Tampilkan postingan dengan label Religiositas 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Religiositas 5. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Oktober 2025

Religiositas 5


 .













Tabel 8 melaporkan estimasi regresi berdasarkan nilai yang 

diperhitungkan. Kolom (1) sampai (5) melaporkan hasil pengukuran 

religiositas individual, sedangkan kolom (6) menunjukkan hasil indeks 

religiositas secara keseluruhan. Semua kolom hasilnya konsisten dengan 

temuan utama yang dilaporkan pada Tabel 7.

Tabel 8. Hasil Estimasi Berdasarkan Ukuran Religiositas yang Diimputasi

Variabel dependen = 

LC02C

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Orang yang religius -0.63***  

(-2.74)

Percaya pada Tuhan -0.41*  

(-1.66)

Pentingnya Tuhan -0.34*  

(-1.74)

Partisipasi keagamaan -0.68**  

(-2.38)

Pentingnya agama -0.55**  

(-2.52)

Indeks religiositas -0.61**  

(-2.34)

Variabel kontrol Ya Ya Ya Ya Ya Ya

Dummy regional Ya Ya Ya Ya Ya Ya

R-squared 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94

Observasi 95 95 95 95 95 95

Catatan: Hasil yang dilaporkan diperkirakan dengan memperhitungkan nilai ukuran 

religiositas yang tidak tersedia. Imputasi diulang sepuluh kali; dengan demikian, 

sepuluh set nilai yang diperhitungkan dihasilkan. Variabel percaya pada Tuhan 

digunakan untuk memperhitungkan nilai dari tindakan yang hilang. Regresi 

imputasi berganda dilaporkan untuk pengukuran lainnya pada kolom (1) hingga 

(5). Dalam menyusun indeks religiositas pada kolom (6), ukuran religiositas 

yang tidak tersedia diganti dengan rata-rata dari sepuluh nilai berbeda yang 

diperhitungkan. Variabel dummy regional dimasukkan ke dalam model. Variabel 

kontrol mencakup PDB per kapita (log), ((PDB per kapita(log))2, investasi langsung 

asing, populasi (log), industri, konsumsi listrik berbahan bakar fosil per kapita 

(log), indeks globalisasi, kualitas institusi, dan indeks demokrasi. 

153

8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim

Sampel dan Ukuran Alternatif Religiositas

Pada bagian ini, dilakukan penyelidikan apakah ukuran religiositas 

dipakai dalam riset   ini, yang dibangun dengan rata-rata data pada 

beberapa gelombang survei WVS (1-7), menghasilkan perkiraan koefisien 

yang bias. Setidaknya ada empat cara untuk memeriksa keandalan metode 

dalam mengonstruksi ukuran religiositas ini.

Pertama, penyusunan indeks religiositas untuk setiap negara dilakukan 

dengan memakai  data dari setiap gelombang yang tersedia secara 

terpisah dan memeriksa korelasinya. Hasil pada Tabel 4 menunjukkan 

bahwa semua indeks religiositas (dibangun dari gelombang yang 

berbeda) mempunyai korelasi yang tinggi (lihat Bab 7). Nilai-nilai tersebut 

juga sangat berkorelasi dengan indeks religiositas secara keseluruhan 

yang dibuat memakai  data yang dikumpulkan, yang merupakan 

ukuran dasar riset   ini. Hal ini menunjukkan bahwa hasil riset   

ini kemungkinan besar tidak akan mengalami bias agregasi, sehingga 

memberikan kepercayaan terhadap penggunaan indeks religiositas kami 

secara keseluruhan.

Kedua, riset   ini melakukan pemeriksaan ketahanan model 

dengan memakai  indeks religiositas spesifik gelombang. Namun, 

terjadi penurunan tajam dalam jumlah observasi pada beberapa 

gelombang menjadi kendala dalam praktik ini. Misalnya, memperkirakan 

Persamaan 7.1 (lihat Bab 7) dengan memakai  data gelombang 

pertama hanya menghasilkan 10 observasi. Oleh karena itu, pengujian 

dilakukan memakai  gelombang terbaru (gelombang tujuh, tahun 

2017-2022) untuk menyusun indeks religiositas spesifik gelombang yang 

mencakup jumlah negara yang relatif banyak. Perkiraan memakai  

ukuran religiositas alternatif ini dapat dilihat pada kolom (1) Tabel 9. 

Survei gelombang tujuh menyediakan data untuk 57 negara, sedangkan 

kolom (1) hanya berisi 54 observasi karena tidak tersedianya data untuk 

variabel lain. Hasilnya konsisten dengan temuan utama riset   ini.

154



Tabel 9. Hasil Estimasi Berdasarkan Sampel dan Ukuran Religiositas 

Alternatif

Variabel dependen = LC02C (1) (2) (3) (4)

Indeks religiositas: Wave 7 -1.02***  

(-2.94)

Indeks religiositas: Wave terbaru -0.48**  

(-2.30)

Indeks religiositas: Squalli -0.58**  

(-2.46 )

Indeks religiositas: Inglehart -0.56***  

(-2.71)

Variabel kontrol Ya Ya Ya Ya

Dummy regional Ya Ya Ya Ya

R-squared 0.936 0.941 0.942 0.942

Observasi 54 95 94 95

Catatan: Variabel kontrol dan dummy regional dimasukkan ke dalam model. Metode 

estimasi memakai  robust standard errors. t-statistik dilaporkan dalam 

tanda kurung. *, ** dan *** masing-masing menunjukkan signifikansi pada 

tingkat 10%, 5% dan 1%. Perkiraan intersep tidak ditampilkan.

Ketiga, untuk setiap negara, digunakan gelombang WVS terbaru yang 

data religiositasnya tersedia. Artinya, jika tidak tersedia ukuran religiositas 

untuk gelombang tujuh, maka digunakan gelombang lima, lalu gelombang 

empat, dan seterusnya. Hasil estimasi yang dilaporkan di kolom (2) Tabel 9 

juga sejalan dengan hasil pada Tabel 7 sebelumnya. 

Keempat, riset   ini memeriksa sensitivitas hasil temuan dengan 

menyusun ukuran religiositas yang digunakan oleh Squalli (2019) yang 

merujuk pada publikasi Lipka dan Wormald (2016) di Pew Research 

Center (PRC). Indeks komposit yang dikembangkan oleh Squali (2019) 

memakai  empat indikator yang terdiri atas pentingnya agama, 

frekuensi berdoa, kehadiran di tempat ibadah, dan kepercayaan kepada 

Tuhan. riset   ini membangun indeks religiositas tersebut dengan 

memakai  data WVS yang dikumpulkan. Hasilnya selaras dan konsisten 

dengan model utama riset   ini sebagaimana terlihat pada kolom (3), 

Tabel 9.

155

8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim

Kelima, riset   ini membangun ukuran religiositas alternatif 

berdasarkan ukuran Inglehart dan Norris (2003). Mereka mengukur enam 

aspek penting orientasi keagamaan warga  ; yaitu pentingnya Tuhan, 

penghiburan dan kekuatan dari Tuhan, kepercayaan kepada Tuhan, menjadi 

orang yang religius, kepercayaan akan kehidupan setelah kematian, 

dan partisipasi keagamaan. Dengan memakai  indikator tersebut, 

disusunlah indeks religiositas Inglehart dan Norris (2003) memakai  

data WVS yang dikumpulkan. Kolom (4) pada Tabel 9 melaporkan hasil 

yang mirip dengan perkiraan dasar pada spesifikasi utama riset   ini.

Singkatnya, apa pun ukuran alternatif religiositas yang digunakan, 

efek religiositas terhadap emosi CO2 tetap signifikan, dan ukuran koefisien 

serta tingkat signifikansinya stabil.

Afiliasi Agama dan Kelompok Pendapatan

Pada bagian ini, pemeriksaan sensitivitas model dilakukan terhadap 

dampak afiliasi keagamaan dan kelompok pendapatan. riset   ini 

memperkirakan ulang Persamaan 7.1 dengan mengontrol hubungan 

agama dengan negara, dan komposisi penduduk yang berbeda agama, 

dan kelompok pendapatan.

Kishi et al., (2017) telah berhasil memetakan hubungan agama dengan 

negara. Bersama dengan tim pemrogram, mereka menganalisis konstitusi 

atau undang-undang dasar setiap negara, bersama dengan kebijakan dan 

tindakan resminya terhadap kelompok agama, untuk mengklasifikasikan 

hubungan agama dengan negara ke dalam salah satu dari empat kategori 

berikut. Kategori pertama, yaitu negara-negara dengan agama resmi 

memberikan status resmi pada agama tertentu dalam konstitusi atau 

hukum dasarnya. Kategori kedua, yaitu negara-negara yang mempunyai 

preferensi terhadap agama memiliki kebijakan atau tindakan pemerintah 

yang jelas-jelas mendukung satu (atau dalam beberapa kasus, lebih dari 

satu) agama di atas yang lain, biasanya dengan keuntungan hukum, 

keuangan, atau jenis praktis lainnya. Kategori ketiga yaitu   negara-negara 

sekuler yang tidak memiliki agama resmi atau agama pilihan berusaha 

untuk menghindari memberikan manfaat nyata kepada satu kelompok 

156



agama di atas yang lain (walaupun mereka bahkan dapat memberikan 

manfaat bagi banyak kelompok agama). Kategori keempat, yakni negara-

negara yang memiliki hubungan perseteruan/permusuhan terhadap 

agama memakai  tingkat kontrol yang sangat tinggi atas lembaga-

lembaga agama di negara mereka atau secara aktif mengambil posisi 

agresif terhadap agama secara umum. riset   ini menglasifikasikan 

sampel memakai  variabel dummy, dimana kelompok keempat 

dijadikan sebagai omitted group.

Selanjutnya, pengelompokan agama penduduk mayoritas merujuk 

pada publikasi Hackett et al., (2015) bersama Pew Research Center tentang 

agama dan kehidupan publik memperkirakan bahwa pada tahun 2020 ada 

6.52 miliar orang dewasa dan anak-anak yang berafiliasi dengan agama 

di seluruh dunia, mewakili 84.45 persen dari populasi dunia. Mengikuti 

Hackett et al., (2015), riset   ini memakai  tujuh kategori dan 

menghitung persentase dari jumlah total individu yang memiliki afiliasi 

keagamaan di setiap kategori, termasuk Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, 

Yahudi, agama Rakyat, dan tidak terafiliasi dengan agama mana pun. 

riset   ini mengklasifikasikan sampel memakai  variabel dummy, 

dimana penduduk yang mayoritas tidak terafiliasi dengan agama mana 

pun dijadikan sebagai omitted group.

Selain itu, pemeriksaan sensitivitas model juga dilakukan terhadap 

dampak kelompok pendapatan. riset   ini merujuk pembagian 

kelompok pendapatan negara yang bersumber dari World Bank tahun 

2020. ada   empat kelompok pendapatan yaitu, pendapatan 

tinggi, menengah atas, menengah bawah, dan bawah. riset   ini 

mengklasifikasikan sampel memakai  variabel dummy, dimana 

kelompok pendapatan rendah dijadikan sebagai omitted group.

157

8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim

Kolom (1), (4), dan (5) pada Tabel 10 melaporkan hasil yang menyertakan 

hubungan agama dengan negara. Kolom (1) berisi penambahan dummy 

hubungan agama dengan negara. Kolom (4) mengeluarkan negara sekuler 

dari sampel. Kolom (5) mengeluarkan negara yang memiliki perseteruan 

dengan institusi agama tertentu dari sampel. Hasil spesifikasi utama 

riset   ini tetap robust untuk ketiga kasus tersebut, dimana religiositas 

tetap berpengaruh negatif signifikan terhadap emisi CO2 per kapita. 

Hubungan agama dan negara tidak menunjukkan efek yang signifikan 

sebagaimana terlihat pada kolom (1).

Tabel 10. Sensitivitas terhadap Afiliasi Agama dan Kelompok Pendapatan

Variabel dependen 

= LC02C

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Indeks religiositas

-0.48*  

(-1.96)

-0.67**  

(-2.13)

-0.59***  

(-2.65)

-0.57**  

(-2.16)

-0.62**  

(-2.31)

-0.62**  

(-2.34)

-0.34*  

(-1.75)

Hubungan agama & negara

- Memiliki agama

resmi

-0.37  

(-1.64)

- Menyukai 

agama tertentu

-0.28  

(-1.43)

- Sekuler

-0.23  

(-1.12)

Agama penduduk mayoritas

- Islam

0.08  

(0.45)

- Kristen

0.14  

(1.12)

- Buddha

-0.23  

(-0.84)

- Hindu

0.91**  

(2.48)

- Agama rakyat

-0.06  

(-0.47)

- Yahudi

-0.20  

(-0.95)

158



Variabel dependen 

= LC02C

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Kelompok pendapatan

- Tinggi

-0.27  

(-0.68)

- Menengah atas

-0.20  

(-0.57)

- Menengah 

bawah

-0.16  

(-0.54)

Variabel kontrol Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya

Dummy regional Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya

R-squared 0.96 0.95 0.94 0.95 0.95 0.94 0.91

Observasi 95 95 95 48 88 90 64

Catatan: Kolom (1) menambahkan dummy agama negara, (2) menambahkan 

dummy agama penduduk mayoritas, (3) menambahkan dummy kelompok 

pendapatan, (4) mengeluarkan negara sekuler, (5) mengeluarkan negara yang 

memiliki perseteruan dengan institusi agama tertentu, (6) mengeluarkan 

negara penduduk mayoritas tidak terafiliasi dengan agama mana pun, dan  

(7) mengeluarkan negara berpendapatan rendah dan menengah bawah. Variabel 

kontrol dan dummy regional dimasukkan ke dalam model. Metode estimasi 

memakai  robust standard errors. t-statistik dilaporkan dalam tanda kurung. 

*, ** dan *** masing-masing menunjukkan signifikansi pada tingkat 10%, 5% 

dan 1%. Perkiraan intersep tidak ditampilkan.

Kolom (2) dan (6) pada Tabel 10 melaporkan hasil yang menyertakan 

efek agama penduduk mayoritas. Kolom (2) berisi penambahan dummy 

agama penduduk mayoritas. Sementara itu, kolom (6) mengeluarkan 

negara penduduk mayoritas tidak terafiliasi dengan agama mana pun. 

Signifikansi efek religiositas terhadap emisi CO2 per kapita tetap konsisten 

dengan kedua kasus tersebut.

Kolom (3) dan (7) pada Tabel 10 melaporkan hasil estimasi dengan 

menambah variabel kontrol kelompok pendapatan. Kolom (3) berisi 

penambahan dummy kelompok pendapatan, dan kolom (7) mengeluarkan 

negara berpendapatan rendah dan menengah bawah dari sampel. Indeks 

religiositas tetap berpengaruh negatif signifikan terhadap emisi CO2 per 

kapita.

Tabel 10. Sensitivitas Terhadap Afiliasi Agama dan Kelompok Pendapatan 

(lanjutan)

159

8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim

8.2 Pendekatan Jejak Ekologis

Jejak ekologis mengukur seberapa cepat manusia mengonsumsi 

sumber daya dan menghasilkan limbah dibandingkan dengan seberapa 

cepat alam menyerap limbah dan menghasilkan sumber daya. Dalam 

bahaya yang mudah dimengerti, jejak ekologis yaitu   dampak aktivitas 

manusia yang diukur dalam luas lahan yang produktif secara biologis 

dan air yang dibutuhkan untuk memproduksi barang-barang yang 

dikonsumsi dan membuang limbah yang dihasilkan. Ini yaitu   jumlah 

lingkungan yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang dan jasa yang 

diperlukan untuk mendukung gaya hidup tertentu. Penghitungan jejak 

kaki memperhitungkan hampir semua hal yang dilakukan manusia: mulai 

dari cara kita makan, cara kita bepergian, rumah yang kita tinggali, dan 

kebiasaan gaya hidup lainnya yang dipraktikkan setiap hari.

Ketika populasi manusia meningkat, konsumsi dan pemanfaatan 

sumber daya global meningkat. Hal ini memerlukan pengukuran terhadap 

kapasitas alam dalam memenuhi kebutuhan manusia yang semakin 

meningkat. Jejak ekologis yaitu   salah satu ukuran utama dari tuntutan 

manusia terhadap alam yang tiada habisnya. Oleh karena itu, Jejak ekologis 

mencoba mempertimbangkan apakah planet bumi mempunyai kapasitas 

untuk memenuhi tuntutan umat manusia yang semakin meningkat.

Secara visual, peta sebaran jejak ekologis dapat dilihat pada Gambar 

21. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Global Footprint Network, 

terlihat bahwa pada tahun 2020 sepuluh negara penyumbang jejak 

ekologis terbesar di antara 95 negara yang diteliti terdiri atas China, 

Amerika Serikat, India, Federasi Rusia, Brasil, Jepang, Indonesia, Jerman, 

Meksiko, dan Turki. Sepuluh negara tersebut menyumbang sekitar 74.98 

persen jejak ekologis dunia. Negara China menyumbang 29.34 persen 

jejak ekologis dunia. Negara penghasil jejak ekologis terendah terendah 

yaitu   negara Montenegro, Siprus, dan Moldova. Apabila dihitung 

per orang, negara penyumbang jejak ekologis terbesar yaitu   Qatar, 

Mongolia, Estonia, Kuwait, Latvia, Amerika Serikat, Lithuania, Singapura, 

Belanda, dan Australia. Peta sebaran jejak ekologis per orang dapat dilihat 

pada Gambar 22.

160



Kegiatan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dapat 

menyebabkan penurunan biokapasitas dan efisiensi bumi yang 

menyebabkan jejak ekologis yang lebih tinggi untuk produk-produk 

industri yang berasal dari sumber daya alam. Emisi karbon merupakan 

salah satu kontributor utama jejak ekologis yang berkontribusi terhadap 

bencana terkait pemanasan global dan perubahan iklim serta degradasi 

sumber daya alam. Hal ini menuntut kelestarian ekosistem lahan atau 

tanah, hutan, dan perairan serta habitat manusia (Kumar, et al., 2023).

Sumber: Global Footprint Network, 2020 (diolah)

Catatan: Peta menunjukkan sebaran emisi CO2 di 95 negara yang digunakan dalam 

estimasi. Nilai yang lebih tinggi (diwakili oleh area berwarna merah lebih gelap)

Gambar 21. Peta Sebaran Jejak Ekologis

161

8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim

Sumber: Global Footprint Network, 2020 (diolah)

Catatan: Peta menunjukkan sebaran emisi CO2 di 95 negara yang digunakan dalam 

estimasi. Nilai yang lebih tinggi (diwakili oleh area berwarna merah lebih gelap)

Gambar 22. Peta Sebaran Jejak Ekologis per Orang

1. Efek Religiositas Terhadap Jejak Ekologis

Selama lebih dari tiga dekade terakhir agama telah mengilhami 

peningkatan kepedulian ekologis (Chaplin, 2016). aktor berbasis agama 

dan kelompok agama yang dilembagakan telah mengeluarkan banyak 

pernyataan tentang perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir. 

