Tampilkan postingan dengan label sengketa 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sengketa 4. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 September 2023

sengketa 4


menjaga struktur manajemen yang berada di 
dalam wilayahnya. Dalam hal tertentu, pemerintahannya telah menyerap 
beberapa konsep dan lembaga yang berasal dari wilayah-wilayah 
kekuasaanya. Jabatan qadi dilantik oleh gubernur yang mempunyai tugas 
utama untuk menyelesaikan persengketaan di kalangan umat Islam. 
Tugas ini tentu berbeda dengan tugas “juru damai” yang bersifat ad hoc
dan tidak lagi memenuhi tuntutan pengadilan pada masa itu. Jadi, tugas 
utama hakim yaitu menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi 
wewenang termasuk melaksanakan keputusannya. Pada saat ini sudah 
dimulai usaha pencatatan keputusan pengadilan. Maksudnya, agar secara 
administrasi keputusan itu mempunyai kekuatan hukum yang pasti.81
Pada zaman Bani Abbas, perkembangan pengadilan sejalan dengan 
perkembangan kemajuan peradaban dan kebudayaan. Saat itu umat Islam 
mengalami kemajuan dalam bidang peradaban dan ekonomi. Kemajuan 
ini memunculkan berbagai aliran dalam ilmu undang-undang. masalah nya 
kepada institusi pengadilan wujudnya ketentuan penetapan undang￾undang yang berdasar  pada aliran hukum tertentu. Namun tidak 
berarti pada zaman ini  tidak ada lembaga pengadilan yang baru. Saat 
itulah dibentuk lembaga pengadilan “qadhi al-qudhat” seperti mahkamah 
agung pada masa sekarang. Dalam bidang kekuasaan dan sumber hukum, 
pada periode ini telah mencakup bidang wilayah al-Maįŗ“alÄ«m (mahkamah 
luar biasa) dan wilāyah al-įø„isbah (pengadilan khusus). Meskipun dalam 
periode ini tidak terlihat secara jelas perkembangan arbitrase (taįø„kÄ«m), 
namun dapat difahami bahwa lembaga ini masih tetap ada, dalam 
usaha menyelesaikan perselisihan keluarga seperti yang diatur oleh al-Quran. sedang  dalam perkara-perkara muamalat lain tidak begitu 
dilihat peranan lembaga ini , karena lembaga pengadilan yang 
sesungguhnya sudah mantap kedudukannya. Taįø„kim dalam literature
hukum Islam sering dimasukkan sebagai “quasi pengadilan” atau “syibh al￾QaįøÄ’. Perkembangan pengadilan Islam pada zaman Dinasti BanÄ« Uthmān 
juga tidak menunjukkan peran khusus dari badan taįø„kÄ«m ini. Pada masa 
ini bermula kodifikasi hukum material, sehingga hakim di pengadilan 
dapat menyelesaikan masalah  berdasar  undang-undang yang tertulis. 
ini  dimaksudkan juga untuk menciptakan undang-undang yang tepat 
dalam kalangan pencari keadilan.82
2.3.1.2.2. Landasan Undang-undang Arbitrase Islam
Al-Quran sebagai sumber hukum pertama memberi  petunjuk 
kepada manusia jika terjadi sengketa antara pihak, baik dalam bidang 
politik, keluarga, ataupun perniagaan yang ada dalam al-Quran yang 
bermaksud: 
“Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya (suami￾istri), maka kirimkanlah seorang hakam (arbitrater, penengah) dari keluarga 
perempuan. Dan jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan 
perbaikan (perdamaian), niscaya Allah s.w.t. Akan memberi  taufik kepada 
suami isteri itu. Sesungguhnya Alllah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”83
 Terjemahan surah al-Nisa’ (4): 35
Begitu juga al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua telah 
memberi  penjelasan bagaimana suatu persengketaan harus segera 
didamaikan. Seperti Sabda Rasulullah s.a.w. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, 
dan al-Nasa’i, yang bermaksud: 
“jika berselisih kedua belah pihak (penjual dan pembeli) dan tidak 
ada bukti-bukti di antara keduanya, maka perkataan yang (diterima) 
ialah yang dikemukakan oleh pemilik barang atau saling mengembalikan sumpah)’/ Riwayat Abu Hanifah, bahwa Rasulullah bersabda: “jika 
terjadi perselisihan orang yang berjual beli, maka keterangan yang 
disampaikan penjual itulah yang dipakai. Karena itu, si pembeli boleh 
menerimanya dengan rela atau kedua belah nya membatalkan jual beli”84
 Penyelesaian sengketa sesudah  Rasulullah s.a.w. wafat banyak 
dilakukan pada zaman sahabat dan ulama untuk menyelesaikan sengketa 
dengan cara mendamaikan pihak yang terlibat melalui musyawarah dan 
perbincangan antara mereka sehingga menjadi Yurisprudensi Hukum 
Islam dalam beberapa masalah . Kedudukan ijma‘ sahabat atau ulama 
sangat dihargai dan tidak ada yang menentang, karena tidak semua 
masalah sosial keagamaan tercantum dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
secara jelas. Bahkan, Sayidina ‘Umar Ibn al-Khattab pernah mengatakan, 
bahwa “tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan 
perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian antara 
mereka”. Dengan demikian, para ulama sepakat akan kebolehan tahkim, 
hanya secara tekhnis ada perbedaan dalam pelaksaannya.85
2.3.1.2.3. Ruang Lingkup dan Objek Arbitrase
Ruang lingkup arbitrase berkaitan erat dengan persoalan yang 
menyangkut huqÅ«q al-‘Ibād (hak-hak individu) secara penuh, yaitu 
peraturan-peraturan undang-undang yang mengatur hak-hak perorangan 
(individu) yang berkaitan dengan harta benda. Umpamanya, kewajiban 
ganti rugi atas diri seseorang yang telah merusakkan harta orang 
lain, hak seorang pemegang gadai untuk menahan harta gadai dalam 
pemeliharaannya, hak menyangkut hutang piutang, seperti dalam jual 
beli, dan sewa-menyewa,
Jika dikaitkan dengan ruang lingkup tugas įø„akam, perkara yang 
berhubungan dengan wewenangnya hanyalah sengketa-sengketa yang 
berkaitan dengan hak perorangan, yang mana dia (perorangan) berkuasa 
penuh, baik dia akan menuntut atau tidak, atau dia memaafkan atau tidak. 
Suatu hal yang menjadi tujuan utama bagi pelaksanaan arbitrase yaitu 
menyelesaikan sengketa dengan cara damai. Sesuai dengan prinsip itu, 
sengketa yang akan diselesaikan oleh hakam hanyalah sengketa-sengketa 
yang dapat diterima sifatnya untuk didamaikan. Sengketa-sengketa yang 
dapat didamaikan seperti sengketa yang menyangkut harta benda dan 
yang sama sifatnya.87
Namun dalam kalangan ulama mazhab berbeda pendapat dalam 
menentukan objek yang dapat diselesaikan oleh hakam. Golongan 
Hanābilah berpendapat bahwa taįø„kÄ«m berlaku dalam masalah harta 
benda, qiį¹£as, hudud, nikah, li‘an baik yang menyangkut hak Allah dan hak 
manusia, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad. Qaįøi Abu Ya‘la (salah 
seorang pengikut mazhab ini) berpendapat tahkim boleh dalam segala 
hal kecuali; nikah, li‘an, qadhaf dan qiį¹£as.88
Mazhab Hanafiyah menyatakan bahwa tahkim tidak dibolehkan 
dalam hudud dan qiį¹£as, namun dalam masalah ijtihadi dibolehkan 
termasuk bidang mu‘amalah, nikah dan talaq. Begitu juga dengan 
pendapat Ibn ‘Abidin yang mengatakan bahwa tahkim dibenarkan 
dalam masalah-masalah yang di ijtihadkan.89 Sebagian mazhab Syafi‘iyah 
mengatakan, bahwa tahkim dibolehkan dalam berbagai hal termasuk 
harta benda. Sebagian lain/golongan kedua membolehkan tahkim
dalam semua masalah selain hudud. sedang  golongan ketiga (al￾Nawāwi) mengatakan bahwa taįø„kim hanya dibenarkan dalam masalah ,harta benda saja, sedang  masalah nikah, li‘an, qiį¹£as dan had qadhaf
tidak dibolehkan secara pasti.90 Mazhab Mālikiyah berpendapat bahwa 
taįø„kÄ«m boleh pada masalah harta benda (al-Amwāl), tetapi tidak boleh 
dalam masalah hudud, qisas dan li‘an, karena masalah ini yaitu  
urusan pengadilan. Ibn Farhum dalam al-Tabsyirah mengatakan hal yang 
demikian.91
Tahkim tidak diperbolehkan terhadap masalah: hudud, qiį¹£as dan 
qadhaf (jinayah). Akan tetapi dibolehkan terhadap masalah-masalah 
yang berkaitan dengan harta benda (bidang muamalah/hukum private). 
Kesimpulan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Ibn Farhum 
bahwa “wilayah įø„akam itu yaitu yang berhubungan dengan harta 
benda, bukan berhubungan dengan hudud dan qisas.92
2.3.1.2.4. Keputusan įø„akam
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa tujuan utama 
arbitrase ialah perdamaian. Perdamaian yaitu suatu akad atau 
persetujuan dari kedua belah belah pihak untuk mengakhiri sengketa 
dengan jalan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama yang 
dianuti. Akad perdamaian yaitu suatu janji yang harus ditepati. Dengan 
demikian masing-masing pihak terikat dengan janji ini . Masing￾masing pihak tidak boleh lagi mengungkit kembali persoalan yang telah 
didamaikan itu.93 kesimpulan ini baru layak dilaksanakan dalam keputusan 
perdamaian yang mendapat persetujuan dari kedua belah belah pihak.
Dalam ini , timbul suatu persoalan tentang keputusan įø„akam baru 
dikatakan mengikat jika mendapat persetujuan kedua belah pihak. Para ahli hukum Islam dari kalangan pengikut Abu Hanifah, Ibn Hambal, 
dan Imam Malik menyimpulkan bahwa oleh karena kedua belah belah 
pihak telah setuju untuk memilih hakam itu bagi menyelesaikan sengketa 
tanpa memintakan persetujuan terlebih dahulu dari kedua belah belah 
pihak, lalu  kedua belah pihak tidak mau tunduk kepada keputusan 
itu, mereka dimurkai Allah. Di samping itu, barang siapa yang dibenarkan 
oleh syariah untuk membuat keputusan, maka keputusannya yaitu sah. 
Oleh sebab itu keputusan itu mengikat, sama seperti hakim di pengadilan 
yang telah dilantik oleh kerajaan.94
Pendapat lain menyatakan bahwa keputusan įø„akam sama halnya 
dengan fatwa yang tidak mengikat kecuali jika ada persetujuan dari 
kedua belah pihak yang bersengketa. Menurut mazhab ini, persetujuan 
dua belah pihak dalam memilih seseorang untuk menjadi įø„akam, tidak 
berarti sudah menyetujui seluruh apa-apa yang diputuskan oleh hakam. 
