Tampilkan postingan dengan label imigrasi 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label imigrasi 2. Tampilkan semua postingan
Rabu, 13 September 2023
sedemikian rupa sehingga kegiatan pelayanan yang
ada lebih mudah mewujudkan kinerja yang maksimal. Variabel
iklim, suasana dan kerangka pengambilan keputusan ini
secara teknis dapat dilihat sebagai variabel manajemen, sumber
daya manusia dan sarana serta prasarana yang terkait dengan
bekerjanya kegiatan pelayanan di lingkungan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sistem manajemen yang dibutuhkan dalam rangka
mewujudkan kegiatan pelayanan yang efektif dan
berkualitas haruslah bermuara pada apa yang kita sebut
sebagai Total Quality Management. ini berarti bahwa
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, termasuk
pula tingkat Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia, haruslah melengkapi diri dengan
kebijakan-kebijakan operasional yang menjamin bahwa
kegiatan pelayanan BVK, dengan memperhatikan
beberapa unsur, yakni (1) memfokuskan diri pada fungsi
kegiatan, (2) selalu berobsesi terhadap kualitas pelayanan
yang diberikan.
2. Kebijakan Sumber Daya Manusia
Kebijakan dalam bidang Sumber Daya Manusia
dalam konteks peningkatan efektivitas dan kualitas kerja,
khususnya dalam kegiatan pelayanan yang harus diambil
oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, termasuk
pula tingkat Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia, adalah Kebijakan penempatan dan
pemberdayaan petugas menuju pada spesialisasi tugas.
Spesialisasi tugas akan membuat pekerjaan menjadi lebih
efisien, karena petugas akan melaksanakan fungsi tunggal
sehingga konsentrasi dan tanggung jawab mereka akan lebih baik dibandingkan apabila semua petugas bersamasama melakukan beberapa tugas yang terpisah.
3. Kebijakan di bidang Sarana dan Prasarana
Ada kebijakan di bidang sarana dan prasarana yang
terkait dengan peningkatan efektivitas dan kualitas
kegiatan pelayanan yang dapat diambil oleh Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
yakni kebijakan yang mengarah pada permintaan anggaran
melalui APBN Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia maupun dari jalur atau sumber-sumber lainnya.
C. Strategi
Menyadari bahwa kondisi efektivitas pelayanan yang
ada hingga saat ini belumlah maksimal maka perlu kiranya
dilakukan strategi tertentu guna mewujudkan kebijakankebijakan pengembangannya.
Namun demikian, perlulah kita sadari bahwa apapun
kebijakan yang akan diambil guna meningkatkan efektivitas
dan kualitas kegiatan pelayanan haruslah didasari oleh
beberapa hal terlebih dahulu, yakni: (1) tekad yang kuat
dalam diri setiap pihak yang terkait, (2) harus adanya persepsi
kesejajaran prioritas urusan, (3) harus adanya rasa keterbukaan
dan saling mendukung di antara unit kerja yang ada, (4) harus
adanya mekanisme kontrol yang siap dilaksanakan terhadap
tugas dan tanggung jawab ini , (5) mekanisme kontrol ini harus dilakukan baik oleh tingkat Pusat maupun Kantor
Wilayah yang bersangkutan.
Untuk melakukan suatu perubahan seringkali memang
tidaklah mudah, apalagi bila menyangkut perubahan yang
bersifat fundamental dan menyeluruh. Biasanya setiap
perubahan (meskipun mengarah pada kebaikan bersama) pasti
menghadapi penolakan. Sikap menolak perubahan merupakan
perilaku yang umum terjadi. Berkaitan dengan perubahan
ini , ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Perubahan sulit berhasil bila manajemen puncak tidak
menginformasikan proses perubahan secara terus menerus
kepada para petugas atau karyawannya;
2. Persepsi petugas atau karyawan atau interpretasinya
terhadap perubahan sangat mempengaruhi penolakan
terhadap perubahan.
Ada beberapa persyaratan untuk melaksanakan perubahan
bagi pengembangan kegiatan pelayanan. Persyaratan ini
meliputi komitmen dari atasan puncak, dan pembentukan
infrastruktur yang mendukung penyebarluasan dan perbaikan
berkesinambungan, yakni: (1) Komitmen dari atasan puncak,
(2) Komitmen atas sumber daya yang dibutuhkan, (3)
Infrastruktur yang mendukung penyebarluasan dan perbaikan
berkesinambungan.
Berbagai usaha kebijakan yang telah dirancang bagi
pengembangan kegiatan pelayanan dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. usaha pengembangan bidang manajemen
Guna mewujudkan kebijakan dalam manajemen,
yakni:
a. Mewujudkan suatu sistem pelayanan pelayanan yang
berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan sasaran
pelayanan melalui kegiatan evaluasi kebutuhan
dan kepuasan pengguna jasa ini melalui suatu
penelitian yang dirancang secara seksama dan ilmiah;
b. Untuk selalu dapat berobsesi pada kualitas pelayanan,
maka diperlukan suatu sosialisasi etos kerja
terhadapnya dan menerapkan sistem ”reward and
punishment” di antara petugas yang bersangkutan
sesuai dengan prestasi kerjanya.
2. usaha di bidang Sumber Daya Manusia
Beberapa kebijakan di bidang Sumber Daya Manusia
yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja petugas atau
karyawan di bidang pelayanan, antara lain adalah:
a. Penataan Sumber Daya Manusia, yang dimaksudkan
untuk lebih mengefisiensikan perekrutan sumber daya
manusia yang akan dipekerjakan di bidang pelayanan.
b. Penugasan baru bagi petugas atau karyawan yang
terpilih perlu segera disahkan dan disertai suatu uraian job description” yang jelas bahwa mereka mualai saat
itu ditempatkan dalam bidang pelayanan pelayanan
dan tidak diperkenankan merangkap pekerjaan lain.
c. Jenjang karier dan kepangkatan di bidang pelayanan
pelayanan ini lalu akan diberlakukan sama
dengan unit kerja-unit kerja lainnya di lingkungan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
3. usaha di bidang Sarana dan Prasarana
Berbagai usaha yang dapat dilakukan dalam rangka
realisasi kebijakan pengembangan kegiatan pelayanan di
bidang Sarana dan Prasarana, antara lain adalah:
a. Melakukan rencana pengajuan anggaran yang
termasuk diantaranya adalah anggaran bagi
peningkatan kebutuhan akan sarana dan prasarana
bagi kegiatan pelayanan,
b. Serta meneliti kembali kemungkinan penggunaan atau
pengalihan anggaran, sesuai dengan peraturan yang
berlaku, yang diperuntukkan bagi pengembangan
sarana dan prasarana bagi kegiatan pelayanan.
E. Teori Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang
mana meliputi interaksi banyak faktor (Grizzle dan Pettijohn,
2002). Pendekatan yang dipakai dalam menganalisis
implementasi Performance Based Budgeting ini adalah teori
yang dikemukakan oleh George C. Edward III. Menurut Edwards (1980),9
ada empat variabel dalam implementasi kebijakan
publik yaitu Komunikasi (communications), Sumberdaya
(resources), Sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur
birokrasi (bureucratic structure). Menurut Edwards (1980),
ke empat faktor ini harus dilaksanakan secara simultan
karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan
yang erat. Penjelasan ke empat faktor ini adalah sebagai
berikut:
1. Komunikasi
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuranukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individuindividu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan
kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan
demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para
pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar
dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors
mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan
itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu
proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa
menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi
yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang
berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa
yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan
harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya.
Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima
oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan
akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para
aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan
spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti
apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor
kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan
sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil
yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para
implementor secara serius mempengaruhi implementasi
kebijakan.
2. Sumber daya
Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten
implementasi program dan bagaimana akuratnya
komunikasi dikirim. Jika personel yang bertanggungjawab
untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya
dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini
meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi
yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan
kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam
pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin
bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yang diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung
yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program
seperti dana dansarana prasarana.Sumber daya manusia
yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat
tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna
karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan
baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas
maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/
kemampuan para pelaksana untuk melakukan program.
Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar
dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan
pelaksana program ini dipicu karena kebijakan
konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka
dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan
kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus
menguasai teknik-teknik kelistrikan. Informasi merupakan
sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan.
Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi
bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta
bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang
harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung
kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undangundang. Kenyataan di lapangan bahwa tingkat pusat
tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana di
lapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana
melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung
seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana
tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah
yang ada. Sumber daya lain yang juga penting adalah
kewenangan untuk menentukan bagaimana program
dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur
keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun
pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk
melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti
kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa
fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
3. Disposisi atau Sikap
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas
implementasi kebijakan adalah sikap implementor.
Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari
kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan
senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan
pembuat kebijakan maka proses implementasi akan
mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon
implementor terhadap kebijakan; kesadaran pelaksana,
petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program
kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari
respon ini . Para pelaksana mungkin memahami
maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami
kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat
karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya
sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari
implementasi program. Disamping itu dukungan para
pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat
mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai
tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan
pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi
prioritas program, penempatan pelaksana dengan orangorang yang mendukung program, memperhatikan
keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin
dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu
penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif
bagi para pelaksana program agar mereka mendukung
dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/
program.
4. Struktur Birokrasi
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan,
tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur
birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan polapola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam
badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik
potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki
dalam menjalankan kebijakan. Kebijakan yang komplek
membutuhkan kerjasama banyak orang. Unsur yang
mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam
implementasi kebijakan diantaranya tingkat pengawasan hierarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan
proses-proses dalam badan pelaksana.10
Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan
karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan
yang erat. Tujuan kita adalah meningkatkan pemahaman
tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan pengertian
dengan cara mem-breakdown (diturunkan) melalui eksplanasi
implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi
kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi
interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor
mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya
terhadap implementasi
Bila sumber daya cukup untuk melaksanakan suatu
kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang
harus dilakukan, implementasi masih gagal apabila struktur
birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan
dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek
membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan
sumber daya akan mempengaruhi hasil implementasi.
Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi
individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam
birokrasi.
Menurut Grindle dalam Samodra12: ”Implementasi
kebijakan pada dasarnya ditentukan oleh isi kebijakan dan
konteks kebijakan”. Isi kebijakan menunjukkan kedudukan
pembuat kebijakan sehingga posisi kedudukan ini akan
mempengaruhi prosese implementasi kebijakan, kontek
kebijakan ini meliputi kekuasaan, kepentingan dan strategi
aktor-aktor yang terlibat.
Pencapaian keberhasilan suatu kebijakan sangat
tergantung pada pelaku yang mempunyai peranan di luar
kebijakan. Oleh karena itu dalam menentukan keberhasilan
suatu program maka model kesesuaian D.C Korten dalam
Tjokrowinoto13merupakan bentuk yang ideal untuk mencapai
keberhasilan suatu program/kebijakan. Keberhasilan suatu
program juga akan terjadi jika terdapat kesesuaian antara
hasil program dengan kebutuhan sasaran, syarat tugas tugas
pekerjaan program dengan kemampuan organisasi pelaksana,
serta proses pengambilan keputusan organisasi pelaksana
dengan sarana pengungkapan kebutuhan sasaran. Keterkaitan
antara elemen-elemen dalam pelembagaan dapat digambarkan
sebagai berikut:
Di dalam gambar terlihat bahwa organisasi sebagai
salah satu fokus penelitian harus mempunyai kemampuan
menyediakan mekanisme untuk mengkonversikan aspirasi
dan kebutuhan obyektif warga menjadi keputusan
organisasi, melengkapi organisasi dengan berbagai sumber
dan memobilisasikan untuk dapat memenuhi tuntutan
pelaksanaan program sedemikian rupa sehingga output
program akan disesuaikan dengan kebutuhan warga .
Untuk memahami kebijakan publik banyak sekali faktor yang
mempengaruhi keberhasilan kebijakan. Pada hakekatnya
kebijakan publik berada dalam suatu sistem, dimana kebijakan
dibuat mencakup hubungan timbal balik antara tiga elemen
yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Berikut ini skema tiga elemen sebagaimana yang
digambarkan W. Dunn
Tampak Bahwa kebijakan merupakan serangkaian pilihan
yang saling berhubungan yang dibuat oleh pejabat pemerintah
dan diformulasikan ke dalam berbagai masalah (isu) yang
timbul, sedang pelaku kebijakan adalah para individu
atau kelompok individu yang mempunyai peran yang dapat
dipengaruhi dan mempengaruhi kebijakan. Dari pendapat
ini dapat diidentifikasi bahwa mekanisme kebijakan
menunjukkan adanya keterpengaruhan antara pelaku
kebijakan, kebijakan itu sendiri dan lingkungan kebijakan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh E.S. Quade15bahwa
dalam proses implementasi kebijakan akan terjadi interaksi
dan reaksi dari organisasi palaksana, kelompok, sasaran
dan faktor-faktor lingkungan yang mengarah pada konflik,
sehingga membutuhkan suatu transaksi sebagai umpan balik
yang dipakai oleh pengambil keputusan dalam rangka
merumuskan suatu kebijakan. Proses implementasi kebijakan
ini dapat digambarkan sebagai berikut:
lalu implementasi kebijakan publik menurut
Winarno16 (1998:72): ”Model proses implementasi terdapat
6 (enam) variabel yang membentuk kaitan (Linkage) antara
kebijakan dan pencapaian (peformance). Variabel-variabel
ini merupakan variabel bebas dan variabel terikat yang
saling berhubungan satu sama lainnya, adapun keenam
variabel ini adalah (1) ukuran-ukuran dasar dan tujuan,
(2) sumber-sumber, (3) komunikasi antar organisasi dan
kegiatan-kegiatan pelaksana, (4) karakteristik-karakteristik
badan pelaksana, (5) kondisi ekonomi, sosial dan politik, (6)
kecenderungan pelaksana-pelaksana. Jadi dalam implementasi
kebijakan terdapat variabel-variabel yang saling berhubungan
membentuk kaitan antara kebijakan publik dan pencapaian
yang diharapkan.
Menurut Daniel Mazmanian dan Paul A.Sabatier dalam
Wahab17: ”Mempelajari masalah implementasi kebijakan
berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi
sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan
yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang timbul
sesudah disahkannya suatu kebijakan, baik menyangkut
usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun usahausaha untuk memberikan dampak tertentu pada warga ”.
Konsep mengenai implementasi menurut menurut kamus
Webster dalam Wahab18: berasal dari kata to implement
(mengimplementasikan) yang juga berarti menyediakan
sarana untuk melaksanakan sesuatu dan to give practical effect
to (menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu),
termasuk tindakan yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Senada dengan pendapat
sebelumnya, bahwa variabel organisasi pengimplementasi
akan mempengaruhi kebijakan yang ada, dalam implementasi
kebijakan sebenarnya disadari bahwa tidak semua alternatif
secara komprehensif dapat mengatasi semua permasalahan
yang muncul.
Menurut Widaningrum dalam Samodra19menyatakan
bahwa ”Tidak setiap kebijakan yang dirumuskan pemerintah
dapat dijalankan dengan baik dan membuahkan hasil yang
diharapkan”. Disebutkan pula tentang tekanan dari berbagai
pihak, dalam ini dapat dikatakan juga mengenai pentingnya
pengawasan yang dilakukan dalam implementasi kebijakan.
Pengertian pengawasan sebagaimana dikemukakan oleh
Henry Fayol dalam Lubis (1988:25) menyebutkan: ”…. Dalam
setiap usaha, pengawasan terdiri atas tindakan meneliti apakah
segala sesuatu tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan berdasar intruksi-intruksi yang telah
dikeluarkan, prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Pengawasan
bertujuan menunjuk atau menemukan kelemahan-kelemahan
itu ….”.
Sejalan dengan ini penulis akan mengadopsi
pendapat George C. Edwards III yang menyatakan bahwa
variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan adalah:
Komunikasi, Sumber daya, Disposisi dan Struktur birokrasi.
Melihat rumusan pendapat para ahli sebagaimana ini
di atas, pada dasarnya terdapat unsur kesamaan tujuan yang
akan dicapai dalam hal mempelajari implementasi, yaitu
kesuksesan implementasi kebijakan. Namun demikian ada
sedikit fenomena titik tekan dari masing-masing pendapat,
George Edwards III dan Merilee S. Grindle menitik beratkan
kajiannya pada mekenisme kinerja implementasi yang
berkecenderungan pada pola dari atas ke bawah (top-down),
Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier menekankan pada
kerangka analisis implementasi kebijakan, lalu E.S.
