Tampilkan postingan dengan label Hak minoritas 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hak minoritas 1. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Oktober 2025

Hak minoritas 1


 


DAFTAR SINGKATAN

Adminduk : Administrasi Kependudukan

ASODKB : Asistensi Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat 

BAKORPAKEM : Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan warga  

BIN : Badan Intelejen Negara

BKMC : Badan Koordinasi Masalah Cina 

BKOK : Badan Kerjasama Organisasi-organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan  

  Yang Maha Esa

BPS : Badan Pusat Statistik

BPUPKI : Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita   

BUMD : Badan Usaha Milik Daerah

BUMN : Badan Usaha Milik Nasional

CAT : Convention  Againts Torture

CEDAW : Convention on the Elimination Discrimination Against Women

CMARs : Center for Marginalized Communities Studies

Conefo : Conference of the New Emerging Forces

CPNS : Calon Pegawai Negeri Sipil

CRC : Convention on the Rights of Child

DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta 

DPO : Disabled People’s Organisation

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DUHAM : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Depdikbud  : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 

EPO : Exit Permit Only

FKUB : Forum Kerukunan Umat Beragama 

FKWI : Forum Komunikasi Waria negara kita   

FPI : Front Pembela Islam

FPIC : Free, Prior, informedConsent

GBHN : Garis-garis Besar Haluan Negara

Golkar : Golongan Karya

GWL : Gay, Waria, dan Laki-laki yang Berhubungan dengan laki-Laki

HAM : Hak Asasi Manusia

HGU : Hak Guna Usaha

HIV AIDS : Human Immunodeficiency Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome

Hiwad : Himpunan Wadam Djakarta 

HPK : Himpunan Penghayat Kepercayaan

HRWG : Human Right Working Group

HWDI : Himpunan Wanita Disabilitas negara kita   

ICCPR : International Covenant on Civil and Political Rights 

ICERD : International Convention on The Elimination of all forms of Racial   

  Discrimination

ICESCR : International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

UPAYA NEGARA MENJAMIN HAK-HAK KELOMPOK MINORITAS 

DI viii

ICMW : International Convention on Protection of Migrant Worrkers and their   

  Families

ICRPD : International Convention on the Rights of People with Disabilities

ICTR : International Tribunal for Rwanda

ICTY : International Tribunal for Former Yugoslavia

ILO : Internasional Labour Organization

INTI : Perhimpunan negara kita   Tionghoa 

IPM : Indeks Pembangunan Nasional

Inpres : Instruksi Presiden 

Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah

JBFT : Jakarta Barrier Free-Tourism

KAT : Komunitas Adat Terpencil

KIS : Kartu negara kita   Sehat

KLGI : Kongres Lesbian dan Gay negara kita   

KHA : Konvensi Hak Anak

KIHESB : Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

KIHPD : Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas 

KIHSP : Konvensi Internasional Hak Sipil Politik 

KPAN : Komisi Penanggulangan Aids Nasional

KPAI : Komisi Perlindungan Anak negara kita  

KRC : Knowledge Resource Center

KTP : Kantu Tanda Penduduk

KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Kemenag : Kementrian Agama

Kemendagri : Kementrian Dalam Negeri

Kemenhukham : Kementrian Hukum dan HAM

Kemenkes : Kementrian Kesehatan

Kemensos : Kementrian Sosial

Kesbangpol : Kesatuan Bangsa dan Politik

Komnas HAM : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Keppres : Keputusan Presiden 

LBB : Liga Bangsa-Bangsa

LBH : Lembaga Bantuan Hukum

LBK : Loka Bina Karya

LGBTI : Lesbian, Gay, Bisexual, Trasgender, and Intersexual

LSM : Lembaga Swadaya warga 

MDT : Multy Drug Therapy

MIFEE : Merauke Intergrated Food and Energy Estate

MK : Mahkamah Konstitusi

MLKI : Majelis Luhur Kepercayaan negara kita   

MoU : Memorandum of Understanding

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

MRP : Majelis Rakyat Papua

MUI : Majelis Ulama negara kita  

Nasakom : Nasionalis, Agama, Komunis

Nekolim : Neo-Kolonialisme

NGO : Non Government Organisation

NHRI : National Human Rights Institution

NIK : Nomor Induk Kependudukan

OAP : Orang Asli Papua

ODHA : Orang dengan HIV/AIDS

ix 

OHIDA : Orang yang Hidup dengan AIDS

ORI : Ombudsman Republik negara kita  

P4 : Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila

PAKEM : Pengawas Aliran Kepercayaan warga  

PARTI : Partai Tionghoa

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PBM : Peraturan Bersama Menteri

PDAM : Perusahaan Daerah Air Minum

PGY : Persaudaraan Gay Yogyakarta

PIPE : Papua Indigenous People Empowerment

PIR : Partai negara kita   Raya

PMKS : Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

PKI : Partai Komunis negara kita  

PNPS : Penetapan Presiden

PNS : Pegawai Negeri Sipil

Polri : Kepolisian Republik negara kita  

PP : Peraturan Pemerintah

PPK : Program Pemberdayaan Kampung

PSLB : Pendidikan Sekolah Luar Biasa

PSMTI : Paguyuban Sosial Marga Tionghoa  negara kita  

Perda : Peraturan Daerah

Perdasus : Peraturan daerah Khususn

Pergub : Peraturan Gubernur

Perkab : Peraturan Kabupaten

Permen : Peraturan Menteri

Permen ATR : Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang

Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri

Permensos : Peraturan Menteri Sosial

Perpres : Peraturan Presiden 

Perpu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Perwali : Peraturan Walikota

RANHAM : Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia

RBM : Rehabilitasi Berbasis Keluarga/warga 

RI : Republik negara kita  

RIS : Republik negara kita   Serikat

RRI : Radio Republik negara kita  

RRT : Republik Rakyat Tiongkok

SARA : Suku Agama Ras Antar Golongan

Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja

SBKRI : Surat Bukti Kewarganegaraan Republik negara kita  

SDA : Sumber Daya Alam

SIAK : Sistem Informasi Administrasi Kependudukan

SK : Surat Keputusan

SKPD : Satuan Kerja Pemerintah Daerah

SKT : Surat Keterangan Terdaftar 

SNMPTN : Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri

SOGI : Sexual Orientation and Gender Identity 

TAP : Ketetapan

TGPF : Tim Gabungan Pencari Fakta

TNI : Tentara Nasional negara kita  

TOGA : Tokoh Agama

x  

TOMAS : Tokoh warga 

TPS : Tempat Pemungutan Suara

TPU : Tempat Pemakaman Umum

UEP/KUBE : Usaha Ekonomi Produktif/Kelompok Usaha Bersama

UN : United Nations

UNDP : United Nations Development Programme

UNDRIP : United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples

UNESCO : United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization

UNICEF : United Nations International Children’s Emergency Fund

UPSK : Unit Pelayanan Sosial Keliling 

UPT : Unit Pelaksana Teknis

UU : Undang-Undang

UUD : Undang-Undang Dasar

WNI : Warga Negara negara kita  






Pada tahun 2012, Komisi Nasional  Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Komnas HAM) menganggap masalah 

kelompok minoritas perlu mendapat perhatian lebih serius mengingat kelompok ini  rentan mengalami 

berbagai pelanggaran HAM. Ketiadaan kebijakan secara struktural telah melemahkan status keberadaan 

mereka dan kalaupunpun ada kebijakan belum sepenuhnya mampu menjamin hak-hak mereka. Di dalam 

keorganisasian Komnas HAM kemudian dibentuk Pelapor khusus untuk hak-hak minoritas (Selanjutnya disebut 

Pelapor Khusus). Mekanisme Pelapor Khusus, merupakan mekanisme yang menjadi sistem kerja internal di 

Komnas HAM. Di dalam mekanisme ini suatu masalah yang bersifat khusus dapat didalami secara sistematis 

dan menyeluruh berbagai dimensinya. Selain itu, mekanisme ini juga memungkinkan untuk dilakukannya 

pemetaan korban-korbannya, aktor pelaku, bentuk-bentuk pelanggaran yang dialami, akar masalah dan 

konteks sejarahnya hingga menemukan jalan keluar penyelesaiannya secara lebih komprehensif. 

Di Komnas HAM sendiri, diskusi tentang konsep minoritas masih terus berkembang dan belum memiliki definisi 

final. Namun, sebagai sebuah mekanisme, Pelapor Khusus untuk hak-hak minoritas memandang perlu adanya 

definisi dan cakupan kerja yang jelas agar dapat ditelusuri model penyelesaian yang tepat. Langkah awal yang 

dilakukan dalam mengemban misi ini  yaitu  dengan memetakan masalah yang dialami. Selanjutnya 

dilakukan pengkajian sejauh mana Negara menjalankan kewajibannya dalam penghormatan, perlindungan 

dan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas. Pelapor Khusus juga mendorong agar terbangun pemahaman 

bersama tentang batasan ‘minoritas’, termasuk siapa saja yang dianggap sebagai kelompok minoritas dan apa 

saja jaminan hak-hak bagi kelompok minoritas berdasar  ketentuan hukum HAM nasional dan internasional.  

Laporan ini hendak memotret persoalan hak-hak kelompok minoritas secara lebih terperinci berdasar  

konteks sejarah, pengalaman, dan kerentanan yang dialami. Ruang lingkup kelompok minoritas yang ditawarkan 

untuk konteks negara kita   yaitu : Kelompok Minoritas Ras, Kelompok Minoritas Etnis dan Kelompok warga  

Adat , Kelompok Minoritas Agama dan Keyakinan, Kelompok Penyandang Disabilitas, Kelompok Minoritas 

berdasar  identitas jender dan orientasi seksual 

Untuk membahas kelima kelompok minoritas ini  Komnas HAM melakukan kajian komprehensif mengenai 

upaya Negara dalam melakukan kewajibannya terkait jaminan hak-hak kelompok minoritas. Dalam melakukan 

kajiannya, Pelapor Khusus tidak menggunakan definisi, namun membuat cakupan atau aspek minoritas serta 

situasi dan bentuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas. Misalnya, 

pada kelompok minoritas keagamaan, yang mencakup kelompok-kelompok minoritas pada agama, bukan 

hanya mencakup aliran-aliran minoritas dalam agama-agama yang resmi‘diakui’. Penelitian ini  juga 

mendasarkan pada pembacaan situasi perlindungan kelompok-kelompok minoritas keagamaan di negara kita   

yang dikaitkan dengan kewajiban negara untuk memberikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM 

bagi seluruh warga negara, termasuk para anggota kelompok minoritas keagamaan. Di samping itu sejumlah 

instrumen HAM internasional, regulasi nasional serta berbagai kebijakan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah 

Daerah dijadikan rujukan untuk menilai sejauh mana situasi perlindungan HAM kepada mereka. 

