Hak minoritas 2
Dengan sistem massa mengambang, proses
industrialisasi, pembangunan wilayah pedesaan dan pertumbuhan ekonomi. Pancasila menjadi
ideologi modernisasi, sekaligus ideologi pembangunan. Pancasila menjadi alat legitimasi untuk
visi modernisasi negara kita yang kemudian justru berdampak buruk bagi warga lokal.31
Bahasa negara kita pada masa Orde Baru dijadikan alat untuk integrasi nasional dan kontrol sosial.
pemakaian bahasa negara kita menjadi ukuran modernisasi sebuah peradaban. Bahasa negara kita
menjadi bahasa pembangunan dan digunakan sebagai alat politik. Hal ini nampak dari kewajiban
bahasa negara kita diajarkan di seluruh sekolah. Dengan kebijakan ini maka ideologi dan
pembangunan bisa lebih stabil. Namun di saat yang sama hal ini juga menjadi ancaman bagi
keragaman bahasa lokal.32
Bahasa negara kita pada masa Orde Baru dijadikan alat untuk integrasi
nasional dan kontrol sosial. pemakaian bahasa negara kita menjadi
ukuran modernisasi sebuah peradaban. Bahasa negara kita menjadi bahasa
pembangunan dan digunakan sebagai alat politik. Hal ini nampak dari
kewajiban bahasa negara kita diajarkan di seluruh sekolah. Dengan kebijakan
ini maka ideologi dan pembangunan bisa lebih stabil. Namun di saat yang
sama hal ini juga menjadi ancaman bagi keragaman bahasa lokal.
Sejalan dengan visi modernisasi inilah maka “warga terasing” dianggap sebagai
tidak modern atau belum beradab dan seringkali disebut “belum beragama”. Tradisi lokal
dianggap sebagai penghambat pembangunan sosial ekonomi. Namun tradisi lokal dimasukkan
ke dalam kerangka pembangunan untuk melegitimasi pembangunan itu sendiri. Tradisi lokal
juga kemudian dilepaskan dari latar belakang budaya menjadi sekedar ritual atau upacara.
Bahkan Soeharto memiliki idiom “agama pembangunan” dimana Hefner menggambarkan
bahwa religiusitas negara kita terjadi di masa Orde Baru yang menekankan pada Ketuhanan
dan keyakinan untuk mengganti festival ritual yang “mahal atau mewah” dengan devosi yang
sederhana dan dengan kontrol birokrasi yang lebih ketat pada agama-agama pinggiran (rural).33
Politik Soeharto untuk membangun stabilitas dengan unifikasi (penyatuan) budaya sangat terlihat
dalam proses transmigrasi. Transmigrasi tidak saja dijadikan alat untuk mengurangi kepadatan
penduduk di Jawa, Bali dan Madura, tapi secara sosial dan kultural juga menjadi alat untuk
membangun identitas nasional dimana diharapkan identitas etnis yang berbeda-beda makin
hilang dan makin menyatu menjadi identitas nasional.34 Pada periode ini juga terjadi peminggiran
terhadap komunitas etnis Tionghoa secara lebih sistematis. Pilar kebudayaan Tionghoa benar-
benar dibatasi, dan bahkan dihapus. Ketiga pilar itu yaitu pers berbahasa Tionghoa, sekolah-
sekolah menengah Tionghoa, dan organisasi-organisasi etnis Tionghoa dihapuskan. Bahkan
di tahun 1966, seluruh warga Tionghoa disarankan menggantikan namanya menjadi nama
berlafal negara kita .35 Selain itu upaya stigmatisasi terhadap warga etnis Tionghoa telah membuat
prasangka negatif terhadap kelompok ini menguat dan dengan mudah, mereka menjadi target
atau obyek yang bisa digunakan untuk mengontrol nasionalisme “pribumi”.
Proses asimilasi selama masa Soeharto berjalan sangat sistematis. Tidak saja pada
warga etnis Tionghoa, tapi juga pada KAT (Komunitas Adat Terpencil), kelompok kepercayaan
tradisional dan warga adat yang dianggap tidak “beradab” dan menghambat pembangunan
sosial ekonomi. Selain itu Soeharto juga mengeluarkan kebijakan yang merestriksi orang untuk
mengeluarkan atau mengekspresikan identitas Suku, Agama, Ras dan etnis, dan Antar golongan
(yang dikenal dengan sebutan SARA). Di masa itu, mengungkapkan dan mendiskusikan SARA
dianggap subversif atau melawan Negara. Beberapa pasal warisan kolonial yang mengekang
orang untuk mengekspresikan pendapat yang berbeda dari pemerintah digunakan agar “agama
pembangunan” (stabilitas) bisa terjaga.
Proses asimilasi juga sejalan dan bahkan diperlukan dengan konsep Negara integralistik
yang mengedepankan kekeluargaan dan bela negara dibanding dengan penghormatan
terhadap hak-hak individual. Jika di awal kemerdekaan, salah seorang pendiri bangsa, Supomo,
mengatakan bahwa konsep negara integralistik tidak mementingkan pemisahan kekuasaan
karena “keluarga” tidak membutuhkan pemisahan semacam itu, maka Soeharto menerapkannya
menjadi lebih korporatis dimana pemisahan kekuasaan menjadi tidak jelas dan bahkan hampir
semua kekuasaan ada di bawah eksekutif.
Proses asimilasi selama masa Soeharto berjalan sangat sistematis.
Tidak saja pada warga etnis Tionghoa, tapi juga pada KAT (Komunitas Adat
Terpencil), kelompok kepercayaan tradisional dan warga adat yang
dianggap tidak “beradab” dan menghambat pembangunan sosial ekonomi.
Selain itu Soeharto juga mengeluarkan kebijakan yang merestriksi orang untuk
mengeluarkan atau mengekspresikan identitas suku, agama, ras dan etnis dan
antar golongan (SARA).
Konsep ini dimatangkan di dekade pertama kepemimpinan Jenderal Soeharto. Dimulai
dari upaya untuk mencari konsep yang lebih definitif tentang Pancasila sebagai upaya melegitimasi
proyek modernisasi dan nation building yang baru, hingga kemudian membangun strategi
indoktrinasi melalui pembangunan code of practice atau yang dikenal dengan P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dituangkan dalam TAP MPR No. II/1978. Lebih
jauh, kemudian perwujudan kedaulatan rakyat direkayasa melalui berbagai lembaga-lembaga
korporatis pendukung atau bentukan negara seperti Persatuan Wartawan negara kita , Serikat
Pekerja Seluruh negara kita , dan lain sebagainya. Soeharto juga membangun kelompok-kelompok
fungsional yang sampai sekarang masih berpengaruh dan dikenal dengan Golongan Karya
(Golkar). Organisasi Kelompok fungsional ini beroperasi seperti layaknya partai politik.
Jadi, di masa Orde Baru, Konsep Negara integralistik dengan Pancasila sebagai panduan
hidupnya telah menjadi alat kontrol, pembatasan dan pengawasan bagi rakyat demi lancarnya
pembangunan. Pancasila juga menjadi legitimasi militer untuk mempertahankan dwi-fungsi, dan
yang paling utama mempertahankan kekuasan di tangan negara (sistem politik totaliter).36 Di
masa ini, peminggiran terhadap kelompok minoritas meluas dan berkelindan dengan kelompok
marjinal lainnya. Namun diluar itu, peminggiran kelompok minoritas agama, etnis, bahasa, ras
lebih jelas modusnya yang membuat kebijakan ini menjadi lebih sistematis dan meluas.
Periode ketiga setelah 1998. Periode dimana ini ditandai dengan jatuhnya Orde Baru
setelah memuncaknya ketidakpuasan politik dan sosial budaya yang dialami oleh berbagai
kelompok warga di hampir seluruh negara kita . Masa pasca reformasi atau pasca rejim otoriter
ini menjadi penanda negara kita masuk ke era demokrasi. Periode ini ditandai dengan adanya
amandemen atau perubahan UUD 1945 dengan penambahan pasal-pasal yang berkaitan dengan
HAM dan penegasan pada pemisahan kekuasan yang meletakkan kekuasaan lebih besar pada
legislatif atau parlemen atas eksekutif. Selain itu juga dinyatakan adanya pelibatan warga yang
lebih besar serta pengakuan otonomi daerah yang diharapkan bisa mendekatkan pelayanan
bagi warga negara dan mengakomodasi keragaman bangsa negara kita . Upaya penghormatan
HAM mulai terlihat ketika Presiden Habibie memutuskan untuk memberikan opsi atau pilihan
referendum dan melepaskan Timor Timur menjadi Negara otonom setelah sekian lama
tuntutan kemerdekaan terjadi di wilayah ini , serta mendorong Pemilu demokratis pertama
pada tahun 1999. Pada tahun ini juga, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM diberlakukan. UU
inimenjelaskan dan menerjemahkan hak-hak apa saja yang dimiliki warga negara. Pada tahun
berikutnya, disahkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberikan wadah
bagi pengadilan HAM ad-hoc untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus
Timor timur, Tanjung Priok, dan Abepura.
