Tampilkan postingan dengan label rabies 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rabies 1. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 April 2024

rabies 1


 





AMAF : ASEAN Ministerial Meeting on Agriculture and Forestry

APBD : Anggaran pendapatan dan belanja daerah

APBN : Anggaran pendapatan dan belanja negara

ARES : ASEAN rabies elimination strategy

ASEAN : Association of South East Asia Nations

Bblitvet : Balai Besar Penelitian Veteriner

BBPMSOH : Balai Besar Pengujian Mutu dan Standardisasi Obat Hewan

BBVet/BVet : Balai Besar Veteriner/Balai Veteriner

BNPB : Badan Nasional Penanggulangan Bencana

BPBD : Badan penanggulangan bencana daerah

BTT : Belanja tidak terduga

CDC : U.S. Centers for Disease Control and Prevention

DALYs : disability-adjusted life year atau tahun hidup dengan disabilitas

DKI : Daerah khusus ibukota

DRIT : Direct rapid immunohistochemical test

FAO : Food and Agriculture Organisation

FAT : Flourescent antibody technique

GARC : Global Alliance for Rabies Control

GHPR : Gigitan hewan penular rabies

HPR : Hewan penular rabies

IBCM : Integrated bite cases management

iSIKHNAS : Sistem Kesehatan Hewan Nasional

JE : Japanese encephalitis

Juklak : Petunjuk pelaksanaan

Juknis : Petunjuk teknis

KIE : Komunikasi, informasi, edukasi

KLB : Kejadian luar biasa

LAS : Local area spesific  

LDCC : Local disease control center

LSM : Lembaga swadaya warga 

MPA : Manajemen populasi anjing

x  | --- 

NTT : Nusa Tenggara Timur

P2P : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

P3K : Pertolongan pertama pada kecelakaan

PCR : Polymerase chain reaction

PDHI : Perhimpunan Dokter Hewan negara kita 

PDSR : Participatory disease surveillance and response

PEP : Post-exposure prophylaxis

Permentan : Peraturan Menteri Pertanian

PHMS : Penyakit hewan menular strategis

Polri : Kepolisian Republik negara kita 

PrEP : Pre-exposure prophylaxis

Prestasnegara kita  : Pemberantasan Rabies Bertahap Seluruh negara kita 

Pusvetma : Pusat Veteriner Farma

OIE : Office International des Epizooties/World Organisation for Animal Health

RIAD : Rabies immunoperoxidase antigen detection

RNA : Ribonucleic acid

SAR : Serum anti rabies

SARE : Stepwise Approach toward Rabies Elimination 

Satgas : Satuan tugas

SDM : Sumber daya manusia

Siskeswannas : Sistem kesehatan hewan nasional

SKKH : Surat keterangan kesehatan hewan

SK : Surat keputusan

SOP : Standard operational procedur

SSP : Sistem syaraf pusat

Takgit : Tatalaksana kasus gigitan terpadu

TNI : Tentara Nasional negara kita 

UU : Undang-undang

VAR : Vaksin anti rabies

WAP : World Animal Protection

WHO : World Health Organization

WSPA : World Society for the Protection of Animal

---   


Rabies telah menjadi ancaman bagi warga  

selama berabad-abad , Rabies 

atau penyakit anjing gila yaitu  penyakit hewan 

yang dipicu  oleh virus, bersifat akut serta 

menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah 

panas dan manusia. Rabies merupakan salah satu 

zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari 

hewan ke manusia (  ). Rabies selalu 

memicu  kematian apabila gejala klinis telah 

muncul, namun penyakit ini dapat dicegah dengan 

vaksinasi (  .

negara kita  merupakan salah satu negara berkembang 

di Asia yang masih berjuang melawan rabies. Rabies 

pertama kali dideteksi di negara kita  pada hewan 

pada tahun 1884, sedangkan pada manusia pada 

tahun 1894 ,

Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit 

zoonotik penting dan termasuk ke dalam penyakit 

hewan menular strategis prioritas di negara kita  

karena berdampak terhadap sosial-ekonomi dan 

kesehatan warga  (Kementerian Kesehatan 

2017). Rata-rata, ada  kematian 142 orang di 

negara kita  setiap tahunnya,

Upaya pemberantasan rabies pada sebagian besar 

pulau di negara kita  belum berhasil dilakukan karena 

beberapa alasan. Beberapa di antaranya yaitu  

kesulitan dalam melakukan vaksinasi pada anjing liar, 

manajemen rantai dingin dan pengiriman vaksin ke 

daerah terpencil, adanya perbedaan sosial-budaya 

di negara kita , serta kurangnya sumber daya. Belum 

berhasilnya pengendalian ini dapat dilihat dari 

penyebaran rabies ke pulau-pulau yang sebelumnya 

bebas dari penyakit ini dalam beberapa tahun 

terakhir, termasuk Pulau Flores (1997), Pulau Bali 

(2008), Pulau Nias (2010), dan Pulau Kisar (2012). 

Ketiadaan (atau belum diketahuinya) reservoir rabies 

dari satwa liar di negara kita  menunjukkan bahwa 

penyebaran rabies dari pulau ke pulau terjadi melalui 

perpindahan dan lalu lintas anjing yang diperantai 

oleh manusia ,

Pada tahun 2014, sebagaian besar provinsi di 

negara kita  (25 dari 34) tertular oleh penyakit 

rabies (  . Pada Bulan Maret tahun 

2019, Provinsi Nusa Tenggara Barat secara resmi 

dideklarasikan tertular oleh penyakit rabies (Menteri 

Pertanian 2019). Hal ini menempatkan lebih 

dari separuh penduduk negara kita  memiliki risiko 

terjangkit oleh rabies (Direktorat Kesehatan Hewan 

2014). Selain itu, rabies dianggap penting karena 

penyakit ini memiliki dampak dengan spektrum 

yang luas selain kematian pada manusia dan hewan, 

rabies juga memiliki dampak ekonomi yang cukup 

signifikan dan juga dampak sosial. berdasar  

data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan, 

tercatat sekitar 631 orang meninggal dunia akibat 

rabies dalam 6 tahun terakhir (Direktorat Jenderal 

P2P 2018).  Sedangkan untuk dampak ekonomi, 

berdasar  data yang diperoleh pada tahun 1998-

2007 di Nusa Tenggara Timur saja, dampak ekonomi 

langsung diperkirakan mencapai 14,2 milyar rupiah 

per tahun ,

Selain risiko dan dampak yang cukup besar, rabies 

merupakan penyakit hewan menular strategis 

(PHMS) prioritas (Kementerian Pertanian 2013) 

yang diamanatkan di dalam undang-undang. Selain 

itu negara kita  juga memiliki komitmen politik di 

tingkat regional ASEAN. Pada tahun 2008, negara kita  

dan negara-negara ASEAN lainnya sepakat untuk 

melakukan eliminasi peyakit rabies di kawasan 

ASEAN. Tujuan baik ini kemudian dituangkan 

dalam strategi bersama yang disebut ASEAN Rabies 

Elimination Strategy (ARES) – Rabies Free ASEAN by 

2020 yang ditetapkan dalam 36th ASEAN Ministerial 

Meeting on Agriculture and Forestry (AMAF) di Myanmar 

dan 12th ASEAN Health Minister Meeting di Vietnam. 

Dalam strategi ini  disepakati bahwa target 

pemberantasan rabies ditetapkan pada tahun 2020. 

Namun pada tingkat global, target pemberantasan 

rabies ditentukan menjadi 2030 dengan melihat 

kondisi masing-masing negara di masing-masing 

regional ,

Berbagai alasan ini  yang menjadi dasar 

pembuatan masterplan nasional pengendalian 

pemberantasan rabies di negara kita  ini disusun. 

Pembuatan masterplan ini diharapkan dapat menjadi 

acuan nasional oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah 

Daerah dan juga pemangku kepentingan lainnya 

dalam melakukan pengembangan program 

pemberantasan rabies di daerahnya masing-masing.

Dokumen masterplan ini merupakan dokumen 

acuan nasional yang disusun dalam bentuk tahapan 

sehingga diharapkan dapat dipahami secara 

mudah. Dokumen utama dalam masterplan ini 

tidak menjelaskan penjelasan teknis yang detail. 

Penjelasan teknis lainnya yang mendukung dokumen 

masterplan ini seperti prosedur operasional standar 

atau standard operational procedure (SOP), pedoman 

teknis, dan dokumen pendukung lainnya dimasukkan 

ke dalam dalam dokumen ini sebagai lampiran.

1.2 Sasaran

Masterplan Nasional Pemberantasan rabies di 

negara kita  disusun dengan sasaran mencapai status 

negara kita  bebas rabies pada tahun 2030 melalui 

Program Pemberantasan Rabies Bertahap Seluruh 

negara kita  (Prestasnegara kita ). 

Penetapan sasaran ini didasarkan atas terpenuhinya 

seluruh indikator pencapaian yang terverifikasi 

dengan memperhatikan asumsi dan pra kondisi yang 

menjadi landasan penilaian kemajuan perkembangan 

program pemberantasan.

