Tampilkan postingan dengan label rokok 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rokok 2. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Juli 2023

rokok 2


kan antitembakau yang gencar melakukan kampanye pembatasan 

tembakau hanya melihat persoalan ini dari kacamata kesehatan 

dengan tak memperhatikan nilai ekonomi, budaya dan politik 

kebangsaan dari kretek, produk khas Indonesia. Gerakan antitembakau 

di Indonesia tak lain merupakan kepanjangan tangan dari gerakan 

antitembakau internasional untuk menyokong kemenangan industri 

farmasi dalam perang dagang nikotin.

Melalui Bloomberg Initiative, lembaga yang didirikan oleh salah satu 

tokoh terkenal yang getol memerangi tembakau adalah Michael 

Bloomberg. Lembaga ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu 

target utama dari program pengendalian tembakau dunia. Setiap ta￾hunnya, organisasi-organisasi antitembakau di negeri ini mendapatkan 

kucuran dana untuk memuluskan misi perebutan pasar nikotin.

Organisasi-organisasi yang membawa agenda titipan asing ini 

merasuk ke lembaga penelitian, lembaga pemerintah (Departemen 

Kesehatan), pengawasan good governance, forum parlemen, 

organisasi kemasyaraatan hingga organisasi keagamaan. Total dana 

dari program Bloomberg Initiative dari tahun 2007 sampai 2015 

mendatang yang mengucur ke lembaga-lembaga antitembakau 

di Indonesia sebesar 7.401.212 US$.

Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi – Universitas Indonesia

Mendapat dua kali kucuran dana. Periode pertama Oktober 2008 – Juli 2011 dana 

yang diterima sejumlah 280.755 US$ untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan 

pajak dan harga tembakau. Periode kedua Juni – Mei 2009 dana yang diterima 

sejumlah 40.654 US$ untuk penguatan isu-isu kebijakan bagi advokasi kepada 

pembuat kebijakan dan lembaga-lembaga terkait.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Tidak Menular

(Departemen Kesehatan)

Mendapat dua kali kucuran dana. Periode pertama program September 2008 – 

Agustus 2010 US$ untuk pengembangan strategi kontrol tembakau sekurangnya 

di 7 provinsi untuk membuat peraturan 100% bebas asap rokok. Periode kedua 

November 2011 – Oktober 2013 dana yang diterima 300.000 US$ untuk

implementasi kebijakan peraturan 100% bebas asap rokok di 3 provinsi.

Selanjutnya ditingkatkan menjadi 5 provinsi.

Indonesia Corruption Watch (ICW)

Mendapat kucuran dana sejumlah 45.470 US$ pada periode Juli 2010 – Maret 2012 

untuk menyokong program good governance dalam kebijakan tembakau 

di Indonesia.

Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan

Mendapat empat kali kucuran dana. Periode pertama Januari 2007 – Oktober 2007 

dana yang diterima sejumlah 28.753 US$ untuk menggalang dukungan politik 

untuk meloloskan draf mitigasi dampak tembakau bagi kesehatan.

Periode kedua Oktober 2007 – Desember 2009 dana yang diterima 164.717 US$ 

untuk penggalangan komitmen politik untuk pembuatan kebijakan yang

mengadopsi FCTC. Sekaligus mendorong Indonesia mengaksesi FCTC.

Periode ketiga Januari 2010 – Januari 2011 dana yang diterima 134.100 US$

untuk advokasi mendorong DPR terpilih agar membuat kebijakan kontrol

tembakau dengan mengadopsi FCTC. Periode keempat Maret 2011 – Maret 2012 

dana yang diterima sejumlah 116.171 US$ untuk penggalangan komitmen politik 

melalui kebijakan kontrol tembakau pada calon DPR (2009-2014).

Institut Pembangunan Sosial Indonesia

Mendapat dua kali kucuran dana. Periode pertama September 2010 – Agustus 

2012 dana yang diterima 322.643 US$ untuk mencari dan merangkul kelompok 

keagamaan agar mendukung kontrol tembakau dan aksesi FCTC. Periode kedua 

Maret 2013 – Februari 2015 dana yang diterima 229 US$ untuk mengkampanyekan 

dan meminta dukungan kepada masyarakat tentang kontrol tembakau dan aksesi 

FCTC.
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Tobacco Control Working

Group

Mendapat empat kali kucuran dana. Periode pertama Agustus 2007 – Agustus 

2009 dana yang diterima 542.600 US$ untuk pendirian pusat dukungan kontrol 

tembakau atau Tobacco Control Support Centre (TCSC). Periode kedua

September 2009 – Agustus 2011 dana yang diterima 491.569 US$ untuk

pengembangan lebih lanjut kapasitas TCSC untuk menjawab kebutuhan advokasi 

berbasis data bagi perubahan kebijakan untuk mengurangi penggunaan tembakau. 

Periode ketiga Desember 2011 – November 2012 dana yang diterima 200.000 US$ 

untuk menginisiasi gerakan kontrol tembakau dan membangun jaringan di daerah 

untuk melindungi masyarakat dari bahaya tembakau. Periode keempat Februari 

2013 – Januari 2015 untuk memberi dukungan teknis untuk implementasi program 

100% bebas asap rokok di Kota Pontianak.

Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)

Mendapat dua kali kucuran dana. Periode pertama Juli 2010 – Oktober 2012 dana 

yang diterima 261.258 US$ untuk pembentukan jaringan ahli-ahli hukum publik 

bagi kontrol tembakau Indonesia. Periode kedua Desember 2012 – Desember 2014 

dana yang diterima 253.416 US$ untuk memimpin upaya ligitasi kontrol tembakau 

di Indonesia.

Komisi Nasional Pengendalian Tembakau

Mendapat empat kali kucuran dana. Periode pertama Desember 2009 – Januari 

2011 dana yang diterima 75.348 US$ untuk upaya pelarangan sponsorship

industri tembakau dalam 6 target industri musik dan film di Indonesia. Periode 

kedua Februari 2011 – Januari 2012 dana yang diterima sebesar 112.700 untuk 

aksi dan advokasi kebijakan pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok. 

Periode ketiga Maret 2012 – Maret 2013 dana yang diterima 110.628 US$ untuk 

membangun dukungan pengesahan RPP, RUU, dan larangan iklan, promosi, serta 

sponsorship industri tembakau. Periode keempat Agustus 2013 – Agustus 2014 

dana yang diterima 130.813 untuk membangun dukungan pengesahan RPP, RUU, 

dan pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok.

Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen Semarang

Mendapat dua kali kucuran dana. Periode pertama November 2010 – Juni 2012 

dana yang diterima 106.368 US$ untuk advokasi penerbitan Perda kawasan tanpa 

rokok dan implementasinya. Periode kedua September 2012 – Maret 2014 dana 

yang diterima 86.638 US$ untuk program kota Semarang bebas rokok.

Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Bali

Mendapat kucuran dana sejumlah 31.973 US$ pada periode Januari 2012 –

Desember 2012 untuk kampanye dan sosialisasi peraturan Bali bebas asap rokok 

di tingkat kecamatan.

Lentera Anak Indonesia

Mendapat kucuran dana sejumlah 43.010 US$ pada periode Juli 2013 – Juni 2014 

untuk advokasi pelarangan iklan rokok.

Komnas Perlindungan Anak Indonesia

Mendapat empat kali kucuran dana. Periode pertama Mei 2008 – Januari 2011 

dana yang diterima 455.911 US$ untuk advokasi dan dukungan pelarangan

menyeluruh terhadap iklan, promosi, dan sponsorship rokok terutama pada 

perlindungan terhadap hak-hak anak. Periode kedua Mei 2008 – Desember 2011 

dana yang diterima 142.543 US$ untuk memberi dukungan komprehensif atas 

pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok. Periode ketiga Maret 2011 – 

Februari 2013 dana yang diterima 200.000 US$ untuk membangun dukungan dari 

masyarakat untuk mendukung pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok.

LSM No Tobacco Community (NTC) – Bogor

Mendapat tiga kali kucuran dana. Periode pertama Maret 2009 – April 2011 dana 

yang diterima 233.769 US$ untuk program 100% Kota Bogor bebas asap rokok

di tahun 2010. Periode kedua Mei 2011 – Maret 2013 dana yang diterima 193.968 

US$ untuk program kota Bogor 100% bebas asap rokok. Periode ketiga Juni 2013 

– Mei 2015 dana yang diterima 166 US$ untuk stabilisasi dan pengembangan 

kawasan tanpa rokok dalam regulasi di kota Bogor.

Kajian Kesehatan Masyarakat, Fakultas Farmasi – Universitas Udayana

Mendapat kucuran dana sejumlah 154 US$ untuk dukungan implementasi

peraturan 100% Bali sehat tanpa asap tembakau.

Yayasan Swisscontact Indonesia

Mendapat tiga kali kucuran dana. Periode pertama Mei 2009 – April 2011 dana 

yang diterima 360.952 US$ untuk pembangunan kapasitas masyarakat Indonesia 

untuk mengimplementasikan kontrol tembakau secara efektif. Periode kedua Juli 

2011 – Mei 2013 dana yang diterima 300.000 US$ untuk memperkuat dukungan 

atas implementasi kebijakan Jakarta bebas asap rokok. Periode ketiga September 

2013 – Agustus 2015 dana yang diterima 299 US$ untuk memperkuat kebijakan 

bebas asap rokok dan penyelenggaraannya di Jakarta.
TCSC – Asosiasi Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

mendapat kucuran dana sejumlah 12.800 US$ pada periode Januari 2009 –

Mei 2009 untuk rapat jaringan pengendalian tembakau Indonesia (LSM) untuk 

perencanaan 2009.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

Mendapat tiga kali kucuran dana. Periode pertama Mei 2008 – Juli 2010 dana yang 

diterima 454.480 US$ untuk advokasi dan penegakan peraturan tentang daerah 

bebas asap rokok dan kebijakan larangan iklan. Periode kedua Januari 2011 – 

April 2012 dana yang diterima 127.800 US$ untuk advokasi penerapan peraturan 

bebas asap rokok di Jakarta. Periode ketiga Desember 2012 – Januari 2014 dana 

yang diterima 105.493 US$ untuk penguatan implementasi regulasi kawasan tanpa 

rokok di Jakarta.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali

Mendapat kucuran dana sejumlah 159.621 US$ pada periode Maret 2012 –

Februari 2014 untuk program 100% Bali bebas asap rokok dan implementasi

kebijakan yang sudah dibuat DPRD Bali.

Yayasan Pusaka Indonesia

Mendapat kucuran dana sejumlah 74.000 US$ pada periode Desember 2012 –

Juni 2014 untuk mendukung implementasi kebijakan Peraturan Gubernur No. 

35/2012 tentang Medan bebas asap rokok.

Organisasi Muhammadiyah

Mendapat kucuran dana sejumlah 393.294 US$ pada periode November 2009 – 

Oktober 2011. Di tahun 2010, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Muhammadiyah 

mengeluarkan keputusan fatwa haram rokok No. 6/SM/MTT/III/2010. Lahirnya 

fatwa haram ini menjadi polemik lantaran lahir dengan sokongan dana dari 

Bloomberg Initiative. Setelahnya, data Muhammadiyah sebagai penerima dana 

dihapus dalam laporan bloomberg Initiative. 

Perekonomian Indonesia selalu dihadapkan pada fakta sokongan dari 

keberadaan industri kretek sebagai satu-satunya industri yang paling 

awal berdiri dan bukan hanya mampu bertahan namun memberikan 

kontribusi besar bagi jutaan lapangan kerja dan memberikan pemasu￾kan bagi kas negara. Alasan inilah yang membuat Indonesia menjadi 

salah satu negara yang tidak melibatkan diri untuk menandatangani 

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan sampai seka￾rang tidak meratifikasi ataupun aksesi atas aturan internasional yang 

ditunggangi kepentingan rezim kesehatan dunia dan indutsri farmasi 

multinasional. Namun meskipun tidak memberikan aksesi secara 

resmi ada banyak peraturan perundang-undangan yang mengadopsi 

FCTC. Sebuah langkah yang justru menggadaikan martabat bangsa dan 

menggerogoti industri kretek nasional.
Sejarah industri kretek di Indonesia mengalami beberapa kali ancaman. Pada1930, terjadi krisis 

ekonomi yang berimbas pada naiknya harga cengkeh yang pada saat itu masih impor. Di masa 

penjajahan Jepang, semua petani dilarang menanam tembakau dan dipaksa menanam tana￾man pangan untuk mendukung ketersediaan logistik perang untuk militer Jepang. Sejak akhir 

tahun 1990-an sampai sekarang, rezim kesehatan dunia menggalakkan gerakan dan kampanye 

antitembakau di Indonesia.

Indonesia mengalami kekacauan ekonomi dan politik. 

Kekacauan ini mengakibatkan terjadi peralihan kekua￾saan dari Presiden Suharto ke BJ. Habibie pada Mei 

1998. Di masa ini isu pengaturan tembakau semakin 

berpengaruh. 

BJ. Habibie mendirikan Forum Komunikasi Nasional 

(FKN) yang diinisiasi oleh Badan Obat dan Makanan 

serta Kementerian Kesehatan. FKN merupakan wadah 

konsolidasi antara pemerintah dan Lembaga Swadaya 

Masyarakat (LSM) yang konsentrasinya membahas isu

pengaturan tembakau. Forum ini menerbitkan Peraturan 

Pemerintah (PP) No. 81/1999 yang mengatur iklan, level 

tar dan nikotin, serta promosi. 

Amandemen PP No.81/1999 menjadi PP No. 38/2000 

di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. 

