Tampilkan postingan dengan label hukum kontrak 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum kontrak 4. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Mei 2023

hukum kontrak 4


 Sesuatu hal 
di sini bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak, 
bisa jual beli, utang piutang, sewa-menyewa, dan lain-lain.
Di dalam Rancangan Undang-Undang Kontrak telah ditentukan tentang 
berakhirnya kontrak. Pengakhiran kontrak dalam rancangan itu diatur dalam 
Pasal 7.3.1 sampai dengan Pasal 7.3.5. Ada lima hal yang diatur dalam pasal 
tersebut, yaitu
1. hak untuk mengakhiri kontrak,
2. pemberitahuan pengakhiran,
3. ketidakpelaksanaan yang sudah diantisipasi,
4. jaminan yang memadai dari ketidakpelaksanaan tersebut, dan
5. pengaruh dari pengakhiran secara umum.
Hak untuk mengakhiri kontrak diatur dalam Pasal 7.3.1. yang berbunyi: 
’’Suatu pihak dapat mengakhiri kontrak tersebut di mana kegagalan untuk 
melaksanakan suatu kewajiban sesuai dengan kontrak tersebut mencapai pada 
tingkat ketidakpelaksanaan yang mendasar (Pasal 7.3.1 ayat (1)).”
Hal-hal yang harus dipertimbangkan untuk menentukan kegagalan dalam 
melaksanakan suatu kewajiban pada tingkat ketidakpelaksanaan yang mendasar, 
yaitu
1. ketidakpelaksanaan tersebut pada prinsipnya telah menghilangkan hak dari 
pihak yang dirugikan untuk mengharapkan apa yang menjadi haknya sesuai 
dengan kontrak tersebut, kecuali pihak lainnya tidak menduga atau tidak 
dapat menduga atau tidak dapat menduga secara layak hasil semacam itu;
2. kesesuaian yang sangat ketat dengan kewajiban yang tidak dilaksanakan 
adalah penting sesuai dengan kontrak tersebut;
3. ketidakpelaksanaan tersebut telah dilakukan secara sengaja atau karena 
kecerobohan;
4. ketidakpelaksanaan tersebut memberikan kepada pihak yang dirugikan alasan 
untuk percaya bahwa pihak tersebut tidak dapat menyandarkan diri pada 
pelaksanaan di masa yang akan datang dari pihak lainnya;
5. pihak yang tidak dapat melaksanakan tersebut akan menderita kerugian 
yang tidak proporsional sebagai persiapan dari pelaksanaan apabila kontrak 
diakhiri (Pasal 7.3.1 Rancangan Undang-Undang Kontrak).
Setiap kontrak yang akan diakhiri oleh salah satu pihak maka ia harus 
memberitahukannya kepada pihak lainnya (Pasal 7.3.2 Rancangan Undang- 
Undang Kontrak).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 
juga diatur secara rinci tentang berakhirnya perjanjian internasional. Ada delapan 
cara berakhirnya perjanjian internasional, yaitu
1. terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam 
perjanjian;
2. tujuan perjanjian telah tercapai;
3. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
4. salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
5. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
6. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
7. objek perjanjian hilang;
8. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional (Pasal 18 Undang- 
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).
Di samping kedelapan cara berakhirnya perjanjian internasional tersebut, di 
dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 ditentukan berakhirnya 
perjanjian sebelum jangka waktunya. Di dalam pasal itu disebutkan bahwa: 
’’Perjanjian internasional berakhir sebelum waktunya, berdasarkan kesepakatan 
para pihak, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi 
bagian perjanjian dan belum dilaksanakan secara penuh pada saat berakhirnya 
perjanjian tersebut.” Pasal ini memberikan perlindungan kepada negara peminjam 
atau pihak swasta bahwa perjanjian yang berakhir sebelum waktunya tidak 
mempengaruhi dalam penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian 
perjanjian dan belum dilaksanakan.
Di samping itu, dalam KUH Perdata juga telah diatur tentang berakhirnya 
perikatan. Berakhirnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata. Cara 
berakhirnya perikatan dibagi menjadi sepuluh cara, yaitu (1) pembayaran, (2) 
konsignasi, (3) novasi (pembaruan utang), (4) kompensasi, (5) konfusio (per­
campuran utang), (6) pembebasan utang, (7) musnahnya barang terutang, (8) 
kebatalan atau pembatalan, (9) berlaku syarat batal, dan (10) daluwarsa (Pasal 
1381 KUH Perdata).
Kesepuluh cara berakhirnya perikatan tersebut tidak disebutkan, mana 
perikatan yang berakhir karena perjanjian dan undang-undang. Sebab untuk 
mengklasifikasinya diperlukan sebuah pengkajian yang teliti dan saksama.
Berdasarkan hasil kajian terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang 
berakhirnya perikatan maka kesepuluh cara itu dapat digolongkan menjadi dua 
macam, yaitu berakhirnya perikatan karena perjanjian dan undang-undang. Yang 
termasuk berakhirnya perikatan karena undang-undang adalah (1) konsignasi, 
(2) musnahnya barang terutang, dan (3) daluwarsa. Sedangkan berakhirnya 
perikatan karena perjanjian dibagi menjadi tujuh macam, yaitu (1) pembayaran, 
(2) novasi (pembaruan utang), (3) kompensasi, (4) konfusio (percampuran 
utang), (5) pembebasan utang, (6) kebatalan atau pembatalan, dan (7) berlaku 
syarat batal.
Di samping ketujuh cara tersebut, dalam praktik dikenal pula cara berakhirnya 
kontrak, yaitu
1. jangka waktunya berakhir,
2. dilaksanakan objek perjanjian,
3. kesepakatan kedua belah pihak,
4. pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan
5. adanya putusan pengadilan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berakhirnya kontrak dapat 
digolongkan menjadi dua belas macam, yaitu
1. pembayaran,
2. novasi (pembaruan utang),
3. kompensasi,
4. konfusio (percampuran utang),
5. pembebasan utang,
6. kebatalan atau pembatalan,
7. berlaku syarat batal,
8. jangka waktu kontrak telah berakhir,
9. dilaksanakan objek perjanjian,
10. kesepakatan kedua belah pihak,
11. pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan
12. adanya putusan pengadilan.
Kedua belas cara tersebut, disajikan dalam subbab berikut ini.
«f
B. PEMBAYARAN
1. Pengertian Pembayaran
Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam 
Pasal 1382 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1403 KUH Perdata. Ada dua 
pengertian pembayaran, yaitu pengertian secara sempit dan yuridis teknis. 
Pengertian pembayaran dalam arti sempit, adalah pelunasan utang oleh debitur
kepada kreditur. Pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau 
barang. Namun, pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam 
bentuk uang atau barang, tetapi juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter 
bedah, tukang cukur, atau guru privat.
2. Orang yang Berwenang dan Berhak untuk Melakukan Pembayaran
Orang yang dapat melakukan pembayaran utang, adalah
a. debitur yang berkepentingan langsung,
b. penjamin atau borgtocher,
c. orang ketiga yang bertindak atas nama debitur.
