Tampilkan postingan dengan label hukum kontrak 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum kontrak 1. Tampilkan semua postingan
Rabu, 31 Mei 2023
Era reformasi merupakan era perubahan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Era reformasi telah dimulai sejak tahun 1998 yang lalu. Latar belakang
lahirnya era reformasi adalah tidak berfungsinya roda pemerintahan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, terutama di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Maka
dengan adanya reformasi, penyelenggara negara berkeinginan untuk melakukan
perubahan secara radikal (mendasar) dalam ketiga bidang tersebut.
Dalam bidang hukum, diarahkan kepada pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baru dan penegakan hukum (law o f enforcement). Tujuan pem
bentukan peraturan perundang-undangan yang baru adalah untuk menggantikan
peraturan yang lama yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda diganti
dengan peraturan yang baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasa
keadilan, dan budaya hukum masyarakat Indonesia. Pada era reformasi ini telah
banyak dihasilkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keinginan
masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan lain-lain. Undang-
undang yang dibentuk dan dibuat dalam era reformasi ini, yang paling dominan
adalah undang-undang atau hukum yang bersifat sektoral, sedangkan hukum
yang bersifat dasar (basic law) kurang mendapat perhatian. Hal ini tampak dari
kurangnya pembahasan dari berbagai hukum dasar, seperti hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana, hukum tata negara, hukum kontrak, dan lainnya. Hukum
kontrak kita masih menggunakan peraturan Pemerintah Kolonial Belanda yang
terdapat dalam Buku III KUH Perdata. Buku III KUH Perdata menganut
sistem terbuka (open system), artinya bahwa para pihak bebas mengadakan
kontrak dengan dengan siapa pun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya,
dan bentuk kontrak, baik berbentuk lisan maupun tertulis. Di samping itu, diper-
Bab 1 Pendahuluan 1
kenankan untuk membuat kontrak baik yang telah dikenal dalam KUH Perdata
maupun di luar KUH Perdata.
Kontrak-kontrak yang telah diatur dalam KUH Perdata, seperti jual beli,
tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang,
pinjam pakai, pinjam-meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perjanjian
untung-untungan, dan perdamaian. Di luar KUH Perdata, kini telah berkembang
berbagai kontrak baru, seperti leasing, beli sewa, franchise, surrogate mother,
production sharing, joint venture, dan lain-lain. Walaupun kontrak-kontrak itu
telah hidup dan berkembang dalam masyarakat, namun peraturan yang berbentuk
undang-undang belum ada. Yang ada hanya dalam bentuk Peraturan Menteri.
Peraturan itu hanya terbatas pada peraturan yang mengatur tentang leasing,
sedangkan kontrak-kontrak yang lain belum mendapat pengaturan secara khusus.
Akibat dari tidak adanya kepastian hukum tentang kontrak tersebut maka akan
menimbulkan persoalan dalam dunia perdagangan, terutama ketidakpastian bagi
para pihak yang mengadakan kontrak. Dalam kenyataannya salah satu pihak
sering kali membuat kontrak dalam bentuk standar, sedangkan pihak lainnya
akan menerima kontrak tersebut karena kondisi sosial ekonomi mereka yang
lemah. Untuk itu pada masa mendatang diperlukan adanya undang-undang tentang
kontrak yang bersifat nasional, yang menggantikan peraturan yang lama. Undang-
undang tersebut juga memberikan kedudukan yang seimbang kepada para pihak
dalam memenuhi hak dan kewajibannya.
Walaupun belum adanya undang-undang tentang kontrak yang khusus dan
bersifat nasional maka kajian teoretis maupun empirik dalam buku ini adalah
berpedoman dan bertitik tolak pada KUH Perdata, peraturan perundang-undangan
di luar KUH Perdata, dan berbagai perjanjian internasional lainnya.
2 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
ONSEP DM PENGERTIM HUKUM
KONTRAK
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM KONTRAK
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract
o f law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscom-
strecht. Lawrence M. Friedman mengartikan hukum kontrak adalah
Perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur
jenis perjanjian tertentu.” (Lawrence M. Friedman, 2001:196)
Lawrence M. Friedman tidak menjelaskan lebih lanjut aspek tertentu dari
pasar dan jenis perjanjian tertentu. Apabila dikaji aspek pasar, tentunya kita akan
mengkaji dari berbagai aktivitas bisnis yang hidup dan berkembang dalam sebuah
market. Di dalam berbagai market tersebut maka akan menimbulkan berbagai
macam kontrak yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Ada pelaku usaha yang
mengadakan perjanjian jual beli, sewa-menyewa, beli sewa, leasing, dan lain-lain.
Michael D Bayles mengartikan contract o f law atau hukum kontrak adalah
Might then be taken to be the law pertaining to enporcement o f promise
or agreement. (Michael D. Bayles, 1987:143)
Artinya, hukum kontrak adalah sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan
pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.
Pendapat ini mengkaji hukum kontrak dari dimensi pelaksanaan perjanjian
yang dibuat oleh para pihak, namun Michael D. Bayles tidak melihat pada tahap-
tahap prakontraktual dan kontraktual. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan
dalam penyusunan sebuah kontrak. Kontrak yang telah disusun oleh para pihak
akan dilaksanakan juga oleh mereka sendiri.
Charles L. Knapp and Nathan M. Crystal mengartikan law o f contract is:
Our society’s legal mechanism for protecting the expectations that arise
from the making o f agreements for the future exchange of various types
o f performance, such as the compeyance o f property (tangible and
untangible), the performance o f services, and the payment o f money
(Charles L. Knapp and Nathan M. Crystal, 1993:4)
Artinya hukum kontrak adalah mekanisme hukum dalam masyarakat untuk
melindungi harapan-harapan yang timbul dalam pembuatan persetujuan demi
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 3
perubahan masa datang yang bervariasi kinerja, seperti pengangkutan kekayaan
(yang nyata maupun yang tidak nyata), kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan
uang.
Pendapat ini mengkaji hukum kontrak dari aspek mekanisme atau prosedur
hukum. Tujuan mekanisme ini adalah untuk melindungi keinginan/harapan yang
timbul dalam pembuatan konsensus di antara para pihak, seperti dalam perjanjian
pengangkutan, kekayaan, kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan uang.
Definisi lain berpendapat bahwa hukum kontrak adalah
’’Rangkaian kaidah-kaidah hukum yang mengatur berbagai persetujuan dan
ikatan antara warga-warga hukum.” (Ensiklopedia Indonesia, tt: 1348)
Definisi hukum kontrak yang tercantum dalam Ensiklopedia Indonesia meng
kajinya dari aspek ruang lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan
warga hukum. Tampaknya, definisi ini menyamakan pengertian antara kontrak
(perjanjian) dengan persetujuan, padahal antara keduanya adalah berbeda. Kontrak
(perjanjian) merupakan salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan salah
satu syarat sahnya kontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata.
Dengan adanya berbagai kelemahan dari definisi di atas maka definisi itu
perlu dilengkapi dan disempurnakan. Jadi, menurut penulis, bahwa hukum kontrak
adalah
’’Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan
akibat hukum.”
Definisi ini didasarkan pada pendapat Van Dunne, yang tidak hanya mengkaji
kontrak pada tahap kontraktual semata-mata, tetapi juga harus diperhatikan
perbuatan sebelumnya. Perbuatan sebelumnya mencakup tahap pracontractual
dan post contractual. Pracontractual merupakan tahap penawaran dan penerimaan,
sedangkan post contractual adalah pelaksanaan perjanjian. Hubungan hukum
adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya
hak dan kewajiban. Hak merupakan sebuah kenikmatan, sedangkan kewajiban
merupakan beban.
Dari berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum
dalam hukum kontrak, sebagaimana dikemukakan berikut ini. .
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tertulis
dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum
yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yuris
prudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-
kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat. Contoh,
jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain-lain. Konsep-konsep hukum ini berasal
dari hukum adat.
4 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
2. Subjek hukum-
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtsperson. Rechtsperson diartikan
sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam
hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang
berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
3. Adanya prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Prestasi
terdiri dari:
a. memberikan sesuatu,
b. berbuat sesuatu, dan
c. tidak berbuat sesuatu.
4. Kata sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian.
Salah satunya kata sepakat (konsensus). Kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara para pihak.
5. Akibat hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat
hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah
suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.
B. TEMPAT PENGATURAN HUKUM KONTRAK
Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri atas 18
bab dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal
1864 KUH Perdata. Masing-masing bab dibagi dalam beberapa bagian. Di dalam
NBW Negeri Belanda, tempat pengaturan hukum kontrak dalam Buku IV tentang
van Verbintenissen, yang dimulai dari Pasal 1269 NBW sampai dengan Pasal
1901 NBW.
Hal-hal yang diatur di dalam Buku III KUH Perdata adalah sebagai berikut.
1. Perikatan pada umumnya (Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1312 KUH
Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1312 KUH Perdata,
meliputi: sumber perikatan; prestasi; penggantian biaya, rugi, dan bunga karena
tidak dipenuhinya suatu perikatan; dan jenis-jenis perikatan.
2. Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (Pasal 1313 sampai dengan Pasal
1351 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam bab ini meliputi: ketentuan umum, syarat-syarat
sahnya perjanjian; akibat perjanjian, dan penafsiran perjanjian.
3. Hapusnya perikatan (Pasal 1381 sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata)
Hapusnya perikatan dibedakan menjadi 10 macam, yaitu karena pembayaran;
penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
pembaruan utang; perjumpaan utang atau kompensasi; percampuran utang;
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 5
pembebasan utang; musnahnya barang terutang; kebatalan atau pembatalan;
berlakunya syarat batal; kedaluwarsa.
4. Jual beli (Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH
Perdata, meliputi: ketentuan umum; kewajiban si penjual; kewajiban si pembeli;
hak membeli kembali; jual beli piutang, dan lain-lain hak tak bertubuh.
5. Tukar-menukar (Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUH Perdata)
6. Sewa menyewa (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan sewa-menyewa ini meliputi: ketentuan
umum; aturan-aturan yang sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan
penyewaan tanah, aturan khusus yang berlaku bagi sewa rumah dan perabot
rumah.
7. Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (Pasal 1601'sampai dengan Pasal 1617
KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1617
KUH Perdata, meliputi: ketentuan umum; persetujuan perburuhan pada
umumnya; kewajiban majikan; kewajiban buruh; macam-macam cara
berakhirnya hubungan kerja yang diterbitkan karena perjanjian; dan
pemborongan pekerjaan;
8. Persekutuan (Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan ini meliputi: ketentuan umum; perikatan
antara para sekutu; perikatan para sekutu terhadap pihak ketiga; dan macam-
macam cara berakhirnya persekutuan.
9. Badan hukum (Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUH Perdata)
10. Hibah (Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan tentang hibah ini, meliputi: ketentuan
umum; kecakapan untuk memberikan hibah dan menikmati keuntungan dari
suatu hibah; cara menghibahkan sesuatu; penarikan kembali dan penghapusan
hibah.
11. Penitipan barang (Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam penitipan barang, yaitu penitipan barang pada
umumnya dan macam penitipan; penitipan barang sejati; sekestarasi dan
macamnya.
12. Pinjam pakai (Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1753 KUH Perdata)
Yang diatur dalam ketentuan ini meliputi: ketentuan umum; kewajiban orang
yang menerima pinjaman; dan kewajiban orang meminjamkan.
13. Pinjam-meminjam (Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan pinjam-meminjam ini meliputi: pengertian
pinjam-meminjam; kewajiban orang yang meminjamkan; kewajiban si pe
minjam; dan meminjam dengan bunga.
14. Bunga tetap atau abadi (Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUH Perdata)
6 Hukum Komrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
15. Perjanjian untung-untungan (Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791 KUH
Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam perjanjian untung-untungan ini meliputi: pengertiannya;
persetujuan bunga cagak hidup dan akibatnya; perjudian dan pertaruhan.
16. Pemberian kuasa (Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam pemberian kuasa meliputi: sifat pemberian kuasa,
kewajiban penerima kuasa, kewajiban pemberi kuasa, dan macam-macam
cara berakhirnya pemberian kuasa.
