Tampilkan postingan dengan label sengketa 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sengketa 3. Tampilkan semua postingan
Rabu, 13 September 2023
untuk melakukan transaksi mata uang asing menurut prinsip-prinsip
ṣarf yang dibenarkan secara syariah.
Bank Syariah dan Format Perjanjian Akad (Kontrak)
Perbedaan penting antara sistem perBankan yang memakai
prinsip syariah dengan yang tidak berprinsip syariah terletak pada
bentuk dan sifat kontrak (akad) yang dibuat antara pihak Bank dengan
nasabahnya. Kontrak baru dianggap sah menurut syariah, apabila
memenuhi unsur/rukun dan syarat akad. Syarat ini terdiri dari syarat
subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif berkaitan dengan kondisi
pihak yang berkontrak, sementara syarat objektif berhubungan dengan
objek kontrak (mawḍūʿal-‘aqd), Baik yang dibenarkan oleh syariah atau
tidak. Oleh karena itu, kajian terhadap kontrak atau ‘aqd dalam pandangan
syariah bagi Bank syariah sangat penting.
Bank Syariah yaitu Bank yang mempunyai fungsi sebagai pihak
penengah yang menghubungkan para penabung dengan investor. ini karena tabungan hanya akan bermanfaat jika diinvestasikan. Sebagai
lembaga penghubung, Bank Syariah tunduk kepada ketentuan prudencial
Banking (kehati-hatian Bank). Sebagai Bank syariah dengan produk yang
khas harus berusaha membuat format perjanjian (akad) yang dapat
memperkecil risiko kerugian.
berdasar kajian tentang akad di Bank Syariah diketahui bahwa
format perjanjian (kontrak/akad) yang dimaksud telah dibuat oleh Bank
Syariah dengan memperhatikan prinsip-prinsip dan syarat-syarat umum
serta syarat khusus dari setiap akad atau perjanjian yang sesuai dengan
subtansi dan mekanisme dalam syariah dan peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia.
Berikut ini akan diuraikan secara garis besar, sebagian format
perjanjian pembiayaan yang ada di Bank Syariahsesuai dengan ciricirinya:
(1) Perjanjian Pembiayaan al-Murāba
ḥah
Dalam perjanjian pembiayaan al-murābaḥah, format akad memuat:
(a) Titl
e atau tajuk pembiayaan;
(b) Pihak yang berakad, yakni Bank(profil perusahaan dan alamat
kantor), begitu pula nasabah (identitas , profil perusahaan, alamat
kantor) jika mengajukan pembiayaan atas nama perusahaan);
(c) Pembiayaan dan Penggunaannya. Nasabah mengakui dengan
sebenarnya dan secara sah telah menerima atau akan menerima
pembiayaan, karena nasabah dengan ini menyatakan secara sah
berhutang dengan Bank dengan uang jumlah yang disebutkan
dalam surat penawaran yang terdiri dari jumlah pokok yang
diterima atau yang dibayar ditambah margin keuntungan jual
beli yang ditetapkan oleh Bank (untuk lalu disebut
“pembiayaan”).
(d) Nominalfasilitas pembiayaan Murābaḥah
(e) Pembayaran dan tempo masa fasilitas pembiayaan. Bank
memberi fasilitas pembiayaan untuk jangka waktu 36 (tiga
puluh enam) bulan dihitung sejak 02-02-2000 sampai 02-02-
2003. Seluruh fasilitas pembiayaan beserta margin keuntungan
jual beli mesti dibayar lunas oleh nasabah kepada Bank pada
saat terakhir tempo masa ini . Pembayaran atau pelunasan
fasilitas pembiayaan rekening nasabah di Bank.
(f) Realisasi Pembiayaan. Peraturan tentang tata cara nasabah
yang ingin melaksanakan fasilitas pembiayaan, seperti setiap
kali nasabah akan melaksanakan fasilitas pembiayaan, paling
lambat 5 (lima) hari sebelum tanggal yang diinginkan, nasabah
akan menyampaikan surat permohonan pelaksanaan pembiayaan
yang antara lain berupa jumlah yang diperlukan, jumlah margin
keuntungan jual beli yang akan dikenakan oleh Bank, perincian
mengenai barang-barang yang akan dibiayai dengan fasilitas
pembiayaan.
(g) Pengutamaan Pembayaran. Nasabah berjanji untuk
mengutamakan kewajiban pembayaran dari kewajiban
pembayaran kepada pihak lain walaupun kewajiban pembayaran
Bank tidak akan mengenakan denda terhadap setiap kewajiban
pembayaran yang lambat, sehubungan dengan perjanjian ini,
kecuali denda yang dipicu karena ketentuan hukum atau
Peraturan Pemerintah.
(h) Pernyataan dan Jaminan. Nasabah dengan ini berjanji, setuju,
menyatakan dan menjamin kepada Bank bahwa, fasilitas
pembiayaan dan semua uang yang terhutang menurut perjanjian
ini akan dibayarkan secara kontan dan sekaligus jika terjadi
suatu peristiwa yang menurut syarat-syarat dan ketentuan
perjanjian ini dan atau perjanjian lainnya sebagai tambahan pada
perjanjian ini yaitu suatu cedera janji dari nasabah, dan
Bank dapat tanpa permintaan pembayaran atau pemberitahuan
tentang maksudnya, menjual atau dengan cara lain melepaskan harta kekayaan nasabah/penjamin yang yaitu jaminan
berdasar Perjanjian ini atau dengan perjanjian lain yang
yaitu tambahan dari perjanjian ini, kepada siapapun yang
dipilih oleh Bank. Nasabah menjamin dan menanggung bahwa
setiap pembelian harta kekayaan nasabah/penjamin menurut
suatu penjualan (secara umum ataupun peribadi) atau suatu
pengalihan hak untuk memiliki barang ini bebas dari segala
tuntutan, sitaan atau hak bentuk apapun atau hak untuk menebus
kembali dari nasabah. Terlepas dari telah direalisasikan penjualan
harta kekayaan ini oleh Bank, nasabah tetap bertanggung
jawab atas sisa pembiayaan yang belum dibayar dan/atau uanguang lain yang mesti dibayar menurut perjanjian ini sampai
seluruh fasilitas pembiayaan dibayar habis.
(i) Penggunaan Pembiayaan. Sepenuhnya dimengerti dan
disetujui oleh nasabah bahwa pembiayaan ini semata-mata akan
dipakai untuk membiayai pembelian barang-barang dengan
harga sebagaimana yang dijelaskan dalam lampiran yang berasal
dari supplier/ pemilik barang yang telah dipilih oleh nasabah
yang telah dikuasakan oleh Bank untuk membeli barang-barang
ini , untuk kepentingan dan atas nama nasabah. Jika fasilitas
pembiayaan akan dipakai untuk kepentingan lain, maka harus
mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pihak Bank
.
(j) Pajak-pajak, Segala pembayaran kembali atas kewajiban-kewajiban
nasabah kepada Bank yaitu bebas dari setiap potongan,
pungutan, pajak, biaya dan/atau ongkos-ongkos lainnya, kecuali
jika potongan-potongan ini diwajibkan menurut hukum
atau peraturan lainnya. Jika nasabah diwajibkan oleh hukum
untuk memotong atau menahan sebagian dari jumlah yang mesti
dibayarkan oleh nasabah kepada Bank ini mesti dinaikkan
untuk memastikan bahwa sesudah potongan atas penahan ini
dilakukan, Bank tetap memperoleh pembayaran kembali sebesar
jumlah yang semestinya diperoleh seperti seolah-olah pemotongan
atau penahanan ini tidak terjadi.
(k) Peraturan Undang-Undang. Perjanjian ini diatur oleh dan
ditafsirkan sesuai dengan peraturan undang-undang Indonesia.
(l) Arbitrase. Sesuatu sengketa yang timbul dari atau dengan
cara apapun yang ada hubungan dengan perjanjian ini yang
tidak dapat diselesaikan secara damai, maka dapat diselesaikan
melalui dan menurut peraturan tatacara Badan Arbitrase
Syariah Nasional(BASYARNAS). Arbitrase akan dilaksanakan
dan mengambil keputusan di Jakarta, Indonesia. Keputusan
Arbitrase akan yaitu keputusan terakhir dan mengikat (final
and binding) atas segala perkara yang yaitu subjek dari
arbitrase ini dan dapat diguna pakai di semua pengadilan
yang mempunyai wewenang hukum atasnya. Dengan demikian,
banding atau kasasi atas keputusan Arbiter tidak akan dibenarkan.
Para pihak tidak akan mengajukan sesuatu perkara ke Pengadilan
Negeri dan atau Badan lain sehubungan dengan sengketa atau
perselisihan berkenaan dengan Perjanjian.
