Tampilkan postingan dengan label waralaba 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label waralaba 5. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2024

waralaba 5


 



komendasi atas rate dan ulasan 

positif dari wisatawan, bukan dari pantauan mereka. Prinsipnya 

adalah, semakin banyak ulasan yang diberikan, maka 

keuntungan ada di pihak anggota dan juga TripAdvisor. 

TripAdvisor juga mendapat  power dari ulasan-ulasan 

wisatawan, dan karena itu disinyalir bahwa TripAdvisor juga 

berperan serta dalam menghapus komentar-komentar negatif 

yang ditujukan kepada anggotanya53. 

Di bagian awal buku ini telah dijelaskan bahwa perjanjian 

waralaba bisa terjadi antarindividu selain antarbadan usaha. 

Asalkan ada benefit yang dibagi dan ada royalti yang dibayar, 

maka waralaba terjadi. Ada satu kasus menarik terkait prinsip-

prinsip waralaba antarindividu (atau bisa juga merambah antara 

individu dengan badan). Waralaba ‗setengah matang‘ ini beraksi 

di dunia maya, yakni penjualan nama domain.  

                                                           

Domain menduduki posisi penting dalam peradaban 

digital. Sebuah domain memiliki posisi strategis yang nyaris 

setara dengan sebuah brand, sebab ia terkait dengan posisi 

sebuah perusahaan di laman pertama Google. Nama domain 

menentukan di mana posisi sebuah perusahaan di dunia 

maya,—yang dilihat dari di baris dan halaman berapa nama 

perusahaan itu muncul di laman mesin pencari Google. Sebuah 

perusahaan harus membayar Google bila ia ingin menduduki 

top position di mesin pencari. Lagi dan lagi, ada unsur waralaba 

di sini. Perusahaan itu membeli layanan sistem Google dan 

Google bakal menempatkannya di top position selama kurun 

waktu yang ditentukan. 

Karena itu, nama domain yang unik, mencerminkan 

perusahaan, mudah diingat, dan simpel adalah domain yang 

paling dicari. Melihat peluang ini, para pengguna internet yang 

dikenal sebagai para ‗pemelihara domain‘ membeli domain unik 

dari penyedia jasa domain, lalu menyimpannya. bila  suatu 

perusahaan atau individu lain menginginkan nama domain itu, 

si pemelihara domain bisa menjualnya dengan harga puluhan 

hingga ratusan juta rupiah. 

Katakanlah sebuah domain ‗pemilu2014.com‘. Di tahun 

2019, domain ini barangkali belum ada yang memakai, namun 

menjelang pemilu 2024, banyak partai politik dan tim suksesnya 

akan memburu nama domain unik ini. Jadi, mulai jauhari 

sebelumnya si ‗pemelihara domain‘ membeli domain ini dan 

menyewanya seharga Rp 150.000-an per tahun. Di tahun 2023, 

domain ini akan dipajang dan ditawar dengan harga sangat 

tinggi. Tim sukses dan partai politik akan sangat menginginkan 

domain ini karena kata kuncinya yang benar-benar menjurus. 

Karena itu, mereka mau membeli dengan harga sangat tinggi. 

Mengapa kasus ‗pemelihara domain‘ ini termasuk sebuah 

waralaba ‗setengah matang‘? Si pemelihara domain sesung-

guhnya tidak memiliki lisensi hak cipta atau hak merek atas 

domain yang mereka pelihara. Mereka hanya membeli domain 

unik dan memeliharanya. Namun tatkala pihak parpol dan tim 

sukses membeli domain itu dari si pemelihara, seolah-olah si 

pemelihara itulah yang memiliki lisensi domain, padahal tidak. 

Anda mungkin bisa mencoba membeli sebuah domain, 

katakanlah ‗officialpemilu2024.com‘ atau ‗infodenpasar.id‘, lalu 

menjualnya dengan harga tinggi tatkala orang-orang 

membutuhkan domain itu. Anda bisa mendapat  keuntungan 

besar. Namun, kemungkinan ini juga tak lepas dari risiko 

kerugian. Untuk mencegah tindakan si ‗pemelihara domain‘ ini, 

banyak perusahaan dan lembaga resmi memiliki lebih dari satu 

domain website agar tidak diambil-alih oleh pemelihara domain 

yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh, media 

hindustantimes.com memiliki sampai lima domain website yang 

mengandung kata hindustan, hindutimes, dan hindunews agar 

tidak disalahgunakan pihak-pihak iseng. 

Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari kom-

pleksnya sistem digital yang merambah berbagai bidang. 

bila  dihadapkan pada dunia digital, Anda akan banya 

bertemu dengan X yang bukan X, atau waralaba yang bukan 

waralaba, sebab segala kemungkinan terbuka lebar di ranah 

digital. Kemungkinan-kemungkinan ini terbuka begitu lebar 

karena akses informasi dan pertukaran data yang hampir tidak 

bisa dibendung. Karena itu, waralaba di era digital adalah 

kombinasi antara teknologi, media, platform dan pengelolaan 

finansial yang efisien, ringan, mudah dan menguntungkan 

kedua belah pihak. Prinsip-prinsip waralaba pun dipakai di 

berbagai lini dengan banyak modifikasi. Jang & Park menyebut 

bahwa waralaba di era digital lebih menjurus pada win-win 

solution di antara pihak pemberi dan penerima waralaba54. 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh The Franchise Show di 

tahun 2017, generasi milenial kini lebih memilih waralaba 

dengan mobilitas tinggi yang ‗mengejar keramaian‘ daripada 

sistem waralaba immobile yang lebih tua55.  

Kesimpulannya, sebuah brand yang kuat adalah potensi 

pasar yang besar. warga  milenial menilai suatu produk dan 

jasa dari kekuatan brand. Oleh karena itu, sebuah prusahaan 

rela menggelontorkan dana sedemikian besar untuk mem-

bangun citra brand, memberi nama yang melekat di hati, dan 

meningkatkan prestise mereknya56. Dengan demikian, tren 

waralaba di era milenial lebih menjurus pada menyewa power 

dari sebuah merek. 

Peta Jalan Riset Waralaba 

Tren waralaba yang juga sedang digandrungi namun 

memiliki risiko yang lumayan memusingkan kepala adalah 

waralaba internasional. Prinsipnya, apa pun yang dilakukan 

dengan modal besar, maka risikonya juga besar. Dalam bagian 

ini, kita mempelajari kembali sebuah review berharga yang 

dilakukan B. Elango57 hingga 2018 dengan begitu tekunnya 

melakukan studi terhadap tren waralaba lewat 570 artikel ilmiah 

selama tiga dekade. Dia menyatakan bahwa celah-celah ilmu 

                                                          

waralaba yang bisa menjadi roadmap riset berikutnya ada dalam 

ruang yang sangat luas sebab waralaba serta segala jenis 

atributnya berkembang dengan begitu cepat terutama di 

dekade terakhir abad kedua puluh. Konsentrasi topik riset 

waralaba yang potensial untuk saat ini adalah mengenai pihak-

pihak yang terlibat dalam waralaba beserta shift motivasi 

mereka dalam melakukan waralaba. Topik ini termasuk 

menemukan cara untuk mengakomodasi faktor-faktor dan 

intrik-intrik yang mendorong peningkatan hasil waralaba. 

Yang juga perlu disoroti dalam penelitian selanjutnya ada-

lah definisi dalam perspektif multidimensional. Waralaba meli-

batkan tiga dimensi atau perspektif, yakni dari perspektif 

penerima, pemberi dan sistem waralaba. Karena itu, definisi 

yang terkait dengan waralaba harus dijabarkan sesuai dengan 

perspektif yang diambil oleh peneliti. Agar penelitian tentang 

waralaba di masa depan menjadi lebih tajam, Elango mengu-

sulkan agar peneliti selanjutnya menggarisbawahi atau mene-

kankan asumsi dan perspektif secara spesifik untuk menghindari 

bias interpretasi.  

Bidang kajian selanjutnya ada pada faktor-faktor luar yang 

mempengaruhi outcome waralaba. Efektif atau tidaknya wara-

laba sangat tergantung dari lingkungan suatu negara, industri, 

dan karakteristik produk dan jasa yang diminati di suatu tempat. 

Dengan demikian, penelitian mengenai waralaba di masa depan 

juga harus mengedepankan aspek demografi dan konteks latar 

yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Anda dapat melakukan 

penelitian waralaba dengan menjawab pertanyaan apakah 

waralaba cocok diterapkan pada restoran vegetarian di Bali? 

Apakah minat waralaba di Bali dipengaruhi oleh budaya yang 

dianut warga  Bali? Apakah karakteristik waralaba di 

Indonesia dipengaruhi oleh karakteristik warga  Indonesia 

dari segi agama dan budaya? Perlindungan hukum macam apa 

yang bisa menaungi waralaba transportasi daring dan gamers di 

Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, menurut Elango, 

akan membuka paradigma baru dalam dunia waralaba lintas 

disiplin ilmu. 