1.3 Tujuan 

Masterplan rabies dapat menjadi referensi nasional 

dalam pengembangan program pemberantasan 

rabies di masing-masing daerah dan sebagai materi 

advokasi kepada pemerintah daerah masing-

masing dalam upaya pengembangan program 

pemberantasan.  Sehingga secara umum tujuan 

disusunnya masterplan ini yaitu :

1. Mempertahankan daerah bebas rabies di 

negara kita 

2. Menurunkan kasus pada anjing dan korban 

pada manusia di daerah endemik

3. Memberantas rabies secara bertahap

1.4 Asumsi dan Pra 

Kondisi

Keberhasilan pemberantasan rabies bergantung 

pada tata pemerintahan veteriner yang baik (good 

veterinary governance), kerjasama lintas sektoral, 

kesiapan sumberdaya manusia, fasilitas sarana, 

material dan infrastruktur dari pusat sampai daerah.

Asumsi dan pra kondisi keberhasilan pemberantasan 

rabies:

1. Komitmen dan pendanaan dari pemerintah 

pusat dan pemerintah daerah jangka panjang

2. Pelaksanaan tatalaksana kasus gigitan 

terpadu (Takgit)

3. Vaksinasi pada anjing memakai  vaksin 

yang berkualitas dengan cakupan minimal 

70% di semua daerah tertular, terutama 

dengan risiko tinggi

4. Sumber daya, logistik, dan infrastruktur yang 

memadai, terutama kebutuhan vaksin, baik 

untuk hewan maupun untuk manusia 

5. Program pemberantasan rabies harus 

menjangkau daerah terpencil, terutama 

daerah dengan risiko tinggi dan daerah 

terancam

6. Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) 

dilakukan secara progresif dan terus-

menerus

7. Keterlibatan warga , pihak swasta, dan 

pemangku kepentingan lainnya di dalam 

program

8. Pembuktian konsep: dimulai dengan 

implementasi di daerah percontohan dan 

diperluas di wilayah lain 

9. Pelaksana program memiliki kapasitas yang 

kompeten dan bermotivasi tinggi

10. Pelaksanaan penilaian performa di semua 

tingkat pemerintahan


 Cara memakai  

Dokumen Ini

Dokumen ini terdiri dari 5 Bab. Setiap Bab 

yaitu  bagian yang saling berkaitan. Setiap Bab 

disarankan untuk dibaca menyeluruh sehingga 

tidak dipahami secara parsial. Dokumen ini 

merepresentasikan rencana utama Kementerian 

Pertanian dalam upaya melakukan pemberantasan 

rabies. Masterplan ini sebaiknya dijadikan acuan 

induk oleh daerah di seluruh negara kita  khususnya 

dalam pembuatan program di masing-masing 

daerah dengan karakteristiknya masing-masing. 

Sehingga diharapkan program yang dijalankan oleh 

pemerintah pusat dan daerah menjadi selaras dan 

berjalan secara menyeluruh.

Rekomendasi atau saran yang diberikan yaitu  

bentuk rekomendasi terbaik dalam meningkatkan 

keberhasilan upaya pemberantasan rabies secara 

maksimal dan komprehensif.  Pada dokumen ini 

dituliskan daftar istilah yang ditempatkan di bagian 

depan pada dokumen ini untuk meningkatkan 

pemahaman pembaca terhadap istilah-istilah yang 

dipakai dalam dokumen ini.


 Rabies dan 

Pencegahannya

Rabies merupakan penyakit yang fatal yang 

dipicu  oleh virus yang menyerang sistem saraf pusat 

manusia dan hewan mamalia lain dengan mortalitas 

100% 

  . Virus rabies biasanya ada  pada air 

liur serta jaringan syaraf (otak dan sel syaraf) hewan 

yang tertular rabies 

   dan biasanya ditularkan melalui 

perlukaan dan gigitan hewan yang terinfeksi rabies ,

Gigitan dari hewan yang terinfeksi yaitu  rute 

yang paling penting dan paling sering terjadi dalam 

proses penularan rabies. Virus yang masuk ke 

dalam tubuh melalui gigitan akan bereplikasi dalam 

otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan 

kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan 

neuromuskuler dan menyebar sampai ke sistem 

syaraf pusat (SSP)  Rabies memicu  

peradangan pada otak dan memicu  kematian 

jika gejala sudah terjadi. Setiap tahun, 59.000 orang 

meninggal karena rabies di dunia ,

Gejala klinis akan terlihat ketika virus telah bereplikasi 

di SSP. Gejala klinis akan terlihat tidak lebih dari 14 

hari dan korban atau hewan yang terinfeksi rabies 

akan mati ,Gejala rabies pada manusia biasanya 

akan muncul beberapa minggu sampai beberapa 

bulan, dan bahkan beberapa tahun setelah terjadi 

gigitan yang tidak diberikan penanganan yang benar 

 Kepekaan terhadap infeksi dan masa 

inkubasinya bergantung pada latar belakang genetik 

inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor 

virus pada sel inang, jumlah virus yang masuk, 

keparahan luka gigitan, dan jarak lokasi masuknya 

virus ke SSP. ada  angka fatalitas yang lebih 

tinggi dan masa inkubasi yang lebih pendek pada 

orang yang digigit pada wajah atau kepala,

Hewan yang terinfeksi rabies dapat berubah menjadi 

agresif dan menyerang tanpa provokasi (rabies 

ganas) atau berubah menjadi lumpuh dan kesulitan 

berjalan karena paralisis sebagian maupun total 

(rabies paralisis). Terlihat adanya perubahan perilaku, 

hipersalivasi atau mulut berbusa juga dapat terjadi. 

Hewan yang terinfeksi rabies tidak dapat dipastikan 

hanya dari tanda klinis saja. Satu-satunya cara yang 

dapat memastikan bahwa hewan ini  tertular 

rabies yaitu  dengan memeriksakan sampel otak 

dari hewan ini ,

Penularan rabies pada manusia biasanya terjadi 

karena gigitan hewan yang tertular rabies. Penularan 

juga dapat terjadi ketika air liur dari hewan yang 

tertular rabies kontak dengan luka baru yang terbuka 

atau dengan mata atau permukaan mukosa lain. 

Anjing merupakan hewan yang paling sering (99%) 

menularkan rabies ke manusia dan hewan lain. Semua 

mamalia dapat tertular oleh rabies melalui gigitan 

hewan yang terinfeksi rabies. Mamalia kecil seperti 

tupai, tikus, mencit, hamster, dan marmut sangat 

jarang ditemui tertular rabies. Hewan reptil, amfibi, 

ikan, burung, dan serangga tidak tertular rabies 

Gigitan hewan harus ditangani dengan cepat 

dengan mencucinya dengan sabun dan air mengalir. 

Pertolongan medis harus segera didapatkan untuk 

memastikan penanganan yang tepat didapatkan. 

Hal ini termasuk melihat berapa besar risiko infeksi 

dari luka ini  dan apakah memerlukan vaksin 

anti rabies atau tidak. Sebelum mendapatkan 

penanganan lebih lanjut pada orang yang tergigit, 

jika memungkinkan harus diperiksa apakah hewan 

ini  tertular rabies atau tidak. Hewan liar harus 

diambil sampelnya dan diperiksa di laboratorium 

terkait diagnosa rabies. Anjing dan kucing biasanya 

dikandangkan dan diobservasi terlebih dulu selama 

14 hari apakah tanda-tanda rabies muncul pada 

periode ini . Jika hewan yang menggigit hilang, 

keputusan tentang penanganan orang yang tergigit 

didasarkan pada asumsi bahwa hewan ini  

tertular rabies ,

Rabies dapat dicegah dengan vaksinasi yang 

diberikan beberapa saat setelah terjadi gigitan. 

ada  dua cara penanganan yang dapat diberikan 

kepada orang yang tergigit hewan yang diduga 

tertular rabies, yaitu dengan pemberian serum anti 

rabies (SAR) dan vaksin anti rabies (VAR). SAR terdiri 

atas antibodi terhadap rabies dan diberikan satu kali 

setelah gigitan, sedangkan VAR merupakan vaksin 

rabies yang dimaksudkan untuk mendapatkan 

perlindungan jangka panjang terhadap virus dan 

diberikan beberapa kali dalam jangka waktu satu 

bulan setelah gigitan. Orang yang sudah pernah 

mendapatkan VAR lengkap sebelumnya, hanya 

membutuhkan dua dosis setelah mendapatkan 

gigitan atau cakaran 

 Situasi Rabies di 

Dunia

Rabies merupakan masalah kesehatan di dunia 

dan bersifat endemis hampir di seluruh benua di 

dunia, kecuali Antartika . Menurut 

WHO (2013b), rabies dilaporkan terjadi di 92 negara 

dan bersifat endemik di 72 negara di antaranya, 

namun hampir seluruh kasus rabies yang dilaporkan 

(95%) terjadi di Asia dan Afrika . Jumlah kasus rabies 

pada manusia rata-rata per tahun di beberapa 

negara di Asia antara lain 20.000 kasus di India, 

2.500 kasus di China, 2.000 kasus di Filipina, 9.000 

kasus di Vietnam dan 168 kasus di negara kita . Oleh 

karena itu, sepuluh negara yang tergabung dalam 

ASEAN (termasuk negara kita ) pada pertemuan 

Menteri Pertanian dan Kehutanan ke 34 pada tahun 

2012 di Laos bersepakat untuk berperang melawan 

rabies dan mendeklarasikan ASEAN bebas rabies 

2020 z

Rabies sebagian besar terjadi pada warga  

pedesaan yang miskin (80%) di mana tingkat 

kesadaran dan akses terhadap fasilitas penanganan 

sangat terbatas (Kementerian Kesehatan 2017; 

WHO 2013b). Lebih dari 15 juta orang terpapar atau 

digigit hewan penular rabies yang terindikasi dari 

jumlah penanganan pasca gigitan dengan vaksin anti 

rabies (VAR) maupun serum anti rabies (SAR). Sekitar 

40% korban gigitan yaitu  anak-anak di bawah usia 

15 tahun. Diperkirakan 55.000 orang meninggal 

dunia karena rabies setiap tahunnya di mana 99% 

kasusnya terjadi akibat gigitan anjing yang terinfeksi 

 rabies dapat terus bersirkulasi di daerah 

endemis di Asia dan Afrika dengan rata-rata tingkat 

kepadatan populasi anjing 4,5 ekor/km2.rabies akan tetap dapat bersirkulasi pada 

daerah dengan rata-rata kepadatan anjing 1,36 ekor/

km2.