 

negara kita   dikenal sebagai negara multi ras, etnis, agama, dan bahasa. Namun demikian, kelompok-kelompok yang jumlahnya lebih sedikit, dari segi ras, etnis, bahasa, agama, maupun identitas lainnya, dibandingkan dengan mayoritas ini  kerap mengalami diskriminasi, 

stigmatisasi, kekerasan, kriminalisasi hingga pemenjaraan. Mereka mengalami berbagai 

pelanggaran hak asasi manusia (selanjutnya disebut pelanggaran HAM), baik pelanggaran hak-

hak sipil dan politik maupun pelanggaran hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Dampak dari 

pelanggaran-pelanggaran ini  sangat luas dan kemudian mempunyai efek berantai terhadap 

kehidupan mereka, termasuk eksklusi sosial. 

 Pada tahun 2012, Komisi Nasional  Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Komnas HAM) 

menganggap masalah kelompok minoritas perlu mendapat perhatian lebih serius mengingat 

kelompok ini  rentan mengalami berbagai pelanggaran HAM. Ketiadaan kebijakan secara 

struktural telah melemahkan status keberadaan mereka dan kalaupun ada kebijakan belum 

sepenuhnya mampu menjamin hak-hak mereka. 

 Di dalam keorganisasian Komnas HAM kemudian dibentuk pelapor khusus untuk hak-

hak minoritas (selanjutnya disebut Pelapor Khusus). Mekanisme Pelapor Khusus, merupakan 

mekanisme yang menjadi sistem kerja internal di Komnas HAM. Di dalam mekanisme ini suatu 

masalah yang bersifat khusus dapat didalami secara sistematis dan menyeluruh berbagai 

dimensinya. Selain itu, mekanisme ini juga memungkinkan untuk dilakukannya pemetaan 

korban-korbannya, aktor pelaku, bentuk-bentuk pelanggaran yang dialami, akar masalah dan 

konteks sejarahnya hingga menemukan jalan keluar penyelesaiannya secara lebih komprehensif. 

 Di Komnas HAM sendiri, diskusi tentang konsep minoritas masih terus berkembang dan 

belum memiliki definisi final. Namun, sebagai sebuah mekanisme, Pelapor Khusus untuk hak-hak 

minoritas memandang perlu adanya definisi dan cakupan kerja yang jelas agar dapat ditelusuri 

model penyelesaian yang tepat. Langkah awal yang dilakukan dalam mengemban misi ini  

yaitu  dengan memetakan masalah yang dialami. Selanjutnya dilakukan pengkajian sejauh mana 

Negara menjalankan kewajibannya dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-

hak kelompok minoritas. Pelapor Khusus juga mendorong agar terbangun pemahaman bersama 

tentang batasan ‘minoritas’, termasuk siapa saja yang dianggap sebagai kelompok minoritas dan 

apa saja jaminan hak-hak bagi kelompok minoritas berdasar  ketentuan hukum HAM nasional 

dan internasional

 Memang hingga kini belum ada kesepakatan internasional terkait ‘minoritas’ yang bersifat 

mengikat. Hanya sering ditekankan bahwa keberadaan minoritas yaitu  terkait dengan fakta-

fakta yang ada dan definisi ini  harus memasukkan faktor-faktor objektif, seperti keberadaan 

4  

etnisitas, bahasa atau agama yang sama. Selain itu juga harus mempertimbangkan faktor-faktor 

subjektif dimana orang-orang ini  harus mengidentifikasikan diri mereka sebagai anggota 

dari kelompok minoritas ini . Kesulitan dalam membangun definisi yang dapat diterima 

secara luas itu terletak pada keragaman situasi dimana kelompok minoritas tinggal. Beberapa 

dari mereka hidup bersama di satu wilayah, yang terpisah dari bagian penduduk mayoritas. 

Tapi yang lainnya tersebar-sebar di berbagai tempat. Beberapa kelompok minoritas memiliki  

identitas kolektif yang kuat dan dicatat sejarah, sedangkan yang lainnya  hanya mempertahankan 

sebagian warisan bersama mereka.

 Meskipun hak-hak kelompok ini telah diakui sejak masa Perang Dunia I, namun jaminannya 

baru dinyatakan dalam Deklarasi UNESCO menentang Diskriminasi dalam pendidikan pada tahun 

1960. Dalam Instrumen HAM Internasional yang lebih mengikat, hak-hak kelompok minoritas 

dijamin oleh Pasal 27 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR,1966), yang kemudian 

juga dicantumkan dalam Konvensi Hak Anak (KHA,1989). Dalam perkembangannya Deklarasi 

mengenai Hak-hak Minoritas baru dikeluarkan pada tahun 1992. Pasal 1 dari Deklarasi memberi 

pengertian minoritas berdasar  identitas kebangsaan atau etnis, budaya, agama dan bahasa, 

dan membebankan kewajiban pada Negara untuk melindungi keberadaan mereka. 

 Di negara kita  , berbagai keragaman pengertian juga terjadi. Di tingkat pemerintahan, 

beberapa kementerian yang tugas dan fungsinya terkait perlindungan kelompok minoritas 

telah melakukan berbagai upaya yang tertuang dalam berbagai kebijakan, baik berupa legislasi 

maupun program kerja. Beberapa Kementerian yang relevan, antara lain, Kementerian Sosial 

(Kemensos), Kementerian Kesehatan (Kemenkes),  Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) 

dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Selain itu dalam tugasnya sebagai 

aparatur penegak hukum, Kepolisian Republik negara kita   (Polri), juga memuat kebijakan terkait 

perlindungan bagi kelompok minoritas dalam peraturan internal mereka. Hanya saja upaya-

upaya Institusi ini  dalam menjalankan kewajibannya belum maksimal mengingat masing-

masing kementerian atau lembaga ini memiliki perbedaan target sasaran. Selain itu mereka 

juga mengalami kesulitan merumuskan kebijakan karena perbedaan definisi dan/atau cakupan 

minoritas itu sendiri. Itulah sebabnya maka dipandang penting kebutuhan membuat definisi 

bersama yang bisa menjadi pijakan apa yang disebut ‘minoritas’. 

 Pelapor Khusus beranggapan mengingat tidak mudah untuk membuat definisi ini  

dan juga tidak sederhana resiko yang mungkin terjadi jika definisi dibuat secara sembarang, 

maka  penyusunan definisi ini  sekurang-kurangnya dapat menyebutkan unsur-unsurnya 

saja. Kata-kata kunci yang harus dipertimbangkan yaitu : “secara leksikal, istilah ‘minoritas’ dapat 

dipahami secara numerik yaitu sebagai populasi yang jumlahnya lebih sedikit dari sebuah jumlah 

populasi yang lebih besar secara keseluruhan (di tingkat nasional). Tapi minoritas juga dapat dilihat 

dalam hal pengaruh, yaitu tidak dominan, dan mendapat perlakuan yang merugikan atau berada 

dalam situasi yang tidak diuntungkan dalam kehidupan berwarga  dan bernegara.”

 Tulisan ini hendak memotret persoalan hak-hak kelompok minoritas secara lebih 

terperinci berdasar  konteks sejarah, pengalaman, dan kerentanan yang dialami. Ruang 

lingkup kelompok minoritas yang ditawarkan untuk konteks negara kita   yaitu :

a. Kelompok Minoritas Ras 

b. Kelompok Minoritas Etnis 

c. Kelompok Minoritas Agama dan Keyakinan

d. Kelompok Penyandang Disabilitas

e. Kelompok Minoritas berdasar  Identitas Jender dan Orientasi Seksual 

 Untuk membahas kelima kelompok minoritas ini  Komnas HAM melakukan kajian 

komprehensif mengenai upaya Negara dalam melakukan kewajibannya terkait jaminan hak-

hak kelompok minoritas. Dalam melakukan kajiannya, Pelapor Khusus tidak menggunakan 

definisi, namun membuat cakupan atau aspek minoritas serta situasi dan bentuk penghormatan, 

pemenuhan dan perlindungan hak-hak kelompok minoritas. Misalnya, pada kelompok minoritas 

keagamaan, yang mencakup kelompok-kelompok minoritas pada agama, bukan hanya mencakup 

aliran-aliran minoritas dalam agama-agama yang resmi‘diakui’. Penelitian ini  juga 

mendasarkan pada pembacaan situasi perlindungan kelompok-kelompok minoritas keagamaan 

di negara kita   yang dikaitkan dengan kewajiban negara untuk memberikan penghormatan, 

perlindungan dan pemenuhan HAM bagi seluruh warga negara, termasuk para anggota kelompok 

minoritas keagamaan.1 Di samping itu sejumlah instrumen HAM internasional, regulasi nasional 

serta berbagai kebijakan Pemerintah Nasional maupun Pemerintah Daerah dijadikan rujukan 

untuk menilai sejauh mana situasi perlindungan HAM kepada mereka. 

