rabies 1
AMAF : ASEAN Ministerial Meeting on Agriculture and Forestry
APBD : Anggaran pendapatan dan belanja daerah
APBN : Anggaran pendapatan dan belanja negara
ARES : ASEAN rabies elimination strategy
ASEAN : Association of South East Asia Nations
Bblitvet : Balai Besar Penelitian Veteriner
BBPMSOH : Balai Besar Pengujian Mutu dan Standardisasi Obat Hewan
BBVet/BVet : Balai Besar Veteriner/Balai Veteriner
BNPB : Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPBD : Badan penanggulangan bencana daerah
BTT : Belanja tidak terduga
CDC : U.S. Centers for Disease Control and Prevention
DALYs : disability-adjusted life year atau tahun hidup dengan disabilitas
DKI : Daerah khusus ibukota
DRIT : Direct rapid immunohistochemical test
FAO : Food and Agriculture Organisation
FAT : Flourescent antibody technique
GARC : Global Alliance for Rabies Control
GHPR : Gigitan hewan penular rabies
HPR : Hewan penular rabies
IBCM : Integrated bite cases management
iSIKHNAS : Sistem Kesehatan Hewan Nasional
JE : Japanese encephalitis
Juklak : Petunjuk pelaksanaan
Juknis : Petunjuk teknis
KIE : Komunikasi, informasi, edukasi
KLB : Kejadian luar biasa
LAS : Local area spesific
LDCC : Local disease control center
LSM : Lembaga swadaya warga
MPA : Manajemen populasi anjing
x | ---
NTT : Nusa Tenggara Timur
P2P : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
P3K : Pertolongan pertama pada kecelakaan
PCR : Polymerase chain reaction
PDHI : Perhimpunan Dokter Hewan negara kita
PDSR : Participatory disease surveillance and response
PEP : Post-exposure prophylaxis
Permentan : Peraturan Menteri Pertanian
PHMS : Penyakit hewan menular strategis
Polri : Kepolisian Republik negara kita
PrEP : Pre-exposure prophylaxis
Prestasnegara kita : Pemberantasan Rabies Bertahap Seluruh negara kita
Pusvetma : Pusat Veteriner Farma
OIE : Office International des Epizooties/World Organisation for Animal Health
RIAD : Rabies immunoperoxidase antigen detection
RNA : Ribonucleic acid
SAR : Serum anti rabies
SARE : Stepwise Approach toward Rabies Elimination
Satgas : Satuan tugas
SDM : Sumber daya manusia
Siskeswannas : Sistem kesehatan hewan nasional
SKKH : Surat keterangan kesehatan hewan
SK : Surat keputusan
SOP : Standard operational procedur
SSP : Sistem syaraf pusat
Takgit : Tatalaksana kasus gigitan terpadu
TNI : Tentara Nasional negara kita
UU : Undang-undang
VAR : Vaksin anti rabies
WAP : World Animal Protection
WHO : World Health Organization
WSPA : World Society for the Protection of Animal
---
Rabies telah menjadi ancaman bagi warga
selama berabad-abad , Rabies
atau penyakit anjing gila yaitu penyakit hewan
yang dipicu oleh virus, bersifat akut serta
menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah
panas dan manusia. Rabies merupakan salah satu
zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari
hewan ke manusia ( ). Rabies selalu
memicu kematian apabila gejala klinis telah
muncul, namun penyakit ini dapat dicegah dengan
vaksinasi ( .
negara kita merupakan salah satu negara berkembang
di Asia yang masih berjuang melawan rabies. Rabies
pertama kali dideteksi di negara kita pada hewan
pada tahun 1884, sedangkan pada manusia pada
tahun 1894 ,
Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit
zoonotik penting dan termasuk ke dalam penyakit
hewan menular strategis prioritas di negara kita
karena berdampak terhadap sosial-ekonomi dan
kesehatan warga (Kementerian Kesehatan
2017). Rata-rata, ada kematian 142 orang di
negara kita setiap tahunnya,
Upaya pemberantasan rabies pada sebagian besar
pulau di negara kita belum berhasil dilakukan karena
beberapa alasan. Beberapa di antaranya yaitu
kesulitan dalam melakukan vaksinasi pada anjing liar,
manajemen rantai dingin dan pengiriman vaksin ke
daerah terpencil, adanya perbedaan sosial-budaya
di negara kita , serta kurangnya sumber daya. Belum
berhasilnya pengendalian ini dapat dilihat dari
penyebaran rabies ke pulau-pulau yang sebelumnya
bebas dari penyakit ini dalam beberapa tahun
terakhir, termasuk Pulau Flores (1997), Pulau Bali
(2008), Pulau Nias (2010), dan Pulau Kisar (2012).
Ketiadaan (atau belum diketahuinya) reservoir rabies
dari satwa liar di negara kita menunjukkan bahwa
penyebaran rabies dari pulau ke pulau terjadi melalui
perpindahan dan lalu lintas anjing yang diperantai
oleh manusia ,
Pada tahun 2014, sebagaian besar provinsi di
negara kita (25 dari 34) tertular oleh penyakit
rabies ( . Pada Bulan Maret tahun
2019, Provinsi Nusa Tenggara Barat secara resmi
dideklarasikan tertular oleh penyakit rabies (Menteri
Pertanian 2019). Hal ini menempatkan lebih
dari separuh penduduk negara kita memiliki risiko
terjangkit oleh rabies (Direktorat Kesehatan Hewan
2014). Selain itu, rabies dianggap penting karena
penyakit ini memiliki dampak dengan spektrum
yang luas selain kematian pada manusia dan hewan,
rabies juga memiliki dampak ekonomi yang cukup
signifikan dan juga dampak sosial. berdasar
data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan,
tercatat sekitar 631 orang meninggal dunia akibat
rabies dalam 6 tahun terakhir (Direktorat Jenderal
P2P 2018). Sedangkan untuk dampak ekonomi,
berdasar data yang diperoleh pada tahun 1998-
2007 di Nusa Tenggara Timur saja, dampak ekonomi
langsung diperkirakan mencapai 14,2 milyar rupiah
per tahun ,
Selain risiko dan dampak yang cukup besar, rabies
merupakan penyakit hewan menular strategis
(PHMS) prioritas (Kementerian Pertanian 2013)
yang diamanatkan di dalam undang-undang. Selain
itu negara kita juga memiliki komitmen politik di
tingkat regional ASEAN. Pada tahun 2008, negara kita
dan negara-negara ASEAN lainnya sepakat untuk
melakukan eliminasi peyakit rabies di kawasan
ASEAN. Tujuan baik ini kemudian dituangkan
dalam strategi bersama yang disebut ASEAN Rabies
Elimination Strategy (ARES) – Rabies Free ASEAN by
2020 yang ditetapkan dalam 36th ASEAN Ministerial
Meeting on Agriculture and Forestry (AMAF) di Myanmar
dan 12th ASEAN Health Minister Meeting di Vietnam.
Dalam strategi ini disepakati bahwa target
pemberantasan rabies ditetapkan pada tahun 2020.
Namun pada tingkat global, target pemberantasan
rabies ditentukan menjadi 2030 dengan melihat
kondisi masing-masing negara di masing-masing
regional ,
Berbagai alasan ini yang menjadi dasar
pembuatan masterplan nasional pengendalian
pemberantasan rabies di negara kita ini disusun.
Pembuatan masterplan ini diharapkan dapat menjadi
acuan nasional oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah dan juga pemangku kepentingan lainnya
dalam melakukan pengembangan program
pemberantasan rabies di daerahnya masing-masing.
Dokumen masterplan ini merupakan dokumen
acuan nasional yang disusun dalam bentuk tahapan
sehingga diharapkan dapat dipahami secara
mudah. Dokumen utama dalam masterplan ini
tidak menjelaskan penjelasan teknis yang detail.
Penjelasan teknis lainnya yang mendukung dokumen
masterplan ini seperti prosedur operasional standar
atau standard operational procedure (SOP), pedoman
teknis, dan dokumen pendukung lainnya dimasukkan
ke dalam dalam dokumen ini sebagai lampiran.
1.2 Sasaran
Masterplan Nasional Pemberantasan rabies di
negara kita disusun dengan sasaran mencapai status
negara kita bebas rabies pada tahun 2030 melalui
Program Pemberantasan Rabies Bertahap Seluruh
negara kita (Prestasnegara kita ).
Penetapan sasaran ini didasarkan atas terpenuhinya
seluruh indikator pencapaian yang terverifikasi
dengan memperhatikan asumsi dan pra kondisi yang
menjadi landasan penilaian kemajuan perkembangan
program pemberantasan.
