waralaba 2
tiap bulan. Oriflame adalah salah satu
contoh waralaba produk. Seseorang yang bergabung ke Ori-
flame hanya tinggal mengikuti standar operasional dalam
menjual produknya. Tak hanya standar operasional, bahkan
harganya pun telah ditentukan oleh pewaralaba. Jadi, tugas
Anda hanyalah menyetor sejumlah modal (yang pas untuk saku
anak SMA maupun kuliahan) dan jadilah anda seorang pene-
rima waralaba Oriflame. Anda bisa memakai merek Oriflame
dan menjualkan produk-produk mereka selama jangka waktu
kontrak.
Di Indonesia sendiri, pertumbuhan waralaba produk adalah
yang paling pesat, terutama dalam bidang food and beverage.
Di tahun 2017, persentase pertumbuhan waralaba makanan dan
minuman di Indonesia berkisar antara 5-6%, dan mengalami
peningkatan drastis hingga 10% di kuartal awal 201929. Sektor
waralaba ini adalah yang paling diminati calon penerima wara-
laba karena biaya waralaba yang murah dan jangka waktu
mencapai BEP (Break Event Point) yang tak lebih dari setahun.
Bahkan, waralaba ayam goreng ACK, misalnya, telah merambah
desa-desa terpencil. Di Bali sendiri, waralaba ACK lebih populer
dibandingkan dengan KFC atau McDonalds dengan harga yang
pas untuk saku warga menengah ke bawah. ACK menjadi
primadona di wilayah perdesaan bagi warga yang tidak dapat
menikmati nyamannya duduk di bangku KFC atau McDonalds.
Popularitasnya di beberapa desa di dataran tinggi Bali menya-
mai Alfamart dan Indomaret,—terkenal sebagai ‗ayam merah‘
karena lampu gerainya yang menyala merah di malam hari.
Di bidang jasa, waralaba yang kini tengah menggiat di Bali
masih didominasi sektor pendidikan dan pelatihan. Dimulai dari
popularitas Primagama dan English First sebagai pelopor wara-
laba sektor jasa pendidikan nonformal, kini hampir semua
sektor pendidikan nonformal memiliki sistem waralaba30.
Katakanlah Jolly Roger Education, yang memiliki lima cabang di
Bali dan satu cabang di Lampung. Lembaga kursus dan
pelatihan bahasa Inggris yang populer di kota Denpasar ini
telah mengembangkan sistem waralaba dengan menjual sistem
pengajaran, model kurikulum, tenaga pengajar dan tata perwa-
jahan kantor ke beberapa penerima waralaba di Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar. Jolly Roger Education bekerja sama
dengan beberapa hotel, sekolah tinggi dan sekolah menengah
di berbagai wilayah di Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Badung
dengan cara mewaralabakan elemen-elemen usahanya.
Kimia Farma dan Apotek K-24 juga tak mau ketinggalan.
Sistemnya sama seperti apa yang dilakukan oleh dua ber-
saudara Alfamart dan Indomaret. Yang diwaralabakan adalah
sistem penjualan, jenis obat dan tentu saja merk mereka yang
sudah terkenal di mana-mana. Lain lagi di bidang jasa
perbankan, bank BRI adalah pelopor waralaba perbankan yang
terbilang sukses menarik ribuan nasabah dari warga kecil-
menengah. BRI yang memang sesuai dengan visi-misinya
(sebagai bank kerakyatan) menyasar warga desa, petani,
peternak dan pedagang yang lebih nyaman bertransaksi tunai
daripada memencet tombol ATM. Maka lahirlah waralaba BRI
Link yang gerainya bermunculan di sudut-sudut pasar, di
samping warung nasi, di warteg, di tempat fotokopi, bahkan di
balai desa. Dengan BRI Link, siapa pun bisa jadi ‗pegawai bank
sekali waktu‘. Dengan sedikit pelatihan dari pihak BRI, para
pedagang, petani atau pelaku usaha mikro-kecil-menengah
yang ingin penghasilan tambahan bisa mengambil waralaba BRI
Link yang tidak ribet dan tidak mahal. Dengan angsuran kredit
yang ringan pula, BRI Link sanggup merambah hingga pelosok-
pelosok desa, menjadi harapan bagi banyak kalangan masya-
rakat. Hingga Agustus 2019, telah ada 375 ribu agen BRI Link di
seluruh Indonesia. Pada tahun 2017, BRI menguasai 51% pasar
agen Laku Pandai di Indonesia.
Hanya saja, yang patut disayangkan adalah sistem kea-
manan beberapa bank yang masih rawan retas. Fakta membuk-
tikan bahwa skimming masih rawan terjadi, tidak hanya di bank-
bank Indonesia, namun juga di luar negeri.
Beberapa waralaba lain adalah gabungan antara penjualan
produk dan jasa. TalkFusion, misalnya, sebuah waralaba asing
dari Florida, Amerika Serikat, menawarkan paket teknologi
telekonferensi berbasis smartphone. Tak hanya menjual produk
paket teknologi dan software, TalkFusion juga menawarkan kerja
sama pelatihan untuk manajemen dan integrasi sistem berbasis
digital di suatu perusahaan atau lembaga. Harga paket
sistemnya berkisar antara 200 hingga 2000 dolar Amerika
Serikat, namun harga franchise-nya dapat mencapai sekurang-
kurangnya dua ratus juta rupiah.
Yang tak kalah maraknya di kota-kota besar adalah
waralaba Oppo dan Vivo. Waralaba ini bergerak dalam bidang
usaha produk telekomunikasi. Kedua merek ini bukanlah
waralaba ponsel pertama di Indonesia. Sebelumnya sudah ada
Nokia yang akhirnya kandas di tahun 2009-2010, lalu Samsung,
Sony Erickson hingga Huawei si murah yang legendaris. Gerai
ponsel yang memasang logo Vivo atau Oppo membayar
sejumlah biaya waralaba dan pihak Oppo atau Vivo akan
mempermak gerai ponsel itu dengan gaya standar mereka.
Walaupun pihak penerima waralaba diizinkan menjual produk
ponsel dari merk lain, Oppo dan Vivo menetapkan persentase
produk yang harus dipajang. Dengan sistem waralaba, Oppo
dan Vivo merambah berbagai pelosok di seluruh negeri, dan
terkenal dengan ‗manusia kantong udara‘-nya yang melambai-
lambai di tepi jalan.
Ada pula penggolongan waralaba secara lebih spesifik.
Pengkategorian ini dilakukan oleh Intenational Franchise
Association (IFA) yang berbasis di Amerika Serikat. Menurut IFA,
ada beberapa jenis waralaba yang lumrah dijalankan di Amerika
Serikat dan sebagian besar belahan dunia lainnya. Penggo-
longan waralaba ini lebih berdasar pada persentase pewarala-
baan dan elemen-elemen usaha apa saja yang diwaralabakan
oleh pemberi waralaba. Sebagai contoh, walaupun Pepsi
memberikan hak merek dan produksi dalam sistem waralaba,
Pepsi tetap tidak pernah membocorkan resep rahasianya. Resep
rahasia ini, yang biasanya dikemas dalam bentuk ramuan
bubuk, dikirim ke perusahaan manufaktur penerima waralaba
dalam bentuk siap pakai. Jadi, penerima waralaba tetap tidak
pernah tahu apa komposisi rahasia dari ‗ramuan‘ Pepsi.
Kebanyakan waralaba food and beverage memberlakukan
restriksi yang ketat terhadap ‗ramuan rahasia‘ mereka, temasuk
KFC dan McDonalds. Namun demikian, pihak pemberi waralaba
McDonalds tampaknya lebih terbuka dan longgar sebab semua
gerai McDonalds di seluruh dunia bisa berkreasi dengan
rempah-rempah dan cita rasa lokal namun tetap mengikuti
standar jenis makanan ikon McDonalds yakni burger, kola dan
kentang goreng.
1. Product distribution franchise
Dalam waralaba jenis ini, produsen (sekaligus pemilik
merek) memiliki kontrol penuh terhadap perusahaan yang
mendistribusikan produknya. Biasanya, elemen yang diwara-
labakan adalah merek dan hak cipta. Penerima waralaba bisa
menjual produk keluaran produsen dan memasang label
produsen di gerainya. Oppo dan Vivo termasuk dalam jenis
waralaba ini. Dalam usaha ritel, Ace Hardware yang tampil
mentereng di pusat-pusat kota juga adalah sebuah franchise
Amerika Serikat yang berbasis product distribution franchise.