Amandemen memberikan izin penayangan iklan dengan 

batasan, penyesuaian level kandungan tar dan nikotin 

menurut jenis produk hasil tembakau, dan penentuan 

batas waktu penyesuaian kandungan untuk sigaret putih 

2 tahun, sigaret kretek mesin 7 tahun dan sigaret kretek 

tangan 10 tahun. 

Terbit UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, terda￾pat pasal khusus yang melarang penayangan iklan atau 

promosi rokok.

Sejak pemberlakuan undang-undang ini iklan dan pro￾mosi rokok mulai dibatasi dengan tidak diperkenankan 

memperagakan wujud rokok.
Masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, 

PP No.38/2000 diamandemen menjadi PP No. 19/2003. 

Amandemen menyangkut: menghilangkan pasal tentang 

kandungan tar dan nikotin serta setiap produk harus 

diuji coba di laboratorium terakreditasi; pencantuman 

kandungan tar dan nikotin di setiap iklan dan kemasan 

rokok juga peringatan kesehatan; dan ukuran peringatan 

kesehatan harus 15 persen dari kemasan. 

Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudho￾yono. Terbit Undang-Undang No. 39 tahun 2007 tentang 

Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 tahun 1995 

tentang Cukai. Aturan ini memuat peningkatan tarif cukai 

hasil tembakau. 

Terbit Peraturan Menteri Keuangan (PERMENKEU) No. 

200/PMK.04/2008. Peraturan ini memberlakukan keten￾tuan terkait lokasi, bangunan atau tempat usaha. Dam￾paknya banyak industri kecil dan menengah gulung tikar. 

Di tahun ini pula Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau 

(DBH-CHT) yang diamanatkan UU No. 39 Tahun 2007 

tentang Cukai mulai didistribusikan dan terjadi kesim￾pangsiuran penggunaan di daerah. 

Terbit Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kese￾hatan. Produk hukum ini memberi peluang sangat besar 

untuk pengendalian 

tembakau di Indonesia. UU Kesehatan hanya me￾mandang persoalan tembakau melalui kacamata ke￾sehatan tanpa mempedulikan peran ekonomi, sosial dan 

budaya. 

Terbit UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan 

Retribusi Daerah, penambahan beban 10% pajak rokok 

untuk didistribusikan ke daerah dan berlaku mulai tahun 

2014.
Mahkamah Konstitusi memenangkan gugatan Provinsi 

Nusa Tenggara Barat atas PERMENKEU No. 200/

PMK.04/2008 dan kemudian termasuk penerima dana 

DBH-CHT. 

Terbit PERMENKEU Nomor 191/PMK.04/2010 yang 

mengatur Hubungan Istimewa dalam Industri Hasil 

Tembakau. 

Terbit Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Men￾teri DalamNegeri No. 188/Menkes/PB/I/2011 – No. 7 

tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan 

Tanpa Rokok. 

Terbit Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 ten￾tang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif 

Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP ini bukan￾nya mengatur kesehatan tetapi soal tataniaga tembakau. 

Pasal-pasalnya merupakan adopsi dari FCTC.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan 

terkait gugatan Komunitas Kretek terkait Pasal 115 ayat 

1 UU No. 36 tentang Kesehatan, dimana mewajibkan 

pemerintah menyediakan tempat khusus untuk me￾rokok. 

Terbit Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 2013 

tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan In￾formasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau. 

Peraturan ini merupakan adopsi dari FCTC. 

Di tahun yang sama Kementerian Kesehatan mengelu￾arkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 40 tahun 2013 

tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi 

Rokok Bagi Kesehatan. 

Strategi Menkes dalam upaya mengendalikan konsumsi 

rokok secara nasional dan berlaku jangka panjang. 

Terbit PERMENKEU No.78/PMK.011/2013 memuat regu￾lasi penetapan golongan dan tarif cukai beserta pengu￾saha hasil tembakau yang memiliki hubungan keterika￾tan atau keluarga dikenakan tarif tinggi.
Pengaruh wacana kesehatan global yang dikampanyekan kelompok 

antitembakau telah menyusup dalam regulasi di negara Indonesia. 

Kebijakan pengaturan tembakau lebih mengutamakan 

aspek kesehatan daripada aspek ekonomi, sosial, dan budaya. 

Kebijakan ini justru melemahkan industri kretek.
UU Kesehatan merupakan payung hukum tertinggi yang mengatur 

kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Ada empat pasal

pengaturan tembakau yang termuat dalam undang-undang ini yakni 

pasal 113, 114, 115 dan 116. Pada pasal 113 ayat 2 disebutkan zat 

adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, 

produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang 

bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi 

dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Dengan asumsi sebagai zat 

adiktif ini sehingga produksi, peredaran, dan penggunaan tembakau 

dan produk turunannya harus diatur.

Istilah zat adiktif untuk tembakau dalam undang-undang ini menjadi 

polemik di masyarakat. Pertama, penggolongan tembakau sebagai zat 

adiktif masih menjadi perdebatan. Istilah adiktif merujuk pada

pengertian seseorang terobsesi secara terus-menerus, mengalami 

ketergantungan, setelah penghentian konsumsi seseorang akan
mengalami sakau atau depresi. Sedangkan pemanfaatan produk 

tembakau masih bisa dihentikan dan tidak menimbulkan efek samping 

apalagi terjadi sakau atau depresi, sebagai contoh ketika seseorang 

tidak mengkonsumsi tembakau ketika sedang berpuasa atau berada di 

area publik. Kedua, hanya produk tembakau dan turunannya saja yang 

diatur dalam undang-undang ini. 

UU Kesehatan mengatur pula mengenai pencantuman peringatan

kesehatan dalam kemasan produk tembakau, penetapan kawasan 

tanpa rokok, dan mengamanatkan ketentuan lebih lanjut mengenai 

pengamanan zat adiktif dalam Peraturan Pemerintah. Secara garis 

besar pasal-pasal pengaturan produk tembakau dalam UU Keseha￾tan mengekor pada kepentingan rezim kesehatan internasional yang 

mengkehendaki pengendalian tembakau atau jika bisa pelarangan 

produk tembakau.
Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan 

memiliki prioritas untuk melakukan aksesi peraturan FCTC dan 

mengadopsi semua peraturan di dalamnya. Target Roadmap 

Kementerian Kesehatan Tahun 2009 - 2024 

sebagai berikut:

• Kebijakan publik dan legal – aksesi FCTC dan adopsi 

peraturannya ke dalam kebijakan kesehatan dalam negeri.

• Edukasi masyarakat akan bahaya merokok – penggalakan 

kampanye antirokok atau tembakau.

• Perlindungan masyarakat dari bahaya asap rokok – penetapan 

KTR, peningkatan cukai rokok, pelarangan iklan, promosi, dan 

sponsorship dengan peringatan kesehatan bergambar .