Di masa Orde Baru, Konsep Negara integralistik dengan Pancasila
sebagai panduan hidupnya telah menjadi alat kontrol, pembatasan dan
pengawasan bagi rakyat demi lancarnya pembangunan. Pancasila juga menjadi
legitimasi militer untuk mempertahankan dwi-fungsi, dan yang paling utama
mempertahankan kekuasan di tangan negara (sistem politik totaliter).
Pasca tahun 2000, negara kita memiliki Presiden baru yang dipilih melalui proses pemilu
pertama pasca reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada masa pemerintahannya,
Gus Dur mengeluarkan Keppres No. 6 tahun 2000 untuk mencabut Inpres No. 14 tahun 1967
yang melarang semua kegiatan dan bentuk ekspresi terkait Tionghoa termasuk perayaan Imlek
dan dan aksara Cina. Kemudian tahun 2001, Kementerian Agama mengeluarkan keputusan yang
menyatakan bahwa Hari Raya Imlek sebagai hari raya [libur] nasional. Integrasi warga Tionghoa
ini kemudian makin ditegaskan dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Upaya penghapusan diskriminasi etnis dan ras juga ditegaskan dengan disahkannya UU No. 40
tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Berbagai aturan yang selama ini
menghambat etnis Tionghoa seperti SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik negara kita )
tidak lagi diperlukan dalam pengurusan berbagai ijin. Berbagai konvensi internasional tentang
HAM diratifikasi oleh negara kita termasuk 2 kovenan terpenting yaitu ICCPR, serta ICESCR.
Otonomi daerah yang luas diterapkan hingga tingkat kabupaten dan Pemerintah pelan-pelan
mengupayakan peluang agar kelompok marjinal dan minoritas bisa diperhatikan dan dilindungi
hak-haknya.
Di masa ini, penguatan kelembagaan negara merupakan prioritas utama. Berbagai lembaga
quasi-negara seperti Ombudsman Republik negara kita , Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan
Korupsi, Komisi Kejaksaan, Komisi Penyiaran, Komisi Keterbukaan Informasi Publik, yaitu
beberapa lembaga yang dibangun sebagai wadah yang bisa menjembatani partisipasi warga
dalam pengawasan pembangunan dan menjaga akuntabilitas dan transparansi kepemerintahan.
Secara legislasi dan regulasi, banyak muncul legislasi yang memberikan jaminan dan akses warga
untuk mendapatkan haknya dan juga mendorong keterlibatan warga. Tapi di tengah berbagai
perkembangan dan kemajuan ini , tidak dapat dipungkiri bahwa politik hukum yang terjadi
masih menghasilkan pembangunan yang berdampak pada ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Fase awal pembentukan bangsa negara kita dimulai pada tahun 1900-1945, yang
menjadi fase nasionalisme negara kita yang merupakan fase integrasi dari kerag-
aman (diversity) ke persatuan (unity) yang elemennya berakar sejak jaman Sriwi-
jaya dan Majapahit. Fase ini ditandai dengan tiga kejadian yaitu, pertama yang
disebut konsep “negara kita ” pertama kali dalam Manifesto 1924, kedua pengakuan
pemuda-pemudi negara kita untuk bertanah-air satu, berbangsa-satu dan berbaha-
sa-satu negara kita melalui Sumpah Pemuda 1928, dan ketiga deklarasi
kemerdekaan negara kita 17 Agustus 1945 sebagai kemenangan atas kolonialisasi.
Yang menarik dari proses di fase ini yaitu lahirnya Pancasila yang disebut
sebagai Dasar Negara.
Fase kedua yaitu antara tahun 1945-1950, masih
menjadi fase perjuangan sebagai satu bangsa
yang harus mempertahankan kemerdekaannya
dari agresi Belanda dan dari tantangan internal.
Pada fase ini sistem pemerintahan negara kita beru-
bah dua kali dari Negara kesatuan menjadi Negara
Federal dibawah Republik negara kita Serikat
(RIS).Namun bentuk negara ini hanya bertahan
tidak lebih dari dua tahun, dan negara kita kembali
menjadi Negara Kesatuan. Proses ini terjadi
setelah politik lokal dan nasional banyak didomina-
si oleh politik berbasis etnisitas yang berwajahkan
konflik keagamaan di Jawa Barat, Kalimantan,
Sulawesi dan Maluku
DI negara kita
1.
2.
1
Sejalan dengan visi modernisasi inilah maka “warga terasing” dianggap
sebagai tidak modern atau belum beradab dan seringkali disebut “belum
beragama”. Tradisi lokal dianggap sebagai penghambat pembangunan sosial
ekonomi. Namun tradisi lokal dimasukkan ke dalam kerangka pembangunan
untuk melegitimasi pembangunan itu sendiri. Tradisi lokal juga kemudian
dilepaskan dari latar belakang budaya menjadi sekedar ritual atau upacara.
Bahkan Suharto memiliki idiom “agama pembangunan” dimana Hefner meng-
gambarkan bahwa religiusitas negara kita terjadi di masa Orde Baru yang
menekankan pada Ketuhanan dan keyakinan untuk mengganti festival ritual
a.
b.
Fase ketiga antara tahun 1950-1998. Fase ini bisa dilihat dari tiga periode:3.
Di masa ini, kesadaran identitas kelompok kian menguat. Sebagai contoh,
kelompok mistis Jawa makin menyadari keyakinannya sebagai bentuk perlawa-
nan terhadap Islam modern. Sementara kelompok abangan yang sering diaso-
siasikan dengan komunis makin menyadari posisinya berlawanan dengan
penguasa tanah dan priyayi. Adapun di dalam kelompok Islam pun terbelah
dengan adanya denominasi yang berhasil menyatukan antara abangan dan
priyayi modern, dan denominasi ini merupakan perlawanan terhadap kongre-
gasi Islam yang sudah ada.
Di kalangan penganut Aliran Kebatinan, pada tahun 1951, Wongsonegoro telah
aktif mengorganisasikan kelompok-kelompok kebatinan dalam Panitia Penye-
lenggara Pertemuan Filsafat dan Kebatinan. Selain itu pengorganisasian juga
dilakukan dalam partai politiknya, yaitu Partai negara kita Raya (PIR) dengan
mendatangi pelbagai sekte mistik sambil mengajak mereka untuk berorganisa-
si di bawah pengayomannya.
Di periode ini pula muncul PP No. 10 tahun 1959 tentang Larangan bagi Usaha
Perdagangan Kecil dan Eceran yang bersifat Asing di luar Ibukota Daerah
Swatantra Tingkat I dan II serta Karesidenan, yang berdampak pada makin
terpinggirkannya warga Tionghoa negara kita .
2 Niels Mulder. Mysiticism in Java: Ideology in Indoneisa. Kanisius, 1993. Pg. 20-25.
2
29
yang “mahal atau mewah” dengan devosi yang sederhana dan dengan kontrol
birokrasi yang lebih ketat pada agama-agama pinggiran (rural).
Pada periode ini juga terjadi peminggiran terhadap komunitas etnis Tionghoa
secara lebih sistematis. Pilar kebudayaan Tionghoa benar-benar dibatasi, dan
bahkan dihapus. Ketiga pilar itu yaitu pers berbahasa Tionghoa, sekolah-se-
kolah menengah Tionghoa, dan organisasi-organisasi etnik Tionghoa dihapus-
kan. Bahkan di tahun 1966, seluruh warga Tionghoa disarankan menggantikan
namanya menjadi nama berlafal negara kita . Selain itu upaya stigmatisasi terha-
dap warga etnik Tionghoa telah membuat prasangka negatif terhadap kelom-
pok ini menguat dan dengan mudah, mereka menjadi target atau obyek yang
bisa digunakan untuk mengontrol nasionalisme “pribumi”.
Periode ketiga setelah 1998. Upaya penghormatan HAM mulai terlihat ketika
Presiden Habibie memutuskan untuk memberikan opsi atau pilihan referendum
dan melepaskan Timor Timur menjadi Negara otonom setelah sekian lama
tuntutan kemerdekaan terjadi di wilayah ini , serta mendorong Pemilu
demokratis pertama pada tahun 1999. Pada tahun ini juga, UU No. 39 tahun
1999 tentang HAM diberlakukan. Gus Dur mengeluarkan Keppres No. 6 tahun
2000 untuk mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 yang melarang semua kegia-
tan dan bentuk ekspresi terkait Tionghoa termasuk perayaan Imlek dan dan
aksara Cina. Kemudian tahun 2001, Kementerian Agama mengeluarkan keputu-
san yang menyatakan bahwaHari Raya Imlek sebagai hari raya [libur] nasional.
Sejalan dengan keyakinan baru reformasi, berbagai konvensi internasional
tentang HAM diratifikasi oleh negara kita termasuk 2 kovenan terpenting yaitu
KIHSP, serta KIHESB.
c.
