Hak minoritas 1
DAFTAR SINGKATAN
Adminduk : Administrasi Kependudukan
ASODKB : Asistensi Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat
BAKORPAKEM : Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan warga
BIN : Badan Intelejen Negara
BKMC : Badan Koordinasi Masalah Cina
BKOK : Badan Kerjasama Organisasi-organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa
BPS : Badan Pusat Statistik
BPUPKI : Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BUMN : Badan Usaha Milik Nasional
CAT : Convention Againts Torture
CEDAW : Convention on the Elimination Discrimination Against Women
CMARs : Center for Marginalized Communities Studies
Conefo : Conference of the New Emerging Forces
CPNS : Calon Pegawai Negeri Sipil
CRC : Convention on the Rights of Child
DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta
DPO : Disabled People’s Organisation
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DUHAM : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Depdikbud : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
EPO : Exit Permit Only
FKUB : Forum Kerukunan Umat Beragama
FKWI : Forum Komunikasi Waria negara kita
FPI : Front Pembela Islam
FPIC : Free, Prior, informedConsent
GBHN : Garis-garis Besar Haluan Negara
Golkar : Golongan Karya
GWL : Gay, Waria, dan Laki-laki yang Berhubungan dengan laki-Laki
HAM : Hak Asasi Manusia
HGU : Hak Guna Usaha
HIV AIDS : Human Immunodeficiency Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome
Hiwad : Himpunan Wadam Djakarta
HPK : Himpunan Penghayat Kepercayaan
HRWG : Human Right Working Group
HWDI : Himpunan Wanita Disabilitas negara kita
ICCPR : International Covenant on Civil and Political Rights
ICERD : International Convention on The Elimination of all forms of Racial
Discrimination
ICESCR : International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
UPAYA NEGARA MENJAMIN HAK-HAK KELOMPOK MINORITAS
DI viii
ICMW : International Convention on Protection of Migrant Worrkers and their
Families
ICRPD : International Convention on the Rights of People with Disabilities
ICTR : International Tribunal for Rwanda
ICTY : International Tribunal for Former Yugoslavia
ILO : Internasional Labour Organization
INTI : Perhimpunan negara kita Tionghoa
IPM : Indeks Pembangunan Nasional
Inpres : Instruksi Presiden
Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah
JBFT : Jakarta Barrier Free-Tourism
KAT : Komunitas Adat Terpencil
KIS : Kartu negara kita Sehat
KLGI : Kongres Lesbian dan Gay negara kita
KHA : Konvensi Hak Anak
KIHESB : Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
KIHPD : Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas
KIHSP : Konvensi Internasional Hak Sipil Politik
KPAN : Komisi Penanggulangan Aids Nasional
KPAI : Komisi Perlindungan Anak negara kita
KRC : Knowledge Resource Center
KTP : Kantu Tanda Penduduk
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kemenag : Kementrian Agama
Kemendagri : Kementrian Dalam Negeri
Kemenhukham : Kementrian Hukum dan HAM
Kemenkes : Kementrian Kesehatan
Kemensos : Kementrian Sosial
Kesbangpol : Kesatuan Bangsa dan Politik
Komnas HAM : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Keppres : Keputusan Presiden
LBB : Liga Bangsa-Bangsa
LBH : Lembaga Bantuan Hukum
LBK : Loka Bina Karya
LGBTI : Lesbian, Gay, Bisexual, Trasgender, and Intersexual
LSM : Lembaga Swadaya warga
MDT : Multy Drug Therapy
MIFEE : Merauke Intergrated Food and Energy Estate
MK : Mahkamah Konstitusi
MLKI : Majelis Luhur Kepercayaan negara kita
MoU : Memorandum of Understanding
MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat
MRP : Majelis Rakyat Papua
MUI : Majelis Ulama negara kita
Nasakom : Nasionalis, Agama, Komunis
Nekolim : Neo-Kolonialisme
NGO : Non Government Organisation
NHRI : National Human Rights Institution
NIK : Nomor Induk Kependudukan
OAP : Orang Asli Papua
ODHA : Orang dengan HIV/AIDS
ix
OHIDA : Orang yang Hidup dengan AIDS
ORI : Ombudsman Republik negara kita
P4 : Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila
PAKEM : Pengawas Aliran Kepercayaan warga
PARTI : Partai Tionghoa
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PBM : Peraturan Bersama Menteri
PDAM : Perusahaan Daerah Air Minum
PGY : Persaudaraan Gay Yogyakarta
PIPE : Papua Indigenous People Empowerment
PIR : Partai negara kita Raya
PMKS : Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
PKI : Partai Komunis negara kita
PNPS : Penetapan Presiden
PNS : Pegawai Negeri Sipil
Polri : Kepolisian Republik negara kita
PP : Peraturan Pemerintah
PPK : Program Pemberdayaan Kampung
PSLB : Pendidikan Sekolah Luar Biasa
PSMTI : Paguyuban Sosial Marga Tionghoa negara kita
Perda : Peraturan Daerah
Perdasus : Peraturan daerah Khususn
Pergub : Peraturan Gubernur
Perkab : Peraturan Kabupaten
Permen : Peraturan Menteri
Permen ATR : Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang
Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri
Permensos : Peraturan Menteri Sosial
Perpres : Peraturan Presiden
Perpu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Perwali : Peraturan Walikota
RANHAM : Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
RBM : Rehabilitasi Berbasis Keluarga/warga
RI : Republik negara kita
RIS : Republik negara kita Serikat
RRI : Radio Republik negara kita
RRT : Republik Rakyat Tiongkok
SARA : Suku Agama Ras Antar Golongan
Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja
SBKRI : Surat Bukti Kewarganegaraan Republik negara kita
SDA : Sumber Daya Alam
SIAK : Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
SK : Surat Keputusan
SKPD : Satuan Kerja Pemerintah Daerah
SKT : Surat Keterangan Terdaftar
SNMPTN : Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
SOGI : Sexual Orientation and Gender Identity
TAP : Ketetapan
TGPF : Tim Gabungan Pencari Fakta
TNI : Tentara Nasional negara kita
TOGA : Tokoh Agama
x
TOMAS : Tokoh warga
TPS : Tempat Pemungutan Suara
TPU : Tempat Pemakaman Umum
UEP/KUBE : Usaha Ekonomi Produktif/Kelompok Usaha Bersama
UN : United Nations
UNDP : United Nations Development Programme
UNDRIP : United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
UNESCO : United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization
UNICEF : United Nations International Children’s Emergency Fund
UPSK : Unit Pelayanan Sosial Keliling
UPT : Unit Pelaksana Teknis
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar
WNI : Warga Negara negara kita
Pada tahun 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Komnas HAM) menganggap masalah
kelompok minoritas perlu mendapat perhatian lebih serius mengingat kelompok ini rentan mengalami
berbagai pelanggaran HAM. Ketiadaan kebijakan secara struktural telah melemahkan status keberadaan
mereka dan kalaupunpun ada kebijakan belum sepenuhnya mampu menjamin hak-hak mereka. Di dalam
keorganisasian Komnas HAM kemudian dibentuk Pelapor khusus untuk hak-hak minoritas (Selanjutnya disebut
Pelapor Khusus). Mekanisme Pelapor Khusus, merupakan mekanisme yang menjadi sistem kerja internal di
Komnas HAM. Di dalam mekanisme ini suatu masalah yang bersifat khusus dapat didalami secara sistematis
dan menyeluruh berbagai dimensinya. Selain itu, mekanisme ini juga memungkinkan untuk dilakukannya
pemetaan korban-korbannya, aktor pelaku, bentuk-bentuk pelanggaran yang dialami, akar masalah dan
konteks sejarahnya hingga menemukan jalan keluar penyelesaiannya secara lebih komprehensif.
Di Komnas HAM sendiri, diskusi tentang konsep minoritas masih terus berkembang dan belum memiliki definisi
final. Namun, sebagai sebuah mekanisme, Pelapor Khusus untuk hak-hak minoritas memandang perlu adanya
definisi dan cakupan kerja yang jelas agar dapat ditelusuri model penyelesaian yang tepat. Langkah awal yang
dilakukan dalam mengemban misi ini yaitu dengan memetakan masalah yang dialami. Selanjutnya
dilakukan pengkajian sejauh mana Negara menjalankan kewajibannya dalam penghormatan, perlindungan
dan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas. Pelapor Khusus juga mendorong agar terbangun pemahaman
bersama tentang batasan ‘minoritas’, termasuk siapa saja yang dianggap sebagai kelompok minoritas dan apa
saja jaminan hak-hak bagi kelompok minoritas berdasar ketentuan hukum HAM nasional dan internasional.
Laporan ini hendak memotret persoalan hak-hak kelompok minoritas secara lebih terperinci berdasar
konteks sejarah, pengalaman, dan kerentanan yang dialami. Ruang lingkup kelompok minoritas yang ditawarkan
untuk konteks negara kita yaitu : Kelompok Minoritas Ras, Kelompok Minoritas Etnis dan Kelompok warga
Adat , Kelompok Minoritas Agama dan Keyakinan, Kelompok Penyandang Disabilitas, Kelompok Minoritas
berdasar identitas jender dan orientasi seksual
Untuk membahas kelima kelompok minoritas ini Komnas HAM melakukan kajian komprehensif mengenai
upaya Negara dalam melakukan kewajibannya terkait jaminan hak-hak kelompok minoritas. Dalam melakukan
kajiannya, Pelapor Khusus tidak menggunakan definisi, namun membuat cakupan atau aspek minoritas serta
situasi dan bentuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas. Misalnya,
pada kelompok minoritas keagamaan, yang mencakup kelompok-kelompok minoritas pada agama, bukan
hanya mencakup aliran-aliran minoritas dalam agama-agama yang resmi‘diakui’. Penelitian ini juga
mendasarkan pada pembacaan situasi perlindungan kelompok-kelompok minoritas keagamaan di negara kita
yang dikaitkan dengan kewajiban negara untuk memberikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM
bagi seluruh warga negara, termasuk para anggota kelompok minoritas keagamaan. Di samping itu sejumlah
instrumen HAM internasional, regulasi nasional serta berbagai kebijakan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah dijadikan rujukan untuk menilai sejauh mana situasi perlindungan HAM kepada mereka.