• Dukungan untuk berhenti merokok – tersedianya pelayanan dan 

informasi dalam sistem perawatan kesehatan yang terintegrasi 

dengan peraturan FCTC.
Peraturan kesehatan yang mengarah pada 

pengendalian konsumsi tembakau tak 

ubahnya perilaku fasisme atas nama 

lembaga kesehatan. Keputusan seseorang 

untuk merokok bersifat by default karena 

tidak sama sekali dimaksudkan untuk 

merugikan diri sendiri atau orang lain. Tentu 

berbeda dengan kebutuhan kesehatan yang 

sifatnya by design atau perlu diupayakan 

oleh setiap orang.
Cukai merupakan salah satu komponen pendapatan negara yang

mempunyai peran penting bagi terlaksananya tugas negara,

sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, berusaha 

dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. 

Pungutan terhadap komoditi eksotik tembakau telah diatur sejak

zaman kolonial dalam Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932.

Setelah era kemerdekaan pungutan atas cukai tembakau tetap

dilanjutkan sebagai bagian penguatan keuangan negara seperti

diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1947. Dalam peraturan perundang￾undangan terakhir, UU No. 39 Tahun 2007 Perubahan Atas UU No. 

11 Tahun 1995 tentang Cukai, pungutan cukai tembakau dikenakan 

terhadap barang-barang yang mempunyai sifat dan karakteristik 

tertentu. Dari peraturan tentang cukai hasil tembakau tersebut telah 

terjadi pergeseran alasan pemungutan yang awalnya untuk penguatan 

keuangan negara, kemudian bertujuan sebagai sarana pembatasan 

peredaran dan pemakaiannya.

Pengakomodiran dampak kesehatan tampak kuat dalam UU No. 39 

Tahun 2007, sehingga memberi peluang peningkatan tarif cukai terjadi 

setiap tahun. Penetapan tarif yang semakin tinggi setiap tahunnya ini 

mengusung misi yang selaras dengan ketentuan Framework

Convention on Tobacco Control (FCTC). Pertimbangan syarat pajak

seperti pemungutan harus adil dan tidak mengganggu perekonomian 

justru dikesampingkan. Hal ini berimbas pada semakin berkurangnya

perusahaan rokok di Indonesia, terutama industri kecil dan menengah. 

UU Cukai juga menganatkan penerimaan negara dari hasil cukai

tembakau dibagikan kepada provinsi penghasil sebesar 2 persen. Dana 

Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau implementasinya terhadang berbagai 

permasalahan karena kesimpangsiuran peraturan.

Peraturan tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, 

dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusahaan Barang Bea Cukai untuk 

Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau ini memberlakukan 

ketentuan yang sangat berat bagi industri kecil dan menengah,

terutama mengenai lokasi, bangunan, atau tempat usaha. Pasal 3 ayat 

3 mengatur sebagai berikut: (1) tidak berhubungan langsung dengan 

bangunan, halaman atau tempat-tempat lain yang bukan bagian pabrik 

yang dimintakan izin; (2) tidak berhubungan langsung dengan tempat 

tinggal; (3) berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum; 

(4) memiliki luas bangunan paling sedikit 200 (dua ratus) meter

persegi. Peraturan ini telah membuat industri kecil dan menengah 

pengelolaan tembakau banyak yang kolaps, terutama pengusahaan 

kretek. Di Jawa Timur saja, dari sebelumnya ada 1.100 perusahaan 

rokok tercatat hanya 563 perusahaan yang mampu bertahan sejak 

peraturan ini diberlakukan.
Dalam peraturan tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan 

Nomor 200/PMK.04/2008 Tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, 

dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusahaan Barang Kea Cukai untuk 

Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau memuat perubahan 

pada pasal 21 dan 22. Peraturan ini memuat ketentuan perusahaan 

yang memiliki hubungan istimewa terkait langsung maupun tidak 

langsung dalam manajemen dan teknologi akan dikenakan tarif cukai 

menurut golongan perusahaan induk. Peraturan ini secara langsung 

menambah beban bagi industri kecil dan menengah karena tidak bisa 

melakukan kerjasama produksi dengan perusahaan yang lebih besar. 

Industri kecil dan menengah yang membutuhkan penyesuaian waktu 

dengan peningkatan tarif cukai yang terjadi tiap tahun, akhirnya 

terkena imbas dan menambah daftar panjang perusahaan kretek 

yang gulung tikar.
Batang sigaret kretek tangan (SKT) merupakan ciri khas produk rokok dari Indonesia. 

Diproduksi dalam skala usaha rumah tangga sampai pabrikan. 

Produk ini paling rentan atas dampak aktivitas antitembakau 

dan industri rokok multinasional.
Peraturan tentang Penetapan Golongan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau 

Terhadap Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau yang Memiliki 

Hubungan Keterikatan mulai diberlakukan pada 10 Juni 2013 juga 

memberikan tekanan tambahan bagi industri kecil dan menengah. 

Peraturan ini menyebutkan pengusaha yang memiliki hubungan 

keterikatan sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 poin (d), pengusaha 

yang memiliki hubungan keluarga sedarah maupun semenda dalam 

garis keturunan lurus dan/atau ke samping dua derajat akan 

dikenakan tarif lebih tinggi. 

Pemberlakuan peraturan ini diskriminatif karena industri rokok kretek 

di indonesia berbasis keluarga, kalau diterapkan pengusaha rokok 

kretek jelas mati. Peraturan ini juga bertentangan dengan UUD 1945, 

dan praktik ekonomi yang dilakukan masyarakat Indonesia yang 

umumnya berbasis kekeluargaan. 
Pengalokasian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) ke￾pada provinsi penghasil cukai hasil tembakau merupakan implemen￾tasi dari ketentuan UU Cukai. Dana sebesar 2 persen dari Cukai Hasil 

Tembakau dialokasikan untuk peningkatan kualitas bahan baku, pem￾binaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di 

bidang cukai dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal. De￾ngan proposi pembagian DBH-CHT 30 persen untuk propinsi, 40 persen 

untuk kabupaten/kota penghasil dan 30 persen untuk daerah lainnya. 

Tahapan implementasi program DBH-CHT diatur dalam PMK 84/2008 

dan PMK 20/2009. 

Dari penelitian yang dilakukan Indonesia Berdikari tahun 2013, Ironi 

Cukai Tembakau, pelaksanaan kegiatan DBH-CHT terjadi 

kesimpangsiuran dalam pelaksanaan di tingkat daerah baik di 

tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. DBH-CHT di tingkat daerah ini 

ternyata menjadi sarana rezim kesehatan untuk memperlemah 

produsen tembakau dan hasil tembakau. Padahal produsen tembakau 

dan hasil cukai tembakau yang menjadi alasan bagi keberadaan 

DBH-CHT dan Cukai Hasil Tembakau. Temuan ini terjadi di semua 

daerah yang menjadi obyek penelitian, lebih dari 50 persen dari 

DBH-CHT di daerah digunakan kegiatan pembinaan lingkungan sosial
Provinsi Peningkatan 

Kualitas 

Bahan Baku

Pembinaan 

Industri 

Pembinaan 

Lingkungan 

Sosial 

Sosialisasi 

Ketentuan 

Cukai 

Pemberantasan 

Cukai Ilegal 

Jawa Timur 13,33% 13,34% 68,99% 3,53% 0,81% 

Jawa Tengah 26,60% 6,04% 63,34% 3,02% - 

NTB 11,34% - 88% 0,64% - 

DI Yogyakarta 22,95% 2,01% 69,75% 5,29%


UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menambahkan kom￾ponen pajak rokok sebesar 10 persen atas produk tembakau. 

