Tampilkan postingan dengan label waralaba 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label waralaba 4. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2024

waralaba 4


 



hkan lebih sedikit modal daripada membuka gerai, 

dan merambah lebih banyak pelanggan dari segi demografi. Di 

Inggris, dikenal ada pop-up stores yang memakai  mobil 

(mirip lapak sementara). Tujuan mereka adalah mengikuti di 

mana ada keramaian. 

Tantangan franchise dengan gerai (brick and mortar franch-

ises) adalah pergantian tren yang begitu cepat dan pelayanan 

dengan akses demografi bermobilitas tinggi. Tren kedua 

melibatkan pelayanan profesional, seperti dokter gigi, dokter 

hewan, pelayanan hukum. Mereka membentuk sistem waralaba 

dengan mengandalkan kekuatan otak. 

Tren lain ada dalam usaha kesehatan, seperti fitness center 

yang buka 24 jam. Evolusi dari franchise ini adalah personal class 

di mana seseorang dilatih secara personal. Orang-orang rela 

membayar mahal untuk pelatih pribadi di bawah lisensi merek 

tertentu. 

Evolusi tren waralaba makanan tampaknya telah bergeser 

dari fast food menjadi quality food di mana orang-orang rela 

membayar lebih mahal untuk mendapat  makanan yang 

berkualitas daripada makanan siap saji murah meriah yang lebih 

berisiko. 

Literasi Teknologi, Humanisme, dan Data 

Menurut laporan dari Nielsenwire (2010), di bulan Desem-

ber 2009, warga  dunia menghabiskan waktu lebih dari lima 

setengah jam di internet setiap hari dengan mengakses media 

sosial seperti Facebook dan Twitter9. Sepuluh tahun sesudah  

laporan itu dirilis, waktu rata-rata warga  dunia di dunia 

internet adalah 6 jam 42 menit per hari dalam rentangan usia 16 

hingga 64 tahun10. Kirtley (2012) menyatakan bahwa sudah 

saatnya literasi teknologi diterapkan pada pendidikan sedini 

mungkin. Ia mencontohkan pemakaian  Twitter, Facebook dan 

media sosial lain untuk membuat kerangka karangan naratif 

untuk tugas anak-anak sekolah. Apa yang dilakukan Kirtley 

                                                           

membuahkan hasil signifikan. Daripada mengunggah status 

yang tidak penting atau memakai  perangkat digital 

mereka hanya untuk bermain game daring, anak-anak itu mulai 

memakai  media sosial, terutama Facebook dan blog, untuk 

membuat outline naratif yang lebih bermanfaat. 

 

 

Gambar 3.3 | Data Center Google di Belanda. Satu data center bisa 

menampung jutaan gigabit data. Literasi data memungkinkan kita mengambil 

kesimpulan dari jumlah data yang besar dan mengambil langkah antisipasi. 

 

Gaung literasi teknologi, humanisme dan data (yang dike-

nal sebagai literasi baru) di dunia pendidikan tinggi Indonesia 

kali pertama dicetuskan dalam Rapat Kerja Kemenristek Dikti 

tahun 2018 lalu oleh Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan 

(Belmawa)11. Istilah ‗literasi baru‘ ini mencakup literasi teknologi, 

data dan sumber daya manusia karena digitalisasi telah menjadi 

paradigma baru dalam tatanan kehidupan masa kini. Literasi 

lama, yakni mencakup membaca, menulis dan mengarsipkan, 

harus ditambah dengan literasi baru. 

                                                           

Literasi data mencakup kemampuan manusia untuk mem-

baca data, menulis data, dan mengelompokkan data (termasuk 

mengarsipkan data). Dunia pendidikan tinggi khususnya tidak 

bisa lepas dari data. Secara akademik dan keilmuan, data 

menentukan bahwa suatu kajian itu fakta atau bukan. Karena 

itu, literasi data juga mencakup kemampuan seseorang untuk 

memilah yang mana data dan yang mana ―data-data‖ (dalam 

bahasa Bali berarti ‗hal-hal yang tidak penting‘). Oleh sebab itu, 

literasi data juga mencakup minimal kesadaran terhadap hoaks, 

penipuan berbasis teknologi, data skimming dan sebagainya. 

Dari sisi literasi teknologi, hal yang mesti dikuasai generasi 

masa kini adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan tekno-

logi (bukan hanya memakai , namun juga melihat keber-

manfaatan teknologi untuk menghasilkan kreativitas yang lebih 

baik), penerapan pilar literasi secara digital, serta kemampuan 

untuk memakai  teknologi secara bijak, friendly dan tepat 

guna. Teknologi ibarat pisau yang sangat tajam, dan teknik 

memakai  pisau itu adalah literasi teknologi. Sayuran yang 

akan kita potong adalah data, dan kita yang memotongnya 

adalah human, manusia, yang memiliki cipta, rasa dan karsa. 

Kita mesti tahu betul pisau jenis apa yang akan kita gunakan, 

sayuran jenis apa yang akan kita olah, dan bagaimana teknik 

pemotongannya,—apakah dicincang, dipotong besar, dadu atau 

match stick. 

Dalam dunia ekonomi, literasi baru juga memiliki andil dan 

dampak yang besar. Dalam bagian ini, hubungan antara literasi 

baru dengan waralaba dibahas berdasarkan riset-riset dan 

kasus-kasus yang tejadi belakangan ini.  

Literasi Digital dan Waralaba 

Banyak definisi literasi digital yang bisa Anda lihat di 

berbagai portal informasi daring. Definisi yang lebih spesifik 

juga dinyatakan oleh berbagai ilmuwan dan peneliti dari 

berbagai bidang. bila  Anda adalah seorang mahasiswa S1, 

maka Wikipedia bisa menjadi sumber acuan yang lumayan baik 

dan cocok dengan level kualifikasi akademik Anda. Walaupun 

mengambil referensi dari Wikipedia bukan hal yang tabu bagi 

mahasiswa S2 maupun S3 (asalkan Anda tahu betul bagaimana 

proses sitasi yang benar dan Anda bisa memastikan bahwa 

artikelnya bukan abal-abal), Anda seharusnya juga mencoba 

beranjak ke platform yang lebih bergengsi. Bagi mahasiswa S2, 

mengambil bagian dalam Academia.edu sudah lumayan baik, 

apalagi jika Anda bisa mendaftar sebagai kontributor paper dan 

berbagi pengetahuan dengan banyak orang. Sumber-sumber 

yang lebih kredibel ada pada portal jurnal internasional, seperti 

Elsevier Scopus dan Sage Journals. Mereka memiliki kronikel 

riset yang mumpuni dan terpercaya, dengan standardisasi yang 

juga tinggi. Tak heran jika harga per artikel mencapai lima ratus 

ribu rupiah atau lebih,—nyaris menandingi harga satu gram 

emas antam. Di portal-portal itu, Anda bisa benar-benar 

menyelam dalam lautan pengetahuan yang serius dan dalam. Di 

sana Anda akan benar-benar menyadari bahwa ilmu penge-

tahuan dan kekayaan intelektual itu sangat mahal harganya. 

bila  Anda ingin menjadi mahasiswa pembelajar atau 

pendidik sejati, Anda seharusnya menyelam di lautan ilmu 

pengetahuan ini. 

Literasi digital dan waralaba tentu memiliki hubungan yang 

erat. Yang satu menjadi lampu dan roda, yang satunya lagi 

adalah mesin double injectors yang mengantar Anda pada 

tujuan laba instan dengan lebih cepat. Ada banyak hal menarik 

terkait warlaba dan literasi digital. Kasus waralaba yang kepo 

dan diam-diam melakukan riset terhadap konsumen dan calon 

franchisee lewat website, misalnya, ditemukan oleh Pénard dan 

Perrigot di Perancis12. Mereka meneliti 130 situs web franchisor 

di Perancis mulai tahun 2011 dan menemukan dua fungsi dasar 

dari situs web franchisor, yakni online search dan fungsi 

pembelian online. Dengan kedua fungsi ini, para franchisor bisa 

menggali informasi dari pelanggan dan di waktu yang sama 

menyediakan semakin banyak informasi dan kemudahan bagi 

konsumen. Semakin besar ekspansi suatu franchise, maka 

semakin beragam pula web tools dan fungsi web yang 

ditawarkan. Jadi, baik franchisor, franchisee dan konsumen bisa 

sama-sama kepo dan saling melengkapi satu sama lain. 

Yang menarik dari temuan Pénard dan Perrigot adalah 

adanya waralaba incumbent (pemain lama) yang masih enggan 

untuk bertransformasi dan berkiprah di dunia maya. Mereka 

menyimpulkan bahwa usia waralaba berpengaruh negatif pada 

keinginan pengusaha untuk masuk dalam ranah digital. Temuan 

terakhir mereka adalah bahwa waralaba ritel lebih memilih fitur 

pembelian online daripada waralaba industri, membuktikan 

pelanggan atau konsumen usaha ritel lebih beragam dan ‗lebih 

rewel‘ daripada waralaba industri. 