17. Penanggung utang (Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan penanggungan utang ini meliputi: sifat
penanggungan, akibat-akibat penanggungan antara si berpiutang dan si pe
nanggung, akibat-akibat penanggungan antara si berpiutang dan si penanggung,
dan antara para penanggung sendiri, dan hapusnya penanggungan utang.
18. Perdamaian (Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata)
Perjanjian perdamaian ini merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak
yang bersengketa. Dalam perjanjian itu kedua belah pihak sepakat untuk
mengakhiri suatu konflik yang timbul di antara mereka. Perjanjian perdamaian
baru dikatakan sah apabila dibuat dalam bentuk tertulis.
Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan, perkumpulan,
hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan,
pemberian kuasa, penanggung utang, dan perdamaian merupakan perjanjian yang
bersifat khusus, yang di dalam berbagai kepustakaan hukum disebut dengan
perjanjian nominaat. Perjanjian nominaat adalah perjanjian yang dikenal di dalam
KUH Perdata. Di luar KUH Perdata dikenal juga perjanjian lainya, seperti
kontrak production sharing, kontrak joint venture, kontrak karya, leasing, beli
sewa., franchise, kontrak rahim, dan lain-lain. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian
innominaat, yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam
praktik kehidupan masyarakat. Perjanjian innominaat ini belum dikenal pada saat
KUH Perdata diundangkan.
C. SISTEM PENGATURAN HUKUM KONTRAK
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system).
Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang
sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini dapat
disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi: ’’Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk:
1. membuat atau tidak membuat perjanjian,
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 7
2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
4. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan (Salim H.S., 1993:
100) .
Dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada mulanya menganut
sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam
undang-undang. Ini disebabkan adanya pengaruh ajaran legisme yang memandang
bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal ini dapat dilihat dan dibaca
dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919.
Putusan Hoge Raad yang paling penting adalah putusan HR 1919, tertanggal
31 Januari 1919 tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur
dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Di dalam putusan HR 1919 definisi perbuatan
melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang, tetapi juga melanggar
hak-hak subjektif orang lain, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Menurut HR 1919 yang diartikan dengan perbuatan melawan hukum adalah
berbuat atau tidak berbuat yang:
1. melanggar hak orang lain
Yang dimaksud dengan hak orang lain, bukan semua hak, tetapi hanya hak-
hak pribadi, seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain.
Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut, seperti hak kebendaan, hak atas
kekayaan intelektual (HAKI), dan sebagainya;
2. bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
Kewajiban hukum hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang-
undang;
3. bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh se
seorang itu bertentangan dengan sopan santun' yang tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat;
4. bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat;
Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu
(1) aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya, dan
(2) aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak
menyelenggarakan kepentingannya sendiri (Nieuwenhuis, 1985:118).
Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara
bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang
dikemukakan di atas. Sejak adanya putusan HR 1919, maka sistem pengaturan
hukum kontrak adalah sistem terbuka.
Kesimpulannya, bahwa sejak tahun 1919 sampai sekarang sistem pengaturan
hukum kontrak adalah bersifat terbuka. Hal ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata dan HR 1919.
8 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
D. ASAS HUKUM KONTRAK
Di dalam hukum kontrak dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian
hukum), asas iktikad baik, dan asas kepribadian. Kelima asas itu disajikan berikut
ini.
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang berbunyi:’’Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan
oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui
antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan
Rosseau (dalam Mariam Badrulzaman, 1997: 19-20). Menurut paham indivi
dualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam
hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam ’’kebebasan berkontrak”. Teori leisbet
fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan
jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengada
kan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat. Paham indivi
dualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk
menguasai golongan lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan
pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang
kuat, diungkapkan dalam exploitation de homme par l ’homme.
Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham indi
vidualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham
ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak
mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti
mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum.
Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak
namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga
keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui
penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum kontrak
ke bidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasya
rakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak.
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 9
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian,
yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan
asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan
merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua
belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman.
Di dalam hukum Germani tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang dikenal
t
adalah perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian
yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum Adat). Sedang
kan yang disebut perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan
bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis Uteris dan contractus
innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk
yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata
adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda me
rupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, yang berbunyi: ’’Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang.”
Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Di
dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada
kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung
makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan
perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam
perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti
sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.
Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.
4. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian harus dilaksanakan
10 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
dengan iktikad baik.” Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu
pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan
iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan
tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya ter
letak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai
keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
Berbagai putusan Hoge Raad yang erat kaitannya dengan penerapan asas
iktikad baik disajikan berikut ini. Kasus yang akan ditampilkan di sini adalah
kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya
nilai uang Jerman setelah Perang Dunia I (Van Dunne, dkk. 1987: 35-36). Kasus
posisi Sarong Arrest sebagai berikut.
Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman
sejumlah sarong dengan harga sebesar flOO.OOO,-. Karena keadaan memaksa
sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan pesanan.
Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi. Tetapi
sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia
memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih tinggi, karena apabila harga
tetap sama ia akan menderita kerugian, yang berdasarkan iktikad baik antara
para pihak tidak dapat dituntut darinya.
Pembelaan yang ia (penjual) ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata dikesampingkan oleh Hoge Raad dalam arrest tersebut. Menurut putusan
Hoge Raad tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan
keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada iktikad baik untuk
mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan Hoge Raad masih memberi
harapan tentang hal ini dengan memformulasikan: mengubah inti perjanjian atau
mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang
lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan
secara keseluruhan.
Putusan Hoge Raad ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya kontrak oleh
para pihak. Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual
harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian
harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Begitu juga dengan Mark Arrest. Kasus
posisinya sebagai berikut.
Sebelum Perang Dunia I seorang Jerman memberi sejumlah pinjaman uang
kepada seorang Belanda pada tahun 1924. Dari jumlah tersebut masih ada sisa
pinjaman tetapi karena sebagai akibat peperangan nilai mark sangat turun maka
dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga
dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas
dasar devaluasi tersebut. Namun, Pasal 1756 KUH Perdata menyatakan: ’’Jika
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 11
sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau ada
perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang
dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada saat itu.” Hoge
Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan per
janjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah
dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang
sangat kecil itu. Hakim menurut badan peradilan yang tertinggi ini, tidak ber
wenang atas dasar iktikad baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap
undang-undang yang bersifat menambah.
Putusan mark-arrest ini sama dengan sarong arrest, bahwa hakim terikat
pada asas iktikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada
saat terjadinya jual beli atau pada saat pinjam-meminjam uang. Apabila orang
Belanda meminjam uang sebanyak fl.000,-, maka orang Belanda tersebut harus
mengembalikan sebanyak tersebut di atas, walaupun dari pihak peminjam ber
pendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang. Lain halnya dengan di Indonesia.
Pada tahun 1997, kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter dan
ekonomi, pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara
sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat,
disepakati suku bunga bank sebesar 16% pertahun, namun setelah terjadi krisis
moneter, suku bunga bank naik menjadi 21-24 %/tahun. Ini berarti bahwa pihak
nasabah berada pada pihak yang dirugikan, karena kedudukan nasabah berada
pada posisi yang lemah. Oleh karena itu, pada masa-masa yang akan datang
pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakati
nya, yang didasarkan pada iktikad baik.
5. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan
saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal
1315 KUH Perdata berbunyi: ’’Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa
seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.” Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya
berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualian
nya, sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang
berbunyi:” Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila
suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan
bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga,
dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH
12 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk
kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari
padanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata
mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318
KUH Perdata untuk kepentingan:
a. dirinya sendiri,
b. ahli warisnya, dan
c. orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan
Pasal 1318 KUH Perdata, ruang lingkupnya yang luas.
Di dalam setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, pasti dicantumkan
identitas dari subjek hukum, yang meliputi nama, umur, tempat domisili, dan
kewarganegaraan. Kewarganegaraan berhubungan erat dengan apakah yang
bersangkutan dapat melakukan perbuatan hukum tertentu, seperti jual beli tanah
hak milik. Orang asing tidak dapat memiliki tanah hak milik, karena kalau orang
asing diperkenankan untuk memiliki tanah hak milik maka yang bersangkutan
dapat membeli semua tanah yang dimiliki masyarakat. Mereka mempunyai modal
yang besar, dibandingkan dengan masyarakat kita. WNA hanya diberikan untuk
mendapatkan HGB, HGU, dan hak pakai.
Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang di
selenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman
dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumus
kan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu: asas kepercayaan,
asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral,
asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan (Mariam Darus Badrulzaman,
1997: 22-23). Kedelapan asas itu dijelaskan berikut ini.
1. Asas kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan
mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di
antara mereka di belakang hari.
2. Asas persamaan hukum
Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum
yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban
yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama
lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
3. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi
dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut
prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 13
debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian
itu dengan iktikad baik.
4. Asas kepastian hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya.
5. Asas moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela
dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi
dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang
melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mem
punyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya.
Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan me
lakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai
panggilan hati nuraninya.
6. Asas kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan
dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
7. Asas kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang
menurut kebiasaan lazim diikuti.
8. Asas perlindungan (protection)
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur
harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan
itu adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah.
Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan
dan membuat kontrak.
E. SUMBER HUKUM KONTRAK
Pada dasarnya sumber hukum kontrak dapat dibedakan menurut sistem hukum
yang mengaturnya. Sumber hukum, dapat dilihat dari keluarga hukumnya. Ada
keluarga hukum Romawi, common law, hukum sosialis, hukum agama, dan
hukum tradisional. Di dalam penyajian tentang sumber hukum kontrak ini hanya
dibandingkan antara sumber hukum kontrak menurut Eropa Kontinental, terutama
KUH Perdata dan common law, terutama Amerika. Kedua sumber hukum itu
disajikan berikut ini.
14 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
1. Sumber Hukum Kontrak dalam Civil Law
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
sumber hukum materiil dan sumber hukum formal (Algra, dkk. 1975: 74).
Sumber hukum materiil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil.
Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum,
misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan
keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional,
dan keadaan geografis. Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh
kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan
peraturan hukum formal itu berlaku. Yang diakui umum sebagai hukum formil
ialah undang-undang, perjanjian antamegara, urisprudensi, dan kebiasaan. Keempat
hukum formal ini juga merupakan sumber hukum kontrak.
Sumber hukum kontrak yang berasal dari undang-undang merupakan sumber
hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
Pemerintah dengan persetujuan DPR. Sumber hukum kontrak yang berasal dari
peraturan perundang-undangan, disajikan berikut ini.
a. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB)
AB merupakan ketentuan-ketentuan Umum Pemerintah Hindia Belanda yang
diberlakukan di Indonesia. AB diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23, dan diumumkan
secara resmi pada tanggal 30 April 1847. AB terdiri atas 37 pasal.
b. KUH Perdata (BW)
KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk Pe
merintah Hindia Belanda, yang diundangkan dengan Maklumat tanggal 30
April 1847, Stb. 1847, Nomor 23, sedangkan di Indonesia diumumkan dalam
Stb. 1848. Berlakunya KUH Perdata berdasarkan pada asas konkordansi.
Sedangkan ketentuan hukum yang mengatur tentang hukum kontrak diatur
dalam Buku III KUH Perdata.
c. KUH Dagang
d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 53 pasal. Hal-hal yang diatur
dalam undang-undang itu meliputi ketentuan umum, asas dan tujuan, perjanjian
yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, komisi pengawas
persaingan usaha, tata cara penanganan perkara, dan sanksi;
e. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Di dalam Undang-undang ini ada dua pasal yang mengatur tentang kontrak,
yaitu Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 22 UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi. Yang diartikan dengan kontrak kerja konstruksi adalah kese
luruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa
dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (Pasal 1
ayat (5) UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi).
