Tampilkan postingan dengan label Hak minoritas 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hak minoritas 2. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Oktober 2025

Hak minoritas 2



 Dengan sistem massa mengambang, proses 

industrialisasi, pembangunan wilayah pedesaan dan pertumbuhan ekonomi. Pancasila menjadi 

ideologi modernisasi, sekaligus ideologi pembangunan. Pancasila menjadi alat legitimasi untuk 


visi modernisasi negara kita   yang kemudian justru berdampak buruk bagi warga  lokal.31 

Bahasa negara kita   pada masa Orde Baru dijadikan alat untuk integrasi nasional dan kontrol sosial. 

pemakaian  bahasa negara kita   menjadi ukuran modernisasi sebuah peradaban. Bahasa negara kita   

menjadi bahasa pembangunan dan digunakan sebagai alat politik. Hal ini nampak dari kewajiban 

bahasa negara kita   diajarkan di seluruh sekolah. Dengan kebijakan ini  maka ideologi dan 

pembangunan bisa lebih stabil. Namun di saat yang sama hal ini juga menjadi ancaman bagi 

keragaman bahasa lokal.32

 Bahasa negara kita   pada masa Orde Baru dijadikan alat untuk integrasi 

nasional dan kontrol sosial. pemakaian  bahasa negara kita   menjadi 

ukuran modernisasi sebuah peradaban. Bahasa negara kita   menjadi bahasa 

pembangunan dan digunakan sebagai alat politik. Hal ini nampak dari 

kewajiban bahasa negara kita   diajarkan di seluruh sekolah. Dengan kebijakan 

ini  maka ideologi dan pembangunan bisa lebih stabil. Namun di saat yang 

sama hal ini juga menjadi ancaman bagi keragaman bahasa lokal. 

 Sejalan dengan visi modernisasi inilah maka “warga  terasing” dianggap sebagai 

tidak modern atau belum beradab dan seringkali disebut “belum beragama”. Tradisi lokal 

dianggap sebagai penghambat pembangunan sosial ekonomi. Namun tradisi lokal dimasukkan 

ke dalam kerangka pembangunan untuk melegitimasi pembangunan itu sendiri. Tradisi lokal 

juga kemudian dilepaskan dari latar belakang budaya menjadi sekedar ritual atau upacara. 

Bahkan Soeharto memiliki idiom “agama pembangunan” dimana Hefner menggambarkan 

bahwa religiusitas negara kita   terjadi di masa Orde Baru yang menekankan pada Ketuhanan 

dan keyakinan untuk mengganti festival ritual yang “mahal atau mewah” dengan devosi yang 

sederhana dan dengan kontrol birokrasi yang lebih ketat pada agama-agama pinggiran (rural).33  

Politik Soeharto untuk membangun stabilitas dengan unifikasi (penyatuan) budaya sangat terlihat 

dalam proses transmigrasi. Transmigrasi tidak saja dijadikan alat untuk mengurangi kepadatan 

penduduk di Jawa, Bali dan Madura, tapi secara sosial dan kultural juga menjadi alat untuk 

membangun identitas nasional dimana diharapkan identitas etnis yang berbeda-beda makin 

hilang dan makin menyatu menjadi identitas nasional.34 Pada periode ini juga terjadi peminggiran 

terhadap komunitas etnis Tionghoa secara lebih sistematis. Pilar kebudayaan Tionghoa benar-

benar dibatasi, dan bahkan dihapus. Ketiga pilar itu yaitu  pers berbahasa Tionghoa, sekolah-

sekolah menengah Tionghoa, dan  organisasi-organisasi etnis Tionghoa dihapuskan. Bahkan 

di tahun 1966, seluruh warga Tionghoa disarankan menggantikan namanya menjadi nama 

berlafal negara kita  .35 Selain itu upaya stigmatisasi terhadap warga etnis Tionghoa telah membuat 

prasangka negatif terhadap kelompok ini menguat dan dengan mudah, mereka menjadi target 

atau obyek yang bisa digunakan untuk mengontrol nasionalisme “pribumi”.

 Proses asimilasi selama masa Soeharto berjalan sangat sistematis. Tidak saja pada 

warga etnis Tionghoa, tapi juga pada  KAT (Komunitas Adat Terpencil),  kelompok kepercayaan 

tradisional dan warga  adat yang dianggap tidak “beradab” dan menghambat pembangunan 

sosial ekonomi. Selain itu Soeharto juga mengeluarkan kebijakan yang merestriksi orang untuk 


mengeluarkan atau mengekspresikan identitas Suku, Agama, Ras dan etnis, dan Antar golongan 

(yang dikenal dengan sebutan SARA). Di masa itu, mengungkapkan dan mendiskusikan SARA 

dianggap subversif atau melawan Negara. Beberapa pasal warisan kolonial yang mengekang 

orang untuk mengekspresikan pendapat yang berbeda dari pemerintah digunakan agar “agama 

pembangunan” (stabilitas) bisa terjaga.

 Proses asimilasi juga sejalan dan bahkan diperlukan dengan konsep Negara integralistik 

yang mengedepankan kekeluargaan dan bela negara dibanding dengan penghormatan 

terhadap hak-hak individual. Jika di awal kemerdekaan, salah seorang pendiri bangsa, Supomo, 

mengatakan bahwa konsep negara integralistik tidak mementingkan pemisahan kekuasaan 

karena “keluarga” tidak membutuhkan pemisahan semacam itu, maka Soeharto menerapkannya 

menjadi lebih korporatis dimana pemisahan kekuasaan menjadi tidak jelas dan bahkan hampir 

semua kekuasaan ada di bawah eksekutif.

 Proses asimilasi selama masa Soeharto berjalan sangat sistematis. 

Tidak saja pada warga etnis Tionghoa, tapi juga pada  KAT (Komunitas Adat 

Terpencil),  kelompok kepercayaan tradisional dan warga  adat yang 

dianggap tidak “beradab” dan menghambat pembangunan sosial ekonomi. 

Selain itu Soeharto juga mengeluarkan kebijakan yang merestriksi orang untuk 

mengeluarkan atau mengekspresikan identitas suku, agama, ras dan etnis dan 

antar golongan (SARA). 

 Konsep ini dimatangkan di dekade pertama kepemimpinan Jenderal Soeharto. Dimulai 

dari upaya untuk mencari konsep yang lebih definitif tentang Pancasila sebagai upaya melegitimasi 

proyek modernisasi dan nation building yang baru, hingga kemudian membangun strategi 

indoktrinasi melalui pembangunan code of practice atau yang dikenal dengan P4 (Pedoman 

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dituangkan dalam TAP MPR No. II/1978. Lebih 

jauh, kemudian perwujudan kedaulatan rakyat direkayasa melalui berbagai lembaga-lembaga 

korporatis pendukung atau bentukan negara seperti Persatuan Wartawan negara kita  , Serikat 

Pekerja Seluruh negara kita  , dan lain sebagainya. Soeharto juga membangun kelompok-kelompok 

fungsional yang sampai sekarang masih berpengaruh dan dikenal dengan Golongan Karya 

(Golkar). Organisasi Kelompok fungsional ini beroperasi seperti layaknya partai politik. 

 Jadi, di masa Orde Baru, Konsep Negara integralistik dengan Pancasila sebagai panduan 

hidupnya telah menjadi alat kontrol, pembatasan dan pengawasan bagi rakyat demi lancarnya 

pembangunan. Pancasila juga menjadi legitimasi militer untuk mempertahankan dwi-fungsi, dan 

yang paling utama mempertahankan kekuasan di tangan negara (sistem politik totaliter).36 Di 

masa ini, peminggiran terhadap kelompok minoritas meluas dan berkelindan dengan kelompok 

marjinal lainnya. Namun diluar itu, peminggiran kelompok minoritas agama, etnis, bahasa, ras 

lebih jelas modusnya yang membuat kebijakan ini  menjadi lebih sistematis dan meluas. 

 Periode ketiga setelah 1998. Periode dimana ini ditandai dengan jatuhnya Orde Baru 

setelah memuncaknya ketidakpuasan politik dan sosial budaya yang dialami oleh berbagai 

kelompok warga di hampir seluruh negara kita  . Masa pasca reformasi atau pasca rejim otoriter 

ini menjadi penanda negara kita   masuk ke era demokrasi. Periode ini ditandai dengan adanya 

amandemen atau perubahan UUD 1945 dengan penambahan pasal-pasal yang berkaitan dengan 

HAM dan penegasan pada pemisahan kekuasan yang meletakkan kekuasaan lebih besar pada 


legislatif atau parlemen atas eksekutif. Selain itu juga dinyatakan adanya pelibatan warga yang 

lebih besar serta pengakuan otonomi daerah yang diharapkan bisa mendekatkan pelayanan 

bagi warga negara dan mengakomodasi keragaman bangsa negara kita  . Upaya penghormatan 

HAM mulai terlihat ketika Presiden Habibie memutuskan untuk memberikan opsi atau pilihan 

referendum dan melepaskan Timor Timur menjadi Negara otonom setelah sekian lama 

tuntutan kemerdekaan terjadi di wilayah ini , serta mendorong Pemilu demokratis pertama 

pada tahun 1999. Pada tahun ini juga, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM diberlakukan. UU 

inimenjelaskan dan menerjemahkan hak-hak apa saja yang dimiliki warga negara. Pada tahun 

berikutnya, disahkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberikan wadah 

bagi pengadilan HAM ad-hoc untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus 

Timor timur, Tanjung Priok, dan Abepura. 

