Tampilkan postingan dengan label rokok 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rokok 2. Tampilkan semua postingan
Rabu, 12 Juli 2023
kan antitembakau yang gencar melakukan kampanye pembatasan
tembakau hanya melihat persoalan ini dari kacamata kesehatan
dengan tak memperhatikan nilai ekonomi, budaya dan politik
kebangsaan dari kretek, produk khas Indonesia. Gerakan antitembakau
di Indonesia tak lain merupakan kepanjangan tangan dari gerakan
antitembakau internasional untuk menyokong kemenangan industri
farmasi dalam perang dagang nikotin.
Melalui Bloomberg Initiative, lembaga yang didirikan oleh salah satu
tokoh terkenal yang getol memerangi tembakau adalah Michael
Bloomberg. Lembaga ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu
target utama dari program pengendalian tembakau dunia. Setiap tahunnya, organisasi-organisasi antitembakau di negeri ini mendapatkan
kucuran dana untuk memuluskan misi perebutan pasar nikotin.
Organisasi-organisasi yang membawa agenda titipan asing ini
merasuk ke lembaga penelitian, lembaga pemerintah (Departemen
Kesehatan), pengawasan good governance, forum parlemen,
organisasi kemasyaraatan hingga organisasi keagamaan. Total dana
dari program Bloomberg Initiative dari tahun 2007 sampai 2015
mendatang yang mengucur ke lembaga-lembaga antitembakau
di Indonesia sebesar 7.401.212 US$.
Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi – Universitas Indonesia
Mendapat dua kali kucuran dana. Periode pertama Oktober 2008 – Juli 2011 dana
yang diterima sejumlah 280.755 US$ untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan
pajak dan harga tembakau. Periode kedua Juni – Mei 2009 dana yang diterima
sejumlah 40.654 US$ untuk penguatan isu-isu kebijakan bagi advokasi kepada
pembuat kebijakan dan lembaga-lembaga terkait.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Tidak Menular
(Departemen Kesehatan)
Mendapat dua kali kucuran dana. Periode pertama program September 2008 –
Agustus 2010 US$ untuk pengembangan strategi kontrol tembakau sekurangnya
di 7 provinsi untuk membuat peraturan 100% bebas asap rokok. Periode kedua
November 2011 – Oktober 2013 dana yang diterima 300.000 US$ untuk
implementasi kebijakan peraturan 100% bebas asap rokok di 3 provinsi.
Selanjutnya ditingkatkan menjadi 5 provinsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW)
Mendapat kucuran dana sejumlah 45.470 US$ pada periode Juli 2010 – Maret 2012
untuk menyokong program good governance dalam kebijakan tembakau
di Indonesia.
Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan
Mendapat empat kali kucuran dana. Periode pertama Januari 2007 – Oktober 2007
dana yang diterima sejumlah 28.753 US$ untuk menggalang dukungan politik
untuk meloloskan draf mitigasi dampak tembakau bagi kesehatan.
Periode kedua Oktober 2007 – Desember 2009 dana yang diterima 164.717 US$
untuk penggalangan komitmen politik untuk pembuatan kebijakan yang
mengadopsi FCTC. Sekaligus mendorong Indonesia mengaksesi FCTC.
Periode ketiga Januari 2010 – Januari 2011 dana yang diterima 134.100 US$
untuk advokasi mendorong DPR terpilih agar membuat kebijakan kontrol
tembakau dengan mengadopsi FCTC. Periode keempat Maret 2011 – Maret 2012
dana yang diterima sejumlah 116.171 US$ untuk penggalangan komitmen politik
melalui kebijakan kontrol tembakau pada calon DPR (2009-2014).
Institut Pembangunan Sosial Indonesia
Mendapat dua kali kucuran dana. Periode pertama September 2010 – Agustus
2012 dana yang diterima 322.643 US$ untuk mencari dan merangkul kelompok
keagamaan agar mendukung kontrol tembakau dan aksesi FCTC. Periode kedua
Maret 2013 – Februari 2015 dana yang diterima 229 US$ untuk mengkampanyekan
dan meminta dukungan kepada masyarakat tentang kontrol tembakau dan aksesi
FCTC.
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Tobacco Control Working
Group
Mendapat empat kali kucuran dana. Periode pertama Agustus 2007 – Agustus
2009 dana yang diterima 542.600 US$ untuk pendirian pusat dukungan kontrol
tembakau atau Tobacco Control Support Centre (TCSC). Periode kedua
September 2009 – Agustus 2011 dana yang diterima 491.569 US$ untuk
pengembangan lebih lanjut kapasitas TCSC untuk menjawab kebutuhan advokasi
berbasis data bagi perubahan kebijakan untuk mengurangi penggunaan tembakau.
Periode ketiga Desember 2011 – November 2012 dana yang diterima 200.000 US$
untuk menginisiasi gerakan kontrol tembakau dan membangun jaringan di daerah
untuk melindungi masyarakat dari bahaya tembakau. Periode keempat Februari
2013 – Januari 2015 untuk memberi dukungan teknis untuk implementasi program
100% bebas asap rokok di Kota Pontianak.
Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)
Mendapat dua kali kucuran dana. Periode pertama Juli 2010 – Oktober 2012 dana
yang diterima 261.258 US$ untuk pembentukan jaringan ahli-ahli hukum publik
bagi kontrol tembakau Indonesia. Periode kedua Desember 2012 – Desember 2014
dana yang diterima 253.416 US$ untuk memimpin upaya ligitasi kontrol tembakau
di Indonesia.
Komisi Nasional Pengendalian Tembakau
Mendapat empat kali kucuran dana. Periode pertama Desember 2009 – Januari
2011 dana yang diterima 75.348 US$ untuk upaya pelarangan sponsorship
industri tembakau dalam 6 target industri musik dan film di Indonesia. Periode
kedua Februari 2011 – Januari 2012 dana yang diterima sebesar 112.700 untuk
aksi dan advokasi kebijakan pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok.
Periode ketiga Maret 2012 – Maret 2013 dana yang diterima 110.628 US$ untuk
membangun dukungan pengesahan RPP, RUU, dan larangan iklan, promosi, serta
sponsorship industri tembakau. Periode keempat Agustus 2013 – Agustus 2014
dana yang diterima 130.813 untuk membangun dukungan pengesahan RPP, RUU,
dan pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok.
Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen Semarang
Mendapat dua kali kucuran dana. Periode pertama November 2010 – Juni 2012
dana yang diterima 106.368 US$ untuk advokasi penerbitan Perda kawasan tanpa
rokok dan implementasinya. Periode kedua September 2012 – Maret 2014 dana
yang diterima 86.638 US$ untuk program kota Semarang bebas rokok.
Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Bali
Mendapat kucuran dana sejumlah 31.973 US$ pada periode Januari 2012 –
Desember 2012 untuk kampanye dan sosialisasi peraturan Bali bebas asap rokok
di tingkat kecamatan.
Lentera Anak Indonesia
Mendapat kucuran dana sejumlah 43.010 US$ pada periode Juli 2013 – Juni 2014
untuk advokasi pelarangan iklan rokok.
Komnas Perlindungan Anak Indonesia
Mendapat empat kali kucuran dana. Periode pertama Mei 2008 – Januari 2011
dana yang diterima 455.911 US$ untuk advokasi dan dukungan pelarangan
menyeluruh terhadap iklan, promosi, dan sponsorship rokok terutama pada
perlindungan terhadap hak-hak anak. Periode kedua Mei 2008 – Desember 2011
dana yang diterima 142.543 US$ untuk memberi dukungan komprehensif atas
pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok. Periode ketiga Maret 2011 –
Februari 2013 dana yang diterima 200.000 US$ untuk membangun dukungan dari
masyarakat untuk mendukung pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok.
LSM No Tobacco Community (NTC) – Bogor
Mendapat tiga kali kucuran dana. Periode pertama Maret 2009 – April 2011 dana
yang diterima 233.769 US$ untuk program 100% Kota Bogor bebas asap rokok
di tahun 2010. Periode kedua Mei 2011 – Maret 2013 dana yang diterima 193.968
US$ untuk program kota Bogor 100% bebas asap rokok. Periode ketiga Juni 2013
– Mei 2015 dana yang diterima 166 US$ untuk stabilisasi dan pengembangan
kawasan tanpa rokok dalam regulasi di kota Bogor.
Kajian Kesehatan Masyarakat, Fakultas Farmasi – Universitas Udayana
Mendapat kucuran dana sejumlah 154 US$ untuk dukungan implementasi
peraturan 100% Bali sehat tanpa asap tembakau.
Yayasan Swisscontact Indonesia
Mendapat tiga kali kucuran dana. Periode pertama Mei 2009 – April 2011 dana
yang diterima 360.952 US$ untuk pembangunan kapasitas masyarakat Indonesia
untuk mengimplementasikan kontrol tembakau secara efektif. Periode kedua Juli
2011 – Mei 2013 dana yang diterima 300.000 US$ untuk memperkuat dukungan
atas implementasi kebijakan Jakarta bebas asap rokok. Periode ketiga September
2013 – Agustus 2015 dana yang diterima 299 US$ untuk memperkuat kebijakan
bebas asap rokok dan penyelenggaraannya di Jakarta.
TCSC – Asosiasi Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
mendapat kucuran dana sejumlah 12.800 US$ pada periode Januari 2009 –
Mei 2009 untuk rapat jaringan pengendalian tembakau Indonesia (LSM) untuk
perencanaan 2009.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Mendapat tiga kali kucuran dana. Periode pertama Mei 2008 – Juli 2010 dana yang
diterima 454.480 US$ untuk advokasi dan penegakan peraturan tentang daerah
bebas asap rokok dan kebijakan larangan iklan. Periode kedua Januari 2011 –
April 2012 dana yang diterima 127.800 US$ untuk advokasi penerapan peraturan
bebas asap rokok di Jakarta. Periode ketiga Desember 2012 – Januari 2014 dana
yang diterima 105.493 US$ untuk penguatan implementasi regulasi kawasan tanpa
rokok di Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali
Mendapat kucuran dana sejumlah 159.621 US$ pada periode Maret 2012 –
Februari 2014 untuk program 100% Bali bebas asap rokok dan implementasi
kebijakan yang sudah dibuat DPRD Bali.
Yayasan Pusaka Indonesia
Mendapat kucuran dana sejumlah 74.000 US$ pada periode Desember 2012 –
Juni 2014 untuk mendukung implementasi kebijakan Peraturan Gubernur No.
35/2012 tentang Medan bebas asap rokok.
Organisasi Muhammadiyah
Mendapat kucuran dana sejumlah 393.294 US$ pada periode November 2009 –
Oktober 2011. Di tahun 2010, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Muhammadiyah
mengeluarkan keputusan fatwa haram rokok No. 6/SM/MTT/III/2010. Lahirnya
fatwa haram ini menjadi polemik lantaran lahir dengan sokongan dana dari
Bloomberg Initiative. Setelahnya, data Muhammadiyah sebagai penerima dana
dihapus dalam laporan bloomberg Initiative.
Perekonomian Indonesia selalu dihadapkan pada fakta sokongan dari
keberadaan industri kretek sebagai satu-satunya industri yang paling
awal berdiri dan bukan hanya mampu bertahan namun memberikan
kontribusi besar bagi jutaan lapangan kerja dan memberikan pemasukan bagi kas negara. Alasan inilah yang membuat Indonesia menjadi
salah satu negara yang tidak melibatkan diri untuk menandatangani
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan sampai sekarang tidak meratifikasi ataupun aksesi atas aturan internasional yang
ditunggangi kepentingan rezim kesehatan dunia dan indutsri farmasi
multinasional. Namun meskipun tidak memberikan aksesi secara
resmi ada banyak peraturan perundang-undangan yang mengadopsi
FCTC. Sebuah langkah yang justru menggadaikan martabat bangsa dan
menggerogoti industri kretek nasional.
Sejarah industri kretek di Indonesia mengalami beberapa kali ancaman. Pada1930, terjadi krisis
ekonomi yang berimbas pada naiknya harga cengkeh yang pada saat itu masih impor. Di masa
penjajahan Jepang, semua petani dilarang menanam tembakau dan dipaksa menanam tanaman pangan untuk mendukung ketersediaan logistik perang untuk militer Jepang. Sejak akhir
tahun 1990-an sampai sekarang, rezim kesehatan dunia menggalakkan gerakan dan kampanye
antitembakau di Indonesia.
Indonesia mengalami kekacauan ekonomi dan politik.
Kekacauan ini mengakibatkan terjadi peralihan kekuasaan dari Presiden Suharto ke BJ. Habibie pada Mei
1998. Di masa ini isu pengaturan tembakau semakin
berpengaruh.
BJ. Habibie mendirikan Forum Komunikasi Nasional
(FKN) yang diinisiasi oleh Badan Obat dan Makanan
serta Kementerian Kesehatan. FKN merupakan wadah
konsolidasi antara pemerintah dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang konsentrasinya membahas isu
pengaturan tembakau. Forum ini menerbitkan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 81/1999 yang mengatur iklan, level
tar dan nikotin, serta promosi.