Rupa-rupanya, literasi digital belum mendapat perhatian 

khusus, terutama bagi para peneliti dalam bidang ekonomi. Tak 

hanya di Indonesia, gap juga terjadi di kancah penelitian 

internasional. Tentang bagaimana digitalisasi berpengaruh pada 

konsumen, waralaba dan sistem waralaba agaknya bisa menjadi 

celah riset yang amat signifikan mulai tahun 2004 hingga kini13. 

Fokus yang masih bisa dikaji adalah faktor-faktor yang 

mempengaruhi pemberi waralaba maupun penerima waralaba 

                                                          

untuk beranjak ke platform e-commerce. Kremez dan Thaichon 

sendiri menemukan bahwa sebagian besar waralaba di Australia 

memilih pindah platform ke ranah digital karena dapat 

mengurangi beban kerja karena konsumen bisa berbelanja 

swalayan melalui fitur online. Alasan kuat lain adalah karena 

platform daring menyediakan ruang gratis dan dapat menjang-

kau siapa saja yang memiliki koneksi internet. Yang paling 

diidam-idamkan adalah bahwa dengan adanya e-commerce, 

pengusaha waralaba bisa ‗menghasilkan uang ketika tidur‘. Jadi, 

platform e-commerce berfungsi sebagai alat marketing tambah-

an yang powerful dan memungkinkan produsen atau penerima 

waralaba meriset keperluan konsumen dengan lebih personal. 

Beranjak ke ranah digital bukan hal yang mudah ternyata, 

bahkan di negara maju sekelas Australia. Para penguasa 

incumbent yang enggan beranjak ke ranah e-commerce ternyata 

memiliki ketakutan. Para pengusaha ‗golongan tua‘ ini enggan 

mengambil risiko karena rasa takut pada medan lapangan e-

commerce yang menurut mereka sangat baru. Selain itu, mereka 

juga terkendala penguasaan teknologi, waktu yang akan mereka 

pergunakan untuk mengembangkan keahlian dan penguasaan 

teknologi, dan tingkat kepercayaan pada pewaralaba. 

Memaknai apa yang telah ditemukan oleh Kremez dan 

Thaichon, kita sedikit tidaknya menjadi lebih menyadari tentang 

betapa pentingnya literasi digital. Faktor-faktor yang membuat 

para golongan tua enggan untuk beranjak ke ranah digital 

adalah karena adanya ketakutan dan keengganan untuk menco-

ba hal baru dan belajar terus-menerus14. Itulah sebabnya salah 

satu kelemahan generasi sebelumnya adalah berpikir bahwa 

                                                           

belajar hanya terjadi di bangku sekolah dan kuliah. Generasi 

yang lebih muda, yang dibesarkan oleh teknologi, seharusnya 

tidak berpikir lagi bahwa belajar hanya terjadi di dalam kelas. 

Mahasiswa apalagi. Mahasiswa milenial seharusnya bisa belajar 

di mana saja, dan dosen milenial seharusnya bisa mengakses 

ilmu pengetahuan dari mana saja.  

Siapa pun kini bisa belajar apa pun dan di mana pun, 

namun literasi digital lebih dari sekadar hal itu. Literasi digital 

lebih kepada sebuah kebermanfaatan teknologi dan digitalisasi 

bagi akses kebutuhan hidup dengan lebih efisien. Dengan 

demikian, keterbukaan wawasan kita pada perubahan teknologi 

dan kemauan kita untuk terus belajar sepanjang hayat akan 

mengatasi segala ketakutan atas tantangan yang menanti di 

masa depan. 

Literasi Teknologi, Waralaba dan Kekuatan Followers 

Saat ini teknologi memungkinkan seseorang melakukan 

prinsip-prinsip waralaba terhadap orang lain dalam berbagai 

jenis usaha. Jadi, dalam dunia maya, waralaba sebenarnya tidak 

hanya sebatas toko ritel, toko pakaian atau gerai makanan. 

Dalam media sosial, Anda bisa berkomunikasi dengan sebuah 

perusahaan bagaikan berkomunikasi dengan seseorang. Berkat 

teknologi real-time data, banyak perusahaan kini menyediakan 

layanan chat 24 jam, sehingga Anda selalu bisa bertanya hal apa 

pun kapan saja.  

Anehnya, yang memberlakukan sistem chat ini biasanya 

adalah perusahaan swasta atau startup yang berdiri di tahun 

2000-an. Anda bisa coba belanja di toko-toko daring dan 

mencoba fitur chat langsung dengan pedagangnya. Ini tentu 

saja menghemat waktu dan biaya. Kalau dulu, Anda harus me-

nelepon dan membayar begitu banyak pulsa interlokal, namun 

kini, Anda bahkan bisa berhubungan langsung via WhatsApp 

dengan pedagang arca-arca marmer eksotis di India. 

Dalam kancah perwaralabaan, adanya akses digital mem-

buat sistem waralaba menjadi sangat mudah diterapkan di 

dunia maya.Anda mungkin sadar atau tidak sadar telah meng-

gunakan prinsip-prinsip waralaba jika memiliki sebuah website, 

apalagi jika Anda memakai  platform pembangun web 

semisal Wordpress, Joomla atau paling tidak Blogspot. 

Mari kita lihat sebuah fakta. Di seluruh dunia, 74,6 juta 

website memakai  platform Wordpress. Buat Anda yang 

belum paham, Wordpress menyediakan sebuah platform di 

mana Anda bisa membangun website, baik untuk perusahaan, 

pribadi, maupun organisasi, yang bisa dikelola dengan sangat 

cepat dan mudah.Begitu Anda memiliki hosting, Anda bisa 

menginstal platform Wordpress dan memasang template sesuka 

hati Anda. Jadi, dengan bantuan Wordpress, Anda bisa mem-

bangun sebuah website tanpa repot-belajar koding html. 

Wordpress menyediakan template website yang gratis dan 

berbayar (premium). Harga premiumnya berkisar antara 20 

dolar hingga 60 dolar Amerika Serikat per instalasi. Sekali Anda 

membeli dan mengunduh template itu (bisa lewat PayPal atau 

kartu kredit), Anda hanya bisa memasangnya di satu situs web. 

Dalam template itu ada standardisasi yang dikeluarkan oleh 

Wordpress, walaupun dalam template premium Anda bisa 

mendesain hampir sesuka hati. Standardisasi ini terkait 

pemakaian  koding standar Wordpress, plug-ins yang wajib 

diinstal, dan file koding khas Wordpress yang harus ada di 

dalam file hosting. Dengan kata lain, jika Anda membuta kode 

.html untuk website Anda, Anda masih menemukan ‗jejak-jejak 

Wordpress yang tak bisa dihapus‘. Dengan kata lain, Anda 

sesungguhnya telah membeli beberapa persen dari lisensi 

Wordpress untuk situs Anda. Jadi, Anda sebenarnya telah 

membeli sebuah waralaba platform website, meski Anda 

menganggapnya sebagai sebuah pembelian biasa, seperti 

membeli sepasang sepatu. 

Ini adalah hal yang lumrah. Bahkan situs web sekelas 

Washington Post pun masih memakai platform Wordpress, 

membeli koding standar Wordpress, dan mengubahnya dalam 

rentang tertentu. Ini mirip seperti waralaba konversi Indomaret 

dan Alfamart yang kini bisa diganti-ganti menjadi nama toko 

sesuai keinginan si penerima waralaba. Jadi, Anda bisa 

mengganti nama waralaba Indomaret Anda dengan ―Andi Mart‖ 

atau ―Sule Mart‖ namun begitu orang masuk, dia akan disambut 

pegawai berseragam Indomaret.  

Dengan sistem ini, Wordpress melesat menjadi platform 

web dengan ratusan juta pengunjung setiap bulan. Padahal, 

jumlah pekerjanya hanya dua ratusan orang. Di sisi lain, Amazon 

mempekerjakan 80 ribu orang di seluruh dunia namun tidak 

memiliki visitor sebanyak Wordpress. Menurut data Technorati15 

tahun 2018, dari seratus blog terbaik di dunia, 48 blog 

memakai  platform Wordpress. Namun kini Anda tahu 

bahwa setiap kali Anda membeli template Wordpress versi 

premium atau mengunduh versi gratisnya (yang fiturnya sangat 

minim dibandingkan versi premium), Anda kurang lebih telah 

melakukan sebuah perjanjian waralaba dalam dunia maya. 