2. Business format franchise
Nama lain waralaba ini adalah business opportunity
ventures. Sebuah perusahaan kosmetik mewajibkan penerima
waralabanya untuk menjual produk-produk usahanya dan
mencari pelanggan. Sebagai timbal balik, pemilik waralaba akan
memberikan kompensasi kepada penerima waralaba sesuai
dengan kinerjanya. Oriflame adalah contoh waralaba dengan
gaya business opportunity ventures, dan juga waralaba alat-alat
kesehatan, terapi detoks bermerek terkenal, dan berbagai mesin
lainnya.
3. Management franchise
Sistem waralaba manajemen biasanya dipakai oleh penye-
lenggara jasa. Dalam waralaba jenis ini, elemen manajemen
perusahaan dipakai sebagai elemen yang diwaralabakan. Dalam
lembaga pendidikan Primagama, misalnya, atau English First,
model kurikulum dan sistem pengajaran adalah unsur yang
diwaralabakan. Beberapa lembaga seperti Ganesha Operation
dan Jolly Roger Education bisa jadi lebih konservatif, dalam hal
ini mereka juga mewaralabakan tenaga pengajar yang telah
mereka latih dalam model pengajaran spesial besutan mereka.
Contoh lain management franchise yang sering Anda
temukan di sekitar Anda adalah jasa paket JNE dan perusahaan-
perusahaan pengiriman sejenis. JNE membuka waralaba dalam
bentuk agen dan memberlakukan tarif yang ditentukan oleh
sistem pemilik waralaba. Agen harus mengikuti sistem itu
sepenuhnya dan tidak diizinkan memberlakukan tarif sendiri.
Gerai agennya pun diset sedemikian rupa sehingga sama di
mana-mana.
4. Retail franchise
Anda tentu pernah mendengar Starbucks Coffee. Gerainya
ada di mana-mana dan digandrungi anak-anak muda. Padahal,
yang dijual di dalamnya tidak hanya kopi. Gerai Starbucks juga
menjual produk-produk makanan lain dan memakai merek
Starbucks yang mendunia itu sebagai daya tarik dan penambah
nilai barang. Penerima waralaba Starbucks Coffee terikat kerja
sama yang disebut sebagai retail franchise, yang mengandalkan
pelanggan-pelanggan yang datang setiap hari untuk membeli
produk atau jasanya yang bermerek. Karena itu, retail franchise
tampak seperti gerai, kafe atau toko biasa. Retail franchise juga
tergantung pada lokasi yang strategis dan banyaknya
pelanggan yang mampir.
Di Bali, ada gerai kopi NgoCok yang fenomenal. Gerai-
nya mirip sebuah wartel kecil di tahun 90-an, dengan permak
dan label merek yang khas. Gerai es kopi ini masih tergolong
sebagai product distribution franchise sebab penerima waralaba
hanya menjual es kopi sesuai dengan standar produsen.
5. Single Operator Franchise
Hampir semua distributor kendaraan bermotor di Indonesia
adalah franchise asing, utamanya single operator franchise.
Sebuah perusahaan, katakanlah PT Astra Honda Motor, meme-
gang lisensi produk Honda di Indonesia. PT Astra menguasai
teknik marketing yang cocok di Indonesia, sehingga Honda
memilihnya menjadi penerima hak waralaba di Indonesia.
Tatkala kontrak terjadi, Honda akan menyediakan suku cadang,
logo, desain seragam, dan branding kepada PT Astra. Dalam
banyak perusahaan, sistem waralaba jenis ini berkolaborasi
dalam bentuk manufacturing franchise.
6. Manufacturing Franchise
Anda melihat Coca Cola dan Fanta di mana-mana. Begitu
pula, Anda melihat KFC, McDonalds dan Pizza Hut di mana-
mana. Ada pula gerai vegetarian Loving Hut yang kini mengarah
pada waralaba ritel. Produk-produk itu sesungguhnya dipro-
duksi di Bali, namun resep dan ‗bumbu rahasia‘-nya datang dari
produsen. Produsen yang memiliki waralaba tidak akan pernah
memberitahu Anda resep rahasia mereka. Sebagai penerima
waralaba, Anda akan dibekali dengan pengetahuan tentang cara
memasak dan sebuah bumbu rahasia yang langsung dipakai. Ini
adalah ciri khas waralaba manufaktur. bila kontrak waralaba
Anda telah selesai, produsen bisa menjamin bahwa Anda tidak
pernah tahu resep rahasia mereka dan tidak akan mengkloning
bidang usaha mereka.
Mengapa Waralaba tercipta?
Sebagai tangan kanan kapitalisme, waralaba memang
menawarkan perluasan usaha dalam waktu yang singkat.
Kekuatan utama waralaba sesungguhnya terletak pada merek
dan hak cipta. Produsen yang mewaralabakan bidang usahanya
biasanya adalah perusahaan yang telah memiliki nama besar,
atau perusahaan yang baru muncul dengan kapital dan prospek
yang menjanjikan. Ace Hardware, misalnya, muncul di Indonesia
dengan produk-produk Amerika yang mentereng. Karena orang
Indonesia sangat suka sekali dengan merek-merek luar negeri,
Ace Hardware langsung mendapat perhatian konsumen yang
menyukai barang-barang bermerek prestigius.
Lain halnya dengan Alfamart dan Indomaret. Sasaran
mereka adalah warga yang mobilitasnya tinggi, perantau,
pekerja malam, dan mereka yang menginginkan kebutuhan
sehari-hari dan ingin berbelanja dengan gaya modern. Kemu-
dian, hadirlah mereka dengan waralaba minimarket yang
merambah hingga pelosok-pelosok desa. Orang hanya perlu
menggelontorkan seratus jutaan rupiah untuk membeli wara-
laba Alfamart atau Indomaret dengan jangka waktu
pengembalian modal sekitar satu atau dua tahun tergantung
strategis atau tidaknya lokasi.
Alasan yang paling fundamental mengapa waralaba
tercipta dikemukakan oleh Jinye Li32, yakni adanya keinginan
untuk balik modal dengan cepat melalui perluasan usaha yang
tidak terlalu memakan banyak waktu dan biaya. Idealnya adalah,
waralaba bertujuan mempersingkat waktu seseorang dalam
mengembangkan modalnya. Dengan waralaba, seseorang tidak
perlu lagi menumbuhkan usaha dari awal. Lagipula, memelihara
usaha waralaba bisa mendatangkan passive income yang
membuat seseorang merasa lebih nyaman.
Ada beberapa teori yang menjelaskan mengapa perusa-
haan atau individu mengadopsi sistem waralaba. Teori pertama
disebut dengan teori pengembangan modal (capital raising
theory) yang dicetuskan oleh Li33. Teori ini terkait dengan
kendala modal yang dihadapi perusahaan ataupun individu
yang ingin mengembangkan usaha. Modal dalam hal ini bukan
hanya berupa uang, namun juga aset seperti tanah dan gedung,
sert sumber daya yang terbatas. Tak hanya itu, ketersediaan
serta beban tenaga kerja juga menjadi alasan utama mengapa
teori pengembangan modal ini muncul. Waralaba adalah solusi
ampuh bagi suatu perusahaan ataupun individu untuk
memperluas modal.
Menurut teori pengembangan modal, perusahaan-perusa-
haan ataupun individu yang menjalin kerja sama waralaba
dengan pemilik waralaba terkenal memiliki tujuan untuk mem-
perkuat modal mereka. Bagaikan janin yang bergantung pada
nutrisi ibunya, perusahaan-perusahaan atau individu bermodal
kecil ini memilih waralaba untuk ‗memperbesar diri‘. Sekali
mereka telah tumbuh besar, mereka cenderung memilih untuk
menjadi direct sellers daripada melanjutkan kontrak waralaba.
Karena itu, menurut teori ini, suatu cabang perusahaan waralaba
X akan berdiri sendiri dari induknya segera sesudah ia memiliki
modal yang cukup besar. Ini adalah salah satu tujuan dari
waralaba menurut teori capital raising.
Teori ini nyatanya adalah yang paling cocok menggam-
barkan tentang mengapa waralaba ada. Menurut Thompson34,
pemeliharaan modal bukan hanya faktor pendorong dari pihak
penerima waralaba, namun juga dari pihak pemberi waralaba.
Pemberi waralaba memiliki kendala dalam ekspansi, terutama
ke wilayah lain dengan demografi, sistem politik dan sosial-
budaya yang berbeda. Sebagai anak emas kapitalisme, pemberi
waralaba tentu saja membutuhkan ekspansi dan ekstensifikasi
modal dengan menekan rasio pengorbanan. Karena itu, baik
pihak pemberi waralaba dan penerima waralaba memiliki motif
yang sama.