 Di masa Orde Baru, Konsep Negara integralistik dengan Pancasila 

sebagai panduan hidupnya telah menjadi alat kontrol, pembatasan dan 

pengawasan bagi rakyat demi lancarnya pembangunan. Pancasila juga menjadi 

legitimasi militer untuk mempertahankan dwi-fungsi, dan yang paling utama 

mempertahankan kekuasan di tangan negara (sistem politik totaliter). 

 Pasca tahun 2000, negara kita   memiliki Presiden baru yang dipilih melalui proses pemilu 

pertama pasca reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada masa pemerintahannya, 

Gus Dur mengeluarkan Keppres No. 6 tahun 2000 untuk mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 

yang melarang semua kegiatan dan bentuk ekspresi terkait Tionghoa termasuk perayaan Imlek 

dan dan aksara Cina. Kemudian tahun 2001, Kementerian Agama mengeluarkan keputusan yang 

menyatakan bahwa Hari Raya Imlek sebagai hari raya [libur] nasional. Integrasi warga Tionghoa 

ini kemudian makin ditegaskan dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 

Upaya penghapusan diskriminasi etnis dan ras juga ditegaskan dengan disahkannya UU No. 40 

tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Berbagai aturan yang selama ini 

menghambat etnis Tionghoa seperti SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik negara kita  ) 

tidak lagi diperlukan dalam pengurusan berbagai ijin. Berbagai konvensi internasional tentang 

HAM diratifikasi oleh negara kita   termasuk 2 kovenan terpenting yaitu ICCPR, serta ICESCR. 

Otonomi daerah yang luas diterapkan hingga tingkat kabupaten dan Pemerintah pelan-pelan 

mengupayakan peluang agar kelompok marjinal dan minoritas bisa diperhatikan dan dilindungi 

hak-haknya.

 Di masa ini, penguatan kelembagaan negara merupakan prioritas utama. Berbagai lembaga 

quasi-negara seperti Ombudsman Republik negara kita  , Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan 

Korupsi, Komisi Kejaksaan, Komisi Penyiaran, Komisi Keterbukaan Informasi Publik, yaitu  

beberapa lembaga yang dibangun sebagai wadah yang bisa menjembatani partisipasi warga  

dalam pengawasan pembangunan dan menjaga akuntabilitas dan transparansi kepemerintahan. 

Secara legislasi dan regulasi, banyak muncul legislasi yang memberikan jaminan dan akses warga 

untuk mendapatkan haknya dan juga mendorong keterlibatan warga. Tapi di tengah berbagai 

perkembangan dan kemajuan ini , tidak dapat dipungkiri bahwa politik hukum yang terjadi 

masih menghasilkan pembangunan yang berdampak pada ketidaksetaraan dan ketidakadilan.


Fase awal pembentukan bangsa negara kita   dimulai pada tahun 1900-1945, yang 

menjadi fase nasionalisme negara kita   yang merupakan fase integrasi dari kerag-

aman (diversity) ke persatuan (unity) yang elemennya berakar sejak jaman Sriwi-

jaya dan Majapahit. Fase ini ditandai dengan  tiga kejadian yaitu, pertama yang 

disebut konsep “negara kita  ” pertama kali dalam Manifesto 1924, kedua  pengakuan 

pemuda-pemudi negara kita   untuk bertanah-air satu, berbangsa-satu dan berbaha-

sa-satu negara kita   melalui Sumpah Pemuda 1928, dan ketiga deklarasi 

kemerdekaan negara kita   17 Agustus 1945 sebagai kemenangan atas kolonialisasi. 

Yang menarik dari proses di fase ini yaitu  lahirnya Pancasila yang disebut 

sebagai Dasar Negara.

Fase kedua yaitu  antara tahun 1945-1950, masih 

menjadi fase perjuangan sebagai satu bangsa 

yang harus mempertahankan kemerdekaannya 

dari agresi Belanda dan dari tantangan internal. 

Pada fase ini sistem pemerintahan negara kita   beru-

bah dua kali dari Negara kesatuan menjadi Negara 

Federal dibawah Republik negara kita   Serikat 

(RIS).Namun bentuk negara ini  hanya bertahan 

tidak lebih dari dua tahun, dan negara kita   kembali 

menjadi Negara Kesatuan. Proses ini terjadi 

setelah politik lokal dan nasional banyak didomina-

si oleh politik berbasis etnisitas yang berwajahkan 

konflik keagamaan di Jawa Barat, Kalimantan, 

Sulawesi dan Maluku

DI negara kita  

1. 

2. 

Sejalan dengan visi modernisasi inilah maka “warga  terasing” dianggap 

sebagai tidak modern atau belum beradab dan seringkali disebut “belum 

beragama”. Tradisi lokal dianggap sebagai penghambat pembangunan sosial 

ekonomi. Namun tradisi lokal dimasukkan ke dalam kerangka pembangunan 

untuk melegitimasi pembangunan itu sendiri. Tradisi lokal juga kemudian 

dilepaskan dari latar belakang budaya menjadi sekedar ritual atau upacara. 

Bahkan Suharto memiliki idiom “agama pembangunan” dimana Hefner meng-

gambarkan bahwa religiusitas negara kita   terjadi di masa Orde Baru yang 

menekankan pada Ketuhanan dan  keyakinan  untuk mengganti festival  ritual 

a. 

b. 

Fase ketiga antara tahun 1950-1998. Fase ini bisa dilihat dari tiga periode:3.

Di masa ini, kesadaran identitas kelompok kian menguat. Sebagai contoh, 

kelompok mistis Jawa makin menyadari keyakinannya sebagai bentuk perlawa-

nan terhadap Islam modern. Sementara kelompok abangan yang sering diaso-

siasikan dengan komunis makin menyadari posisinya berlawanan dengan 

penguasa tanah dan priyayi. Adapun di dalam kelompok Islam pun terbelah 

dengan adanya denominasi yang berhasil menyatukan antara abangan dan 

priyayi modern, dan denominasi ini merupakan perlawanan terhadap kongre-

gasi Islam yang sudah ada.

Di kalangan penganut Aliran Kebatinan, pada tahun 1951, Wongsonegoro telah 

aktif mengorganisasikan kelompok-kelompok kebatinan dalam Panitia Penye-

lenggara Pertemuan Filsafat dan Kebatinan. Selain itu pengorganisasian juga 

dilakukan dalam partai politiknya, yaitu Partai negara kita   Raya (PIR) dengan 

mendatangi pelbagai sekte mistik sambil mengajak mereka untuk berorganisa-

si di bawah pengayomannya.

Di periode ini pula muncul PP No. 10 tahun 1959 tentang Larangan bagi Usaha 

Perdagangan Kecil dan Eceran yang bersifat Asing di luar Ibukota Daerah 

Swatantra Tingkat I dan II serta Karesidenan, yang berdampak pada makin 

terpinggirkannya warga Tionghoa negara kita  .

2 Niels Mulder. Mysiticism in Java: Ideology in Indoneisa. Kanisius, 1993. Pg. 20-25.

2

29 

yang “mahal atau mewah” dengan devosi yang sederhana dan dengan kontrol 

birokrasi yang lebih ketat pada agama-agama pinggiran (rural).

Pada periode ini juga terjadi peminggiran terhadap komunitas etnis Tionghoa 

secara lebih sistematis. Pilar kebudayaan Tionghoa benar-benar dibatasi, dan 

bahkan dihapus. Ketiga pilar itu yaitu  pers berbahasa Tionghoa, sekolah-se-

kolah menengah Tionghoa, dan  organisasi-organisasi etnik Tionghoa dihapus-

kan. Bahkan di tahun 1966, seluruh warga Tionghoa disarankan menggantikan 

namanya menjadi nama berlafal negara kita  .  Selain itu upaya stigmatisasi terha-

dap warga etnik Tionghoa telah membuat prasangka negatif terhadap kelom-

pok ini menguat dan dengan mudah, mereka menjadi target atau obyek yang 

bisa digunakan untuk mengontrol nasionalisme “pribumi”.

Periode ketiga setelah 1998. Upaya penghormatan HAM mulai terlihat ketika 

Presiden Habibie memutuskan untuk memberikan opsi atau pilihan referendum 

dan melepaskan Timor Timur menjadi Negara otonom setelah sekian lama 

tuntutan kemerdekaan terjadi di wilayah ini , serta mendorong Pemilu 

demokratis pertama pada tahun 1999. Pada tahun ini juga, UU No. 39 tahun 

1999 tentang HAM diberlakukan. Gus Dur mengeluarkan Keppres No. 6 tahun 

2000 untuk mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 yang melarang semua kegia-

tan dan bentuk ekspresi terkait Tionghoa termasuk perayaan Imlek dan dan 

aksara Cina. Kemudian tahun 2001, Kementerian Agama mengeluarkan keputu-

san yang menyatakan bahwaHari Raya Imlek sebagai hari raya [libur] nasional. 

Sejalan dengan keyakinan baru reformasi, berbagai konvensi internasional 

tentang HAM diratifikasi oleh negara kita   termasuk 2 kovenan terpenting yaitu 

KIHSP, serta KIHESB.

c. 


BAGIAN TIGA

KELOMPOK MINORITAS RAS, 

ETNIS, DAN AGAMA 

Bagian ini akan membahas kewajiban negara yang telah diwujudkan dalam upaya-upaya penghormatan, 

perlindungan, dan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas ras, etnis dan agama atau keyakinan. Pembahasan 

akan mengarah pada 4 (empat) tema yang meliputi, pertama Konsep Umum, Pengertian dan Cakupan Hak 

Kelompok Minoritas Ras, Etnis, dan Agama atau keyakinan. Selanjutnya dibahas Jaminan Penghormatan, 

Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak mereka melalui Peraturan  perundang-undangan dan melalui Program 

dan Kebijakan Pemerintah. Terakhir dibahas sejauh mana penikmatan Hak bagi Kelompok Minoritas Ras dan 

Etnis dalam Praktik Kehidupan Sehari-hari dan Berbagai Pelanggaran Hak yang Dialami.