Yang sangat penting dalam kaitannya dengan riset menge-

nai waralaba adalah keterlibatan kecerdasan buatan (artificial 

intelligence) dan automatisasi pelayanan dalam waralaba. De-

ngan berkembangnya kecerdasan buatan, Elango berpendapat 

bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan akan 

ada perjanjian waralaba antara franchisor dan franchisee yang 

bukan manusia. Maksudnya, baik manajemen pemberi waralaba 

maupun penerima waralaba adalah sama-sama kecerdasan 

buatan. Tentunya akan ada evolusi fundamental mengenai 

definisi dasar waralaba, termasuk definisi dasar pihak-pihak dan 

sistem waralaba. Selama dua puluh hingga lima puluh tahun 

mendatang, topik kajian mengenai kecedasan buatan dalam 

kegiatan ekonomi ini akan menjadi trending topic yang menarik 

sekali. 

Peluang riset waralaba yang tak kalah menariknya juga 

berada dalam topik waralaba internasional dan domestik. 

Rosado-serrano et. al berpendapat bahwa ada dua pertanyaan 

penting mengenai waralaba domestik dan internasional, yakni 

faktor-faktor pendukung dan penentu waralaba serta mengapa 

ada kecenderungan waralaba domestik tidak berminat 

merambah ke internasional58. Mereka menyatakan bahwa 

waralaba internasional memiliki beberapa ‗tembok pembatas‘ 

yang lumayan sulit dilewati oleh waralaba domestik, yakni 

masalah hukum (legal context), risiko kekayaan intelektual yang 

                                                          

berbeda-beda di setiap negara, serta mengenai kontrol sistem. 

Kebanyakan waralaba domestik masih memakai  sistem 

kontrol, di mana pewaralaba melakukan kontrol terhadap para 

franchisee untuk menjamin keseragaman sistem, kinerja dan 

mutu. Namun, Rosado-serrano dan kawan-kawannya 

menemukan bahwa waralaba internasional lebih mementingkan 

sistem kolaborasi daripada kontrol semata. Dalam sistem 

waralaba kolaborasi, suatu perusahaan di suatu negara 

memakai  sumber daya dari negara lain yang tidak 

dimilikinya di negaranya. Misalnya, McDonalds di Amerika tidak 

memiliki bahan-bahan rempah tropis untuk sambal matah khas 

Bali, sementara itu McDonalds Bali punya. Dengan kolaborasi 

ini, sistem waralaba menjadi jauh lebih fleksibel dan memiliki 

sentuhan budaya lokal. Topik-topik penelitian dalam kancah ini 

masih berpeluang besar sebab ada banyak gap yang belum 

terisi, terutama dalam hal alasan-alasan waralaba domestik di 

Indonesia tidak memakai  sistem kolaborasi, dan sejauh 

mana kolaborasi akan berpeluang meningkatkan ekspansi 

waralaba di dalam negeri. 

Baena dan Cervino, dua akademisi Spanyol, mengungkap-

kan faktor-faktor yang mempengaruhi waralaba internasional di 

Spanyol59. Mereka merumuskan sepuluh faktor pendukung 

(atau malah penghambat) berkembangnya waralaba internasi-

onal di Spanyol. Faktor-faktor ini  adalah (1) jarak antara 

suatu negara dan negara lain yang berpotensi untuk dita-

namkan waralaba; (2) cultural distance atau kesenjangan 

budaya, (3) menghindari risiko ketidakpastian yang relatif tinggi; 

(4) sifat individualisme suatu bangsa; (5) stabilitas politik60; (6) 

                                                           

korupsi di suatu negara; (7) kekuatan hukum suatu negara61; (8) 

kecepatan negara menangani sengketa; (9) biaya pengadilan 

dan perlindungan hukum; dan (10) penolakan terhadap risiko. 

Menurut Hoffman et. al62, faktor yang paling menentukan 

suatu waralaba memutuskan untuk berekspansi ke kancah 

internasional atau tidak adalah favorable political governance 

‗situasi politik yang menguntungkan‘ dan country business 

climate‗ iklim bisnis negara‘. Sementara itu, Wu63 menambahkan 

bahwa faktor kunci yang berpotensi mendorong keinginan 

penerima waralaba untuk bertahan dan sehatnya kinerja 

keuangan dalam sistem waralaba adalah knowledge sharing 

(berbagi wawasan antara penerima dan pemberi waralaba), trust 

(kepercayaan antara kedua belah pihak)64, conflict management 

(manajemen konflik) dan reputasi merek. Menurut Wu, keahlian 

pemberi waralaba tidak berimbas pada keputusan penerima 

waralaba untuk mengekspansi suatu waralaba. 

Mariz-Pérez menemukan bahwa perusahaan yang berusia 

lebih tua cenderung untuk berekspansi ke luar negeri65. Ini 

disimpulkannya berdasarkan penelitiannya di Spanyol. Di Indo-

nesia sendiri, karena mata uang yang nilainya rendah, ekspansi 

ke luar negeri hanya dilakukan bila kekuatan finansial sudah 

betul-betul kokoh. 

                                                          

Di balik situasi ini, Davies dan rekan-rekannya66 dari negeri 

kangguru berpendapat bahwa dengan adanya kolaborasi 

sumber daya alam maupun manusia dari negara-negara yang 

berbeda,—yang disebutnya sebagai pasar internasional—maka 

akan terjadi evolusi dinamis suatu perusahaan. Ekspansi suatu 

perusahaan membutuhkan integrasi antara institusi lokal 

dengan faktor-faktor industri, termasuk kontribusi-kontribusi 

spesifik apa yang bisa diberikan oleh pewaralaba dan penerima 

waralaba. Kemampuan waralaba untuk mempertahankan 

kepercayaan, kerja sama dan pemberdayaan sumber daya 

adalah hal pokok yang paling menentukan keberhasilan suatu 

waralaba internasional.  

bila  Anda berminat untuk melakukan riset waralaba 

internasional. Davies et. al67 mengajukan beberapa teori kajian 

yang bisa dijadikan landasan berpikir, misalnya adalah teori 

pertukaran relasi yang bermanfaat untuk membedah bentuk 

kepercayaan seperti apa yang bisa mencakup elemen-elemen 

properti kekayaan intelektual, peredaman konflik dan penca-

paian tujuan bersama dalam sistem waralaba internasional.  

Transmedia Storytelling 

Dulu Anda membaca novel Harry Potter, dan beberapa 

tahun kemudian Anda sudah bisa melihat filmnya. Kisahnya 

sama dengan versi novelnya, meski menurut survei banyak 

pembaca kecewa karena Harry Potter versi film tidak secetar 

imajinasi mereka tatkala membaca. Diangkatnya Harry Potter 

dari serangkaian novel fantasi menjadi tujuh sekuel film 

franchise adalah contoh waralaba perfilman yang dikenal 

                                                           

sebagai cross-media franchise, atau waralaba lintas media. 

Sebagaimana yang telah dipaparkan di bab 2, sebuah rumah 

produksi film membeli hak cipta cerita novel yang sudah 

terkenal, lalu memproduksinya dalam wujud film. Si rumah 

produksi tidak boleh mengubah alur ceritanya (itu pelanggaran 

hak cipta). 

Namun dalam transmedia storytelling franchise, dimensi 

semesta sebuah cerita akan jauh berbeda. Mari kita ambil 

contoh Pokemon, sebagaimana ditulis apik oleh Bainbridge68 

dalam publikasinya. Pokemon pada awalnya berbentuk sebuah 

manga, atau komik Jepang. Kemudian, konsep ceritanya 

diadaptasi ke dalam film kartun seri. Banyak orang mulai 

menyukai tokoh Pikachu dan sang pemiliknya, sehingga mereka 

ingin merasakan juga sensasi menangkap Pokemon dan 

mengadu mereka, lalu mendapat  ranking sebagai Pokemon 

master. Menanggapi keinginan penggemar Pokemon di seluruh 

dunia, Bandai membeli merek Pokemon dan membuat sebuah 

game console yang meledak luas di pasaran era 90-an. Melalui 

game konsol Pokemon, setiap orang bisa merasakan ‗sisi lain‘ 

Pokemon di balik cerita sekuel utamanya. Para penggemar bisa 

merasakan sensasi berada di dunia Pokemon dan menjadi 

bagian di sana.  

Di era smartphone, Pokemon Go menjadi transmedia dari 

merek Pokemon berbasis augmented reality. Lewat game ini, 

orang-orang bisa menangkap monster dengan memanfaatkan 

kamera ponsel dan GPS. Sayangnya, banyak korban berjatuhan 

akibat keasyikan bermain Pokemon Go. Ada yang tertabrak, 

tercebur, hingga jatuh dari lantai yang tinggi. Game ini pun 

dikategorikan sebagai game berbahaya dan dilarang di 

                                                           

sejumlah negara karena berpotensi merusak pola belajar dan 

keamanan anak-anak. 