Orang yang berhak menerima pembayaran, yaitu
a. kreditur,
b. orang yang menerima kuasa dari kreditur,
c. orang yang telah ditunjuk oleh hakim, dan
d. orang-orang yang berhak menurut undang-undang (Pasal 1385 KUH Perdata). 
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimanakah jika debitur melakukan
pembayaran kepada orang yang tidak berwenang? Pertanyaan ini dijawab oleh 
Pasal 1387 B W, yaitu (1) pembayaran dianggap tidak sah, (2) pembayaran 
dapat dibatalkan, dan (3) pembayaran bisa dianggap sah dan berharga jika 
debitur dapat membuktikan bahwa pembayaran terhadap yang tak berwenang 
tadi benar-benar telah menolong dan membawa manfaat bagi kreditur.
3. Objek Pembayaran
Objek pembayaran ditentukan dalam Pasal 1389 s.d. Pasal 1391 KUH 
Perdata. Pasal 1389 KUH Perdata berbunyi: ’’Tidak seorang kreditur pun dapat 
dipaksa menerima pembayaran suatu barang lain dari barang yang terutang, 
meskipun barang yang ditawarkan sarna harganya dengan barang yang terutang, 
bahkan lebih tinggi.”
Pada dasarnya yang menjadi objek pembayaran dalam Pasal 1389 KUH 
Perdata tergantung dari sifat dan isi perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan 
debitur. Contoh, A meminjam uang pada B sebesar Rp1.000.000,00 dan berjanji 
akan membayar pada tanggal 15 Januari 1996 maka yang harus dibayar oleh A 
adalah utangnya sebesar Rpl.000.000,00 bukan dalam bentuk lainnya. Utang itu 
harus dibayar secara kontan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1390 KUH Perdata 
yang berbunyi: ’’Seorang debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima 
pembayaran dengan angsuran, meskipun utang itu dapat dibagi-bagi.” Ketentuan 
Pasal 1390 KUH Perdata itu tidak memperhatikan secara saksama ketentuan 
yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang memberikan kebebasan 
kepada individu untuk membuat perjanjian dengan siapa pun. Karena pada saat 
ini dengan berkembangnya lembaga perbankan, dimungkinkan pembayaran dilakukan 
secara angsuran disertai bunga. Suatu contoh, A telah meminjam uang di bank
sebesar Rp5.000.000,00. Di dalam perjanjian ditentukan bahwa A harus membayar 
pokok pinjaman beserta bunganya setiap bulannya sebesar Rpl67.500,00 selama 
60 bulan. Ini berarti bahwa yang harus dibayar oleh A adalah utangnya yang ada 
pada bank, yang berupa pinjaman ditambah bunganya. Dengan demikian, dapat 
dikatakan bahwa objek pembayaran tergantung dari sifat dan isi dari perjanjian.
4. Tempat Pembayaran Dilakukan
Tempat pembayaran dilakukan ditentukan dalam Pasal 1393 KUH Perdata. 
Pada dasarnya, tempat pembayaran dilakukan adalah di tempat yang telah 
ditetapkan dalam perjanjian, antara kreditur dan debitur. Akan tetapi, apabila kedua 
belah pihak tidak menentukan secara tegas tempat pembayaran maka pembayaran 
dapat dilakukan di tempat-tempat sebagai berikut.
a. Tempat barang berada sewaktu perjanjian dibuat. Contohnya, A telah membeli 
sebidang tanah seluas 1,50 ha pada B. Tanah itu terletak di Kecamatan 
Narmada maka tempat pembayarannya dilakukan di Kecamatan Narmada;
b. Tempat tinggal kreditur, dengan syarat kreditur harus secara terus-menerus 
berdiam dan bertempat tinggal di tempat tersebut. Contohnya, A telah 
membeli benda bergerak, seperti mobil kepada B. Di dalam perjanjian antara 
A dan B tidak ditentukan tempat pembayarannya maka pembayaran itu 
dapat dilakukan di tempat tinggal kreditur;
c. Tempat tinggal debitur.
Tempat pembayaran itu bersifat fakultatif, artinya bahwa pihak debitur 
dan kreditur dapat memilih salah satu dari tiga tempat itu untuk melakukan 
pembayaran utang.
5. Biaya dan Bukti Pembayaran
Biaya pembayaran ditentukan dalam Pasal 1395 KUH Perdata. Di dalam 
pasal itu ditentukan bahwa yang menanggung biaya pembayaran adalah debitur. 
Di samping itu, debitur juga berhak untuk menerima tanda bukti pembayaran 
dari kreditur. Tujuan adanya tanda bukti pembayaran itu adalah sebagai alat bukti 
di kelak kemudian hari, apabila kreditur sendiri menyangkal tentang adanya 
pembayaran tersebut.
6. Subrogasi
Subrogasi diatur dalam Pasal 1400 BW. Subrogasi artinya, penggantian 
kedudukan kreditur oleh pihak ketiga dalam perjanjian sebagai akibat pembayaran 
oleh pihak ketiga atas utang debitur kepada pihak kreditur. Tujuan subrogasi 
adalah untuk memperkuat posisi pihak ketiga yang telah melunasi utang-utang 
debitur dan atau meminjamkan uang kepada debitur. Yang paling nyata adanya 
subrogasi adalah beralihnya hak tuntutan dan kedudukan kreditur kepada pihak 
ketiga (Pasal 1400 BW). Peralihan kedudukan itu meliputi segala hak dan tuntutan 
termasuk hak previlegi.
Ada dua cara terjadinya subrogasi, yaitu karena (1) perjanjian (subrogasi 
kontraktual), dan (2) undang-undang.
Subrogasi kontraktual dapat dilakukan dengan cara:
a. kreditur menerima pembayaran baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya 
dari pihak ketiga, dan serta merta mengalihkan hak dan tuntutan yang di­
milikinya terhadap orang ketiga tersebut terhadap debitur;
b. pihak ketiga membantu debitur. Debitur ’’meminjamkan” uang dari pihak 
ketiga
yang dipergunakan untuk membayar utang kepada kreditur sekaligus me­
nempatkan pihak ketiga tadi menggantikan kedudukan semula terhadap diri 
debitur.
Supaya subrogasi kontraktual dianggap sah, harus diikuti tata cara sebagai 
berikut:
a. pinjaman uang harus ditetapkan dengan akta autentik;
b. dalam akta harus dijelaskan besarnya jumlah pinjaman, dan diperuntukkan 
melunasi utang debitur;
c. tanda pelunasan harus berisi pernyataan bahwa uang pembayaran utang 
yang diserahkan kepada kreditur adalah uang yang berasal dari pihak ketiga. 
Subrogasi karena undang-undang ini terjadi disebabkan danya pembayaran
yang dilakukan pihak ketiga untuk kepentingannya sendiri dan seorang kreditur 
melunasi utang kepada kreditur lain yang sifat utangnya mendahului. Contoh A 
berkedudukan sebagai kreditur kepada B dan B ini masih mempunyai kreditur 
yang lain bernama C.
Akibat adanya subrogasi adalah beralihnya hak tuntutan dari kreditur kepada 
pihak ketiga (Pasal 1400 KUH Perdata). Peralihan hak itu, meliputi segala hak 
dan tuntutan. Misalnya, A telah membeli rumah pada pengembang dengan meng­
gunakan fasilitas KPR BTN, dengan angsuran setiap bulannya Rp300.000,00. 