1.3 Tujuan
Masterplan rabies dapat menjadi referensi nasional
dalam pengembangan program pemberantasan
rabies di masing-masing daerah dan sebagai materi
advokasi kepada pemerintah daerah masing-
masing dalam upaya pengembangan program
pemberantasan. Sehingga secara umum tujuan
disusunnya masterplan ini yaitu :
1. Mempertahankan daerah bebas rabies di
negara kita
2. Menurunkan kasus pada anjing dan korban
pada manusia di daerah endemik
3. Memberantas rabies secara bertahap
1.4 Asumsi dan Pra
Kondisi
Keberhasilan pemberantasan rabies bergantung
pada tata pemerintahan veteriner yang baik (good
veterinary governance), kerjasama lintas sektoral,
kesiapan sumberdaya manusia, fasilitas sarana,
material dan infrastruktur dari pusat sampai daerah.
Asumsi dan pra kondisi keberhasilan pemberantasan
rabies:
1. Komitmen dan pendanaan dari pemerintah
pusat dan pemerintah daerah jangka panjang
2. Pelaksanaan tatalaksana kasus gigitan
terpadu (Takgit)
3. Vaksinasi pada anjing memakai vaksin
yang berkualitas dengan cakupan minimal
70% di semua daerah tertular, terutama
dengan risiko tinggi
4. Sumber daya, logistik, dan infrastruktur yang
memadai, terutama kebutuhan vaksin, baik
untuk hewan maupun untuk manusia
5. Program pemberantasan rabies harus
menjangkau daerah terpencil, terutama
daerah dengan risiko tinggi dan daerah
terancam
6. Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE)
dilakukan secara progresif dan terus-
menerus
7. Keterlibatan warga , pihak swasta, dan
pemangku kepentingan lainnya di dalam
program
8. Pembuktian konsep: dimulai dengan
implementasi di daerah percontohan dan
diperluas di wilayah lain
9. Pelaksana program memiliki kapasitas yang
kompeten dan bermotivasi tinggi
10. Pelaksanaan penilaian performa di semua
tingkat pemerintahan
Cara memakai
Dokumen Ini
Dokumen ini terdiri dari 5 Bab. Setiap Bab
yaitu bagian yang saling berkaitan. Setiap Bab
disarankan untuk dibaca menyeluruh sehingga
tidak dipahami secara parsial. Dokumen ini
merepresentasikan rencana utama Kementerian
Pertanian dalam upaya melakukan pemberantasan
rabies. Masterplan ini sebaiknya dijadikan acuan
induk oleh daerah di seluruh negara kita khususnya
dalam pembuatan program di masing-masing
daerah dengan karakteristiknya masing-masing.
Sehingga diharapkan program yang dijalankan oleh
pemerintah pusat dan daerah menjadi selaras dan
berjalan secara menyeluruh.
Rekomendasi atau saran yang diberikan yaitu
bentuk rekomendasi terbaik dalam meningkatkan
keberhasilan upaya pemberantasan rabies secara
maksimal dan komprehensif. Pada dokumen ini
dituliskan daftar istilah yang ditempatkan di bagian
depan pada dokumen ini untuk meningkatkan
pemahaman pembaca terhadap istilah-istilah yang
dipakai dalam dokumen ini.
Rabies dan
Pencegahannya
Rabies merupakan penyakit yang fatal yang
dipicu oleh virus yang menyerang sistem saraf pusat
manusia dan hewan mamalia lain dengan mortalitas
100%
. Virus rabies biasanya ada pada air
liur serta jaringan syaraf (otak dan sel syaraf) hewan
yang tertular rabies
dan biasanya ditularkan melalui
perlukaan dan gigitan hewan yang terinfeksi rabies ,
Gigitan dari hewan yang terinfeksi yaitu rute
yang paling penting dan paling sering terjadi dalam
proses penularan rabies. Virus yang masuk ke
dalam tubuh melalui gigitan akan bereplikasi dalam
otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan
kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan
neuromuskuler dan menyebar sampai ke sistem
syaraf pusat (SSP) Rabies memicu
peradangan pada otak dan memicu kematian
jika gejala sudah terjadi. Setiap tahun, 59.000 orang
meninggal karena rabies di dunia ,
Gejala klinis akan terlihat ketika virus telah bereplikasi
di SSP. Gejala klinis akan terlihat tidak lebih dari 14
hari dan korban atau hewan yang terinfeksi rabies
akan mati ,Gejala rabies pada manusia biasanya
akan muncul beberapa minggu sampai beberapa
bulan, dan bahkan beberapa tahun setelah terjadi
gigitan yang tidak diberikan penanganan yang benar
Kepekaan terhadap infeksi dan masa
inkubasinya bergantung pada latar belakang genetik
inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor
virus pada sel inang, jumlah virus yang masuk,
keparahan luka gigitan, dan jarak lokasi masuknya
virus ke SSP. ada angka fatalitas yang lebih
tinggi dan masa inkubasi yang lebih pendek pada
orang yang digigit pada wajah atau kepala,
Hewan yang terinfeksi rabies dapat berubah menjadi
agresif dan menyerang tanpa provokasi (rabies
ganas) atau berubah menjadi lumpuh dan kesulitan
berjalan karena paralisis sebagian maupun total
(rabies paralisis). Terlihat adanya perubahan perilaku,
hipersalivasi atau mulut berbusa juga dapat terjadi.
Hewan yang terinfeksi rabies tidak dapat dipastikan
hanya dari tanda klinis saja. Satu-satunya cara yang
dapat memastikan bahwa hewan ini tertular
rabies yaitu dengan memeriksakan sampel otak
dari hewan ini ,
Penularan rabies pada manusia biasanya terjadi
karena gigitan hewan yang tertular rabies. Penularan
juga dapat terjadi ketika air liur dari hewan yang
tertular rabies kontak dengan luka baru yang terbuka
atau dengan mata atau permukaan mukosa lain.
Anjing merupakan hewan yang paling sering (99%)
menularkan rabies ke manusia dan hewan lain. Semua
mamalia dapat tertular oleh rabies melalui gigitan
hewan yang terinfeksi rabies. Mamalia kecil seperti
tupai, tikus, mencit, hamster, dan marmut sangat
jarang ditemui tertular rabies. Hewan reptil, amfibi,
ikan, burung, dan serangga tidak tertular rabies
Gigitan hewan harus ditangani dengan cepat
dengan mencucinya dengan sabun dan air mengalir.
Pertolongan medis harus segera didapatkan untuk
memastikan penanganan yang tepat didapatkan.
Hal ini termasuk melihat berapa besar risiko infeksi
dari luka ini dan apakah memerlukan vaksin
anti rabies atau tidak. Sebelum mendapatkan
penanganan lebih lanjut pada orang yang tergigit,
jika memungkinkan harus diperiksa apakah hewan
ini tertular rabies atau tidak. Hewan liar harus
diambil sampelnya dan diperiksa di laboratorium
terkait diagnosa rabies. Anjing dan kucing biasanya
dikandangkan dan diobservasi terlebih dulu selama
14 hari apakah tanda-tanda rabies muncul pada
periode ini . Jika hewan yang menggigit hilang,
keputusan tentang penanganan orang yang tergigit
didasarkan pada asumsi bahwa hewan ini
tertular rabies ,
Rabies dapat dicegah dengan vaksinasi yang
diberikan beberapa saat setelah terjadi gigitan.
ada dua cara penanganan yang dapat diberikan
kepada orang yang tergigit hewan yang diduga
tertular rabies, yaitu dengan pemberian serum anti
rabies (SAR) dan vaksin anti rabies (VAR). SAR terdiri
atas antibodi terhadap rabies dan diberikan satu kali
setelah gigitan, sedangkan VAR merupakan vaksin
rabies yang dimaksudkan untuk mendapatkan
perlindungan jangka panjang terhadap virus dan
diberikan beberapa kali dalam jangka waktu satu
bulan setelah gigitan. Orang yang sudah pernah
mendapatkan VAR lengkap sebelumnya, hanya
membutuhkan dua dosis setelah mendapatkan
gigitan atau cakaran
Situasi Rabies di
Dunia
Rabies merupakan masalah kesehatan di dunia
dan bersifat endemis hampir di seluruh benua di
dunia, kecuali Antartika . Menurut
WHO (2013b), rabies dilaporkan terjadi di 92 negara
dan bersifat endemik di 72 negara di antaranya,
namun hampir seluruh kasus rabies yang dilaporkan
(95%) terjadi di Asia dan Afrika . Jumlah kasus rabies
pada manusia rata-rata per tahun di beberapa
negara di Asia antara lain 20.000 kasus di India,
2.500 kasus di China, 2.000 kasus di Filipina, 9.000
kasus di Vietnam dan 168 kasus di negara kita . Oleh
karena itu, sepuluh negara yang tergabung dalam
ASEAN (termasuk negara kita ) pada pertemuan
Menteri Pertanian dan Kehutanan ke 34 pada tahun
2012 di Laos bersepakat untuk berperang melawan
rabies dan mendeklarasikan ASEAN bebas rabies
2020 z
Rabies sebagian besar terjadi pada warga
pedesaan yang miskin (80%) di mana tingkat
kesadaran dan akses terhadap fasilitas penanganan
sangat terbatas (Kementerian Kesehatan 2017;
WHO 2013b). Lebih dari 15 juta orang terpapar atau
digigit hewan penular rabies yang terindikasi dari
jumlah penanganan pasca gigitan dengan vaksin anti
rabies (VAR) maupun serum anti rabies (SAR). Sekitar
40% korban gigitan yaitu anak-anak di bawah usia
15 tahun. Diperkirakan 55.000 orang meninggal
dunia karena rabies setiap tahunnya di mana 99%
kasusnya terjadi akibat gigitan anjing yang terinfeksi
rabies dapat terus bersirkulasi di daerah
endemis di Asia dan Afrika dengan rata-rata tingkat
kepadatan populasi anjing 4,5 ekor/km2.rabies akan tetap dapat bersirkulasi pada
daerah dengan rata-rata kepadatan anjing 1,36 ekor/
km2.