Amandemen PP No.81/1999 menjadi PP No. 38/2000
di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Amandemen memberikan izin penayangan iklan dengan
batasan, penyesuaian level kandungan tar dan nikotin
menurut jenis produk hasil tembakau, dan penentuan
batas waktu penyesuaian kandungan untuk sigaret putih
2 tahun, sigaret kretek mesin 7 tahun dan sigaret kretek
tangan 10 tahun.
Terbit UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, terdapat pasal khusus yang melarang penayangan iklan atau
promosi rokok.
Sejak pemberlakuan undang-undang ini iklan dan promosi rokok mulai dibatasi dengan tidak diperkenankan
memperagakan wujud rokok.
Masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri,
PP No.38/2000 diamandemen menjadi PP No. 19/2003.
Amandemen menyangkut: menghilangkan pasal tentang
kandungan tar dan nikotin serta setiap produk harus
diuji coba di laboratorium terakreditasi; pencantuman
kandungan tar dan nikotin di setiap iklan dan kemasan
rokok juga peringatan kesehatan; dan ukuran peringatan
kesehatan harus 15 persen dari kemasan.
Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terbit Undang-Undang No. 39 tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 tahun 1995
tentang Cukai. Aturan ini memuat peningkatan tarif cukai
hasil tembakau.
Terbit Peraturan Menteri Keuangan (PERMENKEU) No.
200/PMK.04/2008. Peraturan ini memberlakukan ketentuan terkait lokasi, bangunan atau tempat usaha. Dampaknya banyak industri kecil dan menengah gulung tikar.
Di tahun ini pula Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBH-CHT) yang diamanatkan UU No. 39 Tahun 2007
tentang Cukai mulai didistribusikan dan terjadi kesimpangsiuran penggunaan di daerah.
Terbit Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Produk hukum ini memberi peluang sangat besar
untuk pengendalian
tembakau di Indonesia. UU Kesehatan hanya memandang persoalan tembakau melalui kacamata kesehatan tanpa mempedulikan peran ekonomi, sosial dan
budaya.
Terbit UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, penambahan beban 10% pajak rokok
untuk didistribusikan ke daerah dan berlaku mulai tahun
2014.
Mahkamah Konstitusi memenangkan gugatan Provinsi
Nusa Tenggara Barat atas PERMENKEU No. 200/
PMK.04/2008 dan kemudian termasuk penerima dana
DBH-CHT.
Terbit PERMENKEU Nomor 191/PMK.04/2010 yang
mengatur Hubungan Istimewa dalam Industri Hasil
Tembakau.
Terbit Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri DalamNegeri No. 188/Menkes/PB/I/2011 – No. 7
tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan
Tanpa Rokok.
Terbit Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif
Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP ini bukannya mengatur kesehatan tetapi soal tataniaga tembakau.
Pasal-pasalnya merupakan adopsi dari FCTC.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan
terkait gugatan Komunitas Kretek terkait Pasal 115 ayat
1 UU No. 36 tentang Kesehatan, dimana mewajibkan
pemerintah menyediakan tempat khusus untuk merokok.
Terbit Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 2013
tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau.
Peraturan ini merupakan adopsi dari FCTC.
Di tahun yang sama Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 40 tahun 2013
tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi
Rokok Bagi Kesehatan.
Strategi Menkes dalam upaya mengendalikan konsumsi
rokok secara nasional dan berlaku jangka panjang.
Terbit PERMENKEU No.78/PMK.011/2013 memuat regulasi penetapan golongan dan tarif cukai beserta pengusaha hasil tembakau yang memiliki hubungan keterikatan atau keluarga dikenakan tarif tinggi.
Pengaruh wacana kesehatan global yang dikampanyekan kelompok
antitembakau telah menyusup dalam regulasi di negara Indonesia.
Kebijakan pengaturan tembakau lebih mengutamakan
aspek kesehatan daripada aspek ekonomi, sosial, dan budaya.
Kebijakan ini justru melemahkan industri kretek.
UU Kesehatan merupakan payung hukum tertinggi yang mengatur
kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Ada empat pasal
pengaturan tembakau yang termuat dalam undang-undang ini yakni
pasal 113, 114, 115 dan 116. Pada pasal 113 ayat 2 disebutkan zat
adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau,
produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang
bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi
dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Dengan asumsi sebagai zat
adiktif ini sehingga produksi, peredaran, dan penggunaan tembakau
dan produk turunannya harus diatur.
Istilah zat adiktif untuk tembakau dalam undang-undang ini menjadi
polemik di masyarakat. Pertama, penggolongan tembakau sebagai zat
adiktif masih menjadi perdebatan. Istilah adiktif merujuk pada
pengertian seseorang terobsesi secara terus-menerus, mengalami
ketergantungan, setelah penghentian konsumsi seseorang akan
mengalami sakau atau depresi. Sedangkan pemanfaatan produk
tembakau masih bisa dihentikan dan tidak menimbulkan efek samping
apalagi terjadi sakau atau depresi, sebagai contoh ketika seseorang
tidak mengkonsumsi tembakau ketika sedang berpuasa atau berada di
area publik. Kedua, hanya produk tembakau dan turunannya saja yang
diatur dalam undang-undang ini.
UU Kesehatan mengatur pula mengenai pencantuman peringatan
kesehatan dalam kemasan produk tembakau, penetapan kawasan
tanpa rokok, dan mengamanatkan ketentuan lebih lanjut mengenai
pengamanan zat adiktif dalam Peraturan Pemerintah. Secara garis
besar pasal-pasal pengaturan produk tembakau dalam UU Kesehatan mengekor pada kepentingan rezim kesehatan internasional yang
mengkehendaki pengendalian tembakau atau jika bisa pelarangan
produk tembakau.
Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan
memiliki prioritas untuk melakukan aksesi peraturan FCTC dan
mengadopsi semua peraturan di dalamnya. Target Roadmap
Kementerian Kesehatan Tahun 2009 - 2024
sebagai berikut:
• Kebijakan publik dan legal – aksesi FCTC dan adopsi
peraturannya ke dalam kebijakan kesehatan dalam negeri.
• Edukasi masyarakat akan bahaya merokok – penggalakan
kampanye antirokok atau tembakau.
• Perlindungan masyarakat dari bahaya asap rokok – penetapan
KTR, peningkatan cukai rokok, pelarangan iklan, promosi, dan
sponsorship dengan peringatan kesehatan bergambar .
• Dukungan untuk berhenti merokok – tersedianya pelayanan dan
informasi dalam sistem perawatan kesehatan yang terintegrasi
dengan peraturan FCTC.