BAGIAN TIGA
KELOMPOK MINORITAS RAS,
ETNIS, DAN AGAMA
Bagian ini akan membahas kewajiban negara yang telah diwujudkan dalam upaya-upaya penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas ras, etnis dan agama atau keyakinan. Pembahasan
akan mengarah pada 4 (empat) tema yang meliputi, pertama Konsep Umum, Pengertian dan Cakupan Hak
Kelompok Minoritas Ras, Etnis, dan Agama atau keyakinan. Selanjutnya dibahas Jaminan Penghormatan,
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak mereka melalui Peraturan perundang-undangan dan melalui Program
dan Kebijakan Pemerintah. Terakhir dibahas sejauh mana penikmatan Hak bagi Kelompok Minoritas Ras dan
Etnis dalam Praktik Kehidupan Sehari-hari dan Berbagai Pelanggaran Hak yang Dialami.
Pada dasarnya tidak mungkin memisahkan antara kelompok ras, etnis dan agama atau keyakinan mengingat
ketiganya kerapkali melekat pada satu kelompok. Demikian pula, Konvensi Internasional Penghapusan
Diskriminasi Rasial memasukkan perlindungan bagi kategori Ras dan Etnis dalam satu Konvensi ini. Bentuk hak-
hak individu dari kelompok minoritas ras pada dasarnya merupakan hak asasi yang berlaku universal, dalam
bentuk penikmatan hak-hak sipil dan politik (Sipol) dan hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Namun
secara kelompok, minoritas ras dan etnis mempunyai hak-hak kolektif, khususnya kelompok minoritas yang
juga dapat diidentifkasi sebagai warga adat. Dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD,
1965), istilah “Diskriminasi Ras” diartikan sebagai “segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan,
atau pengutamaan berdasar ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau etnis (suku bangsa), yang
mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau pelaksanaan, atas
dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau
bidang kehidupan warga yang lain”
32
33
KELOMPOK MINORITAS RAS
Konsep Umum dan Cakupan Hak
Kelompok Minoritas Ras
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, hak-hak minoritas ras dan etnis secara
eksplisit ditegaskan pada DUHAM, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial (International Convention on Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
1965, Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on Rights of Child), Konvensi Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), Konvensi
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic,
Social, and Cultural Rights), Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convention on Elimination of Discrimination Against Women), dan Deklarasi PBB
tentang Hak-hak orang yang memiliki kebangsaan atau etnis, agama dan bahasa Minoritas
1992 (The Declaration on Rights of Persons Belonging to national or Ethnic, Religious, and Linguistic
Minorities, 1992), atau Konvensi dan Deklarasi internasional lain yang sudah diterima secara
luas. Hak-hak minoritas ras dan etnis berikut merupakan hak yang tidak terpisahkan dan saling
berkaitan yaitu:
1. Hak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan dan identitas
kebangsaan atau etnis, budaya, agama, dan bahasa;
2. Hak untuk mengekspresikan budaya mereka sendiri, menganut dan menjalankan agama
mereka sendiri serta menggunakan bahasa mereka sendiri secara sendiri-sendiri maupun
di muka umum;
3. Hak untuk menikmati dan mengembangkan budaya dan bahasanya;
4. Hak untuk membangun dan memelihara sekolah, lembaga pelatihan dan pendidikan
lainnya mereka sendiri, serta untuk mengajarkan dan mendapatkan pengajaran dalam
bahasa mereka sendiri;
5. Hak untuk membentuk dan mengembangkan hubungan damai dengan anggota kelompok
mereka sendiri dan orang-orang kelompok minoritas lainnya baik dalam suatu negara
ataupun antar negara;
6. Hak untuk bebas dari pembedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi (diskriminasi)
berdasar ras, warna kulit, atau etnis, asal-usul kebangsaan, bahasa, agama, kelahiran,
atau status lainnya, yang memiliki tujuan atau akibat untuk menghalangi penikmatan HAM
dan kebebasan fundamental di segala bidang dan di semua tingkat pendidikan, pekerjaan,
akses kepada layanan kesehatan, perumahan, dan pelayanan sosial;
7. Hak mendapatkan pengakuan sebagai individu yang setara di depan hukum, kesetaraan di
depan peradilan, dan perlindungan hukum yang setara;
8. Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam budaya, agama, sosial, ekonomi dan
kehidupan berwarga ;
34
9. Hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan kebijakan yang berkenaan
dengan kelompok mereka dan warga di tingkat daerah, nasional, regional dan
internasional;
10. Hak untuk berkumpul dan membentuk organisasi atau perkumpulan.
Bentuk hak-hak individu dari kelompok minoritas ras pada dasarnya merupakan hak
asasi yang berlaku universal, dalam bentuk penikmatan hak-hak sipil dan politik (Sipol) dan
hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Namun secara kelompok, minoritas ras dan
etnis mempunyai hak-hak kolektif, khususnya kelompok minoritas yang juga dapat diidentifkasi
sebagai warga adat. Dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD, 1965), istilah
“Diskriminasi Ras” diartikan sebagai “segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau
pengutamaan berdasar ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau etnis (suku bangsa),
yang mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau
pelaksanaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan warga yang lain”. 37
Istilah “diskriminasi ras” diartikan sebagai “segala bentuk
pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pengutamaan
berdasar ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan
atau suku bangsa, yang mempunyai maksud atau dampak
meniadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau
pelaksanaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya
atau bidang kehidupan warga yang lain”
Konvensi ini menyebut bahwa tindakan khusus bisa diambil untuk tujuan semata-mata
menjamin kemajuan yang layak bagi kelompok ras atau etnis atau perorangan tertentu yang
memerlukan perlindungan, seperti yang diperlukan untuk menjamin adanya kesamaan dalam hal
menikmati kemudahan atau menggunakan hak dan kebebasan dasarnya. Hal itu tentu saja tidak
dapat dianggap sebagai diskriminasi ras, asalkan tindakan seperti itu tidak berakibat munculnya
perlakuan istimewa bagi kelompok-kelompok ras yang berbeda, dan tindakan itu tidak dapat
diteruskan setelah tujuan bagi mereka tercapai. Selain itu Konvensi ini juga menghimbau Negara-
negara Pihak untuk mengutuk diskriminasi ras dan berkomitmen untuk menggunakan semua
sumber daya yang memadai, untuk segera melakukan kebijakan penghapusan diskriminasi ras
dalam segala bentuknya, dan mengembangkan pengertian di antara semua ras. Untuk mencapai
tujuan ini, Negara pihak berkewajiban untuk:
a) Tidak melibatkan diri dalam tindakan atau praktik diskriminasi ras terhadap orang, kelompok
orang atau lembaga, dan menjamin bahwa semua aparat dan lembaga pemerintah, baik
nasional maupun daerah, harus bertindak sesuai dengan kewajiban ini;
b) Tidak mensponsori, membela atau mendukung diskriminasi ras yang dilakukan oleh
siapapun atau organisasi manapun;
c) Melakukan tindakan-tindakan yang efektif untuk meninjau kebijakan-kebijakan Pemerintah,
baik di tingkat nasional maupun daerah, dan mengubah, mencabut atau menghapuskan
undang-undang atau peraturan yang berdampak menciptakan atau melestarikan
diskriminasi ras di manapun;
37 Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk DiskriminasiRasial [ICERD], International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination. Disetujui dan dibuka bagi penandatanganan dan ratifikasi oleh
resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) pada 21 Desember 1965
35
d) Melarang dan mengakhiri diskriminasi ras oleh perseorangan atau organisasi dengan
cara-cara yang memadai, termasuk pembentukan undang-undang apabila keadaan
membutuhkan;
e) Mendorong, kalau perlu, organisasi dan gerakan multi ras yang terpadu serta bermacam
cara lain untuk menghilangkan penghalang antar-ras, dan mencegah apapun yang
cenderung memperkuat pemisahan ras;
f) Bila keadaan memerlukan, harus mengambil tindakan-tindakan khusus dan konkret di
bidang sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang lainnya untuk menjamin perkembangan
serta perlindungan yang memadai bagi kelompok ras tertentu atau anggota kelompok
ini , dengan tujuan menjamin mereka untuk menikmati hak dan kebebasan
dasar secara setara dan sepenuhnya. Namun, tindakan-tindakan ini, juga tidak boleh
mengakibatkan dipertahankannya hak yang berbeda dan terpisah bagi kelompok-kelompok
ras yang berbeda setelah tujuan dari tindakan-tindakan itu tercapai.
Keberadaan kelompok minoritas rasial di negara kita mempunyai sejarah yang panjang sama
panjangnya dengan umur Republik negara kita sendiri. Namun keberadaan kelompok minoritas
rasial ini mengalami dinamika pasang surut seiring dengan dinamika perubahan politik
dan demokratisasi di negara kita . Pada masa Orde baru, keberadaan kelompok minoritas rasial
mengalami titik nadir, selain mengalami pengakuan yang “diskriminatif”, berbagai kelompok
minoritas rasial seperti Tionghoa, India, Papua dan lainnya mengalami berbagai diskriminasi
negara. Perubahan politik yang terjadi pada tahun 1998 seiring dengan perkembangan
demokratisasi negara kita , keberadaan kelompok minoritas rasial ini secara gradual
mengalami perbaikan dan mendapatkan kembali berbagai penikmatannya. Secara kategorial,
kelompok-kelompok minoritas rasial yang akan dibahas dalam tulisan ini meliputi 3 kelompok
yaitu Tionghoa, etnis-agama seperti kelompok Sikh, Yahudi, Tao, dan lainnya, serta kelompok
yang dalam UU Otonomi Khusus Papua sebagai orang-orang asli Papua.