Negara bebas rabies yang
ditularkan anjing
Rabies merupakan penyakit zoonotik viral yang
distribusinya tersebar secara global di mana terjadi di
semua benua, kecuali Benua Antartika ,Beberapa varian virus
dapat menyerang beberapa jenis inang mamalia dan
siklusnya dapat terus terjadi di antara populasi anjing
dan beberapa hewan liar seperti kelelawar, rubah dan
rakun. Rabies bersifat endemis di beberapa wilayah
Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Hanya beberapa
negara yang terbebas dari rabies seperti Jepang,
Australia, Selandia Baru, Singapura, Islandia, Swedia,
Norwegia, Swiss, dan Belanda ,
Sebuah negara didefinisikan sebagai negara yang
bebas dari penyakit rabies jika tidak ada kasus yang
ditularkan oleh anjing yang terkonfirmasi hasil
laboratorium, baik pada manusia maupun pada hewan
lainnya selama 2 tahun. Rabies yang ditularkan oleh
anjing telah berhasil diberantas dari Eropa Barat,
Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan beberapa
negara Amerika Latin. Australia dan beberapa negara
di Kepulauan Pasifik selalu terbebas dari rabies yang
ditularkan oleh anjing,
Negara endemis rabies
Jumlah kasus rabies pada manusia dan hewan
telah berhasil dikurangi secara signifikan di wilayah
Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Di antara
tahun 2013-2016, kasus rabies hanya dilaporkan
di beberapa negara seperti Bolivia, Brazil, Republik
Dominika, Guatemala, Haiti, Honduras, Peru, dan
Venezuela ( .
Di Asia, diperkirakan ada 35.172 kematian
akibat rabies yang ditularkan oleh anjing (59,6%
dari jumlah kematian global). India tercatat sebagai
negara dengan jumlah kematian akibat rabies
terbesar di Asia (59,9%) dan secara global (35%). Di
Asia Tengah, diperkirakan ada 1.875 kematian
akibat rabies yang ditularkan oleh anjing dan
sedangkan di Timur Tengah dilaporkan terjadi 229
kematian akibat penyakit ini. Di Afrika, diperkirakan
ada 21.476 kematian akibat rabies yang
ditularkan oleh anjing (36,4% dari jumlah kematian
global) ( .
Rabies dari kelelawar
Walaupun rabies yang ditularkan oleh kelelawar
merupakan bagian kecil dari kasus pada manusia,
namun saat ini menyumbang sebagian besar kasus
pada manusia di Amerika. Di Amerika Utara, hal
ini dikarenakan kecerendungan sedikitnya jumlah
orang yang menangani paparan virus setelah
berkontak dengan kelelawar dibandingkan dengan
hewan domestik maupun hewan liar lain seperti
rakun. Di wilayah Afrika, Asia dan Oseania, termasuk
di negara kita , kasus rabies pada manusia akibat
berkontak dengan kelelawar sangat jarang terjadi.
Hal ini dimungkinkan karena adanya kasus yang
tidak terlaporkan yang dipicu lemahnya sistem
surveillans dan karakterisasi virus ( .
Situasi Rabies di
negara kita
Rabies dilaporkan untuk pertama kali di negara kita
yaitu sejak tahun 1884 oleh Esser yang menyerang
seekor kerbau di Jawa Barat. Pada Wilayah yang
sama kasus rabies pada anjing yang pertama
dilaporkan oleh Penning pada tahun 1889 dan 5
tahun kemudian kasus manusia pertama ditemukan
oleh Eilerts de Haan (Direktorat Kesehatan Hewan
2007). berdasar studi retrospektif, wabah rabies
di negara kita dimulai pada tahun 1884 di Jawa
Barat, tahun 1953 di Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Sumatera Barat, kemudian tahun 1956 di Sumatera
Utara ,
Rabies masih menjadi masalah klasik pada 25 dari 34
provinsi di sebagian besar pulau-pulau di negara kita
dan menjadi salah satu penyakit prioritas nasional
Beberapa tahun terakhir ini, terjadi penularan
di daerah baru di negara kita , seperti di Pulau Bali
yang tertular pada tahun 2008, kemudian Pulau
Nias tahun 2010, Pulau Larat di Kabupaten Maluku
Tenggara Barat dan Pulau Kisar dan Daweloor
Kabupaten Maluku Barat Daya yang terjadi pada
Tahun 2012, dan yang terakhir yaitu munculnya
kembali rabies di Kalimantan Barat pada tahun 2014
(Direktorat Kesehatan Hewan 2014).
Pada tahun 2012, jumlah kasus rabies pada manusia
dilaporkan sebanyak 662, namun kerugian yang
ditimbulkannya masih dianggap lebih kecil karena
adanya kasus yang tidak dilaporkan (under-reported)
Pada tahun 2016, sebanyak 86
orang meninggal karena rabies di negara kita . Sampai
dengan akhir tahun 2017, hanya sembilan dari 34
provinsi di negara kita yang dinyatakan sebagai daerah
bebas rabies, di mana lima di antaranya yaitu bebas
secara historis (Kepulauan Riau, bangka Belitung,
Nusa Tenggara Barat, Papua Barat dan Papua),
sedangkan empat yang lain berhasil dibebaskan (DKI
Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur)
(Kementerian Kesehatan 2017). Pada Bulan Maret
tahun 2019, Provinsi Nusa Tenggara Barat secara
resmi dideklarasikan tertular oleh penyakit rabies
2.4 Dampak Rabies
Informasi mengenai beban penyakit secara global
dipakai dalam prioritisasi program kesehatan
warga , terutama sumber daya dalam upaya
pencegahan penyakit serta menilai dampak dan
efektivitas program yang dijalankan,
. Walaupun rabies dapat dicegah
melalui vaksinasi massal, penyakit ini merupakan
beban kesehatan warga di negara berkembang
yang tidak mempunyai sumber daya teknis dan
finansial untuk mengendalikan rabies pada populasi
hewan , Kematian manusia
akibat rabies secara signifikan tidak terlaporkan
dengan baik di beberapa wilayah di dunia. Studi
empiris yang biasa dilakukan dalam memperkirakan
beban penyakit rabies meliputi survei warga ,
survei autopsi verbal skala besar, surveillans aktif,
dan pelacakan kontak korban (WHO 2013b;
. Metode dalam memperkirakan
beban penyakit rabies saat ini dilakukan secara
dan kehilangan produktivitas karena mortalitas dan
morbiditas (yang diekspresikan sebagai DALYs),
biaya langsung seperti pemberian VAR dan SAR,
serta biaya tidak langsung seperti biaya transportasi
dan kehilangan pendapatan. Kerugian peternakan
dan biaya surveilans serta tindakan pencegahan
seperti vaksinasi juga termasuk di dalamnya,
Secara umum dampak rabies yaitu kehilangan
nyawa manusia dan hewan, dampak ekonomi, dan
dampak sosial. berdasar data yang diperoleh dari
Direktorat Jenderal P2P (2018), kematian akibat
rabies di negara kita dari tahun 2013 sampai dengan
tahun 2018 tercatat 631 orang. Sedangkan secara
global, menurut WHO (2013b) dan Knobel D et al.