Banyak kelompok telah secara aktif terlibat dengan lembaga iklim global 

dan organisasi warga   sipil tentang perubahan iklim antropogenik 

(Haluza-DeLay, 2014).

Peran agama dalam mengatasi perubahan iklim perlu dikaji lebih 

mendalam secara kuantitatif. Indeks religiositas mewakili variabel 

keagamaan karena religiositas dan agama saling terkait dimana tingkat 

religiositas seseorang sering kali mencerminkan keterlibatan mereka 

dalam agama tertentu. Tabel 11 menampilkan hasil estimasi pengaruh 

religiositas terhadap jejak ekologis per orang. Kolom (1) menampilkan hasil 

regresi OLS tanpa melibatkan variabel kontrol. Kolom (2) menampilkan 

hasil regresi OLS dengan menyertakan variabel kontrol untuk melengkapi 

162



atau mengontrol hubungan kausalnya supaya lebih baik agar mendapatkan 

model empiris yang lengkap dan mencegah hasil perhitungan bias. 

Dengan menambahkan variabel kontrol nilai koefisien determinasi (R2) 

meningkat dari 0.52 menjadi 0.82. Pada kolom (2) terlihat bahwa hasil 

estimasi menunjukkan indeks religiositas berpengaruh negatif signifikan 

terhadap jejak karbon per orang.

Tabel 11. Hasil Estimasi Efek Religiositas terhadap Jejak Ekologis per 

Orang

Variabel dependen = LJEP

Regresi OLS Regresi robust

Spesifikasi 

dasar

Spesifikasi 

utama 

Spesifikasi 

dasar

Spesifikasi 

utama 

(1) (2) (3) (4)

Indeks religiositas -1.29***  

(-3.73)

-0.47*  

(-1.83)

-1.50***  

(-4.68)

-0.46**  

(-2.16)

Pertumbuhan ekonomi 0.57***  

(6.15)

0.64***  

(8.32)

Pertumbuhan populasi -0.09***  

(-3.26)

-0.07***  

(-3.02)

Industri 0.01*  

(1.97)

0.01**  

( 2.12)

Konsumsi listrik 0.04  

(1.31)

0.05*  

(1.89)

Kualitas institusi -0.09  

(-1.17)

-0.13*  

(-1.98)

Dummy regional ya ya ya ya

R-squared 0.52 0.82 0.57 0.87

Observasi 95 95 94 95

Catatan: Indeks religiositas mengukur kekuatan religiositas secara keseluruhan dan 

bervariasi terus menerus dari nol hingga satu. Variabel dummy regional yaitu   

Asia Timur dan Pasifik, Eropa dan Asia Tengah, Amerika Latin dan Karibia, Timur 

Tengah dan Afrika Utara, Amerika Utara, Asia Selatan, dan Afrika Sub-Sahara. 

Metode estimasi terbaik memakai  regresi robust sebagaimana terlihat 

pada kolom (4). t-statistic dilaporkan dalam tanda kurung. *, ** dan *** masing-

masing menunjukkan signifikansi pada tingkat 10%, 5% dan 1%. Perkiraan 

intersep tidak ditampilkan.

163

8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim

Hasil estimasi tersebut perlu dilakukan pengecekan apakah model 

regresi OLS bebas dari masalah data outlier dan heteroskedastisitas. 

Gambar 23 memperlihatkan plot leverage dengan residual kuadrat yang 

dinormalisasi. Plot ini digunakan untuk membantu mengidentifikasi 

observasi individual yang memiliki leverage sangat tinggi atau residual 

besar. Plot leverage pada sumbu Y, dan residual kuadrat yang dinormalisasi 

pada sumbu X. Garis merah menunjukkan rata-rata dari nilai leverage dan 

residual kuadrat yang. Leverage yaitu   elemen diagonal dari matriks topi 

(hii) yang menangkap pengaruh nilai yang diamati pada nilai yang sesuai. 

Pengamatan leverage dibatasi oleh batasan 1/n dan 1, dimana n=95. Data 

dianggap titik leverage apabila hii > 2p/n (William, 2016), dimana p yaitu   

jumlah koefisien. Dengan p=13, maka data akan dianggap sebagai outlier 

bila hii > 0.27. Negara Amerika Serikat Qatar, Pakistan, India, Ethipia, dan 

Bangladesh memiliki nilai pengatan leverage yang lebih besar dari 0.27. 

William (2016) berkata kata  residual dianggap bermasalah apabila 2/

sqrt(n) >0.21. Gambar 23 menunjukkan kasus Korea Selatan memiliki 

residual yang sangat besar (yaitu perbedaan antara nilai prediksi dan 

nilai pengamatan untuk kasus Korea Selatan sangat besar) namun tidak 

mempunyai leverage yang besar. Selanjutnya, hasil uji heteroskedastisitas 

memakai  uji White menunjukkan hasil estimasi pada kolom (2) 

mengalami masalah hetoreskdastisitas dengan probabilitas 2 sebesar 

0.17. 

164



Catatan: Diagram plot diperoleh dengan mengestimasi kolom (2) Tabel 11.

Gambar 23. Plot Leverage dan Residual Kuadrat yang Dinormalisasi

Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menerapkan regresi 

robust. Regresi robust merupakan metode analisis regresi yang tidak 

sensitif terhadap adanya outlier dan heteroskedastisitas. Kolom (3) dan 

(4) Tabel 11 menampilkan hasil estimasi memakai  regresi robust. 

Nilai koefisien determinasi (R2) meningkat dari 0.57 menjadi 0.87. Dengan 

demikian, 87 persen variabilitas variabel jejak ekologis per orang dapat 

dijelaskan oleh model pada spesifikasi utama riset   ini, yaitu pada 

kolom (4). Kekuatan pengaruh indeks religiositas terkoreksi setelah 

menambahkan variabel kontrol. Apabila religiositas mengalami kenaikan 

satu poin indeks maka jejak ekologis per orang akan turun sebesar 0.46 

persen.

Religiositas dapat memengaruhi jejak ekologis seseorang dalam 

beberapa cara yang dapat membantu mencegah perubahan iklim. 

Religiositas pengaruh dalam menurunkan jejak ekologis dan mencegah 

perubahan iklim melalui beberapa mekanisme berikut: Pertama, pendidikan 

dan kesadaran lingkungan. Beberapa komunitas agama mempromosikan 

pendidikan dan kesadaran lingkungan sebagai bagian dari ajaran dan 

nilai-nilai mereka. Ini dapat mencakup pengajaran tentang pentingnya 

165

8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim

menjaga lingkungan dan tanggung jawab manusia sebagai penjaga alam 

semesta. Individu yang lebih terlibat dalam agama mereka mungkin lebih 

mungkin untuk mendapatkan pengetahuan dan kesadaran tentang isu-isu 

lingkungan (Baring & Malino, 2022; Eliades et al., 2022; Haq et al., 2020). 

Kedua etika konsumsi. Agama dapat mengajarkan etika konsumsi yang 

bertujuan untuk membatasi pemborosan dan penggunaan berlebihan 

sumber daya alam. Nilai-nilai seperti kesederhanaan, kerendahan hati, 

dan pertimbangan terhadap orang lain dapat memotivasi individu untuk 

mengurangi konsumsi berlebihan yang dapat meningkatkan jejak ekologis 

(Agag et al., 2020; Elhoushy & Lanzini, 2021; Bhuian et al., 2018). 

Ketiga, advokasi dan pemobilisasi. Kelompok-kelompok agama 

sering berperan dalam advokasi dan pemobilisasi sosial. Mereka dapat 

berpartisipasi dalam kampanye-kampanye lingkungan, memengaruhi 

kebijakan yang mendukung keberlanjutan, dan memobilisasi komunitas 

untuk bertindak terhadap perubahan iklim (Mangunjaya & Ozdemir, 

2022; Hague & Bomberg, 2022; Moyer & Sinclair, 2022). Keempat, aksi 

sosial dan pelayanan lingkungan. Banyak komunitas agama terlibat dalam 

aksi sosial dan pelayanan lingkungan, seperti membersihkan pantai, 

penanaman pohon, atau kampanye pengurangan sampah. Religiositas 

dapat mendorong individu untuk aktif terlibat dalam inisiatif-inisiatif 

ini untuk menjaga kelestarian alam (Stork & Öhlmann, 2021; Xu, 2020; 

Shattuck, 2016). Kelima, doa dan refleksi. Doa, meditasi, dan refleksi 

agama dapat menginspirasi individu untuk mempertimbangkan peran 

mereka dalam menjaga lingkungan dan menciptakan kesadaran spiritual 

tentang pentingnya alam semesta. Ini dapat mendorong tindakan yang 

lebih bijaksana dalam penggunaan sumber daya alam (Omoyajowo, 2023; 

Beehner, 2018; Ulluwishewa, 2019; Barrow, 2019).

Hasil riset   juga melaporkan pengaruh variabel kontrol terhadap 

jejak ekologis per orang, sebagaimana terlihat pada kolom (4) Tabel 

11. Variabel pertumbuhan ekonomi menunjukkan pengaruh positif 

signifikan terhadap jejak ekologis per orang. Li dan Li (2021) berkata kata  

166



pertumbuhan ekonomi merupakan alasan utama peningkatan jejak 

ekologis. riset   empiris lain yang mengonfirmasi hasilnya telah 

dilakukan Bulut (2020) Ergun dan Rivas (2020), dan Sabir dan Gorus (2019).

Sektor industri berpengaruh signifikan dalam meningkatkan 

jejak ekologis per orang. Hasil ini mirip dengan temuan Usman et al., 

(2019) dan Destek (2021). Untuk membatasi degradasi lingkungan, 

perusahaan manufaktur harus mengadopsi dan memanfaatkan lebih 

banyak teknologi ramah lingkungan dalam proses produksi mereka. 

Selain itu, peraturan lingkungan harus ditegakkan untuk memastikan 

bahwa aktivitas manufaktur berkontribusi terhadap lingkungan dan 

pembangunan berkelanjutan (Opoku & Aluko, 2021). riset   ini juga 

menemukan konsumsi listrik berbahan bakar fosil per kapita secara parsial 

berpengaruh positif signifikan terhadap jejak ekologis per orang. Neagu 

(2020) menemukan hasil yang serupa dimana kosumsi energi berbahan 

bakar fosil dengan jejak ekologis di 48 negara di dunia. Temuan serupa 

juga ditemukan oleh Ibrahiem dan Hanafy (2020) di Mesir.

Dalam riset   ini ditemukan pertumbuhan populasi berpengaruh 

signifikan dalam menurunkan jejak ekologis per orang, sekaligus 

mengonfirmasi temuan Ibrahiem dan Hanafy (2020). Hal ini dapat saja 

terjadi karena adanya peningkatan kesadaran lingkungan, sehingga dapat 

menekan eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Bouman et al., (2020) 

berkata kata  semakin tinggi kesadaran manusia terhadap perubahan 

iklim dapat secara langsung dan tidak langsung memengaruhi dukungan 

kebijakan iklim dan perilaku mitigasi iklim secara pribadi, sehingga 

memberikan wawasan penting bagi ilmu pengetahuan dan pembuatan 

kebijakan.

Variabel kualitas institusi menunjukkan pengaruh yang signifikan 

dalam menurunkan jejak ekologis per orang. Hasil ini mengonfirmasi 

temuan Uzar (2021) yang dilakukan di tujuh negara berkembang yang 

memiliki performa ekonomi yang tinggi, dan Hussain dan Mahmood (2022) 

167

8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim

di Pakistan. Christoforidis dan Katrakilidis (2021) dalam riset  nya 

di 29 negara OECD menemukan kualitas institusi berkontribusi pada 

keberlanjutan ekologi.

Pemeriksaan Ketahanan dan Sensitivitas Model Berbasis Jejak 

Ekologis

Ada tiga potensi masalah yang dapat menimbulkan keraguan terhadap 

ketahanan dan sensitivitas hasil estimasi. Pertama, mengabaikan potensi 

variabilitas ukuran religiositas dapat mengakibatkan estimasi menjadi 

bias. Kedua, mengabaikan sampel dan pengukuran indeks religiositas 

alternatif juga dapat mengakibatkan estimasi menjadi tidak sahih. Ketiga, 

diperlukan juga pemeriksaan dengan menyertakan afiliasi agama dan 

kelompok pendapatan.

Sebagaimana diketahui indeks religiositas di dalam riset   ini 

dibentuk dari lima ukuran, yaitu (i) orang yang religius, (ii) percaya 

kepada tuhan, (iii) pentingnya Tuhan, (iv) partisipasi keagamaan, dan  

(v) petingnya agama. Kelima ukuran tersebut diestimasi memakai  

regresi robust yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 12. Kolom (1) hingga 

(5) menunjukkan bahwa setiap ukuran religiositas memiliki pengaruh 

negatif yang signifikan terhadap jejak ekologis per orang. Hasil ini konsisten 

dengan indeks komposit pada spesifikasi utama Tabel 11, kolom (4). 

Tabel 12. Hasil Estimasi Berdasarkan Ukuran Religiositas

Variabel dependen 

= LJEP

(1) (2) (3) (4) (5)

Orang yang religius

-0.32* 

(-1.66)

Percaya pada Tuhan

-0.42** 

(-2.00)

Pentingnya Tuhan

-0.34** 

(-2.20)

Partisipasi keagamaan

-0.38* 

(-1.68)

168



Variabel dependen 

= LJEP

(1) (2) (3) (4) (5)

Pentingnya agama

-0.45** 

(-2.60)

Variabel kontrol Ya Ya Ya Ya Ya

Dummy regional Ya Ya Ya Ya Ya

R-squared 0.87 0.85 0.87 0.86 0.87

Observasi 94 87 95 92 93

Catatan: Variabel kontral dan dummy regional dimasukan ke dalam model. Metode 

estimasi terbaik memakai  regresi robust sebagaimana terlihat pada kolom 

(4). t-statistic dilaporkan dalam tanda kurung. *, ** dan *** masing-masing 

menunjukkan signifikansi pada tingkat 10%, 5% dan 1%. Perkiraan intersep tidak 

ditampilkan.

Sebagaimana diketahui indeks religiositas yang digunakan dalam 

riset   ini dibangun dengan rata-rata data pada beberapa gelombang 

survei WVS (1-7). Untuk memeriksa apakah sampel yang digunakan 

menghasilkan perkiraan koefisien yang bias atau tidak, maka dilakukan 

pemeriksaan ketahanan model dengan memakai  indeks religiositas 

spesifik gelombang. Namun, terjadi penurunan tajam dalam jumlah 

observasi pada beberapa gelombang menjadi kendala dalam praktik 

ini. Misalnya, dengan memakai  data gelombang pertama hanya 

menghasilkan 10 observasi. Oleh sebab itu, pengujian dilakukan 

memakai  gelombang terbaru (gelombang tujuh, tahun 2017–2022) 

untuk menyusun indeks religiositas spesifik gelombang yang mencakup 

jumlah negara yang relatif banyak. Perkiraan memakai  ukuran 

religiositas alternatif ini dapat dilihat pada kolom (1) Tabel 13. Survei 

gelombang tujuh menyediakan data untuk 57 negara, sedangkan kolom 

(1) hanya berisi 54 observasi karena tidak tersedianya data untuk variabel 

lain. Hasilnya konsisten dengan temuan utama riset   ini.

Selanjutnya, dilakukan uji ketahanan dengan memakai  indeks 

komposit religiositas yang dibentuk oleh Squalli (2019). Indeks komposit 

yang dikembangkan oleh Squali (2019) memakai  empat indikator 

yang terdiri atas pentingnya agama, frekuensi berdoa, kehadiran di tempat 

ibadah, dan kepercayaan kepada Tuhan. riset   ini membangun indeks 

Tabel 12. Hasil Estimasi Berdasarkan Ukuran Religiositas (lanjutan)

169

8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim

religiositas tersebut dengan memakai  data WVS yang dikumpulkan. 

Hasilnya selaras dan konsisten dengan model utama riset   ini 

sebagaimana terlihat pada kolom (2), Tabel 13.

riset   ini juga membangun ukuran religiositas alternatif 

berdasarkan ukuran Inglehart dan Norris (2003). Mereka mengukur 

enam aspek penting orientasi keagamaan warga  ; yaitu pentingnya 

Tuhan, penghiburan dan kekuatan dari Tuhan, kepercayaan kepada 

Tuhan, menjadi orang yang religius, kepercayaan akan kehidupan setelah 

kematian, dan partisipasi keagamaan. Dengan memakai  indikator 

tersebut, disusunlah indeks religiositas Inglehart dan Norris (2003) 

memakai  data WVS yang dikumpulkan. Kolom (3) pada Tabel 13 

melaporkan hasil yang konsisten dengan perkiraan dasar pada spesifikasi 

utama riset   ini.

Tabel 13. Pengujian Berdasarkan Sampel dan Ukuran Religiositas 

Alternatif

Variabel dependen = LJEP (1) (2) (3)

Indeks religiositas: Wave 7 -0.55* (-1.99)

Indeks religiositas: Squalli -0.36* (-1.70 )

Indeks religiositas: Inglehart -0.39* (-1.90)

Variabel kontrol Ya Ya Ya

Dummy regional Ya Ya Ya

R-squared 0.86 0.87 0.88

Observasi 54 94 95

Catatan: Variabel kontral dan dummy regional dimasukkan ke dalam model. Metode 

estimasi memakai  regresi robust. t-statistic dilaporkan dalam tanda kurung. 

*, ** dan *** masing-masing menunjukkan signifikansi pada tingkat 10%, 5% dan 

1%. Perkiraan intersep tidak ditampilkan.

Pada bagian ini, pemeriksaan sensitivitas model dilakukan terhadap 

dampak afiliasi keagamaan dan kelompok pendapatan. Kishi et al., (2017) 

memetakan hubungan agama dengan negara kedalam empat kategori 

berikut, yaitu; pertama, negara-negara dengan agama resmi memberikan 

status resmi pada agama tertentu dalam konstitusi atau hukum dasarnya. 