Oleh sebab itu, untuk menjadikan keputusan įø„akam mengikat, terlebih 
dahulu perlu ada persetujuan dari kedua belah pihak. Pendapat ini 
dianut oleh al-Musani dari kalangan pengikut Imam Syafi‘i.95
Keputusan įø„akam jika telah dianggap sah dan mengikat karena 
telah sejalan dengan syariat Allah, tidak dapat dibatalkan lagi. Sama seperti 
keputusan hakim di mahkamah. Pendapat ini ditegaskan oleh sebagian 
ulama kalangan Hanafiyah, Syafi‘iyah dan Malikiyah. Lebih lanjut mereka 
menegaskan bahwa keputusan įø„akam yaitu mengikat, meskipun tanpa 
persetujuan dari pengadilan negeri. Lebih tegas lagi hakim di mahkamah 
Agung tidak dapat membatalkan keputusan įø„akam, sepanjang hal itu 
yaitu  persetujuan dari kedua belah pihak yang bersengketa.96
ini  berbeda dalam kalangan Hanafiyah yang berpendapat 
bahwa keputusan įø„akam dapat dibatalkan oleh hakim di pengadilan ,negeri. Pendapat ini berdasar  pelaksanaan įø„akam mesti di bawah 
pengawasan mahkamah yang didirikan oleh pemerinth. Oleh karena itu, 
keputusan įø„akam mesti sesuai dengan ketetapan hakim di pengadilan, 
jika tidak, hakim dapat membatalkannya.97 Keadaan ini berarti, bahwa 
keputusan įø„akam belum mempunyai kekuatan mengikat kecuali sesudah  
ada persetujuan dari mahkamah. Pendapat ini baru layak diterapkan 
jika hukum material yang dipakai di mahkamah sama seperti yang 
dipakai oleh hakam atau institusi įø„akam.
Pada dasarnya keputusan hakam dari segi pelaksanaannya yaitu 
atas dasar suka sama suka antara dua orang yang bersengketa. Hakam 
tidak punya kekuatan untuk memaksa masing-masing pihak yang pada 
lalu  hari tidak bersedia melaksanakan keputusan itu. Seperti 
ditegaskan oleh Abd al-KarÄ«m Zaydan dalam kitabnya Niįŗ“ām al-Qaįøa’ fÄ« al￾Islām, jika salah satu pihak tidak bersedia menepati keputusan hakam
itu, maka untuk pelaksanaannya diserahkan kepada pengadilan untuk 
membantu melaksanakan keputusan itu. Menurut Abd al-KarÄ«m Zaydān, 
hakim tidak berhak membatalkan keputusan itu, selama keputusan itu 
selaras dengan undang-undang yang berlaku atau dipakai oleh badan 
arbitrase yang memutuskannya.98
Dari beberapa pendapat para ulama/fuqaha dapat dibuat suatu 
kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa oleh lembaga taįø„kim
(arbitrase) atau bentuk-bentuk ADR lain seperti mediasi atau negosiasi 
yaitu berdasar  atas tujuan berdamai (sulh) dengan mengedepankan 
kerelaan dan kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan tanpa 
ada paksaan sama sekali. Sehingga dalam ini , konsekuensi logis yang 
muncul adalah, pihak-pihak yang bersengketa yang telah mengajukan 
penyelesaian, tanpa mesti ada persetujuan dari kedua belah pihak , untuk menerima keputusan ini , apalagi paksaan dari pihak yang 
berwewenang dalam hal pelaksanaannya. Manakala tentang putusan 
hakam yang mana sebelum dieksekusi terlebih dahulu mesti dibawa ke 
pengadilan (Hakim) bukan berarti keputusan yang telah dikeluarkan oleh 
hakam atau mediator harus disetujui oleh hakim pengadilan melainkan 
dukungan yang diperlukan dari pengadilan (Ketua Pengadilan Negeri) 
yaitu karakter “positif” atau positivisasi keputusan yang secara de facto
dan de jure hanya dimiliki oleh pengadilan terlepas dari setuju atau tidak 
hakim pengadilan terhadap keputusan hakam atau mediator ini .99
2.3.1.3. Wilāyat al-Qaįøa’ (Kekuasaan Kehakiman)
Dalam sejarah tradisi peradilan Islam klasik, ada tiga institusi 
kekuasaan kehakiman. Walaupun masih dalam bentuk yang sederhana, 
tetapi badan kekuasaan kehakiman ini  dapat berjalan efektif dalam 
menangani masalah -masalah  umum (kejahatan yang ada kaitannya dengan 
kepentingan warga ), maupun khusus (pelanggaran yang sifatnya 
individu) yang muncul dalam warga . 
Ketiga lembaga kekuasaan kehakiman ini  yaitu kekuasaan al-
įø„isbah, kekuasaan al-Maįŗ“alim dan kekuasaan al-Qaįøa’.
Pertama; Al-įø„isbah. Al-Hisbah ialah lembaga resmi negara 
yang diberi kekuasaan untuk menyelesaikan masalah-masalah atau 
pelanggaran-pelanggaran ringan yang tidak memerlukan proses 
pengadilan untuk menyelesaikannya. Menurut al-Mawardi, kewenangan 
institusi hisbah (muhtasib) tertumpu pada tiga hal; yaitu dakwaan 
yang berkait dengan kecurangan pengurangan dalam takaran atau 
timbangan; dakwaan yang berkait dengan penipuan dalam komoditi dan 
harga, seperti mengurangkan takaran dan timbangan di pasar, menjual 
bahan makanan yang kadar luasa, dan dakwaan yang berkait dengan 
penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu ,membayarnya.100 Jelasnya, kekuasaan al-hisbah ini hanya pada tahap 
pengawasan kearah menunaikan kebaikan dan melarang orang dari 
kemungkaran. Dalam ini , menyuruh kepada kebaikan, dapat dibagi 
menjadi tiga bagian: a) menyuruh kepada kebaikan yang berhubungan 
dengan hak-hak Allah: b) berkaitan dengan hak-hak manusia: c) berkaitan 
dengan hak bersama antara hak-hak Allah dan hak-hak manusia.101
Kedua; Al-Maįŗ“alim. Al-Maįŗ“alim yaitu kata jama’ dari al-maįŗ“lamah. 
Menurut bahasa, artinya nama bagi sesuatu yang diambil oleh orang 
įŗ“aÄ«im dari tangan seseorang. berdasar  pengertian ini, badan ini 
dibentuk oleh pemerintah khusus untuk membela orang-orang yang 
maįŗ“lÅ«m (teraniaya) akibat sikap tidak peduli dari pembesar negara atau 
keluarganya, yang biasanya sukar untuk diselesaikan oleh pengadilan 
biasa (al-Qaįøa), dan kekuasaan al-hisbah. Kewenangan yang dimiliki 
yaitu menyelesaikan masalah -masalah  pelanggaran undang-undang yang 
dilakukan oleh pegawai negara seperti, rasywah dan tindakan pihak 
negara yang merugikan rakyat.102
Ketiga; Al-Qaįøa. Dari segi bahasa, al-Qaįøa berarti “memutuskan 
atau menetapkan”. Menurut istilah berarti “menetapkan hukum syarak 
pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara 
adil dan mengikat”. Kewenangan yang dimiliki oleh institusi ini yaitu 
menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan 
masalah madaniyātdan al-Ahwal al-Syakhsiyah(masalah perdata, termasuk 
undang-undang keluarga), dan masalah jināyat (tindakan jinayah).103
Orang yang diberi wewenang menyelesaikan perkara di pengadilan 
ini disebut dengan qāįøi (hakim). Dalam catatan sejarah Islam, salah  
seorang yang pernah diangkat menjadi qaįøi (hakim) ialah Syuraykh. 
Beliau memangku jabatan hakim selama dua periode sejarah, yaitu akhir 
zaman pemerintahan Khulafa’ al-RāsyidÄ«n (masa kekuasaan ‘Ali ibn Abi 
Tālib) dan awal pemerintahan Bani Umayyah.104
Ketiga wilāyah al-Qadā(kekuasaan kehakiman) jika disesuaikan 
dengan kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia, ada persamaan 
dua dari tiga kekuasaan kehakiman. Dari segi dasar dan kewenangannya, 
wilāyahal-Maįŗ“ālim dapat disamakan dengan Mahkamah Agung. 
Wilāyah al-Qaįøa dapat disamakan dengan Pengadilan Perdata dan atau 
Pengadilan Syariah. sedang  untuk wilāyah al-hisbah pada dasarnya 
tugasnya serupa dengan polisi,

Istilah wanprestasi (ingkar janji) dalam pembayaran hutang, telah 
dikenal dalam hukum Islam denganMumāį¹­alah , begitu juga istilah 
perbuatan melawan hukum dalam undang-undang Islam disebut juga 
dengan fi‘l įøarar. Mumāį¹­alah (wanprestasi ) dan fi‘lįøarar perbuatan 
melawan hukum yaitu suatu bentuk pelanggaran hukum.
Dalam tradisi Islam klasik, telah wujud mekanisme penyelesaian 
sengketa seperti į¹£ulh, taįø„kim, qaįøi’. Namun demikian taįø„kim pada 
masa Bani Abbas tidak terlihat jelas perkembangannya tetapi masih 
dipraktikkan pada masalah konflik keluarga, ini   dikarenakan 
lembaga peradilan sebenarnya sudah ada.






Kajian dengan objek penelitian pada perbankan syariah ini akan 
membincangkan aspek ekonomi Islam dari satu sisi dan aspek hukum 
Islam dari sisi yang lain. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk 
membuat satu bab khusus mengenai “Konsep Ekonomi, Kewajiban 
Melaksanakannya serta Relasinya dengan Hukum dalam Perspektif Islam’’. 
Dalam bab ini, uraian akan diawali dengan pengenalan tentang pengertian 
dan konsep ekonomi Islam, dilanjutkan dengan kewajiban melaksanakan 
kegiatan ekonomi, lalu ditutup dengan relasi antara ekonomi dan hukum 
dalam perspektif Islam.
1.2 Pengertian dan Konsep Ekonomi Islam
Dewasa ini, ada kecenderungan untuk membumikan kembali nilai-nilai 
agama Islam dalam setiap aspek kehidupan manusia. Muncul kesadaran 
umat untuk melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh (kāffah). 
Kesadaran itu muncul bertitik tolak dari pemahaman Islam sebagai ajaran 
yang bersifat universal, bukan hanya menyentuh aspek spiritual-ritual 
saja, melainkan menyentuh pula aspek kehidupan secara luas, termasuk 
ekonomi. Banyak usaha telah dilakukan agar kehidupan di bidang ekonomi berjalan selaras dengan petunjuk agama. Sebagai contoh, berdirinya 
institusi-institusi ekonomi Islam seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), 
Asuransi Takaful, BPR Syariah, BMT, Pasar Modal (Reksadana) Syariah dan 
Bank-Bank syariah lainnya, bahkan usaha ini  semakin maju dan 
berkembang dengan adanya standar Akutansi Bank Syariah-PSAK No. 29 
oleh Ikatan Akutansi Indonesia (IAI) sebagai pedoman perakutansian atas 
operasional perbankan syariah.
1
Gagasan tentang konsep ekonomi Islam pada hakekatnya, didasarkan 
pada tiga pandangan:
2
Pertama, sistem perekonomian Islam berasal dari realitas bahwa 
Allah yaitu  pemilik mutlak segala yang ada pada alam semesta 
dan manusia hanya menjalankan amanat yang diberikan Allah. Amanat 
tadi mesti dipertanggungjawabkan kepada Allah sebagai pemilik amanat. 
Pandangan ini diperkuat oleh Alam (1991), Baydoun dan Willet (1994).
Kedua, gagasan sistem ekonomi Islam dipandang dari sudut 
pengamalan ibadah. Pandangan ini dikemukakan Amien Rais (1987). 
Amin mengemukakan kegiatan ekonomi yaitu  salah satu wujud 
nyata ibadah manusia kepada Allah agar bahagia di dunia dan akhirat. 
Kehidupan manusia akan lebih bermakna sekiranya didedikasikan kepada 
Allah. 
Ketiga, gagasan ekonomi Islam berasal dari kekhasan konsep ekonomi 
Islam itu sendiri, jika dibandingkan dengan konsep ekonomi lainnya. 