(2007), estimasi kasus kematian yang diakibatkan
rabies bisa mencapai 55,000 per tahunnya. Dengan
kata lain, setiap tahun korban jiwa akibat rabies lebih
dari jumlah korban meninggal akibat yellow fever,
demam berdarah dengue, atau Japanese encephalitis
(JE), dan lebih dari 7 juta warga di dunia
berpotensi tertular virus rabies setiap tahunnya yang
akan memicu tingginya permintaan VAR dan
SAR ,. Sebagian besar kematian
ini terjadi di Asia (59,6%) dan di Afrika (36,4%)
di mana hampir setengah dari kematian manusia
akibat rabies yang ditularkan melalui gigitan anjing
di negara endemis rabies terjadi pada anak-anak
di bawah usia 15 tahun. Hampir 100% kematian
manusia akibat rabies yang terjadi pada negara-
negara berkembang karena kekurangan sumber
daya dan kapasitas dalam penyediaan penanganan
yang cukup pada manusia,
Secara keseluruhan dampak ekonomi yang paling
besar yaitu hilangnya produktiftas warga
dan adanya pembiayaan penggunaan VAR maupun
SAR yang memicu kehilangan 1,74 juta DALYs
(disability-adjusted life year atau tahun hidup dengan
disabilitas) setiap tahun. Perkiraan biaya tahunan
akibat rabies yaitu 583,3 juta dollar Amerika yang
berasal dari banyaknya penggunaan VAR ataupun
SAR , Jumlah kematian manusia
akibat rabies secara global karena penularan oleh
anjing diperkirakan sebanyak 59.000 setiap tahunnya
yang dihubungkan dengan kehilangan 3,7 juta DALYs.
Hampir seluruh kerugian (DALYs) terjadi karena
kematian dini (>99%) dan beberapa kejadian yang
tidak diinginkan, seperti karena pemberian vaksin
yang berbasis jaringan syaraf yang masih dilakukan
( . Sedangkan secara umum, kerugian
ekonomi akibat rabies di seluruh dunia diperkirakan
mencapai 8,6 milyar USD untuk setiap tahunnya
(setara dengan 129 Triliun Rupiah) , Perkiraan kerugian ekonomi ini
dihitung berdasar beban dari penyakit ini ,
yaitu kematian, pembiayaan yang dipicu karena
adanya pembiayaan rumah sakit, biaya obat-obatan
(termasuk vaksin anti rabies dan obat-obatan), serta
biaya tidak melakukan aktivitas normal. Selain itu
kerugian ekonomi lainya yang juga diperhitungkan
yaitu kerugian akibat biaya upaya pengendalian dan
pemberantasan,
Kerugian ekonomi rabies secara menyeluruh
di negara kita sejauh ini tidak ada yang meng-
dokumentasikan secara ilmiah. Studi ilmiah tentang
kerugian ekonomi yang dipicu adanya wabah
rabies yang ada hanya ada dibeberapa wilayah
yaitu di Nusa Tenggara Timur dan Bali. Dari hasil
studi yang dilakukan di Nusa Tenggara Timur (NTT),
kerugian ekonomi secara langsung berdasar data
yang diperoleh pada tahun 1998-2007 diperkirakan
mencapai 14,2 milyar rupiah per tahun . Sedangkan di Bali sejak tahun 2008-2011
dari hasil studi yang dilakukan oleh Royal Veterinary
College (RVC) dan Universitas Glasgow, diperkirakan
kerugian ekonomi yang dipicu mencapai 17
Juta US Dollar (setara dengan 230 Miliar Rupiah) ,
Selain dampak kerugian ekonomi lain yang cukup
siginifikan yaitu dampak sosial. Salah satu bentuk
dampak sosial yang paling nyata yaitu adanya
keresahan warga yang dipicu oleh adanya
wabah rabies. Angka kematian dan gejala yang
ditimbulkan rabies terutama pada korban manusia
menimbulkan dampak sosial dan ekonomi berupa
keresahan warga , turunnya minat wisatawan
yang akan berkunjung ke daerah ini dan
hilangnya waktu produktif untuk bekerja yang
dipicu oleh keresahan yang timbul akibat rabies,
waktu produktif yang hilang akibat sakit dan juga
berkurangnya jumlah tenaga kerja akibat jatuhnya
korban meninggal. Kerugian ekonomi lainnya yang
cukup signifikan yaitu biaya yang dipakai untuk
penanganan korban gigitan hewan.
Pemberantasan
Pemberantasan rabies diperlukan mengingat
secara budaya warga negara kita cukup dekat
dengan hewan, terutama anjing sebagai hewan
penular utama rabies. Di beberapa wilayah, anjing
merupakan hewan peliharaan yang sangat dekat
dengan pemiliknya. Fungsi anjing pada umumnya
yaitu sebagai hewan kesayangan, penjaga rumah,
hewan yang dipakai untuk berburu, teman
berlayar, sebagai hadiah/pemberian namun di
tempat lain anjing bisa dipakai dalam acara
keagamaan. Di lain sisi juga ada beberapa
wilayah melihat anjing yaitu komoditas ekonomi
karena dianggap sebagai hewan ternak ,
Pemberantasan rabies harus dilakukan karena rabies
memicu kerugian berupa kematian, kerugian
ekonomi dan dampak sosial. Rabies, sebagai salah
satu penyakit tertua yang diketahui oleh manusia,
Justifikasi dan
Dasar Pemberantasan
diperkirakan memicu kematian lebih dari
59.000 jiwa setiap tahunnya, atau seseorang
meninggal karena rabies setiap sembilan menit
setiap hari, di mana lebih dari 40% di antaranya
yaitu anak-anak yang tinggal di Asia dan Afrika.
Anjing menjadi penanggung jawab penularan 99%
kasus pada manusia ,
Di negara kita , terjadi 631 kematian karena rabies
dalam enam tahun terakhir dari tahun 2013 sampai
2018 (Direktorat Jenderal P2P 2018).
Walaupun rabies merupakan penyakit yang dapat
memicu kematian ketika gejalanya sudah
muncul, namun rabies yaitu penyakit yang dapat
dicegah. Karena gigitan anjing yang menularkan
hampir semua kasus kematian akibat rabies pada
manusia, sangat dimungkinkan untuk memberantas
penyakit ini untuk mencegah kematian dengan
peningkatan kesadaran warga , vaksinasi anjing
sebagai salah satu upaya mencegah penyakit dari
sumbernya dan administrasi VAR atau SAR bagi
seseorang yang telat tergigit anjing.
Rabies merupakan salah satu penyakit tropis yang
terabaikan. Sebagian besar kasus rabies terjadi di
Asia dan Afrika. Sekitar 80% kasus kematian pada
manusia terjadi di daerah pedesaan, di mana lebih
dari 40% di antaranya yaitu anak-anak usia di
bawah 15 tahun. Secara global, beban ekonomi
rabies diperkirakan sebesar 8,6 milyar US dollar
setiap tahunnya. Kerugian akibat rabies yang berupa
kematian dan kerugian ekononi sebagian besar
dirasakan oleh warga miskin yang tinggal di
daerah pedesaan. Korban meninggal akibat rabies
terus terjadi karena penyakit ini masih belum
ditangani dengan baik, hal ini karena kesadaran
warga yang masih rendah, pengendalian rabies
pada anjing yang belum optimal, dan keterbatasan
akses terhadap penanganan pasca gigitan, seperti
VAR dan SAR ,
Cara paling efektif dalam mengendalikan rabies
yaitu dengan melaksanakan vaksinasi massal pada
populasi anjing. Secara umum, cakupan vaksinasi
yang direkomendasikan minimal 70% dari populasi
dan memakai vaksin dengan kualitas tinggi dan
menimbulkan kekebalan jangka panjang. Seluruh
petugas yang berkontak dengan anjing selama
pelaksanaan vaksinasi harus mendapatkan VAR
Dasar dan
Ruang Lingkup
Pemberantasan
Dengan melihat dampak yang dipicu oleh
penyakit rabies baik yang berupa dampak ekonomi
ataupun dampak sosial, serta upaya pemerintah
dalam melakukan program pengendalian rabies
menuju pemberantasan rabies di seluruh negara kita ,
maka dasar dan ruang lingkup dari Masterplan ini
disusun dengan fokus sebagai berikut:
1. Spesies: virus rabies, genus: Lyssavirus, family:
Rhabdoviridae, ordo: Mononegavirales,
genus: Lyssavirus
2. Fokus pemberantasan rabies yaitu pada
hewan domestik, terutama pada anjing
3. Dengan melihat potensi negara negara kita
sebagai negara kepulauan, maka prinsip
pemberantasan dilakukan dengan
pendekatan zona khususnya dengan
pendekatan pulau. Fokus kegiatan akan
dilakukan pada provinsi terinfeksi terutama
yang memicu kematian tinggi di
manusia (seperti Pulau Bali, Pulau Nias-
Sumatera Utara, Pulau Flores Lembata-Nusa
Tenggara Timur, dan Pulau Sumbawa-Nusa
Tenggara Barat) dan provinsi tertular lainnya
4. Takgit merupakan basis dari upaya
pemberantasan. Takgit berfungsi tidak
hanya sebagai bentuk surveilans berbasis
risiko akan tetapi juga menjadi basis dalam
penetapan lokasi program pemberantasan
5. Vaksinasi merupakan strategi utama dalam
pemberantasan rabies di negara kita
6. Program pemberantasan rabies dilakukan
terintegrasi dengan upaya lainnya seperti
penguatan kelembagaan dan sumber daya
manusia, penguatan regulasi, komunikasi
edukasi dan informasi, pengendalian
populasi anjing, dan peningkatan kesadaran
warga untuk lebih bertanggung jawab
dalam pemeliharaan anjing
7. Pendanaan untuk program pemberantasan
rabies merupakan tanggung jawab
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dengan alokasi jangka panjang
8. Pemberantasan rabies dilaksanakan dengan
melibatkan sektor lain, warga dan
swasta melalui penerapan prinsip-prinsip
One Health
Masterplan ini disusun dalam 2 (dua) bagian, yaitu
bagian pertama merupakan pengembangan rencana
program pemberantasan rabies secara umum
dan menyeluruh, dan bagian kedua merupakan
pengembangan rencana kerja secara rinci. Rencana
kerja ini juga mencakup keseluruhan sumber
daya yang diperlukan, peningkatan kapasitas, dan
pengembangan fasilitas sarana dan infrastruktur,
termasuk kerangka pembiayaan. Kedua dokumen
ini tidak hanya dipakai sebagai acuan nasional
pemberantasan rabies, akan tetapi juga sebagai
bentuk advokasi ke pemegang kebijakan dan
pemangku kepentingan.