Apa yang dilakukan Wordpress adalah sebuah contoh 

waralaba dengan royalti skala kecil namun berkekuatan pasar 

yang besar. bila  kita membahas teknologi digital di abad ini, 

maka kita berbicara tentang jumlah pengikut (followers), bukan 

semata-mata keuntungan besar yang didapatkan. Jumlah foll-

owers menentukan tingkat keuntungan. Di era sebelum tekno-

                                                           

logi digital melesat, orang mungkin bertanya kepada Anda 

berapa jumlah penghasilan Anda, jumlah motor atau besar 

rumah, namun di era ini, orang akan bertanya berapa jumlah 

followers media sosial Anda. Karena itu, di era teknologi, 

followers telah bertransformasi menjadi aset penting dalam 

suatu usaha. 

Literasi Data mendukung Waralaba 

Literasi data menjadi bagian integral dari bisnis di era 

perkembangan teknologi. Saat ini, dunia usaha bergantung 

pada data dalam berbagai aspek perusahaan, utamanya dalam 

menentukan kebijakan. Sinkronisasi semua data ini memun-

culkan suatu paradigma baru yang disebut sebagai business 

intelligence, kecerdasan bisnis16. Data yang terkumpul dalam Big 

Data akan menentukan jumlah barang atau jasa yang ditawar-

kan, kebijakan promosi, target pasar dan jangka waktu pen-

jualan. Semua data itu, ajaibnya, bisa diakses hanya dengan 

sekali klik. 

Contoh platform analisis big data yang paling populer 

adalah Google Analytics yang menyajikan data yang kompleks 

dan simpang siur, didapatkan dari ribuan klik per detik yang 

dilakukan oleh pengguna internet dari seluruh dunia. 

Mortier, et. al17 menulis bahwa literasi data mencakup cara-

cara mengeksplorasi isu-isu transparansi data, bagaimana suatu 

data diambil dan dianalisis, dan bagaimana meningkatkan akses 

pada data sehingga seseorang dapat mengambil makna dan 

nilai dari data yang tersaji. Literasi data yang tinggi dibutuhkan, 

                                                          

bahkan sejak usia dini, sebab teknologi di zaman ini tidak hanya 

terbatas pada kalangan usia tertentu saja. Bayangkan.Kebijakan 

politik, laporan media, survei, kalkulasi suara hingga menu ma-

kanan favorit diputuskan melalui analisis data.Karena itu, literasi 

data sangat diperlukan di era milenial ini sehingga semua orang 

bisa mendapat  akses secara kritis terhadap akurasi dari se-

buah informasi sebelum ia bisa memutuskan bahwa itu benar-

benar sebuah fakta. 

Satu hal penting lain tentang mengapa literasi data mesti 

dijadikan sebuah top-list skills dalam rencana belajar Anda 

adalah karena warga  kian hari kian bergantung pada 

teknologi yang dikendalikan data (data-driven technology), yang 

kita kenal dengan istilah teknologi pintar (smart technology). 

Mulai dari ponsel pintar, kini segala hal ketularan pintar.Ada 

listrik pintar, TV pintar hingga burger pintardan segala mesin 

pintar lainnya yang membuat hidup manusia lebih efisien. 

Literasi Humanisme dalam Social franchise 

Di antara semua jenis literasi, literasi sumber daya manusia 

menjadi faktor paling menentukan sukses atau tidaknya manu-

sia itu sendiri. Literasi sumber daya manusia terpusat pada 

pengetahuan tentang diri sendiri, menggali potensi diri sendiri 

dan memakai  segala pengetahuan, kemampuan dan kete-

rampilan yang dimiliki untuk mentransformasi proses belajar 

dan kehidupan18.  

Literasi humanisme atau literasi sumber daya manusia 

menjadi dasar penerapan long-life learning ‗belajar sepanjang 

hayat‘. Dengan literasi humanisme, seseorang mengetahui bah-

wa ia harus berubah sesuai dengan perubahan zaman. Padahal, 

konsep ini sudah termuat dalam naskah-naskah tradisional Bali 

                                                           

dan Jawa sebagai bhuwana agung dan buwana alit, alam sekitar 

dan diri sendiri. bila  alam sekitar berubah, maka diri sendiri 

mesti berubah. Long-life learning memungkinkan setiap orang 

untuk terhindar dari keengganan untuk menerima perubahan 

bahkan saat penghujung usia pun. Literasi humanisme me-

mungkinkan warga negara senior untuk tetap produktif dengan 

memanfaatkan sumber daya digital yang semakin canggih. 

Tidak menutup kemungkinan Anda bercita-cita menjadi seorang 

youtuber sesudah  pensiun nanti, dengan konten-konten menarik 

tentang jalan-jalan di pegunungan dan pantai yang tenang dan 

alami. Atau, Anda lebih tertarik menulis banyak buku tentang 

kehidupan dan lika-likunya, lalu menjualnya secara daring. 

Semua itu membutuhkan sinergi antara literasi teknologi, data 

dan humanisme. 

 

Tampaknya, tujuan-tujuan itu lebih kepada tujuan literasi 

humanisme yang mengarah ke dalam. Di sisi lain, yang 

mengarah ke luar, literasi humanisme juga terkait dengan being 

social, menjadi sosial. Elemen lain yang membentuk literasi 

humanisme adalah kemampuan manusia untuk saling mema-

hami satu dengan lainnya. Layaknya sebuah sistem komputer 

yang mampu memahami komputer lain dengan cara bertukar 

informasi, maka manusia sebagai pencipta komputer hendaknya 

mampu saling memahami satu dengan lainnya melalui komu-

nikasi, kolaborasi, dan toleransi. Kemampuan manusia untuk 

mengutarakan apa yang menjadi maksudnya dan membuat 

orang lain memahami maksudnya dengan seutuhnya adalah 

tujuan akhir dari literasi humanisme yang mengarah ke luar. 

Kasus literasi sumber daya manusia di era digital salah satu-

nya ditemukan pada pelayanan e-health di Kanada. Maciejewski 

et. al mengkaji kesenjangan digital dan humanisme yang terjadi 

di pelayanan waralaba e-health di Kanada. Kasusnya adalah, 

telah terjadi kesenjangan dalam pemenuhan layanan kesehatan 

di Kanada karena terjadinya shifting pada e-health19. Menurut-

nya, karena adanya banyak inovasi, pergerakan e-health 

terkesan lambat. Yang menghambatnya adalah faktor sumber 

daya manusia, fragmentasi sistem (sistem yang sinerginya sudah 

tidak baik), data yang tidak sinkron dan kapasitas data yang 

terbatas, pemutakhiran teknologi yang lambat, budaya pekerja 

layanan kesehatan yang tidak mau ambil risiko, dan fokus yang 

kurang pada inovasi. 

Untuk mempercepat perubahan, pemerintah membuat pro-

gram social franchising.Teorinya adalah, ada suatu perusahaan 

model yang dikembangkan dan diekspansi dalam konteks lokal 

                                                           

yang mengkombinasikan implikasi sosial dan ketangguhan 

keuangan. Akselerator franchise sosial ini kali pertama dilakukan 

di Afrika tahun 2014 dalam bidang pelayanan kesehatan. Di 

Kanada, social franchise ini berkembang dalam ranah pendi-

dikan, pengembangan daerah terpencil, sanitasi, air bersih, 

perumahan dan perdamaian. 

Permasalahan yang paling berat dari semua pekerjaan 

sosial ini adalah pengintegrasian sistem. Sistem yang tidak 

sinkron dan tidak terintegrasi akan menciptakan fragmentasi 

yang menghambat pemberian layanan, pertukaran informasi 

dan manajemen. Fragmentasi sistem ini rupanya bisa diperbaiki 

dengan cara waralaba. Selain hemat biaya, kepatuhan pada 

standar yang telah ditentukan juga lebih terjamin. 

Social franchise yang tengah berkembang saat ini adalah 

waralaba kesehatan. Anda yang mengenal produk-produk 

Andalan, yang didirikan pada tahun 2001, mungkin baru me-

ngetahui bahwa ia adalah entitas waralaba sosial dalam bidang 

keluarga berencana, kesehatan reproduksi dan kesehatan ibu 

dan anak. Andalan adalah pihak penerima waralaba dari DKT 

International yang bergerak dalam penangguangan HIV/AIDS 

dan masalah kesehatan reproduksi yang bebasis di Amerika 

Serikat.  

Dalam social franchise, pihak penerima waralaba lazim 

disebut para donor. Baru-baru ini, ada organisasi sosial Bali 

Green yang diprakarsai oleh sekelompok anak-anak muda di 

Bali. Yang mengherankan adalah, mereka semua warga negara 

asing yang mencintai lingkungan Bali. Misi mereka adalah 

membersihkan Bali dari sampah platik. Pihak yang ingin ikut 

serta boleh memakai  label mereka dengan standar opera-

sional yang telah ditentukan, mulai dari mekanisme pemungut-

an sampah, packing sampah hingga pengolahan lebih lanjut. 