2
negara kita dikenal sebagai negara multi ras, etnis, agama, dan bahasa. Namun demikian, kelompok-kelompok yang jumlahnya lebih sedikit, dari segi ras, etnis, bahasa, agama, maupun identitas lainnya, dibandingkan dengan mayoritas ini kerap mengalami diskriminasi,
stigmatisasi, kekerasan, kriminalisasi hingga pemenjaraan. Mereka mengalami berbagai
pelanggaran hak asasi manusia (selanjutnya disebut pelanggaran HAM), baik pelanggaran hak-
hak sipil dan politik maupun pelanggaran hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Dampak dari
pelanggaran-pelanggaran ini sangat luas dan kemudian mempunyai efek berantai terhadap
kehidupan mereka, termasuk eksklusi sosial.
Pada tahun 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Komnas HAM)
menganggap masalah kelompok minoritas perlu mendapat perhatian lebih serius mengingat
kelompok ini rentan mengalami berbagai pelanggaran HAM. Ketiadaan kebijakan secara
struktural telah melemahkan status keberadaan mereka dan kalaupun ada kebijakan belum
sepenuhnya mampu menjamin hak-hak mereka.
Di dalam keorganisasian Komnas HAM kemudian dibentuk pelapor khusus untuk hak-
hak minoritas (selanjutnya disebut Pelapor Khusus). Mekanisme Pelapor Khusus, merupakan
mekanisme yang menjadi sistem kerja internal di Komnas HAM. Di dalam mekanisme ini suatu
masalah yang bersifat khusus dapat didalami secara sistematis dan menyeluruh berbagai
dimensinya. Selain itu, mekanisme ini juga memungkinkan untuk dilakukannya pemetaan
korban-korbannya, aktor pelaku, bentuk-bentuk pelanggaran yang dialami, akar masalah dan
konteks sejarahnya hingga menemukan jalan keluar penyelesaiannya secara lebih komprehensif.
Di Komnas HAM sendiri, diskusi tentang konsep minoritas masih terus berkembang dan
belum memiliki definisi final. Namun, sebagai sebuah mekanisme, Pelapor Khusus untuk hak-hak
minoritas memandang perlu adanya definisi dan cakupan kerja yang jelas agar dapat ditelusuri
model penyelesaian yang tepat. Langkah awal yang dilakukan dalam mengemban misi ini
yaitu dengan memetakan masalah yang dialami. Selanjutnya dilakukan pengkajian sejauh mana
Negara menjalankan kewajibannya dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-
hak kelompok minoritas. Pelapor Khusus juga mendorong agar terbangun pemahaman bersama
tentang batasan ‘minoritas’, termasuk siapa saja yang dianggap sebagai kelompok minoritas dan
apa saja jaminan hak-hak bagi kelompok minoritas berdasar ketentuan hukum HAM nasional
dan internasional
Memang hingga kini belum ada kesepakatan internasional terkait ‘minoritas’ yang bersifat
mengikat. Hanya sering ditekankan bahwa keberadaan minoritas yaitu terkait dengan fakta-
fakta yang ada dan definisi ini harus memasukkan faktor-faktor objektif, seperti keberadaan
4
etnisitas, bahasa atau agama yang sama. Selain itu juga harus mempertimbangkan faktor-faktor
subjektif dimana orang-orang ini harus mengidentifikasikan diri mereka sebagai anggota
dari kelompok minoritas ini . Kesulitan dalam membangun definisi yang dapat diterima
secara luas itu terletak pada keragaman situasi dimana kelompok minoritas tinggal. Beberapa
dari mereka hidup bersama di satu wilayah, yang terpisah dari bagian penduduk mayoritas.
Tapi yang lainnya tersebar-sebar di berbagai tempat. Beberapa kelompok minoritas memiliki
identitas kolektif yang kuat dan dicatat sejarah, sedangkan yang lainnya hanya mempertahankan
sebagian warisan bersama mereka.
Meskipun hak-hak kelompok ini telah diakui sejak masa Perang Dunia I, namun jaminannya
baru dinyatakan dalam Deklarasi UNESCO menentang Diskriminasi dalam pendidikan pada tahun
1960. Dalam Instrumen HAM Internasional yang lebih mengikat, hak-hak kelompok minoritas
dijamin oleh Pasal 27 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR,1966), yang kemudian
juga dicantumkan dalam Konvensi Hak Anak (KHA,1989). Dalam perkembangannya Deklarasi
mengenai Hak-hak Minoritas baru dikeluarkan pada tahun 1992. Pasal 1 dari Deklarasi memberi
pengertian minoritas berdasar identitas kebangsaan atau etnis, budaya, agama dan bahasa,
dan membebankan kewajiban pada Negara untuk melindungi keberadaan mereka.
Di negara kita , berbagai keragaman pengertian juga terjadi. Di tingkat pemerintahan,
beberapa kementerian yang tugas dan fungsinya terkait perlindungan kelompok minoritas
telah melakukan berbagai upaya yang tertuang dalam berbagai kebijakan, baik berupa legislasi
maupun program kerja. Beberapa Kementerian yang relevan, antara lain, Kementerian Sosial
(Kemensos), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Selain itu dalam tugasnya sebagai
aparatur penegak hukum, Kepolisian Republik negara kita (Polri), juga memuat kebijakan terkait
perlindungan bagi kelompok minoritas dalam peraturan internal mereka. Hanya saja upaya-
upaya Institusi ini dalam menjalankan kewajibannya belum maksimal mengingat masing-
masing kementerian atau lembaga ini memiliki perbedaan target sasaran. Selain itu mereka
juga mengalami kesulitan merumuskan kebijakan karena perbedaan definisi dan/atau cakupan
minoritas itu sendiri. Itulah sebabnya maka dipandang penting kebutuhan membuat definisi
bersama yang bisa menjadi pijakan apa yang disebut ‘minoritas’.
Pelapor Khusus beranggapan mengingat tidak mudah untuk membuat definisi ini
dan juga tidak sederhana resiko yang mungkin terjadi jika definisi dibuat secara sembarang,
maka penyusunan definisi ini sekurang-kurangnya dapat menyebutkan unsur-unsurnya
saja. Kata-kata kunci yang harus dipertimbangkan yaitu : “secara leksikal, istilah ‘minoritas’ dapat
dipahami secara numerik yaitu sebagai populasi yang jumlahnya lebih sedikit dari sebuah jumlah
populasi yang lebih besar secara keseluruhan (di tingkat nasional). Tapi minoritas juga dapat dilihat
dalam hal pengaruh, yaitu tidak dominan, dan mendapat perlakuan yang merugikan atau berada
dalam situasi yang tidak diuntungkan dalam kehidupan berwarga dan bernegara.”
Tulisan ini hendak memotret persoalan hak-hak kelompok minoritas secara lebih
terperinci berdasar konteks sejarah, pengalaman, dan kerentanan yang dialami. Ruang
lingkup kelompok minoritas yang ditawarkan untuk konteks negara kita yaitu :
a. Kelompok Minoritas Ras
b. Kelompok Minoritas Etnis
c. Kelompok Minoritas Agama dan Keyakinan
d. Kelompok Penyandang Disabilitas
e. Kelompok Minoritas berdasar Identitas Jender dan Orientasi Seksual
5
Untuk membahas kelima kelompok minoritas ini Komnas HAM melakukan kajian
komprehensif mengenai upaya Negara dalam melakukan kewajibannya terkait jaminan hak-
hak kelompok minoritas. Dalam melakukan kajiannya, Pelapor Khusus tidak menggunakan
definisi, namun membuat cakupan atau aspek minoritas serta situasi dan bentuk penghormatan,
pemenuhan dan perlindungan hak-hak kelompok minoritas. Misalnya, pada kelompok minoritas
keagamaan, yang mencakup kelompok-kelompok minoritas pada agama, bukan hanya mencakup
aliran-aliran minoritas dalam agama-agama yang resmi‘diakui’. Penelitian ini juga
mendasarkan pada pembacaan situasi perlindungan kelompok-kelompok minoritas keagamaan
di negara kita yang dikaitkan dengan kewajiban negara untuk memberikan penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan HAM bagi seluruh warga negara, termasuk para anggota kelompok
minoritas keagamaan.1 Di samping itu sejumlah instrumen HAM internasional, regulasi nasional
serta berbagai kebijakan Pemerintah Nasional maupun Pemerintah Daerah dijadikan rujukan
untuk menilai sejauh mana situasi perlindungan HAM kepada mereka.
Pada dasarnya peran Pelapor Khusus yaitu untuk menegaskan secara lebih
komprehensif peran dari masing-masing Subkomisi di Komnas HAM berdasar mandat UU No
39 tahun 1999, yang terdiri dari Subkomisi Pengkajian dan Penelitian, Subkomisi Pendidikan dan
Penyuluhan, Subkomisi Pemantauan, dan Subkomisi Mediasi. Di bidang pengawasan, mandat ini
secara eksplisit dijelaskan dalam UU No.40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis yang menyebutkan bahwa Komnas HAM berperan proaktif untuk melakukan pencarian
data dan peninjauan lapangan terkait dugaan diskriminasi ras dan etnis. Berkaitan dengan tata
cara pelaksanaan pengawasan, Komnas HAM dapat menyiapkan tim untuk mencari kelompok
minoritas ras dan etnis berada dan mengenali tindakan diskriminatif yang mereka hadapi.