Peraturan kesehatan yang mengarah pada
pengendalian konsumsi tembakau tak
ubahnya perilaku fasisme atas nama
lembaga kesehatan. Keputusan seseorang
untuk merokok bersifat by default karena
tidak sama sekali dimaksudkan untuk
merugikan diri sendiri atau orang lain. Tentu
berbeda dengan kebutuhan kesehatan yang
sifatnya by design atau perlu diupayakan
oleh setiap orang.
Cukai merupakan salah satu komponen pendapatan negara yang
mempunyai peran penting bagi terlaksananya tugas negara,
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, berusaha
dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pungutan terhadap komoditi eksotik tembakau telah diatur sejak
zaman kolonial dalam Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932.
Setelah era kemerdekaan pungutan atas cukai tembakau tetap
dilanjutkan sebagai bagian penguatan keuangan negara seperti
diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1947. Dalam peraturan perundangundangan terakhir, UU No. 39 Tahun 2007 Perubahan Atas UU No.
11 Tahun 1995 tentang Cukai, pungutan cukai tembakau dikenakan
terhadap barang-barang yang mempunyai sifat dan karakteristik
tertentu. Dari peraturan tentang cukai hasil tembakau tersebut telah
terjadi pergeseran alasan pemungutan yang awalnya untuk penguatan
keuangan negara, kemudian bertujuan sebagai sarana pembatasan
peredaran dan pemakaiannya.
Pengakomodiran dampak kesehatan tampak kuat dalam UU No. 39
Tahun 2007, sehingga memberi peluang peningkatan tarif cukai terjadi
setiap tahun. Penetapan tarif yang semakin tinggi setiap tahunnya ini
mengusung misi yang selaras dengan ketentuan Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC). Pertimbangan syarat pajak
seperti pemungutan harus adil dan tidak mengganggu perekonomian
justru dikesampingkan. Hal ini berimbas pada semakin berkurangnya
perusahaan rokok di Indonesia, terutama industri kecil dan menengah.
UU Cukai juga menganatkan penerimaan negara dari hasil cukai
tembakau dibagikan kepada provinsi penghasil sebesar 2 persen. Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau implementasinya terhadang berbagai
permasalahan karena kesimpangsiuran peraturan.
Peraturan tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan,
dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusahaan Barang Bea Cukai untuk
Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau ini memberlakukan
ketentuan yang sangat berat bagi industri kecil dan menengah,
terutama mengenai lokasi, bangunan, atau tempat usaha. Pasal 3 ayat
3 mengatur sebagai berikut: (1) tidak berhubungan langsung dengan
bangunan, halaman atau tempat-tempat lain yang bukan bagian pabrik
yang dimintakan izin; (2) tidak berhubungan langsung dengan tempat
tinggal; (3) berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum;
(4) memiliki luas bangunan paling sedikit 200 (dua ratus) meter
persegi. Peraturan ini telah membuat industri kecil dan menengah
pengelolaan tembakau banyak yang kolaps, terutama pengusahaan
kretek. Di Jawa Timur saja, dari sebelumnya ada 1.100 perusahaan
rokok tercatat hanya 563 perusahaan yang mampu bertahan sejak
peraturan ini diberlakukan.
Dalam peraturan tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 200/PMK.04/2008 Tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan,
dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusahaan Barang Kea Cukai untuk
Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau memuat perubahan
pada pasal 21 dan 22. Peraturan ini memuat ketentuan perusahaan
yang memiliki hubungan istimewa terkait langsung maupun tidak
langsung dalam manajemen dan teknologi akan dikenakan tarif cukai
menurut golongan perusahaan induk. Peraturan ini secara langsung
menambah beban bagi industri kecil dan menengah karena tidak bisa
melakukan kerjasama produksi dengan perusahaan yang lebih besar.
Industri kecil dan menengah yang membutuhkan penyesuaian waktu
dengan peningkatan tarif cukai yang terjadi tiap tahun, akhirnya
terkena imbas dan menambah daftar panjang perusahaan kretek
yang gulung tikar.
Batang sigaret kretek tangan (SKT) merupakan ciri khas produk rokok dari Indonesia.
Diproduksi dalam skala usaha rumah tangga sampai pabrikan.
Produk ini paling rentan atas dampak aktivitas antitembakau
dan industri rokok multinasional.
Peraturan tentang Penetapan Golongan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Terhadap Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau yang Memiliki
Hubungan Keterikatan mulai diberlakukan pada 10 Juni 2013 juga
memberikan tekanan tambahan bagi industri kecil dan menengah.
Peraturan ini menyebutkan pengusaha yang memiliki hubungan
keterikatan sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 poin (d), pengusaha
yang memiliki hubungan keluarga sedarah maupun semenda dalam
garis keturunan lurus dan/atau ke samping dua derajat akan
dikenakan tarif lebih tinggi.
Pemberlakuan peraturan ini diskriminatif karena industri rokok kretek
di indonesia berbasis keluarga, kalau diterapkan pengusaha rokok
kretek jelas mati. Peraturan ini juga bertentangan dengan UUD 1945,
dan praktik ekonomi yang dilakukan masyarakat Indonesia yang
umumnya berbasis kekeluargaan.
Pengalokasian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau merupakan implementasi dari ketentuan UU Cukai. Dana sebesar 2 persen dari Cukai Hasil
Tembakau dialokasikan untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di
bidang cukai dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal. Dengan proposi pembagian DBH-CHT 30 persen untuk propinsi, 40 persen
untuk kabupaten/kota penghasil dan 30 persen untuk daerah lainnya.
Tahapan implementasi program DBH-CHT diatur dalam PMK 84/2008
dan PMK 20/2009.
Dari penelitian yang dilakukan Indonesia Berdikari tahun 2013, Ironi
Cukai Tembakau, pelaksanaan kegiatan DBH-CHT terjadi
kesimpangsiuran dalam pelaksanaan di tingkat daerah baik di
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. DBH-CHT di tingkat daerah ini
ternyata menjadi sarana rezim kesehatan untuk memperlemah
produsen tembakau dan hasil tembakau. Padahal produsen tembakau
dan hasil cukai tembakau yang menjadi alasan bagi keberadaan
DBH-CHT dan Cukai Hasil Tembakau. Temuan ini terjadi di semua
daerah yang menjadi obyek penelitian, lebih dari 50 persen dari
DBH-CHT di daerah digunakan kegiatan pembinaan lingkungan sosial
Provinsi Peningkatan
Kualitas
Bahan Baku
Pembinaan
Industri
Pembinaan
Lingkungan
Sosial
Sosialisasi
Ketentuan
Cukai
Pemberantasan
Cukai Ilegal
Jawa Timur 13,33% 13,34% 68,99% 3,53% 0,81%
Jawa Tengah 26,60% 6,04% 63,34% 3,02% -
NTB 11,34% - 88% 0,64% -
DI Yogyakarta 22,95% 2,01% 69,75% 5,29%
UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menambahkan komponen pajak rokok sebesar 10 persen atas produk tembakau.