Jaminan hak melalui
Peraturan perundang-undangan
Pasca reformasi yang diawali dengan sebuah kerusuhan bernuansa rasialisme kepada
kelompok Tionghoa pada Mei 1998 memunculkan gerakan demokrasi dan HAM. Hal ini
berimplikasi kepada pembaruan berbagai kebijakan yang diskriminatif kepada kelompok ras
minoritas khususnya kelompok Tionghoa. Sejak pemerintahan beralih dari Soeharto kepada B.J.
Habibie berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Republik negara kita untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan kelompok minoritas ras di negara kita . Sejak Mei 1998 sampai
Pasca reformasi yang diawali dengan sebuah kerusuhan bernuansa rasialisme
kepada kelompok Tionghoa pada Mei 1998 memunculkan gerakan demokrasi dan
HAM. Hal ini berimplikasi kepada pembaruan berbagai kebijakan yang diskriminatif
kepada kelompok ras minoritas khususnya kelompok Tionghoa. Sejak pemerintahan
beralih dari Soeharto kepada B.J. Habibie berbagai upaya dilakukan oleh
Pemerintah Republik negara kita untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan
kelompok minoritas ras di negara kita . Sejak Mei 1998 sampai dengan sekarang
berbagai upaya pemulihan negara kepada pengakuan keberadaan dan identitas,
promosi dan perlindungan, kesetaraan dan non-diskriminasi serta partisipasi
kelompok minoritas ras berlangsung berangsur-angsur melalui pembaruan-
pembaruan konstitusi dan kebijakan lainnya.
36
dengan sekarang berbagai upaya pemulihan negara kepada pengakuan keberadaan dan identitas,
promosi dan perlindungan, kesetaraan dan non-diskriminasi serta partisipasi kelompok
minoritas ras berlangsung berangsur-angsur melalui pembaruan-pembaruan konstitusi dan
kebijakan lainnya. Secara konstitusional, Bangsa negara kita mengalami momentum perubahan
atau amandemen/ Konstitusi UUD 1945. Perubahan paling signifikan yang perlu dicatat yaitu
terutama dalam perlindungan di bidang HAM. Adanya empat tahapan perubahan UUD 1945
sejak 19 Oktober 1999 hingga 10 Agustus 2002 menghasilkan beberapa perubahan mendasar
tentang perlindungan HAM dan pengakuan atas hak-hak identitas kelompok minoritas rasial dan
warga hukum adat yaitu antara lain:
1. Syarat status kewarganegaraan Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, dinyatakan bahwa “Presiden ialah orang
negara kita asli” yang berkonotasi rasialistik kemudian diamandemen menjadi “Calon Presiden
dan calon Wakil Presiden harus warga negara negara kita sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati
negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagai Presiden dan Wakil Presiden” dengan perumusan yang lebih etis-konstitusional.
Dengan perumusan amandemen ini , misalnya anak dari pasangan kelompok
minoritas ras seperti peranakan Eropa, Arab, Tionghoa, India ataupun golongan lainnya,
yang sudah menjadi warga negara negara kita sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain secara konstitusional mempunyai hak menjadi Presiden atau Wakil
Presiden Republik negara kita .
2. Pemaknaan kembali kewarganegaraan negara kita . Penghapusan Penjelasan UUD 1945
dalam proses amandemen membuka ruang pemaknaan kembali Pasal 26 ayat (1) UUD
1945 : “Yang menjadi warga Negara ialah orang-orang bangsa negara kita asli dan orang-
orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Dalam
Penjelasannya yang disebut orang-orang bangsa lain yaitu misalnya orang peranakan
Belanda, peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab, yang berkedudukan di negara kita ,
mengakui negara kita sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik
negara kita . Penjelasan ini terkesan tidak adil terhadap kelompok minoritas rasial
lainnya, yang seakan diartikan bahwa peranakan dari bangsa lain ini bukanlah
orang-orang bangsa negara kita asli. Penghapusan seluruh Penjelasan UUD 1945 termasuk
juga penjelasan Pasal 26 ayat (1) membuka perumusan kembali siapa yang disebut orang
–orang bangsa negara kita asli yaitu merujuk kepada sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
6 ayat (1) yaitu warga negara negara kita sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. Penghapusan Penjelasan Pasal 26
ayat (1) juga membuka pengakuan kelompok minoritas rasial lainnya dalam pengertian
yang lebih luas tidak hanya peranakan Eropa, Tionghoa dan Arab. Selanjutnya pengertian
bangsa negara kita asli kembali ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 UU No.12 tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik negara kita yaitu “Yang dimaksud dengan orang-orang
bangsa negara kita asli yaitu orang negara kita yang menjadi Warga Negara negara kita sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”.
3. Perubahan politik asimilasi kepada politik integrasi.
Amandemen Pasal 32 ayat (1) dan (2) merupakan salah satu perubahan paling mendasar
tentang politik kebangsaan negara kita yang multikultur. Pasal 32 UUD 1945 sebelum
amandemen menyatakan bahwa “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional negara kita ”.
Pasal ini terkesan sangat asimilatif. Bahwa berbagai kebudayaan warga atau adat
yang sangat beragam akan dileburkan dalam satu kebudayaan nasional yang tunggal.
Adanya Pasal ini dapat menjelaskan mengapa banyak bahasa dan budaya daerah
yang hampir musnah. Sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010
mencatatkan negara kita memiliki 1.340 suku bangsa yang memiliki budaya termasuk
bahasa yang berbeda antara satu dengan yang lain. Namun penelitian yang dilakukan LIPI
37
menyebutkan di akhir abad 21 ini diperkirakan hanya 10 persen dari bahasa etnis yang masih
bertahan. Selanjutnya pada amandemen UUD 45 Pasal 32 diubah menjadi : ayat (1) Negara
memajukan kebudayaan nasional negara kita di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan warga dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya
dan ayat (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional. Pasal 32 ayat (1) dan (2) merupakan upaya pengakuan negara atas identitas budaya
berbagai kelompok warga termasuk kelompok minoritas rasial sebagaimana yang
juga dinyatakan dalam Pasal 28 huruf (i) ayat (3) UUD 1945. Amandemen/Perubahan pasal
32 ayat 1 dan 2 ini menjadi landasan mendasar penghapusan segala bentuk diskriminasi
rasial di negara kita yang disebabkan oleh politik asimilasi (penyeragaman). Perubahan ini
juga sesuai dengan salah satu prinsip pengakuan dan perlindungan hak minoritas yaitu
pemajuan dan perlindungan identitas kelompok minoritas dari politik asimilasi.
Secara konstitusional, Bangsa negara kita mengalami momentum
perubahan atau amandemen/ Konstitusi UUD 1945. Perubahan paling
signifikan yang perlu dicatat yaitu terutama dalam perlindungan di bidang
HAM. Adanya empat tahapan perubahan UUD 1945 sejak 19 Oktober 1999
hingga 10 Agustus 2002 menghasilkan beberapa perubahan mendasar
tentang perlindungan Hak Asasi Manusia dan pengakuan atas hak-hak
identitas kelompok minoritas rasial dan warga hukum adat
Pada tahun 1999, negara kita untuk pertama kalinya meratifikasi atau menjadi Negara
Pihak dari Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (ICERD, 1965) melalui UU No. 29 tahun
1999 dengan reservasi terhadap Pasal 22, yakni ketentuan penyelesaian melalui mekanisme
International Court of Justice, pada 25 Mei 1999. Menindaklanjuti ratifikasi ini pada tahun 2008
Negara mengeluarkan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dikeluarkannya UU yang merupakan inisiatif warga sipil ini merupakan penjabaran
dan pelaksanaan dari ratifikasi ICERD (1965). UU No.40 tahun 2008 merupakan UU pertama
nasional yang melakukan pemidanaan terhadap tindakan diskriminasi sebagaimana diamanatkan
dalam berbagai perjanjian internasional, termasuk ICERD. Disadari bahwa diskriminasi dalam
konteks sosial kultural dapat terjadi di negara-negara, bahkan dengan pelembagaan HAM yang
amat maju sekalipun, namun keberadaan instrumen hukum yang melindungi setiap orang dari
tindak diskriminasi menjadi prasyarat yang penting.
Kelompok Ras Tionghoa
Berkaitan dengan jaminan hak bagi kelompok ras Tionghoa, salah satu masalah paling
krusial yang dihadapi di masa Orde Baru yaitu keharusan bagi mereka untuk menunjukkan
bukti kewarganegaraan negara kita nya. Banyaknya keluhan kemudian memicu pada tahun
1996 Presiden mengeluarkan Keppres No. 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan
Republik negara kita . Keppres ini ditujukan untuk memberikan penegasan mengenai status
kewarganegaraan Republik negara kita bagi istri atau anak yang belum berusia 18 tahun dari
seseorang yang memperoleh kewarganegaraan negara kita dengan cara pewarganegaraan
Republik negara kita berdasar UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
negara kita .