Namun demikian, penerima waralaba yang telah memiliki
cukup modal biasanya masih enggan ‗melepaskan diri‘ dan
menjadi direct sellers. Dengan backup merek terkenal dan pasar
yang luas, penerima waralaba cenderung bertahan daripada
harus menghentikan kontrak dengan pemberi waralaba yang
menguntungkan. bila mereka harus melepaskan diri, mereka
menghadapi risiko besar kehilangan modal untuk memulai
branding dari awal. Tren ini tampaknya tidak berubah dari tahun
90-an35 saat waralaba dunia barat mulai merambah Indonesia
secara lebih pesat. Tipikal warga Indonesia yang lebih
menyukai ‗pinjam nama‘ membuat teori ini tidak bisa
sepenuhnya benar.
Karena kelemahan teori pengembangan modal ini, muncul
teori lain yang disebut teori pembagian risiko. Teori ini muncul
pada tahun 1960-an dan menitikberatkan pada persoalan risiko
yang dihadapi baik oleh perusahaan yang akan mengembang-
kan usaha maupun mereka yang ingin menopang usaha. Kedua
belah pihak itu sama-sama memiliki rasa enggan (aversion)
untuk menerima risiko, namun di saat yang sama keduanya
ingin berkembang. Karena itu, perusahaan yang ingin bereks-
pansi pada akhirnya mewaralabakan perusahaannya untuk
membagi risiko dengan penerima waralaba. Inilah sebabnya
mengapa perusahaan atau individu penerima waralaba enggan
meninggalkan kontrak waralaba walaupun modal mereka
sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk maju ke direct sellers.
Penjelasan teori pembagian risiko ini berhasil menjawab kele-
mahan teori pengembangan modal.
Menurut teori ini, waralaba adalah sebuah permainan adu
keseimbangan antara risiko dan keuntungan. Keismpulan dari
teori ini adalah bahwa waralaba terjadi bila kedua belah
pihak sama-sama enggan terhadap risiko dan ingin membagi
risiko itu bersama-sama dengan kompensasi sebanding dengan
risiko ini. Dengan demikian, bila risiko operasional tinggi,
maka royalti juga menjadi tinggi. Dengan kata lain, risiko
operasional berbanding lurus dengan royalti waralaba. Akan
tetapi, Lafontaine (1992) menemukan bahwa dalam kenyataan-
nya, risiko operasional berbanding terbalik dengan royalti
waralaba. bila risiko operasionalnya terlalu tinggi, pihak
penerima waralaba cenderung tidak memperpanjang lagi kon-
traknya dan pemberi waralaba lebih memilih untuk melakukan
hal yang sama ketimbang menerima royalti meski lebih tinggi.
Munculnya waralaba juga dilandasi alasan lain, yakni
kebutuhan pemberi waralaba akan informasi. Dalam rangka
ekspansi usahanya, produsen tidak semata-mata berurusan
dengan modal, promosi dan penjualan. Segalanya tidak
sesederhana itu. Produsen tidak akan semena-mena meng-
gunakan modalnya tanpa ada jaminan bahwa modal itu akan
kembali dan berkembang dalam waktu yang sudah ditentukan.
Karena itu, faktor risiko perlu dikaji. Guna mengkaji faktor risiko
itu, produsen perlu mengumpulkan informasi. Alih-alih meng-
gelontorkan banyak biaya untuk eksplorasi, penelitian dan
analisis ini-itu, produsen lebih memilih ‗menyewa‘ orang lokal
untuk menjualkan produk atau jasanya. Jadilah ia pemberi
waralaba atas dasar mencari informasi.
BRI contohnya. Alih-alih menggelontorkan banyak biaya
untuk mengedukasi warga tentang pentingnya menabung
dan betapa murahnya bunga kredit UMKM mereka, pihak BRI
hanya perlu merekrut orang-orang yang berminat untuk
menjadi agen BRI Link. Dengan sharing informasi dari ratusan
ribu agennya, BRI mendapat informasi mengenai situasi
warga perdesaan dan kredit macam apa saja yang mereka
butuhkan. Di sisi lain, agen BRI Link juga mendapat
keuntungan dari orang-orang yang menabung dan mengajukan
kredit. Dengan adanya agen lokal yang tentu saja lebih intens
dalam interaksi dengan warga lokal, BRI tidak perlu
menggali informasi secara in-depth ke pelosok-pelosok.
Daihatsu juga punya cara jitu untuk menggali informasi.
Anda mungkin pernah melihat iklan Daihatsu yang menam-
pilkan pengusaha hiasan penjor dari Gianyar. Daihatsu menjalin
kerja sama waralaba dengan perusahaan lokal untuk menggali
informasi tentang tren orang Bali memakai mobil. Dengan
informasi ini, Daihatsu menawarkan jenis mobil yang kompatibel untuk mendukung kebutuhan warga dengan latar
belakang budaya, seperti misalnya bagasi belakang yang lebar
untuk mengangkut banten dan sarana upacara yang banyak,
serta ban yang kokoh untuk menanjak di perbukitan Bali di
mana orang-orang rantauan pulang kampung ketika Galungan.
Bahkan, Daihatsu juga sampai tahu bahwa warga Bali
senang makan lungsuran sesudah datang dari pura. Karenanya,
perusahaan itu menyediakan tempat sampah yang lumayan
besar di belakang jok mobil.
Teori kebutuhan akan informasi didukung oleh Mathewson
dan Winter36 dengan teori bahaya moral (moral hazard). Teori
ini juga dikenal dengan teori reduksi supervisi. Suatu
perusahaan dengan banyak cabang memiliki kendala dalam
mengawasi bacang-cabangnya. Karena tindak-tanduk cabang
sangat sulit sekali dipantau terus-menerus, maka cabang
memiliki risiko bahaya moral (bahaya dalam hal integritas)
terhadap perusahana pusat. Karena itu, perusahaan pusat
(disebut dengan headquarters) melakukan supervisi terus-
menerus untuk memantau kinerja cabang-cabang. Supervisi ini
memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit.
Dengan adanya sistem franchise, perusahaan memberikan
sejenis otonomi kepada penerima waralaba untuk mengelola
dan menjual produknya dalam koridor tertentu tanpa harus
melakukan supervisi secara ketat. Pemberi waralaba hanya
tinggal menerima royalti waralaba sesuai perjanjian. Adalah
kewajiban penerima waralaba sebagai direct seller yang harus
memenuhi kuota penjualan agar senantiasa melebihi biaya
royalti waralaba.
Sesuai dengan prinsip waralaba, yaitu menyewa merek dan
hak cipta, maka biaya royalti adalah titik lemah yang bisa
dipermainkan oleh pemberi waralaba. Karena itu, perlindungan
hukum diperlukan baik bagi pemberi maupun penerima
waralaba agar tidak berlaku sewenang-wenang. Kita akan
membahas perlindungan hukum terhadap pelaku usaha
waralaba di bab-bab selanjutnya.
Scott37 menemukan bahwa terdapat pula bahaya moral di
pihak pemberi waralaba. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba masing-
masing memiliki rahasia perusahaan maupun rahasia individu.
Kelemahan dari pihak pemberi waralaba adalah ketidakmam-
puannya untuk memberikan dukungan dan pelatihan bagi
penerima waralaba. Lebih jauh lagi, risiko moral yang dihadapi
pemberi waralaba adalah tatkala ia gagal dalam promosi pro-
duk dan jasanya sehingga berimbas pada semua penerima
waralaba atas perusahaannya.
Karena Scott melihat permasalahan ini lebih menjurus pada
integritas dan rasa saling bertanggung jawab secara moral
antara kedua belah pihak, maka teori bahaya moral ini juga
dikenal sebagai teori etis. Untuk menghindari ketimpangan etis
ini, penerima waralaba biasanya lebih memilih mengangsur
pembayaran royalti, dan pihak pemberi waralaba menyetujui hal
ini sebagai hak penerima waralaba.
Satu lagi teori yang melandasi adanya waralaba adalah apa
yang disebut Perryman dan Combs38 sebagai teori agen utama
(principal-agent theory). Sebagai contoh, tatkala sebuah
perusahaan memiliki banyak rantai perusahaan, maka di setiap
toko ia harus mempekerjakan seorang manajer toko. Ini tentu
membutuhkan tambahan biaya dan beban gaji pegawai. Untuk
menghindari hal itu, perusahaan mewaralabakan mereknya dan
memberikan kesempatan sebebas-bebasnya bagi penerima
waralaba untuk memasarkan produk dan jasanya. Melalui
kontrak royalti, perusahaan bisa menerima income tetap dari
penerima waralaba. Sementara itu, penerima waralaba harus
kreatif agar ia memperoleh penghasilan melebihi biaya royalti
yang harus disetorkannya kepada pemberi waralaba. Ini akan
membuat penerima waralaba menjadi termotivasi dengan
sendirinya.