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 15
Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai:
1) para pihak yang memuat secara jelas identitas para pihak;
2) rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang
kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
3) masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka
waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung
jawab penyedia jasa;
4) tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi, dan
kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;
5) hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh
hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan
yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi
dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;
6) cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna
jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
7) cedera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah
satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan;
8) penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara
penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
9) pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang
pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat
dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
10) keadaan memaksa (force majeure), memuat ketentuan tentang kejadian
yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang
menimbulkan kerugian bagii salah satu pihak;
11) kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia
jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan;
12) perlindungan pekerja, yang memuat tentang kewajiban para pihak dalam
pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
13) aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan
ketentuan tentang lingkungan (Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 18 .Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi).
f. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Pilihan Penyelesaian Sengketa
Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 82 pasal. Pasal-pasal yang erat
kaitannya dengan hukum kontrak adalah Pasal 1 ayat (3) tentang pengertian
perjanjian arbitrase, Pasal 2 tentang persyaratan dalam penyelesaian sengketa
arbitrase, dan Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 tentang syarat arbitrase.
g. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Undang-undang ini terdiri atas 7 bab dan 22 pasal. Hal-hal yang diatur
dalam undang-undang ini adalah ketentuan umum, pembuatan perjanjian
16 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
internasional, pengesahan dari perjanjian internasional, pemberlakuan dari
perjanjian internasional, penyimpanan dari perjanjian internasional, dan
pengakhiran dari perjanjian internasional;
Traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih
dalam bidang keperdataan, khususnya kontrak. Ini terutama, erat kaitannya dengan
perjanjian internasional. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara
Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company tentang perjanjian
bagi hasil tembaga dan emas. Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan
produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-
pihak yang berperkara, terutama dalam perkara perdata. Contohnya, putusan
HR 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum. Dengan adanya putusan
HR 1919, maka pengertian melawan hukum tidak dianut arti luas, tetapi arti
sempit. Putusan HR 1919 ini dijadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia
dalam memutuskan sengketa perbuatan melawan hukum.
2. Sumber Hukum Kontrak Amerika
Dalam hukum kontrak Amerika (common law), sumber hukum dibagi menjadi
dua kategori, yaitu sumber hukum primer dan sekunder. Sumber hukum primer
merupakan sumber hukum yang utama. Para pengacara dan hakim menganggap
bahwa sumber primer dianggap sebagai hukum itu sendiri. Sumber hukum primer
meliputi keputusan pengadilan {judicial opinion), statuta, dan peraturan lainnya.
Sumber hukum sekunder merupakan sumber hukum yang kedua. Sumber hukum
sekunder ini mempunyai pengaruh dalam pengadilan, karena pengadilan dapat
mengacu pada sumber hukum sekunder tersebut. Sumber hukum sekunder ini
terdiri dari restatement dan legal comentary.
Berdasarkan sumber tersebut, maka sumber hukum kontrak yang berlaku di
Amerika Serikat dibedakan menjadi empat macam, yaitu judicial opinion, statu
tory law, the restatement, dan legal comentary (Charles L. Knapp and Nathan
M. Crystal, 1993: 4). Keempat sumber hukum itu dijelaskan berikut ini.
a. Judicial Opinion (Keputusan Hakim)
Judicial opinion atau disebut juga dengan judge made law atau judicial
decision merupakan sumber primer hukum kontrak. Judicial opinion merupa
kan pernyataan atau pendapat, atau putusan para hakim di dalam memutuskan
perkara atau kasus, apakah itu kasus perdata maupun kasus pidana. Putusan-
putusan hakim ini akan diikuti oleh para hakim, terutama terhadap kasus yang,
sama dan ada kemiripannya dengan kasus yang sedang terjadi.
Seperti kita ketahui bahwa sistem pengadilan Amerika dalam pembuatan
keputusan, biasanya dinyatakan sebagai stare decisis, ketaatan terhadap
keputusan yang telah lewat atau disebut precedents. Preseden adalah
keputusan yang terdahulu yang fakta-fakta cukup mirip dengan kasus sub
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 17
judice- yang berada di bawah keputusan pengadilan (adjudication) tersebut-
bahwa pengadilan merasa berkewajiban untuk mengikutinya dan membuat
suatu keputusan yang sama.
Sistem preseden, lazimnya membenarkan dua hal, berikut ini.
Pertama, dia menawarkan derajat yang tinggi tentang kemungkinan
memprediksi keputusan yang membolehkan siapa saja yang berhasrat untuk
menangani urusan mereka yang berkaitan dengan aturan hukum yang dapat
diketahui.
Kedua, dia meletakkan kendali pada apa yang boleh, sebaliknya menjadi
kecenderungan alami dari hakim untuk memutuskan kasus yang menjadi dasar
prasangka, emosional pribadi, atau faktor-faktor lainnya yang boleh dihormati
sebagai dasar yang tidak pantas untuk suatu keputusan.
Sebagaimana suatu sistem yang dengan jelas mempunyai ciri khas, kadang-
kadang merupakan suatu kebajikan, kadang-kadang merupakan kerusakan
menjadi statis dan konservatif, secara umum berorientasi pada pelestarian
terhadap status quo.
Seorang hakim dari common law menyimpulkan, bahwa kesetiaan yang buta
pada preseden akan menghasilkan suatu ketidakadilan dalam memutuskan
perkara. Ada sejumlah cara yang mungkin dihindari. Memulai dengan suatu
preseden dipertimbangkan untuk menjadi mengikat bagi suatu pengadilan,
hanya jika ini diputuskan oleh pengadilan yang sama atau pengadilan ban
ding yang kedudukannya lebih tinggi dalam wilayah hukum yang sama.
Preseden-preseden lainnya dari pengadilan-pengadilan yang lebih rendah
atau pengadilan dari wilayah hukum lainnya hanya bersifat persuasif belaka.
Jika suatu preseden terdahulu dalam kenyataannya tidak persuasif maka
hakim bebas menghormatinya. Apabila suatu preseden tidak hanya persuasif
tetapi bersifat mengikat, preseden tersebut tidak mudah diabaikan. Hal itu
mungkin saja terjadi, namun sebaiknya dihindari: jika dalam kenyataannya
kasus-kasus yang terjadi sekarang tidak memuat suatu fakta yang berisi
(bahan-bahan) untuk diperlukan pada suatu keputusan yang lebih awal, maka
pengadilan boleh ’’berbeda” dengan preseden tersebut, dan membuat suatu
keputusan yang berbeda. Jika preseden yang lebih awal adalah benar-benar
mengikat, tetapi sulit atau tidak mungkin untuk membedakannya maka ada
satu cara lain untuk menghindari akibatnya: jika keputusan pengadilan adalah
salah satu dari yang menciptakan preseden (atau adalah pengadilan lebih
tinggi) maka secara sederhana pengadilan dapat ’’menolak/mengesampingkan”
keputusan yang lebih awal tersebut (ini bukan perubahan yang berlaku surut
yang berakibat bagi kelompok kasus yang lebih awal, tetapi melakukan
perubahan aturan untuk kasus-kasus yang diputuskan dan kasus yang serupa
berikutnya). Penolakan, dipertimbangkan terhadap suatu kegiatan yang relatif
drastis dan biasanya dipersiapkan bagi instansi-instansi, yang mana pengadilan
18 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
merasa bahwa aturan dibedakan oleh preseden terdahulu, yang merupakan
kesalahan sederhana, itu adalah suatu ketidakadilan dalam pelaksanaannya
di masyarakat, sebab selain kesulitan pada tahap permulaan, juga merupakan
suatu ketertinggalan dari pembangunan masa lalu.
Pada dasarnya tidak semua kasus dapat diputuskan berdasarkan Preseden.
Ini disebabkan oleh hal berikut:
1) tidak adanya preseden yang eksis (hal itu tidak seperti peristiwa dalam
proses pengadilan pada masyarakat);
2) kasus yang tersedia tidak jelas.
Dalam hal kasus tidak jelas maka pengadilan-pengadilan mengarah pada
kebijaksanaan untuk menyelesaikan kasus. Suatu kebijaksanaan mungkin
dihormati secara umum sebagai tujuan masyarakat yang akan diketengahkan
oleh keputusan khusus. Kegiatan ekonomi, politik, sosial, atau moral dan
mungkin harus melakukan sesuatu dengan kelompok-kelompok tersendiri
atau dengan masyarakat secara keseluruhan (atau beberapa bagian yang
dapat diuraikan). Seringkah suatu pengadilan melihat kebijaksanaan
masyarakat dalam undang-undang atau keputusan pengadilan, bahkan bila
hal itu tidak dilaksanakan secara langsung terhadap kasus yang ada; pada
waktu yang lain di pengadilan akan muncul perasaan hakim tentang apa itu
keadilan dan moral. Sebagaimana kita lihat beberapa komentator hukum,
mereka percaya bahwa ’’semua hukum adalah kebijaksanaan” dan seharusnya
dengan jujur dipandang sebagai perasaan lain bahwa kebijaksanaan terlalu
sulit untuk didefinisikan, atau merupakan suatu faktor yang tidak dapat
dicegah guna memberikan tuntunan bagi pembuat keputusan. Beberapa yang
mempunyai kebijaksanaan khusus bahwa akan terdapat pengadilan-pengadilan
yang mencoba untuk mempromosikan-efisiensi ekonomi, sebagai contoh.
Sebagaimana Anda melihat keputusan pengadilan pada materi ini, biarkan
mata Anda terbuka di antara kedua penerapan keputusan pengadilan yang
samar-samar dan yang terang terhadap kebijaksanaan sebagai dasar keputusan.
b. Statutory Law (Hukum Per undang-undangan)
Sumber lain dari hukum kontrak adalah bersumber dari statutory o f law
(hukum perundang-undangan). Sumber hukum ini melengkapi hukum
kebiasaan (common law). Statutory o f law merupakan sumber hukum yang
tertulis.
Menurut sejarahnya, hukum kontrak dibangun dalam sistem Anglo-Amerika
adalah didasarkan pada common law, common law ini lebih tinggi
kedudukannya dari statutory o f law. Peraturan perundang-undangan tertulis
{statutory o f law), yang ada hubungan dengan hukum kontrak adalah sebagai
berikut.
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 19
Undang-Undang Penggelapan
Undang-undang penggelapan ini dibuat pertama kali di Inggris dan
kemudian diberlakukan pada setiap negara bagian di Amerika Serikat.
Undang-undang ini mempersyaratkan bahwa kontrak yang dibuat harus
dalam bentuk tulisan agar dapat dilaksanakan oleh pengadilan. Undang-
undang penggelapan itu sendiri telah dibebani oleh keputusan pengadilan
yang lebih banyak kualitas hukum kebiasaannya daripada undang-undang
modem.
2) Uniform Commercial Code
Uniform commercial code merupakan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang yang berlaku secara umum di Amerika Serikat. Undang-undang
ini tidak mengatur dan memuat semua transaksi dagang, tetapi juga
mengatur tentang biaya, terjadinya gangguan, ketidakmenentuan yang
disebabkan oleh perbedaan antarnegara-negara dalam lingkup hukum
komersial.
3) Uniform State Lnws/NCCUSL
Uniform state /flws/NCCUSL merupakan hukum yang berlaku umum.
Di bawah pimpinan New York, sejumlah negara-negara bagian
menyelenggarakan Konferensi Nasional Komisioner tentang Hukum
Negara yang berlaku Umum (Uniform State Lmv.v/NCCUSL). Walaupun
tidak mempunyai kekuatan untuk membuat hukum, NCCUSL, membuat
rancangan hukum dan merekomendasikan pembuat undang-undang
negara dengan seri ’’undang-undang yang berlaku umum”, memberlakukan
berbagai ketentuan dagang, seperti instrumen-instrumen yang dapat di-
negoisasikan dan peraturan-peraturan standar.
4) Uniform Sales Acts
Uniform sales acts merupakan undang-undang penjualan yang berlaku
umum. Undang-undang ini diadopsi secara luas dan dibentuk secara besar-
besaran dari ketentuan yang dapat diterapkan oleh mereka secara alami.
Undang-undang ini hanya mengatur tentang tata cara menjual barang, seperti
bagian-bagian hak milik dan harta kekayaan, dan lain-lain.