 Pada dasarnya peran Pelapor Khusus yaitu  untuk menegaskan secara lebih 

komprehensif peran dari masing-masing Subkomisi di Komnas HAM berdasar  mandat UU No 

39 tahun 1999, yang terdiri dari Subkomisi Pengkajian dan Penelitian, Subkomisi Pendidikan dan 

Penyuluhan, Subkomisi Pemantauan, dan Subkomisi Mediasi. Di bidang pengawasan, mandat ini 

secara eksplisit dijelaskan dalam UU No.40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras 

dan Etnis yang menyebutkan bahwa Komnas HAM berperan proaktif untuk melakukan pencarian 

data dan peninjauan lapangan terkait dugaan diskriminasi ras dan etnis. Berkaitan dengan tata 

cara pelaksanaan pengawasan, Komnas HAM dapat menyiapkan tim untuk mencari kelompok 

minoritas ras dan etnis berada dan mengenali tindakan diskriminatif yang mereka hadapi. 

 Di bidang pemantauan, Komnas HAM dapat menjadi bagian yang menopang bidang 

pengawasan untuk melakukan pemantauan di lapangan. Selain itu, kerja-kerja pemantauan 

harus dapat menopang kerja Pelapor Khusus dalam menangani laporan-laporan warga  

terkait diskriminasi dan dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada kelompok minoritas. Di 

bidang pendidikan dan penyuluhan, Komnas HAM perlu melakukan kampanye yang sistematis. 

Upaya ini  dilakukan melalui sosialisasi UU No.40 tahun 2008 secara luas ke berbagai 

lembaga-lembaga pemerintah, khususnya pemerintahan daerah di tingkat provinsi, kabupaten 

dan di jajaran kepolisian. Di bidang penelitian dan pengkajian, Pelapor Khusus melakukan  

penelitian dan kajian terhadap proses otonomi khusus yang kini berlangsung di Aceh dan Papua 

dan implikasinya bagi pemenuhan hak minoritas dan kemajuan demokrasi. Penelitian seperti ini 

diperlukan untuk melihat berbagai proses politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berlangsung 

di dua wilayah ini  dikaitkan dengan upaya penghormatan hak-hak kelompok minoritas dan 

pemenuhan hak-hak asasi lainnya secara umum.

 

a.

b.

c.

d.

e.

MINORITAS;

Mengingat tidak mudah untuk membuat membuat 

definisi ini  dan juga tidak sederhana resiko yang 

mungkin terjadi jika definisi dibuat secara sembarang, 

maka  penyusunan definisi ini  sekurang-kurangnya 

dapat menyebutkan unsur–unsurnya saja, dengan 

mempertimbangkan hal-hal utama yang menjadi kata 

kuncinya, antara lain:

Tulisan ini hendak memotret persoalan hak-hak kelompok minoritas secara lebih 

terperinci berdasar  konteks sejarah, pengalaman, dan kerentanan yang dialami. 

Ruang lingkup kelompok minoritas yang ditawarkan untuk konteks negara kita   

yaitu :

Secara leksikal, istilah ‘minoritas’ dapat 

dipahami sebagai jumlah (populasi) yang 

lebih sedikit dari sebuah jumlah (populasi) 

yang lebih besar secara keseluruhan (di 

tingkat nasional). 

Selain bersifat numerik, minoritas juga dapat 

diartikan sebagai tidak dominan, dan 

mendapat perlakuan yang merugikan atau 

berada dalam situasi yang tidak diuntungkan 

dalam kehidupan berwarga  dan 

bernegara. 

Kelompok Minoritas Ras

Kelompok Minoritas Etnis

Kelompok Minoritas

Agama dan Keyakinan

Kelompok Minoritas

Penyandang Disabilitas

Kelompok Minoritas

Orientasi Seksual dan Identitas Jender


 Secara organisasional, Pelapor Khusus merupakan unit kerja yang dibentuk di bawah 

Peraturan Tata Tertib Komnas HAM 2012-2017. Pelapor Khusus hak minoritas ditetapkan 

dalam Sidang Paripurna dengan Keputusan No. 08/SP/VII/2013   dalam  Keputusan Nomor 19. 

Selanjutnya, Komisioner Muhammad Nurkhoiron ditugaskan untuk menyampaikan kertas posisi 

tentang urgensi membentuk Pelapor Khusus Hak Minoritas. Kertas posisi disampaikan dalam 

sidang Paripurna berikutnya dan diterima berdasar  keputusan Sidang Paripurna Komnas 

HAM No. 05/SP/V/2014, Keputusan No.30. Sidang Paripurna memberi mandat kepada Pelapor 

Khusus untuk membentuk tim kerja dengan memaksimalkan fungsi Subkomisi sebagaimana 

diatur dalam UU No.39 Tahun 1999, yaitu fungsi Pemantauan, Mediasi, Pengkajian dan Penelitian, 

serta Penyuluhan. Dalam menjalankan tugasnya, Pelapor Khusus memiliki kewenangan memilih 

staf dari lintas Subkomisi.  Di akhir tugasnya, Pelapor Khusus harus mempertanggungjawabkan 

capaian tugasnya ke Sidang Paripurna. Sayangnya Peraturan Tata Tertib Komnas HAM tidak 

mengatur secara rinci bagaimana mekanisme pembentukan Pelapor Khusus dan pola dukungan 

anggarannya. Pada dasarnya, Pelapor Khusus bekerja berdasar  rencana-rencana yang 

diusulkan sebagaimana digambarkan dalam kertas posisi yang disampaikan di sidang paripurna. 

 Pelapor Khusus, dalam tugas-tugasnya didukung oleh Desk khusus Minoritas. Desk 

khusus ini dibentuk agar mampu menjabarkan dan memperluas cakupan masalah dan intervensi 

terhadap kasus-kasus pelanggaran hak minoritas. Salah satu yang dilakukan oleh Desk ini yaitu  

memasukkan kelompok minoritas berbasis perbedaan abilitas (kecakapan) untuk penyandang 

disabilitas (sering juga disebut ‘difabel’ different abilities – kecakapan yang berbeda) dan 

berbasis identitas jender dan orientasi seksual untuk kelompok LGBTI (Lesbian, Gay, Bisexsual, 

Transgender, Intersexual). Setidaknya ada  dua pertimbangan kenapa dipilih lima kelompok 

minoritas ini. Pertama, kelima kelompok ini sudah dicantumkan sebagai sasaran kebijakan di 

beberapa Departeman atau Kementerian. Ini artinya, lima kelompok minoritas ini sudah masuk 

ke dalam diskursus kebijakan Negara. Lembaga-lembaga pemerintah juga sudah memperoleh 

mandat tanggung jawab untuk menjadikan mereka sebagai sasaran kebijakan. 

 Dalam pertemuan Kelompok Diskusi Terfokus yang diprakarsai oleh Pelapor Khusus 

ditemukan fakta-fakta bahwa masing-masing Kementerian yang memiliki sasaran kerja bagi 

kelompok minoritas tidak terkoordinasi satu sama lain. Mereka memiliki definisi operasional 

sendiri-sendiri dengan program sektoral yang tidak didasarkan pada pemenuhan hak asasi 

manusia.  Kedua, kelompok-kelompok minoritas ini hingga hari ini masih mengalami apa yang 

disebut sebagai marginalisasi dan dalam banyak hal beberapa sumber menyebutkan mereka 

masih menjadi sasaran persekusi.  Pelapor Khusus telah bekerja dengan beberapa jaringan 

LGBTI terlibat menangani kasus-kasus korban diskriminasi berbasis identitas jender dan 

orientasi seksual. Salah satunya, membangun kerjasama dengan Jaringan Arus Pelangi. Selain 

itu, sejumlah lokakarya, pelatihan dan seminar juga dilakukan bekerja sama dengan UNDP. Desk 

khusus ini juga berperan sebagai pusat informasi dan pengetahuan terkait isu-isu minoritas di 

negara kita   sekaligus menjadi simpul pertemuan berbagai jaringan kelompok minoritas yang ada. 

 Dalam menjalankan mandatnya, Pelapor Khusus menetapkan prioritas kerja berdasar  

pada kapasitas kelembagaan Komnas HAM. Pertama, Pelapor Khusus berinisiatif untuk 

memaksimalkan mandat Komnas HAM berdasar  UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 97 yang 

menyatakan, “Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, 

dan wewenangnya, serta kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada 

Dewan Perwakilan Rakyat Republik negara kita   dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah 

Agung”. berdasar  mandat ini, Pelapor Khusus dapat menyiapkan Laporan Tahunan terkait 

perkara-perkara yang berhubungan dengan kelompok minoritas. Adanya Laporan Tahunan 

mengenai kondisi hak minoritas di negara kita   juga dianggap membantu para pihak memahami 

persoalan yang dihadapi kelompok minoritas. Informasi ini dapat digunakan sebagai referensi 

8  

bersama untuk pengawasan dan advokasi. Mandat berdasar  pasal 97 ini juga menekankan 

seberapa jauh pelaksanaan fungsi di Komnas HAM dijalankan. Dengan kata lain, Pelapor Khusus 

dapat memaksimalkan seluruh peran dan fungsi masing-masing Subkomisi di Komnas HAM 

untuk mendorong proses advokasi bagi lima kelompok minoritas ini . Kedua, berdasar  

mandat ini maka Pelapor Khusus akan memprioritaskan upaya untuk memaksimalkan fungsi-

fungsi Subkomisi di Komnas HAM. Dibentuknya Desk Minoritas  diharapkan dapat membangun 

fungsi sinergitas antar Subkomisi dan memperkuat kapasitas kelembagaan Komnas HAM dalam 

memberikan pelayanannya bagi pemenuhan hak kelompok minoritas. 

 Laporan ini merupakan pengamatan awal yang dilatarbelakangi oleh kesadaran akan 

pentingnya memperkuat kewajiban Komnas HAM menyampaikan laporan tahunan. Laporan 

ini didahului dengan kajian pemetaan atas kebijakan dan regulasi yang menjadikan lima 

kelompok minoritas ini sebagai sasaran atau sebagai kelompok terdampak. Peta regulasi dan 

kebijakan ini selanjutnya dikomparasikan dengan sejumlah bentuk penikmatan (enjoyment) 

yang telah didapatkan oleh masing-masing kelompok minoritas. berdasar  Instrumen HAM 

internasional, Negara yaitu  pihak yang secara hukum internasional terikat dalam perjanjian 

HAM. Dalam konteks ini , Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan 

memenuhi HAM dengan unsur kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct) dan kewajiban 

untuk berdampak (obligation to result). Kewajiban untuk bertindak mensyaratkan negara 

melakukan langkah-langkah melaksanakan pemenuhan suatu hak. Sementara kewajiban atas 

hasil mengharuskan Negara untuk mencapai sasaran tertentu guna memenuhi standar hasil 

yang terukur. 