 

Pada dasarnya tidak mungkin memisahkan antara kelompok ras, etnis dan agama atau keyakinan mengingat 

ketiganya kerapkali melekat pada satu kelompok. Demikian pula, Konvensi Internasional Penghapusan 

Diskriminasi Rasial memasukkan perlindungan bagi kategori Ras dan Etnis dalam satu Konvensi ini. Bentuk hak-

hak individu dari kelompok minoritas ras pada dasarnya merupakan hak asasi yang berlaku universal, dalam 

bentuk penikmatan hak-hak sipil dan politik (Sipol) dan hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Namun 

secara kelompok, minoritas ras dan etnis mempunyai hak-hak kolektif, khususnya kelompok minoritas yang 

juga dapat diidentifkasi sebagai warga  adat. Dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD, 

1965), istilah “Diskriminasi Ras” diartikan sebagai “segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, 

atau pengutamaan berdasar  ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau etnis (suku bangsa), yang 

mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau pelaksanaan, atas 

dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau 

bidang kehidupan warga  yang lain”

32  

33 

KELOMPOK MINORITAS RAS 

Konsep Umum dan Cakupan Hak 

Kelompok Minoritas Ras

 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, hak-hak minoritas ras dan etnis  secara 

eksplisit ditegaskan pada DUHAM, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk 

Diskriminasi Rasial (International Convention on Elimination of All Forms of Racial Discrimination) 

1965, Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on Rights of Child), Konvensi  Internasional 

tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), Konvensi 

Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, 

Social, and Cultural Rights), Konvensi  tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap 

Perempuan (Convention on Elimination of Discrimination Against Women), dan Deklarasi PBB 

tentang Hak-hak orang yang memiliki kebangsaan atau etnis, agama dan bahasa Minoritas 

1992 (The Declaration on Rights of Persons Belonging to national or Ethnic, Religious, and Linguistic 

Minorities, 1992), atau Konvensi dan Deklarasi internasional lain yang sudah diterima secara 

luas.  Hak-hak minoritas ras dan etnis berikut merupakan hak yang tidak terpisahkan dan saling 

berkaitan  yaitu:

1. Hak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan dan identitas  

kebangsaan atau etnis, budaya, agama, dan bahasa;

2. Hak untuk mengekspresikan budaya mereka sendiri, menganut dan menjalankan agama 

mereka sendiri serta menggunakan bahasa mereka sendiri secara sendiri-sendiri maupun 

di muka umum; 

3. Hak untuk menikmati dan  mengembangkan budaya dan bahasanya;

4. Hak untuk membangun dan memelihara sekolah, lembaga pelatihan dan pendidikan 

lainnya mereka sendiri, serta untuk mengajarkan dan mendapatkan pengajaran dalam 

bahasa mereka sendiri;

5. Hak untuk membentuk dan mengembangkan hubungan damai dengan anggota kelompok 

mereka sendiri dan orang-orang kelompok minoritas lainnya baik dalam suatu negara 

ataupun antar negara;

6. Hak untuk bebas dari pembedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi (diskriminasi) 

berdasar   ras, warna kulit, atau etnis, asal-usul kebangsaan, bahasa, agama, kelahiran, 

atau status lainnya, yang memiliki tujuan atau akibat  untuk menghalangi  penikmatan HAM 

dan kebebasan fundamental di segala bidang  dan di semua  tingkat pendidikan, pekerjaan, 

akses kepada layanan kesehatan, perumahan, dan pelayanan sosial;

7. Hak mendapatkan pengakuan sebagai individu yang setara di depan hukum, kesetaraan di 

depan peradilan, dan perlindungan hukum yang setara;

8. Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam budaya, agama, sosial, ekonomi dan 

kehidupan berwarga ;

34  

9. Hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan kebijakan yang berkenaan 

dengan kelompok mereka dan warga  di tingkat daerah, nasional, regional dan 

internasional;

10. Hak untuk berkumpul dan membentuk organisasi atau perkumpulan.

 Bentuk hak-hak individu dari kelompok minoritas ras pada dasarnya merupakan hak 

asasi yang berlaku universal, dalam bentuk penikmatan hak-hak sipil dan politik (Sipol) dan 

hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Namun secara kelompok, minoritas ras dan 

etnis mempunyai hak-hak kolektif, khususnya kelompok minoritas yang juga dapat diidentifkasi 

sebagai warga  adat. Dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD, 1965), istilah 

“Diskriminasi Ras” diartikan sebagai “segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau 

pengutamaan berdasar  ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau etnis (suku bangsa), 

yang mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau 

pelaksanaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam bidang politik, 

ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan warga  yang lain”. 37 

 Istilah “diskriminasi ras” diartikan sebagai “segala bentuk 

pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pengutamaan 

berdasar  ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan 

atau suku bangsa, yang mempunyai maksud atau dampak 

meniadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau 

pelaksanaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan 

kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya 

atau bidang kehidupan warga  yang lain” 

 Konvensi ini menyebut bahwa tindakan khusus bisa diambil untuk tujuan semata-mata 

menjamin kemajuan yang layak bagi kelompok ras atau etnis atau perorangan tertentu yang 

memerlukan perlindungan, seperti yang diperlukan untuk menjamin adanya kesamaan dalam hal 

menikmati kemudahan atau menggunakan hak dan kebebasan dasarnya. Hal itu  tentu saja tidak 

dapat dianggap sebagai diskriminasi ras, asalkan tindakan seperti itu tidak berakibat munculnya 

perlakuan istimewa bagi kelompok-kelompok ras yang berbeda, dan tindakan itu tidak dapat 

diteruskan setelah tujuan bagi mereka tercapai.  Selain itu Konvensi ini juga menghimbau Negara-

negara Pihak untuk mengutuk diskriminasi ras dan berkomitmen untuk menggunakan semua 

sumber daya yang memadai, untuk segera melakukan kebijakan penghapusan diskriminasi ras 

dalam segala bentuknya, dan mengembangkan pengertian di antara semua ras. Untuk mencapai 

tujuan ini, Negara pihak berkewajiban untuk:

a) Tidak melibatkan diri dalam tindakan atau praktik diskriminasi ras terhadap orang, kelompok 

orang atau lembaga, dan menjamin bahwa semua aparat dan lembaga pemerintah, baik 

nasional maupun daerah, harus bertindak sesuai dengan kewajiban ini; 

b) Tidak mensponsori, membela atau mendukung diskriminasi ras yang dilakukan oleh 

siapapun atau organisasi manapun; 

c) Melakukan tindakan-tindakan yang efektif untuk meninjau kebijakan-kebijakan Pemerintah, 

baik di tingkat nasional maupun daerah, dan mengubah, mencabut atau menghapuskan  

undang-undang atau peraturan yang berdampak menciptakan atau melestarikan 

diskriminasi ras di manapun; 

37 Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk DiskriminasiRasial [ICERD], International Convention on the 

Elimination of All Forms of Racial Discrimination. Disetujui dan dibuka bagi penandatanganan dan ratifikasi  oleh 

resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) pada 21 Desember 1965

35 

d) Melarang dan mengakhiri diskriminasi ras oleh perseorangan atau organisasi dengan 

cara-cara yang memadai, termasuk pembentukan undang-undang apabila keadaan 

membutuhkan; 

e) Mendorong, kalau perlu, organisasi dan gerakan multi ras yang terpadu serta bermacam 

cara lain untuk menghilangkan penghalang antar-ras, dan mencegah apapun yang 

cenderung memperkuat pemisahan ras; 

f) Bila keadaan memerlukan, harus mengambil tindakan-tindakan khusus dan konkret di 

bidang sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang lainnya untuk menjamin perkembangan 

serta perlindungan yang memadai bagi kelompok ras tertentu atau anggota kelompok 

ini , dengan tujuan menjamin mereka untuk menikmati hak dan kebebasan 

dasar secara setara dan sepenuhnya. Namun, tindakan-tindakan ini, juga tidak boleh 

mengakibatkan dipertahankannya hak yang berbeda dan terpisah bagi kelompok-kelompok 

ras yang berbeda setelah tujuan dari tindakan-tindakan itu tercapai.

 Keberadaan kelompok minoritas rasial di negara kita   mempunyai sejarah yang panjang sama 

panjangnya dengan umur Republik negara kita   sendiri. Namun keberadaan kelompok minoritas 

rasial ini  mengalami dinamika pasang surut seiring dengan dinamika perubahan politik 

dan demokratisasi di negara kita  . Pada masa Orde baru, keberadaan kelompok minoritas rasial 

mengalami titik nadir, selain mengalami pengakuan yang “diskriminatif”, berbagai kelompok 

minoritas rasial seperti Tionghoa, India, Papua dan lainnya mengalami berbagai diskriminasi 

negara. Perubahan politik yang terjadi pada tahun 1998 seiring dengan perkembangan 

demokratisasi negara kita  , keberadaan kelompok minoritas rasial ini  secara gradual 

mengalami perbaikan dan mendapatkan kembali berbagai penikmatannya. Secara kategorial, 

kelompok-kelompok minoritas rasial yang akan dibahas dalam tulisan ini meliputi 3 kelompok 

yaitu Tionghoa, etnis-agama seperti kelompok Sikh, Yahudi, Tao, dan lainnya, serta kelompok 

yang dalam UU Otonomi Khusus Papua sebagai orang-orang asli Papua.