Pada tahun 1940 terhadap Uniform Sale Act dan The Uniform Commer
cial Code telah diadakan pembaruan. Yang menjadi arsitek dari pembaruan
kedua undang-undang itu adalah Profesor Kari Lliwellyn dan ia juga peran
cang utama dari Pasal 2 tentang Perdagangan. Menanggapi pengaruhnya,
kitab undang-undang tersebut mewakili suatu upaya tertentu untuk mem
berikan hukum agar dapat diterapkan pada transaksi perdagangan yang
lebih cocok dengan praktik bisnis, jadi diharapkan berguna dalam bisnis.
Walaupun penerimaan kedua undang-undang itu oleh negara-negara bagian
agak lamban, namun seluruh atau sebagian dari UCC telah diadopsi dan
20 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
sekarang ditegakkan di negara Amerika Serikat.
Ketika pengadilan memutuskan suatu kasus yang diatur oleh suatu undang-
undang, alasannya berbeda dengan alasan yang digunakan oleh prinsip-
prinsip hukum kebiasaan yang diterapkan. Beberapa pengadilan bahkan
pengadilan tinggi dari suatu wilayah hukum terikat untuk mengikuti ketentuan
undang-undang yang valid yang diterapkan untuk suatu sengketa sebelumnya.
Tugas ini berasal dari prinsip politik yang mendasar dari masyarakat Amerika.
Pembuat undang-Undang mempunyai kekuasaan dalam pembentukan hukum,
demikian pula terhadap undang-undang terikat dengan berbagai kewenangan
konstitusi. Dengan demikian, pembuat undang-undang dapat mengubah dan
menyaring aturan hukum kebiasaan. Kadang-kadang, bahasa undang-undang
mungkin tunduk pada interpretasi yang berbeda: seperti pada kasus,
pengadilan biasanya menegaskan maksud legislator dalam pembuatan
undang-undang, agar mengadopsi ’’sejarah pembentukan undang-undang”
yang terkait dengan debat legislatif, laporan panitia, dan sebagainya.
Sebagaimana kita lihat, UCC mempunyai bentuk khusus tersendiri mengenai
sejarah legislatif, official comments dari perancang undang-undang (itu bukan
sejarah perundang-undangan yang tertulis; mereka bukan produk pembuat
undang-undang negara sendiri, tetapi penulis dari official UCC yang
didasarkan pada undang-undang negara yang beraneka ragam).
Ketika merancang Pasal 2 UCC, Profesor Liwellyn dan rekan-rekannya
meninggalkan bentuk Undang-Undang Penjualan (Uniform Sales Acts) yang
terdahulu. Anggapan sebuah badan hukum tentang kontrak dapat diterapkan
sebagai latar belakang, ketentuan tersebut termasuk dalam Kitab Undang
Undang (Code), yakni sejumlah peraturan yang mengubah aturan-aturan
hukum kebiasaan tentang kontrak, seperti yang diterapkan terhadap penjual
barang. Peraturan tersebut mengungkapkan prinsip-prinsip yang juga dapat
diterapkan pada kontrak-kontrak selain dari penjualan barang. Pada tahun
sekarang ini pengadilan telah mulai menerapkan ketentuan-ketentuan UCC
dengan analogi di dalam kasus kontrak bahwa Pasal 2 tidak dapat diterapkan
secara langsung. Kecenderungan ini memberikan pengaruh terhadap bentuk
lain dari kewenangan, dengan pendekatan lebih persuasif daripada mengikat,
mempunyai dampak yang sangat kuat pada hukum kontrak.
Restatements
Sumber hukum sekunder adalah restatements. Restatements merupakan hasil
rumusan ulang tentang hukum. Rumusan ini dilakukan karena timbulnya
ketidakpastian dan kurangnya keseragaman dalam hukum dagang (commercial
law). Restatement tersebut menyerupai undang-undang, meliputi black letter,
pernyataan-pernyataan dari ’’aturan umum” (atau kasus itu mengetengahkan
konflik dengan aturan yang lebih baik).
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 21
Restatements ini dilakukan oleh Institut Hukum Amerika (American Law
Institute/ALI). Lembaga ini dibentuk pada tahun 1923. Proyek awal yang
dijalankan oleh organisasi ini adalah
1) melakukan persiapan dan penyebarluasan terhadap apa yang diakui
menjadi suatu ringkasan yang akurat dan otoritatif;
2) melakukan ringkasan terhadap aturan hukum kebiasaan (common law)
dalam berbagai macam bidang, termasuk kontrak, masalah kerugian,
dan harta kekayaan.
Restatement yang diterima dan digunakan oleh pengacara dan hakim/
pengadilan, seperti restatement tentang kontrak, terutama diadopsi oleh ALI
pada tahun 1932 dan diterbitkan secara gradual dalam bentuk rancangan,
sekitar beberapa tahun yang lalu.
Lagi pula banyak sekali pasal yang didukung dengan beberapa komentar
dan ilustrasi. Tidak satu pun dari restatement ALI mengutamakan penegakan
hukum seperti perlakuan terhadap undang-undang atau keputusan pengadilan
secara individu. Walaupun itu merupakan sumber sekunder, restatement
tersebut dalam kenyataannya dibuktikan dengan pendekatan yang benar-
benar persuasif, tidak jarang pengadilan akan membenarkan keputusannya
dengan memberikan kutipan-kutipan sederhana (mungkin dengan menyetujui
adanya diskusi) tentang aturan restatement pada poin-poin yang diberikan).
Dengan mengetahui bahwa hukum kontrak telah mengalami perkembangan
secara substansial sejak tahun 1932, tahun 1962 ALI mulai mempersiapkan
terjemahan dari restatement yang direvisi. Akhirnya melakukan adopsi pada
tahun 1979. Restatements (kedua) dari kontrak mewujudkan perubahan secara
filosofi dari restatement yang aslinya.
Restatement pertama cenderung untuk menekankan penyamarataan dan
prediksi terhadap biaya atau ongkos yang beraneka ragam dan fleksibel,
sedangkan restatement kedua, lebih banyak memberikan komentar yang
mendukung catatan editorial. Restatement kedua untuk menjawab beberapa
kesulitan dari restatement pertama yang dipersiapkan untuk mengabaikan
dan menyarankan suatu kendali bagi keleluasaan keputusan pengadilan.
Sebagaimana kami lihat, restatement (kedua) juga mencerminkan suatu
derajat yang tinggi, yang memberikan pengaruh terhadap Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (UCC). Secara keseluruhan bahan-bahan ini mem
berikan referensi terhadap restatement pertama atau kedua. Restatement
kedua mengatur tentang kontrak. Sedangkan Restatemen ALI mengatur
lainnya, seperti tentang peragenan, harta kekayaan, atau kerugian.
d. Legal Commentary (Komentar Hukum)
Legal commentary merupakan sumber hukum sekunder. Legal commen
tary dianalogkan dengan doktrin dalam hukum Kontinental. Karena com-
22 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
mentary o f law merupakan pendapat atau ajaran-ajaran dari para pakar
tentang hukum kontrak.
Pada dasarnya yang banyak dikomentari oleh para pakar hukum kontrak
adalah tentang restatement kontrak. Restatement kontrak telah mempunyai
dampak yang kuat dalam membentuk pandangan pengadilan tentang apa
yang sepatutnya dilakukan common law dari kontrak. Restatement tentang
kontrak cukup mempunyai pengaruh terhadap hukum. Akan tetapi, selama
bertahun-tahun telah bermacam artikel dipublikasikan, buku-buku, dan ber
aneka ragam risalah telah dicurahkan untuk menganalisis, mengevaluasi,
dan mempersatukan badan-badan yang luas tentang kasus-kasus kontrak
yang telah diakumulasi dalam keputusan yang dilaporkan oleh pengadilan
Amerika. Pengarang-pengarang dari pekerjaan ini menghendaki klarifikasi
hukum, untuk tujuan penyelesaian permasalahan yang tidak dapat di
selesaikan, serta dalam beberapa kasus dibahas secara serius dan seringkah
efektif bagi kesempatan hukum. Sejumlah penjelasan telah memberikan
pengaruh dalam membentuk bagian-bagian dari hukum kebiasaan kontrak.
Mungkin banyak sekali hal penting (tentunya dalam pound dan mungkin juga
berpengaruh) dari uraian-uraian dan dari bermacam risalah yang dikemukakan
oleh Profesor Samuel Willinston dan Arthur Corbin dilaporkan mengenai re
statement asli dari kontrak dan ide-ide tersebut dicerminkan dalam organisasi
dan substansinya. Risalah William (pertama kali dipublikasikan tahun 1920,
dan kemudian direvisi secara periodik, hal ini secara alami berkaitan dengan
respek hakim yang memandang restatement tersebut berwibawa. Risalah dari
Profesor Corbins tidak dipublikasikan hingga tahun 1950, dan mengakhiri karier
ilmiahnya yang panjang. Meskipun dia dan Willinston berkawan dan berteman
sejawat, namun Corbin sendiri berperan dalam penulisan restatement. Secara
filosofis, namun keduanya terdapat perbedaan dalam memandang hukum.
Willinston cenderung menghargai hukum sebagai bagian dari aturan yang
abstrak yang mana pengadilan secara deduksi biasanya memutuskan kasus
perorangan; sedangkan Corbin menghargai tugasnya sebagai sarjana hukum
untuk menemukan apakah pengadilan secara aktual melakukan dan berusaha
untuk menyusun temuan ke dalam apa yang disebut dengan ’’bekerjanya
aturan-aturan” hukum.
Selain pekerjaan dari kedua tokoh besar hukum kontrak tersebut, banyak
penjelasan singkat yang bermunculan dalam tahun ini. Di antaranya baru-
baru ini mungkin banyak dipengaruhi dua dari berbagai risalah Profesor E.
Alan Farnsworth, yang membantu sebagai reporter untuk restatement (kedua)
kontrak. Untuk masalah-masalah yang sedang berkembang di bawah UCC,
para pengacara dan hakim seringkah mengikuti James J. White dan Robert
S. Summers, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang seragam (Uni
form Commercial Code, 3d ed. 1988).
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 23
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komentar-komentar para pakar
hukum dalam restatement sangat membantu pengadilan dan pengacara dalam
memecahkan berbagai kasus di bidang kontrak.
D a fta r P e r ta n y a a n
1. Kemukakan perbedaan pendapat antara Charles L. Knapp and Nathan M.
Crystal, Lawrence M. Friedman dengan Salim, H.S. tentang pengertian
hukum kontrak serta jelaskan unsur-unsurnya!
2. a. Kemukakan tempat pengaturan hukum kontrak yang Anda ketahui!
b. Kemukakan perbedaan antara sistem pengaturan hukum benda dengan
hukum kontrak yang Anda ketahui!
3. a. Sebutkan dan jelaskan asas-asas hukum kontrak yang Anda ketahui!
b. Kemukakan apa yang mengilhami munculnya asas konsensualisme?
Jelaskan!
4. a. Kemukakan perbedaan antara sumber hukum primer dan sekunder dalam
hukum kontrak Amerika dengan sumber hukum formal dan materiil dalam
hukum Eropa Kontinental, khususnya KUH Perdata!
b. Kemukakan perbedaan antara preseden dengan jurisprudensi dalam
sistem hukum Eropa Kontinental!
5. a. Kemukakan perbedaan antara syarat-syarat sahnya kontrak menurut
hukum kontrak Amerika dengan hukum Eropa Kontinental yang Anda
ketahui!
b. Kemukakan perbedaan antara legal comentary dengan doktrin!
24 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik: Penyusunan Kontrak
YARAT-SYARAT SAHNYA DAN
MOMENTUM TERJADINYA
KONTRAK
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN KONTRAK
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedangkan dalam
bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian).
Pengertian perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUH Perdata. Pasal
1313 KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah
1. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian,
2. tidak tampak asas konsensualisme, dan
3. bersifat dualisme.
Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya
disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut
dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam
doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah
’’Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.”
Definisi ini, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat
hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Unsur-unsur perjanjian, menurut
teori lama adalah sebagai berikut:
1. adanya perbuatan hukum,
2. persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang,
3. persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,
4. perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih,
5. pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung
satu sama lain,
6. kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,
7. akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau
timbal balik, dan
8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-
undangan.