Menurut teori ini, yang senada dengan teori etis, waralaba
dapat mengurangi faktor adanya masalah agensi dan supervisi
perusahaan. Di sisi lain, waralaba memanfaatkan keinginan
ekonomi penerima waralaba untuk giat berusaha agar keun-
tungannya berlipat ganda. Sistem waralaba memungkinkan
pemberi waralaba untuk meredakan fluktuasi profit secara
bertanggung jawab. Artinya, pemberi waralaba bertanggung
jawab secara moral kepada penerima waralaba, misalnya de-
ngan memberi mereka pelatihan, update informasi dan bahkan
baju seragam.
Faktor pendorong berkembangnya waralaba
Berawal dari sebuah perusahaan mesin jahit, sistem wara-
laba kini merambah berbagai sektor. Sektor pendidikan
nonformal mulai melirik sistem waralaba sejak awal tahun 2000-
an, sebab melirik pasar pendidikan sebagai ladang yang subur.
Banyak siswa tak puas belajar di sekolah sehingga waralaba
pendidikan memiliki kekuatan pada metode pengajaran.
Ganesha Operation, misalnya, memiliki metode the king yang
fenomenal di awal tahun 2002-an. Metode dan kurikulum
nonformal yang ditawarkan bahkan melebihi kesaktian kuri-
kulum sekolah. Ini yang menyebabkan waralaba sektor pendi-
dikan melesat.
Di Indonesia sendiri, waralaba masih terasosiasi dengan
makanan dan minuman. Namun di Bali sendiri, waralaba
makanan dan minuman masih didominasi merek luar Bali.
Sementara waralaba makanan dan minuman asli Bali tampaknya
masih kalah bersaing dengan makanan instan dari luar.
Faktor utama berkembangnya waralaba adalah keuntung-
annya yang relatif instan. Dengan bermodalkan uang lima puluh
hingga seratus juta rupiah saja, seseorang bisa mendapat
kontrak waralaba selama beberapa tahun, biasanya 10-15 tahun.
Pada intinya, sistem waralaba dipilih oleh pengusaha kecil-
menengah karena mereka menginginkan keuntungan banyak
dalam waktu jauh lebih singkat dibandingkan dengan jika
mereka harus mendirikan perusahaan dari awal.
Adanya kebutuhan warga yang semakin meluas
adalah faktor lain yang menyebabkan waralaba semakin
diminati. Kebutuhan warga yang sedemikian kompleks
membuat produsen harus pandai-pandai memilih produk dan
jasa yang memberikan banyak keuntungan. Tak jarang, satu
produsen bisa memproduksi berbagai jenis barang dalam satu
brand. Ini bertujuan mengakomodasi kebutuhan warga
yang semakin meluas. Di desa-desa atau pinggiran kota,
waralaba diminati karena memungkinkan orang-orang berbel-
anja kebutuhan umum dengan jarak yang lebih dekat.
Kebutuhan warga yang semakin kompleks ini didorong
oleh demografi yang menyebar begitu luas dan heterogen. Di
kota-kota besar, misalnya, warga begitu heterogen
sehingga kebutuhannya sangat beragam. Dengan adanya
waralaba, pemilik waralaba (pemberi waralaba) bisa menjangkau
demografi yang lebih luas dengan heterogenitas tinggi tanpa
perlu tambahan biaya riset, biaya pegawai atau beban sewa.
Tentu saja hal ini sangat menguntungkan sebab pemilik
waralaba hanya perlu menjaga image mereknya dari satu
tempat dan menjaga standar kualitas elemen-elemen usaha
yang diwaralabakan.
Bayangkan saja bila Pertamina harus melakukan
manajemen dan supervisi langsung terhadap ratusan ribu
SPBU-nya di seluruh Indonesia. Tentu biaya yang dikeluarkan
akan cukup besar. Karena itu, mulai tahun 2003 Pertamina
membuka peluang waralaba dengan pihak swasta. Anda mung-
kin kadang tidak menyadari bahwa sebagian SPBU bukanlah
milik Pertamina saja. Sebagian SPBU (yang ditandai dengan
penomoran yang berbeda) adalah franchise. Dengan kata lain,
seseorang telah membeli hak cipta dan merek Pertamina serta
menjual produk Pertamina dalam sistem waralaba yang dikenal
sebagai sistem DODO dan CODO. Tentu saja, Pertamina
memberlakukan sistem yang ketat terkait pengaturan harga dan
distribusi untuk mencegah terjadinya penimbunan BBM dan
mempertahankan eksistensinya sebagai perusahaan monopoli
bahan bakar di Indonesia. Anda bisa mencoba menjadi juragan
minyak dengan membeli franchiseSPBU Pertamina. Modalnya
cukup lima miliyar saja ditambah lahan seluas minimal 1.500
meter persegi.
Dari pihak produsen, adanya sistem waralaba menghindar-
kannya dari pajak bea cukai, terutama bila barang dan jasa
mereka dijual ke luar negeri. Bayangkan jika Coca Cola harus
mengirim barangnya dari Atlanta ke Denpasar. Harga satu
kaleng Coca-Cola bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Beruntung,
dengan sistem waralaba, Coca Cola Company bisa menjual hak
cipta produk dan prosedur resep coke-nya yang istimewa itu ke
banyak franchisee di seluruh dunia. Bahkan, Coca Cola
memperbolehkan para franchisee-nya untuk mengubah gaya
penulisan merek Coca Cola di botol kemasan. Karena itu, Anda
akan melihat banyak jenis logo Coca Cola di berbagai negara di
dunia yang ditulis dengan aksara-aksara yang berlainan, mulai
dari aksara Latin, Sirilik, Jepang, Korea hingga Mandarin.
Karena perusahaan luar negeri banyak ‗menebar benih‘ di
negara-negara lain dengan sistem waralaba, mereka dengan
sendirinya terbebas dari pajak bea cukai yang tergolong tinggi.
Sebagai gantinya, pemerintah memberlakukan jenis pajak lain.
Aturan-aturan hukum mengenai waralaba asing akan kita bahas
dalam bab selanjutnya.
Sistem waralaba juga memungkinkan perusahaan asing
terhindar dari beban tenaga kerja luar negeri dan upah standar
pekerja luar negeri. Mari kita ambil contoh India. Sebelum
sebuah perusahaan mengirim tenaga kerja asing dari luar India,
perusahaan itu harus memastikan bahwa gaji tahunan karyawan
asing yang dipekerjakan di India itu lebih dari lima ribu dolar. Ini
tentu membuat kepala pengusaha semakin pening. Karena
kebijakan dalam negeri masing-masing negara berbeda-beda,
suatu perusahaan yang ingin mengembangkan usahanya ke
negara lain akan terkendala berbagai hal. Dengan waralaba,
pengusaha atau produsen bisa memberlakukan prinsip mencari
informasi, dengan melibatkan warga negara lain untuk menjadi
penerima waralabanya. Dengan demikian, produsen luar negeri
akan terbebas dari beban gaji standar karyawan yang bekerja
luar negeri.
Dalam kasus inilah waralaba sering dianggap sebagai
tangan kanan kapitalis. Waralaba bagaikan sebuah tombak yang
bisa menembus apa saja, memungkinkan ekspansi perusahaan
dengan jauh lebih pesat tanpa diblokir oleh segudang pera-
turan perdagangan antarnegara yang ruwet. Tak heran,
perusahaan-perusahaan besar langsung bisa berkespansi
dengan cabang-cabang yang banyak hampir bersamaan di
seluruh dunia.
Namun tak bisa dimungkiri bahwa waralaba memiliki peran
positif dalam menggerakkan perekonomian rakyat dengan lebih
baik. Setiap orang ingin meningkatkan pendapatannya dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya. Salah satu prinsip dasar sebuah
usaha adalah Anda harus selalu punya modal. Dengan modal,
Anda bertaruh dan memperjuangkan agar modal itu berbuah
dan terus berkembang. Waralaba menawarkan pertumbuhan
modal yang jauh lebih pasti daripada jika Anda berusaha dari
nol. Dengan merek yang sudah terkenal dan prosedur standar
yang sudah teruji, Anda hanya tinggal membelinya dan
mengembangkannya di wilayah Anda.