Jaminan hak melalui 

Peraturan  perundang-undangan 

 Pasca reformasi yang diawali dengan sebuah kerusuhan bernuansa rasialisme kepada 

kelompok Tionghoa pada Mei 1998  memunculkan gerakan demokrasi dan HAM. Hal ini 

berimplikasi kepada pembaruan berbagai kebijakan yang diskriminatif kepada kelompok ras 

minoritas khususnya kelompok Tionghoa. Sejak pemerintahan beralih dari Soeharto kepada B.J. 

Habibie berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Republik negara kita   untuk menyelesaikan 

permasalahan-permasalahan kelompok minoritas ras di negara kita  . Sejak Mei 1998 sampai 

 Pasca reformasi yang diawali dengan sebuah kerusuhan bernuansa rasialisme 

kepada kelompok Tionghoa pada Mei 1998  memunculkan gerakan demokrasi dan 

HAM. Hal ini berimplikasi kepada pembaruan berbagai kebijakan yang diskriminatif 

kepada kelompok ras minoritas khususnya kelompok Tionghoa. Sejak pemerintahan 

beralih dari Soeharto kepada B.J. Habibie berbagai upaya dilakukan oleh 

Pemerintah Republik negara kita   untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan 

kelompok minoritas ras di negara kita  . Sejak Mei 1998 sampai dengan sekarang 

berbagai upaya pemulihan negara kepada pengakuan keberadaan dan identitas, 

promosi dan perlindungan, kesetaraan dan non-diskriminasi serta partisipasi 

kelompok minoritas ras berlangsung berangsur-angsur melalui pembaruan-

pembaruan konstitusi dan kebijakan lainnya. 

36  

dengan sekarang berbagai upaya pemulihan negara kepada pengakuan keberadaan dan identitas, 

promosi dan perlindungan, kesetaraan dan non-diskriminasi serta  partisipasi kelompok 

minoritas ras berlangsung berangsur-angsur melalui pembaruan-pembaruan konstitusi dan 

kebijakan lainnya. Secara konstitusional, Bangsa negara kita   mengalami momentum perubahan 

atau amandemen/ Konstitusi UUD 1945. Perubahan paling signifikan yang perlu dicatat yaitu  

terutama dalam perlindungan di bidang HAM. Adanya empat tahapan perubahan UUD 1945 

sejak 19 Oktober 1999 hingga 10 Agustus 2002 menghasilkan beberapa perubahan mendasar 

tentang perlindungan HAM dan  pengakuan atas hak-hak identitas kelompok minoritas rasial dan 

warga  hukum adat yaitu antara lain:

1. Syarat status kewarganegaraan Presiden dan Wakil Presiden.

 Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, dinyatakan bahwa “Presiden ialah orang 

negara kita   asli” yang berkonotasi rasialistik kemudian diamandemen menjadi “Calon Presiden 

dan calon Wakil Presiden harus warga negara negara kita   sejak kelahirannya dan tidak pernah 

menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati 

negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya 

sebagai Presiden dan Wakil Presiden” dengan perumusan yang lebih etis-konstitusional. 

Dengan perumusan amandemen ini , misalnya anak dari pasangan kelompok 

minoritas ras seperti peranakan Eropa, Arab, Tionghoa, India ataupun golongan  lainnya, 

yang sudah menjadi warga negara negara kita   sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima 

kewarganegaraan lain secara konstitusional mempunyai hak menjadi Presiden atau Wakil 

Presiden Republik negara kita  .

2. Pemaknaan kembali kewarganegaraan negara kita  . Penghapusan Penjelasan UUD 1945 

dalam proses amandemen membuka ruang pemaknaan  kembali Pasal 26 ayat (1) UUD 

1945 : “Yang menjadi warga Negara ialah orang-orang bangsa negara kita   asli dan orang-

orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Dalam 

Penjelasannya yang disebut orang-orang bangsa lain yaitu  misalnya orang peranakan 

Belanda, peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab, yang berkedudukan di negara kita  , 

mengakui negara kita   sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik 

negara kita  . Penjelasan ini  terkesan tidak adil terhadap kelompok minoritas rasial 

lainnya, yang seakan  diartikan bahwa peranakan dari bangsa lain ini  bukanlah 

orang-orang bangsa negara kita   asli. Penghapusan seluruh Penjelasan UUD 1945 termasuk 

juga penjelasan Pasal 26 ayat (1) membuka  perumusan kembali siapa yang disebut orang 

–orang bangsa negara kita   asli yaitu merujuk kepada sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 

6 ayat (1) yaitu warga negara negara kita   sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima 

kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.  Penghapusan Penjelasan Pasal 26 

ayat (1) juga membuka pengakuan kelompok minoritas rasial lainnya dalam pengertian 

yang lebih luas tidak hanya peranakan Eropa, Tionghoa dan Arab. Selanjutnya pengertian 

bangsa negara kita   asli kembali ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2  UU No.12 tahun 2006 

tentang Kewarganegaraan Republik negara kita   yaitu “Yang dimaksud dengan orang-orang 

bangsa negara kita   asli yaitu  orang negara kita   yang menjadi Warga Negara negara kita   sejak 

kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”.

3. Perubahan politik asimilasi kepada politik integrasi.

 Amandemen Pasal 32 ayat (1) dan (2) merupakan salah satu perubahan paling mendasar 

tentang politik kebangsaan negara kita   yang multikultur. Pasal 32 UUD 1945 sebelum 

amandemen menyatakan bahwa “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional negara kita  ”. 

Pasal ini terkesan sangat asimilatif. Bahwa berbagai kebudayaan warga  atau adat 

yang sangat beragam akan dileburkan dalam satu kebudayaan nasional yang tunggal. 

Adanya Pasal ini  dapat menjelaskan mengapa banyak bahasa dan budaya daerah 

yang hampir musnah. Sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 

mencatatkan negara kita   memiliki 1.340 suku bangsa yang memiliki budaya termasuk 

bahasa yang berbeda antara satu dengan yang lain. Namun penelitian yang dilakukan LIPI 

37 

menyebutkan di akhir abad 21 ini diperkirakan hanya 10 persen dari bahasa etnis yang masih 

bertahan. Selanjutnya pada amandemen UUD 45 Pasal 32 diubah menjadi : ayat  (1) Negara 

memajukan kebudayaan nasional negara kita   di tengah peradaban dunia dengan menjamin 

kebebasan warga  dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya 

dan ayat (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya 

nasional. Pasal 32 ayat (1) dan (2) merupakan upaya pengakuan negara atas identitas budaya 

berbagai kelompok warga  termasuk kelompok minoritas rasial sebagaimana yang 

juga dinyatakan dalam Pasal 28 huruf (i) ayat (3) UUD 1945. Amandemen/Perubahan pasal 

32 ayat 1 dan 2 ini menjadi landasan mendasar penghapusan segala bentuk diskriminasi 

rasial di negara kita   yang disebabkan oleh politik asimilasi (penyeragaman). Perubahan ini 

juga sesuai dengan salah satu prinsip pengakuan dan perlindungan hak minoritas  yaitu 

pemajuan dan perlindungan identitas kelompok minoritas dari politik asimilasi.

 Secara konstitusional, Bangsa negara kita   mengalami momentum 

perubahan atau amandemen/ Konstitusi UUD 1945. Perubahan paling 

signifikan yang perlu dicatat yaitu  terutama dalam perlindungan di bidang 

HAM. Adanya empat tahapan perubahan UUD 1945 sejak 19 Oktober 1999 

hingga 10 Agustus 2002 menghasilkan beberapa perubahan mendasar 

tentang perlindungan Hak Asasi Manusia dan  pengakuan atas hak-hak 

identitas kelompok minoritas rasial dan warga  hukum adat 

 Pada tahun 1999, negara kita   untuk pertama kalinya meratifikasi atau menjadi Negara 

Pihak dari Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (ICERD, 1965) melalui UU No. 29 tahun 

1999 dengan reservasi terhadap Pasal 22, yakni ketentuan penyelesaian melalui mekanisme 

International Court of Justice, pada  25 Mei 1999. Menindaklanjuti ratifikasi ini  pada tahun 2008 

Negara mengeluarkan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. 

Dikeluarkannya UU yang merupakan inisiatif warga  sipil ini  merupakan penjabaran 

dan pelaksanaan dari ratifikasi ICERD (1965). UU No.40 tahun 2008 merupakan UU pertama 

nasional yang melakukan pemidanaan terhadap tindakan diskriminasi sebagaimana diamanatkan 

dalam berbagai perjanjian internasional, termasuk ICERD. Disadari bahwa diskriminasi dalam 

konteks sosial kultural dapat terjadi di negara-negara, bahkan dengan pelembagaan HAM yang 

amat maju sekalipun, namun keberadaan instrumen hukum yang melindungi setiap orang dari 

tindak diskriminasi menjadi prasyarat yang penting.

Kelompok Ras Tionghoa

 Berkaitan dengan jaminan hak bagi kelompok ras Tionghoa, salah satu masalah paling 

krusial yang dihadapi di masa Orde Baru yaitu  keharusan bagi mereka untuk menunjukkan 

bukti kewarganegaraan negara kita  nya. Banyaknya keluhan kemudian memicu  pada tahun 

1996 Presiden mengeluarkan Keppres No. 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan 

Republik negara kita  . Keppres ini ditujukan untuk  memberikan penegasan mengenai status 

kewarganegaraan Republik negara kita   bagi istri atau anak yang belum berusia 18 tahun dari 

seseorang yang memperoleh kewarganegaraan negara kita   dengan cara pewarganegaraan 

Republik negara kita   berdasar  UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik 

negara kita  . 