Mannan (1995) mengungkapkan kekhasan ekonomi Islam terletak pada 
pengakuan atas hak milik pribadi, namun di dalamnya terkandung pula 
milik warga .
Sistem ekonomi Islam memiliki prinsip-prinsip utama sebagai 
pedoman pelaksanaan dan pengembangan dalam menjalankan sistem 
perekonomiannya. Prinsip-prinsip pokok ini  meliputi:
3
Pertama, prinsip-prinsip syariah.Prinsip ini telah jelas dan pasti. Hal 
ini bersumber pada hukum-hukum agama yang terkait, dan tercermin 
dalam Alquran dan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum Islam. Prinsip 
syariah meliputi tiga hal; pertama, larangan bunga (riba); kedua, larangan 
usaha yang bersifat spekulatif, ketiga ada pengakuan tentang posisi zakat. 
Islam dengan jelas dan tegas melarang usaha atau kegiatan ekonomi yang 
didasarkan pada mekanisme riba, sebagai alternatif dipakai konsep 
saling menguntungkan bagi hasil. Islam juga melarang pemeluknya 
berusaha dalam bidang usaha yang bersifat spekulasi (judi). Dengan 
memakai prinsip zakat berarti tiap individu dalam perniagaannya, terkait 
dengan prinsip tanggungjawab kepada warga  melalui mekanisme 
zakat (sedekah). Jadi ada pengakuan atas tanggungjawab sosial (social 
responsible) tiap individu atas harta yang dimilikinya. Ketiga prinsip syariah 
ini harus dijadikan sebagai panduan (guidelines) bagi pengembangan 
sistem ekonomi Islam.
Kedua, kebebasan mencari nafkah. Asumsi yang dipakai berkaitan 
prinsip ini adalah, hak mencari nafkah yaitu  fitrah setiap manusia 
demi memenuhi keperluan hidup manusia itu sendiri. Namun demikian,
usaha untuk mencari nafkah diharuskan melalui jalan dan cara yang benar 
dan baik. Jalan yang benar (halal) dan baik (į¹­ayyibah) bermakna dalam 
berusaha manusia tidak diberi kebebasan sepenuhnya, masih ada batas￾batas yang perlu dipatuhi, baik oleh negara atau agama.ini  mengingat 
mencari nafkah yaitu fitrah (suci).
Ketiga, pengakuan atas hak milik pribadi. Islam mengakui hak individu 
untuk memiliki harta.Namun demikian, Islam memberi  batasan tertentu agar kebebasan itu tidak merugikan kepentingan warga  
umum.Islam tidak setuju dengan konsep pemilikan negara terhadap 
sumber daya pengeluaran dan kekayaan, tetapi Islam menjalankan prinsip 
pemilikan negara semata-mata bertujuan untuk menghindari suatu tahap 
yang dapat merugikan kepentingan warga  umum.
Keempat, prinsip adil dan bertanggungjawab. Dalam pengelolaan 
harta, setiap individu mesti memperhatikan konsep keadilan. ini  
mengingat, Allah memerintahkan manusia agar berlaku adil. Berlaku adil 
yaitu  suatu upaya mengelola amanat yang diamanahkan oleh Allah
kepada manusia. Setiap individu dalam mengelola perekonomian harus 
mengedepankan nilai keseimbangan sesuai dengan kemampuan diri 
sendiri dan kepentingan warga .
Prinsip bertanggungjawab bermakna setiap individu mesti 
menyadari harta yang dimiliknya yaitu  amanah dan milik mutlak 
Allah yang harus dipertanggungjawabkan pengelolaannya kepada Allah. 
Realitas tanggungjawab ini dapat dimanifestasikan sebagai ibadah 
kepada Allah dan sebagai tanggungjawab sosial (social accountability)
terhadap warga  atas harta yang dimiliki individu ini . Melalui 
tinjauan terhadap gagasan dan prinsip-prinsip utama ekonomi Islam itu, 
memberi  hikmah bagi kita semua, para penganutnya.
Bagi para pengusaha Islam yang bertakwa, untuk menyelaraskan 
aktivitas perusahaannya dengan nilai ekonomi Islam seharusnya 
memilih kesadaran untuk menciptakan wirausaha yang akuntabel dan 
berkeadilan dengan mengambil perhatian semua pihak yang terlibat 
dalam perusahaannya, dapat menjadi rekan kerja yang baik. Contohnya 
bagi pihak pekerja, bagaimana para pengusaha mampu menjadikan para 
pekerja dalam perusahaannya sebagai rekan kerja dengan menjadikan 
mereka sebagai salah satu pemilik saham perusahaan, yaitu melalui 
perwakilan serikat pekerja yang ada di perusahaan ataupun melalui koperasi pekerja. Selain itu, bagaimana perusahaan berusaha secara 
seimbang meningkatkan kesejahteraan pekerjanya dengan memberi 
hadiah dan bonus tambahan yang dapat diambil dari Cadangan Perolehan 
Laba Keuntungan yang disimpan perusahaan.
Cara lain untuk mewujudkan prinsip keadilan dan kebertanggung￾jawaban dapat pula dilakukan perusahaan melalui dukungan penuh 
kepada koperasi pekerja untuk membantu penyediaan pelayanan 
sosial bagi pekerja, dengan bantuan dan dukungan sumber daya 
perusahaan. Hal yang sama juga dapat diberikan kepada warga  
sekitar perusahaan (komunitas setempat) sehingga perusahaan mampu 
menjadikan kedudukan perusahaan ini  memberi keuntungan kepada 
warga  sekitar, selain memperkecil dampak negatif kehadirannya 
terhadap warga . ini  dapat dilakukan melalui pemberian bantuan 
sumbangan keuangan pada industri kecil, seperti kios yang dibiayai oleh 
perusahaan dan dikelola warga  sekitar.
Alternatif-alternatif ini  di atas yaitu  bagian dari upaya 
penyelarasan nilai-nilai konsep ekonomi Islam dengan aktivitas yang 
dijalankan oleh pengusaha berdasar  pada prinsip moral bahwa adanya 
perusahaan seharusnya membawa nilai-nilai positif kepada pihak-pihak 
lain baik secara langsung ataupun tidak langsung yang berhubungan 
dengan usaha. Semua ini bertujuan membentuk wirausahawan Islam 
yang bertakwa dan memiliki tanggungjawab sosial sebagai cerminan 
ketakwaan kepada Allah yang memiliki alam semesta.
Asas perBankan syariah sebagai lembaga keuangan yang ber-landaskan 
ekonomi Islam yaitu nilai keimanan. ini  karena dalam pandangan Islam, 
aktivitas ekonomi tidak boleh dilepaskan dari nilai keimanan kepada Allah. 
Asas ini sekaligus menjadi acuan pengawasan (built in control) bagi pelaku 
ekonomi itu sendiri. Dengan demikian, visi-misi perbankan syariah dalam 
rangka meningkatkan taraf hidup manusia dibangun di atas keimanan. Konsep perbankan syariah mendasarkan operasinya pada prinsip 
larangan atas bunga (interest free) dan memakai  konsep bagi hasil 
(profit and loss sharing) sebagai penggantinya. Para pemikir Islam sudah 
banyak menjelaskan bahwa landasan bunga (interest) itu dilarang karena 
dapat menimbulkan ketidakadilan (injustice) dalam lingkungan ekonomi 
warga . Sebaliknya, perbankan syariah secara konsep didasarkan 
atas prinsip kerjasama berdasar  kesamarataan (equality), keadilan 
(fairness), kejujuran (transparency), dan hanya mencari keuntungan yang 
halal semata-mata. Disamping itu, secara makro juga mempunyai misi 
untuk melakukan proses pembinaan administrasi keuangan kepada 
warga  (proses tarbiyah), mewujudkan persaingan yang sehat, 
menghidupkan lembaga zakat, dan pembentukan ukhuwah (networking)
dengan lembaga keuangan Islam lainnya di dalam maupun luar negeri.
4
PerBankan syariah didasari nilai-nilai yang jelas dan tepat sesuai 
dengan nilai-nilai kemanusian yang cenderung kepada kehamonian. 
Dalam prinsip ini, konsep hubungan dan kepentingan yang diterapkan 
yaitu hubungan investor kepada investor secara harmonis (mutual 
investor relationship). Kepentingan antara pemberi dana (surplus unit)
dan pengguna dana (defisit unit) berdasar  atas kepentingan yang 
sama untuk memaksimakan nilai tambah dari kelebihan dan kekurangan 
masing-masing pihak. Kepentingan ini diwadahi dalam produk yang 
memerlukan kedua belah pihak mendapat hasil dan menanggung
 kerugian (profit and loss sharing) jika terjadi. Disamping itu, 
prinsip perbankan syariah sangat memperhatikan aspek kebajikan 
warga  (maį¹£laįø„ah al-‘ummah). Dalam pembiayaan, kemungkinan 
hal-hal yang merusak moral warga  sekitar mesti dihindari serta 
harus memenuhi kriteria halal menurut syariah Islam. Selanjutnya, 
prinsip perbankan syariah juga mengutamakan transaksi-transaksi yang dilatarbelakangi dengan dasar aset yang jelas. Adanya dasar aset ini, pada 
satu sisi akan memperkecil penyimpangan antara sektor finansial dengan 
perkembangan sektor yang nyata, dan pada sisi lain juga menghindari 
transaksi yang dibeli tanpa bayaran dan dijual tanpa hutang atau bahasa 
fikihnya terhindar dari gharar dan maysir. Ciri-ciri di atas tentu saja dapat 
memberi kesan positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan 
mengatasi masalah inflasi, yang yaitu  perkara yang menakutkan 
bagi para pengambil keputusan.5
Ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai bagian dari sistem 
(keseluruhan yang kompleks; suatu susunan atau bagian yang saling 
berhubungan), dan yaitu  suatu ilmu (pengetahuan yang dirumuskan 
secara sistematis). Dalam ilmu ekonomi Islam ini, aspek-aspek yang 
normatif (mempersoalkan bagaimana semestinya sesuatu itu) dan positif 
(mempelajari masalah-masalah ekonomi seperti apa adanya) itu saling 
berkait erat.
6
Sama halnya seperti ekonomi modern, ekonomi Islam mencakup 
antara lain: (a) sistem produksi dan distribusi; (b) konsumsi; (c) 
efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi; (d) inflasi, resesi, depresi, 
dan lain-lain. Melihat luasnya ruang lingkup ekonomi, maka pakar 
ekonomi menyederhanakannya menjadi ”ilmu mengenai perilaku 
manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang dan 
membelanjakannya”.
7
Pengetahuan mengenai hakikat ekonomi yang sesuai dengan syariat 
dapat dilakukan melalui penggunaan metode penelitianpada nash yang 
sesuai syariat baik secara deduktif maupun induktif. Yang dimaksud dengan metode deduktif ini ialah proses penemuan prinsip atau pedoman 
yang ada dalam syariat secara eksplist maupun implisit untuk 
memecahkan masalah yang dihadapi dengan merujuk kepada prinsip￾prinsip Alquran dan Sunnah. Adapun yang dimaksud dengan kaedah 
induktif ialah metode yang dipakai untuk mendapatkan penyelesaian 
masalah ekonomi dengan menunjuk pada keputusan kesejarahan yang 
sahih.