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 25
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan
perjanjian, adalah
’’Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga
harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap
dalam membuat perjanjian, menurut teori baru, yaitu
1. tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;
2. tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara
para pihak;
3. tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.
Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan contract is:
An agreement between two or more persons not merely a shared belief,
but common understanding as to something that is to be done in the
future by one or both o f them (Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal,
1993: 2). Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau
lebih tidak hanya memberikan kepercayaan, tetapi secara bersama saling
pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang
atau keduanya dari mereka.
Pendapat ini tidak hanya mengkaji definisi kontrak, tetapi ia juga menentukan
unsur-unsur yang harus dipenuhi supaya suatu transaksi dapat disebut kontrak.
Ada tiga unsur kontrak, yaitu
1. The agreement fact between the parties (adanya kesepakatan tentang
fakta antara kedua belah pihak);
2. The agreement as writen (persetujuan dibuat secara tertulis);
3. The set o f rights and duties created by (1) and (2) (adanya orang yang
berhak dan berkewajiban untuk membuat: (1) kesepakatan dan (2) persetujuan
tertulis).
Di dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan contract adalah
An agreement between two or more person which creates an obligation
to do or not to do particular thing. Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan
antara dua orang atau lebih, di mana menimbulkan sebuah kewajiban untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. (Black’s Law
Dictionary, 1979: 291)
Inti definisi yang tercantum dalam Black’s Law Dictionary bahwa kontrak
dilihat sebagai persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik
melakukan atau tidak melakukan secara sebagian.
Satu hal yang kurang dalam berbagai definisi kontrak yang dipaparkan di
atas, yaitu bahwa para pihak dalam kontrak hanya semata-mata orang perorangan
26 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
semata-mata. Tetapi dalam praktiknya, bukan hanya orang perorang yang
membuat kontrak, termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek hukum.
Dengan demikian, definisi itu, perlu dilengkapi dan disempurnakan. Menurut penulis,
bahwa kontrak atau perjanjian merupakan:
’’Hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang
lain dalam bidang harta kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas
prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan
prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”
Unsur-unsur yang tercantum definisi yang terakhir ini adalah sebagai berikut.
1. Adanya hubungan hukum.
Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
2. Adanya subjek hukum.
Subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban.
3. Adanya prestasi.
Prestasi terdiri atas melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat
sesuatu.
4. Di bidang harta kekayaan.
B. JENIS-JENIS KONTRAK
Para ahli di bidang kontrak tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian
kontrak. Ada ahli yang mengkajinya dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya,
aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya. Berikut ini disajikan jenis-jenis
kontrak berdasarkan pembagian di atas.
1. Kontrak Menurut Sumber Hukumnya (Sudikno Mertokusumo, 1987: 11)
Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak
yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Sudikno Mertokusumo
menggolongkan perjanjian (kontrak) dari sumber hukumnya. Ia membagi jenis
perjanjian (kontrak) menjadi lima macam, yaitu
a. perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti nalnya perkawinan;
b. perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan
peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
c. perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
d. perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan bewijsove-
reenkomst;
e. perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publieck-
rechtelijke overeenkomst.
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Teijadinya Kontrak 27
2. Kontrak Menurut Namanya
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam
Pasal 1319 KUH Perdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 KUH
Perdata dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam kontrak menurut
namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak
bernama). Kontrak nominaat adalah kontrak yang dikenal dalam KUH Perdata.
Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar-menukar, sewa-
menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam-
meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain.
Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan
berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUH
Perdata. Yang termasuk dalam kontrak innominaat adalah leasing, beli sewa,
franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production
sharing, dan lain-lain. Namun, Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga
antara bernama dan tidak bernama, yaitu kontrak campuran (Vollmar, 1984:
144-146). Kontrak campuran, yaitu kontrak atau perjanjian yang tidak hanya
diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam
titel I, II, dan IV, karena kekhilafan, titel yang terakhir ini (titel IV) tidak disebut
oleh Pasal 1355 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan
khusus untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum.
Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah penginapan (hotel)
menyewakan kamar-kamar (sewa-menyewa), tetapi juga menyediakan makanan
(jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa).
Kontrak campuran disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuan-
ketentuan yang mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara
analogi (Arrest HR 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi
(absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundang-undangan dari
perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang paling menonjol
(HR, 12 April 1935), sedangkan dalam tahun 1947 Hoge Raad menyatakan diri
(HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.
3. Kontrak Menurut Bentuknya
Di dalam KUH Perdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk
kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam
KUH Perdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian
yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak
(Pasal 1320 KUH Perdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian itu
telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil.
Pembedaan ini diilhami dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak
hanya memerlukan adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan
28 H u k um K o n tra k : T eo ri d a n T e k n ik Penyusunan K o n tra k
yang suci dan juga harus didasarkan atas penyerahan nyata dari suatu benda.
Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan
para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan
dilaksanakan secara nyata.
Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan
dengan akta notaris (Pasal 1682 KUH Perdata). Kontrak ini dibagi menjadi dua
macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta notaris. Akta di
bawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para
pihak. Sedangkan akta autentik merupakan akta yang dibuat oleh atau di hadapan
notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya,
berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta
yang dibuat di hadapan notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di
hadapan notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya
yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang
telah dituangkan dalam bentuk formulir.
4. Kontrak Timbal Balik
Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal
balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan
kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa. Perjanjian
timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal ba'ik tidak sempurna dan
yang sepihak.
a. Kontrak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu
pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi-
prestasi yang seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa
berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundaknya
oleh orang pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan
kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya
telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantinya.
b. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-
kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam
mengganti.
Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam rangka pembubaran perjanjian.
5. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani
Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya
prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian, yang
menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak.
Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak
yang membebani merupakan perjanjian, di samping prestasi pihak yang satu
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 29
senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain, yang menurut hukum saling
berkaitan. Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B
menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A.
6. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya
Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang
ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi
menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) dan
peijanjian obligatoir. Peijanjian kebendaan adalah suatu perjanjian, yang ditimbulkan
hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian untuk memenuhi perikatan.
Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan
hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan
kewajiban dari para pihak.
Di samping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian
pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang
utama, yaitu perjanjian pinjam-meminjam uang, baik kepada individu maupun
pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir merupakan perjanjian
tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia.
7. Perjanjian dari Aspek Larangannya
Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan penggolongan
perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian
yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini
disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi 13
(tiga belas) jenis, sebagaimana disajikan berikut ini.
a. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produksi
dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
b. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada
pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah
(1) suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan
(2) suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
c. Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku-
pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar
dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain
30 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
%*
i
X
1
*
*
M
V
i
#-
untuk barang atau jasa yang berbeda.
d. Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat
antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
e. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa
penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali
barang dan atau jasa yang diterimanya. Tindakan itu dilakukan dengan harga
yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
f. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan tidak sehat.
g. Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat
pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghalangi pelaku
usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam negeri maupun luar negeri.
h. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
i. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perseroan anggotanya.
Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
j. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas
barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
k. Perjanjian integrasi vertikal, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lain, yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 31
produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu.
Setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan,
baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan
masyarakat.
l. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa
tersebut kepada pihak dan atau pada tempat tertentu.
m. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
tidak sehat.
Di samping uraian di atas, di dalam Hukum Kontrak Amerika dikenal pula
perjanjian yang didasarkan pada metodenya (Black Laws Dictionary, 1979: 292).
Pembagian ini didasarkan pada suatu cara (metode) untuk menentukan kesepakatan
dan tindakan simbolik lainnya dalam pelaksanaan perjanjian. Perjanjian menurut
metodenya dibagi menjadi tiga macam, sebagaimana disajikan berikut ini.
1. Perjanjian pasti (certain) dan penuh risiko/berbahaya (hasardoz)
Perjanjian pasti (khusus) dilakukan tergantung dari kemauan para pihak
atau kapan suatu kegiatan dilakukan. Perjanjian ini dilakukan setelah ada
kesepakatan para pihak. Perjanjian penuh risiko, yaitu perjanjian yang
dilakukan tanpa adanya kemauan dan pembicaraan yang khusus sebelumnya.
2. Perjanjian komutatif dan berdiri sendiri
Perjanjian komutatif dilakukan tergantung dari apa yang dilakukan, diberikan,
atau setelah ada perjanjian sebelumnya dengan para pihak. Sedangkan
perjanjian berdiri sendiri, dilakukan setelah ada tindakan saling pengertian
dan pertimbangan sebelumnya.
3. Perjanjian konsensual dan nyata
Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang dilakukan atas dasar
persetujuan bersama antara para pihak, tanpa formalitas lain atau tindakan
simbolik yang menjelaskan secara detail tentang tanggung jawab tersebut.
Sedangkan perjanjian nyata adalah suatu perjanjian yang dapat dilaksanakan
secara nyata oleh para pihak.
Dari berbagai jenis perjanjian yang dipaparkan di atas maka jenis atau
pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu
kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah
perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun
dari aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah
perjanjian konsensual, perjanjian obligatoir, dan lain-lain.
32 H u k um K o n tra k : T eo ri d a n T e k n ik Penyusunan K o n tra k
C. SYARAT-SYARAT SAHNYA KONTRAK
Syarat sahnya kontrak dapat dikaji berdasarkan hukum kontrak yang terdapat
di dalam KUH Perdata (civil law) dan hukum kontrak Amerika.
1. Menurut KUH Perdata (Civil Law)
Dalam hukum Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur dalam
Pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru) Belanda.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu
(1) adanya kesepakatan kedua belah pihak,
(2) kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,
(3) adanya objek, dan
(4) adanya kausa yang halal.
Keempat hal itu, dikemukakan berikut ini.
a. Kesepakatan (Toesteming/Izin) Kedua Belah Pihak
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau
konsensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat
dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan
kehendak, yaitu dengan:
1) bahasa yang sempurna dan tertulis;
2) bahasa yang sempurna secara lisan;
3) bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya seringkah seseorang menyampaikan dengan
bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
4) bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
5) diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan
(Sudikno Mertokusumo, 1987: 7).
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu
dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan
pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian
hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala
timbul sengketa di kemudian hari.
b. Kecakapan Bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbliatan yang akan me
nimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian
haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-
Bab 3 Syarat-Syarat Sairnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 33
undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah
berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang
untuk melakukan perbuatan hukum:
1) anak di bawah umur (minderjarigheid),
2) orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan
3) istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Akan tetapi dalam perkembangannya
istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.
c. Adanya Objek Perjanjian (Onderwerp der Overeenskomst)
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian
adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi
kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur (Yahya Harahap,
1986: 10; Mertokusumo, 1987: 36). Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif
dan negatif. Prestasi terdiri atas:
(1) memberikan sesuatu,
(2) . berbuat sesuatu, dan
(3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
Misalnya, jual beli rumah. Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah
menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang harga dari
pembelian rumah itu. Contoh lainnya, dalam perjanjian kerja maka yang
menjadi pokok perjanjian adalah melakukan pekerjaan dan membayar upah.
Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat
dinilai dengan uang. Dapat ditentukan artinya di dalam mengadakan
perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan dalam arti dapat ditentukan secara
cukup. Misalnya, A membeli lemari pada B dengan harga Rp500.000,00. Ini
berarti bahwa objeknya itu adalah lemari, bukan benda lainnya.
d. Adanya Causa yang Halal (Geoorloofde Oorzaak)
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa
yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa
yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun
1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.
Contoh A menjual sepeda motor kepada B. Akan tetapi, sepeda motor yang
dijual oleh A itu adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak mencapai
tujuan dari pihak B. Karena B menginginkan barang yang dibelinya itu
barang yang sah.
Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan
34 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian.
Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat
dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada
Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila
para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah.
Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi
hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
2. Menurut Hukum Kontrak Amerika
Di dalam hukum kontrak (law o f contract) Amerika ditentukan empat syarat
sahnya kontrak, yaitu
1) adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan),
2) metting o f minds (persesuaian kehendak),
3) consideration (prestasi), dan
4) competent paries and legal subject matter (kemampuan hukum para pihak
dan pokok persoalan yang sah). Keempat hal ini, dijelaskan berikut ini.
a. Offer dan Acceptance (Penawaran dan Penerimaan)
Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer (penawaran) dan acceptance
(penerimaan). Yang diartikan dengan offer (penawaran) adalah suatu janji
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa
yang akan datang. Penawaran ini ditujukan kepada setiap orang.