Faktor fundamental terakhir yang membuat waralaba
semakin menjamur adalah proteksi dan pengaturan hukum
yang masih lemah. Waralaba, sebagaimana halnya jenis taktik
usaha lain, selalu memiliki kelebihan dan kelemahan. Meskipun
waralaba menawarkan investasi yang ringan dan BEP yang
relatif cepat, waralaba juga berpotensi mematikan pengusaha
mikro yang modalnya masih kecil sekali. Karena itu,
perlindungan hukum yang tepat sasaran dan adil harus
dirancang dan diberlakukan untuk melindungi sektor usaha
kecil agar tidak tergilas roda waralaba yang semakin menggila.
Keuntungan dan kerugian waralaba
Barangkali Anda masih ingat dengan peristiwa yang sempat
melanda Sari Roti di tahun 2017 silam. Karena isu-isu negatif,
Sari Roti mengalami penurunan omset secara drastis. Meskipun
pada akhirnya perusahaan itu bangkit lagi dengan harapan
cerah, orang bisa belajar banyak dari tragedi yang pernah
menimpanya hanya gara-gara satu-dua gerai yang dianggap
‗bermasalah‘ dengan pihak-pihak tertentu. Nah, gara-gara satu-
dua gerai yang mengalami masalah, seluruh agen franchise Sari
Roti di Jabodetabek kena imbasnya. Omset mereka rata-rata
turun drastis selama beberapa bulan.
Kasus ini adalah salah satu kelemahan sistem wara-
laba. Memang, waralaba menawarkan solusi pertumbuhan
bisnis yang cepat, namun bukan berarti risikonya tidak ada.
Prinsip paling pokok dalam waralaba adalah bahwa Anda
membeli merek dan nama baik sebuah produk atau jasa dan
menjualnya secara kreatif. Jadi, Anda berkewajiban untuk turut
menjaga standar baku dan jaminan mutu yang telah ditentukan
oleh perusahaan pemberi waralaba. bila Anda berbuat
ulah,—misalnya lupa bahwa roti lapis yang Anda jual seha-
rusnya sudah diganti karena kadaluwarsa,—maka konsumen
akan cenderung menganggap bahwa semua toko roti lapis
merek X menjual roti kadaluwarsa. Gara-gara Anda menjual
sebungkus roti kadaluwarsa dan lupa menggantinya, semua
penerima waralaba roti X di wilayah Anda bisa terkena
imbasnya. Barangkali ini menjadi sebab utama mengapa Tuan
Crab enggan mewaralabakan Craby Patty yang legendaris itu.
Jadi, yang menjadi kelemahan utama waralaba adalah ‗satu
salah semua kena‘. Ini mirip seperti hukuman kesalahan dalam
pasukan baris-berbaris, di mana kesalahan satu individu ditang-
gung oleh semua anggota pasukan. Secermat apa pun Anda
memilih waralaba, faktor ‗satu salah semua kena‘ ini kadng tidak
dapat dihindarkan.
Contoh lain ada di salah satu toko ritel waralaba di Amerika
Serikat. Seorang kasir toko ini suatu ketika menyapa seorang
(maaf) transgender dengan sebutan ‗pak‘. Transgender ini
langsung murka dan mencaci sang kasir. Tak sampai beberapa
jam kemudian, seluruh cabang waralabanya di seluruh negara
bagian dicap sebagai toko yang tidak ramah pada transgender.
Video dan beritanya viral selama beberapa minggu di media
sosial di awal 2019 lalu.
Waralaba memang menawarkan keuntungan yang besar
bagi penanam modal. Walaupun modal awalnya bisa dikatakan
cukup menguras rekening, kembalinya modal itu bisa
dipastikan. Sayangnya, penerima waralaba terikat tanggungan
royalti atas elemen-elemen hak cipta yang diwaralabakan.
Untuk menjamin bahwa perusahaan pemberi waralaba mela-
kukan kewajibannya sebagai trainer dan pendukung penerima
waralaba, maka banyak penerima waralaba yang mencicil
pembayaran royaltinya setiap tahun. Tak hanya kewajiban
membayar royalti, penerima waralaba juga dihadapi dengan
durasi kontrak. Artinya, selama kontrak waralaba berjalan,
penerima waralaba tidak diperbolehkan mengelola usaha lain.
Bahkan, beberapa pemberi waralaba yang strik melarang
penerima waralabanya untuk mengembangkan unit usaha lain
di samping waralaba itu saja. Ini tentu menimbulkan sedikit
tekanan pada si penerima waralaba dna mengurangi krea-
tivitasnya. Faktor ini juga membuat penerima waralaba menjadi
kurang fleksibel dan kurang inovatif. Beberapa pengamat dunia
usaha juga menyebut kelemahan waralaba ini sebagai peng-
hambat kemajuan dan kreativitas penerima waralaba.
Lebih lanjut lagi, penerima waralaba juga terikat dengan
supplier yang ditentukan oleh pemilik waralaba. Sebagai contoh,
Anda yang membuka toko roti lapis mengetahui bahwa ada
supplier yang menawarkan harga lebih murah. Namun, Anda
tidak bisa serta merta membeli dari supplier roti tawar itu
karena pemilik waralaba Anda telah menentukan supplier-nya
sendiri. Anda harus mengikuti standar itu semahal apa pun
harganya.
Lagipula, tak semua waralaba yang terkenal bisa dijalankan
dengan mulus di tangan yang berbeda. Waralaba ritel terkenal,
si sobat Alfamart dan Indomaret, adalah salah satu contohnya.
Kendala terberat yang ditanggung oleh penerima waralaba ritel
minimarket ini adalah gaji karyawan. Pemerintah melalui
undang-undang ketenagakerjaan mewajibkan pemilik usaha
untuk menggaji karyawannya setara UMR atau lebih. Jika tidak
demikian, si pemilik usaha bisa masuk penjara karena kasus
perbudakan atau kerja paksa. Selain itu, waralaba ini mengalami
kendala dalam perizinan di setiap daerah. Beberapa desa
pakraman di Bali benar-benar melarang adanya minimarket
dalam wujud apa pun di wilayah desa pakraman. Ini dilakukan
untuk melindungi warga desa yang berjualan di pasar
tradisional dari ancaman monopoli.
Terlepas dari semua kerugian dan keuntungan ini ,
sistem waralaba nyatanya semakin berkembang dan menjadi
lebih fleksibel. Titik lemah sistem waralaba mulai diperbaiki, dan
di masa depan kita bisa berharap untuk melihat sistem waralaba
yang lebih kuat lagi dan lebih mengedepankan prinsip saling
menguntungkan.
tahun 1962, sebuah buku fenomenal terbit di Kanada.
Judul buku itu The Guttenberg Galaxy: The Making of
Typographic Man, yang ditulis oleh pakar komunikasi
Marshal McLuhan. Dalam buku ini ia mencetuskan
satu teori fenomenal yang disebut sebagai determinisme
teknologi. Sebenarnya, teori ini telah tercetus pada tahun 1920
sebagai respons para peneliti terhadap tren revolusi industri,
Perang Dunia Pertama yang melibatkan berbagai jenis senjata
yang tidak pernah ada sebelumnya, hingga prestasi manusia
dalam membuat kapal pesiar Titanic yang legendaris. Teori ini
menyatakan bahwa inovasi dalam bidang teknologi informasi
dan teknologi komunikasi akan memberi dampak perubahan
yang sangat besar bagi kehidupan manusia.
Teori ini percaya bahwa budaya manusia dibentuk dari
bagaimana cara anggota warga berkomunikasi. Dengan
kata lain, budaya pertama-tama terbentuk oleh cara dua
individu berkomunikasi. Teori ini juga menyebutkan bahwa
penguasaan teknologi adalah cara yang paling efektif untuk
mengendalikan warga . Oleh karena itu, perubahan tekno-
logi memiliki dampak langsung pada perubahan sosial-budaya
manusia. Pada dasarnya, teknologi adalah suatu efektivitas
kerja. Dengan kata lain, kata kunci untuk teknologi adalah
efisiensi kerja. Teknologi adalah tentang bagaimana orang
memenuhi kebutuhannya secara lebih efisien. Dengan kom-
puter, Anda bisa mengetik dengan lebih baik tanpa harus
membuang-buang kertas. Dengan smartphone dan aplikasi jual
beli daring, Anda tidak perlu lagi membuka toko untuk menjual
barang atau jasa. Semua ini berujung pada efisiensi.