8
Selain itu pemahaman terhadap teori yang telah dikembangkan 
oleh sarjana muslim yang mengusai ilmu ekonomi, perlu dikaji kembali, 
meskipun prinsip asas ilmu ekonomi Islam bersumber pada Alquran 
dan Sunnah. Penafsiran kembali asas-asas ini (yang mengatur berbagai 
pokok persoalan) seperti nilai, pembagian kerja, sistem harga dan konsep 
“harga yang adil”, kekuatan permintaan dan penawaran, pertumbuhan
penduduk, eksport dan cukai, peranan negara, lalu lintas perdagangan, 
monopoli, pengendalian harga, produksi dan konsumsi rumah tangga 
dan sebagainya, oleh sejumlah cendikiawan dan ahli ekonomi Islam 
telah dibekalkan dengan dasar operasional ilmu ekonomi Islam dan 
kesinambungan ide-ide ekonominya sejak permulaan Islam. Sarjana￾sarjana Muslim seperti AbÅ« YÅ«suf (731-798), Yaįø„ya Ibn Adam (meninggal 
818), al-Harīrī (1054-1122), al-Tūsī (1201-1274), Ibnu Taymiyyah (1262-
1328), Ibn KhaldÅ«n (1332-1406), Syah Waliyullah (1702-1763), AbÅ« Dzar 
al-Ghifāri (meninggal 654), Ibn Hazm (meninggal 1064), al-Ghazālī (10-
59-1111). Secara keseluruhan, para cendekiawan Islam pada umumnya,
dan Ibnu KhaldÅ«n pada khususnya, dapatlah dianggap sebagai pelopor 
perdagangan fisiokrat dan penulis klasik (seperti Adam Smith, Ricardo, 
dan Malthus) serta penulis neo-klasik (misalnya Keynes).9
Beberapa pengamat ekonomi Islam telah berupaya mengungkap 
hakikat ekonomi sesuai syariat. Hartono Mardjono misalnya, dalam bukunya bertajuk, Petunjuk Praktis Menjalankan Syariah Islam dalam 
Bermuamalah yang sah menurut Hukum Nasional, mengatakan bahwa 
hubungan ekonomi yang sesuai dengan syariah Islam, secara umum 
dapat diuraikan sebagai berikut.10
(1) Hubungan antara individu, sebagaimana juga hubungan antara 
individu, pada dasarnya manusia boleh saja menciptakan hubungan 
hukum yang bersubstansi apapun, sepanjang tidak melanggar atau 
bertentangan dengan ketentuan Allah Swt.
(2) berdasar  prinsip-prinsip ini , syariah Islam tidak membatasi 
bentuk dan nama perikatan yang dapat dilakukan antara individu. 
(3) Islam juga mengajarkan bahwa kedudukan setiap diri manusia 
yaitu sama (sederajat). Satu-satunya yang membedakan kedudukan 
diantara sesama manusia yaitu ketakwaanya.
(4) Islam menekankan prinsip keadilan yang wajib ditegakkan kepada 
siapapun.
(5) Islam juga mensyaratkan, jika kita melakukan suatu transaksi 
perniagaan atau hubungan hukum dengan orang lain, kedua￾dua pihak mesti riįøÄ (rela) antara satu sama lain tentang apa-apa 
yang disepakati bersama. Islam menekankan, setiap individu wajib 
mendahulukan kewajiban, bukan hak. Hak dengan sendirinya akan 
wujud, jika setiap pihak yang terikat dalam suatu perjanjian 
menunaikan kewajibannya.
(6) Dalam hal bermuamalah, Islam juga menuntut agar semua perjanjian 
dibuat secara tertulis.
(7) Islam melarang setiap individu baik sendiri maupun bersama-sama 
individu lain melakukan hal-hal bāį¹­il, mungkar, atau įŗ“ālim. Islam hanya 
membolehkan setiap individu untuk melakukan hal-hal yang įø„aq, 
ma‘rÅ«f dan adil. Demikian pula dalam menyangkut hukum dengan 
sesama individu atau warga . Oleh karena itu, dalam membuat perjanjian, aktivitas yang akan dilakukan, maupun tujuannya, tidak 
boleh berbentuk sesuatu benda (zat) atau aktivitas yang diharamkan. 
Misalnya, jual-beli minuman yang memabukkan, atau membeli 
barang curian, atau melakukan perjudian.
(8) Prinsip Islam lagi yang perlu dicatat dan diperhatikan yaitu 
penyelesaian secara damai (iį¹£lāh) jika terjadi perselisihan.
(9) Prinsip Islam yang melibatkan uang sebagai objek perikatan yang 
dapat menghasilkan uang ialah Allah Swt. telah menghalalkan jual 
beli dan mengharamkan riba.
1.3 Kegiatan Ekonomi dan Kewajiban Melaksanakannya
Ungkapan “hukum Islam“ dapat difahami dalam arti “syariah“ dan 
fikih. Kata syariah berasal dari bahasa Arab, dari akar kata syara‘a, yang 
berarti jalan, cara dan aturan. sedang  secara terminologi, syariah 
diartikan “segala hukum dan aturan yang ditetapka
Alllah SWT kepada hamba-Nya untuk diikuti, yang mengatur 
hubungan antara manusia dengan lingkungan dan kehidupannya“.11
Syariah yaitu  suatu sistem aturan yang berdasar  pada ajaran 
Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnah)-Nya, yang mencakup seluruh aspek 
kehidupan umat manusia.
sedang  kata fikih, juga berasal dari bahasa Arab. Al-fikih, berarti 
pengetahuan, pengertian, dan pemahaman (tentang sesuatu). Secara 
terminologi, istilah fikih menurut ahli ushul fikih yaitu “mengetahui 
hukum-hukum syarak yang bersifat amaliyah yang dikaji dibandingkan  dalil￾dalil secara terperinci atau ilmu tentang seperangkat hukum syarak yang 
bersifat furÅ«‘iyah yang didapatkan melalui penalaran dan istidlālDengan demikian istilah syariah mempunyai arti yang lebih luas dan 
lebih umum, sedang  istilah fikih dipakai oleh para fuqaha sebagai 
hukum yang memberi  aturan teknikal sebagai pelaksanaan dari 
syariah.
Dalam warga  Islam, khususnya Indonesia, perkataan syariah 
dan fikih sering disamakan pengertian dan terjemahan hukum Islam 
atau hukum syariah, sebagaimana juga dalam aturan praktis lembaga 
keuangan dengan menyebutkan Badan atau Lembaga Keuangan Syariah 
(LKS) seperti perBankan syariah, asuransi syariah, dan pasar modal 
syariah. Walaupun secara akademik pengertian antara syariah dan fikih 
memiliki maksud berbeda sebagaimana di atas, tetapi dalam pengertian 
umum(warga ), yang dimaksud yaitu gabungan dari kedua hal 
di atas (syariah dan fikih) dengan sebutan “hukum Islam atau hukum 
syariah“13
Secara umumnya sistem hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi 
tiga, yaitu: (1) hukum i‘tiqādiyyah (aqidah). Hukum ini mengatur hubungan 
rohaniah manusia dengan Yang Maha Kuasa dalam masalah keimanan 
dan ketaqwaan; (2) hukum khuluqiyyah (akhlak). Hukum ini mengatur 
hubungan manusia dengan manusia dan makhluk lain dalam hubungan 
beragama, berwarga , dan bernegara. Hukum khuluqiyyah ini 
yaitu  hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang yaitu  
tonggak dalam rangka menuju akhlak dengan sesama makhluk; dan (3) 
hukum ‘amaliyyah (syariah). Hukum ini mengatur hubungan hidup zahir 
antara manusia dengan makhluk lain, juga Tuhannya selain bersifat rohani, 
dan dengan alam sekitarnya.
Muamalah didefinisikan sebagai hukum atau peraturan-peraturan 
yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan (horizontal)14 seperti hukum yang mengatur masalah 
ekonomi, politik, sosisal, budaya, dan lain-lain. Hukum muamalah ini 
dalam ilmu keislaman terbagi kepada lima bagian. Pertama, hukum 
perdata (muamalat), yaitu peraturan yang mengatur hubungan antara 
manusia dengan manusia mengenai harta benda dan segala hak milik 
yang berupa materi termasuk bentuk-bentuk hak dan kewajiban masing￾masing hubungan ini . Kedua, hukum perkawinan (munākahāt), yaitu 
peraturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang berhubungan 
dengan keperluan biologis, hak dan kewajiban suami-isteri, keharmonian 
keluarga, perceraian dan sebagainya. Ketiga, hukum waris (al-mÄ«rāts), 
yaitu hukum yang berkaitan dengan harta benda yang dipicu 
oleh kematian. Keempat, hukum pidana (jināyah), yaitu hukum yang 
berhubungan dengan jiwa, akal, dan kehormatan manusia. Kelima, hukum 
politik (siyāsah) yaitu hukum yang berhubungan dengan kenegaraan dan 
pengaturannya.
Sumber hukum syariat Islam itu sendiri ialah hukum syariah yang 
diambil dari empat sumber utama. Sumber pertama ialah kitab suci umat 
Islam, yaitu Alquran, sebagai sumber segala sumber hukum. Sumber 
utama yang kedua ialah Hadisyang kedudukannya tidak dapat dipisahkan 
dengan Alquran itu sendiri. Hadisyaitu  sekumpulan keterangan, 
baik berupa ucapan, tindakan, maupun sikap (qawlun, fi‘liyyun, 
taqrÄ«riyyun) Rasululllah Saw. terhadap berbagai masalah kehidupan yang 
sangat terjaga. Sumber ketiga hukum syariah ialah ijmak para ulama. 
Ijma‘ ‘berarti pandangan para mujtahid atau kesepakatan pendapat dari 
para ahli hukum Islam terhadap permasalahan atau pertanyaan yang 
dihadapi oleh warga  pada masa tertentu. Sumber keempat yaitu 
qiyas atau analogi. Qiyas yaitu  proses yang diambil oleh para 
mujtahid berhubungan dengan permasalahan yang meragukan dengan cara membandingkan permasalahan ini  dengan masalah -masalah  yang 
hampir serupa dan sudah ditetapkan dengan jelas dalam Alquran maupun 
Hadis. Alquran dan Hadis sering juga disebut sebagai dalil (argument) 
yang kebenarannya mutlak (al-adillah al-qaį¹­‘iyyah), adapunijma‘ dan 
qiyas dikategorikan sebagai dalil (source) yang dihasilkan melalui 
pembahasan yang mendalam (ijtihad/examining andexercising) terhadap 
suatu permasalahan berasaskan dalil ijtihad (al-adillah al-ijtihādiyyah). 
Dengan keempat sumber hukum ini, syariah akan mampu diaplikasikan 
dalam berbagai kegiatan dan dinamika kehidupan manusia di dunia serta 
menangani berbagai masalah kehidupan dunia. Keempat-empat sumber 
ini secara formal diterima oleh seluruh ahli hukum baik Hanafi, Maliki, 
Syafi‘i, maupun Hambali. Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, 
kadangkala didapati masalah-masalah yang tidak secara langsung dapat 
dipecahkan dengan merujuk pada keempat-empat sumber tadi. Oleh 
sebab itu, para ahli hukum Islam (fuqahā’) juga memakai  sumber￾sumber lain sebagai tambahan, seperti ijtihad itu sendiri, ma‘rÅ«f atau 
‘urf (adat kebiasaan setempat yang tidak bertentangan dengan Alquran 
dan al-Hadis), maį¹£laįø„ah mursalah (pertimbangan untuk kemanfaatan), 
istiįø„sān (pertimbangan untuk kebaikan), dan istiį¹£įø„āb (pertimbangan 
terhadap sesuatu yang lebih disukai). Dari semua sumber hukum 
tambahan ini  di atas dalam pelaksanaannya tetap harus mengacu 
pada keempat-empat sumber hukum utama.15
Dari sumber hukum di atas, kita wajib melaksanakan ajarannya, 
karena perkataan syariah juga memiliki hubungan dengan kata dÄ«n yang 
berarti patuh, taat, atau mengikuti. Dengan demikian, subjek dari syariah
ialah Allah. Syariat yaitu hukum ilahi, yaitu ketentuan-ketentuan Tuhan 
yang wajib ditaati baik oleh individu maupun warga 16. Kewajiban mengamalkan syariat Islam yaitu  kewajiban yang tidak dapat di 
elakkan, dan yaitu  keharusan syar‘iyyah atas penguasa. Jika dilihat 
dari segi tanggungjawab pelaksanaannya, yaitu  kewajiban sosial 
yang harus dilaksanakan oleh semua lapisan warga  dari lapisan 
paling bawah hingga lapisan paling atas,17merangkumi semua amalan, 
termasuk dalam kegiatan ekonomi. Dari aspek ekonomi pun kita mesti 
tunduk dan menyerah diri kepada Allah. Segala sesuatu mesti dirujuk 
kepada perintah Allah baik dari segi halal, haram, sunat, wajib, maupun 
makruh.18
Manfaat dari pelaksanaan Syariat Islam ialah kesejahteraan hidup di 
dunia dan di akhirat, karena syariat yaitu  suatu niįŗ“ām (aturan) bagi 
kedua ini  . ini  bergantung kepada iman dan akhlak, serta 
pemerintah untuk mengesahkan hukum (membuat menjadi Undang￾Undang).19 Begitu juga kegiatan ekonomi, akan menjadi ibadah dan 
mendapat pahala, jika dilakukan mengikut syarat-syarat yang telah 
ditetapkan, baik dari segi aqidah, akhlak, maupun syariat.20 Jika syariat ini 
tidak dilaksanakan dampak negatifnya akan merusakkan semua aspek, 
seperti akidah, ibadah, sosial, politik dan hukum, dan bahkan ekonomi. 