Kedua, negara-negara yang mempunyai preferensi terhadap agama 

170



memiliki kebijakan atau tindakan pemerintah yang jelas-jelas mendukung 

satu (atau dalam beberapa kasus, lebih dari satu) agama di atas yang lain, 

biasanya dengan keuntungan hukum, keuangan, atau jenis praktis lainnya. 

Ketiga, negara-negara sekuler yang tidak memiliki agama resmi atau agama 

pilihan berusaha untuk menghindari memberikan manfaat nyata kepada 

satu kelompok agama di atas yang lain (walaupun mereka bahkan dapat 

memberikan manfaat bagi banyak kelompok agama). Keempat, negara-

negara yang memiliki hubungan perseteruan/permusuhan terhadap 

agama memakai  tingkat kontrol yang sangat tinggi atas lembaga-

lembaga agama di negara mereka atau secara aktif mengambil posisi 

agresif terhadap agama secara umum. riset   ini menglasifikasikan 

sampel memakai  variabel dummy, dimana kelompok keempat 

dijadikan sebagai omitted group.

Kolom (1) Tabel 14 melaporkan hasil yang menyertakan hubungan 

agama dengan negara. Kolom (1) berisi penambahan dummy hubungan 

agama dengan negara. Hasil yang dilaporkan pada kolom (1) tetap 

konsisten dengan hasil spesifikasi utama riset   ini, dimana religiositas 

tetap berpengaruh negatif signifikan terhadap jejak ekologis per orang. 

Hubungan agama dan negara tidak menunjukkan efek yang signifikan 

sebagaimana terlihat pada kolom (1).

Selain itu, pemeriksaan sensitivitas model juga dilakukan terhadap 

dampak kelompok pendapatan. riset   ini merujuk pembagian 

kelompok pendapatan negara yang bersumber dari World Bank tahun 

2020. ada   empat kelompok pendapatan yaitu, pendapatan 

tinggi, menengah atas, menengah bawah, dan bawah. riset   ini 

mengklasifikasikan sampel memakai  variabel dummy, dimana 

kelompok pendapatan rendah dijadikan sebagai omitted group. Kolom (2) 

pada Tabel 14 melaporkan hasil estimasi dengan menambahkan variabel 

kontrol kelompok pendapatan. Indeks religiositas tetap berpengaruh 

negatif signifikan terhadap jejak ekologis per orang.

171

8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim

Tabel 14. Sensitivitas terhadap Afiliasi Agama dan Kelompok Pendapatan

Variabel dependen = LJEP

(1) (2)

Menambahkan 

dummy agama 

negara

Menambahkan 

dummy kelompok 

pendapatan

Indeks religiositas -0.38* (-1.96) -0.46*** (-2.65)

Hubungan agama & negara

- Memiliki agama resmi -0.24 (-1.60)

- Menyukai agama tertentu -0.07 (-0.58)

- Sekuler -0.09 (-0.58)

Kelompok pendapatan

- Tinggi 0.12 (0.49)

- Menengah atas 0.08 (0.41)

- Menengah bawah 0.02 (0.14)

Variabel kontrol Ya Ya

Dummy regional Ya Ya

R-squared 0.88 0.87

Observasi 95 95

Catatan: Variabel kontral dan dummy regional dimasukkan ke dalam model. Metode 

estimasi memakai  regresi robust. t-statistic dilaporkan dalam tanda kurung. 

*, ** dan *** masing-masing menunjukkan signifikansi pada tingkat 10%, 5% 

dan 1%. Perkiraan intersep tidak ditampilkan.

Dari berbagai pengujian pengaruh indeks religiositas terhadap 

perubahan iklim yang diproksi memakai  emisi CO2 per kapita dan 

jejak karbon per orang, diperoleh hasil yang konsisten dan sejalan dengan 

hipotesis riset   ini. Religiositas memainkan peranan penting dalam 

mengatasi perubahan iklim. Pada bab berikut akan dibahas mengenai 

bagaimana kontribusi agama dalam mengatasi persoalan perubahan iklim.


9TRANSFORMASI AGAMA SEBAGAI KATALISATOR KEADILAN IKLIM

Agama dapat bertransformasi sebagai katalisator dalam perjuangan 

untuk mencapai keadilan iklim melalui intervensi radikal dalam mengatasi 

perubahan iklim. Agama, dengan pengaruh moral dan etika, memiliki 

potensi untuk memengaruhi pandangan warga   dan pemimpin 

dunia terkait perlunya tindakan yang lebih kuat. Agama juga dapat 

membantu menggerakkan warga   untuk mendukung solusi-solusi 

yang lebih radikal, seperti pengurangan drastis emisi karbon, investasi 

dalam teknologi hijau, dan perubahan fundamental dalam gaya hidup 

untuk melindungi lingkungan. Selain itu, agama juga dapat mencetak 

cendekia-cendekia muda yang ahli dibidang lingkungan dan perubahan 

iklim dan mampu memberikan kritik dan masukan terhadap kebijakan 

iklim, misalnya perdagangan karbon. Dengan demikian, transformasi 

agama dan intervensi radikal dalam perubahan iklim dapat membawa 

perubahan signifikan dalam upaya global untuk mencapai keadilan iklim 

yang diperlukan untuk masa depan planet ini.

9.1 Kritik atas Perdagangan Karbon

Perubahan iklim merupakan ancaman serius terhadap umat manusia 

dan planet bumi. Sejak Protokol Kyoto tahun 1997, muncullah konsep pasar 

karbon lahir sebagai instrumen ekonomi politik utama dalam mengatasi 

perubahan iklim global (Bohm et al., 2012). Newell dan Paterson (2010), 

mengklaim bahwa penerapan pasar karbon oleh elit keuangan global 

dan politik merupakan langkah awal menuju proses transformasi bentuk 

organisasi kapitalis menjadi bentuk baru yaitu “kapitalisme iklim” yang 

diklaim lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. 

174



Namun dalam pandangan Bohm et al., (2012), pelembagaan pasar 

karbon nyatanya tidak mewakili gerakan menuju transformasi kapitalisme 

secara radikal. Justru yang terjadi yaitu   ekspresi dari tren komodifikasi 

dan pengambilalihan ekologi yang mendorong ketidakmerataan proses 

pembangunan disertai rawan krisis. Dengan memakai  empat konsep 

kritis Marxis, yaitu: (i) keretakan metabolik (Metabolic Rift) (Foster, 

1999); (ii) kapitalisme sebagai ekologi dunia (Capitalism as ‘World-

Ecology’) (Moore, 2011); (iii) pembangunan dan akumulasi yang tidak 

merata melalui perampasan (Uneven Development and Accumulation 

by Dispossession) (Harvey, 2003, 2006); dan (iv) sub-imperialisme (Sub-

Imperialism) (Marini, 1972) oleh Bohm et al., (2012) dikembangkan 

kerangka analisis Marxis terkait pasar karbon. Mereka menemukan bahwa 

pasar karbon merupakan bagian dari sejarah perkembangan kapitalisme 

global yang lebih panjang dan keterkaitannya dengan alam. Kendati pun 

pasar karbon mampu melakukan dekarbonisasi dalam perekonomian 

dalam sudut pandang saat ini, potensi keberhasilannya akan suram 

sebagaimana dikemukakan para ahli seperti Foster, Moore, Harvey dan 

Marini. Mereka menilai pasar karbon akan selalu berdampak negatif 

terhadap lingkungan dan berimplikasi merugikan secara sosial. Bohm et al., 

(2012) juga berpandangan bahwa pasar karbon justru berfungsi sebagai 

inkarnasi terbaru dari proses komodifikasi dan ekspansi kapitalis secara 

kreatif serta berpeluang besar tidak mengubah dinamika kapitalisme 

yang mendorong perekonomian global lebih berkelanjutan. Selanjutnya 

dikatakan bahwa pasar karbon, alih-alih hendak mentransformasikan 

kapitalisme, malah yang terjadi alah mereproduksi dan memperdalam 

hubungan yang “tidak adil dan setara” antara negara-negara Utara dan 

Selatan. Inilah yang kemudian melahirkan tuntutan pentingnya keadilan 

iklim dalam soal perdagangan karbon. Apa itu keadilan iklim? Gonzales 

(2021) berkata kata  bahwa keadilan berawal dari teori dan praktik gerakan 

keadilan lingkungan. Gonzales (2012) mengatakan bahwa keadilan iklim 

memiliki ruang lingkup yang luas karena berdasarkan hak asasi manusia 

(HAM). Keadilan iklim dalam perspektif HAM mencakup hak atas hidup, 

175

9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim

kesehatan, dan integritas budaya, hak atas lingkungan yang sehat, hak 

kebebasan tanpa diskriminasi ras dan jenis kelamin, dan hak memperoleh 

informasi, berpartisipasi, dan akses terhadap keadilan.

Selama empat dekade silam keadilan lingkungan telah menjadi 

seruan warga   tatkala memperjuangkan ekologi dunia di belahan 

bumi selatan maupun utara. Pasalnya, selama itu yang mengemuka 

pada warga   di negara-negara berkembang yaitu   kesepakatan-

kesepakatan global, maupun instrumen kelembagaan dalam negosiasi 

perubahan iklim acapkali melahirkan ketidakadilan iklim. Terinspirasi 

kebangkitan gerakan keadilan lingkungan, sebuah koalisi keadilan 

lingkungan, agamawan, kebijakan, dan advokasi di tingkat global 

memobilisasi konsep keadilan iklim selama Konferensi Para Pihak (COP) 

secara berkesinambungan dalam forum UNFCCC (Schlosberg dan Collins, 

2014). Kelompok ini berhasil menerbitkan Prinsip Bali tentang “keadilan 

iklim” tahun 2002 yang merupakan salah satu gagasan awal soal keadilan 

iklim yang dilakukan gerakan sosial transnasional (Bali Principles, 

2002). Dalam Prinsip Bali, koalisi keadilan lingkungan; (i) menentang 

model pembangunan ekonomi berbasis pertumbuhan (growth) karena 

menyebabkan krisis iklim; (ii) mengutuk timbulnya ketidakadilan akibat 

produksi bahan bakar fosil yang berimbas terhadap warga   rentan 

(iii) mengupayakan pentingnya keadilan prosedural dan partisipatif; dan 

(iv) menuntut adanya keadilan korektif dengan cara mengalihkan sumber 

daya dari para pihak yang bertanggung jawab secara historis terhadap 

perubahan iklim kepada mereka dampak kerentanan yang tinggi (Bali 

Principles, 2002; Schlosberg & Collins, 2014).

Problem ketidakadilan iklim mengemuka sebagai akibat dari 

perubahan iklim dikelompokkan dalam empat aspek: pertama, 

ketidakadilan distributif muncul akibat adanya fenomena yang tidak 

proporsional terhadap bahaya lingkungan seperti industri ekstraktif dan 

polusi. Faktanya, negara-negara utara (maju) mestinya bertanggung jawab 

terhadap soal ketidakadilan iklim karena berkontribusi besar terhadap 

emisi GRK secara historis dan memperoleh manfaat ekonomi. Sebaliknya, 

176



pihak yang mengalami kerugian besar akibat ketidakadilan iklim yaitu   

negara-negara yang warga   berkontribusi paling kecil terhadap emisi 

GRK. 

Kedua, ketidakadilan prosedural mengemuka karena ditutupnya 

kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di 

level pemerintahan. Secara global ketidakadilan prosedural timbul karena 

negara-negara maju (utara) mendominasi lembaga-lembaga tata kelola 

ekonomi dan lingkungan serta acapkali mengabaikan perspektif maupun 

prioritas dari negara-negara berkembang (Selatan).

Ketiga, ketidakadilan korektif muncul akibat lemahnya upaya hukum 

dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Perubahan iklim merupakan salah 

satu perwujudan ketidakadilan korektif. Pasalnya, kelompok yang paling 

menderita akibat perubahan iklim yaitu   warga   adat dan negara-

negara kepulauan kecil. Hal ini dikarenakan mereka gagal mendapatkan 

kompensasi/ganti rugi akibat kerugian yang dialaminya.

Keempat ketidakadilan sosial terjadi karena adanya degradasi 

lingkungan yang memiliki keterkaitan erat dengan penyakit sosial, seperti 

rasisme dan kemiskinan. Dalam konteks perubahan iklim ketidakadilan 

sosial timbul karena secara sistematis tatanan ekonomi yang berlangsung 

justru makin memperburuk kemiskinan dan kesenjangan serta melampaui 

batas-batas ekosistem bumi yang memiliki keterbatasan. 

Soal ketidakadilan iklim merupakan salah satu problem dalam 

mengatasi krisis iklim akibat perubahan iklim global. Isu ketidakadilan 

iklim kerap mengemuka di forum-forum pertemuan tingkat tinggi 

perubahan iklim. Pasalnya, negara-negara maju yang menyumbang emisi 

karbon terbesar di dunia tak mau menyepakati penurunan emisi GRK. 

Konsekuensinya yaitu   negara-negara maju mesti mengurangi industrinya 

yang memakai  bahan bakar fosil sebagai salah satu sumber emisi 

gas CO2 yang dibuang ke atmosfer. Lebih ekstremnya lagi negara-negara 

maju membebankan upaya penurunan emisi GRK kepada negara-negara 

berkembang yang masih memiliki luasan hutan tropis yang terbesar 

di dunia seperti Brazil dan Indonesia. Negara-negara maju menjanjikan 

177

9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim

sejumlah bantuan finansial bagi proyek-proyek perdagangan karbon yang 

melibatkan lembaga-lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, IMF 

dan ADB) dan lembaga non-pemerintah serta perusahaan multinasional. 

Diharapkan dari proyek-proyek itu akan meningkatkan upaya pencapaian 

penurunan emisi GRK dan mempertahankan kesepakatan perjanjian Paris 

yang mengusulkan kenaikan suhu bumi 1.5°C hingga tahun 2050. 

Namun, demikian perdagangan karbon yaitu   jebakan bagi negara-

negara berkembang yang skemanya tidak masuk akal. Bagaimana 

mungkin negara-negara maju yang memproduksi emisi CO2 lalu upaya 

mengatasinya diserahkan kepada negara-negara berkembang lewat 

bantuan finansial. Sementara negara-negara maju dengan industri 

ekstraktifnya tetap memproduksi CO2 dari polusi industrinya. Bahkan 

negara-negara maju memberikan skema utang luar negeri dengan 

kompensasi menjamin keberlanjutan ekosistem hutan di negara-negara 

berkembang. Pendek kata, negara maju tetap memproduksi emisi CO2 

tapi urusan pengendaliannya diserahkan ke negara berkembang. Mereka 

juga mengembangkan skema perdagangan karbon yang dikendalikan 

oleh perusahaan-perusahaan multinasional di negara-negara maju 

yang memproduksi emisi CO2 karena memakai  bahan bakar fosil. 

Imbasnya, melahirkan problem ketidakadilan iklim (climate injustice) 

secara global dalam mengatasi dampak perubahan iklim antara negara 

maju versus negara berkembang. Bahkan klaim perdagangan karbon bakal 

menurunkan emisi CO2 dipertanyakan. 

Menurut Pearse dan Böhm (2014) ada   sepuluh alasan mengapa 

perdagangan karbon tidak akan menghasilkan penurunan emisi secara 

radikal; pertama, pasar karbon dianggap sebagai kegagalan karena 

sulit mencapai tujuan utamanya, yaitu mengurangi emisi GRK. Fakta 

membuktikan bahwa sangat sulit menentukan hubungan sebab-akibat 

langsung antara pasar perdagangan karbon dengan penurunan emisi GRK. 

Kedua, pasar karbon sebagai celah ketidakadilan. Perdagangan karbon 

memberi peluang kepada negara-negara maju seolah-olah mengurangi 

emisi GRK. Padahal, mereka menyerahkan tugas pengurangan emisi 

tersebut kepada negara-negara berkembang. Konsep penyeimbangan 

178



karbon merupakan inti dari pasar karbon yang sejatinya menjadi sebuah 

celah dan model mitigasi yang tidak adil. Pasalnya, penyeimbangan 

tersebut sejarinya mengalihkan tugas utama negara-negara maju (di 

utara) yang selama ini mengekstraksi bahan bakar fosil di negara- kepada 

negara-negara berkembang (di selatan). Semestinya, secara ekonomi 

politik negara-negara maju mesti mengurangi emisi GRK-nya.

Ketiga, pasar karbon sebagai model pembangunan yang tidak adil. 

Awalnya konsep perdagangan karbon dianggap menjanjikan sebagai 

mekanisme baru pembangunan berkelanjutan. Namun, kenyataannya 

tidak memberikan pembagian manfaat secara merata dan luas. Faktanya 

distribusi pembiayaan Clean Development Mechanism (CDM) berbentuk 

aliran investasi asing langsung lebih ditujukan kepada negara-negara 

berpendapatan menengah seperti Tiongkok, Brasil, dan India. Sementara 

negara-negara miskin tidak mendapatkan manfaat tersebut. Imbasnya, 

tujuan pembangunan berkelanjutan hanya sekedar basa-basi. Pasalnya, 

skema program penggantian kerugian dalam berbagai praktiknya justru 

menciptakan masalah lingkungan dan sosial tambahan. Contohnya, 

terjadinya penurunan permukaan air pada lokasi percontohan penanaman 

hutan sebagai Prototype Carbon Fund dari Bank Dunia di berbagai negara 

disertai konflik akses lahan antara warga   mengalami dampak dengan 

pemerintahan setempat.

Keempat, pasar karbon sebagai subsidi bahan bakar fosil. Kompensasi 

berlebihan yang diterima industri padat energi berbahan bakar fosil di 

berbagai negara maju justru memicu polusi GRK di satu sisi. Akan tetapi di 

sisi lainnya, margin keuntungan mereka mengalami peningkatan drastis. 

Dalam kasus negara-negara Uni Eropa, setiap industri wajib berpartisipasi 

dalam European Union Emissions Trading System (EU-ETS). EU-UTS 

yaitu   landasan kebijakan Uni Eropa dalam mengatasi perubahan iklim 

dan sebagai instrumen utamanya dalam mengurangi emisi GRK dengan 

“menerapkan biaya efektif” (cost-effectiveness).

Mereka memperoleh izin gratis melampaui kebutuhannya sehingga 

nyaris seluruh biaya pengurangan emisinya dibebankan kepada konsumen. 

Kenyataannya, industri padat energi di Uni Eropa yang memperoleh 

179

9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim

kompensasi besar (besi dan baja, kilang dan utilitas (petro)-kimia) malah 

menghasilkan keuntungan tak terduga sebesar €14 miliar sepanjang 

2005-2008. Jadi, pasar karbon yang dikembangkan di Uni Eropa malah 

“menyubsidi” industri multinasional yang memakai  bahan bakar fosil 

dalam proses produksinya.