 Pandangan ini  juga dapat dilihat dari penjabaran indikator HAM untuk mengukur 

tingkat kemajuan yang dicapai oleh negara dalam upaya menjalankan kewajibannya. Indikatornya 

dapat dilihat dari aspek struktur, melalui regulasi dan peraturan-peraturan apa saja yang sudah 

dibuat oleh negara pihak dalam menjalankan kewajibannya. Selanjutnya, indikator proses untuk 

melihat bagaimana regulasi ini  diimplementasikan dalam bentuk program-program 

yang berdampak. Terakhir,  indikator hasil yang melihat sejauh mana program-program yang 

direncanakan dan dilaksanakan memberi dampak bagi penikmatan hak-hak kelompok minoritas. 

Penerapan model pengukuran kemajuan HAM ini  tidak dapat dilepaskan dari pendekatan 

pembangunan berbasis HAM yang mengedepankan perubahan yang lebih efektif, berkelanjutan, 

lebih rasional, dan sungguh-sungguh karena akan meningkatkan partisipasi, kontribusi, dan 

akuntabilitas, dengan mengidentifikasi segala kewajiban Negara sebagai pemangku  kewajiban 

(duty bearer). Pendekatan berbasis HAM tidak berdasar  pada skema “belas kasih” Negara 

ataupun pembangunan ekonomi semata; melainkan, merupakan sebuah proses menyeluruh 

yang bertumpu pada pelaksanaan kewajiban Negara untuk melibatkan, menguatkan dan 

memberdayakan seluruh warga negara agar bisa menikmati hak-haknya. Dengan hadirnya 

Laporan ini, semoga pembaca dapat memetik manfaat dan berefleksi tentang hakikat keberagaman 

dan hidup bersama secara damai, sebagaimana dahulu para pendiri Bangsa mengajarkan dan 

membangun pilar keberagaman dan identitas kebangsaan dalam warna Bhinneka Tunggal Ika. 



Bagian ini akan membahas kerangka konseptual dan metodologis dari perlindungan hak kelompok-kelompok 

minoritas. Perlindungan terhadap kelompok minoritas tertuang dalam berbagai instrumen HAM internasional 

baik yang berupa hardlaws (dalam bentuk kovenan, konvensi maupun perjanjian internasional lainnya) maupun 

yang bersifat softlaws (deklarasi, panduan, dan sebagainya).  Berbagai pengaturan tentang minoritas agama 

secara umum tertuang, misalnya dalam Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (the International Covenant on Civil 

and Political Rights/ICCPR) dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the International Covenant on 

Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR).

Dalam perjalanannya, sekalipun hak-hak individu dalam kelompok minoritas telah dikenal sejak pasca Perang 

Dunia II, namun tidak ada satupun definisi minoritas yang berhasil dibangun. Bahkan Deklarasi atas Hak-

hak Individu dari Kelompok Minoritas Agama, Etnis atau Bahasa tahun 1992 juga tidak membuat definisi ‘hak 

minoritas’. Sampai akhirnya pada tahun 1977, Francesco Capatorti, UN Special Rapporteur for Prevention of 

Discrimination and Protection of Minority, membuat usulan definisi ‘minoritas’. 

Capatorti menyatakan ‘Minoritas’ yaitu : “Sekelompok orang yang secara jumlah lebih sedikit, dibandingkan 

seluruh populasi suatu Negara, yang berada dalam posisi tidak dominan, yang anggota-anggota kelompok 

ini  merupakan warga negara, dengan karakter etnis, agama, atau bahasa yang berbeda dari anggota 

warga  lainnya, dan menunjukan, meskipun tidak terlihat nyata, ikatan solidaritas, yang diarahkan untuk 

memelihara budaya, tradisi, agama, dan bahasa mereka.” Definisi dari capatorti ini ini menjelaskan setidaknya 

tiga elemen kunci yaitu: Yang dimaksud minoritas yaitu  minoritas agama, etnis ataupun bahasa yang 

memiliki karakteristik berbeda dan masih memiliki solidaritas untuk memelihara budaya, tradisi, agama dan 

bahasanya.  Minoritas dapat dinilai dari segi jumlah, dimana hal ini dihitung secara nasional dari sebuah negara, 

bukan berbasis daerah. Minoritas dalam arti posisi sosial yang tidak dominan dibandingkan dengan populasi 

pada umumnya di dalam sebuah negara . 

10  

11 


HUKUM HAM INTERNASIONAL

Dalam perjalanan sejarahnya jaminan perlindungan terhadap individu atau orang-orang yang berada dalam kelompok minoritas secara internasional dapat ditelusuri sejak Congress of Vienna tahun 1814 yang membahas nasib bangsa Yahudi, Jerman dan, khususnya, Polandia. 

Kemudian Congress of Paris tahun 1856 memberikan perhatian khusus pada status Yahudi dan 

Kristen di Kekaisaran Ottoman, Turki. Congress of Berlin tahun 1878 kemudian membahas status 

Yahudi di Rumania, Serbia, dan Bulgaria. Meskipun telah ada sejumlah terobosan, namun secara 

keseluruhan upaya bangsa-bangsa di dunia untuk melindungi kelompok minoritas pada abad ke-

19 bisa dianggap gagal. Ini termasuk, tidak banyak yang memberi perhatian pada pembantaian 

besar-besaran (genosida) terhadap Bangsa Armenia tahun 1915. Dalam konteks pertumbuhan 

dan perkembangan negara-bangsa yang mempromosikan HAM, secara resmi untuk pertama 

kalinya hak-hak minoritas dinyatakan dan diundangkan secara Nasional oleh Parlemen Hungaria 

pada tahun 1849. Hak-hak ini juga untuk pertama kalinya dikodifikasikan dalam hukum Austria 

pada tahun 1867. 

 Pada abad 20, inisiatif reformasi mulai nampak. Pada Versailles Peace Conference, pasca 

Perang Dunia I,  Dewan Tertinggi membentuk ‘Komite bagi Negara-negara Baru dan Perlindungan 

terhadap Minoritas’. Semua negara-negara dipaksa untuk menandatangani perjanjian hak-

hak minoritas sebagai prasyarat bagi adanya pengakuan diplomatik. Ini merupakan gagasan 

idealis Woodrow Wilson dalam forum Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sayangnya, gagasan ini tidak 

berlangsung lama karena pada tahun 1930-an sistem politik internasional yang mengupayakan 

perlindungan bagi kelompok minoritas ini  runtuh bersama dengan terjadinya Perang Dunia 

II yang justru melahirkan kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan. 

 Pasca Perang Dunia II Hukum Internasional mulai menata sistem perlindungan HAM yang 

sifatnya lebih universal. Perlindungan terhadap kelompok minoritas tertuang dalam berbagai 

instrumen HAM internasional baik yang berupa hard laws (dalam bentuk kovenan, konvensi 

maupun perjanjian internasional lainnya) maupun yang bersifat soft laws (deklarasi, panduan, dan 

sebagainya).  Berbagai pengaturan tentang minoritas agama secara umum tertuang, misalnya 

dalam Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan 

Budaya (ICESCR)

 Dalam sejarahnya, proses penyusunan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 

dan Konvensi Genosida terjadi bersamaan. Dalam proses ini, genosida dinyatakan tidak boleh 

terjadi karena merupakan “...denial of the rights of existence of entire human groups” (penyangkalan 

atas eksistensi sekelompok manusia). Alasan ini memberikan pengakuan atas hak sekelompok 

manusia yang kemudian makin dipertegas di dalam ICCPR yang menuliskan hak-hak individu 

dalam kelompok minoritas.  Pasal 27 ICCPR menyatakan bahwa: “Di negara-negara dimana 

12  

ada  golongan minoritas berdasar  etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung 

dalam kelompok-kelompok minoritas ini  tidak dapat diingkari haknya, dalam komunitas bersama 

anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan 

mengamalkan agama mereka sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.”2

 Pasal 27 ICCPR bisa dikatakan merupakan ketentuan yang paling banyak diterima sebagai 

ketentuan yang mengikat. Ketentuan ini mengakui hak-hak anggota kelompok minoritas dan 

mewajibkan kepada negara untuk menjamin bahwa semua individu dalam wilayah hukumnya 

menikmati hak-hak mereka, yang membutuhkan tindakan khusus (positive measures) untuk 

memperbaiki perbedaan yang diterima kelompok minoritas. Tindakan-tindakan yang positif ini 

perlu untuk melindungi identitas minoritas dan hak-hak dari anggotanya untuk menikmati dan 

mengembangkan budaya dan bahasa mereka dan untuk melaksanakan agama mereka di dalam 

komunitas dengan anggota kelompok lainnya.3

 Pengakuan atas hak ini didasari pada pengakuan dan kesadaran bahwa persoalan ini 

bisa memicu  konflik bersenjata. Oleh karena itu pengakuan hak ini  dibutuhkan dan 

ditujukan untuk perdamaian, keamanan dan HAM.  Pengakuan terhadap hak minoritas juga 

menjadi tonggak penting karena pasal ini memberikan dasar bagi pengakuan identitas individu 

yang berada di dalam kelompok minoritas ini . Selain itu, Pasal 27 ini  dapat dipahami 

dalam dua pengertian yaitu, pertama bahwa kelompok minoritas itu ada (exist), dan yang kedua 

pasal ini mengakomodasi Negara-negara yang merasa bahwa mereka tidak memiliki kelompok 

minoritas. Tapi pasal ini juga menegaskan unsur kolektivitas dari eksistensi individu.4  Secara 

politik, pengakuan pasal ini merupakan tonggak penting karena hak ini menegasikan politik 

asimilasi yang pada masa 1960-an banyak digagas oleh Amerika Serikat, Australia dan Chili 

yang negaranya dibanjiri imigran.5 Politik asimilasi memiliki tendensi diskriminasi terhadap 

yang mereka yang tidak bisa berasimilasi. Selain itu, politik asimilasi juga membuat orang yang 

dianggap “liyan” ini harus terus menerus menundukkan diri pada kelompok yang lebih besar 

agar bisa diterima. Sementara orang ini  juga tidak pernah tahu kapan dia terasimiliasi dan 

akhirnya diterima oleh warga . 