Pokemon dan variasi-variasi ceritanya di platform-platform 

yang berbeda adalah sebuah manifestasi dari apa yang disebut 

Banks dan Wasserman sebagai transmedia storytelling 

consumption69. Dalam sebuah cross-media storytelling, Anda 

hanya mengadaptasi satu jenis dan alur cerita ke dalam media 

yang berbeda. Namun dalam transmedia storytelling, Anda 

membuat bagian kisah-kisah berbeda di platform yang berbeda. 

Dalam Game of Thrones dan Warcraft, misalnya, Anda bisa ikut 

menjadi pasukan dalam game daringnya, bertempur melawan 

musuh layaknya si tokoh utama, lalu menang. Di bioskop, Anda 

disuguhi alur cerita utamanya. Dalam dunia augmented reality, 

Anda bisa berlatih bela diri, menunggangi naga dan sebagainya.  

Salah satu franchise film yang sukses dengan transmedia 

storytelling franchise-nya di lima tahun belakangan ini adalah 

Star Wars. Dalam sekuel utamanya yang kini mencapai sembilan 

episode, Anda akan menyimak kisah utama Star Wars dan 

peperangan antara dark force dan white force. Dalam game Star 

Wars, Anda bisa mendapat  informasi mengejutkan tentang 

tokoh-tokoh lain yang tidak ada dalam sekuel film utama. 

Dalam game Star Wars ada kisah petualangan para ksatria Jedi 

sebelum cerita sekuel film pertama. Karena itu, versi game Star 

Wars dikenal sebagai the Old Republic.  

Transmedia storytelling mengakuisisi kekuatan platform 

media sosial, gaming dan realitas virtual untuk menyebarkan 

cerita dari berbagai sudut pandang di samping alur utama. 

Dengan transmedia storytelling, penggemar cerita bisa menikmati cerita bagaikan hidup di dunia cerita itu bersama para 

tokohnya, bahkan menjadi tokoh utamanya70. 

Dalam sebuah transmedia storytelling, ada gabungan antara 

elemen narasi (cerita), dunia nyata, co-creation dan gaming. 

Keempat elemen itu adalah pilar yang paling dasar bagi sebuah 

transmedia. Sebuah cerita utama disampaikan lewat media film 

dan kemudian dibuatkan sekuelnya. Tokoh utama dalam cerita 

itu bisa saja dibuatkan sebuah film lain (yang dikenal sebagai 

versi [tanya Krishna Prasada]) yang mengisahkan tentang 

kehidupan pribadinya di luar sekuel utama. Para penggemar 

berat film itu bisa menjadi co-creators yang mmbuat versi lain 

dari cerita. Ini dikenal sebagai fan-fiction narrative. Dengan 

memanfaatkan teknologi dan media sosial, pera penggemar ini 

bisa membuat alur cerita yang samasekali baru namun 

menyewa hak franchise dari sekuel utama. Dalam kuadran 

gaming, sebuah narasi alur bisa dibuatkan sebuah permainan 

petualangan yang melibatkan media teknologi yang 

beragam,—mulai dari play station hingga virtual reality games.  

Mari kita melihat contoh transmedia storytelling yang unik 

dan membuat waralabanya mampu bertahan selama lebih dari 

setengah abad meskipun nyaris tanpa perubahan narasi. Kisah 

itu adalah Cinderella yang terkenal. Kisah ini berawal dari cerita 

rakyat Inggris tentang the litttle glass slipper ‗sepatu kaca kecil‘. 

Kemudian, Walt Disney mengadopsinya ke dalam bentuk film 

pada tahun 1950 dalam bentuk kartun animasi. Tahun itu adalah 

tahun kelahiran Cinderella di layar perak. Tahun 2015 lalu, film 

ini kembali diputar dalam versi live-action71. Selama lebih dari 

lima puluh tahun menjadi salah satu maskot Walt Disney yang 

disukai anak-anak, Cinderella telah memiliki segudang franchise 

                                                           

dan masuk dalam jajaran transmedia mulai tahun 70-an. Selain 

tiga sekuel utamanya, Cinderella telah dikemas dan di-remix ke 

dalam media-media lain seperti opera, konser lagu, enam 

atraksi theme park, drama musikal, hingga enam video game.  

 

 

Gambar 3.1 Konsep transmedia storytelling oleh Pratten (2015) yang 

melibatkan empat kuadran. Masing-masing kuadran adalah ruang waralaba 

naratif yang sangat luas dengan keuntungan sangat besar. 

 

Era milenial tampaknya tak membuat kisah Cinderella yang 

simpel namun menggugah banyak hati pudar. Walaupun 

plotnya terkesan sangat sederhana, Cinderella masih menyihir 

banyak penggemar. Memasuki era milenial, di mana gadis-gadis 

sudah sangat jarang mengepel dengan lap basah (sebab alat 

pel putar sudah ditemukan dan tidak ada dalam peradaban 

Cinderella versi aslinya), maka Cinderella pun mesti berubah. 

Maka, beberapa rumah produksi film Amerika Serikat telah 

mengembangkan franchise gadis muda yang merana ini ke 

dalam Cinderella 2.0. 

Yang menarik dari konsep Cinderella 2.0 atau Cinderella 

milenial ini adalah bagaimana kisahnya diadaptasi dan dise-

suaikan dengan realita milenial. Tatkala Cinderella mendapat  

undangan, misalnya; yang mengundang bukan lagi pangeran 

yang mengendarai kuda dan memiliki kurir surat, namun 

melalui Facebook instant messenger. Pangeran yang menyukai 

Cinderella bukan lagi pangeran yang berburu ke hutan, namun 

anak seorang bankir yang tengah hiking ke desa sambil mem-

berikan sumbangan pada warga. Kendaraannya bukan lagi 

kuda, namun mobil sport. Plot tentang bagaimana sang 

pangeran menemukan Cinderella juga berubah. Sang pangeran 

memakai  media sosial untuk menemukan si pemilik sepatu 

kaca yang ternyata dipinjam Cinderella dari sebuah salon 

terkenal di kota.  

Di Indonesia, fenomena yang berpotensi besar untuk 

dijadikan sebuah transmedia franchise adalah waralaba film 

horor. Anda mungkin tertawa membaca ini, namun Anda bisa 

lihat buktinya dengan mengklik Google Trends. Dengan hasil 

komparasi kata kunci di Google Trends saja kita dapat menge-

tahui tren narrative fiction yang terjadi di wilayah Indonesia 

selama bulan Agustus 2019. Yang mengejutkan adalah, ketika 

kata kunci ‗novel fiksi ilmiah‘ diketik, hanya 10% pembaca di 

Indonesia yang membahas tentang topik itu di dunia maya. 

Persentase 11-13% ditempati ‗cerita petualangan‘. Kemudian, 

ketika ‗cerita misteri‘ diketik, trennya melonjak menjadi 40%. 

Posisi teratas, yakni 80-90%, ditempati oleh kata kunci ‗cerita 

horor‘, ‗cerita cinta, dan ‗cerita korea‘. Ini membuktikan bahwa 

kisah-kisah berbau mistik dan horor masih mendominasi dunia 

storytelling Indonesia.  

Anda bisa buktikan kekuatan tren horor ini tatkala menyi-

mak betapa viralnya kisah KKN di desa penari. Dalam waktu 

sebulan sesudah  postingan anonim itu menyebar di Twitter, 

Facebook, grup-grup WhatsApp dan media sosial lain, toko 

buku Gramedia sudah menjual novelnya dengan judul yang 


sama persis, tanpa ilustrasi mencolok, dan dengan tulisan KKN 

merah besar di depannya. Tak cukup sampai sana. Kabarnya 

Joko Anwar telah merilis teaser filmnya yang akan mulai syuting 

pada 2020. Teaser ini sudah ramai diperbincangkan di media 

sosial. Inilah mengapa isu KKN horor di desa terpencil ini 

memiliki kecenderungan untuk jadi transmedia storytelling 

franchise khas Indonesia yang bisa dinikmati banyak orang. 

Menurut  

Fakta menyatakan bahwa debut tertinggi waralaba dengan 

keuntungan terbesar pada dekade terakhir adalah waralaba film. 

Beberapa waralaba film tidak hanya merambah sebatas 

franchise lintas ruang (media), namun juga lintas waktu. Marvel, 

contohnya, mengembangkan franchise lintas media dan lintas 

produsen. Berawal dari komik, franchise seharga 5 milyar dolar 

AS ini72 mengambil rating di dunia film animasi, lalu film sekuel. 