3.3 Kerangka Pikir
Pemberantasan
Rabies di negara kita
Kerangka pikir dalam penyusunan Masterplan
Pemberantasan Rabies disusun atas dasar:
1. Kondisi geografis di negara kita
2. Kondisi sosial budaya warga
3. Epidemiologi dan pengetahuan mengenai
faktor risiko rabies di negara kita
4. Pembelajaran keberhasilan pemberantasan
dari daerah/negara lain
5. Jumlah populasi anjing dan pola pemeliharaan
anjing di setiap wilayah
6. Ketersediaan infrastruktur dan sumber daya
7. Pendekatan pemberantasan rabies yang
diakui secara internasional
Untuk keberhasilan program pemberantasan rabies
perlu ditetapkan keluaran (outcome) yang dapat
diverifikasi dan diukur dengan parameter tertentu.
Keluaran yang paling signifikan dalam hal ini yaitu
sebagai berikut:
1. Menurunnya tingkat insidensi secara
progresif baik pada hewan ataupun manusia
2. Meningkatnya sensitifitas sistem surveilans
terutama untuk Takgit
3. Angka kecakupan vaksinasi yang memadai
(lebih dari 70%)
4. Meningkatnya kesadaran warga (public
awareness)
5. Manajemen populasi anjing yang
berkelanjutan
6. Terlaksananya pengawasan lalu lintas hewan
7. Terlaksananya kerja sama lintas sektor
dengan baik
Pemberantasan
Kerangka kerja pemberantasan yaitu sebuah
konsep yang mendasari program pemberantasan
rabies di negara kita . Kerangka ini merupakan
prinsip pemberantasan rabies di negara kita yang
didasarkan pada kondisi dan keunikan spesifik
masing-masing daerah di negara kita (local area
specific).
Kerangka kerja yang dimaksud yaitu STOPS
yang merupakan singkatan dari 5 pilar utama
yang diperlukan dalam pemberantasan rabies di
negara kita , yaitu Sosial-Budaya, Teknis, Organisasi,
Politik, dan Sumber daya
Strategi
Pemberantasan Rabies
Sosial-Budaya
Aspek sosial budaya merupakan salah satu pilar
utama dalam pemberantasan rabies. Program
pemberantasan rabies melibatkan banyak pemangku
kepentingan atau stakeholder, termasuk warga
umum. Aspek sosial budaya menjadi dasar dalam
mengetahui perbedaan kondisi sosial dan budaya
di masing-masing daerah yang mempengaruhi
detail program pemberantasan dan keterlibatan
warga dalam program pemberantasan.
Selain itu aspek sosial dan budaya juga berguna
dalam mengetahui persepsi warga tentang
rabies, intervensi perubahan perilaku, peningkatan
kesadaran warga dan cara pemeliharaan anjing
pada warga yang berada pada risiko tinggi.
Menurut ASEAN (2016), pilar ini dapat dipakai
sebagai dasar untuk kegiatan yang berkaitan dengan:
1. Komunikasi pada upaya pengendalian rabies
2. Kepemilikan anjing yang bertanggung jawab
3. Peningkatan kesadaran warga
4. Pencegahan dan penanganan kasus gigitan
anjing
5. Keterlibatan warga dalam program
Teknis
Aspek teknis dari masing-masing sistem, terutama
sistem kesehatan hewan dan kesehatan warga
harus diperkuat agar pemberantasan rabies dapat
dilaksanakan secara efektif. Menurut ASEAN
(2016), aspek ini dapat dipakai sebagai dasar
untuk kegiatan yang berkaitan dengan:
1. Vaksinasi
2. Logistik dan infrastruktur
3. Akses terhadap vaksin dan serum anti rabies
4. Kemampuan diagnostik laboratorium
5. Surveilans dan epidemiologi
6. Manajemen populasi anjing
7. Proyek percontohan sebelum implementasi
yang lebih luas (pembuktian konsep)
8. Monitoring dan pengendalian lalu lintas
anjing
9. Penelitian
Organisasi
Program pemberantasan rabies memerlukan
pendekatan One Health dengan kerja sama antar-
sektor yang efektif karena melibatkan banyak sektor
dan dinas, termasuk sektor kesehatan hewan dan
kesehatan warga . Kepemimpinan, kerja sama
dan koordinasi diperlukan dalam pelaksanaan
kegiatan dalam program pemberantasan rabies.
Menurut ASEAN (2016), pilar ini dapat dipakai
sebagai dasar untuk kegiatan yang berkaitan dengan:
1. Koordinasi regional, nasional, dan sub-
nasional
2. Koordinasi dan komunikasi lintas sektor dan
pendekatan One Health
3. Hubungan antara pemerintahan dan sektor
swasta
4. Harmonisasi
5. Koordinasi
6. Indikator dan performa
7. Monitoring dan evaluasi
. Politik (Kebijakan dan
Legislatif)
Keberhasilan program pemberantasan rabies
ditentukan oleh keadaan dan dukungan politik yang
mengakui pemberantasan rabies yaitu kepentingan
kabupaten, provinsi, nasional, dan global. Menurut
ASEAN (2016), pilar ini dapat dipakai sebagai
dasar untuk kegiatan yang berkaitan dengan:
1. Dukungan politik
2. Legislasi dan pelaksanaannya
3. Dukungan internasional
4. Kerangka kerja legal
5. Keterlibatan regional
Sumber Daya
Program pemberantasan rabies memerlukan waktu
bertahun-tahun dan dukungan dana jangka panjang
untuk keberlanjutannya. Menurut ASEAN (2016),
pilar ini dapat dipakai sebagai dasar untuk
kegiatan yang berkaitan dengan:
1. Mobilisasi sumber daya
2. Investasi
3. Rencana kerja
4.2 Pendekatan
Pemberantasan
Pendekatan pemberantasan rabies di negara kita
memakai kombinasi dua pendekatan, yaitu
pendekatan zona yang didasarkan kepada kondisi
geografis negara kita sebagai negara kepulauan
dan pendekatan tahapan yang mengadopsi
SARE. Oleh karena itu, program pemberantasan
rabies di negara kita sering disebut sebagai
Pemberantasan Rabies Bertahap Seluruh negara kita
(Prestasnegara kita ). Program ini dirancang untuk
membuat pemberantasan rabies menjadi suatu
proses yang progresif. Masing-masing tahapan
mempunyai indikator dan kegiatan kunci dengan
tujuan tertentu disesuaikan dengan situasi yang
terjadi. Faktor internal yang mempengaruhi
pencapaian hasil yang diharapkan di setiap tahapan
perlu diidentifikasi untuk dijadikan bahan evaluasi
bagi pihak berwenang, terutama dalam melakukan
perbaikan program pemberantasan.