Di bidang pemantauan, Komnas HAM dapat menjadi bagian yang menopang bidang
pengawasan untuk melakukan pemantauan di lapangan. Selain itu, kerja-kerja pemantauan
harus dapat menopang kerja Pelapor Khusus dalam menangani laporan-laporan warga
terkait diskriminasi dan dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada kelompok minoritas. Di
bidang pendidikan dan penyuluhan, Komnas HAM perlu melakukan kampanye yang sistematis.
Upaya ini dilakukan melalui sosialisasi UU No.40 tahun 2008 secara luas ke berbagai
lembaga-lembaga pemerintah, khususnya pemerintahan daerah di tingkat provinsi, kabupaten
dan di jajaran kepolisian. Di bidang penelitian dan pengkajian, Pelapor Khusus melakukan
penelitian dan kajian terhadap proses otonomi khusus yang kini berlangsung di Aceh dan Papua
dan implikasinya bagi pemenuhan hak minoritas dan kemajuan demokrasi. Penelitian seperti ini
diperlukan untuk melihat berbagai proses politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berlangsung
di dua wilayah ini dikaitkan dengan upaya penghormatan hak-hak kelompok minoritas dan
pemenuhan hak-hak asasi lainnya secara umum.
1
a.
b.
c.
d.
e.
MINORITAS;
Mengingat tidak mudah untuk membuat membuat
definisi ini dan juga tidak sederhana resiko yang
mungkin terjadi jika definisi dibuat secara sembarang,
maka penyusunan definisi ini sekurang-kurangnya
dapat menyebutkan unsur–unsurnya saja, dengan
mempertimbangkan hal-hal utama yang menjadi kata
kuncinya, antara lain:
Tulisan ini hendak memotret persoalan hak-hak kelompok minoritas secara lebih
terperinci berdasar konteks sejarah, pengalaman, dan kerentanan yang dialami.
Ruang lingkup kelompok minoritas yang ditawarkan untuk konteks negara kita
yaitu :
Secara leksikal, istilah ‘minoritas’ dapat
dipahami sebagai jumlah (populasi) yang
lebih sedikit dari sebuah jumlah (populasi)
yang lebih besar secara keseluruhan (di
tingkat nasional).
Selain bersifat numerik, minoritas juga dapat
diartikan sebagai tidak dominan, dan
mendapat perlakuan yang merugikan atau
berada dalam situasi yang tidak diuntungkan
dalam kehidupan berwarga dan
bernegara.
Kelompok Minoritas Ras
Kelompok Minoritas Etnis
Kelompok Minoritas
Agama dan Keyakinan
Kelompok Minoritas
Penyandang Disabilitas
Kelompok Minoritas
Orientasi Seksual dan Identitas Jender
Secara organisasional, Pelapor Khusus merupakan unit kerja yang dibentuk di bawah
Peraturan Tata Tertib Komnas HAM 2012-2017. Pelapor Khusus hak minoritas ditetapkan
dalam Sidang Paripurna dengan Keputusan No. 08/SP/VII/2013 dalam Keputusan Nomor 19.
Selanjutnya, Komisioner Muhammad Nurkhoiron ditugaskan untuk menyampaikan kertas posisi
tentang urgensi membentuk Pelapor Khusus Hak Minoritas. Kertas posisi disampaikan dalam
sidang Paripurna berikutnya dan diterima berdasar keputusan Sidang Paripurna Komnas
HAM No. 05/SP/V/2014, Keputusan No.30. Sidang Paripurna memberi mandat kepada Pelapor
Khusus untuk membentuk tim kerja dengan memaksimalkan fungsi Subkomisi sebagaimana
diatur dalam UU No.39 Tahun 1999, yaitu fungsi Pemantauan, Mediasi, Pengkajian dan Penelitian,
serta Penyuluhan. Dalam menjalankan tugasnya, Pelapor Khusus memiliki kewenangan memilih
staf dari lintas Subkomisi. Di akhir tugasnya, Pelapor Khusus harus mempertanggungjawabkan
capaian tugasnya ke Sidang Paripurna. Sayangnya Peraturan Tata Tertib Komnas HAM tidak
mengatur secara rinci bagaimana mekanisme pembentukan Pelapor Khusus dan pola dukungan
anggarannya. Pada dasarnya, Pelapor Khusus bekerja berdasar rencana-rencana yang
diusulkan sebagaimana digambarkan dalam kertas posisi yang disampaikan di sidang paripurna.
Pelapor Khusus, dalam tugas-tugasnya didukung oleh Desk khusus Minoritas. Desk
khusus ini dibentuk agar mampu menjabarkan dan memperluas cakupan masalah dan intervensi
terhadap kasus-kasus pelanggaran hak minoritas. Salah satu yang dilakukan oleh Desk ini yaitu
memasukkan kelompok minoritas berbasis perbedaan abilitas (kecakapan) untuk penyandang
disabilitas (sering juga disebut ‘difabel’ different abilities – kecakapan yang berbeda) dan
berbasis identitas jender dan orientasi seksual untuk kelompok LGBTI (Lesbian, Gay, Bisexsual,
Transgender, Intersexual). Setidaknya ada dua pertimbangan kenapa dipilih lima kelompok
minoritas ini. Pertama, kelima kelompok ini sudah dicantumkan sebagai sasaran kebijakan di
beberapa Departeman atau Kementerian. Ini artinya, lima kelompok minoritas ini sudah masuk
ke dalam diskursus kebijakan Negara. Lembaga-lembaga pemerintah juga sudah memperoleh
mandat tanggung jawab untuk menjadikan mereka sebagai sasaran kebijakan.
Dalam pertemuan Kelompok Diskusi Terfokus yang diprakarsai oleh Pelapor Khusus
ditemukan fakta-fakta bahwa masing-masing Kementerian yang memiliki sasaran kerja bagi
kelompok minoritas tidak terkoordinasi satu sama lain. Mereka memiliki definisi operasional
sendiri-sendiri dengan program sektoral yang tidak didasarkan pada pemenuhan hak asasi
manusia. Kedua, kelompok-kelompok minoritas ini hingga hari ini masih mengalami apa yang
disebut sebagai marginalisasi dan dalam banyak hal beberapa sumber menyebutkan mereka
masih menjadi sasaran persekusi. Pelapor Khusus telah bekerja dengan beberapa jaringan
LGBTI terlibat menangani kasus-kasus korban diskriminasi berbasis identitas jender dan
orientasi seksual. Salah satunya, membangun kerjasama dengan Jaringan Arus Pelangi. Selain
itu, sejumlah lokakarya, pelatihan dan seminar juga dilakukan bekerja sama dengan UNDP. Desk
khusus ini juga berperan sebagai pusat informasi dan pengetahuan terkait isu-isu minoritas di
negara kita sekaligus menjadi simpul pertemuan berbagai jaringan kelompok minoritas yang ada.
Dalam menjalankan mandatnya, Pelapor Khusus menetapkan prioritas kerja berdasar
pada kapasitas kelembagaan Komnas HAM. Pertama, Pelapor Khusus berinisiatif untuk
memaksimalkan mandat Komnas HAM berdasar UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 97 yang
menyatakan, “Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas,
dan wewenangnya, serta kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik negara kita dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah
Agung”. berdasar mandat ini, Pelapor Khusus dapat menyiapkan Laporan Tahunan terkait
perkara-perkara yang berhubungan dengan kelompok minoritas. Adanya Laporan Tahunan
mengenai kondisi hak minoritas di negara kita juga dianggap membantu para pihak memahami
persoalan yang dihadapi kelompok minoritas. Informasi ini dapat digunakan sebagai referensi
8
bersama untuk pengawasan dan advokasi. Mandat berdasar pasal 97 ini juga menekankan
seberapa jauh pelaksanaan fungsi di Komnas HAM dijalankan. Dengan kata lain, Pelapor Khusus
dapat memaksimalkan seluruh peran dan fungsi masing-masing Subkomisi di Komnas HAM
untuk mendorong proses advokasi bagi lima kelompok minoritas ini . Kedua, berdasar
mandat ini maka Pelapor Khusus akan memprioritaskan upaya untuk memaksimalkan fungsi-
fungsi Subkomisi di Komnas HAM. Dibentuknya Desk Minoritas diharapkan dapat membangun
fungsi sinergitas antar Subkomisi dan memperkuat kapasitas kelembagaan Komnas HAM dalam
memberikan pelayanannya bagi pemenuhan hak kelompok minoritas.
Laporan ini merupakan pengamatan awal yang dilatarbelakangi oleh kesadaran akan
pentingnya memperkuat kewajiban Komnas HAM menyampaikan laporan tahunan. Laporan
ini didahului dengan kajian pemetaan atas kebijakan dan regulasi yang menjadikan lima
kelompok minoritas ini sebagai sasaran atau sebagai kelompok terdampak. Peta regulasi dan
kebijakan ini selanjutnya dikomparasikan dengan sejumlah bentuk penikmatan (enjoyment)
yang telah didapatkan oleh masing-masing kelompok minoritas. berdasar Instrumen HAM
internasional, Negara yaitu pihak yang secara hukum internasional terikat dalam perjanjian
HAM. Dalam konteks ini , Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi HAM dengan unsur kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct) dan kewajiban
untuk berdampak (obligation to result). Kewajiban untuk bertindak mensyaratkan negara
melakukan langkah-langkah melaksanakan pemenuhan suatu hak. Sementara kewajiban atas
hasil mengharuskan Negara untuk mencapai sasaran tertentu guna memenuhi standar hasil
yang terukur.