Waralaba lintas waktu juga menjadi tren saat ini. Film 

remake contohnya, adalah franchise yang memanfaatkan kerin-

duan warga  pada kejayaan masa lalu, kenangan tahun 90-

an yang saat ini jadi bahan perbincangan di kala santai. Kei-

nginan banyak generasi X, yang berada di masa transisi antara 

era analog dan teknologi digital, untuk mengenang kembali 

kenangan-kenangan saat mereka mengetik secara manual atau 

naik delman ke kota, membuat produsen film berkeinginan 

untuk mengembalikan sensasi itu dalam film remake.  

Drone delivery 

Negara yang pertama merestui pengiriman barang lewat 

drone adalah Eslandia, yakni di kota Reykjavik. Alasannya adalah 

karena topografi wilayahnya yang dipisahkan oleh banyak 

perairan. Perusahaan ritel AHA bekerja sama dengan peru-

                                                           

sahaan drone Flytrex membuat terobosan itu pada tahun 2017. 

Pemerintah Eslandia menanggapinya dengan positif. Brkat 

drone, biaya kirim bisa dipangkas hingga 60%. Saat itu, CEO 

AHA berkata bahwa dia sangat ingin sistem delivery via drone ini 

diikuti oleh negara-negara lain. 

Ternyata benar. Apa yang dilakukan AHA diintip oleh 

Amazon. Perusahaan raksasa itu memulai sistem pengiriman 

barang berbasis GPS dan drone dan beroperasi di California 

mulai tahun 2017. Pengiriman barang melalui drone telah 

menjadi mode delivery service karena murah dan bebas macet. 

Hanya saja, pengiriman barang dengan kurir drone terkendala 

keamanan dan privasi. Survei oleh FAA tahun 2014 mengung-

kap bahwa sebagian warga  masih meragukan kredibilitas 

drone sebagai alat transportasi barang sebab belum ada 

regulasi spesifik yang mengatur lalu lintas drone dan hal-hal 

apa saja yang tidak boleh dilakukan dengan drone. Ketakutan 

warga  kebanyakan adalah bahwa drone bisa dipakai  

sebagai alat pengintai atau alat penyadap, sehingga berpotensi 

mengganggu privasi73. Sebanyak 54% orang Amerika dewasa 

tidak setuju jika drone dibiarkan berkeliaran di perumahan, 

namun 44% menyatakan setuju jika drone bebas terbang di 

tempat umum. Ini mengisyaratkan bahwa sebagian warga 

Amerika waktu itu tidak setuju jika wilayah perumahan dijadikan 

wilayah akses bagi drone.  

Senat Amerika Serikat sendiri mengalami debat panjang 

mengenai regulasi yang mengatur drone sebagai alat 

transportasi barang. pemakaian  drone secara komersil 

dilarang pada Juni 2014 dengan terbitnya regulasi FAA yang 

menyatakan bahwa UAV (Unmanned Aerial Vehicle,—kendaraan 

terbang tak berawak) tidak diperkenankan untuk dipakai  

                                                           

sebagai alat transportasi komersil, termasuk mengantar barang 

dengan imbalan atau tujuan lain. Pada Agustus 2016, ada revisi 

peraturan FAA mengenai drone. Mereka lebih bijak, dengan 

memberikan registrasi dan izin terbang pada UAV dengan 

bobot kurang dari 25 kg dan berkecepatan maksimum 160 

km/jam di ketinggian maksimum 120 meter. Peraturan ini 

termasuk jam terbang dan pengontrolnya yang tidak boleh 

berusia kurang dari 16 tahun. 

sesudah  Amazon melakukan terobosan delivery via drone 

yang menggairahkan para usawahan itu, muncul berbagai ide 

lain untuk melakukan hal yang sama. Menyambut hal ini, 

proposal peraturan drone sebagai alat pengiriman barang 

diajukan oleh Senat Amerika Serikat pada 201774. Barulah pada 

Oktober 2017, terbuka kesempatan bagi pihak-pihak penentu 

aturan untuk mempelajari kembali potensi drone sebagai alat 

transportasi barang yang pada akhirnya menyetujui 

pemakaian  drone sebagai delivery vehicle di Amerika Serikat75. 

Langkah Amazon yang inovatif ini akhirnya berbuah manis. 

sesudah  gagal berkali-kali membujuk FAA agar memberikan izin 

pengiriman paket lewat perantara UAV sejak 2017, Amazon 

justru tidak emosional dan tidak menggelar demo di depan 

kantor pemerintah. Amazon malah melakukan cara profesional. 

Yang dilakukannya adalah membuktikan kepada FAA bahwa 

pengiriman lewat drone adalah langkah efisiensi yang mutakhir. 

Amazon membuat banyak video tentang bagaimana mereka 

melakukan uji coba pengiriman makanan di Inggris via drone 

yang hanya membutuhkan waktu 13 menit melintasi London. 

                                                           

sesudah  beberapa kali uji coba, akhirnya FAA melakukan 

penelitian lebih lanjut dan memberlakukan izin pengiriman 

barang via drone di tahun 2017. 

Langkah Amazon yang spektakuler itu diikuti oleh banyak 

perusahaan jasa pengiriman. JD.com, misalnya, perusahaan 

pengiriman paket di Tiongkok. Yang dikirim adalah barang-

barang ringan seperti gawai, makanan dan minuman. Tujuan 

JD.com memakai  jasa drone adalah agar warga  

perdesaan Tiongkok yang teralang topografi yang sulit juga 

bisa merasakan kemudahan berbelanja online.  

 

 

Gambar 3.8 | Drone Amazon sedang beraksi (sumber: theverge.com). 

 

Jika Amazon sukses dengan jasa pengiriman nirawak Prime 

Air-nya, maka Google pun sukses dengan Wing. Alphabet Inc., 

salah satu anak perusahaan Google memberdayakan drone 

mulai tahun 2018 silam di Australia. sesudah  melalui uji coba 

selama 18 bulan, Wing akhirnya mendapat izin resmi dari badan 

pengawas penerbangan Australia. Selama ini, barang-barang 

yang dikirim Wing hanyalah makanan, mulai dari pop corn 

hingga cokelat batangan. Efisiensi drone sangat terasa di kota-

kota yang lalu lintasnya padat atau daerah desa yang jauh. 

Meskipun Wing dapat beroperasi di Australia, tetap saja 

pesawat kurir nirawak ini dilarang beroperasi pada malam hari. 

Pada awalnya, Wing mendapat sejumlah protes karena 

suara bisingnya bisa didengar sampai ruangan dan mobil yang 

tertutup rapat. Karena itu, Wing dilarang terbang di sepanjang 

jalanan utama. Kini, Wing bahkan dapat mengantar pesanan 

kopi panas yang bisa tiba di tangan pelanggannya sebelum jadi 

dingin. 

pemakaian  drone memang mengundang banyak kontro-

versi. Sebelum drone dikomersilkan, alat ini hanya dipakai 

kalangan pemerintah dan militer demi tujuan spionase, anti-

terorisme, penanganan radiasi nuklir dan penjinakan bom. 

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan me-

nerbitkan Peraturan Menteri Nomor 90 Tahun 2015 tentang 

regulasi umum pemakaian  pesawat udara tanpa awak. Salah 

satu aturan itu adalah larangan terbang di atas ketinggian 150 

meter dan sejumlah wilayah udara yang dilarang. Namun 

demikian, peraturan ini belum lengkap karena belum 

membahas detail mengenai lisensi dan sanksi atas pelanggaran 

yang dilakukan. 

Peraturan Menteri itu kemudian disusul empat peraturan 

menteri lainnya, yakni Nomor 163 Tahun 2015, Nomor 180 

Tahun 2015, Nomor 47 Tahun 2016 dan Nomor 78 Tahun 2017. 

Sama seperti regulasi untuk transportasi umum online, 

pemakaian  drone secara komersil maupun individu adalah 

suatu bentuk evolusi teknologi yang tidak bisa dielakkan lagi. 

Mau tidak mau, ranah hukum mesti turut berevolusi untuk 

mengakomodasi berbagai kepentingan agar tidak saling berbenturan. Mulai 2016, Kemenhub mengizinkan drone terbang 

melebihi ketinggian 150 meter dengan lisensi dari unit navigasi 

penerbangan. Sanksi pelanggaran pemakaian  drone juga 

diatur mulai tahun 2017. 

Indonesia memang masih tertinggal dengan negara-negara 

di mana drone pertama lahir. Anda bisa memperkirakan sejauh 

mana kita tertinggal dalam hal drone dari Amerika Serika, 

misalnya. Amerika Serikat telah memakai  drone untuk 

tujuan militer pada tahun 1980-an semasa Perang Dingin. 

Banyak drone kala itu dianggap sebagai pesawat luar angkasa 

alien sehingga banyak sekali hoaks UFO yang beredar di 

Amerika Serikat (bahkan hingga kini). Tak sampai sana, di tahun 

70-an, Amerika Serikat telah menggelontorkan dana untuk 

proyek pembuatan pesawat yang bisa diam di udara. Di ranah 

sipil, Amerika Serikat sudah memakai  satelit untuk 

memantau lahan pertanian dari tahun 1980. Petani-petani 

dengan lahan luas di Midwest, Kansas atau Tennesse biasa 

memakai  pesawat pribadi untuk menyiram lahan, 

menyemprotkan pestisida atau memberi pupuk. Negeri Paman 

Sam itu telah memiliki regulasi pesawat pribadi dengan mesin 

baling-baling yang biasa Anda tonton di film-film Holywood. 