 Selanjutnya pasca reformasi, di tengah tuntutan dan kecaman dunia internasional atas 

terjadinya kerusuhan bernuansa rasialisme Mei 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Inpres 

No. 26 tahun 1998 tentang Menghentikan pemakaian  Istilah Pribumi dan Non-Pribumi. Inpres 

ini berisi instruksi kepada Para Menteri, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen; 

38  

juga Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Kepala Daerah 

Tingkat I dan termasuk Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II untuk: (a) Menghentikan 

pemakaian  istilah pribumi dan Non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan 

kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan; 

(b) Memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh WNI dalam penyelenggaraan 

layanan pemerintahan, kewarga an maupun  pembangunan, dan meniadakan pembedaan 

dalam segala bentuk, sifat serta tingkatan kepada WNI baik atas dasar suku, agama, ras maupun 

asal-usul dalam penyelenggaraan layanan ini , dan; (c) Meninjau kembali dan menyesuaikan 

seluruh peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, dan kegiatan yang selama ini telah 

ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk antara lain dalam pemberian layanan perizinan usaha, 

keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan 

gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerja lainnya. Dalam rangka untuk mempercepat dan 

mempertegas pelaksanaan dari Keppres No. 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan 

Republik negara kita   dan Inpres No. 26  tahun 1998 tentang Menghentikan pemakaian  Istilah 

Pribumi dan Non-Pribumi, pada tahun 1999 Presiden B.J. Habibie kembali mengeluarkan Inpres 

No. 4 tahun 1999 tentang Melaksanakan Ketentuan Keppres No. 56 Tahun 1996 tentang Bukti 

Kewarganegaraan Republik negara kita   dan Inpres No. 26 tahun 1998.

 Setelah Pemilihan Umum dan pergantian kepemimpinan dari Presiden B.J. 

Habibie kepada Presiden Abdurrahman Wahid, pada 17 Januari 2000, Pemerintah 

mengeluarkan Keppres No. 6 tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 tahun 

1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Keppres yang baru 

ini menegaskan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan 

adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari HAM. 

Pencabutan Inpres No.14 tahun 1967 berarti juga membuka kembali pengakuan 

dan ekspresi budaya Tionghoa misalnya perayaan tahun baru Imlek, Capgomeh, 

tarian Barongsai, menggunakan bahasa mandarin secara lisan dan tulisan bahkan 

menggunakan kembali nama Tionghoanya. 

 Di tahun 2000, setelah Pemilihan Umum dan pergantian kepemimpinan dari Presiden B.J. 

Habibie kepada Presiden Abdurrahman Wahid, pada 17 Januari 2000, Pemerintah mengeluarkan 

Keppres No. 6 tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 tahun 1967 tentang Agama, 

Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Keppres yang baru ini menegaskan bahwa penyelenggaraan 

kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian tidak 

terpisahkan dari HAM. Pencabutan Inpres No.14 tahun 1967 berarti juga membuka kembali 

pengakuan dan ekspresi budaya Tionghoa misalnya perayaan tahun baru Imlek, Capgomeh, 

tarian Barongsai, menggunakan bahasa mandarin secara lisan dan tulisan bahkan menggunakan 

kembali nama Tionghoanya. Pencabutan Inpres 14 tahun 1967 juga membuka kembali pengakuan 

negara terhadap agama Konghucu dengan didasarkan kepada Penjelasan Pasal 1 UU No.1/

PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tentang Agama-

agama yang dipeluk oleh penduduk di negara kita   ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan 

KhongHuCu (Confusius). Catatan atas Penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 bahwa  ini tidak berarti 

bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di negara kita  . 

 

 Dalam perkembangannya, pada tahun 2004 identitas keagamaan Konghucu kemudian 

dipulihkan. Hal ini berarti  juga hak-hak komunitas pemeluk Konghucu terkait identitas 

kependudukan dan catatan sipil. Secara khusus PP No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama 

dan Pendidikan Keagamaan juga memberi kesempatan agar mata pelajaran agama Konghucu 

dapat diselenggarakan di jalur pendidikan formal. Pada 9 April 2002, Presiden Megawati Soekarno 

39 

Putri meresmikan hari tahun baru Imlek sebagai hari (libur) nasional melalui Keppres No. 19 

tahun 2002.

 UU No.40 tahun 2008 merupakan UU pertama nasional yang 

melakukan pemidanaan terhadap tindakan diskriminasi sebagaimana 

diamanatkan dalam berbagai perjanjian internasional, termasuk ICERD. 

Disadari bahwa diskriminasi dalam konteks sosial kultural dapat terjadi 

di negara-negara, bahkan dengan pelembagaan HAM yang amat maju 

sekalipun, namun keberadaan instrumen hukum yang melindungi setiap 

orang dari tindak diskriminasi menjadi prasyarat yang penting. 

 Banyak permasalahan diskriminasi terhadap identitas kewarganegaraan yang dialami 

oleh minoritas ras Tionghoa, terlebih akibat Pasal 26 UUD 1945 dan penjelasannya. Hal ini 

menimbulkan tuntutan perubahan konstitusional dan kebijakan-kebijakan di bawahnya. Pada 

tahun 2006, selanjutnya Negara mengeluarkan UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan 

Republik negara kita  . Peraturan yang baru ini secara prinsip meneruskan pemaknaan kembali 

tentang orang-orang bangsa negara kita   asli dan orang-orang bangsa lain dalam Pasal 26 

ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen dalam Penjelasan Pasal 2-nya. UU ini juga mengoreksi 

pengertian istilah “kewarganegaraan” dari UU lama  yaitu UU 42 tahun 1968 yang didasarkan 

pada penjelasan Pasal 26 ayat (1) sebelum amandemen. Dengan lahirnya UU 12 tahun 2006, 

minoritas ras Tionghoa dan minoritas lainnya yang sebelumnya dikategorikan sebagai bangsa 

lain (bukan negara kita   asli), menjadi orang negara kita   asli apabila kewarganegaraan negara kita  nya 

diperoleh sejak kelahiran dan belum pernah menerima kewarga-negaraan lain. Dengan prinsip 

ini , kebijakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik negara kita   (SBKRI) yang sebelumnya 

diwajibkan kepada minoritas Tionghoa dan sebagian minoritas India menjadi tidak berlaku secara 

hukum, terkecuali untuk mereka yang naturalisasi.

 Sesungguhnya dampak dari dikeluarkannya UU 12 tahun 2006 cukup besar, karena UU 

ini juga mengakhiri permasalahan dualisme hukum kewarganegaraan WNI non-Papua yang 

menggunakan UU No. 62 tahun 1958 (ius sanguinis) dan WNI Papua yang menggunakan UU No.3 tahun 

1946 (ius soli). Selain itu juga membuka prinsip kesetaraan bagi perempuan dalam keluarga yang 

sebelumnya didasarkan pada garis patrilineal (suami/laki-laki). Dengan demikian, anak-anak dari 

pasangan perkawinan campuran kewarganegaraan dapat diberikan hak kewarganegaraan ganda 

terbatas hingga usia 21 tahun. Mantan pelarian politik yang harus kehilangan kewarganegaraan 

Republik negara kita  nya di masa lalu juga dapat kembali menjadi warga negara negara kita   dengan 

prosedur yang sederhana, serta tenaga kerja negara kita   mendapatkan perlindungan maksimum 

dari kemungkinan menjadi stateless (tanpa kewarganegaraan). 

 Di tahun yang sama Negara juga mengeluarkan UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi 

Kependudukan (Adminduk). Di dalamnya ada  perubahan hukum Kewarganegaraan yang 

juga berkonsekuensi terhadap perubahan hukum administrasi kependudukan dan catatan sipil. 

UU ini hadir karena banyaknya permasalahan diskriminasi dan tuntutan kebutuhan akan regulasi 

yang bersifat nasional dan tidak segregatif. Walaupun nantinya UU No. 23 tahun 2006 ini  

diperbarui dengan UU No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (dan Catatan Sipil). 

UU Adminduk ini  secara hukum mencabut ordonansi (Indische Staatsregeling IS) tentang 

administrasi kependudukan dan catatan sipil yang didasarkan atas penggolongan kebangsaan, 

ras, dan agama yaitu : Eropa (Staatsblad 1849 No.25), Tionghoa dan Timur Asing (Staatsblad 1917 

No.130), Bumiputra /Non-Kristen (Staatsblad 1920 No.751), dan Bumiputra Kristen (Staatsblad 

1933 No.75). Lebih lanjut, pengakuan atas hak identitas kelompok dan budaya Tionghoa kembali 

ditegaskan dengan pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/Pres.

40  

Kab/6/1967 tentang Masalah Cina, yang di dalamnya mengganti istilah Tionghoa/Tiongkok dengan 

sebutan Cina melalui Keppres No. 12 tahun 2014 yang mengembalikan penyebutan kelompok 

minoritas Tionghoa. Terlepas dari kontroversi etimologi yang tepat, pemulihan istilah Tionghoa 

sesuai dengan prinsip pengakuan atas hak self-identification kelompok minoritas. 