Namun, dalam perkembangannya A tidak mampu lagi membayar angsuran 
tersebut. Kemudian A mengalihkan pembayaran rumah itu kepada C. Dengan 
demikan, akhirnya yang membayar rumah tersebut selanjutnya adalah C kepada 
BTN.
C. NOVASI
1. Pengertian Novasi
Novasi diatur dalam Pasal 1413 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1424 
KUH Perdata. Novasi (pembaruan utang) adalah sebuah persetujuan, di mana 
suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus 
dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli (C. Asser’s, 1991: 552). Vollmar 
mengartikan novasi adalah suatu perjanjian karena di mana sebuah perjanjian 
yang akan dihapuskan, dan seketika itu juga timbul sebuah perjanjian baru 
(Vollmar, 1983: 237).
Kedua definisi di atas, dititikberatkan pada definisi novasi pada penggantian 
objek perjanjian, padahal dalam KUH Perdata tidak hanya penggantian objek 
perjanjian yang lama, daripada perjanjian baru, tetapi juga penggantian subjek 
perjanjian, baik debitur maupun kreditur lama kepada debitur dan kreditur baru. 
Dengan demikian, penulis cenderung memberikan definisi novasi sebagai berikut. 
Novasi adalah suatu perjanjian antara debitur dan kreditur, di mana perjanjian 
lama dan subjeknya yang ada dihapuskan dan timbul sebuah objek dan subjek 
perjanjian yang baru.
Unsur-unsur novasi:
a. adanya perjanjian baru,
b. adanya subjek yang baru,
c. adanya hak dan kewajiban, dan
d. adanya prestasi.
2. Macam Novasi
Di dalam Pasal 1413 KUH Perdata, novasi dibedakan menjadi tiga macam, 
yaitu (1) novasi objektif, (2) novasi subjektif yang pasif, dan (3) novasi subjektif 
yang aktif.
Novasi objektif, yaitu suatu perjanjian yang dibuat antara debitur dan kreditur, 
di mana perjanjian lama dihapuskan. Ini berkaitan dengan objek perjanjian. 
Contohnya, A telah membeli kain baju pada B seharga Rp200.000,00, tetapi 
harga barang itu baru dibayar Rpl00.000,00. Ini berarti bahwa A masih berutang 
pada B sebesar Rpl00.000,00. Akan tetapi, A membeli kain baju yang lain 
seharga Rp200.000,00 dan harga tersebut belum dibayarnya. Kemudian antara 
A dan B membuat perjanjian, yang isinya bahwa utang A sebanyak Rp400.000,00 
termasuk utang lamanya.
Novasi subjektif yang pasif, yaitu perjanjian yang dibuat antara kreditur 
dan debitur, namun debiturnya diganti oleh debitur yang baru, sehingga debitur 
lama dibebaskan. Inti dari novasi subjektif yang pasif adalah penggantian debitur 
lama dengan debitur baru. Contohnya, A berutang pada B. Namun, dalam 
pelaksanaan pembayaran utangnya A diganti oleh C sebagai debitur baru, sehingga 
yang berutang akhirnya adalah C kepada B.
Novasi subjektif yang aktif, yaitu penggantian kreditur, di mana kreditur 
lama dibebaskan dari kontrak, dan kemudian muncul kreditur baru dengan debitur 
lama. Inti novasi ini adalah penggantian kreditur. Contohnya, si Ani berutang 
pada Mina. Namun di dalam pelaksanaan perjanjian ini kedudukan si Mina yang 
tadinya sebagai kreditur kini diganti oleh si Ali sebagai kreditur. Sehingga 
perjanjian utang piutang itu tadinya terjadi antara si Ani (debitur) dengan si Ali 
(kreditur).
3. Orang Yang Cakap Melakukan Novasi
Pada dasarnya, orang yang cakap melakukan novasi, baik objektif maupun 
subjektif adalah orang-orang yang sudah dewasa atau sudah kawin. Ukuran 
kedewasaan adalah sudah berumur 21 tahun. Orang yang tidak cakap melakukan 
novasi adalah orang yang di bawah umur, di bawah pengampuan, atau istri. Istri 
dalam melakukan novasi harus didampingi oleh suaminya. Namun, dalam perkem­
bangannya istri dapat melakukan novasi secara mandiri (SEMA No. 3 Tahun 
1963 jo. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Kehendak untuk melaku­
kan novasi harus dilakukan dengan sebuah akta. Ketentuan ini tidak bersifat 
memaksa, oleh karena untuk novasi subjektif yang pasif tidak perlu bantuan 
debitur (Pasal 1415 KUH Perdata).
4. Akibat Novasi
Di dalam Pasal 1418 KUH Perdata telah ditentukan akibat novasi. Salah 
satu akibat novasi adalah bahwa debitur lama yang telah dibebaskan dari kewajiban 
oleh kreditur tidak dapat meminta pembayaran kepada debitur lama, sekalipun 
debitur baru jatuh pailit atau debitur baru ternyata orang yang tidak dapat melakukan 
perbuatan hukum.
D. KOMPENSASI
1. Pengertian Kompensasi
Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 KUH Perdata 
sampai dengan Pasal 1435 KUH Perdata. Yang diartikan dengan kompensasi, 
adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan 
utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur (Pasal 1425 KUH 
Perdata). Syarat terjadinya kompensasi:
a. kedua-duanya berpokok pada sejumlah uang; atau
b. berpokok pada jumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama; 
atau
c. kedua-duanya dapat ditetapkan dan ditagih seketika.
Tujuan utama kompensasi adalah
a. penyederhanaan pembayaran yang simpang siur antara pihak kreditur dan 
debitur;
b. dimungkinkan terjadinya pembayaran sebagian;
c. memberikan kepastian pembayaran dalam keadaan pailit.
2. Cara Terjadinya Kompensasi
Cara terjadinya kompensasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) 
demi hukum, dan (2) atas permintaan kedua belah pihak (Pasal 1426 KUH 
Perdata; Pasal 1431 KUH Perdata).
Perjumpaan utang demi hukum atau ipso jure compensatur adalah suatu 
perjumpaan utang yang terjadi tanpa adanya pemberitahuan dan permintaan dari 
pihak debitur dan kreditur. Ada dua kelemahan kompensasi yang terjadi demi 
hukum, yaitu
a. akan mengakibatkan terjadinya hal-hal yang menegangkan antara pihak- 
pihak yang berkepentingan;
b. adanya larangan kompensasi yang tercantum dalam Pasal 1429 KUH 
Perdata.
Ada tiga larangan kompensasi, yaitu (1) dituntutnya pengembalian suatu 
barang yang secara berlawanan dengan hukum, yaitu merampas dari 
pemiliknya, (2) dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan 
atau dipinjamkan, dan (3) terhadap suatu utang yang bersumber dari 
tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita (Pasal 1429 KUH 
Perdata).
