Religiositas 5
.
Tabel 8 melaporkan estimasi regresi berdasarkan nilai yang
diperhitungkan. Kolom (1) sampai (5) melaporkan hasil pengukuran
religiositas individual, sedangkan kolom (6) menunjukkan hasil indeks
religiositas secara keseluruhan. Semua kolom hasilnya konsisten dengan
temuan utama yang dilaporkan pada Tabel 7.
Tabel 8. Hasil Estimasi Berdasarkan Ukuran Religiositas yang Diimputasi
Variabel dependen =
LC02C
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Orang yang religius -0.63***
(-2.74)
Percaya pada Tuhan -0.41*
(-1.66)
Pentingnya Tuhan -0.34*
(-1.74)
Partisipasi keagamaan -0.68**
(-2.38)
Pentingnya agama -0.55**
(-2.52)
Indeks religiositas -0.61**
(-2.34)
Variabel kontrol Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Dummy regional Ya Ya Ya Ya Ya Ya
R-squared 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94
Observasi 95 95 95 95 95 95
Catatan: Hasil yang dilaporkan diperkirakan dengan memperhitungkan nilai ukuran
religiositas yang tidak tersedia. Imputasi diulang sepuluh kali; dengan demikian,
sepuluh set nilai yang diperhitungkan dihasilkan. Variabel percaya pada Tuhan
digunakan untuk memperhitungkan nilai dari tindakan yang hilang. Regresi
imputasi berganda dilaporkan untuk pengukuran lainnya pada kolom (1) hingga
(5). Dalam menyusun indeks religiositas pada kolom (6), ukuran religiositas
yang tidak tersedia diganti dengan rata-rata dari sepuluh nilai berbeda yang
diperhitungkan. Variabel dummy regional dimasukkan ke dalam model. Variabel
kontrol mencakup PDB per kapita (log), ((PDB per kapita(log))2, investasi langsung
asing, populasi (log), industri, konsumsi listrik berbahan bakar fosil per kapita
(log), indeks globalisasi, kualitas institusi, dan indeks demokrasi.
153
8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim
Sampel dan Ukuran Alternatif Religiositas
Pada bagian ini, dilakukan penyelidikan apakah ukuran religiositas
dipakai dalam riset ini, yang dibangun dengan rata-rata data pada
beberapa gelombang survei WVS (1-7), menghasilkan perkiraan koefisien
yang bias. Setidaknya ada empat cara untuk memeriksa keandalan metode
dalam mengonstruksi ukuran religiositas ini.
Pertama, penyusunan indeks religiositas untuk setiap negara dilakukan
dengan memakai data dari setiap gelombang yang tersedia secara
terpisah dan memeriksa korelasinya. Hasil pada Tabel 4 menunjukkan
bahwa semua indeks religiositas (dibangun dari gelombang yang
berbeda) mempunyai korelasi yang tinggi (lihat Bab 7). Nilai-nilai tersebut
juga sangat berkorelasi dengan indeks religiositas secara keseluruhan
yang dibuat memakai data yang dikumpulkan, yang merupakan
ukuran dasar riset ini. Hal ini menunjukkan bahwa hasil riset
ini kemungkinan besar tidak akan mengalami bias agregasi, sehingga
memberikan kepercayaan terhadap penggunaan indeks religiositas kami
secara keseluruhan.
Kedua, riset ini melakukan pemeriksaan ketahanan model
dengan memakai indeks religiositas spesifik gelombang. Namun,
terjadi penurunan tajam dalam jumlah observasi pada beberapa
gelombang menjadi kendala dalam praktik ini. Misalnya, memperkirakan
Persamaan 7.1 (lihat Bab 7) dengan memakai data gelombang
pertama hanya menghasilkan 10 observasi. Oleh karena itu, pengujian
dilakukan memakai gelombang terbaru (gelombang tujuh, tahun
2017-2022) untuk menyusun indeks religiositas spesifik gelombang yang
mencakup jumlah negara yang relatif banyak. Perkiraan memakai
ukuran religiositas alternatif ini dapat dilihat pada kolom (1) Tabel 9.
Survei gelombang tujuh menyediakan data untuk 57 negara, sedangkan
kolom (1) hanya berisi 54 observasi karena tidak tersedianya data untuk
variabel lain. Hasilnya konsisten dengan temuan utama riset ini.
154
Tabel 9. Hasil Estimasi Berdasarkan Sampel dan Ukuran Religiositas
Alternatif
Variabel dependen = LC02C (1) (2) (3) (4)
Indeks religiositas: Wave 7 -1.02***
(-2.94)
Indeks religiositas: Wave terbaru -0.48**
(-2.30)
Indeks religiositas: Squalli -0.58**
(-2.46 )
Indeks religiositas: Inglehart -0.56***
(-2.71)
Variabel kontrol Ya Ya Ya Ya
Dummy regional Ya Ya Ya Ya
R-squared 0.936 0.941 0.942 0.942
Observasi 54 95 94 95
Catatan: Variabel kontrol dan dummy regional dimasukkan ke dalam model. Metode
estimasi memakai robust standard errors. t-statistik dilaporkan dalam
tanda kurung. *, ** dan *** masing-masing menunjukkan signifikansi pada
tingkat 10%, 5% dan 1%. Perkiraan intersep tidak ditampilkan.
Ketiga, untuk setiap negara, digunakan gelombang WVS terbaru yang
data religiositasnya tersedia. Artinya, jika tidak tersedia ukuran religiositas
untuk gelombang tujuh, maka digunakan gelombang lima, lalu gelombang
empat, dan seterusnya. Hasil estimasi yang dilaporkan di kolom (2) Tabel 9
juga sejalan dengan hasil pada Tabel 7 sebelumnya.
Keempat, riset ini memeriksa sensitivitas hasil temuan dengan
menyusun ukuran religiositas yang digunakan oleh Squalli (2019) yang
merujuk pada publikasi Lipka dan Wormald (2016) di Pew Research
Center (PRC). Indeks komposit yang dikembangkan oleh Squali (2019)
memakai empat indikator yang terdiri atas pentingnya agama,
frekuensi berdoa, kehadiran di tempat ibadah, dan kepercayaan kepada
Tuhan. riset ini membangun indeks religiositas tersebut dengan
memakai data WVS yang dikumpulkan. Hasilnya selaras dan konsisten
dengan model utama riset ini sebagaimana terlihat pada kolom (3),
Tabel 9.
155
8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim
Kelima, riset ini membangun ukuran religiositas alternatif
berdasarkan ukuran Inglehart dan Norris (2003). Mereka mengukur enam
aspek penting orientasi keagamaan warga ; yaitu pentingnya Tuhan,
penghiburan dan kekuatan dari Tuhan, kepercayaan kepada Tuhan, menjadi
orang yang religius, kepercayaan akan kehidupan setelah kematian,
dan partisipasi keagamaan. Dengan memakai indikator tersebut,
disusunlah indeks religiositas Inglehart dan Norris (2003) memakai
data WVS yang dikumpulkan. Kolom (4) pada Tabel 9 melaporkan hasil
yang mirip dengan perkiraan dasar pada spesifikasi utama riset ini.
Singkatnya, apa pun ukuran alternatif religiositas yang digunakan,
efek religiositas terhadap emosi CO2 tetap signifikan, dan ukuran koefisien
serta tingkat signifikansinya stabil.
Afiliasi Agama dan Kelompok Pendapatan
Pada bagian ini, pemeriksaan sensitivitas model dilakukan terhadap
dampak afiliasi keagamaan dan kelompok pendapatan. riset ini
memperkirakan ulang Persamaan 7.1 dengan mengontrol hubungan
agama dengan negara, dan komposisi penduduk yang berbeda agama,
dan kelompok pendapatan.
Kishi et al., (2017) telah berhasil memetakan hubungan agama dengan
negara. Bersama dengan tim pemrogram, mereka menganalisis konstitusi
atau undang-undang dasar setiap negara, bersama dengan kebijakan dan
tindakan resminya terhadap kelompok agama, untuk mengklasifikasikan
hubungan agama dengan negara ke dalam salah satu dari empat kategori
berikut. Kategori pertama, yaitu negara-negara dengan agama resmi
memberikan status resmi pada agama tertentu dalam konstitusi atau
hukum dasarnya. Kategori kedua, yaitu negara-negara yang mempunyai
preferensi terhadap agama memiliki kebijakan atau tindakan pemerintah
yang jelas-jelas mendukung satu (atau dalam beberapa kasus, lebih dari
satu) agama di atas yang lain, biasanya dengan keuntungan hukum,
keuangan, atau jenis praktis lainnya. Kategori ketiga yaitu negara-negara
sekuler yang tidak memiliki agama resmi atau agama pilihan berusaha
untuk menghindari memberikan manfaat nyata kepada satu kelompok
156
agama di atas yang lain (walaupun mereka bahkan dapat memberikan
manfaat bagi banyak kelompok agama). Kategori keempat, yakni negara-
negara yang memiliki hubungan perseteruan/permusuhan terhadap
agama memakai tingkat kontrol yang sangat tinggi atas lembaga-
lembaga agama di negara mereka atau secara aktif mengambil posisi
agresif terhadap agama secara umum. riset ini menglasifikasikan
sampel memakai variabel dummy, dimana kelompok keempat
dijadikan sebagai omitted group.
Selanjutnya, pengelompokan agama penduduk mayoritas merujuk
pada publikasi Hackett et al., (2015) bersama Pew Research Center tentang
agama dan kehidupan publik memperkirakan bahwa pada tahun 2020 ada
6.52 miliar orang dewasa dan anak-anak yang berafiliasi dengan agama
di seluruh dunia, mewakili 84.45 persen dari populasi dunia. Mengikuti
Hackett et al., (2015), riset ini memakai tujuh kategori dan
menghitung persentase dari jumlah total individu yang memiliki afiliasi
keagamaan di setiap kategori, termasuk Kristen, Muslim, Hindu, Buddha,
Yahudi, agama Rakyat, dan tidak terafiliasi dengan agama mana pun.
riset ini mengklasifikasikan sampel memakai variabel dummy,
dimana penduduk yang mayoritas tidak terafiliasi dengan agama mana
pun dijadikan sebagai omitted group.