Kelima, pasar karbon bersifat regresif. Diterapkannya pajak konsumsi 

dalam perdagangan karbon disertai skema pembatasan dan perdagangan 

bahan bakar fosil akan berdampak terhadap harga energi, semua jenis 

barang dan jasa lainnya. Pasalnya, beban biaya karbonnya ditanggung 

oleh rumah tangga yang berpendapatan rendah secara tidak proporsional. 

Mereka secara riil membelanjakan banyak uang untuk membeli barang-

barang yang dikenai dampak penetapan harga karbon seperti listrik, 

bahan bakar minyak, dan bahan makanan. Akibatnya, pasar karbon 

menjadi regresif. 

Keenam, pasar karbon sebagai ladang korupsi. Pasar karbon yang 

diterapkan amat rentan terhadap penipuan sehingga menyuburkan 

korupsi. Dalam praktik pasar karbon di Uni Eropa tahun 2010 telah 

menimbulkan “penipuan carousel” (carousel fraud) atau “penipuan oleh 

pedagang yang hilang (missing trader fraud) dalam skema EU-ETS. Akibat 

kasus penipuan ini telah menimbulkan kerugian publik dan menghilangkan 

penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar €5 miliar. Bentuk 

penipuan lainnya juga didokumentasikan melalui proyek penggantian 

kerugian bersertifikat PBB (certified UN offset) dan kredit “netral karbon” 

yang dikembangkan dan dijual di pasar karbon secara sukarela. Akibat 

fenomena semacam ini, pasar karbon menjadi ajang korupsi. 

Ketujuh, pasar karbon sebagai keyakinan utopis terhadap penetapan 

harga. Secara teoritis, ekonomi lingkungan mengutamakan bagaimana 

hubungan ekonomi dibandingkan dengan kehidupan sosial dan ekologi, 

sehingga mengubah alam sebagai modal alamiah (natural capital). Pasar 

karbon merupakan sebuah konstruksi “komoditas fiksi” berdasarkan 

upaya utopis untuk memisahkan bagian siklus karbon dari warga   

dan memosisikannya berada di bawah kendali harga. Konsep ini memang 

bertentangan dengan teori ekonomi neoklasik yang menganggap pasar 

180



karbon sebagai konstruksi politik yang dibentuk akibat konstelasi kekuatan 

sosial yang mendominasi pasar. Para kritikus pasar karbon menilai bahwa 

praktik penetapan harga karbon bertentangan dengan model dalam buku 

teks ilmu ekonomi. Spash (2010) berpendapat bahwa klaim efisiensi dalam 

skema pasar karbon tidak bisa dibuktikan dengan analisis keseimbangan 

statis sehingga penetapan harga karbon sulit diprediksi. Di samping itu, 

model-model penetapan harga karbon mengabaikan besarnya pengaruh 

konsentrasi kekuasaan di pasar mana pun terutama dalam sektor energi 

berbasis bahan bakar fosil. Berbagai kasus program penggantian kerugian 

karbon hutan di negara-negara berkembang yang diterapkan oleh negara 

maju dengan pendekatan sistem insentif mengakibatkan pengabaian 

hambatan kelembagaan dalam penerapan dan penegakan tata kelolanya.

Kedelapan, pasar karbon sebagai saintisme. Pasar karbon 

merefleksikan keyakinan tentang penerapan ilmu pengetahuan secara 

universal. Pengetahuan ilmiah amat penting dalam proses pemberian hak 

atas emisi GRK. Komodifikasi dalam pasar karbon membutuhkan proses 

penyetaraan yaitu bagaimana menciptakan kesetaraan antara bagian-

bagian siklus karbon yang dibatasi dimana perihal yang berbeda secara 

kualitatif dianggap setara dan dapat dijual melalui media uang”. MacKenzie 

(2009) mengatakan bahwa proses sosio-teknikal dalam produksi 

komoditas karbon membuat segalanya menjadi sama (making things 

the same). Logika sejatinya didasari oleh pandangan reduktif terhadap 

alam. Padahal, antara GRK dengan masalah ekologi dan sosial memiliki 

perbedaan yang sangat besar. Asumsi ekonomi bahwa siklus karbon dapat 

diukur secara akurat, terukur, dan dibagikan sebagai hak kepemilikan 

(property rights) merupakan perihal sederhana. Muculnya kontroversi 

pengukuran pemanasan global dan potensi gas Hydrofluorocarbon (HFC) 

membuktikan adanya masalah dalam pengukuran. Lohmann (2005) 

berpendapat bahwa timbulnya masalah perbedaan dalam pengukuran, 

seumpana ketidakmungkinan pengukuran kuantitatif secara agregat dari 

“penyingkiran emisi” (emissions removals) melalui “penyerap karbon” 

(carbon sinks) tidak diakui para pihak UNFCCC atau IPCC.

181

9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim

Abstraksi yang terlibat dalam pembentukan komoditas CO2e (CO2 

ekuivalen) menyebabkan hal-hal yang tidak diketahui secara ilmiah 

acapkali ditekan (Lohmann 2010). Para kritikus menunjukkan bahwa 

karbon yang terkandung di atas dan di bawah permukaan tanah sangat 

berbeda. Apabila dalam perdagangan karbon berupaya menciptakan hak 

karbon yang setara sehingga diperdagangkan otomatis perihal tersebut 

menjadi suatu permasalahan. Karbon fosil merupakan bahan bakar energi 

seperti batu bara dan minyak. Bahan bakar ini diproduksi selama ribuan 

tahun dan menjadi inert yaitu menjadi gas yang tidak bereaksi dengan zat 

lain, misalnya nitrogen. Ada pula jenis karbon yang sifatnya kurang stabil 

yaitu karbon yang terkandung pada lanskap yang menjadi bagian siklus 

karbon hidup. Dalam siklus ini karbon akan terus berpindah dan berubah 

dari bentuk anorganik (CO2 di atmosfer) dan organik (tanaman, ganggang, 

hewan) selama jangka waktu beberapa dekade. Penyerapan karbon pada 

ekosistem darat melalui proyek konservasi tidak akan menghilangkannya 

siklus aktif atmosfer di daratan maupun lautan sehingga menimbulkan 

kerentanan akibat perubahan penggunaan lahan terhadap ekosistem 

tersebut.

Kesembilan, pasar karbon sebagai teknokrasi. Skema pasar karbon 

dikembangkan jaringan agen ekonomi transnasional (ekonom, ilmuwan, 

insinyur, penasihat kebijakan, anggota parlemen.) dan didukung teknologi 

kompleks (komputer, satelit sistem penentuan posisi global, pabrik, gas, 

sistem akuntansi). Para pelaku baru dalam perdagangan karbon membuat 

kontrak dengan warga   di wilayah Selatan. Dalam prosesnya, nilai-

nilai, hak, tanggung jawab, dan kewajiban baru ditentukan. Komodifikasi 

karbon melibatkan penilaian emisi secara abstrak, dan diturunkan sebagai 

fungsi biaya pengurangan marjinal. Lohmann (2009) mengamati bahwa 

pengelolaan pasar karbon menciptakan jumlah data penghitungan karbon 

yang banyak dan analisis biaya-manfaat yang rumit. Sistem manajerial baru 

semacam ini menghasilkan elit teknokratis baru sekaligus menciptakan 

zona ketidaktahuan baru dengan mengabstraksi dari mana emisi dihasilkan. 

Di samping itu kerumitan dalam tata kelola pasar karbon mengakibatkan 

keterbatasan pengawasan, akuntabilitas dan transparansi. Ditambah 

lagi pemberian hak istimewa terhadap pengetahuan para ahli sehingga 

182



menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan di antara calon pelaku 

pasar. Contohnya para pelaku korporasi yang mampu menggabungkan 

aktivitasnya merupakan pihak yang paling berhak mendapatkan manfaat 

dari keterlibatannya dalam pasar baru seperti REDD (Reducing emissions 

from deforestation and forest degradation). Sebaliknya, komunitas 

lokal yang hanya mengambil keputusan sekali seumur hidup untuk 

berpartisipasi dalam pasar karbon malah menanggung risiko yang jauh 

lebih besar dibandingkan korporasi. 

Kesepuluh, pasar karbon sebagai hambatan. Para pegiat iklim di 

Uni Eropa membangun sebuah koalisi dan berkumpul lalu berargumen 

bahwa kebijakan EU ETS di Uni Eropa harus dihapuskan karena penetapan 

harga karbon tidak memberikan jalan bagi model-model kebijakan iklim 

lainnya secara politik. Sebaliknya, perdagangan karbon justru dianggap 

menghambat peningkatan emisi sehingga dijadikan argumentasi untuk 

mengabaikan kebijakan energi lainnya yang berkontribusi lebih besar 

terhadap proses dekarbonisasi. Contohnya, Australia tahun 2012 

menerbitkan kebijakan energinya berdasarkan asumsi bahwa emisi 

disalurkan ke luar negeri. Sementara, aktivitas industri batubara dan gas 

dalam negerinya tetap berlangsung dan diperluas. Jadi, penetapan harga 

karbon hanya dijadikan “kedok” untuk memprivatisasi sumber energinya 

dan menghapus upaya yang mendukung pengembangan sumber energi 

terbarukan di negara tersebut. 

Dalam, berbagai literatur yang ditemukan menunjukkan bahwa 

tingginya tingkat religiositas seseorang penganut agama berkorelasi 

dinamis dengan tingginya responsibilitas dan kepekaan terhadap isu 

perubahan iklim. Pertama, negara-negara maju dan berpendapatan 

tinggi umumnya sekuler dan ateis. Namun, mereka memiliki tingkat 

responsibilitas dan kepekaan yang tinggi terhadap perubahan iklim 

dibandingkan negara-negara berkembang yang religiositasnya tinggi. 

Padahal secara faktual negara-negara tersebut produsen terbesar emisi 

GRK seperti China, Amerika Serikat dan Rusia. Ironisnya, terjadi paradoks 

dalam kenyataannya. Negara-negara maju tersebut justru mengalihkan 

tanggung jawab penurunan emisi GRK yang diproduksi industrinya 

183

9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim

kepada negara-negara berkembang yang notabene memiliki lebih religius 

berbentuk skema perdagangan karbon (carbon trading). Negara-negara 

berkembang pemilik hutan tropis yang masih luas didanai agar menjaga 

kelestarian hutannya atau dikucurkan pendanaan reboisasi hutan. Lewat 

strategi ini negara-negara maju mengklaim dirinya telah berkontribusi 

dalam menurunkan emisi GRK. Padahal, sejatinya klaim tersebut amat 

sulit dibuktikan. Negara-negara maju tetap saja mengonsumsi bahan 

bakar fosil, seperti batubara, minyak bumi dan gas alam dalam proses 

produksinya yang memproduksi emisi GRK. Inilah ketidakadilan iklim 

global menyeruak hingga kini sehingga acapkali mengalami kebuntuan 

dalam kesepakatan soal iklim dalam forum United Nations Framework 

Convention on Climate Change (UNFCC) maupun Intergovernmental Panel 

on Climate Change (IPCC).

Kedua, dari riset   penulis ditemukan bahwa negara – negara 

berkembang dan terbelakang dengan tingkat pendapatan yang rendah 

umumnya memiliki tingkat religiositas yang tinggi dan bertanggungjawab 

terhadap upaya mengatasi perubahan iklim merujuk dari hasil dengan 

pendekatan emisi CO2 dan jejak ekologi. Padahal dalam konteks 

ketidakadilan iklim, negara-negara berkembang dan terbelakang telah 

menanggung beban dari negara-negara maju supaya menjaga kelestarian 

hutannya seperti Indonesia dan Brazil. Produksi karbon dari hutan 

negara-negara berkembang dan terbelakang tersebut diharapkan akan 

menurunkan emisi GRK di atmosfer. Makanya, negara-negara maju 

mengembangkan skema perdagangan karbon yang akan dilepas di 

pasar bursa karbon. Meskipun, skema perdagangan karbon itu belum 

terbukti menurunkan emisi GRK secara radikal. Justru perdagangan 

karbon menjelma menjadi model baru kapitalisme untuk mengeksploitasi 

sumber daya alam di negara berkembang dalam bingkai mekanisme pasar 

bebas berbentuk perdagangan karbon. Di sinilah sejatinya, ketidakadilan 

iklim mengemuka yang melahirkan anti tesis pentingnya keadilan iklim 

secara global. Jika dikaitkan dengan ajaran agama-agama samawi 

maupun agama tradisional, maka tema “keadilan” merupakan esensi 

pokok ajarannya untuk membangun kesadaran teologis, humanisme dan 

ekologis bagi umat manusia menjalani kehidupan yang harmonis antara 

184



manusia dengan manusia (humanisme), serta hidup berdampingan 

dengan alam. Demikian pula dalam hubungan antara manusia dengan 

Tuhannya, unsur keadilan inheren di dalamnya. Artinya, problem 

ketidakadilan iklim yang mencuat dalam dinamika isu perubahan iklim 

dan perdagangan karbon sangat bertentangan dengan hakikat ajaran 

agama maupun agama tradisional yang berkembang di berbagai belahan 

dunia yang mengutamakan keadilan distributif. Oleh karena itu, dalam 

konteks global, dalam upaya mengatasi perubahan iklim, agama secara 

institusional dapat berkolaborasi dan membangun konsensus bersama 

untuk mereduksi ketidakadilan iklim baik ekonomi politik dan ekologi. 

Agama menjadi katalisator untuk mendorong negara-negara maju untuk 

mengatasi problem perubahan iklim bersama dan adil dengan negara-

negara berkembang melalui kolaborasi dan konsensus bersama misalnya 

penurunan suhu di bawah 1.5°C hingga 2050. 

Pasalnya, skema perdagangan karbon yang diadopsi dan berkembang 

secara global sejatinya tidak berdampak terhadap kesejahteraan rakyat di 

negara-negara berkembang dan terbelakang. Justru, perdagangan karbon 

merupakan bentuk terselubung dari metamorfosis kapitalisme neoliberal 

yang dipraktikkan negara-negara maju untuk mengeksploitasi sumber 

daya alam di negara berkembang dan terbelakang. Makanya, dari sinilah 

kaum agamawan dan institusi keagamaan mentransformasikan ajaran 

agama sebagai “katalisator” dalam mewujudkan “keadilan iklim” secara 

global. Pasalnya esensi keadilan dalam ajaran agama ialah menentang 

(i) eksploitasi manusia atas manusia yang melahirkan kemiskinan, 

kesenjangan sosial ekonomi, dan keterbelakangan dan (ii) eksploitasi 

manusia atas alam yang melahirkan degradasi sumber daya alam dan 

ekosistemnya, dan krisis iklim akibat perubahan iklim. Di samping itu 

partisipasi dalam forum-forum pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi 

Perubahan Iklim menjadi penting supaya menyuarakan esensi ajaran 

agamanya yang mengutamakan “keadilan” sebagai dasar mereduksi 

ketidakadilan global dalam soal perubahan iklim. Para pemuka agama dan 

institusi keagamaan dapat memberikan solusi-solusi alternatif berbasiskan 

185

9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim

nilai-nilai dan ajaran agama samawi maupun agama tradisional yang 

memengaruhi perilaku individu dan tindakan kolektif komunitasnya dalam 

mengurangi emisi GRK. 

Pada tataran empiris telah berkembang model – model intervensi 

untuk mencegah merugikan akibat dampak perubahan iklim. Morrison 

et al., (2022) mengatakan bahwa intervensi dalam aksi iklim dewasa 

ini membutuhkan model intervensi yang bersifat preventif, efektif, 

dan sistemik yang radikal dan bukan konvensional. Pasalnya intervensi 

konvensional mampu memperlambat perubahan iklim dan membangun 

ketahanan iklim. Supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman soal 

intervensi radikal dalam perubahan iklim, maka Morrison mengambil 

pemahaman radikal dari kata sifat latin “radikalis”. Radikal mengandung 

arti “dari atau berkaitan dengan suatu akar”. Tujuannya yaitu   

mengidentifikasi jenis intervensi untuk mengatasi akar penyebab 

masalah, bukan penyebab langsung dan dampak gejalanya. Dalam kasus 

perubahan iklim, penyebab langsung yang dominan yaitu   konsumsi 

bahan bakar fosil dan pembukaan lahan. Sementara, dampak langsungnya 

yaitu   gelombang panas, kenaikan permukaan air laut, pengasaman laut, 

banjir dan gelombang badai, bencana alam, migrasi manusia dan hewan, 

gangguan ekologi, dan air, kerawanan pangan dan energi. Akar penyebab 

masalahnya yang menggerakkannya yaitu   kapitalisme dan materialisme, 

hubungan kekuasaan yang asimetris, dan sistem yang eksploitatif dan 

ekstraktif. 

9.2 Sinergi Agama dan Intervensi 

Perubahan Iklim

Beragam bidang riset   lintas disiplin saat ini sedang 

menginformasikan debat kebijakan dan menghasilkan antusiasme 

publik tentang mekanisme intervensi yang radikal terkait perubahan 

iklim. Intervensi radikal yaitu   intervensi yang nantinya mengatasi akar 

penyebab masalah perubahan iklim melalui jalur yang transformatif 

186



secara struktural dan sistemik (Morrison et al., 2022). Gambar 24 

memperlihatkan bagaimana pengaruh sistem dari cara-cara umum 

intervensi iklim. Respons keseimbangan non-linier dari sistem sosial-

ekologis (sumbu y) digambarkan sebagai fungsi dari kekuatan dari beberapa 

penggerak iklim yang berinteraksi (sumbu x). Garis biru mengindikasikan 

kurva respons alternatif, dimodifikasi oleh intervensi, dan titik-titik 

biru dan hitam menunjukkan pergeseran dalam keadaan sistem (untuk 

intensitas perubahan iklim yang diberikan) akibat intervensi. Intervensi 

iklim yang berbeda dapat menggeser ambang batas untuk menghindari 

(atau memicu) perubahan keadaan (A), memanipulasi umpan balik 

untuk mengubah bentuk hubungan keseimbangan antara penggerak dan 

keadaan sistem (B), atau mengurangi penggerak perubahan iklim untuk 

menghindari melampaui ambang batas (C). Pentingnya, memodifikasi 

ambang batas dan umpan balik (A dan B) untuk mengatasi dampak 

dan penyebab yang dekat jarang akan memiliki dampak sistem yang 

berkelanjutan atau berarti kecuali jika penyebab akar dari perubahan 

iklim juga diatasi (C).