Quade dengan memasukkan unsur tekanan dan kepentingan
kelompok sasaran (Bottom-up).20
F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Implementasi Kebijakan
Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah
60%, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan
implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling
berat, karena disini masalah-masalah yang kadang tidak
dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah konsistensi implementasi (Nugroho,
2011).21Berbagai pendekatan dalam implementasi kebijakan,
baik terkait dengan implementor, sumber daya, lingkungan,
metoda, permasalahan dan tingkat kemajemukan yang dihadapi
di warga . Sumber daya manusia sebagai implementor
mempunyai peranan yang penting dalam pengendalian
implementasi kebijakan publik.Menurut Van Meter dan Van
Horn (1975)22, ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja
implementasi, yakni: (1) standar dan sasaran kebijakan; (2)
sumberdaya; (3) komunikasi antar organisasi dan penguatan
aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; (5) disposisi
implementor; (6) kondisi sosial, ekonomi dan politik.
1) Standar dan sasaran kebijakan. Setiap kebijakan publik
harus mempunyai standar dan suatu sasaran kebijakan
jelas dan terukur. Dengan ketentuan ini tujuannya
dapat terwujudkan. Dalam standard dan sasaran kebijakan
tidak jelas, sehingga tidak bias terjadi multi-interpretasi
dan mudah menimbulkan kesalah-pahaman dan konflik
di antara para agen implementasi.
2) Sumber daya. Dalam suatu implementasi kebijakan
perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia
(human resources) maupun sumber daya materi
(matrial resources) dan sumber daya metoda (method
resources). Dari ketiga sumber daya ini , yang paling penting adalah sumber daya manusia, karena disamping
sebagai subjek implementasi kebijakan juga termasuk
objek kebijakan publik.
3) Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program
implementasi kebijakan, sebagai realitas dari program
kebijakan perlu hubungan yang baik antar instansi yang
terkait, yaitu dukungan komunikasi dan koordinasi. Untuk
itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi
bagi keberhasilan suatu program ini . Komunikasi
dan koordinasi merupakan salah satu urat nadi dari
sebuah organisasi agar program-programnya ini
dapat direalisasikan dengan tujuan serta sasarannya.
4) Karakteristik agen pelaksana. Dalam suatu implementasi kebijakan agar mencapai keberhasilan maksimal
harus diidentifikasikan dan diketahui karakteristik agen
pelaksana yang mencakup struktur birokrasi, normanorma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam
birokrasi, semua itu akan mempengaruhi implementasi
suatu program kebijakan yang telah ditentukan.
5) Disposisi implementor. Dalam implementasi kebijakan
sikap atau disposisi implementor ini dibedakan menjadi
tiga hal, yaitu; (a) respons implementor terhadap
kebijakan, yang terkait dengan kemauan implementor
untuk melaksanakan kebijakan publik; (b) kondisi, yakni
pemahaman terhadap kebijakan yang telah ditetapkan;
dan (c) intens disposisi implementor, yakni preferensi nilai
yang dimiliki ini .
6) Kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi.
Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi
kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan
memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau
menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di
lingkungan dan apakah elite politik mendukung
implementasi kebijakan.
Menurut Grindle (1980),23 bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh dua variabel
yang fundamental, yakni isi kebijakan (content of policy) dan
lingkungan implementasi (context of implementation).
1) Variabel isi kebijakan. Variabel isi kebijakan mencakup
hal sebagai berikut, yaitu; (1) sejauh mana kepentingan
kelompok sasaran atau target groups termuat dalam
isi kebijakan publik; (2) jenis manfaat yang diterima
oleh target group; (3) sejauh mana perubahan yang
diinginkan oleh kebijakan. Dalam suatu program yang
bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran
relatif lebih sulit diimplementasikan daripada sekedar
memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada
sekelompok warga miskin; (4) apakah letak sebuah
program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah
menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6)
sumberdaya yang disebutkan apakah sebuah program
didukung oleh sumberdaya yang memadai.2) Variabel lingkungan kebijakan. Variabel lingkungan
kebijakan mencakup hal-hal sebagai berikut; (1) seberapa
besar kekuatan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki
oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan;
(2) karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa;
(3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983),24 ada tiga
kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah (tractability
of the problems); (2) karakteristik kebijakan/undang-undang
(ability of statute to structure implementation); (3) variabel
lingkungan (nonstatutory variables affecting implementations).
Karakteristik masalah:
1) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan.
Di satu pihak ada beberapa masalah sosial secara teknis
mudah dipecahkan, seperti kekurangan persediaan air
minum bagi penduduk atau harga beras tiba-tiba naik.
Di pihak lain terdapat masalah-masalah sosial yang sulit
dipecahkan, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi
dan sebagainya. Oleh karena itu, sifat masalah itu sendiri
akan mempengaruhi mudah tidaknya suatu program
diimplementasikan.
2) Tingkat kemajemukan kelompok sasaran. Ini berarti bahwa
suatu program relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya homogen. Sebaliknya, apabila
kelompok sasarannya heterogen, maka implementasi
program akan relatif lebih sulit, karena tingkat pemahaman
setiap anggota kelompok sasaran program relatif berbeda.
3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi.
Sebuah program akan relatif sulit diimplementasikan
apabila sasarannya mencakup semua populasi. Sebaliknya,
sebuah program relatif mudah diimplementasikan apabila
kelompok sasarannya tidak terlalu besar.
4) Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah
program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau
bersifat kognitif akan relatif mudah diimplementasikan
daripada program yang bertujuan mengubah sikap dan
perilaku warga . Sebagai contoh, implementasi
Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan sulit diimplementasikan karena
menyangkut perubahan perilaku warga dalam berlalu
lintas.
Karakteristik kebijakan:
1) Kejelasan isi kebijakan. Ini berarti semakin jelas dan rinci isi
sebuah kebijakan akan mudah diimplementasikan karena
implementor mudah memahami dan menterjemahkan
dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi
kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam
implementasi kebijakan.
2) Seberapa jauh kebijakan ini memiliki dukungan
teoritis. Kebijakan yang memiliki dasar teoritis memiliki sifat yang lebih mantap karena sudah teruji, walaupun
beberapa lingkungan sosial tertentu perlu ada modifikasi.
3) Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan
ini . Sumberdaya keuangan adalah faktor krusial untuk
setiap program sosial. Setiap program juga memerlukan
dukungan staf untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
administrasi dan teknis, serta memonitor program, yang
semuanya itu perlu biaya.
4) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar
berbagai institusi pelaksana. Kegagalan program sering
dipicu kurangnya koordinasi vertikal dan horizontal
antar instansi yang terlibat dalam implementasi program.
5) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan
pelaksana.
6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.
masalah korupsi yang terjadi di negara-negara dunia ketiga,
khususnya negara kita salah satu sebabnya adalah rendahnya
tingkat komitmen aparat untuk melaksanakan tugas dan
pekerjaan atau program-program
7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk
berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. Suatu
program yang memberikan peluang luas bagi warga
untuk terlibat, relatif mendapat dukungan daripada
program yang tidak melibatkan warga . warga
akan merasa terasing atau teralienasi apabila hanya menjadi
penonton terhadap program yang ada di wilayahnya.Lingkungan kebijakan:
1) Kondisi sosial ekonomi warga dan tingkat kemajuan
teknologi. warga yang sudah terbuka dan terdidik
relatif lebih mudah menerima program pembaruan
dibanding dengan warga yang masih tertutup dan
tradisional. Demikian juga, kemajuan teknologi akan
membantu dalam proses keberhasilan implementasi
program, karena program-program ini dapat
disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan
teknologi modern.
2) Dukungan publik terhadap suatu kebijakan. Kebijakan
yang memberikan insentif biasanya mudah mendapatkan
dukungan publik. Sebaliknya, kebijakan yang bersifat disinsentif seperti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
atau kenaikan pajak akan kurang mendapat dukungan
publik.
3) Sikap kelompok pemilih (constituency groups). Kelompok
pemilih yang ada dalam warga dapat mempengaruhi
implementasi kebijakan melalui berbagai cara antara lain;
(1) kelompok pemilih dapat melakukan intervensi terhadap
keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui
berbagai komentar dengan maksud mengubah keputusan;
(2) kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak
langsung melalui kritik yang dipublikasikan terhadap
kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan
yang ditujukan kepada badan legislatif.
4) Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan
implementor. Pada akhirnya, komitmen aparat pelaksana
untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam
kebijakan adalah variabel yang paling krusial. Aparat
badan pelaksana harus memiliki ketrampilan dalam
membuat prioritas tujuan dan lalu merealisasikan
prioritas tujuan ini .
G. Keimigrasian
Dalam Pasal 1 UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Keimigrasian disebutkan bahwa: ”Keimigrasian adalah hal
ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah
negara kita serta pengawasannya dalam rangka menjaga
tegaknya kedaulatan negara”.Fungsi Keimigrasian adalah
bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan
pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara,
dan fasilitator pembangunan kesejahteraan warga .