Selain itu, pemeriksaan sensitivitas model juga dilakukan terhadap
dampak kelompok pendapatan. riset ini merujuk pembagian
kelompok pendapatan negara yang bersumber dari World Bank tahun
2020. ada empat kelompok pendapatan yaitu, pendapatan
tinggi, menengah atas, menengah bawah, dan bawah. riset ini
mengklasifikasikan sampel memakai variabel dummy, dimana
kelompok pendapatan rendah dijadikan sebagai omitted group.
157
8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim
Kolom (1), (4), dan (5) pada Tabel 10 melaporkan hasil yang menyertakan
hubungan agama dengan negara. Kolom (1) berisi penambahan dummy
hubungan agama dengan negara. Kolom (4) mengeluarkan negara sekuler
dari sampel. Kolom (5) mengeluarkan negara yang memiliki perseteruan
dengan institusi agama tertentu dari sampel. Hasil spesifikasi utama
riset ini tetap robust untuk ketiga kasus tersebut, dimana religiositas
tetap berpengaruh negatif signifikan terhadap emisi CO2 per kapita.
Hubungan agama dan negara tidak menunjukkan efek yang signifikan
sebagaimana terlihat pada kolom (1).
Tabel 10. Sensitivitas terhadap Afiliasi Agama dan Kelompok Pendapatan
Variabel dependen
= LC02C
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Indeks religiositas
-0.48*
(-1.96)
-0.67**
(-2.13)
-0.59***
(-2.65)
-0.57**
(-2.16)
-0.62**
(-2.31)
-0.62**
(-2.34)
-0.34*
(-1.75)
Hubungan agama & negara
- Memiliki agama
resmi
-0.37
(-1.64)
- Menyukai
agama tertentu
-0.28
(-1.43)
- Sekuler
-0.23
(-1.12)
Agama penduduk mayoritas
- Islam
0.08
(0.45)
- Kristen
0.14
(1.12)
- Buddha
-0.23
(-0.84)
- Hindu
0.91**
(2.48)
- Agama rakyat
-0.06
(-0.47)
- Yahudi
-0.20
(-0.95)
158
Variabel dependen
= LC02C
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Kelompok pendapatan
- Tinggi
-0.27
(-0.68)
- Menengah atas
-0.20
(-0.57)
- Menengah
bawah
-0.16
(-0.54)
Variabel kontrol Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Dummy regional Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya
R-squared 0.96 0.95 0.94 0.95 0.95 0.94 0.91
Observasi 95 95 95 48 88 90 64
Catatan: Kolom (1) menambahkan dummy agama negara, (2) menambahkan
dummy agama penduduk mayoritas, (3) menambahkan dummy kelompok
pendapatan, (4) mengeluarkan negara sekuler, (5) mengeluarkan negara yang
memiliki perseteruan dengan institusi agama tertentu, (6) mengeluarkan
negara penduduk mayoritas tidak terafiliasi dengan agama mana pun, dan
(7) mengeluarkan negara berpendapatan rendah dan menengah bawah. Variabel
kontrol dan dummy regional dimasukkan ke dalam model. Metode estimasi
memakai robust standard errors. t-statistik dilaporkan dalam tanda kurung.
*, ** dan *** masing-masing menunjukkan signifikansi pada tingkat 10%, 5%
dan 1%. Perkiraan intersep tidak ditampilkan.
Kolom (2) dan (6) pada Tabel 10 melaporkan hasil yang menyertakan
efek agama penduduk mayoritas. Kolom (2) berisi penambahan dummy
agama penduduk mayoritas. Sementara itu, kolom (6) mengeluarkan
negara penduduk mayoritas tidak terafiliasi dengan agama mana pun.
Signifikansi efek religiositas terhadap emisi CO2 per kapita tetap konsisten
dengan kedua kasus tersebut.
Kolom (3) dan (7) pada Tabel 10 melaporkan hasil estimasi dengan
menambah variabel kontrol kelompok pendapatan. Kolom (3) berisi
penambahan dummy kelompok pendapatan, dan kolom (7) mengeluarkan
negara berpendapatan rendah dan menengah bawah dari sampel. Indeks
religiositas tetap berpengaruh negatif signifikan terhadap emisi CO2 per
kapita.
Tabel 10. Sensitivitas Terhadap Afiliasi Agama dan Kelompok Pendapatan
(lanjutan)
159
8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim
8.2 Pendekatan Jejak Ekologis
Jejak ekologis mengukur seberapa cepat manusia mengonsumsi
sumber daya dan menghasilkan limbah dibandingkan dengan seberapa
cepat alam menyerap limbah dan menghasilkan sumber daya. Dalam
bahaya yang mudah dimengerti, jejak ekologis yaitu dampak aktivitas
manusia yang diukur dalam luas lahan yang produktif secara biologis
dan air yang dibutuhkan untuk memproduksi barang-barang yang
dikonsumsi dan membuang limbah yang dihasilkan. Ini yaitu jumlah
lingkungan yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang dan jasa yang
diperlukan untuk mendukung gaya hidup tertentu. Penghitungan jejak
kaki memperhitungkan hampir semua hal yang dilakukan manusia: mulai
dari cara kita makan, cara kita bepergian, rumah yang kita tinggali, dan
kebiasaan gaya hidup lainnya yang dipraktikkan setiap hari.
Ketika populasi manusia meningkat, konsumsi dan pemanfaatan
sumber daya global meningkat. Hal ini memerlukan pengukuran terhadap
kapasitas alam dalam memenuhi kebutuhan manusia yang semakin
meningkat. Jejak ekologis yaitu salah satu ukuran utama dari tuntutan
manusia terhadap alam yang tiada habisnya. Oleh karena itu, Jejak ekologis
mencoba mempertimbangkan apakah planet bumi mempunyai kapasitas
untuk memenuhi tuntutan umat manusia yang semakin meningkat.
Secara visual, peta sebaran jejak ekologis dapat dilihat pada Gambar
21. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Global Footprint Network,
terlihat bahwa pada tahun 2020 sepuluh negara penyumbang jejak
ekologis terbesar di antara 95 negara yang diteliti terdiri atas China,
Amerika Serikat, India, Federasi Rusia, Brasil, Jepang, Indonesia, Jerman,
Meksiko, dan Turki. Sepuluh negara tersebut menyumbang sekitar 74.98
persen jejak ekologis dunia. Negara China menyumbang 29.34 persen
jejak ekologis dunia. Negara penghasil jejak ekologis terendah terendah
yaitu negara Montenegro, Siprus, dan Moldova. Apabila dihitung
per orang, negara penyumbang jejak ekologis terbesar yaitu Qatar,
Mongolia, Estonia, Kuwait, Latvia, Amerika Serikat, Lithuania, Singapura,
Belanda, dan Australia. Peta sebaran jejak ekologis per orang dapat dilihat
pada Gambar 22.
160
Kegiatan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dapat
menyebabkan penurunan biokapasitas dan efisiensi bumi yang
menyebabkan jejak ekologis yang lebih tinggi untuk produk-produk
industri yang berasal dari sumber daya alam. Emisi karbon merupakan
salah satu kontributor utama jejak ekologis yang berkontribusi terhadap
bencana terkait pemanasan global dan perubahan iklim serta degradasi
sumber daya alam. Hal ini menuntut kelestarian ekosistem lahan atau
tanah, hutan, dan perairan serta habitat manusia (Kumar, et al., 2023).
Sumber: Global Footprint Network, 2020 (diolah)
Catatan: Peta menunjukkan sebaran emisi CO2 di 95 negara yang digunakan dalam
estimasi. Nilai yang lebih tinggi (diwakili oleh area berwarna merah lebih gelap)
Gambar 21. Peta Sebaran Jejak Ekologis
161
8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim
Sumber: Global Footprint Network, 2020 (diolah)
Catatan: Peta menunjukkan sebaran emisi CO2 di 95 negara yang digunakan dalam
estimasi. Nilai yang lebih tinggi (diwakili oleh area berwarna merah lebih gelap)
Gambar 22. Peta Sebaran Jejak Ekologis per Orang
1. Efek Religiositas Terhadap Jejak Ekologis
Selama lebih dari tiga dekade terakhir agama telah mengilhami
peningkatan kepedulian ekologis (Chaplin, 2016). aktor berbasis agama
dan kelompok agama yang dilembagakan telah mengeluarkan banyak
pernyataan tentang perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir.
Banyak kelompok telah secara aktif terlibat dengan lembaga iklim global
dan organisasi warga sipil tentang perubahan iklim antropogenik
(Haluza-DeLay, 2014).
Peran agama dalam mengatasi perubahan iklim perlu dikaji lebih
mendalam secara kuantitatif. Indeks religiositas mewakili variabel
keagamaan karena religiositas dan agama saling terkait dimana tingkat
religiositas seseorang sering kali mencerminkan keterlibatan mereka
dalam agama tertentu. Tabel 11 menampilkan hasil estimasi pengaruh
religiositas terhadap jejak ekologis per orang. Kolom (1) menampilkan hasil
regresi OLS tanpa melibatkan variabel kontrol. Kolom (2) menampilkan
hasil regresi OLS dengan menyertakan variabel kontrol untuk melengkapi
162
atau mengontrol hubungan kausalnya supaya lebih baik agar mendapatkan
model empiris yang lengkap dan mencegah hasil perhitungan bias.
Dengan menambahkan variabel kontrol nilai koefisien determinasi (R2)
meningkat dari 0.52 menjadi 0.82. Pada kolom (2) terlihat bahwa hasil
estimasi menunjukkan indeks religiositas berpengaruh negatif signifikan
terhadap jejak karbon per orang.
Tabel 11. Hasil Estimasi Efek Religiositas terhadap Jejak Ekologis per
Orang
Variabel dependen = LJEP
Regresi OLS Regresi robust
Spesifikasi
dasar
Spesifikasi
utama
Spesifikasi
dasar
Spesifikasi
utama
(1) (2) (3) (4)
Indeks religiositas -1.29***
(-3.73)
-0.47*
(-1.83)
-1.50***
(-4.68)
-0.46**
(-2.16)
Pertumbuhan ekonomi 0.57***
(6.15)
0.64***
(8.32)
Pertumbuhan populasi -0.09***
(-3.26)
-0.07***
(-3.02)
Industri 0.01*
(1.97)
0.01**
( 2.12)
Konsumsi listrik 0.04
(1.31)
0.05*
(1.89)
Kualitas institusi -0.09
(-1.17)
-0.13*
(-1.98)
Dummy regional ya ya ya ya
R-squared 0.52 0.82 0.57 0.87
Observasi 95 95 94 95
Catatan: Indeks religiositas mengukur kekuatan religiositas secara keseluruhan dan
bervariasi terus menerus dari nol hingga satu. Variabel dummy regional yaitu
Asia Timur dan Pasifik, Eropa dan Asia Tengah, Amerika Latin dan Karibia, Timur
Tengah dan Afrika Utara, Amerika Utara, Asia Selatan, dan Afrika Sub-Sahara.