Ketentuan yang berlaku mulai 1 Januari 2014 merupakan adopsi dari
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang salah satu
klausulnya mewajibkan pengenaan pajak dan harga produk tembakau
setinggi-tingginya. Pendapatan negara otomatis mengalami peningkatan dengan diterapkan pajak rokok. Dengan tambahan tarif pajak rokok
sebesar 10 persen maka perkiraan pendapatan negara melalui Industri
Hasil Tembakau (belum termasuk PPh) akan mencapai angka Rp 121
triliun pada 2014, dengan perhitungan target penerimaan cukai tahun
ini sebesar 110 triliun dan beban pajak rokok sekitar Rp 11 triliun.
Pengenaan tarif pajak ini membuat produk tembakau terkena beban
pajak ganda. Sebab, sebelumnya telah dipungut atas cukai
hasil tembakau. Beban makin berat harus ditanggung industri rokok
nasional, dan secara teoritis kebijakan tarif yang selalu meningkat
dari tahun ke tahun, memungkinkan kolapsnya industri rokok nasional
karena beban yang harus ditanggung telah melebihi kesanggupan.
Berdasarkan data GAPPRI (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok
Indonesia), kematian industri kretek sejak 2009 telah mengakibatkan
3.900 unit pabrik kecil gulung tikar diikuti berkurangnya
lapangan kerja mencapai 195.000 tenaga kerja, dengan asumsi 1
pabrik kecil hanya menyerap 25 tenaga kerja.
PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung
Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan merupakan
peraturan pelaksana dari amanat Pasal 116 UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan. Namun dalam PP ini ada ketidaksesuaian antara
amanat dengan judul dan muatan yang terkandung dalam peraturan
pelaksana. Amanat dalam Pasal 116 UU Kesehatan menyebutkan
bahwa, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan yang mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Artinya pasal
ini memberi amanat untuk diterbitkan Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai pengamanan yang mengandung zat adiktif.
Tetapi, PP No. 109 Tahun 2012 secara spesifik memberi pemaknaan
secara manasuka dengan memberi judul Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Dengan justifikasi produk tembakau sebagai zat adiktif, maka ruang
bagi ilmu pengetahuan untuk mengembangkan penelitian mengenai
manfaat tembakau telah ditutup dengan terbitnya
Peraturan Pemerintah ini.
Padahal, pelabelan tembakau sebagai zat adiktif merupakan
akal-akalan yang disodorkan oleh rezim kesehatan dunia dan industri
farmasi multinasional untuk mengambil alih pasar nikotin.
Itu sebabnya, meski PP No. 109/2012 yang banyak mengadopsi
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) diberlakukan,
aktivis antitembakau di Indonesia masih menyuarakan kepentingan
rezim kesehatan dunia dan industri farmasi multinasional agar
pemerintah mengaksesi FCTC dalam kerangka hukum nasional
Diterbitkannya PP No 109/2012 pada 24 Desember 2012 membawa
tendensi yang terang benderang hendak memberangus industri kretek
secara legal. Terlebih, sebagian besar muatannya justru tidak mengatur persoalan kesehatan namun mengenai tataniaga, pembatasan
dan pengekangan perdagangan, promosi, iklan, kandungan tar dan
nikotin, serta diversifikasi tembakau yang diadopsi dari Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC). Terbitnya PP No. 109/2012
bukan hanya tidak bisa membuat industri kretek berkembang, namun
justru berpeluang membunuh satu-satunya industri nasional yang
masih bertahan selama lebih 130 tahun.
PP No. 109/2012 memuat pula aturan mengenai pengemasan produk
tembakau yang jelas merugikan industri rokok nasional. Pada Pasal
13 disebutkan bahwa, “Setiap orang yang memproduksi dan/atau
mengimpor Produk Tembakau berupa Rokok Putih dilarang mengemas
kurang dari 20 (dua puluh) batang dalam setiap kemasan.” Pemuatan
aturan ini jelas-jelas menguntungkan industri rokok putih yang telah
menggunakan kemasan 20 batang dalam setiap bungkusnya. Namun,
bagi produk industri nasional masih butuh penyesuaian pengepakan
kemasan sesuai aturan. Dan itu berarti, dibutuhkan penyesuaian mesin
yang sudah barang tentu tidak sertamerta dapat dilakukan oleh semua pabrikan terutama industri kecil dan menengah. Di satu sisi PP
ini membatasi tembakau dan rokok tetapi di sisi lain impor tembakau
dibebaskan baik kuota maupun tarif bea masuknya.
Perusahaan Kode
Emiten
Keterangan Tahun Nilai Transaksi Kepemilikan
oleh
Pengakuisisi
(%)
HM Sampoerna HMSP Dijual oleh
Sampoerna
kepada Philip
Morris Indonesia
2005 5,2 miliar
dollar AS
atau Rp 48
triliun
97,95
Bentoel
Internasional
RMBA Dijual oleh
Rajawali kepada
British American
Tobacco
2009 497 juta AS
atau setara
Rp. 5 triliun
85.125
Trisakti
Purwosari
Makmur
NA Dijual kepada
KT&G Corp.
(Korsel)
2011 140 milliar Won
atau setara
Rp.1.12 triliun
60,00
Ketika menyosialisasikan PP No. 109/2012 Menko Kesejahteraan
Rakyat mengatakan dalam PP ini tidak menyebutkan larangan bagi
petani untuk menanam tembakau. Menurutnya, petani masih boleh
menanam tembakau di Indonesia.
Namun pasal-pasal yang terdapat dalam PP mengatur tataniaga dari
pembatasan produksi, iklan, sponsor dan standar, yang memberikan
tekanan untuk industri kretek. PP ini dibuat seolah tidak melarang atau
membatasi tembakau, seolah-olah tidak ada kaitannya dengan petani
tembakau, cengkeh, buruh, tenaga periklanan dan tenaga kerja langsung maupun tak langsung. Padahal secara logika jika industri kretek
nasional dimatikan maka petani, buruh dan tenaga kerja langsung
maupun tidak langsung akan terkena imbasnya.
Peraturan Daerah dan peraturan lainnya merupakan regulasi turunan.