Pada kompensasi dengan sendirinya saling perhitungan yang menghapuskan/ 
meniadakan masing-masing pihak, sesuai dengan besar kecilnya tagihan yang ada 
pada masing-masing pihak. Misalnya, A telah menyewakan rumah kepada B seharga 
Rp300.000,00/tahun. B baru menyerahkan uang sewa sebesar Rp 150.000,00 untuk 
enam bulan pertama, dan B berjanji menyerahkan sisanya pada bulan ketujuh pada 
A. Akan tetapi, pada saat bulan kedua A sangat membutuhkan uang untuk 
menyekolahkan anaknya, dan A meminjam uang pada B sebesar Rpl50.000,00. Ini 
berarti bahwa demi hukum erjadi kompensasi antara A dan B, walaupun B seharusnya 
menyerahkan sisa sewa rumah pada bulan ketujuh.
Kompensasi kontraktual adalah suatu bentuk kompensasi yang terjadi atas 
dasar permintaan dan persetujuan antara pihak debitur dan kreditur (Pasal 1431 
KUH Perdata).
Pada dasarnya semua utang piutang yang telah disetujui oleh kedua belah 
pihak dapat dilakukan kompensasi kontraktual. Namun, ada beberapa pengecualian, 
yaitu sebagai berikut.
a. Jika utang-utang dari kedua belah pihak tidak dapat dibayar di tempat yang 
sama maka utang itu tidak dapat dikompensasi, selain penggantian biaya 
pengiriman (Pasal 1432 KUH Perdata).
b. Kompensasi tidak dapat dilakukan atas kerugian hak yang diperoleh pihak 
ketiga (Pasal 1434 ayat (1) KUH Perdata).
c. Seorang debitur yang kemudian menjadi kreditur pula, setelah pihak ketiga 
menyita barang yang harus dibayarkan, tidak dapat menggunakan kompensasi 
atas kerugian penyita (Pasal 1434 ayat (2) KUH Perdata).
Ketiga hal itu tidak dapat dilakukan kompensasi kontraktual karena cara 
memperolehnya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
E. PERCAMPURAN UTANG
Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata sampai dengan 
Pasal 1437 KUH Perdata. Di dalam NBW (BW Baru) negeri Belanda, 
percampuran utang diatur dalam Pasal 1472 NBW. Percampuran utang adalah 
percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai 
kreditur menjadi satu (Pasal 1436 KUH Perdata). Ada dua cara terjadinya 
percampuran utang, yaitu
1. dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum. Misalnya, si kreditur 
meninggal dunia dan meninggalkan satu-satunya ahli waris, yaitu debitur. Ini 
berarti bahwa dengan meninggalnya kreditur maka kedudukan debitur 
menjadi kreditur;
2. dengan jalan penerusan hak di bawah alas hak khusus, misalnya pada jual 
beli atau legaat.
Pada umumnya percampuran utang terjadi pada bentuk-bentuk debitur menjadi 
ahli waris dari kreditur.
F. PEMBEBASAN UTANG
Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUH Perdata s.d. 1443 KUH 
Perdata. Pembebasan utang adalah suiatu pernyataan sepihak dari kreditur kepada 
debitur, bahwa debitur dibebaskan dari perutangan. Ada dua cara terjadinya 
pembebasan utang, yaitu (1) cuma-cuma, dan (2) prestasi dari pihak debitur. 
Pembebasan utang dengan cuma-cuma harus dipandang sebagai penghadiahan 
(HR 16 Januari 1899 dan 10 Januari 1902). Sedangkan prestasi dari pihak debitur, 
artinya sebuah prestasi lain, selain prestasi yang terutang. Pembebasan ini didasar­
kan pada perjanjian.
G. KEBATALAN ATAU PEMBATALAN KONTRAK  
1. Pengertiannya
Kebatalan kontrak diatur dalam Pasal 1446 KUH Perdata s.d. Pasal 1456 
KUH Perdata. Ada tiga penyebab timbulnya pembatalan kontrak, yaitu
a. adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan 
di bawah pengampuan;
b. tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam undang-undang;
c. adanya cacat kehendak.
Cacat kehendak (wilsgebreken) adalah kekurangan dalam kehendak orang 
atau orang-orang yang melakukan perbuatan yang menghalangi terjadinya 
persesuaian kehendak dari para pihak dalam perjanjian.
Cacat kehendak dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut, 
a. Kekhilafan (dwelling) adalah suatu penggambaran yang keliru mengenai 
orangnya atau objek perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dwaling dibagi
menjadi dua macam, yaitu (1) dwelling tentang orangnya dan (2) dwelling 
di dalam kemandirian benda. Contoh dwelling tentang orangnya, A meminta 
kepada Hetty Koes Endang untuk melakukan pertunjukan di Mataram. 
Namun, yang datang bukan Hetty Koes Endang yang mempunyai suara 
bagus dan merdu. Contoh dwelling dalam kemandirian benda, A berkehendak 
membeli lukisan Affandy, namun yang diterimanya dari penjual adalah lukisan 
tiruan.
b. Paksaan (dwang), yaitu suatu ancaman yang dilakukan oleh seseorang 
kepada orang lain atau pihak ketiga, sehingga memberi kesan dan dapat 
menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, 
orang-orangnya, atau kekayaannya terancam rugi besar dalam waktu dekat 
(Pasal 1324 KUH Perdata).
c. Penipuan (bedrog) adalah dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta 
yang salah untuk memasuki suatu perjanjian.
Di samping ketiga cacat kehendak itu, dalam doktrin dikenal cacat kehendak 
keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan (undue influence).
Pada mulanya ajaran penyalahgunaan keadaan timbul di Inggris pada abad 
ke-15 dan 16. Hal ini disebabkan dalam hukum Inggris hanya dikenal paksaan 
fisik, sedangkan paksaan moral tidak diatur dalam Common Law. Untuk 
melengkapi hal itu maka dalam equity diciptakan doktrin atau ajaran undue 
influence tersebut. Undue influence didasarkan pada penyalahgunaan keadaan 
ekonomis dan psikologis salah satu pihak. Penyalahgunaan keadaan ekonomis 
adalah penyalahgunaan keadaan oleh salah satu pihak, terutama ekonomi kuat 
terhadap ekonomi lemah. Dengan demikian, si ekonomi lemah tidak mempunyai 
kekuasaan yang berimbang untuk saling tawar-menawar antara keduanya.
2. Macam Kebatalan
Kebatalan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) kebatalan mutlak 
dan (2) kebatalan relatif. Kebatalan mutlak adalah suatu kebatalan yang tidak 
perlu dituntut secara tegas. Kebatalan mutlak terjadi karena (1) cacat bentuknya, 
(2) perjanjian itu dilarang undang-undang, (3) bertentangan dengan kesusilaan, dan 
(4) bertentangan dengan ketertiban umum. Contoh kebatalan mutlak, dikemukakan 
berikut ini.
a. Perjanjian yang harus dibuat dengan bentuk tertentu, ternyata bentuk itu 
tidak dipenuhi.
b. Perjanjian yang bersifat formil, misalnya hibah yang harus dibuat dengan 
akta notaris.
c. Perjanjian perburuhan harus tertulis.
d. Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris (Pasal 147 KUH Perdata). 