(2) Perjanjian Pembiayaan al-Istiṣnā‘
Dalam perjanjian pembiayaan al-Istiṣnā‘, format akad memuat:
(a) Title atau tajuk pembiayaan
(b) Pihak yang berakad, yakni Bank/ṣāni‘(profil perusahaan
dan alamat kantor) dan nasabah/mustaṣni‘ (identitas, profil
perusahaan, dan alamat kantor) jika mengajukan pembiayaan
atas nama perusahaan).
(c) Maksud dan tujuan, menerangkan bahwa mustaṣni‘ /nasabah)
bermaksud untuk memperoleh maṣnū’ yaitu barang pesanan
yang menjadi objek akad ini yang dipesan oleh mustaṣni‘ yakni
berupa kebun kelapa sawit yang telah mengeluarkan hasil dan
telah mendapat sertifikat dari pemerintah yang berwewenang
dengan harga dan spesifikasi yang telah ditentukan. Bahwa ṣāni‘
(Bank) setuju untuk menyediakan maṣnūʿ pada waktu yang telah
ditetapkan oleh para pihak untuk kepentingan mustaṣni‘ anggota
koperasi A, yaitu yang membeli maṣnūʿdari ṣāni‘ dan menerima penyerahan maṣnūʿini dari ṣāni‘. Bahwa sehubungan
dengan ini diatas, ṣāni‘ wajib mengirim maṣnūʿ kepada
mustaṣni‘. Bahwa para pihak setuju dan menundukan diri pada
hukum negara RI berkaitan dengan pelaksanaan akad ini.
(d) al-Istisnā‘. Mustaṣni‘ dengan ini meminta kepada ṣāni‘ untuk
dibuatkan maṣnūʿdan disanggupi oleh ṣāni‘ untuk membuatkan
maṣnūʿuntuk mustaṣni‘. Harga maṣnūʿdalam akad ini
belum termasuk biaya-biaya yang timbul seperti yang ada
dalam akad. Tata cara pembayaran maṣnūʿ: Mustaṣni‘ membayar
harga maṣnūʿkepada ṣāni‘ secara angsuran dengan tata cara
sebagaimana dirinci; Pembayaran harga maṣnūʿdilakukan dengan
cara pemindahan uang; Ṣāni‘ membuat pembukuan terhadap
pembiayaan atas nama mustaṣni‘ dan melakukan pencatatan
atas pembayaran dan segala tagihan yang harus dibayar oleh
mustaṣni‘ kepada ṣāni‘ .
(e) Pelaksanaan al-Istiṣnā‘, memuat syarat-syarat pelaksanaan. Akad
ini baru berlaku efektif dan dapat dilaksankan serta mengikat para
pihak akad ini baru berlaku efektif dan dapat dilaksanakan serta
mengikat para pihak sesudah mustaṣni‘ memenuhi persyaratan
sebagai berikut: 1) Mustaṣni‘ menyerahkan kepada ṣāni‘ surat
kuasa asal khusus dari para anggota koperasi A yang menjadi
pihak dalam akad; 2) Mustaṣni‘ menyerahkan kepada ṣāni‘
surat permohonan pelaksanaan pembiayaan dalam waktu tujuh
hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan yang dikehendaki oleh
mustaṣniʿ: 3) Bukti kewenangan mustaṣni‘ dalam melakukan
tindakan hukum, khususnya dalam penyusunan akad.
(f) Pembayaran. Dalam hal mustaṣni‘ memiliki hutang atau
kewajiban kepada kreditur-kreditur lain maka tingkat kewajiban
mustaṣni‘ kepada ṣāni‘ sekurang-kurangnya memiliki tingkat
yang lebih tinggi terhadap hutang-hutang atau kewajiban kepada
kreditur-kreditur lain. Ṣāni‘ akan mengenakan denda yang akan
ditentukan dan diberitahukan lalu , atas setiap keterlambatan
pembayaran sesuai jadwal sebagaimana yang telah diatur.(g) Jaminan untuk menjamin tertibnya pembayaran pelunasan
kewajiban tepat pada waktunya menurut akad ini, mustaṣni‘
dengan ini menyerahkan maṣnūʿ sebagai jaminan dan untuk itu
para pihak membuat akta pengikatan dan penyerahan jaminan
menurut peraturan yang berlaku disertai penyerahan dokumen
asli dari jaminan kepada ṣāni‘ sebagaimana dinyatakan lebih
lanjut dalam dokumen jaminan. Dalam hal ṣāni‘ menganggap
nilai barang jaminan yang diserahkan mustaṣni‘ kepada ṣāni‘
tidak cukup untuk menjamin kewajiban ini , maka ṣāni‘ dapat
meminta jaminan tambahan kepada mustaṣni‘, dan mustaṣni‘
wajib menyerahkan jaminan tambahan yang diminta oleh ṣāni‘.
(h) Pemberian Kuasa dan Kewenangan, berdasar kekuatan
akad ini, Mustasni dengan ini memberi kuasa khusus kepada
ṣāni‘ untuk melaksanakan segala sesuatunya berhubung dengan
perolehan maṣnūʿ tetapi tidak mencakup penunjukan pihak
profesional yang dapat menyediakan pembuatan maṣnūʿ sesuai
dengan spesifikasi sebagaimana dimaksudkan dalam lampiran.
Mengurus dokumen-dokumen dan menunjukan pihak lain untuk
menyerahkan maṣnūʿ kepadamustaṣni‘. Menyelesaikan asuransi
serta membayar biaya-biaya pengurusan ini .
(i) Pernyataan dan jaminan.Mustaṣni‘ dengan ini menerangkan dan
menyatakan kepada ṣāni‘ sebagai berikut: a)Mustaṣni‘ berhak dan
berwenang serta mempunyai kekuasaan untuk menandatangani
akad , b) diadakannya akad ini dan atau akad tambahan ini tidak
akan bertentangan dengan suatu akad yang telah ada atau yang
akan diadakan oleh mustaṣni‘ dengan pihak ketiga, c) tidak ada
tuntutan pengadilan atau dihadapan lembaga pemerintahan
yang sedang dihadapi mustaṣni‘ yang dapat mempengaruhi
keadaan keuangan mustaṣni‘ atau kemampuan mustaṣni‘ untuk
membayar hutangnya jika jatuh tempo, d)Mustaṣni‘ dengan
ini menjamin telah mendapat segala perizinan yang disyaratkan
oleh ketentuan hukum yang berlaku.(j) Pembatasan tindakan. Mustaṣni‘ mengajukan permohonan
kepada pihak yang berwenang untuk menunjuk seorang
eksekutor, kurator, likuidator atau pengawas untuk sesuatu bagian
dari harta kekayaannya. Mengajukan dan/atau mendapatkan
pembiayaan baru dari pihak lain. Melakukan investasi baru baik
secara langsung dengan usaha mustaṣni‘. Memindahkan kepada
pihak lain hak atas barang jaminan yang sudah diserahkan kepada
ṣāni‘ kecuali terjadi perpindahan hak karena waris.
(k) Peristiwa Ingkar Janji. Mustaṣni‘ dikatakan ingkar janji jika
terjadi hal-hal sebagai berikut: 1) Ia dengan sengaja atau lalai tidak
melaksanakan kewajiban membayar pada waktunya tanpa perlu
diberikan peringatan terlebih dahulu; 2) Mustaṣni‘ memberi
dokumen dan keterangan yang tidak benar dalam akad; 3)
Mustaṣni‘ atau pihak ketiga telah memohon bangkrut dan atau
dinyatakan bangkrut; 4) Kesalahan pada akta-akta jaminan yang
sangat mempengaruhi kekuatan hukum dari benda jaminan yang
dijaminkan sehubungan dengan dibuatnya akad; 5) Hak atas ṣāni‘
dan atau barang yang dijaminkan oleh mustaṣni‘ kepada ṣāni‘
pindah tangan kepada pihak ketiga tanpa mendapat persetujuan
tertulis dari ṣāni‘, kecuali terjadi perpindahan hak karena waris.
(l) Pemutusan Akad Akibat Peristiwa Ingkar Janji. jika mustaṣni‘
melakukan ingkar janji, maka Mustas}ni wajib menjelaskan
kepada ṣāni‘ langsung dan sekaligus seluruh kewajiban yang ada
berdasar akad ini. jika hasil penjualan ini tidak cukup
untuk membayar kewajiban mustaṣni‘ kepadaṣāni‘ yang masih
tertunggak, maka mustaṣni‘ tetap bertanggung jawab atas sisa
pembiayaan yang belum dibayar yang harus dibayarkan menurut
akad ini, sampai seluruh kewajiban ini habis dibayar. Dalam
hal sesudah seluruh kewajiban mustaṣni‘ yang tertunggak kepada
ṣāni‘ dibayar dari hasil penjualan ini . Sisa barang jaminan
dan uang hasil penjualan, yang masih ada perlu dikembalikan
oleh ṣāni‘ kepadamustaṣni‘.