Pandangan ini juga dapat dilihat dari penjabaran indikator HAM untuk mengukur
tingkat kemajuan yang dicapai oleh negara dalam upaya menjalankan kewajibannya. Indikatornya
dapat dilihat dari aspek struktur, melalui regulasi dan peraturan-peraturan apa saja yang sudah
dibuat oleh negara pihak dalam menjalankan kewajibannya. Selanjutnya, indikator proses untuk
melihat bagaimana regulasi ini diimplementasikan dalam bentuk program-program
yang berdampak. Terakhir, indikator hasil yang melihat sejauh mana program-program yang
direncanakan dan dilaksanakan memberi dampak bagi penikmatan hak-hak kelompok minoritas.
Penerapan model pengukuran kemajuan HAM ini tidak dapat dilepaskan dari pendekatan
pembangunan berbasis HAM yang mengedepankan perubahan yang lebih efektif, berkelanjutan,
lebih rasional, dan sungguh-sungguh karena akan meningkatkan partisipasi, kontribusi, dan
akuntabilitas, dengan mengidentifikasi segala kewajiban Negara sebagai pemangku kewajiban
(duty bearer). Pendekatan berbasis HAM tidak berdasar pada skema “belas kasih” Negara
ataupun pembangunan ekonomi semata; melainkan, merupakan sebuah proses menyeluruh
yang bertumpu pada pelaksanaan kewajiban Negara untuk melibatkan, menguatkan dan
memberdayakan seluruh warga negara agar bisa menikmati hak-haknya. Dengan hadirnya
Laporan ini, semoga pembaca dapat memetik manfaat dan berefleksi tentang hakikat keberagaman
dan hidup bersama secara damai, sebagaimana dahulu para pendiri Bangsa mengajarkan dan
membangun pilar keberagaman dan identitas kebangsaan dalam warna Bhinneka Tunggal Ika.
9
Bagian ini akan membahas kerangka konseptual dan metodologis dari perlindungan hak kelompok-kelompok
minoritas. Perlindungan terhadap kelompok minoritas tertuang dalam berbagai instrumen HAM internasional
baik yang berupa hardlaws (dalam bentuk kovenan, konvensi maupun perjanjian internasional lainnya) maupun
yang bersifat softlaws (deklarasi, panduan, dan sebagainya). Berbagai pengaturan tentang minoritas agama
secara umum tertuang, misalnya dalam Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (the International Covenant on Civil
and Political Rights/ICCPR) dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR).
Dalam perjalanannya, sekalipun hak-hak individu dalam kelompok minoritas telah dikenal sejak pasca Perang
Dunia II, namun tidak ada satupun definisi minoritas yang berhasil dibangun. Bahkan Deklarasi atas Hak-
hak Individu dari Kelompok Minoritas Agama, Etnis atau Bahasa tahun 1992 juga tidak membuat definisi ‘hak
minoritas’. Sampai akhirnya pada tahun 1977, Francesco Capatorti, UN Special Rapporteur for Prevention of
Discrimination and Protection of Minority, membuat usulan definisi ‘minoritas’.
Capatorti menyatakan ‘Minoritas’ yaitu : “Sekelompok orang yang secara jumlah lebih sedikit, dibandingkan
seluruh populasi suatu Negara, yang berada dalam posisi tidak dominan, yang anggota-anggota kelompok
ini merupakan warga negara, dengan karakter etnis, agama, atau bahasa yang berbeda dari anggota
warga lainnya, dan menunjukan, meskipun tidak terlihat nyata, ikatan solidaritas, yang diarahkan untuk
memelihara budaya, tradisi, agama, dan bahasa mereka.” Definisi dari capatorti ini ini menjelaskan setidaknya
tiga elemen kunci yaitu: Yang dimaksud minoritas yaitu minoritas agama, etnis ataupun bahasa yang
memiliki karakteristik berbeda dan masih memiliki solidaritas untuk memelihara budaya, tradisi, agama dan
bahasanya. Minoritas dapat dinilai dari segi jumlah, dimana hal ini dihitung secara nasional dari sebuah negara,
bukan berbasis daerah. Minoritas dalam arti posisi sosial yang tidak dominan dibandingkan dengan populasi
pada umumnya di dalam sebuah negara .
10
11
HUKUM HAM INTERNASIONAL
Dalam perjalanan sejarahnya jaminan perlindungan terhadap individu atau orang-orang yang berada dalam kelompok minoritas secara internasional dapat ditelusuri sejak Congress of Vienna tahun 1814 yang membahas nasib bangsa Yahudi, Jerman dan, khususnya, Polandia.
Kemudian Congress of Paris tahun 1856 memberikan perhatian khusus pada status Yahudi dan
Kristen di Kekaisaran Ottoman, Turki. Congress of Berlin tahun 1878 kemudian membahas status
Yahudi di Rumania, Serbia, dan Bulgaria. Meskipun telah ada sejumlah terobosan, namun secara
keseluruhan upaya bangsa-bangsa di dunia untuk melindungi kelompok minoritas pada abad ke-
19 bisa dianggap gagal. Ini termasuk, tidak banyak yang memberi perhatian pada pembantaian
besar-besaran (genosida) terhadap Bangsa Armenia tahun 1915. Dalam konteks pertumbuhan
dan perkembangan negara-bangsa yang mempromosikan HAM, secara resmi untuk pertama
kalinya hak-hak minoritas dinyatakan dan diundangkan secara Nasional oleh Parlemen Hungaria
pada tahun 1849. Hak-hak ini juga untuk pertama kalinya dikodifikasikan dalam hukum Austria
pada tahun 1867.
Pada abad 20, inisiatif reformasi mulai nampak. Pada Versailles Peace Conference, pasca
Perang Dunia I, Dewan Tertinggi membentuk ‘Komite bagi Negara-negara Baru dan Perlindungan
terhadap Minoritas’. Semua negara-negara dipaksa untuk menandatangani perjanjian hak-
hak minoritas sebagai prasyarat bagi adanya pengakuan diplomatik. Ini merupakan gagasan
idealis Woodrow Wilson dalam forum Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sayangnya, gagasan ini tidak
berlangsung lama karena pada tahun 1930-an sistem politik internasional yang mengupayakan
perlindungan bagi kelompok minoritas ini runtuh bersama dengan terjadinya Perang Dunia
II yang justru melahirkan kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan.
Pasca Perang Dunia II Hukum Internasional mulai menata sistem perlindungan HAM yang
sifatnya lebih universal. Perlindungan terhadap kelompok minoritas tertuang dalam berbagai
instrumen HAM internasional baik yang berupa hard laws (dalam bentuk kovenan, konvensi
maupun perjanjian internasional lainnya) maupun yang bersifat soft laws (deklarasi, panduan, dan
sebagainya). Berbagai pengaturan tentang minoritas agama secara umum tertuang, misalnya
dalam Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (ICESCR)
Dalam sejarahnya, proses penyusunan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
dan Konvensi Genosida terjadi bersamaan. Dalam proses ini, genosida dinyatakan tidak boleh
terjadi karena merupakan “...denial of the rights of existence of entire human groups” (penyangkalan
atas eksistensi sekelompok manusia). Alasan ini memberikan pengakuan atas hak sekelompok
manusia yang kemudian makin dipertegas di dalam ICCPR yang menuliskan hak-hak individu
dalam kelompok minoritas. Pasal 27 ICCPR menyatakan bahwa: “Di negara-negara dimana
12
ada golongan minoritas berdasar etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung
dalam kelompok-kelompok minoritas ini tidak dapat diingkari haknya, dalam komunitas bersama
anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan
mengamalkan agama mereka sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.”2
Pasal 27 ICCPR bisa dikatakan merupakan ketentuan yang paling banyak diterima sebagai
ketentuan yang mengikat. Ketentuan ini mengakui hak-hak anggota kelompok minoritas dan
mewajibkan kepada negara untuk menjamin bahwa semua individu dalam wilayah hukumnya
menikmati hak-hak mereka, yang membutuhkan tindakan khusus (positive measures) untuk
memperbaiki perbedaan yang diterima kelompok minoritas. Tindakan-tindakan yang positif ini
perlu untuk melindungi identitas minoritas dan hak-hak dari anggotanya untuk menikmati dan
mengembangkan budaya dan bahasa mereka dan untuk melaksanakan agama mereka di dalam
komunitas dengan anggota kelompok lainnya.3
Pengakuan atas hak ini didasari pada pengakuan dan kesadaran bahwa persoalan ini
bisa memicu konflik bersenjata. Oleh karena itu pengakuan hak ini dibutuhkan dan
ditujukan untuk perdamaian, keamanan dan HAM. Pengakuan terhadap hak minoritas juga
menjadi tonggak penting karena pasal ini memberikan dasar bagi pengakuan identitas individu
yang berada di dalam kelompok minoritas ini . Selain itu, Pasal 27 ini dapat dipahami
dalam dua pengertian yaitu, pertama bahwa kelompok minoritas itu ada (exist), dan yang kedua
pasal ini mengakomodasi Negara-negara yang merasa bahwa mereka tidak memiliki kelompok
minoritas. Tapi pasal ini juga menegaskan unsur kolektivitas dari eksistensi individu.4 Secara
politik, pengakuan pasal ini merupakan tonggak penting karena hak ini menegasikan politik
asimilasi yang pada masa 1960-an banyak digagas oleh Amerika Serikat, Australia dan Chili
yang negaranya dibanjiri imigran.5 Politik asimilasi memiliki tendensi diskriminasi terhadap
yang mereka yang tidak bisa berasimilasi. Selain itu, politik asimilasi juga membuat orang yang
dianggap “liyan” ini harus terus menerus menundukkan diri pada kelompok yang lebih besar
agar bisa diterima. Sementara orang ini juga tidak pernah tahu kapan dia terasimiliasi dan
akhirnya diterima oleh warga .