 Masih terkait dengan jaminan hak bagi kelompok minoritas ras melalui peraturan 

perundang-undangan, Pelapor Khusus melihat bahwa banyaknya permasalahan diskriminasi 

kelompok minoritas ras dalam pelayanan administrasi kependudukan mendorong urgensi 

pembenahan pada instrumen hukum prosedural. Di samping itu juga perlu adanya transparansi 

dalam administrasi pelayanan publik. Lahirnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, 

UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta UU No. 6 Tahun 2011 tentang 

Keimigrasian, yang pada masa lalu sarat diwarnai permasalahan diskriminasi rasial membuat 

perubahan dan mendorong praktek-praktek transparansi dalam pelayanan dan administrasi 

publik. Instrumen-instrumen hukum ini juga berperan dalam praktek diskriminasi terhadap 

kelompok minoritas rasial. Bahkan UU baru ini  tersurat dicantumkan prinsip non-

diskriminasi. Sejak reformasi bahkan prinsip non-diskriminasi menjadi prinsip dan asas dalam 

setiap perumusan dan pembentukan perundang-undangan- sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kelompok Ras Papua

 Momentum reformasi juga memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran 

baru untuk menyelesaikan berbagai konflik di tanah Papua. Pada tahun 1999, MPR menetapkan 

perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana 

diamanatkan dalam TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 Bab IV 

huruf (g) angka 2. Selanjutnya, dalam TAP MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi 

Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, antara lain, dinyatakan pentingnya segera 

merealisasikan Otonomi Khusus melalui penetapan suatu UU otonomi khusus bagi Provinsi 

Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi warga . Hal ini merupakan langkah awal positif 

dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus langkah strategis 

untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi 

tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua. Pada l 21  November 2001, secara 

resmi Provinsi Papua memperoleh otonomi khusus berdasar  UU No. 21 tahun 2001 tentang 

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU ini kemudian diperbarui dengan UU No. 35 tahun 2008 

tentang Penetapan PERPU No. 1 tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 tahun 2001 

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi UU, yang di dalamnya memasukkan juga 

Provinsi Papua Barat.

 Dalam substansinya, otonomi khusus Papua yaitu  antara lain (a) mengatur kewenangan 

antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan 

ini  di yang dilakukan dengan kekhususan; (b) memberikan pengakuan dan penghormatan 

hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan 

(c)  mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri: partisipasi rakyat 

sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan 

pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan 

kaum perempuan; pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi 

kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada 

umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan 

berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi warga ; dan penyelenggaraan 

pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan  bertanggung jawab kepada 

41 

warga ; (d) melakukan pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan 

jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai 

representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.

 Dalam TAP MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi 

Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, antara lain, dinyatakan 

pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus melalui penetapan 

suatu UU otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan 

aspirasi warga . Hal ini merupakan langkah awal positif dalam rangka 

membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus langkah 

strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai 

upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah 

di Provinsi Papua. 

 Di tingkat wilayah sendiri, Provinsi Papua dan Papua Barat mempunyai kewenangan 

khusus sendiri dalam menentukan regulasi pelaksanaan otonomi khusus di daerahnya, antara 

lain: peran Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan lembaga representasi kultural orang 

asli Papua yang memiliki tugas dan wewenang tertentu untuk melindungi hak-hak Orang asli 

Papua. Untuk itu sebagai pemenuhan ketentuan Pasal 20 ayat 2 dan Pasal 23 ayat 2 UU No. 

21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, maka dibentuklah Perda Khusus 

(Perdasus) Provinsi Papua No. 4 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Majelis 

Rakyat Papua Provinsi Papua.  Selain itu, ada pula Perdasus No. 23 tahun 2008 yang mengatur 

hak ulayat warga  hukum adat dan atau hak perorangan warga warga  hukum adat 

atas tanah. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 /PUU-X/2012 tentang 

Uji Materi UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah Daerah yaitu  otoritas Negara 

yang berwenang untuk menetapkan warga  hukum adat sebagai subjek hukum. Kewenangan 

ini merupakan bentuk pendelegasian fungsi Negara untuk menetapkan warga  hukum adat 

akibat kekosongan hukum di level UU). 

42  

KELOMPOK

ETNIS TERBESAR

DI negara kita  *17

JAWA85.9JUTA

31.7JUTA

41.7%

SUNDA15.4%

5.6JUTAMINANGKABAU2.7%

6.8JUTAMADURA3.3%

7JUTAMELAYU3.4%

5.2JUTABETAWI2.5%

2.1JUTAMAKASSAR1.0%

5.2JUTABUGIS2.5%

3.5JUTABANJAR1.7%

2.7JUTASASAK1.3%

890RIBUACEH0.43%

762RIBUTORAJA0.37%

1.9JUTATIONGHOA0.9%

1.9JUTACIREBON0.9%

3.1JUTABALI1.5%

4.3JUTABANTEN2.1%

6.2JUTABATAK3.0%

* Catatan ini tidak mencantumkan kelompok etnis Dayak yang terdiri dari 

beragam sub-etnis dengan bahasa dan ciri fisik dan budaya yang berbeda-beda.

Data BPS tahun 2000

43 

Pelaksanaan Program-program Pemerintah 

 Secara umum tidak ada program-program yang ditujukan khusus dalam perlindungan 

hak-hak minoritas rasial, meskipun jelas permasalahan diskriminasi kelompok minoritas rasial 

yang banyak bersumber kepada diskriminasi dalam administrasi sipil dan publik. Selain itu 

pelayanan publik yang tidak transparan menumbuhsuburkan praktik transaksional pelayanan 

publik kepada kelompok minoritas rasial, khususnya kelompok Tionghoa. Itulah sebabnya maka 

program-program Pemerintah diarahkan kepada reformasi prosedural bagi pelayanan dan 

administrasi publik  yang transparan dan pembenahan aparatur birokrasi. Salah satu program 

yang tengah berjalan yaitu  Program KTP Elektronik dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) 

tunggal. Program ini merupakan salah satu amanat dari UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi 

Kependudukan yang dilaksanakan oleh Ditjen Administrasi Kependudukan Kemendagri sebagai 

bagian dari pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Program ini 

merupakan salah satu upaya negara untuk memperbaiki pelayanan adminduk dan catatan sipil, 

yang tujuannya selain masalah efisiensi juga untuk menutup celah  praktik-praktik transaksional 

dan diskriminasi yang dilakukan oleh aparatur negara yang memanfaatkan lemahnya posisi sosial 

politik kelompok minoritas rasial.  Digitalisasi identitas kewarganegaraan dan kependudukan 

juga akan memberikan validitas pengelolaan dan perlindungan data kependudukan dan 

kewarganegaraan yang lebih baik. 

 Selanjutnya Pemerintah juga menghapus persyaratan Surat Bukti Kewarganegaraan 

Republik negara kita   (SBKRI) dalam berbagai pelayanan publik. Sekalipun belum ada suatu 

peraturan yang memayunginya, beberapa instansi pemerintah secara nasional dan berbagai 

daerah mulai melakukan pembaruan atas berbagai prosedur dan persyaratan pelayanan 

publiknya dengan menghapuskan kewajiban SBKRI seperti Dinas Kependudukan dan Catatan 

Sipil ataupun di Keimigrasian. Sebagai contoh, pada 15 Maret 2013, Dirjen Imigrasi mengeluarkan 

Surat Edaran No. IMI.733-GR.01.01 tahun 2013 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik 

negara kita  . Surat Edaran ini pada intinya menegaskan bahwa dalam pengajuan permohonan paspor 

biasa, pemohon boleh melampirkan bukti kewarganegaraan sebagai identitas diri jika pemohon 

tidak dapat melampirkan akta kelahiran, akta perkawinan/surat nikah atau ijasah, tetapi petugas/

pegawai imigrasi tidak boleh meminta bukti kewarganegaraan sebagai persyaratan tambahan jika 

pemohon telah melampirkan akta kelahiran, akta perkawinan/surat nikah, atau ijasah. Beberapa 

kota seperti Surakarta ataupun Semarang bahkan mengeluarkan Instruksi Walikota untuk 

menghapuskan persyaratan SBKRI ini . Namun menjadi catatan, secara kasuistik beberapa 

instansi pemerintah baik nasional seperti Kantor Imigrasi maupun daerah bahkan swasta masih 

menerapkan kewajiban persyaratan SBKRI

 Akibat dari proses perjanjian dwi kewarganegaraan RI dengan RRT, ribuan dari mereka 

yang menyatakan memilih kewarganegaraan RRT berhasil difasilitasi untuk dipulangkan ke 

RRT, namun mereka yang memiliki status keimigrasian Exit Permit Only (EPO) selanjutnya dan 

tidak mendapat fasilitasi untuk keluar dari negara kita   terus menetap di negara kita   dan kelompok 

ini  kehilangan kewarganegaraannya. Mereka tidak diakui sebagai WNI, namun juga tidak 

diakui oleh RRT. Pasca UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Kementerian Hukum 

dan HAM bersama dengan Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil mengadakan program 

pemulihan status kewarganegaraan negara kita   dan pemutihan berbagai dokumen kependudukan 

dan catatan sipil. Dengan dukungan dari berbagai LSM nasional dan internasional seperti Plan 

International dan UNICEF, ribuan minoritas Tionghoa bersama dengan kelompok warga  

lainnya berhasil mendapatkan kembali kewarganegaraan negara kita  nya beserta dokumen 

kependudukan dan catatan sipilnya. Hal lainnya, pasca lahirnya UU No. 40 tahun 2008 tentang 

Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, masih banyak kasus yang bernuansa ujaran kebencian 

terhadap kelompok minoritas rasial, belum ada tindakan hukum yang dilakukan oleh Polri. Itulah 

44  

sebabnya maka pada tahun 2015, Kapolri mengeluarkan Surat Edaran No. SE/06/X/2015 tentang 

Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Sekalipun Surat Edaran ini menuai kontroversi, 

lahirnya Surat Edaran Kapolri ini  dapat dikategorikan sebagai program upaya negara 

terkhusus Polri dalam perlindungan kelompok minoritas rasial dari tindak ujaran kebencian atau 

hate speech, terkecuali dari pengaturan atas penanganan konteks pencemaran nama baik atau 

kritik kepada pejabat publik. 