1


Untuk memahami tipologi intervensi radikal dalam mengatasi akar 

penyebab perubahan iklim disajikan dalam Gambar 25. 

Sumber: Morrison et al., 2022

Gambar 25. Jenis-Jenis Intervensi Iklim yang Radikal

Gambar 25 menggambarkan adanya perdebatan soal intervensi 

radikal sehingga menimbulkan enam penafsiran berbeda tentang “radikal”. 

Interpretasi yang berbeda tersebut dianggap sebagai tipologi intervensi 

yang menggambarkan sejauh mana ia mengganggu status quo dalam 

mengatasi akar penyebab perubahan iklim. Enam tipologi intervensi iklim 

secara radikal Morrison et al., (2022):

Pertama, intervensi paliatif (palliative intervention), yaitu intervensi 

berupa solusi ilmiah melalui pengembangan teknologi ekstrem yang 

bertujuan beradaptasi terhadap perubahan iklim dan menunda dampak 

terburuknya seperti keruntuhan sosial dan ekologi. Caranya yaitu   

memanipulasi ambang batas yang mampu menolerir perubahan iklim. 

Jenis intervensi ini tidak mengatasi akar masalah perubahan iklim 

sehingga dianggap tidak masuk akal untuk mencapai tujuan membatasi 

emisi GRK dan mencegah dampak perubahan iklim yang terburuk. 

Contohnya, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon yang belum 

terbukti hasilnya, dan pengelolaan radiasi matahari untuk lokasi spesifik 

189

9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim

bagi terumbu karang. Solusi intervensi radikal semacam ini dianggal ilusi. 

Menariknya, jenis intervensi ini mendapatkan dukungan negara-negara 

industri yang memakai  bahan bakar fosil. 

Kedua, intervensi yang penuh harapan (hopefull). Jenis intervensi ini 

diyakini dapat mengatasi darurat iklim melalui serangkaian perubahan 

ekonomi (skema penghitungan karbon, target energi terbarukan dan 

teknologi bersih) dan solusi berbasis alam (pemberian insentif kepada 

perusahaan untuk menyerap karbon atau melakukan desain regeneratif). 

Contohnya, koperasi sumber daya pesisir yang mendistribusikan teknologi 

energi terbarukan berbiaya rendah (fotovoltaik surya, lampu LED), 

sehingga mengurangi penggunaan bahan bakar maupun emisi karbon 

yang tinggi.

Jenis intervensi ini masih dikategorikan bersifat inkremental dan 

konservatif karena gagal mencapai tujuan yang diharapkan, mengganggu 

status quo dan lambat bekerjanya dalam mengerem perubahan iklim. 

Dengan perkataan lain intervensi yang penuh harapan penting dan 

bermanfaat akan tetapi jika implementasinya tidak mandiri, maka kecil 

peluangnya menciptakan perubahan yang transformatif. 

Ketiga, intervensi taktis (tactical intervention). Intervensi taktis, 

merepresentasikan tindakan radikal yang berusaha mengganggu. Model 

intervensi taktis akan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya 

mengatasi akar masalah meskipun sering gagal. Jenis inventarisasi 

taktik mencakup aksi komunitas secara langsung, pembangkangan sipil, 

dan protes berbasis ilmiah maupun elit. Contohnya yaitu   gerakan 

Jumat untuk masa depan, gerakan iklim kaum muda. Tujuannya yaitu   

mengganggu kondisi yang lazim terjadi (business as usual) dengan 

memaksakan deklarasi darurat iklim, memaksa divestasi dalam investasi 

dan pendukung bahan bakar fosil, serta meningkatkan kesadaran dan 

keterlibatan warga   dalam aksi iklim. Sasarannya yaitu   perusahaan 

berpengaruh, pemerintah, dan bank. Intervensi taktis berupaya 

memanipulasi ambang batas dengan menginternalisasikan aspek sosial. 

Hal ini merupakan tindakan awal warga   mengatasi akar masalah 

perubahan iklim. Dalam beberapa kasus pendekatan ini diabaikan karena 

190



dianggap bersifat destruktif, sehingga minim mendapatkan dukungan 

publik dan bertentangan dengan kebijakan yang ada. Intervensi taktis 

juga menghasilkan gerakan sosial yang kuat dalam memberikan tekanan 

moral dan insentif ekonomi dalam aksi iklim. Contohnya, gerakan sosial 

yang dilakukan La Via Campesina yang memobilisasi warga   menuju 

perubahan radikal. 

Keempat, intervensi parsial (partial intervention). Intervensi parsial 

dikembangkan berdasarkan tipe 3 yang melarang penggunaan bahan 

bakar fosil. Namun, tidak ada upaya selanjutnya mengatasi struktur 

ekonomi yang mendorong tindakan ekstraksi dan konsumsi bahan bakar 

fosil atau memandu transisi sosial bagi para pekerja yang kehilangan 

pekerjaan. Perkataan lain hubungan kekuasaan dan struktur sosio-

ekonomi masih tetap ada. Dari ini intervensi mulai tampak lebih radikal 

walaupun perannya masih bersifat simbolisme masih. Contohnya, upaya 

yang dicurahkan tanpa mengenal waktu untuk memperdebatkan simbolik 

tentang dampak sosial dari pelarangan ekstraksi dan konsumsi bahan 

bakar fosil dibandingkan penyebab mendasar dari kapitalisme, eksploitasi 

dan konsumerisme. Di beberapa negara, perdebatan sederhana 

mengakibatkan absennya tindakan terhadap perubahan iklim selama 

beberapa dekade. Namun, menghilangkan bahan bakar fosil tidak serta 

merta mengubah perekonomian, struktur kekuasaan, dan hubungan 

internasional yang mendorong perubahan iklim. Dengan perkataan lain, 

walaupun menghentikan seluruh aktivitas pertambangan batubara, 

namun tak menjamin intensifikasi, eksploitasi, dan pemborosan teknologi 

lainnya akan menggantikannya. Pelarangan terhadap penggunaan bahan 

bakar fosil tanpa disertai penyesuaian struktural yang lebih luas (rencana 

transisi regional dan pajak keuntungan besar) terkesan menghasilkan 

kemajuan dan pembebasan pemerintah terutama intervensi lebih luas 

demi warga   lebih berkelanjutan dan adil. Di samping itu, larangan 

penggunaan bahan bakar fosil bisa disalahgunakan oleh industri dan 

pemerintah untuk menghindari intervensi yang lebih radikal.

191

9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim

Kelima, intervensi strategis (strategic intervention). Intervensi ini 

berdasarkan tipe 5 yang mendekati radikal sejati yaitu dengan cara 

meningkatnya tingkat gangguan dalam mengatasi akar permasalahan. 

warga   global yang memiliki kepedulian tinggi akan mendukungnya 

karena bertujuan mengatasi korupsi dan asimetri kekuasaan melalui 

pemulihan akuntabilitas, legitimasi, integritas dan transparansi 

pemerintahan. Artinya, intervensi tersebut memberikan perhatian 

terhadap cara warga   meminimalkan kepentingan pribadi dan 

kesenjangan kekuasaan serta memaksimalkan kepentingan yang 

kelompok terpinggirkan dan mengutamakan transparansi. Pasalnya, 

kekuasaan kerap kali menjurus pada tindakan korupsi. Makanya, 

dibutuhkan upaya menjaga integritas pemerintahan sebagai proses yang 

berkelanjutan. Contohnya, integritas tata kelola dan badan antikorupsi, 

serta transparansi dan konflik menghindari kepentingan. Contohnya, 

menetapkan pembentukan “sistem kekebalan sipil” dimana mekanisme 

transparansi, akuntabilitas dan pemantauan ekologi menjadi penting 

dalam meningkatkan demokratisasi dan meminimalkan penyelewengan 

peraturan dan penyalahgunaan kekuasaan. Umpamanya, PBB melakukan 

intervensi strategis dengan mengecualikan kepentingan nirlaba 

(perusahaan berbahan bakar fosil) terlibat dalam perumusan kebijakan 

perubahan iklim berdasarkan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan 

Iklim. Contohnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara strategis 

mengecualikan perusahaan tembakau dari Konvensi Kerangka Kerja 

Pengendalian Tembakau sehingga berdampak positif. Faktanya terjadi 

pengurangan penggunaan tembakau global di kalangan laki-laki dari 

50% tahun 2000 menjadi 38.6% tahun 2018. Sementara di kalangan 

perempuan berkurang dari 16.7%. tahun 2000 menjadi 8.5% tahun 2018. 

Tujuan intervensi strategis yaitu memperbaiki hubungan ekonomi politik 

secara strategis dan bersifat asimetris yang mendorong timbulnya sistem 

eksploitatif dan ekstraktif. Jenis intervensi ini ditargetkan dalam tata kelola 

iklim dan menjadi mainstreaming dari semua jenis tata kelola.

Keenam, intervensi sangat radikal (deep intervention). Intervensi 

sangat radikal berada pada tipe 6. Jenis intervensi ini bertujuan mengatasi 

akar penyebab perubahan iklim dengan cara menjungkirbalikkan sistem 

192



kapitalis yang eksploitatif, dan ekstraktif. Jenis intervensi ini jangan dianggap 

sebagai tindakan yang tidak realistis. Kenyataannya, jenis intervensi ini 

semakin meningkat karena pemerintah, komunitas, dan organisasi nirlaba 

merancang dan menerapkan perubahan sosial serta lingkungan melalui 

kebijakan emansipatoris, keadilan sosial, dan redistributif. Contohnya 

mencakup:

1. Intervensi yang mengatasi kapitalisme dan materialisme. Agar 

mencapai pengurangan emisi sesuai dengan Perjanjian Paris, 

beberapa negara berpendapatan tinggi secara aktif mulai 

mempertimbangkan kebijakan degrowth dan pasca pertumbuhan 

(post growth). Kebijakan berdasarkan bukti yang kuat bahwa aktivitas 

perekonomian yang diukur dengan indikator produk domestik bruto 

(PDB) bisa dipisahkan dari penggunaan energi. Contohnya, Spanyol, 

mampu melampaui Amerika Serikat dalam indikator-indikator sosial 

utama (termasuk harapan hidup yang lima tahun lebih lama), meski 

PDB per kapitanya lebih rendah 55%. Kebijakan degrowth dan post 

growth telah mengelola perekonomian berdasarkan prinsip keadilan 

dan kecukupan, bukan PDB. Contohnya, memperpendek jam kerja 

(Perancis dan Selandia Baru) dan investasi pada transportasi tidak 

bermotor dan angkutan umum (Belanda dan Chile). Intervensi ini 

bersifat radikal karena memakai  emisi yang sangat sedikit 

dibandingkan moda kerja dan transportasi lainnya serta berkontribusi 

terhadap tingkat kesejahteraan maut manusia menjadi lebih tinggi. 

Akibatnya, melawan premis dominan yang berkata kata  bahwa 

pertumbuhan ekonomi dibarengi kesejahteraan mesti dicapai dengan 

segala cara.

2. Intervensi yang mengatasi hubungan kekuasaan yang asimetris. 

Intervensi radikal mendalam juga mengatasi kesenjangan. Contoh 

yang amat kuat meliputi skema pendapatan dasar, pajak pendapatan 

dan kekayaan progresif, dan pajak sumber daya ala negara-

negara Skandinavia. Semua tersebut dijalankan agar membatasi 

kekuatan modal dan mendorong investasi pasca pertumbuhan 

serta mereorientasi di luar akumulasi modal. Contohnya, skema 

193

9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim

voucher keluarga yang mengabaikan pola tradisional dalam meraup 

keuntungan dan hubungan patron-klien. Praktiknya, Di Brazil yaitu 

dengan pengeluaran yang tidak terlalu besar (sekitar 0.5% dari 

PDB), Program Bolsa Família mampu menghubungkan pendidikan 

dan layanan kesehatan melalui bantuan tunai keluarga, sehingga 

mengatasi salah satu akar penyebab perubahan iklim (ketimpangan) 

sekaligus mengurangi kerentanan terhadap dampaknya.

3. Intervensi yang bertujuan mengatasi dan mengunci sistem eksploitatif 

dan ekstraktif dengan cara membalikkannya. Selama tiga dekade 

terakhir intervensi ini telah mengembangkan tata kelola warga   

yang memanajemen lebih dari 400 juta hektar hutan di negara-negara 

Selatan. Dalam intervensi ini mendorong pendekatan sosial dan politik 

yang saling berkelindan dalam membatasi emisi karbon, memperkuat 

usaha warga   adat dan komunitas agar menggulingkan sistem 

yang eksploitatif dan ekstraktif, serta mencegah meluasnya degradasi 

hutan. Keberhasilan intervensi ini ditentukan oleh upaya yang 

memastikan warga   tidak mengalami pengucilan dan pembiaran 

dalam perangkap kemiskinan yang sangat ekstraktif akibat terburu-

buru dalam melakukan proses transformasi.

Dalam semua tipologi intervensi radikal di atas, aspek pokok yang 

paling penting yaitu   bagaimana ilmu pengetahuan yang berkontribusi 

dalam semua jenis intervensi tersebut. Bagaimana jika di kaitkan 

dengan ajaran dan nilai-nilai agama. Dari semua jenis tipe intervensi 

radikal di atas, ajaran dan nilai-nilai agama dapat ditransformasikan dan 

menyinergikan dengan tipologi intervensi yang adaptif dan selaras dengan 

struktur warga  , tingkat pendapatan, kelembagaan, dan sistem sosial. 

Apalagi jenis intervensi ini juga disinergikan dengan nilai-nilai kearifan 

lokal warga   sehingga terjadi intervensi “hibrid” atau “kombinasi 

intervensi” yang bersinergi dengan ajaran dan nilai-nilai agama. 

Nantinya melahirkan model intervensi yang bersifat heterodoks/

eklektik yaitu yang menyempal dari model kapitalisme maupun 

strukturalisme/sosialisme dalam mengatasi perubahan iklim yang dapat 

diterapkan dalam kehidupan individu umat beragama dan tindakan 

194



kolektif organisasi keagamaan. Lewat sinergi dengan ajaran agama ini 

diharapkan akan melahirkan model hibrid dalam mengatasi penurunan 

emisi GRK yang berimplikasi mereduksi dampak perubahan iklim 

global. Dengan demikian, akan melahirkan keadilan iklim secara global 

berbasiskan transformasi ajaran-ajaran agama yang tercermin dari jenis 

intervensi yang dikembangkan.


Mainstreaming agama dalam mengatasi krisis iklim merupakan 

pendekatan yang mengakui peran yang semakin penting dari dimensi 

agama dalam upaya melawan perubahan iklim global. Ini melibatkan 

penggunaan nilai-nilai dan ajaran agama sebagai alat untuk memotivasi 

tindakan pro-lingkungan dan menggalang dukungan dalam pelestarian 

lingkungan. Pemahaman bahwa banyak komunitas dan individu yang 

dipengaruhi oleh ajaran agama, menjadikan agama sebagai sarana 

yang kuat untuk membangun kesadaran lingkungan dan menggerakkan 

tindakan konkret.

Selain itu, mainstreaming agama juga mencakup upaya untuk 

mengintegrasikan perspektif agama dalam pembuatan kebijakan dan 

perencanaan strategi lingkungan. Hal ini mencerminkan pengakuan akan 

pengaruh agama dalam membentuk perilaku dan nilai-nilai warga  . 

Dengan menggabungkan prinsip-prinsip agama yang mendukung 

keberlanjutan dan perlindungan alam ke dalam kebijakan pemerintah 

dan praktik bisnis, kita dapat mencapai keseimbangan antara kepentingan 

ekonomi dan lingkungan.

Terakhir, kolaborasi antaragama dan dialog antarkeyakinan menjadi 

komponen kunci dalam mainstreaming agama. Ini memungkinkan berbagai 

kelompok agama dan keyakinan untuk bekerja bersama dalam mencari 

solusi untuk krisis iklim. Dalam dunia yang semakin terhubung, upaya 

bersama ini menghadirkan peluang untuk merangkul keanekaragaman 

budaya dan keyakinan dalam upaya bersama melindungi planet ini untuk 

generasi mendatang.

196



Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai model gerakan keagamaan, 

keterlibatan kaum agamawan dalam forum global, ragam hambatan 

dan tantangan agama, transformasi menuju eko-religius, dan aksi nyata 

mengatasi krisis iklim.

10.1 Model Gerakan Keagamaan

Banyak kelompok dan denominasi agama di seluruh dunia telah 

mengambil tindakan untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong 

kepedulian terhadap lingkungan. Berikut beberapa contoh yang telah 

dilakukan oleh berbagai kelompok agama:

1. Islam

Agama Islam telah berperan penting dalam upaya global untuk 

mengatasi perubahan iklim dan mendorong kepedulian terhadap 

lingkungan. Salah satu inisiatif utama yaitu   “Islamic Declaration 

on Global Climate Change” yang dikeluarkan pada tahun 2015 oleh 

sekelompok ulama Muslim terkemuka (Chaplin, 2016; Jenkins et al., 2018; 

Koehrsen, 2021). Deklarasi ini menggarisbawahi tanggung jawab moral 

umat Islam untuk melindungi alam semesta dan menekankan perlunya 

tindakan konkret dalam mengurangi emisi GRK. Dokumen tersebut 

mendorong umat Islam untuk mendukung energi terbarukan, mengurangi 

pemborosan sumber daya, dan berperan aktif dalam upaya global untuk 

mengatasi perubahan iklim. 

Selain deklarasi ini, ada   berbagai kampanye yang diluncurkan 

oleh komunitas Islam. “Muslims for Climate” yaitu   salah satu contohnya. 

Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran umat Islam 

tentang perubahan iklim dan lingkungan. Mereka mengadakan seminar, 

lokakarya, dan program pendidikan yang berfokus pada prinsip-prinsip 

Islam dalam menjaga alam semesta dan mengelola sumber daya alam 

dengan bijak. Kampanye ini juga mendorong umat Islam untuk mengadopsi 

gaya hidup berkelanjutan.

197

10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim

Selain itu, gerakan penanaman pohon yaitu   bagian integral 

dari upaya umat Islam untuk pelestarian lingkungan. Program seperti 

“Greening the Desert” di berbagai negara bertujuan untuk menghijaukan 

lahan tandus dan mengatasi deforestasi dengan penanaman pohon dan 

tanaman lokal (AlHammad, 2022; Bolleter, 2019). Gerakan semacam 

ini bukan hanya memberikan manfaat ekologi, tetapi juga membantu 

komunitas yang terlibat untuk mengatasi tantangan perubahan iklim.