Pendekatan Zona
Dengan melihat kondisi geografis negara kita sebagai
negara kepulauan, pendekatan pembebasan rabies
yang dilaksanakan di negara kita yaitu pendekatan
zona khususnya pendekatan pulau. Setiap pulau
akan dilakukan pembebasan dengan fokus kegiatan
akan dilakukan pertama pada provinsi terinfeksi yang
memicu kematian tinggi di manusia (seperti
Pulau Bali, Pulau Sitaro-Sulawesi Utara, Pulau Nias-
Sumatera Utara dan Pulau Flores Lembata-Nusa
Tenggara Timur) dan provinsi tertular lainnya. Untuk
pulau-pulau yang terdiri dari beberapa wilayah
administrasi (kabupaten atau provinsi) seperti Pulau
Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan
diperlukan adanya upaya pemberantasan yang
terkoordinasi secara massal dan serentak (Direktorat
Kesehatan Hewan 2015).
Pendekatan Tahapan
Pendekatan lain yang dipakai dalam menerapkan
kebijakan pemberantasan rabies di negara kita yaitu
pendekatan tahapan yang dikembangkan oleh FAO,
Gambar 3. Peta distribusi kasus rabies pada hewan di negara kita tahun 2019
WHO, OIE dan GARC pada tahun 2012. Pendekatan
ini mengacu kepada 5 (lima) tahapan yaitu
SARE (Stepwise Approach toward Rabies Elimination)
(FAO, WHO, OIE, GARC 2012). Setiap tahapan
dalam SARE memiliki deskripsi situasi penyakit
hewan yang jelas dengan kondisi yang ingin dicapai
untuk masuk ke tahap selanjutnya sebagai indikator.
Selain itu, setiap tahapan disesuaikan dengan status
masing-masing daerah. Berikut yaitu penjelasan
deskripsi singkat dari setiap tahapan.
Gambar 4. Flow Chart SARE (Stepwise Approach toward Rabies Elimination)
Wilayah tertular
Wilayah bebas
Tata Laksana Gigitan Terpadu
Takgit yaitu program minimal yang harus
dilaksanakan di seluruh daerah tanpa melihat status
rabies di wilayah ini . Takgit harus diikuti oleh
strategi lainnya, yaitu respon terhadap hewan suspek
(4.3.2.3), vaksinasi (4.3.2.1), dan KIE (4.3.1.2).
Kematian manusia akibat rabies dapat dicegah
dengan peningkatan akses terhadap pusat kesehatan,
obat dan vaksin yang terjangkau dan tepat waktu.
Saat ini, penanganan pasca gigitan dengan VAR
dan SAR hampir 100% efektif dalam mencegah
kematian karena rabies (WHO, FAO, OIE, GARC
2018). Program pengendalian rabies melibatkan
banyak sektor, termasuk sektor kesehatan hewan
dan sektor kesehatan warga yang memerlukan
implementasi pendekatan One Health (WHO
2018). Takgit merupakan salah satu implementasi
pendekatan ini.
Takgit atau integrated bite cases management (IBCM)
merupakan bentuk koordinasi dan kerja sama teknis
antara petugas kesehatan dan kesehatan hewan
dalam melakukan manajemen kasus gigitan dan
merupakan dasar dari strategi umum pemberantasan
rabies di negara kita . Dengan adanya Takgit diharapkan
setiap kasus gigitan yang dilaporkan kepada petugas
kesehatan akan ditindaklanjuti dengan investigasi
lapang sesuai standard oleh petugas kesehatan
hewan. Dari aktifitas ini diharapkan mendapatkan
informasi umpan balik bagi petugas kesehatan untuk
melanjutkan pemberian VAR bagi korban gigitan
atau menghentikan VAR berdasar hasil diagnosa
petugas kesehatan hewan.
Takgit akan berjalan jika ada pelaporan kasus
gigitan (surveilans pasif tertarget) dari petugas
kesehatan manusia (Puskesmas/Dinas Kesehatan)
ke petugas kesehatan hewan (Dinas Peternakan/
Kesehatan Hewan) dan petugas kesehatan hewan
memberikan informasi konfirmasi tentang kasus
hewan suspek terhadap petugas kesehatan manusia
untuk pemutusan pemberian VAR pada manusia.
Takgit diharapkan dapat mendeteksi adanya kasus
melalui pelaporan sehingga akan ada tindak lanjut
oleh petugas kesehatan hewan terhadap semua
kasus gigitan berdasar laporan dari petugas
kesehatan.
Berikut yaitu flow chart dari Takgit:
Gambar 5. Flow Chart tatalaksana kasus gigitan terpadu (Takgit)
Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) Kasus hewan dilaporkan Kasus satwa liar dilaporkan
FASKES (PUSKESMAS)
• Verifikasi kasus
• Pencatatan identitas
dan alamat kasus
• Anamnesa,
Pemeriksaan dan
diagnosa awal
• Riwayat penyakit/gigitan
• Penentuan tingkat risiko
gigitan
• Tata laksana (APD, cuci
luka, pemberian VAR,
SAR dan VAR)
PUSKESWAN / DINAS
• Konfirmasi laporan dan
kumpulkan anamnesis
• Periksa terhadap
definisi kasus rabies
• Menilai kategori kasus
• Tatalaksana kasus
sesuai dengan kategori
kasus
BKSDA / TN
• Konfirmasi laporan dan
kumpulkan anamnesis
• Periksa terhadap
definisi kasus rabies
• Tatalaksana kasus
sesuai dengan kategori
kasus
Melaksanakan investigasi
lapang terpadu
• Sejarah kasus:
Pasien/hewan/satli, Tempat &
Waktu; Gejala klinis, faktor
risiko
• Diagnosa sementara &
Diagnosa banding
• Laporan investigasi lapang
dikirimkan ke sektor lain
Respon Respon Respon
Risiko rendah
• Cuci luka gigitan
• Koordinasi kegiatan
dengan sector
kesehatan hewan
dan kesehatan
satwa liar
• Komunikasi,
informasi, edukasi
(KIE)
Risiko tinggi
• Cuci luka gigitan
• Pasien
mendapatkan VAR
dan/atau SAR
• Monitoring
pemberian VAR
• Koordinasi kegiatan
dengan sektor
kesehatan hewan
dan kesehatan
satwa liar
• KIE
Suspek
• Observasi anjing
selama 14 hari
o Jika hidup,
vaksinasi anjing
ini
o Jika mati, ambil
sampel (APD)
o Vaksinasi anjing
yang belum
divaksinasi di
lingkungan sekitar
(jika positif)
• KIE
Suspek tinggi
• Eutanasia hewan
penggigit;
mengirimkan
sampel ke
laboratorium
samples (APD)
• Disposal karkas
• KIE
• Vaksinasi anjing
yang belum
divaksinasi di
lingkungan sekitar
(jika positif)
Suspek
• Observasi satwa
selama 14 hari
o Jika hidup,
vaksinasi satwa
ini
o Jika mati, ambil
sampel (APD)
o Vaksinasi satwa
yang belum
divaksinasi yang
memiliki kontak
(jika positif)
• KIE
Suspek tinggi
• Eutanasia hewan
penggigit (kalau
memungkinkan);
kalua tidak,
observasi selama
14 hari
• Pengambilan dan
pengiriman sampel
(APD)
• Disposal karkas
• Vaksinasi satwa
yang berkontak (jika
positif)
• KIE
Respon bersama: KIE terpadu
Monitoring & pelaporan bersama sesuai dengan
protokol masing-masing sektor
Sektor kesehatan warga Sektor kesehatan hewan Sektor kesehatan satwa liar 3 sektor terintegrasi
Alur kegiatan Komunikasi & koordinasi 3 sektor
Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE)
Masyarakat sebagai mitra pemerintah dan yang
merupakan penerima manfaat hasil kegiatan program
pemberantasan rabies merupakan pemangku
kepentingan paling penting dalam pelaksanaan
program pemberantasan. Keterlibatan aktif
warga dalam implementasi program merupakan
kunci keberhasilan program pemberantasan rabies.
Untuk itu diperlukan kegiatan penyadaran yang
dibuat secara menyeluruh dan tersistem dengan baik
yang merupakan salah satu bagian inti dari program
pemberantasan rabies.
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yaitu
salah satu kunci dalam pendekatan komprehensif
dari program pemberantasan rabies. KIE dapat
membuka jalan warga dalam berpartisipasi
aktif dalam menunjang upaya pemerintah dalam
program pemberantasan seperti partisipasi aktif
dalam program vaksinasi, proses pelaporan dini
dan sikap yang lebih bertanggung jawab terhadap
anjing bagi pemilik anjing. KIE diperlukan untuk
memastikan bahwa warga memahami arti dan
nilai penting dari program pemberantasan yang
dilakukan pemerintah dalam pengendalian dan
pemberantasan Rabies.