Ketentuan yang berlaku mulai 1 Januari 2014 merupakan adopsi dari 

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang salah satu 

klausulnya mewajibkan pengenaan pajak dan harga produk tembakau 

setinggi-tingginya. Pendapatan negara otomatis mengalami peningka￾tan dengan diterapkan pajak rokok. Dengan tambahan tarif pajak rokok 

sebesar 10 persen maka perkiraan pendapatan negara melalui Industri 

Hasil Tembakau (belum termasuk PPh) akan mencapai angka Rp 121 

triliun pada 2014, dengan perhitungan target penerimaan cukai tahun 

ini sebesar 110 triliun dan beban pajak rokok sekitar Rp 11 triliun. 

Pengenaan tarif pajak ini membuat produk tembakau terkena beban 

pajak ganda. Sebab, sebelumnya telah dipungut atas cukai 

hasil tembakau. Beban makin berat harus ditanggung industri rokok 

nasional, dan secara teoritis kebijakan tarif yang selalu meningkat 

dari tahun ke tahun, memungkinkan kolapsnya industri rokok nasional 

karena beban yang harus ditanggung telah melebihi kesanggupan. 

Berdasarkan data GAPPRI (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok 

Indonesia), kematian industri kretek sejak 2009 telah mengakibatkan 

3.900 unit pabrik kecil gulung tikar diikuti berkurangnya 

lapangan kerja mencapai 195.000 tenaga kerja, dengan asumsi 1 

pabrik kecil hanya menyerap 25 tenaga kerja.

PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung 

Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan merupakan

peraturan pelaksana dari amanat Pasal 116 UU No. 36 Tahun 2009 

tentang Kesehatan. Namun dalam PP ini ada ketidaksesuaian antara 

amanat dengan judul dan muatan yang terkandung dalam peraturan 

pelaksana. Amanat dalam Pasal 116 UU Kesehatan menyebutkan 

bahwa, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan yang mengand￾ung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Artinya pasal 

ini memberi amanat untuk diterbitkan Peraturan Pemerintah yang

mengatur mengenai pengamanan yang mengandung zat adiktif.

Tetapi, PP No. 109 Tahun 2012 secara spesifik memberi pemaknaan 

secara manasuka dengan memberi judul Pengamanan Bahan yang 

Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. 

Dengan justifikasi produk tembakau sebagai zat adiktif, maka ruang 

bagi ilmu pengetahuan untuk mengembangkan penelitian mengenai 

manfaat tembakau telah ditutup dengan terbitnya

Peraturan Pemerintah ini. 

Padahal, pelabelan tembakau sebagai zat adiktif merupakan

akal-akalan yang disodorkan oleh rezim kesehatan dunia dan industri 

farmasi multinasional untuk mengambil alih pasar nikotin.

Itu sebabnya, meski PP No. 109/2012 yang banyak mengadopsi

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) diberlakukan,

aktivis antitembakau di Indonesia masih menyuarakan kepentingan 

rezim kesehatan dunia dan industri farmasi multinasional agar

pemerintah mengaksesi FCTC dalam kerangka hukum nasional
Diterbitkannya PP No 109/2012 pada 24 Desember 2012 membawa 

tendensi yang terang benderang hendak memberangus industri kretek 

secara legal. Terlebih, sebagian besar muatannya justru tidak menga￾tur persoalan kesehatan namun mengenai tataniaga, pembatasan 

dan pengekangan perdagangan, promosi, iklan, kandungan tar dan 

nikotin, serta diversifikasi tembakau yang diadopsi dari Framework 

Convention on Tobacco Control (FCTC). Terbitnya PP No. 109/2012 

bukan hanya tidak bisa membuat industri kretek berkembang, namun 

justru berpeluang membunuh satu-satunya industri nasional yang 

masih bertahan selama lebih 130 tahun.
PP No. 109/2012 memuat pula aturan mengenai pengemasan produk 

tembakau yang jelas merugikan industri rokok nasional. Pada Pasal 

13 disebutkan bahwa, “Setiap orang yang memproduksi dan/atau 

mengimpor Produk Tembakau berupa Rokok Putih dilarang mengemas 

kurang dari 20 (dua puluh) batang dalam setiap kemasan.” Pemuatan 

aturan ini jelas-jelas menguntungkan industri rokok putih yang telah 

menggunakan kemasan 20 batang dalam setiap bungkusnya. Namun, 

bagi produk industri nasional masih butuh penyesuaian pengepakan 

kemasan sesuai aturan. Dan itu berarti, dibutuhkan penyesuaian mesin 

yang sudah barang tentu tidak sertamerta dapat dilakukan oleh se￾mua pabrikan terutama industri kecil dan menengah. Di satu sisi PP 

ini membatasi tembakau dan rokok tetapi di sisi lain impor tembakau 

dibebaskan baik kuota maupun tarif bea masuknya.


Perusahaan Kode 

Emiten 

Keterangan Tahun Nilai Transaksi Kepemilikan 

oleh 

Pengakuisisi 

(%) 

HM Sampoerna HMSP Dijual oleh 

Sampoerna 

kepada Philip 

Morris Indonesia 

2005 5,2 miliar 

dollar AS 

atau Rp 48

triliun 

97,95 

Bentoel 

Internasional 

RMBA Dijual oleh 

Rajawali kepada 

British American 

Tobacco 

2009 497 juta AS 

atau setara

Rp. 5 triliun 

85.125 

Trisakti 

Purwosari 

Makmur 

NA Dijual kepada 

KT&G Corp. 

(Korsel) 

2011 140 milliar Won 

atau setara

Rp.1.12 triliun 

60,00

Ketika menyosialisasikan PP No. 109/2012 Menko Kesejahteraan 

Rakyat mengatakan dalam PP ini tidak menyebutkan larangan bagi 

petani untuk menanam tembakau. Menurutnya, petani masih boleh 

menanam tembakau di Indonesia.
Namun pasal-pasal yang terdapat dalam PP mengatur tataniaga dari 

pembatasan produksi, iklan, sponsor dan standar, yang memberikan 

tekanan untuk industri kretek. PP ini dibuat seolah tidak melarang atau 

membatasi tembakau, seolah-olah tidak ada kaitannya dengan petani 

tembakau, cengkeh, buruh, tenaga periklanan dan tenaga kerja lang￾sung maupun tak langsung. Padahal secara logika jika industri kretek 

nasional dimatikan maka petani, buruh dan tenaga kerja langsung 

maupun tidak langsung akan terkena imbasnya.
Peraturan Daerah dan peraturan lainnya merupakan regulasi turunan. 