(m) Asuransi.Mustaṣni‘ wajib menyelesaikan asuransi dengan biaya
sendiri pada perusahaan asuransi yang disetujui oleh ṣāni‘ atas
risiko yang ditetapkan oleh ṣāni‘ ke atas mas}nu dan segala harta
kekayaan mustaṣni‘ yang yaitu jaminan berdasar akad
ini yang mana nama ṣāni‘ akan dicantumkan sebagai pihak yang
turut diasuransikan dan atau pihak yang menerima pembayaran
klaim asuransi ini .
(n) Pengawasan.Mustaṣni‘ akan membenarkan ṣāni‘ dan atau
wakilnya yang diberi wewenang untuk melaksanakan inspeksi
terhadap harta kekayaan yang yaitu jaminan, memeriksa
pembukuan dan catatan mustaṣni‘ setiap waktu, dan wakil
ini berwenang untuk membuat salinan dari pembukuan
dan catatan itu.
(o) Risiko. jika maṣnū’ telah diserahkan oleh ṣāni‘ kepada
mustaṣni‘, maka mustaṣni‘ wajib melakukan pemeriksaan secara
fisik atas maṣnū’, dan sejak tanggal penyerahan ini ṣāni‘
bebas dari risiko atas maṣnū’ ini .
(p) Perselisihan. Perselisihan atau sengketa yang timbul sehubungan
dengan pelaksanaan akad ini wajib diselesaikan oleh para pihak
secara musyawarah. Jika penyelesaian secara musyawarah
tidak tercapai, maka kedua belah pihak dengan ini setuju untuk
menyerahkan penyelesaian perkara ini melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional(BASYARNAS) di Jakarta, dengan memakai
aturan BASYARNAS.
(q) Pilihan Hukum dan Tempat Sidang. Akad ini tunduk dan diatur
menurut Hukum Negara Republik Indonesia.
(r) Pengembalian Dokumen. Pada saat berkahir kontrak ṣāni‘ akan
mengembalikan segala dokumen kepada mustaṣni‘ .
(3) Pembiayaan al-Musyārakah
Dalam perjanjian pembiayaan al-Musyārakah, format akad memuat:
(a) Title atau tajuk pembiayaan.
(b) Pihak yang berakad: Bank dan Nasabah.
(c) Definisi dan Pengertian format akad. Barang Modal: objek
ataupun proyek yang dibiayai oleh Bank secaramusyārakah
berdasar ketentuan dalam perjanjian yaitu modal kerja
2 (dua) unit usaha pergadaian syariah (misalnya). Dokumen
transaksi: berarti perjanjian yang dibuat, lampiran-lampirannya,
surat–surat dan dokumen-dokumen lain berkaitan dengan
fasilitas pembiayaan. Fasilitas Pembiayaan musyārakah: fasilitas
pembiayaan secara musyārakah untuk keperluan barang modal
berdasar syarat dan ketentuan yang telah diatur. Tempo masa:
tempo masa yang bermula sejak tanggal ditandatanganinya
perjanjian ini sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
(d) Penggunaan Fasilitas Pembiayaan. Para pihak setuju bahwa
pembiayaan secara musyarakah yang akan dijalankan untuk
memperoleh keuntungan dan manfaat bagi para pihak atas
pengelolaan barang modal sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan syariah dan peraturan yang berlaku. Para pihak setuju
bahwa pembiayaan secara kerjasama sebagaimana dinyatakan
dalam perjanjian ini akan dijalankan untuk kegiatan dalam tempo
masa 12 (dua belas) bulan dihitung sejak tanggal 20-12-2000
sampai dengan 20-12-2003.
(e) Ruang Lingkup. Untuk maksud pengelolaan barang, Bank memberi
kuasa kepada nasabah untuk melakukan segala tindakan yang
diperlukan dalam pengelolaan dan penggunaan barang modal sehingga
memperoleh keuntungan dan bermanfaat bagi kedua belah pihak.
(f) Penyimpanan dan penarikan fasilitas pembiayaan. Para pihak
telah saling setuju bahwa dana keseluruhan yang diperlukan untuk
mengadakan barang modal dalam perjanjian ini yaitu berjumlah
Rp1,550,000(satu juta lima ratus lima puluh juta rupiah). Semasa
penarikan fasilitas pembiayaan ini, nasabah harus menyerahkan
SPRP pada hari kerja kepada Bank.
(g) Pembayaran kembali dan pembagian hasil. Pembayaran
kembali oleh nasabah pada saat jatuh tempo sesuai dengan
jadwal pembayaran secara langsung ke rekening Bank. Sumber
pembayaran kembali dari pengelolaan barang modal, pembagian
hasil pada waktu yang disetujui kedua belah pihak.
(h) Kewajiban-kewajiban Kedua belah Pihak. Bank menyediakan
sejumlah dana penyertaan yang diperlukan untuk mengadakan
barang modal yang jumlahnya telah disebutkan nasabah: Selama
dalam tempo waktu musyarakah atau selama masih ada jumlah
yang terhutang berdasar fasilitas pembiayaan musyārakah,
nasabah akan selalu menjalankan seluruh kewajibannya sebagai
berikut:- nasabah wajib melakukan kegiatan usaha berdasar
peraturan dan perundangan yang berlaku dengan cara yang
efektif dan efisien dan melaksanakan usaha yang etis dan
benar. Nasabah wajib menyerahkan neraca laba rugi yang telah
diaudit oleh akuntan publik terdaftar yang disetujui oleh Bank.
Selain itu nasabah wajib menyerahkan laporan bulanan tentang
pengelolaan barang modal. Nasabah perlu membenarkan Bank
dan wakil-wakilnya seperti pegawai, akuntan dan konsultan
untuk memeriksa seluruh fasilitas-fasilitas kegiatan pembukuan
dan catatan nasabah termasuk dokumen yang berkaitan dengan
fasilitas pembiayaan musyārakah .
(i) Pembatasan dan pengawasan. Selama tempo masa musyārakah,
nasabah mesti mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari Bank dalam kegiatan-kegiatan: penggabungan, perolehan,
penjualan aset, pembebanan aset, penanggungan hutang,
memberi fasilitas pinjaman kepada pihak lain, mengubah susunan
pengurus, memperoleh hutang dari pihak lain.
(j) Jaminan. Sebagai jaminan atas pembayaran kembali semua dan
setiap kewajiban berdasar fasilitas pembiayaan dan jumlahjumlah lain yang harus dibayar, nasabah perlu menyerahkan akta
pemberian jaminan secara fidusia atas tagihan usaha pegadaian
syariah kepada nasabahnya.
(k) Peristiwa ingkar janji atau kelalaian. Peristiwa ingkar janji:
nasabah lalai atau tidak membayar jumlah kewajiban pembayaran
sesuai dengan jadwal. Pernyataan tidak benar seperti dokumen
transaksi terbukti tidak betul atau salah. Nasabah tidak mematuhi
salah satu peraturan dalam perjanjian. Ada kreditur lain yang
mengambil langkah-langkah untuk mengeksekusi barang jaminan
atas fasilitas pembiayaan musyārakah, karena nasabah tidak
membayar hutangnya kepada pihak yang bersangkutan. Nasabah
tidak mampu membayar hutang yang jatuh tempo, dan dinyatakan
bangkrut. Seluruh atau sebagian kekayaan nasabah disita oleh
negara. Akibat ingkar janji, maka Bank berhak menyuruh nasabah
membayar semua jumlah uang yang dihutang, dibayar langsung.
(l) Arbitrase. Sengketa yang timbul dari atau dengan cara apapun
ada hubungan dengan perjanjian ini yang tidak dapat diselesaikan
secara damai, akan diserahkan penyelesaiannya kepada Badan
Arbitrase Syariah Nasional.
(m) Pengakhiran dan Pembagian Hasil Musyārakah. Dalam
tempo masa 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya fasilitas
musyārakah nasabah mesti untuk membuat perhitungan laba
rugi dan laporan biaya-biaya atas pelaksanaan pegelolaan barang
modal yang harus disampaikan kepada Bank. Para pihak setuju
untuk membagi hasil usaha bersih dari pendapatan jasa simpanan
emas dan bukan emas, unit usaha pergadaian syariah sesudah
dikurangi dengan pajak (jika ada), biaya-biaya dan zakat sesuai
dengan nisbah yang disepakati oleh para pihak. Untuk maksud
pembagian hasil usaha, para pihak setuju untuk menentukan
nisbah sebagai berikut: Bank sebesar 45.5% dan nasabah sebesar
54.5%. Pembayaran pada setiap bulan dan nisbah bagi hasil
ini akan ditinjau kembali setiap enam bulan sekali. Segala
kerugian yang terjadi akibat kelalaian, kecurangan atau kerugian
yang yaitu tindakan kesengajaan atas pengelolaan barang
modal harus ditanggung oleh Bank kecuali yang diakibatkan oleh
keadaan sesuatu keras maka akan ditanggung bersama oleh para
pihak secara proposional sesuai dengan komposisi nisbah(n) Ketentuan lain. Perjanjian ini dan pelaksanaanya akan berlaku
menurut undang-undang negara republik Indonesia. Biaya-biaya
yang dikenakan sehubungan dengan perjanjian ini harus menjadi
tanggungjawab rekan bisnis seluruhnya.