Dalam perjalanannya, sekalipun hak-hak individu dalam kelompok minoritas telah
dikenal sejak pasca Perang Dunia II, namun tidak ada satupun definisi minoritas yang berhasil
dibangun. Bahkan Deklarasi atas Hak-hak Individu dari Kelompok Minoritas Agama, Etnis atau
Bahasa tahun 1992 juga tidak membuat definisi ‘hak minoritas’. Sampai akhirnya pada tahun
1977, Francesco Capatorti, UN Special Rapporteur for Prevention of Discrimination and Protection
of Minority, membuat usulan definisi ‘minoritas’. Capatorti menyatakan ‘Minoritas’ yaitu :
“Sekelompok orang yang secara jumlah lebih sedikit, dibandingkan seluruh populasi suatu Negara,
yang berada dalam posisi tidak dominan, yang anggota-anggota kelompok ini merupakan warga
negara, dengan karakter etnis, agama, atau bahasa yang berbeda dari anggota warga lainnya,
dan menunjukan, meskipun tidak terlihat nyata, ikatan solidaritas, yang diarahkan untuk memelihara
budaya, tradisi, agama, dan bahasa mereka.”
2 Kovenan Internasional Hak–hak Sipil dan Politik [ICCPR] International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) adopted by the United Nations General Assembly on 16 December 1966. Pasal 27
3 Komentar Umum 18 (37) Komite HAM dan Komentar Umum No. 23 (1994).
4 Patrick Thornberry. International System of Protection of Minorities.
5 Dieter Kugelman. The Protection of Minorities and Indigenous Peoples Respecting Cultural Diversities. Max
Planck Yearbook of United Nations Law, Volume 11, 2007. Koninklijke Brill N.V. Printed in The Netherlands.
Accessed 27 December 2015 http://www.mpil.de/files/pdf1/ mpunyb_06_kugelmann_11.pdf
13
Definisi dari Capatorti ini ini menjelaskan setidaknya tiga elemen kunci yaitu:
1. Yang dimaksud minoritas yaitu minoritas agama, etnis ataupun bahasa yang memiliki
karakteristik berbeda dan masih memiliki solidaritas untuk memelihara budaya, tradisi,
agama dan bahasanya.
2. Minoritas dapat dinilai dari segi jumlah, dimana hal ini dihitung secara nasional dari sebuah
negara, bukan berbasis daerah.
3. Minoritas dalam arti posisi sosial yang tidak dominan dibandingkan dengan populasi pada
umumnya di dalam sebuah negara.
Pada tahun 1992, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi No. 47/135 tentang Deklarasi
Hak- Orang-orang yang termasuk Kelompok Minoritas Bangsa atau Suku Bangsa, Agama dan
Bahasa (Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic
Minorities).6 Deklarasi ini bertujuan untuk terus memajukan perwujudan prinsip-prinsip yang
ada dalam Piagam PBB dan berbagai instrumen HAM internasional. berdasar Deklarasi
ini, setiap Negara akan melindungi eksistensi dan identitas kebangsaan, suku bangsa, budaya,
agama dan bahasa kelompok minoritas dalam wilayahnya dan akan mendorong kondisi-kondisi
yang memajukan hak-hak identitas ini , serta akan mengambil tindakan-tindakan legislatif
dan tindakan yang tepat untuk mencapainya.
Deklarasi ini menjamin hak-hak orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas,
yakni:
a) Hak untuk menikmati budaya mereka, untuk mengakui dan mempraktikan agama mereka
sendiri, dan untuk menggunakan bahasa mereka sendiri secara, baik privat maupun di
muka umum;
b) Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi,
dan publik;
c) Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam pengambilan keputusan yang berdampak
pada mereka pada tingkat nasional maupun regional;
d) Hak untuk membentuk dan mengelola perkumpulan mereka sendiri;
e) Hak untuk membentuk dan menjalin kontak secara damai dengan anggota kelompoknya
atau dengan orang-orang dari kelompok minoritas lainnya, baik di negaranya sendiri
maupun hubungan yang melewati batas negara;
f) Kebebasan untuk melaksanakan hak-hak mereka, secara individual atau dalam komunitas
dengan anggota kelompoknya, tanpa diskriminasi.
Negara melindungi dan memajukan hak-hak orang yang termasuk kelompok minoritas
dengan melakukan langkah-langkah untuk:
a) Memastikan bahwa mereka dapat melaksanakan semua hak dan kebebasan dasarnya
secara penuh dan efektif tanpa diskriminasi dengan persamaan di hadapan hukum;
b) Menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi kelompok minoritas untuk dapat
mengekspresikan karakteristik khas mereka dan mengembangkan budaya, bahasa, agama,
tradisi dan kebiasaan mereka;
c) Memungkinkan mereka untuk mendapatkan kesempatan yang cukup untuk mempelajari
bahasa ibu mereka atau untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ibu mereka;
d) Mendorong pengetahuan sejarah, tradisi, bahasa dan kebudayaan dari kelompok
minoritas dan memastikan bahwa anggotanya mempunyai kesempatan yang cukup untuk
mendapatkan pengetahuan mengenai komunitasnya secara penuh/menyeluruh;
e) Berpartisipasi dalam perkembangan dan pembangunan ekonomi;
f) Memperhatikan berbagai kepentingan kelompok minoritas dalam perencanaan dan
pelaksanan kebijakan dan program-program nasional, dan program-program kerja sama
6 A/RES/47/135, 18 Desember 1992.
14
dan bantuan internasional;
g) Bekerja sama dengan negara lain terkait dengan persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan kelompok minoritas, termasuk dalam hal tukar menukar informasi dan pengalaman
untuk meningkatkan rasa saling memahami dan mempercayai;
h) Memajukan penghormatan bagi hak-hak yang ada dalam Deklarasi ini.
Pada 2010, PBB mengeluarkan Panduan Implementasi untuk menilai dan mengkaji hak
minoritas yang di dalamnya antara lain menyebutkan: 7
1. Sekalipun kelompok target yang dilindungi awalnya oleh Deklarasi Hak Minoritas (1992)
ini terbatas pada tiga identitas, namun tidak bisa dipungkiri bahwa, kelompok minoritas
ini bisa mengalami diskriminasi ganda dengan jenis diskriminasi lain seperti jender,
orientasi seksual, disabilitas. Selain itu, kelompok minoritas ini bisa berada di kelompok
yang dimarjinalkan yang kadang tidak terlihat, tapi ada. Oleh karena itu, cakupan kelompok
minoritas harus diperluas untuk memastikan mereka ada, terlihat (eksis) dan patut
dilindungi.
2. Untuk memastikan bahwa individu ini yaitu orang yang masuk dalam kelompok minoritas,
maka umumnya negara-negara menyepakati dua kriteria untuk menentukan seseorang
berhak mendapatkan perlindungan atas hak minoritasnya:
a. Kriteria objektif yaitu kriteria sebagaimana tertera dalam definisi Capotorti;
b. Kriteria subjektif yaitu dimana anggota kelompok minoritas yang dimaksud secara
sadar menginginkan memelihara karakteristiknya yang berbeda, dan individu itu
sendiri yang secara sadar menyatakan dirinya bagian dari kelompok yang dimaksud.
Selanjutnya Panduan Implementasi PBB ini juga menyebutkan ada empat aspek yang
menjadi cakupan hak yang perlu dilindungi bagi kelompok minoritas yaitu:
1. Kemampuan bertahan dan eksistensi (Survival and Existence).
Aspek ini merupakan bentuk penikmatan terkait eksistensi (pengakuan atas keberadaan)
sebagai “kelompok penyandang hak” dalam suatu negara. Pengakuan atas eksistensi
merupakan pengakuan secara sosiologis (keberadaan fisik) dari kelompok minoritas.
Sedangkan pengakuan identitas merupakan pengakuan sebagai entitas legal dalam suatu
negara. Aspek pengakuan ini meliputi, antara lain hak untuk mendapatkan pengakuan
dan perlindungan atas keberadaan dan identitas kebangsaan atau etnis, budaya, agama,
dan bahasa. Dalam berbagai situasi baik konflik atau pun tidak, kelalaian melindungi
keberadaan individu kelompok minoritas bisa berujung pada kondisi displacement (terusir
dan hilangnya ruang hidup) bagi mereka, yang bahkan bisa berdampak pada hancur atau
musnahnya kelompok ini . Deklarasi Durban (2001) yang merupakan hasil Konferensi
HAM se-dunia di Durban, Afrika Selatan dan Sekjen PBB Kofi Annan menegaskan bahwa
eksistensi mereka harus dilindungi karena seringkali dalam situasi konflik mereka yaitu
target pemusnahan atau genosida.
2. Pemajuan dan Perlindungan Identitas kelompok minoritas (Promotion and Protection of the
Identity of Minorities).