Dari ranah budaya dan humaniora, ada waralaba sosial 

CERITA (Community Empowerment in Raising Inclusivity and 

Trust through Technology Application). Program berbasis 

waralaba sosial ini didirikan tahun 2017 oleh the Habibie Center. 

Tujuan dari program CERITA adalah untuk menangkal pengaruh 

radikalisme dan intoleransi di Indonesia yang banyak disebab-

kan oleh misinformasi atau kurangnya saling pemahaman 

antara satu kelompok warga  dengan yang lainnya. Jadi, 

program CERITA mengajak anak-anak muda Indonesia dari 

agama, suku, budaya, etnis dan kelompok mana pun untuk 

berbagai cerita-cerita unik sebagai referensi berharga bagi 

kemajemukan bangsa. 

Program CERITA telah melahirkan duta cerita di beberapa 

kota besar di Indonesia, temasuk Bali di tahun 2019. Duta 

CERITA ini bertugas sebagai ambassador yang mengajak sema-

kin banyak anak-anak muda Indonesia untuk berbagi cerita 

tentang keunikan diri dan warga  mereka, pengalaman 

mereka dalam ranah radikalisme dan intoleransi, dan bagai-

mana mereka menghadapi hal ini  dan mencari solusi 

bersama.  

Program CERITA memakai  sistem waralaba untuk 

melakukan program replikasi, yakni program-program sharing 

session dan short talks yang mengundang banyak kalangan 

muda untuk berbagi cerita tentang keanekaragaman Indonesia. 

Dalam program replikasi ini, the Habibie Center menetapkan 

kriteria dan standar operasional yang mesti diikuti dan ditaati 

demi terselenggaranya program replikasi dengan lancar.  

Sejak diselenggarakan mulai 2017 silam, program CERITA 

telah menghasikan ribuan cerita dari berbagai daerah di 

Indonesia melalui program duta cerita maupun aplikasi daring 

mereka. Program CERITA adalah salah satu program nonprofit 

berbasis sistem waralaba sosial yang sukses menyatukan 

generasi muda Indonesia dalam nuansa kebhinekaan yang sarat 

perbedaan dalam persatuan. 


Literasi Finansial 

Meski menteri riset, teknologi dan pendidikan tinggi 

menyebutkan tiga jenis literasi digital yang mesti dimiliki di era 

digital, orang tidak boleh lupa pada literasi finansial. Hampir 

segala hal dalam interaksi manusia di era milenial ini membu-

tuhkan kekuatan finansial, dan wawasan tentang potensi, 

implikasi serta manajemen finansial ini menjadilife skill yang 

esensial karena manusia milenial sebagai konsumen harus bisa 

membedakan produk, jasa serta penyedia produk keuangan 

dalam ruang lingkup yang sangat luas20.  

                                                          

Literasi finansial secara harfiah berarti seperangkat penge-

tahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang untuk 

melindungi dirinya dari segi keuangan dan bertindak aktif 

dalam pasar produk dan jasa keuangan21. Warga yang melek 

secara finansial mengetahuai dnegan baik tentang isu keuangan 

dan harga, serta dapat mengatur keuangan pribadi dan 

keluarganya dengan bertanggung jawab. Menurut Tomáškova 

dan kawan-kawan penelitinya, literasi keuangan harus diajarkan 

di sekolah-sekolah.  

Kenyataannya, masih banyak generasi milenial belum 

memiliki pengetahuan tentang investasi keuangan. Generasi 

milenial secara umum,—katakanlah yang kini duduk di SMA 

atau kuliah—barangkali hanya mengetahui tentang tabungan di 

bank. Sangat sedikit yang menyadari perbedaan antara investasi 

                                                           

dan tabungan, atau antara reksadana dan saham. Beberapa 

orang mungkin beranggapan bahwa pengetahuan semacam itu 

terlalu dini untuk anak-anak, tetapi wawasan keuangan bukan 

sesuatu hal yang tabu. Kita tidak bisa mengharapkan anak SMA 

masih berpikir bahwa uang bisa keluar begitu saja lewat mesin 

ATM tanpa simpanan, bukan? 

Kesadaran anak-anak muda dalam literasi finansial inilah 

yang diteliti oleh Moreno-Herrero dan rekan sejawatnya di 

tahun 2017-2018 di kalangan anak-anak muda Spanyol. Yang 

menarik dari penelitian yang melibatkan remaja berusia 13 

hingga 19 tahun ini adalah bahwa sebelum mereka mengenal 

literasi finansial lebih lanjut, keingintahuan mereka tentang 

wawasan finansial dipacu pertama-tama oleh keluarga. Remaja 

yang diberikan pengetahuan tentang manfaat dan nilai mena-

bung dan mengelola keuangan oleh keluarganya cenderung 

memiliki literasi keuangan yang tinggi, bahkan sampai memiliki 

tabungan dan produk keuangan lainnya. Dengan demikian, 

remaja bisa belajar mengelola keuangannya dengan bijak sejak 

usia dini. 

Sampai tahun 2017, Tiongkok memiliki tingkat literasi 

keuangan tertinggi di dunia, mengalahkan Rusia, Amerika Seri-

kat dan Kanada22. Pemahaman tentang literasi keuangan dari 

usia dini menjadi salah satu faktor mengapa Tiongkok memiliki 

ketahanan ekonomi yang semakin kuat.  

Literasi keuangan di Indonesia adalah sebuah kabar baik. 

Riset Otoritas Jasa Keuangan dari tahun 2017 hingga 2019 

mengungkap bahwa lebih dari 70 persen warga  Indonesia 

telah sadar akan pentingnya pengetahuan keuangan. Otoritas 

Jasa Keuangan menargetkan jumlah ini melampaui 75% di akhir 

                                                           

201923. Peluang riset dalam bidang literasi keuangan masih 

menjanjikan, terutama di dalam negeri sebab ada banyak 

research gaps yang teredia buat peneliti untuk mengembangkan 

praktik keilmuan terutama yang berhubungan dengan literasi 

keuangan di pendidikan formal dan bagaimana metode yang 

tepat untuk mengajarkannya.Sementara ini, literasi keuangan 

diajarkan sebagai mata pelajaran inklusi, bukan sebagai mata 

pelajaran tersendiri. Literasi perpajakan juga diajarkan secara 

inklusif di seluruh Indonesia di jenjang pendidikan tinggi. 

Big Data dan Platform Digital 

Pernahkah Anda mendengar Jupiter? Dalam ranah astronomi, 

itu adalah nama planet, tetapi dalam ranah kehidupan sehari-

hari, Jupiter adalah jaringan yang membuat Android Anda 

terkoneksi satu sama lain, dan mesin pencari Google Anda bisa 

beroperasi dengan begitu cepatnya.  

Google merekayasa Jupiter tahun 2005 untuk mengakomo-

dasi jumlah data simpang-siur yang semakin banyak. Kecepatan 

jaringan Jupiter ini mencapai 10 GB per detik. Dengan jaringan 

Jupiter, Google mampu mentransfer lima film HD Blu-ray dalam 

satu detik ke semua server-nya di seluruh dunia.  

Sejak tahun 2000, umat manusia mengalami shifting besar-

besaran pada bagaimana data disimpan. Di era sebelum 

kemunculan jaringan internet dan integrasi sistem secara digital, 

data-data disimpan secara analog. Data pasien, misalnya, 

disimpan berupa lembaran-lembaran kertas yang jumlahnya 

kian menumpuk setiap hari. Karena permintaan akan data 

semakin tinggi, Anda bisa membayangkan bagaimana arsip-

arsip penting itu disimpan dalam bentuk kertas. Jika sebuah 

                                                           

rumah sakit, bank atau sekolah memiliki jumlah data yang 

begitu besar, maka menyimpannya dalam modus analog akan 

memakan tak hanya waktu yang banyak, namun tempat dan 

juga menguras otak. 

Berdasarkan riset dari Universitas Southern California tahun 

201124, jumlah data di seluruh dunia dari tahun 1986 hingga 

2007 mencapai 295 milyar gigabit. Tahun 1986 adalah masa di 

mana komputer generasi pertama dipakai  dalam penyim-

panan data digital, meskipun jumlahnya belum sebanyak 

sekarang. Jumlah data sebesar itu pada tahun 2007 berlipat 

ganda setiap tahun mulai saat itu karena perkembangan tekno-

logi komputer dan jaringan internet. Tahun 2011 saja, jumlah 

data digital yang tersimpan dalam berbagai media di dunia 

mencapai lebih dari 600 milyar gigabit. bila  semua data itu 

dicetak dalam bentuk buku, maka buku-buku itu bisa menutupi 

semua wilayah Tiongkok dengan ketebalan setengah meter. 