Metode estimasi terbaik memakai regresi robust sebagaimana terlihat
pada kolom (4). t-statistic dilaporkan dalam tanda kurung. *, ** dan *** masing-
masing menunjukkan signifikansi pada tingkat 10%, 5% dan 1%. Perkiraan
intersep tidak ditampilkan.
163
8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim
Hasil estimasi tersebut perlu dilakukan pengecekan apakah model
regresi OLS bebas dari masalah data outlier dan heteroskedastisitas.
Gambar 23 memperlihatkan plot leverage dengan residual kuadrat yang
dinormalisasi. Plot ini digunakan untuk membantu mengidentifikasi
observasi individual yang memiliki leverage sangat tinggi atau residual
besar. Plot leverage pada sumbu Y, dan residual kuadrat yang dinormalisasi
pada sumbu X. Garis merah menunjukkan rata-rata dari nilai leverage dan
residual kuadrat yang. Leverage yaitu elemen diagonal dari matriks topi
(hii) yang menangkap pengaruh nilai yang diamati pada nilai yang sesuai.
Pengamatan leverage dibatasi oleh batasan 1/n dan 1, dimana n=95. Data
dianggap titik leverage apabila hii > 2p/n (William, 2016), dimana p yaitu
jumlah koefisien. Dengan p=13, maka data akan dianggap sebagai outlier
bila hii > 0.27. Negara Amerika Serikat Qatar, Pakistan, India, Ethipia, dan
Bangladesh memiliki nilai pengatan leverage yang lebih besar dari 0.27.
William (2016) berkata kata residual dianggap bermasalah apabila 2/
sqrt(n) >0.21. Gambar 23 menunjukkan kasus Korea Selatan memiliki
residual yang sangat besar (yaitu perbedaan antara nilai prediksi dan
nilai pengamatan untuk kasus Korea Selatan sangat besar) namun tidak
mempunyai leverage yang besar. Selanjutnya, hasil uji heteroskedastisitas
memakai uji White menunjukkan hasil estimasi pada kolom (2)
mengalami masalah hetoreskdastisitas dengan probabilitas 2 sebesar
0.17.
164
Catatan: Diagram plot diperoleh dengan mengestimasi kolom (2) Tabel 11.
Gambar 23. Plot Leverage dan Residual Kuadrat yang Dinormalisasi
Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menerapkan regresi
robust. Regresi robust merupakan metode analisis regresi yang tidak
sensitif terhadap adanya outlier dan heteroskedastisitas. Kolom (3) dan
(4) Tabel 11 menampilkan hasil estimasi memakai regresi robust.
Nilai koefisien determinasi (R2) meningkat dari 0.57 menjadi 0.87. Dengan
demikian, 87 persen variabilitas variabel jejak ekologis per orang dapat
dijelaskan oleh model pada spesifikasi utama riset ini, yaitu pada
kolom (4). Kekuatan pengaruh indeks religiositas terkoreksi setelah
menambahkan variabel kontrol. Apabila religiositas mengalami kenaikan
satu poin indeks maka jejak ekologis per orang akan turun sebesar 0.46
persen.
Religiositas dapat memengaruhi jejak ekologis seseorang dalam
beberapa cara yang dapat membantu mencegah perubahan iklim.
Religiositas pengaruh dalam menurunkan jejak ekologis dan mencegah
perubahan iklim melalui beberapa mekanisme berikut: Pertama, pendidikan
dan kesadaran lingkungan. Beberapa komunitas agama mempromosikan
pendidikan dan kesadaran lingkungan sebagai bagian dari ajaran dan
nilai-nilai mereka. Ini dapat mencakup pengajaran tentang pentingnya
165
8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim
menjaga lingkungan dan tanggung jawab manusia sebagai penjaga alam
semesta. Individu yang lebih terlibat dalam agama mereka mungkin lebih
mungkin untuk mendapatkan pengetahuan dan kesadaran tentang isu-isu
lingkungan (Baring & Malino, 2022; Eliades et al., 2022; Haq et al., 2020).
Kedua etika konsumsi. Agama dapat mengajarkan etika konsumsi yang
bertujuan untuk membatasi pemborosan dan penggunaan berlebihan
sumber daya alam. Nilai-nilai seperti kesederhanaan, kerendahan hati,
dan pertimbangan terhadap orang lain dapat memotivasi individu untuk
mengurangi konsumsi berlebihan yang dapat meningkatkan jejak ekologis
(Agag et al., 2020; Elhoushy & Lanzini, 2021; Bhuian et al., 2018).
Ketiga, advokasi dan pemobilisasi. Kelompok-kelompok agama
sering berperan dalam advokasi dan pemobilisasi sosial. Mereka dapat
berpartisipasi dalam kampanye-kampanye lingkungan, memengaruhi
kebijakan yang mendukung keberlanjutan, dan memobilisasi komunitas
untuk bertindak terhadap perubahan iklim (Mangunjaya & Ozdemir,
2022; Hague & Bomberg, 2022; Moyer & Sinclair, 2022). Keempat, aksi
sosial dan pelayanan lingkungan. Banyak komunitas agama terlibat dalam
aksi sosial dan pelayanan lingkungan, seperti membersihkan pantai,
penanaman pohon, atau kampanye pengurangan sampah. Religiositas
dapat mendorong individu untuk aktif terlibat dalam inisiatif-inisiatif
ini untuk menjaga kelestarian alam (Stork & Öhlmann, 2021; Xu, 2020;
Shattuck, 2016). Kelima, doa dan refleksi. Doa, meditasi, dan refleksi
agama dapat menginspirasi individu untuk mempertimbangkan peran
mereka dalam menjaga lingkungan dan menciptakan kesadaran spiritual
tentang pentingnya alam semesta. Ini dapat mendorong tindakan yang
lebih bijaksana dalam penggunaan sumber daya alam (Omoyajowo, 2023;
Beehner, 2018; Ulluwishewa, 2019; Barrow, 2019).
Hasil riset juga melaporkan pengaruh variabel kontrol terhadap
jejak ekologis per orang, sebagaimana terlihat pada kolom (4) Tabel
11. Variabel pertumbuhan ekonomi menunjukkan pengaruh positif
signifikan terhadap jejak ekologis per orang. Li dan Li (2021) berkata kata
166
pertumbuhan ekonomi merupakan alasan utama peningkatan jejak
ekologis. riset empiris lain yang mengonfirmasi hasilnya telah
dilakukan Bulut (2020) Ergun dan Rivas (2020), dan Sabir dan Gorus (2019).
Sektor industri berpengaruh signifikan dalam meningkatkan
jejak ekologis per orang. Hasil ini mirip dengan temuan Usman et al.,
(2019) dan Destek (2021). Untuk membatasi degradasi lingkungan,
perusahaan manufaktur harus mengadopsi dan memanfaatkan lebih
banyak teknologi ramah lingkungan dalam proses produksi mereka.
Selain itu, peraturan lingkungan harus ditegakkan untuk memastikan
bahwa aktivitas manufaktur berkontribusi terhadap lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan (Opoku & Aluko, 2021). riset ini juga
menemukan konsumsi listrik berbahan bakar fosil per kapita secara parsial
berpengaruh positif signifikan terhadap jejak ekologis per orang. Neagu
(2020) menemukan hasil yang serupa dimana kosumsi energi berbahan
bakar fosil dengan jejak ekologis di 48 negara di dunia. Temuan serupa
juga ditemukan oleh Ibrahiem dan Hanafy (2020) di Mesir.
Dalam riset ini ditemukan pertumbuhan populasi berpengaruh
signifikan dalam menurunkan jejak ekologis per orang, sekaligus
mengonfirmasi temuan Ibrahiem dan Hanafy (2020). Hal ini dapat saja
terjadi karena adanya peningkatan kesadaran lingkungan, sehingga dapat
menekan eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Bouman et al., (2020)
berkata kata semakin tinggi kesadaran manusia terhadap perubahan
iklim dapat secara langsung dan tidak langsung memengaruhi dukungan
kebijakan iklim dan perilaku mitigasi iklim secara pribadi, sehingga
memberikan wawasan penting bagi ilmu pengetahuan dan pembuatan
kebijakan.
Variabel kualitas institusi menunjukkan pengaruh yang signifikan
dalam menurunkan jejak ekologis per orang. Hasil ini mengonfirmasi
temuan Uzar (2021) yang dilakukan di tujuh negara berkembang yang
memiliki performa ekonomi yang tinggi, dan Hussain dan Mahmood (2022)
167
8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim
di Pakistan. Christoforidis dan Katrakilidis (2021) dalam riset nya
di 29 negara OECD menemukan kualitas institusi berkontribusi pada
keberlanjutan ekologi.
Pemeriksaan Ketahanan dan Sensitivitas Model Berbasis Jejak
Ekologis
Ada tiga potensi masalah yang dapat menimbulkan keraguan terhadap
ketahanan dan sensitivitas hasil estimasi. Pertama, mengabaikan potensi
variabilitas ukuran religiositas dapat mengakibatkan estimasi menjadi
bias. Kedua, mengabaikan sampel dan pengukuran indeks religiositas
alternatif juga dapat mengakibatkan estimasi menjadi tidak sahih. Ketiga,
diperlukan juga pemeriksaan dengan menyertakan afiliasi agama dan
kelompok pendapatan.
Sebagaimana diketahui indeks religiositas di dalam riset ini
dibentuk dari lima ukuran, yaitu (i) orang yang religius, (ii) percaya
kepada tuhan, (iii) pentingnya Tuhan, (iv) partisipasi keagamaan, dan
(v) petingnya agama. Kelima ukuran tersebut diestimasi memakai
regresi robust yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 12. Kolom (1) hingga
(5) menunjukkan bahwa setiap ukuran religiositas memiliki pengaruh
negatif yang signifikan terhadap jejak ekologis per orang. Hasil ini konsisten
dengan indeks komposit pada spesifikasi utama Tabel 11, kolom (4).