Dalam kenyataannya, titik efisiensi senantiasa berubah.
Sudah menjadi kodrat alami manusia, tatkala ia mencapai titik
tertentu, maka dia meninggikan standarnya. Tatkala Facebook
pada tahun 2006 berhasil membuat chat pertamanya, ia
mengembangkannya lagi dengan menambahkan berbagai jenis
emoji. Ketika mobil pertama dibuat tanpa power steering, kini
orang bisa menyetir hanya dengan satu tangan, dan besok
malah tanpa tangan samasekali.
Salah satu sampul buku terbitan Guepedia, penerbit buku indie
yang sepenuhnya dijalankan dengan modus daring tanpa sistem musyawarah
perjanjian bermeterai yang ribet. Di masa digitalisasi, bentuk perjanjian bukan
lagi perjanjian dua belah pihak, namun perjanjian setuju dan tidak setuju. Ini
menjadi persoalan baru di bidang ekonomi, ketenagakerjaan dan HAM.
Ada dua kata penting yang akan menjadi fokus dalam bab
ini, yakni waralaba dan milenial. bila digabung, keduanya
bisa memunculkan ide yang benar-benar baru. Zaman milenial
ini adalah saat di mana setiap orang bisa mendapat peluang
eksistensi dan mendapat apa yang mereka butuhkan
dengan cara yang lebih cepat dan murah. Walaupun hanya
beberapa puluh persen saja dari total pengguna internet yang
membeli kebutuhan hidup secara daring, kecenderungan ini
terus meningkat dari tahun ke tahun.
Teknologi informasi menyebabkan sistem waralaba juga
berubah. Mulai 2010, telah muncul waralaba berbasis digital di
berbagai negara. Perusahaan-perusahaan startup yang bermun-
culan baru-baru ini tampaknya sudah memiliki benih waralaba
sejak pertama dilahirkan. Sebagaimana prinsip waralaba, yakni
adanya perjanjian antara kedua belah pihak untuk menggu-
nakan hak cipta, ciri khas atau prosedur suatu usaha, maka
hampir separuh perusahaan startup di era milenial ini adalah
perusahaan waralaba digital. Trennya adalah, perusahaan pem-
beri waralaba cenderung menyasar penerima waralaba dari
kalangan perseorangan. Go-Jek dan Grab, misalnya, adalah
perusahaan waralaba berbasis platform yang efektif sekali.
Untuk memakai atribut Go-Jek, mulai dari jaket, helm,
hingga aplikasi untuk driver, seseorang harus melakukan
registrasi dan melakukan pembayaran. Jadi, jaket dan helm Go-
Jek sebenarnya tidak gratis. Ini adalah bagian dari sistem
waralabanya1. Untuk mendapat hak akses ke aplikasi dan
menerima pelanggan, seorang driver harus membayar sejumlah
uang. sesudah membayarkan sejumlah uang kepada perusahaan,
barulah mereka mendapat sejenis ‗pulsa driver‘ yang
berkurang setiap kali driver mendapat penumpang. Selisih
antara ‗pulsa driver‘ ini dan ongkos antaran yang tertera pada
aplikasi pelanggan adalah keuntungan yang didapat oleh si
abang ojol.
Teknik prabayar ini terbukti sukses membuat Go-Jek men-
jadi perusahaan yang membantu ekonomi warga kecil
yang membutuhkan pekerjaan tanpa harus melalui pelatihan
yang rumit. Seorang driver Go-Jek tidak perlu lisensi pengemudi
transportasi umum, SIM B atau mengikuti pelatihan mengemudi
selama beberapa minggu. Mereka pun tidak perlu mengerjakan
tes-tes yang memeras otak. Dengan mendaftar menjadi driver
Go-Jek dan bermodal kendaraan sendiri, orang bisa menjadi
driver. Dengan royalti yang dbayarkan dengan cara seolah-olah
membeli pulsa, para driver tidak merasakan beban berat tatkala
harus membayar royalti merek Go-Jek yang tertera di
punggung, belakang kepala dan dalam smartphone-nya. Benar-
benar cara yang cerdas.
Berkat sistem waralaba ini, Go-Jek laku keras. Orang kini
bisa memanggil ojek tanpa melambai-lambaikan tangan di tepi
jalan, tanpa perlu datang ke pangkalan sebab pangkalan ojek
kini berada di dalam smartphone. Jadilah Go-Jek sebuah
perusahaan jasa transportasi yang tidak memiliki satu pun alat
transportasi. Go-Jek murni hanya menjual sistem dan mereknya.
Munculnya mode transportasi umum daring membuat
penyedia jasa transportasi konvensional marah-marah. Di awal
kemunculannya, belum ada peraturan pemrintah atau undang-
undang yang mengatur pergerakan jasa transportasi daring
serta penentuan tarifnya. Ketiadaaan undang-undang ini
membuat perusahaan penyedia transportasi daring bebas
menentukan harga, dan seringkali harga yang mereka tawarkan
jauh lebih murah daripada transportasi konvensional berbasis
argo. Otomatis, warga lebih memilih ojek online.
Yang tren juga saat ini adalah sebuah waralaba daring
bernama Airbnb. Airbnb fokus pada penyedia jasa penginapan
di Amerika Serikat. Kerennya, berkat Airbnb setiap orang kini
bisa menjadi manajer hotel. Mereka hanya perlu menata
beberapa kamar kosong di rumah mereka, lalu menjualkan jasa
penginapan murah di aplikasinya dengan merek Airbnb. Tren
yang terjadi adalah adanya peningkatan minat pada penginap-
an murah ini daripada hotel.
Di Bali sendiri, meskipun permintaan terhadap kamar hotel
masih tinggi, ada tren baru mulai tahun 2014. Wisatawan asing
tampaknya cenderung lebih memilih menginap di homestay,
viladan kamar-kamar sewaan sederhana dibandingkan dengan
menginap di hotel-hotel berbintang. Ini yang menyebabkan
permintaan homestay dan vila di daerah Ubud, Payangan dan
Tampaksiring meningkat2. bila di kemudian hari warga
Bali bisa mengelola dan menata lingkungan perumahannya,
bukan tidak mungkin lagi setiap rumah bisa menjadi hotel mini
yang dijajakan dalam mode waralaba sejenis Airbnb.
Instanisasi dan perubahan perilaku
Kata kunci lain dalam bab ini adalah ‗instan‘ dan
‗instanisasi‘. Widhiasthini3 memakai termin ini sebagai kata
lain yang menunjuk pada kemampuan sistem waralaba untuk
mempercepat pertumbuhan modal dan ekspansi usaha.
Kenyataannya, instanisasi usaha di era milenial ini memang
benar terjadi hampir dalam segala aspek kehidupan. Ini adalah
salah satu pengejawantahan keinginan manusia yang semakin
menggebu-gebu dalam memperoleh sesuatu atau mencapai
tujuannya.
Konsumen, menurut Sumarwan4, adalah pembeli, peng-
guna, pengambil keputusan dan/atau pelanggan. Seorang
konsumen akan melakukan tindakan yang disebut perilaku
konsumen terhadap barang, jasa, merek, harga, dan kualitas
suatu produk atau jasa. Dalam sistem waralaba, seorang
penerima waralaba boleh dikatakan bertindak sebagai seorang
konsumen dari merek, hak cipta, ciri khas atau cetak biru
sebuah perusahaan. Tujuan dari penerima waralaba adalah
untuk menjadi perpanjangan tangan dari perusahaan pemberi
waralaba. Jadi, boleh dikatakan bahwa penerima waralaba akan
menjadi sejenis reseller. Bedanya adalah, penerima waralaba
hanya menjadi reseller cetak biru dari kekhasan produk atau jasa
yang diputuskan oleh pemberi waralaba.
Penerima waralaba yang bertindak sebagai konsumen cetak
biru perusahaan pemberi waralaba berposisi sebagai pihak yang
diberikan hegemoni. Artinya pemberi waralaba memiliki hege-
moni terhadap penerima waralaba. Ini mirip seperti ketika Anda
menjual produk buatan Anda. Anda memiliki hegemoni atas
konsumen Anda, sebab konsumen memerlukan produk Anda.
Semakin kuat produk Anda, maka semakin berpengaruh pula
hegemoni Anda. Secara tak kasat mata, hegemoni adalah faktor
yang mengikat warga tanpa kekerasan5. Ini akan terlihat
nyata tatkala Anda membeli sabun atau pasta gigi. Secara tidak
langsung, Anda telah terhegemoni bahwa bila Anda tidak
memakai pasta gigi berkalsium, maka gigi Anda akan
berlubang. Dengan demikian, Anda terikat untuk patuh pada
produsen pasta gigi berkalsium.