Bayangkanlah jumlah data sebanyak itu bersimpang siur di 

atmosfer setiap hari. bila  Anda melihat pemandangan awan 

yang indah di pagi hari, sesungguhnya banyak data berseliwer-

an di udara saat itu, dibawa oleh gelombang satelit. Karena 

sedemikian banyaknya data yang berseliweran, baik terstruktur 

maupun tidak, maka semua data itu dikenal dengan istilah big 

data,—si Data Besar. 

Big data disimpan dalam banyak data center dan server yang 

tersebar di seluruh dunia dan umumnya dimiliki oleh 

perusahaan-perusahaan. Google saja, saat ini memiliki 100.000 

data center di seluruh dunia. Pemerintah juga memiliki data 

center yang dirahasiakan. Dalam data center ini, semua data,—

dari foto-foto selfie Anda sampai data jumlah uang di rekening 

pribadi setiap orang, bahkan rancangan senjata nuklir dan kode 

                                                          

rahasia pemerintah disimpan. Jadi, Anda tentu bisa memahami 

betapa pentingnya sebuah data. Karena itu, salah satu aset 

besar di era milenial ini adalah data. Semakin besar jumlah data 

yang Anda peroleh, maka semakin besar aset Anda untuk 

menguasai, bahkan mengendalikan informasi,—dengan kata 

lain,—mengendalikan dunia. 

Shifting yang terjadi dalam cara pengolahan data memun-

culkan berbagai tantangan dan peluang baru, termasuk di dunia 

bisnis. Kini, big data dipakai dalam berbagai ranah kehidupan, 

dan ekonomi adalah salah satunya25. Beberapa tren belakangan 

ini mengenai hubungan antara evolusi waralaba dan big data 

mulai marak dikaji dari tahun 2017 lalu, meskipun kajian-kajian 

dan penelitian mengenai tendensi yang mengarah kepada 

teknologi ini sudah diramalkan dalam riset-riset dari tahun 

1990-an. Widman & Bingmann26, misalnyanya, mengungkap 

tren bahwa di masa depan akan ada kebutuhan transfer data 

yang semakin besar. Balakrishnan27 menekankan tentang bagai-

mana video bisa menjadi komoditi yang menjanjikan di masa 

depan. Kemudian, Imperiale28 menyimpulkan bahwa data kese-

hatan berupa real-time data sangat penting sehingga kecepatan 

transfer data juga mesti ditingkatkan. Prediksi-prediksi itu kini 

telah menjadi kenyataan. 

Big Data memiliki enam karakteristik utama, yakni variety, 

velocity, veracity, value dan complexity. Dalam dunai bisnis dan 

industri, Mohammadpoor dan Torabi meneliti implementasi Big 

                                                           

Data Analyticspada perusahaan ladang minyak dan gas di 

Kanada pada tahun 2017-2018. Teknologi Big Data telah dipakai 

dalam mengumpulkan dan menganalisis data rekaman sensor 

minyak dalam fase eksplorasi, pengeboran, dan operasi 

produksi. Data yang paling penting adalah data seismik, dana 

lapisan tanah dan sebagainya. sesudah  teknologi Big Data 

diaplikasikan pada perusahaan minyak di Kanada, terjadi opti-

malisasi kinerja pemompaan, sistem manajemen yang lebih 

efisien serta regulasi yang lebih tertata. Meskipun demikian, 

kendala yang dihadapi masih berada pada ketersediaan du-

kungan dana dan kesadaran warga  dan pebisnis secara 

luas tentang manfaat dan kemudahan Big Data29.  

Masih di dunia perminyakan, Lean Yu dari Centre for Big Data 

Science, Beijing University of Chemical Technology bersama tim 

penelitiannya menyatakan bahwa konsumsi minyak dunia 

adalah faktor paling penting dalam industri migas sekaligus 

yang paling tidak pasti30. Mereka membangun sebuah model 

terapan teknologi Big Data dengan memanfaatkan Google 

Trendsuntuk memprediksi nilai dan tren konsumsi minyak. Uji 

coba model ini membuktikan bahwa Google Trends sebagai 

muara penting nan utama dari teknologi Big Data Google 

mampu meningkatkan efisiensi kerja dan pengambilan 

keputusan dalam industri perminyakan dunia.  

Jun et. al31 dari Korea menyatakan hal senada dengan Lean 

Yu. Di tahun yang sama, ia dan timnya melakukan review 

terhadap 657 artikel ilmiah mengenai pemanfaatan Google 

                                                           

Trends. Yang mengejutkan adalah bahwa Google Trends sebagai 

teknologi Big Data yang paling ramah dan dikenal-luas telah 

dipakai  dalam bidang kesehatan dan ekonomi, termasuk 

pula pengobatan dan tentu saja ilmu komunikasi. Yang luar 

biasa adalah, dalam dekade terakhir ini (2010-2018), peng-

gunaan Google Trends telah mengalami shifting fokus dari 

analisis data tren tingkat dasar dan monitoring ke ranah 

forecasting (prakiraan). Dengan Google Trends, banyak pihak 

kini bisa ‗meramalkan‘ tren yang akan tiba dalam kurun waktu 

tertentu. Jun dan kawan-kawan menyarankan bahwa karena 

Google Trends adalah muara Big Data yang gratis namun 

sangat powerful, ia bisamenjadi kandidat kuat untuk peluang 

riset dari berbagai bidang, mulai dari manajemen, ekonomi 

hingga ilmu politik. Bidang kajian riset yang disarankannya 

adalah evolusi pemakaian  Google Trends dalam ekonomi dan 

manajemen, terutama dalam efektivitas pengambilan 

keputusan. Saran ini didukung oleh Amado dan para rekan 

sejawatnya di Portugal di tahun yang sama32. Ini membuktikan 

bahwa Google Trends sebagai reservoir Big Data paling ramah-

pengguna dipakai  rata-rata untuk tujuan dan roadmap yang 

sama antara Asia dan Eropa. 

Lebih lanjut lagi, ada kabar keren dari industri pangan. 

Tampaknya apa yang dikaji oleh Wolfert et. al33 bisa menjadi 

tonggak kesadaran warga  akan pentingnya pengaplikasian 

teknologi Big Data dalam berbagai kehidupan manusia. Disebut 

smart farming, sistem rantai pangan berbasis digital ini tidak 

hanya mengontrol pertanian, namun keseluruhan rantai pangan 

                                                          

mulai dari proses produksi hingga penguraian dan peremajaan 

lahan. Dengan teknologi Big Data, petani-petani bisa 

berkolaborasi secara lebih mudah dengan platform distributor 

dan konsumen. Wolfert dan kawan-kawan penelitinya 

meramalkan bahwa rantai suplai pangan berbasis teknologi 

informasi akan memungkinkan kerja sama dan shift peran 

antara perusahaan teknologi besar, kapitalis, perusahaan startup 

dan bahkan perusahaan rintisan yang masih baru mulai. Semua 

pelaku ekonomi ini  bisa terhubung dengan lebih erat 

melalui teknologi Big Data. Yang paling penting adalah, 

teknologi Big Data memungkinkan banyak bidang pekerjaan 

dalam rantai pangan diambil alih oleh kecerdasan buatan dan 

robot yang terhubung satu sama lain melalui Internet of Things. 

Dalam dunia bisnis dan ekonomi, Big Data memungkinkan 

pengambilan keputusan yang jauh lebih cepat dengan berbasis 

real-time data. Sen dan kawan-kawannya34 menemukan bahwa 

Big Data memiliki peran sinergis terhadap UMKM yang memiliki 

pengaruh besar dalam perekonomian kerakyatan. Perubahan 

yang terjadi di pasar paling cepat direspons oleh UMKM 

sehingga dengan adanya informasi real-time dari Big Data, 

pengambilan langkah selanjutnya sesuai tren pasar bisa 

dilakukan dengan jauh lebih cepat. Kendala yang ditemukan 

oleh Sen dan rekan-rekan penelitinya relatif sama dengan 

kendala-kendala dari bidang lain, yakni belum populernya 

pemanfaatan Big Data dalam bidang ekonomi, terutama dari 

kalangan UMKM. Ini disebabkan karena biaya sistem Big Data 

yang lumayan besar (dan bahkan sangat besar bagi kebanyakan 

UMKM yang ada). Dia menyarankan bahwa bila  Big Data 

bisa diakses oleh UMKM, akan terjadi pergerakan ekonomi yang 

                                                           

semakin sehat dan giat. Cara yang lebih efektif untuk tujuan ini 

adalah sistem pewaralabaan Big Data. 