(4) Pembiayaan Muḍārabah
Dalam perjanjian pembiayaan al-Muḍārabah, format akad
mengandung:
(a) Title atau judul pembiayaan.
(b) Pihak yang berakad, yaitu Bank dan Nasabah.
(c) Persetujuan untuk memberi pembiayaan secara bagi
hasil. Bank, dengan ini setuju memberi pembiayaan sampai
sejumlah Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) ini
secara sekaligus atau bertahap. Cara pengambilan biaya
sekurang-kurangnya 5(lima) hari sebelum tanggal diusulkannya
pengambilan biaya. Muḍārib berjanji bahwa pembiayaan ini
semata-mata akan dipakai untuk pengeluaran sinetron “A”
tidak untuk keperluan lain. Jangka waktu maksimal selama 10
(sepuluh) bulan, berlaku sejak tanggal tiga puluh satu Mei dua
ribu dua (31-5-2002) dan berakhir pada tiga puluh satu Maret
dua ribu tiga (31-3- 2003).
(d) Kesepakatan Bagi Hasil. Bagi hasil: yaitu pembagian
pendapatan yang disepakati antara Bank dan muḍārib yang
dibagikan sesuai dengan nisbah yang disepakati bersama.
Muḍārib dan Bank sepakat untuk menentukan nisbah
pendapatan yang diatur sebagai berikut:
(1) Bulan pertama: 96.15% (sembilan puluh enam koma lima
belas persen) untuk nasabah dan 3.85% (tiga koma delapan
puluh lima persen) untuk Bank.
(2) Bulan ketiga: 96.65% (sembilanpuluh enam koma enam puluh
lima persen) untuk nasabah dan 3.35% (tiga koma tiga puluh
lima persen) untuk Bank.
(3) Bulan kelima: 97.25% (sembilan puluh tujuh koma dua puluh
lima persen) untuk nasabah dan 2.75% (dua koma tujuh
puluh lima persen) untuk Bank.
(4) Bulan ketujuh: 97.65% (sembilan puluh tujuh koma enam
puluh lima persen) untuk nasabah dan 2.35% (dua koma tiga
puluh lima persen) untuk Bank.
(5) Bulan Kesembilan: 8.25% (sembilan puluh delapan koma
dua puluh lima persen) untuk nasabah dan 1.75 (satu koma
tujuh puluh lima persen) untuk Bank.
(6) Bulan Kesepuluh: 98.75% (sembilan puluh delapan koma
tujuh puluh lima persen) untuk nasabah dan 1.25% (satu
koma dua puluh lima persen) untuk Bank.
(e) Objek bagi hasil. Yaitu pendapatan yang diperoleh dari penjualan
sinetron. Dalam hal kerugian, Bankakan menanggung kerugian
yang ada, kecuali yang dipicu kelalaian muḍārib, atau yang
dipicu pelanggaran syarat-syarat perjanjian. Bankakan
menerima dan mengakui kerugian ini sesudah menerima,
menilai kembali dan menyampaikan hasil penilaian secara tertulis
kepada muḍārib. Bankakan menanggung kerugian maksimun
sebesar pembiayaan yang diberikan pada muḍārib.
(f) Pembayaran kembali. Muḍārib wajib mengembalikan seluruh
jumlah pembiayaan pokok dan bagian pendapatan yang menjadi
bagian Bank sampai selesai. Dalam hal muḍārib terlambat
menjelaskan pembayaran pokok sesuai dengan jadwal yang
harus dilaksanakan dalam masa berikutnya.
(g) Pra syarat pengambilan pembiayaan. Surat permohonan
pembiayaan (SPRP) yang harus diterima oleh Bank sekurangkurangnya 5 (lima) hari sebelum tanggal penarikan yang
dikehendaki.
(h) Kewajiban muḍārib. Muḍārib wajib melakukakan halhal sebagai berikut: *mengembalikan seluruh jumlah pokok
pembiayaan serta bagian pendapatan Bank,*memberi tahu terlebih dahulu sekiranya ada perubahan yang menyangkut
muḍārib atau usahanya, *penarikan pinjaman dilakukan melalui
rekening muḍārib Bank, *menarik semua tagihan dari pihak
ketiga hanya melalui rekening muḍārib di Bank, *mengelola
semua kekayaan miliknya bebas dan bersih dari segala beban
jaminan kecuali untuk kepentingan Bank, *mengelola secara
benar suatu pembukuan tersendiri, *mengirim ke Bank setiap
keterangan, bahan-bahan atau dokumen-dokumen yang
diminta kepada muḍārib. *melaksanakan usaha-usahanya tanpa
melanggar prinsip-prinsip syariat.
(i) Jaminan. Untuk menjamin pembayaran kembali fasilitas tepat
pada waktunya dan jumlah uang lainnya yang harus dibayarkan
menurut perjanjian ini, Muḍārib dengan ini setuju untuk
memberi jaminan dan menyerahkan dokumen asli jaminan
kepada Bank.
(j) Peristiwa kelalaian atau ingkar janji. Bahwa muḍārib dianggap
lalai atau ingkar janji jika terbukti melanggar atau menyimpang dari
salah satu atau semua ketentuan yang termaktub dalam perjanjian
ini: 1) Muḍārib terlambat melaksanakan pembayaran 3 (tiga) kali
berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
2) Pernyataan dan jaminan yang dibuat oleh muḍārib dalam
perjanjian ini tidak benar baik sebagian maupun seluruhnya; 3)
Muḍārib melanggar atau menyimpang atau melanggar prinsipprinsip syariat; 4) Sebagian atau keseluruhan harta kekayaan
muḍārib disita oleh lembaga pengadilan.
(k) Pelanggaran atas syarat-syarat perjanjian. Muḍārib dianggap
melanggar syarat-syarat perjanjian jika terbukti melanggar salah
satu perkara berikut: 1) Muḍārib memakai pinjaman diluar
keperluan dan kepentingan pinjaman; 2) Muḍārib melakukan
pengalihan usaha dengan cara apapun termasuk penggabungan,
konsolidasi ataupun akuisisi dengan pihak lain; 3) Muḍārib tidak
menjalankan usaha sesuai ketentuan teknik yang diwajibkan oleh
Bank; 4) Muḍārib melakukan pendaftaran Bangkrut.(l) Arbitrase. Sesuatu sengketa yang timbul dari atau dengan apaapa yang ada hubungannya dengan perjanjian ini yang tidak dapat
diselesaikan secara damai, akan diselesaikan menurut peraturan
tatacara Badan Arbitrase Syariah Nasional(BASYARNAS).
(m) Hukum yang berlaku. Perjanjian ini akan diatur dan patuh pada
undang-undang negara Republik Indonesia.
Pelaksanaan perjanjian di Bank Syariah telah berhasil untuk
menjadikan format akad sebagai acuan untuk menyelesaikan pembiayaan.
Dari Puluhan ribu akad yang dibuat ternyata yang bermasalah hanya lebih
kurang puluhan perkara, hampir dikatakan format akad berhasil.
Namun demikian tidak berarti di Bank Bank Syariah tidak ada
masalah dalam pengembalian pembiayaan. ini terbukti dengan
adanya beberapa masalah persengketaan yang harus diselesaikan oleh Bank
Syariah bahkan BASYARNAS.
4.6 Pembiayaan Bermasalah Pada Bank Syariah
Dalam upaya menyelamatkan pembiayaan bermasalah (risiko
kredit) yang dilakukan oleh Bank, sebelum memakai pendekatan
hukum sebagai jalan penyelesaian terhadap pembiayaan bermasalah,
BASYARNAS menerapkan konsep musyawarah dengan cara sukarela,
agar nasabah mau menunaikan kewajibannya.
Bentuk musyawarah yang dilakukan pihak Bank dalam menangani
pembiayaan bermasalah dengan nasabahnya, dilakukan dengan langkahlangkah bijak dan strategik antaranya sebagai berikut:135
jika nasabah terlambat membayar kewajibannya kepada Bank
sesudah tiba saat pembayaran, maka Bank mulai aktif melakukan penagihan
intensif disertai surat peringatan. sesudah 90 hari semenjak jatuh tempo, nasabah tidak membayar
kewajibannya maka kredit telah dapat disebut dengan kredit bermasalah.