  Negara bebas rabies yang 

ditularkan anjing

Rabies merupakan penyakit zoonotik viral yang 

distribusinya tersebar secara global di mana terjadi di 

semua benua, kecuali Benua Antartika ,Beberapa varian virus 

dapat menyerang beberapa jenis inang mamalia dan 

siklusnya dapat terus terjadi di antara populasi anjing 

dan beberapa hewan liar seperti kelelawar, rubah dan 

rakun. Rabies bersifat endemis di beberapa wilayah 

Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Hanya beberapa 

negara yang terbebas dari rabies seperti Jepang, 

Australia, Selandia Baru, Singapura, Islandia, Swedia, 

Norwegia, Swiss, dan Belanda ,

Sebuah negara didefinisikan sebagai negara yang 

bebas dari penyakit rabies jika tidak ada kasus yang 

ditularkan oleh anjing yang terkonfirmasi hasil 

laboratorium, baik pada manusia maupun pada hewan 

lainnya selama 2 tahun. Rabies yang ditularkan oleh 

anjing telah berhasil diberantas dari Eropa Barat, 

Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan beberapa 

negara Amerika Latin. Australia dan beberapa negara 

di Kepulauan Pasifik selalu terbebas dari rabies yang 

ditularkan oleh anjing,

 Negara endemis rabies 

Jumlah kasus rabies pada manusia dan hewan 

telah berhasil dikurangi secara signifikan di wilayah 

Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Di antara 

tahun 2013-2016, kasus rabies hanya dilaporkan 

di beberapa negara seperti Bolivia, Brazil, Republik 

Dominika, Guatemala, Haiti, Honduras, Peru, dan 

Venezuela (  .  

Di Asia, diperkirakan ada  35.172 kematian 

akibat rabies yang ditularkan oleh anjing (59,6% 

dari jumlah kematian global). India tercatat sebagai 

negara dengan jumlah kematian akibat rabies 

terbesar di Asia (59,9%) dan secara global (35%). Di 

Asia Tengah, diperkirakan ada  1.875 kematian 

akibat rabies yang ditularkan oleh anjing dan 

sedangkan di Timur Tengah dilaporkan terjadi 229 

kematian akibat penyakit ini. Di Afrika, diperkirakan 

ada  21.476 kematian akibat rabies yang 

ditularkan oleh anjing (36,4% dari jumlah kematian 

global) (  .

 Rabies dari kelelawar

Walaupun rabies yang ditularkan oleh kelelawar 

merupakan bagian kecil dari kasus pada manusia, 

namun saat ini menyumbang sebagian besar kasus 

pada manusia di Amerika. Di Amerika Utara, hal 

ini dikarenakan kecerendungan sedikitnya jumlah 

orang yang menangani paparan virus setelah 

berkontak dengan kelelawar dibandingkan dengan 

hewan domestik maupun hewan liar lain seperti 

rakun. Di wilayah Afrika, Asia dan Oseania, termasuk 

di negara kita , kasus rabies pada manusia akibat 

berkontak dengan kelelawar sangat jarang terjadi. 

Hal ini dimungkinkan karena adanya kasus yang 

tidak terlaporkan yang dipicu  lemahnya sistem 

surveillans dan karakterisasi virus (  .

 Situasi Rabies di 

negara kita 

Rabies dilaporkan untuk pertama kali di negara kita  

yaitu  sejak tahun 1884 oleh Esser yang menyerang 

seekor kerbau di Jawa Barat. Pada Wilayah yang 

sama kasus rabies pada anjing yang pertama 

dilaporkan oleh Penning pada tahun 1889 dan 5 

tahun kemudian kasus manusia pertama ditemukan 

oleh Eilerts de Haan (Direktorat Kesehatan Hewan 

2007). berdasar  studi retrospektif, wabah rabies 

di negara kita  dimulai pada tahun 1884 di Jawa 

Barat, tahun 1953 di Jawa Tengah, Jawa Timur dan 

Sumatera Barat, kemudian tahun 1956 di Sumatera 

Utara  ,

Rabies masih menjadi masalah klasik pada 25 dari 34 

provinsi di sebagian besar pulau-pulau di negara kita  

dan menjadi salah satu penyakit prioritas nasional 

Beberapa tahun terakhir ini, terjadi penularan 

di daerah baru di negara kita , seperti di Pulau Bali 

yang tertular pada tahun 2008, kemudian Pulau 

Nias tahun 2010, Pulau Larat di Kabupaten Maluku 

Tenggara Barat dan Pulau Kisar dan Daweloor 

Kabupaten Maluku Barat Daya yang terjadi pada 

Tahun 2012, dan yang terakhir yaitu  munculnya 

kembali rabies di Kalimantan Barat pada tahun 2014 

(Direktorat Kesehatan Hewan 2014). 

Pada tahun 2012, jumlah kasus rabies pada manusia 

dilaporkan sebanyak 662, namun kerugian yang 

ditimbulkannya masih dianggap lebih kecil karena 

adanya kasus yang tidak dilaporkan (under-reported) 

Pada tahun 2016, sebanyak 86 

orang meninggal karena rabies di negara kita . Sampai 

dengan akhir tahun 2017, hanya sembilan dari 34 

provinsi di negara kita  yang dinyatakan sebagai daerah 

bebas rabies, di mana lima di antaranya yaitu  bebas 

secara historis (Kepulauan Riau, bangka Belitung, 

Nusa Tenggara Barat, Papua Barat dan Papua), 

sedangkan empat yang lain berhasil dibebaskan (DKI 

Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur) 

(Kementerian Kesehatan 2017). Pada Bulan Maret 

tahun 2019, Provinsi Nusa Tenggara Barat secara 

resmi dideklarasikan tertular oleh penyakit rabies 

2.4 Dampak Rabies

Informasi mengenai beban penyakit secara global 

dipakai  dalam prioritisasi program kesehatan 

warga , terutama sumber daya dalam upaya 

pencegahan penyakit serta menilai dampak dan 

efektivitas program yang dijalankan,

  . Walaupun rabies dapat dicegah 

melalui vaksinasi massal, penyakit ini merupakan 

beban kesehatan warga  di negara berkembang 

yang tidak mempunyai sumber daya teknis dan 

finansial untuk mengendalikan rabies pada populasi 

hewan , Kematian manusia 

akibat rabies secara signifikan tidak terlaporkan 

dengan baik di beberapa wilayah di dunia. Studi 

empiris yang biasa dilakukan dalam memperkirakan 

beban penyakit rabies meliputi survei warga , 

survei autopsi verbal skala besar, surveillans aktif, 

dan pelacakan kontak korban (WHO 2013b; 

  . Metode dalam memperkirakan 

beban penyakit rabies saat ini dilakukan secara 

dan kehilangan produktivitas karena mortalitas dan 

morbiditas (yang diekspresikan sebagai DALYs), 

biaya langsung seperti pemberian VAR dan SAR, 

serta biaya tidak langsung seperti biaya transportasi 

dan kehilangan pendapatan. Kerugian peternakan 

dan biaya surveilans serta tindakan pencegahan 

seperti vaksinasi juga termasuk di dalamnya,

Secara umum dampak rabies yaitu  kehilangan 

nyawa manusia dan hewan, dampak ekonomi, dan 

dampak sosial. berdasar  data yang diperoleh dari 

Direktorat Jenderal P2P (2018), kematian akibat 

rabies di negara kita  dari tahun 2013 sampai dengan 

tahun 2018 tercatat 631 orang. Sedangkan secara 

global, menurut WHO (2013b) dan Knobel D et al. 