Sifat dari regulasi ini lebih aplikatif dalam upaya pengendalian dampak
tembakau. Namun banyak klausul yang dibuat dalam regulasi tersebut
ternyata dipengaruhi kepentingan antitembakau, melampaui peraturan
perundang-undangan di atasnya, dan dijadikan legitimasi kepentingan
daerah untuk menguatkan kerjasama dengan kelompok-kelompok
antitembakau di dalam maupun luar negeri.
Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No.
188/Menkes/PB/I/2011 – No. 7 tahun 2011 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan ini dibuat mengacu
sebagai payung hukum pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota. Terlebih, sejak pemberlakuan UU RI No.
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Banyak
daerah berlomba-lomba mulai membuat Perda Pajak Rokok Daerah
dan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) supaya memperoleh kucuran
Dana Bagi Hasil Pajak Rokok. Aturan ini merupakan adopsi pasal 18
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Penerapan Peraturan Daerah yang mengatur Kawasan Tanpa Rokok
mengalami peningkatan yang pesat beberapa tahun belakangan.
Namun peningkatan jumlah KTR tak diimbangi dengan fasilitas yang
memenuhi hak para perokok. Lebih banyak daerah yang menerbitkan
Perda Kawasan Tanpa Rokok hanya untuk mendapatkan Dana Bagi
Hasil Pajak Rokok. Tercatat hingga Oktober 2013 terdapat 198 daerah
yang memberlakukan Perda Kawasan Tanpa Rokok.
Namun penerapan Kawasan Tanpa Rokok di daerah masih banyak yang
serampangan dengan tidak mengindahkan putusan Mahkamah
Konstitusi terkait gugatan atas Pasal 115 ayat 1 UU Kesehatan. Di
mana penerapan Kawasan Tanpa Rokok tidak dibarengi dengan
penyediaan Tempat Boleh Merokok. Menanggapi putusan MK yang
dimenangkannya, Abhisam DM, Sekjen Komunitas Kretek sekaligus
salah satu penggugat menyatakan bahwa, “Keputusan sidang MK hari
ini adalah perjuangan pemenuhan hak rakyat Indonesia atas sebuah
aktivitas legal.” Jika sebelumnya, penjelasan itu berbunyi, “khusus bagi
tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan
tempat khusus untuk merokok”. Kini kalimat itu menjadi, “khusus bagi
tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat
khusus untuk merokok”.
Kebijakan pengaturan tembakau yang didorong oleh Kementerian
Kesehatan selama ini dengan memposisikan tembakau dan produk
turunannya sebagai wabah (epidemi) penyakit yang harus diberantas
sampai tuntas. Rokok dipersamakan dengan barang ilegal yang bahkan
menimbulkan dampak lebih buruk dari narkoba karenanya harus dikucilkan. Seakan-akan tidak ada persoalan kesehatan yang lebih penting
dari sekadar perang antitembakau.
Cara melihat persoalan tembakau dari sudut pandang kesehatan
dengan meniadakan perspektif lainnya ini bukan hanya tidak tepat
melainkan justru menyesatkan. Alasannya, tembakau adalah barang
legal dan komoditi unggulan yang mempunyai peran vital dengan
pertautan kepentingan ekonomi, sosial dan budaya. Pemaksaan
perspektif kesehatan secara terus-menerus melalui kampanye serta
mengukuhkannya dalam bentuk regulasi berpeluang membawa
persoalan tembakau menjadi masalah sosial yang lebih besar.
Ambruknya industri kretek akan mengakibatkan jutaan petani
tembakau, cengkeh dan buruh kehilangan pekerjaan dan negara tak
mempunyai sumber pendapatan besar untuk pembangunan.
Paradigma kesehatan dalam mengatasi persoalan tembakau telah
menyusup dalam ranah kebijakan baik itu undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan menteri sampai peraturan di tingkat daerah.
Melalui UU Kesehatan tembakau telah dianggap serupa bahan
terlarang dengan meletakkan tembakau dan produk turunannya
sebagai zat adiktif yang harus diatur dan dibatasi produksi, peredaran
dan penggunaannya. UU Cukai dan UU PDRD menjadi komponen
pendukung pemusnahan tembakau dengan terus meningkatkan harga.
Di tingkat peraturan pemerintah (PP) pada akhir tahun 2012 diterbitkan
PP antitembakau yang seharusnya mengatur persoalan kesehatan
tetapi malah mengatur upaya diversifikasi tembakau dan secara lebih
spesifik melakukan pembatasan produksi, peredaran, iklan sampai
sponsorship.
Ditetapkannya berbagai kebijakan antitembakau dengan
bertitiktolak dari paradigma kesehatan dalam peraturan perundangundangan jika ditelisik lebih jauh adalah upaya memasukkan
kepentingan asing yang terdapat dalam Framework Convention on
Tobacco Control (FCTC). Kebijakan yang paling tampak dari upaya
pengadopsian termuat pada PP No. 109/2012 yang sebagian besarnya
pasal-pasal pengaturan tembakau diambil dari FCTC. Sebuah
kesepakatan internasional yang ditunggangi kepentingan industri
farmasi dunia.
Meskipun telah berhasil memasukkan agenda kepentingan asing
melalui regulasi, namun upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan
tak berhenti sampai di sana. Sampai sekarang Kementerian Kesehatan
terus mendorong agar pemerintah Indonesia mengaksesi secara penuh
FCTC dalam kerangka hukum nasional.
Berdasarkan ketetapan Peraturan Menteri Kesehatan No. 40 Tahun
2013 Tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok
Bagi Kesehatan. Kementerian Kesehatan mengagendakan pemerintah Indonesia untuk mengaksesi peraturan FCTC. Upaya ini semakin
nyata menunjukkan jika Kementerian Kesehatan menjadi kepanjangan
tangan rezim kesehatan internasional.
Kebijakan-kebijakan antitembakau yang dikeluarkan membuat
keberadaan industri kretek semakin tertekan. Di satu sisi industri
kretek dihadapkan pada peraturan pengendalian tembakau yang
memihak rezim kesehatan dunia dan industri farmasi internasional.
Di sisi lain peraturan dalam negeri juga memberi peluang bagi
industri rokok asing (rokok putih) untuk makin menancapkan
cakarnya di dalam negeri.
Melalui PP No 109/2012 industri kretek harus mengikuti standar yang
digunakan industri rokok putih. Dengan pengepakan produk rokok
berjumlah 20 batang yang sudah barang tentu mengarah ke rokok
putih. Meskipun PP ini mengatur secara ketat tataniaga rokok di
dalam negeri namun tidak memuat aturan pembatasan untuk impor
tembakau. Sementara itu, makin banyak industri kecil dan menengah
kretek dalam negeri gulung tikar akibat aturan yang diberlakukan,
sedangkan perusahaan rokok multinasional asing justru membeli
kepemilikan atas perusahaan dalam negeri kita. Posisi industri kretek
nasional terjepit antara tekanan rezim kesehatan dan industri rokok
multinasional yang melakukan perluasan pasar.