Kebatalan relatif adalah suatu kebatalan yang dituntut secara tegas, dan
biasanya diajukan oleh salah satu pihak. Misalnya wakil dari orang yang tidak
wenang melakukan perbuatan hukum atau orang yang terhadapnya dilakukan 
kekerasan atau penipuan atau orang yang berada dalam kekhilafan. Contoh 
kebatalan relatif, dikemukakan berikut ini.
a. Perjanjian yang diancam dengan actio pauliana, yaitu perjanjian yang 
menimbulkan kerugian pihak kreditur maka kreditur dapat meminta kebatalan/ 
pembatalan yang dibuat dengan debitur yang merugikan kreditur.
b. Perjanjian yang hanya berlaku bagi Pihak I dan II, tetapi tidak berlaku bagi 
kreditur.
c . Perjanjian jual beli antara suami istri, kalau merugikan kreditur dapat dimintakan 
pembatalan.
d. Perjanjian penghadiahan antara suami istri, kalau merugikan kreditur dapat 
dimintakan pembatalan.
3. Akibat Kebatalan
Akibat kebatalan kontrak dapat' dilihat dari dua aspek, yaitu (1) orang- 
orang yang tidak wenang melakukan perbuatan hukum, dan (2) cacat kehendak. 
Akibat kebatalan perikatan bagi orang-orang yang tidak berwenang melakukan 
perbuatan hukum adalah pulihnya barang-barang dan orang-orang yang ber­
sangkutan, seperti sebelum perikatan dibuat (Pasal 1451 KUH Perdata). Dengan 
pengertian, bahwa segala sesuatu yang telah diberikan atau dibayar kepada orang 
yang tidak berwenang hanya dapat dituntut kembali bila:
a. barang yang bersangkutan masih terada di tangan orang yang tidak berwenang 
lagi;
b. orang yang tidak berwenang itu telah mendapat keuntungan dari apa yang 
telah diberikan atau dibayar;
c. apa yang dinikmati telah dipakai bagi kepentingannya.
Akibat kebatalan karena cacat kehendak, yaitu pulihnya barang-barang 
dan orang-orang yang bersangkutan seperti dalam keadaan semula (Pasal 1452 
KUH Perdata).
4. Jangka Waktu Pembatalan Perjanjian
Undang-undang tidak membatasi jangka waktu tuntutan pembatalan perjanjian 
secara khusus. Namun, dalam undang-undang ditentukan jangka waktu yang 
pendek, yaitu lima tahun (Pasal 1454 KUH Perdata). Jangka waktu itu mulai 
berlaku bagi:
a. orang yang belum dewasa, sejak hari kedewasaannya;
b. pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan;
c. paksaan, sejak hari paksaan berhenti;
d. penipuan, sejak hari diketahuinya penipuan;
e. pembayaran tak terutang, sejak debitur mengetahui bahwa ia tidak mempunyai 
utang pada kreditur; dan
f. tuntutan pembatalan perikatan menjadi gugur, apabila perikatan itu dikuatkan 
secara tegas atau secara diam-diam oleh orang-orang tersebut di atas (Pasal 
1456 KUH Perdata).
H. BERLAKUNYA SYARAT BATAL
Syarat batal adalah suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan 
perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak 
ada suatu perjanjian (Pasal 1265 KUH Perdata). Biasanya syarat batal berlaku 
pada perjanjian timbal balik. Seperti pada perjanjian jual beli, sewa-menyewa, 
dan lain-lain.
I. JANGKA WAKTU KONTRAK TELAH BERAKHIR
Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, baik kontrak yang dibuat melalui 
akta di bawah tangan maupun yang dibuat oleh atau di muka pejabat yang 
berwenang telah ditentukan secara tegas jangka waktu dan tanggal berakhirnya 
kontrak. Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak dimaksudkan 
bahwa salah satu pihak tidak perlu memberitahukan tentang berakhirnya kontrak 
tersebut, namun para pihak telah mengetahuinya masing-masing.
Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak adalah didasarkan 
pada kemauan dan kesepakatan para pihak. Ada kontrak yang jangka waktu 
dan tanggal berakhirnya kontrak singkat dan ada juga jangka waktu dan tanggal 
berakhirnya lama.
Berikut ini disajikan berbagai substansi kontrak yang mencantumkan jangka 
waktu berakhirnya kontrak.
1. Perjanjian kredit antara BRI dengan nasabah.
Perjanjian ini merupakan perjanjian kredit antara BRI dengan nasabah. 
Besarnya pinjaman yang diterima oleh nasabah sebanyak Rp 10.000.000,00 
(sepuluh juta rupiah). Bunga per tahun sebesar 18%. Besarnya angsuran 
setiap bulan yang harus diangsur oleh nasabah sebanyak Rp442.800,00 (empat 
ratus empat puluh dua ribu delapan ratus rupiah). Jangka waktu kredit selama 
36 bulan dan dimulai bulan November 2000 sampai dengan bulan Oktober 
2004. Pada dasarnya, BRI Cabang Mataram memberikan kelonggaran kepada 
nasabah tentang jangka waktu pinjaman, yaitu selama 60 bulan. Jangka waktu 
itu tergantung pada nasabah. Semakin lama jangka waktu kredit maka semakin 
kecil angsurannya, tetapi semakin pendek jangka waktunya, semakin besar 
angsurannya. Nasabah tinggal memilih waktu yang pendek atau lama.
2. Perjanjian kredit pemilikan rumah antara BTN Cabang Mataram dengan 
nasabah.
Jangka waktu kontrak selama 20 tahun dan mulai membayar angsuran bulan 
Maret 1989 dan berakhir nantinya pada bulan Maret 2009. Pertimbangan 
para nasabah memilih jangka waktu pembayaran kredit yang lebih lama 
adalah didasarkan pada besar atau kecil pembayaran angsuran yang harus
dilakukan oleh nasabah. Jangka waktu kredit yang lama ini, pada saat perjanjian 
dibuat penghasilan nasabah pada waktu itu sangat kecil. Karena untuk 
mendapatkan pinjaman kredit, penghasilan nasabah minimal Rpl00.000,00 
(seratus ribu rupiah). Apabila nasabah membayar angsuran sebesar 
Rp30.000,00/bulan maka nasabah masih dapat membiayai kebutuhan hidupnya.
3. Perjanjian sewa penggunaan fasilitas dan pelayanan jasa pelabuhan 
penyeberangan Kayangan.
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang dibuat antara PT Angkutan Sungai 
Danau dan Penyeberangan (Persero), Cabang Kayangan, Jalan Pelabuhan 
Kayangan, Lombok NTB, Indonesia dengan PT Newmont Nusa Tenggara 
(PT NNT), Jalan Pendidikan Nomor 64, Mataram, Lombok NTB, Indonesia. 