Contoh dalam aspek ekonomi, kekuasaan ekonomi dunia pada saat ini 
berada di bawah kekuasaan kapitalisme dan sosialisme. warga  tidak 
pernah memperoleh hak dan keadilan seperti yang dipropagandakan 
oleh mereka yang membawa faham ini . Bahkan sebaliknya, terjadi 
peperangan antara beberapa kelas sosial, kezaliman sosial, penjajahan 
karena golongan, penumpukan kekayaan, kemiskinan, pengangguran 
dan berbagai masalah lain yang muncul setiap hari. Riba menyebar keseluruh sendi-sendi ekonomi, perbedaan taraf antara yang kaya dan sang
miskin terlalu tinggi, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. 
Selain itu, pelaksanaan kewajiban membayar zakat dan sedekah yang 
diwajibkan dan dianjurkan oleh agama tidak dilaksanakan.21 Pelaksanaan 
syariat secara konsisten dalam semua aktivitas kehidupan akan melahirkan 
sebuah sistem yang baik dan sejahtera (įø„ayātan į¹­ayyibah) sebagaimana 
yang dijanjikan Allah s.w.t.
Maqāį¹£id atau tujuan dan rahasia yang dibentuk oleh Syāri‘ (Allah 
Ta‘ala) di dalam setiap peraturan (syarÄ«‘ah)22 ialah Allah Ta‘āla menurunkan 
syariat-Nya dengan tujuan menjaga dan menjamin kesejahteraan 
manusia di dunia dan di akhirat. SyarÄ«‘ahislāmiyyah yang difardukan 
kepada manusia dalam seluruh aspek kehidupan manusia mempunyai 
tujuan yang terperinci.23 Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Al-Syāį¹­ibÄ« 
mengenai tahap-tahap tujuan syariah atau yang dikenal dengan maqāį¹£id 
syar‘iyah.Tahap-tahap ini  ialah įøarÅ«riyyāt, įø„ājiyyāt dan taįø„sÄ«niyyāt.
Tahap maqāį¹£id yang paling penting disebut sebagai įøarÅ«riyyāt, yakni 
suatu asas yang amat perlu bagi mencapai tujuan (maį¹£laįø„ah) hidup di 
dunia dan di akhirat. Jika salah satu maqāį¹£id itu tidak terpenuhi, maka 
binasalah kehidupan dunia dan akhirat. Maqāį¹£id al-įøarÅ«riyyāt ini  
secara berurutan adalah: (1) menjaga agama, (2) menjaga nyawa diri, (3) 
menjaga akal, (4) menjaga keturunan, dan (5) menjaga harta. 
Aspek perekonomian ada dalam urutan kelima. Dalam konteks ini, 
tidak heran kalau Allah Swt. mensyariatkan “kontrak kepemilikan” seperti 
jual beli dan kaedah-kaedah lain seperti hibah, serta mengharamkan 
perbuatan mencuri, menipu, merasuah, melakukan riba dan lain-lain. 
Islam juga mengharamkan pemubaziran dan merusakkan harta benda baik dalam konteks individu atau negara. Semua aturan ini  diatur 
oleh Islam dengan jelas. 24
1.4 Relasi Ekonomi dan Hukum dalam Perspektif Islam
Ilmu ekonomi yaitu suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku 
manusia baik selaku individu maupun kelompok warga  dalam 
memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual, yang mana 
kebutuhan ini  cenderung menjadi tidak terbatas, sedang  sumber 
untuk memenuhi kebutuhan ini  sangat terbatas. Pelaksanaan 
perilaku ekonomi ini  berupa bagaimana, untuk apa dan oleh siapa 
organisasi faktor-faktor produksi dilaksanakan, distribusi barang dan jasa 
serta peruntukannya dalam suatu negara dilakukan.25
Kegiatan ekonomi, banyak didefinisikan sebagai sebatas kegiatan 
manusia yang terlibat dalam produksi, konsumsi, dan distribusi, 26 dan 
tidak dihubungkan dengan dasar, proses dan tujuan pelaksanaan aktivitas 
ini  bagi keberadaan manusia sebagai makhluk yang mulia.27 Konsep 
kesejahteraan yang yaitu  tujuan dari kegiatan ekonomi dan menjadi 
idaman bagi setiap orang hanya diukur pada peningkatan material 
semata-mata dengan mengabaikan naluri kerohaniannya. Manusia dalam 
proses ekonomi hanya diletakkan sebagai bagian dari salah satu faktor 
peningkatan produksi (objek) dan bukan sebagai subjek yang menjadi 
penggerak utama kegiatan ini . Dalam keadaan ini , nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan kepada manusia, hanya diukur sejauhmana 
dapat memberi  sumbangan dalam proses produksi ini .
Pada aspek inilah, kita melihat kegiatan ekonomi seolah-olah berdiri 
sendiri, terlepas dari dinamika dan aturan-aturan, terlepas dari nilai-nilai 
dan institusi-institusi yang dapat menjamin kesejahteraan (falāįø„) yang 
seharusnya menjadi rujukan dalam kegiatan ekonomi, yang salah satunya 
yaitu hukum. 
Pembangunan ekonomi yang yaitu  bagian dari pembangunan 
pada saat ini sedang menuju ke arah penekanan kepentingan tentang 
hukum dan ekonomi. Hubungan hukum dan ekonomi yaitu  salah 
satu ikatan klasik antara peraturan dan kehidupan sosial. Dipandang dari 
sudut ekonomi, kepentingan untuk memakai  hukum sebagai salah 
satu instrumen dalam warga  yaitu  satu langkah yang turut 
menentukan kebijakan ekonomi yang akan diambil.
Pemahaman terhadap hukum sangat penting karena hukum hampir 
dipakai dalam semua bidang kehidupan dan mengatur ruang lingkup 
kegiatan manusia hampir semua bidang kehidupan termasuk di dalamnya 
kegiatan ekonomi.Hukum juga dapat mempengaruhi hubungan antara 
manusia dalam warga . Hukum ini berfungsi untuk mengatur 
kegiatan-kegiatan ekonomi agar dalam membangunkan ekonomi, hak 
dan kepentingan warga  tidak diabaikan. Disamping itu, ia menjadi 
landasan untuk mencapai sasaran dalam pembangunan ekonomi. 
Beberapa tahun terakhir fenomena eratnya hubungan antara 
ekonomi dan hukum tampak semakin kentara sehingga apa yang disebut 
hukum ekonomi dewasa ini semakin populer. Hukum ekonomi yaitu  
keseluruhan kaedah peraturan yang mengatur segala sesuatu yang 
berkaitan dengan kegiatan dan kehidupan ekonomi.Hukum ekonomi 
bersifat lintas sektoral, nasional, interdisiplin dan transnasional.Prinsip Hukum Islam, ditinjau dari kaca mata paradigma ekonomi 
mencoba mencari jawaban atas pertanyaan mendasar mengenai apa, 
bagaimana, untuk apa, dan mengapa Allah Swt. menciptakan alam semesta. 
Pencarian jawaban atas permasalahan ini , secara umum, yaitu upaya 
mewujudkan kemaslahatan manusia dan bukan kerusakan dan permusuhan.
Sistem ekonomi berdasar  prinsip syariah bukan hanya sarana 
untuk menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi, tetapi juga yaitu  
sarana untuk menyalurkan sumber daya yang ada kepada orang-orang 
yang berhak menurut syariah, sehingga tujuan efisiensi ekonomi dan 
keadilan dapat dicapai secara bersamaan.30 Chapra menegaskan bahwa 
kesuksesan pencapaian ekonomi berdasar  prinsip syariah yaitu  
pertanda telah terciptanya lingkungan warga  yang sempurna.
Namun demikian, tujuan ini  tidak mungkin tercapai tanpa usaha 
yang maksimal.Jadi, diperlukan strategi untuk memperbaiki sistem sosio￾ekonomi secara menyeluruh.Perubahan ini  harus disertai dengan 
perubahan sistem politik, hukum, ekonomi dan sosial, yang melibatkan 
kerjasama semua warga  suatu negara. Hanya dengan cara demikian, 
manfaat ekonomi berdasar  prinsip syariah dapat dirasakan dan diraih 
oleh seluruh lapisan warga .31
Dalam usaha mengubah struktur ini , ajaran Islam menggariskan 
agar dalam prosesnya selalu mematuhi ketentuan-ketentuan hukum 
yang dibenarkan. Dalam proses memperoleh hak milik misalnya, Islam 
mengajarkan bahwa konsep pemilikan pada dasarnya yaitu milik Allah 
dan bersifat mutlak sedang  kepemilikan pada manusia yaitu bersifat 
nisbi atau relatif sebagai amanah dari Allah. Mengacu pada konsep ini, 
para fuqaha merumuskan beberapa cara memperoleh kepemilikan Iįø„raz al-mubāhāt yaitu  jalur penguasaan harta yang belum 
dimiliki oleh seseorang atau lembaga hukum lainnya. Contohnya menangkap 
ikan di laut lepas dan hasilnya dibawa pulang. Penguasaan harta mubah
dengan cara ini dianggap sebagai proses kepemilikan awal tanpa didahului 
oleh pemilik sebelumnya. lalu takhalluf yaitu penguasaan harta 
melalui pergantian hak milik. ini  dapat terjadi misalnya melalui pewarisan 
(seseorang menerima harta warisan dari pewaris yang meninggal). Sementara 
itu, perolehan kepemilikian melalui ‘aqd yaitu  proses perpindahan hak 
milik berdasar  transaksi. Bentuk yang terakhir ini dapat terjadi sesudah  
proses kesepakatan antara dua pihak untuk memindahkan hak milik dari satu 
pihak kepada pihak lain misalnya dalam transaksi jual beli, sewa, dan lain-lain 
yang dilakukan melalui akad/perjanjian.
Dari ketiga bentuk penguasaan hak milik ini , bentuk akad 
yaitu  bagian yang paling utama dalam proses pemilikan. Akad ini 
yaitu  hukum perikatan yang yaitu  bagian penting dalam 
proses kegiatan ekonomi. Tanpa akad, maka semua transaksi yang 
berkaitan dengan kegiatan ekonomi dapat dianggap tidak sah (voidable)
dan batal demi hukum (null and void).