Selanjutnya pasca reformasi, di tengah tuntutan dan kecaman dunia internasional atas
terjadinya kerusuhan bernuansa rasialisme Mei 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Inpres
No. 26 tahun 1998 tentang Menghentikan pemakaian Istilah Pribumi dan Non-Pribumi. Inpres
ini berisi instruksi kepada Para Menteri, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen;
38
juga Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I dan termasuk Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II untuk: (a) Menghentikan
pemakaian istilah pribumi dan Non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan
kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan;
(b) Memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh WNI dalam penyelenggaraan
layanan pemerintahan, kewarga an maupun pembangunan, dan meniadakan pembedaan
dalam segala bentuk, sifat serta tingkatan kepada WNI baik atas dasar suku, agama, ras maupun
asal-usul dalam penyelenggaraan layanan ini , dan; (c) Meninjau kembali dan menyesuaikan
seluruh peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, dan kegiatan yang selama ini telah
ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk antara lain dalam pemberian layanan perizinan usaha,
keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan
gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerja lainnya. Dalam rangka untuk mempercepat dan
mempertegas pelaksanaan dari Keppres No. 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan
Republik negara kita dan Inpres No. 26 tahun 1998 tentang Menghentikan pemakaian Istilah
Pribumi dan Non-Pribumi, pada tahun 1999 Presiden B.J. Habibie kembali mengeluarkan Inpres
No. 4 tahun 1999 tentang Melaksanakan Ketentuan Keppres No. 56 Tahun 1996 tentang Bukti
Kewarganegaraan Republik negara kita dan Inpres No. 26 tahun 1998.
Setelah Pemilihan Umum dan pergantian kepemimpinan dari Presiden B.J.
Habibie kepada Presiden Abdurrahman Wahid, pada 17 Januari 2000, Pemerintah
mengeluarkan Keppres No. 6 tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 tahun
1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Keppres yang baru
ini menegaskan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan
adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari HAM.
Pencabutan Inpres No.14 tahun 1967 berarti juga membuka kembali pengakuan
dan ekspresi budaya Tionghoa misalnya perayaan tahun baru Imlek, Capgomeh,
tarian Barongsai, menggunakan bahasa mandarin secara lisan dan tulisan bahkan
menggunakan kembali nama Tionghoanya.
Di tahun 2000, setelah Pemilihan Umum dan pergantian kepemimpinan dari Presiden B.J.
Habibie kepada Presiden Abdurrahman Wahid, pada 17 Januari 2000, Pemerintah mengeluarkan
Keppres No. 6 tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 tahun 1967 tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Keppres yang baru ini menegaskan bahwa penyelenggaraan
kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian tidak
terpisahkan dari HAM. Pencabutan Inpres No.14 tahun 1967 berarti juga membuka kembali
pengakuan dan ekspresi budaya Tionghoa misalnya perayaan tahun baru Imlek, Capgomeh,
tarian Barongsai, menggunakan bahasa mandarin secara lisan dan tulisan bahkan menggunakan
kembali nama Tionghoanya. Pencabutan Inpres 14 tahun 1967 juga membuka kembali pengakuan
negara terhadap agama Konghucu dengan didasarkan kepada Penjelasan Pasal 1 UU No.1/
PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tentang Agama-
agama yang dipeluk oleh penduduk di negara kita ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
KhongHuCu (Confusius). Catatan atas Penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 bahwa ini tidak berarti
bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di negara kita .
Dalam perkembangannya, pada tahun 2004 identitas keagamaan Konghucu kemudian
dipulihkan. Hal ini berarti juga hak-hak komunitas pemeluk Konghucu terkait identitas
kependudukan dan catatan sipil. Secara khusus PP No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan juga memberi kesempatan agar mata pelajaran agama Konghucu
dapat diselenggarakan di jalur pendidikan formal. Pada 9 April 2002, Presiden Megawati Soekarno
39
Putri meresmikan hari tahun baru Imlek sebagai hari (libur) nasional melalui Keppres No. 19
tahun 2002.
UU No.40 tahun 2008 merupakan UU pertama nasional yang
melakukan pemidanaan terhadap tindakan diskriminasi sebagaimana
diamanatkan dalam berbagai perjanjian internasional, termasuk ICERD.
Disadari bahwa diskriminasi dalam konteks sosial kultural dapat terjadi
di negara-negara, bahkan dengan pelembagaan HAM yang amat maju
sekalipun, namun keberadaan instrumen hukum yang melindungi setiap
orang dari tindak diskriminasi menjadi prasyarat yang penting.
Banyak permasalahan diskriminasi terhadap identitas kewarganegaraan yang dialami
oleh minoritas ras Tionghoa, terlebih akibat Pasal 26 UUD 1945 dan penjelasannya. Hal ini
menimbulkan tuntutan perubahan konstitusional dan kebijakan-kebijakan di bawahnya. Pada
tahun 2006, selanjutnya Negara mengeluarkan UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik negara kita . Peraturan yang baru ini secara prinsip meneruskan pemaknaan kembali
tentang orang-orang bangsa negara kita asli dan orang-orang bangsa lain dalam Pasal 26
ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen dalam Penjelasan Pasal 2-nya. UU ini juga mengoreksi
pengertian istilah “kewarganegaraan” dari UU lama yaitu UU 42 tahun 1968 yang didasarkan
pada penjelasan Pasal 26 ayat (1) sebelum amandemen. Dengan lahirnya UU 12 tahun 2006,
minoritas ras Tionghoa dan minoritas lainnya yang sebelumnya dikategorikan sebagai bangsa
lain (bukan negara kita asli), menjadi orang negara kita asli apabila kewarganegaraan negara kita nya
diperoleh sejak kelahiran dan belum pernah menerima kewarga-negaraan lain. Dengan prinsip
ini , kebijakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik negara kita (SBKRI) yang sebelumnya
diwajibkan kepada minoritas Tionghoa dan sebagian minoritas India menjadi tidak berlaku secara
hukum, terkecuali untuk mereka yang naturalisasi.
Sesungguhnya dampak dari dikeluarkannya UU 12 tahun 2006 cukup besar, karena UU
ini juga mengakhiri permasalahan dualisme hukum kewarganegaraan WNI non-Papua yang
menggunakan UU No. 62 tahun 1958 (ius sanguinis) dan WNI Papua yang menggunakan UU No.3 tahun
1946 (ius soli). Selain itu juga membuka prinsip kesetaraan bagi perempuan dalam keluarga yang
sebelumnya didasarkan pada garis patrilineal (suami/laki-laki). Dengan demikian, anak-anak dari
pasangan perkawinan campuran kewarganegaraan dapat diberikan hak kewarganegaraan ganda
terbatas hingga usia 21 tahun. Mantan pelarian politik yang harus kehilangan kewarganegaraan
Republik negara kita nya di masa lalu juga dapat kembali menjadi warga negara negara kita dengan
prosedur yang sederhana, serta tenaga kerja negara kita mendapatkan perlindungan maksimum
dari kemungkinan menjadi stateless (tanpa kewarganegaraan).
Di tahun yang sama Negara juga mengeluarkan UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (Adminduk). Di dalamnya ada perubahan hukum Kewarganegaraan yang
juga berkonsekuensi terhadap perubahan hukum administrasi kependudukan dan catatan sipil.
UU ini hadir karena banyaknya permasalahan diskriminasi dan tuntutan kebutuhan akan regulasi
yang bersifat nasional dan tidak segregatif. Walaupun nantinya UU No. 23 tahun 2006 ini
diperbarui dengan UU No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (dan Catatan Sipil).
UU Adminduk ini secara hukum mencabut ordonansi (Indische Staatsregeling IS) tentang
administrasi kependudukan dan catatan sipil yang didasarkan atas penggolongan kebangsaan,
ras, dan agama yaitu : Eropa (Staatsblad 1849 No.25), Tionghoa dan Timur Asing (Staatsblad 1917
No.130), Bumiputra /Non-Kristen (Staatsblad 1920 No.751), dan Bumiputra Kristen (Staatsblad
1933 No.75). Lebih lanjut, pengakuan atas hak identitas kelompok dan budaya Tionghoa kembali
ditegaskan dengan pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/Pres.
40
Kab/6/1967 tentang Masalah Cina, yang di dalamnya mengganti istilah Tionghoa/Tiongkok dengan
sebutan Cina melalui Keppres No. 12 tahun 2014 yang mengembalikan penyebutan kelompok
minoritas Tionghoa. Terlepas dari kontroversi etimologi yang tepat, pemulihan istilah Tionghoa
sesuai dengan prinsip pengakuan atas hak self-identification kelompok minoritas.