Tindakan yang dilakukan antara lain dengan melanjutkan tempo
pembayaran, yaitu dengan perubahan jangka pendek atau sederhana
menjadi jangka panjang serta pengurangan biaya ansuran. Usaha lain
yaitu dengan melakukan reconditioning, yaitu dengan melakukan
peninjauan ulang syarat-syarat yang pernah dibuat.
jika telah dibuat perbagai upaya penyelamatan, kredit tidak
berhasil juga maka dapat dikategorikan ke dalam kredit macet. Bank dapat
menarik kembali kredit dengan cara antaranya melakukan pembubaran,
menjual barang yang menjadi jaminan untuk menjelaskan pinjaman (hak
parete eksekusi) atau menarik kembali jaminan melalui proses Arbitrase
BASYARNAS
Dalam setiap Perjanjian/Kontrak Pembiayaan, ada pasal yang
mengatur tentang persengketaan, “sesuatu sengketa yang timbul dari
atau dengan cara apapun yang ada hubungannya dengan perjanjian yang
tidak dapat diselesaikan dengan cara damai (musyawarah), maka dapat
diselesaikan melalui dan menurut Peraturan Tatacara Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS)”.
Sesuai dengan hasil penelitian, data yang diperoleh serta penjelasan
resmi yang disampaikan dalam wawancara dengan Biro Bantuan Hukum
di Kantor Pengadilan pusat. Oleh Bank Syariah dikatakan bahwa jumlah
kontrak Bank Syariah dengan nasabah yang mencantumkan klausula
arbitrase telah mencapai puluhan ribu lebih. Dari jumlah ini , saat
itu ada puluhan nasabah yang mengalami hambatan dalam penyelesaian
kewajibannya. Oleh karena itu, pihak Bank Syariah selalu mengadakan
berbagai pendekatan dan negosiasi untuk penyelesaian secara damai.
Namun jika sudah tidak memungkinkan lagi, maka terpaksa diajukan gugatan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).136
Alasan-alasan penyerahan penyelesaian sengketa ke BASYARNAS dan
tidak menyerahkan ke pengadilan negeri diakui oleh pihak Bank Syariah,
Diantaranya karena efisiensi waktu dalam masa tiga bulan selesai, tidak
ada kecurangan peradilan dan aspek syariah dilakukan. Faktor dominan
yang menjadi pemicu sengketa biasanya dipicu nasabah tidak
dapat membayar pembiayaan yang diberikan Bank pada saat jatuh tempo.
Sebagaimana diakui pihak Bank, dampak positif bagi perBankan syariah
yaitu perBankan syariah terhindar dari pelaksanaan-pelaksanaan yang
menyimpang seperti jual beli perkara, selain itu juga ikut menghidupkan
peradilan syariah.
Perjanjian perdamaian (ṣulḥ) yang dilaksanakan sendiri oleh kedua
belah pihak yang berselisih, dalam pelaksanaannya di negara-negara
Islam, terutama dalam konteks perBankan syariah, sering disebut dengan
tafawwud dan tawfīq (perundingan dan penyesuaian).
PerBankan syariah sebagai institusi keuangan yang mendapat
kepercayaan warga mesti menjaga hubungan yang baik dengan
warga pengguna jasanya. Berbagai bentuk hubungan yang terjadi
antara pihak Bank dengan para nasabah-nasabahnya yaitu hubungan
secara perdata dalam melakukan hubungan perdata sesuai dengan
ketentuan KUH perdata, kedua belah pihak, baik dalam kedudukannya
sebagai kreditur maupun debitur, selain terikat dengan prinsip kebebasan
berkontrak juga tunduk pada akta atau hukum yang berlaku Dengan demikian perselisihan antara kedua belah pihak dapat terjadi
karena faktor ingkar janji (wanprestasi) terhadap kontrak yang telah dibuat
atau karena faktor pelanggaran 36 terhadap undang-undang atau hukum
yang lebih dikenal dengan perbuatan melawan hukum.37 Berikut akan
diuraikan tentang wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dan Islam.
. Wanprestasi (Ingkar Janji)
Antara hal penting dalam perikatan yaitu objek perikatan (dalam undangundang perikatan Islam, disebut dengan mauḍu‘ī al-Iltizām), yang disebut
dengan prestasi berupa memberi sesuatu, berbuat atau tidak berbuat
sesuatu Pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi dalam perBankan,
disebut dengan debitur (penghutang) dalam undang-undang perikatan Islam,
disebut dengan “madīn” atau “multazim.” Jika debitur(penghutang) tidak
melaksanakan kewajibannya, bukan karena keadaan memaksa (overmach),
dia dianggap melakukan ingkar janji atau wanprestasi. Wanprestasi ini dapat
berbentuk tidak memenuhi sama sekali kontrak, terlambat memenuhi prestasi
atau memenuhi prestasi secara tidak baik.38
Wanprestasi dalam khazanah undang-undang Islam disebut dengan
mumāṭalah. Wanprestasi dapat dilakukan oleh orang yang mampu dan
orang yang tidak mampu. Dalam konteks perBankan, wanprestasi dapat
dilakukan oleh pihak debitur (penghutang) atau kreditur (pemiutang),
yakni pihak nasabah dan pihak Bank. Para ulama sepakat bahwa untuk
debitur yang tidak mampu, dia harus diberi perpanjangan waktu (inẓār),
pemenuhan pembayaran atau dibebaskan dari kewajibannya (sedekah), Abd al-Hamīd Maḥmūd al-Ba‘ili membagikan ketidakmampuan
debitur untuk melakukan pembayaran menjadi dua bentuk: pertama, tidak
mampu melakukan pembayaran pada saat jatuh tempo, tetapi mungkin
memiliki kemampuan pada waktu yang lain; kedua, ketidakmampuan
yang mutlak (absolute), yaitu debitur tidak mampu dan kecil sekali
kemungkinan untuk membayar di lalu hari.40 Kedua belah kategori
ini membawa akibat hukum yang berbeda, untuk debitur yang tidak
mampu secara mutlak, dia dapat dibebaskan dari kewajiban (sedekah)
atau hapus tagih (hair cut),41 dapat diberikan alternatif antara lain: 1)
Diberikan kemudahan berupa penangguhan masa untuk pembayaran
hingga debitur mampu membayarnya (rescheduling); 2) Diberikan
kelonggaran (discount) pembayaran keuntungan (bila transaksi berupa
murābaḥah), atau hanya diwajibkan mengembalikan modal pokok saja.42
Adapun bagi debitur yang mampu menurut sebagian ulama dapat
dikenakan hukuman dipermalukan atau berupa hukuman penjara
(al-’abs).43 Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) NO.17/DSNMUI/IX/2000, ditetapkan bahwa hukuman bagi nasabah yang mampu,
tetapi menunda-nunda pembayaran hutangnya dapat dikenakan denda
yang diperuntukkan untuk dana sosial
Berbeda dengan pendapat di atas, munurut hasil Muktamar
Undang-undang Islam (Majma‘ al-Fiqh al-Islāmī) di Jeddah, diputuskan
bahwa haram atas debitur yang mampu membayar, menunda-nunda
pembayaran ansuran (aqṣāt}) yang telah jatuh tempo. Walaupun demikian,
tidak diperbolehkan memberi ganti rugi kepada debitur yang lambat
melakukan pembayaran.45
Atas dasar perbedaan pendapat ini , menunjukkan bahwa debitur
yang mampu melakukan pembayaran akan dikenakan sanksi ganti rugi atau
denda. ini lah yang dapat dilaksanakan oleh perBankkan pada masa kini,
termasuk perBankan syariah. ini terjadi karena, perBankan yaitu
institusi penengah (intermediary) antara pemilik modal dan peminjam,
sehingga penyaluran aset atau modal oleh perBankan kepada pengguna jasa
mesti dilakukan secara cermat dan hati-hati (prudential), karena pada akhirnya
pihak Bank mesti mempertanggungjawabkan dana simpanan ini
kepada para nasabahnya. Disamping itu, pihak Bank juga diwajibkan menjaga
likuiditasnya untuk dikategorikan Bank sehat. Oleh karena itu hukuman bagi
debitur yang mampu yang ingkar janji sangat penting diberikan. Adapun
bagi debitur yang tidak mampu, pendapat yang dikemukakan ‘Abd al-Hamd
Maḥmūd di atas sudah tepat untuk diterapkan dalam perBankan syariah,
yakni mesti dilakukan pemilahan antara ketidakmampuan relatif dan mutlak.