(2007), estimasi kasus kematian yang diakibatkan 

rabies bisa mencapai 55,000 per tahunnya. Dengan 

kata lain, setiap tahun korban jiwa akibat rabies lebih 

dari jumlah korban meninggal akibat yellow fever, 

demam berdarah dengue, atau Japanese encephalitis 

(JE), dan lebih dari 7 juta warga  di dunia 

berpotensi tertular virus rabies setiap tahunnya yang 

akan memicu  tingginya permintaan VAR dan 

SAR ,. Sebagian besar kematian 

ini  terjadi di Asia (59,6%) dan di Afrika (36,4%) 

di mana hampir setengah dari kematian manusia 

akibat rabies yang ditularkan melalui gigitan anjing 

di negara endemis rabies terjadi pada anak-anak 

di bawah usia 15 tahun. Hampir 100% kematian 

manusia akibat rabies yang terjadi pada negara-

negara berkembang karena kekurangan sumber 

daya dan kapasitas dalam penyediaan penanganan 

yang cukup pada manusia,

Secara keseluruhan dampak ekonomi yang paling 

besar yaitu  hilangnya produktiftas warga  

dan adanya pembiayaan penggunaan VAR maupun 

SAR yang memicu  kehilangan 1,74 juta DALYs 

(disability-adjusted life year atau tahun hidup dengan 

disabilitas) setiap tahun. Perkiraan biaya tahunan 

akibat rabies yaitu  583,3 juta dollar Amerika yang 

berasal dari banyaknya penggunaan VAR ataupun 

SAR , Jumlah kematian manusia 

akibat rabies secara global karena penularan oleh 

anjing diperkirakan sebanyak 59.000 setiap tahunnya 

yang dihubungkan dengan kehilangan 3,7 juta DALYs. 

Hampir seluruh kerugian (DALYs) terjadi karena 

kematian dini (>99%) dan beberapa kejadian yang 

tidak diinginkan, seperti karena pemberian vaksin 

yang berbasis jaringan syaraf yang masih dilakukan 

(  . Sedangkan secara umum, kerugian 

ekonomi akibat rabies di seluruh dunia diperkirakan 

mencapai 8,6 milyar USD untuk setiap tahunnya 

(setara dengan 129 Triliun Rupiah) , Perkiraan kerugian ekonomi ini 

dihitung berdasar  beban dari penyakit ini , 

yaitu kematian, pembiayaan yang dipicu  karena 

adanya pembiayaan rumah sakit, biaya obat-obatan 

(termasuk vaksin anti rabies dan obat-obatan), serta 

biaya tidak melakukan aktivitas normal. Selain itu 

kerugian ekonomi lainya yang juga diperhitungkan 

yaitu  kerugian akibat biaya upaya pengendalian dan 

pemberantasan,

Kerugian ekonomi rabies secara menyeluruh 

di negara kita  sejauh ini tidak ada yang meng-

dokumentasikan secara ilmiah. Studi ilmiah tentang 

kerugian ekonomi yang dipicu  adanya wabah 

rabies yang ada hanya ada  dibeberapa wilayah 

yaitu di Nusa Tenggara Timur dan Bali.  Dari hasil 

studi yang dilakukan di Nusa Tenggara Timur (NTT), 

kerugian ekonomi secara langsung berdasar  data 

yang diperoleh pada tahun 1998-2007 diperkirakan 

mencapai 14,2 milyar rupiah per tahun .  Sedangkan di Bali sejak tahun 2008-2011 

dari hasil studi yang dilakukan oleh Royal Veterinary 

College (RVC) dan Universitas Glasgow, diperkirakan 

kerugian ekonomi yang dipicu  mencapai 17 

Juta US Dollar (setara dengan 230 Miliar Rupiah) ,

Selain dampak kerugian ekonomi lain yang cukup 

siginifikan yaitu  dampak sosial.  Salah satu bentuk 

dampak sosial yang paling nyata yaitu  adanya 

keresahan warga  yang dipicu  oleh adanya 

wabah rabies.  Angka kematian dan gejala yang 

ditimbulkan rabies terutama pada korban manusia 

menimbulkan dampak sosial dan ekonomi berupa 

keresahan warga , turunnya minat wisatawan 

yang akan berkunjung ke daerah ini  dan 

hilangnya waktu produktif untuk bekerja yang 

dipicu  oleh keresahan yang timbul akibat rabies, 

waktu produktif yang hilang akibat sakit dan juga 

berkurangnya jumlah tenaga kerja akibat jatuhnya 

korban meninggal. Kerugian ekonomi lainnya yang 

cukup signifikan yaitu  biaya yang dipakai  untuk 

penanganan korban gigitan hewan. 


Pemberantasan

Pemberantasan rabies diperlukan mengingat 

secara budaya warga  negara kita  cukup dekat 

dengan hewan, terutama anjing sebagai hewan 

penular utama rabies. Di beberapa wilayah, anjing 

merupakan hewan peliharaan yang sangat dekat 

dengan pemiliknya. Fungsi anjing pada umumnya 

yaitu  sebagai hewan kesayangan, penjaga rumah, 

hewan yang dipakai  untuk berburu, teman 

berlayar, sebagai hadiah/pemberian namun di 

tempat lain anjing bisa dipakai  dalam acara 

keagamaan. Di lain sisi juga ada  beberapa 

wilayah melihat anjing yaitu  komoditas ekonomi 

karena dianggap sebagai hewan ternak ,

Pemberantasan rabies harus dilakukan karena rabies 

memicu  kerugian berupa kematian, kerugian 

ekonomi dan dampak sosial. Rabies, sebagai salah 

satu penyakit tertua yang diketahui oleh manusia, 

Justifikasi dan  

Dasar Pemberantasan  


diperkirakan memicu  kematian lebih dari 

59.000 jiwa setiap tahunnya, atau seseorang 

meninggal karena rabies setiap sembilan menit 

setiap hari, di mana lebih dari 40% di antaranya 

yaitu  anak-anak yang tinggal di Asia dan Afrika. 

Anjing menjadi penanggung jawab penularan 99% 

kasus pada manusia ,

Di negara kita , terjadi 631 kematian karena rabies 

dalam enam tahun terakhir dari tahun 2013 sampai 

2018 (Direktorat Jenderal P2P 2018).

Walaupun rabies merupakan penyakit yang dapat 

memicu  kematian ketika gejalanya sudah 

muncul, namun rabies yaitu  penyakit yang dapat 

dicegah. Karena gigitan anjing yang menularkan 

hampir semua kasus kematian akibat rabies pada 

manusia, sangat dimungkinkan untuk memberantas 

penyakit ini untuk mencegah kematian dengan 

peningkatan kesadaran warga , vaksinasi anjing 

sebagai salah satu upaya mencegah penyakit dari 

sumbernya dan administrasi VAR atau SAR bagi 

seseorang yang telat tergigit anjing.

Rabies merupakan salah satu penyakit tropis yang 

terabaikan. Sebagian besar kasus rabies terjadi di 

Asia dan Afrika. Sekitar 80% kasus kematian pada 

manusia terjadi di daerah pedesaan, di mana lebih 

dari 40% di antaranya yaitu  anak-anak usia di 

bawah 15 tahun. Secara global, beban ekonomi 

rabies diperkirakan sebesar 8,6 milyar US dollar 

setiap tahunnya. Kerugian akibat rabies yang berupa 

kematian dan kerugian ekononi sebagian besar 

dirasakan oleh warga  miskin yang tinggal di 

daerah pedesaan. Korban meninggal akibat rabies 

terus terjadi karena penyakit ini masih belum 

ditangani dengan baik, hal ini karena kesadaran 

warga  yang masih rendah, pengendalian rabies 

pada anjing yang belum optimal, dan keterbatasan 

akses terhadap penanganan pasca gigitan, seperti 

VAR dan SAR ,

Cara paling efektif dalam mengendalikan rabies 

yaitu  dengan melaksanakan vaksinasi massal pada 

populasi anjing. Secara umum, cakupan vaksinasi 

yang direkomendasikan minimal 70% dari populasi 

dan memakai  vaksin dengan kualitas tinggi dan 

menimbulkan kekebalan jangka panjang. Seluruh 

petugas yang berkontak dengan anjing selama 

pelaksanaan vaksinasi harus mendapatkan VAR 


 Dasar dan 

Ruang Lingkup 

Pemberantasan

Dengan melihat dampak yang dipicu  oleh 

penyakit rabies baik yang berupa dampak ekonomi 

ataupun dampak sosial, serta upaya pemerintah 

dalam melakukan program pengendalian rabies 

menuju pemberantasan rabies di seluruh negara kita , 

maka dasar dan ruang lingkup dari Masterplan ini 

disusun dengan fokus sebagai berikut: 