Industri kretek telah membuktikan kebertahanannya selama kurang
lebih 130 tahun bertumbuh kembang di Indonesia. Pasang-surut
menghadapi tantangan zaman sejak masa kolonial sampai masa kekinian–menjadikannya industri yang peka zaman. Industri kretek masih
terus memberikan kontribusi besar bagi bangsa Indonesia, baik itu
bagi pertanian, penyediaan lapangan kerja, jaminan sosial,
pendapatan negara dan pengembangan kebudayaan bangsa.
Kontribusi besar ini meringankan pelaksanaan roda pemerintahan.
Sejumlah kementerian diuntungkan dengan keberadaan industri
kretek.
Berkaitan dengan kontribusi industri kretek terhadap pertanian melalui
dua komoditas unggulan, tembakau dan cengkeh. Keduanya tak dapat terpisahkan dari keberadaan industri kretek sebagai satu-satunya
industri yang menyerap hampir seluruh hasil panen dua komiditi tersebut. Oleh karenanya Kementerian Pertanian mempunyai kepentingan
atas keberlanjutan industri kretek. Peningkatan luas lahan tembakau
sejak tahun 2009 - 2013 sekitar 22 ribu hektar, dengan peningkatan
jumlah produksi nasional sekitar 42 ribu ton, dan produktivitasnya kini
mencapai 47 kilogram per hektar.
Begitupun dengan pertanian cengkeh juga mengalami peningkatan
lahan sejak tahun 2009 - 2013 sekitar 9 ribu hektar. Hal ini mengakibatkan total produksi nasional juga bertambah sekitar 4,3 ribu ton,
dengan tingkat produktivitas rata-rata per hektar lahan
bertambah 19 kilogram.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai kepentingan
berkaitan dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang diakibatkan
oleh keberadaan industri kretek. Serapan tenaga kerja dalam produksi
industri kretek diperkirakan sejumlah 30,5 juta jiwa baik langsung
maupun yang tak langsung. Tenaga kerja yang berhubungan langsung,
yaitu petani dan buruh tani tembakau sekitar 6 juta jiwa. Petani dan
buruh tani cengkeh sekitar 5 juta jiwa. Buruh linting kretek sekitar
600.000 jiwa. Secara keseluruhannya adalah 11.6 juta jiwa. Sisanya,
sebesar 18.9 juta jiwa tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung
dengan industri kretek. Sifat dari industri rokok kretek mempunyai
multiplier effect bagi sektor-sektor lain. Temasuk di antaranya tenaga
kerja untuk transportasi, distribusi dan periklanan.
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat mempunyai peran untuk menjamin hak mendapatkan pekerjaan dan hak jaminan sosial bagi
orang-orang yang terlibat dalam matai rantai industri kretek.
Setiap pekerja memiliki hak untuk memperoleh kesejahteraan sosial.
Hal ini diatur dalam UU No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Jamsostek), UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial, dan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Jaminan sosial untuk pekerja adalah jaminan untuk melindungi setiap
pekerja dari ancaman keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan
dalam rangka mencapai pembangunan nasional. Diutamakan pembangunan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik
material maupun spiritual. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
bagi setiap buruh pabrik kretek merupakan tanggung jawab
perusahaan. Keanggotaan buruh dalam Jamsostek difungsikan untuk
jaminan kesehatan dan pengobatan, kecelakaan kerja, perawatan kehamilan dan persalinan, cacat atau berkurangnya kemampuan untuk
menjalankan pekerjaan, dan lain sebagainya.
Tanggung jawab lain yang berhak didapatkan masyarakat dari perusahaan kretek adalah pelaksanaan corporate social responsibility (CSR).
Hal ini diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(PT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)
Kementerian Keuangan mempunyai kepentingan berkaitan dengan
menjaga sumber pendapatan negara melalui komponen cukai dan pajak yang diberikan industri kretek. Setoran cukai hasil tembakau untuk
negara di tahun 2013 mencapai Rp 101,2 triliun atau 96% dari total
pendapatan cukai negara. Dengan menghitung komponen pendapatan
dari pajak, secara keseluruhan sumbangan pendapatan dari industri ini
kepada negara mencapai Rp 150 triliun. Pendapatan ini terus meningkat, terlebih sejak tahun 2014 ada tambahan sumbangan pajak daerah
sebesar 10 persen dari pendapatan cukai hasil tembakau.
Industri kretek yang digadang-gadang oleh rezim kesehatan sebagai
penyebab penyakit malah memberi kontribusi besar bagi program
kesehatan di Indonesia. Di beberapa daerah penghasil tembakau
–seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lombok– aliran Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) lebih dari 50 persen dana ini
dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana kesehatan di
masing-masing daerah. Begitu pula dengan penerapan UU Pendapatan
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang mengamanatkan 50 persen
didistribusikan untuk program kesehatan daerah.
Kretek adalah identitas yang lahir dari alam dan pengetahuan lokal
masyarakat Indonesia. Kretek tidak ada di negeri lain. Kretek tumbuh
dan berkembang di negeri sendiri dan menjadi komoditas ekspor yang
terkenal di luar negeri. Kretek sebagai identitas budaya melingkupi semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia, dari aspek perekonomian
berkontribusi besar untuk peningkatan pendapatan negara dan penopang pembangunan nasional. Selain itu, industri ini pernah terlepas
memberi sokongan pengembangan seni-budaya dan prestasi olahraga
yang mengharumkan nama bangsa di luar negeri. Termasuk dukunganya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan beasiswa
untuk generasi muda Indonesia.
Dari pemikir sistem ekonomi Indonesia, Sukarno (Ekonomi Berdikari),
Mohammad Hatta (Demokrasi Ekonomi), Sutan Sjahrir
(Sosialisme Kerakyatan) hingga Mubyarto (Ekonomi Pancasila),
semuanya menyimpulkan perekonomian negara ini perlu disusun
dengan karakteristik khas yang bertumpu pada konsep kerakyatan
dengan berorientasi memberdayakan kekuatan ekonomi rakyat.