Jadi, petani-petani Amerika juga adalah pilot pesawat pribadi 

pada waktu-waktu tertentu. Keren. 

Evolusi Transmedia Hindu Times 

Evolusi signifikan ke ranah digital juga terjadi di Bali. 

Walaupun tidak menjurus pada waralaba, tren yang terjadi di 

Bali ini bukan tidak mungkin suatu hari merambah sektor 

waralaba. Yang bisa kita jadikan sorotan bersama adalah 

bagaimana evolusi menuju transmedia ternyata sudah mulai 

terjadi di Bali. 

Satu contoh menarik bisa kita lihat pada Hindu Times saat 

mengalami masa transisi menuju ranah digital transmedia. Sejak 

2014, Hindu Times berdiri sebagai bisnis pioneering media cetak 

yang menyediakan informasi tentang Hindu berbasis kajian dan 

riset. Produknya adalah majalah cetak yang terbit setiap tiga 

bulan sekali. Dalam waktu setahun, Hindu Times berhasil 

menggusur nama-mana media incumbent seperti Media Hindu 

dan Raditya berkat konten-konten artikelnya yang menjawab 

berbagai pertanyaan religius dan budaya dengan cara ilmiah. 

Pada tahun 2015, omset penjualan majalahnya naik drastis, 

menyaingi oplah Media Hindu dan Raditya. 

Di tahun itu juga, Hindu Times merilis YouTube Channel 

yang bisa dikatakan asal-asalan, sebab dari segi konten dan 

subscriber, jumlahnya sangat sedikit. Di akhir tahun 2016 terjadi 

kenaikan pajak kertas yang membuat redaksi Hindu Times 

berpikir dua kali untuk mencetak majalah dalam jumlah besar 

dan memasarkannya. Di sisi lain, jumlah pelanggan tidak 

bertambah,—justru berkurang di beberapa tempat lantaran 

agen yang malas melakukan distribusi karena persenan 

keuntungan yang tidak seberapa. Tahun itu, Hindu Times masih 

memberlakukan free delivery ke seluruh Bali. Biaya kirim hanya 

berlaku bagi pelanggan-pelanggan di luar Bali. 

Berkurangnya agen dan pelanggan membuat manajemen 

berpikir keras. Di tahun 2017, majalah itu dua kali terlambat 

terbit karena menunggu pemasukan dari penjualan majalah. 

Harga cetak di tahun itu sudah naik 10% dari tahun 2014. 

Akibatnya, di tahun 2017 dan 2018, Hindu Times hanya mener-

bitkan majalah dua kali setahun. Nasib majalah itu tersengal di 

era desruptif. 

Barulah pada tahun 2019, seluruh manajemen perusahaan 

itu dirombak total. Keputusan bulat diambil. Hindu Times harus 

bertransformasi ke ranah digital. Di pertengahan 2019, tepat di 

hari ulang tahunnya yang kelima, Hindu Times meluncurkan 

kanal YouTube, Facebook Page dan akun Instagram resminya. 

Mulai saat itu, manajemen mengumumkan bahwa majalah versi 

cetak akan dihentikan dan akan dimigrasi total dalam wujud 

digital di website dan kanal YouTube. 

Terjadilah demikian. Konten-konten majalahnya ditransfor-

masi dan didigitalisasi lewat konten video-video menarik, live 

report yang mengesankan, saluran podcast dari narasumber 

terpercaya yang menjawab berbagai pertanyaan netizen. Dalam 

waktu empat bulan, jumlah subscriber-nya melonjak dari tujuh 

ratus orang menjadi 45.000-an orang di bulan September 2019, 

dan terus mengalami peningkatan sejumlah 3-5% setiap 

minggu. Jumlah ini belasan kali lipat oplah majalah versi 

cetaknya di tahun 2015.

Yang dilakukan Hindu Times tidak hanya mengubah wujud 

konten artikel majalahnya begitu dalam format digital, namun 

juga mengembangkan story web. Sebuah artikel di majalah versi 

cetak dibahas dari sudut pandang kekinian di kanal YouTube,—

seperti pembahasan tentang hantu dan makhluk halus yang 

dikaitkan dengan KKN di Desa Penari. Tak hanya itu, Hindu 

Times juga melakukan investigasi dan kunjungan langsung ke 

tempat-tempat menarik yang sempat dimuatnya dulu dalam 

versi cetak. Dalam konten YouTube-nya, Hindu Times mena-

yangkan proses perjalanan di balik riset yang dilakukannya. 

Konten paling unik yang membedakan Hindu Times de-

ngan kanal-kanal YouTube sejenis adalah riset dan kajian 

pustakanya yang mendalam dan dapat dijadikan referensi. 

Meski pada tahap awal terjadi beberapa kesalahan pada video, 

apresiasi dari berbagai kalangan mulai dituainya. Kekuatan 

utama Hindu Times ada pada kemampuannya untuk mengulas 

konten religi dan budaya sesuai dengan khazanah kehidupan 

nyata dengan membaurkannya lewat media sosial, bahasan 

budaya, video reportase ke pura-pura kuno, dan podcast gratis 

yang menambah wawasan. 

Teknik transmedia ini sukses mendulang AdSense. Berkat 

evolusi 2.0 yang dialaminya itu, Hindu Times baru saja masuk di 

jajaran startup media rintisan budaya dan religi terdepan di Bali. 

Jika Anda ingin melihat bukti nyata tentang betapa signi-

fikannya arti sebuah merek, mari kita kembali ke tahun 

1916 dan melihat Goldwyn Pictures. Di tahun seuzur itu, 

apa yang Anda bisa bayangkan tentang Indonesia? Saat itu Bali 

baru satu dekade dikuasai Belanda, dan orang-orang Indonesia 

pada masa itu bahkan belum mengenal mesin, apalagi kamera. 

Namun Metro-Goldwyn-Mayer telah berdiri di Amerika Serikat 

sebagai perusahaan film. Dari sana saja Anda bisa melihat 

jurang perbedaan kemajuan industri perfilman dalam negeri 

dan Holywood. 

Yang kita akan bahas bukanlah mengenai dunia perfilman, 

melainkan tentang logo MGM. Howard Dietz, sang eksekutif, 

ingin sebuah logo singa yang bisa mengaum untuk mengenang 

tim atletik Universitas Columbia tempatnya dulu kuliah. Tahun 

1924, Goldwyn Pictures bergabung dengan Metro Pictures dan 

Louis B. Mayer Pictures membentuk MGM—Metro-Goldwyn-

Meyer Pictures. Untuk mendesain logonya, para produser di 

MGM merekam singa hidup yang bernama Slats. Waktu itu, 

karena industri film hanya bisa memproduksi film bisu, maka 

sang singa tidak mengaum. Kemudian, pada 31 Juli 1928, Slats 

memperdengarkan raungan perdananya di hadapan ribuan 

penonton melalui sebuah rekaman gramofon. Mulai saat itulah 

MGM dikenal dengan raungan singanya. Anda yang hobi 

menonton kartun Tom and Jerry pasti selalu melihat logo singa 

ini mengaum di bagian awal film. 

Singa ketiga yang dipakai oleh MGM adalah seekor singa 

sirkus bernama Jackie. Demi sebuah logo legendaris yang 

‗hidup‘ dan ‗mengaum‘, kru MGM rela menunggui si singa 

selama berjam-jam agar raungan dan gayanya pas dengan 

frame yang sudah dibuat. Akhirnya sesudah  merekam selama 

berjam-jam, kru akhirnya mendapat  raungan yang pas untuk 

dipasang sebagai logo hidupnya. Singa terkahir yang menjadi 

maskot MGM bernama Leo, yang raungannya bisa Anda tonton 

hingga kini. 

Sebuah branding mencerminkan kekuatan inti sebuah 

perusahaan. Melalui branding, orang mengenal segala reputasi 

perusahaan itu. Branding tidak hanya mencakup logo, namun 

juga musik, maskot, jargon, slogan, jenis huruf, warna khas, 

ukuran, desain dan bahkan jingle. Setiap perusahaan media 

memiliki font dan warna tersendiri sehingga tanpa membaca 

pun orang sudah bisa mengenali media-media tertentu. Logo 

Kompas, misalnya, punya warna biru khas dengan font dan 

kode berbeda dengan biru pada umumnya. Kode ini menjadi 

ciri khas Kompas. Hal yang sama juga dilakukan Bali Post dan 

semua media lainnya. 

Setiap kali Anda melihat warna merah khas dari ACK, yang 

langsung terbayang dalam benak Anda pasti ayam goreng. 