1. Spesies: virus rabies, genus: Lyssavirus, family: 

Rhabdoviridae, ordo: Mononegavirales, 

genus: Lyssavirus

2. Fokus pemberantasan rabies  yaitu  pada 

hewan domestik, terutama pada anjing 

3. Dengan melihat potensi negara negara kita  

sebagai negara kepulauan, maka prinsip 

pemberantasan dilakukan dengan 

pendekatan zona khususnya dengan 

pendekatan pulau. Fokus kegiatan akan 

dilakukan pada provinsi terinfeksi terutama 

yang memicu  kematian tinggi di 

manusia (seperti Pulau Bali, Pulau Nias-

Sumatera Utara, Pulau Flores Lembata-Nusa 

Tenggara Timur, dan Pulau Sumbawa-Nusa 

Tenggara Barat) dan provinsi tertular lainnya

4. Takgit merupakan basis dari upaya 

pemberantasan.  Takgit berfungsi tidak 

hanya sebagai bentuk surveilans berbasis 

risiko akan tetapi juga menjadi basis dalam 

penetapan lokasi program pemberantasan

5. Vaksinasi merupakan strategi utama dalam 

pemberantasan rabies di negara kita 

6. Program pemberantasan rabies dilakukan 

terintegrasi dengan upaya lainnya seperti 

penguatan kelembagaan dan sumber daya 

manusia, penguatan regulasi, komunikasi 

edukasi dan informasi, pengendalian 

populasi anjing, dan peningkatan kesadaran 

warga  untuk lebih bertanggung jawab 

dalam pemeliharaan anjing

7. Pendanaan untuk program pemberantasan 

rabies merupakan tanggung jawab 

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 

dengan alokasi jangka panjang

8. Pemberantasan rabies dilaksanakan dengan 

melibatkan sektor lain, warga  dan 

swasta melalui penerapan prinsip-prinsip 

One Health

Masterplan ini disusun dalam 2 (dua) bagian, yaitu 

bagian pertama merupakan pengembangan rencana 

program pemberantasan rabies secara umum 

dan menyeluruh, dan bagian kedua merupakan 

pengembangan rencana kerja secara rinci. Rencana 

kerja ini juga mencakup keseluruhan sumber 

daya yang diperlukan, peningkatan kapasitas, dan 

pengembangan fasilitas sarana dan infrastruktur, 

termasuk kerangka pembiayaan. Kedua dokumen 

ini tidak hanya dipakai  sebagai acuan nasional 

pemberantasan rabies, akan tetapi juga sebagai 

bentuk advokasi ke pemegang kebijakan dan 

pemangku kepentingan.


3.3 Kerangka Pikir 

Pemberantasan 

Rabies di negara kita 

Kerangka pikir dalam penyusunan Masterplan 

Pemberantasan Rabies disusun atas dasar:

1. Kondisi geografis di negara kita 

2. Kondisi sosial budaya warga  

3. Epidemiologi dan pengetahuan mengenai 

faktor risiko rabies di negara kita  

4. Pembelajaran keberhasilan pemberantasan 

dari daerah/negara lain  

5. Jumlah populasi anjing dan pola pemeliharaan 

anjing di setiap wilayah

6. Ketersediaan infrastruktur dan sumber daya

7. Pendekatan pemberantasan rabies yang 

diakui secara internasional

Untuk keberhasilan program pemberantasan rabies 

perlu ditetapkan keluaran (outcome) yang dapat 

diverifikasi dan diukur dengan parameter tertentu. 

Keluaran yang paling signifikan dalam hal ini yaitu  

sebagai berikut:

1. Menurunnya tingkat insidensi secara 

progresif baik pada hewan ataupun manusia

2. Meningkatnya sensitifitas sistem surveilans 

terutama untuk Takgit

3. Angka kecakupan vaksinasi yang memadai 

(lebih dari 70%)

4. Meningkatnya kesadaran warga  (public 

awareness)

5. Manajemen populasi anjing yang 

berkelanjutan

6. Terlaksananya pengawasan lalu lintas hewan

7. Terlaksananya kerja sama lintas sektor 

dengan baik


Pemberantasan

Kerangka kerja pemberantasan yaitu  sebuah 

konsep yang mendasari program pemberantasan 

rabies di negara kita . Kerangka ini  merupakan 

prinsip pemberantasan rabies di negara kita  yang 

didasarkan pada kondisi dan keunikan spesifik 

masing-masing daerah di negara kita  (local area 

specific). 

Kerangka kerja yang dimaksud yaitu  STOPS 

yang merupakan singkatan dari 5 pilar utama 

yang diperlukan dalam pemberantasan rabies di 

negara kita , yaitu Sosial-Budaya, Teknis, Organisasi, 

Politik, dan Sumber daya 

Strategi  

Pemberantasan Rabies  


 Sosial-Budaya

Aspek sosial budaya merupakan salah satu pilar 

utama dalam pemberantasan rabies.  Program 

pemberantasan rabies melibatkan banyak pemangku 

kepentingan atau stakeholder, termasuk warga  

umum. Aspek sosial budaya menjadi dasar dalam 

mengetahui perbedaan kondisi sosial dan budaya 

di masing-masing daerah yang mempengaruhi 

detail program pemberantasan dan keterlibatan 

warga  dalam program pemberantasan. 

Selain itu aspek sosial dan budaya juga berguna 

dalam mengetahui persepsi warga  tentang 

rabies, intervensi perubahan perilaku, peningkatan 

kesadaran warga  dan cara pemeliharaan anjing 

pada warga  yang berada pada risiko tinggi. 

Menurut ASEAN (2016), pilar ini dapat dipakai  

sebagai dasar untuk kegiatan yang berkaitan dengan:

1. Komunikasi pada upaya pengendalian rabies

2. Kepemilikan anjing yang bertanggung jawab

3. Peningkatan kesadaran warga 

4. Pencegahan dan penanganan kasus gigitan 

anjing

5. Keterlibatan warga  dalam program

 Teknis

Aspek teknis dari masing-masing sistem, terutama 

sistem kesehatan hewan dan kesehatan warga  

harus diperkuat agar pemberantasan rabies dapat 

dilaksanakan secara efektif. Menurut ASEAN 

(2016), aspek ini dapat dipakai  sebagai dasar 

untuk kegiatan yang berkaitan dengan:

1. Vaksinasi

2. Logistik dan infrastruktur

3. Akses terhadap vaksin dan serum anti rabies

4. Kemampuan diagnostik laboratorium

5. Surveilans dan epidemiologi

6. Manajemen populasi anjing

7. Proyek percontohan sebelum implementasi 

yang lebih luas (pembuktian konsep)

8. Monitoring dan pengendalian lalu lintas 

anjing

9. Penelitian 

 Organisasi

Program pemberantasan rabies memerlukan 

pendekatan One Health dengan kerja sama antar-

sektor yang efektif karena melibatkan banyak sektor 

dan dinas, termasuk sektor kesehatan hewan dan 

kesehatan warga . Kepemimpinan, kerja sama 

dan koordinasi diperlukan dalam pelaksanaan 

kegiatan dalam program pemberantasan rabies. 

Menurut ASEAN (2016), pilar ini dapat dipakai  

sebagai dasar untuk kegiatan yang berkaitan dengan:

1. Koordinasi regional, nasional, dan sub-

nasional

2. Koordinasi dan komunikasi lintas sektor dan 

pendekatan One Health

3. Hubungan antara pemerintahan dan sektor 

swasta 

4. Harmonisasi

5. Koordinasi

6. Indikator dan performa

7. Monitoring dan evaluasi

. Politik (Kebijakan dan 

Legislatif)

Keberhasilan program pemberantasan rabies 

ditentukan oleh keadaan dan dukungan politik yang 

mengakui pemberantasan rabies yaitu  kepentingan 

kabupaten, provinsi, nasional, dan global. Menurut 

ASEAN (2016), pilar ini dapat dipakai  sebagai 

dasar untuk kegiatan yang berkaitan dengan:

1. Dukungan politik

2. Legislasi dan pelaksanaannya

3. Dukungan internasional

4. Kerangka kerja legal

5. Keterlibatan regional

 Sumber Daya

Program pemberantasan rabies memerlukan waktu 

bertahun-tahun dan dukungan dana jangka panjang 

untuk keberlanjutannya. Menurut ASEAN (2016), 

pilar ini dapat dipakai  sebagai dasar untuk 

kegiatan yang berkaitan dengan:

1. Mobilisasi sumber daya

2. Investasi 

3. Rencana kerja

4.2 Pendekatan 

Pemberantasan

Pendekatan pemberantasan rabies di negara kita  

memakai  kombinasi dua pendekatan, yaitu 

pendekatan zona yang didasarkan kepada kondisi 

geografis negara kita  sebagai negara kepulauan 

dan pendekatan tahapan yang mengadopsi 

SARE. Oleh karena itu, program pemberantasan 

rabies di negara kita  sering disebut sebagai 

Pemberantasan Rabies Bertahap Seluruh negara kita  

(Prestasnegara kita ). Program ini dirancang untuk 

membuat pemberantasan rabies menjadi suatu 

proses yang progresif. Masing-masing tahapan 

mempunyai indikator dan kegiatan kunci dengan 

tujuan tertentu disesuaikan dengan situasi yang 

terjadi. Faktor internal yang mempengaruhi 

pencapaian hasil yang diharapkan di setiap tahapan 

perlu diidentifikasi untuk dijadikan bahan evaluasi 

bagi pihak berwenang, terutama dalam melakukan 

perbaikan program pemberantasan.