Namun, dalam pembebasan kewajiban (hapus tagih) terhadap debitur yang
tidak mampu bersifat mutlak, tetap harus dilakukan secara selektif berdasarka
masalah sesudah melakukan langkah-langkah yang diperlukan. ini dilakukan
untuk menghindari risiko kredit (credit risk) yang akan mempengaruhi
likuiditas Bank.46
Bagaimanapun, hukuman bagi debitur yang mampu yang ingkar janji
menurut ‘Abd al-Hamid Maḥmūd dapat juga dibagi menjadi dua kategori.
Pertama, jika debitur yang mampu ini ingkar janji bukan karena niat tidak baik maka dia dapat dikenakan ganti rugi atas dasar besarnya
keuntungan yang mungkin diperoleh Bank bila dana semisal dipakai
sendiri oleh Bank untuk usaha dalam masa yang sama, atau atas dasar
besarnya keuntungan yang diperoleh debitur dalam mengembangkan
dana pinjaman secara Murābaḥah. Pilihan ganti rugi yang mana akan
dipilih, diserahkan kepada Bank atau pengadilan sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Kedua, jika debitur yang mampu ini ingkar janji
karena niat yang tidak baik atau dengan sengaja menunda-nunda, maka
dia dapat dikenakan hukuman dalam bentuk uang yang telah ditetapkan
dan dijanjikan sejak awal antara Bank dengan nasabahnya.47
Berkaitan dengan bentuk hukuman denda ini di atas, menurut
Ahmad Sukardja, bentuk hukuman ganti rugi berupa denda (uang) ini
sangat tepat kalau diterapkan dalam perBankan syariah dibandingkan
dengan sanksi penjara (paksa badan), karena tujuan kegiatan diperbankan
syariah yaitu pengembangan harta (māl) dan denda, dalam ini akan
mendorong pengembangan harta,48 apalagi kalau dana ini lalu
disalurkan untuk kegiatan sosial sebagaimana difatwakan oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN). Di samping akan lebih mendorong pertumbuhan
harta misalnya melalui kegiatan sumberdaya ekonomi lemah dengan
skim qardḥ al-ḥasan, juga akan menghindarkan dari konsep ganti rugi
yang mengandung unsur ribawi sebagaimana dilaksanakan dalam dunia
perBankan konvensional selama ini.49
sedang bentuk hukuman penjara bagi debitur yang ingkar janji
dan berniat tidak baik masih perlu dipertimbangkan karena dipandang
tidak efektif bagi reformasi rehabilitasi, dan resosialisasi pelanggar
hukum. Namun hukuman penjara atau penahanan/paksa badan ,gijzeling)50 sesuai dengan PERMA No. 1 tahun 2000 bagi debitur masalah
berat yang melakukan ingkar janji (wanprestasi) dengan tujuan agar dia
segera memenuhi kewajibannya, masih perlu dilakukan dan penting untuk
diterapkan dalam RUU PerBankan Syariah yang akan segera dirumuskan.51
Wanprestasi (ingkar janji) sebagai salah satu bentuk pelanggaran
perikatan perspektif hukum Islam dapat menjadi sebab batalnya kontrak
(fasakh al-‘Aqd). Jika kontrak batal karena wanprestasi, maka semua
pihak kembali kepada keadaan awal seolah-olah tidak pernah terjadi
kontrak, dan masing-masing pihak harus mengembalikan prestasi
pada keadaan semula, jika salah satu atau masing-masing pihak
telah melaksanakannya. lalu , jika pengembalian prestasi ini
tidak dapat diwujudkan, akan dikenakan ganti rugi. Ganti rugi ini
ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, maupun menurut
peraturan hukum Islam52
Namun demikian, sebelum seorang penghutang dikenakan hukuman
atau denda akibat ingkar janji sebagaimana telah diuraikan di atas, pihak
perBankan syariah dapat memilih langkah-langkah bijak dan strategis
antara lain:531) Pengumpulan, yaitu penagihan intensif disertai surat
peringatan pengambil alihan atas jaminan. ini yaitu tahap , awal yang dilakukan oleh Bank saat mengetahui pada saat akhir tempo
debitur; 2) Rescheduling, yaitu diberikan perpanjangan masa pembayaran,
yaitu dari pembiayaan jangka pendek atau menengah menjadi pembiayaan
jangka panjang, atau Bank akan mengurangi biaya ansurannya, jika
nasabah mengembalikan pinjamanya secara beransur; 3) Reconditioning,
yaitu perubahan syarat yang dianggap perlu, jika memang merasa terikat,
sehingga tidak dapat mengatasi masalah yang terjadi atas usahanya; 4)
Pemansuhan (liquidation), yaitu penjualan barang-barang yang menjadi
jaminan dalam rangka melunaskan pinjaman. ini dilakukan jika
nasabah benar-benar tidak mampu lagi membayar hutangnya; 5) Hapus
buku/hapus tagih, yaitu yaitu langkah terakhir untuk membebaskan
penghutang dari kewajibannya. Langkah ini dilakukan jika nasabah
sudah tidak mampu lagi untuk mengembalikan pinjamannya dan barang
jaminannya tidak cukup untuk menutupi hutangnya, serta usaha yang
dijalaninya tidak dapat diharapkan lagi.
2.2.2. Pelanggaran Hukum.
Perbuatan melawan hukum menurut C.S.T Kansil yaitu berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau berlawanan
dengan kewajiban hukum orang yang berbuat atau tidak berbuat itu
sendiri atau bertentangan dengan tata susila, maupun berlawanan dengan
sikap berhati-hati sebagaimana sepatutnya dalam pergaulan warga ,
terhadap diri dan barang orang lain.54
Hukuman untuk perbuatan melanggar hukum ini ada pada
pasal 1365 KUH perdata yang menentukan bahwa “setiap perbuatan
yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain
mewajibkan orang yang melakukan kesalahan yang membawa kerugian
itu dengan mengganti kerugian ini
berdasar pasal di atas, suatu perbuatan dipandang telah melanggar
hukum dan dapat dikenakan hukuman jika memenuhi unsur-unsur
berikut; 1) mesti ada perbuatan, baik yang bersifat positif maupun yang
bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat; 2).
perbuatan itu harus melawan hukum; 3) ada kerugian; 4) ada hubungan
sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian
dan; 5) ada kesusahan.56 Pasal lain yang mengatur “perbuatan melawan
hukum” yaitu pasal 1366 hingga dengan pasal; 1380.