Setiap kali melihat logo Indomaret dan Alfamart, Anda pasti 

membayangkan minimarket di mana Anda bisa membeli segala 

jenis biskuit dan minuman ringan kesayangan Anda. Ketika 

Anda kelaparan di jalan dan memerlukan sepotong roti, yang 

Ada di benak Anda pasti logo Alfamart atau Indomaret. Inilah 

keajaiban branding. 

Dalam bab ini, kita akan mengulas branding sebagai keku-

atan utama waralaba. Dalam bahasa sederhana, waralaba berarti 

jualan merek, atau penyewaan merek. Oleh karena itu, merek 

adalah komponen utama waralaba dan sekaligus menjadi ele-

men utama dalam sistem waralaba. Beberapa riset tentang 

psikologi merek juga mengungkap banyak hal menarik tentang 

bagaimana merek bisa dengan mudahnya menyihir daya beli 

warga .  

Di bagian selanjutnya, pembahasan akan berlanjut kepada 

elemen kedua yang menjadi sinergi waralaba, yakni kekuatan 

hukum. Sejauh mana hukum di Indonesia telah mengatur garis-

garis besar usaha waralaba, termasuk bidang usaha digital serta 

bagaimana perbandingannya dengan hukum di luar negeri akan 

dapat Anda temukan di bab ini.  

Yang tak kalah pentingnya adalah isu-isu terkait waralaba 

yang semakin menjamur di Indonesia. Tentang bagaimana 

waralaha bersinergi dengan demografi atau malah menjadi rival 

bagi industri kecil dan industri kreatif akan menjadi subtopik 

menarik dalam bab ini. Beberapa tren isu belakangan ini 

menggandeng permasalahan sekaratnya pasar-pasar tradisional 

dan usaha kerakyatan akibat menjamurnya ritel waralaba. 

Beberapa studi kasus juga patut kita cermati,—semisal tentang 

mengapa beberapa daerah di Bali sukses ‗mengusir‘ waralaba 

ritel dan apa motif yang mendasarinya. 

Sebagai sebuah sistem buatan manusia, waralaba pasti 

memiliki kekurangan. Elemen drawback ini juga penting kita 

bahas bersama, terutama terkait dampak waralaba bagi sektor 

usaha di sekitarnya, atau malah dampak negatifnya terhadap 

perubahan perilaku konsumsi warga . Ada pula dampak 

waralaba dari ranah sosial dan budaya yang barangkali dapat 

menjawab pertanyaan mengapa toko-toko ritel waralaba sangat 

tidak disukai di beberapa daerah. 

The Power of Branding 

Pernahkah Anda bertanya mengapa Anda lebih memilih 

produk ponsel tertentu daripada produk lainnya? Padahal 

ponsel yang ditawarkan memiliki kualitas dan fitur yang sama. 

Mengapa Anda lebih memilih Apple daripada Android? 

Mengapa Anda lebih percaya diri ketika memakai  Adidas 

daripada merek lain? Mengapa jas Zara yang Anda pakai mem-

buat Anda seolah lebih tampan atau cantik padahal jas serupa 

bisa Anda beli di toko lain yang harganya jauh lebih murah? 

Semua yang Anda alami adalah salah satu gejala yang disebut 

sebagai psychology of brand. Dengan kata lain, Anda sedang 

dikelabui oleh sebuah merek. 

Ini adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak. Subawa (2016) 

menemukan bahwa konsumen yang mengkonsumsi merk 

parfum internasional di Kota Denpasar adalah mereka yang 

status sosialnya cukup tinggi, dengan penghasilan rata-rata lima 

belas juta per bulan1. Dia menyimpulkan bahwa konsumen 

parfum branded di Kota Denpasar memilih parfum impor karena 

ingin menciptakan kesan eksklusif pada diri mereka dalam 

hubungannya dengan hirarki sosial di mana mereka berada. 

Jadi, muncullah istilah brand fanatics2 yang mengagung-

agungkan merek impor (walaupun berganti-ganti). Lagi dan 

lagi, pola konsumsi seperti ini didorong oleh prestise dan gaya 

hidup esteem. 

Merek pada kenyataannya memiliki nilai jual lebih tinggi 

daripada produknya sendiri. Tatkala kapitalisme global mem-

permainkan level kebutuhan manusia dan membuat self-esteem 

menjadi begitu penting, maka sasaran selanjutnya adalah harga 

diri. Merek-merek terkenal menawarkan penjualan esteem de-

ngan harga mahal. Anda rela membeli sepatu seharga dua juta 

rupiah karena mereknya Nike atau Adidas padahal pembuatnya 

adalah perusahaan sepatu lokal di Cibaduyut. Itulah the power 

of branding sebagai tangan kanan esteem economy. 

Bernd Schmitt, seorang ahli psikologi konsumen dari Ame-

rika Serikat merumuskan sebuah teori yang disebutnya sebagai 

consumer psychology of brands. Menurut Schmitt, ada tiga 

jenjang keterlibatan konsumen dalam kedekatannya terhadap 

suatu merek. Jenjan pertama disebut dengan object-centered. 

Konsumen memilih suatu merek karena merek ini  memiliki 

nilai bagi konsumen. Anda tidak akan melihat merek bila  

membeli sakelar lampu, bukan? Ketika Anda membeli buku tulis 

untuk anak Anda, sangat jarang Anda melihat merek buku tulis 

itu. Karena itu, dalam tahap object-centered, ketekatan dan 

                                                           

ikatan Anda pada suatu merek belum begitu lekat karena Anda 

tidak memiliki afeksi khusus pada merek itu. 

 

 

Gambar 4.2 | Billabong dengan kekuatan brand-nya mampu sejajar dengan 

merek-merek fashion casual dunia (sumber: justgola.com). 

 

Ketika suatu hari printer Anda rusak dan tidak bisa diper-

baiki, Anda harus membeli printer baru. Anda membeli printer 

merek N yang ternyata lebih awet tiga tahun daripada merek 

sebelumnya. Menurut hemat Anda, printer merek ini  

sangat bagus dan menghemat biaya penyusutan peralatan 

kantor perusahaan Anda. Karena itu, Anda selalu membeli prin-

ter N untuk kantor Anda. Dalam tahap ini, Anda berada dalam 

keterlibatan psikologis yang disebut dengan self-centered.  

Lama-kelamaan, Anda tahu bahwa kawan Anda juga 

memakai printer dengan merek yang sama. Tatkala Anda 

mengobrol, kawan-kawan Anda mentestimoni bahwa merek N 

sangat kuat, tidak cepat rusak, dan hasil cetakannya bagus. Di 

iklan-iklan Anda juga melihat hal yang sama. Lagipula, penga-

laman Anda bertahun-tahun memakai printer itu membuat 

Anda percaya pada mereknya. Dalam tahapan ini, merek itu 

telah menjadi bagian dari realita sosial Anda, sehingga merek 

itu berada dalam tahap social-centered bagi Anda. Dengan kata 

lain, merek itu telah menjadi bagian dari realitas sosial Anda. 

Pepsodent, salah satu sub-merek Unilever, ingin mencapai 

tahap merek yang social-centered bagi konsumennya. Lewat 

iklan-iklannya, Pepsodent selalu menggaungkan ‗sikat gigi pakai 

Pepsodent‘. Biasanya, orang-orang masih berkata ‗sikat gigi 

pakai odol‘, padahal, Odol adalah nama sebuah merek pasta 

gigi di zaman kolonial. Sedemikian melekatnya nama Odol bagi 

warga  Indonesia waktu itu, bahkan hingga kini nama 

ini  terasosiasi otomatis dengan pasta gigi. 

Tiga lapisan pada skema di atas merepresentasikan tiga 

tahap keterlibatan psikologis seseorang terhadap suatu merek. 

Lapisan paling dalam menggambarkan object-centered, di mana 

seseorang belum memiliki ikatan terhadap suatu merek. Lapisan 

tengah adalah self-centered, tahap di mana seseorang mulai  

merasakan ikatan pada suatu merek karena keistimewaannya 

dibandingkan dengan merek lain. Lapisan terluar adalah social-

centered, saat di mana merek menjadi begitu penting dan Anda 

terikat kepada merek itu karena ia mencerminkan pilihan 

warga .  

Tiga tahapan psikologis ini  tidak hanya dilihat dari sisi 

konsumen, namun juga produsen. Pemilihan merek yang tepat 

menentukan ada di posisi mana merek itu dalam ranah 

psikologi konsumen. Posisi merek dalam ranah psikologi 

konsumen itu membuat suatu merek terkenal sebagai ‗bere-

putasi‘ atau ‗biasa-biasa saja‘ atau malah ‗pemain baru yang 

cetar membahana‘.  