Tabel 12. Hasil Estimasi Berdasarkan Ukuran Religiositas
Variabel dependen
= LJEP
(1) (2) (3) (4) (5)
Orang yang religius
-0.32*
(-1.66)
Percaya pada Tuhan
-0.42**
(-2.00)
Pentingnya Tuhan
-0.34**
(-2.20)
Partisipasi keagamaan
-0.38*
(-1.68)
168
Variabel dependen
= LJEP
(1) (2) (3) (4) (5)
Pentingnya agama
-0.45**
(-2.60)
Variabel kontrol Ya Ya Ya Ya Ya
Dummy regional Ya Ya Ya Ya Ya
R-squared 0.87 0.85 0.87 0.86 0.87
Observasi 94 87 95 92 93
Catatan: Variabel kontral dan dummy regional dimasukan ke dalam model. Metode
estimasi terbaik memakai regresi robust sebagaimana terlihat pada kolom
(4). t-statistic dilaporkan dalam tanda kurung. *, ** dan *** masing-masing
menunjukkan signifikansi pada tingkat 10%, 5% dan 1%. Perkiraan intersep tidak
ditampilkan.
Sebagaimana diketahui indeks religiositas yang digunakan dalam
riset ini dibangun dengan rata-rata data pada beberapa gelombang
survei WVS (1-7). Untuk memeriksa apakah sampel yang digunakan
menghasilkan perkiraan koefisien yang bias atau tidak, maka dilakukan
pemeriksaan ketahanan model dengan memakai indeks religiositas
spesifik gelombang. Namun, terjadi penurunan tajam dalam jumlah
observasi pada beberapa gelombang menjadi kendala dalam praktik
ini. Misalnya, dengan memakai data gelombang pertama hanya
menghasilkan 10 observasi. Oleh sebab itu, pengujian dilakukan
memakai gelombang terbaru (gelombang tujuh, tahun 2017–2022)
untuk menyusun indeks religiositas spesifik gelombang yang mencakup
jumlah negara yang relatif banyak. Perkiraan memakai ukuran
religiositas alternatif ini dapat dilihat pada kolom (1) Tabel 13. Survei
gelombang tujuh menyediakan data untuk 57 negara, sedangkan kolom
(1) hanya berisi 54 observasi karena tidak tersedianya data untuk variabel
lain. Hasilnya konsisten dengan temuan utama riset ini.
Selanjutnya, dilakukan uji ketahanan dengan memakai indeks
komposit religiositas yang dibentuk oleh Squalli (2019). Indeks komposit
yang dikembangkan oleh Squali (2019) memakai empat indikator
yang terdiri atas pentingnya agama, frekuensi berdoa, kehadiran di tempat
ibadah, dan kepercayaan kepada Tuhan. riset ini membangun indeks
Tabel 12. Hasil Estimasi Berdasarkan Ukuran Religiositas (lanjutan)
169
8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim
religiositas tersebut dengan memakai data WVS yang dikumpulkan.
Hasilnya selaras dan konsisten dengan model utama riset ini
sebagaimana terlihat pada kolom (2), Tabel 13.
riset ini juga membangun ukuran religiositas alternatif
berdasarkan ukuran Inglehart dan Norris (2003). Mereka mengukur
enam aspek penting orientasi keagamaan warga ; yaitu pentingnya
Tuhan, penghiburan dan kekuatan dari Tuhan, kepercayaan kepada
Tuhan, menjadi orang yang religius, kepercayaan akan kehidupan setelah
kematian, dan partisipasi keagamaan. Dengan memakai indikator
tersebut, disusunlah indeks religiositas Inglehart dan Norris (2003)
memakai data WVS yang dikumpulkan. Kolom (3) pada Tabel 13
melaporkan hasil yang konsisten dengan perkiraan dasar pada spesifikasi
utama riset ini.
Tabel 13. Pengujian Berdasarkan Sampel dan Ukuran Religiositas
Alternatif
Variabel dependen = LJEP (1) (2) (3)
Indeks religiositas: Wave 7 -0.55* (-1.99)
Indeks religiositas: Squalli -0.36* (-1.70 )
Indeks religiositas: Inglehart -0.39* (-1.90)
Variabel kontrol Ya Ya Ya
Dummy regional Ya Ya Ya
R-squared 0.86 0.87 0.88
Observasi 54 94 95
Catatan: Variabel kontral dan dummy regional dimasukkan ke dalam model. Metode
estimasi memakai regresi robust. t-statistic dilaporkan dalam tanda kurung.
*, ** dan *** masing-masing menunjukkan signifikansi pada tingkat 10%, 5% dan
1%. Perkiraan intersep tidak ditampilkan.
Pada bagian ini, pemeriksaan sensitivitas model dilakukan terhadap
dampak afiliasi keagamaan dan kelompok pendapatan. Kishi et al., (2017)
memetakan hubungan agama dengan negara kedalam empat kategori
berikut, yaitu; pertama, negara-negara dengan agama resmi memberikan
status resmi pada agama tertentu dalam konstitusi atau hukum dasarnya.
Kedua, negara-negara yang mempunyai preferensi terhadap agama
170
memiliki kebijakan atau tindakan pemerintah yang jelas-jelas mendukung
satu (atau dalam beberapa kasus, lebih dari satu) agama di atas yang lain,
biasanya dengan keuntungan hukum, keuangan, atau jenis praktis lainnya.
Ketiga, negara-negara sekuler yang tidak memiliki agama resmi atau agama
pilihan berusaha untuk menghindari memberikan manfaat nyata kepada
satu kelompok agama di atas yang lain (walaupun mereka bahkan dapat
memberikan manfaat bagi banyak kelompok agama). Keempat, negara-
negara yang memiliki hubungan perseteruan/permusuhan terhadap
agama memakai tingkat kontrol yang sangat tinggi atas lembaga-
lembaga agama di negara mereka atau secara aktif mengambil posisi
agresif terhadap agama secara umum. riset ini menglasifikasikan
sampel memakai variabel dummy, dimana kelompok keempat
dijadikan sebagai omitted group.
Kolom (1) Tabel 14 melaporkan hasil yang menyertakan hubungan
agama dengan negara. Kolom (1) berisi penambahan dummy hubungan
agama dengan negara. Hasil yang dilaporkan pada kolom (1) tetap
konsisten dengan hasil spesifikasi utama riset ini, dimana religiositas
tetap berpengaruh negatif signifikan terhadap jejak ekologis per orang.
Hubungan agama dan negara tidak menunjukkan efek yang signifikan
sebagaimana terlihat pada kolom (1).
Selain itu, pemeriksaan sensitivitas model juga dilakukan terhadap
dampak kelompok pendapatan. riset ini merujuk pembagian
kelompok pendapatan negara yang bersumber dari World Bank tahun
2020. ada empat kelompok pendapatan yaitu, pendapatan
tinggi, menengah atas, menengah bawah, dan bawah. riset ini
mengklasifikasikan sampel memakai variabel dummy, dimana
kelompok pendapatan rendah dijadikan sebagai omitted group. Kolom (2)
pada Tabel 14 melaporkan hasil estimasi dengan menambahkan variabel
kontrol kelompok pendapatan. Indeks religiositas tetap berpengaruh
negatif signifikan terhadap jejak ekologis per orang.
171
8. Efek Religiositas Versus Perubahan Iklim
Tabel 14. Sensitivitas terhadap Afiliasi Agama dan Kelompok Pendapatan
Variabel dependen = LJEP
(1) (2)
Menambahkan
dummy agama
negara
Menambahkan
dummy kelompok
pendapatan
Indeks religiositas -0.38* (-1.96) -0.46*** (-2.65)
Hubungan agama & negara
- Memiliki agama resmi -0.24 (-1.60)
- Menyukai agama tertentu -0.07 (-0.58)
- Sekuler -0.09 (-0.58)
Kelompok pendapatan
- Tinggi 0.12 (0.49)
- Menengah atas 0.08 (0.41)
- Menengah bawah 0.02 (0.14)
Variabel kontrol Ya Ya
Dummy regional Ya Ya
R-squared 0.88 0.87
Observasi 95 95
Catatan: Variabel kontral dan dummy regional dimasukkan ke dalam model. Metode
estimasi memakai regresi robust. t-statistic dilaporkan dalam tanda kurung.
*, ** dan *** masing-masing menunjukkan signifikansi pada tingkat 10%, 5%
dan 1%. Perkiraan intersep tidak ditampilkan.
Dari berbagai pengujian pengaruh indeks religiositas terhadap
perubahan iklim yang diproksi memakai emisi CO2 per kapita dan
jejak karbon per orang, diperoleh hasil yang konsisten dan sejalan dengan
hipotesis riset ini. Religiositas memainkan peranan penting dalam
mengatasi perubahan iklim. Pada bab berikut akan dibahas mengenai
bagaimana kontribusi agama dalam mengatasi persoalan perubahan iklim.
9TRANSFORMASI AGAMA SEBAGAI KATALISATOR KEADILAN IKLIM
Agama dapat bertransformasi sebagai katalisator dalam perjuangan
untuk mencapai keadilan iklim melalui intervensi radikal dalam mengatasi
perubahan iklim. Agama, dengan pengaruh moral dan etika, memiliki
potensi untuk memengaruhi pandangan warga dan pemimpin
dunia terkait perlunya tindakan yang lebih kuat. Agama juga dapat
membantu menggerakkan warga untuk mendukung solusi-solusi
yang lebih radikal, seperti pengurangan drastis emisi karbon, investasi
dalam teknologi hijau, dan perubahan fundamental dalam gaya hidup
untuk melindungi lingkungan. Selain itu, agama juga dapat mencetak
cendekia-cendekia muda yang ahli dibidang lingkungan dan perubahan
iklim dan mampu memberikan kritik dan masukan terhadap kebijakan
iklim, misalnya perdagangan karbon. Dengan demikian, transformasi
agama dan intervensi radikal dalam perubahan iklim dapat membawa
perubahan signifikan dalam upaya global untuk mencapai keadilan iklim
yang diperlukan untuk masa depan planet ini.