Sifat dari regulasi ini lebih aplikatif dalam upaya pengendalian dampak 

tembakau. Namun banyak klausul yang dibuat dalam regulasi tersebut 

ternyata dipengaruhi kepentingan antitembakau, melampaui peraturan 

perundang-undangan di atasnya, dan dijadikan legitimasi kepentingan 

daerah untuk menguatkan kerjasama dengan kelompok-kelompok 

antitembakau di dalam maupun luar negeri.

Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 

188/Menkes/PB/I/2011 – No. 7 tahun 2011 tentang Pedoman 

Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan ini dibuat mengacu 

sebagai payung hukum pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok di tingkat 

provinsi dan kabupaten/kota. Terlebih, sejak pemberlakuan UU RI No. 

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Banyak 

daerah berlomba-lomba mulai membuat Perda Pajak Rokok Daerah 

dan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) supaya memperoleh kucuran 

Dana Bagi Hasil Pajak Rokok. Aturan ini merupakan adopsi pasal 18 

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Penerapan Peraturan Daerah yang mengatur Kawasan Tanpa Rokok 

mengalami peningkatan yang pesat beberapa tahun belakangan. 

Namun peningkatan jumlah KTR tak diimbangi dengan fasilitas yang 

memenuhi hak para perokok. Lebih banyak daerah yang menerbitkan 

Perda Kawasan Tanpa Rokok hanya untuk mendapatkan Dana Bagi 

Hasil Pajak Rokok. Tercatat hingga Oktober 2013 terdapat 198 daerah 

yang memberlakukan Perda Kawasan Tanpa Rokok. 

Namun penerapan Kawasan Tanpa Rokok di daerah masih banyak yang 

serampangan dengan tidak mengindahkan putusan Mahkamah

 Konstitusi terkait gugatan atas Pasal 115 ayat 1 UU Kesehatan. Di 

mana penerapan Kawasan Tanpa Rokok tidak dibarengi dengan 

penyediaan Tempat Boleh Merokok. Menanggapi putusan MK yang 

dimenangkannya, Abhisam DM, Sekjen Komunitas Kretek sekaligus 

salah satu penggugat menyatakan bahwa, “Keputusan sidang MK hari 

ini adalah perjuangan pemenuhan hak rakyat Indonesia atas sebuah 

aktivitas legal.” Jika sebelumnya, penjelasan itu berbunyi, “khusus bagi 

tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan 

tempat khusus untuk merokok”. Kini kalimat itu menjadi, “khusus bagi 

tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat 

khusus untuk merokok”.
Kebijakan pengaturan tembakau yang didorong oleh Kementerian 

Kesehatan selama ini dengan memposisikan tembakau dan produk 

turunannya sebagai wabah (epidemi) penyakit yang harus diberantas 

sampai tuntas. Rokok dipersamakan dengan barang ilegal yang bahkan 

menimbulkan dampak lebih buruk dari narkoba karenanya harus diku￾cilkan. Seakan-akan tidak ada persoalan kesehatan yang lebih penting 

dari sekadar perang antitembakau.

Cara melihat persoalan tembakau dari sudut pandang kesehatan 

dengan meniadakan perspektif lainnya ini bukan hanya tidak tepat 

melainkan justru menyesatkan. Alasannya, tembakau adalah barang 

legal dan komoditi unggulan yang mempunyai peran vital dengan 

pertautan kepentingan ekonomi, sosial dan budaya. Pemaksaan 

perspektif kesehatan secara terus-menerus melalui kampanye serta 

mengukuhkannya dalam bentuk regulasi berpeluang membawa 

persoalan tembakau menjadi masalah sosial yang lebih besar. 

Ambruknya industri kretek akan mengakibatkan jutaan petani 

tembakau, cengkeh dan buruh kehilangan pekerjaan dan negara tak 

mempunyai sumber pendapatan besar untuk pembangunan.
Paradigma kesehatan dalam mengatasi persoalan tembakau telah 

menyusup dalam ranah kebijakan baik itu undang-undang, peraturan 

pemerintah, peraturan menteri sampai peraturan di tingkat daerah. 

Melalui UU Kesehatan tembakau telah dianggap serupa bahan 

terlarang dengan meletakkan tembakau dan produk turunannya 

sebagai zat adiktif yang harus diatur dan dibatasi produksi, peredaran 

dan penggunaannya. UU Cukai dan UU PDRD menjadi komponen 

pendukung pemusnahan tembakau dengan terus meningkatkan harga. 

Di tingkat peraturan pemerintah (PP) pada akhir tahun 2012 diterbitkan 

PP antitembakau yang seharusnya mengatur persoalan kesehatan 

tetapi malah mengatur upaya diversifikasi tembakau dan secara lebih 

spesifik melakukan pembatasan produksi, peredaran, iklan sampai 

sponsorship.

Ditetapkannya berbagai kebijakan antitembakau dengan 

bertitiktolak dari paradigma kesehatan dalam peraturan perundang￾undangan jika ditelisik lebih jauh adalah upaya memasukkan 

kepentingan asing yang terdapat dalam Framework Convention on 

Tobacco Control (FCTC). Kebijakan yang paling tampak dari upaya 

pengadopsian termuat pada PP No. 109/2012 yang sebagian besarnya 

pasal-pasal pengaturan tembakau diambil dari FCTC. Sebuah 

kesepakatan internasional yang ditunggangi kepentingan industri 

farmasi dunia. 

Meskipun telah berhasil memasukkan agenda kepentingan asing 

melalui regulasi, namun upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan 

tak berhenti sampai di sana. Sampai sekarang Kementerian Kesehatan 

terus mendorong agar pemerintah Indonesia mengaksesi secara penuh 

FCTC dalam kerangka hukum nasional.

Berdasarkan ketetapan Peraturan Menteri Kesehatan No. 40 Tahun 

2013 Tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok 

Bagi Kesehatan. Kementerian Kesehatan mengagendakan pemerin￾tah Indonesia untuk mengaksesi peraturan FCTC. Upaya ini semakin 

nyata menunjukkan jika Kementerian Kesehatan menjadi kepanjangan 

tangan rezim kesehatan internasional.
Kebijakan-kebijakan antitembakau yang dikeluarkan membuat 

keberadaan industri kretek semakin tertekan. Di satu sisi industri 

kretek dihadapkan pada peraturan pengendalian tembakau yang 

memihak rezim kesehatan dunia dan industri farmasi internasional. 

Di sisi lain peraturan dalam negeri juga memberi peluang bagi 

industri rokok asing (rokok putih) untuk makin menancapkan 

cakarnya di dalam negeri. 