(pasal 1 angka 3 UU Keimigrasian).Sesuai dengan makna yang
tersurat dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor
M.01-PW.09.02 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pengolahan
Data dan Informasi Keimigrasian dinyatakan bahwa Sistem
Informasi Manajemen Keimigrasian adalah suatu kesatuan dari
berbagai proses pengumpulan, pengolahan dan penyampaian
data guna mendapatkan ingormasi keimigrasian untuk bahan
pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan pimpinan
lebih lanjut.Memperhatikan rumusan ini di atas, maka
sistem informasi manajemen keimigrasian mempunyai peranan
strategis dalam melayani dan mengendalikan arus keluar dan
masuknya informasi keimigrasian sebagai bahan pengambilan
dan penetapan kebijakan pimpinan yang menyangkut hal
ikhwal keimigrasian.Sistem informasi manajemen keimigrasian
pada awalnya diberlakukan pada tahun 1980 melalui petunjuk
pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor 156/Sek/
VIII/1980 tanggal 6 Juni 1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Terperinci mengenai penerapan Sistem Informasi Manajemen
Keimigrasian (SIMKIM). lalu setelah adanya UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992, sistem informasi manajemen
keimigrasian ini dipertegas kembali melalui Surat Keputusan
Menteri Kehakiman Nomor M.01-PW.09.02 Tahun 1995
Tentang Tata Cara Pengolahan dan Informasi Keimigrasian.
Jika dilihat secara seksama, Surat Keputusan Menteri
Kehakiman tahun 1995 ini diatas, tidak secara eksplisit
menyatakan pemberlakuan sistem informasi manajemen
keimigrasian di jajaran Ditjen Imigrasi. Dalam konsiderans
”Menimbang” dinyatakan bahwa dalam rangka peningkatan
pelayanan, penerapan dan penegakan hukum, serta guna
menunjang tugas pokok Direktorat Jenderal Imigrasi
melalui proses Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian
(SIMIKIM), perlu dilakukan pengumpulan, pengolahan dan
penyimpanan data baik secara manual maupun elektronik
untuk menghasilkan informasi. Namun jika ditinjau dari
pengertian sistem informasi manajemen keimigrasian di atas,
maka tata cara pengolahan data dan informasi keimigrasian
adalah merupakan pelaksanaan sistem informasi manajemen
keimigrasian. lalu Keputusan Kehakiman tentang
pelaksanaan sistem informasi manajemen keimigrasian
ini ditindaklanjuti dengan pentunjuk Pelaksanaan Dirjen Imigrasi No. F-316.PR.01.04 Tahun 1995 tentang Sumber
Data, Pengolahan Data dan Penyampaian Laporan.Dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Keimigrasian, maka secara tegas sistem informasi keimigrasian
disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 yang menentukan
bahwa:”Sistem informasi manajemen keimigrasian adalah
sistem teknologi informasi dan komunikasi yang dipakai
untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi
guna mendukung operasional, manajemen dan pengambilan
keputusan dalam melaksanakan fungsi keimigrasian”.
lalu pada Bagian kedua khususnya Pasal 7 dan
Pasal 8 yang menentukan pula bahwa:
1. Direktur Jenderal bertanggung jawab menyusun dan
mengelola sistem informasi manajemen keimigrasian
sebagai sarana pelaksanaan fungsi keimigrasian di dalam
atau di luar wilayah Indonesia;
2. Sistem informasi manajemen keimigrasian dapat diakses
oleh instansi dan/atau lembaga pemerintahan terkait
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem informasi
manajemen keimigrasian merupakan satu kesatuan dari
berbagai proses pengelolaan data dan informasi, aplikasi serta
perangkat berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang
dibangun untuk menyatukan dan menghubungkan sistem
informasi pada seluruh pelaksanan fungsi keimigrasian secara
terpadu sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal
7 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011.Hal yang menjadi
sumber data dalam sistem informasi manajemen keimigrasian
ini adalah asal usul data baik berbentuk formulir atau kartu
tertentu, dokumen maupun media elektronik lainnya untuk
menghasilkan informasi keimigrasian. Dalam implementasi
pengolahan data dapat dilakukan baik secara manual maupun
elektronik (komputer). Namun semikian mengingat realitas
yang ada bahwa kemajuan perkembangan teknologi yang telah
merubah cara kerja warga dalam aktivitasnya sehari-hari
karena menawarkan berbagai macam fasilitas dan kemudahankemudahan serta mengingat derasnya arus masuk dan
keluarnya data dan informasi, maka era konvensional dalam
mengolah data secara manual sudah bukan zamannya lagi.
berdasar ketentuan ini , maka sistem informasi
manajemen keimigrasian yang dilaksanakan saat ini terdiri
dari:
1. Sistem Keimigrasian Warga negara negara kita yang
meliputi:
a. Sub sistem lalulintas warga negara Indonesia
b. Sub sistem pasport
c. Sub sistem lintas batas
2. Sistem keimigrasian orang asing yang meliputi:
a. Sub sistem pengunjung singkat
1) Sub-sub sistem pengunjung singkat
2) Sub-sub sistem ijin tinggal terbatas
b. Sub sistem lalu lintas orang asing
1) Sub-sub sistem orang asing
2) Sub-sub sistem ijin tinggal tetap
3. Sistem pengamanan keimigrasian yang meliputi:
a. Sub sistem penyidikan
1) Sub-sub sistem penyidikan warga negara Indonesia
2) Sub-sub sistem penyidikan orang asing
3) Sub-sub sistem kerjasama internasional
b. Sub sistem pencegahan dan penangkalan
Pembangunan Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian
ditujukan untuk memberikan kemudahan-kenudahan dalam
pelaksanaan tugas di lingkungan Imigrasi. Oleh karena itu
secara konseptual dapat dikatakan bahwa tujuan Sistem
Informasi Manajemen Keimigrasian adalah:
1. memberikan kemudahan dan peningkatan pelayanan
keimigrasian.
2. memberikan kemudahan dan intensivikasi pengawasan.
3. memberikan kemudahan dan transparansi laporan dan
pengendalian.
Guna mencapai tujuan Sistem Informasi Manajemen
Keimigrasian di atas, maka dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Merancang dan mengembangkan sistem dan prosedur
standar untuk setiap jenis kegiatan pelayanan dan
pengawasan keimigrasian.
2. Mengembangkan sistem data base keimigrasian yang
tepat guna dan terpadu yang meliputi seluruh jajaran
keimigrasian.
3. Mengembangkan sistem dokumentasi keimigrasian yang
efisien.
4. Mengembangkan sistem pelaporan yang cepat, lengkap,
akurat dan tepat waktu.
5. Mengembangkan sistem pengendalian yang efektif
6. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia
dibidang teknologi informasi dan komunikasi di seluruh
jajaran imigrasi.
7. membantu meningkatkan pendapatan negara khususnya
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
8. Berpartisipasi dalam sistem informasi manajemen
nasional.
9. Mengantisipasi pengembangan sistem keimigrasian
Internasional.
Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian ini mempunyai
ruang lingkup sebagai berikut:
1. Sistem pencegahan dan penangkalan (CEKAL).
2. Sistem kedatangan dan keberangkatan.
3. Sistem identifikasi sidik jari.
4. Sistem penerbitan dokumen imigrasi dan paspor RI.
5. Sistem manajemen data imigrasi.
6. Sistem pemantauan dan pelaporan imigrasi.
7. Sistem informasi eksekutif imigrasi.
Sistem pencegahan dan penangkalan berfungsi untuk
mengatur pencatatan dan perubahan data orang asing yang
dikenakan pencegahan dan penangkalan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Tujuannya adalah:
1. Mencatat dan merubah data pencegahan dan penangkalan
di pusat Direktorat Jenderal Imigrasi.
2. Mendistribusikan data dan perubahan data cekal secara
cepat.
3. Mendukung pemeriksaan kedatangan dan atau
keberangkatan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI).
Pengeluaran paspor, dokumen keimigrasian, perizinan,
visa secara cepat dan tepat.
4. Menyediakan infomasi peringatan dini tentang jangka
waktu cekal yang hampir habis masa berlakunya.
lalu sistem kedatangan dan keberangkatan
adalah untuk mendukung pengaturan dan pemrosesan
sistem kedatangan dan keberangkatan pada setiap Tempat
Pemeriksaan Imigrasi seperti pelabuhan udara, pelabuhan laut,
pos lintas batas (boarder crossing post). Sistem ini bertujuan
untuk memantau lalulintas keimigrasian dan melakukan
tindakan pencegahan dan penangkalan.