 Dalam perjalanannya, sekalipun hak-hak individu dalam kelompok minoritas telah 

dikenal sejak pasca Perang Dunia II, namun tidak ada satupun definisi minoritas yang berhasil 

dibangun. Bahkan Deklarasi atas Hak-hak Individu dari Kelompok Minoritas Agama, Etnis atau 

Bahasa tahun 1992 juga tidak membuat definisi ‘hak minoritas’. Sampai akhirnya pada tahun 

1977, Francesco Capatorti, UN Special Rapporteur for Prevention of Discrimination and Protection 

of Minority, membuat usulan definisi ‘minoritas’. Capatorti menyatakan ‘Minoritas’ yaitu : 

“Sekelompok orang yang secara jumlah lebih sedikit, dibandingkan seluruh populasi suatu Negara, 

yang berada dalam posisi tidak dominan, yang anggota-anggota kelompok ini  merupakan warga 

negara, dengan karakter etnis, agama, atau bahasa yang berbeda dari anggota warga  lainnya, 

dan menunjukan, meskipun tidak terlihat nyata, ikatan solidaritas, yang diarahkan untuk memelihara 

budaya, tradisi, agama, dan bahasa mereka.” 

2 Kovenan Internasional Hak–hak Sipil dan Politik [ICCPR] International Covenant on Civil and Political Rights 

(ICCPR) adopted by the United Nations General Assembly on 16 December 1966. Pasal 27

3  Komentar Umum 18 (37) Komite HAM dan Komentar Umum No. 23 (1994).

4 Patrick Thornberry. International System of Protection of Minorities.

5 Dieter Kugelman. The Protection of Minorities and Indigenous Peoples Respecting Cultural Diversities. Max 

Planck Yearbook of United Nations Law, Volume 11, 2007. Koninklijke Brill N.V. Printed in The Netherlands. 

Accessed 27 December 2015 http://www.mpil.de/files/pdf1/ mpunyb_06_kugelmann_11.pdf

13 

Definisi dari Capatorti ini ini menjelaskan setidaknya tiga elemen kunci yaitu:

1. Yang dimaksud minoritas yaitu  minoritas agama, etnis ataupun bahasa yang memiliki 

karakteristik berbeda dan masih memiliki solidaritas untuk memelihara budaya, tradisi, 

agama dan bahasanya. 

2. Minoritas dapat dinilai dari segi jumlah, dimana hal ini dihitung secara nasional dari sebuah 

negara, bukan berbasis daerah. 

3. Minoritas dalam arti posisi sosial yang tidak dominan dibandingkan dengan populasi pada 

umumnya di dalam sebuah negara. 

 Pada tahun 1992, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi No. 47/135 tentang Deklarasi 

Hak- Orang-orang yang termasuk Kelompok Minoritas Bangsa atau Suku Bangsa, Agama dan 

Bahasa (Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic 

Minorities).6 Deklarasi ini bertujuan untuk terus memajukan perwujudan prinsip-prinsip yang 

ada  dalam Piagam PBB dan berbagai instrumen HAM internasional. berdasar  Deklarasi 

ini, setiap Negara akan melindungi eksistensi dan identitas kebangsaan, suku bangsa, budaya, 

agama dan bahasa kelompok minoritas dalam wilayahnya dan akan mendorong kondisi-kondisi 

yang memajukan hak-hak identitas ini , serta akan mengambil tindakan-tindakan legislatif 

dan tindakan yang tepat untuk mencapainya. 

 Deklarasi ini menjamin hak-hak orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas, 

yakni: 

a) Hak untuk menikmati budaya mereka, untuk mengakui dan mempraktikan agama mereka 

sendiri, dan untuk menggunakan bahasa mereka sendiri secara, baik privat maupun di 

muka umum; 

b) Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi, 

dan publik; 

c) Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam pengambilan keputusan yang berdampak 

pada mereka pada tingkat nasional maupun regional;

d) Hak untuk membentuk dan mengelola perkumpulan mereka sendiri;

e) Hak untuk membentuk dan menjalin kontak secara damai dengan anggota kelompoknya 

atau dengan orang-orang dari kelompok minoritas lainnya, baik di negaranya sendiri 

maupun hubungan yang melewati batas negara;

f) Kebebasan untuk melaksanakan hak-hak mereka, secara individual atau dalam komunitas 

dengan anggota kelompoknya, tanpa diskriminasi.

 Negara melindungi dan memajukan hak-hak orang yang termasuk kelompok minoritas 

dengan melakukan langkah-langkah untuk: 

a) Memastikan bahwa mereka dapat melaksanakan semua hak dan kebebasan dasarnya 

secara penuh dan efektif tanpa diskriminasi dengan persamaan di hadapan hukum;

b) Menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi kelompok minoritas untuk dapat 

mengekspresikan karakteristik khas mereka dan mengembangkan budaya, bahasa, agama, 

tradisi dan kebiasaan mereka;

c) Memungkinkan mereka untuk mendapatkan kesempatan yang cukup untuk mempelajari 

bahasa ibu mereka atau untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ibu mereka; 

d) Mendorong pengetahuan sejarah, tradisi, bahasa dan kebudayaan dari kelompok 

minoritas dan memastikan bahwa anggotanya mempunyai kesempatan yang cukup untuk 

mendapatkan pengetahuan mengenai komunitasnya secara penuh/menyeluruh;

e) Berpartisipasi dalam perkembangan dan pembangunan ekonomi; 

f) Memperhatikan berbagai kepentingan kelompok minoritas dalam perencanaan dan 

pelaksanan kebijakan dan program-program nasional, dan program-program kerja sama 

6  A/RES/47/135, 18 Desember 1992.  

14  

dan bantuan internasional;

g) Bekerja sama dengan negara lain terkait dengan persoalan-persoalan yang berhubungan 

dengan kelompok minoritas, termasuk dalam hal tukar menukar informasi dan pengalaman 

untuk meningkatkan rasa saling memahami dan mempercayai;

h) Memajukan penghormatan bagi hak-hak yang ada  dalam Deklarasi ini.

 Pada 2010, PBB mengeluarkan Panduan Implementasi untuk menilai dan mengkaji hak 

minoritas yang di dalamnya antara lain menyebutkan: 7

1. Sekalipun kelompok target yang dilindungi awalnya oleh Deklarasi Hak Minoritas (1992) 

ini terbatas pada tiga identitas, namun tidak bisa dipungkiri bahwa, kelompok minoritas 

ini bisa mengalami diskriminasi ganda dengan jenis diskriminasi lain seperti jender, 

orientasi seksual, disabilitas. Selain itu, kelompok minoritas ini bisa berada di kelompok 

yang dimarjinalkan yang kadang tidak terlihat, tapi ada. Oleh karena itu, cakupan kelompok 

minoritas harus diperluas untuk memastikan mereka ada, terlihat (eksis) dan patut 

dilindungi. 

2. Untuk memastikan bahwa individu ini yaitu  orang yang masuk dalam kelompok minoritas, 

maka umumnya negara-negara menyepakati dua kriteria untuk menentukan seseorang 

berhak mendapatkan perlindungan atas hak minoritasnya:

a. Kriteria objektif yaitu kriteria sebagaimana tertera dalam definisi Capotorti;

b. Kriteria subjektif yaitu dimana anggota kelompok minoritas yang dimaksud secara 

sadar menginginkan memelihara karakteristiknya yang berbeda, dan individu itu 

sendiri yang secara sadar menyatakan dirinya bagian dari kelompok yang dimaksud.

Selanjutnya Panduan Implementasi PBB ini  juga menyebutkan ada   empat aspek yang 

menjadi cakupan hak yang perlu dilindungi bagi kelompok minoritas yaitu: 

1. Kemampuan bertahan dan eksistensi (Survival and Existence). 

 Aspek ini merupakan bentuk penikmatan terkait eksistensi (pengakuan atas keberadaan) 

sebagai “kelompok penyandang hak” dalam suatu negara. Pengakuan atas eksistensi 

merupakan pengakuan secara sosiologis (keberadaan fisik) dari kelompok minoritas. 

Sedangkan pengakuan identitas merupakan pengakuan sebagai entitas legal dalam suatu 

negara. Aspek pengakuan ini  meliputi, antara lain hak untuk mendapatkan pengakuan 

dan perlindungan atas keberadaan dan identitas  kebangsaan atau etnis, budaya, agama, 

dan bahasa. Dalam berbagai situasi baik konflik atau pun tidak, kelalaian melindungi 

keberadaan individu kelompok minoritas bisa berujung pada kondisi displacement (terusir 

dan hilangnya ruang hidup) bagi mereka, yang bahkan bisa berdampak pada hancur atau 

musnahnya kelompok ini . Deklarasi Durban (2001) yang merupakan hasil Konferensi 

HAM se-dunia di Durban, Afrika Selatan dan Sekjen PBB Kofi Annan menegaskan bahwa 

eksistensi mereka harus dilindungi karena seringkali dalam situasi konflik mereka yaitu  

target pemusnahan atau genosida. 

2. Pemajuan dan Perlindungan Identitas kelompok minoritas (Promotion and Protection of the 

Identity of Minorities).