Aspek ini merupakan bentuk penikmatan yang diperlukan untuk memajukan identitas
kelompok dan mencegah upaya-upaya yang dapat mengakibatkan lenyapnya dan hancurnya
identitas dan kebudayaan mereka. Sebagai contoh, larangan terhadap asimilasi secara
paksa. Hal ini tidak saja menekankan pada keharusan sikap toleran, melainkan juga
keharusan untuk melindungi dan menghormati identitas mereka. Bahkan untuk memastikan
pemulihan hak suatu kelompok minoritas yang terabaikan, apabila dibutuhkan negara wajib
memberikan perlakuan khusus (affirmative) terhadap mereka sebagai bentuk keberpihakan.
Aspek Promosi dan Perlindungan meliputi antara lain hak untuk mengekspresikan budaya,
7 OHCHR, Minority Rights: International Standards and Guidelines for Implementation (HR/PUB/10/3)
15
hak untuk menganut dan menjalankan agama serta menggunakan bahasa secara pribadi
maupun di muka umum, hak untuk menikmati dan mengembangkan budaya dan bahasa,
hak untuk membangun dan memelihara sekolah, lembaga pelatihan dan pendidikan
lainnya, serta untuk mengajarkan dan mendapatkan pengajaran dalam bahasa mereka
sendiri. Kedua aspek ini penting dilakukan untuk mencegah politik asimilasi dipaksakan.
3. Kesetaraan dan Non-diskriminasi (Equality and Non-Discrimination)
Di depan hukum, kedua prinsip ini sangat mendasar, dan bahkan tidak diperlukan
pembuktian terhadap intensi atau niat diskriminasi ini . Jika ada tindakan afirmatif,
maka itu harus dipastikan untuk menggantikan kerugian atas diskriminasi yang pernah
terjadi, ataupun untuk memperbaiki ketidaksetaraan yang terjadi saat ini. Di dalam
Komentar Umum ICCPR No. 18 (1989) tentang prinsip Non-Diskriminasi dijelaskan bahwa
tindakan khusus yang bersifat afirmasi (affirmative action) untuk kelompok minoritas ini bisa
dilakukan untuk menghapuskan situasi yang bisa membuat diskriminasi berlanjut. Selain
itu, Komentar Umum ICCPR No. 32 (2009) tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
menjelaskan bahwa tindakan khusus atau tindakan afirmatif bisa berbentuk instrumen
legislasi, atau pun kebijakan eksekutif, yudikatif, administrasi, maupun program. Tindakan
ini bisa mencakup hak atas pekerjaan, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan
jenis-jenis hak lainnya. Tindakan khusus yang bersifat afirmasi berbeda dengan kewajiban
negara terkait hak asasi lainya. Tindakan khusus itu ditujukan untuk menjawab situasi yang
membutuhkan ganti rugi, legitimate dan diperlukan dalam warga demokratis dengan
mengedepankan prinsip-prinsip keadilan (fairness), proporsional dan bersifat sementara.
4. Partisipasi yang Efektif dan Bermakna (Effective and Meaningful Participation).
Partisipasi kelompok minoritas dalam berbagai aspek di ruang publik dan privat sangat
penting untuk mempertahankan identitas mereka. Partisipasi ini tidak hanya bersifat
formalitas, tapi harus efektif dan bermakna. Bahkan dalam forum-forum terkait masalah
minoritas, ditegaskan kembali bahwa agar partisipasi bisa efektif, maka Negara pihak
harus memastikan adanya partisipasi formal, yaitu memastikan partisipasi representasi
kelompok minoritas yang memiliki pengaruh substantif pada keputusan yang diambil
sehingga terbangun perasaan memiliki atas keputusan yang dibuat. Partisipasi berarti juga
adanya mekanisme yang memastikan keragaman warga terwujud dalam institusi
publik seperti parlemen, polisi, maupun peradilan. Dengan demikian, individu anggota
kelompok minoritas bisa terwakili, terkonsultasikan dan memiliki suara dalam keputusan
institusi publik yang berpengaruh pada mereka atau di wilayah dimana mereka tinggal.
Lebih lanjut, sejumlah instrumen HAM lainnya yang juga memberikan penegasan tentang
larangan melakukan diskriminasi dan pentingnya jaminan perlindungan bagi kelompok minoritas,
yaitu antara lain:
Konvensi Hak Anak (1989) Pasal 30 menyatakan bahwa di negara-negara dimana ada
minoritas etnis, agama, atau bahasa atau orang-orang asal pribumi, seorang anak yang termasuk
dalam kelompok minoritas maupun orang-orang pribumi, tidak dapat diingkari haknya, untuk
menikmati kebudayaannya sendiri, untuk menyatakan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau
pun untuk menggunakan bahasanya sendiri.
Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (1948) mengatur
tentang perlindungan terhadap kelompok-kelompok, termasuk minoritas, dan hak mereka
terkait eksistensi fisik. Mekanisme penghukuman terhadap kejahatan genosida ini kemudian
diatur, diantaranya dalam Statuta Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International
Tribunal for Former Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (International Tribunal for Rwanda/ICTR). Statuta
16
Roma (Rome Statute) 1998, yang mengatur tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan, juga memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas, misalnya adanya
ketentuan bahwa pemindahan penduduk secara paksa yang dimaksudkan untuk memindahkan
orang-orang yang termasuk kelompok minoritas dari wilayah tempat tinggalnya atau berakibat
sama dan juga pemaksaan sterilisasi, merupakan pelanggaran serius atas Statuta ini.
Konvensi ILO tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan (1958) mensyaratkan setiap
negara mengadopsi dan melaksanakan kebijakan nasional untuk memajukan dan memastikan
persamaan kesempatan dan perlakukan dalam pekerjaan dan jabatan, untuk menghapuskan
diskriminasi langsung maupun tidak langsung atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama,
pandangan politik, atau asal-usul sosial. Kebijakan nasional ini haruslah menangani
masalah diskriminasi dan memajukan persamaan, dalam hukum maupun dalam praktik, terkait
dengan akses pendidikan dan pelatihan, pelayanan ketenaga-kerjaan, rekruitmen, akses pada
jabatan-jabatan yang khusus, dan syarat-syarat dalam ketenaga-kerjaan.
Deklarasi ILO tentang Prinsip-Prinsip Dasar dan Hak-Hak di Tempat Kerja (1998) menyatakan
setiap anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati, memajukan dan melaksanakan
prinsip-prinsip dasar dan hak-hak di tempat kerja. Hal ini termasuk prinsip non-diskriminasi
dalam pekerjaan dan jabatan, kebebasan berorganisasi dan hak untuk ‘collective bargaining’,
dan penghapusan kerja secara paksa dan wajib, serta buruh anak. Penikmatan atas persamaan
kesempatan dan perlakukan minoritas dipantau di bawah deklarasi ini.
Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya yang tak berwujud (2003) menjamin
perlindungan dan pemajuan praktik, perwakilan, ekspresi, pengetahuan dan ketrampilan
– sebagaimana juga instrumen, objek, artefak dan ruang-ruang budaya yang terkait – bahwa
komunitas, kelompok dan individu mengakui sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Untuk
tujuan ini, Konvensi membentuk suatu pendanaan dan sistem terdaftar untuk perwakilan dan
warisan yang terancam punah.
Konvensi UNESCO tentang Perlindungan dan Pemajuan Keberagaman Ekspresi Budaya (2005),
yang mendorong negara-negara untuk memasukkan budaya sebagai suatu elemen strategis
dalam pengembangan kebijakan nasional dan internasional dan untuk mengadopsi langkah-
langkah yang bertujuan untuk melindungi dan memajukan keragaman ekspresi budaya di
wilayahnya. Konvensi ini menekankan pentingnya pengakuan atas martabat yang setara dan
penghormatan atas semua budaya, termasuk budaya orang-orang kelompok minoritas.
17
JAMINAN HAK-HAK MINORITAS
DALAM HUKUM NASIONAL negara kita
Setelah 17 tahun masa reformasi 1998, secara umum jaminan HAM di negara kita dalam tataran normatif semakin maju. Amandemen Kedua UUD 1945 memperkuat perlindungan HAM di negara kita yang memastikan bahwa HAM dijamin sebagai hak-hak konstitusional.8
Sebelumnya, negara kita telah menyusun kebijakan HAM yang dituangkan dalam Ketetapan
MPR No. XVII tahun 1998 tentang HAM.9 Selain UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, berbagai
UU lainnya juga terbentuk dan semakin memperkuat jaminan perlindungan HAM di negara kita ,
termasuk upaya perlindungan HAM melalui ratifikasi atau pun aksesi sejumlah instrumen HAM
internasional.10 Sejak tahun 1998 hingga kini, dalam kebijakan yang lebih operasional, Pemerintah
telah menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) yang juga merupakan
bentuk komitmen Pemerintah negara kita dalam bidang HAM.11
UUD 1945 menjamin perlindungan HAM bagi para anggota kelompok minoritas.
Secara kolektif, agama/keyakinan yang tertuang dalam tradisi yang mereka anut dan hak-
hak tradisionalnya diakui dan dihormati (Pasal 18B ayat 2). Demikian pula secara individual
mereka dilindungi dan diakui sebagai warga negara dan sebagai penduduk negara kita (Pasal
26). Pengakuan atas hak kewarganegaraan ini, berimplikasi pada keharusan bagi negara untuk
menjamin berbagai macam hak-hak asasi mereka sebagai hak-hak konstitusional (BAB IX).
Jaminan atas hak kelompok minoritas juga sudah tertera dalam UUD 45 pasal 28A hingga J.
Secara khusus yang terkait dengan perlindungan hak minoritas ada pada 28A, 28C (ayat 2),
28E (ayat 2), dan 28I (ayat 2,3). Jaminan ini kemudian dituangkan dalam bentuk Undang-Undang.
