dan 
hasil kajiannya maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat menetapkan 
dan memutuskan, dua kemungkinan berikut ini, yaitu
a. dapat melaksanakan putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, karena 
telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Putusan ini tidak dapat 
diajukan banding atau kasasi;
b. menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu putusan Arbitrase 
Internasional.
Apabila Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak putusan Arbitrase 
Internasional tersebut maka pemohon atau termohon dapat mengajukan kasasi 
kepada Mahkamah Agung RI. Selanjutnya Mahkamah Agung mempertimbangkan 
serta memutuskan setiap pengajuan kasasi dalam jangka waktu paling lama 90 
(sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah 
Agung. Putusan Mahkamah Agung tidak dapat diajukan upaya perlawanan. 
Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan periksa eksekusi 
maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri 
yang secara relatif berwenang melaksanakannya. Sita eksekusi dapat dilakukan 
atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi. Tata cara penyitaan 
serta melaksanakan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam 
hukum acara perdata.
10. Pembatalan Putusan Arbitrase
Pada dasarnya putusan arbitrase dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan 
Negeri. Putusan arbitrase yang dapat dimintakan pembatalan, apabila mengandung 
unsur-unsur sebagai berikut.
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan 
diajukan diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang 
disembunyikan oleh pihak lawan.
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu 
pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis 
kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari 
terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera 
Pengadilan Negeri. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh ketua 
pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan 
diterima dari Panitera Pengadilan Negeri. Putusan permohonan pembatalan ada 
dua kemungkinan, yaitu ditolak atau dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. 
Apabila putusan pembatalan itu dikabulkan maka Ketua Pengadilan Negeri 
menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan 
arbitrase. Terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut, pemohon atau termohon 
dapat mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus 
dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta 
memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari 
setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
11. Berakhirnya Tugas Arbiter
Berakhirnya tugas arbiter diatur dalam Pasal 73 sampai dengan Pasal 74 
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Tugas Arbiter berakhir karena:
a. putusan mengenai sengketa telah diambil,
b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah 
diperpanjang oleh pihak telah lampau, atau
c. para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. 
Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan
kepada arbiter berakhir.
D. MEDIASI-ARBITRASE (MED-ARB)
Salah satu variasi dari mediasi adalah suatu prosedur di mana sengketa 
pertama kali diselesaikan dengan mediasi dan berikutnya bilamana perlu terhadap 
isi isu yang tidak terselesaikan dilakukan melalui arbitrase. Bila mediasi gagal 
menyelesaikan sengketa itu, mediator akan memberi saran kepada para pihak 
hasil apa yang kira-kira akan diperoleh bila kasus tersebut diselesaikan melalui
arbitrase, tetapi mediator tidak diperkenankan menjadi arbiter dalam sengketa 
tersebut. Para pihak sebelumnya harus telah menyetujui bahwa bila mereka tidak 
dapat menyelesaikan sengketa mereka melalui mediasi, mereka akan menyerahkan 
sengketanya kepada orang lain atau suatu panel untuk suatu arbitrase yang mengikat.
E. HAKIM PARTIKELIR (PRIVATE JUDGES)
Pemeriksaan isu-isu tertentu atau keseluruhan sengketa di depan hakim 
partikelir, wasit atau magister, harus dengan suatu penunjukan, atas dasar 
persetujuan para pihak. Hakim partikelir, wasit, mendengar dan menentukan 
sebagian atau seluruh isu dalam suatu gugatan perdata. Setelah persidangan 
secara partikelir, wasit atau hakim partikelir akan menyerahkan penemuan- 
penemuan fakta dan kesimpulan hukumnya secara tertulis kepada pengadilan 
yang menunjuknya. Ini semua mewakili pertimbangan/putusan dari pengadilan 
yang ditunjuk, yang tidak sama dengan putusan arbitrase, di situ hak-hak untuk 
melakukan upaya hukum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Prosedur ini 
menyediakan keluwesan waktu dan pemilihan pembuat keputusan.