 Di tingkat daerah, lebih banyak program yang dilakukan Pemerintah untuk Kelompok 

Ras/warga  Papua. Beberapa di antaranya yaitu  sebagai berikut: 

Pemerintah Kabupaten Jayapura menyelenggarakan Program Pemberdayaan Kampung (PPK). 

Program ini dilaksanakan dengan bertumpu pada peran aktif warga , sedangkan Pemerintah 

diharapkan berperan sebagai pendamping. PPK dilaksanakan dalam berbagai bentuk, salah 

satunya yaitu  PPK untuk komoditas kakao. Dengan PPK diharapkan produksi kakao akan 

meningkat sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus mempercepat 

pemerataan pendapatan. berdasar  penelitian yang dilakukan Kreuta (2010) pelaksanaan PPK 

di Kabupaten Jayapura cukup efektif meningkatkan pendapatan warga  yang ditunjukkan 

dengan adanya peningkatan kapasitas produksi kakao per rumah tangga, peningkatan luas 

tanam kakao per rumah tangga dan peningkatan rata-rata kontribusi kakao terhadap pendapatan 

rumah tangga.38

 Selain itu Pemerintah juga melakukan pembangunan pasar terintegrasi di Sentani – 

Jayapura, Papua. Pembangunan ini dicanangkan Presiden Jokowi sebagai pasar percontohan 

pertama di negara kita   yang tidak saja membangun infrastruktur fisik bangunan pasarnya, 

melainkan juga turut memberdayakan warga  asli Papua yang mendiami kampung-

kampung  di sekitar wilayah pasar. Diketahui bahwa di  sekitar wilayah Pasar Pharaa Sentani 

ini , secara administratif ada  34 kampung asli yang dihuni oleh warga warga  asli 

Papua. Setiap kampung dipimpin oleh seorang ondofolo atau ondoafi. Ondofolo/ondoafi yaitu  

kepala adat yang membawahi 5 kepala suku. Sedangkan tiap-tiap kepala suku membawahi 5 

mata keluarga (fam). Jadi bisa dikatakan bahwa ondofolo ini merupakan landlord, atau ‘raja’ dari 

suatu wilayah tertentu di tanah Papua. Pemberdayaan warga  ini memiliki konsep one village 

one product, sehingga tiap kampung akan memiliki satu keunggulan hasil produk alamnya dan 

dengan begitu tidak akan membuat pasar menjadi  kebanjiran satu produk pertanian saja. 

 Pada tahun 2006-2008 diprakarsai oleh ILO dibangun Program percontohan Pemberdayaan 

warga  Adat Papua (PIPE). Proyek ini  bekerja sama dengan warga  mitra di empat 

kabupaten yang dipilih pemerintah daerah sebagai lokasi percontohan, yaitu: Kabupaten Muara 

Tami, Kabupaten Kemtuk Gresi, Kabupaten Tanah Rubuh, dan Kabupaten). Program ini untuk 

membantu pembangunan provinsi Papua/Papua Barat, yang dimaksudkan untuk memperkuat 

kemandirian ekonomi warga  adat Papua serta mempromosikan hak-hak mereka. Program 

ini menyediakan layanan bantuan yang bersifat fasilitatif melalui kegiatan pengembangan 

keterampilan yang dapat membantu warga  adat dalam memikul tanggung jawab dan 

kepemimpinan yang lebih besar dalam proses pembangunan mereka sendiri serta dalam konteks 

dan kerangka Otsus. Program PIPE ini mencerminkan prioritas pembangunan pemerintah pusat, 

yang menekankan pada penciptaan lapangan pekerjaan sebagai upaya penting dalam mengurangi 

kemiskinan dan mendorong pembangunan lokal. Didanai pemerintah Jepang melalui UN Trust 

Fund for Human Security, proyek ini berupaya meningkatkan kapasitas warga  adat Papua 

untuk mengurangi kemiskinan di desa mereka serta mempromosikan kesetaraan jender dan 


memperkuat mekanisme pembangunan dan perdamaian tradisional,  bekerja sama dengan 

lembaga-lembaga pemerintah terkait serta penyedia layanan lainnya.39

Penikmatan Hak dan Pelanggaran HAM yang terjadi

 Sejauhmana jaminan hak dapat benar-benar dinikmati pada dasarnya dapat ditelusuri 

dari bagaimana kondisi kehidupan sehari-hari para penyandang hak. Selain itu, praktik-praktik 

pelanggaran HAM yang terjadi juga dapat menjadi indikator bahwa hak mereka belum sepenuhnya 

dipenuhi. Beberapa analisis terkait kondisi kehidupan kelompok minoritas ras berikut ini dapat 

menjadi bahan pijakan. 

 Pertama, berkaitan dengan Pengakuan Eksistensi dan Identitas. Hampir semua 

kelompok minoritas rasial di negara kita   merupakan komunitas yang keberadaannya secara 

sosiologis sangat lama di negara kita  . Bahkan beberapa komunitas minoritas ini  sudah 

berdiam di negara kita   (dahulu masih Nusantara/Hindia Belanda) sebelum kemerdekaan negara kita   

tahun 1945. Perwakilan kelompok minoritas Tionghoa, Arab dan  Eropa bahkan ikut dalam Badan 

Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita   (BPUPKI), suatu badan yang mempersiapkan 

kemerdekaan dan UUD 1945. Begitupun dengan kelompok minoritas Papua.  Munculnya Keppres 

No. 7 tahun 1971 tentang pemberlakuan UU No. 3 tahun 1946 tentang Kewarganegaraan Republik 

negara kita   (yang berasas ius soli) kepada penduduk di Papua Barat  menunjukan  adanya pengakuan 

serupa  kepada minoritas Papua. Namun pengakuan keberadaan ini  tidak serta merta 

berarti adanya pengakuan atas identitas (legal) dari kelompok minoritas rasial ini   Berbagai 

perubahan peraturan perundangan dan kebijakan khususnya dalam mendefinisikan kembali 

makna bangsa negara kita   asli dalam Pasal 26 ayat 1 dan Penjelasan Pasal 2 UU No.12 tahun 

2006 tentang Kewarganegaraan RI  serta UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi 

Provinsi Papua, membuka dan memulihkan kembali pengakuan atas keberadaan dan identitas 

terhadap kelompok-kelompok minoritas rasial seperti kelompok Tionghoa ataupun India, Arab, 

Eropa dan lainnya, juga Papua sebagai bagian dari bangsa negara kita   asli.  Pengakuan keberadaan 

dan identitas merupakan kenikmatan yang teramat penting terutama mereka yang pada masa 

lalu mengalami pelbagai perlakuan diskriminatif karena belum mendapatkan pengakuan yang 

layak dari negara. Bagi kelompok Tionghoa, misalnya, pengakuan dalam identitas kebangsaan 

negara kita  , juga berdampak kepada pemenuhan dan penikmatan hak sipil, politik, ekonomi, sosial 

dan budaya. 

 Kedua, Promosi dan Perlindungan Minoritas. Kelompok minoritas Tionghoa dengan 

kompleksitas permasalahan dwi kewarganegaraan pada tahun 1955 dan dikait-kaitkan dengan 

ideologi Komunisme dalam peristiwa 1965, merupakan sasaran utama kebijakan asimilasi. Selain 

permasalahan status kewarganegaraan negara kita   mereka dikontrol dengan SBKRI. Selain itu, 

karena diidentifikasi sebagai kelompok yang berafiliasi kepada RRT, maka segala kebudayaan, 

agama  dan bahasa wajib diasimilasi dengan kebudayaan, agama dan bahasa nasional. Sehingga 

pada saat itu muncul berbagai kebijakan antara lain soal ganti nama, pelarangan ekspresi 

kebudayaan Tionghoa di tempat publik, pelarangan agama Konghucu dan bahasa mandarin, 

bahkan dalam Badan Intelijen Negara (BIN) dibentuk unit khusus yang disebut Badan Koordinasi 

Masalah Cina (BKMC). Pada masa itu, sudah bukan menjadi rahasia, muncul ketakutan yang 

dialami oleh warga  Tionghoa untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Tionghoa 

(dh Cina). Sehingga dalam warga  Tionghoa muncul istilah “Kirno” (Mungkir Cino, yang 

artinya menyangkal sebagai Cina/Tionghoa) dan banyak di antara mereka yang berusaha 

menghitamkan kulitnya. Setelah 32 tahun, minoritas Tionghoa, selain mendapatkan pengakuan 


dan perlindungan atas keberadaan dan identitas  kebangsaan atau etnis, budaya, agama, dan 

bahasanya; juga  kembali mendapatkan hak untuk mengekspresikan budaya mereka sendiri. 

Tahun baru Imlek bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional (sebagai hari besar keagamaan 

Khonghucu). Berbagai media massa berbahasa Mandarin bermunculan seperti Metro Xinwen, 

Harian negara kita   dan berbagai puluhan media cetak di daerah maupun nasional. Khonghucu 

diakui sebagai salah satu agama dari 6 (enam) agama yang diakui negara, dan penganutnya 

kembali dapat menggunakan identitas Khonghucu dalam KTP ataupun pelayanan catatan sipil. 

Kelompok Tionghoa juga kembali dapat membangun dan mengembangkan lembaga pendidikan 

dengan budaya dan identitas ketionghoaannya seperti sekolah Pa Hoa, Pha Tsung, dan lainnya 

yang pada pasca tahun 1965 berbagai sekolah ini  ditutup dan assetnya diambil alih oleh 

negara. 