9.1 Kritik atas Perdagangan Karbon
Perubahan iklim merupakan ancaman serius terhadap umat manusia
dan planet bumi. Sejak Protokol Kyoto tahun 1997, muncullah konsep pasar
karbon lahir sebagai instrumen ekonomi politik utama dalam mengatasi
perubahan iklim global (Bohm et al., 2012). Newell dan Paterson (2010),
mengklaim bahwa penerapan pasar karbon oleh elit keuangan global
dan politik merupakan langkah awal menuju proses transformasi bentuk
organisasi kapitalis menjadi bentuk baru yaitu “kapitalisme iklim” yang
diklaim lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
174
Namun dalam pandangan Bohm et al., (2012), pelembagaan pasar
karbon nyatanya tidak mewakili gerakan menuju transformasi kapitalisme
secara radikal. Justru yang terjadi yaitu ekspresi dari tren komodifikasi
dan pengambilalihan ekologi yang mendorong ketidakmerataan proses
pembangunan disertai rawan krisis. Dengan memakai empat konsep
kritis Marxis, yaitu: (i) keretakan metabolik (Metabolic Rift) (Foster,
1999); (ii) kapitalisme sebagai ekologi dunia (Capitalism as ‘World-
Ecology’) (Moore, 2011); (iii) pembangunan dan akumulasi yang tidak
merata melalui perampasan (Uneven Development and Accumulation
by Dispossession) (Harvey, 2003, 2006); dan (iv) sub-imperialisme (Sub-
Imperialism) (Marini, 1972) oleh Bohm et al., (2012) dikembangkan
kerangka analisis Marxis terkait pasar karbon. Mereka menemukan bahwa
pasar karbon merupakan bagian dari sejarah perkembangan kapitalisme
global yang lebih panjang dan keterkaitannya dengan alam. Kendati pun
pasar karbon mampu melakukan dekarbonisasi dalam perekonomian
dalam sudut pandang saat ini, potensi keberhasilannya akan suram
sebagaimana dikemukakan para ahli seperti Foster, Moore, Harvey dan
Marini. Mereka menilai pasar karbon akan selalu berdampak negatif
terhadap lingkungan dan berimplikasi merugikan secara sosial. Bohm et al.,
(2012) juga berpandangan bahwa pasar karbon justru berfungsi sebagai
inkarnasi terbaru dari proses komodifikasi dan ekspansi kapitalis secara
kreatif serta berpeluang besar tidak mengubah dinamika kapitalisme
yang mendorong perekonomian global lebih berkelanjutan. Selanjutnya
dikatakan bahwa pasar karbon, alih-alih hendak mentransformasikan
kapitalisme, malah yang terjadi alah mereproduksi dan memperdalam
hubungan yang “tidak adil dan setara” antara negara-negara Utara dan
Selatan. Inilah yang kemudian melahirkan tuntutan pentingnya keadilan
iklim dalam soal perdagangan karbon. Apa itu keadilan iklim? Gonzales
(2021) berkata kata bahwa keadilan berawal dari teori dan praktik gerakan
keadilan lingkungan. Gonzales (2012) mengatakan bahwa keadilan iklim
memiliki ruang lingkup yang luas karena berdasarkan hak asasi manusia
(HAM). Keadilan iklim dalam perspektif HAM mencakup hak atas hidup,
175
9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim
kesehatan, dan integritas budaya, hak atas lingkungan yang sehat, hak
kebebasan tanpa diskriminasi ras dan jenis kelamin, dan hak memperoleh
informasi, berpartisipasi, dan akses terhadap keadilan.
Selama empat dekade silam keadilan lingkungan telah menjadi
seruan warga tatkala memperjuangkan ekologi dunia di belahan
bumi selatan maupun utara. Pasalnya, selama itu yang mengemuka
pada warga di negara-negara berkembang yaitu kesepakatan-
kesepakatan global, maupun instrumen kelembagaan dalam negosiasi
perubahan iklim acapkali melahirkan ketidakadilan iklim. Terinspirasi
kebangkitan gerakan keadilan lingkungan, sebuah koalisi keadilan
lingkungan, agamawan, kebijakan, dan advokasi di tingkat global
memobilisasi konsep keadilan iklim selama Konferensi Para Pihak (COP)
secara berkesinambungan dalam forum UNFCCC (Schlosberg dan Collins,
2014). Kelompok ini berhasil menerbitkan Prinsip Bali tentang “keadilan
iklim” tahun 2002 yang merupakan salah satu gagasan awal soal keadilan
iklim yang dilakukan gerakan sosial transnasional (Bali Principles,
2002). Dalam Prinsip Bali, koalisi keadilan lingkungan; (i) menentang
model pembangunan ekonomi berbasis pertumbuhan (growth) karena
menyebabkan krisis iklim; (ii) mengutuk timbulnya ketidakadilan akibat
produksi bahan bakar fosil yang berimbas terhadap warga rentan
(iii) mengupayakan pentingnya keadilan prosedural dan partisipatif; dan
(iv) menuntut adanya keadilan korektif dengan cara mengalihkan sumber
daya dari para pihak yang bertanggung jawab secara historis terhadap
perubahan iklim kepada mereka dampak kerentanan yang tinggi (Bali
Principles, 2002; Schlosberg & Collins, 2014).
Problem ketidakadilan iklim mengemuka sebagai akibat dari
perubahan iklim dikelompokkan dalam empat aspek: pertama,
ketidakadilan distributif muncul akibat adanya fenomena yang tidak
proporsional terhadap bahaya lingkungan seperti industri ekstraktif dan
polusi. Faktanya, negara-negara utara (maju) mestinya bertanggung jawab
terhadap soal ketidakadilan iklim karena berkontribusi besar terhadap
emisi GRK secara historis dan memperoleh manfaat ekonomi. Sebaliknya,
176
pihak yang mengalami kerugian besar akibat ketidakadilan iklim yaitu
negara-negara yang warga berkontribusi paling kecil terhadap emisi
GRK.
Kedua, ketidakadilan prosedural mengemuka karena ditutupnya
kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di
level pemerintahan. Secara global ketidakadilan prosedural timbul karena
negara-negara maju (utara) mendominasi lembaga-lembaga tata kelola
ekonomi dan lingkungan serta acapkali mengabaikan perspektif maupun
prioritas dari negara-negara berkembang (Selatan).
Ketiga, ketidakadilan korektif muncul akibat lemahnya upaya hukum
dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Perubahan iklim merupakan salah
satu perwujudan ketidakadilan korektif. Pasalnya, kelompok yang paling
menderita akibat perubahan iklim yaitu warga adat dan negara-
negara kepulauan kecil. Hal ini dikarenakan mereka gagal mendapatkan
kompensasi/ganti rugi akibat kerugian yang dialaminya.
Keempat ketidakadilan sosial terjadi karena adanya degradasi
lingkungan yang memiliki keterkaitan erat dengan penyakit sosial, seperti
rasisme dan kemiskinan. Dalam konteks perubahan iklim ketidakadilan
sosial timbul karena secara sistematis tatanan ekonomi yang berlangsung
justru makin memperburuk kemiskinan dan kesenjangan serta melampaui
batas-batas ekosistem bumi yang memiliki keterbatasan.
Soal ketidakadilan iklim merupakan salah satu problem dalam
mengatasi krisis iklim akibat perubahan iklim global. Isu ketidakadilan
iklim kerap mengemuka di forum-forum pertemuan tingkat tinggi
perubahan iklim. Pasalnya, negara-negara maju yang menyumbang emisi
karbon terbesar di dunia tak mau menyepakati penurunan emisi GRK.
Konsekuensinya yaitu negara-negara maju mesti mengurangi industrinya
yang memakai bahan bakar fosil sebagai salah satu sumber emisi
gas CO2 yang dibuang ke atmosfer. Lebih ekstremnya lagi negara-negara
maju membebankan upaya penurunan emisi GRK kepada negara-negara
berkembang yang masih memiliki luasan hutan tropis yang terbesar
di dunia seperti Brazil dan Indonesia. Negara-negara maju menjanjikan
177
9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim
sejumlah bantuan finansial bagi proyek-proyek perdagangan karbon yang
melibatkan lembaga-lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, IMF
dan ADB) dan lembaga non-pemerintah serta perusahaan multinasional.
Diharapkan dari proyek-proyek itu akan meningkatkan upaya pencapaian
penurunan emisi GRK dan mempertahankan kesepakatan perjanjian Paris
yang mengusulkan kenaikan suhu bumi 1.5°C hingga tahun 2050.
Namun, demikian perdagangan karbon yaitu jebakan bagi negara-
negara berkembang yang skemanya tidak masuk akal. Bagaimana
mungkin negara-negara maju yang memproduksi emisi CO2 lalu upaya
mengatasinya diserahkan kepada negara-negara berkembang lewat
bantuan finansial. Sementara negara-negara maju dengan industri
ekstraktifnya tetap memproduksi CO2 dari polusi industrinya. Bahkan
negara-negara maju memberikan skema utang luar negeri dengan
kompensasi menjamin keberlanjutan ekosistem hutan di negara-negara
berkembang. Pendek kata, negara maju tetap memproduksi emisi CO2
tapi urusan pengendaliannya diserahkan ke negara berkembang. Mereka
juga mengembangkan skema perdagangan karbon yang dikendalikan
oleh perusahaan-perusahaan multinasional di negara-negara maju
yang memproduksi emisi CO2 karena memakai bahan bakar fosil.
Imbasnya, melahirkan problem ketidakadilan iklim (climate injustice)
secara global dalam mengatasi dampak perubahan iklim antara negara
maju versus negara berkembang. Bahkan klaim perdagangan karbon bakal
menurunkan emisi CO2 dipertanyakan.
Menurut Pearse dan Böhm (2014) ada sepuluh alasan mengapa
perdagangan karbon tidak akan menghasilkan penurunan emisi secara
radikal; pertama, pasar karbon dianggap sebagai kegagalan karena
sulit mencapai tujuan utamanya, yaitu mengurangi emisi GRK. Fakta
membuktikan bahwa sangat sulit menentukan hubungan sebab-akibat
langsung antara pasar perdagangan karbon dengan penurunan emisi GRK.