Salah satu Undang-Undang yang mengatur hak minoritas yaitu yaitu UU No. 39/1999
tentang Hak Asasi Manusia. UU ini menjamin secara rinci berbagai hak-hak asasi warga negara,
meskipun hak-hak minoritas tidak secara jelas dielaborasi. Pasal 7 UU No. 39/1999 memberikan
8 Lihat Bab XA tentang Hak Asasi Manusia UUD 1945.
9 Secara umum Tap MPR ini berisi; i) Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak
asasi manusia kepada seluruh warga , ii) Menugaskan kepada Presiden Republik negara kita dan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik negara kita untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
iii) Penghormatan, penegakan, dan penyebarluasan hak asasi manusia oleh warga dilaksanakan melalui
gerakan kewarga an atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam kehidupan
berwarga , berbangsa dan bernegara, dan iv) Pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian
dan mediasi tentang hak asasi manusia, dilakukan oleh suatu komisi nasional hak asasi manusia yang
ditetapkan dengan UU.
10 negara kita telah menjadi pihak pada lebih 8 instrumen HAM internasional.
peluang ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional. Lebih
jauh, bahkan warga negara negara kita bisa menggunakan hukum internasional untuk klaim hak-
nya. Sebagai contoh, hak beragama yaitu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan oleh siapapun (Pasal 4). Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang
memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu
(Pasal 22). UU ini selain mengatur berbagai hak yang dijamin, juga menjelaskan tentang tanggung
jawab Negara dan Pemerintah dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, serta
mengatur mandat dan fungsi lembaga khusus yakni Komnas HAM.
Pada tahun 2005, Pemerintah negara kita meratifikasi ICCPR (1966) yang diadopsi dalam UU
No. 12 tahun 2005, dan ICESCR (1966) yang disahkan di dalam UU No. 11 tahun 2005. Pada masing-
masing ratifikasi Kovenan ini , Pemerintah negara kita tidak melakukan reservasi apapun
kecuali membuat deklarasi terkait hak menentukan nasib sendiri (Pasal 1). Dengan ratifikasi
kedua Kovenan ini maka negara kita terikat sebagai Negara Pihak dalam Perjanjian HAM
dan harus mematuhi untuk melaksanakan isi dari kedua Kovenan ini dan menyampaikan
laporan berkala ke Badan Perjanjian HAM PBB.
Selain ratifikasi dua Kovenan utama, negara kita juga sudah meratifikasi Konvensi
Penghapusan Diskriminasi berdasar Ras (CERD), Konvensi Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Hak Anak (CRC), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT),
Konvensi Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya (ICMW), serta Konvensi Penyandang
Disabilitas (ICRPD). Melalui ratifikasi ini, negara kita secara resmi menjadi Negara Pihak yang
terikat pada mekanisme pelaporan pada Komite Kerja pada masing-masing Kovenan atau
Konvensi. Pemerintah negara kita juga wajib melaporkan kemajuan upaya perlindungan dalam
Tinjauan Universal Berkala (Universal Periodic Review) di Dewan HAM PBB.
Dalam prakteknya, konsep kelompok minoritas juga dipahami dengan berbagai cara
oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah. Misalnya, Kementerian Sosial, misalnya, memberikan
definisi kelompok minoritas sebagai bagian dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS). Seperti yang termaktub dalam Permensos No. 8 tahun 2012 menyebut, “[...] kelompok
minoritas yaitu kelompok yang mengalami gangguan keberfungsian sosialnya akibat diskriminasi
dan marginalisasi yang diterimanya sehingga karena keterbatasannya memicu dirinya rentan
mengalami masalah sosial, seperti gay, waria, dan lesbian.Kriteria kelompok minoritas: a) gangguan
keberfungsian sosial; b) diskriminasi; c) marginalisasi; dan d) berperilaku seks menyimpang.”
Berbeda dengan Kemensos, Komnas HAM menemukan bahwa Dinas Sosial Provinsi
DI Yogyakarta justru memiliki perluasan cakupan dengan memasukan unsur dalam pasal 27
Kovenan Hak Sipil dan Politik atau UU No. 12 tahun 2005, dengan menyebutkan:12 “ [...] Kelompok
Minoritas yaitu individu atau kelompok yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa,
agama atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk seperti waria, gay dan lesbian.
Kriteria : (a) Tidak dominan dengan ciri khas, suku bangsa, agama atau bahasa tertentu yang berbeda
dari mayoritas penduduk; (b) Mempunyai perilaku menyimpang
Selain itu, Kemendagri dalam Permendagri No. 27 tahun 2014 tentang Pedoman
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Kerja Rencana Kerja Pembangunan Daerah tahun 2015,
memasukan kelompok minoritas sebagai bagian dari warga tuna sosial yaitu waria, gay,
lesbian, orang dengan HIV-AIDS.13 Sedangkan Kementerian Kesehatan tidak memiliki definisi
SEJARAH PEMBENTUKAN BANGSA
(NATION BUILDING)
DAN KELOMPOK MINORITAS DI negara kita
negara kita merupakan salah satu bangsa di dunia yang memiliki ribuan kelompok etnis, agama dan budaya lokal paling beragam. Namun, kegamangan dalam mengenali dan mendefinisikan kelompok-kelompok ini mengakibatkan identitas mereka di negara kita tidak terlihat.
Meskipun secara nyata mereka ada dan hidup bersama dengan anggota warga lainnya,
namun identitas dan karakter mereka secara kolektif tidak diakui dan tidak dikenali. Akibatnya
keberadaan mereka tidak dipandang dan hak-hak mereka tidak secara sistematis dijamin
dalam regulasi dan program-program Pemerintah. Salah satu upaya untuk melihat asal usul
keberadaan kelompok-kelompok minoritas di negara kita dapat ditelusuri dari perjalanan panjang
pembentukan bangsa ini (Nation Building).
Fase awal pembentukan bangsa negara kita dimulai pada tahun 1900-1945. Fase ini
menjadi fase terbangunnya nasionalisme negara kita yang merupakan fase integrasi dari keragaman
(diversity) ke persatuan (unity) yang elemennya berakar sejak jaman Sriwijaya dan Majapahit.
Fase ini ditandai dengan tiga kejadian yaitu, pertama yang disebut konsep “negara kita ” pertama
kali dalam Manifesto 1924, kedua pengakuan pemuda-pemudi negara kita untuk bertanah-air
satu, berbangsa-satu dan berbahasa-satu negara kita melalui Sumpah Pemuda 1928, dan ketiga
deklarasi kemerdekaan negara kita 17 Agustus 1945 sebagai kemenangan atas kolonialisasi.15 Yang
menarik dari fase ini yaitu bahwa gerakan-gerakan nasionalis yang banyak berperan yaitu
kelompok kelas menengah yang kecil yang menghadapi dominasi Jawa. Sementara itu, suara
dari warga tribal bahkan tidak tersentuh dalam diskusi-diskusi karena asumsinya bahwa
mereka harus di-civilized (diadabkan) dulu, sehingga bagi kelompok nasionalis negara kita , mereka
dianggap jumlah kecil yang bisa diabaikan.16 Elemen yang dipandang penting untuk membangun
kesadaran nasional (national consciousness) yaitu bahasa. Di dalam Kongres Pemuda tahun
1928, beberapa perwakilan dari etnis yang besar (dominan) seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi,
dan Bali mengusulkan bahasa-bahasa di rumpun Austronesia. Namun yang kemudian digunakan
yaitu rumpun bahasa Melayu yang telah lama menjadi lingua franca dalam perdagangan di
Nusantara.
Yang menarik dari proses ini yaitu yaitu lahirnya Pancasila yang disebut sebagai
Dasar Negara. HOS Tjokroaminoto melihat bahwa Islam, sosialisme dan demokrasi yaitu sintesis
untuk gerakan nasionalisme modern. Sementara Soekarno meyakini nasionalistis, Islamistis
dan marxistis yaitu sifat pergerakan rakyat negara kita . Sifat-sifat ini kemudian dirumuskan oleh
Badan Pembentukan Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita (BPUPKI) dan diterjemahkan
dalam 5 (lima) prinsip yang disebut sebagai Dasar Falsafah negara kita . Dalam pidatonya pada
tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyatakanada 5 (lima prinsip yang menjadi titik persetujuan
berbagai elemen bangsa yang tergabung dalam BPUPKI. 17
Fase kedua yaitu antara tahun 1945-1950. Fase ini masih menjadi fase perjuangan
sebagai satu bangsa yang harus mempertahankan kemerdekaannya dari agresi Belanda dan
dari tantangan internal.18 Pada fase ini sistem pemerintahan negara kita berubah dua kali dari
Negara kesatuan menjadi Negara Federal di bawah Republik negara kita Serikat (RIS). Namun
bentuk negara ini hanya bertahan tidak lebih dari dua tahun, dan negara kita kembali
menjadi Negara Kesatuan. Proses ini terjadi setelah politik lokal dan nasional banyak didominasi
oleh politik berbasis etnisitas yang berwajahkan konflik keagamaan di Jawa Barat, Kalimantan,
Sulawesi dan Maluku.19
Fase ketiga antara tahun 1950-1998. Fase ini bisa dilihat dari tiga periode. Periode
pertama 1950-1965, Periode kedua antara tahun 1965-1998 dan periode ketiga yaitu setelah
1998. Periode pertama merupakan periode pembentukan bangsa pascarevolusi yang fokus pada
pendirian sistem pemerintahan melalui demokrasi konstitusional parlementer yang kemudian
justru berubah menjadi Demokrasi Terpimpin dan berakhir dengan peristiwa 30 September
1965.20 Demokrasi parlementer ditandai dengan pemilu pertama dengan keterlibatan partai
politik berbasis identitas primordial. Namun demokrasi parlementer ini tidak cukup stabil dan
akhirnya 1959, Dekrit Presiden dikeluarkan dan menjadi awal Demokrasi Terpimpin dimana
Soekarno memberi tempat pada kelompok-kelompok fungsional. Secara kebudayaan, Soekarno
juga memilih untuk membangun budaya baru yaitu pemurnian dari tradisi lama yang feodal dan
meliberalisasi dari akar etnisitasnya.