Masih terkait dengan jaminan hak bagi kelompok minoritas ras melalui peraturan
perundang-undangan, Pelapor Khusus melihat bahwa banyaknya permasalahan diskriminasi
kelompok minoritas ras dalam pelayanan administrasi kependudukan mendorong urgensi
pembenahan pada instrumen hukum prosedural. Di samping itu juga perlu adanya transparansi
dalam administrasi pelayanan publik. Lahirnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta UU No. 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian, yang pada masa lalu sarat diwarnai permasalahan diskriminasi rasial membuat
perubahan dan mendorong praktek-praktek transparansi dalam pelayanan dan administrasi
publik. Instrumen-instrumen hukum ini juga berperan dalam praktek diskriminasi terhadap
kelompok minoritas rasial. Bahkan UU baru ini tersurat dicantumkan prinsip non-
diskriminasi. Sejak reformasi bahkan prinsip non-diskriminasi menjadi prinsip dan asas dalam
setiap perumusan dan pembentukan perundang-undangan- sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kelompok Ras Papua
Momentum reformasi juga memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran
baru untuk menyelesaikan berbagai konflik di tanah Papua. Pada tahun 1999, MPR menetapkan
perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana
diamanatkan dalam TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 Bab IV
huruf (g) angka 2. Selanjutnya, dalam TAP MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, antara lain, dinyatakan pentingnya segera
merealisasikan Otonomi Khusus melalui penetapan suatu UU otonomi khusus bagi Provinsi
Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi warga . Hal ini merupakan langkah awal positif
dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus langkah strategis
untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi
tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua. Pada l 21 November 2001, secara
resmi Provinsi Papua memperoleh otonomi khusus berdasar UU No. 21 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU ini kemudian diperbarui dengan UU No. 35 tahun 2008
tentang Penetapan PERPU No. 1 tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi UU, yang di dalamnya memasukkan juga
Provinsi Papua Barat.
Dalam substansinya, otonomi khusus Papua yaitu antara lain (a) mengatur kewenangan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan
ini di yang dilakukan dengan kekhususan; (b) memberikan pengakuan dan penghormatan
hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
(c) mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri: partisipasi rakyat
sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan
pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan
kaum perempuan; pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi
kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada
umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan
berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi warga ; dan penyelenggaraan
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada
41
warga ; (d) melakukan pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan
jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai
representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Dalam TAP MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, antara lain, dinyatakan
pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus melalui penetapan
suatu UU otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan
aspirasi warga . Hal ini merupakan langkah awal positif dalam rangka
membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus langkah
strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai
upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah
di Provinsi Papua.
Di tingkat wilayah sendiri, Provinsi Papua dan Papua Barat mempunyai kewenangan
khusus sendiri dalam menentukan regulasi pelaksanaan otonomi khusus di daerahnya, antara
lain: peran Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan lembaga representasi kultural orang
asli Papua yang memiliki tugas dan wewenang tertentu untuk melindungi hak-hak Orang asli
Papua. Untuk itu sebagai pemenuhan ketentuan Pasal 20 ayat 2 dan Pasal 23 ayat 2 UU No.
21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, maka dibentuklah Perda Khusus
(Perdasus) Provinsi Papua No. 4 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Majelis
Rakyat Papua Provinsi Papua. Selain itu, ada pula Perdasus No. 23 tahun 2008 yang mengatur
hak ulayat warga hukum adat dan atau hak perorangan warga warga hukum adat
atas tanah. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 /PUU-X/2012 tentang
Uji Materi UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah Daerah yaitu otoritas Negara
yang berwenang untuk menetapkan warga hukum adat sebagai subjek hukum. Kewenangan
ini merupakan bentuk pendelegasian fungsi Negara untuk menetapkan warga hukum adat
akibat kekosongan hukum di level UU).
42
KELOMPOK
ETNIS TERBESAR
DI negara kita *17
JAWA85.9JUTA
31.7JUTA
41.7%
SUNDA15.4%
5.6JUTAMINANGKABAU2.7%
6.8JUTAMADURA3.3%
7JUTAMELAYU3.4%
5.2JUTABETAWI2.5%
2.1JUTAMAKASSAR1.0%
5.2JUTABUGIS2.5%
3.5JUTABANJAR1.7%
2.7JUTASASAK1.3%
890RIBUACEH0.43%
762RIBUTORAJA0.37%
1.9JUTATIONGHOA0.9%
1.9JUTACIREBON0.9%
3.1JUTABALI1.5%
4.3JUTABANTEN2.1%
6.2JUTABATAK3.0%
* Catatan ini tidak mencantumkan kelompok etnis Dayak yang terdiri dari
beragam sub-etnis dengan bahasa dan ciri fisik dan budaya yang berbeda-beda.
Data BPS tahun 2000
43
Pelaksanaan Program-program Pemerintah
Secara umum tidak ada program-program yang ditujukan khusus dalam perlindungan
hak-hak minoritas rasial, meskipun jelas permasalahan diskriminasi kelompok minoritas rasial
yang banyak bersumber kepada diskriminasi dalam administrasi sipil dan publik. Selain itu
pelayanan publik yang tidak transparan menumbuhsuburkan praktik transaksional pelayanan
publik kepada kelompok minoritas rasial, khususnya kelompok Tionghoa. Itulah sebabnya maka
program-program Pemerintah diarahkan kepada reformasi prosedural bagi pelayanan dan
administrasi publik yang transparan dan pembenahan aparatur birokrasi. Salah satu program
yang tengah berjalan yaitu Program KTP Elektronik dan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
tunggal. Program ini merupakan salah satu amanat dari UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan yang dilaksanakan oleh Ditjen Administrasi Kependudukan Kemendagri sebagai
bagian dari pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Program ini
merupakan salah satu upaya negara untuk memperbaiki pelayanan adminduk dan catatan sipil,
yang tujuannya selain masalah efisiensi juga untuk menutup celah praktik-praktik transaksional
dan diskriminasi yang dilakukan oleh aparatur negara yang memanfaatkan lemahnya posisi sosial
politik kelompok minoritas rasial. Digitalisasi identitas kewarganegaraan dan kependudukan
juga akan memberikan validitas pengelolaan dan perlindungan data kependudukan dan
kewarganegaraan yang lebih baik.
Selanjutnya Pemerintah juga menghapus persyaratan Surat Bukti Kewarganegaraan
Republik negara kita (SBKRI) dalam berbagai pelayanan publik. Sekalipun belum ada suatu
peraturan yang memayunginya, beberapa instansi pemerintah secara nasional dan berbagai
daerah mulai melakukan pembaruan atas berbagai prosedur dan persyaratan pelayanan
publiknya dengan menghapuskan kewajiban SBKRI seperti Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil ataupun di Keimigrasian. Sebagai contoh, pada 15 Maret 2013, Dirjen Imigrasi mengeluarkan
Surat Edaran No. IMI.733-GR.01.01 tahun 2013 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
negara kita . Surat Edaran ini pada intinya menegaskan bahwa dalam pengajuan permohonan paspor
biasa, pemohon boleh melampirkan bukti kewarganegaraan sebagai identitas diri jika pemohon
tidak dapat melampirkan akta kelahiran, akta perkawinan/surat nikah atau ijasah, tetapi petugas/
pegawai imigrasi tidak boleh meminta bukti kewarganegaraan sebagai persyaratan tambahan jika
pemohon telah melampirkan akta kelahiran, akta perkawinan/surat nikah, atau ijasah. Beberapa
kota seperti Surakarta ataupun Semarang bahkan mengeluarkan Instruksi Walikota untuk
menghapuskan persyaratan SBKRI ini . Namun menjadi catatan, secara kasuistik beberapa
instansi pemerintah baik nasional seperti Kantor Imigrasi maupun daerah bahkan swasta masih
menerapkan kewajiban persyaratan SBKRI
Akibat dari proses perjanjian dwi kewarganegaraan RI dengan RRT, ribuan dari mereka
yang menyatakan memilih kewarganegaraan RRT berhasil difasilitasi untuk dipulangkan ke
RRT, namun mereka yang memiliki status keimigrasian Exit Permit Only (EPO) selanjutnya dan
tidak mendapat fasilitasi untuk keluar dari negara kita terus menetap di negara kita dan kelompok
ini kehilangan kewarganegaraannya. Mereka tidak diakui sebagai WNI, namun juga tidak
diakui oleh RRT. Pasca UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Kementerian Hukum
dan HAM bersama dengan Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil mengadakan program
pemulihan status kewarganegaraan negara kita dan pemutihan berbagai dokumen kependudukan
dan catatan sipil. Dengan dukungan dari berbagai LSM nasional dan internasional seperti Plan
International dan UNICEF, ribuan minoritas Tionghoa bersama dengan kelompok warga
lainnya berhasil mendapatkan kembali kewarganegaraan negara kita nya beserta dokumen
kependudukan dan catatan sipilnya. Hal lainnya, pasca lahirnya UU No. 40 tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, masih banyak kasus yang bernuansa ujaran kebencian
terhadap kelompok minoritas rasial, belum ada tindakan hukum yang dilakukan oleh Polri. Itulah
44
sebabnya maka pada tahun 2015, Kapolri mengeluarkan Surat Edaran No. SE/06/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Sekalipun Surat Edaran ini menuai kontroversi,
lahirnya Surat Edaran Kapolri ini dapat dikategorikan sebagai program upaya negara
terkhusus Polri dalam perlindungan kelompok minoritas rasial dari tindak ujaran kebencian atau
hate speech, terkecuali dari pengaturan atas penanganan konteks pencemaran nama baik atau
kritik kepada pejabat publik.
Di tingkat daerah, lebih banyak program yang dilakukan Pemerintah untuk Kelompok
Ras/warga Papua. Beberapa di antaranya yaitu sebagai berikut:
Pemerintah Kabupaten Jayapura menyelenggarakan Program Pemberdayaan Kampung (PPK).
