Rabu, 13 September 2023

imigrasi 2


sedemikian rupa sehingga kegiatan pelayanan yang 
ada lebih mudah mewujudkan kinerja yang maksimal. Variabel 
iklim, suasana dan kerangka pengambilan keputusan ini  
secara teknis dapat dilihat sebagai variabel manajemen, sumber 
daya manusia dan sarana serta prasarana yang terkait dengan 
bekerjanya kegiatan pelayanan di lingkungan Kementerian 
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sistem manajemen yang dibutuhkan dalam rangka 
mewujudkan kegiatan pelayanan yang efektif dan 
berkualitas haruslah bermuara pada apa yang kita sebut 
sebagai Total Quality Management. ini  berarti bahwa 
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, termasuk 
pula tingkat Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan 
Hak Asasi Manusia, haruslah melengkapi diri dengan 
kebijakan-kebijakan operasional yang menjamin bahwa 
kegiatan pelayanan BVK, dengan memperhatikan 
beberapa unsur, yakni (1) memfokuskan diri pada fungsi 
kegiatan, (2) selalu berobsesi terhadap kualitas pelayanan 
yang diberikan. 
2. Kebijakan Sumber Daya Manusia
Kebijakan dalam bidang Sumber Daya Manusia 
dalam konteks peningkatan efektivitas dan kualitas kerja, 
khususnya dalam kegiatan pelayanan yang harus diambil 
oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, termasuk 
pula tingkat Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan 
Hak Asasi Manusia, adalah Kebijakan penempatan dan 
pemberdayaan petugas menuju pada spesialisasi tugas. 
Spesialisasi tugas akan membuat pekerjaan menjadi lebih 
efisien, karena petugas akan melaksanakan fungsi tunggal 
sehingga konsentrasi dan tanggung jawab mereka akan lebih baik dibandingkan apabila semua petugas bersama￾sama melakukan beberapa tugas yang terpisah.
3. Kebijakan di bidang Sarana dan Prasarana
Ada kebijakan di bidang sarana dan prasarana yang 
terkait dengan peningkatan efektivitas dan kualitas 
kegiatan pelayanan yang dapat diambil oleh Kementerian 
Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya Kantor 
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 
yakni kebijakan yang mengarah pada permintaan anggaran 
melalui APBN Kementerian Hukum dan Hak Asasi 
Manusia maupun dari jalur atau sumber-sumber lainnya. 
C. Strategi
Menyadari bahwa kondisi efektivitas pelayanan yang 
ada hingga saat ini belumlah maksimal maka perlu kiranya 
dilakukan strategi tertentu guna mewujudkan kebijakan￾kebijakan pengembangannya.
Namun demikian, perlulah kita sadari bahwa apapun 
kebijakan yang akan diambil guna meningkatkan efektivitas 
dan kualitas kegiatan pelayanan haruslah didasari oleh 
beberapa hal terlebih dahulu, yakni: (1) tekad yang kuat 
dalam diri setiap pihak yang terkait, (2) harus adanya persepsi 
kesejajaran prioritas urusan, (3) harus adanya rasa keterbukaan 
dan saling mendukung di antara unit kerja yang ada, (4) harus 
adanya mekanisme kontrol yang siap dilaksanakan terhadap 
tugas dan tanggung jawab ini , (5) mekanisme kontrol ini harus dilakukan baik oleh tingkat Pusat maupun Kantor 
Wilayah yang bersangkutan. 
Untuk melakukan suatu perubahan seringkali memang 
tidaklah mudah, apalagi bila menyangkut perubahan yang 
bersifat fundamental dan menyeluruh. Biasanya setiap 
perubahan (meskipun mengarah pada kebaikan bersama) pasti 
menghadapi penolakan. Sikap menolak perubahan merupakan 
perilaku yang umum terjadi. Berkaitan dengan perubahan 
ini , ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Perubahan sulit berhasil bila manajemen puncak tidak 
menginformasikan proses perubahan secara terus menerus 
kepada para petugas atau karyawannya;
2. Persepsi petugas atau karyawan atau interpretasinya 
terhadap perubahan sangat mempengaruhi penolakan 
terhadap perubahan.
Ada beberapa persyaratan untuk melaksanakan perubahan 
bagi pengembangan kegiatan pelayanan. Persyaratan ini  
meliputi komitmen dari atasan puncak, dan pembentukan 
infrastruktur yang mendukung penyebarluasan dan perbaikan 
berkesinambungan, yakni: (1) Komitmen dari atasan puncak, 
(2) Komitmen atas sumber daya yang dibutuhkan, (3)
Infrastruktur yang mendukung penyebarluasan dan perbaikan 
berkesinambungan.
Berbagai usaha  kebijakan yang telah dirancang bagi 
pengembangan kegiatan pelayanan dapat diuraikan sebagai 
berikut:
1. usaha  pengembangan bidang manajemen
Guna mewujudkan kebijakan dalam manajemen, 
yakni: 
a. Mewujudkan suatu sistem pelayanan pelayanan yang 
berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan sasaran 
pelayanan melalui kegiatan evaluasi kebutuhan 
dan kepuasan pengguna jasa ini  melalui suatu 
penelitian yang dirancang secara seksama dan ilmiah;
b. Untuk selalu dapat berobsesi pada kualitas pelayanan, 
maka diperlukan suatu sosialisasi etos kerja 
terhadapnya dan menerapkan sistem ”reward and 
punishment” di antara petugas yang bersangkutan 
sesuai dengan prestasi kerjanya.
2. usaha  di bidang Sumber Daya Manusia
Beberapa kebijakan di bidang Sumber Daya Manusia 
yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja petugas atau 
karyawan di bidang pelayanan, antara lain adalah:
a. Penataan Sumber Daya Manusia, yang dimaksudkan 
untuk lebih mengefisiensikan perekrutan sumber daya 
manusia yang akan dipekerjakan di bidang pelayanan. 
b. Penugasan baru bagi petugas atau karyawan yang 
terpilih perlu segera disahkan dan disertai suatu uraian job description” yang jelas bahwa mereka mualai saat 
itu ditempatkan dalam bidang pelayanan pelayanan 
dan tidak diperkenankan merangkap pekerjaan lain.
c. Jenjang karier dan kepangkatan di bidang pelayanan 
pelayanan ini lalu akan diberlakukan sama 
dengan unit kerja-unit kerja lainnya di lingkungan 
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
3. usaha  di bidang Sarana dan Prasarana
Berbagai usaha  yang dapat dilakukan dalam rangka 
realisasi kebijakan pengembangan kegiatan pelayanan di 
bidang Sarana dan Prasarana, antara lain adalah:
a. Melakukan rencana pengajuan anggaran yang 
termasuk diantaranya adalah anggaran bagi 
peningkatan kebutuhan akan sarana dan prasarana 
bagi kegiatan pelayanan, 
b. Serta meneliti kembali kemungkinan penggunaan atau 
pengalihan anggaran, sesuai dengan peraturan yang 
berlaku, yang diperuntukkan bagi pengembangan 
sarana dan prasarana bagi kegiatan pelayanan.
E. Teori Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang 
mana meliputi interaksi banyak faktor (Grizzle dan Pettijohn, 
2002). Pendekatan yang dipakai  dalam menganalisis 
implementasi Performance Based Budgeting ini adalah teori 
yang dikemukakan oleh George C. Edward III. Menurut Edwards (1980),9
 ada empat variabel dalam implementasi kebijakan 
publik yaitu Komunikasi (communications), Sumberdaya 
(resources), Sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur 
birokrasi (bureucratic structure). Menurut Edwards (1980), 
ke empat faktor ini  harus dilaksanakan secara simultan 
karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan 
yang erat. Penjelasan ke empat faktor ini  adalah sebagai 
berikut:
1. Komunikasi 
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran￾ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu￾individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan 
kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan 
demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para 
pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar 
dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors 
mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan 
itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu 
proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa 
menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi 
yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang 
berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa 
yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan 
harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. 
Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima 
oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan 
akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para 
aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan 
spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti 
apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor 
kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan 
sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil 
yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para 
implementor secara serius mempengaruhi implementasi 
kebijakan.
 2. Sumber daya
Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten 
implementasi program dan bagaimana akuratnya 
komunikasi dikirim. Jika personel yang bertanggungjawab 
untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya 
dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini 
meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi 
yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan 
kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam 
pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin 
bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yang diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung 
yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program 
seperti dana dansarana prasarana.Sumber daya manusia 
yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat 
tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna 
karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan 
baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas 
maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/
kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. 
Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar 
dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan 
pelaksana program ini dipicu karena kebijakan 
konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka 
dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan 
kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus 
menguasai teknik-teknik kelistrikan. Informasi merupakan 
sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. 
Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi 
bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta 
bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang 
harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung 
kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang￾undang. Kenyataan di lapangan bahwa tingkat pusat 
tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana di 
lapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana 
melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung 
seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana 
tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan in￾efisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah 
yang ada. Sumber daya lain yang juga penting adalah 
kewenangan untuk menentukan bagaimana program 
dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur 
keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun 
pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk 
melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti 
kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa 
fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
 3. Disposisi atau Sikap
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas 
implementasi kebijakan adalah sikap implementor. 
Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari 
kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan 
senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan 
pembuat kebijakan maka proses implementasi akan 
mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon 
implementor terhadap kebijakan; kesadaran pelaksana, 
petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program 
kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari 
respon ini . Para pelaksana mungkin memahami 
maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami 
kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat 
karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya 
sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari 
implementasi program. Disamping itu dukungan para 
pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat 
mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai 
tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan 
pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi 
prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang￾orang yang mendukung program, memperhatikan 
keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin 
dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu 
penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif 
bagi para pelaksana program agar mereka mendukung 
dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/
program.
4. Struktur Birokrasi
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, 
tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur 
birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola￾pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam 
badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik 
potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki 
dalam menjalankan kebijakan. Kebijakan yang komplek 
membutuhkan kerjasama banyak orang. Unsur yang 
mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam 
implementasi kebijakan diantaranya tingkat pengawasan hierarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan 
proses-proses dalam badan pelaksana.10
Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan 
karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan 
yang erat. Tujuan kita adalah meningkatkan pemahaman 
tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan pengertian 
dengan cara mem-breakdown (diturunkan) melalui eksplanasi 
implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi 
kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi 
interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor 
mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya 
terhadap implementasi
Bila sumber daya cukup untuk melaksanakan suatu 
kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang 
harus dilakukan, implementasi masih gagal apabila struktur 
birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan 
dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek 
membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan 
sumber daya akan mempengaruhi hasil implementasi. 
Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi 
individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam 
birokrasi.
Menurut Grindle dalam Samodra12: ”Implementasi 
kebijakan pada dasarnya ditentukan oleh isi kebijakan dan 
konteks kebijakan”. Isi kebijakan menunjukkan kedudukan 
pembuat kebijakan sehingga posisi kedudukan ini akan 
mempengaruhi prosese implementasi kebijakan, kontek 
kebijakan ini meliputi kekuasaan, kepentingan dan strategi 
aktor-aktor yang terlibat.
Pencapaian keberhasilan suatu kebijakan sangat 
tergantung pada pelaku yang mempunyai peranan di luar 
kebijakan. Oleh karena itu dalam menentukan keberhasilan 
suatu program maka model kesesuaian D.C Korten dalam 
Tjokrowinoto13merupakan bentuk yang ideal untuk mencapai 
keberhasilan suatu program/kebijakan. Keberhasilan suatu 
program juga akan terjadi jika terdapat kesesuaian antara 
hasil program dengan kebutuhan sasaran, syarat tugas tugas 
pekerjaan program dengan kemampuan organisasi pelaksana, 
serta proses pengambilan keputusan organisasi pelaksana 
dengan sarana pengungkapan kebutuhan sasaran. Keterkaitan 
antara elemen-elemen dalam pelembagaan dapat digambarkan 
sebagai berikut:
Di dalam gambar terlihat bahwa organisasi sebagai 
salah satu fokus penelitian harus mempunyai kemampuan 
menyediakan mekanisme untuk mengkonversikan aspirasi 
dan kebutuhan obyektif warga  menjadi keputusan 
organisasi, melengkapi organisasi dengan berbagai sumber 
dan memobilisasikan untuk dapat memenuhi tuntutan 
pelaksanaan program sedemikian rupa sehingga output
program akan disesuaikan dengan kebutuhan warga . 
Untuk memahami kebijakan publik banyak sekali faktor yang 
mempengaruhi keberhasilan kebijakan. Pada hakekatnya 
kebijakan publik berada dalam suatu sistem, dimana kebijakan 
dibuat mencakup hubungan timbal balik antara tiga elemen 
yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Berikut ini skema tiga elemen sebagaimana yang 
digambarkan W. Dunn
Tampak Bahwa kebijakan merupakan serangkaian pilihan 
yang saling berhubungan yang dibuat oleh pejabat pemerintah 
dan diformulasikan ke dalam berbagai masalah (isu) yang 
timbul, sedang  pelaku kebijakan adalah para individu 
atau kelompok individu yang mempunyai peran yang dapat 
dipengaruhi dan mempengaruhi kebijakan. Dari pendapat 
ini  dapat diidentifikasi bahwa mekanisme kebijakan 
menunjukkan adanya keterpengaruhan antara pelaku 
kebijakan, kebijakan itu sendiri dan lingkungan kebijakan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh E.S. Quade15bahwa 
dalam proses implementasi kebijakan akan terjadi interaksi 
dan reaksi dari organisasi palaksana, kelompok, sasaran 
dan faktor-faktor lingkungan yang mengarah pada konflik, 
sehingga membutuhkan suatu transaksi sebagai umpan balik 
yang dipakai  oleh pengambil keputusan dalam rangka 
merumuskan suatu kebijakan. Proses implementasi kebijakan 
ini dapat digambarkan sebagai berikut:
lalu implementasi kebijakan publik menurut 
Winarno16 (1998:72): ”Model proses implementasi terdapat 
6 (enam) variabel yang membentuk kaitan (Linkage) antara 
kebijakan dan pencapaian (peformance). Variabel-variabel 
ini  merupakan variabel bebas dan variabel terikat yang 
saling berhubungan satu sama lainnya, adapun keenam 
variabel ini  adalah (1) ukuran-ukuran dasar dan tujuan, 
(2) sumber-sumber, (3) komunikasi antar organisasi dan 
kegiatan-kegiatan pelaksana, (4) karakteristik-karakteristik 
badan pelaksana, (5) kondisi ekonomi, sosial dan politik, (6) 
kecenderungan pelaksana-pelaksana. Jadi dalam implementasi 
kebijakan terdapat variabel-variabel yang saling berhubungan 
membentuk kaitan antara kebijakan publik dan pencapaian 
yang diharapkan.
Menurut Daniel Mazmanian dan Paul A.Sabatier dalam 
Wahab17: ”Mempelajari masalah implementasi kebijakan 
berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi 
sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan 
yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang timbul 
sesudah disahkannya suatu kebijakan, baik menyangkut 
usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha￾usaha untuk memberikan dampak tertentu pada warga ”.