Psikologi merek ini pun dipelajari dalam ilmu komunikasi 

dan menjadi senjata yang sangat ampuh dalam kemajuan suatu 

usaha. Karena itu, Anda tidak perlu heran lagi bahwa Bank 

Mandiri menggelontorkan dua milyar rupiah hanya untuk 

membuat sebuah logo, dan Apple menguras jutaan dolar untuk 

revisi logonya dari waktu ke waktu. Jika Anda adalah seorang 

desainer grafis, Anda boleh bangga karena desainer grafis 

seharusnya dibayar jauh lebih tinggi daripada pekerja lain! 

Branding, menurut banyak ahli psikologi marketing dan 

ilmu komunikasi, tidak hanya mencakup sebuah logo. Logo 

hanyalah salah satu elemen visual dari sebuah branding. Sebuah 

branding adalah pengalaman panca indera bagi seorang 

konsumen. Jika Anda pernah memperhatikan iklan Sprite, Anda 

hampir selalu disuguhi segala hal berbau gelembung, air, es, 

lemon, udara yang dingin, suara kelenting es balok dengan 

gelas, serta suara buih soda yang meluap-luap ketika dituang. 

Semua itu memberikan efek sensory engagement—keterlibatan 

panca indera tatkala Anda menonton iklannya. Semua elemen 

itu adalah branding. Jadi, sebuah brand melibatkan jingle 

(seperti iklan tepung beras Rose Brand atau Maspion), alat 

musik khas, jargon, slogan, dan suara-suara khas. 

 

Proses pengenalan brand 

Lebih jauh lagi, Schmitt menjabarkan bagaimana seseorang 

pada mulanya mengenal suatu merek, dan akhirnya menjadikan 

merek itu sebagai bagian dari hidupnya. Proses jatuh cinta pada 

merek ini diuraikannya secara lebih rinci dalam teori pengenalan 

merek. Dinyatakannya bahwa ada lima tahap pengenalan brand 

yang melibatkan intensitas psikologi yang berbeda-beda, yang 

dipacu oleh motivasi internal maupun eksternal. Kelima proses 

ini  adalah (1)identifying the brand; (2)experiencing the 

brand; (3) integrating; (4) signifying; dan (5) connecting. 

Identifying the brand. Pertama-tama, tatkala Anda baru 

mengenal sebuah merek, yang Anda lakukan adalah mencari 

informasi tentang merek itu, melakukan eksplorasi, mem-

banding-bandingkannya dengan merek yang sudah ada. 

Misalnya, Anda ingin membeli yogurt. Ternyata, ada merek 

yogurt baru di minimarket. Anda membandingkan harga, 

bentuk kemasan, warna dan komposisinya. Ini disebut tahap 

brand categorization. Tatkala Anda menemukan sesuatu yang 

baru atau unik pada brand ini , maka Anda memutuskan 

untuk membeli produknya. Anda memutuskan untuk membeli-

nya karena brand ini  menurut Anda punya ‗sesuatu‘ yang 

baru dan unik. Ini disebut tahap association. Kemudian, sesudah  

beberapa kali mencoba yogurt itu, Anda merasakan manfaat 

yang baik buat kesehatan Anda. Maka, timbullah kesadaran 

yang tumbuh dari dalam diri Anda bahwa ‗next time saya mau 

beli yogut itu lagi‘. Jika sudah dalam tahap ini, maka Anda 

sedang memiliki sebuah brand awareness.  

Seringkali satu produsen membandingkan produknya dengan 

produsen lain, baik dari segi komposisi, cara pembuatan, atau 

kualitas lainnya. Schmitt menyebut ini sebagai interbrand 

relation. Salah satu kasus paling fenomenal mengenai 

interbrand relation adalah kasus pertarungan sengit Pepsi dan 

Coca Cola di ranah advertisi, atau perhelatan McDonalds 

dengan KFC. Anda mungkin pernah melihat iklan badut 

McDonalds  yang membeli ayam goreng di KFC, atau iklan yang 

menampilkan seorang anak kecil yang menumpuk dua kaleng 

Coca Cola untuk mengambil sekaleng Pepsi Blue yang ada di 

puncak tumpukan minuman ringan. Semua itu adalah usaha-

usaha kreatif (dan berani) agar konsumen memiliki interbrand 

relation,—yang pada dasarnya akan menguntungkan pihak 

pengiklan. 

Experiencing the brand. Ada saat di mana konsumen sampai 

pada tahap ‗cicip-cicip‘ atau ‗coba-coba‘. Untuk menggiring 

konsumen dalam tahap ini, sebuah brand harus memiliki unsur-

unsur yang merangsang panca indera. Untuk mengalami secara 

langsung suatu merek, maka harus ada multisensory perception 

pada sebuah merek. Multisensory perception adalah rangsangan 

khas  yang menggerakkan  panca indera  konsumen. Hal ini bisa  

Gambar 4.4 | Pertarungan merek juga terjadi antara McDonalds dengan Burger King. 

Dalam iklan ini tampak maskot McDonalds sedang membeli sepaket Burger King 


 

dilakukan dengan memberi warna khas, rasa yang unik, musik 

pengiring, jingle, bahkan dialek dan kekhasan fonetik. Zampini 

dan Spence (2004)4 menyatakan bahwa bunyi yang khas sangat 

berpengaruh pada kedekatan konsumen dalam ‗mengalami 

sensasi‘ suatu merek. 

Itulah sebabnya mengapa warna biru dan jenis font pada 

harian Kompas tidak pernah berubah. Algom & Cain (1991)5 

menyatakan bahwa otak manusia sangatlah mudah melupakan 

kesan-kesan panca indera, berupa intensitas cahaya atau 

gradasi warna, kecuali jika kesan-kesan itu diasosiasikan dengan 

sesuatu. Karena itulah ketika Anda melihat kata KOMPAS 

dengan warna biru khas, maka pikiran Anda langsung 

mengingat surat kabar, bau kertas koran, dan berita-berita 

berbobot. 

Dari teori ini, lahirlah apa yang disebut sebagai ‗merah 

Cola‘, ‗biru Pepsi‘, kuning McDonalds‘, ‗renyah Mr. Potato‘ dan 

sebagainya. Di mana pun Anda melihat Coca Cola, warna 

merahnya selalu sama. Ini menimbulkan kesan indera yang kuat. 

Tatkala Anda menonton iklan terbaru es krim Magnum, cobalah 

mendengar naratornya dengan lebih seksama. Anda akan 

mendengar efek suara seolah-olah narator itu sedang 

mempromosikan Magnum dengan mulut penuh dengan sisa 

lumeran es krim. Tak hanya itu, efek suara yang dipakai dalam 

iklan itu sangat khas,—persis suara ketika Anda menggigit 

lapisan cokelat Magnum yang tebal.  

Ketika Anda memiliki ikatan emosi tehadap suatu merek, 

maka Anda sudah mencapai tahap brand affect. Entah mengapa, 

setiap Anda mendengar lagu jingle Oreo, Anda merasa sangat 

bersemangat. Kapan pun jingle Spons Bob diputar, Anda pasti 

                                                           

tertawa sendri. Ketika Anda melihat lumeran keju mozarela 

dalam iklan Pizza Hut, Anda langsung lapar. Tatkala Anda 

mendengar jargon ‗a long, long time ago in a galaxy fa, far 

away‘ maka seketika itu pula Anda terbayang Star Wars. Anda 

pun barangkali kadang tak menyangka bahwa setiap Anda 

melihat warna biru gelap pada sebuah brand, kesan yang 

muncul adalah akademik. Monster Energymembuat logonya 

sedemikian rupa sehingga siapa pun yang melihatnya akan 

berpikir bahwa ia bisa menjadi sekuat monster jika meminum 

cairan soda di dalamnya. Semua ini adalah brand affect. 

Tahap selanjutnya sesudah  brand affect disebut sebagai 

brand participation menurut Schmitt. sesudah  Anda mengalami 

bersama suatu merek, berbagi afeksi dan perasaan, maka Anda 

hidup bersama merek itu. Setidaknya Anda pasti pernah 

berkata, ―Malas baca buku. Di-google saja.‖ Menurut Schmitt, ini 

adalah tahap di mana Anda berpartisipasi dalam interaksi 

dengan suatu brand. Dalam bahasa yang lebih singkat, Anda 

berada dalam tahap di mana Anda mulai berpikir bahwa suatu 

brand adalah makhluk hidup. Schmitt berargumen bahwa kapan 

pun suatu brand bertransformasi dari sebuah noun ‗kata benda‘ 

menjadi verb ‗kata kerja‘, maka itu merupakan salah satu ciri 

bahwa suatu brand memasuki subtahap consumer participation, 

untuk selanjutnya melangkah ke dalam tahap integrasi. 

Intergrating the brand. Sebuah brand memiliki semesta 

yang ditangkap oleh panca indera konsumen. Dari fragmen-

fragmen brand yang ditangkap oleh indera-indera konsumen, 

terciptalah sebuah overall concept. Produsen biasanya akan 

terus mengulang-ulang jargon, animasi, nama atau jingle 

sebuah brand agar psikologi konsumen terhipnotis oleh 

stimulus yang berulang-ulang ini . Dengan demikian, akan 

terbentuk sebuah hubungan Antara konsumen dengan brand. 