Adapun fungsi sistem ini adalah:
1. Menyimpan data pemegang paspor WNI serta data
pemegang visa/non visa WNA.
2. Memeriksa status data cekal untuk WNI dan WNA.
3. Memeriksa status perizinan keimigrasian WNI yang
hendak berangkat ke luar negeri.
4. Memberikan informasi kepada Tempat Pemeriksaan
Imigrasi atas keberadaan seseorang yang dikenai cegah
tangkal bagi WNA yang sudah habis masa tinggalnya di
indonesia.
5. Menyajikan sistem administrasi pelaporan dan data harian,
bul;anan mengenai kedatangan dan keberangkatan.
Sistem Indentifikasi Sidik Jari merupakan sistem yang
sangat penting dan relevan untuk tugas pengawasan. Sistem
ini berfungsi untuk:
1. Menghindari duplikasi dalam penerbitan paspor dan
dokumen keimigrasian seperti Kartu Izin Tinggal Terbatas
(KITAS) dan Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP).
2. Pendeteksian masalah khusus di Tempat Pemeriksaan
Imigrasi misalnya bila terdapat keraguan tentang seseorang
pemegang paspor RI.
Sistem penerbitan dokumen imirasi dan paspor RI berguna
untuk mendukung manajemen data dokumen imigrasi dan
paspor yang mengacu kepada Standar Operation Prosedur
atau tata cara yang standar untuk penerbitan dokumen dan
pelayanan sejenis.
Sistem manajemen data imigrasi menyediakan bermacammacam jenis data keimigrasian dan pelaporan pelayanan serta
untuk menjamin keamanan dan prosedur yang terkait dengan
pengoperasian sehari-hari. Sistem ini bertujuan untuk:
1. Menyediakan laporan dan informasi keseluruhan tentang
data-data yang diperlukan secara regular atau periodik.
2. Menyediakan data/informasi untuk keperluan khusus
(based on request) baik untuk keperluan internal maupun
inter departemental.
3. Pembatasan akses pelaksanaan dan pemantauan
berdasar sistem pengawasan oprasional dan keamanan
negara dalam mengakses data serta memperbaharui data.
Sistem pemantauan dan pelaporan imigrasi menyediakan
prosedur pemrosesan data elektronik yang diperlukan guna dicatat, disimpan dan dilaporkan atau ditindak lanjuti untuk
keperluan administrasi dan pelaksanaan pengawasan dan
penindakan. Sistem ini bertujuan:
1. Menyediakan laporan elektronik guna pemasukan data
untuk disimpan dan dicatat dalam seluruh proses dan
prosedur pengawasan dan penindakan.
2. Membantu pemakaian sistem dalam mencari dan
memperbaharui catatan pengawasan dan penindakan.
Sistem informasi eksekutif imigrasi membantu
mengelompokkan jenis-jenis operasional imigrasi secara
keseluruhan dengan cara mengumpulkan, memilah serta
menganalisa data yang akan dipresentasikan kepada ekesekutif
untuk keperluan manajemen. Sistem ini bertujuan untuk:
1. Menyediakan data induk dan proses pelaporan.
2. Menyediakan informasi dasar yang menghasilkan petunjuk
kepada arsu pergerakan manusia.
3. Menyediakan informasi statistik untuk membantu para
eksekutif dalam membuat keputusan atau kebijakan.
B. Analisis Data
1. usaha yang dilakukan dalam implementasi bebas
visa
a. Sumber Daya Manusia
Jika dilihat dari aspek sumber daya manusia
terkait dengan bebas visa, ada dua aspek yang harus
diperhatikan, pertama, aspek kuantitas atau jumlah
pegawai kantor imigrasi dan kedua, aspek kualitas
atau kemampuan pegawai Kanim. Aspek kuantitas
personil yang menangani proses bebas visa, diakui
oleh beberapa informan pengkajian belum memadai.
berdasar hasil pengkajian, SDM keimigrasian
sudah memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam
mengimplementasikan kebijakan bebas visa (87,50%).
berdasar hasil wawancara dengan kepala divisi
imigrasi kanwil dan beberapa pejabat keimigrasian
di kanim, ada kompetensi yang harus dibenahi
terkait meningkatnya perlintasan orang asing seperti
kurangnya pengetahuan intelijen imigrasi karena
selama ini alumni akademi keimigrasian belum ada
penjurusan yang spesifik terkait minat dan keahlian
yang harus diterapkan di tempat penugasan mereka
nanti. Namun demikian, berdasar pengakuan
responden bahwa kuantitas SDM keimigrasian
yang berada di kantor imigrasi, khususnya yang
terlibat langsung di TPI belum maksimal dan masih
membutuhkan penambahan jumlah SDM (75,00%).
Sebagai contoh ada kanim (TPI Marina Beach Batam) yang jam kerjanya melebihi jam kerja pada umumnya
tanpa ada konpensasi yang diberikan, di samping itu
dengan meningkatnya arus kedatangan orang asing
tentu saja tidak berbanding lurus dengan jumlah SDM
yang ada. ini tentu saja berimbas pada pelaksanaan
kebijakan bebas visa di lapangan yang ternyata belum
berjalan dengan baik dan maksimal (62,50%).
Berikut ini disajikan Tabel 4 tentang SDM
keimigrasian di UPT Kanim.Maka usaha yang dilakukan Ditjen Imigrasi
dengan belum maksimalnya implementasi kebijakan
bebas visa dan minimnya jumlah SDM seperti dalam
tabel ini di atas, telah melakukan langkahlangkah untuk meningkatkan jumlah personil SDM keimigrasian khususnya yang berada di TPI dan
Wasdakim serta penguatan fungsi keimigrasian.
b. Kebijakan
Berkaitan dengan pendapat responden terkait
kebijakan bebas visa, bahwa pada prinsipnya pihak
keimigrasian terutama di kanim telah melaksanakannya
dengan baik dan maksimal (66,67%) dan berindikasi
pada kinerja pegawai yang merasa dimudahkan dalam
melakukan proses administrasi keimigrasian (77,08%).
Dari data yang ada terlihat pada jajaran keimigrasian
beserta UPT Kanim telah mengimplementasikan
kebijakan bebas visa di wilayahnya masing-masing
(97,92%) karena memang sudah menjadi tuntutan
dan amanat dari pemerintah berdasar peraturan
presiden (56,25%). Berikut ini disajikan Tabel 5 tentang
Kebijakan mengenai Bebas Visa.Sebagai bentuk tindaklanjut dari kebijakan
implementasi bebas visa, maka telah dilakukan
Memorandum of Understanding (MoU) antara Menteri
Hukum dan HAM dengan Menteri Pariwisata tentang
pemanfaatan Data Keimigrasian untuk percepatan
pembangunan pariwisata di Gedung Sapta Pesona
Kementerian Pariwisata, Jakarta, pada Selasa 19 Juli
2016. Dan juga dilakukan penandatanganan perjanjian
kerja sama tentang dukungan data keimigrasian antara
Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F. Sompie dan Deputi
Bidang Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan
Kementerian Pariwisata H.M. Ahman Sya.
Dalam MoU ini , Kementerian Pariwisata
akan mendapatkan hak akses ke dalam Sistem
Informasi Manajemen Keimigrasian yang meliputi
data statistik perlintasan Warga Negara Asing (WNA)
dan juga Warga Negara negara kita (WNI), serta
mendapat informasi terkait data spesifik tentang
angka kunjungan ini .Yasonna (Menkumham) mengatakan bahwa nota
ini penting untuk akselerasi pembangunan pariwisata
negara kita dan sebagai wujud sinergitas antara dua
kementerian. Kemenpar memerlukan dukungan data
digital terkait keimigrasian seperti data lintas, jumlah
orang datang dan keluar.37
Ada tiga poin utama terkait MoU ini ,
yaitu: pertama menyangkut Pemanfaatan Data
Keimigrasian dalam rangka Akselerasi Pembangunan
Kepariwisataan; kedua, berkaitan dengan Index Bisnis
Environment negara kita yakni nomor 70 dari 141
negara. Pariwisata negara kita kalah jauh dibandingkan
Thailand, Malaysia, bahkan dengan Singapura. Jumlah
turis mancanegara di negara kita tahun lalu hanya
10 juta, bandingkan dengan Malaysia sebanyak 27
juta, dan Thailand 30 juta. Pendapatan devisa dari
pariwisata hanya USD 10 Miliar, kalah jauh dengan
Malaysia yang USD 21 M, dan Thailand USD 42 M; dan
ketiga, terkait bebas visa kunjungan, harus out world
looking. Melihat apa yang dilakukan oleh kesuksesan
pihak lain, Singapore dan Malaysia itu sudah lebih
dari 150 negara Bebas Visa jauh sebelum negara kita
membuka pintu lebar-lebar buat wisman. negara kita
jauh terlambat dalam hal Visa Fasilitation, atau dalam pantauan Competitiveness Index versi World Economic
Forum, dimana rendahnya international openness.