Yang berhak dan berwenang mengajukan penawaran adalah setiap orang
yang layak dan memahami apa yang dimaksudkan. Ada 5 (lima) syarat
adanya penawaran, yaitu
1) adanya konsiderasi (prestasi),
2) sesuai dengan undang-undang,
3) under one o f the special rules relating to the revocation o f a
wiilateral contract,
4) under doctrine o f promissory estoppel, dan
5) by virtue o f a sealed instrument.
Penawaran yang disampaikan kepada para khalayak, akan menghasilkan dua
macam kontrak, yaitu
1) kontrak bilateral, dan
2) kontrak unilateral.
Kontrak bilateral, yaitu kontrak yang diadakan antara dua orang. Dalam
kontrak itu kedua belah pihak harus memenuhi janjinya. Sedangkan kontrak
unilateral adalah penawaran yang membutuhkan tindakan saja, karena berisi
satu janji dari satu pihak saja.
Pada prinsipnya penawaran tetap terbuka sepanjang belum berakhirnya waktu
atau belum dicabut. Suatu penawaran akan berakhir, apabila:
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 35
1) si pemberi tawaran (penawaran) atau penerima tawaran sakit ingatan
atau meninggal dunia sebelum terjadi penerimaan penawaran,
2) penawaran dicabut, dalam hal ini pihak penawar harus memberitahukan
sebelum penawaran diterima. Jika suatu penawaran ditentukan dalam
waktu tertentu maka penawaran tersebut tidak dapat dicabut sebelum
waktunya berakhir, dan
3) penerima tawaran tidak menerima tawaran, tetapi membuat suatu kontra
penawaran. Sebagai contoh Carter menawarkan mobilnya seharga $900,
Dealer menjawab dengan surat hendak membeli mobil itu seharga
$700, penawaran asli yang $900 telah berakhir dan tidak bisa diterima
oleh Dealer kecuali Carter membuat penawaran baru.
Acceptance adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar tawaran
untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar. Penerimaan itu
harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar tawaran. Penerimaan
itu harus bersifat absolut dan tanpa syarat atas tawaran itu. Penerimaan
yang belum disampaikan kepada pemberi tawaran, belum berlaku sebagai
penerimaan tawaran. Akan tetapi, dalam perundingan yang dilakukan dengan
korespondensi, penerimaan yang dikirim dengan media yang sama dianggap
sudah disampaikan. Dalam pelelangan umum diatur dengan prosedur khusus.
Bilamana memungkinkan, baik tawaran maupun penerimaan tawaran sebaik
nya dinyatakan secara tertulis dan jelas. Lagi pula, suatu penerimaan kalau
dapat harus diterima sendiri, serta jangan sampai membuat atau memberikan
penawaran yang belum dapat diketahui tindakannya.
b. Metting o f Minds (Persesuaian Kehendak)
Penawaran dan penerimaan antara kedua belah pihak dapat menghasilkan
bentuk luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak berarti bahwa kontrak itu
dikatakan sah. Yang harus diperhatikan supaya kontrak itu dikatakan sah
adalah adanya metting o f mind, yaitu adanya persesuaian pernyataan
kehendak antara para pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas
maka kontrak itu dikatakan sah. Persesuaian kehendak itu harus dilakukan
secara jujur, tetapi apabila kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan
(fraud), kesalahan (mistake), paksaan (durress), dan penyalahgunaan
keadaan (undu influence) maka kontrak itu menjadi tidak sah, dan kontrak
itu dapat dibatalkan (Jesse S Rafhael, 1962: 15). Keempat hal itu dikemukakan
berikut ini.
1) Fraude (penipuan)
Fraude (penipuan) adalah dengan sengaja mengajukan gambaran atau
fakta yang salah untuk memasuki hubungan kontrak. Untuk itu pihak
yang tidak bersalah harus bersandar pada gambaran yang salah tadi
dan secara finansial, pihak yang merugikan orang lain wajib membayar
36 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
ganti rugi. Kalau sekiranya orang yang tidak bersalah tadi tahu bahwa
objek kontrak rusak maka ia tidak akan menutup kontrak tersebut.
Adalah sangat adil dan tepat apabila pihak yang menggugat fraucle
mendapat kesempatan untuk menemukan fakta-fakta hukum tentang
objek tersebut. Sebagai contoh Charles membeli mobil bekas seharga
$ 500,- yang ternyata radiatornya rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi.
Dalam membeli mobil tersebut Charles melihat pernyataan Dealer bahwa
mobil itu diubah menjadi mobil baru dan baru menempuh/berjalan kurang
dari 20.000 mil. Kemudian ia mendapat keterangan dari bekas pemilik
bahwa pemilik lama membeli mobil tersebut sudah dipakai 25.000 mil
dan bekas pemilik memakai sejauh 30.000 mil. Jadi, yang salah adalah
pernyataan Dealer bahwa pemilik lama membeli dalam keadaan masih
baru, padahal sudah dipakai sejauh 20.000 mil.
Penipuan yang tampak pada kasus itu adalah pernyataan dari Dealer
bahwa yang dijual baru, sedangkan dari pemilik awal bahwa mobil itu
adalah mobil bekas.
2) Mistake (kesalahan)
Salah satu unsur lain yang membatalkan kontrak, yaitu adanya mistake
(kesalahan). Mistake, yaitu jika dua pihak yang mengadakan kontrak
dengan fakta yang ternyata salah maka pihak tadi dapat membatalkan
kontrak setelah mengetahui fakta yang sebenarnya. Sebagai contoh Mrs.
Childs baru mendapat surat dari pemerintah yang mengatakan bahwa
suaminya yang bertugas di Polandia dan tidak terdengar beritanya bahwa
suaminya benar-benar meninggal dunia. Saat Mrs. Childs ditinggalkan
suaminya terdapat polis asuransi jiwa senilai $ 50.000. Karena ia tidak
dapat membuktikan kematian suaminya dan tidak membayar bukti polis
maka Mrs. Childs menurunkan nilai polis menjadi $ 10.000 dengan imbalan
pihak asuransi tidak menuntut premi atas polis yang diturunkan itu. Mrs.
Childs dapat memperoleh uang $ 50.000 atas kontrak asuransi asli
(pertama) karena pada saat kontrak asuransi kedua dibuat kedua pihak
berada dalam anggapan yang salah di mana suaminya masih hidup.
3) Durres (paksaan)
Durres terjadi apabila salah satu pihak lain menyetujui kontrak dengan
ancaman penjara, jiwa, atau badan. Ancaman ini dapat saja dilakukan
terhadap dirinya, keluarganya, dan ancamannya tidak bersifat fisik,
misalnya ancaman untuk membuat bangkrut atau tidak mendapatkan
kekayaan yang menjadi haknya. Emanuel dan Knowles mengkategorikan
duress menjadi empat macam, yaitu
(1) kekerasan atau ancaman penggunaan kekerasan,
(2) pemenjaraan atau ancaman memenjarakan,
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 37
(3) mengambil atau menguasai barang pihak lain secara tidak sah, atau
ancaman melakukan demikian, dan
(4) ancaman untuk melanggar kontrak atau untuk melakukan tindakan-
tindakan yang tidak sah (dalam Djasadin Saragih, 1993: 16). Bentuk
duress yang paling sering terjadi adalah bila salah satu pihak
mengancam untuk melanggar kontrak apabila kontrak itu tidak diubah
demi keuntungannya, atau bila tidak dibuat kontrak baru.
4) Undue inpluence (penyalahgunaan keadaan)
Ajaran undue inpluence (penyalahgunaan keadaan) pertama kali muncul
pada abad ke-15 di Inggris, yang didasarkan pada equity. Equity ini
muncul karena dalam common law tidak mengatur paksaan secara
batiniah. Yang dikenal dalam common law hanya paksaan secara fisik
sebagai faktor pengganggu. Untuk mengantisipasi hal itu, Court o f
Chancerry mengeluarkan putusan undue inpluence, yang merupakan
moral imperative (paksaan moral). Di negeri Belanda ajaran ini mulai
diterapkan oleh hakim pada tahun 1957 dalam kasus Bovag II.
Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada hal
berikut, yaitu
a) penyalahgunaan keunggulan ekonomi, dan
b) penyalahgunaan kejiwaan (Van Dunne, 1987).
Rutinga menyebutkan inti penyalahgunaan keunggulan ekonomis terletak
Inequality o f bargaining power, yaitu ketidakseimbangan kekuatan dalam
melakukan tawar-menawar atau perundingan antara pihak ekonomi kuat
terhadap pihak ekonomi lemah. Ada dua persyaratan dasar dalam
penyalahgunaan keunggulan ekonomis, yaitu
(1) satu pihak mempunyai keunggulan ekonomis, dan
(2) pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian.
Sedangkan penyalahgunaan keunggulan kejiwaan terjadi apabila salah
satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif atau keadaan jiwa
yang istimewa dari pihak lain. Pihak yang dirugikan dibujuk untuk
melakukan perbuatan hukum yang sama sekali tidak dikehendakinya,
seperti misalnya status sosial, hubungan dokter-pasien, pengacara dan
klien, dan lain-lain.
c. Consideration (Konsiderasi)
Supaya kontrak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat,
haruslah didukung dengan konsiderasi (concideration).
Menurut sejarahnya, bahwa doktrin konsiderasi sudah berumur ratusan tahun.
Ini tidak dianggap sebagai unsur penting untuk membuat kontrak. Dulu, semua
hak yang di laksanakan dibagi menjadi sejumlah kategori yang terbatas. Untuk
pelanggaran masing-masing kategori pengadilan menyediakan formulir yang
38 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
dikenal sebagai Surat Perintah {writ). Setelah berbagai macam writ ada,
pengadilan enggan untuk menggandakannya. Yang tersisa dalam kontrak adalah
writ perjanjian. Writ ini baru dapat dilaksanakan hanya setelah dibuat secara
tertulis dan dibuat di atas segel oleh para pihak yang mengadakan kontrak.
Kontrak yang dibuat dengan writ dinamakan perjanjian {kovenan) dan bersifat
mengikat para pihak. Kendati demikian, sejalan dengan pertumbuhan
perdagangan dan perniagaan, desakan untuk pelaksanaan kontrak yang sah
tidak perlu dibuat di atas segel. Untuk itu pengadilan memeriksa writ yang
ada untuk melihat apakah bisa digunakan atau tidak.
Mengenai pengertian konsiderasi itu sendiri belum ada kesepakatan para ahli.
Ada ahli yang mengartikan bahwa konsiderasi merupakan motive atau alasan
untuk membuat kontrak (Blacklaw Dictionary, 1983: 277). Jesse S. Raphael
mengartikan konsiderasi adalah
’’Penghentian hak (sah) oleh satu pihak dengan imbalan janji dari pihak
lain. Jika seorang membuat janji dengan menghentikan salah satu hak
dari yang mendapat janji, janji tadi secara sah mengikat karena ditunjang
oleh konsiderasi.” (Jesse S. Raphael, 1962: 18)
Pendapat lain mengatakan bahwa konsiderasi disamakan artinya dengan
prestasi, yaitu sebagai sesuatu yang diberikan, dijanjikan, atau dilakukan
secara timbal balik. Perbuatan, sikap tidak berbuat atau janji dari masing-
masing pihak adalah harga bagi yang telah dibeli oleh pihak lainnya.
Konsiderasi dapat berupa akan dilaksanakan atau sudah dilaksanakan (Abdul
Kadir Muhammad, 1986: 99).
Pendapat Jesse S. Raphael dan Abdul Kadir Muhammad ini ada kesamaannya,
yaitu bahwa konsiderasi merupakan prestasi, karena masing-masing
melaksanakan prestasi secara timbal balik. Konsiderasi (prestasi) harus
berwujud dan mempunyai nilai. Apabila tidak mempunyai nilai, maka tidak
ada perjanjian.
d. Competent Parties and Legal Subject Matter (Kemampuan dan Keabsahan
tentang Subjek)
Competent parties adalah kemampuan dan kecakapan dari subjek hukum
untuk melakukan kontrak. Sedangkan legal subject matter, yaitu keabsahan
dari pokok persoalan.