Prosedur ini juga memperbolehkan para pihak untuk menentukan apakah 
akan menerapkan ketentuan pembuktian dan prosedur beracara, dan apakah 
akan merekam seluruh acara. Tidak sama dengan seorang arbiter, seorang 
hakim partikelir disyaratkan menerapkan hukum substantif sebagaimana apabila 
sengketa itu dilitigasikan.
F. KONSILIASI
Salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah konsiliasi. 
Konsiliasi diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 33 ayat (1) 
Piagam PBB, dan The International Chamber o f Commerce (ICC).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian konsiliasi. 
Konsiliasi adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang 
berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut. 
Sedangkan menurut Oppenheim, konsiliasi adalah
’’Suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu 
komisi orang-orang yang bertugas menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan 
(biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka 
mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan suatu penyelesaian, 
namun keputusan tersebut tidak mengikat” (dalam Huala Adolf dan A. 
Chanderawulan, 1995: 186).
Inti konsiliasi dalam definisi di atas adalah penyelesaian sengketa kepada 
sebuah komisi dan keputusan yang dibuat oleh komisi tersebut tidak mengikat 
para pihak. Artinya bahwa para pihak dapat menyetujui atau menolak isi keputusan 
tersebut.
Model konsiliasi yang berkembang di Amerika agak berbeda dengan yang 
berkembang di Jepang atau Korea Selatan. Sistem konsiliasi di Amerika merupakan 
tahap awal dari proses mediasi, dengan acuan penerapan: apabila terhadap seseorang 
diajukan proses mediasi, dan kedudukannya sebagai Responden maka pada tahap 
yang demikian berarti telah diperoleh penyelesaian tanpa melanjutkan pembicaraan, 
karena pihak Responden dengan kemauan baik (good-will) bersedia menerima 
apa yang dikemukakan pihak claimant. Lain halnya konsiliasi yang dikembangkan 
di Jepang atau Korea. Konsiliasi diletakkan dalam suatu koneksitas dengan mediasi 
dan arbitrase (mediasi-konsiliasi-arbitrase). Proses penyelesaiannya dilakukan secara 
bertahap; derajat permusuhan yang dapat terjadi sebagai hasil dari litigasi.
G. MEDIASI
1. Pengertian Mediasi
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa mediasi adalah 
pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa. Dalam proses 
itu pihak ketiga bertindak sebagai penasihat.
Steven Rosenberg, Esq. mengartikan mediasi sebagai:
Method o f Dispute Resolution that is voluntary, confidencial generaly, 
and cooperative (Steven Rosenberg, 200: 6). Yang secara bebas diartikan 
bahwa mediasi adalah metode penyelesaian masalah yang dilakukan secara 
sukarela, rahasia, dan biasanya kooperatif, tidak ada unsur paksaan.
Jay Folberg mengartikan mediasi sebagai:
’’Proses negosiasi yang dibantu secara netral dalam upaya mencapai 
konsensus dan penyelesaian sengketa.” (Jay Folberg, 2000: 1)
Apabila diperhatikan kedua definisi di atas, ada lima unsur yang tercantum 
dalam pengertian mediasi, yaitu
a. proses negosiasi,
b. metode penyelesaian masalah,
c. dilakukan secara sukarela,
d. dilakukan secara netral,
e. rahasia,
f. kooperatif,
g. tidak ada unsur paksaan, dan
h. mencapai kosensus.
Pada dasarnya tujuan mediasi adalah untuk konsensus para pihak tentang 
konflik yang timbul di antara para pihak.
2. Tujuan dan Manfaat Mediasi
Tujuan mediasi adalah tidak untuk menghakimi salah atau benar namun 
lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk: 
a. menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan,
b. melenyapkan kesalahpahaman,
c. menentukan kepentingan yang pokok,
d. menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan, dan
e. menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri oleh 
para pihak (Rudjiono, 1996).