Isi perjanjian meliputi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum, dasar- 
dasar pelaksanaan perjanjian, ruang lingkup perjanjian, pembayaran, jangka 
waktu perjanjian, kewajiban para pihak, pembatalan dan sanksi, berakhirnya 
perjanjian, penyelesaian perselisihan, tempat kedudukan, fasilitas lainnya, 
dan lainnya. Ruang lingkup perjanjian meliputi sewa perairan/kolam pelabuhan, 
sewa tanah, biaya pas masuk penumpang, biaya pas petugas operasional dan 
ABK, biaya pas masuk dan parkir kendaraan. Besarnya sewa penggunaan 
fasilitas tersebut selama setahun sebanyak Rp300.054.000,00 (tiga ratus 
juta lima puluh empat ribu rupiah). Jangka waktu perjanjian selama 12 
bulan, yang dimulai dari tanggal 1 Agustus 2000 sampai dengan 31 Juli 
2001. Perjanjian tersebut kini telah berakhir, dan pihak PT Newmont Nusa 
Tenggara tidak memperpanjang perjanjian tersebut, karena perusahaan ini 
telah menyewa lokasi yang lainnya.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa jangka waktu berakhirnya kontrak tidak 
ada yang sama antara satu dengan yang lainnya. Ada jangka waktu kontraknya 
singkat dan ada juga jangka kontraknya panjang. Penentuan jangka waktunya 
tergantung kepada kemauan para pihak. Apabila kita meminjam kredit maka 
semakin lama waktu peminjaman, semakin kecil angsuran yang harus dibayar. 
Akan tetapi, semakin singkat jangka waktu yang diperjanjikan maka semakin 
besar angsuran kredit yang harus dibayar oleh nasabah.
J. DILAKSANAKAN OBJEK PERJANJIAN
Pada dasarnya objek perjanjian adalah sama dengan prestasi. Prestasi itu 
terdiri dari melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Di 
dalam perjanjian timbal balik, seperti jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, 
dan lain-lain telah ditentukan objek perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian jual 
beli tanah, yang menjadi objek perjanjian adalah barang dan harga. Pihak penjual 
tanah berkewajiban untuk menyerahkan tanah secara riil dan menyerahkan 
surat-surat tanah tersebut, begitu juga pembeli tanah berkewajiban untuk 
menyerahkan uang harga tanah tersebut. Sedangkan hak dari penjual tanah
adalah menerima uang harga tanah dan hak dari pihak pembeli menerima tanah 
beserta surat-surat yang menyertainya.
Dengan telah dilaksanakan objek perjanjian maka perjanjian antara penjual 
dan pembeli telah berakhir, baik secara diam-diam maupun secara tegas. Contoh 
lainnya, dalam perjanjian jasa dokter, di mana dokter memeriksa pasien dan 
menyerahkan resep kepada pasien, dan pasien membayar jasa dokter. Sejak 
terjadi pembayaran jasa dokter oleh pasien, pada saat itulah perjanjian itu telah 
berakhir.
K. KESEPAKATAN KEDUA BELAH PIHAK
Kesepakatan kedua belah pihak merupakan salah satu cara berakhirnya 
kontrak, di mana kedua belah pihak telah sepakat untuk menghentikan kontrak 
yang telah ditutup antara keduanya. Motivasi mereka untuk menyepakati 
berakhirnya kontrak tersebut adalah berbeda-beda antara satu dengan lainnya. 
Ada yang menyepakatinya didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan ada juga 
yang menyepakati karena bisnis. Pertimbangan karena bisnis adalah didasarkan 
pada untung rugi. Apabila salah satu pihak merasa rugi untuk melaksanakan 
substansi kontrak tersebut, salah satu meminta kepada pihak lainnya untuk 
mengakhiri kontrak tersebut dan pihak lainnya akan menyetujuinya.
Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai kontrak yang dibuat oleh para 
pihak, ditemukan pasal-pasal yang mengatur tentang berakhirnya perjanjian 
berdasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak. Pasal-pasal yang berkaitan 
dengan hal itu, dapat dilihat pada Pasal 22 Kontrak Karya antara Pemerintah 
Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Pasal 22 ayat (1) Kontrak Karya 
itu berbunyi: ’’Selama jangka waktu persetujuan ini, setelah mempergunakan 
segenap kesungguhan yang wajar di dalam usahanya untuk melaksanakan 
kegiatan-kegiatannya berdasarkan persetujuan ini, apabila menurut pendapat 
perusahaan bahwa pengusahaan tidak dapat dikerjakan, perusahaan akan 
berkonsultasi dengan Menteri dan kemudian dapat menyampaikan pemberitahuan 
tertulis kepada Menteri untuk mengakhiri perjanjian ini, dan untuk dibebaskan 
dari kewajiban-kewajibannya. Pemberitahuan tersebut harus disertai dengan data 
dan keterangan tentang kegiatan perusahaan berdasarkan perjanjian ini yang 
akan meliputi, tetapi tidak terbatas pada dokumen-dokumen, peta-peta, rencana- 
rencana, lembaran-lembaran kerja, dan lain-lain data dan keterangan teknis. 
Dengan penegasan tentang perjanjian tentang pengakhiran itu oleh Menteri atau 
dalam waktu 6 (enam) bulan setelah dikirimkannya pemberita-huan tertulis oleh 
perusahaan, mana yang terlebih dahulu, perjanjian ini dengan sendirinya akan 
berakhir dan perusahaan akan dibebaskan dari kewajiban-kewajibannya berdasar­
kan perjanjian ini, kecuali mengenai hal-hal yang secara khusus diatur selanjutnya 
dalam pasal ini.
Pengakhiran ini disebabkan karena perusahaan tidak dapat mengerjakan 
usahanya dengan baik, sehingga PT Newmont Nusa Tenggara dapat meminta 
kepada Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kontrak tersebut. Tentunya 
pengakhiran tersebut, harus disetujui oleh Pemerintah Indonesia. Ada empat 
periode dalam pengakhiran kontrak berdasarkan kesepakatan ini, yaitu sebagai 
berikut.
1. Periode penyelidikan umum atau eksplorasi, yaitu periode untuk melakukan 
penyelidikan atau eksplorasi terhadap potengi sumber daya tambang yang 
terdapat di Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat.
2. Periode studi kelayakan (feasibility studies), yaitu tahap untuk menilai 
layak atau tidaknya potensi sumber daya tambang yang akan dikelola oleh 
perusahaan.
3. Periode konstruksi, yaitu periode untuk membangun infrastruktur untuk 
menunjang pelaksanaan kegiatan tambang.
4. Periode operasi, yaitu suatu periode perusahaan telah melaksanakan kegiatan 
tambang untuk dikelola menjadi konsentrat. Konsentrat inilah yang akan 
dipasarkan atau dijual oleh perusahaan.
Masing-masing periode para pihak dapat menyepakati untuk mengakhiri 
kontrak karya yang dibuat oleh para pihak. Para pihaknya adalah Pemerintah 
Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Pertambangan dan Energi dan PT 
Newmont Nusa Tenggara. Pengakhiran kontrak ini didasarkan nilai-nilai ekonomis 
dari objek perjanjian. Apabila objeknya tidak mempunyai nilai ekonomis yang 
tinggi maka salah satu pihak, terutama PT Newmont Nusa Tenggara akan 
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kontrak 
tersebut, walaupun jangka waktu kontrak belum berakhir.