 Pendekatan Zona

Dengan melihat kondisi geografis negara kita  sebagai 

negara kepulauan, pendekatan pembebasan rabies 

yang dilaksanakan di negara kita  yaitu  pendekatan 

zona khususnya pendekatan pulau. Setiap pulau 

akan dilakukan pembebasan dengan fokus kegiatan 

akan dilakukan pertama pada provinsi terinfeksi yang 

memicu  kematian tinggi di manusia (seperti 

Pulau Bali, Pulau Sitaro-Sulawesi Utara, Pulau Nias-

Sumatera Utara dan Pulau Flores Lembata-Nusa 

Tenggara Timur) dan provinsi tertular lainnya.  Untuk 

pulau-pulau yang terdiri dari beberapa wilayah 

administrasi (kabupaten atau provinsi) seperti Pulau 

Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan 

diperlukan adanya upaya pemberantasan yang 

terkoordinasi secara massal dan serentak (Direktorat 

Kesehatan Hewan 2015).

 Pendekatan Tahapan

Pendekatan lain yang dipakai  dalam menerapkan 

kebijakan pemberantasan rabies di negara kita  yaitu  

pendekatan tahapan yang dikembangkan oleh FAO, 

Gambar 3. Peta distribusi kasus rabies pada hewan di negara kita  tahun 2019

WHO, OIE dan GARC pada tahun 2012. Pendekatan 

ini  mengacu kepada 5 (lima) tahapan yaitu 

SARE (Stepwise Approach toward Rabies Elimination) 

(FAO, WHO, OIE, GARC 2012). Setiap tahapan 

dalam SARE memiliki deskripsi situasi penyakit 

hewan yang jelas dengan kondisi yang ingin dicapai 

untuk masuk ke tahap selanjutnya sebagai indikator. 

Selain itu, setiap tahapan disesuaikan dengan status 

masing-masing daerah. Berikut yaitu  penjelasan 

deskripsi singkat dari setiap tahapan. 

Gambar 4. Flow Chart SARE (Stepwise Approach toward Rabies Elimination)

Wilayah tertular

Wilayah bebas


Tata Laksana Gigitan Terpadu 

Takgit yaitu  program minimal yang harus 

dilaksanakan di seluruh daerah tanpa melihat status 

rabies di wilayah ini . Takgit harus diikuti oleh 

strategi lainnya, yaitu respon terhadap hewan suspek 

(4.3.2.3), vaksinasi (4.3.2.1), dan KIE (4.3.1.2).  

Kematian manusia akibat rabies dapat dicegah 

dengan peningkatan akses terhadap pusat kesehatan, 

obat dan vaksin yang terjangkau dan tepat waktu. 

Saat ini, penanganan pasca gigitan dengan VAR 

dan SAR hampir 100% efektif dalam mencegah 

kematian karena rabies (WHO, FAO, OIE, GARC 

2018). Program pengendalian rabies melibatkan 

banyak sektor, termasuk sektor kesehatan hewan 

dan sektor kesehatan warga  yang memerlukan 

implementasi pendekatan One Health (WHO 

2018). Takgit merupakan salah satu implementasi 

pendekatan ini.

Takgit atau integrated bite cases management (IBCM) 

merupakan bentuk koordinasi dan kerja sama teknis 

antara petugas kesehatan dan kesehatan hewan 

dalam melakukan manajemen kasus gigitan dan 

merupakan dasar dari strategi umum pemberantasan 

rabies di negara kita .  Dengan adanya Takgit diharapkan 

setiap kasus gigitan yang dilaporkan kepada petugas 

kesehatan akan ditindaklanjuti dengan investigasi 

lapang sesuai standard oleh petugas kesehatan 

hewan. Dari aktifitas ini diharapkan mendapatkan 

informasi umpan balik bagi petugas kesehatan untuk 

melanjutkan pemberian VAR bagi korban gigitan 

atau menghentikan VAR berdasar  hasil diagnosa 

petugas kesehatan hewan.

Takgit akan berjalan jika ada  pelaporan kasus 

gigitan (surveilans pasif tertarget) dari petugas 

kesehatan manusia (Puskesmas/Dinas Kesehatan) 

ke petugas kesehatan hewan (Dinas Peternakan/

Kesehatan Hewan) dan petugas kesehatan hewan 

memberikan informasi konfirmasi tentang kasus 

hewan suspek terhadap petugas kesehatan manusia 

untuk pemutusan pemberian VAR pada manusia. 

Takgit diharapkan dapat mendeteksi adanya kasus 

melalui pelaporan sehingga akan ada tindak lanjut 

oleh petugas kesehatan hewan terhadap semua 

kasus gigitan berdasar  laporan dari petugas 

kesehatan. 


Berikut yaitu  flow chart dari Takgit:

Gambar 5. Flow Chart tatalaksana kasus gigitan terpadu (Takgit)

Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) Kasus hewan dilaporkan Kasus satwa liar dilaporkan

FASKES (PUSKESMAS)

• Verifikasi kasus

• Pencatatan identitas

dan alamat kasus

• Anamnesa, 

Pemeriksaan dan 

diagnosa awal

• Riwayat penyakit/gigitan

• Penentuan tingkat risiko

gigitan

• Tata laksana (APD, cuci

luka, pemberian VAR, 

SAR dan VAR)

PUSKESWAN / DINAS

• Konfirmasi laporan dan 

kumpulkan anamnesis

• Periksa terhadap

definisi kasus rabies

• Menilai kategori kasus

• Tatalaksana kasus

sesuai dengan kategori

kasus

BKSDA / TN

• Konfirmasi laporan dan 

kumpulkan anamnesis

• Periksa terhadap

definisi kasus rabies

• Tatalaksana kasus

sesuai dengan kategori

kasus

Melaksanakan investigasi

lapang terpadu

• Sejarah kasus: 

Pasien/hewan/satli, Tempat & 

Waktu; Gejala klinis, faktor

risiko

• Diagnosa  sementara & 

Diagnosa  banding

• Laporan investigasi lapang

dikirimkan ke sektor lain

Respon Respon Respon

Risiko rendah

• Cuci luka gigitan

• Koordinasi kegiatan

dengan sector 

kesehatan hewan

dan kesehatan

satwa liar

• Komunikasi, 

informasi, edukasi

(KIE)

Risiko tinggi

• Cuci luka gigitan

• Pasien

mendapatkan VAR 

dan/atau SAR

• Monitoring 

pemberian VAR

• Koordinasi kegiatan

dengan sektor

kesehatan hewan

dan kesehatan

satwa liar

• KIE

Suspek

• Observasi anjing

selama 14 hari

o Jika hidup, 

vaksinasi anjing

ini 

o Jika mati, ambil

sampel (APD)

o Vaksinasi anjing

yang belum

divaksinasi di 

lingkungan sekitar

(jika positif)

• KIE

Suspek tinggi

• Eutanasia hewan

penggigit; 

mengirimkan

sampel ke

laboratorium

samples (APD)

• Disposal karkas

• KIE

• Vaksinasi anjing

yang belum

divaksinasi di 

lingkungan sekitar

(jika positif)

Suspek

• Observasi satwa

selama 14 hari

o Jika hidup, 

vaksinasi satwa

ini 

o Jika mati, ambil

sampel (APD)

o Vaksinasi satwa

yang belum

divaksinasi yang 

memiliki kontak

(jika positif)

• KIE

Suspek tinggi

• Eutanasia hewan

penggigit (kalau

memungkinkan); 

kalua tidak, 

observasi selama

14 hari

• Pengambilan dan 

pengiriman sampel

(APD)

• Disposal karkas

• Vaksinasi satwa

yang berkontak (jika

positif)

• KIE

Respon bersama: KIE terpadu

Monitoring & pelaporan bersama sesuai dengan

protokol masing-masing sektor

Sektor kesehatan warga  Sektor kesehatan hewan Sektor kesehatan satwa liar 3 sektor terintegrasi

Alur kegiatan Komunikasi & koordinasi 3 sektor


Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE)

Masyarakat sebagai mitra pemerintah dan yang 

merupakan penerima manfaat hasil kegiatan program 

pemberantasan rabies merupakan pemangku 

kepentingan paling penting dalam pelaksanaan 

program pemberantasan. Keterlibatan aktif 

warga  dalam implementasi program merupakan 

kunci keberhasilan program pemberantasan rabies. 

Untuk itu diperlukan kegiatan penyadaran yang 

dibuat secara menyeluruh dan tersistem dengan baik 

yang merupakan salah satu bagian inti dari program 

pemberantasan rabies.  

Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yaitu  

salah satu kunci dalam pendekatan komprehensif 

dari program pemberantasan rabies. KIE dapat 

membuka jalan warga  dalam berpartisipasi 

aktif dalam menunjang upaya pemerintah dalam 

program pemberantasan seperti partisipasi aktif 

dalam program vaksinasi, proses pelaporan dini 

dan sikap yang lebih bertanggung jawab terhadap 

anjing bagi pemilik anjing. KIE diperlukan untuk 

memastikan bahwa warga  memahami arti dan 

nilai penting dari program pemberantasan yang 

dilakukan pemerintah dalam pengendalian dan 

pemberantasan Rabies. 