Melalui PP No 109/2012 industri kretek harus mengikuti standar yang 

digunakan industri rokok putih. Dengan pengepakan produk rokok 

berjumlah 20 batang yang sudah barang tentu mengarah ke rokok 

putih. Meskipun PP ini mengatur secara ketat tataniaga rokok di 

dalam negeri namun tidak memuat aturan pembatasan untuk impor 

tembakau. Sementara itu, makin banyak industri kecil dan menengah 

kretek dalam negeri gulung tikar akibat aturan yang diberlakukan, 

sedangkan perusahaan rokok multinasional asing justru membeli 

kepemilikan atas perusahaan dalam negeri kita. Posisi industri kretek 

nasional terjepit antara tekanan rezim kesehatan dan industri rokok 

multinasional yang melakukan perluasan pasar.

Industri kretek telah membuktikan kebertahanannya selama kurang 

lebih 130 tahun bertumbuh kembang di Indonesia. Pasang-surut 

menghadapi tantangan zaman sejak masa kolonial sampai masa ke￾kinian–menjadikannya industri yang peka zaman. Industri kretek masih 

terus memberikan kontribusi besar bagi bangsa Indonesia, baik itu 

bagi pertanian, penyediaan lapangan kerja, jaminan sosial,

pendapatan negara dan pengembangan kebudayaan bangsa. 

Kontribusi besar ini meringankan pelaksanaan roda pemerintahan. 

Sejumlah kementerian diuntungkan dengan keberadaan industri 

kretek.
Berkaitan dengan kontribusi industri kretek terhadap pertanian melalui 

dua komoditas unggulan, tembakau dan cengkeh. Keduanya tak da￾pat terpisahkan dari keberadaan industri kretek sebagai satu-satunya 

industri yang menyerap hampir seluruh hasil panen dua komiditi terse￾but. Oleh karenanya Kementerian Pertanian mempunyai kepentingan 

atas keberlanjutan industri kretek. Peningkatan luas lahan tembakau 

sejak tahun 2009 - 2013 sekitar 22 ribu hektar, dengan peningkatan 

jumlah produksi nasional sekitar 42 ribu ton, dan produktivitasnya kini 

mencapai 47 kilogram per hektar.

Begitupun dengan pertanian cengkeh juga mengalami peningkatan 

lahan sejak tahun 2009 - 2013 sekitar 9 ribu hektar. Hal ini mengaki￾batkan total produksi nasional juga bertambah sekitar 4,3 ribu ton, 

dengan tingkat produktivitas rata-rata per hektar lahan 

bertambah 19 kilogram.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai kepentingan 

berkaitan dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang diakibatkan 

oleh keberadaan industri kretek. Serapan tenaga kerja dalam produksi 

industri kretek diperkirakan sejumlah 30,5 juta jiwa baik langsung 

maupun yang tak langsung. Tenaga kerja yang berhubungan langsung, 

yaitu petani dan buruh tani tembakau sekitar 6 juta jiwa. Petani dan 

buruh tani cengkeh sekitar 5 juta jiwa. Buruh linting kretek sekitar 

600.000 jiwa. Secara keseluruhannya adalah 11.6 juta jiwa. Sisanya, 

sebesar 18.9 juta jiwa tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung 

dengan industri kretek. Sifat dari industri rokok kretek mempunyai 

multiplier effect bagi sektor-sektor lain. Temasuk di antaranya tenaga 

kerja untuk transportasi, distribusi dan periklanan.
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat mempunyai peran un￾tuk menjamin hak mendapatkan pekerjaan dan hak jaminan sosial bagi 

orang-orang yang terlibat dalam matai rantai industri kretek.

Setiap pekerja memiliki hak untuk memperoleh kesejahteraan sosial. 

Hal ini diatur dalam UU No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial 

Tenaga Kerja (Jamsostek), UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Ja￾minan Sosial, dan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan 

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). 

Jaminan sosial untuk pekerja adalah jaminan untuk melindungi setiap 

pekerja dari ancaman keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan 

dalam rangka mencapai pembangunan nasional. Diutamakan pem￾bangunan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik 

material maupun spiritual. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) 

bagi setiap buruh pabrik kretek merupakan tanggung jawab

perusahaan. Keanggotaan buruh dalam Jamsostek difungsikan untuk 

jaminan kesehatan dan pengobatan, kecelakaan kerja, perawatan ke￾hamilan dan persalinan, cacat atau berkurangnya kemampuan untuk 

menjalankan pekerjaan, dan lain sebagainya. 

Tanggung jawab lain yang berhak didapatkan masyarakat dari perusa￾haan kretek adalah pelaksanaan corporate social responsibility (CSR). 

Hal ini diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 

(PT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)

Kementerian Keuangan mempunyai kepentingan berkaitan dengan 

menjaga sumber pendapatan negara melalui komponen cukai dan pa￾jak yang diberikan industri kretek. Setoran cukai hasil tembakau untuk 

negara di tahun 2013 mencapai Rp 101,2 triliun atau 96% dari total 

pendapatan cukai negara. Dengan menghitung komponen pendapatan 

dari pajak, secara keseluruhan sumbangan pendapatan dari industri ini 

kepada negara mencapai Rp 150 triliun. Pendapatan ini terus mening￾kat, terlebih sejak tahun 2014 ada tambahan sumbangan pajak daerah 

sebesar 10 persen dari pendapatan cukai hasil tembakau.

Industri kretek yang digadang-gadang oleh rezim kesehatan sebagai 

penyebab penyakit malah memberi kontribusi besar bagi program 

kesehatan di Indonesia. Di beberapa daerah penghasil tembakau 

–seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lombok– aliran Dana Bagi 

Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) lebih dari 50 persen dana ini 

dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana kesehatan di 

masing-masing daerah. Begitu pula dengan penerapan UU Pendapatan 

Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang mengamanatkan 50 persen 

didistribusikan untuk program kesehatan daerah.

Kretek adalah identitas yang lahir dari alam dan pengetahuan lokal 

masyarakat Indonesia. Kretek tidak ada di negeri lain. Kretek tumbuh 

dan berkembang di negeri sendiri dan menjadi komoditas ekspor yang 

terkenal di luar negeri. Kretek sebagai identitas budaya melingkupi se￾mua aspek kehidupan masyarakat Indonesia, dari aspek perekonomian 

berkontribusi besar untuk peningkatan pendapatan negara dan peno￾pang pembangunan nasional. Selain itu, industri ini pernah terlepas 

memberi sokongan pengembangan seni-budaya dan prestasi olahraga 

yang mengharumkan nama bangsa di luar negeri. Termasuk dukung￾anya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan beasiswa 

untuk generasi muda Indonesia.
Dari pemikir sistem ekonomi Indonesia, Sukarno (Ekonomi Berdikari), 

Mohammad Hatta (Demokrasi Ekonomi), Sutan Sjahrir 

(Sosialisme Kerakyatan) hingga Mubyarto (Ekonomi Pancasila), 

semuanya menyimpulkan perekonomian negara ini perlu disusun 

dengan karakteristik khas yang bertumpu pada konsep kerakyatan 

dengan berorientasi memberdayakan kekuatan ekonomi rakyat. 