L. PEMUTUSAN KONTRAK SECARA SEPIHAK
Pada dasarnya kontrak harus dilaksanakan oleh para pihak berdasarkan 
itikad baik, namun dalam kenyataannya sering kali salah satu pihak tidak 
melaksanakan ̂ substansi kontrak, walaupun mereka telah diberikan somasi 
sebanyak tiga kali berturut-turut. Karena salah satu pihak lalai melaksanakan 
prestasinya maka pihak yang lainnya dengan sangat terpaksa memutuskan kontrak 
itu secara sepihak. Pemutusan kontrak secara sepihak merupakan salah satu 
cara untuk mengakhiri kontrak yang dibuat oleh para pihak. Artinya pihak kreditur 
menghentikan berlakunya kontrak yang dibuat dengan debitur, walaupun jangka 
waktunya belum berakhir. Ini disebabkan debitur tidak melaksanakan prestasi 
sebagaimana mestinya.
Di dalam praktik pembuatan kontrak yang dibuat oleh para pihak, banyak 
ditemui substansi kontrak yang telah mencantumkan berakhirnya kontrak ber­
dasarkan pemutusan kontrak oleh salah satu pihak. Berbagai isi kontrak tersebut, 
disajikan berikut ini.
1. Surat perjanjian pelaksanaan pengadaan bahan operasional pendidikan (bahan 
kimia) Universitas Mataram tahun anggaran 1999/2000 antara Pemimpin 
Proyek Universitas Mataram dengan PT Matra Magita.
Pemutusan perjanjian secara sepihak diatur dalam Pasal 20 Surat Perjanjian 
Pelaksanaan Pengadaan Bahan Operasional Pendidikan (bahan kimia). Pasal 
20 berbunyi: ’’Pihak Pertama berhak memutuskan perjanjian secara sepihak, 
dengan pemberitahuan 7 (tujuh) hari sebelumnya setelah melakukan 
peringatan/teguran tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut kepada Pihak Kedua.” 
Adapun yang dijadikan alasan pemutusan perjanjian secara sepihak oleh 
Pihak Pertama kepada Pihak Kedua adalah sebagai berikut.
a. Dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung tanggal surat perjanjian ini tidak 
atau belum mulai melaksanakan pekerjaan pemborongan sebagaimana 
yang diatur dalam Pasal 1 surat perjanjian ini.
b. Dalam waktu 1 (satu) bulan berturut-turut tidak melanjutkan pekerjaan 
pemborongan yang telah dimulainya.
c. Secara langsung atau tidak langsung dengan sengaja memperlambat 
penyelesaian pekerjaan ini.
d. Memberikan keterangan tidak benar yang merugikan atau dapat merugi­
kan Pihak Pertama sehubungan dengan pekerjaan pemborongan ini.
e. Jika pekerjaan pemborongan ini dilaksanakan oleh Pihak Kedua tidak 
sesuai dengan jadwal waktu (time schedule) yang dibuat oleh Pihak 
Kedua dan telah disetujui oleh Pihak Pertama.
f. Telah dikenakan denda keterlambatan sebesar 5% dari harga borongan.
Alasan-alasan pemutusan kontrak secara sepihak yang dilakukan oleh 
Pihak Pertama, bukanlah kumulatif, tetapi apabila salah satu alasan tersebut 
tidak dipenuhi oleh Pihak Kedua maka sudah dianggap cukup oleh Pihak 
Pertama untuk melakukan pemutusan kontrak secara sepihak kepada Pihak 
Kedua. Apabila pemutusan kontrak secara sepihak terjadi maka Pihak 
Pertama dapat menunjuk pemborong lain atas kehendak dan berdasarkan 
pilihan sendiri untuk menyelesaikan pemborongan tersebut. Pihak Kedua 
berkewajiban untuk menyerahkan kepada Pihak Pertama segala arsip, 
gambar-gambar, perhitungan, dan keterangan-keterangan lainnya yang 
berhubungan dengan perjanjian ini. Persoalannya kini, bagaimana dengan 
jaminan pelaksanaan dan jaminan uang muka yang telah disetorkan oleh 
Pihak Kedua kepada Pihak Pertama? Pada dasarnya, jaminan pelaksanaan 
dan uang muka akan dikembalikan kepada Pihak Kedua, dengan syarat 
harus memperhitungkan prestasi yang telah dilaksanakan oleh Pihak Kedua.
2. Perjanjian kerja sama penanaman tembakau.
Perjanjiannya dibuat antara PT BAT Indonesia Tbk. (Pihak Pertama) dengan 
petani tembakau (Pihak Kedua). Objek perjanjiannya adalah pemberian 
bantuan modal kerja guna membiayai pengelolaan penanaman tembakau.
Perjanjian ini terdiri atas 12 pasal. Pasal yang berkaitan dengan pemutusan 
kontrak secara sepihak diatur dalam Pasal 9 Perjanjian Kerja Sama 
Penanaman Tembakau. Di dalam pasal itu ditentukan bahwa Pihak Pertama 
dapat mengakhiri perjanjian ini setiap waktu tanpa mengindahkan sesuatu 
jangka waktu, apabila terjadi salah satu atau lebih hal-hal sebagai berikut.
a. Pihak Kedua tidak atau belum menggunakan panjar biaya operasional 
setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal berlaku efektifnya 
perjanjian ini.
b. Pihak Kedua memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar 
kepada Pihak Pertama.
c. Pihak Kedua ternyata sebelum perjanjian ini ditandatangani telah 
memperoleh fasilitas kredit atau pinjaman dari bank atau pemberi uang 
pinjaman atau bantuan lainnya tanpa pemberitahuan hal tersebut kepada 
Pihak Pertama.
d. Pihak Kedua ternyata setelah perjanjian ini ditandatangani memperoleh 
fasilitas kredit atau pinjaman dari bank atau pemberi pinjaman atau 
bantuan lainnya tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis 
dari Pihak Pertama.
e. Pihak Kedua menggunakan panjar biaya operasional berdasarkan 
perjanjian ini tidak sesuai dengan penggunaannya.
f. Pihak Kedua tidak melakukan pembayaran kembali atas panjar biaya 
operasional yang telah diterima beserta biaya-biaya dan kewajiban- 
kewajiban lainnya terhadap Pihak Pertama yang timbul berdasarkan 
perjanjian ini pada waktu ditentukan dalam perjanjian ini.
g. Pihak Kedua menanggung utang pihak ketiga tanpa mendapatkan 
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Pertama.
h. Pihak Kedua meninggalkan tempat/kedudukan tanpa seizin Pihak Pertama, 
meninggal dunia, atau dalam hal Pihak Kedua merupakan sesuatu badan 
hukum, pengurusnya meninggalkan tempat tinggal/kedudukan tanpa seizin 
Pihak Pertama, meninggal dunia atau mengambil keputusan untuk 
membubarkan badan itu, atau apabila susunan pengurus atau anggaran 
dasarnya diubah sehingga menurut pendapat Pihak Pertama risiko menjadi 
bertambah besar atau jaminan menjadi berkurang.
i. Terhadap Pihak Kedua diajukan permohonan pernyataan pailit atau ia 
sendiri mengajukan permohonan tersebut dan dalam hal Pihak Kedua 
minta atau mendapat penundaan pembayaran.
j. Pihak Kedua menurut keputusan hakim atau menurut hukum tidak 
diperbolehkan menguasai atau mengurus harta bendanya atau dikenakan 
hukuman penjara.
k. Harta benda Pihak Kedua yang dipakai sebagai jaminan untuk mendapatkan 
pinjaman berdasarkan perjanjian ini habis binasa atau terkena pencabutan
hak atasnya, ataupun pemilik tanah menghentikan hak-hak kebendaan 
atas harta/aset yang terikat kepada Pihak Pertama sebagai jaminan.
l. Timbulnya berbagai keadaan atau kejadian yang sedemikian rupa 
sehingga menurut pendapat Pihak Pertama menghendaki seketika itu 
juga perlu diambil tindakan-tindakan untuk mengamankan, menagih, 
dan menuntut pengembalian dari seluruh jumlah pinjaman serta jumlah 
lainnya yang telah diterima dan terutang oleh Pihak kedua terhadap 
Pihak Pertama.
m. Atas harta benda Pihak Kedua dilakukan penyitaan executorial atas 
penyitaan conservator.