Program ini dilaksanakan dengan bertumpu pada peran aktif warga , sedangkan Pemerintah
diharapkan berperan sebagai pendamping. PPK dilaksanakan dalam berbagai bentuk, salah
satunya yaitu PPK untuk komoditas kakao. Dengan PPK diharapkan produksi kakao akan
meningkat sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus mempercepat
pemerataan pendapatan. berdasar penelitian yang dilakukan Kreuta (2010) pelaksanaan PPK
di Kabupaten Jayapura cukup efektif meningkatkan pendapatan warga yang ditunjukkan
dengan adanya peningkatan kapasitas produksi kakao per rumah tangga, peningkatan luas
tanam kakao per rumah tangga dan peningkatan rata-rata kontribusi kakao terhadap pendapatan
rumah tangga.38
Selain itu Pemerintah juga melakukan pembangunan pasar terintegrasi di Sentani –
Jayapura, Papua. Pembangunan ini dicanangkan Presiden Jokowi sebagai pasar percontohan
pertama di negara kita yang tidak saja membangun infrastruktur fisik bangunan pasarnya,
melainkan juga turut memberdayakan warga asli Papua yang mendiami kampung-
kampung di sekitar wilayah pasar. Diketahui bahwa di sekitar wilayah Pasar Pharaa Sentani
ini , secara administratif ada 34 kampung asli yang dihuni oleh warga warga asli
Papua. Setiap kampung dipimpin oleh seorang ondofolo atau ondoafi. Ondofolo/ondoafi yaitu
kepala adat yang membawahi 5 kepala suku. Sedangkan tiap-tiap kepala suku membawahi 5
mata keluarga (fam). Jadi bisa dikatakan bahwa ondofolo ini merupakan landlord, atau ‘raja’ dari
suatu wilayah tertentu di tanah Papua. Pemberdayaan warga ini memiliki konsep one village
one product, sehingga tiap kampung akan memiliki satu keunggulan hasil produk alamnya dan
dengan begitu tidak akan membuat pasar menjadi kebanjiran satu produk pertanian saja.
Pada tahun 2006-2008 diprakarsai oleh ILO dibangun Program percontohan Pemberdayaan
warga Adat Papua (PIPE). Proyek ini bekerja sama dengan warga mitra di empat
kabupaten yang dipilih pemerintah daerah sebagai lokasi percontohan, yaitu: Kabupaten Muara
Tami, Kabupaten Kemtuk Gresi, Kabupaten Tanah Rubuh, dan Kabupaten). Program ini untuk
membantu pembangunan provinsi Papua/Papua Barat, yang dimaksudkan untuk memperkuat
kemandirian ekonomi warga adat Papua serta mempromosikan hak-hak mereka. Program
ini menyediakan layanan bantuan yang bersifat fasilitatif melalui kegiatan pengembangan
keterampilan yang dapat membantu warga adat dalam memikul tanggung jawab dan
kepemimpinan yang lebih besar dalam proses pembangunan mereka sendiri serta dalam konteks
dan kerangka Otsus. Program PIPE ini mencerminkan prioritas pembangunan pemerintah pusat,
yang menekankan pada penciptaan lapangan pekerjaan sebagai upaya penting dalam mengurangi
kemiskinan dan mendorong pembangunan lokal. Didanai pemerintah Jepang melalui UN Trust
Fund for Human Security, proyek ini berupaya meningkatkan kapasitas warga adat Papua
untuk mengurangi kemiskinan di desa mereka serta mempromosikan kesetaraan jender dan
memperkuat mekanisme pembangunan dan perdamaian tradisional, bekerja sama dengan
lembaga-lembaga pemerintah terkait serta penyedia layanan lainnya.39
Penikmatan Hak dan Pelanggaran HAM yang terjadi
Sejauhmana jaminan hak dapat benar-benar dinikmati pada dasarnya dapat ditelusuri
dari bagaimana kondisi kehidupan sehari-hari para penyandang hak. Selain itu, praktik-praktik
pelanggaran HAM yang terjadi juga dapat menjadi indikator bahwa hak mereka belum sepenuhnya
dipenuhi. Beberapa analisis terkait kondisi kehidupan kelompok minoritas ras berikut ini dapat
menjadi bahan pijakan.
Pertama, berkaitan dengan Pengakuan Eksistensi dan Identitas. Hampir semua
kelompok minoritas rasial di negara kita merupakan komunitas yang keberadaannya secara
sosiologis sangat lama di negara kita . Bahkan beberapa komunitas minoritas ini sudah
berdiam di negara kita (dahulu masih Nusantara/Hindia Belanda) sebelum kemerdekaan negara kita
tahun 1945. Perwakilan kelompok minoritas Tionghoa, Arab dan Eropa bahkan ikut dalam Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita (BPUPKI), suatu badan yang mempersiapkan
kemerdekaan dan UUD 1945. Begitupun dengan kelompok minoritas Papua. Munculnya Keppres
No. 7 tahun 1971 tentang pemberlakuan UU No. 3 tahun 1946 tentang Kewarganegaraan Republik
negara kita (yang berasas ius soli) kepada penduduk di Papua Barat menunjukan adanya pengakuan
serupa kepada minoritas Papua. Namun pengakuan keberadaan ini tidak serta merta
berarti adanya pengakuan atas identitas (legal) dari kelompok minoritas rasial ini Berbagai
perubahan peraturan perundangan dan kebijakan khususnya dalam mendefinisikan kembali
makna bangsa negara kita asli dalam Pasal 26 ayat 1 dan Penjelasan Pasal 2 UU No.12 tahun
2006 tentang Kewarganegaraan RI serta UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua, membuka dan memulihkan kembali pengakuan atas keberadaan dan identitas
terhadap kelompok-kelompok minoritas rasial seperti kelompok Tionghoa ataupun India, Arab,
Eropa dan lainnya, juga Papua sebagai bagian dari bangsa negara kita asli. Pengakuan keberadaan
dan identitas merupakan kenikmatan yang teramat penting terutama mereka yang pada masa
lalu mengalami pelbagai perlakuan diskriminatif karena belum mendapatkan pengakuan yang
layak dari negara. Bagi kelompok Tionghoa, misalnya, pengakuan dalam identitas kebangsaan
negara kita , juga berdampak kepada pemenuhan dan penikmatan hak sipil, politik, ekonomi, sosial
dan budaya.
Kedua, Promosi dan Perlindungan Minoritas. Kelompok minoritas Tionghoa dengan
kompleksitas permasalahan dwi kewarganegaraan pada tahun 1955 dan dikait-kaitkan dengan
ideologi Komunisme dalam peristiwa 1965, merupakan sasaran utama kebijakan asimilasi. Selain
permasalahan status kewarganegaraan negara kita mereka dikontrol dengan SBKRI. Selain itu,
karena diidentifikasi sebagai kelompok yang berafiliasi kepada RRT, maka segala kebudayaan,
agama dan bahasa wajib diasimilasi dengan kebudayaan, agama dan bahasa nasional. Sehingga
pada saat itu muncul berbagai kebijakan antara lain soal ganti nama, pelarangan ekspresi
kebudayaan Tionghoa di tempat publik, pelarangan agama Konghucu dan bahasa mandarin,
bahkan dalam Badan Intelijen Negara (BIN) dibentuk unit khusus yang disebut Badan Koordinasi
Masalah Cina (BKMC). Pada masa itu, sudah bukan menjadi rahasia, muncul ketakutan yang
dialami oleh warga Tionghoa untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Tionghoa
(dh Cina). Sehingga dalam warga Tionghoa muncul istilah “Kirno” (Mungkir Cino, yang
artinya menyangkal sebagai Cina/Tionghoa) dan banyak di antara mereka yang berusaha
menghitamkan kulitnya. Setelah 32 tahun, minoritas Tionghoa, selain mendapatkan pengakuan
dan perlindungan atas keberadaan dan identitas kebangsaan atau etnis, budaya, agama, dan
bahasanya; juga kembali mendapatkan hak untuk mengekspresikan budaya mereka sendiri.
Tahun baru Imlek bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional (sebagai hari besar keagamaan
Khonghucu). Berbagai media massa berbahasa Mandarin bermunculan seperti Metro Xinwen,
Harian negara kita dan berbagai puluhan media cetak di daerah maupun nasional. Khonghucu
diakui sebagai salah satu agama dari 6 (enam) agama yang diakui negara, dan penganutnya
kembali dapat menggunakan identitas Khonghucu dalam KTP ataupun pelayanan catatan sipil.
Kelompok Tionghoa juga kembali dapat membangun dan mengembangkan lembaga pendidikan
dengan budaya dan identitas ketionghoaannya seperti sekolah Pa Hoa, Pha Tsung, dan lainnya
yang pada pasca tahun 1965 berbagai sekolah ini ditutup dan assetnya diambil alih oleh
negara.