Jay Folberg dan Steven Rosenberg mengemukakan manfaat mediasi, yaitu
a. kontrol terhadap para pihak,
b. kerahasiaan,
c . murah,
d. cepat,
e. fleksibel,
f. peningkatan hubungan,
g. penyelesaian masalah lebih kreatif,
h. mengurangi hambatan komunikasi (menjadi pendengar yang aktif-bahasa 
netral),
i. menyelesaikan sengketa bagian demi bagian (membagi-bagi masalah),
j. berfokus pada pemecahan masalah (membentuk kembali),
k. asumsi-asumsi pertanyaan (penelaahan),
l. perubahan persepsi (mendidik),
m. menyadarkan dengan diplomatis atas harapan yang tidak riil (agen kenyataan),
n. membedakan jabatan dan kepentingan (bagaimana dan mengapa),
o. memenuhi kebutuhan semua orang yang terlibat (penawaran berdasarkan 
kepentingan),
p. menyelenggarakan pertemuan terpisah (mengadakan rapat),
q. memaksimalkan pilihan (memperluas alternatif), dan
r. membantu pihak terkait mengemban tanggung jawab dan menerima 
konsekuensinya (pemberdayaan diri sendiri) (Jay Folberg, 2000: 1; Steven 
Rosenberg, 2000: 6).
Dari berbagai manfaat yang dipaparkan di atas maka manfaat yang paling 
esensi dari mediasi adalah murah, cepat, dan komunikasi di antara para pihak. 
Karena mediasi ini difokuskan untuk menyelesaikan persoalan secara damai.
3. Proses Mediasi
Untuk memperoleh hasil yang optimal dari kegiatan mediasi ini maka diperlukan 
sebuah proses yang teratur dan terencana. Prosesnya adalah sebagai berikut.
a. Pendahuluan dan membuat kontrak/menciptakan struktur dan kepercayaan 
(membuat agenda dan menyetujui aturan dasar).
b. Mencari fakta-fakta dan mengisolasi permasalahan (apa yang penting dan 
mengapa memisahkan orang dari jabatannya).
c. Menciptakan pilihan dan alternatif (mencari dan mengumpulkan, menemukan, 
memisahkan orang dari jabatannya).
d. Negosiasi dan membuat keputusan (berfokus kepada kepentingan, menyetujui 
prinsip-prinsip).
e. Klarifikasi/menyusun rencana (satu prosedur teks).
f. Tinjauan hukum/proses (apabila perlu).
g. Penerapan/tinjauan dan revisi (mungkin tidak melibatkan penengah) (Jay 
Folberg, 2000: 1).
Steven Rosenberg, Ezq. mengemukakan proses mediasi sebagai berikut.
a. Membawa mereka ke meja perundingan (dari sudut pandang peserta) dengan 
proses sebagai berikut.
1) kelebihan-kelebihan kepada pihak oposisi, apabila adanya komunikasi 
yang baik,
2) ajak teman mediator,
3) ajak teman penasihat hukum,
4) menggunakan provider,
5) menggunakan quiche,
6) digunakan sedini mungkin, dan
7) jangan memulai tanpa kuasa.
b. Uraian model mediasi
Model mediasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu
1) model komersial,
2) interpersonal (Hukum Keluarga), dan
3) hibrida (surat keputusan Hakim),
d. Peran-peran
1) peserta,
2) pengacara (konsultan), dan
3) mediator:
a) pemberian kuasa dan pengukuhan versus efisiensi dan perlindungan,
b) menyediakan struktur sebagai penyelenggara pertemuan yang adil,
c) membuat batasan-batasan,
d) pendengar yang efektif,
e) moderator/fasilitator,
f) menyampaikan informasi (pembawa pesan),
g) penilai konflik,
h) analisis dan penjelasan permasalahan dan pilihan,
i) pembentukan ulang kerangka,
j) konsultan negosiasi,
k) pendidik untuk proses negosiasi kolaboratif,
l) mencari alternatif dan mengembangkan sumber,
m) orang kepercayaan/konfidan,
n) pengujian realita,
0) kejahatan advokat,
p) katalis,
q) membantu para pihak untuk memperoleh penyelesaian, dan
r) bukan seorang hakim/arbitrator.