Walaupun Pihak Pertama telah menentukan isi perjanjian secara lengkap dan 
menyeluruh, namun para pihak sering kali tidak mengotak atik substansi kontrak. 
Kontrak itu hanya sebuah pedoman bagi para pihak dalam melaksanakan hak dan 
kewajiban. Kontrak itu setelah ditandatangani lalu disimpan dalam lemari. Baru 
dibuka kembali apabila dalam pelaksanaan kontrak tersebut menimbulkan persoalan, 
seperti Pihak Kedua tidak melaksanakan prestasi sebagaimana mestinya.
Pihak Pertama, dalam hal ini ekonomi kuat telah menentukan cara berakhirnya 
kontrak yang dilakukan secara sepihak, namun dalam kenyataannya pengusaha 
ekonomi kuat belum pemah menghentikan kontrak secara sepihak. Ini disebabkan 
pengusaha membutuhkan mitra kerja yang saling menguntungkan. Tanpa adanya 
bantuan mitra tersebut tidak mungkin pengusaha ekonomi, kuat dapat melaksanakan 
usahanya dengan baik. Pengusaha ekonomi kuat berkewajiban untuk membina 
mitra kerjanya.
M. PUTUSAN PENGADILAN
Penyelesaian sengketa di bidang kontrak dapat ditempuh melalui dua pola, 
yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar 
pengadilan lazim disebut dengan alternative dispute resolution (ADR). Cara ini 
dapat dilakukan dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. 
Apabila kelima cara itu telah dilakukan oleh para pihak namun masih juga menemui 
jalan buntu maka salah satu pihak, terutama pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan 
kontrak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat kontrak atau 
objek berada.
Biasanya dalam kontrak yang dibuat oleh para pihak, telah ditentukan tempat 
penyelesaian sengketa. Di dalam Pasal 19 Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan 
Hutan tanpa Kompensasi antara Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan 
PT Newmont Nusa Tenggara disebutkan: ’’Apabila persengketaan tersebut tidak 
dapat diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat maka kedua belah pihak 
sepakat dan setuju untuk menyelesaikannya dengan memilih domisili di Pengadilan 
Negeri Mataram.” Ini berarti bahwa para pihak memilih Pengadilan Negeri Mataram 
tempat menyelesaikan sengketa. Pertimbangan dipilihnya Pengadilan Negeri
Mataram sebagai tempat menyelesaikan sengketa kontrak tersebut, karena sebagai 
berikut.
1. Perjanjian itu dibuat dan ditandatangani di Mataram.
2. Kantor Cabahg PT Newmont Nusa Tenggara dan Kantor Wilayah Kehutanan
dan Perkebunan Nusa Tenggara Barat berada di Mataram.
Apabila dilihat objek perjanjian maka objeknya berada di wilayah hukum 
Pengadilan Negeri Sumbawa. Seharusnya penyelesaian sengketa kontrak itu 
diselesaikan oleh Pengadilan Negeri Sumbawa karena objeknya berada di 
Sumbawa, namun para pihak telah sepakat untuk menyelesaikannya di Pengadilan 
Negeri Mataram.
Hal yang sangat penting dilakukan oleh para pihak yang mengajukan sengketa 
kontrak ke Pengadilan adalah para pihak harus dapat membuktikan tentang apa 
yang dituntut. Misalnya, yang dituntut adalah menghentikan kontrak yang dibuat 
antara kreditur dan debitur. Permintaan penghentian kontrak ini disebabkan debitur 
tidak melaksanakan prestasi sebagaimana mestinya.
Berdasarkan apa yang diajukan oleh para pihak maka Pengadilan dapat 
memutuskan untuk mengakhiri kontrak yang dibuat oleh para pihak, berdasarkan 
alat bukti yang disampaikannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa 
berakhirnya kontrak karena putusan pengadilan, yaitu tidak berlakunya kontrak 
yang dibuat oleh para pihak, yang disebabkan adanya putusan pengadilan yang 
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Di kalangan pengusaha, dalam penyelesaian sengketa jarang mengajukan 
gugatan ke Pengadilan. Karena untuk mengajukan perkara ke pengadilan 
membutuhkan biaya yang besar, waktu yang lama, dan timbulnya konflik yang 
terus-menerus di kalangan mereka. Untuk menghindari hal itu, mereka menggunakan 
cara-cara yang dianggap menguntungkan kedua belah pihak.
Walaupun di dalam kontrak yang dibuat oleh para pihak telah ditentukan 
cara penyelesaian sengketa, yaitu melalui pengadilan, namun dalam kenyataannya 
para pihak jarang menyelesaikan sengketa tersebut ke pengadilan. Di kalangan 
pengusaha, jarang para pihak menggugat pihak lawannya ke pengadilan, hal ini 
dikemukakan Stewart Maculay. Stewart Maculay yang telah melakukan riset 
terhadap pengusaha di Wiscounsen, Amerika Serikat (dalam Lawrence M. 
Friedman, 2001: 197), menemukan bahwa banyak di antara mereka cenderung 
mengenyampingkan hukum kontrak (formal) dan doktrin kontrak. Terutama 
mereka menghindari untuk saling menggugat meskipun perkaranya benar-benar 
menurut hukum formal. Alasannya tidak aneh; pengusaha saling tergantung; 
mereka hidup dan bekerja dalam jaringan hubungan yang berkesinambungan. Di 
antara perusahaan manufaktur mungkin membeli penjepit kertas, pulpen, dan 
peralatan kantor dari dealer yang sama dari tahun ke tahun. Langsung menggugat; 
atau berselisih kelewat batas, atau mempertahankan hak-hak, atau mempertahankan
hak-hak yang tidak masuk akal akan- mengganggu; ini cenderung meretakkan 
hubungan yang bernilai ini. Juga ada norma, praktik, dan konsepsi rasa hormat 
dan sportif yang biasanya dianut oleh pengusaha.
Dari uraian ini, jelaslah bahwa para pengusaha di Amerika Serikat, di dalam 
menyelesaikan sengketa di kalangan mereka karena pengusaha saling tergantung; 
mereka hidup dan bekerja dalam jaringan hubungan yang berkesinambungan.