 Khusus terkait dengan Kelompok Minoritas Papua, Pemenuhan hak politik mereka 

diupayakan dengan sistem pemilihan umum yang berbeda dengan wilayah lainnya dengan 

memperhatikan kekhususan budaya dan kondisi geografis di tanah Papua. Putusan Mahkamah 

Konstitusi (MK) tentang sengketa hasil Pemilihan Presiden 2014 yang memutuskan bahwa sistem 

“Noken” dan “Ikat” dibenarkan sebagai  digunakan sebagai pengganti kotak suara, setelah 

sebelumnya Putusan MK Nomor 47-48/PHPU A-VI/2009 tentang Mekanisme pemakaian  Sistem 

Noken di Papua pada tanggal 9 Juni 2009 digunakan pada pemungutan suara Pilkada Kabupaten 

Yahokimo. Putusan MK ini  dapatlah dipandang sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan 

atas budaya dan kekhususan sistem tradisional warga  Papua. 

 Ketiga, Kesetaraan dan Non-Diskriminasi. Untuk konteks Tionghoa, pasca munculnya 

pengakuan negara atas keberadaan dan identitas berbagai kelompok minoritas rasial sebagai 

bagian dari apa yang disebut bangsa negara kita   asli, berdampak pada penghapusan berbagai 

peraturan perundangan yang diskriminatif seperti kebijakan SBKRI untuk kelompok Tionghoa, 

pembatasan (kuota) untuk masuk ke lembaga pendidikan negeri, pembatasan menjadi pegawai 

negeri sipil, Tentara Nasional negara kita   (TNI) ataupun  Kepolisian Republik negara kita   (Polri) 

ataupun partai politik. Hal ini membuka ruang akses dari kelompok Tionghoa pada berbagai 

bidang yang sebelumnya hanya terbatas pada bidang ekonomi termasuk dalam representasi 

partisipasi politik. Sayangnya upaya penghapusan diskriminasi masih dilakukan secara parsial, 

sehingga berbagai kelompok minoritas etnis-agama seperti kelompok Sikh, Yahudi, Tao dan 

lainnya, belum mendapatkan hak-haknya sebagaimana kelompok minoritas Tionghoa. 

 Keempat, Partisipasi Efektif dan Bermakna. Berbagai individu maupun kelompok 

Tionghoa mulai berpartisipasi secara aktif dalam berbagai aktivitas dan program budaya, agama, 

sosial, politik dan kehidupan warga , termasuk bidang ekonomi yang secara awal banyak 

digeluti oleh kelompok warga  Tionghoa. Berbagai organisasi kewarga an baik sebagai 

organisasi yang sifatnya eksklusif maupun inklusif dalam berbagai bidang didirikan oleh individu 

atau komunitas Tionghoa pasca 1998. Beberapa contohnya yaitu  Paguyuban Sosial Marga 

Tionghoa  negara kita   (PSMTI), Perhimpunan negara kita   Tionghoa (INTI) dan berbagai Perhimpunan 

Marga. Bahkan pada tahun 1998, beberapa individu dari kelompok Tionghoa sempat membentuk 

Partai Tionghoa (PARTI), kemudian Partai Bhinneka Tunggal Ika yang sempat ikut dalam Pemilihan 

Umum pada tahun 1999 dan 2004. Secara umum, organisasi-organisasi ini  memiliki misi 

advokasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan diskriminasi dan identitas kebangsaan 

kelompok Tionghoa. Sehingga dalam berbagai proses legislasi dan pembaruan kebijakan, 

kelompok-kelompok Tionghoa bersama berbagai kelompok lain dilibatkan secara aktif baik 

di tingkat daerah maupun nasional. Sejumlah individu anggota kelompok Tionghoa pun  mulai 

tertarik dan bergabung dalam Lembaga Pemerintah dan menjadi Pejabat Publik atau ikut dalam 

Pemilihan Umum. 

47 

 Jaminan hak-hak kelompok minoritas  tidak dapat sepenuhnya dicapai jika tidak ada 

penikmatan hak secara penuh dan masih banyaknya pelanggaran HAM yang tidak dapat ditangani 

oleh Negara.  Beberapa pengalaman di dalam konteks negara kita   untuk kelompok Tionghoa dan 

Papua menunjukkan bahwa jaminan ini  belum sepenuhnya ada. Beberapa di bawah ini dalam 

menjadi bahan analisis untuk memperbaiki kebijakan dan praktik di Negara dan aparaturnya. 

 Komite ICERD merekomendasikan agar Pemerintah RI memperkuat 

upaya untuk menjamin pelaksanaan praktis dari penghapusan SBKRI di 

semua wilayah, dan secara efektif melarang pemakaian nya oleh lembaga-

lembaga publik serta badan swasta seperti bank. Pemerintah juga harus 

mengadopsi program-program untuk meningkatkan kesadaran tentang 

larangan SBKRI dan membantu individu yang telah dibutuhkan untuk 

menghasilkan SBKRI dalam memperoleh ganti rugi. 

 Pertama, meskipun sudah banyak kemajuan dan reformasi di bidang regulasi dan 

kebijakan, belum cukup perlindungan yang dapat dinikmati oleh kelompok Tionghoa. Dalam 

realitas politik nasional dan daerah, kelompok Tionghoa masih dianggap sebagai anasir asing 

yang dalam berbagai ungkapan disebut Aseng (bukan Pribumi). Ungkapan-ungkapan ini  

dalam berbagai kasus di media sosial sudah berupa ungkapan kebencian bahkan provokasi 

untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok Tionghoa. Bahkan sekalipun sudah ada   

instrumen hukum yang berisi sanksi pidana atas ungkapan kebencian ini , belum ada 

upaya yang maksimal dari negara untuk mencegah ataupun melakukan tindakan hukum atas 

segala tindak rasialisme ini . Selain itu, dalam  penerimaan Tamtama, Bintara di TNI masih 

mempersyaratkan SBKRI yang diidentifikasi sebagai WNI keturunan WNA. Dalam penyelenggaraan 

administrasi kependudukan dan catatan sipil di beberapa daerah juga masih mempersyaratkan 

SBKRI kepada kelompok Tionghoa termasuk pihak-pihak swasta. 

 Sebagai contoh sebagaimana telah dilaporkan, pada 16 Mei 2014, seorang warga negara 

negara kita   etnis Tionghoa, Vincent, yang mengurus perpanjangan paspornya yang habis masa 

berlakunya ke Kantor Imigrasi Soekarno-Hatta, diminta persyaratan SBKRInya atau SBKRI 

ayahnya, padahal Vincent sudah melampirkan KTP, Akta Kelahiran dan Kartu Keluarganya40. 

kasus yang sama juga dialami Sunlie Thomas Alexander, yang pada 29 Desember 2015, yang 

diminta untuk menunjukkan SBKRInya pada saat akan mengurus paspor di Kantor Imigrasi Kelas 

I Yogyakarta. Padahal Sunlie sudah menunjukkan akta kelahirannya yang tertera sebagai Warga 

Negara negara kita  . Menurut Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Yogyakarta, Agus Soni Murdianto, Sunlie 

diminta SBKRI-nya karena nama Sunlie bukanlah nama asli Yogyakarta atau negara kita  . Contoh-

contoh ini  menunjukkan bahwa reformasi kebijakan terkait jaminan hak bagi minoritas 

Tionghoa masih belum diterapkan secara permanen dan merata di seluruh Instansi Negara. 

Itulah sebabnya dalam paragraf 20 Concluding Observation CERD/C/IND/CO/3 berkenaan dengan 

pelaksanaan ICERD di negara kita   Komite merekomendasikan agar Pemerintah RI memperkuat 

upaya untuk menjamin pelaksanaan praktis dari penghapusan SBKRI di semua wilayah, dan secara 

efektif melarang pemakaian nya oleh lembaga-lembaga publik serta badan swasta seperti bank. 

Pemerintah juga harus mengadopsi program-program untuk meningkatkan kesadaran tentang 

larangan SBKRI dan membantu individu yang telah dibutuhkan untuk menghasilkan SBKRI dalam 

memperoleh ganti rugi. Sayangnya, sampai hari ini kebijakan pelarangan tidak pernah dilakukan. 

Surutnya penerapan SBKRI justru terjadi karena tekanan politik sehingga permasalahan SBKRI 

tidak terselesaikan secara mendasar. Dikuatirkan tanpa penyelesaian yang mendasar melalui 

kebijakan pelarangan SBKRI, kebijakan diskriminatif ini  akan berulang di masa yang akan 

datang.


 Masih berkaitan dengan kelompok Tionghoa, ketidakmampuan ataupun keengganan 

aparat keamanan untuk melakukan pencegahan dan  penegakan hukum atas berbagai ungkapan 

kebencian bahkan kekerasan yang bernuansa kebencian rasial seperti dalam penyelesaian 

hukum peristiwa kerusuhan rasial Mei 1998.  Berbagai temuan, baik itu berasal dari investigasi 

NGO, jurnalisme atau reportase media massa, hingga temuan investigasi independen yang 

dibentuk negara menggambarkan bagaimana diujung periode Orde Baru (sesaat sebelum 

Soeharto mengundurkan diri), 13-15 Mei 1998 terjadi sebuah kerusuhan massal di berbagai 

kota besar di negara kita  ; Jakarta, Medan, Surabaya, Palembang, Solo, dan Lampung. Di tengah-

tengah kerusuhan massal ini  terjadi tindak kekerasan terhadap etnis Tionghoa di negara kita   

yang terjadi secara sengaja, terencana, ada  pola, sistematis, dan diduga merupakan 

hasil pertarungan politik dari elit untuk memperebutkan kekuasaan. Namun hingga hari ini 

temuan TGPF yang kemudian dikuatkan dengan penyelidikan Komnas HAM ini  t