Oleh karena itu, kaitan antara kegiatan ekonomi dan hukum tidak 
dapat dipisahkan dalam pandangan ajaran Islam.Hubungan ini  dapat 
dilihat lebih jelas dalam kerangka sistem hukum Islam. Dengan demikian, 
sistem ekonomi Islam yaitu  penerapan ilmu ekonomi dalam 
pelaksanaan sehari-hari bagi individu, keluarga, kumpulan warga  
maupun pemerintah/penguasa dalam rangka menyeimbangkan faktor 
produksi, konsumsi, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan 
berdasar  norma hukum Islam.
Hukum Islam dan ekonomi yaitu dua bagian yang tidak dapat 
dipisahkan dalam suatu warga  Islam. Hukum tanpa dukungan 
ekonomi sulit diterapkan dan dilaksanakan. Ekonomi yang mengabaikan hukum akan memicu ketidakstabilan dalam warga . Semakin 
baik pelaksanaan hukum Islam dan ekonomi semakin besar peluang 
hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang pelaksanaan hukum 
Islam dan ekonomi, semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan.
Secara sistematik, hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga, 
yaitu:32(1) Hukum i‘tiqādiyyah (aqidah). Hukum ini mengatur hubungan 
rohaniah manusia dengan Yang Maha Kuasa dalam masalah keimanan dan 
ketaqwaan.(2) Hukum khuluqiyah(akhlak). Hukum ini mengatur hubungan 
manusia dengan manusia dan makhluk lain dalam hubungan beragama, 
berwarga , dan bernegara. Dalam hukum khuluqiyah ini mencakup 
hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang yaitu  kunci menuju 
akhlak sesama makhluk. (3) Hukum syar‘iyyah (syariah). Hukum ini mengatur 
hubungan hidup lahiriyah antara manusia dengan makhluk lain, dengan 
Tuhan-Nya selain bersifat rohani, dan dengan alam sekitar.
Hukum syariah secara prinsip dapat dirangkum dalam dua kelompok, 
yaitu ibadah dan muamalah.Maksud ibadah dalam arti khusus/sempit, 
ialah hubungan manusia dengan Tuhan seperti salat, puasa, zakat, dan 
ibadah-ibadah utama lainnya. Dalam ini  ibadah dilihat dari segi arti 
khusus karena arti umum dari ibadah yaitu mencakup hubungan manusia 
dengan makhluk lain yang dilakukan bertujuan mendapat rida dari Allah 
Ta‘ala. sedang  hukum muamalat yaitu aturan yang terkait dengan 
hubungan manusia dengan sesama dan dengan makhluk lain sekaligus.
Hukum muamalah terdiri dari lima bagian:33 (1) Hukum perdata 
(mu‘āmalat), yaitu ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan 
sesama manusia mengenai harta benda dan segala hak milik yang 
berupa material termasuk bentuk-bentuk hak-hak dan kewajiban masing￾masing hubungan ini ; (2) Hukum perkawinan, yaitu peraturan 
yang mengatur hubungan sesama manusia yang berhubungan dengan
kebutuhan biologis, hak dan kewajiban suami isteri, keharmonisan 
keluarga, perceraian dan sebagainya; (3) Hukum waris, yaitu hukum 
yang berkaitan dengan harta benda yang dipicu oleh kematian; (4) 
Hukum jinayah (jināyāt), yaitu hukum yang berhubungan dengan jiwa, 
akal, dan kehormatan manusia; (5) Hukum siyasah (politik), yaitu hukum 
yang berhubungan dengan kenegaraan dan pengaturannya. 
berdasar  klasifikasi ini , kegiatan ekonomi yang yaitu  
bagian dari hukum Islam, dapat dilihat pada Tabel 1.34
Tabel 1.1
Kegiatan Ekonomi dalam Hukum Islam
Hukum Ekonomi Hubungan
Ibadah
maliyah
Zakat, infaq, 
sedekah
Pemerataan pendapatan
Munakahat Nafkah dan harta 
bersama
Memenuhi kebutuhan 
pokok
Mawāris Wasiat dan tirkah Takhalluf
Muamalah 
māliyah
Jual beli, sewa 
menyewa, dll
Akad/perikatan
Jināyah Larangan mencuri, 
menipu, riba, dan 
lain-lain
įø„ifįŗ“ al-māl/ memelihara 
harta
Siyāsah 
(politik)
Sumber 
pendapatan 
Negara: 
ghanÄ«mah,fay‘, 
jizyah, dan ZIS
Pemerataan pendapatan 
dan pengembangan 
warga

berdasar  klasifikasi ini , kegiatan ekonomi sebagai bagian 
dari muamalah, menjadi objek perbahasan dalam hukum muamalah. 
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekonomi dan hukum dalam 
hukum Islam yaitu  satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 
saat  melakukan pembahasan dan kegiatan ekonomi maka akan terkait 
didalamnya aspek-aspek hukum. Oleh karena itu, tinjauan hukum dalam 
ekonomi menjadi bagian penting dalam materi ilmu ekonomi.
Sumber dan asas hukum ekonomi Islam, ciri-ciri ekonomi Islam ialah 
Islam itu sendiri yang meliputi tiga asas pokok. Ketiganya secara prinsip 
dan bersama-sama mengatur teori ekonomi dalam Islam, yakni asas 
akidah, asas akhlak, dan asas hukum. 
Asas akidah yaitu  tempat asas hukum dan asas akhlak berpijak. 
Oleh karena itu, dasar kajian asas akidah tidak dapat dihindari dalam 
kajian tentang sistem ekonomi Islam secara umum. Asas akidah memberi 
landasan pandangan hidup terhadap Tuhan, alam, dan sesama manusia.
Namun demikian, asas akhlak tidak dapat ditinggalkan karena menjadi 
pendorong dan mengatur motivasi dan tujuan yang tidak dapat dijangkau 
oleh hukum. Sementara itu, asas hukum menjadi landasan tingkah laku 
lahiriah individu dalam hubungannya dengan warga .
Dalam asas-asas hukum ekonomi Islam, asas hukum yaitu  
dasar bagi terbentuknya suatu kaidah hukum. Asas ini lahir dari dasar￾dasar filosofi tertentu yang bersifat abstrak dan umum serta mempunyai 
kerja yang luas. Asas ini mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan 
etika. Asas ini tersusun dalam bentuk kaedah hukum. Kaedah hukum 
tidak boleh bertentangan dengan asas hukum. Dengan kata lain, kaedah 
hukum yaitu  wujud dari asas hukum.
Asas hukum ekonomi yaitu efisien, sama rata, kekeluargaan, 
keseimbangan dan kesinambungan dalam mencapai kemakmuran rakyat, 
dan pembangunan yang berorientasi lingkungan dan kebebasanJenis-jenis kaedah hukum dalam sistem ekonomi Islam perlu dinilai 
berdasar  empat kriteria, yaitu efisien ekonomi, syariah, sumber daya 
warga , dan kesinambungan. Setiap kriteria berhubungan dengan 
kriteria lain. Contoh kriteria efisiensi ekonomi bukan saja disatukan 
dengan norma-norma dan hukum syariah dan sistem etika Islam, tetapi 
juga dengan kriteria yang mampu memajukan warga . Demikian pula 
efisiensi itu perlu dikaitkan dengan kelangsungan sistem jangka panjang 
suatu usaha atau proyek.
ada hubungan yang erat antara ekonomi dan hukum dalam 
perspektif Islam, keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan 
yang lain. Hukum berfungsi mengatur kegiatan ekonomi yang bertujuan 
supaya tidak mengabaikan hak dan kepentingan warga .
Syariah sebagai suatu pedoman hidup, yang salah satunya mengatur 
bagaimana pelaksanaan kegiatan ekonomi, yaitu yaitu  syariah 
yang mesti ditaati dan diikuti oleh setiap muslim. Tujuan pelaksanaan 
syariah itu sendiri yaitu melahirkan sebuah sistem yang baik dan 
sejahtera įø„ayātan į¹­ayyibah sesuai dengan maqāį¹£id syarÄ«’ah.


Sebagaimana tradisi Islam klasik, dalam konteks hukum positif 
Indonesia, ada tiga makanisme dan lembaga-lembaga yang dapat 
menyelesaikan persengketaan dalam dunia bisnis dan perBankan. 
Mekanisme ini  adalah; 1) perdamaian (di dalam atau di luar 
mahkamah); 2) Arbitrase dan; 3) proses sidang (proses pengadilan).106
Berkaitan dengan persengketaan yang mungkin terjadi antara Bank￾Bank syariah dengan para penggunanya atau pihak-pihak yang berkaitan 
dengannya, maka antara cara penyelesaian yang dapat ditempuh yaitu 
sebagai berikut Sulh yaitu sistem perdamaian (dading) baik dengan melibatkan pihak 
ketiga atau tanpa melibatkan pihak ketiga.Cara dan mekanisme model 
ini dijadikan sebagai langkah utama dan awal dalam menyelesaikan 
sengketa bisnis dengan mencerminkan nilai-nilai fitrah asasi kemanusiaan 
yang universal, yaitu cinta damai (Sulh), musyawarah, kekeluargaan 
(ukhuwah) dan setia kawan (takaful). Dalam mekanisme ini para pihak 
(disputing parties) diberikan kebebasan cara menyelesaikan sengketanya, 
baik dengan melibatkan pihak ketiga sebagai representasi masing￾masing pihak yaitu meminta bantuan negosiator, atau dengan melibatkan 
pihak ketiga sebagai fasilitator dan penengah yang tidak berpihak kepada 
siapa seperti model konsultasi (jasa konsultasi/ulama) atau mediasi (jasa 
mediator) sebagaimana telah dilembagakan dengan ADR.
Selain itu, mekanisme sulh ini juga dapat dilaksanakan dengan tidak 
melibatkan pihak lain, baik sebagai wakil maupun sebagai mediator, 
seperti menyelesaikan sengketa secara musyawarah kekeluargaan, baik 
secara tertutup (kalangan internal saja), maupun secara terbuka atau 
disaksikan pihak lain, seperti hakim atau yang lainnya, sebagaimana 
model konsiliasi atau dading di mahkamah.
Alasan tentang sulh (ADR/dading) menjadi alternatif pertama dan 
utama yaitu karena: a) dalam al-Qur’an (surat al-Hujurat ayat 9 dan 10) 
ditegaskan bahwa dalam hal terjadi sengketa, perselisihan atau pertikaian 
sekalipun, dianjurkan untuk didamaikan atau para pihak yang terlibat 
disyariatkan untuk menempuh jalan perdamaian dalam penyelesaiannya; 
b) menempuh mekanisme sulh atau ADR jauh lebih efektif dan efisien, 
jika dibandingkan dengan menempuh mekanisme arbitrase atau bahkan 
proses peradilan. ini  karena kedua mekanisme ini telah terikat dengan 
berbagai formalitas, seperti hukum acara yang pada akhirnya akan 
menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan baik bagi salah satu pihak maupun kedua belah pihak, seperti mengambil waktu yang lama dan 
pemubaziran waktu dan mengeluarkan biaya yang lebih besar. 
3.2.2. Proses Sidang Peradilan (Kekuasaan Kehakiman)108
Proses pengadilan sebagai salah satu lembaga yang dapat 
menyelesaikan sengketa yang terjadi, dinilai sebagai alternatif terakhir jika 
cara damai dan arbitrase tidak dapat menyelesaikan sengketa itu (the last 
resort). Dalam hal penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan atas 
prinsip-prinsip syariah melalui mekanisme Pengadilan (litigasi), ada 
beberapa kendala yang bersifat umum, baik di Lembaga Pengadilan 
Negeri, maupun Lembaga Pengadilan Agama. Kendala-kendala ini  
adalah: Pertama, belum tersedianya hukum material baik yang berupa 
akta, maupun kompilasi tentang akta perniagaam Islam. Kedua, masih 
sedikitnya pejabat yang bertugas seperti: hakim, penyidik, pengacara, 
panitera, dan juru sita yang menguasai dan memahami undang-undang 
bisnis Islam. Ketiga, tidak adanya kompetensi mutlak pada masing-masing
pengadilanyang secara khusus menangani undang-undang bisnis Islam. 