Sebagaimana dalam hukum perdata positif, perbuatan melanggar
hukum diatur juga dalam hukum perdata Islam dan dipandangnya sebagai
salah satu sumber ikatan. Dalam hukum Islam, perbuatan melawan hukum
dikenal dengan istilah “perbuatan yang membahayakan” (fi‘l al-ḍarar)57
Muṣṭāfa Aḥmad al-Zarqā dalam bukunya al-Fi‘l al-ḍarar wa al-ḍamān
fīh, mengemukakan sejumlah ayat dalam al-Quran (9 ayat), beberapa
hadis Nabi (31 hadis), dan fiqh sahabat (23 pendapat atau putusan) yang
menjelaskan tentang “perbuatan yang membahayakan” ini . Ayatayat al-Qur’an dimaksudkan ialah Al-Qur’an surah: 1) al-Nisā’ (4): 30; 2)
al-Baqarah (2): 188; 3) al-A‘rāf (7): 56; 4) Al-Baqarah (2): 205; 5) Yūsuf (12):
73; 6) al-Nūr : 4 dan 23 ; 7) al-Ambiyā’ (21):78-79.58
Ayat 1 sampai dengan ayat 5 menjelaskan haram melakukan
perbuatan yang mengganggu atau merugikan harta benda (taḥrīm al-
‘Udwān al-Amwāl), namun dalam ayat-ayat ini tidak dijelaskan
tentang ganti rugi atau hukuman perdata atas pelakunya. Ayat 6
berkenaan dengan qadhaf (penodaan terhadap harga diri orang lain,
dalam ini tuduhan berbuat zina). Perbuatan qadhaf ini hanya
menimbulkan ancaman hukuman jinayah dan siksa di akhirat, namun
tidak menyebutkan hukuman perdata dalam bentuk ganti rugi. Adapun
ayat 7 menceritakan masalah seseorang yang menggembala kambing di
kebun orang lain yang lalu diadukan atau dilaporkan kepada Nabi
Dawud dan Nabi Sulayman. berdasar sejumlah tafsir, kedua belah
Nabi ini memberi keputusan agar pemilik kambing membayar
ganti rugi yang seimbang (adil) dengan kerugian uang yang ditanggung
oleh pemilik kebun.59
Mengenai penafsiran hadis Nabi yang dimaksud di bawah
yaitu sebagai berikut: 1) Hadis-hadis yang menjelaskan keharaman
mengganggu harta, jiwa dan harga diri orang lain (hadis muttafaq ‘alayh,
hadis riwayat Muslim dari Abū Hurairah). Akan tetapi, hadis-hadis itu
tidak menjelaskan hukuman perdata; 2) hadis “Lā ḍarara wa lā ḍirāra”
(tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain, riwayat
Ahmad, Ibn Majah, Daruqutni dan yang lain dari Abu Sa‘id al-Khudri, Ibn
‘Abbas dan ‘Ubadah bin al-Samit). Dari sejumlah ulasan dan penjelasan
ulama terhadap hadis ini , Zarqa’ menyimpulkan seperti berikut:
a) Ayat “lā ḍarar” yaitu larangan mengganggu harta orang, hak
dan jiwa atau diri orang lain; b) Orang yang merugikan orang lain harus
bertanggungjawab, dan tidak boleh dibalas dengan perbuatan serupa,
namun dia wajib menggantikan kerugian ini ; c) Ayat “lāḍirār” dapat
dijadikan dasar hukum untuk menetapkan kewajiban memberi ganti
rugi atas perbuatan yang merugikan atau mengganggu harta dan hak
orang lain; 3) hadis tentang larangan penggunaan tanah orang lain secara
tidak sah (ghasb al-‘Ard)- riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Sa‘id bin
Za’id. Dalam hadis ini hanya dijelaskan sanksi ukhrawi; 4) Hadis yang
menyatakan bahwa orang yang memegang (menguasai) harta orang
lain mesti bertanggungjawab (riwayat Ahmad dan Ashab al-Sunan dari
Samurab bin Jundub); 5) hadis yang menjelaskan orang yang bertanam
di tanah orang lain secara tidak sah (tanpa izin). Mengenai ini dikemukakan dua buah hadis, pertama (riwayat Ahmad, Abū Dawud,
ibn Majah dan Nasā’i dari Rafi’ bin Khadij) menjelaskan bahwa orang
ini tidak berhak atas tanamannya namun dia berhak mendapatkan
penggantian biaya penanaman yang telah dikeluarkan. sedang hadis
kedua (riwayat Asḥab al-sunan dari ‘Urwah bin al-Zubayr) menjelaskan
bahwa orang ini (penanam) harus mencabut tanamannya.60
berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan
melawan hukum dalam khazanah hukum Islam dikenal dengan
istilah “perbuatan yang membahayakan” (al-fi‘l al-ḍarar). Orang yang
melakukan perbuatan melanggar hukum, menurut hukum Islam, diminta
bertanggungjawab. Hanya saja, bentuk tanggungjawabnya berbedabeda, ada yang hanya bersifat moral (sanksi ukhrawi) dan ada pula
yang besifat sanksi keduniaan, baik berbentuk kewajiban memberi
ganti rugi yang seimbang (adil) dengan kerugian yang ditanggung,
menghilangkan ḍarar (bahaya atau kerugian) yang ditimbulkannya,
maupun bentuk tanggungjawab lainnya. Namun demikian, ganti rugi
tidak boleh mengandung unsur-unsur ribawi sebagaimana konsep ganti
rugi yang ada dalam KUH Perdata.61
2.3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa
2.3.1. Penyelesaian Sengketa dalam Tradisi Islam Klasik
ada tiga bentuk mekanisme penyelesaian sengketa dalam
tradisi Islam klasik-pada masa Rasulullah SAW, para sahabat, khalifah Bani
Umayyah, dan Bani Abbas, yakni; ṣulḥ (perdamaian), taḥkīm (arbitrase),
dan proses litigasi yang disebut dengan wilāyah al-qaḍā’ (kekuasaan
hukum)
Secara bahasa ṣulh berarti menyelesaikan pertikaian.62 Adapun
menurut istilah ṣulḥberarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk
mengakhiri pertikaian/perselisihan antara dua orang yang bersengketa
secara damai.63 Kata ṣulḥberdasar pengertian umum, mencakup
perdamaian dalam bidang harta benda, perdamaian dalam urusan rumah
tangga, perdamaian dalam peperangan, dan mencakup perdamaian yang
dilakukan antar sesama Islam, dan antar Islam dan bukan Islam.64
Menyelesaikan perkara secara damai berdasar kerelaan dari dua
belah pihak untuk mengakhiri sengketa, sangat ditekankan dalam agama
Islam. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran:
“Perdamaian itu yaitu perbuatan yang baik”
Terjemahan surah al-Nisa (4): 126
Jika al-Qur’an menwajibkan cara penyelesaian dalam masalahmasalah seperti di atas, maka perdamaian dalam masalah pengadilan
yang menyangkut harta benda sudah tentu dibolehkan juga. Bahkan,
jika ditelaah dengan seksama, kajian ṣulḥ dalam kitab-kitab klasik, objek
kajiannya yaitu pada bidang perjanjian atau perikatan yang menyangkut
harta benda.
Dalam menyelesaikan sengketa, langkah pertama yang Rasulullah
lakukan yaitu jalan damai. Dalam sebuah hadis, Ummu Salamah menceritakan
bahwa pada suatu hari dua orang lelaki datang kepada Rasulullah mohon
menyelesaikan sengketa antara mereka (ṣulḥ model mediasi), mengenai
harta warisan orang tuanya, lalu Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya engkau ini yaitu manusia juga, dan kepadaku kalian
datang membawa sengketa ini. Salah seorang dari kalian barangkali lebih
pandai berhujjah dibanding dengan yang lain, sehingga saya menangkan
berdasar keterangan dan mengambil sesuatu yang pada hakekatnya
pihak lain yang benar, maka janganlah dia mengambilnya, karena
keputusan seperti itu, sama halnya dengan aku memberi kepadanya
sepotong api neraka.”
Dua orang laki-laki itu lalu menangis mendengar perkataan
Rasulullah ini , lalu satu sama lain saling berkata; ’Hak aku yaitu
hak engkau”. Melihat kesadaran dua belah pihak itu, Rasulullah bersabda;
“Kalau begitu, maka berbagilah antara kalian berdua, insyafilah kebenaran,
dan kemudiaan rela-merelakan” (H.R. Abu Dawud).
Ada tiga rukun yang mesti dipenuhi dalam perjanjian perdamaian,
yaitu ijab, qabul, dan lafaz. Ketiga rukun itu sangat penting dalam suatu
perjanjian perdamaian, sebab tanpa ijab, qabul, dan lafaz secara formal
tidak diketahui adanya perdamaian antara mereka.65 jika rukun itu telah
dipenuhi, maka perjanjian perdamaian antara para pihak yang bersengketa
telah berlangsung, dengan sendirinya. Dari perjanjian perdamaian itu
lahirlah suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak berkewajiban
untuk memenuhi/menunaikan pasal-pasal perjanjian perdamaian. Perlu
diingat bahwa perjanjian perdamain tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
Jika hendak dibatalkan harus berdasar kesepakatan kedua belah pihak.66
Adapun yang menjadi syarat sah suatu perjanjian perdamaian dapat
diklasifikasikan kepada beberapa hal berikut:67
(I) Menyangkut subjek, yaitu orang yang melakukan perdamaian
mestilah orang yang cakap bertindak hukum. Selain itu, juga harus
orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam
perdamaian ini .
(II) Menyangkut objek, yaitu tentang objek perdamaian mestilah memenuhi
ketentuan sebagai berikut:1) Berbentuk harta (dapat berupa benda
wujud seperti tanah dan dapat juga berupa benda tidak wujud seperti
hak milik intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserah
terima dan bermanfaat; 2) Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak
melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat
pula melahirkan pertikaian baru terhadap objek yang sama.
(III) Persoalan boleh didamaikan. Adapun persoalan atau pertikaian
yang boleh didamaikan hanyalah menyangkut tentang pertikaian
berbentuk harta yang dapat dinilai dan pertikaian itu menyangkut
hak manusia yang boleh diganti. Dengan perkataan lain, perjanjian
perdamaian hanya persoalan-persoalan muamalah (hukum individu).
Adapun persoalan-persoalan yang menyangkut hak Allah tidak dapat
diadakan perdamaian.
(IV) Pelaksanaan Perdamaian. Pelaksanaan perjanjian perdamaian
dapat dilaksanakan dua cara, yakni di luar sidang pengadilan atau
melalui sidang pengadilan. Di luar sidang mahkamah, penyelesaian
persengketaan dapat dilaksanakan baik oleh mereka sendiri (kedua
belah pihak yang bertikai) tanpa melibatkan orang lain (ṣulḥ), atau
meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah/wasit. ini
lalu disebut dengan arbitrase/ ḥakam (akan dijelaskan lalu ).
Adapun perdamaian melalui sidang pengadilan dilangsungkan pada
saat perkara diporoses di depan sidang pengadilan.