Kedua, pasar karbon sebagai celah ketidakadilan. Perdagangan karbon
memberi peluang kepada negara-negara maju seolah-olah mengurangi
emisi GRK. Padahal, mereka menyerahkan tugas pengurangan emisi
tersebut kepada negara-negara berkembang. Konsep penyeimbangan
178
karbon merupakan inti dari pasar karbon yang sejatinya menjadi sebuah
celah dan model mitigasi yang tidak adil. Pasalnya, penyeimbangan
tersebut sejarinya mengalihkan tugas utama negara-negara maju (di
utara) yang selama ini mengekstraksi bahan bakar fosil di negara- kepada
negara-negara berkembang (di selatan). Semestinya, secara ekonomi
politik negara-negara maju mesti mengurangi emisi GRK-nya.
Ketiga, pasar karbon sebagai model pembangunan yang tidak adil.
Awalnya konsep perdagangan karbon dianggap menjanjikan sebagai
mekanisme baru pembangunan berkelanjutan. Namun, kenyataannya
tidak memberikan pembagian manfaat secara merata dan luas. Faktanya
distribusi pembiayaan Clean Development Mechanism (CDM) berbentuk
aliran investasi asing langsung lebih ditujukan kepada negara-negara
berpendapatan menengah seperti Tiongkok, Brasil, dan India. Sementara
negara-negara miskin tidak mendapatkan manfaat tersebut. Imbasnya,
tujuan pembangunan berkelanjutan hanya sekedar basa-basi. Pasalnya,
skema program penggantian kerugian dalam berbagai praktiknya justru
menciptakan masalah lingkungan dan sosial tambahan. Contohnya,
terjadinya penurunan permukaan air pada lokasi percontohan penanaman
hutan sebagai Prototype Carbon Fund dari Bank Dunia di berbagai negara
disertai konflik akses lahan antara warga mengalami dampak dengan
pemerintahan setempat.
Keempat, pasar karbon sebagai subsidi bahan bakar fosil. Kompensasi
berlebihan yang diterima industri padat energi berbahan bakar fosil di
berbagai negara maju justru memicu polusi GRK di satu sisi. Akan tetapi di
sisi lainnya, margin keuntungan mereka mengalami peningkatan drastis.
Dalam kasus negara-negara Uni Eropa, setiap industri wajib berpartisipasi
dalam European Union Emissions Trading System (EU-ETS). EU-UTS
yaitu landasan kebijakan Uni Eropa dalam mengatasi perubahan iklim
dan sebagai instrumen utamanya dalam mengurangi emisi GRK dengan
“menerapkan biaya efektif” (cost-effectiveness).
Mereka memperoleh izin gratis melampaui kebutuhannya sehingga
nyaris seluruh biaya pengurangan emisinya dibebankan kepada konsumen.
Kenyataannya, industri padat energi di Uni Eropa yang memperoleh
179
9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim
kompensasi besar (besi dan baja, kilang dan utilitas (petro)-kimia) malah
menghasilkan keuntungan tak terduga sebesar €14 miliar sepanjang
2005-2008. Jadi, pasar karbon yang dikembangkan di Uni Eropa malah
“menyubsidi” industri multinasional yang memakai bahan bakar fosil
dalam proses produksinya.
Kelima, pasar karbon bersifat regresif. Diterapkannya pajak konsumsi
dalam perdagangan karbon disertai skema pembatasan dan perdagangan
bahan bakar fosil akan berdampak terhadap harga energi, semua jenis
barang dan jasa lainnya. Pasalnya, beban biaya karbonnya ditanggung
oleh rumah tangga yang berpendapatan rendah secara tidak proporsional.
Mereka secara riil membelanjakan banyak uang untuk membeli barang-
barang yang dikenai dampak penetapan harga karbon seperti listrik,
bahan bakar minyak, dan bahan makanan. Akibatnya, pasar karbon
menjadi regresif.
Keenam, pasar karbon sebagai ladang korupsi. Pasar karbon yang
diterapkan amat rentan terhadap penipuan sehingga menyuburkan
korupsi. Dalam praktik pasar karbon di Uni Eropa tahun 2010 telah
menimbulkan “penipuan carousel” (carousel fraud) atau “penipuan oleh
pedagang yang hilang (missing trader fraud) dalam skema EU-ETS. Akibat
kasus penipuan ini telah menimbulkan kerugian publik dan menghilangkan
penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar €5 miliar. Bentuk
penipuan lainnya juga didokumentasikan melalui proyek penggantian
kerugian bersertifikat PBB (certified UN offset) dan kredit “netral karbon”
yang dikembangkan dan dijual di pasar karbon secara sukarela. Akibat
fenomena semacam ini, pasar karbon menjadi ajang korupsi.
Ketujuh, pasar karbon sebagai keyakinan utopis terhadap penetapan
harga. Secara teoritis, ekonomi lingkungan mengutamakan bagaimana
hubungan ekonomi dibandingkan dengan kehidupan sosial dan ekologi,
sehingga mengubah alam sebagai modal alamiah (natural capital). Pasar
karbon merupakan sebuah konstruksi “komoditas fiksi” berdasarkan
upaya utopis untuk memisahkan bagian siklus karbon dari warga
dan memosisikannya berada di bawah kendali harga. Konsep ini memang
bertentangan dengan teori ekonomi neoklasik yang menganggap pasar
180
karbon sebagai konstruksi politik yang dibentuk akibat konstelasi kekuatan
sosial yang mendominasi pasar. Para kritikus pasar karbon menilai bahwa
praktik penetapan harga karbon bertentangan dengan model dalam buku
teks ilmu ekonomi. Spash (2010) berpendapat bahwa klaim efisiensi dalam
skema pasar karbon tidak bisa dibuktikan dengan analisis keseimbangan
statis sehingga penetapan harga karbon sulit diprediksi. Di samping itu,
model-model penetapan harga karbon mengabaikan besarnya pengaruh
konsentrasi kekuasaan di pasar mana pun terutama dalam sektor energi
berbasis bahan bakar fosil. Berbagai kasus program penggantian kerugian
karbon hutan di negara-negara berkembang yang diterapkan oleh negara
maju dengan pendekatan sistem insentif mengakibatkan pengabaian
hambatan kelembagaan dalam penerapan dan penegakan tata kelolanya.
Kedelapan, pasar karbon sebagai saintisme. Pasar karbon
merefleksikan keyakinan tentang penerapan ilmu pengetahuan secara
universal. Pengetahuan ilmiah amat penting dalam proses pemberian hak
atas emisi GRK. Komodifikasi dalam pasar karbon membutuhkan proses
penyetaraan yaitu bagaimana menciptakan kesetaraan antara bagian-
bagian siklus karbon yang dibatasi dimana perihal yang berbeda secara
kualitatif dianggap setara dan dapat dijual melalui media uang”. MacKenzie
(2009) mengatakan bahwa proses sosio-teknikal dalam produksi
komoditas karbon membuat segalanya menjadi sama (making things
the same). Logika sejatinya didasari oleh pandangan reduktif terhadap
alam. Padahal, antara GRK dengan masalah ekologi dan sosial memiliki
perbedaan yang sangat besar. Asumsi ekonomi bahwa siklus karbon dapat
diukur secara akurat, terukur, dan dibagikan sebagai hak kepemilikan
(property rights) merupakan perihal sederhana. Muculnya kontroversi
pengukuran pemanasan global dan potensi gas Hydrofluorocarbon (HFC)
membuktikan adanya masalah dalam pengukuran. Lohmann (2005)
berpendapat bahwa timbulnya masalah perbedaan dalam pengukuran,
seumpana ketidakmungkinan pengukuran kuantitatif secara agregat dari
“penyingkiran emisi” (emissions removals) melalui “penyerap karbon”
(carbon sinks) tidak diakui para pihak UNFCCC atau IPCC.
181
9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim
Abstraksi yang terlibat dalam pembentukan komoditas CO2e (CO2
ekuivalen) menyebabkan hal-hal yang tidak diketahui secara ilmiah
acapkali ditekan (Lohmann 2010). Para kritikus menunjukkan bahwa
karbon yang terkandung di atas dan di bawah permukaan tanah sangat
berbeda. Apabila dalam perdagangan karbon berupaya menciptakan hak
karbon yang setara sehingga diperdagangkan otomatis perihal tersebut
menjadi suatu permasalahan. Karbon fosil merupakan bahan bakar energi
seperti batu bara dan minyak. Bahan bakar ini diproduksi selama ribuan
tahun dan menjadi inert yaitu menjadi gas yang tidak bereaksi dengan zat
lain, misalnya nitrogen. Ada pula jenis karbon yang sifatnya kurang stabil
yaitu karbon yang terkandung pada lanskap yang menjadi bagian siklus
karbon hidup. Dalam siklus ini karbon akan terus berpindah dan berubah
dari bentuk anorganik (CO2 di atmosfer) dan organik (tanaman, ganggang,
hewan) selama jangka waktu beberapa dekade. Penyerapan karbon pada
ekosistem darat melalui proyek konservasi tidak akan menghilangkannya
siklus aktif atmosfer di daratan maupun lautan sehingga menimbulkan
kerentanan akibat perubahan penggunaan lahan terhadap ekosistem
tersebut.
Kesembilan, pasar karbon sebagai teknokrasi. Skema pasar karbon
dikembangkan jaringan agen ekonomi transnasional (ekonom, ilmuwan,
insinyur, penasihat kebijakan, anggota parlemen.) dan didukung teknologi
kompleks (komputer, satelit sistem penentuan posisi global, pabrik, gas,
sistem akuntansi). Para pelaku baru dalam perdagangan karbon membuat
kontrak dengan warga di wilayah Selatan. Dalam prosesnya, nilai-
nilai, hak, tanggung jawab, dan kewajiban baru ditentukan. Komodifikasi
karbon melibatkan penilaian emisi secara abstrak, dan diturunkan sebagai
fungsi biaya pengurangan marjinal. Lohmann (2009) mengamati bahwa
pengelolaan pasar karbon menciptakan jumlah data penghitungan karbon
yang banyak dan analisis biaya-manfaat yang rumit. Sistem manajerial baru
semacam ini menghasilkan elit teknokratis baru sekaligus menciptakan
zona ketidaktahuan baru dengan mengabstraksi dari mana emisi dihasilkan.