Adapun kebijakan untuk mencapai kemandirian ekonomi tersusun
dalam langkah-langkah stategis sebagai berikut: pemenuhan
kebutuhan pokok rakyat dalam rangka pemberantasan kemiskinan,
penegasan orientasi kepada pasar domestik, pemerataan dan penyebaran pembangunan ke daerah-daerah, dan kegiatan
ekonomi dengan bertumpu pada pengembangan sumber daya alam
dan sumber daya manusia. Sampai sekarang, industri kretek satusatunya kegiatan ekonomi yang mengakomodir langkah-langkah
mencapai kemandirian ekonomi.
Aktivitas ekonomi industri kretek, dari hulu hingga hilir, telah menciptakan lapangan pekerjaan yang luas dan memberikan pendapatan bagi
masyarakat sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok serta
terhindar dari jerat kemiskinan. Di hulu, petani tembakau dan
cengkeh dapat memenuhi kebutuhan hidup dan membiayai pendidikan
anak-anak. Di hilir industri kretek banyak membutuhkan tenaga kerja
perempuan sebagai pelinting yang memberikan kontribusi besar bagi
ketahanan ekonomi keluarga.
Pendapatan mereka memang tidak secara langsung masuk hitungan
pendapatan nasional. Tetapi keberadaan industri kretek membantu
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang dihasilkan dari upaya budidaya tembakau, cengkeh dan pekerjaan yang dihadirkan dari sektor
pengolahan dan pemasaran.
Dari sekian banyak industri pertanian di Indonesia, sebagian besarnya
berorientasi untuk memenuhi kebutuhan ekspor semata. Hal ini terlihat dari industri kelapa sawit (CPO), kakao, karet yang diekspor dalam
bentuk bahan mentah. Tentu nilai tambah yang dihasilkan dari
komoditi-komoditi ini malah menguntungkan negara pengolah. Di
samping itu aktivitas ekonomi yang diakibatkan darinya rentan ambruk
tertimpa krisis ekonomi.
Kenyataan yang berbeda terlihat dari industri kretek. Komoditikomoditi yang dibutuhkan hampir keseluruhannya berasal dari dalam
negeri, pengelolaannya di dalam negeri, dan konsumen terbesarnya
di dalam negeri. Itulah yang membuat industri kretek lebih tahan dari
krisis ekonomi yang datang dari luar dan memberikan dampak yang
berlipat karena nilai tambahnya diperoleh oleh bangsa Indonesia.
Intergrasi industri kretek dari hulu hingga hilir tersebar hampir di
semua provinsi di Indonesia. Terutatama untuk budidaya komoditi
cengkeh yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Hasil produksi cengkeh
secara keseluruhan terdapat di 29 provinsi di Indonesia, 96 persen di
antaranya untuk menunjang kebutuhan industri kretek. Dan masih
terdapat budidaya perkebunan tembakau yang terdapat di 15 provinsi
dan terdapat 6 provinsi sebagai tempat pengelolaan industri kretek.
Industri kretek mempunyai efek luas bagi perekonomian bangsa sebab
menyatukan hampir semua kawasan Kepulauan Nusantara. Tidak ada
industri lain yang sanggup menandingi peran industri kretek dalam
mendistribusikan pendapatan rakyat di hampir seluruh kawasan
Indonesia.
Industri kretek merupakan perpaduan antara industri pengembangan
sumber daya alam (SDA) unggulan serta diolah dengan kerja sumber
daya manusia (SDM) yang bercirikan industri padat karya. Perpaduan
ini yang membuat posisi industri kretek di satu sisi menghasilkan
produk yang tidak dapat dihasilkan oleh negara lain. Juga dalam pengelolaan yang bertumpu pada SDM menjadikan industri ini tidak memiliki ketergantungan teknologi yang besar dari negara maju.
Keberadaan industri kretek telah membuktikan kontribusi yang
berdampak luas bagi bangsa Indonesia dari berbagai segi baik
ekonomi, sosial dan budaya. Industri kretek bukan hanya sekadar
penting namun telah menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi
bangsa. Kerja keras yang berjalin dengan ketekunan selama lebih dari
satu abad itu bisa jadi tidak berarti oleh adanya aktivitas pengendalian
tembakau dua dekade belakangan ini. Oleh karenanya, upaya strategis
untuk melindungi keberadaan industri kretek perlu dilakukan oleh
semua pihak di negeri ini dengan langkah sebagai berikut: Pencabutan
PP 109 Tahun 2012; Perlindungan Industri Kretek melalui Undang-undang Pertembakauan; Mewujudkan Kepentingan Nasional yang Bebas
Kepentingan Asing; Pengembangan Industri Kretek Nasional.
Pemerintah perlu mencabut PP No 109/2012 tentang Pengamanan
Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi
Kesehatan. PP No 109/2012 bukan saja tidak sesuai amanat Pasal 116
UU No. 36 Tahun 2009 namun juga membawa muatan kepentingan
asing yang termuat dalam Framework Convention on Tobacco Control
(FCTC). Keberadaan PP No 109/2012 bukan saja mengancam
keberadaan industri kretek dan mata rantai pekerjaan yang terkait
tetapi sebuah langkah menggadaikan kedaulatan Bangsa Indonesia.
£ PERLINDUNGAN INDUSTRI KRETEK MELALUI
UNDANG-UNDANG PERTEMBAKAUAN
Pemerintah perlu melindungi petani tembakau, cengkeh, buruh pabrik
dan pelaku industri kretek dari kepentingan asing baik rezim kesehatan internasional dan industri rokok putih dengan menghadikan UU
Pertembakauan. Upaya itu diwujudkan dengan mempertegas posisi
pemerintah untuk mengamankan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
dari keberadaan industri kretek.
£ MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BERDAULAT
Pemerintah perlu mengutamakan kemandirian dan kedaulatan bangsa
yang bebas dari kepentingan asing. Salah satu langkah yang ditempuh
adalah dengan memberikan dukungan terhadap keberadaan industri
kretek. Industri ini telah secara nyata memberikan sumbangan
pendapatan negara melalui pajak dan cukai bahkan memberikan hak
atas pekerjaan, hak atas upah dan tunjangan, hak atas jaminan sosial
dan berkontribusi besar bagi pengembangan kebudayaan. Oleh karena
itu, atas nama kedaulatan bangsa pemerintah harus berani bersikap
tegas untuk melindungi industri kretek.
Industri kretek memerlukan pengembangan lebih lanjut yang disokong
Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Riset
dan Teknologi untuk mengembangkan produk turunan tembakau,
khasanah budaya bangsa, dan produk perdagangan unggulan yang
hanya terdapat di Indonesia. Pengembangan industri kretek merupakan
langkah penting yang harus dilakukan mengingat industri ini adalah
kekuatan ekonomi yang memberikan manfaat luas.
Langganan:
Postingan (Atom)