 Aspek ini merupakan bentuk penikmatan yang diperlukan untuk memajukan identitas 

kelompok dan mencegah upaya-upaya yang dapat mengakibatkan lenyapnya dan hancurnya 

identitas dan kebudayaan mereka. Sebagai contoh, larangan terhadap asimilasi secara 

paksa. Hal ini tidak saja menekankan pada keharusan sikap toleran, melainkan juga 

keharusan untuk melindungi dan menghormati identitas mereka. Bahkan untuk memastikan 

pemulihan hak suatu kelompok minoritas yang terabaikan, apabila dibutuhkan negara wajib 

memberikan perlakuan khusus (affirmative) terhadap mereka sebagai bentuk keberpihakan. 

Aspek Promosi dan Perlindungan meliputi antara lain hak untuk mengekspresikan budaya, 

7 OHCHR, Minority Rights: International Standards and Guidelines for Implementation (HR/PUB/10/3)

15 

hak untuk menganut dan menjalankan agama serta menggunakan bahasa secara pribadi 

maupun di muka umum, hak untuk menikmati dan  mengembangkan budaya dan bahasa, 

hak untuk membangun dan memelihara sekolah, lembaga pelatihan dan pendidikan 

lainnya, serta untuk mengajarkan dan mendapatkan pengajaran dalam bahasa mereka 

sendiri. Kedua aspek ini penting dilakukan untuk mencegah politik asimilasi dipaksakan. 

3. Kesetaraan dan Non-diskriminasi (Equality and Non-Discrimination) 

 Di depan hukum, kedua prinsip ini sangat mendasar, dan bahkan tidak diperlukan 

pembuktian terhadap intensi atau niat diskriminasi ini . Jika ada tindakan afirmatif, 

maka itu harus dipastikan untuk menggantikan kerugian atas diskriminasi yang pernah 

terjadi, ataupun untuk memperbaiki ketidaksetaraan yang terjadi saat ini. Di dalam 

Komentar Umum ICCPR No. 18 (1989) tentang prinsip Non-Diskriminasi dijelaskan bahwa 

tindakan khusus yang bersifat afirmasi (affirmative action) untuk kelompok minoritas ini bisa 

dilakukan untuk menghapuskan situasi yang bisa membuat diskriminasi berlanjut. Selain 

itu, Komentar Umum ICCPR No. 32 (2009) tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis 

menjelaskan bahwa tindakan khusus atau tindakan afirmatif bisa berbentuk instrumen 

legislasi, atau pun kebijakan eksekutif, yudikatif, administrasi, maupun program. Tindakan 

ini  bisa mencakup hak atas pekerjaan, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan 

jenis-jenis hak lainnya.  Tindakan khusus yang bersifat afirmasi berbeda dengan kewajiban 

negara terkait hak asasi lainya. Tindakan khusus itu ditujukan untuk menjawab situasi yang 

membutuhkan ganti rugi, legitimate dan diperlukan dalam warga  demokratis dengan 

mengedepankan prinsip-prinsip keadilan (fairness), proporsional dan bersifat sementara. 

4. Partisipasi yang Efektif dan Bermakna (Effective and Meaningful Participation). 

 Partisipasi kelompok minoritas dalam berbagai aspek di ruang publik dan privat sangat 

penting untuk mempertahankan identitas mereka. Partisipasi ini tidak hanya bersifat 

formalitas, tapi harus efektif dan bermakna. Bahkan dalam forum-forum terkait masalah 

minoritas, ditegaskan kembali bahwa agar partisipasi bisa efektif, maka Negara pihak 

harus memastikan adanya partisipasi formal, yaitu memastikan partisipasi representasi 

kelompok minoritas yang memiliki pengaruh substantif pada keputusan yang diambil 

sehingga terbangun perasaan memiliki atas keputusan yang dibuat. Partisipasi berarti juga 

adanya mekanisme yang memastikan keragaman warga  terwujud dalam institusi 

publik seperti parlemen, polisi, maupun peradilan. Dengan demikian, individu anggota 

kelompok minoritas bisa terwakili, terkonsultasikan dan memiliki suara dalam keputusan 

institusi publik yang berpengaruh pada mereka atau di wilayah dimana mereka tinggal.

 Lebih lanjut, sejumlah instrumen HAM lainnya yang juga memberikan penegasan tentang 

larangan melakukan diskriminasi dan pentingnya jaminan perlindungan bagi kelompok minoritas, 

yaitu  antara lain: 

Konvensi Hak Anak (1989) Pasal 30 menyatakan bahwa di negara-negara dimana ada  

minoritas etnis, agama, atau bahasa atau orang-orang asal pribumi, seorang anak yang termasuk 

dalam kelompok minoritas maupun orang-orang pribumi, tidak dapat diingkari haknya, untuk 

menikmati kebudayaannya sendiri, untuk menyatakan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau 

pun untuk menggunakan bahasanya sendiri.

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (1948) mengatur 

tentang perlindungan terhadap kelompok-kelompok, termasuk minoritas, dan hak mereka 

terkait eksistensi fisik. Mekanisme penghukuman terhadap kejahatan genosida ini kemudian 

diatur, diantaranya dalam Statuta Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International 

Tribunal for Former Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (International Tribunal for Rwanda/ICTR). Statuta 

16  

Roma (Rome Statute) 1998, yang mengatur tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap 

kemanusiaan, juga memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas, misalnya adanya 

ketentuan bahwa pemindahan penduduk secara paksa yang dimaksudkan untuk memindahkan 

orang-orang yang termasuk kelompok minoritas dari wilayah tempat tinggalnya atau berakibat 

sama dan juga pemaksaan sterilisasi, merupakan pelanggaran serius atas Statuta ini. 

Konvensi ILO tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan (1958) mensyaratkan setiap 

negara mengadopsi dan melaksanakan kebijakan nasional untuk memajukan dan memastikan 

persamaan kesempatan dan perlakukan dalam pekerjaan dan jabatan, untuk menghapuskan 

diskriminasi langsung maupun tidak langsung atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, 

pandangan politik, atau asal-usul sosial. Kebijakan nasional ini  haruslah menangani 

masalah diskriminasi dan memajukan persamaan, dalam hukum maupun dalam praktik, terkait 

dengan akses pendidikan dan pelatihan, pelayanan ketenaga-kerjaan, rekruitmen, akses pada 

jabatan-jabatan yang khusus, dan syarat-syarat dalam ketenaga-kerjaan.

Deklarasi ILO tentang Prinsip-Prinsip Dasar dan Hak-Hak di Tempat Kerja (1998) menyatakan 

setiap anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati, memajukan dan melaksanakan 

prinsip-prinsip dasar dan hak-hak di tempat kerja. Hal ini termasuk prinsip non-diskriminasi 

dalam pekerjaan dan jabatan, kebebasan berorganisasi dan hak untuk ‘collective bargaining’, 

dan penghapusan kerja secara paksa dan wajib, serta buruh anak. Penikmatan atas persamaan 

kesempatan dan perlakukan minoritas dipantau di bawah deklarasi ini.

Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya yang tak berwujud (2003) menjamin 

perlindungan dan pemajuan praktik, perwakilan, ekspresi, pengetahuan dan ketrampilan 

– sebagaimana juga instrumen, objek, artefak dan ruang-ruang budaya yang terkait – bahwa 

komunitas, kelompok dan individu mengakui sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Untuk 

tujuan ini, Konvensi membentuk suatu pendanaan dan sistem terdaftar untuk perwakilan dan 

warisan yang terancam punah. 

Konvensi UNESCO tentang Perlindungan dan Pemajuan Keberagaman Ekspresi Budaya (2005), 

yang mendorong negara-negara untuk memasukkan budaya sebagai suatu elemen strategis 

dalam pengembangan kebijakan nasional dan internasional dan untuk mengadopsi langkah-

langkah yang bertujuan untuk melindungi dan memajukan keragaman ekspresi budaya di 

wilayahnya. Konvensi ini menekankan pentingnya pengakuan atas martabat yang setara dan 

penghormatan atas semua budaya, termasuk budaya orang-orang kelompok minoritas. 

17 

JAMINAN HAK-HAK MINORITAS 

DALAM HUKUM NASIONAL negara kita  

Setelah 17 tahun masa reformasi 1998, secara umum jaminan HAM di negara kita   dalam tataran normatif semakin maju. Amandemen Kedua UUD 1945 memperkuat perlindungan HAM di negara kita   yang memastikan bahwa HAM dijamin sebagai hak-hak konstitusional.8 

Sebelumnya, negara kita   telah menyusun kebijakan HAM yang dituangkan dalam Ketetapan 

MPR No. XVII tahun 1998 tentang HAM.9 Selain UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, berbagai 

UU lainnya juga terbentuk dan semakin memperkuat jaminan perlindungan HAM di negara kita  , 

termasuk upaya perlindungan HAM melalui ratifikasi atau pun aksesi sejumlah instrumen HAM 

internasional.10 Sejak tahun 1998 hingga kini, dalam kebijakan yang lebih operasional, Pemerintah 

telah menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) yang juga merupakan 

bentuk komitmen Pemerintah negara kita   dalam bidang HAM.11

 UUD 1945 menjamin perlindungan HAM bagi para anggota kelompok minoritas. 

Secara kolektif, agama/keyakinan yang tertuang dalam tradisi yang mereka anut dan hak-

hak tradisionalnya diakui dan dihormati (Pasal 18B ayat 2). Demikian pula secara individual 

mereka dilindungi dan diakui sebagai warga negara dan sebagai penduduk negara kita   (Pasal 

26). Pengakuan atas hak kewarganegaraan ini, berimplikasi pada keharusan bagi negara untuk 

menjamin berbagai macam hak-hak asasi mereka sebagai hak-hak konstitusional (BAB IX). 

Jaminan atas hak kelompok minoritas juga sudah tertera dalam UUD 45 pasal 28A hingga J. 

Secara khusus yang terkait dengan perlindungan hak minoritas ada  pada 28A, 28C (ayat 2), 

28E (ayat 2), dan 28I (ayat 2,3). Jaminan ini kemudian dituangkan dalam bentuk Undang-Undang. 