Di samping itu kerumitan dalam tata kelola pasar karbon mengakibatkan
keterbatasan pengawasan, akuntabilitas dan transparansi. Ditambah
lagi pemberian hak istimewa terhadap pengetahuan para ahli sehingga
182
menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan di antara calon pelaku
pasar. Contohnya para pelaku korporasi yang mampu menggabungkan
aktivitasnya merupakan pihak yang paling berhak mendapatkan manfaat
dari keterlibatannya dalam pasar baru seperti REDD (Reducing emissions
from deforestation and forest degradation). Sebaliknya, komunitas
lokal yang hanya mengambil keputusan sekali seumur hidup untuk
berpartisipasi dalam pasar karbon malah menanggung risiko yang jauh
lebih besar dibandingkan korporasi.
Kesepuluh, pasar karbon sebagai hambatan. Para pegiat iklim di
Uni Eropa membangun sebuah koalisi dan berkumpul lalu berargumen
bahwa kebijakan EU ETS di Uni Eropa harus dihapuskan karena penetapan
harga karbon tidak memberikan jalan bagi model-model kebijakan iklim
lainnya secara politik. Sebaliknya, perdagangan karbon justru dianggap
menghambat peningkatan emisi sehingga dijadikan argumentasi untuk
mengabaikan kebijakan energi lainnya yang berkontribusi lebih besar
terhadap proses dekarbonisasi. Contohnya, Australia tahun 2012
menerbitkan kebijakan energinya berdasarkan asumsi bahwa emisi
disalurkan ke luar negeri. Sementara, aktivitas industri batubara dan gas
dalam negerinya tetap berlangsung dan diperluas. Jadi, penetapan harga
karbon hanya dijadikan “kedok” untuk memprivatisasi sumber energinya
dan menghapus upaya yang mendukung pengembangan sumber energi
terbarukan di negara tersebut.
Dalam, berbagai literatur yang ditemukan menunjukkan bahwa
tingginya tingkat religiositas seseorang penganut agama berkorelasi
dinamis dengan tingginya responsibilitas dan kepekaan terhadap isu
perubahan iklim. Pertama, negara-negara maju dan berpendapatan
tinggi umumnya sekuler dan ateis. Namun, mereka memiliki tingkat
responsibilitas dan kepekaan yang tinggi terhadap perubahan iklim
dibandingkan negara-negara berkembang yang religiositasnya tinggi.
Padahal secara faktual negara-negara tersebut produsen terbesar emisi
GRK seperti China, Amerika Serikat dan Rusia. Ironisnya, terjadi paradoks
dalam kenyataannya. Negara-negara maju tersebut justru mengalihkan
tanggung jawab penurunan emisi GRK yang diproduksi industrinya
183
9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim
kepada negara-negara berkembang yang notabene memiliki lebih religius
berbentuk skema perdagangan karbon (carbon trading). Negara-negara
berkembang pemilik hutan tropis yang masih luas didanai agar menjaga
kelestarian hutannya atau dikucurkan pendanaan reboisasi hutan. Lewat
strategi ini negara-negara maju mengklaim dirinya telah berkontribusi
dalam menurunkan emisi GRK. Padahal, sejatinya klaim tersebut amat
sulit dibuktikan. Negara-negara maju tetap saja mengonsumsi bahan
bakar fosil, seperti batubara, minyak bumi dan gas alam dalam proses
produksinya yang memproduksi emisi GRK. Inilah ketidakadilan iklim
global menyeruak hingga kini sehingga acapkali mengalami kebuntuan
dalam kesepakatan soal iklim dalam forum United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCC) maupun Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC).
Kedua, dari riset penulis ditemukan bahwa negara – negara
berkembang dan terbelakang dengan tingkat pendapatan yang rendah
umumnya memiliki tingkat religiositas yang tinggi dan bertanggungjawab
terhadap upaya mengatasi perubahan iklim merujuk dari hasil dengan
pendekatan emisi CO2 dan jejak ekologi. Padahal dalam konteks
ketidakadilan iklim, negara-negara berkembang dan terbelakang telah
menanggung beban dari negara-negara maju supaya menjaga kelestarian
hutannya seperti Indonesia dan Brazil. Produksi karbon dari hutan
negara-negara berkembang dan terbelakang tersebut diharapkan akan
menurunkan emisi GRK di atmosfer. Makanya, negara-negara maju
mengembangkan skema perdagangan karbon yang akan dilepas di
pasar bursa karbon. Meskipun, skema perdagangan karbon itu belum
terbukti menurunkan emisi GRK secara radikal. Justru perdagangan
karbon menjelma menjadi model baru kapitalisme untuk mengeksploitasi
sumber daya alam di negara berkembang dalam bingkai mekanisme pasar
bebas berbentuk perdagangan karbon. Di sinilah sejatinya, ketidakadilan
iklim mengemuka yang melahirkan anti tesis pentingnya keadilan iklim
secara global. Jika dikaitkan dengan ajaran agama-agama samawi
maupun agama tradisional, maka tema “keadilan” merupakan esensi
pokok ajarannya untuk membangun kesadaran teologis, humanisme dan
ekologis bagi umat manusia menjalani kehidupan yang harmonis antara
184
manusia dengan manusia (humanisme), serta hidup berdampingan
dengan alam. Demikian pula dalam hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, unsur keadilan inheren di dalamnya. Artinya, problem
ketidakadilan iklim yang mencuat dalam dinamika isu perubahan iklim
dan perdagangan karbon sangat bertentangan dengan hakikat ajaran
agama maupun agama tradisional yang berkembang di berbagai belahan
dunia yang mengutamakan keadilan distributif. Oleh karena itu, dalam
konteks global, dalam upaya mengatasi perubahan iklim, agama secara
institusional dapat berkolaborasi dan membangun konsensus bersama
untuk mereduksi ketidakadilan iklim baik ekonomi politik dan ekologi.
Agama menjadi katalisator untuk mendorong negara-negara maju untuk
mengatasi problem perubahan iklim bersama dan adil dengan negara-
negara berkembang melalui kolaborasi dan konsensus bersama misalnya
penurunan suhu di bawah 1.5°C hingga 2050.
Pasalnya, skema perdagangan karbon yang diadopsi dan berkembang
secara global sejatinya tidak berdampak terhadap kesejahteraan rakyat di
negara-negara berkembang dan terbelakang. Justru, perdagangan karbon
merupakan bentuk terselubung dari metamorfosis kapitalisme neoliberal
yang dipraktikkan negara-negara maju untuk mengeksploitasi sumber
daya alam di negara berkembang dan terbelakang. Makanya, dari sinilah
kaum agamawan dan institusi keagamaan mentransformasikan ajaran
agama sebagai “katalisator” dalam mewujudkan “keadilan iklim” secara
global. Pasalnya esensi keadilan dalam ajaran agama ialah menentang
(i) eksploitasi manusia atas manusia yang melahirkan kemiskinan,
kesenjangan sosial ekonomi, dan keterbelakangan dan (ii) eksploitasi
manusia atas alam yang melahirkan degradasi sumber daya alam dan
ekosistemnya, dan krisis iklim akibat perubahan iklim. Di samping itu
partisipasi dalam forum-forum pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi
Perubahan Iklim menjadi penting supaya menyuarakan esensi ajaran
agamanya yang mengutamakan “keadilan” sebagai dasar mereduksi
ketidakadilan global dalam soal perubahan iklim. Para pemuka agama dan
institusi keagamaan dapat memberikan solusi-solusi alternatif berbasiskan
185
9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim
nilai-nilai dan ajaran agama samawi maupun agama tradisional yang
memengaruhi perilaku individu dan tindakan kolektif komunitasnya dalam
mengurangi emisi GRK.
Pada tataran empiris telah berkembang model – model intervensi
untuk mencegah merugikan akibat dampak perubahan iklim. Morrison
et al., (2022) mengatakan bahwa intervensi dalam aksi iklim dewasa
ini membutuhkan model intervensi yang bersifat preventif, efektif,
dan sistemik yang radikal dan bukan konvensional. Pasalnya intervensi
konvensional mampu memperlambat perubahan iklim dan membangun
ketahanan iklim. Supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman soal
intervensi radikal dalam perubahan iklim, maka Morrison mengambil
pemahaman radikal dari kata sifat latin “radikalis”. Radikal mengandung
arti “dari atau berkaitan dengan suatu akar”. Tujuannya yaitu
mengidentifikasi jenis intervensi untuk mengatasi akar penyebab
masalah, bukan penyebab langsung dan dampak gejalanya. Dalam kasus
perubahan iklim, penyebab langsung yang dominan yaitu konsumsi
bahan bakar fosil dan pembukaan lahan. Sementara, dampak langsungnya
yaitu gelombang panas, kenaikan permukaan air laut, pengasaman laut,
banjir dan gelombang badai, bencana alam, migrasi manusia dan hewan,
gangguan ekologi, dan air, kerawanan pangan dan energi. Akar penyebab
masalahnya yang menggerakkannya yaitu kapitalisme dan materialisme,
hubungan kekuasaan yang asimetris, dan sistem yang eksploitatif dan
ekstraktif.
9.2 Sinergi Agama dan Intervensi
Perubahan Iklim
Beragam bidang riset lintas disiplin saat ini sedang
menginformasikan debat kebijakan dan menghasilkan antusiasme
publik tentang mekanisme intervensi yang radikal terkait perubahan
iklim. Intervensi radikal yaitu intervensi yang nantinya mengatasi akar
penyebab masalah perubahan iklim melalui jalur yang transformatif
186
secara struktural dan sistemik (Morrison et al., 2022). Gambar 24
memperlihatkan bagaimana pengaruh sistem dari cara-cara umum
intervensi iklim. Respons keseimbangan non-linier dari sistem sosial-
ekologis (sumbu y) digambarkan sebagai fungsi dari kekuatan dari beberapa
penggerak iklim yang berinteraksi (sumbu x). Garis biru mengindikasikan
kurva respons alternatif, dimodifikasi oleh intervensi, dan titik-titik
biru dan hitam menunjukkan pergeseran dalam keadaan sistem (untuk
intensitas perubahan iklim yang diberikan) akibat intervensi. Intervensi
iklim yang berbeda dapat menggeser ambang batas untuk menghindari
(atau memicu) perubahan keadaan (A), memanipulasi umpan balik
untuk mengubah bentuk hubungan keseimbangan antara penggerak dan
keadaan sistem (B), atau mengurangi penggerak perubahan iklim untuk
menghindari melampaui ambang batas (C). Pentingnya, memodifikasi
ambang batas dan umpan balik (A dan B) untuk mengatasi dampak
dan penyebab yang dekat jarang akan memiliki dampak sistem yang
berkelanjutan atau berarti kecuali jika penyebab akar dari perubahan
iklim juga diatasi (C).