38
usaha lain yang juga dilakukan Direktorat Jenderal
Imigrasi dalam mengimplementasikan kebijakan BVK
adalah:39
A. Penerbitan dan penyesuaian peraturan terkait
tindak lanjut perpres antara lain:
1). Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015
tentang Bebas Visa Kunjungan ( 45 negara),
berupa:
a. Pelaksanaan penerapan peningkatan
pelayanan TPI terhadap bebas visa melalui
surat edaran Direktur Jenderal Imigrasian
No. IMI.GR.01.02-3711;
b. Perluasan TPI dari 5 TPI menjadi 5
TPI Udara dan 9 TPI Laut melalui
Permenkumham Nomor 31 Tahun 2015;
2). Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
No. 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa
Kunjungan (90 negara).
a. Perluasan TPI dari masuk 5 TPI udara dan
9 TPI laut serta keluar dari 29 TPI udara,
88 TPI laut dan 7 PLB (lampiran perpres);
b. Perluasan masuk TPI tertentu dan keluar
dari TPI tertentu menjadi masuk dan
keluar dari 29 TPI Udara, 88 TPI Laut dan
7 PLB melalui Permenkumham No. 17
Tahun 2016;
c. Perluasan tujuan kedatangan dari 1 tujuan
wisata menjadi 8 tujuan (wisata, sosial,
keluarga, tugas pemerintah, seminar,
pameran internasional, adakan rapat,
meneruskan ke negara lain) melalui
edaran Direktur Jenderal Imigrasi No.
IMI-3673.GR.01.10 Tahun 2015;
d. Pembentukan Tim PORA tingkat pusat,
melalui Permenkumham No. M.HH-01.
GR.03.02 Tahun 2015.
3). Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016
tentang Bebas Visa Kunjungan (169 negara):
a. Penerapan perluasan tujuan kedatanngan
melalui Permenkumham No. 17 Tahun
2016;
b. Melakukan evaluasi awal dengan data
Perlintasan dimulai bulan Juni 2015 s.d
Mei 2016.40B. Melakukan sosialisasi ke Kementerian/
Lembaga/biro jasa/travel mengenai kebijakan
bebas visa. Terkait substansi sosialisasi yang
dilakukan, Ditjen imigrasi telah menyampaikan
kebijakan keimigrasian, memberikan penjelasan
penyelesaian permasalahan keimigrasian dan
meluruskan terhadap penafsiran penerapan yang
berbeda dari negara-negara subyek bebas visa.
Sosialisasi yang dilakukan terhadap:
1. Kementerian Pariwisata: Jajaran Pemerintah
Daerah; Munas ASITA se-Indonesia; Pelaku
Bisnis Pariwista se-Jawa dan Bali; dan
Stakeholder terkait dengan kepariwisataan di
tingkat daerah.
2. Kementerian Luar Negeri: Perwakilan RI di
Kanada, London, Beijing, Kuala Lumpur,
Singapura, Hongkong; serta warga
negara kita di luar negeri, Khusus dengan
negara-negara Schengan, 24 negara – negara
Eropa yang termasuk dalam skema Schengen,
dan Khusus dengan perwakilan negara Jepang,
China, Filiphina, Jerman, Ukraina.
Dengan bentuk sosialisasi seperti: desiminasi
Perwakilan Asing, seluruh Perwakilan Asing
dan entitas tertentu yang memiliki tugas misi
diplomatik di Jakarta; dengar pendapat dengan Komisi III DPR; dan wawancara khusus dengan
stasiun teve swasta (Dirjenim, Dirlantaskim).41
Dengan adanya kebijakan bebas visa, maka dapat
dikatakan adanya peningkatan secara signifikan
kedatangan orang asing ke Indonesia, sebagai
perbandingan sepanjang tahun 2015, terdapat
kedatangan orang asing ke negara kita sebanyak
16.994.658 orang, diantaranya 4.930.716 orang
memakai bebas visa kunjungan. Pada periode
Januari s/d Februari 2016 terdapat kedatangan
orang asing ke negara kita sebanyak 2.671.216 Orang,
diantaranya 1.019.157 orang memakai bebas visa
kunjungan. ini tergambar dengan banyaknya orang
asing yang memakai bebas visa kunjungan dalam
kurun waktu 2 bulan awal Tahun 2016 dibandingkan
pada tahun 2015 seperti di dalam grafik berikut
Badan Pusat Statistik mengeluarkan data jumlah
wisatawan mancanegara yang berkunjung ke negara kita
pada September 2016, yakni mencapai 1,01 juta wisman.
Angka ini naik 9,4 persen dibandingkan pada
September 2015, sedang jika dibandingkan dengan
Agustus 2016, angka itu mengalami penurunan sebesar
2,45 persen. Dari 1,01 juta wisatawan mancanegara
yang datang pada September 2016, mayoritas berasal
dari negara Cina dengan 12,92 persen, disusul oleh
Singapura dengan 12,71 persen, Malaysia dengan 12,15
persen, Australia dengan 11,97 persen, dan Jepang
dengan 5,08 persen.
Secara kumulatif dari Januari hingga September
2016, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung
ke negara kita mencapai 8,36 juta, naik 8,51 persen
dibandingkan periode yang sama di tahun lalu yang
hanya 7,71 juta kunjungan. Dari 19 pintu masuk utama
ke Indonesia, ada tiga pintu masuk yang menjadi
sumber terbesar kedatangan wisman, yakni Bandara
Ngurah Rai Bali dengan total kunjungan wisman
sebanyak 3.595.398 orang, disusul Bandara SoekarnoHatta dengan 1.765.271 wisman, dan Batam dengan
1.052.222 wisman.
Ini berarti pemberlakuan BVK secara signifikan
meningkatkan jumlah orang asing yang berkunjung ke
negara kita dengan memanfaatkan fasilitas BVK. Namun
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan,
pemerintah akan mengevaluasi kebijakan bebas visa
setelah diterapkan selama satu tahun jika ada negara yang wisatawannya tidak signifikan dan lebih banyak
membahayakan serta melanggar aturan imigrasi.
c. Sarana-prasarana
Berikut ini disajikan Tabel 7 tentang SaranaPrasarana Pendukung Tentang Bebas Visa.Hal yang menarik pula disajikan dalam laporan
ini adalah bahwa ketersediaan sarana sudah cukup
(44,68%) begitu pula dengan prasarana yang ada
(47,92%) namun sarana –prasarana yang ada perlu
untuk dilakukan modernisasi, karena dianggap
kurang modern (43,75), ini dilakukan agar tidak
ketinggalan perkembangan zaman dan itu menjadi
tuntutan yang harus dipenuhi mengingat banyaknya
arus orang asing yang keluar masuk wilayah NKRI.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Ditjen Imigrasi untuk mendukung implementasi kebijakan BV adalah
memodernkan sarana-prasarana danpenggunaan
aplikasi online terkait PORA (tempat menginap/hotel)
dalam rangka pengumpulan data dan informasi terkait
orang asing.
d. Pengawasan dan Pengamananberdasar tabel di atas ada yang harus menjadi
perhatian serius kita, mengingat bahwa imigrasi
adalah sebagai gerbang utama pintu masuk dan
keluarnya orang asing ke wilayah NKRI, data di
lapangan menunjukan bahwa faktor pengawasan
dan pengamanan (security) terkait orang asing
pasca pemberlakuan bebas visa adalah hal yang
harus menjadi perhatian utama, karena ternyata ada kesulitan dalam melakukan pengawasan terhadap
orang asing yang masuk ke NKRI (81,25%) ditambah
lagi belum adanya MoU dengan TNI-Polri terkait
pengawasan dan keamanan terhadap orang asing
(83,33%). Ini berarti ada persoalan yang harus dibenahi
terkait implementasi bebas visa apalagi dengan
memperhatikan luasnya wilayah NKRI dan banyaknya
jalur-jalur tikus untuk keluar masuknya orang asing,
untuk itu dibutuhkan personil yang memadai yang
bisa melakukan pengawasan dan pengamanan
sehingga dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran
akibat bebas visa serta untuk melindungi kedaulatan
dan keamanan NKRI.