Konsep mengenai implementasi menurut menurut kamus 
Webster dalam Wahab18: berasal dari kata to implement 
(mengimplementasikan) yang juga berarti menyediakan 
sarana untuk melaksanakan sesuatu dan to give practical effect 
to (menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu), 
termasuk tindakan yang dipilih oleh pemerintah untuk 
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Senada dengan pendapat 
sebelumnya, bahwa variabel organisasi pengimplementasi 
akan mempengaruhi kebijakan yang ada, dalam implementasi 
kebijakan sebenarnya disadari bahwa tidak semua alternatif 
secara komprehensif dapat mengatasi semua permasalahan 
yang muncul.
Menurut Widaningrum dalam Samodra19menyatakan 
bahwa ”Tidak setiap kebijakan yang dirumuskan pemerintah 
dapat dijalankan dengan baik dan membuahkan hasil yang 
diharapkan”. Disebutkan pula tentang tekanan dari berbagai 
pihak, dalam ini  dapat dikatakan juga mengenai pentingnya 
pengawasan yang dilakukan dalam implementasi kebijakan. 
Pengertian pengawasan sebagaimana dikemukakan oleh 
Henry Fayol dalam Lubis (1988:25) menyebutkan: ”…. Dalam 
setiap usaha, pengawasan terdiri atas tindakan meneliti apakah 
segala sesuatu tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana 
yang telah ditetapkan berdasar  intruksi-intruksi yang telah 
dikeluarkan, prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Pengawasan
bertujuan menunjuk atau menemukan kelemahan-kelemahan 
itu ….”. 
Sejalan dengan ini   penulis akan mengadopsi 
pendapat George C. Edwards III yang menyatakan bahwa 
variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan adalah: 
Komunikasi, Sumber daya, Disposisi dan Struktur birokrasi.
Melihat rumusan pendapat para ahli sebagaimana ini  
di atas, pada dasarnya terdapat unsur kesamaan tujuan yang 
akan dicapai dalam hal mempelajari implementasi, yaitu 
kesuksesan implementasi kebijakan. Namun demikian ada 
sedikit fenomena titik tekan dari masing-masing pendapat, 
George Edwards III dan Merilee S. Grindle menitik beratkan 
kajiannya pada mekenisme kinerja implementasi yang 
berkecenderungan pada pola dari atas ke bawah (top-down), 
Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier menekankan pada 
kerangka analisis implementasi kebijakan, lalu E.S. 
Quade dengan memasukkan unsur tekanan dan kepentingan 
kelompok sasaran (Bottom-up).20
F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi 
Implementasi Kebijakan
Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 
60%, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan 
implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling 
berat, karena disini masalah-masalah yang kadang tidak 
dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah konsistensi implementasi (Nugroho, 
2011).21Berbagai pendekatan dalam implementasi kebijakan, 
baik terkait dengan implementor, sumber daya, lingkungan, 
metoda, permasalahan dan tingkat kemajemukan yang dihadapi 
di warga . Sumber daya manusia sebagai implementor 
mempunyai peranan yang penting dalam pengendalian 
implementasi kebijakan publik.Menurut Van Meter dan Van 
Horn (1975)22, ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja 
implementasi, yakni: (1) standar dan sasaran kebijakan; (2) 
sumberdaya; (3) komunikasi antar organisasi dan penguatan 
aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; (5) disposisi 
implementor; (6) kondisi sosial, ekonomi dan politik.
1) Standar dan sasaran kebijakan. Setiap kebijakan publik 
harus mempunyai standar dan suatu sasaran kebijakan 
jelas dan terukur. Dengan ketentuan ini  tujuannya 
dapat terwujudkan. Dalam standard dan sasaran kebijakan 
tidak jelas, sehingga tidak bias terjadi multi-interpretasi 
dan mudah menimbulkan kesalah-pahaman dan konflik 
di antara para agen implementasi.
2) Sumber daya. Dalam suatu implementasi kebijakan 
perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia 
(human resources) maupun sumber daya materi 
(matrial resources) dan sumber daya metoda (method 
resources). Dari ketiga sumber daya ini , yang paling penting adalah sumber daya manusia, karena disamping 
sebagai subjek implementasi kebijakan juga termasuk 
objek kebijakan publik.
3) Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program 
implementasi kebijakan, sebagai realitas dari program 
kebijakan perlu hubungan yang baik antar instansi yang 
terkait, yaitu dukungan komunikasi dan koordinasi. Untuk 
itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi 
bagi keberhasilan suatu program ini . Komunikasi 
dan koordinasi merupakan salah satu urat nadi dari 
sebuah organisasi agar program-programnya ini  
dapat direalisasikan dengan tujuan serta sasarannya.
4) Karakteristik agen pelaksana. Dalam suatu implemen￾tasi kebijakan agar mencapai keberhasilan maksimal 
harus diidentifikasikan dan diketahui karakteristik agen 
pelaksana yang mencakup struktur birokrasi, norma￾norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam 
birokrasi, semua itu akan mempengaruhi implementasi 
suatu program kebijakan yang telah ditentukan.
5) Disposisi implementor. Dalam implementasi kebijakan 
sikap atau disposisi implementor ini dibedakan menjadi 
tiga hal, yaitu; (a) respons implementor terhadap 
kebijakan, yang terkait dengan kemauan implementor 
untuk melaksanakan kebijakan publik; (b) kondisi, yakni 
pemahaman terhadap kebijakan yang telah ditetapkan; 
dan (c) intens disposisi implementor, yakni preferensi nilai 
yang dimiliki ini .
6) Kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi. 
Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi 
kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan 
memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; 
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau 
menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di 
lingkungan dan apakah elite politik mendukung 
implementasi kebijakan.
Menurut Grindle (1980),23 bahwa keberhasilan 
implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh dua variabel 
yang fundamental, yakni isi kebijakan (content of policy) dan 
lingkungan implementasi (context of implementation). 
1) Variabel isi kebijakan. Variabel isi kebijakan mencakup 
hal sebagai berikut, yaitu; (1) sejauh mana kepentingan 
kelompok sasaran atau target groups termuat dalam 
isi kebijakan publik; (2) jenis manfaat yang diterima 
oleh target group; (3) sejauh mana perubahan yang 
diinginkan oleh kebijakan. Dalam suatu program yang 
bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran 
relatif lebih sulit diimplementasikan daripada sekedar 
memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada 
sekelompok warga  miskin; (4) apakah letak sebuah 
program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah 
menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) 
sumberdaya yang disebutkan apakah sebuah program 
didukung oleh sumberdaya yang memadai.2) Variabel lingkungan kebijakan. Variabel lingkungan 
kebijakan mencakup hal-hal sebagai berikut; (1) seberapa 
besar kekuatan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki 
oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; 
(2) karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa; 
(3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983),24 ada tiga 
kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan 
implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah (tractability 
of the problems); (2) karakteristik kebijakan/undang-undang 
(ability of statute to structure implementation); (3) variabel 
lingkungan (nonstatutory variables affecting implementations).
Karakteristik masalah:
1) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. 
Di satu pihak ada beberapa masalah sosial secara teknis 
mudah dipecahkan, seperti kekurangan persediaan air 
minum bagi penduduk atau harga beras tiba-tiba naik.
Di pihak lain terdapat masalah-masalah sosial yang sulit 
dipecahkan, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi 
dan sebagainya. Oleh karena itu, sifat masalah itu sendiri 
akan mempengaruhi mudah tidaknya suatu program 
diimplementasikan.
2) Tingkat kemajemukan kelompok sasaran. Ini berarti bahwa 
suatu program relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya homogen. Sebaliknya, apabila 
kelompok sasarannya heterogen, maka implementasi 
program akan relatif lebih sulit, karena tingkat pemahaman 
setiap anggota kelompok sasaran program relatif berbeda.
3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. 
Sebuah program akan relatif sulit diimplementasikan 
apabila sasarannya mencakup semua populasi. Sebaliknya, 
sebuah program relatif mudah diimplementasikan apabila 
kelompok sasarannya tidak terlalu besar.
4) Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah 
program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau 
bersifat kognitif akan relatif mudah diimplementasikan 
daripada program yang bertujuan mengubah sikap dan 
perilaku warga . Sebagai contoh, implementasi 
Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas 
dan Angkutan Jalan sulit diimplementasikan karena 
menyangkut perubahan perilaku warga  dalam berlalu 
lintas.
Karakteristik kebijakan:
1) Kejelasan isi kebijakan. Ini berarti semakin jelas dan rinci isi 
sebuah kebijakan akan mudah diimplementasikan karena 
implementor mudah memahami dan menterjemahkan 
dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi 
kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam 
implementasi kebijakan.
2) Seberapa jauh kebijakan ini  memiliki dukungan 
teoritis. Kebijakan yang memiliki dasar teoritis memiliki sifat yang lebih mantap karena sudah teruji, walaupun 
beberapa lingkungan sosial tertentu perlu ada modifikasi.
3) Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan 
ini . Sumberdaya keuangan adalah faktor krusial untuk 
setiap program sosial. Setiap program juga memerlukan 
dukungan staf untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan 
administrasi dan teknis, serta memonitor program, yang 
semuanya itu perlu biaya.
4) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar 
berbagai institusi pelaksana. Kegagalan program sering 
dipicu kurangnya koordinasi vertikal dan horizontal 
antar instansi yang terlibat dalam implementasi program.
5) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan 
pelaksana.
6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.
masalah  korupsi yang terjadi di negara-negara dunia ketiga, 
khususnya negara kita salah satu sebabnya adalah rendahnya 
tingkat komitmen aparat untuk melaksanakan tugas dan 
pekerjaan atau program-program
7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk 
berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. Suatu 
program yang memberikan peluang luas bagi warga  
untuk terlibat, relatif mendapat dukungan daripada 
program yang tidak melibatkan warga . warga  
akan merasa terasing atau teralienasi apabila hanya menjadi 
penonton terhadap program yang ada di wilayahnya.Lingkungan kebijakan:
1) Kondisi sosial ekonomi warga  dan tingkat kemajuan 
teknologi. warga  yang sudah terbuka dan terdidik 
relatif lebih mudah menerima program pembaruan 
dibanding dengan warga  yang masih tertutup dan 
tradisional. Demikian juga, kemajuan teknologi akan 
membantu dalam proses keberhasilan implementasi 
program, karena program-program ini  dapat 
disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan 
teknologi modern.
2) Dukungan publik terhadap suatu kebijakan. Kebijakan 
yang memberikan insentif biasanya mudah mendapatkan 
dukungan publik. Sebaliknya, kebijakan yang bersifat dis￾insentif seperti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) 
atau kenaikan pajak akan kurang mendapat dukungan 
publik.
3) Sikap kelompok pemilih (constituency groups). Kelompok 
pemilih yang ada dalam warga  dapat mempengaruhi 
implementasi kebijakan melalui berbagai cara antara lain; 
(1) kelompok pemilih dapat melakukan intervensi terhadap 
keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui 
berbagai komentar dengan maksud mengubah keputusan; 
(2) kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk 
mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak 
langsung melalui kritik yang dipublikasikan terhadap 
kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan 
yang ditujukan kepada badan legislatif.
4) Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan 
implementor. Pada akhirnya, komitmen aparat pelaksana 
untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam 
kebijakan adalah variabel yang paling krusial. Aparat 
badan pelaksana harus memiliki ketrampilan dalam 
membuat prioritas tujuan dan lalu merealisasikan 
prioritas tujuan ini .
G. Keimigrasian
Dalam Pasal 1 UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang 
Keimigrasian disebutkan bahwa: ”Keimigrasian adalah hal 
ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah 
negara kita serta pengawasannya dalam rangka menjaga 
tegaknya kedaulatan negara”.Fungsi Keimigrasian adalah 
bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan 
pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, 
dan fasilitator pembangunan kesejahteraan warga . 
(pasal 1 angka 3 UU Keimigrasian).Sesuai dengan makna yang 
tersurat dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor 
M.01-PW.09.02 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pengolahan 
Data dan Informasi Keimigrasian dinyatakan bahwa Sistem 
Informasi Manajemen Keimigrasian adalah suatu kesatuan dari 
berbagai proses pengumpulan, pengolahan dan penyampaian 
data guna mendapatkan ingormasi keimigrasian untuk bahan 
pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan pimpinan 
lebih lanjut.Memperhatikan rumusan ini  di atas, maka 
sistem informasi manajemen keimigrasian mempunyai peranan 
strategis dalam melayani dan mengendalikan arus keluar dan
masuknya informasi keimigrasian sebagai bahan pengambilan 
dan penetapan kebijakan pimpinan yang menyangkut hal 
ikhwal keimigrasian.Sistem informasi manajemen keimigrasian 
pada awalnya diberlakukan pada tahun 1980 melalui petunjuk 
pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor 156/Sek/
VIII/1980 tanggal 6 Juni 1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan 
Terperinci mengenai penerapan Sistem Informasi Manajemen 
Keimigrasian (SIMKIM). lalu setelah adanya Undang￾Undang Nomor 9 Tahun 1992, sistem informasi manajemen 
keimigrasian ini dipertegas kembali melalui Surat Keputusan 
Menteri Kehakiman Nomor M.01-PW.09.02 Tahun 1995 
Tentang Tata Cara Pengolahan dan Informasi Keimigrasian.
Jika dilihat secara seksama, Surat Keputusan Menteri 
Kehakiman tahun 1995 ini  diatas, tidak secara eksplisit 
menyatakan pemberlakuan sistem informasi manajemen 
keimigrasian di jajaran Ditjen Imigrasi. Dalam konsiderans 
”Menimbang” dinyatakan bahwa dalam rangka peningkatan 
pelayanan, penerapan dan penegakan hukum, serta guna 
menunjang tugas pokok Direktorat Jenderal Imigrasi 
melalui proses Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian 
(SIMIKIM), perlu dilakukan pengumpulan, pengolahan dan 
penyimpanan data baik secara manual maupun elektronik 
untuk menghasilkan informasi. Namun jika ditinjau dari 
pengertian sistem informasi manajemen keimigrasian di atas, 
maka tata cara pengolahan data dan informasi keimigrasian 
adalah merupakan pelaksanaan sistem informasi manajemen 
keimigrasian. lalu Keputusan Kehakiman tentang 
pelaksanaan sistem informasi manajemen keimigrasian 
ini ditindaklanjuti dengan pentunjuk Pelaksanaan Dirjen Imigrasi No. F-316.PR.01.04 Tahun 1995 tentang Sumber 
Data, Pengolahan Data dan Penyampaian Laporan.Dengan 
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang 
Keimigrasian, maka secara tegas sistem informasi keimigrasian 
disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 yang menentukan 
bahwa:”Sistem informasi manajemen keimigrasian adalah 
sistem teknologi informasi dan komunikasi yang dipakai  
untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi 
guna mendukung operasional, manajemen dan pengambilan 
keputusan dalam melaksanakan fungsi keimigrasian”.
lalu pada Bagian kedua khususnya Pasal 7 dan 
Pasal 8 yang menentukan pula bahwa:
1. Direktur Jenderal bertanggung jawab menyusun dan 
mengelola sistem informasi manajemen keimigrasian 
sebagai sarana pelaksanaan fungsi keimigrasian di dalam 
atau di luar wilayah Indonesia;
2. Sistem informasi manajemen keimigrasian dapat diakses 
oleh instansi dan/atau lembaga pemerintahan terkait 
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem informasi 
manajemen keimigrasian merupakan satu kesatuan dari 
berbagai proses pengelolaan data dan informasi, aplikasi serta 
perangkat berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang 
dibangun untuk menyatukan dan menghubungkan sistem 
informasi pada seluruh pelaksanan fungsi keimigrasian secara 
terpadu sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 
7 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011.Hal yang menjadi 
sumber data dalam sistem informasi manajemen keimigrasian
ini adalah asal usul data baik berbentuk formulir atau kartu 
tertentu, dokumen maupun media elektronik lainnya untuk 
menghasilkan informasi keimigrasian. Dalam implementasi 
pengolahan data dapat dilakukan baik secara manual maupun 
elektronik (komputer). Namun semikian mengingat realitas 
yang ada bahwa kemajuan perkembangan teknologi yang telah 
merubah cara kerja warga  dalam aktivitasnya sehari-hari 
karena menawarkan berbagai macam fasilitas dan kemudahan￾kemudahan serta mengingat derasnya arus masuk dan 
keluarnya data dan informasi, maka era konvensional dalam 
mengolah data secara manual sudah bukan zamannya lagi.
berdasar  ketentuan ini , maka sistem informasi 
manajemen keimigrasian yang dilaksanakan saat ini terdiri 
dari:
1. Sistem Keimigrasian Warga negara negara kita yang 
meliputi:
a. Sub sistem lalulintas warga negara Indonesia
b. Sub sistem pasport
c. Sub sistem lintas batas
2. Sistem keimigrasian orang asing yang meliputi:
a. Sub sistem pengunjung singkat
1) Sub-sub sistem pengunjung singkat
2) Sub-sub sistem ijin tinggal terbatas
b. Sub sistem lalu lintas orang asing
1) Sub-sub sistem orang asing
2) Sub-sub sistem ijin tinggal tetap
3. Sistem pengamanan keimigrasian yang meliputi:
a. Sub sistem penyidikan
1) Sub-sub sistem penyidikan warga negara Indonesia
2) Sub-sub sistem penyidikan orang asing
3) Sub-sub sistem kerjasama internasional
b. Sub sistem pencegahan dan penangkalan
Pembangunan Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian 
ditujukan untuk memberikan kemudahan-kenudahan dalam 
pelaksanaan tugas di lingkungan Imigrasi. Oleh karena itu 
secara konseptual dapat dikatakan bahwa tujuan Sistem 
Informasi Manajemen Keimigrasian adalah:
1. memberikan kemudahan dan peningkatan pelayanan 
keimigrasian.
2. memberikan kemudahan dan intensivikasi pengawasan.
3. memberikan kemudahan dan transparansi laporan dan 
pengendalian.
Guna mencapai tujuan Sistem Informasi Manajemen 
Keimigrasian di atas, maka dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Merancang dan mengembangkan sistem dan prosedur 
standar untuk setiap jenis kegiatan pelayanan dan 
pengawasan keimigrasian.
2. Mengembangkan sistem data base keimigrasian yang 
tepat guna dan terpadu yang meliputi seluruh jajaran 
keimigrasian.
3. Mengembangkan sistem dokumentasi keimigrasian yang 
efisien.
4. Mengembangkan sistem pelaporan yang cepat, lengkap, 
akurat dan tepat waktu.
5. Mengembangkan sistem pengendalian yang efektif
6. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia 
dibidang teknologi informasi dan komunikasi di seluruh 
jajaran imigrasi.
7. membantu meningkatkan pendapatan negara khususnya 
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
8. Berpartisipasi dalam sistem informasi manajemen 
nasional.
9. Mengantisipasi pengembangan sistem keimigrasian 
Internasional.
Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian ini mempunyai 
ruang lingkup sebagai berikut:
1. Sistem pencegahan dan penangkalan (CEKAL).
2. Sistem kedatangan dan keberangkatan.
3. Sistem identifikasi sidik jari.
4. Sistem penerbitan dokumen imigrasi dan paspor RI.
5. Sistem manajemen data imigrasi.
6. Sistem pemantauan dan pelaporan imigrasi.
7. Sistem informasi eksekutif imigrasi.
Sistem pencegahan dan penangkalan berfungsi untuk 
mengatur pencatatan dan perubahan data orang asing yang 
dikenakan pencegahan dan penangkalan sesuai dengan 
ketentuan yang berlaku. Tujuannya adalah:
1. Mencatat dan merubah data pencegahan dan penangkalan 
di pusat Direktorat Jenderal Imigrasi.
2. Mendistribusikan data dan perubahan data cekal secara 
cepat.
3. Mendukung pemeriksaan kedatangan dan atau 
keberangkatan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). 
Pengeluaran paspor, dokumen keimigrasian, perizinan, 
visa secara cepat dan tepat.
4. Menyediakan infomasi peringatan dini tentang jangka 
waktu cekal yang hampir habis masa berlakunya.
lalu sistem kedatangan dan keberangkatan 
adalah untuk mendukung pengaturan dan pemrosesan 
sistem kedatangan dan keberangkatan pada setiap Tempat 
Pemeriksaan Imigrasi seperti pelabuhan udara, pelabuhan laut, 
pos lintas batas (boarder crossing post). Sistem ini bertujuan 
untuk memantau lalulintas keimigrasian dan melakukan 
tindakan pencegahan dan penangkalan.
Adapun fungsi sistem ini adalah:
1. Menyimpan data pemegang paspor WNI serta data 
pemegang visa/non visa WNA.
2. Memeriksa status data cekal untuk WNI dan WNA.
3. Memeriksa status perizinan keimigrasian WNI yang 
hendak berangkat ke luar negeri.
4. Memberikan informasi kepada Tempat Pemeriksaan 
Imigrasi atas keberadaan seseorang yang dikenai cegah 
tangkal bagi WNA yang sudah habis masa tinggalnya di 
indonesia.
5. Menyajikan sistem administrasi pelaporan dan data harian, 
bul;anan mengenai kedatangan dan keberangkatan.
Sistem Indentifikasi Sidik Jari merupakan sistem yang 
sangat penting dan relevan untuk tugas pengawasan. Sistem 
ini berfungsi untuk:
1. Menghindari duplikasi dalam penerbitan paspor dan 
dokumen keimigrasian seperti Kartu Izin Tinggal Terbatas 
(KITAS) dan Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP).
2. Pendeteksian masalah  khusus di Tempat Pemeriksaan 
Imigrasi misalnya bila terdapat keraguan tentang seseorang 
pemegang paspor RI.
Sistem penerbitan dokumen imirasi dan paspor RI berguna 
untuk mendukung manajemen data dokumen imigrasi dan 
paspor yang mengacu kepada Standar Operation Prosedur
atau tata cara yang standar untuk penerbitan dokumen dan 
pelayanan sejenis.
Sistem manajemen data imigrasi menyediakan bermacam￾macam jenis data keimigrasian dan pelaporan pelayanan serta 
untuk menjamin keamanan dan prosedur yang terkait dengan 
pengoperasian sehari-hari. Sistem ini bertujuan untuk:
1. Menyediakan laporan dan informasi keseluruhan tentang 
data-data yang diperlukan secara regular atau periodik.
2. Menyediakan data/informasi untuk keperluan khusus 
(based on request) baik untuk keperluan internal maupun 
inter departemental.
3. Pembatasan akses pelaksanaan dan pemantauan 
berdasar  sistem pengawasan oprasional dan keamanan 
negara dalam mengakses data serta memperbaharui data.
Sistem pemantauan dan pelaporan imigrasi menyediakan 
prosedur pemrosesan data elektronik yang diperlukan guna dicatat, disimpan dan dilaporkan atau ditindak lanjuti untuk 
keperluan administrasi dan pelaksanaan pengawasan dan 
penindakan. Sistem ini bertujuan:
1. Menyediakan laporan elektronik guna pemasukan data 
untuk disimpan dan dicatat dalam seluruh proses dan 
prosedur pengawasan dan penindakan.
2. Membantu pemakaian sistem dalam mencari dan 
memperbaharui catatan pengawasan dan penindakan.
Sistem informasi eksekutif imigrasi membantu 
mengelompokkan jenis-jenis operasional imigrasi secara 
keseluruhan dengan cara mengumpulkan, memilah serta 
menganalisa data yang akan dipresentasikan kepada ekesekutif 
untuk keperluan manajemen. Sistem ini bertujuan untuk:
1. Menyediakan data induk dan proses pelaporan.
2. Menyediakan informasi dasar yang menghasilkan petunjuk 
kepada arsu pergerakan manusia.
3. Menyediakan informasi statistik untuk membantu para 
eksekutif dalam membuat keputusan atau kebijakan.