 Salah satu Undang-Undang yang mengatur hak minoritas yaitu  yaitu  UU No. 39/1999 

tentang Hak Asasi Manusia. UU ini menjamin secara rinci berbagai hak-hak asasi warga negara, 

meskipun hak-hak minoritas tidak secara jelas dielaborasi. Pasal 7 UU No. 39/1999 memberikan

8 Lihat Bab XA tentang Hak Asasi Manusia UUD 1945. 

9 Secara umum Tap MPR ini berisi; i) Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh 

Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak 

asasi manusia kepada seluruh warga , ii) Menugaskan kepada Presiden Republik negara kita   dan Dewan 

Perwakilan Rakyat Republik negara kita   untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa 

tentang Hak asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, 

iii) Penghormatan, penegakan, dan penyebarluasan hak asasi manusia oleh warga  dilaksanakan melalui 

gerakan kewarga an atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam kehidupan 

berwarga , berbangsa dan bernegara, dan iv) Pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian 

dan mediasi tentang hak asasi manusia, dilakukan oleh suatu komisi nasional hak asasi manusia yang 

ditetapkan dengan UU. 

10 negara kita   telah menjadi pihak pada lebih 8 instrumen HAM internasional. 


peluang ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional. Lebih 

jauh, bahkan warga negara negara kita   bisa menggunakan hukum internasional untuk klaim hak-

nya. Sebagai contoh, hak beragama yaitu  hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun 

dan oleh siapapun (Pasal 4). Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk 

beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang 

memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu 

(Pasal 22). UU ini selain mengatur berbagai hak yang dijamin, juga menjelaskan tentang tanggung 

jawab Negara dan Pemerintah dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, serta 

mengatur mandat dan fungsi lembaga khusus yakni Komnas HAM.

 Pada tahun 2005, Pemerintah negara kita   meratifikasi ICCPR (1966)  yang diadopsi dalam UU 

No. 12 tahun 2005, dan ICESCR (1966) yang disahkan di dalam UU No. 11 tahun 2005. Pada masing-

masing ratifikasi Kovenan ini , Pemerintah negara kita   tidak melakukan reservasi apapun 

kecuali membuat deklarasi terkait hak menentukan nasib sendiri (Pasal 1). Dengan ratifikasi 

kedua Kovenan ini  maka negara kita   terikat sebagai Negara Pihak dalam Perjanjian HAM 

dan harus mematuhi untuk melaksanakan isi dari kedua Kovenan ini  dan menyampaikan 

laporan berkala ke Badan Perjanjian HAM PBB. 

 Selain ratifikasi dua Kovenan utama, negara kita   juga sudah meratifikasi Konvensi 

Penghapusan Diskriminasi berdasar  Ras (CERD), Konvensi Penghapusan Diskriminasi 

terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Hak Anak (CRC), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), 

Konvensi Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya (ICMW), serta Konvensi Penyandang 

Disabilitas (ICRPD). Melalui ratifikasi ini, negara kita   secara resmi menjadi Negara Pihak yang 

terikat pada mekanisme pelaporan pada Komite Kerja pada masing-masing Kovenan atau 

Konvensi. Pemerintah negara kita   juga wajib melaporkan kemajuan upaya perlindungan dalam 

Tinjauan Universal Berkala (Universal Periodic Review) di Dewan HAM PBB.

 Dalam prakteknya, konsep kelompok minoritas juga dipahami dengan berbagai cara 

oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah. Misalnya, Kementerian Sosial, misalnya, memberikan 

definisi kelompok minoritas sebagai bagian dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial 

(PMKS). Seperti yang termaktub dalam Permensos No. 8 tahun 2012 menyebut, “[...] kelompok 

minoritas yaitu  kelompok yang mengalami gangguan keberfungsian sosialnya akibat diskriminasi 

dan marginalisasi yang diterimanya sehingga karena keterbatasannya memicu  dirinya rentan 

mengalami masalah sosial, seperti gay, waria, dan lesbian.Kriteria kelompok minoritas: a) gangguan 

keberfungsian sosial; b) diskriminasi; c) marginalisasi; dan d) berperilaku seks menyimpang.” 

 Berbeda dengan Kemensos, Komnas HAM menemukan bahwa Dinas Sosial Provinsi 

DI Yogyakarta justru memiliki perluasan cakupan dengan memasukan unsur dalam pasal 27 

Kovenan Hak Sipil dan Politik atau UU No. 12 tahun 2005, dengan menyebutkan:12 “ [...] Kelompok 

Minoritas yaitu  individu atau kelompok yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, 

agama atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk seperti waria, gay dan lesbian. 

Kriteria : (a) Tidak dominan dengan ciri khas, suku bangsa, agama atau bahasa tertentu  yang berbeda 

dari mayoritas penduduk; (b) Mempunyai perilaku menyimpang 

 Selain itu, Kemendagri dalam Permendagri No. 27 tahun 2014 tentang Pedoman 

Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Kerja Rencana Kerja Pembangunan Daerah tahun 2015, 

memasukan kelompok minoritas sebagai bagian dari warga  tuna sosial yaitu waria, gay, 

lesbian, orang dengan HIV-AIDS.13 Sedangkan Kementerian Kesehatan tidak memiliki definisi 



SEJARAH PEMBENTUKAN BANGSA 

(NATION BUILDING) 

DAN KELOMPOK MINORITAS DI negara kita  

negara kita   merupakan salah satu bangsa di dunia yang memiliki ribuan kelompok etnis, agama dan budaya lokal paling beragam. Namun, kegamangan dalam mengenali dan mendefinisikan kelompok-kelompok ini  mengakibatkan identitas mereka di negara kita   tidak terlihat. 

Meskipun secara nyata mereka ada dan hidup bersama dengan anggota warga  lainnya, 

namun identitas dan karakter mereka secara kolektif tidak diakui dan tidak dikenali. Akibatnya 

keberadaan mereka tidak dipandang dan hak-hak mereka tidak secara sistematis dijamin 

dalam regulasi dan program-program Pemerintah.  Salah satu upaya untuk melihat asal usul 

keberadaan kelompok-kelompok minoritas di negara kita   dapat ditelusuri dari perjalanan panjang 

pembentukan bangsa ini (Nation Building). 

 Fase awal pembentukan bangsa negara kita   dimulai pada tahun 1900-1945. Fase ini 

menjadi fase terbangunnya nasionalisme negara kita   yang merupakan fase integrasi dari keragaman 

(diversity) ke persatuan (unity) yang elemennya berakar sejak jaman Sriwijaya dan Majapahit. 

Fase ini ditandai dengan  tiga kejadian yaitu, pertama yang disebut konsep “negara kita  ” pertama 

kali dalam Manifesto 1924, kedua  pengakuan pemuda-pemudi negara kita   untuk bertanah-air 

satu, berbangsa-satu dan berbahasa-satu negara kita   melalui Sumpah Pemuda 1928, dan ketiga 

deklarasi kemerdekaan negara kita   17 Agustus 1945 sebagai kemenangan atas kolonialisasi.15 Yang 

menarik dari fase ini yaitu  bahwa gerakan-gerakan nasionalis yang banyak berperan yaitu  

kelompok kelas menengah yang kecil yang menghadapi dominasi Jawa. Sementara itu, suara 

dari warga  tribal bahkan tidak tersentuh dalam diskusi-diskusi karena asumsinya bahwa 

mereka harus di-civilized (diadabkan) dulu, sehingga bagi kelompok nasionalis negara kita  , mereka 

dianggap jumlah kecil yang bisa diabaikan.16 Elemen yang dipandang penting untuk membangun 

kesadaran nasional (national consciousness) yaitu  bahasa. Di dalam Kongres Pemuda tahun 

1928, beberapa perwakilan dari etnis yang besar (dominan) seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi, 

dan Bali mengusulkan bahasa-bahasa di rumpun Austronesia. Namun yang kemudian digunakan 

yaitu  rumpun bahasa Melayu yang telah lama menjadi lingua franca dalam perdagangan di 

Nusantara. 


 Yang menarik dari proses ini  yaitu  yaitu  lahirnya Pancasila yang disebut sebagai 

Dasar Negara. HOS Tjokroaminoto melihat bahwa Islam, sosialisme dan demokrasi yaitu  sintesis 

untuk gerakan nasionalisme modern. Sementara Soekarno meyakini nasionalistis, Islamistis 

dan marxistis yaitu  sifat pergerakan rakyat negara kita  . Sifat-sifat ini kemudian dirumuskan oleh 

Badan Pembentukan Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita   (BPUPKI) dan diterjemahkan 

dalam 5 (lima) prinsip yang disebut sebagai Dasar Falsafah negara kita  . Dalam pidatonya pada 

tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyatakanada  5 (lima prinsip yang menjadi titik persetujuan 

berbagai elemen bangsa yang tergabung dalam BPUPKI. 17 

 Fase kedua yaitu  antara tahun 1945-1950. Fase ini masih menjadi fase perjuangan 

sebagai satu bangsa yang harus mempertahankan kemerdekaannya dari agresi Belanda dan 

dari tantangan internal.18 Pada fase ini sistem pemerintahan negara kita   berubah dua kali dari 

Negara kesatuan menjadi Negara Federal di bawah Republik negara kita   Serikat (RIS). Namun 

bentuk negara ini  hanya bertahan tidak lebih dari dua tahun, dan negara kita   kembali 

menjadi Negara Kesatuan. Proses ini terjadi setelah politik lokal dan nasional banyak didominasi 

oleh politik berbasis etnisitas yang berwajahkan konflik keagamaan di Jawa Barat, Kalimantan, 

Sulawesi dan Maluku.19

 Fase ketiga antara tahun 1950-1998. Fase ini bisa dilihat dari tiga periode. Periode 

pertama 1950-1965, Periode kedua antara tahun 1965-1998 dan periode ketiga yaitu  setelah 

1998. Periode pertama merupakan periode pembentukan bangsa pascarevolusi yang fokus pada 

pendirian sistem pemerintahan melalui demokrasi konstitusional parlementer yang kemudian 

justru berubah menjadi Demokrasi Terpimpin dan berakhir dengan peristiwa 30 September 

1965.20 Demokrasi parlementer ditandai dengan pemilu pertama dengan keterlibatan partai 

politik berbasis identitas primordial. Namun demokrasi parlementer ini tidak cukup stabil dan 

akhirnya 1959, Dekrit Presiden dikeluarkan dan menjadi awal Demokrasi Terpimpin dimana 

Soekarno memberi tempat pada kelompok-kelompok fungsional. Secara kebudayaan, Soekarno 

juga memilih untuk membangun budaya baru yaitu pemurnian dari tradisi lama yang feodal dan 

meliberalisasi dari akar etnisitasnya. 