Dalam upaya pemberantasan rabies yang 

komprehensif, KIE sebaiknya dimasukkan ke 

dalam program pemberantasan dan diberikan 

pembiayaan yang memadai. Seringkali KIE dianggap 

sebagai hanya komponen pelengkap dari program 

pemberantasan rabies. Anggapan ini yaitu  salah 

karena KIE memiliki dampak yang besar dalam 

menunjang strategi utama pemberantasan, yaitu 

vaksinasi dan Takgit. Penyadaran, pelibatan dan 

keikutsertaan warga  yang lebih ditingkatkan 

dapat membantu meningkatkan pelaksanaan 

vaksinasi massal, efektivitas biaya dan upaya 

keberlanjutannya, sistem surveilans dan manajemen 

kasus rabies (  . 

Dukungan Regulasi

Pada dasarnya program pemberantasan rabies 

memerlukan dukungan regulasi dan kebijakan 

yang kuat dan jelas. Pemerintah negara kita , c.q. 

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan 

Hewan, Kementerian Pertanian harus menjadikan 

kebijakan pemberantasan sebagai sasaran primer 

dengan status bebas rabies pada 2030 sebagai 

tujuan akhir. Strategi pemberantasan harus dijadikan 

bagian integral dari program pembangunan sektor 

kesehatan hewan secara keseluruhan. Penerapan 

secara penuh dari legislasi yang berlaku saat ini 

sangat diperlukan dalam implementasi program 

pemberantasan rabies, sejalan dengan pengkajian 

ulang secara terus-menerus, dan apabila diperlukan 

dilakukan usulan perubahan dari legislasi ini .

Regulasi diperlukan untuk mendukung strategi lain, 

khususnya terkait dengan pelaksanaan vaksinasi. 

Regulasi ini harus sejalan dan ada dari tingkatan 

Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/

Kota. Regulasi di tingkat Pusat baik dalam bentuk 

Undang-undang, Peraturan Pemerintah secara 

umum dan dalam bentuk Peraturan Menteri 

Pertanian secara khusus harus dijadikan dasar dalam 

penyusunan regulasi-regulasi terkait pengendalian 

dan penanggulangan Rabies ditingkat provinsi dan 

kabupaten/kota.  


Keterlibatan Masyarakat

Keterlibatan warga  yang dapat berasal 

dari organisasi pemburu, pedagang hewan, dan 

warga  umum, termasuk para pemilik hewan 

sangat penting dalam pemberantasan rabies. Agar 

keterlibatan warga  ini  efektif, perlu 

dilakukan KIE kepada petugas atau warga , 

terutama mengenai tanda klinis dari kasus suspek, 

cara pencegahan rabies, cara penanganan luka 

gigitan HPR, cara memperlakukan HPR yang 

menggigit dengan benar, cara pelaporan kasus, serta 

bagaimana menjadi pemilik hewan yang bertanggung 

jawab (Direktorat Kesehatan Hewan 2015). 

 Strategi Teknis 

Lebih dari 95% kasus rabies pada manusia 

ditularkan melalui gigitan anjing, sehingga program 

pengendalian dan pemberantasan rabies pada 

anjing merupakan cara yang paling efektif ( ). Konsep pemberantasan rabies pada hewan 

sudah merupakan suatu keharusan mengingat 

penanganan kasus gigitan rabies pada manusia 

membutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam hal 

penyediaan VAR maupun SAR  Dengan melihat kondisi budaya di negara kita , 

strategi umum pengendalian rabies oleh pemerintah 

akan dilakukan dengan pendekatan spesifik untuk 

setiap daerah (local area spesific (LAS)).  

Vaksinasi

Vaksinasi merupakan strategis teknis utama dalam 

melakukan pemberantasan rabies . Secara prinsip vaksinasi yaitu  

upaya dalam meningkatkan kekebalan dengan cara 

memasukan bibit penyakit yang telah dilemahkan 

atau dimatikan kedalam tubuh untuk menggertak 

kekebalan. Tujuan utama dari vaksinasi rabies yaitu  

melakukan pengebalan pada hewan rentan di suatu 

populasi sehingga terbentuk kekebaan kelompok 

dengan maksud untuk mengurangi laju infeksi di 

dalam populasi rentan ini . 

Pemberantasan yang berpusat pada sumbernya, 

yaitu dengan melaksanakan vaksinasi pada anjing 

membutuhkan biaya yang jauh lebih rendah 

dibandingkan vaksinasi pada manusia, sehingga 

intervensi pada sumbernya dianggap paling efektif 

secara finansial dan memungkinkan keberlanjutan 

dalam mengendalikan rabies ,

Beberapa negara yang sudah memulai program 

vaksinasi anjing dalam rangka memberantas rabies 

telah berhasil mengurangi jumlah kasus penyakit 

ini secara signifikan dan berhasil mengeliminasi 

virus rabies dari wilayahnya. Salah satu wilayah 

yang mempunyai perkembangan yang sangat baik 

yaitu  negara-negara di Amerika Latin, seperti 

Meksiko, Chili, dan Argentina, serta negara-

negara di Kepulauan Karibia di mana telah berhasil 

mengurangi jumlah kasus baik pada hewan maupun 

manusia dengan pelaksanaan vaksinasi massal pada 

anjing (Kementerian Kesehatan 2017; WHO 2013; 

  . 

Perencanaan pelaksanaan vaksinasi massal yang 

baik harus didasarkan pada situasi epidemiologi 

rabies pada daerah target dan pengetahuan ekologi 

anjing – termasuk status kepemilikan anjing (punya 

pemilik dan tidak dilepasliarkan, punya pemilik 

dan lepas liar, anjing warga , dan anjing liar) 

harus didokumentasikan. Pendekatan yang detail 

dan logis untuk dilaksanakan harus dibuat dan 

didokumentasikan. Diperlukan juga kepastian 

tentang dukungan dana, infrastruktur dan kapasitas 

teknis yang cukup dalam melaksanakan program 

vaksinasi. Selain itu, diperlukan juga dokumentasi 

kegiatan monitoring cakupan pascaost-vaksinasi 

dan evaluasi program yang dilaksanakan dengan 

baik (ASEAN 2016). 

Surveilans dan Analisis Epidemiologi

Rabies merupakan salah satu penyakit yang 

terabaikan. Di beberapa negara, data terkait 

dengan rabies sangatlah minim karena program 

pengendalian dan sistem surveilans terhadap 

penyakit ini tidak terorganisir dengan baik. Sistem 

surveilans yang kurang baik, tidak terlaporkannya 

kejadian kasus, seringnya mis-Diagnosa  serta tidak 

adanya koordinasi antar-sektor yang terlibat menjadi 

penyebab utama rendahnya perkiraan total beban 

penyakit (  .

Sebuah negara harus memiliki kapasitas sistem 

surveilans yang baik dalam mendeteksi kasus 

rabies, baik pada hewan maupun pada manusia. 

Surveilans penyakit rabies yaitu  salah satu 

prosedur pemberantasan rabies dalam melakukan 

pendeteksian penyakit secara kontinyu untuk 

Mengapa Vaksinasi yang dianjurkan, bukan eliminasi?

Apa landasan epidemiologi pemberantasan rabies?

1. Angka reproduksi dasar/tingkat penularan baru (R0) merupakan perkiraan jumlah penularan 

sekunder yang diakibatkan oleh satu kali infeksi dalam populasi rentan

2. Untuk mengendalikan dan memberantas penyakit infeksius, R0 harus diturunkan menjadi <1

3. R0 rabies harus diturunkan dari 1-2 menjadi <1 agar dapat diberantas

4. Dengan membuat R0 menjadi <1, jumlah penularan baru akan turun seiring berjalannya waktu, 

yang berakhir dengan hilangnya penyakit ini 

5. Vaksinasi dapat mengurangi R0 menjadi <1 dan memutus rantai penularan

Mengapa vaksinasi anjing dianjurkan dalam pemberantasan rabies?

1. Vaksinasi anjing lebih murah dibandingkan eliminasi anjing ,

2. Vaksinasi mempunyai dampak dalam mengurangi daya penularan dan durasi penularan ,

3. Vaksinasi akan membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) yang dapat mengurangi R0 

(  

Mengapa eliminasi tidak dianjurkan dalam pemberantasan rabies?

1. Pengaruh eliminasi anjing terhadap pemberantasan rabies sangat kecil.

• Virus rabies masih dapat bertahan dengan kepadatan anjing 2 ekor/km2 

• Wabah rabies masih dapat terjadi dengan kepadatan anjing 5 ekor/km2,

2. Menurut pengalaman lapang, eliminasi anjing sering kali dilakukan secara tidak tertarget, 

sehingga sering membuat anjing yang sudah divaksinasi ikut terbunuh.

3. Eliminasi anjing sering mendapatkan pertentangan dari warga  yang memicu  adanya 

resistensi program pemerintah di lapang, termasuk program vaksinasi

mengidentifikasi adanya hewan yang positif 

terinfeksi rabies. Program surveillans pada rabies 

pada dasarnya yaitu  surveilans virus yang 

didasarkan pada kemampuan tangkap (sensitifitas) 

dari implementasi program Takgit (ASEAN 2016). 