Terkait lagi dengan tren waralaba sosial yang telah dibahas 

pada bagian sebelumnya, Big Data juga punya andil dan potensi 

besar dalam pelayanan kesehatan yang lebih maksimal. Jika 

setiap pasien memiliki keluhan yang berbeda-beda, dan ada 

lebih dari seribu pasien di sebuah rumah sakit, maka 

menyimpan datanya secara analog adalah pekerjaan yang 

sangat melelahkan. Belum lagi jika masing-masing pasien punya 

riwayat penyakit yang rumit. Dengan teknologi Big Data, semua 

masalah itu bisa diatasi. Saheb dan Izadi dari Iran35 telah me-

rangkum 46 artikel penelitian mengenai aplikasi Big Data dalam 

ranah pelayanan kesehatan dari berbagai negara. Big Data 

terbukti meningkatkan efisiensi birokrasi pelayanan kesehatan, 

rekapitulasi data rekam medis pasien, dan manajemen unit-unit 

kesehatan di beberapa negara di dunia. 

Hoaks 

Sebuah kabar mengejutkan datang dari Kementerian Ko-

munikasi dan Informasi. Dari satu juta situs web yang terjaring 

pada tahun 2018-2019, delapan puluh persennya adalah situs 

berita bohong, atau hoaks. Dari semua situs berita bohong itu, 

tersebar 771 subtopik hoaks yang paling banyak menyangkut 

isu politik36.  

Media sosial menjadi platform utama untuk penyebaran 

maupun penangkal hoaks, terbukti dari 37,9% responden yang 

menyatakan bahwa mereka mengetahui berita hoaks dari 

klarifikasi sosmed.  

                                                           

Kesadaran warga  Indonesia atas berita bohong me-

ningkat 4,2 persen dari tahun 2017 hingga 2019 berkat 

meleknya warga  untuk memeriksa kebenaran berita dan 

mencocokkannya dengan portal-portal berita terpercaya.  

Namun demikian, banyak orang juga yang masih terpe-

ngaruh dan ikut menyebarkan berita hoaks karena berita itu 

didapat dari orang yang bisa dipercaya (43,5%). Tendensi ini 

menjadikan tren penyebaran hoaks di media sosial menyerupai 

tren penyebaran gosip. Biasanya, gosip menyebar dari mulut ke 

mulut melalui orang-orang yang dipercaya. Hoaks juga menye-

bar dari ponsel ke ponsel melalui akun yang dipercaya oleh 

seseorang. 

Sebanyak 76,4% responden setuju jika hoaks menghambat 

pembangunan negara dari berbagai sektor. Hoaks juga berpo-

tensi mengubah tren bisnis dan arah kebijakan pasar.  

Tahun 2018 lalu, sebuah studi dilakukan oleh akademisi di 

Minessota, Amerika Serikat, terkait hubungan antara isu sains 

yang dibumbui isu politik dan hoaks37. Penelitian ini membuk-

tikan bahwa orang-orang lebih percaya kepada hoaks yang 

tersebar di media sosial bila  hoaks itu terkait dengan hal-hal 

yang mereka pentingkan dalam kehidupan sehari-hari, yakni isu 

makanan dengan label rekayasa genetika. Kesimpulannya 

adalah, masih banyak kalangan warga  yang lebih percaya 

kepada hoaks daripada menumbuhkan literasi yang lebih 

mapan untuk menanggulanginya. 

Alasan adanya hoaks di ranah internet ditemukan oleh 

Aldwairi dan Alwahedi dari Zayed University, Abu Dhabi38. 

Dalam artikel yang dipublikasikan tahun 2018 silam itu, mereka 

mendefinisikan hoaks internet sebagai cara instan untuk 

mendapat  keuntungan advertisi dari clickbait, atau umpan 

klik. Sudah menjadi hal biasa dalam tren advertisi internet 

bahwa suatu website bisa mendapat keuntungan berlipat ganda 

dari jumlah klik pada suatu link yang dikomersilkan. Ini mirip 

seperti AdSense YouTube yang mengukur jumlah tontonan, like 

dan subscribe dan menghitung penghasilan seseorang dari 

sana. Berita hoaks yang heboh dan headline-nya yang 

mengundang rasa penasaran mampu meningkatkan penda-

patan penyebar hoaks dari umpan klik. Kedua peneliti ini 

menyimpulkan bahwa hoaks sosial media lebih banyak disebab-

kan oleh motif ekonomi. 

Lebih jauh dalam penelitian Aldwairi dan Alwahedi adalah 

temuan metode yang dapat mendeteksi dan memfilter situs 

yang mengandung hoaks dan berita menyesatkan. Mereka 

mengklaim bahwa akurasinya mencapai 99,4% dengan 

                                                           

memakai  logistic classifier. Metode yang mereka gunakan 

adalah dengan memakai  perangkat lunak filter yang 

menjaring kata-kata bermuatan slang dan hiperbolis sebagai 

artikel berpotensi hoaks. Kemudian, jumlah kata dalam judul 

sebuah laman web atau artikel juga menjadi factor penentu 

apakah suatu konten merupakan hoaks atau bukan. Langkah 

selanjutnya adalah memeriksa tanda baca pada artikel. Artikel 

yang berisi banyak tanda seru, tanda tanya dan koma, serta 

memiliki tata kalimat yang tidak terstruktur adalah artikel yang 

berpotensi sebagai hoaks.  

Cara selanjutnya adalah dengan mendeteksi bounce rate, 

atau rasio lompat-balik. bila  Anda menemukan sebuah 

tautan yang menarik dan Anda mengkliknya, tiba-tiba Anda 

masuk ke sebuah laman web yang benar-benar berbeda dari-

pada yang Anda harapkan. Anda akan segera menekan tombol 

back. Seringnya pengunjung menekan tombol back ini disebut 

bounce rate. Situs-situs dengan bounce rate tinggi adalah situs 

yang disinyalir mengandung hoaks. 

Kabar-kabar bohong yang beredar dan besarnya jumlah 

situs yang memuat berita bohong juga berdampak pada eko-

nomi. Aspek ekonomi yang paling terkena dampak dari hoaks 

adalah perjanjian jual-beli, kontrak perdagangan, waralaba, 

serta pengambilan keputusan perdagangan. Malin et. al 

menyatakan dalam buku mereka Deception in the Digital Age 

bahwa sejak penipuan dan hoaks bertebaran di ranah internet, 

pihak penjual dan pembeli memilih jalan escrow service sebagai 

langkah antisipasi yang disebutnya sebagai trust inducing 

mechanism ‗mekanisme pemacu kepercayaan.  

                                                           

Mekanisme escrow ini adalah berupa pihak ketiga yang 

independen dan dipercaya oleh pihak pertama (penjual) dan 

kedua (pembeli). Misalnya, Perusahaan A adalah pihak pemberi 

waralaba yang ingin mewaralabakan usaha kentang goreng 

crispy-nya kepada UD Nanas Mekar. Namun, untuk menjamin 

kepercayaan kedua belah pihak, mereka mengundang pihak 

ketiga sebagai escrow service. Pihak pemberi waralaba 

memercayakan komponen perusahaan yang akan 

diwaralabakannya sampai pihak kedua memenuhi semua 

persyaratan kontrak waralaba. Pihak escrow dapat menarik atau 

menahan hak pihak kedua maupun pihak pertama bila  ada 

perjanjian yang tidak dipenuhi. Menurut Malin et. al, perusa-

haan escrow ini memiliki andil besar dan makin diminati dalam 

perekonomian digital di Inggris dan Amerika. 

Anda mungkin ingat dengan brand u-eco-city yang 

digaungkan Korea di awal dekade milenial. Tahun 2013 lalu, 

Korea menggaungkan konsep kota abad ke-21 yang ramah 

lingkungan dan nihil emisi gas buang. Yang melakukan 

penelitian ini adalah Yigitcanlar dan Lee, dua ahli tata kota dari 

Australia dan Korea. Mereka ingin memastikan apakah konsep 

kota ramah lingkungan ini telah memenuhi kriteria atau 

hanyalah branding hoax belaka. Ternyata, dari banyak aspek tata 

kota yang mereka teliti, konsep u-eco-city di Korea (dan juga 

negeri-negeri Asia lainnya) masih jauh dari harapan karena 

terbentur dengan berbagai aspek sosial dan ekonomi yang 

belum memadai untuk sebuah tata kota ‗utopia‘ yang baru 

semacam itu. Mereka menyebutnya sebagai sebuah utopia 

wishful thinking,

                                                           

Terlepas dari hoaks jenis apa yang terjadi di luar negeri dan 

bagaimana mereka menanggulanginya, Indonesia juga punya 

cara tersendiri. Dalam ranah hukum, penyebaran kabar bohong 

telah diatur dalam Pasal 390 KUHP tentang penyiaran kabar 

bohong. Ada pula Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 

Tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik. Dalam 

ranah hukum, penyebaran berita dan kabar bohong termasuk 

dalam upaya penyesatan publik. Di Aceh sendiri, sebagaimana 

dinyatakan oleh Adli dan Sulaiman, hukum adat telah mengatur 

tentang penyebaran hoaks dan sanksi adat yang diterima oleh 

para pelaku hoaks. Meskipun kekuatan hukumnya hanya 

mencakup kelompok warga  tertentu, cara ini bisa menjadi 

alternatif upaya membatasi penyebaran berita bohong dengan 

cara sanksi atas pelanggaran norma sosial41. 