 Periode ini juga mencatat beberapa peristiwa yang berdampak bagi kelompok minoritas. 

Dicabutnya “ tujuh kata” dari Piagam Jakarta ternyata memberikan dampak politik yang siginifikan 

karena peristiwa ini dianggap sebagai kekalahan politik perwakilan Islam.21 Peristiwa ini membawa 

pada situasi dimana upaya kelompok politik Islam untuk mengembalikan tujuh kata ini menjadi 

penting dalam berbagai peristiwa politik. Sementara itu, politik aliran pun makin menguat dan 

warga  terkelompokkan dalam berbagai aliran nasionalisme, Islam, komunisme, tradisional, 

dan sebagainya. Pengelompokan ini tidak hanya terjadi di tingkat elit penguasa melainkan 

hingga di kalangan akar rumput, dari kota hingga pedesaan. Di masa ini, kesadaran identitas 

kelompok kian menguat. Sebagai contoh, kelompok mistis Jawa makin menyadari keyakinannya 

sebagai bentuk perlawanan terhadap Islam modern. Sementara kelompok abangan yang sering 

diasosiasikan dengan komunis makin menyadari posisinya berlawanan dengan penguasa tanah 

dan priyayi.22 Di kalangan penganut Aliran Kebatinan, pada tahun 1951, Wongsonegoro telah aktif 

mengorganisasikan kelompok-kelompok kebatinan dalam Panitia Penyelenggara Pertemuan 


Filsafat dan Kebatinan. Selain itu pengorganisasian juga dilakukan dalam partai politiknya, yaitu 

Partai negara kita   Raya (PIR) dengan mendatangi pelbagai sekte mistik sambil mengajak mereka 

untuk berorganisasi di bawah pengayomannya

 Dinamika ini  berujung pada upaya Muhamad Dimyati di Sidang DPR pada tahun 

1952 yang menuntut agar aliran kebatinan itu dilarang keberadaannya dan meminta Departemen 

Agama membuat definisi “agama”. Definisi ini lalu dibuat dengan membuat unsur-unsur esensial 

dari agama yakni adanya Nabi/Rasul, kitab suci, pengakuan sebagai agama dari luar negeri. 

Definisi ini tidak pernah dibakukan dalam regulasi saat itu karena mendapatkan protes dari 

penganut Hindu Bali.24 Jika awalnya, mengorganisir kelompok kebatinan ini diharapkan mampu 

mendorong dan menjadikan kebatinan diakui sebagai “agama”, maka dengan definisi agama yang 

ditetapkan oleh Departemen Agama, maka kelompok kebatinan meyakini bahwa mereka tidak 

membutuhkan perantara (Nabi) untuk meyakini Tuhan. Pada tahun 1953, Departemen Agama 

menuliskan ada 360 aliran kepercayaan yang teridentifikasi, dan karenanya mereka membentuk 

PAKEM (Pengawasan Aliran Kepercayaan di warga ) yang berfungsi mengawasi agama 

baru, kelompok kebatinan dan kegiatan mereka. Pengawasan ini dilakukan untuk meredam 

pemberontakan sosial.25 Di tahun 1954, bahkan sudah ada aturan yang melarang keyakinan orang 

suku Mentawai dan seluruh penduduk Mentawai diminta untuk segera memutuskan apakah 

mereka mau pindah ke Islam atau Kristen dalam 3 bulan. Jika tidak dilakukan, sanksi diberikan 

oleh polisi atau missionaris dan alat-alat ritual mereka akan diambil.26

 Selanjutnya, Pemilu pertama pada tahun 1955 makin menguatkan politik berbasis identitas 

(politik aliran). Paska 1955, tidak dapat dipungkiri bahwa politik aliran yang tergambarkan 

menunjukan bahwa ideologi Islam dan Nasionalis menguasai politik, dan aliran kebatinan 

umumnya mendukung partai-partai Nasionalis. Ketegangan ini terus menguat hingga politik 

Nasakom dilakukan. Proses ini menjadi pijakan bagi kebijakan “pemolisian” aliran kebatinan yang 

berujung pada disahkannya UU No. 1/PNPS/1965 pada bulan Januari 1965. UU ini menjelaskan 

bahwa meningkatnya jumlah aliran kebatinan yang berbahaya menjadi alasan utama perlunya 

pengawasan agar tidak ada upaya penodaan agama. Bukan cuma bagi kalangan penganut 

aliran kebatinan saja, tapi peraturan ini juga jadi sarana pemolisian bagi mereka yang disebut 

“warga  terasing”. Di periode ini pula muncul PP No. 10 tahun 1959 tentang Larangan bagi 

Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang bersifat Asing di luar Ibukota Daerah Swatantra 

Tingkat I dan II serta Karesidenan, yang berdampak pada makin terpinggirkannya warga Tionghoa 

negara kita  . Selama ini warga Tionghoa dianggap sebagai warga asing dan dipandang mengancam 

ekonomi pribumi. Menurut Leo Suryadinata, politik asimilasi masa Soekarno masih setengah 

hati atau masih di tahap awal, sedangkan politik asimilasi yang penuh dan bersifat diskriminatif 

terjadi pada masa Soeharto, yang mengharuskan etnis Tionghoa berintegrasi penuh dengan 

pribumi justru dibarengi dengan tindakan yang membuat etnis Tionghoa semakin tereksklusi.

Di tahun 1954, bahkan sudah ada aturan yang melarang keyakinan 

orang suku Mentawai dan seluruh penduduk Mentawai diminta 

untuk segera memutuskan apakah mereka mau pindah 

ke Islam atau Kristen dalam 3 bulan. 

Jika tidak dilakukan, sanksi diberikan oleh polisi atau 

missionaris dan alat-alat ritual mereka akan diambil.

 

 Di masa-masa ini, Pancasila masih menjadi bahan perdebatan dalam Sidang Konstituante 

tahun 1957 dan diperhadapkan dengan ideologi Islam dan ideologi Sosial Ekonomi. Usai Pemilu 

1955, perdebatan mengenai apa dasar negara yang paling cocok dan relevan bagi negara kita   berkisar 

pada tiga prinsip ini . Namun pada akhirnya, umumnya perdebatan berfokus pada Pancasila 

dan Islam, yang juga terwujud dalam polarisasi partai politik. Perdebatan mengarah pada bentuk 

Negara yang akan dibangun, Negara agama atau Negara Demokrasi. Dewan Konstituante yang 

dibentuk untuk membuat UUD baru tidak berhasil mendapatkan titik temu, hingga perdebatan 

ini  berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa 

negara kita   kembali ke UUD 1945.28 Melalui Dekrit Presiden ini  Pancasila tetap dijadikan 

sebagai Dasar Negara dan negara kita   menerapkan demokrasi terpimpin di bawah Soekarno. Masa 

ini hingga 1965 merupakan upaya Soekarno untuk kembali menyatukan lagi “perpecahan” yang 

terjadi sepanjang perdebatan di Dewan Konstituante dengan mengumandangkan “Nasakom” 

(Nasionalisme, Agama dan Komunisme) yang mewakili tiga kekuatan besar di negara kita   saat itu. 

Ini juga sejalan dengan pemikiran Soekarno masa 1920-an yang selalu mendukung Nasionalisme, 

Islamisme dan Marxisme sebagai dasar perjuangan pergerakan rakyat negara kita  .

 Politik Nasakom dikelola melalui beberapa strategi, yaitu yang menyamakan dasar 

Nasakom yaitu  Pancasila, dan terutama, gotong royong. Hal ini untuk mendorong kerjasama tiga 

kekuatan di negara kita   yaitu kalangan nasionalis, agama, dan komunis. Yang kedua, membangun 

Front Nasional untuk memperlancar upaya revolusi hingga ke desa-desa. Sementara yang 

ketiga, membangun musuh bersama di luar negara kita   dengan agenda anti imperialism dan anti 

neokolonialisme melalui perjuangan merebut Irian Barat, menolak Nekolim (neo-kolonialisme 

dan imperialisme) Malaysia, dan mendirikan Conefo (Conference of the New Emerging Forces).29 

Politik Nasakom dengan pendekatan sekuritisasi dibangun dari ketakutan akan perpecahan 

di dalam yang kiat menguat, terutama dari kalangan keyakinan yang berbeda dan tidak setuju 

dengan Nasakom.  Pada periode ini, kelompok minoritas dan orang yang termasuk dalam 

kelompok ini  makin lebih jelas menyerupai definisi yang digambarkan oleh Capatorti. 

Secara jumlah, kelompok warga  terasing, kelompok aliran kebatinan atau kepercayaan, 

dan etnis non pribumi memang kecil, namun persepsi bahwa mereka lebih rendah (inferior) yang 

harus ditingkatkan atau dimajukan menuju budaya nasional, merupakan pandangan dominan 

yang dimiliki oleh pimpinan bangsa terutama Soekarno.30

 Periode kedua antara tahun 1965-1998 merupakan masa Orde Baru di bawah 

kepemimpinan Jenderal Soeharto. Pada masa ini pembentukan bangsa lebih terkonsentrasi 

pada upaya memelihara stabilitas politik nasional dan pembangunan ekonomi dengan sistem 

pemerintahan otoritarian. Stabilitas politik ditandai d