Arus lalu lintas warga negara asing yang semakin
deras perlu diantisipasi dan dievaluasi agar tidak
sampai mengancam keamanan dan kedaulatan
negara. ini perlu dilakukan untuk meminimalisir
terjadinya peningkatan pelanggaran izin tinggal yang
dilakukan sejumlah warga negara asing, meningkatnya
tenaga kerja WNA yang memanfaatkan bebas visa
kunjungan lalu mempersulit perebutan lapangan kerja
di Indonesia, serta pintu masuk terhadap jaringan
narkoba dan terorisme.
berdasar data Direktorat Jenderal Imigrasi
Kementerian Hukum dan HAM, 10 negara yang warga
negaranya paling banyak melanggar kebijakan bebas
visa adalah Tiongkok, Afganistan, Banglades, Filipina,
Irak, Malaysia, Vietnam, Myanmar, India, dan Korea
Selatan. ini terlihat dalam tabel berikut ini:
Dari tabel ini di atas WN Tiongkok menduduki peringkat pertama dengan jumlah yang
signifikan, yakni 1.180 pelanggaran pada JanuariJuli 2016. Adapun WN Afganistan melakukan 411
pelanggaran, Banglades (172), Filipina (151), dan Irak
(127). Sanksi yang paling banyak dijatuhkan adalah
deportasi. Selama tujuh bulan terakhir, 2.856 masalah
pelanggaran oleh WNA dijatuhi sanksi deportasi.
Sebagai perbandingan digambarkan negara yang
banyak melakukan pelanggaran sampai bulan agustus
2016 dalam tabel berikut:
Dari tabel di atas menunjukan bahwa dengan
adanya peningkatan kedatangan orang asing ke
negara kita akibat kebijakan bebas visa, terdapat juga
potensi adanya peningkatan yang cukup signifikan
terhadap pelanggaran keimigrasian yang dilakukan
oleh negara-negara penerima bebas visa. ini
tercermin dalam grafik berikut:
Untuk mengantisipasi terjadinya kerawanan
dalam hal pengawasan dan pengamanan terkait
orang asing, maka Ditjen Imigrasi telah melakukan
langkah-langkah antara lain: melakukan peningkatan
peran wasdakim dan pengawasan pendaratan dan izin
masuk orang asing, pengawasan terhadap penggunaan
izin tinggal oleh orang asing di berbagai tempat
terutama di bidang Pariwisata maupun di berbagai
tempat hiburan, interview singkat/second clearing
jika terindikasi menyalahgunakan bebas visa, serta
melakukan Tindakan Administrasi Keimigrasian (TAK)
jika terindikasi ada penyalahgunaan BV. sedang
dari sisi keamanan (security): melakukan kerjasama
antar instansi dalam melakukan pencegahan terhadap
penyalahgunaan bebas visa guna meminimalisir
potensi penyalahgunaan aturan seperti melakukan kerjasama dengan TNI dalam maping keberadaan
orang asing.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya
pelanggaran keimigrasian yang dilakukan oleh orang
asing di wilayah Indonesia, Ditjen Imigrasi melakukan
pengawasan keimigrasian dengan cara:43
a) Pengawasan secara Administratif, yaitu:
1) dilakukan pada saat permohonan visa
meliputi: pemeriksaan kebenaran penjamin,
berkas permohonan, rekomendasi/izin dari
instansi terkait;
2) saat masuk dan keluar Wilayah negara kita
meliputi: paspor yang sah dan masih berlaku,
visa/izin tinggal, tiket kembali;
3) pemberian dan perpanjangan perijinan
keimigrasian di Kantor Imigrasi seluruh
negara kita (121 Kantor Imigrasi) meliputi:
pemeriksaan penjamin, pemeriksaan
domisili, pemeriksaan kegiatan orang asing,
rekomendasi/izin dari instansi terkait;
b) Pengawasan Lapangan, yaitu dilakukan dengan
melakukan pengecekan terhadap keberadaan dan
kegiatan Orang Asing selama berada di Indonesia.
sedang untuk melakukan pengawasan
Keimigrasian terhadap kegiatan orang asing di wilayahIndonesia, jajaran Imigrasi melakukan pengawasan
keimigrasian diantaranya Hotel, tempat hiburan,
perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan tenaga
kerja asing, dan tempat lain yang diduga terdapat
kegiatan orang asing.
Jajaran Kemigrasianpun telah melakukan usaha
dalam rangka pengawasan terhadap penyalahgunaan
izin oleh orang asing terutama yang berkerja secara
illegal di negara kita diberbagai sektor, khususnya
sektor informal, antara lain: 44
1. Peningkatan pemanfaatan Sistem Informasi
Manajemen Keimigrasian yaitu:
a. Border Control Management (BCM);
b. Aplikasi Pelaporan Orang Asing (APOA);
2. Operasi Pengawasan Orang Asing baik secara
Rutin maupun Insidentil dilakukan oleh Kantor
Imigrasi di seluruh Indonesia;
3. Membentuk Sekretariat TIM PORA di Direktorat
Jenderal Imigrasi, Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM, dan Kantor Imigrasi Seluruh
Wilayah negara kita baik di tingkat Pusat, propinsi,
kabupaten dan kota.
Adapun langkah terakhir yang dilakukan oleh
Ditjen Imigrasi adalah dengan melaksanakan evaluasi
terhadap perlintasan orang asing yang dihitung mulai bulan Juni 2015 s.d Mei 2016 (11 bulan), lalu
dilakukan analisis terhadap 3 hal: a) Jumlah terbesar
dan terkecil volume kedatangan negara subyek bebas
visa; b) Jumlah perbandingan kedatangan negara azas
resiprokal dan belum resiprokal; dan c) Jumlah negara
yang belum pernah datang sejak diberlakukan bebas
visa kunjungan.
Dari analisis yang dilakukan terlihat frekuensi
kedatangan orang asing ke wilayah NKRI sebagaimana
berikut:
1. Negara terbesar dan terkecil volume kedatangannya
adalah negara Malaysia dan Singapura (lebih
100.000 orang, antara 144.203 – 181.445 wisatawan
perbulan) sedang negara terkecil volume
kedatangannya antara 1 – 10 orang perbulan (ada
66 negara).
2. Jumlah Kedatangan 15 negara Resiprokal 4.095.264
(58.69 %) dan 144 negara Non Resiprokal 2.881.945
(41.32%)
3. Negara yang belum pernah datang (10 negara:
Antigua dan Barbuda, Burundi, Ceko, Gabon,
Haiti, Kepulauan Marshall, Kiribati, Lesotho,
Puerto Rico, dan Saint Lucia).45
Untuk lebih jelasnya seperti terlihat dalam tabel
berikut ini:
berdasar data di atas maka terdapat 66 negara
yang dianggap belum mendukung secara maksimal
(efektif) dan ada 10 negara dianggap tidak efektif,
sehingga azas manfaat sebagaimana dimaksud pasal
43 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian belum
secara signifikan memberikan keuntungan bagi
pemerintah Indonesia.46
Namun ada berbagai peluang yang dapat mendukung usaha peningkatan kinerja keimigrasian dalam
hal implementasi bebas visa, antara lain:
1. Adanya Political Will dari pemerintah yang
tentunya mempunyai Political Supporting dalam
memberikan usaha -usaha meningkatkan kinerja
keimigrasian dalam implementasi bebas visa.
2. Adanya Legal Supporting berupa peraturan
perundang-undangan.
3. Sumber daya manusia di lingkungan
Kemenkumham dapat dikatakan cukup banyak
dalam kaitannya dengan kebutuhan penugasan
baru dan spesialisasi tugas terutama bagi lulusan
AIM atau DIKPIM.
4. Terbukanya kemungkinan permintaan Anggaran
khusus bagi peningkatan pengawasan dan
penindakan keimigrasian.
Dan juga yang perlu dipahami bahwa kepedulian
dan keterlibatan intansi terkait sangat berpengaruh
dalam pelaksanaan bebas visa. Aspek peraturan, biaya,
dan sumber daya manusia secara tidak langsung juga
berpengaruh terhadap kepedulian dan keterlibatan
instansi itu sendiri.