Pentingnya kesadaran terhadap berita-berita bohong 

menjadi salah satu poin pokok dalam literasi digital. Selain 

kemampuan untuk mengakses data secara digital, literasi digital 

juga membutuhkan kolaborasi, referensi silang dan triangulasi 

yang mapan untuk menghindari berita-berita bohong yang 

beredar di ranah internet. Selain literasi digital, literasi human-

isme juga perlu mendukung langkah seseorang agar menyadari 

bahwa dia perlu mendapat  informasi yang benar dan tahu 

bagaimana cara mengakses informasi yang terpercaya. Tak 

hanya itu, literasi humanisme diperlukan agar seseorang tidak 

mudah terprovokasi dan menyebarkan berita tanpa sumber 

yang jelas. 

                                                           

Tendensi waralaba di era digital 

Data bulan Januari 2019 yang dihimpun berbagai 

perusahaan platform tools seperti GSMA Intelligence, Internet-

WorldStats dan sebagainya mengungkap bahwa pertumbuhan 

pengguna internet di dunia naik 9,1% dari tahun sebelumnya. 

Ini berarti bahwa di sepanjang tahun 2018 ada peningkatan 

sekitar 367 juta pengguna internet di seluruh dunia. Hampir95% 

dari semua pengguna internet itu juga adalah pengguna media 

sosial. Peningkatan ini menakjubkan karena mencapai hampir 

sepuluh kali lipat pertumbuhan penduduk. Ini berarti bahwa 

internet sudah merambah ke hampir segala lini kehidupan 

manusia dari segala usia. 

Yang signifikan juga adalah data dari GSMA Intelligence di 

awal tahun 2019 lalu yang menyatakan bahwa jumlah pengguna 

ponsel pintar di seluruh dunia sudah mencapai lebih dari lima 

milyar pengguna. Mungkin saja, satu orang bisa memiliki lebih 

dari satu ponsel, tetapi jumlah sebesar itu sama dengan 67% 

populasi manusia di Bumi. 

Apa yang bisa Anda bayangkan dengan jumlah sebesar itu? 

bila  Anda memiliki akun media sosial, dan Anda mempos-

ting produk sabun herbal buatan Anda, maka Anda memiliki 

target pelanggan sebanyak itu di seluruh dunia. Akan tetapi, 

yang menjadi kendala besar bagi usaha Anda adalah bahwa 

Anda tidak sendirian. Banyak sekali usaha-usaha sejenis yang 

akan menyaingi Anda. Karena itu, Anda harus menjadi produsen 

yang unik (dan tentunya itu memerlukan kerja keras, perjuang-

an dan kesabaran). Jika tidak, Anda bisa mencoba bisnis 

waralaba digital atau sistem endorsement (yang juga mahal, 

tentunya). 

Melihat peluang ini, para pemberi waralaba juga berpikir 

keras. Mau tidak mau, mereka juga harus mengikuti tren digital 

sebab separuh calon pelanggan mereka sudah beralih platform. 

Perkembangan ini mengharuskan para pemberi maupun 

penerima waralaba agar melek digital, melek teknologi. Dengan 

kata lain, menguasai literasi digital. 

Beberapa tren dan perkembangan jaringan dunia digital 

berpotensi besar menjadi inspirasi bagi banyak bisnis waralaba 

di masa depan, terutama dari bidang usaha entertainment, 

makanan dan minuman42. Tiga bidang usaha itu menjadi prima-

dona bagi generasi milenial. Makanan dan minuman kreatif, 

cepat saji, namun sehat menjadi pilihan, sedangkan pilihan 

dunia hiburan adalah kisah-kisah epik yang dikemas dalam 

berbagai media dari berbagai sudut pandang yang luas. 

Generasi milenial,—karena kemudahan akses informasi—

menginginkan semesta hiburan yang lebih kompleks, menan-

tang, melibatkan penonton, dan terlihat lebih realistis43. 

Brainbridge44 menemukan fakta bahwa ada tren waralaba 

yang didorong oleh keinginan manusia untuk melestarikan 

lingkungan hidup. Menurutnya, Jepang adalah salah satu 

negara yang ingin menyeimbangkan antara perkembangan 

ekonomi dan perlindungan lingkungan hidup, sehingga tren 

waralaba yang berkembang di Jepang adalah waralaba yang 

mengkolaborasikan antara materialisme, environmentalisme, 

biodiversitas dan sustainable development. Gabungan antara 

ketiga tren ini sangat populer di kalangan anak muda Jepang 

mulai 2013 lalu dan juga di kalangan pada akademisi negeri 

Sakura itu. Anda bisa membuktikan ini dari acara-acara kartun 

Jepang kekinian yang rata-rata menggabungkan antara 

                                                           

modernitas dan lingkungan hidup. Naruto, Pokemon, Dorae-

mon45 serta Digimon Adventures, misalnya, yang rata-rata lahir 

sebelum era ledakan teknologi informasi, sudah mengede-

pankan siergi antara teknologi dan lingkungan hidup. 

Dalam ranah parwisata, tendensi waralaba merambah pada 

apa yang bisa kita sebut sebagai labelisasi wisata. Salah satu 

kasus menarik tentang waralaba dalam dunia pariwisata terjadi 

pada program kerja UNESCO. Anda mungkin berpikir bahwa 

kini Anda bisa membeli merek UNESCO dan menjadi arkeolog 

dadakan, namun kasus UNESCO ini lebih kepada sebuah pro-

gram idealis yang dijalankan dengan prinsip waralaba, atau 

yang lebih halus—sebuah ideologi yang diwaralabakan oleh 

salah satu pihak, baik pihak penerima atau pihak ketiga yang 

sebenarnya tidak terlibat dalam perjanjian.  

Anda pasti mengenal World Heritage ‗Warisan Dunia‘. Jika 

Anda pergi ke Jatiluwih, di sana terpampang sebuah label 

dengan tulisan ‗situs warisan dunia UNESCO‘. Tak hanya itu, Tari 

Pendet pun kini jadi warisan dunia UNESCO.  

Word Heritage adalah sebuah ‗label‘ yang diberikan oleh 

UNESCO untuk situs bersejarah, warisan budaya benda maupun 

tak benda, atau warisan alam yang unik, memiliki nilai universal 

dan bermanfaat bagi generasi di masa depan. Pada awalnya, 

UNESCO memiliki program besar untuk mendata situs-situs 

bersejarah dan budaya endemik di dunia sebagai daftar warisan 

dunia dalam kategori benda maupun tak benda. Tahun 1978, 

situs-situs pertama didokumentasikan dan dimanajemen, lalu 

diberi label ‗World Heritage‘. Tahun 2017 lalu, Tari Pendet, 

sistem pengairan Subak dan aksara Bali juga menjadi warisan 

dunia UNESCO. Sampai kini, ada 1121 situs dan warisan budaya 

                                                           

yang terdaftar sebagai warisan dunia, terdiri atas 869 warisan 

budaya, 213 warisan alam, dan 39 campuran46.  

Apa yang dilakukan UNESCO dalam proses pelabelan 

warisan dunia ini persis seperti sebuah perjanjian waralaba. 

Karena itu, beberapa pelaku ekonomi melihat peluang besar di 

balik label World Heritage ini dalam sektor pariwisata. Para 

penggiat dan pengamat pariwisata Bali pun merespons hal ini. 

 

Bayangkan sebuah lesung peninggalan nenek moyang 

Anda. Anda berkisah tentang sejarah panjang lesung itu lewat 

sebuah proposal,—menyatakan sebaik-baiknya bahwa lesung 

itu adalah peninggalan terakhir kebudayaan endemik di desa 

Anda. Ternyata, proposal Anda diterima dan lesung itu menjadi 

warisan dunia karena keunikan arsitektur dan teknik pembuat-

annya. Tentu akan ada banyak ilmuwan, sejarawan dan wisata-

wan yang mengunjungi Anda. Bayangkan berapa keuntungan 

yang bisa Anda peroleh dari setiap saku yang mendekat ke 

lesung kuno itu. 