Di dalam sistem hukum Amerika, pengadilan membedakan kemampuan
tentang legalitas dari seorang untuk membuat kontrak. Orang yang dapat
membuat kontrak harus sudah cukup umur. Masing-masing negara bagian
tidak sama tentang umur kedewasaan. Ada yang menentukan 21 tahun
untuk semua jenis kelamin dan ada juga negara Bagian yang menentukan
21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk wanita. Sedangkan orang yang
tidak berwenang untuk membuat kontrak adalah
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 39
1) orang di bawah umur, dan
2) orang gila.
Apabila orang di bawah umur itu membuat kontrak maka ia dapat membatalkan
kontrak tersebut, kapan pun pada saat ia masih di bawah umur. Namun,
orang di bawah umur itu juga dapat mengesahkan kontrak apabila ia sudah
dewasa.
Persyaratan lain dari sahnya kontrak adalah adanya legal subjek matter,
yaitu pokok persoalan yang sah. Syarat ini sama dengan causa yang halal
dalam sistem hukum Kontinental (baca KUH Perdata). Suatu legal subjek
matter dikatakan sah apabila tidak bertentangan dengan kepentingan orang
banyak (kepentingan umum). Apabila bertentangan dengan kepentingan
umum, maka perjanjian itu dikatakan tidak sah. Ada dua macam perjanjian
yang tidak sah, yaitu
(1) perjanjian pembayaran bunga yang melampaui suku bunga yang sah
(riba), dan
(2) perjanjian utang dalam perjudian (Jesse S. Raphael, 1962: 21-22).
D. MOMENTUM TERJADINYA KONTRAK
Di dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara jelas tentang momentum
terjadinya kontrak. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan cukup
dengan adanya konsensus para pihak. Di berbagai literatur disebutkan empat
teori yang membahas momentum terjadinya kontrak, yaitu teori pernyataan,
pengiriman, pengetahuan, dan penerimaan (Vollmar, 1984: 147-14; Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, 1980: 20-21; Sudikno Mertokusumo, 1987: 15). Keempat
hal itu dijelaskan berikut ini.
1. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
Menurut teori pernyataan, kesepakatan (Westerning) terjadi pada saat pihak
yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint
untuk menyatakan menerima, kerepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini
adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima
penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini, bagaimana hal itu
bisa diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak
yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoretis, dianggap terjadinya kesepakatan
secara otomatis.
40 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak
yang menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan
itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini,
bagaimana ia mengetahuinya isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.
4. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)
Menurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Di samping keempat teori tersebut, Pitlo mengungkapkan sebuah teori yang
kelima tentang momentum terjadinya kontrak, yaitu geobjectiveerde bertiemings-
theorie, yang menentukan adalah saat si pengirim surat redelijkerwijs, dapat
menganggap bahwa si alamat telah mengetahui isi surat itu. Contohnya, saya telah
memasukkan surat tawaran ke dalam kotak pos pada jam 12 siang di Amsterdam.
Surat itu disampaikan oleh Harleem kepada pengantar pos pada sore hari.
Persoalannya sekarang, kapan terjadi perjanjian. Menurut Hoge Raad terjadinya
perjanjian itu pada sore hari tersebut di atas (dalam Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, 1980: 20).
Di dalam hukum positif Belanda, juga diikuti yurisprudensi, maupun doktrin,
teori yang dianut adalah teori pengetahuan (vernemingstheorie) dengan sedikit
koreksi dari ontvangstheorie (teori penerimaan). Maksudnya penerapan teori
pengetahuan tidak secara mutlak. Sebab lalu lintas hukum menghendaki gerak
cepat dan tidak menghendaki formalitas yang kaku, sehingga vernemingstheorie
yang dianut. Karena jika harus menunggu sampai mengetahui secara langsung
adanya jawaban dari pihak lawan (ontvangstheorie), diperlukan waktu yang
lama.
Pada uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa momentum terjadinya
perjanjian, yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak
antara kreditur dan debitur. Namun, ada kalanya tidak ada persesuaian antara
pernyataan dan kehendak.
Ada tiga teori yang menjawab tentang ketidaksesuaian antara kehendak
dan pernyataan, yaitu teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan
(Van Dunne, 1987: 108-109). Ketiga teori itu dikemukakan berikut ini.
7. Teori kehendak (wilstheorie)
Menurut teori kehendak bahwa perjanjian terjadi apabila ada persesuaian
antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah
yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini menimbulkan
kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.
2. Teori pernyataan (verklaringtheorie)
Menurut teori ini kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 41
orang lain. Akan tetapi, yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah
pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka
peijanjian tetap terjadi. Dalam praktiknya teori ini menimbulkan berbagai kesulitan,
seperti bahwa apa yang dinyatakan berbeda dengan yang dikehendaki. Misalnya
A menyatakan Rp500.000,00 tetapi yang dikehendaki Rp50.000,00.
3. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie)
Menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi
pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian.
Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki.
Kelemahan teori ini adalah bahwa kepercayaan itu sulit dinilai.
Ada tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi dari ketiga teori
di atas. Ketiga alternatif tersebut, seperti berikut ini.
1. Dengan tetap mempertahankan teori kehendak, yaitu menganggap perjanjian
itu terjadi apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.
Pemecahannya: akan tetapi pihak lawan berhak mendapat ganti rugi, karena
pihak lawan mengharapkannya.
2. Dengan tetap berpegang pada teori kehendak, hanya dalam pelaksanaannya
kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.
3. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku (standart contract),
yaitu suatu perjanjian yang didasarkan kepada ketentuan umum di dalamnya.
Biasanya perjanjian dituangkan dalam bentuk formulir (Mertokusumo, 1987:
20) .
Timbulnya ketiga teori di atas disebabkan adanya kasus yang terjadi pada
tahun 1856 di Keulun/Koln/Collegrie, Belanda. Kasusnya, seorang komisioner
bernama Weiler menerima telegram dari Oppeinheim yang isinya suatu perintah
untuk menjual saham-saham Opeinheim. Akan tetapi, surat kawat itu cacat
(tidak sesuai dengan yang dikehendakinya). Sebab yang dimaksud bukanlah
menjual saham, tetapi justru membeli saham. Jadi, di sini terjadi kekeliruan
dalam penyampaian telegram oleh petugas pengirim telegram. Kemudian terjadi
sengketa, Opeinheim menggugat Weiler untuk mendapatkan ganti rugi dan hal
ini dikabulkan. Ini berarti yang dimenangkan adalah Opeinhem (Van Dune, 1987:
107). Pengadilan memutuskan berdasarkan atas teori kehendak. Teori kehendak
ini dipertahankan dan sangat berpengaruh pada abad k e -19, dan merupakan
ajaran yang berkuasa (heersende leer).
E. BENTUK-BENTUK KONTRAK
Bentuk kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan
lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan. Sedangkan perjanjian lisan suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).
42 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, sebagaimana dikemukakan berikut ini.
1. Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian,
tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain,
jika perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga maka para pihak atau salah
satu pihak dari perjanjian itu berkewajiban mengajukan bukti-bukti yang
diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud
tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan.
2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.
Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata hanya untuk
melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi, kesaksian
tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Salah
satu pihak mungkin saja menyangkal isi perjanjian. Namun, pihak yang
menyangkal itu adalah pihak yang harus membuktikan penyangkalannya.
3. Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta
notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka
pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah
notaris, camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti
yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga.
Ada tiga fungsi akta notariel (akta autentik), yaitu
a. sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan
perjanjian tertentu;
b. sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian
adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak;
c. sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali jika
ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa
isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Akta notariel merupakan bukti prima facie mengenai fakta, yaitu pernyataan
atau perjanjian yang termuat dalam akta notaris, mengingat notaris di Indonesia
adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk memberikan kesaksian
atau melegalisir suatu fakta. Jika isi dari fakta semacam itu disangkal di suatu
pengadilan maka pengadilan harus menghormati dan mengakui isi akta notariel,
kecuali jika pihak yang menyangkal dapat membuktikan bahwa bagian tertentu
dari akta telah diganti atau bahwa hal tersebut bukanlah yang disetujui oleh para
pihak, pembuktian mana sangat berat.
Di dalam hukum kontrak Amerika, kontrak menurut bentuknya dibagi menjadi
dua macam, yaitu
1. informal contract, yaitu kontrak yang dibuat dalam bentuk yang lazim atau
informal;
2. formal contract, yaitu perjanjian yang memerlukan bentuk atau cara-cara
tertentu. Formal contract dibagi menjadi tiga jenis, yaitu
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 43
a. contracts underseal, yaitu kontrak dalam bentuk akta autentik,
b. recognizance, yaitu acknowledgment atau pengakuan di muka sidang
pengadilan, dan
c. negotiable instrument, yaitu berita acara negosiasi (Subekti, 1993: 40).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk kontrak di dalam hukum
kontrak Amerika dapat digolongkan dalam kontrak informal dan formal.
F. INTERPRETASI DALAM KONTRAK
Penafsiran tentang kontrak diatur dalam Pasal 1342 sampai dengan Pasal
1351 KUH Perdata. Pada dasarnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah
dapat dimengerti dan dipahami isinya. Namun, dalam kenyataannya banyak kontrak
yang isinya tidak dimengerti oleh para pihak.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa isi perjanjian dibedakan menjadi
dua macam, yaitu
(1) kata-katanya jelas, dan
(2) kata-katanya tidak jelas, sehingga menimbulkan bermacam-macam penafsiran.
Di dalam Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa apabila kata-katanya
jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
Ini berarti bahwa para pihak haruslah melaksanakan isi kontrak tersebut dengan
iktikad baik. Apabila kata-katanya tidak jelas, dapat dilakukan penafsiran terhadap
isi kontrak yang dibuat para pihak.
Untuk melakukan penafsiran haruslah dilihat pada beberapa aspek, yaitu
1. jika kata-katanya dalam kontrak memberikan berbagai penafsiran maka harus
diselidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian (Pasal 1343 KUH
Perdata);
2. jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran maka harus diselidiki pengertian
yang memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksanakan (Pasal 1344 KUH
Perdata);
3. jika kata-kata dalam perjanjian diberikan dua macam pengertian maka harus
dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Pasal 1345
KUH Perdata). Apabila terjadi keragu-raguan, maka harus ditafsirkan menurut
kebiasaan dalam negeri atau di tempat dibuatnya perjanjian (Pasal 1346
KUH Perdata);
4. jika ada keragu-raguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang
yang meminta diperjanjikan sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang
mengikatkan dirinya untuk itu (Pasal 1349 KUH Perdata).
Di dalam hukum AngiO-Amerika, dikenal juga adanya interpretasi terhadap
substansi kontrak. Uniken Venema mengemukakan aturan-aturan yang paling
penting dalam hukum Anglo-Amerika; kecuali butir 5 tersebut juga berlaku
interpretasi undang-undang, sebagaimana dikemukakan berikut ini.
44 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
1. Perjanjian tertulis akan ditafsirkan gramatikal. Aturan ini berkaitan dengan
plain meaning rule, artinya kata-kata yang jelas dalam perjanjian tidak
boleh disimpangi melalui interpretasi.
2. Hakim akan cenderung menafsirkan suatu klausula sedemikian rupa sehingga
paling tidak mempunyai suatu efek.
3. Hakim akan menilai seluruh dokumen yang bersangkutan, jadi harus
melakukan penafsiran sistematis.
4. Hakim akan selalu cenderung melakukan penafsiran restriktif sedemikian
rupa sehingga kata-kata umum yang disertai contoh yang spesifik akan
diberinya arti yang cocok dengan contoh-contoh diberikan.'
5. Efek restriktif juga disebabkan oleh penafsiran contra proferentum juga
dirumuskan dalam Pasal 1349 KUH Perdata bahwa suatu ketentuan yang
meragukan hams ditafsirkan atas kerugian pihak yang meminta diperjanjikannya
sesuatu. Aturan ini penting dalam penafsiran klausula-klausuia eksonerasi.