Dalam upaya pemberantasan rabies yang
komprehensif, KIE sebaiknya dimasukkan ke
dalam program pemberantasan dan diberikan
pembiayaan yang memadai. Seringkali KIE dianggap
sebagai hanya komponen pelengkap dari program
pemberantasan rabies. Anggapan ini yaitu salah
karena KIE memiliki dampak yang besar dalam
menunjang strategi utama pemberantasan, yaitu
vaksinasi dan Takgit. Penyadaran, pelibatan dan
keikutsertaan warga yang lebih ditingkatkan
dapat membantu meningkatkan pelaksanaan
vaksinasi massal, efektivitas biaya dan upaya
keberlanjutannya, sistem surveilans dan manajemen
kasus rabies ( .
Dukungan Regulasi
Pada dasarnya program pemberantasan rabies
memerlukan dukungan regulasi dan kebijakan
yang kuat dan jelas. Pemerintah negara kita , c.q.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Kementerian Pertanian harus menjadikan
kebijakan pemberantasan sebagai sasaran primer
dengan status bebas rabies pada 2030 sebagai
tujuan akhir. Strategi pemberantasan harus dijadikan
bagian integral dari program pembangunan sektor
kesehatan hewan secara keseluruhan. Penerapan
secara penuh dari legislasi yang berlaku saat ini
sangat diperlukan dalam implementasi program
pemberantasan rabies, sejalan dengan pengkajian
ulang secara terus-menerus, dan apabila diperlukan
dilakukan usulan perubahan dari legislasi ini .
Regulasi diperlukan untuk mendukung strategi lain,
khususnya terkait dengan pelaksanaan vaksinasi.
Regulasi ini harus sejalan dan ada dari tingkatan
Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/
Kota. Regulasi di tingkat Pusat baik dalam bentuk
Undang-undang, Peraturan Pemerintah secara
umum dan dalam bentuk Peraturan Menteri
Pertanian secara khusus harus dijadikan dasar dalam
penyusunan regulasi-regulasi terkait pengendalian
dan penanggulangan Rabies ditingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
Keterlibatan Masyarakat
Keterlibatan warga yang dapat berasal
dari organisasi pemburu, pedagang hewan, dan
warga umum, termasuk para pemilik hewan
sangat penting dalam pemberantasan rabies. Agar
keterlibatan warga ini efektif, perlu
dilakukan KIE kepada petugas atau warga ,
terutama mengenai tanda klinis dari kasus suspek,
cara pencegahan rabies, cara penanganan luka
gigitan HPR, cara memperlakukan HPR yang
menggigit dengan benar, cara pelaporan kasus, serta
bagaimana menjadi pemilik hewan yang bertanggung
jawab (Direktorat Kesehatan Hewan 2015).
Strategi Teknis
Lebih dari 95% kasus rabies pada manusia
ditularkan melalui gigitan anjing, sehingga program
pengendalian dan pemberantasan rabies pada
anjing merupakan cara yang paling efektif ( ). Konsep pemberantasan rabies pada hewan
sudah merupakan suatu keharusan mengingat
penanganan kasus gigitan rabies pada manusia
membutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam hal
penyediaan VAR maupun SAR Dengan melihat kondisi budaya di negara kita ,
strategi umum pengendalian rabies oleh pemerintah
akan dilakukan dengan pendekatan spesifik untuk
setiap daerah (local area spesific (LAS)).
Vaksinasi
Vaksinasi merupakan strategis teknis utama dalam
melakukan pemberantasan rabies . Secara prinsip vaksinasi yaitu
upaya dalam meningkatkan kekebalan dengan cara
memasukan bibit penyakit yang telah dilemahkan
atau dimatikan kedalam tubuh untuk menggertak
kekebalan. Tujuan utama dari vaksinasi rabies yaitu
melakukan pengebalan pada hewan rentan di suatu
populasi sehingga terbentuk kekebaan kelompok
dengan maksud untuk mengurangi laju infeksi di
dalam populasi rentan ini .
Pemberantasan yang berpusat pada sumbernya,
yaitu dengan melaksanakan vaksinasi pada anjing
membutuhkan biaya yang jauh lebih rendah
dibandingkan vaksinasi pada manusia, sehingga
intervensi pada sumbernya dianggap paling efektif
secara finansial dan memungkinkan keberlanjutan
dalam mengendalikan rabies ,
Beberapa negara yang sudah memulai program
vaksinasi anjing dalam rangka memberantas rabies
telah berhasil mengurangi jumlah kasus penyakit
ini secara signifikan dan berhasil mengeliminasi
virus rabies dari wilayahnya. Salah satu wilayah
yang mempunyai perkembangan yang sangat baik
yaitu negara-negara di Amerika Latin, seperti
Meksiko, Chili, dan Argentina, serta negara-
negara di Kepulauan Karibia di mana telah berhasil
mengurangi jumlah kasus baik pada hewan maupun
manusia dengan pelaksanaan vaksinasi massal pada
anjing (Kementerian Kesehatan 2017; WHO 2013;
.
Perencanaan pelaksanaan vaksinasi massal yang
baik harus didasarkan pada situasi epidemiologi
rabies pada daerah target dan pengetahuan ekologi
anjing – termasuk status kepemilikan anjing (punya
pemilik dan tidak dilepasliarkan, punya pemilik
dan lepas liar, anjing warga , dan anjing liar)
harus didokumentasikan. Pendekatan yang detail
dan logis untuk dilaksanakan harus dibuat dan
didokumentasikan. Diperlukan juga kepastian
tentang dukungan dana, infrastruktur dan kapasitas
teknis yang cukup dalam melaksanakan program
vaksinasi. Selain itu, diperlukan juga dokumentasi
kegiatan monitoring cakupan pascaost-vaksinasi
dan evaluasi program yang dilaksanakan dengan
baik (ASEAN 2016).
Surveilans dan Analisis Epidemiologi
Rabies merupakan salah satu penyakit yang
terabaikan. Di beberapa negara, data terkait
dengan rabies sangatlah minim karena program
pengendalian dan sistem surveilans terhadap
penyakit ini tidak terorganisir dengan baik. Sistem
surveilans yang kurang baik, tidak terlaporkannya
kejadian kasus, seringnya mis-Diagnosa serta tidak
adanya koordinasi antar-sektor yang terlibat menjadi
penyebab utama rendahnya perkiraan total beban
penyakit ( .
Sebuah negara harus memiliki kapasitas sistem
surveilans yang baik dalam mendeteksi kasus
rabies, baik pada hewan maupun pada manusia.
Surveilans penyakit rabies yaitu salah satu
prosedur pemberantasan rabies dalam melakukan
pendeteksian penyakit secara kontinyu untuk
Mengapa Vaksinasi yang dianjurkan, bukan eliminasi?
Apa landasan epidemiologi pemberantasan rabies?
1. Angka reproduksi dasar/tingkat penularan baru (R0) merupakan perkiraan jumlah penularan
sekunder yang diakibatkan oleh satu kali infeksi dalam populasi rentan
2. Untuk mengendalikan dan memberantas penyakit infeksius, R0 harus diturunkan menjadi <1
3. R0 rabies harus diturunkan dari 1-2 menjadi <1 agar dapat diberantas
4. Dengan membuat R0 menjadi <1, jumlah penularan baru akan turun seiring berjalannya waktu,
yang berakhir dengan hilangnya penyakit ini
5. Vaksinasi dapat mengurangi R0 menjadi <1 dan memutus rantai penularan
Mengapa vaksinasi anjing dianjurkan dalam pemberantasan rabies?
1. Vaksinasi anjing lebih murah dibandingkan eliminasi anjing ,
2. Vaksinasi mempunyai dampak dalam mengurangi daya penularan dan durasi penularan ,
3. Vaksinasi akan membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) yang dapat mengurangi R0
(
Mengapa eliminasi tidak dianjurkan dalam pemberantasan rabies?
1. Pengaruh eliminasi anjing terhadap pemberantasan rabies sangat kecil.
• Virus rabies masih dapat bertahan dengan kepadatan anjing 2 ekor/km2
• Wabah rabies masih dapat terjadi dengan kepadatan anjing 5 ekor/km2,
2. Menurut pengalaman lapang, eliminasi anjing sering kali dilakukan secara tidak tertarget,
sehingga sering membuat anjing yang sudah divaksinasi ikut terbunuh.
3. Eliminasi anjing sering mendapatkan pertentangan dari warga yang memicu adanya
resistensi program pemerintah di lapang, termasuk program vaksinasi
mengidentifikasi adanya hewan yang positif
terinfeksi rabies. Program surveillans pada rabies
pada dasarnya yaitu surveilans virus yang
didasarkan pada kemampuan tangkap (sensitifitas)
dari implementasi program Takgit (ASEAN 2016).