                                                           

Dengan label World Heritage, ada peningkatan minat 

wisatawan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di 

dunia. Label UNESCO menjadikan situs itu sebagai symbol of 

qualityand authenticity atau coveted brand and seal of 

approval47. Inilah yang membuat Meskell melabeli UNESCO 

sebagai sebuah shifting ideologi dari pelestarian menjadi 

campuran kepentingan politik dan ekonomi negara pengusul48. 

Sebenarnya, UNESCO sendiri samasekali tidak memiliki tujuan 

waralaba di balik label warisan dunianya. Tujuan UNESCO 

adalah murni untuk perlindungan warisan budaya. Namun mata 

ekonomi telah meliriknya sejak 201249 sebagai potensi besar 

untuk dijalankan dengan sistem ‗layaknya waralaba‘. Meskel 

bahkan menyebutkan bahwa label World Heritage ini memiliki 

potensi besar sebagai label komoditas yang mempercepat 

mobilitas nasional dan internasional. Artinya, World Heritage ini 

punya kekuatan ekonomi yang diincar oleh para pemburu dolar. 

Label World Heritage UNESCO memiliki kebijakan-kebijakan 

dan aturan. Sebenarnya, UNESCO tidak memiliki wewenang 

menominasikan suatu warisan budaya. Suatu situs atau warisan 

budaya harus terlebih dahulu diusulkan oleh pihak negara 

pengusul. Yang harus dilakukan oleh negara pengusul adalah 

mengilustrasikan keberadaan situs atau warisan budaya 

ini  dan menonjolkan nilai universal yang luar biasa. 

UNESCO mendefinisikan warisan situs dan budaya yang layak 

dinominasikan sebagai berikut.  

                                                           

Cultural and/or natural significance which is so exceptional 

as to transcend national boundaries and to be of common 

importance for present and future generations of all 

humanity50. 

 

[Keberadaan budaya dan/atau alam yang sangat unik 

hingga melintasi batas-batas negara dan memiliki manfaat 

menyeluruh bagi generasi seluruh umat manusia kini dan di 

masa depan]. 

 

Negara pengusul harus membuat sebuah proposal yang 

menunjukkan sebenar-benarnya bahwa warisan budaya atau 

alam yang diusulkan sudah memenuhi kriteria umum ini . 

UNESCO, melalui badan yang disebut World Heritage Committe, 

akan menjalankan proses bidding untuk menentukan langkah-

langkah support dan fasilitas yang juga melibatkan pihak ketiga. 

Proses ini mirip sekali dengan perjanjian antara franchisor dan 

franchisee. 

Yang membuat World Heritage nyaris sama dengan sebuah 

waralaba merek adalah kewajiban negara pengusul untuk 

membayar kontribusi bila  negara yang bersangkutan ingin 

menjadi anggota UNESCO. Dalam Anggaran Dasar UNESCO 

tahun 2012 dinyatakan bahwa negara anggota wajib membayar 

biaya awal keanggotaan yang dikategorikan sebagai penda-

patan organisasi. sesudah  penominasian situs warisan budaya 

selesai dan sah, akan ada otoritas eksekutif yang memiliki 

wewenang untuk mengendalikan (1) pengakuan inventaris 

warisan dunia, (2) menyatakan secara resmi bahwa status 

warisan dunia dalam keadaan bahaya, dan (3) mengeluarkan 

suatu situs atau budaya dari daftar warisan dunia. 

Tak sampai sana. World Heritage Committe juga punya 

advertising dan trademark. Dalam fase ini, ada sejenis perjanjian 

                                                           

yang dinamakan external monetary support untuk perlindungan 

dan manajemen situs dan juga potensi pendapatan dari jumlah 

kunjungan wisatawan sesudah  penobatan. Mirip sekali dengan 

prosedur dalam sistem waralaba, bukan?  

Anda mungkin mulai berpikir kritis sekarang. Pada 

dasarnya, yang dijadikan senjata dan aset baik oleh pihak 

Komite Warisan Dunia maupun negara pengusul adalah label. 

Negara pengusul memerlukan label World Heritage untuk 

meningkatkan kunjungan wisata, dan untuk memperoleh label 

ini  negara bersangkutan harus membayar royalti kepada 

UNESCO  (yang diistilahkan dengan dana partisipasi—sebuah 

kamoflase bahasa yang indah) sesudah  melalui ‗uji kelayakan‘. 

Jadi, bila  Anda tinggal di sebuah desa yang memiliki tradisi 

unik, Anda bisa membuat sebuah proposal yang luar biasa 

menggugah tentang nilai-nilai universal dari desa Anda dan 

kontribusinya bagi umat manusia. Kemudian, Anda menye-

tornya kepada pemerintah, lalu didisposisi ke UNESCO. Bayaran 

royalti yang harus Anda setor tentu bukan puluhan juta lagi 

dalam hitungan rupiah, tapi ratusan, bahkan milyaran.  

Waralaba ‘setengah matang’? 

Membahas mengenai tren kurang lebih berarti menyatakan 

sebuah prediksi berdasarkan kecenderungan-kecenderungan 

yang bisa diamati. Sebuah sistem waralaba lahir karena tren 

kapitalis warga , dan begitu pula perkembangannya di 

masa depan. Yang bisa kita lihat di masa kini adalah sebuah 

pola pikir manusia yang menginginkan keuntungan dengan 

cara paling cepat yang bisa dilakukan. Pengaruh kapitalisme 

telah membuat manusia semakin gencar memenuhi kebutuhan 

hidupnya yang semakin kompleks dan menggiurkan.  

Setiap kali berangkat bekerja, Anda mungkin sempat 

memperhatikan bahwa kian hari kian banyak orang yang 

memakai sepeda motor merek terbaru. N-Max, contohnya. Di  

pertengahan tahun 2018 saja, Nmax terjual sebanyak 24.875 

unit di seluruh Indonesia51. Jumlahnya meningkat rata-rata 20% 

hingga tahun 2019 dan bersaing sengit dengan Honda PCX. Di 

Indonesia, kendaraan roda dua masih bisa dikatakan sebagai 

salah satu lambang prestise bagi warga  lapisan menengah 

ke bawah. Buktinya, setiap tahun perusahaan-perusahaan motor 

mengeluarkan tipe terbaru, penjualannya tak pernah turun. Ini 

membuktikan bahwa tingkat konsumsi warga  Indonesia 

atas kendaraan bermotor masih sangat tinggi.  

Hal ini tentunya berakar dari sebuah pertanyaan sederhana: 

bagaimana mereka memutar uang dengan begitu cepat? Anda 

tak perlu menjawab pertanyaan ini secara detail, sebab yang 

menjadi fokus adalah kecenderungan manusia yang semakin 

kapitalis. Waralaba menjadi kabar baik bagi mereka yang ingin 

keuntungan dan pemenuhan kebutuhan secara instan. 

Jika Anda membuka Google, Anda tak akan menemukan 

jawaban memuaskan tentang waralaba ‗setengah matang‘ 

seperti judul sub-bab ini. Yang dimaksud ‗setengah matang‘ 

adalah sebuah sistem yang memiliki ciri khas dan prosedur 

waralaba namun belum dijalankan sesuai dengan bagaimana 

sebuah waralaba seharusnya berjalan. Motif orang-orang 

tertarik pada sistem separuh waralaba ini lagi-lagi karena 

keuntungan yang didapat dari kekuatan hak cipta, pangsa pasar 

dan psikologi merek, namun sesungguhnya tujuan perjanjian 

ini  bukanlah motif ekonomi52. Perjanjian ini  pada 

akhirnya berkembang dan dianggap sebagai komoditas 

ekonomi atau memiliki kekuatan pasar yang besar oleh 

beberapa pihak yang berkepentingan. Jadilah seolah-olah 

                                                           

perjanjian ini sebagai versi komersil dari sebuah idealisme 

(seperti label UNESCO yang telah kita bicarakan di bagian 

terdahulu). 

Contoh platform lain yang memiliki prinsip-prinsip franchise 

adalah TripAdvisor. Sebuah perusahaan jasa travel, restoran, 

penginapan atau vila yang memiliki stiker TripAdvisor akan 

dipercaya oleh pelanggan. Lambangnya yang khas menjadi 

impian setiap pelaku sektor pariwisata. Meskipun bukan 

lembaga akreditasi, TripAdvisor menilai kinerja pelaku-pelaku 

usaha pariwisata dari ulasan yang diberikan oleh wisatawan.  

Antara TripAdvisor dengan pihak anggota memiliki ikatan 

perjanjian yang dilakukan dengan konsep dan prinsip-prinsip 

waralaba, walaupun tidak sepenuhnya menjadi waralaba merek. 

TripAdvisor memberikan re