Periode ini juga mencatat beberapa peristiwa yang berdampak bagi kelompok minoritas.
Dicabutnya “ tujuh kata” dari Piagam Jakarta ternyata memberikan dampak politik yang siginifikan
karena peristiwa ini dianggap sebagai kekalahan politik perwakilan Islam.21 Peristiwa ini membawa
pada situasi dimana upaya kelompok politik Islam untuk mengembalikan tujuh kata ini menjadi
penting dalam berbagai peristiwa politik. Sementara itu, politik aliran pun makin menguat dan
warga terkelompokkan dalam berbagai aliran nasionalisme, Islam, komunisme, tradisional,
dan sebagainya. Pengelompokan ini tidak hanya terjadi di tingkat elit penguasa melainkan
hingga di kalangan akar rumput, dari kota hingga pedesaan. Di masa ini, kesadaran identitas
kelompok kian menguat. Sebagai contoh, kelompok mistis Jawa makin menyadari keyakinannya
sebagai bentuk perlawanan terhadap Islam modern. Sementara kelompok abangan yang sering
diasosiasikan dengan komunis makin menyadari posisinya berlawanan dengan penguasa tanah
dan priyayi.22 Di kalangan penganut Aliran Kebatinan, pada tahun 1951, Wongsonegoro telah aktif
mengorganisasikan kelompok-kelompok kebatinan dalam Panitia Penyelenggara Pertemuan
Filsafat dan Kebatinan. Selain itu pengorganisasian juga dilakukan dalam partai politiknya, yaitu
Partai negara kita Raya (PIR) dengan mendatangi pelbagai sekte mistik sambil mengajak mereka
untuk berorganisasi di bawah pengayomannya
Dinamika ini berujung pada upaya Muhamad Dimyati di Sidang DPR pada tahun
1952 yang menuntut agar aliran kebatinan itu dilarang keberadaannya dan meminta Departemen
Agama membuat definisi “agama”. Definisi ini lalu dibuat dengan membuat unsur-unsur esensial
dari agama yakni adanya Nabi/Rasul, kitab suci, pengakuan sebagai agama dari luar negeri.
Definisi ini tidak pernah dibakukan dalam regulasi saat itu karena mendapatkan protes dari
penganut Hindu Bali.24 Jika awalnya, mengorganisir kelompok kebatinan ini diharapkan mampu
mendorong dan menjadikan kebatinan diakui sebagai “agama”, maka dengan definisi agama yang
ditetapkan oleh Departemen Agama, maka kelompok kebatinan meyakini bahwa mereka tidak
membutuhkan perantara (Nabi) untuk meyakini Tuhan. Pada tahun 1953, Departemen Agama
menuliskan ada 360 aliran kepercayaan yang teridentifikasi, dan karenanya mereka membentuk
PAKEM (Pengawasan Aliran Kepercayaan di warga ) yang berfungsi mengawasi agama
baru, kelompok kebatinan dan kegiatan mereka. Pengawasan ini dilakukan untuk meredam
pemberontakan sosial.25 Di tahun 1954, bahkan sudah ada aturan yang melarang keyakinan orang
suku Mentawai dan seluruh penduduk Mentawai diminta untuk segera memutuskan apakah
mereka mau pindah ke Islam atau Kristen dalam 3 bulan. Jika tidak dilakukan, sanksi diberikan
oleh polisi atau missionaris dan alat-alat ritual mereka akan diambil.26
Selanjutnya, Pemilu pertama pada tahun 1955 makin menguatkan politik berbasis identitas
(politik aliran). Paska 1955, tidak dapat dipungkiri bahwa politik aliran yang tergambarkan
menunjukan bahwa ideologi Islam dan Nasionalis menguasai politik, dan aliran kebatinan
umumnya mendukung partai-partai Nasionalis. Ketegangan ini terus menguat hingga politik
Nasakom dilakukan. Proses ini menjadi pijakan bagi kebijakan “pemolisian” aliran kebatinan yang
berujung pada disahkannya UU No. 1/PNPS/1965 pada bulan Januari 1965. UU ini menjelaskan
bahwa meningkatnya jumlah aliran kebatinan yang berbahaya menjadi alasan utama perlunya
pengawasan agar tidak ada upaya penodaan agama. Bukan cuma bagi kalangan penganut
aliran kebatinan saja, tapi peraturan ini juga jadi sarana pemolisian bagi mereka yang disebut
“warga terasing”. Di periode ini pula muncul PP No. 10 tahun 1959 tentang Larangan bagi
Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang bersifat Asing di luar Ibukota Daerah Swatantra
Tingkat I dan II serta Karesidenan, yang berdampak pada makin terpinggirkannya warga Tionghoa
negara kita . Selama ini warga Tionghoa dianggap sebagai warga asing dan dipandang mengancam
ekonomi pribumi. Menurut Leo Suryadinata, politik asimilasi masa Soekarno masih setengah
hati atau masih di tahap awal, sedangkan politik asimilasi yang penuh dan bersifat diskriminatif
terjadi pada masa Soeharto, yang mengharuskan etnis Tionghoa berintegrasi penuh dengan
pribumi justru dibarengi dengan tindakan yang membuat etnis Tionghoa semakin tereksklusi.
Di tahun 1954, bahkan sudah ada aturan yang melarang keyakinan
orang suku Mentawai dan seluruh penduduk Mentawai diminta
untuk segera memutuskan apakah mereka mau pindah
ke Islam atau Kristen dalam 3 bulan.
Jika tidak dilakukan, sanksi diberikan oleh polisi atau
missionaris dan alat-alat ritual mereka akan diambil.
Di masa-masa ini, Pancasila masih menjadi bahan perdebatan dalam Sidang Konstituante
tahun 1957 dan diperhadapkan dengan ideologi Islam dan ideologi Sosial Ekonomi. Usai Pemilu
1955, perdebatan mengenai apa dasar negara yang paling cocok dan relevan bagi negara kita berkisar
pada tiga prinsip ini . Namun pada akhirnya, umumnya perdebatan berfokus pada Pancasila
dan Islam, yang juga terwujud dalam polarisasi partai politik. Perdebatan mengarah pada bentuk
Negara yang akan dibangun, Negara agama atau Negara Demokrasi. Dewan Konstituante yang
dibentuk untuk membuat UUD baru tidak berhasil mendapatkan titik temu, hingga perdebatan
ini berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa
negara kita kembali ke UUD 1945.28 Melalui Dekrit Presiden ini Pancasila tetap dijadikan
sebagai Dasar Negara dan negara kita menerapkan demokrasi terpimpin di bawah Soekarno. Masa
ini hingga 1965 merupakan upaya Soekarno untuk kembali menyatukan lagi “perpecahan” yang
terjadi sepanjang perdebatan di Dewan Konstituante dengan mengumandangkan “Nasakom”
(Nasionalisme, Agama dan Komunisme) yang mewakili tiga kekuatan besar di negara kita saat itu.
Ini juga sejalan dengan pemikiran Soekarno masa 1920-an yang selalu mendukung Nasionalisme,
Islamisme dan Marxisme sebagai dasar perjuangan pergerakan rakyat negara kita .
Politik Nasakom dikelola melalui beberapa strategi, yaitu yang menyamakan dasar
Nasakom yaitu Pancasila, dan terutama, gotong royong. Hal ini untuk mendorong kerjasama tiga
kekuatan di negara kita yaitu kalangan nasionalis, agama, dan komunis. Yang kedua, membangun
Front Nasional untuk memperlancar upaya revolusi hingga ke desa-desa. Sementara yang
ketiga, membangun musuh bersama di luar negara kita dengan agenda anti imperialism dan anti
neokolonialisme melalui perjuangan merebut Irian Barat, menolak Nekolim (neo-kolonialisme
dan imperialisme) Malaysia, dan mendirikan Conefo (Conference of the New Emerging Forces).29
Politik Nasakom dengan pendekatan sekuritisasi dibangun dari ketakutan akan perpecahan
di dalam yang kiat menguat, terutama dari kalangan keyakinan yang berbeda dan tidak setuju
dengan Nasakom. Pada periode ini, kelompok minoritas dan orang yang termasuk dalam
kelompok ini makin lebih jelas menyerupai definisi yang digambarkan oleh Capatorti.
Secara jumlah, kelompok warga terasing, kelompok aliran kebatinan atau kepercayaan,
dan etnis non pribumi memang kecil, namun persepsi bahwa mereka lebih rendah (inferior) yang
harus ditingkatkan atau dimajukan menuju budaya nasional, merupakan pandangan dominan
yang dimiliki oleh pimpinan bangsa terutama Soekarno.30
Periode kedua antara tahun 1965-1998 merupakan masa Orde Baru di bawah
kepemimpinan Jenderal Soeharto. Pada masa ini pembentukan bangsa lebih terkonsentrasi
pada upaya memelihara stabilitas politik nasional dan pembangunan ekonomi dengan sistem
pemerintahan otoritarian. Stabilitas politik ditandai d
.jpeg)