Go-Jek melakukan hal yang sama dengan membuat iklan 

mengharukan tentang bagaimana Go-Jek mempertemukan 

konsumen dengan konsumen lain. Tokopedia membuat iklan 

tentang betapa berharganya sebuah harapan. Belum lagi jika 

Anda menonton iklan-iklan asuransi Thailand yang super 

mengharukan. Tujuan iklan ini  hanya satu: membangun 

integritas dengan konsumen. 

Dalam subtahapan brand concept, konsumen mengkon-

struksi informasi menyeluruh dengan suatu brand. sesudah  

sekian lama Anda berlangganan harian X, Anda tahu kelemahan 

dan kekurangan harian itu. Anda tahu betul rubrik kesayangan 

Anda, dan Anda bahkan tahu ciri khas agen yang mengantarkan 

koran itu kepada Anda. Memasuki subtahapan brand person-

ality, Anda merasakan bahwa harian X memiliki kepribadian. 

Anda tahu perbedaan harian X dengan harian lain, mulai dari 

mood tulisannya, kesan yang ditampilkan, serta atribut 

psikologis lainnya. Singkatnya, Anda merasa seolah-olah suatu 

brand memiliki aribut layaknya manusia. Misalnya, Anda tahu 

betul bahwa saluran TV yang Anda tonton adalah GTV padahal 

tidak ada logo yang tampil di kanan atas. Pikiran Anda secara 

otomatis bisa membedakan mana tayangan GTV, RCTI, ANTV 

atau saluran lain dari atribut-atribut brand yang khas itu—mirip 

seperti sedekat Anda membedakan aroma pakaian anak Anda 

dengan anak orang lain. 

Kemudian, ada subtahapan yang dikenal dengan brand 

relationship. Dalam subtahapan ini, Anda mulai berpikir bahwa 

suatu brandseharusnya bertindak (atau melakukan sesuatu) 

sesuai dengan norma yang telah terpatri pada dirinya secara 

sosial. Contohnya seperti ini: Anda tahu bahwa Sunlight adalah 

merek cairan pencuci piring. Jadi, Anda berpikir bahwa ‗Sunlight 

memang seharusnya jadi merek cairan pencuci piring, bukan 

sabun‘. Oleh karena itu, Anda mungkin akan kaget bahwa 

Sunlight pernah meluncurkan produk sabun mandi yang 

kemudian berhenti diproduksi di tahun 2006 silam. Jadi, Anda 

memiliki judgment terhadap suatu brand: ―Pertamina itu penjual 

bensin, bukan tukang tambal ban nitrogen!‖ atau ―Saya tidak 

setuju jika Batman masuk Marvel. Karakter mereka berbeda 

jauh.‖ 

Signifying. Suatu brand ada dalam tahap ini tatkala ia 

menjadi simbol personal, simbol budaya, identitas negara asal, 

atau menjadi isyarat informasi. Anda tentu tahu bahwa setiap 

kali iklan KFC muncul di TV, ada Kolonel Sanders di sana,—yang 

adalah orang Amerika. Dulu, setiap kali mendengar jingle 

Doraemon, Anda selalu ingat Jepang. 

Dalam tahap ini, Anda menaruh kepercayaan pada suatu 

brand karena brand ini  menawarkan kredibilitas yang 

sudah Anda alami sendiri atau dialami oleh banyak orang. Bear 

Brand, contohnya, mendapat  reputasinya sebagai produsen 

susu sapi murni. Orang akan percaya pada brand itu karena 

berbagai macam testimoni yang menyatakan bahwa Bear Brand 

sangat bagus untuk menyembuhkan tifus.  

Ada subtahapan identity signal, yakni tatkala seseorang 

tersugesti pada suatu brand. Anda tentunya pernah mendengar 

jargon Biskuat ―sekuat macan‖ atau ―orang pintar minum Tolak 

Angin‖. Nah, jargon-jargon seperti ini disebut identity signal,—

yang memberikan sugesti bahwa ketika orang memakai produk 

itu, maka dia menjadi kuat atau ‗dia termasuk dalam kerumunan 

orang pintar‘. 

Connecting. Tahap terakhir pengenalan sebuah brand ada-

lah tahap di mana brand itu benar-benar terkoneksi dan 

menyatu dengan kehidupan warga . Dengan kata lain, 

tahap connecting adalah tahap ‗odolisasi‘ sebuah brand,—saat 

di mana nama brand menjadi istilah umum seolah-olah ia 

adalah kata kamus yang umum. Gejala ini sudah ada pada 

brandGo-Jek. Walaupun seseorang memesan ojek online merek 

lain, orang sering berkata ―naik Go-Jek‖. Go-Jek seolah-olah 

sudah menjadi kata umum untuk ‗transportasi dan paket 

pengantaran barang daring di Indonesia‘.  

Tahap inilah yang menjadi tujuan akhir setiap produsen. 

Dalam tahapan ini, suatu brand memiliki attitude, attachment 

dan community. Attitude berarti bahwa suatu brand  memiliki 

tempat di hati warga  sebagai sebuah brand dengan 

spesifikasi yang khas. Ted-ed, misalnya, menjadi media edukasi 

terpercaya di YouTube karena warga  tahu bahwa konten-

konten Ted-ed sangat edukatif dan inspiratif. Got Talent, Idol 

dan Voice menjadi brand karier bakat dan musik bergengsi 

karena karakteristiknya yang khas.  

Suatu brand memiliki kekuatan attachment ketika sese-

orang terikat untuk membeli produk-produk dari brand 

ini . Prenagen, contohnya, mengeluarkan produk susu dari 

prakehamilan hingga pascamelahirkan, sehingga ibu-ibu akan 

terus berlangganan Prenagen bahkan sampai anaknya mengin-

jak usia balita. Ini adalah contoh strategi brand attachment yang 

amat sukses.  

Di saat Anda tergila-gila pada suatu merek sampai-sampai 

Anda membuat sebuah fans club, Anda mencapai tahap brand 

community. Ada komunitas ibu-ibu Prenagen di dunia maya, 

komuntas pecinta Google, komunitas Monster Energy, dan 

sebagainya. Anda yang menyukai film-film, komik dan kartun 

Jepang dikenal sebagai para wibu, dan orang-orang yang 

tergila-gila pada franchise The Lord of the Rings dikenal sebagai 

para LOTR Fans. Semakin luas komunitas brand, maka semakin 

besar peluang suatu brand menjadi ‗jiwa‘ dari suatu warga . 

Inilah tujuan akhir dari terciptanya sebuah brand. 

Waralaba dan ranah hukum 

Sebuah waralaba berkembang karena kekuatan brand yang 

besar, dan dalam bagian sebelumnya telah Anda baca 

perjalanan sebuah brand hingga menjadi sebuah brand 

community yang melekat betul di hati orang. Tidak semua brand 

sukses bertransformasi melalui kelima fase itu, namun 

setidaknya rata-rata brand pada masa kini berada dalam fase 

kedua atau ketiga. Jika brand ciptaan Anda bisa setidaknya 

berada dalam fase kedua, usaha Anda sudah bisa lepas dari 

inkubator dan berkembang tanpa asupan ‗selang inkubasi‘ 

bisnis lagi6. 

sesudah  brand tercipta, maka langkah selanjutnya adalah 

memastikan brand itu hanya Anda yang punya. Ini adalah 

sebuah langkah serius, sebab Anda tidak akan pernah bisa 

mewaralabakan perusahaan sekaligus branding Anda jika Anda 

tidak bisa membuktikan bahwa brand itu adalah milik Anda. 

Dalam hal ini, Anda perlu kekuatan hukum.  

Sebuah brand, katakanlah brand produksi susu kedelai ber-

protein nabati tinggi hasil kreasi Anda, setidaknya harus 

memiliki empat kekuatan hukum. Mengerikan? Tidak sama-

sekali. Justru dengan perlindungan hukum ini, usaha Anda akan 

kebal dari berbagai ancaman para plagiat. Anda tidak perlu lagi 

pusing seperti Tuan Crab yang selalu khawatir resep rahasia 

Craby Patty-nya dicuri oleh si Plankton bermata satu. 

Kekuatan hukum pertama yang harus Anda miliki adalah 

hak merek. Jadi begini. Apa pun kreasi Anda, baik produk, ide, 

seni, maupun jasa unik, tergolong dalam kekayaan intelektual. 

Kekayaan intelektual ini dibagi-bagi lagi menjadi hak cipta 

                                                           

(copyright), hak merek (trademark), hak cipta desain industri 

(industrial design right), hak paten (patent), indikasi geografis 

(geographical indication), rahasia dagang (trade confidentials), 

dan desain tata letak sirkuit terpadu (electronic integra