Di tingkat komunitas, banyak masjid dan lembaga pendidikan Islam 

telah mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan, seperti penggunaan 

energi terbarukan, pengelolaan sampah yang bijak, dan pendidikan 

lingkungan. Mereka juga aktif dalam menjalankan program-program 

kebersihan lingkungan, seperti membersihkan pantai atau taman kota, 

untuk memberikan contoh kepada jamaah mereka tentang pentingnya 

merawat alam semesta.

2. Kristen

Agama Kristen telah mengambil berbagai tindakan penting dalam 

upaya mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kesadaran terhadap 

kepedulian terhadap lingkungan. Salah satu inisiatif terkemuka yaitu   

“Laudato Si’” ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada 

tahun 2015. Dokumen ini menciptakan kerangka kerja yang kuat untuk 

mengintegrasikan isu-isu lingkungan dengan nilai-nilai moral Kristen. 

“Laudato Si’” mengajak umat Kristen untuk melihat alam semesta sebagai 

hadiah Tuhan yang harus dijaga dan menyuarakan perlunya tindakan 

konkret dalam mengurangi emisi GRK dan menjaga ekosistem bumi 

(Francis, 2019).

Umat Kristen di seluruh dunia juga terlibat dalam berbagai berbagai 

kampanye lingkungan. Salah satunya yaitu   kampanye “Season of 

Creation” yang dirayakan setiap tahun antara tanggal 1 September hingga 

4 Oktober. Selama periode ini, umat Kristen terlibat dalam doa, acara 

pemeliharaan lingkungan, dan aktivitas lainnya untuk meningkatkan 

kesadaran akan pentingnya pelestarian alam dan tanggung jawab kita 

sebagai kustodian ciptaan Tuhan 


Paus Fransiskus juga meluncurkan kampanye “Canticle of the 

Creatures” yang mendorong penggunaan energi terbarukan dan 

berkelanjutan. Kampanye ini mengingatkan umat Kristen tentang 

pentingnya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang 

merusak lingkungan dan menciptakan dampak perubahan iklim.

Di tingkat lokal, banyak komunitas Kristen aktif dalam program 

“Green Parish,” di mana mereka mengadopsi praktik berkelanjutan dalam 

kehidupan paroki mereka, termasuk penggunaan energi terbarukan, 

pengurangan sampah, dan pendidikan lingkungan untuk jamaah mereka.

Deklarasi “Catholic Climate Covenant” di Amerika Serikat yaitu   

contoh lainnya (Agliardo, 2013). Ini yaitu   upaya kolaboratif antara 

gereja Katolik dan organisasi-organisasi Katolik di Amerika Serikat untuk 

memobilisasi umat Katolik di negara tersebut dalam mengatasi perubahan 

iklim dan memperingatkan pentingnya menjaga penciptaan Tuhan.

Gereja Inggris membuat kampanye lingkungan hidup “Shrinking 

the Footprint” yang merupakan kampanye terkemuka dalam upaya 

mereka untuk mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kesadaran 

lingkungan (Swift, 2012; DeLashmutt, 2011). Kampanye ini mencakup 

berbagai inisiatif, seperti mengurangi emisi karbon gereja-gereja Anglikan, 

mempromosikan praktik-praktik berkelanjutan dalam pengelolaan 

properti gereja, dan mendorong para anggota untuk berkomitmen pada 

gaya hidup yang ramah lingkungan. Selain itu, komuni Anglikan juga telah 

mengeluarkan deklarasi resmi yang mendukung upaya perlindungan 

lingkungan dan penanganan perubahan iklim, memberikan dukungan 

moral yang kuat bagi inisiatif-inisiatif ini. Dengan demikian, “Shrinking the 

Footprint” yaitu   contoh konkret dari komitmen komuni Anglikan untuk 

melibatkan gereja dan anggotanya dalam upaya konkret untuk merespons 

krisis perubahan iklim dan menggerakkan kesadaran lingkungan.

199

10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim

3. Hindu

Agama Hindu memiliki peran yang penting dalam mengatasi 

perubahan iklim dan mendorong kepedulian terhadap lingkungan. 

Salah satu contoh gerakan yang mencolok yaitu   “Green Hinduism” 

yang merupakan inisiatif global yang bertujuan untuk menggabungkan 

ajaran-ajaran agama Hindu dengan tindakan nyata untuk melindungi 

lingkungan (Koning, 2022). Gerakan ini mengajarkan bahwa Bumi 

yaitu   “Matri Bhumi” (ibu kita) dan bahwa menjaga alam yaitu   tugas 

suci. Para penganut Hindu yang terlibat dalam gerakan ini secara aktif 

mempromosikan praktik-praktik ramah lingkungan seperti daur ulang, 

pengurangan konsumsi daging, dan penggunaan energi terbarukan. Ini 

yaitu   pandangan yang sejalan dengan upaya global untuk mengurangi 

dampak perubahan iklim.

Selain itu, gerakan “Project Green Hands” yang didirikan oleh Isha 

Foundation di India telah sukses menanam jutaan pohon dan memberikan 

pelatihan tentang praktik pertanian berkelanjutan kepada petani-petani 

setempat (Sankar, 2011). Selanjutnya, ada kampanye “Sacred Earth Sacred 

Trust” telah menciptakan kesadaran dalam komunitas Hindu tentang 

perlunya menjaga alam sebagai tugas suci. Kampanye ini mendukung 

tindakan konkret seperti pengurangan limbah plastik, penanaman pohon, 

dan promosi energi terbarukan. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak 

kuil Hindu di seluruh dunia juga telah menerapkan praktik-praktik ramah 

lingkungan seperti daur ulang dan mengurangi konsumsi energi. Kampanye 

ini juga menyebarkan pesan-pesan penting tentang pengurangan emisi 

karbon dan konsumsi berkelanjutan.

Para pemimpin agama Hindu dari seluruh dunia membuat sebuah 

deklarasi, yaitu “Hindu Declaration on Climate Change” pada tahun 2015 

(Lal, 2015). Deklarasi ini menggarisbawahi keterkaitan antara spiritualitas 

Hindu dan perlindungan lingkungan alam. Deklarasi ini mengajak umat 

Hindu untuk mengadopsi gaya hidup yang berkelanjutan, mengurangi 

emisi GRK, dan menghormati semua bentuk kehidupan sebagai ekspresi 

dari prinsip ahimsa. Selain itu, deklarasi ini mempromosikan pentingnya 

menjaga sumber-sumber air yang suci dan berkomitmen untuk mendidik 

200



dan meningkatkan kesadaran umat Hindu tentang isu-isu lingkungan 

dan perubahan iklim, dengan tujuan untuk menjadi pemimpin dalam 

perlindungan alam dan keberlanjutan global.

Tidak hanya dalam lingkup global, tetapi juga di tingkat lokal, banyak 

kuil Hindu telah berkomitmen untuk menjadi tempat-tempat yang ramah 

lingkungan. Contohnya yaitu   penggunaan atap surya untuk menghasilkan 

energi hijau di kuil-kuil, serta praktik daur ulang dan pengurangan limbah 

plastik di tempat ibadah tersebut. Hal ini yaitu   wujud dari komitmen 

komunitas Hindu dalam menjaga lingkungan.

4. Buddha

Pemeluk agama Buddha telah lama menjadi pelopor dalam upaya 

mengatasi perubahan iklim dan mendorong kepedulian terhadap 

lingkungan. Salah satu contoh gerakan yang signifikan yaitu   penggunaan 

konsep “Green Sangha” di mana umat Buddha secara aktif terlibat dalam 

praktik-praktik yang berkelanjutan. Ini termasuk mempromosikan praktik 

vegetarianisme, mengurangi pemborosan sumber daya, dan mendukung 

energi terbarukan. Gerakan ini juga mendorong praktik meditasi yang 

membantu individu lebih sadar akan dampak mereka pada lingkungan 

dan membantu mengatasi stres yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Gerakan lainnya, yaitu “Green Buddhism” (Kaza, 2019). Gerakan ini 

berupaya mengintegrasikan ajaran dan prinsip Buddha ke dalam advokasi 

lingkungan. Gerakan ini mendorong umat Buddha untuk hidup penuh 

kesadaran, mengurangi jejak ekologis, dan mempraktikkan konservasi. 

Hal ini sering kali melibatkan inisiatif seperti penanaman pohon, gerakan 

pembersihan, dan lokakarya kehidupan berkelanjutan.

Selain gerakan, kampanye juga telah menjadi bagian penting 

dalam upaya ini. Kampanye-kampanye seperti “Dharma for the Earth” 

dan “Buddhists for Climate Action” telah mendapatkan momentum, 

mengumpulkan dukungan dari komunitas Buddha di seluruh dunia. 

Mereka mengorganisir konferensi, seminar, dan pertemuan publik untuk 

menyadarkan umat Buddha akan pentingnya menjaga lingkungan dan 

201

10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim

melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan seperti penanaman pohon, 

membersihkan pantai, dan menggalang dana untuk proyek-proyek 

lingkungan.

Deklarasi juga telah menjadi alat efektif dalam menyuarakan 

kepedulian terhadap lingkungan dalam konteks agama Buddha. Sebagai 

contoh, beberapa komunitas Buddha telah merilis “Deklarasi Buddhisme 

untuk Lingkungan Hidup” yang menegaskan komitmen mereka untuk 

melindungi alam dan memperjuangkan perubahan positif. Deklarasi-

deklarasi semacam itu menyoroti ajaran-ajaran Buddha yang mengajarkan 

empat kebenaran mulia, termasuk penderitaan yang diakibatkan 

oleh kerusakan lingkungan, serta pentingnya praktik kasih sayang dan 

kebijaksanaan dalam mengatasi masalah tersebut.

5. Yahudi

Agama Yahudi juga telah aktif terlibat dalam upaya untuk mengatasi 

perubahan iklim dan mendorong kepedulian terhadap lingkungan. Salah 

satu contoh gerakan yang mencolok yaitu   “Hazon” yang merupakan 

sebuah organisasi nirlaba di Amerika Serikat yang mendorong praktik-

praktik berkelanjutan dalam komunitas Yahudi. Hazon mempromosikan 

penggunaan makanan organik, pengurangan limbah makanan, dan 

transportasi berkelanjutan melalui program-program pendidikan dan 

kampanye-kampanye kesadaran.

Sejumlah kampanye juga telah diperkenalkan oleh komunitas Yahudi. 

Contohnya yaitu   kampanye “Shabbat Shabbaton” yang mengajak orang-

orang untuk merayakan hari Sabat dengan tidak memakai  listrik 

dan peralatan listrik sebagai bentuk penghematan energi (Nevin, 2012). 

Kampanye ini menekankan pentingnya mengurangi konsumsi energi fosil 

dan menciptakan kesadaran akan dampaknya terhadap iklim.

Deklarasi juga telah menjadi alat yang penting dalam menggerakkan 

komunitas Yahudi terhadap isu-isu lingkungan. “Rabbinic Letter on the 

Climate Crisis” yaitu   salah satu contoh deklarasi yang ditandatangani 

oleh ratusan rabbi Yahudi yang menggarisbawahi tanggung jawab 

202



moral untuk mengatasi perubahan iklim. Deklarasi ini berkata kata  

dukungan bagi upaya-upaya perlindungan lingkungan dan penekanan 

pada pentingnya menjaga bumi sebagai warisan yang diberikan kepada 

generasi mendatang.

Beberapa sinagoge dan organisasi Yahudi telah mengadopsi konsep 

“Sinagoge Hijau”, yaitu sebuah konsep yang menciptakan hubungan 

antara agama Yahudi dan kepedulian terhadap lingkungan. Ini yaitu   

upaya untuk memadukan nilai-nilai agama Yahudi dengan tindakan 

nyata untuk menjaga Bumi (UNEP, 2020). “Sinagoge Hijau” mendorong 

komunitas Yahudi untuk mengadopsi praktik-praktik ramah lingkungan 

dalam ibadah mereka, seperti penggunaan energi terbarukan, daur 

ulang, dan pengurangan konsumsi daging. Konsep “Sinagoge Hijau” juga 

menekankan pentingnya menghormati dan menjaga alam sebagai bagian 

dari tanggung jawab sosial dan moral dalam ajaran Yahudi. Ini yaitu   

upaya yang bertujuan untuk menciptakan komunitas Yahudi yang lebih 

berkelanjutan dan peduli terhadap lingkungan.

Umat Yahudi memiliki perayaan penting, yaitu Tu BiShvat atau juga 

dikenal sebagai “Tahun Baru Pohon” atau “Rosh HaShanah La’Ilanot” yang 

dirayakan tiap tanggal 15 bulan Shevat dalam kalender Ibrani, Tu BiShvat 

memperingati waktu di mana pohon-pohon buah di Israel mulai berbuah 

kembali setelah musim dingin. Selama perayaan ini, umat Yahudi sering 

melakukan tindakan-tindakan yang menekankan pentingnya menjaga 

alam dan lingkungan, seperti menanam pohon-pohon, memperkenalkan 

unsur-unsur lingkungan dalam ibadah, dan mempertimbangkan tanggung 

jawab mereka terhadap alam (Shoham, 2017). Tu BiShvat juga sering 

kali digunakan sebagai kesempatan untuk memahami dan merayakan 

hubungan yang dalam antara agama Yahudi dan alam, serta pentingnya 

menjaga ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.

Umut Yahudi di Amerika Serikat membuat organisasi bernama 

“Coalition on the Environment and Jewish Life”, disingkat COEJL. Organisasi 

ini berfokus pada masalah lingkungan dan keberlanjutan. Tujuan utama 

COEJL yaitu   untuk menggabungkan nilai-nilai agama Yahudi dengan 

203

10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim

tindakan nyata dalam menjaga lingkungan alam dan mempromosikan 

kesadaran tentang isu-isu lingkungan di kalangan komunitas Yahudi 

(Troster, 2004).

6. Sikh

Umat agama Sikh telah aktif terlibat dalam berbagai gerakan, 

kampanye, dan deklarasi untuk mengatasi perubahan iklim dan 

meningkatkan kesadaran lingkungan. Salah satu gerakan yang mencolok 

yaitu   “EcoSikh,” yang berfokus pada memadukan ajaran Sikh dengan 

praktik berkelanjutan (Singh, 2021). EcoSikh mengadvokasi penanaman 

pohon, penggunaan energi terbarukan, dan mengurangi sampah plastik 

dalam rangka mengurangi dampak lingkungan.

Kampanye “Lakh Tree Campaign” yaitu   salah satu inisiatif dari 

EcoSikh yang bertujuan menanam satu juta pohon di seluruh dunia. 

Kampanye ini memotivasi umat Sikh dan warga   umum untuk 

berpartisipasi aktif dalam menjaga ekosistem global dengan menanam 

pohon-pohon yang berkontribusi pada penyerapan karbon.

Deklarasi “Amritsar Declaration on Environment” yaitu   sebuah 

pernyataan yang dikeluarkan oleh berbagai pemimpin agama Sikh 

pada tahun 2016. Deklarasi ini menekankan pentingnya melindungi 

air dan tanah, mengurangi limbah plastik, dan mempromosikan energi 

terbarukan. Amritsar Declaration juga menyoroti peran penting agama 

Sikh dalam melestarikan sumber-sumber air suci dan mengambil tindakan 

nyata untuk perlindungan lingkungan.

Agama Sikh juga mempraktikkan konsep “Langar” yang merupakan 

pembagian makanan gratis kepada semua, tanpa pandang agama atau 

status sosial. Langar yaitu   dapur komunitas Gurdwara, yang menyajikan 

makanan kepada semua orang secara gratis, tanpa memandang agama, 

kasta, jenis kelamin, status ekonomi, atau etnis. Dalam kerangka ini, 

banyak langar telah mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan, seperti 

memakai  peralatan makanan yang ramah lingkungan dan mengurangi 

pemborosan makanan.

204



Umat Sikh sering merayakan ulang tahun Guru Nanak dengan 

mengadakan inisiatif lingkungan, seperti membersihkan sungai dan 

menanam pohon (Prill, 2015).

7. Baha’i

Salah satu aspek sentral ajaran Baha’i yaitu   pandangan bahwa alam 

yaitu   karunia dari Tuhan dan bahwa manusia memiliki tanggung jawab 

moral untuk merawat dan melindungi lingkungan. Sebagai contoh, gerakan 

“Green Baha’i” yaitu   inisiatif global yang melibatkan para pengikut Baha’i 

di seluruh dunia. Gerakan ini bertujuan untuk menyadarkan umat Baha’i 

tentang pentingnya keberlanjutan lingkungan dan mengajak mereka untuk 

mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari 

mereka, seperti pengurangan limbah dan penggunaan energi terbarukan.

Selain itu, kampanye-kampanye seperti “Bicara Kebenaran tentang 

Iklim” telah diadakan oleh komunitas Baha’i untuk meningkatkan 

kesadaran tentang perubahan iklim dan mengadvokasi tindakan konkret 

untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Kampanye ini 

menekankan pentingnya berbicara jujur tentang tantangan iklim dan 

berkomitmen untuk mengambil tindakan dalam menyikapinya.

Deklarasi juga merupakan bagian penting dari upaya Baha’i dalam 

mengatasi isu lingkungan. “Pernyataan Baha’i tentang Perlindungan dan 

Pelestarian Lingkungan” yaitu   contoh deklarasi yang menggarisbawahi 

pentingnya etika lingkungan dalam ajaran Baha’i. Deklarasi ini menyerukan 

kepada para pengikut Baha’i untuk menjalani kehidupan yang lebih 

berkelanjutan, memelihara alam, dan bekerja sama dengan semua pihak 

dalam menjaga keanekaragaman hayati.

Dalam praktik ibadah Baha’i, unsur-unsur yang menekankan 

kepedulian terhadap lingkungan telah diintegrasikan. Misalnya, dalam 

perayaan “Ridvan” yang merupakan salah satu perayaan paling penting 

dalam agama Baha’i, para pengikut Baha’i biasanya melakukan kegiatan-

kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan, seperti penanaman 

pohon atau membersihkan daerah lokal.

205

10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim

8. Agama tradisional

Agama tradisional yaitu   sistem kepercayaan, praktik, dan ritual 

yang telah ada dalam warga   selama berabad-abad, sering kali 

sebelum agama-agama besar seperti agama-agama Abrahamik (Yahudi, 

Kristen, Islam) atau agama-agama dunia seperti Hinduisme, Buddha, atau 

Sikhisme muncul.