Perjanjian perdamaian (ṣulḥ) yang dilaksanakan sendiri oleh kedua
belah belah pihak yang berselisih, dalam pelaksanaan di negara-negara
Islam, terutama dalam konteks perBankan syariah, sering disebut dengan
tafawwud dan tawfīq (perundingan dan penyesuaian). Tafawwud dan
tawfīq biasanya dipakai dalam mengatasi persengketaan internal
(intern) Bank, khususnya Bank dan lembaga keuangan pemerintah, Dalam perspektif Islam arbitrase dapat dipadankan dengan istilah
taḥkīm. Tahkim berasal dari kata kerja ḥakama. Secara etimologi, kata
itu berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.69
Secara umum, taḥkīm memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase
yang dikenal dewasa ini, yaitu: “pengangkatan seorang atau lebih sebagai
juru damai (wasit) oleh dua orang yang berselisih atau lebih, untuk
menyelesaikan perselisihan mereka secara damai”. Adapun orang yang
menyelesaikannya disebut ḥākam.70
Gambaran umum tentang tradisi yang berkembang dalam qabilah
Arab pada masa pra Islam (abad keenam) dalam penyelesaikan sengketa,
dalam warga pra Islam, tidak ada kekuasaan politik dan sistem
pengadilan yang terurus dengan baik. Namun, jika terjadi persengketaan
mengenai hak milik, hak waris dan pelanggaran undang-undang maka
persengketaan ini diselesaikan melalui bantuan juru damai atau
hakim yang dipilih oleh masing-masing pihak yang bersengketa.71 Untuk
tugas itu tidak ada pegawai resmi, melainkan lebih bersifat ad hoc. Artinya,
jika terjadi persengketaan maka dipilih juru damai yang bertugas untuk
menyelesaikan masalah ini . Juru damai ini sering disebut ḥākam.
Pada zaman pra Islam, ḥākam atau juru damai itu harus memenuhi
beberapa kualifikasi. Antara syarat yang terpenting bagi mereka
yaitu mesti cakap dan memiliki kekuatan supranatural. berdasar
persyaratan ini, pada umumnya para ḥākam itu ialah ahli nujum. Oleh
karena itu, dalam investigasi dan penyelesaiaan persengketaan dalam
kalangan mereka, ḥākam lebih banyak memakai kekuatan firasat, dari mengemukakan tanda-tanda bukti, seperti saksi atau pengakuan.
Mereka menyelenggarakan sidang di bawah pohon atau kemah-kemah
yang didirikan. Namun sesudah didirikan sebuah bangunan yang terkenal
di Mekkah, yaitu Dār al-‘Adawah, mereka menjalankan urusan perdamaian
di tempat itu. Bangunan ini didirikan oleh Qusay ibn Ka‘ab.72
Taḥkīm dalam sistem pengadilan Islam yaitu “peninggalan”
tradisi Arab pra Islam. Tradisi ini lalu “di-Islam-kan” oleh Nabi
Muhammad, sehingga beberapa hal yang menyangkut penyimpangan
akidah dapat dihindari. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW tidak
menghapus secara menyeluruh semua tradisi Arab pra Islam yang dinilai
sudah berjalan secara mantap. Ada beberapa tradisi yang diteruskan,
namun secara esensial diselaraskan dengan misi Islam itu sendiri.73
Dalam sejarah pernah dicatat, sebelum Nabi Muhammad menjadi
Rasul, baginda pernah bertindak sebagai “juru damai” dalam perselisihan
yang terjadi dalam kalangan warga Mekah. Perselisihan itu berkenaan
dengan usaha meletakkan kembali batu hajar aswad pada tempat asalnya.
Dalam kalangan suku Quraisy terjadi perselisihan tentang pihak yang
berhak untuk melaksanakan tugas yang mulia itu. Akhirnya, Muhammad
berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu dengan pendapatnya sendiri.
Ternyata mereka sepakat dan rela dengan penyelesaian yang dilakukan
oleh Muahammad itu.
Pada awalnya, Nabi Muhammad bertindak sebagai hakim tunggal.
Namun sesudah umat Islam mulai tersebar ke berbagai daerah, baginda
memberi wewenang kepada sahabat lain untuk menjadi hakim dalam
menyelesaikan sengketa antara para sahabat di tempat tinggal mereka. Hal itu dilakukan karena tempat mereka jauh dari tempat kediaman
Nabi. Sebagai konsekuensi dari pemberian tugas itu, maka baginda juga
mengizinkan para sahabat untuk “berijtihad” dalam masalah -masalah yang
tidak diatur dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Isyarat ini dapat dilihat dari
pernyataan Nabi kepada Mu‘adh bin Jabal.
Sahabat lain yang mendapat kepercayaan dari Nabi ialah Abu
Syurayh. Beliau telah menjadikan taḥkīm sebagai sebahagian dari usaha
menyelesaikan persengketaan di kalangan sahabat. Beliau melaporkan
tugasnya kepada Nabi tentang beberapa masalah yang diselesaikannya
dengan cara taḥkīm. Dengan cara itu, menurut Abu Syurayh kepada Nabi,
mereka secara sukarela menerima dan melaksanakan kesepakatannya.
sesudah mendengar laporan ini Rasulullah SAW memberi
pendapat yang berbunyi: “alangkah baiknya hal demikian itu”76 Dengan
pernyataan Nabi ini jelaslah bahwa taḥkīm dapat dijadikan sebagai salah
satu cara menyelesaikan persengketaan. Sunnah yang demikian dapat
digolongkan dalam Sunnah Taqrīriyyah. Pelaksanaan taḥkīm juga telah
dilakukan oleh sahabat lain seperti Sa‘id ibn Muaz. Dia telah menyelesaikan
perselisihan antara Bani Qurayḍah dengan cara taḥkīm. Begitu juga Za’id
ibn Thabit telah menjadi ḥakam dalam perselisihan antara ‘Umar dengan
Ubay ibn Ka‘ab tentang masalah “Naḥl”.77
Taḥkīm telah disebut dalam al-Quran yang bermaksud :
“Dan jika kamu mengkhawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seoranghakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perumpuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”
Terjemahan surah al-Nisa’ (4):35
Pada dasarnya pelaksanaan peradilan pada umumnya dan masalah ,taḥkīm pada khususnya pada zaman al-khulafā al-Rāsyidīn tidak banyak
mengalami perubahan. Para khalifah, di samping melakukan kekuasaan
kehakiman sendiri, juga memberi wewenang kepada sahabat lain untuk
bertindak sebagai hakim. Sudah tentu pada saat itu belum banyak masalah
yang melibatkan hukum dibandingkan dengan keadaan sesudah wilayah
kekuasaan umat Islam meluas ke luar jazirah Arab. 78
Pada masa kepimpinan ‘Umar bin Khaṭṭab dirasakan perlu
pelimpahan wewenang di bidang pengadilan kepada pihak lain yang
punya kuasa untuk tugas itu. Secara tidak langsung ‘Umar telah
mengarah untuk: “memisahkan” kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan
yudikatif. Dia tidak berhenti sampai di situ, melainkan terus berusaha
untuk menyusun lembaga peradilan sehingga dapat memenuhi rasa
keadilan bagi para pencari keadilan. Untuk maksud ini dia membuat
“tatacara pengadilan” di Peradilan. Dalam sejarah peraturan itu dikenal
dengan istilah “risālah al-qaḍā ”. Surat ini ditujukan kepada Abu Musa
al-Asy‘ari, salah seorang qaḍi pada masa pemerintahan ‘Umar. Salah
satu perkara yang dimuat dalam risālah al-Qaḍa ialah berkaitan dengan
tahkim (arbitrase), yang dibincangkan dalam risalah ini . Menurut Ibn
Qayyim, perdamaian berlaku dalam berbagai masalah hukum kecuali masalah
hukum yang ada hubungannya dengan hak Allah. Dengan demikian,
perdamaian dengan juru damai (hakam) dibenarkan dalam masalahmasalah yang berhubungan dengan hak-hak manusia.79
Dalam perkembangan berikutnya terutama dipenghujung
kepemimpinan al-khulafa al-Rasyidin, tahkim telah berkembang pada
masalah perselisihan atau persengketaan dalam bidang kepemimpinan
atau bidang politik. Sejarah mencatat bahwa peralihan kepimpinan dari
Abu Bakar kepada ‘Umar berjalan dengan lancar. Begitu pula peralihan
kekuasaan dari ‘Umar kepada ‘Usman dapat dikatakan masih dalam hal wajar. Namun perpindahan kekuasaan dari ‘Usman kepada ‘Ali ternyata
tidak selancar para khalifah sebelumnya. Berlaku tahkim dalam perselisihan
antara mereka dan berakhir dengan penolakan tahkim oleh kelompok ‘Ali.80
sesudah Bani Umayyah memegang kepemimpinan, keputusan yang
dilakukan antaranya menjaga
Langganan:
Postingan (Atom)