B. Analisis Data

1. usaha  yang dilakukan dalam implementasi bebas 

visa

a. Sumber Daya Manusia

Jika dilihat dari aspek sumber daya manusia 

terkait dengan bebas visa, ada dua aspek yang harus 

diperhatikan, pertama, aspek kuantitas atau jumlah 

pegawai kantor imigrasi dan kedua, aspek kualitas 

atau kemampuan pegawai Kanim. Aspek kuantitas 

personil yang menangani proses bebas visa, diakui 

oleh beberapa informan pengkajian belum memadai. 

berdasar  hasil pengkajian, SDM keimigrasian 

sudah memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam 

mengimplementasikan kebijakan bebas visa (87,50%). 

berdasar  hasil wawancara dengan kepala divisi 

imigrasi kanwil dan beberapa pejabat keimigrasian 

di kanim, ada kompetensi yang harus dibenahi 

terkait meningkatnya perlintasan orang asing seperti 

kurangnya pengetahuan intelijen imigrasi karena 

selama ini alumni akademi keimigrasian belum ada 

penjurusan yang spesifik terkait minat dan keahlian 

yang harus diterapkan di tempat penugasan mereka 

nanti. Namun demikian, berdasar  pengakuan 

responden bahwa kuantitas SDM keimigrasian 

yang berada di kantor imigrasi, khususnya yang 

terlibat langsung di TPI belum maksimal dan masih 

membutuhkan penambahan jumlah SDM (75,00%). 

Sebagai contoh ada kanim (TPI Marina Beach Batam) yang jam kerjanya melebihi jam kerja pada umumnya 

tanpa ada konpensasi yang diberikan, di samping itu 

dengan meningkatnya arus kedatangan orang asing 

tentu saja tidak berbanding lurus dengan jumlah SDM 

yang ada. ini  tentu saja berimbas pada pelaksanaan 

kebijakan bebas visa di lapangan yang ternyata belum 

berjalan dengan baik dan maksimal (62,50%). 

Berikut ini disajikan Tabel 4 tentang SDM 

keimigrasian di UPT Kanim.Maka usaha  yang dilakukan Ditjen Imigrasi 

dengan belum maksimalnya implementasi kebijakan 

bebas visa dan minimnya jumlah SDM seperti dalam 

tabel ini  di atas, telah melakukan langkah￾langkah untuk meningkatkan jumlah personil SDM keimigrasian khususnya yang berada di TPI dan 

Wasdakim serta penguatan fungsi keimigrasian.

b. Kebijakan

Berkaitan dengan pendapat responden terkait 

kebijakan bebas visa, bahwa pada prinsipnya pihak 

keimigrasian terutama di kanim telah melaksanakannya 

dengan baik dan maksimal (66,67%) dan berindikasi 

pada kinerja pegawai yang merasa dimudahkan dalam 

melakukan proses administrasi keimigrasian (77,08%). 

Dari data yang ada terlihat pada jajaran keimigrasian 

beserta UPT Kanim telah mengimplementasikan 

kebijakan bebas visa di wilayahnya masing-masing 

(97,92%) karena memang sudah menjadi tuntutan 

dan amanat dari pemerintah berdasar  peraturan 

presiden (56,25%). Berikut ini disajikan Tabel 5 tentang 

Kebijakan mengenai Bebas Visa.Sebagai bentuk tindaklanjut dari kebijakan 

implementasi bebas visa, maka telah dilakukan 

Memorandum of Understanding (MoU) antara Menteri 

Hukum dan HAM dengan Menteri Pariwisata tentang 

pemanfaatan Data Keimigrasian untuk percepatan 

pembangunan pariwisata di Gedung Sapta Pesona 

Kementerian Pariwisata, Jakarta, pada Selasa 19 Juli 

2016. Dan juga dilakukan penandatanganan perjanjian 

kerja sama tentang dukungan data keimigrasian antara 

Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F. Sompie dan Deputi 

Bidang Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan 

Kementerian Pariwisata H.M. Ahman Sya.

Dalam MoU ini , Kementerian Pariwisata 

akan mendapatkan hak akses ke dalam Sistem 

Informasi Manajemen Keimigrasian yang meliputi 

data statistik perlintasan Warga Negara Asing (WNA) 

dan juga Warga Negara negara kita (WNI), serta 

mendapat informasi terkait data spesifik tentang 

angka kunjungan ini .Yasonna (Menkumham) mengatakan bahwa nota 

ini penting untuk akselerasi pembangunan pariwisata 

negara kita dan sebagai wujud sinergitas antara dua 

kementerian. Kemenpar memerlukan dukungan data 

digital terkait keimigrasian seperti data lintas, jumlah 

orang datang dan keluar.37

Ada tiga poin utama terkait MoU ini , 

yaitu: pertama menyangkut Pemanfaatan Data 

Keimigrasian dalam rangka Akselerasi Pembangunan 

Kepariwisataan; kedua, berkaitan dengan Index Bisnis 

Environment negara kita yakni nomor 70 dari 141 

negara. Pariwisata negara kita kalah jauh dibandingkan 

Thailand, Malaysia, bahkan dengan Singapura. Jumlah 

turis mancanegara di negara kita tahun lalu hanya 

10 juta, bandingkan dengan Malaysia sebanyak 27 

juta, dan Thailand 30 juta. Pendapatan devisa dari 

pariwisata hanya USD 10 Miliar, kalah jauh dengan 

Malaysia yang USD 21 M, dan Thailand USD 42 M; dan 

ketiga, terkait bebas visa kunjungan, harus out world 

looking. Melihat apa yang dilakukan oleh kesuksesan 

pihak lain, Singapore dan Malaysia itu sudah lebih 

dari 150 negara Bebas Visa jauh sebelum negara kita 

membuka pintu lebar-lebar buat wisman. negara kita 

jauh terlambat dalam hal Visa Fasilitation, atau dalam pantauan Competitiveness Index versi World Economic 

Forum, dimana rendahnya international openness.