Pada tahap pembelian franschise, penerima waralaba berla-
ku sebagai konsumen cetak biru. Karena itu, penerima waralaba
melakukan apa yang disebut sebagai perilaku konsumen.
Tindakan apa pun yang dilakukan oleh konsumen dalam rangka
mendapat , mengkonsumsi, serta menghabiskan nilai suatu
barang dan jasa, serta segala proses pengambilan keputusan
dan persepsi yang mendahului dan mengakhiri segala tindakan
ini adalah rentangan dari perilaku konsumen6. Pengertian lain
dari perilaku konsumen adalah perilaku yang diperlihatkan
konsumen dalam mencari, membeli, memakai , menilai,
serta mengurangi nilai barang dan jasa untuk memuaskan
kebutuhannya7. bila Anda ingin membeli sebuah tas baru,
segala hal tentang bagaimana Anda memutuskan untuk
membelinya, di mana Anda membelinya, dengan cara apa Anda
membayarnya, termasuk mengapa Anda lebih memilih tas yang
simpel atau tas yang bermerek terkenal, semua itu termasuk
dalam kajian perilaku konsumen.
Inilah sebabnya mengapa ilmu perilaku konsumen adalah
ilmu yang luas,—yang adalah gabungan dari teori-teori psikolo-
gi, makna, sosial, dan bahkan pragmatik. Secara umum, perilaku
konsumen disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor internal dan
faktor eksternal. Secara intenal, perilaku Anda dalam memilih
barang dan jasa dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti konsep
diri, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, dan pola
konsumsi Anda. Dari luar, keputusan Anda untuk membeli tas
yang bermerek atau tidak bermerek datang dari lingkungan dan
keluarga, teknologi, kelompok acuan, sosial-budaya, ekonomi,
dan bahkan agama.
Freud (dikutip oleh Sumarwan8) menyatakan bahwa mental
manusia memiliki tiga bagian, yakni identitas, ego, dan
superego. Contohnya seperti ini. Semua manusia memiliki rasa
lapar dan keinginan untuk makan. Suatu hari, Anda sangat
tertarik pada buah pisang ranum milik tetangga Anda. Rasa
ketertarikan alamiah pada makanan lezat ini adalah identitas
Anda,—dengan kata lain, sifat insting yang Anda, saya dan
semua orang miliki. Istilah lain untuk menyebut identitas adalah
insting. Ketika Anda ingin memetik buah pisang itu, tiba-tiba
Anda berpikir, ―Buah ini bukan milik saya, jadi saya tidak boleh
mengambilnya.‖ Jadi, ada konsep yang tertanam dalam diri
Anda bahwa mengambil barang yang bukan milik sendiri adalah
salah. Ini yang disebut sebagai superego. Sementara itu, ego
adalah keputusan yang Anda ambil: apakah Anda akan mencuri
buah pisang lezat itu atau minta izin kepada pemiiknya untuk
membelinya barang beberapa biji.
Perilaku konsumen senantiasa bergerak antara tiga bagian
mental ini. Perilaku konsumen disebabkan secara internal oleh
konsep diri Anda. Ketika konsep diri dipadukan dengan
penawaran merek yang sesuai dengan konsep diri Anda, itulah
yang membuat Anda memutuskan membeli barang atau jasa
sesuatu yang mendukung konsep diri Anda, sehingga Anda
merasa puas9.
Secara eksternal, perilaku konsumen dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor utamanya, menurut Sumarwan, adalah
faktor lingkungan dan keluarga. Di Bali, misalnya, ada tren
perilaku konsumen unik yang dipengaruhi oleh faktor ling-
kungan dan keluarga. Sepanjang tahun-tahun pertama abad
milenial, Bali dibanjiri buah-buahan impor, terutama menjelang
hari raya Galungan dan Kuningan. Penyebabnya adalah, tingkat
konsumsi buah impor di Bali meningkat drastis selama tahun
itu. Satu keluarga yang membeli buah-buahan impor biasanya
membuat sebuah gebogan (di Bali utara lazim disebut pajegan).
Dalam sebuah gebogan, buah-buahan dirangkai sedemikian
rupa membentuk tingkat-tingat yang indah. Orang yang ekono-
minya menengah ke bawah biasanya tidak membuat gebogan,
namun mengemas buah-buahan dalam sebuah wadah anyaman
yang disebut keben. Karena prestise dan malu dilihat orang lain,
banyak orang pada akhirnya berlomba-lomba membuat
gebogan dari buah impor. Syukurlah kini tren ini telah kada-
luwarsa berkat perkembangan teknologi informasi. Ternyata,
banyak buah impor yang disemprot zat kimia berbahaya dan
dijual dengan harga murah. Ini yang menyebabkan tren buah
impor belakangan merosot di Bali.
Yang aneh juga di Bali terkait perilaku konsumen adalah
tren jumlah sesari. Sesari adalah sejenis sumbangan, atau amal,
dalam bentuk sejumlah uang yang dipakai untuk pemeliha-
raan tempat suci dan santunan kepada orang-orang suci. Sesari
biasanya diselipkan pada sesajen dan dimasukkan ke dalam
kotak. Secara prinsip ekonomi, memberikan sesari adalah ter-
masuk proses konsumsi, sebab pemberi sesari mendapat
kepuasan batin ketika memberikan uang. Masalahnya adalah,
tingkat kepuasan batin lama-kelamaan dipengaruhi oleh stan-
dar yang dilihat seseorang dari kelompok acuannya. Misalnya, si
A ingin menyumbang uang dua ribu rupiah, sementara semua
anggota kelompok lainnya menyumbang lima ribu rupiah.
Karena pengaruh kelompok ini, si A ingin menyumbang lebih
karena memakai acuan standar kelompoknya.
Subawa & Widhiasthini (2018)10 malah menemukan hal unik
bahwa di Bali sendiri, perilaku konsumen dipengaruhi oleh
empat faktor yakni budaya follower, citra, gaya hidup instan dan
prestise. Kebanyakan kalangan warga yang dipengaruhi
oleh keempat faktor ini adalah mereka yang berpenghasilan
rendah, mahasiswa, dan para profesional. Dalam salah satu
wawancaranya, Subawa dan Widhiasthini mendapat simpul-
an bahwa konsumen mengalami kebimbangan karena mem-
bandingkan diri dengan rekan-rekan kerja, sehingga mau tidak
mau konsumen terpacu untuk mengikuti semacam ‗standar‘
acuan dalam kelompok mereka.
Kebimbangan yang disebabkan oleh standar dari kelompok
acuan dimanfatkan oleh produsen untuk memasarkan pro-
duknya. Anda mungkin masih ingat iklan internet murah di awal
tahun 2009. Slogannya yang terkenal adalah ―hari gini ga pake
internet?‖ Ini adalah salah satu teknik untuk memberi sugesti
bahwa ―hanya kamu yang tidak punya internet, sementara
semua orang lain sudah punya. Ayo cepat beli produk kami.‖
Teknologi adalah faktor utama lain yang membuat kegiatan
manusia menjadi efisien. Ada tiga aspek esensial dalam kehi-
dupan manusia yang berubah berkat teknologi: komunikasi,
transportasi, finansial. Berkat kemajuan teknologi, ketiga hal
fundamental itu sekarang makin cepat. Semakin mudahnya
akses komunikasi, informasi, transportasi dan keuangan mem-
buat warga berpikir untuk serba instan, termasuk dalam
hal permodalan. Faktor ini pula yang menyebabkan sistem
waralaba menjamur belakangan ini.
Terdapat faktor lain yang mendorong perilaku calon
franchisee dalam memilih waralaba. Beberapa survei dari tahun
ke tahun mengungkap kecenderungan faktor yang berubah
ubah tidak hanya dari segi internal, namun juga eksternal.
Junaidi11 meneliti kecenderungan faktor pendorong utama yang
menyebabkan larisnya pembelian waralaba ritel Alfamart di
Jabodetabek. Ditemukan bahwa pengaruh yang paling
signifikan datang dari faktor keinginan pribadi penerima
waralaba untuk mengembangkan bisnis dan menjadi wirausaha.