Surveilans rabies yaitu  indeks kunci untuk 

keberhasilan setiap program intervensi.  Surveilans 

rabies melibatkan pengumpulan data penting untuk 

(1) mengetahui situasi epidemiologi rabies pada awal 

program, (2) memantau dan mengevaluasi kemajuan 

dan dampak intervensi, (3) mengelola potensi 

terjadinya paparan pada manusia (kasus gigitan) dan 

(4) menghitung efektivitas biaya upaya pengendalian. 

Jika langkah-langkah pengawasan tidak di tempat di 

awal, mereka harus dilaksanakan dengan cepat dan 

strategis. Hal ini penting untuk menekankan bahwa 

pelaporan data yang efisien yaitu  sama pentingnya 

dengan melakukan pengumpulan data, sehingga 

analisis yang tepat waktu dapat dilakukan. Hasil 

analisis data dapat mempengaruhi kebijakan yang 

harus dilakukan selanjutnya seperti deklarasi wabah 

yang memerlukan intervensi segera.

Evaluasi Diagnostik

Rabies merupakan peradangan otak (encephalitis) 

akut yang progresif yang dipicu  oleh lyssavirus. 

Evaluasi diagnostik berdasar  gejala klinis rabies 

pada hewan berdasar  tanda-tanda klinis sangat 

sulit dilakukan, sehingga konfirmasi laboratorium 

melalui FAT (Flurorescent Antibody Test) yaitu  

satu-satunya cara Diagnosa  definitif yang dapat 

diterapkan sebagai golden standard. Setiap negara 

harus mempunyai minimal satu laboratorium 

referensi nasional dengan kapasitas Diagnosa  rabies 

dengan teknis yang direkomendasikan (  .

Evaluasi diagnostik untuk rabies biasa dilakukan 

untuk uji post-mortem terhadap hewan yang 

menggigit manusia atau mempunyai tanda klinis 

rabies yang berisiko terhadap penularannya ke 

warga . Uji ini sangat penting dalam pencegahan 

dan pengendalian rabies, terutama pada manusia. 

Hasil uji diagnostik positif dapat dipakai  sebagai 

dasar pemberian VAR atau SAR pada orang yang 

tergigit sehingga dapat mencegah terjadinya 

infeksi virus. Pada sektor kesehatan hewan, hasil 

uji diagnostik ini dapat menjadi dasar pengambilan 

keputusan pada penanganan populasi anjing, baik 

vaksinasi ataupun euthanasia. Hasil uji negatif dapat 

dipakai  untuk mengurangi penggunaan VAR dan 

SAR yang tidak diperlukan, sehingga dapat dipakai  

untuk meningkatkan efektivitas penggunaan biaya 

program (Trimarchi CV and Nadin-Davis SA 2012).

Nilai penting lainnya dari evaluasi diagnostik ini 

yaitu  data surveilans yang didapatkan dari lapang 

dapat memberikan gambaran kondisi epidemiologi 

rabies di lapang baik pada hewan maupun pada 

manusia. Data ini  sangat penting sebagai 

dasar kebijakan teknis terkait dengan jumlah 

VAR dan SAR yang diperlukan, detail teknis yang 

dilaksanakan untuk para korban gigitan, dan target 

program vaksinasi serta kegiatan lain di wilayah lain 

Respon Cepat dan Penanganan Hewan 

Suspek 

Dalam upaya pemberantas rabies dan keberhasilan 

program vaksinasi, respon cepat terhadap pelaporan 

kasus gigitan dan penangan hewan suspek sangatlah 

penting.  Hewan suspek yang dilaporkan harus 

dapat dikenali dengan benar dan dilanjutkan dengan 

euthanasia secara manusiawi bila menunjukkan 

setidaknya dua gejala klinis yang mengarah pada 

rabies untuk mencegah penderitaan hewan yang 

lebih lanjut dan meminimalkan risiko hewan suspek 

menularkan ke hewan lain atau manusia (WAP 2015).

Hewan suspek yaitu  hewan yang terindikasi 

tertular rabies yang didasarkan pada kasus gigitan 

dan gejala klinis yang terlihat. Hewan dikatakan 

hewan suspek tinggi jika hewan mengalami 

kematian dan atau hewan menunjukkan lebih dari 

dua gejala klinis khas rabies. Hewan-hewan lainnya 

yang ada  dalam satu lingkungan dengan hewan 

suspek tinggi dianggap juga merupakan hewan 

suspek (penyebaran sekunder) dengan anggapan 

hewan-hewan ini  telah terpapar dengan 

hewan suspek tinggi.  Penanganan hewan suspek 

harus dilakukan dengan kehati-hatian yang tinggi 

dan mengganggap semua hewan terindikasi tertular 

oleh rabies ,

Respon cepat terhadap hewan suspek yang 

memperlihatkan gejala klinis rabies sebaiknya yaitu  

euthanasia untuk mengurangi risiko penyebaran ke 

hewan lain ataupun manusia dan konfirmasi kasus. 

Hewan suspek perlu diamati selama maksimal 

14 hari untuk mendeteksi gejala klinis rabies. Jika 

hewan suspek ini  memperlihatkan setidaknya 

dua gejala klinis yang mengarah pada rabies maka 

sebaiknya segera dilakukan euthanasia (penjelasan 

tentang tata cara euthanasia dapat dilihat pada 

Lampiran Program Vaksinasi) dan pengambilan 

sampel otak untuk konfirmasi dengan uji 

laboratorium. Jika hasil laboratoirum menunjukkan 

hasil yang positif, sangat penting untuk segera 

melakukan vaksinasi darurat untuk seluruh desa ,

Setiap pelaporan kasus gigitan perlu dilanjutkan 

dengan investigasi. Hal ini dilakukan untuk 

mengkonfirmasi apakah dari kasus gigitan 

merupakan kasus rabies dan memerlukan 

penanganan cepat pada hewan maupun manusia 

yang terlibat. Dalam proses investigasi penting 

untuk mengetahui keberadaan hewan suspek dan 

jika memungkinkan agar hewan suspek ditangkap. 

Selain itu, perlu dicari korban gigitan lain selain 

korban yang melaporkan untuk memastikan semua 

korban gigitan mendapatkan VAR (WAP 2015).  

Pengawasan Lalu Lintas Hewan

lalu lintas hewan 

merupakan salah satu hal penting di dalam sektor 

kesehatan warga  yang dapat menimbulkan 

kemunculan rabies di wilayah baru atau negara 

lain. Pengawasan lalu lintas baik antar negara, 

pulau, provinsi maupun kabupaten/kota diperlukan 

untuk mencegah keluar dan masuknya rabies dari 

suatu wilayah, terutama dari daerah tertular ke 

daerah bebas. Pengawasan lalu lintas hewan mutlak 

diperlukan. 

Pengawasan lalu lintas yang dilakukan di tempat 

pemasukan dan pengeluaran dari wilayah NKRI dan 

antar pulau dilakukan oleh karantina. Sedangkan 

pengawasan lalu lintas yang dilakukan di tempat 

pemasukan dan pengeluaran wilayah di dalam satu 

pulau di perbatasan antar provinsi (check point) 

dilaksanakan oleh dinas yang membidango fungsi 

peternakan dan kesehatan hewan.

Menurut ASEAN (2016), dengan melihat kondisi 

dan situasi di negara kita  saat ini, adapun hal-hal yang 

perlu dilakukan yaitu :

1. Optimalisasi tindakan karantina khususnya di 

tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran 

resmi

2. Revitalisasi dan optimalisasi check point di 

perbatasan antar provinsi dan kabupaten/

kota

3. Penegakan hukum yang tegas di tempat-

tempat pemasukan dan pengeluaran resmi.

4. Tindakan karantina di tempat keluar 

masuk atau perbatasan dapat dilakukan 

dengan melihat sejarah vaksinasi rabies, 

melakukan pengambilan sampel serum (jika 

diperlukan) dari setiap individu hewan yang 

dilalulintaskan antar area.

5. Karantina dan pengendalian lalu lintas 

ternak menjadi tanggung jawab utama dari 

jajaran karantina hewan namun demikian 

peran serta dinas dan juga warga  juga 

hal penting dalam menunjang pekerjaan dan 

tanggung jawab badan karantina sehingga 

proses pengawasan lalu lintas hewan bisa 

bekerja lebih efektif dan efisien.  

Manajemen Populasi Anjing (MPA)

Populasi anjing merupakan salah satu faktor yang 

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap program 

pengendalian rabies terutama dalam mencapai 

dan mempertahankan cakupan vaksinasi yang 

diperlukan, yaitu 70%. Kapasitas daya dukung hidup 

yang tinggi (high carrying capacities) untuk anjing dan 

tingkat kesuburan anjing yang tinggi mempengaruhi 

pergantian individu (turnover) yang tinggi dalam 

populasi anjing. Kepadatan populasi anjing di suatu 

daerah dengan kemampuan reproduksi lebih dari 2 

kali dalam setahun menunjukkan tingginya kebutuhan 

akan program manajemen populasi anjing (MPA) 

dalam mendukung upaya pengendalian penyakit 

rabies. Pendekatan MPA merupakan perpaduan 

strategi umum dan strategi teknis yang harus 

dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan 

sehingga mempunyai dampak yang besar dan dapat 

menjaga efektivitas program vaksinasi.  

MPA merupakan salah satu isu