38

usaha  lain yang juga dilakukan Direktorat Jenderal 

Imigrasi dalam mengimplementasikan kebijakan BVK 

adalah:39

A. Penerbitan dan penyesuaian peraturan terkait 

tindak lanjut perpres antara lain:

1). Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 

tentang Bebas Visa Kunjungan ( 45 negara), 

berupa:

a. Pelaksanaan penerapan peningkatan 

pelayanan TPI terhadap bebas visa melalui 

surat edaran Direktur Jenderal Imigrasian 

No. IMI.GR.01.02-3711;

b. Perluasan TPI dari 5 TPI menjadi 5 

TPI Udara dan 9 TPI Laut melalui 

Permenkumham Nomor 31 Tahun 2015;

2). Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2015 

tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden 

No. 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa 

Kunjungan (90 negara).
a. Perluasan TPI dari masuk 5 TPI udara dan 

9 TPI laut serta keluar dari 29 TPI udara, 

88 TPI laut dan 7 PLB (lampiran perpres);

b. Perluasan masuk TPI tertentu dan keluar 

dari TPI tertentu menjadi masuk dan 

keluar dari 29 TPI Udara, 88 TPI Laut dan 

7 PLB melalui Permenkumham No. 17 

Tahun 2016;

c. Perluasan tujuan kedatangan dari 1 tujuan 

wisata menjadi 8 tujuan (wisata, sosial, 

keluarga, tugas pemerintah, seminar, 

pameran internasional, adakan rapat, 

meneruskan ke negara lain) melalui 

edaran Direktur Jenderal Imigrasi No. 

IMI-3673.GR.01.10 Tahun 2015;

d. Pembentukan Tim PORA tingkat pusat, 

melalui Permenkumham No. M.HH-01.

GR.03.02 Tahun 2015.

3). Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 

tentang Bebas Visa Kunjungan (169 negara):

a. Penerapan perluasan tujuan kedatanngan 

melalui Permenkumham No. 17 Tahun 

2016;

b. Melakukan evaluasi awal dengan data 

Perlintasan dimulai bulan Juni 2015 s.d 

Mei 2016.40B. Melakukan sosialisasi ke Kementerian/

Lembaga/biro jasa/travel mengenai kebijakan 

bebas visa. Terkait substansi sosialisasi yang 

dilakukan, Ditjen imigrasi telah menyampaikan 

kebijakan keimigrasian, memberikan penjelasan 

penyelesaian permasalahan keimigrasian dan 

meluruskan terhadap penafsiran penerapan yang 

berbeda dari negara-negara subyek bebas visa. 

Sosialisasi yang dilakukan terhadap:

1. Kementerian Pariwisata: Jajaran Pemerintah 

Daerah; Munas ASITA se-Indonesia; Pelaku 

Bisnis Pariwista se-Jawa dan Bali; dan 

Stakeholder terkait dengan kepariwisataan di 

tingkat daerah.

2. Kementerian Luar Negeri: Perwakilan RI di 

Kanada, London, Beijing, Kuala Lumpur, 

Singapura, Hongkong; serta warga  

negara kita di luar negeri, Khusus dengan 

negara-negara Schengan, 24 negara – negara 

Eropa yang termasuk dalam skema Schengen, 

dan Khusus dengan perwakilan negara Jepang, 

China, Filiphina, Jerman, Ukraina.

Dengan bentuk sosialisasi seperti: desiminasi 

Perwakilan Asing, seluruh Perwakilan Asing 

dan entitas tertentu yang memiliki tugas misi 

diplomatik di Jakarta; dengar pendapat dengan Komisi III DPR; dan wawancara khusus dengan 

stasiun teve swasta (Dirjenim, Dirlantaskim).41

Dengan adanya kebijakan bebas visa, maka dapat 

dikatakan adanya peningkatan secara signifikan 

kedatangan orang asing ke Indonesia, sebagai 

perbandingan sepanjang tahun 2015, terdapat 

kedatangan orang asing ke negara kita sebanyak 

16.994.658 orang, diantaranya 4.930.716 orang 

memakai  bebas visa kunjungan. Pada periode 

Januari s/d Februari 2016 terdapat kedatangan 

orang asing ke negara kita sebanyak 2.671.216 Orang, 

diantaranya 1.019.157 orang memakai  bebas visa 

kunjungan. ini  tergambar dengan banyaknya orang 

asing yang memakai  bebas visa kunjungan dalam 

kurun waktu 2 bulan awal Tahun 2016 dibandingkan 

pada tahun 2015 seperti di dalam grafik berikut

Badan Pusat Statistik mengeluarkan data jumlah 

wisatawan mancanegara yang berkunjung ke negara kita 

pada September 2016, yakni mencapai 1,01 juta wisman. 

Angka ini  naik 9,4 persen dibandingkan pada 

September 2015, sedang  jika dibandingkan dengan 

Agustus 2016, angka itu mengalami penurunan sebesar 

2,45 persen. Dari 1,01 juta wisatawan mancanegara 

yang datang pada September 2016, mayoritas berasal 

dari negara Cina dengan 12,92 persen, disusul oleh 

Singapura dengan 12,71 persen, Malaysia dengan 12,15 

persen, Australia dengan 11,97 persen, dan Jepang 

dengan 5,08 persen. 

Secara kumulatif dari Januari hingga September 

2016, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung 

ke negara kita mencapai 8,36 juta, naik 8,51 persen 

dibandingkan periode yang sama di tahun lalu yang 

hanya 7,71 juta kunjungan. Dari 19 pintu masuk utama 

ke Indonesia, ada tiga pintu masuk yang menjadi 

sumber terbesar kedatangan wisman, yakni Bandara 

Ngurah Rai Bali dengan total kunjungan wisman 

sebanyak 3.595.398 orang, disusul Bandara Soekarno￾Hatta dengan 1.765.271 wisman, dan Batam dengan 

1.052.222 wisman.

Ini berarti pemberlakuan BVK secara signifikan 

meningkatkan jumlah orang asing yang berkunjung ke 

negara kita dengan memanfaatkan fasilitas BVK. Namun 

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, 

pemerintah akan mengevaluasi kebijakan bebas visa 

setelah diterapkan selama satu tahun jika ada negara yang wisatawannya tidak signifikan dan lebih banyak 

membahayakan serta melanggar aturan imigrasi.

c. Sarana-prasarana

Berikut ini disajikan Tabel 7 tentang Sarana￾Prasarana Pendukung Tentang Bebas Visa.Hal yang menarik pula disajikan dalam laporan 

ini adalah bahwa ketersediaan sarana sudah cukup 

(44,68%) begitu pula dengan prasarana yang ada 

(47,92%) namun sarana –prasarana yang ada perlu 

untuk dilakukan modernisasi, karena dianggap 

kurang modern (43,75), ini  dilakukan agar tidak 

ketinggalan perkembangan zaman dan itu menjadi 

tuntutan yang harus dipenuhi mengingat banyaknya 

arus orang asing yang keluar masuk wilayah NKRI. 

Langkah-langkah yang dilakukan oleh Ditjen Imigrasi untuk mendukung implementasi kebijakan BV adalah 

memodernkan sarana-prasarana danpenggunaan 

aplikasi online terkait PORA (tempat menginap/hotel) 

dalam rangka pengumpulan data dan informasi terkait 

orang asing.

d. Pengawasan dan Pengamananberdasar  tabel di atas ada yang harus menjadi 

perhatian serius kita, mengingat bahwa imigrasi 

adalah sebagai gerbang utama pintu masuk dan 

keluarnya orang asing ke wilayah NKRI, data di 

lapangan menunjukan bahwa faktor pengawasan 

dan pengamanan (security) terkait orang asing 

pasca pemberlakuan bebas visa adalah hal yang 

harus menjadi perhatian utama, karena ternyata ada kesulitan dalam melakukan pengawasan terhadap 

orang asing yang masuk ke NKRI (81,25%) ditambah 

lagi belum adanya MoU dengan TNI-Polri terkait 

pengawasan dan keamanan terhadap orang asing 

(83,33%). Ini berarti ada persoalan yang harus dibenahi 

terkait implementasi bebas visa apalagi dengan 

memperhatikan luasnya wilayah NKRI dan banyaknya 

jalur-jalur tikus untuk keluar masuknya orang asing, 

untuk itu dibutuhkan personil yang memadai yang 

bisa melakukan pengawasan dan pengamanan 

sehingga dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran 

akibat bebas visa serta untuk melindungi kedaulatan 

dan keamanan NKRI.