Contoh gerakan yang dapat disebutkan yaitu   “Hima” sebuah 

konsep yang ditemukan di beberapa budaya di Timur Tengah dan Asia 

Tengah, seperti dalam tradisi agama Zoroastrianisme. Hima yaitu   bentuk 

pelestarian lingkungan di mana komunitas setempat berkomitmen untuk 

melindungi dan memelihara wilayah alam tertentu sebagai tugas agama 

mereka 

Komunitas adat Suku Sami di wilayah Arktik telah aktif dalam upaya 

pelestarian lingkungan dengan melibatkan pengetahuan tradisional 

mereka dalam menghadapi perubahan iklim (Tisdall, 2010). Mereka telah 

mengamati perubahan dramatis dalam cuaca, musim, dan lingkungan, 

dan memakai  pengetahuan ini untuk mengidentifikasi tindakan-

tindakan konkret seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor 

dan mempromosikan transportasi yang ramah lingkungan, serta 

melibatkan komunitas dalam pelestarian ekosistem yang penting bagi 

mata pencaharian tradisional mereka. Upaya komunitas Suku Sami yaitu   

contoh nyata bagaimana agama tradisional dan pengetahuan adat dapat 

menjadi pendorong utama dalam mengatasi perubahan iklim dengan 

menerapkan tindakan nyata yang berkelanjutan dan berbasis lokal.

warga   adat Maori di Selandia Baru telah aktif terlibat dalam 

upaya pelestarian lingkungan dan mitigasi perubahan iklim. Mereka 

menjalankan konsep “Kaitiakitanga” yang merupakan tanggung jawab 

suci untuk merawat dan melindungi alam (McAllister et al., 2023; Marras 

Tate & Rapatahana, 2022). warga   Maori secara tradisional telah 

menjaga hutan, sungai, dan lautan mereka dengan hati-hati, dan konsep 

ini terus hidup dalam budaya mereka. warga   Maori telah aktif dalam 

206



memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam, 

serta berpartisipasi dalam proyek-proyek restorasi lingkungan seperti 

penanaman pohon dan pengelolaan hutan berkelanjutan.

Di Afrika, komunitas suku-suku adat seperti Suku Himba di Namibia 

juga telah terlibat dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Mereka telah 

mengembangkan sistem manajemen air tradisional yang efisien dan 

berkelanjutan di tengah gurun yang kering (Hegga et al., 2020). Sistem ini 

memungkinkan mereka untuk mengumpulkan dan menyimpan air hujan 

dengan bijak, sehingga mengurangi tekanan terhadap sumber daya air 

yang semakin terbatas akibat perubahan iklim.

Beberapa komunitas adat di Asia seperti Suku Dayak di Kalimantan, 

Indonesia, telah aktif memakai  media sosial untuk menyoroti topik-

topik yang berkaitan dengan isu-isu struktural terkait dengan hak milik 

asli mereka—yaitu, hak adat asli mereka—dan perampasan tanah adat, 

khususnya oleh para penebang. dalam melindungi hutan hujan mereka 

dari deforestasi 

Deklarasi-deklarasi adat juga telah menjadi bagian penting dalam 

upaya komunitas ini. Misalnya, “Deklarasi Kari-Oca” yang dikeluarkan oleh 

suku-suku adat dalam Konferensi PBB pada tahun 1992, dan “Deklarasi 

Kari-Oca 2” pada tahun 2012 menyoroti pentingnya pengetahuan adat 

dan keberlanjutan dalam konteks perlindungan lingkungan. Selain itu, 

dalam banyak komunitas adat, para pemimpin keagamaan berperan 

dalam memotivasi umat mereka untuk mengambil tindakan nyata dalam 

menjaga alam 

10.2 Keterlibatan Kaum Agamawan  

dalam Forum Global

Keterlibatan agama dalam forum global mengenai perubahan 

iklim telah berkembang seiring berjalannya waktu, mencerminkan 

semakin besarnya pengakuan terhadap dimensi moral dan etika dalam 

permasalahan lingkungan. Sebelum tahun 1990-an, perubahan iklim 

belum menjadi isu global yang mendapatkan perhatian signifikan dari 

207

10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim

agama-agama. Pada tahun 1992, konferensi puncak bumi Perserikatan 

Bangsa-Bangsa (PBB) di Rio de Janeiro menghadirkan para pemimpin 

agama dari seluruh dunia yang mengemukakan pandangan mereka 

tentang perlindungan lingkungan. Ini menciptakan kesadaran awal 

tentang peran agama dalam isu lingkungan. 

Pada awal tahun 2000-an, beberapa agama mulai mengadakan 

pertemuan dan konferensi sendiri tentang perubahan iklim, 

menggarisbawahi pentingnya tanggung jawab etika terhadap lingkungan. 

Pada COP 13 di Bali, Indonesia tahun 2007 diadakan “Forum Agama” 

pertama yang dihadiri oleh berbagai pemimpin agama. Ini menjadi titik 

awal untuk pengakuan resmi peran agama dalam upaya penanggulangan 

perubahan iklim. Pada tahun 2009 dilaksanakan konferensi perubahan 

Iklim PBB di Kopenhagen. Konferensi ini menciptakan peluang untuk 

dialog antara berbagai agama. Pada saat ini, pemimpin agama, termasuk 

Paus Benediktus XVI, berbicara tentang dampak perubahan iklim dan 

mendukung tindakan kolektif untuk mengatasi isu ini. Ini yaitu   langkah 

awal dalam memasukkan perspektif agama dalam arena global.

Pada tahun 2010 Uskup Agung Canterbury merilis “Lambeth 

Declaration on Climate Change” yang menggarisbawahi komitmen gereja 

terhadap penanggulangan perubahan iklim. Pada tahun 2015, Paus 

Fransiskus merilis ensiklik “Laudato Si’” yang menyoroti isu lingkungan 

sebagai isu moral dan etika yang mendesak. Ini memicu perhatian global 

terhadap peran agama dalam perubahan iklim. Pada tahun yang sama 

para pemimpin Muslim dari seluruh dunia merilis “Islamic Declaration on 

Global Climate Change” yang menegaskan tanggung jawab etika dan moral 

umat Islam untuk melindungi alam. Pada tahun 2018 pernyataan serupa 

yang disebut “Declaración Islámica Sobre el Cambio Climático” diterbitkan 

dalam bahasa Spanyol, menjangkau komunitas Muslim di seluruh Amerika 

Latin. Pada tahun 2020, dalam rangka kampanye “Countdown Interfaith 

Service” sebuah layanan antaragama diselenggarakan di seluruh dunia 

untuk mengilhami tindakan iklim. Pada COP 26 di Glasgow tahun 2020, 

agama-agama aktif dalam acara “Faith for Climate: Live” menyoroti peran 

penting agama dalam upaya penanggulangan perubahan iklim.

208



Seiring berjalannya waktu, keterlibatan agama dalam forum 

global tentang perubahan iklim semakin mendalam. Agama-agama 

telah mengambil peran penting dalam mendidik, menginspirasi, dan 

menggerakkan komunitas mereka serta warga   internasional untuk 

bertindak demi melindungi planet ini. Melalui deklarasi, konferensi, dan 

kampanye lingkungan, agama-agama terus berkontribusi pada upaya 

penanggulangan perubahan iklim secara global.

10.3 Ragam Hambatan dan Tantangan 

Agama

Keterlibatan agama dalam menanggulangi perubahan iklim dapat 

dipengaruhi oleh beragam hambatan dan tantangan. Hambatan ini 

mungkin berbeda-beda tergantung pada tradisi agama, wilayah, dan 

komunitas tertentu, namun beberapa hambatan umum meliputi: 

Pertama, perbedaan teologis. Ketidaksepakatan teologis di dalam dan di 

antara denominasi agama dapat menghambat tindakan kolektif terhadap 

perubahan iklim. Beberapa kelompok agama mungkin menafsirkan 

teks suci atau doktrin mereka secara berbeda, sehingga menimbulkan 

pandangan yang bertentangan mengenai pengelolaan dan tanggung jawab 

lingkungan. Kedua, kurangnya kesadaran. Beberapa pemimpin agama 

dan komunitas mungkin tidak sepenuhnya memahami ilmu pengetahuan 

dan urgensi perubahan iklim, sehingga dapat menghambat keterlibatan 

mereka. Meningkatkan kesadaran dan memberikan pendidikan mengenai 

ilmu pengetahuan iklim dan implikasinya sangatlah penting. Ketiga, kendala 

sumber daya. Banyak lembaga keagamaan, khususnya lembaga-lembaga 

kecil atau terpinggirkan, mungkin kekurangan sumber daya finansial dan 

manusia yang diperlukan untuk memulai atau mempertahankan inisiatif 

perubahan iklim. Investasi dalam program dan advokasi lingkungan 

mungkin bersaing dengan prioritas lain, seperti penjangkauan warga   

atau pemeliharaan infrastruktur. 

Keempat, resistensi terhadap perubahan. Resistensi terhadap 

perubahan, baik dalam komunitas agama maupun individu, dapat 

menghambat upaya mengatasi perubahan iklim. warga   mungkin 

209

10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim

menolak mengubah praktik tradisional atau menerapkan perilaku baru 

yang ramah lingkungan. Kelima, perpecahan politik. Di beberapa wilayah, 

perubahan iklim telah menjadi isu yang memecah belah secara politik, 

dan komunitas agama mungkin ragu untuk terlibat karena kekhawatiran 

akan mengasingkan anggota yang memiliki pandangan politik berbeda. 

Hal ini dapat menyebabkan keengganan untuk mengambil sikap publik 

terhadap perubahan iklim. Keenam, fokus jangka pendek. Beberapa 

komunitas agama mungkin memprioritaskan kebutuhan dan krisis yang 

mendesak dibandingkan masalah lingkungan hidup jangka panjang. 

Mengatasi masalah kemiskinan, kelaparan, dan keadilan sosial mungkin 

lebih diutamakan daripada perubahan iklim dalam hierarki permasalahan. 

Ketujuh, tantangan komunikasi. Komunikasi yang efektif tentang 

perubahan iklim bisa jadi sulit, terutama ketika menangani kelompok 

agama yang beragam dengan tingkat literasi sains yang berbeda-beda. 

Para pemimpin agama dan komunikator mungkin kesulitan menyampaikan 

urgensi masalah ini dan perlunya tindakan. 

Kedelapan, faktor budaya dan daerah. Norma budaya dan sikap 

daerah terhadap lingkungan dapat memengaruhi keterlibatan komunitas 

agama dalam perubahan iklim. Di beberapa wilayah, permasalahan 

ekologi mungkin kurang mendapat prioritas. Kesembilan, hubungan 

antaragama. Meskipun inisiatif antaragama dapat menjadi kekuatan 

yang kuat untuk mengatasi perubahan iklim, membangun kepercayaan 

dan kerja sama di antara kelompok agama yang berbeda dapat menjadi 

sebuah tantangan, terutama ketika ada   konflik historis atau 

perbedaan sistem kepercayaan. Kesepuluh, kepentingan ekonomi. Dalam 

beberapa kasus, lembaga keagamaan mungkin mempunyai investasi 

atau kemitraan dengan industri yang berkontribusi terhadap degradasi 

lingkungan atau perubahan iklim. Mengatasi konflik kepentingan ini bisa 

jadi rumit. Kesebelas, kepemimpinan dan struktur organisasi. Kesediaan 

dan kemampuan para pemimpin agama untuk mengambil sikap terhadap 

perubahan iklim bisa sangat bervariasi. Beberapa lembaga keagamaan 

mungkin memiliki struktur hierarki yang menyulitkan inisiatif lingkungan 

hidup di tingkat akar rumput untuk mendapatkan daya tarik.

210



Kedua belas, konflik antaragama. Sama seperti kolaborasi antaragama 

dapat menjadi sebuah kekuatan, kolaborasi antaragama juga dapat menjadi 

tantangan ketika ada   konflik historis atau doktrinal di antara kelompok-

kelompok agama. Konflik-konflik ini dapat menghambat kerja sama dalam 

isu-isu iklim. Ketiga belas, sikap konservatif. Beberapa komunitas agama 

mungkin memiliki pandangan sosial dan politik konservatif yang skeptis 

terhadap ilmu pengetahuan iklim atau menolak tindakan iklim, sehingga 

berpotensi mengarah pada tindakan atau hambatan. Keempat belas, 

prioritas internal. Agama sering kali mempunyai prioritas yang beragam, 

termasuk keadilan sosial, pengentasan kemiskinan, dan pendidikan. 

Perubahan iklim mungkin tidak selalu menjadi prioritas utama, sehingga 

menyebabkan terbatasnya sumber daya dan upaya di bidang ini.

Terlepas dari hambatan-hambatan ini, banyak komunitas dan 

pemimpin agama yang secara aktif terlibat dalam upaya mengatasi 

perubahan iklim. Mengatasi tantangan-tantangan ini sering kali melibatkan 

pendidikan, dialog, kolaborasi, dan komitmen untuk menemukan titik 

temu di antara berbagai kelompok dengan nilai-nilai bersama dalam 

pengelolaan dan tanggung jawab lingkungan.

10.4 Transformasi Menuju Eko-Religius

Dalam era modern ini, manusia semakin menyadari perlunya 

transformasi dalam pandangan dan perilaku manusia terhadap alam 

semesta yang kita tinggali. Salah satu perubahan yang semakin mendapat 

perhatian yaitu   transformasi menuju pendekatan eko-religius. 

Pendekatan ini membawa harmonisasi antara keyakinan agama dan 

kesadaran ekologis, menciptakan hubungan yang kuat antara manusia 

dan alam. Melalui pemahaman eko-religius, manusia memandang alam 

bukan hanya sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi, tetapi sebagai 

entitas hidup yang harus dihormati dan dilestarikan. Transformasi ini 

bukan hanya tentang menggabungkan nilai-nilai spiritual dengan isu-isu 

lingkungan, tetapi juga tentang mengubah cara manusia berinteraksi 

dengan planet ini untuk menghadapi tantangan serius seperti krisis iklim.

211

10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim

Transformasi menuju eko-religius menantang manusia untuk 

merenungkan kembali makna hubungan antara agama, ekologi, dan etika. 

Ini merupakan sebuah langkah penting dalam menghadapi berbagai 

masalah lingkungan yang dihadapi dunia saat ini. Dengan menggabungkan 

keyakinan agama dengan kesadaran akan tanggung jawab terhadap alam, 

manusia dapat menginspirasi perubahan positif dalam perilaku dan 

kebijakan yang mendukung keseimbangan ekologi planet ini. Transformasi 

ini bukan hanya perubahan pandangan, tetapi juga sebuah perjalanan 

menuju tindakan nyata yang dapat membantu memitigasi perubahan iklim 

dan melestarikan keberlanjutan lingkungan untuk generasi mendatang.

Perubahan iklim telah menjadi keprihatinan dan kepedulian semua 

komunitas dunia, tak terkecuali komunitas agamawan. Ajaran agama yang 

mengajarkan etika dan perilaku dalam menjaga alam menjadi penting 

untuk ditransformasikan dalam mengurangi dan mengatasi dampak 

perubahan iklim. Oleh karena itu, inspirasi dalam beragama mestinya 

didorong untuk terfokus pada etika biosentris dan ekosentris, di samping 

antroposentris. Artinya, manusia tidak hanya bertanggungjawab terhadap 

manusia lainnya, melainkan juga terhadap lingkungan non-manusia yaitu 

flora dan fauna serta alam semesta. Agama diharapkan dapat mendorong 

perubahan perilaku manusia agar memiliki kepedulian terhadap 

kelestarian lingkungan, menciptakan warga   inklusif/partisipatif yang 

adil sehingga setiap anggota warga   menikmati rezeki secara kolektif 

(Kafley, 2019). Dengan demikian, agama dapat memengaruhi perilaku 

warga   untuk memilih perilaku, gaya hidup, dan pola konsumsi yang 

ramah atau tidak memusuhi ekologi (Hulme, 2017).

Saat ini keterlibatan agama dalam mencegah dan mengatasi dampak 

perubahan iklim masih relatif rendah. Padahal ajaran-ajaran agama secara 

teologi telah memberikan rambu-rambu yang harus dijalankan manusia 

dalam mencegah kerusakan lingkungan. Secara eksplisit, memang dalam 

ajaran agama tidak menyebutkan tentang dampak perubahan iklim. 

Namun, ajaran-ajaran agama maupun non agama dalam kitab sucinya 

masing-masing memberikan aturan-aturan yang bisa dijadikan dasar 

untuk mencegah dan mengatasi perubahan iklim. 

212



Berbagai riset   yang telah dilakukan para ilmuwan berkata kata  

bahwa pandangan kaum agamawan tentang perubahan iklim berbeda-

beda. Pandangan agamawan yang menganggap bahwa perubahan iklim 

bersumber dari Tuhan dan manusia tidak memiliki kemampuan untuk 

melawan Tuhan, sehingga manusia tidak perlu melakukan tindakan 

mitigasi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim. Pandangan 

semacam ini berbasiskan paham teosentris. Pandangan kaum agamawan 

yang berkata kata  bahwa perubahan iklim bersumber dari aktivitas 

manusia yang melakukan tindakan eksplitatif dan ekstraktif terhadap 

alam. Pandangan semacam ini termasuk antroposentris. Pandangan 

agama non samawi atau agama-agama lokal yang memandang bahwa 

manusia harus hidup bersahabat dengan alam tanpa melakukan tindakan-

tindakan pengrusakan ekologi. Cara pandang ini bisa ditransformasikan 

dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim. 

Dari berbagai sumber literatur menyebutkan bahwa kalangan 

non-agama (ateis) memiliki tingkat kepedulian yang tinggi terhadap 

perubahan iklim dibandingkan yang beragama (Arli et al., (2022). Oleh 

karena itu dalam mengoptimalkan peran agama dalam mencegah dan 

mengatasi dampak perubahan iklim yaitu   diperlukan pergeseran 

paradigma dan transformasi nilai-nilai keagamaan yang peduli terhadap 

lingkungan disertai kolaborasi antarumat beragama maupun non-agama 

dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Proses transformasi tersebut; 

pertama, merekonstruksi dan mentransformasikan nilai-nilai ajaran agama 

secara empiris dalam tataran perilaku individu maupun tindakan kolektif 

untuk mencegah dan mengurangi dampak perubahan iklim. Secara literal 

memang dalam ajaran agama samawi maupun agama tradisional tidak 

menyebutkan istilah dampak perubahan iklim. Namun, jika ditelusuri 

secara substantif ajaran agama maupun agama tradisional memberikan 

pemaknaan tentang pentingnya manusia menjaga kelestarian alam dan 

tidak merusak alam. Dari pemahaman semacam ini dikonstruksi bahwa 

perubahan iklim yaitu   timbul akibat tindakan destruktif manusia yang 

merusak alam misalnya menebang hutang, membuang bahan pencemar 

ke perairan dan penggunaan bahan bakar fosil yang tak terkendali. 