Keempat, dalam hal jinayah, belum tersedia lembaga penyidik khusus 
yang berkelayakan dan menguasai undang-undang syariah. 
Dalam hal penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan 
berdasar  prinsip-prinsip syariah akan dilimpahkan ke Pengadilan 
Negeri, maka kelebihan-kelebihnya yaitu tidak bertentangan dengan
asas individu, telah memiliki wewenang atau hak mutlak hukum 
perBankan, tingkat resistensi pada tingkatan lembaga tinggi negara akan 
lebih rendah, serta mengurangi kesan eksklusif Bank syariah.
Adapun kelemahan-kelemahan yang menjadi kendala khusus, jika 
penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan memakai  prinsip￾prinsip syariah diserahkan ke Pengadilan Negeri (pengadilanbukan 
syariah), antaranya: a) hukum material yang ada belum semuanya sesuai dengan syariat Islam dan pegawai pengadilan negeri belum 
mempunyai pengetahuan dalam bidang undang-undang Islam. Namun 
sebaliknya, jika penyelesaian sengketa terhadap bisnis yang dilaksanakan 
memakai  prinsip-prinsip syariah dilimpahkan ke Pengadilan Agama, 
maka akan memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut: a) pemahaman 
hukum Islam pegawai-pegawainya, seperti hakim, panitera, juru sita dan 
lainnya, lebih memahami dibandingkan dengan di Pengadilan Agama. Hal 
ini akan lebih memperkuat posisi Pengadilan Agama dalam hal keluasan 
wewenang hak mutlak dan mendapat dukungan dari warga  Islam. 
Adapun kelemahan-kelemahan yang menjadi kendala khusus, jika 
wewenang mengadili perkara sengketa bisnis yang dilaksanakan atas 
dasar prinsip-prinsip syariah dilimpahkan ke PengadilanSyariah yaitu 
bertentangan dengan azas personaliti keIslaman UU. No. 7 tahun 1989 
tentang Pengadilan Agama, terkesan ekslusif padahal nasabah Bank 
Islam tidak hanya umat Islam, dan belum memiliki hak mutlak mengenai 
undang-undang bisnis.
Persoalan dipersengketaan atau perselisihan yang tidak dapat 
diselesaikan baik melalui jalan perdamaian (sulh), maupun arbitrase 
(tahkim), akan diselesaikan melalui cara hukum di pengadilan. Menurut 
pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Undang-undang 
No.35 Tahun 1999 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, secara 
jelas menyebutkan bahwa di Indonesia ada 4 (empat) badan pengadilan, 
yakni; Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Administrasi 
Negara, dan pengadilan Militer.109
Pengadilan Negeri mempunyai bidang kuasa memeriksa, mengadili 
dan memutuskan semua perkara sipil dan jinayah yang berlaku dikalangan 
penduduk, di luar perkara-perkara sipil tentang perkawinan, waris, waqaf, 
hibah, dan sedekah di kalangan mereka yang beragama Islam. Menurut Undang-undang No.7 Tahun 1989 masalah-masalah di atas menjadi 
bidang kuasa Pengadilan Agama , serta di luar perkara-perkara yang 
oleh para pihak telah ditunjuk badan Arbitrase untuk menyelesaikannya, 
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 Tahun 
1999.110
Pengadilan Agama, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 49 Undang￾Undang No.7 Tahun 1989, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus 
dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama, antara orang￾orang yang beragama Islam dalam bidang; a) perkawinan; b) warisan, 
wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasar  hukum Islam; c) wakaf dan 
sedekah. Bidang perkawinan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah 
hal-hal yang diatur dalam atau berdasar  Undang-Undang mengenai 
perkahwinan yang berlaku. Adapun bidang kewarisan sebagaimana yang 
dimaksudkan dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang 
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan 
bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta 
peninggalan ini . 111
Pengadilan Administrasi Negara berkuasa memeriksa, mengadili dan 
memutuskan perkara-perkara pelanggaran administrasi yang dilakukan 
oleh pegawai negara. Pengadilan Militer berkuasa memeriksa, mengadili 
dan memutuskan perkara-perkara jinayah yang dilakukan oleh anggota 
militer. Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 
1970 menyebutkan; “Undang-Undang ini membedakan antara empat 
lingkungan pengadilan yang masing-masing mempunyai lingkungan 
kewenangan mengadili tertentu dan meliputi lembaga-lembaga tingkat 
pertama dan tingkat banding. Pengadilan Militer dan Administrasi 
Negara yaitu  pengadilan khusus, karena mengadili perkara￾perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat pada umumnya baik

perkara perdata, maupun jinayah. Perbedaan dalam empat lingkungan 
pengadilan ini, tidak menutup kemungkinan ada pengkhususan dalam 
masing-masing lingkungan. Contohnya, dalam Pengadilan negeri, dapat 
diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak, 
Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-undang”.112
Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing alternatif penyelesaian 
sengketa ada kekurangan dan kelebihannya. Tabel berikut ini yaitu  
perbandingan pada sisi kekuatan dan sisi kelemahan di antara berbagai 
alternatif penyelesaian sengketa .
Sejarah Badan Arbitrase Syariah, Musywarah Kerja Nasional Majelis 
Ulama Indonesia pada tahun 1992, menampilkan salah satu makalah yang 
disampaikan oleh H. Hartono Mardjono, SH, yaitu tentang arbitrase 
berdasar  Syariat Islam. lalu  pada 22 April 1992, Dewan Pimpinan 
MUI, mengundang musyawarah para pakar, penegak hukum, cendikiawan 
muslim dan para ilmuwan dari beberapa perguruan tinggi serta para ulama 
guna bertukar fikiran tentang perlu atau tidak arbitrase Islam. Majelis 
Ulama Indonesia (MUI) dengan SK No. Kep.392/MUI/V/1992 pada 4 Mei 
1992 membentuk kelompok kerja Pembentukan Badan Arbitrase Islam, 
panitia ini  mempunyai tugas: a) menyusun rancangan Anggaran 
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga , b) merancang struktur organisasi, 
c) merancang susunan anggota kepengurusan, d) menyusun rancangan 
prosudur berperkara dan biaya perkara, e) merancang kriteria arbiter, f) 
Investasi calon arbiter. Penandatanganan Akte Pendirian Badan Abitrase 
Syariah Nasional (Sebagai Yayasan) dilaksanakan pada 05 .Jumadil Awal 
1414H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 dihadapan Nyonya 
Lely Roostiati Yudo Paripurno SH. Badan Arbitrase ini berbentuk yayasan 
dan dalam bentuk hukum yang berdiri sendiri. Selama duapuluh tahun 
menjalankan fungsi dan tugasnya, Badan Arbitrase Syariah Nasional 
telah menangani, memeriksa dan memutuskan puluhan sengketa yang 
diajukan kepada lembaga ini.114
Tujuan utama didirikannya Badan Arbitrase Syariah Nasional (seperti 
dalam anggaran dasar pasal 4 : (1) memberi  penyelesaian yang adil dan
cepat dalam sengketa-sengketa muamalah/perdata yang timbul dalam 
bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain, (2) menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa 
ada suatu sengketa untuk memberi  suatu pendapat yang mengikat 
mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian ini .115
Badan Arbitrase ini dibentuk khusus antara lain untuk menyelesaikan 
sengketa perdata dibidang perBankan syariah. Jika usaha musyawarah 
kekeluargaan informasi (sulh/ADR) belum dapat menyelesaikan 
sengketa, maka usaha lalu yaitu dengan menunjuk lembaga 
“perwasitan” yang lebih formal, yaitu badan arbitrase. Usaha ini dipilih 
dengan pertimbangan bahwa sistem arbitrase memiliki keuntungan 
tertentu, seperti: lebih menjaga rahasia kedua belah pihak dan biaya 
yang relatif lebih murah, jika dibandingkan dengan proses pengadilan. 
Upaya penyelesaian persengketaan yang menyangkut perBankan syariah 
dengan para nasabahnya dalam undang-undang yang akan disusun 
harus dirujuk kepada sebuah institusi arbitrase Islam (tahkim). Arbitrase 
Islam yang tetap di Indonesia sudah ada yakni BASYARNAS.
Melihat berbagai ketentuan yang ada, maka keberadaan BASYARNAS 
yaitu sah dan memiliki landasan jelas.Meskipun dalam pelaksanaannya 
BASYARNAS mesti menyesuaikan diri dengan berbagai peraturan yang 
ada. ini  tidak lain agar kepentingan para pihak dapat terjamin 
dan mendapat kepastian hukum yang jelas dalam sistem kekuasaan 
kehakiman Indonesia dan pengakuan secara yuridis formil. Namun secara 
substansial, BASYARNAS haruslah memuat nilai-nilai yang tidak boleh
keluar dari ketentuan syariat. ini  karena yang akan memakai  jasa 
ini mayoritas ialah umat Islam. Memandang bahwa umat Islam semakin 
maju, tentu saja dalam pilihan hukum (choice of law) yang akan dipilih 
yaitu hukum/syariat Islam, maka BASYARNAS sebagai sebuah alat yang 
melengkapi sistem hukum di Indonesia, minimum memiliki tiga kriteria 
dalam kerangka ini: a) Para Arbiter seharusnya meletakkan kepentingan 
para pihak secara menyeluruh, seimbang dan tidak merugikan para pihak. Di sini asas menegakkan keadilan harus dijunjung tinggi selaras dengan 
kehendak syariat; b) Nilai-nilai keadilan yang tercermin dalam Pancasila 
harus dijadikan salah satu acuan pokok dalam menyelesaikan sengketa 
melalui arbitrase Islam; c) BASYARNAS harus diakui oleh pemerintah 
Republik Indonesia (RI) dari sudut Tata Hukum di Indonesia. 
Alasan mengapa arbitrase (BASYARNAS) dijadikan pilihan kedua 
sesudah  sulh dalam menyelesaikan persengketaan yaitu arbiter Muslim 
lebih menghayati hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan hukum 
bisnis Islam, sehingga keputusan-keputusan yang akan diambil sesuai 
dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Dasar pemikiran keberadaan badan arbitrase:116 a) Pasal 1338 KUH 
perdata (sivil); b) Legalitas keberadaan dan kewenangan Badan Arbitrase 
saat ini yaitu UU no. 30 Tahun 1999.
Kebebasan membuat perjanjian yaitu  prinsip mutlak 
dalam hukum perjanjian, maka kebebasan ini  juga meliputi 
kebebasan para pihak untuk menyatakan kesepakatannya. Contohnya 
mereka dapat membuat perjanjian dan akibatnya berlaku syariah 
Islam. Jika dikehendaki, maka setiap orang Islam yang menginginkan 
dilaksanakannya hukum syariah Islam dalam melaksanakan perjanjiannya, 
hendaklah mencantumkan pada akhir kalimat surat perjanjian dengan 
kalimat sebagai berikut: “Kedua belah pihak telah bersepakat, bahwa 
untuk perjanjian ini dan segala akibatnya berlaku syariah Islam.”
Kebebasan itu juga meliputi kebebasan para pihak yang membuat 
perjanjian untuk menetapkan cara-cara penyelesaian sengketa jika hal itu 
terjadi, yaitu dengan menentukan sesiapa yang akan mereka pilih atau 
diberi kuasa untuk menyelesaikannya. Bagi kaum Islam, dalam setiap 
aktivitas muamalah, lebih memilih untuk melakukannya berdasar 
syariah Islam, maka penunjukkan kepada Badan Arbitrase Syariah 
Nasional (BASYARNAS) yaitu  salah satu cara yang baik.