6. Sifat restriktif juga terdapat dalam aturan yang menentukan bahwa klausula
yang tegas dalam kontrak dapat mencegah hakim untuk menerima implied
term. Aturan ini berlandasan pada pemikiran bahwa para pihak yang telah
mengatur hal tertentu, haruslah dianggap telah mengatur secara lengkap,
sehingga tidak ada peluang untuk menafsirkan adanya implied term (pengertian
secara tidak langsung).
7. Juga suatu padanan yang mumi dalam penafsiran a contrario dapat ditemukan
dalam hukum Anglo-Amerika. Misalnya, apa yang dinamakan distinction
yang dibuat oleh hakim untuk meniadakan pengaruh precedent. Dapat
dianggap sebagai suatu penafsiran a contrario (dalam Djasadin Saragih,
1993: 13-14).
Dengan demikian, para hakim atau para pihak haruslah memperhatikan
tentang cara-cara untuk melakukan penafsiran terhadap substansi kontrak.
G. FUNGSI KONTRAK
Fungsi kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yuridis
dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak adalah dapat memberikan kepastian
hukum bagi para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak
milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang
lebih tinggi.
H. BIAYA DALAM PEMBUATAN KONTRAK
Pada dasarnya setiap pembuatan perjanjian memerlukan biaya. Biaya-biaya
itu meliputi:
I. biaya penelitian meliputi biaya penentuan hak milik yang diinginkan dan biaya
penentuan bernegosiasi;
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 45
2. biaya negosiasi, yang meliputi biaya penyiapan, biaya penulisan kontrak, dan
biaya tawar-menawar dalam uraian yang rinci;
3. biaya monitoring, yaitu biaya penyelidikan tentang objek;
4. biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidangan dan arbitrase;
5. biaya kekeliruan hukum, yang merupakan biaya sosial. Biaya ini akan muncul
apabila Hakim membuat kesalahan dalam memutus suatu kasus. Hal ini akan
membuat kesalahan pada kasus-kasus berikutnya.
D a fta r P e r ta n y a an
1. a.
b.
2. a.
b.
3. a.
b.
4. a.
b.
5. a.
b.
c.
6. a.
b.
7. a.
b.
c.
Kemukakan pengertian kontrak, menurut teori lama dan baru!
Sebutkan unsur-unsur kontrak yang Anda ketahui!
Sebutkan jenis-jenis kontrak yang Anda ketahui!
Sebutkan penggolongan perjanjian menurut sumbernya!
Kemukakan sumber-sumber hukum kontrak Eropa Kontinental yang
Anda ketahui!
Kemukakan pula sumber hukum kontrak menurut hukum Amerika!
Sebutkan dan jelaskan teori-teori tentang momentum terjadinya kontrak!
Teori manakah yang dianut oleh para hakim di negeri Belanda, yurispru
densi atau doktrin? Jelaskan pendapat Anda!
Sebutkan dan jelaskan teori-teori ketidaksesuaian antara kehendak dan
pernyataan!
Kemukakan latar belakang lahirnya teori tersebut!
Teori manakah yang paling berpengaruh pada abad ke-19?
Sebutkan bentuk kontrak yang Anda ketahui!
Sebutkan dan jelaskan bentuk kontrak tertulis!
Apakah kontrak yang dibuat oleh para pihak dapat dilakukan interprestasi?
Jelaskan!
Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis interpretasi yang Anda ketahui!
Kemukakan fungsi kontrak yang Anda ketahui!
46 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN KONTRAK NOMINAAT
Istilah kontrak nominaat merupakan terjemahan dari nominaat contract.
Kontrak nominaat sama artinya dengan perjanjian bernama atau benoemde
dalam bahasa Belanda. Kontrak nominaat merupakan perjanjian yang dikenal
dan terdapat dalam Pasal 1319 KUH Perdata. Pasal 1319 KUH Perdata berbunyi:
’’Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak
dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang
termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.”
Di dalam Pasal 1319 KUH Perdata, perjanjian dibedakan menjadi dua macam,
yaitu perjanjian bernama (nominaat) dan tidak bernama (innominaat). Perjanjian
tidak bernama merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang
dalam masyarakat. Perjanjian bernama maupun tidak bernama tunduk pada
Buku III KUH Perdata. Maksud pembedaan dalam Pasal 1319 KUH Perdata
adalah bahwa ada perjanjian-perjanjian yang tidak dikuasai oleh ajaran umum
sebagaimana terdapat dalam titel-titel I, II, dan IV. Pasal 1319 KUH Perdata
tidak lupa menyebutkan titel IV, melainkan juga diatur oleh ketentuan-ketentuan
khusus yang tunduk untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum tadi,
terutama yang dimaksudkan adalah isi dari titel-titel V sampai dengan XVIII.
Ketentuan-ketentuan dalam titel ini, yang dalam praktik lazim disebut dengan
perjanjian khusus atau perjanjian bernama (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980:
17; Vollmar, 1984: 145).
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur perjanjian bernama, yaitu
1. perjanjian bernama terdapat dalam KUH Perdata,
2. perjanjian bernama dikuasai oleh titel I, II, IV, dan V sampai dengan titel
XVIII KUH Perdata, dan
3. perjanjian bernama jumlahnya terbatas.
B. JENIS-JENIS KONTRAK NOMINAAT
Kontrak nominaat diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari
Bab 5 sampai dengan Bab 18. Jumlah pasal yang mengatur tentang kontrak
niminaat ini sebanyak 394 pasal. Di dalam KUH Perdata ada 15 (lima belas)
Bab 4 Kontrak Nominaat 47
jenis kontrak nominaat, yaitu
1. jual beli,
2. tukar-menukar,
3. sewa-menyewa,
4. perjanjian melakukan pekerjaan,
5. persekutuan perdata,
6. badan hukum,
7. hibah,
8. penitipan barang,
9. pinjam pakai,
10. pinjam meminjam,
11. pemberian kuasa,
12. bunga tetap atau abadi,
13. perjanjian untung-untungan,
14. penanggungan utang, dan
15. perdamaian.
Dari ke-15 (lima belas) jenis kontrak nominaat di atas, yang akan disajikan
dalam sub-subbab ini hanya 14 (empat belas) jenis, sedangkan yang satu jenis,
yaitu perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan tidak akan dijelaskan dalam
sub-subbab ini, karena perjanjian jenis ini akan dikaji dan ditelaah secara mendalam
dalam hukum perburuhan. Keempat belas jenis kontrak tersebut disajikan dalam
subbab berikut ini.
C. JUAL BELI
1. Pengertian Jual Beli
Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan dari contract o f sale.
Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 s.d. Pasal 1450 KUH Perdata. Yang
dimaksud dengan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk
membayar harga yang dijanjikan (Pasal 1457 KUH Perdata). Esensi dari definisi
ini penyerahan benda dan membayar harga.
Definisi ini ada kesamaannya dengan definisi yang tercantum dalam Artikel
1493 NBW. Perjanjian jual beli adalah persetujuan di mana penjual mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang sebagai milik (en
eigendom te leveren) dan menjaminnya (vrijwaren) pembeli mengikat diri untuk
membayar harga yang diperjanjikan. Ada tiga hal yang tercantum dalam definisi
ini, yaitu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan barang kepada pembeli dan
menjaminnya, serta membayar harga.
Di dalam hukum Inggris, perjanjian jual beli (contract o f sale) dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) macam, yaitu sale (actual sale) dan agrement to sell, hal ini
4 8 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik P e n y u s u n a n Kontrak
terlihat dalam Section 1 ayat (3) dari Sale o f Goods Act 1893. Sale adalah suatu
perjanjian sekaligus dengan pemindahan hak milik (compeyance), sedangkan
agreement to sell adalah tidak lebih dari suatu koop overeenkomst (perjanjian
jual beli) biasa menurut KUH Perdata. Apabila dalam suatu sale si penjual me
lakukan wanprestasi maka si pembeli dapat menggunakan semua upaya dari seorang
pemilik, sedangkan dalam agrement to sell, si pembeli hanya mempunyai personal
remedy (kesalahan perorangan) terhadap si penjual yang masih merupakan pemilik
dari barangnya (penjual) jatuh pailit, barang itu masuk boedel kepailitan (Subekti,
1993: 33).
# Dalam hukum Inggris di atas terlihat, bahwa ada perbedaan prinsip antara
sale dan agreement sale. Sale terdiri atas perjanjian jual dan pemindahan hak
milik, agreement to sell belum tentu ada penyerahan hak milik.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat penulis formulasikan definisi perjanjian
jual beli secara lengkap. Perjanjian jual beli adalah
’’Suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli. Di dalam
perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli
kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban
untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.”
Unsur-unsur yang tercantum dalam kedua definisi di atas adalah
a. adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli;
b. adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga;
c. adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli.
2. Momentum Terjadinya Kontrak Jual Beli
Pada dasarnya, terjadinya kontrak jual beli antara pihak penjual dan pembeli
adalah pada saat terjadinya persesuaian kehendak dan pernyataan antara mereka
tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya
belum dibayar lunas (Pasal 1458 KUH Perdata). Walaupun telah terjadinya
persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu
menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahaan (levering) benda.
Penyerahan ini tergantung pada jenis bendanya.
a. Benda bergerak.
Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci
atas benda tersebut.
b. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh.
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan
dengan sebuah akta autentik atau akta di bawah tangan.
c. Benda tidak bergerak.
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman
akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
d. Benda/barang yang-sudah ditentukan (Pasal 1460 KUH Perdata).
Benda/barang yang sudah ditentukan dijual maka barang itu saat pembelian
menjadi tanggungan si pembeli, walaupun barang itu belum diserahkan (Pasal
1460 KUH Perdata). Namun, ketentuan itu telah dicabut dengan SEMA
Nomor 3 Tahun 1963, sehingga ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara
tegas, namun penerapannya harus memperhatikan:
(1) bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu, dan
(2) bergantung pada yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang
tersebut.
e. Benda menurut berat, jumlah, atau ukuran (Pasal 1461 KUH Perdata).
Barang yang dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran, tetap menjadi tang
gungan si penjual hingga barang itu ditimbang, dihitung, atau diukur. Jadi,
sejak terjadinya penimbangan, penghitungan, dan pengukuran atas barang
maka tanggung jawab atas benda tersebut beralih kepada si pembeli.
f. Jual beli tumpukan (Pasal 1462 KUH Perdata).
Jika barang yang dijual menurut tumpukan maka sejak terjadinya kesepakatan
tentang harga dan barang maka sejak saat itulah barang-barang itu menjadi
tanggung jawab si pembeli, walaupun barang itu belum ditimbang, dihitung,
atau diukur.
g. Jual beli percobaan (Pasal 1463 KUH Perdata).
Jual beli percobaan merupakan jual beli dengan syarat tangguh.
h. Jual beli dengan sistem panjar (Pasal 1464 KUH Perdata).
Jual beli dengan sistem panjar merupakan suatu jual beli yang diadakan antara
penjual dan pembeli. Di dalam jual beli itu pihak pembeli menyerahkan uang
perschot/panjar atas harga barang, sesuai kesepakatan antara kedua belah
pihak tersebut. Jual beli dengan sistem ini salah satu pihak tidak dapat meniadakan
pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya.
3. Subjek dan Objek Jual Beli
Pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam
perjanjian jual beli, yaitu bertindak sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat
yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah nikah. Namun, secara yuridis
ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual
beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini.
a. Jual beli antara suami istri.
Pertimbangan hukum tidak diperkenankan jual beli antara suami istri adalah
karena mereka sejak terjadi perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi
percampuran harta, yang disebut harta bersama, kecuali ada perjanjian
kawin. Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, yaitu
1) jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada istri
atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan
untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.
2) Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya, juga dari
siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya
mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang
menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.
3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi
sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta
perkawinan.
b. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita, dan Notaris.
Para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada
benda-benda atau barang dalam sengketa.
Langganan:
Postingan (Atom)