2. Manfaat Implementasi Kebijakan Bebas Visa bagi
Keimigrasian
Kebijakan bebas visa yang diberlakukan di negara kita
berdasar perpres terakhir No. 21 Tahun 2016 tanggal 2
maret 2016 yang memberikan kebebasan dari kewajiban
memiliki visa kunjungan bagi orang asing, ternyata
mendapat tanggapan yang berbeda dari setiap responden
di UPT Kanim yang menjadi lokus pengkajian.
berdasar hasil wawancara dengan Ka UPT kanim
dan pejabat keimigrasian terkait, serta hasil dari kuesioner
yang dikumpulkan, maka dari sudut pandang keimigrasian
belum nampak manfaat yang signifikan terkait bebas visa
bahkan ada beberapa poin yang perlu dicermati sehingga
implementasi bebas visa tidak melenceng dari tujuan
pemberian bebas visa, yaitu:
a. Dari segi ketepatan dan urgensi implementasi
kebijakan bebas visa
Jika dari sudut Imigrasi, dianggap belum tepat,
ini didasari bahwa ada negara-negara penerima
bebas visa yang termasuk negara bergejolak seperti Bangladesh, negara-negara yang secara ekonomi,
sosial, dan politik belum baik, serta ada negara yang
termasuk negara bermasalah. Di samping itu asas
resiprokal dan manfaat yang menjadi amanat UU No.
6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tidak diberlakukan
bagi WNI yang berkunjung ke negara-negara penerima
bebas visa.
ini juga didukung data dari Ditjen Imigrasi
bahwa terdapat 66 negara yang dianggap belum
mendukung secara maksimal (efektif) dan ada 10
negara dianggap tidak efektif, sehingga azas manfaat
sebagaimana dimaksud pasal 43 UU No. 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian belum secara signifikan
memberikan keuntungan bagi pemerintah Indonesia.47
Ada hal yang menarik berdasar wawancara
dengan kakanim Ngurah Rai, bahwa wisatawan
yang datang ke Bali khususnya bukanlah wisatawan
yang memiliki uang yang banyak akan tetapi mereka
datang dengan memakai fasilitas tunjangan
sosial (wisatawan miskin), sehingga saat masa
tinggal mereka habis, mereka kehabisan uang untuk
kembali ke negaranya. ini menimbulkan persoalan
tersendiri bagi 34 Konsulat Jenderal negara-negara
asing yang ada di Bali akibat banyaknya warga negara
mereka yang kehabisan uangDengan luas wilayah NKRI yang terdiri dari banyak
pulau sehingga membutuhkan SDM yang harus
memadai karena banyaknya orang asing yang datang
dan juga adanya jalur-jalur tikus yang tentu saja akan
berimplikasi pada keamanan dan pengawasan orang
asing ini , dan ini tentu saja dalam jangka waktu
tertentu akan berdampak pada kedaulatan bangsa ini.
Disisi lain, tidak berbanding lurusnya antara
SDM yang ada dan luasnya wilayah kerja kanim
serta banyaknya kedatangan orang asing, tentu saja
berpotensi kerawanan terhadap penyalahgunaan bebas
visa untuk kepentingan lain seperti untuk bekerja,
illegal fishing, cyber crime, terorisme, narkoba, dll.
Dari segi penganggaran pun tidak ada anggaran
khusus terkait pengawasan dan penindakan
keimigrasian (wasdakim) terhadap orang asing, ini
tentu saja menyulitkan dalam melakukan pengawasan
terhadap orang asing apalagi imigrasi telah kehilangan
PNBP nya sebesar 1 triliun dalam setahun akibat bebas
visa.
Target pariwisata yang telah ditetapkan Presiden
Jokowi dalam lima tahun ke depan, antara lain
diharapkan menghasilkan kontribusi dua kali lipat
terhadap PDB nasional sebesar 8% atau devisa
yang dihasilkan Rp 280 triliun. Selain itu, untuk
menciptakan lapangan kerja di bidang pariwisata
untuk 13 juta orang, serta peningkatan kunjungan
wisman sebanyak 20 juta orang, pergerakan wisnus 275
juta orang serta daya saing pariwisata negara kita naik ke rangking 30 dunia. sedang target yang hendak
dicapai pada tahun 2016 ini adalah 12 juta kunjungan
wisman dan 260 juta pergerakan wisnus, kontribusi
pariwisata terhadap PDB nasional sebesar 5 persen,
serta terciptanya jumlah lapangan kerja sebanyak 11,7
juta tenaga kerja.48 Oleh karena itu, untuk mendukung
peningkatan devisa negara melalui pariwisata, maka
dilakukan sinergi yang disebut Pentahelix yang terdiri
dari unsur pemerintah, akademisi, pelaku bisnis,
media, dan komunitas.
b. Dari segi kemudahan dalam implementasi
kebijakan BV
Dengan pemberlakuan bebas visa ada kemudahan
dalam hal administrasi keimigrasian seperti tidak
memerlukan peneraan stiker VOA bagi orang asing;
mempercepat antrian (kurang dari 1 menit) karena
tidak memerlukan VOA; memudahkan dalam input
data ke BCM. Tapi berdasar temuan di lapangan ada
kesulitan tersendiri bagi imigrasi dalam melakukan
pengawasan terhadap orang asing, antara lain: untuk
mengetahui maksud dan tujuan yang sebenarnya
kedatangan orang asing ini ; menambah potensi
kerawanan pelanggaran aturan akibat menumpuknya
orang asing yang masuk apalagi tidak ada kontribusi secara ekonomi bagi negara; kurangnya intelijen
keimigrasian pada UPT kanim sehingga menyulitkan
melakukan pengawasan serta kesulitan melakukan
tuntutan terhadap negara-negara konflik jika terjadi
permasalahan.
3. Kendala-kendala yang dihadapi
Sementara itu, beberapa kendala yang mungkin
dihadapi, yang jika tidak dilakukan solusi terhadapnya
akan mengganggu implementasi bebas visa, antara lain:
a) Dari sisi pengawasan belum dapat mendeteksi secara
pasti kemanfaatan bebas visa dalam peningkatan
pariwisata.
b) Dari sisi keamanan (security) mengingat luasnya
wilayah kerja maka kemungkinan akan meningkatkan
potensi pelanggaran orang asing yang masuk
terutama yang termasuk kategori negara rawan dan
penyalahgunaan BV untuk kepentingan kejahatan
seperti cyber crime, illegal fishing, dll.
c) Dari sisi sumber daya: SDM yang kurang sebanding
antara pengawasan dan tingginya perlintasan
orang asing yang masuk karena BV dan kurangnya
pengetahuan intelijen petugas imigrasi.
d) Dari sisi sarana-prasarana: Kurangnya saranaprasarana yang modern.
e) Dari sisi komunikasi: kurangnya koordinasi dengan
instansi terkait dan kurangnya intensitas sosialisasi BV
kepada orang asing
Namun secara umum tidak terdapat kendala dan
hambatan yang dihadapi dalam koordinasi dan kerjasama
antar instansi terkait lainnya, ini dapat dibuktikan
dengan telah dibentuknya tim PORA di seluruh wilayah
negara kita dan dengan dibentuknya Sekretariat tim PORA
Tingkat Pusat, Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
Madya. Dalam pelaksanaan tugas di lapangan jajaran
Imigrasi selalu bersinergi dengan instansi terkait seperti:
1) POLRI, terjalinnya kerjasama peningkatan kualitas
Penyidik melalui Diklat PPNS, dan dilaksanakannya
operasi gabungan.
2) Badan Keamanan Laut (BAKAMLA), melaksanakan
operasi bersama dalam penanganan illegal fishing,
TPPO melalui perbatasan laut;
3) Badan Intelijen Nasional (BIN), tergabungnya intelijen
Keimigrasian dalam Komunitas Intelijen baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
4) Kerjasama antar instansi terkait dalam penilaian
permohonan visa bagi negara-negara rawan yang
meliputi Kementerian Luar Negeri, POLRI, BIN, BAIS
dan Kejaksaan Agung;
5) Tentara Nasional negara kita (TNI), kerjasama dalam
penguatan kapasitas Intelijen Imigrasi melalui
DIKLAT Intelijen;
6) Badan Narkotika Nasional (BNN), membuat perjanjian
kerjasama dengan BNN dalam penanganan tindak
pidana narkoba yang terkait dengan orang asing.
Sebagai penutup dalam pembahasan ini dapat
dikatakan bahwa secara sistem implementasi bebas visa
tidak ada perbedaan dengan Visa On Arrival (VOA) karena
keduanya masih tetap memakai visa, hanya saja ada
pergeseran dari visa berbayar kepada visa tanpa bayar.
Langganan:
Postingan (Atom)