Tahapan proses mediasi
1) Penyusunan kontrak/struktur
Tujuan penyusunan kontrak adalah sebagai berikut.
a) Menjalin hubungan, dengan cara: (1) menggunakan isyarat mata 
dan bahasa tubuh, (2) memberikan perhatian penuh, (3) anggapan 
yang penuh empati, dan (4) berikan waktu yang seimbang.
b) Menjelaskan proses. Hal-hal yang dijelaskan meliputi: (1) peranan 
dan tujuannya, (2) sukarela, (3) kerahasiaan, (4) ketidakberpihakan, 
(5) sesi gabungan, dan (6) mengadakan rapat, dan lain-lain.
c) Mengukur kesesuaian pihak-pihak untuk mediasi.
Hal-hal yang dipersoalkan dalam mengukur kesesuaian dan 
kemungkinan mediasi adalah (1) mengapa pihak-pihak melakukan 
mediasi, (2) apakah mereka terdorong untuk menyelesaikan konflik,
(3) apakah mereka ingin mencapai resolusi yang dapat diterima 
masing-masing pihak, (4) apakah mereka memiliki informasi yang 
diperlukan untuk melakukan negosiasi yang cerdas, dan (5) apakah 
mereka memiliki kemampuan personel untuk melakukan negosiasi 
secara efektif dengan pihak lain.
d) Menentukan aturan dasar
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan aturan dasar.
1) Peryataan pembuka mediator. Tujuannya adalah
(a) menjalin hubungan,
(b) mengukur tingkat mediabilitas,
(c) menjelaskan proses,
(d) mendiskusikan aturan dasar.
2) Keharusan, yaitu
(a) penyimpangan,
(b) kendala waktu,
(c) sukarela,
(d) kerahasiaan,
(e) peran mediator, dan
(f) prosedur. _
3) Membuat keputusan: atas dasar apa, atau menurut kriteria apa, 
keputusan harus dibuat/kemungkinan dasar-dasar pengambilan 
keputusan. Dasar-dasar pengambilan adalah berdasarkan:
(a) hukum dan prinsip dasar,
(b) keadilan,
(c) kebutuhan dan kepentingan,
(d) hubungan,
(e) kesepakatan sebelumnya,
(f) kriteria personel, dan
(g) realitas praktis dan ekonomis.
2) Pengembangan isu
a) Pernyataan pembukaan para pihak, yaitu
(1) mengumpulkan informasi,
(2) menentukan kepentingan,
(3) menentukan isu,
(4) meyakinkan pihak lain dengan menyajikan informasi, dan
(5) transisi dari komunikasi dengan mediator sampai komunikasi langsung 
antarpihak.
b) Menyusun agenda: agenda memungkinkan mediator melangkah ke depan.
3) Pembahasan konflik
a) Dapat merupakan tahapan yang paling sulit.
b) Apabila mediator menghindari tahapan ini dapat berakibat:
(1) kehilangan inti permasalahan,
(2) kehilangan kesempatan untuk mencapai solusi yang saling meng­
untungkan,
(3) telaah ’’pola”,
(4) menjajaki isu dan mengumpulkan data,
(5) mulai mengatasi isu seringkah lebih produktif daripada mulai dengan 
pembelaan. Dalam membahas isu, kita sering memecahkan 
masalahnya,
(6) memberi fasilitas untuk melakukan komunikasi negosiasi.
c) Pertanyaan terbuka.
d) Pernyataan ulang terhadap pesan dan memberikan pengakuan terhadap 
pesan.
e) Mencari informasi mengenai isu dan kepentingan.
f) Bahasa yang netral.
g) Mencatat komentar konsiliator.
h) Rangkuman.
4) Penyelesaian konflik (mencari solusi)
a) Meninjau ulang kepentingan.
b) Menentukan pilihan.
c) Mengevaluasi pilihan-pilihan.
d) Memilih dan memodifikasi pilihan.
e) Solusi yang kreatif.
5) Penutup
a) Membuat draf perjanjian tertulis.
b) Tinjauan ulang terhadap masalah teknis (hukum).
c) Penjelasan pembeli.
Apabila diperhatikan proses tersebut, tampaklah bahwa proses itu sangat 
panjang, sehingga memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian suatu kasus. 