. Mekanisme dan Prosudur Penyelesaian Sengketa di 
BASYARNAS
Diantara prosudur BASYARNAS, akan diuraikan secara garis besar 
sebagai berikut:
(1) Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, 
industri, keuangan, jasa dan lain-lain yang mana para pihak sepakat 
secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada 
BASYARNAS sesuai dengan Peraturan Prosudur BASYARNAS. (Bab 1 
pasal 1)
(2) Permohonan, pengajuan permohonan atau prosudur arbitrase dimulai 
dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan 
arbitrase oleh sekretaris dalam daftar BASYARNAS. Perhitungan 
tempo masa atas segala penerimaan pemberitahuan surat menyurat, 
dianggap terhitung pada hari disampaikan. Perhitungan tempo waktu 
mulai berjalan yaitu pada hari berikut sesudah  penerimaan. Jika hari 
terakhir dalam jangka waktu ini  hari libur umum, perhitungan 
tenggang waktu yaitu hari berikut dari hari libur. Surat permohonan 
harus memuatkan sekurang-kurangnya: a) nama lengkap, tempat 
tinggal kedua belah pihak, b) suatu uraian singkat tentang kedudukan 
sengketa, c) apa-apa yang dituntut. Pada surat permohonan harus 
dilampirkan: a) salinan dari naskah kesepakatan yang secara khusus 
menyerahkan pemutusan sengketa kepada BASYARNAS. Pendaftaran 
permohonan disertai dengan pembayaran biaya pendaftaran. (Bab II)
(3) Penetapan Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis dilakukan oleh Ketua 
BASYARNAS, Ketua BASYARNAS berhak juga menunjuk seorang ahli 
dalam bidang khusus yang diperlukan menjadi arbiter, selain dari 
para Anggota Dewan arbiter yang telah didaftar pada BASYARNAS. 
Jika yang bersengketa keberatan atas penunjukan para arbiter, dapat mengajukan keberatannya disertai dengan alasannya berdasar  
hukum. (Bab III).
(4) Acara Persidangan, selama proses dan pada setiap tahap persidangan 
berlangsung, Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis harus memberi 
perlakuan dan kesempatan yang sama sepenuhnya kepada masing￾masing pihak untuk membela dan mempertahankan kepentingannya. 
Setiap dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada arbiter 
tunggal atau arbiter majelis, salainnya harus diberikan kepada pihak 
lawan. Dalam pemeriksaaan dapat dihadirkan saksi ahli. Persidangan 
terdiri dari tahap jawab menjawab (replik-duplik). Persidangan 
persidangan dilakukan di tempat kedudukan BASYARNAS, kecuali ada 
persetujuan dari kedua belah pihak, pemeriksaaan dapat dilakukan 
di tempat lain, putusan harus diambil dan dijatuhkan ditempat 
kedudukan BASYARNAS. Bahasa, dalam permohonan, bantahan,
jawaban, keberatan, panggilan, pemberitahuan maupun usul 
ditulis dan disampaikan dalam bahasa Indonesia, begitu juga saat 
persidangan Perdamaian, terlebih dahulu arbiter akan mengusahakan 
tercapainya perdamaian. jika usaha ini  behasil, maka arbiter 
tunggal atau arbiter majelis akan membuatkan akte perdamaian. 
jika perdamaian tidak berhasil, maka arbiter akan meneruskan 
persidangan terhadap sengketa yang dimohon (Bab IV)
(5) Berakhirnya Persidangan, jika Arbiter menggangap persidangan 
telah cukup, maka arbiter akan menutup persidangan itu dan 
menetapkan suatu hari sidang guna mengucapkan putusan yang 
diambil. Arbiter akan mengambil dan mengucapkan putusan dalam 
suatu sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak jika salah satu tidak 
hadir, keputusan tetap diucapkan, sepanjang kepada para pihak telah 
disampaikan panggilan secara patut. Tiap-tiap penetapan dan putusan 
dimulai dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahim, diikuti dengan 
Demi keadilan berdasar  Ketuhanan yang Maha Esa. Seluruh proses 
persidangan sampai dengan diucapkannya putusan oleh arbiter akan 
diselesaikan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu enam bulan 
habis, terhitung sejak tanggal dipanggilnya pertama kali para pihak 
untuk menghadiri sidang pertama persidangan (Bab V)(6) Pengambilan putusan, putusan mesti membuat alasan-alasan kecuali 
para pihak menyetujui putusan tidak perlu membuat alasan Putusan 
BASYARNAS yang sudah ditandatangani oleh arbiter bersifat final dan 
mengikat (final and binding) kepada para pihak yang bersengketa, 
dan wajib mentaati serta segera memenuhi pelaksanaanya. Salinan 
putusan yang telah ditandatangani oleh arbiter mesti diberikan 
kepada masing-masing Pemohon atau Termohon. Permintaan
pembatalan putusan hanya dapat dilakukan berdasar  salah satu 
alasan berikut: a) penunjukan arbiter tidak sesuai dengan ketentuan 
yang diatur BASYARNAS, b) putusan melampaui batas kewenangan 
BASYARNAS, c) putusan melebihi dari yang diminta oleh para pihak, 
d) ada penyelewengan diantara salah seorang anggota arbiter, e)
putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok peraturan prosudur 
BASYARNAS., f) putusan tidak memuat dasar-dasar alasan yang menjadi 
landasan pengambilan putusan. Biaya arbitrase : a) jika tuntutan 
sepenuhnya dikabulkan atau pendirian sipemohon seluruhnya 
dibenarkan, biaya administrasi dan persidangan dibeBankan kepada 
sitermohon, b) jika tuntutan ditolak, biaya administrasi dan 
persidangan dibeBankan kepada sipemohon, c) jika tuntutan 
sebagian dikabulkan, biaya adiministrasi dan persidangan dibagi 
antara kedua belah pihak menurut ketetapan yang dianggap adil oleh 
arbiter, d) honorium bagi para arbiter selamanya dibeBankan oleh 
kedua belah pihak (VI).
Sesuai hasil wawancara tentang “Mekanisme Penyelesain Sengketa 
di BASYARNAS”, yang penulis lakukan dengan salah seorang pengurus 
BASYARNAS, Beliau mengatakan120, “ sehubungan dengan Biaya 
persidangan arbitrase lebih leluasa dari persidangan melalui pengadilan. 
Biaya persidangan melalui pengadilan yaitu atas beban negara yang 
sangat terbatas, sedang  biaya persidangan melalui arbitrase yaitu 
atas beban pihak yang kalah , atau dalam hal tuntutan hanya dikabulkan 
sebagian biaya arbitrase dibeBankan kepada para pihak secara seimbang. 
Biasanya lama waktu diperlukan dalam beracara di BASYARNAS dari proses persidangan sampai dengan diucapkan putusan (Time Limit 
= Ruration of Arbitration), max ± 6 bulan, normalnya antara 2-3 bulan 
tergantung persidanganya”
Seterusnya beliau menjelaskan 121“ memakai  jasa BASYARNAS 
sebagai jalur hukum dalam penyelesaian sengketa muamalat dirasakan 
biaya perkara relatif murah dan proses perkara lebih cepat.hakam
atau arbiter dalam BASYARNAS, harus ahli dalam bidangnya, paling 
sedikit memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya 
15 tahun. disyaratkan seorang muslim, faham dalam bidang hukum 
muamalat, minimal mempunyai gelar sarjana, juga memahami syariah 
Islam dangan baik. Arbiter dipilih sendiri oleh masing-masing pihak yang 
bersengketa. Bila memakai  badan arbitrase, para pihak hanya dapat 
memilih arbiter yang telah terdaftar sebagai anggota panel arbiter. Bila 
mengunakan arbitrase ad-hoc, para pihak bebas memilih siapa saja untuk 
menjadi arbiter. Sengketa dapat diselesaikan baik dengan arbiter tungal 
atau majelis arbiter. Arbiter tunggal ini  harus disepakati oleh kedua 
belah pihak. Hambatan yang dirasakan oleh pihak BASYARNAS dalam 
penyelesaian sengketa adalah, para pihak enggan hadir dan menggulur 
waktu dalam proses beraracara. Alamat pelanggan yang kurang jelas, 
sehingga menyulitkan pengiriman surat dan pencarian alamat.”
Governing law yang diterapkan di BASYARNAS, Syariat Islam; 
Quran dan Sunnah serta KUHP Perdata dan Undang-undang Tentang 
PerBankan Tahun 1998. Diakui pihak BASYARNAS dalam pemutusan 
perkaranya sejauh ini belum terjadi benturan antara undang-undang 
konvensional ini  dengan syariat, kalaupun terjadi pihak BASYARNAS 
akan mendahulukan hukum syariat
BASYARNAS sebagai penerapan konsep tahkim, ini  dapat terlihat 
dari tujuan Badan Arbitrase Syariah ialah: 
(1) surah al-Hujurat ayat 9, mendamaikan orang yang bersengketa itu 
menjadi suatu perintah “dan jika ada dua golongan (pihak) dari orang￾orang mukmin berperang (bersengketa) maka damaikanlah antara 
keduanya secara adil”
(2) taqrir Nabi Muhammad S.a.w. terhadap tindakan abu syuraykh
sebagai arbiter/hakam dalam penyelesaian sengketa antara 
warga nya dengan prinsip perdamaian. Menurut A. Wasit Aulawi, 
semata-mata dikarenakan tahkim itu mengadung nilai-nilai positif 
dan juga konstruktif (membangun), yakni:1) kedua pihak menyadari 
Sepenuhnya perlunya penyelesaian yang terhormat dan bertanggung 
jawab; 2) secara sukarela mereka menyerahkan penyelesaian 
persengketaan itu kepada orang atau lembaga yang disetujui 
dan dipercayainya; 3) secara sukarela mereka akan melaksanakan 
keputusan dari arbitrase sebagai konsekuensi atas kesepakatan 
mereka mengangkat arbiter. Kesepakatan mengandung janji dan 
janji itu harus ditepati, surahal-Isra’:24; 4) mereka menghargai hak 
orang lain sekalipun orang lain; 5) mereka tidak ingin merasa benar 
sendiri dan mengabaikan kebenaran yang mungkin ada pada orang 
lain; 6) mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran 
bernegara/berwarga , sehingga dapat dihindari tindakan main 
hakim sendiri; 7) sesungguhnya pelaksanaan tahkim itu di dalamnya 
mengandung makna musyawarah dan perdamaian. 
(3) Menurut Hartono Mardjono, bila lembaga peradilan lebih menitik
beratkan pada diberlakukannya ketentuan-ketentuan hukum yang 
bersifat kaku, maka badan arbitrase syariah akan menitik beratkan 
pada tugas dan fungsinya untuk mencari titik temu diantara para 
pihak yang tengah berselisih melalui proses yang digali dari ruh 
ajaran dan akhlak Islam menuju jalan iĆ®lah. Tujuan utama didirikannya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia dan 
kini menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional, dapat kita ikuti isi dari 
pasal 4 Anggaran Dasar Yayasan Badan Arbitrase Syariah Nasional, 
yaitu: 1) memberi  penyelesaian yang cepat dalam sengketa￾sengketa mumalah/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, 
industri, keuangan, jasa dan lain-lain; 2) menerima permintaan yang 
diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian pendapat yang 
mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian 
ini .
Menurut HS. Prodjokusumo, Sekertaris Umum Majelis Ulama 
Indonesia MUI, bahwa gagasan pendirian Badan Arbitrase Syariah 
Nasional, tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial
ekonomi ummat Islam.