Arus lalu lintas warga negara asing yang semakin 

deras perlu diantisipasi dan dievaluasi agar tidak 

sampai mengancam keamanan dan kedaulatan 

negara. ini  perlu dilakukan untuk meminimalisir 

terjadinya peningkatan pelanggaran izin tinggal yang 

dilakukan sejumlah warga negara asing, meningkatnya 

tenaga kerja WNA yang memanfaatkan bebas visa 

kunjungan lalu mempersulit perebutan lapangan kerja 

di Indonesia, serta pintu masuk terhadap jaringan 

narkoba dan terorisme. 

berdasar  data Direktorat Jenderal Imigrasi 

Kementerian Hukum dan HAM, 10 negara yang warga 

negaranya paling banyak melanggar kebijakan bebas 

visa adalah Tiongkok, Afganistan, Banglades, Filipina, 

Irak, Malaysia, Vietnam, Myanmar, India, dan Korea 

Selatan. ini  terlihat dalam tabel berikut ini:
Dari tabel ini  di atas WN Tiongkok men￾duduki peringkat pertama dengan jumlah yang 

signifikan, yakni 1.180 pelanggaran pada Januari￾Juli 2016. Adapun WN Afganistan melakukan 411 

pelanggaran, Banglades (172), Filipina (151), dan Irak 

(127). Sanksi yang paling banyak dijatuhkan adalah 

deportasi. Selama tujuh bulan terakhir, 2.856 masalah  

pelanggaran oleh WNA dijatuhi sanksi deportasi.

Sebagai perbandingan digambarkan negara yang 

banyak melakukan pelanggaran sampai bulan agustus 

2016 dalam tabel berikut:
Dari tabel di atas menunjukan bahwa dengan 

adanya peningkatan kedatangan orang asing ke 

negara kita akibat kebijakan bebas visa, terdapat juga 

potensi adanya peningkatan yang cukup signifikan 

terhadap pelanggaran keimigrasian yang dilakukan 

oleh negara-negara penerima bebas visa. ini  

tercermin dalam grafik berikut:
Untuk mengantisipasi terjadinya kerawanan 

dalam hal pengawasan dan pengamanan terkait 

orang asing, maka Ditjen Imigrasi telah melakukan 

langkah-langkah antara lain: melakukan peningkatan 

peran wasdakim dan pengawasan pendaratan dan izin 

masuk orang asing, pengawasan terhadap penggunaan 

izin tinggal oleh orang asing di berbagai tempat 

terutama di bidang Pariwisata maupun di berbagai 

tempat hiburan, interview singkat/second clearing

jika terindikasi menyalahgunakan bebas visa, serta 

melakukan Tindakan Administrasi Keimigrasian (TAK) 

jika terindikasi ada penyalahgunaan BV. sedang  

dari sisi keamanan (security): melakukan kerjasama 

antar instansi dalam melakukan pencegahan terhadap 

penyalahgunaan bebas visa guna meminimalisir 

potensi penyalahgunaan aturan seperti melakukan kerjasama dengan TNI dalam maping keberadaan 

orang asing.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya 

pelanggaran keimigrasian yang dilakukan oleh orang 

asing di wilayah Indonesia, Ditjen Imigrasi melakukan 

pengawasan keimigrasian dengan cara:43

a) Pengawasan secara Administratif, yaitu: 

1) dilakukan pada saat permohonan visa 

meliputi: pemeriksaan kebenaran penjamin, 

berkas permohonan, rekomendasi/izin dari 

instansi terkait; 

2) saat masuk dan keluar Wilayah negara kita 

meliputi: paspor yang sah dan masih berlaku, 

visa/izin tinggal, tiket kembali; 

3) pemberian dan perpanjangan perijinan 

keimigrasian di Kantor Imigrasi seluruh 

negara kita (121 Kantor Imigrasi) meliputi: 

pemeriksaan penjamin, pemeriksaan 

domisili, pemeriksaan kegiatan orang asing, 

rekomendasi/izin dari instansi terkait; 

b) Pengawasan Lapangan, yaitu dilakukan dengan 

melakukan pengecekan terhadap keberadaan dan 

kegiatan Orang Asing selama berada di Indonesia. 

sedang  untuk melakukan pengawasan 

Keimigrasian terhadap kegiatan orang asing di wilayahIndonesia, jajaran Imigrasi melakukan pengawasan 

keimigrasian diantaranya Hotel, tempat hiburan, 

perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan tenaga 

kerja asing, dan tempat lain yang diduga terdapat 

kegiatan orang asing. 

Jajaran Kemigrasianpun telah melakukan usaha  

dalam rangka pengawasan terhadap penyalahgunaan 

izin oleh orang asing terutama yang berkerja secara 

illegal di negara kita diberbagai sektor, khususnya 

sektor informal, antara lain: 44

1. Peningkatan pemanfaatan Sistem Informasi 

Manajemen Keimigrasian yaitu: 

a. Border Control Management (BCM); 

b. Aplikasi Pelaporan Orang Asing (APOA); 

2. Operasi Pengawasan Orang Asing baik secara 

Rutin maupun Insidentil dilakukan oleh Kantor 

Imigrasi di seluruh Indonesia; 

3. Membentuk Sekretariat TIM PORA di Direktorat 

Jenderal Imigrasi, Kantor Wilayah Kementerian 

Hukum dan HAM, dan Kantor Imigrasi Seluruh 

Wilayah negara kita baik di tingkat Pusat, propinsi, 

kabupaten dan kota. 

Adapun langkah terakhir yang dilakukan oleh 

Ditjen Imigrasi adalah dengan melaksanakan evaluasi 

terhadap perlintasan orang asing yang dihitung mulai bulan Juni 2015 s.d Mei 2016 (11 bulan), lalu 

dilakukan analisis terhadap 3 hal: a) Jumlah terbesar 

dan terkecil volume kedatangan negara subyek bebas 

visa; b) Jumlah perbandingan kedatangan negara azas 

resiprokal dan belum resiprokal; dan c) Jumlah negara 

yang belum pernah datang sejak diberlakukan bebas 

visa kunjungan.

Dari analisis yang dilakukan terlihat frekuensi 

kedatangan orang asing ke wilayah NKRI sebagaimana 

berikut:

1. Negara terbesar dan terkecil volume kedatangannya 

adalah negara Malaysia dan Singapura (lebih 

100.000 orang, antara 144.203 – 181.445 wisatawan 

perbulan) sedang  negara terkecil volume 

kedatangannya antara 1 – 10 orang perbulan (ada 

66 negara).

2. Jumlah Kedatangan 15 negara Resiprokal 4.095.264 

(58.69 %) dan 144 negara Non Resiprokal 2.881.945 

(41.32%)

3. Negara yang belum pernah datang (10 negara: 

Antigua dan Barbuda, Burundi, Ceko, Gabon, 

Haiti, Kepulauan Marshall, Kiribati, Lesotho, 

Puerto Rico, dan Saint Lucia).45

Untuk lebih jelasnya seperti terlihat dalam tabel 

berikut ini:
berdasar  data di atas maka terdapat 66 negara 

yang dianggap belum mendukung secara maksimal 

(efektif) dan ada 10 negara dianggap tidak efektif, 

sehingga azas manfaat sebagaimana dimaksud pasal 

43 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian belum 

secara signifikan memberikan keuntungan bagi 

pemerintah Indonesia.46

Namun ada berbagai peluang yang dapat mendu￾kung usaha peningkatan kinerja keimigrasian dalam 

hal implementasi bebas visa, antara lain: 

1. Adanya Political Will dari pemerintah yang 

tentunya mempunyai Political Supporting dalam 

memberikan usaha -usaha  meningkatkan kinerja 

keimigrasian dalam implementasi bebas visa.

2. Adanya Legal Supporting berupa peraturan 

perundang-undangan.

3. Sumber daya manusia di lingkungan 

Kemenkumham dapat dikatakan cukup banyak 

dalam kaitannya dengan kebutuhan penugasan 

baru dan spesialisasi tugas terutama bagi lulusan 

AIM atau DIKPIM.

4. Terbukanya kemungkinan permintaan Anggaran 

khusus bagi peningkatan pengawasan dan 

penindakan keimigrasian.
Dan juga yang perlu dipahami bahwa kepedulian 

dan keterlibatan intansi terkait sangat berpengaruh 

dalam pelaksanaan bebas visa. Aspek peraturan, biaya, 

dan sumber daya manusia secara tidak langsung juga 

berpengaruh terhadap kepedulian dan keterlibatan 

instansi itu sendiri.