Surveilans rabies yaitu indeks kunci untuk
keberhasilan setiap program intervensi. Surveilans
rabies melibatkan pengumpulan data penting untuk
(1) mengetahui situasi epidemiologi rabies pada awal
program, (2) memantau dan mengevaluasi kemajuan
dan dampak intervensi, (3) mengelola potensi
terjadinya paparan pada manusia (kasus gigitan) dan
(4) menghitung efektivitas biaya upaya pengendalian.
Jika langkah-langkah pengawasan tidak di tempat di
awal, mereka harus dilaksanakan dengan cepat dan
strategis. Hal ini penting untuk menekankan bahwa
pelaporan data yang efisien yaitu sama pentingnya
dengan melakukan pengumpulan data, sehingga
analisis yang tepat waktu dapat dilakukan. Hasil
analisis data dapat mempengaruhi kebijakan yang
harus dilakukan selanjutnya seperti deklarasi wabah
yang memerlukan intervensi segera.
Evaluasi Diagnostik
Rabies merupakan peradangan otak (encephalitis)
akut yang progresif yang dipicu oleh lyssavirus.
Evaluasi diagnostik berdasar gejala klinis rabies
pada hewan berdasar tanda-tanda klinis sangat
sulit dilakukan, sehingga konfirmasi laboratorium
melalui FAT (Flurorescent Antibody Test) yaitu
satu-satunya cara Diagnosa definitif yang dapat
diterapkan sebagai golden standard. Setiap negara
harus mempunyai minimal satu laboratorium
referensi nasional dengan kapasitas Diagnosa rabies
dengan teknis yang direkomendasikan ( .
Evaluasi diagnostik untuk rabies biasa dilakukan
untuk uji post-mortem terhadap hewan yang
menggigit manusia atau mempunyai tanda klinis
rabies yang berisiko terhadap penularannya ke
warga . Uji ini sangat penting dalam pencegahan
dan pengendalian rabies, terutama pada manusia.
Hasil uji diagnostik positif dapat dipakai sebagai
dasar pemberian VAR atau SAR pada orang yang
tergigit sehingga dapat mencegah terjadinya
infeksi virus. Pada sektor kesehatan hewan, hasil
uji diagnostik ini dapat menjadi dasar pengambilan
keputusan pada penanganan populasi anjing, baik
vaksinasi ataupun euthanasia. Hasil uji negatif dapat
dipakai untuk mengurangi penggunaan VAR dan
SAR yang tidak diperlukan, sehingga dapat dipakai
untuk meningkatkan efektivitas penggunaan biaya
program (Trimarchi CV and Nadin-Davis SA 2012).
Nilai penting lainnya dari evaluasi diagnostik ini
yaitu data surveilans yang didapatkan dari lapang
dapat memberikan gambaran kondisi epidemiologi
rabies di lapang baik pada hewan maupun pada
manusia. Data ini sangat penting sebagai
dasar kebijakan teknis terkait dengan jumlah
VAR dan SAR yang diperlukan, detail teknis yang
dilaksanakan untuk para korban gigitan, dan target
program vaksinasi serta kegiatan lain di wilayah lain
Respon Cepat dan Penanganan Hewan
Suspek
Dalam upaya pemberantas rabies dan keberhasilan
program vaksinasi, respon cepat terhadap pelaporan
kasus gigitan dan penangan hewan suspek sangatlah
penting. Hewan suspek yang dilaporkan harus
dapat dikenali dengan benar dan dilanjutkan dengan
euthanasia secara manusiawi bila menunjukkan
setidaknya dua gejala klinis yang mengarah pada
rabies untuk mencegah penderitaan hewan yang
lebih lanjut dan meminimalkan risiko hewan suspek
menularkan ke hewan lain atau manusia (WAP 2015).
Hewan suspek yaitu hewan yang terindikasi
tertular rabies yang didasarkan pada kasus gigitan
dan gejala klinis yang terlihat. Hewan dikatakan
hewan suspek tinggi jika hewan mengalami
kematian dan atau hewan menunjukkan lebih dari
dua gejala klinis khas rabies. Hewan-hewan lainnya
yang ada dalam satu lingkungan dengan hewan
suspek tinggi dianggap juga merupakan hewan
suspek (penyebaran sekunder) dengan anggapan
hewan-hewan ini telah terpapar dengan
hewan suspek tinggi. Penanganan hewan suspek
harus dilakukan dengan kehati-hatian yang tinggi
dan mengganggap semua hewan terindikasi tertular
oleh rabies ,
Respon cepat terhadap hewan suspek yang
memperlihatkan gejala klinis rabies sebaiknya yaitu
euthanasia untuk mengurangi risiko penyebaran ke
hewan lain ataupun manusia dan konfirmasi kasus.
Hewan suspek perlu diamati selama maksimal
14 hari untuk mendeteksi gejala klinis rabies. Jika
hewan suspek ini memperlihatkan setidaknya
dua gejala klinis yang mengarah pada rabies maka
sebaiknya segera dilakukan euthanasia (penjelasan
tentang tata cara euthanasia dapat dilihat pada
Lampiran Program Vaksinasi) dan pengambilan
sampel otak untuk konfirmasi dengan uji
laboratorium. Jika hasil laboratoirum menunjukkan
hasil yang positif, sangat penting untuk segera
melakukan vaksinasi darurat untuk seluruh desa ,
Setiap pelaporan kasus gigitan perlu dilanjutkan
dengan investigasi. Hal ini dilakukan untuk
mengkonfirmasi apakah dari kasus gigitan
merupakan kasus rabies dan memerlukan
penanganan cepat pada hewan maupun manusia
yang terlibat. Dalam proses investigasi penting
untuk mengetahui keberadaan hewan suspek dan
jika memungkinkan agar hewan suspek ditangkap.
Selain itu, perlu dicari korban gigitan lain selain
korban yang melaporkan untuk memastikan semua
korban gigitan mendapatkan VAR (WAP 2015).
Pengawasan Lalu Lintas Hewan
lalu lintas hewan
merupakan salah satu hal penting di dalam sektor
kesehatan warga yang dapat menimbulkan
kemunculan rabies di wilayah baru atau negara
lain. Pengawasan lalu lintas baik antar negara,
pulau, provinsi maupun kabupaten/kota diperlukan
untuk mencegah keluar dan masuknya rabies dari
suatu wilayah, terutama dari daerah tertular ke
daerah bebas. Pengawasan lalu lintas hewan mutlak
diperlukan.
Pengawasan lalu lintas yang dilakukan di tempat
pemasukan dan pengeluaran dari wilayah NKRI dan
antar pulau dilakukan oleh karantina. Sedangkan
pengawasan lalu lintas yang dilakukan di tempat
pemasukan dan pengeluaran wilayah di dalam satu
pulau di perbatasan antar provinsi (check point)
dilaksanakan oleh dinas yang membidango fungsi
peternakan dan kesehatan hewan.
Menurut ASEAN (2016), dengan melihat kondisi
dan situasi di negara kita saat ini, adapun hal-hal yang
perlu dilakukan yaitu :
1. Optimalisasi tindakan karantina khususnya di
tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran
resmi
2. Revitalisasi dan optimalisasi check point di
perbatasan antar provinsi dan kabupaten/
kota
3. Penegakan hukum yang tegas di tempat-
tempat pemasukan dan pengeluaran resmi.
4. Tindakan karantina di tempat keluar
masuk atau perbatasan dapat dilakukan
dengan melihat sejarah vaksinasi rabies,
melakukan pengambilan sampel serum (jika
diperlukan) dari setiap individu hewan yang
dilalulintaskan antar area.
5. Karantina dan pengendalian lalu lintas
ternak menjadi tanggung jawab utama dari
jajaran karantina hewan namun demikian
peran serta dinas dan juga warga juga
hal penting dalam menunjang pekerjaan dan
tanggung jawab badan karantina sehingga
proses pengawasan lalu lintas hewan bisa
bekerja lebih efektif dan efisien.
Manajemen Populasi Anjing (MPA)
Populasi anjing merupakan salah satu faktor yang
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap program
pengendalian rabies terutama dalam mencapai
dan mempertahankan cakupan vaksinasi yang
diperlukan, yaitu 70%. Kapasitas daya dukung hidup
yang tinggi (high carrying capacities) untuk anjing dan
tingkat kesuburan anjing yang tinggi mempengaruhi
pergantian individu (turnover) yang tinggi dalam
populasi anjing. Kepadatan populasi anjing di suatu
daerah dengan kemampuan reproduksi lebih dari 2
kali dalam setahun menunjukkan tingginya kebutuhan
akan program manajemen populasi anjing (MPA)
dalam mendukung upaya pengendalian penyakit
rabies. Pendekatan MPA merupakan perpaduan
strategi umum dan strategi teknis yang harus
dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan
sehingga mempunyai dampak yang besar dan dapat
menjaga efektivitas program vaksinasi.
MPA merupakan salah satu isu