Namun, apabila kita meringkasnya maka proses tersebut sangat singkat. Prosesnya 
cukup pengembangan isue, pembahasan sengketa, penyelesaian konflik, dan 
kesimpulan.
H. MINI-TRIAL
Persidangan/pemeriksaan mini merupakan suatu negosiasi terstruktur yang 
biasanya berbentuk suatu pertukaran informasi yang tidak mengikat. Hal ini 
dilakukan di hadapan suatu panel yang terdiri dari para pihak dan kadang- 
kadang seorang penasihat netral yang melaksanakan berbagai fungsi. Setelah 
persidangan mini, para wakil pihak-pihak dapat bertanya kepada penasihat netral 
mengenai suatu pendapat seperti pada hasil persidangan pada umumnya. Bilamana 
kasus tidak terselesaikan, para pihak bebas untuk memulai lagi dengan proses 
penyelesaian sengketa yang lain, termasuk litigasi. Biasanya disepakati bahwa 
keseluruhan proses akan dilakukan secara konfidensial.
I. SUMMARY JURY TRIAL
Summary jury trial adalah suatu persidangan jury secara summir yang 
terdiri dari presentasi singkat para pengacara tentang suatu kasus perdata. Hal 
itu dilakukan kepada para juri (dipilih dengan menggunakan cara yang sama 
sebagaimana diperlakukan dalam persidangan formal), yang dimohon untuk 
memberikan keputusan yang tidak mengikat (advisory). Ini merupakan kombinasi 
dari argumentasi pembukaan dan penutupan dengan suatu ulasan tentang pem­
buktian persidangan yang diharapkan.
Prosedur ini yang secara khas berlangsung satu hari, dirancang untuk per­
sidangan perkara perdata yang kompleks yang dapat berlangsung selama seminggu 
bahkan sebulan. Wakil para pihak dengan kewenangan untuk menyelesakan 
kasus biasanya diminta untuk menghadiri persidangan itu. Setelah putusan yang 
tidak mengikat itu dinyatakan, para pihak dan penasihat diberikan kesempatan 
untuk menanyai juri mengenai keputusan mereka. Negosiasi-negosiasi penyelesaian 
diharapkan berlangsung setelah itu.
J. NEUTRAL EXPERT FACT-FINDING
Neutral expert fact-finding adalah penunjukan seorang ahli yang netral 
oleh para pihak untuk membuat penemuan fakta-fakta yang mengikat ataupun 
tidak, atau bahkan membuat pengarahan materi tersebut secara mengikat. 
Penunjukan ini dilakukan sebelum memulai litigasi.
Bilamana suatu sengketa sudah benar-benar dalam litigasi, ahli yang netral 
yang ditunjuk oleh pengadilan ataupun oleh pihak-pihak dapat mengarahkan para
pihak untuk melakukan reevaluasi estimasi apa kiranya yang akan mereka peroleh 
dan dalam menjembatani/memperpendek perbedaan-perbedaan di antara mereka.
K. EARLY NEUTRAL EVALUATION
Program ini bertujuan untuk mengurangi biaya-biaya serta hambatan-hambatan 
dalam melakukan proses litigasi. Di dalam program ini, seorang praktisi hukum 
yang handal, netral, berpengalaman, membantu para pihak dan penasihat, sebelum 
pemeriksaan pendahuluan, menganalisis isu-isu kritis yang dipertengkarkan, 
kebutuhan mereka dalam pemeriksaan pendahuluan, kekuatan dan kelemahan 
relatif mereka, nilai keseluruhan dari kasus tersebut. Sang penilai secara jujur 
memberikan penilaian terhadap hal-hal itu dan membantu pihak yang bersengketa 
menyusun sendiri suatu rencana untuk berbagai informasi dan atau memimpin 
pemeriksaan pendahuluan yang bertujuan mengarahkan negosiasi yang serius 
sesegera mungkin.

A. CARA BERAKHIRNYA KONTRAK
Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya sebuah kontrak yang 
dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang sesuatu hal. 
Pihak kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan 
debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.