2. Manfaat Implementasi Kebijakan Bebas Visa bagi 

Keimigrasian

Kebijakan bebas visa yang diberlakukan di negara kita 

berdasar  perpres terakhir No. 21 Tahun 2016 tanggal 2 

maret 2016 yang memberikan kebebasan dari kewajiban 

memiliki visa kunjungan bagi orang asing, ternyata 

mendapat tanggapan yang berbeda dari setiap responden 

di UPT Kanim yang menjadi lokus pengkajian.

berdasar  hasil wawancara dengan Ka UPT kanim 

dan pejabat keimigrasian terkait, serta hasil dari kuesioner 

yang dikumpulkan, maka dari sudut pandang keimigrasian 

belum nampak manfaat yang signifikan terkait bebas visa 

bahkan ada beberapa poin yang perlu dicermati sehingga 

implementasi bebas visa tidak melenceng dari tujuan 

pemberian bebas visa, yaitu:

a. Dari segi ketepatan dan urgensi implementasi 

kebijakan bebas visa

Jika dari sudut Imigrasi, dianggap belum tepat, 

ini  didasari bahwa ada negara-negara penerima 

bebas visa yang termasuk negara bergejolak seperti Bangladesh, negara-negara yang secara ekonomi, 

sosial, dan politik belum baik, serta ada negara yang 

termasuk negara bermasalah. Di samping itu asas 

resiprokal dan manfaat yang menjadi amanat UU No. 

6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tidak diberlakukan 

bagi WNI yang berkunjung ke negara-negara penerima 

bebas visa.

ini  juga didukung data dari Ditjen Imigrasi 

bahwa terdapat 66 negara yang dianggap belum 

mendukung secara maksimal (efektif) dan ada 10 

negara dianggap tidak efektif, sehingga azas manfaat 

sebagaimana dimaksud pasal 43 UU No. 6 Tahun 

2011 tentang Keimigrasian belum secara signifikan 

memberikan keuntungan bagi pemerintah Indonesia.47

Ada hal yang menarik berdasar  wawancara 

dengan kakanim Ngurah Rai, bahwa wisatawan 

yang datang ke Bali khususnya bukanlah wisatawan 

yang memiliki uang yang banyak akan tetapi mereka 

datang dengan memakai  fasilitas tunjangan 

sosial (wisatawan miskin), sehingga saat  masa 

tinggal mereka habis, mereka kehabisan uang untuk 

kembali ke negaranya. ini  menimbulkan persoalan 

tersendiri bagi 34 Konsulat Jenderal negara-negara 

asing yang ada di Bali akibat banyaknya warga negara 

mereka yang kehabisan uangDengan luas wilayah NKRI yang terdiri dari banyak 

pulau sehingga membutuhkan SDM yang harus 

memadai karena banyaknya orang asing yang datang 

dan juga adanya jalur-jalur tikus yang tentu saja akan 

berimplikasi pada keamanan dan pengawasan orang 

asing ini , dan ini tentu saja dalam jangka waktu 

tertentu akan berdampak pada kedaulatan bangsa ini.

Disisi lain, tidak berbanding lurusnya antara 

SDM yang ada dan luasnya wilayah kerja kanim 

serta banyaknya kedatangan orang asing, tentu saja 

berpotensi kerawanan terhadap penyalahgunaan bebas 

visa untuk kepentingan lain seperti untuk bekerja, 

illegal fishing, cyber crime, terorisme, narkoba, dll.

Dari segi penganggaran pun tidak ada anggaran 

khusus terkait pengawasan dan penindakan 

keimigrasian (wasdakim) terhadap orang asing, ini 

tentu saja menyulitkan dalam melakukan pengawasan 

terhadap orang asing apalagi imigrasi telah kehilangan 

PNBP nya sebesar 1 triliun dalam setahun akibat bebas 

visa. 

Target pariwisata yang telah ditetapkan Presiden 

Jokowi dalam lima tahun ke depan, antara lain 

diharapkan menghasilkan kontribusi dua kali lipat 

terhadap PDB nasional sebesar 8% atau devisa 

yang dihasilkan Rp 280 triliun. Selain itu, untuk 

menciptakan lapangan kerja di bidang pariwisata 

untuk 13 juta orang, serta peningkatan kunjungan 

wisman sebanyak 20 juta orang, pergerakan wisnus 275 

juta orang serta daya saing pariwisata negara kita naik ke rangking 30 dunia. sedang  target yang hendak 

dicapai pada tahun 2016 ini adalah 12 juta kunjungan 

wisman dan 260 juta pergerakan wisnus, kontribusi 

pariwisata terhadap PDB nasional sebesar 5 persen, 

serta terciptanya jumlah lapangan kerja sebanyak 11,7 

juta tenaga kerja.48 Oleh karena itu, untuk mendukung 

peningkatan devisa negara melalui pariwisata, maka 

dilakukan sinergi yang disebut Pentahelix yang terdiri 

dari unsur pemerintah, akademisi, pelaku bisnis, 

media, dan komunitas.

b. Dari segi kemudahan dalam implementasi 

kebijakan BV

Dengan pemberlakuan bebas visa ada kemudahan 

dalam hal administrasi keimigrasian seperti tidak 

memerlukan peneraan stiker VOA bagi orang asing; 

mempercepat antrian (kurang dari 1 menit) karena 

tidak memerlukan VOA; memudahkan dalam input 

data ke BCM. Tapi berdasar  temuan di lapangan ada 

kesulitan tersendiri bagi imigrasi dalam melakukan 

pengawasan terhadap orang asing, antara lain: untuk 

mengetahui maksud dan tujuan yang sebenarnya 

kedatangan orang asing ini ; menambah potensi 

kerawanan pelanggaran aturan akibat menumpuknya 

orang asing yang masuk apalagi tidak ada kontribusi secara ekonomi bagi negara; kurangnya intelijen 

keimigrasian pada UPT kanim sehingga menyulitkan 

melakukan pengawasan serta kesulitan melakukan 

tuntutan terhadap negara-negara konflik jika terjadi 

permasalahan.

3. Kendala-kendala yang dihadapi

Sementara itu, beberapa kendala yang mungkin 

dihadapi, yang jika tidak dilakukan solusi terhadapnya 

akan mengganggu implementasi bebas visa, antara lain: 

a) Dari sisi pengawasan belum dapat mendeteksi secara 

pasti kemanfaatan bebas visa dalam peningkatan 

pariwisata.

b) Dari sisi keamanan (security) mengingat luasnya 

wilayah kerja maka kemungkinan akan meningkatkan 

potensi pelanggaran orang asing yang masuk 

terutama yang termasuk kategori negara rawan dan 

penyalahgunaan BV untuk kepentingan kejahatan 

seperti cyber crime, illegal fishing, dll.

c) Dari sisi sumber daya: SDM yang kurang sebanding 

antara pengawasan dan tingginya perlintasan 

orang asing yang masuk karena BV dan kurangnya 

pengetahuan intelijen petugas imigrasi.

d) Dari sisi sarana-prasarana: Kurangnya sarana￾prasarana yang modern.

e) Dari sisi komunikasi: kurangnya koordinasi dengan 

instansi terkait dan kurangnya intensitas sosialisasi BV 

kepada orang asing
Namun secara umum tidak terdapat kendala dan 

hambatan yang dihadapi dalam koordinasi dan kerjasama 

antar instansi terkait lainnya, ini  dapat dibuktikan 

dengan telah dibentuknya tim PORA di seluruh wilayah 

negara kita dan dengan dibentuknya Sekretariat tim PORA 

Tingkat Pusat, Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota 

Madya. Dalam pelaksanaan tugas di lapangan jajaran 

Imigrasi selalu bersinergi dengan instansi terkait seperti: 

1) POLRI, terjalinnya kerjasama peningkatan kualitas 

Penyidik melalui Diklat PPNS, dan dilaksanakannya 

operasi gabungan. 

2) Badan Keamanan Laut (BAKAMLA), melaksanakan 

operasi bersama dalam penanganan illegal fishing, 

TPPO melalui perbatasan laut; 

3) Badan Intelijen Nasional (BIN), tergabungnya intelijen 

Keimigrasian dalam Komunitas Intelijen baik di 

tingkat pusat maupun di tingkat daerah; 

4) Kerjasama antar instansi terkait dalam penilaian 

permohonan visa bagi negara-negara rawan yang 

meliputi Kementerian Luar Negeri, POLRI, BIN, BAIS 

dan Kejaksaan Agung; 

5) Tentara Nasional negara kita (TNI), kerjasama dalam 

penguatan kapasitas Intelijen Imigrasi melalui 

DIKLAT Intelijen;
6) Badan Narkotika Nasional (BNN), membuat perjanjian 

kerjasama dengan BNN dalam penanganan tindak 

pidana narkoba yang terkait dengan orang asing.

Sebagai penutup dalam pembahasan ini dapat 

dikatakan bahwa secara sistem implementasi bebas visa 

tidak ada perbedaan dengan Visa On Arrival (VOA) karena 

keduanya masih tetap memakai  visa, hanya saja ada 

pergeseran dari visa berbayar kepada visa tanpa bayar.