Kemudian, faktor harga jual produk Alfamart dan variasinya
membuat waralabanya diminati. Dari sisi pemberi waralaba,
yang membuat waralaba Alfamart sangat laris adalah sistem
manajemen yang terstruktur, komunikasi yang baik dengan
pemberi waralaba, prosedur operasi yang mudah dan tertata
dengan baik, analisis keuangan yang simpel, serta jangka waktu
BEP yang tidak terlalu lama. Tak hanya itu, faktor citra
perusahaan pemberi waralaba juga menjadi faktor penting. Citra
perusahaan ini meliputi popularitas merek, manajemen,
pelayanan toko, penampilan pegawai dan perwajahan toko,
serta luasnya jaringan toko.
Di tahun-tahun berikutnya, survei dilakukan oleh Imanullah
dan rekan-rekannya dengan mengambil sampel pengusaha
waralaba di provinsi-provinsi di Indonesia. Hasilnya, sebagian
besar faktor yang membuat orang memilih usaha waralaba
adalah faktor popularitas perusahaan pemberi waralaba dan
cetak birunya. Dengan kata lain, larisnya waralaba di tahun 2009
disebabkan utamanya karena hak kekayaan intelektualnya yang
unik. Kemudian, faktor distribusi tempat menduduki peringkat
kedua, yang disusul oleh jumlah modal awal yang tidak
memberatkan, serta kemampuan pemberi waralaba untuk
melakukan promosi. Studi ini menemukan bahwa hak kekayaan
intelektual menjadi faktor penting sebab elemen ini telah
terlindungi di Indonesia, walaupun belum setegas negara-
negara maju12.
Ada lagi penelitian lanjutan di tahun 2015 silam. Fatimah
(2015) menemukan bahwa faktor kecanggihan teknologi
menjadi pendorong utama kalangan perempuan melakukan
bisnis, termasuk waralaba di Jakarta13. Di Medan, faktor
pendorong utama pembelian waralaba adalah popularitas
merek, terjangkaunya modal, besarnya potensi keuntangan dan
jenis produk14. Melompat ke Istanbul, Turki, faktor yang
mendorong terbelinya waralaba adalah karena faktor fungsi
operasi merek dan insentif yang diberikan, kemudian baru
diikuti oleh faktor kemudahan teknologi15.
Lalu, apa yang kita dapatkan dari data ini? Kesimpulannya
adalah, para penerima waralaba sepakat bahwa waralaba
sanggup memberikan instanisasi baik modal, pengerjaan dan
keuntungan. Mereka cenderung memilih waralaba yang kredibel
secara merek dan standar operasi. Tak hanya itu, kemampuan
pemberi waralaba untuk memasarkan produk dan jasanya juga
menjadi bahan pertimbangan yang cukup tinggi. Ambillah
contoh Ace Hardware. Dalam selang beberapa tahun saja,
merek waralaba itu telah berhasil bersanding dengan toko-toko
perabotan di tanah air. Melalui kekuatan mereknya yang
mendunia dan tokonya yang besar dan eksklusif, Ace Hardware
segera merajai pasar perabotan rumah tangga di tanah air.
Perubahan perilaku konsumen menyebabkan pemberi
waralaba juga harus menjaga image merek dan cetak biru yang
mereka tawarkan. bila pemberi waralaba gagal melakukan
fungsi support-nya, seluruh cabang waralabanya bisa terkena
dampak. Karena itu, pemberi waralaba juga harus ramah
dengan faktor-faktor utama mengapa sebuah waralaba dibeli
oleh calon pengusaha.
Telah dijelaskan di atas bahwa tatkala menerima waralaba,
penerima waralaba bertindak selaku konsumen dari hak cipta
dan sistem operasional perusahaan pemberi waralaba. Dengan
dikontraknya hak cipta dan sistem operasional, maka penerima
waralaba pada saat yang bersamaan menjadi agen dari
produsen. Dengan kata lain, produsen menurunkan sekian
bagian hak hegemoni kepada penerima waralaba untuk
menghegemoni konsumen. Ini adalah teknik waralaba yang
klasik. Namun demikian, dari waktu ke waktu, perilaku kon-
sumen (dalam hal ini, termasuk juga para penerima waralaba)
mengalami perubahan. bila perilaku konsumen berubah,—
misalnya, mereka lebih tertarik pada sistem jual-beli daring dan
harga yang lebih murah, penerima waralaba harus menunggu
keputusan final dari pemberi waralaba. Di sinilah pemberi
waralaba harus terus melakukan pemutakhiran informasi terkait
perilaku konsumen yang berubah-ubah. Risikonya lumayan
tinggi jika pihak pemberi waralaba sampai tidak hirau kepada
konsumen. Melalui pihak penerima waralaba, pemberi waralaba
bisa menjalankan prinsip penelusuran informasi. Dengan terus
mengadakan dengar feedback, pihak pemberi waralaba bisa
mengubah sistemnya secara berkelanjutan yang akan mengun-
tungkan baik pihaknya maupun semua penerima waralaba atas
merek dan sistem operasionalnya. Inilah tantangan besar bagi
pewaralaba di abad milenial: komunikasi yang baik harus selalu
terjalin antara franchisor dan franchisee, terutama terkait de-
ngan perubahan perilaku konsumen.
Shifting pada kebutuhan publik milenial
Abraham Maslow (1908-1970) bukanlah seorang ekonom,
namun seorang psikolog Amerika berdarah Yahudi yang banyak
menginspirasi para pakar tak hanya dalam bidang kejiwaan
namun juga ekonomi, budaya hingga militer. Salah satu
makalahnya berjudul ―A Theory of Human Motivation‖ yang
diterbitkan Jurnal Psychological Review pada 1943 mengulas
tentang hirarki kebutuhan manusia. Menurut teori hirarki
kebutuhan manusia ini, Maslow menyatakan bahwa kebutuhan
manusia berjenjang dari tingkat dasar hingga puncak. Sebelum
manusia bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, maka dia tidak
beranjak kepada hirarki kebutuhan yang lebih tinggi.
Tatkala teknologi berkembang, kebutuhan manusia menga-
lami pergeseran yang signifikan. Di zaman ini, menurut Kasali
(2018), titik kebutuhan manusia berpusat pada apa yang
disebutnya sebagai self-esteem (tingkat keempat). Jadi, kebu-
tuhan publik milenial kini terpusat nyaris pada puncak piramida
Maslow. Kita bisa melihat bukti-bukti nyata yang ada. Tiga
puluh tahun yang lalu, orang Bali masih bisa mengatakan, betek
basang pesu kidung (lapar hilang, muncullah nyanyian).
Maknanya adalah, tatkala kebutuhan fisik seperti makan,
minum, tidur dan seks terpenuhi, maka manusia memerlukan
rasa aman dan perlindungan. Tatkala manusia merasa aman, dia
bisa menghibur dirinya, misalnya dengan cara menyanyi. Hirarki
kebutuhan warga pada umumnya hanya sampai pada
tingkat kedua, atau ketiga. Itulah sebabnya, secara umum hanya
sedikit orang-orang dari golongan ekonomi lemah yang
mampu mengaktualisasi dirinya, kecuali dia telah dibantu
memenuhi kebutuhan dasarnya.
Hirarki inilah yang menginspirasi Bill Gates sehingga ia
menyatakan bahwa ―jika Anda ingin membuat karyawan Anda
lebih kreatif dan inovatif, maka naikkanlah gajinya.‖ bila
seseorang masih berpikir bagaimana dia makan esok hari, maka
keinginannya untuk self-esteem, apalagi membuat sebuah kanal
YouTube dengan konten kreatif,—akan nyaris tidak terlaksana.
Jadi, menurut Maslow, kreativitas dan aktualisasi diri pekerja
akan muncul bila dia tidak khawatir lagi pada pemenuhan
kebutuhan dasar. Masalahnya adalah, kenaikan upah harus
disertai dengan sistem yang efektif sehingga karyawan tidak
leha-leha dengan gaji besar namun pekerjaan nihil. Di sini etos
kerja yang tinggi berperan, baik dari sisi manajemen maupun
diri sendiri. Anda bisa lihat Google, yang semua karyawannya
tidak khawatir lagi tentang kebutuhan pokok. Mereka bisa fokus
mengerjakan inovasi-inovasi yang baru dan menelurkan banyak
besutan teknologi dan ide-ide kreatif tiap tahun.
Secara umum, di zaman milenial ini, generasi muda
memfokuskan pemenuhan kebutuhan di tingkat empat, yakni
self-esteem. Self-esteem berarti kebutuhan akan prestise,
pengakuan dari komunitas, dan penerimaan dari orang-orang.
Buktinya simpel saja: kini orang ke restoran tidak lagi untuk
makan, namun untuk berfoto bersama makanan.Pada era
sebelumnya, orang pergi ke tempat wisata untuk bersantai,
namun g