Khusus terkait dengan Kelompok Minoritas Papua, Pemenuhan hak politik mereka
diupayakan dengan sistem pemilihan umum yang berbeda dengan wilayah lainnya dengan
memperhatikan kekhususan budaya dan kondisi geografis di tanah Papua. Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) tentang sengketa hasil Pemilihan Presiden 2014 yang memutuskan bahwa sistem
“Noken” dan “Ikat” dibenarkan sebagai digunakan sebagai pengganti kotak suara, setelah
sebelumnya Putusan MK Nomor 47-48/PHPU A-VI/2009 tentang Mekanisme pemakaian Sistem
Noken di Papua pada tanggal 9 Juni 2009 digunakan pada pemungutan suara Pilkada Kabupaten
Yahokimo. Putusan MK ini dapatlah dipandang sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan
atas budaya dan kekhususan sistem tradisional warga Papua.
Ketiga, Kesetaraan dan Non-Diskriminasi. Untuk konteks Tionghoa, pasca munculnya
pengakuan negara atas keberadaan dan identitas berbagai kelompok minoritas rasial sebagai
bagian dari apa yang disebut bangsa negara kita asli, berdampak pada penghapusan berbagai
peraturan perundangan yang diskriminatif seperti kebijakan SBKRI untuk kelompok Tionghoa,
pembatasan (kuota) untuk masuk ke lembaga pendidikan negeri, pembatasan menjadi pegawai
negeri sipil, Tentara Nasional negara kita (TNI) ataupun Kepolisian Republik negara kita (Polri)
ataupun partai politik. Hal ini membuka ruang akses dari kelompok Tionghoa pada berbagai
bidang yang sebelumnya hanya terbatas pada bidang ekonomi termasuk dalam representasi
partisipasi politik. Sayangnya upaya penghapusan diskriminasi masih dilakukan secara parsial,
sehingga berbagai kelompok minoritas etnis-agama seperti kelompok Sikh, Yahudi, Tao dan
lainnya, belum mendapatkan hak-haknya sebagaimana kelompok minoritas Tionghoa.
Keempat, Partisipasi Efektif dan Bermakna. Berbagai individu maupun kelompok
Tionghoa mulai berpartisipasi secara aktif dalam berbagai aktivitas dan program budaya, agama,
sosial, politik dan kehidupan warga , termasuk bidang ekonomi yang secara awal banyak
digeluti oleh kelompok warga Tionghoa. Berbagai organisasi kewarga an baik sebagai
organisasi yang sifatnya eksklusif maupun inklusif dalam berbagai bidang didirikan oleh individu
atau komunitas Tionghoa pasca 1998. Beberapa contohnya yaitu Paguyuban Sosial Marga
Tionghoa negara kita (PSMTI), Perhimpunan negara kita Tionghoa (INTI) dan berbagai Perhimpunan
Marga. Bahkan pada tahun 1998, beberapa individu dari kelompok Tionghoa sempat membentuk
Partai Tionghoa (PARTI), kemudian Partai Bhinneka Tunggal Ika yang sempat ikut dalam Pemilihan
Umum pada tahun 1999 dan 2004. Secara umum, organisasi-organisasi ini memiliki misi
advokasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan diskriminasi dan identitas kebangsaan
kelompok Tionghoa. Sehingga dalam berbagai proses legislasi dan pembaruan kebijakan,
kelompok-kelompok Tionghoa bersama berbagai kelompok lain dilibatkan secara aktif baik
di tingkat daerah maupun nasional. Sejumlah individu anggota kelompok Tionghoa pun mulai
tertarik dan bergabung dalam Lembaga Pemerintah dan menjadi Pejabat Publik atau ikut dalam
Pemilihan Umum.
47
Jaminan hak-hak kelompok minoritas tidak dapat sepenuhnya dicapai jika tidak ada
penikmatan hak secara penuh dan masih banyaknya pelanggaran HAM yang tidak dapat ditangani
oleh Negara. Beberapa pengalaman di dalam konteks negara kita untuk kelompok Tionghoa dan
Papua menunjukkan bahwa jaminan ini belum sepenuhnya ada. Beberapa di bawah ini dalam
menjadi bahan analisis untuk memperbaiki kebijakan dan praktik di Negara dan aparaturnya.
Komite ICERD merekomendasikan agar Pemerintah RI memperkuat
upaya untuk menjamin pelaksanaan praktis dari penghapusan SBKRI di
semua wilayah, dan secara efektif melarang pemakaian nya oleh lembaga-
lembaga publik serta badan swasta seperti bank. Pemerintah juga harus
mengadopsi program-program untuk meningkatkan kesadaran tentang
larangan SBKRI dan membantu individu yang telah dibutuhkan untuk
menghasilkan SBKRI dalam memperoleh ganti rugi.
Pertama, meskipun sudah banyak kemajuan dan reformasi di bidang regulasi dan
kebijakan, belum cukup perlindungan yang dapat dinikmati oleh kelompok Tionghoa. Dalam
realitas politik nasional dan daerah, kelompok Tionghoa masih dianggap sebagai anasir asing
yang dalam berbagai ungkapan disebut Aseng (bukan Pribumi). Ungkapan-ungkapan ini
dalam berbagai kasus di media sosial sudah berupa ungkapan kebencian bahkan provokasi
untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok Tionghoa. Bahkan sekalipun sudah ada
instrumen hukum yang berisi sanksi pidana atas ungkapan kebencian ini , belum ada
upaya yang maksimal dari negara untuk mencegah ataupun melakukan tindakan hukum atas
segala tindak rasialisme ini . Selain itu, dalam penerimaan Tamtama, Bintara di TNI masih
mempersyaratkan SBKRI yang diidentifikasi sebagai WNI keturunan WNA. Dalam penyelenggaraan
administrasi kependudukan dan catatan sipil di beberapa daerah juga masih mempersyaratkan
SBKRI kepada kelompok Tionghoa termasuk pihak-pihak swasta.
Sebagai contoh sebagaimana telah dilaporkan, pada 16 Mei 2014, seorang warga negara
negara kita etnis Tionghoa, Vincent, yang mengurus perpanjangan paspornya yang habis masa
berlakunya ke Kantor Imigrasi Soekarno-Hatta, diminta persyaratan SBKRInya atau SBKRI
ayahnya, padahal Vincent sudah melampirkan KTP, Akta Kelahiran dan Kartu Keluarganya40.
kasus yang sama juga dialami Sunlie Thomas Alexander, yang pada 29 Desember 2015, yang
diminta untuk menunjukkan SBKRInya pada saat akan mengurus paspor di Kantor Imigrasi Kelas
I Yogyakarta. Padahal Sunlie sudah menunjukkan akta kelahirannya yang tertera sebagai Warga
Negara negara kita . Menurut Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Yogyakarta, Agus Soni Murdianto, Sunlie
diminta SBKRI-nya karena nama Sunlie bukanlah nama asli Yogyakarta atau negara kita . Contoh-
contoh ini menunjukkan bahwa reformasi kebijakan terkait jaminan hak bagi minoritas
Tionghoa masih belum diterapkan secara permanen dan merata di seluruh Instansi Negara.
Itulah sebabnya dalam paragraf 20 Concluding Observation CERD/C/IND/CO/3 berkenaan dengan
pelaksanaan ICERD di negara kita Komite merekomendasikan agar Pemerintah RI memperkuat
upaya untuk menjamin pelaksanaan praktis dari penghapusan SBKRI di semua wilayah, dan secara
efektif melarang pemakaian nya oleh lembaga-lembaga publik serta badan swasta seperti bank.
Pemerintah juga harus mengadopsi program-program untuk meningkatkan kesadaran tentang
larangan SBKRI dan membantu individu yang telah dibutuhkan untuk menghasilkan SBKRI dalam
memperoleh ganti rugi. Sayangnya, sampai hari ini kebijakan pelarangan tidak pernah dilakukan.
Surutnya penerapan SBKRI justru terjadi karena tekanan politik sehingga permasalahan SBKRI
tidak terselesaikan secara mendasar. Dikuatirkan tanpa penyelesaian yang mendasar melalui
kebijakan pelarangan SBKRI, kebijakan diskriminatif ini akan berulang di masa yang akan
datang.
Masih berkaitan dengan kelompok Tionghoa, ketidakmampuan ataupun keengganan
aparat keamanan untuk melakukan pencegahan dan penegakan hukum atas berbagai ungkapan
kebencian bahkan kekerasan yang bernuansa kebencian rasial seperti dalam penyelesaian
hukum peristiwa kerusuhan rasial Mei 1998. Berbagai temuan, baik itu berasal dari investigasi
NGO, jurnalisme atau reportase media massa, hingga temuan investigasi independen yang
dibentuk negara menggambarkan bagaimana diujung periode Orde Baru (sesaat sebelum
Soeharto mengundurkan diri), 13-15 Mei 1998 terjadi sebuah kerusuhan massal di berbagai
kota besar di negara kita ; Jakarta, Medan, Surabaya, Palembang, Solo, dan Lampung. Di tengah-
tengah kerusuhan massal ini terjadi tindak kekerasan terhadap etnis Tionghoa di negara kita
yang terjadi secara sengaja, terencana, ada pola, sistematis, dan diduga merupakan
hasil pertarungan politik dari elit untuk memperebutkan kekuasaan. Namun hingga hari ini
temuan TGPF yang kemudian dikuatkan dengan penyelidikan Komnas HAM ini t
.jpeg)