Semua tindakan manusia ini memicu peningkatan efek GRK sehingga 

213

10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim

menimbulkan dampak perubahan iklim global. Kongkretnya yaitu   

aktivitas keagamaan seperti khotbah menguraikan tidak hanya terkait 

ritual keagamaan melainkan juga aktivitas-aktivitas manusia yang memicu 

pemanasan global, seperti bagaimana mengurangi penggunaan bahan 

bakar fosil dan tidak menebang pohon sembarangan. 

Kedua, secara institusi dan organisasi keagamaan menggalang dan 

memelopori gerakan dan kampanye tentang ancaman dampak perubahan 

iklim. Kelembagaan dan organisasi keagamaan tidak hanya mengurusi 

aktivitas ibadah personal (kesalehan individu), melainkan ibadah nonritual 

(kesalehan sosial). Gerakan dan kampanye tentang ancaman perubahan 

iklim akibat pemanasan global dan sekarang menjadi pendidihan global 

seharusnya menjadi bagian penting dalam organisasi keagamaan sebagai 

manifestasi ajaran-ajaran kitab suci secara empiris. 

Ketiga, organisasi-organisasi keagamaan seharusnya terlibat aktif 

dalam forum-forum internasional, nasional dan lokal yang membahas 

perubahan iklim. Dalam forum-forum tersebut organisasi-organisasi 

keagamaan harus memberikan perspektif dan pandangan yang 

komprehensif dan holistik yakni nilai-nilai ajaran agama sejatinya memiliki 

tingkat kepedulian yang tinggi terhadap upaya menjaga kelestarian 

alam dan lingkungan. Perubahan iklim merupakan bagian dari problem 

lingkungan global yang mengancam kehidupan umat manusia, flora 

dan fauna, ekosistem planet bumi sehingga jika dibiarkan sama artinya 

mengabaikan nilai-nilai ajaran agama. 

Keempat, menyinergikan ajaran-ajaran agama dengan pengetahuan 

lokal maupun kearifan lokal warga   dalam menjaga keberlanjutan 

ekologi dan ekosistem karena pengetahuan serta tindakan warga   

tersebut dapat mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim. Nilai-

nilai dan ajaran agama seharusnya tidak dipertentangkan secara diametral 

dengan pengetahuan dan kearifan lokal warga  . 

Kelima, menginstitusionalisasi dan menginternalisasikan urgensi 

adaptasi perubahan iklim dalam lembaga pendidikan yang berbasiskan 

agama maupun non agama. Hal dibutuhkan untuk meningkatkan 

pemahaman dan mewarga  kan pentingnya pendidikan adaptasi 

214



terhadap dampak perubahan iklim bagi anak didik sehingga memaknai 

agama secara kontekstual dan praksis. Lembaga pendidikan dalam 

melakukannya dengan cara memasukkan tentang isu perubahan iklim, 

adaptasi dan mitigasinya dalam kurikulum pendidikan.

10.5 Aksi Nyata Mengatasi Perubahan Iklim

Agama dan komunitas keagamaan dapat memainkan peran penting 

dalam mengatasi perubahan iklim dengan mengambil aksi nyata untuk 

meningkatkan kesadaran, mendorong keberlanjutan, dan mengadvokasi 

pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab. Berikut beberapa 

aksi nyata yang bisa dilakukan agama untuk terlibat dalam mengatasi 

perubahan iklim: Pertama, menyelenggarakan seminar, lokakarya, dan 

program pendidikan dalam lembaga keagamaan untuk meningkatkan 

kesadaran tentang ilmu pengetahuan tentang perubahan iklim, 

dampaknya, dan dimensi moral dan etika dari tanggung jawab lingkungan. 

Kedua, memasukkan tema lingkungan ke dalam pendidikan agama, 

khotbah, dan ajaran untuk menekankan pentingnya merawat Bumi. 

Ketiga, memimpin dengan memberi contoh dengan menerapkan praktik 

ramah lingkungan di dalam fasilitas keagamaan, seperti penerangan hemat 

energi, sistem pemanas dan pendingin, serta mengurangi konsumsi air. 

Mendorong carpooling, bersepeda, atau penggunaan transportasi umum 

di antara anggota jemaat untuk mengurangi emisi karbon yang terkait 

dengan perjalanan pulang pergi. Keempat, mengadvokasi praktik-praktik 

berkelanjutan sesuai pedoman pola makan agama, mendorong pola 

makan nabati atau pilihan pangan berkelanjutan yang bersumber secara 

lokal. Mempromosikan penggunaan lahan dan praktik konstruksi yang 

berkelanjutan, seperti penggunaan bahan bangunan ramah lingkungan 

dan merancang fasilitas keagamaan yang ramah lingkungan. 

Kelima, membangun atau mendukung taman komunitas atau ruang 

hijau di dalam tempat keagamaan untuk membina hubungan dengan 

alam dan memberikan kesempatan pendidikan. Memulai kampanye 

penanaman pohon untuk berkontribusi pada upaya reboisasi dan 

mengurangi tingkat karbon dioksida. Keenam, terlibat dalam advokasi 

215

10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim

iklim dengan mendukung kebijakan dan inisiatif yang mendorong energi 

terbarukan, mengurangi emisi GRK, dan melindungi warga   rentan dari 

dampak perubahan iklim. Berkolaborasi dengan organisasi lintas agama 

dan lingkungan hidup untuk memperkuat suara yang mengadvokasi aksi 

iklim di tingkat lokal, nasional, dan global. Ketujuh, menumbuhkan dialog 

dan kemitraan antaragama untuk mengatasi perubahan iklim secara 

kolektif, dengan memanfaatkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip bersama 

dalam pengelolaan lingkungan hidup yang ada dalam berbagai tradisi 

agama. Berpartisipasi dalam acara dan inisiatif aksi iklim antaragama 

untuk menunjukkan persatuan dalam menghadapi tantangan lingkungan. 

Kedelapan, melakukan advokasi keadilan lingkungan, khususnya pada 

komunitas marginal yang terkena dampak perubahan iklim dan degradasi 

lingkungan secara tidak proporsional. Memberikan dukungan dan sumber 

daya kepada warga   yang menghadapi krisis lingkungan, seperti akses 

terhadap air bersih, bantuan bencana, dan langkah-langkah adaptasi. 

Kesembilan, meninjau dan mempertimbangkan kembali investasi 

yang dilakukan oleh lembaga keagamaan, melakukan divestasi dari 

industri yang berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim, seperti 

bahan bakar fosil, dan berinvestasi pada pilihan yang bertanggung jawab 

secara sosial dan berkelanjutan. Kesepuluh, mendorong para pemimpin 

agama untuk bersuara mengenai perubahan iklim dan isu-isu lingkungan 

hidup, memakai  otoritas moral mereka untuk menginspirasi tindakan 

dalam jemaat mereka dan komunitas yang lebih luas. Kesebelas, mengakui 

dan merayakan individu dan jemaat yang menunjukkan komitmen luar 

biasa terhadap kelestarian lingkungan. Kedua belas, libatkan generasi 

muda komunitas agama dalam kegiatan dan pendidikan terkait iklim, 

karena mereka sering kali merupakan pendukung aksi lingkungan yang 

bersemangat. Ketiga belas, mengintegrasikan ajaran-ajaran lingkungan 

ke dalam pengajaran agama dan praktik keagamaan sehari-hari. Ini 

dapat mencakup mengajarkan nilai-nilai keberlanjutan, tanggung jawab 

terhadap alam, dan etika lingkungan. Keempat belas, berperan sebagai 

advokat yang aktif dalam mendukung kebijakan iklim yang berkelanjutan. 

Hal ini dapat mencakup partisipasi dalam kampanye politik dan pendidikan 

warga   tentang isu-isu iklim.

216



Kelima belas, memulai proyek-proyek lingkungan seperti penghijauan, 

kampanye penghematan energi, dan pembersihan lingkungan. Mereka 

juga dapat berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan seperti panel 

surya di tempat ibadah mereka. Keenam belas, menyelenggarakan 

program pendidikan tentang perubahan iklim dan lingkungan untuk 

anggota komunitas mereka. Ini dapat mencakup seminar, lokakarya, 

dan kegiatan pembelajaran lainnya. Ketujuh belas, memutuskan untuk 

divestasi dari investasi di industri energi fosil dan mengalihkan investasinya 

ke energi terbarukan dan proyek-proyek lingkungan. Kedelapan belas, 

meningkatkan kolaborasi antaragama dapat memperkuat upaya 

penanggulangan perubahan iklim. Agama-agama dapat bekerja sama 

dalam proyek-proyek lingkungan, kampanye kesadaran iklim, dan upaya 

internasional. Kesembilan belas, terlibat dalam pemulihan habitat 

alami, seperti restorasi lahan basah atau hutan, untuk mempromosikan 

keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem. 

Kedua puluh, mendorong anggota komunitas untuk mengadopsi 

praktik-praktik hijau, seperti penggunaan kendaraan ramah lingkungan 

atau pengurangan limbah. Kedua puluh satu, berpartisipasi dalam lobi 

politik untuk mendorong pemerintah mengadopsi kebijakan lingkungan 

yang lebih kuat dan ambisius. Kedua puluh dua, memberikan bantuan 

dan dukungan kepada komunitas yang terkena dampak perubahan 

iklim, termasuk bantuan saat terjadi bencana alam yang disebabkan 

oleh perubahan iklim. Kedua puluh tiga, meluncurkan kampanye untuk 

mengubah perilaku individu, seperti kampanye hemat energi atau 

mengurangi limbah plastik. Kedua puluh empat, mengganti lampu dan 

sistem pencahayaan di tempat ibadah dengan penerangan yang lebih 

efisien energi dan ramah lingkungan.

Langkah-langkah nyata ini dapat membantu agama dan komunitas 

agama menjadi peserta aktif dalam upaya global mengatasi perubahan 

iklim, memanfaatkan pengaruh, sumber daya, dan nilai-nilai mereka untuk 

mendorong keberlanjutan dan tanggung jawab terhadap lingkungan.

Perubahan iklim telah menjadi isu dan agenda warga   global. 

Pada tataran praksis perubahan iklim telah dirasakan dan berdampak pada 

kehidupan umat manusia di seluruh planet bumi. Setiap tahun Organisasi 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation) melakukan pertemuan para 

pihak (the Conference of the Parties/COP) dalam Konferensi Perubahan 

Iklim (the United Nations Framework Convention on Climate Change/

UNFCC). Pertemuan terakhir COP ke-27 berlangsung tanggal 6 sampai 

20 November 2022 di Mesir. Hasil pertemuan COP 27 menegaskan 

kembali target utama untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 

1.5°C. Untuk mencapai target pembatasan kenaikan suhu global tersebut 

membutuhkan kontribusi dan keterlibatan dari berbagai pihak. Salah 

satunya yaitu   kontribusi agama sebagai institusi sosial dan keterlibatan 

penganutnya pada tataran praksis. 

Hasil riset   menyebutkan bahwa jumlah orang yang percaya 

kepada Tuhan di planet bumi mencapai 85.06 persen. Sejumlah 73.11 

persen mereka menganggap Tuhan penting dalam kehidupannya. 

Mereka menganggap kehadiran agama menjadi penting dalam kehidupan 

sebanyak 72.40 persen orang. Artinya, agama bisa menjadi institusi sosial 

yang digerakkan dalam mencegah dan mengatasi dampak perubahan 

iklim global. Ajaran agama apa pun baik itu agama samawi maupun 

agama tradisional memiliki ajaran dan nilai-nilai yang melarang umat 

manusia merusak lingkungan dan ekologi. Perubahan iklim yaitu   

bagian dari masalah yang dihadapi umat manusia akibat tindakan 

manusia mengeksploitasi alam, maupun ekologi yang telah berlangsung 

ratusan tahun. Problemnya yaitu   dari berbagai riset dan literatur yang 

ditemukan ternyata agama belum berkontribusi dan memiliki keterlibatan 

yang optimal dalam mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim. 

218



Pandangan keagamaan terhadap perubahan iklim masih bersifat 

ambivalen. Di satu sisi, kaum agamawan menganggap bahwa perubahan 

iklim yaitu   hukum alam yang bersumber dari Tuhan sehingga manusia 

tak perlu melawan hukum Tuhan tersebut yang dikenal sebagai teosentris. 

Di sisi lain kaum agamawan menganggap bahwa perubahan iklim akibat 

tindakan dan perilaku manusia yang merusak dan mengeksploitasi 

alam yang dikenal sebagai antroposentris. Pandangan yang bersifat 

antroposentrisme ini dominan dalam komunitas global tanpa memandang 

agama apa pun, sehingga upaya mencegah dan mengatasi dampak 

perubahan iklim baik melalui adaptasi dan mitigasi telah menjadi agenda 

dan kesepakatan bersama komunitas global. 

Dari riset   ini ditemukan bahwa sejumlah 70.60 persen umat 

manusia merasa dirinya sebagai seseorang yang religius terlepas apakah 

ia menghadiri kegiatan keagamaan atau tidak sama sekali. Ditemukan juga 

bahwa 34.03 persen orang yang mengikuti kegiatan keagamaan paling 

tidak sekali dalam seminggu. Dari seluruh negara yang diteliti ternyata 

Qatar menjadi negara yang paling religius di dunia. Sebaliknya, China 

menjadi negara yang paling tidak religius. Dari 95 negara yang diteliti, 

ternyata sepuluh negara penghasil emisi CO2 terbesar tahun 2020 yaitu   

China, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Iran, Jerman, Korea Selatan, 

Indonesia, dan Arab Saudi. Mereka menyumbang sekitar 74.98 persen 

emisi CO2 dunia. China menduduki peringkat pertama menyumbang emisi 

CO2 dunia sebesar 30.63 persen. Sumber emisi China yaitu   pesatnya 

industrialisasi, jumlah penduduk yang banyak dan menjadi pengguna 

batu bara terbesar di dunia, yakni 53 persen dari total konsumsi batu 

bara global. riset   ini juga menemukan sepuluh negara penyumbang 

jejak ekologis terbesar yaitu China, Amerika Serikat, India, Federasi Rusia, 

Brasil, Jepang, Indonesia, Jerman, Meksiko, dan Turki. Sepuluh negara 

tersebut menyumbang sekitar 74.98 persen jejak ekologis dunia. Negara 

China kembali menjadi penyumbang jejak ekologis terbesar dunia sebesar 

29.34 persen. Jika dikaitkan dengan tingkat religiositas umat manusia 

dalam suatu negara ternyata religiositas memengaruhi perilaku dan 

tindakannya terhadap alam (pengelolaan dan eksploitasi sumber daya 


alam) dan keberlanjutan ekologi maupun ekosistem. Negara dengan 

penduduknya yang memiliki tingkat religiositas tinggi memiliki tingkat 

kepedulian yang tinggi dalam mengurangi emisi CO2 per kapita dan jejak 

ekologis per orangnya. Sebaliknya, negara dengan tingkat religiositas yang 

rendah justru menjadi penyumbang emisi CO2 dan jejal ekologis per orang 

terbesar di dunia. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa religiositas memiliki 

pengaruh yang signifikan dalam mengurangi emisi CO2 per kapita dan 

jejak ekologis per orang dalam suatu negara. Hal ini membuktikan 

bahwa ajaran agama dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat 

ditransformasikan menjadi institusi sosial yang mampu mencegah dan 

mengatasi persoalan perubahan iklim secara global. Dengan demikian 

akan menjamin keberlanjutan sumber daya alam dan ekosistemnya serta 

umat manusia dapat menjalankan kehidupan yang nyaman dan aman di 

planet bumi. 

Dari temuan ini penulis merekomendasikan agar agama menjadi 

arus utama (mainstreaming) dalam mengatasi persoalan perubahan 

iklim. Agama mesti mentransformasikan nilai-nilai yang terkandung 

dalam ajarannya pada tataran empiris dan praksis umpamanya melalui 

gerakan-gerakan yang membangun kesadaran kolektif tentang lingkungan 

dan tanggung jawab moral menjamin keberlanjutan kehidupan dan 

alam semesta. Kalangan tokoh-tokoh agama juga harus melibatkan diri 

baik secara organisasi maupun individu dalam forum-forum global yang 

membahas dan menghasilkan resolusi serta kesepakatan-kesepakatan 

menyangkut upaya mengatasi perubahan iklim.

Pada tataran institusi, agama mesti mengembangkan program aksi 

yang nyata dengan cara memfasilitasi pendidikan lingkungan, memotivasi 

umatnya untuk melakukan tindakan nyata dalam menjaga kelestarian 

sumber daya alam dan lingkungan sekitarnya, serta mendukung kebijakan 

lingkungan yang berkelanjutan. Organisasi-organisasi keagamaan juga 

mesti membangun berkolaborasi dengan komunitas lintas agama, 

organisasi non-pemerintah, pemerintah lokasi maupun nasional, 

220



warga   adat untuk melakukan gerakan-gerakan kongkret yang 

melindungi alam dan ekologi, sehingga berkontribusi dalam mengatasi 

dampak perubahan iklim. 

Pada tataran individu penganut ajaran agama, mesti 

menginternalisasikan dalam kehidupannya tentang pentingnya menjalani 

kehidupan yang harmonis dan selaras dengan alam sebagai manifestasi 

dari ajaran agama. Pasalnya, ajaran agama mana pun selalu mengajarkan 

umatnya untuk merusak alam dan lingkungan sekitarnya sehingga ada 

relasi keseimbangan dalam kehidupan manusia, yaitu; (i) relasi manusia 

dengan Tuhan (religiositas); (ii) relasi manusia dengan manusia, dan (iii) 

relasi manusia dengan alam semesta beserta isinya. Dari sinilah sejatinya 

esensi ontologis dan epistemologi ajaran agama ditransformasikan dalam 

mengatasi perubahan iklim. Di samping itu, individu penganut ajaran 

agama mestinya mengendalikan hingga mengurangi komsumsi bahan 

bakar fosil yang memicu meningkatnya emisi GRK. Kaum agamawan 

dan institusi keagamaan sudah saatnya mengampanyekan penggunaan 

energi terbarukan dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan 

memasukkan dalam kurikulum pendidikannya tentang perubahan iklim 

dan pengetahuan energi terbarukan. Dengan demikian, tanggung jawab 

mengatasi perubahan iklim bukan hanya bersifat individual, lembaga 

keagamaan maupun kebijakan politik negara, melainkan menjadi tanggung 

jawab kolektif seluruh umat manusia di planet bumi.