Adapun kebijakan untuk mencapai kemandirian ekonomi tersusun 

dalam langkah-langkah stategis sebagai berikut: pemenuhan 

kebutuhan pokok rakyat dalam rangka pemberantasan kemiskinan, 

penegasan orientasi kepada pasar domestik, pemerataan dan penye￾baran pembangunan ke daerah-daerah, dan kegiatan 

ekonomi dengan bertumpu pada pengembangan sumber daya alam 

dan sumber daya manusia. Sampai sekarang, industri kretek satu￾satunya kegiatan ekonomi yang mengakomodir langkah-langkah 

mencapai kemandirian ekonomi.
Aktivitas ekonomi industri kretek, dari hulu hingga hilir, telah mencip￾takan lapangan pekerjaan yang luas dan memberikan pendapatan bagi 

masyarakat sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok serta 

terhindar dari jerat kemiskinan. Di hulu, petani tembakau dan 

cengkeh dapat memenuhi kebutuhan hidup dan membiayai pendidikan 

anak-anak. Di hilir industri kretek banyak membutuhkan tenaga kerja 

perempuan sebagai pelinting yang memberikan kontribusi besar bagi 

ketahanan ekonomi keluarga.

Pendapatan mereka memang tidak secara langsung masuk hitungan 

pendapatan nasional. Tetapi keberadaan industri kretek membantu 

pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang dihasilkan dari upaya bu￾didaya tembakau, cengkeh dan pekerjaan yang dihadirkan dari sektor 

pengolahan dan pemasaran.
Dari sekian banyak industri pertanian di Indonesia, sebagian besarnya 

berorientasi untuk memenuhi kebutuhan ekspor semata. Hal ini terli￾hat dari industri kelapa sawit (CPO), kakao, karet yang diekspor dalam 

bentuk bahan mentah. Tentu nilai tambah yang dihasilkan dari 

komoditi-komoditi ini malah menguntungkan negara pengolah. Di 

samping itu aktivitas ekonomi yang diakibatkan darinya rentan ambruk 

tertimpa krisis ekonomi.

Kenyataan yang berbeda terlihat dari industri kretek. Komoditi￾komoditi yang dibutuhkan hampir keseluruhannya berasal dari dalam 

negeri, pengelolaannya di dalam negeri, dan konsumen terbesarnya 

di dalam negeri. Itulah yang membuat industri kretek lebih tahan dari 

krisis ekonomi yang datang dari luar dan memberikan dampak yang 

berlipat karena nilai tambahnya diperoleh oleh bangsa Indonesia.
Intergrasi industri kretek dari hulu hingga hilir tersebar hampir di 

semua provinsi di Indonesia. Terutatama untuk budidaya komoditi 

cengkeh yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Hasil produksi cengkeh 

secara keseluruhan terdapat di 29 provinsi di Indonesia, 96 persen di 

antaranya untuk menunjang kebutuhan industri kretek. Dan masih 

terdapat budidaya perkebunan tembakau yang terdapat di 15 provinsi 

dan terdapat 6 provinsi sebagai tempat pengelolaan industri kretek. 

Industri kretek mempunyai efek luas bagi perekonomian bangsa sebab 

menyatukan hampir semua kawasan Kepulauan Nusantara. Tidak ada 

industri lain yang sanggup menandingi peran industri kretek dalam 

mendistribusikan pendapatan rakyat di hampir seluruh kawasan 

Indonesia.
Industri kretek merupakan perpaduan antara industri pengembangan 

sumber daya alam (SDA) unggulan serta diolah dengan kerja sumber 

daya manusia (SDM) yang bercirikan industri padat karya. Perpaduan 

ini yang membuat posisi industri kretek di satu sisi menghasilkan 

produk yang tidak dapat dihasilkan oleh negara lain. Juga dalam pen￾gelolaan yang bertumpu pada SDM menjadikan industri ini tidak memi￾liki ketergantungan teknologi yang besar dari negara maju.
Keberadaan industri kretek telah membuktikan kontribusi yang 

berdampak luas bagi bangsa Indonesia dari berbagai segi baik 

ekonomi, sosial dan budaya. Industri kretek bukan hanya sekadar 

penting namun telah menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi 

bangsa. Kerja keras yang berjalin dengan ketekunan selama lebih dari 

satu abad itu bisa jadi tidak berarti oleh adanya aktivitas pengendalian 

tembakau dua dekade belakangan ini. Oleh karenanya, upaya strategis 

untuk melindungi keberadaan industri kretek perlu dilakukan oleh 

semua pihak di negeri ini dengan langkah sebagai berikut: Pencabutan 

PP 109 Tahun 2012; Perlindungan Industri Kretek melalui Undang-un￾dang Pertembakauan; Mewujudkan Kepentingan Nasional yang Bebas 

Kepentingan Asing; Pengembangan Industri Kretek Nasional.
Pemerintah perlu mencabut PP No 109/2012 tentang Pengamanan 

Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi 

Kesehatan. PP No 109/2012 bukan saja tidak sesuai amanat Pasal 116 

UU No. 36 Tahun 2009 namun juga membawa muatan kepentingan 

asing yang termuat dalam Framework Convention on Tobacco Control 

(FCTC). Keberadaan PP No 109/2012 bukan saja mengancam 

keberadaan industri kretek dan mata rantai pekerjaan yang terkait 

tetapi sebuah langkah menggadaikan kedaulatan Bangsa Indonesia.

£ PERLINDUNGAN INDUSTRI KRETEK MELALUI 

UNDANG-UNDANG PERTEMBAKAUAN

Pemerintah perlu melindungi petani tembakau, cengkeh, buruh pabrik 

dan pelaku industri kretek dari kepentingan asing baik rezim keseha￾tan internasional dan industri rokok putih dengan menghadikan UU 

Pertembakauan. Upaya itu diwujudkan dengan mempertegas posisi 

pemerintah untuk mengamankan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya 

dari keberadaan industri kretek.

£ MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BERDAULAT

Pemerintah perlu mengutamakan kemandirian dan kedaulatan bangsa 

yang bebas dari kepentingan asing. Salah satu langkah yang ditempuh 

adalah dengan memberikan dukungan terhadap keberadaan industri 

kretek. Industri ini telah secara nyata memberikan sumbangan 

pendapatan negara melalui pajak dan cukai bahkan memberikan hak 

atas pekerjaan, hak atas upah dan tunjangan, hak atas jaminan sosial 

dan berkontribusi besar bagi pengembangan kebudayaan. Oleh karena 

itu, atas nama kedaulatan bangsa pemerintah harus berani bersikap 

tegas untuk melindungi industri kretek.

Industri kretek memerlukan pengembangan lebih lanjut yang disokong 

Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Riset 

dan Teknologi untuk mengembangkan produk turunan tembakau, 

khasanah budaya bangsa, dan produk perdagangan unggulan yang 

hanya terdapat di Indonesia. Pengembangan industri kretek merupakan 

langkah penting yang harus dilakukan mengingat industri ini adalah 

kekuatan ekonomi yang memberikan manfaat luas.