1
Untuk memahami tipologi intervensi radikal dalam mengatasi akar
penyebab perubahan iklim disajikan dalam Gambar 25.
Sumber: Morrison et al., 2022
Gambar 25. Jenis-Jenis Intervensi Iklim yang Radikal
Gambar 25 menggambarkan adanya perdebatan soal intervensi
radikal sehingga menimbulkan enam penafsiran berbeda tentang “radikal”.
Interpretasi yang berbeda tersebut dianggap sebagai tipologi intervensi
yang menggambarkan sejauh mana ia mengganggu status quo dalam
mengatasi akar penyebab perubahan iklim. Enam tipologi intervensi iklim
secara radikal Morrison et al., (2022):
Pertama, intervensi paliatif (palliative intervention), yaitu intervensi
berupa solusi ilmiah melalui pengembangan teknologi ekstrem yang
bertujuan beradaptasi terhadap perubahan iklim dan menunda dampak
terburuknya seperti keruntuhan sosial dan ekologi. Caranya yaitu
memanipulasi ambang batas yang mampu menolerir perubahan iklim.
Jenis intervensi ini tidak mengatasi akar masalah perubahan iklim
sehingga dianggap tidak masuk akal untuk mencapai tujuan membatasi
emisi GRK dan mencegah dampak perubahan iklim yang terburuk.
Contohnya, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon yang belum
terbukti hasilnya, dan pengelolaan radiasi matahari untuk lokasi spesifik
189
9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim
bagi terumbu karang. Solusi intervensi radikal semacam ini dianggal ilusi.
Menariknya, jenis intervensi ini mendapatkan dukungan negara-negara
industri yang memakai bahan bakar fosil.
Kedua, intervensi yang penuh harapan (hopefull). Jenis intervensi ini
diyakini dapat mengatasi darurat iklim melalui serangkaian perubahan
ekonomi (skema penghitungan karbon, target energi terbarukan dan
teknologi bersih) dan solusi berbasis alam (pemberian insentif kepada
perusahaan untuk menyerap karbon atau melakukan desain regeneratif).
Contohnya, koperasi sumber daya pesisir yang mendistribusikan teknologi
energi terbarukan berbiaya rendah (fotovoltaik surya, lampu LED),
sehingga mengurangi penggunaan bahan bakar maupun emisi karbon
yang tinggi.
Jenis intervensi ini masih dikategorikan bersifat inkremental dan
konservatif karena gagal mencapai tujuan yang diharapkan, mengganggu
status quo dan lambat bekerjanya dalam mengerem perubahan iklim.
Dengan perkataan lain intervensi yang penuh harapan penting dan
bermanfaat akan tetapi jika implementasinya tidak mandiri, maka kecil
peluangnya menciptakan perubahan yang transformatif.
Ketiga, intervensi taktis (tactical intervention). Intervensi taktis,
merepresentasikan tindakan radikal yang berusaha mengganggu. Model
intervensi taktis akan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya
mengatasi akar masalah meskipun sering gagal. Jenis inventarisasi
taktik mencakup aksi komunitas secara langsung, pembangkangan sipil,
dan protes berbasis ilmiah maupun elit. Contohnya yaitu gerakan
Jumat untuk masa depan, gerakan iklim kaum muda. Tujuannya yaitu
mengganggu kondisi yang lazim terjadi (business as usual) dengan
memaksakan deklarasi darurat iklim, memaksa divestasi dalam investasi
dan pendukung bahan bakar fosil, serta meningkatkan kesadaran dan
keterlibatan warga dalam aksi iklim. Sasarannya yaitu perusahaan
berpengaruh, pemerintah, dan bank. Intervensi taktis berupaya
memanipulasi ambang batas dengan menginternalisasikan aspek sosial.
Hal ini merupakan tindakan awal warga mengatasi akar masalah
perubahan iklim. Dalam beberapa kasus pendekatan ini diabaikan karena
190
dianggap bersifat destruktif, sehingga minim mendapatkan dukungan
publik dan bertentangan dengan kebijakan yang ada. Intervensi taktis
juga menghasilkan gerakan sosial yang kuat dalam memberikan tekanan
moral dan insentif ekonomi dalam aksi iklim. Contohnya, gerakan sosial
yang dilakukan La Via Campesina yang memobilisasi warga menuju
perubahan radikal.
Keempat, intervensi parsial (partial intervention). Intervensi parsial
dikembangkan berdasarkan tipe 3 yang melarang penggunaan bahan
bakar fosil. Namun, tidak ada upaya selanjutnya mengatasi struktur
ekonomi yang mendorong tindakan ekstraksi dan konsumsi bahan bakar
fosil atau memandu transisi sosial bagi para pekerja yang kehilangan
pekerjaan. Perkataan lain hubungan kekuasaan dan struktur sosio-
ekonomi masih tetap ada. Dari ini intervensi mulai tampak lebih radikal
walaupun perannya masih bersifat simbolisme masih. Contohnya, upaya
yang dicurahkan tanpa mengenal waktu untuk memperdebatkan simbolik
tentang dampak sosial dari pelarangan ekstraksi dan konsumsi bahan
bakar fosil dibandingkan penyebab mendasar dari kapitalisme, eksploitasi
dan konsumerisme. Di beberapa negara, perdebatan sederhana
mengakibatkan absennya tindakan terhadap perubahan iklim selama
beberapa dekade. Namun, menghilangkan bahan bakar fosil tidak serta
merta mengubah perekonomian, struktur kekuasaan, dan hubungan
internasional yang mendorong perubahan iklim. Dengan perkataan lain,
walaupun menghentikan seluruh aktivitas pertambangan batubara,
namun tak menjamin intensifikasi, eksploitasi, dan pemborosan teknologi
lainnya akan menggantikannya. Pelarangan terhadap penggunaan bahan
bakar fosil tanpa disertai penyesuaian struktural yang lebih luas (rencana
transisi regional dan pajak keuntungan besar) terkesan menghasilkan
kemajuan dan pembebasan pemerintah terutama intervensi lebih luas
demi warga lebih berkelanjutan dan adil. Di samping itu, larangan
penggunaan bahan bakar fosil bisa disalahgunakan oleh industri dan
pemerintah untuk menghindari intervensi yang lebih radikal.
191
9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim
Kelima, intervensi strategis (strategic intervention). Intervensi ini
berdasarkan tipe 5 yang mendekati radikal sejati yaitu dengan cara
meningkatnya tingkat gangguan dalam mengatasi akar permasalahan.
warga global yang memiliki kepedulian tinggi akan mendukungnya
karena bertujuan mengatasi korupsi dan asimetri kekuasaan melalui
pemulihan akuntabilitas, legitimasi, integritas dan transparansi
pemerintahan. Artinya, intervensi tersebut memberikan perhatian
terhadap cara warga meminimalkan kepentingan pribadi dan
kesenjangan kekuasaan serta memaksimalkan kepentingan yang
kelompok terpinggirkan dan mengutamakan transparansi. Pasalnya,
kekuasaan kerap kali menjurus pada tindakan korupsi. Makanya,
dibutuhkan upaya menjaga integritas pemerintahan sebagai proses yang
berkelanjutan. Contohnya, integritas tata kelola dan badan antikorupsi,
serta transparansi dan konflik menghindari kepentingan. Contohnya,
menetapkan pembentukan “sistem kekebalan sipil” dimana mekanisme
transparansi, akuntabilitas dan pemantauan ekologi menjadi penting
dalam meningkatkan demokratisasi dan meminimalkan penyelewengan
peraturan dan penyalahgunaan kekuasaan. Umpamanya, PBB melakukan
intervensi strategis dengan mengecualikan kepentingan nirlaba
(perusahaan berbahan bakar fosil) terlibat dalam perumusan kebijakan
perubahan iklim berdasarkan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan
Iklim. Contohnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara strategis
mengecualikan perusahaan tembakau dari Konvensi Kerangka Kerja
Pengendalian Tembakau sehingga berdampak positif. Faktanya terjadi
pengurangan penggunaan tembakau global di kalangan laki-laki dari
50% tahun 2000 menjadi 38.6% tahun 2018. Sementara di kalangan
perempuan berkurang dari 16.7%. tahun 2000 menjadi 8.5% tahun 2018.
Tujuan intervensi strategis yaitu memperbaiki hubungan ekonomi politik
secara strategis dan bersifat asimetris yang mendorong timbulnya sistem
eksploitatif dan ekstraktif. Jenis intervensi ini ditargetkan dalam tata kelola
iklim dan menjadi mainstreaming dari semua jenis tata kelola.
Keenam, intervensi sangat radikal (deep intervention). Intervensi
sangat radikal berada pada tipe 6. Jenis intervensi ini bertujuan mengatasi
akar penyebab perubahan iklim dengan cara menjungkirbalikkan sistem
192
kapitalis yang eksploitatif, dan ekstraktif. Jenis intervensi ini jangan dianggap
sebagai tindakan yang tidak realistis. Kenyataannya, jenis intervensi ini
semakin meningkat karena pemerintah, komunitas, dan organisasi nirlaba
merancang dan menerapkan perubahan sosial serta lingkungan melalui
kebijakan emansipatoris, keadilan sosial, dan redistributif. Contohnya
mencakup:
1. Intervensi yang mengatasi kapitalisme dan materialisme. Agar
mencapai pengurangan emisi sesuai dengan Perjanjian Paris,
beberapa negara berpendapatan tinggi secara aktif mulai
mempertimbangkan kebijakan degrowth dan pasca pertumbuhan
(post growth). Kebijakan berdasarkan bukti yang kuat bahwa aktivitas
perekonomian yang diukur dengan indikator produk domestik bruto
(PDB) bisa dipisahkan dari penggunaan energi. Contohnya, Spanyol,
mampu melampaui Amerika Serikat dalam indikator-indikator sosial
utama (termasuk harapan hidup yang lima tahun lebih lama), meski
PDB per kapitanya lebih rendah 55%. Kebijakan degrowth dan post
growth telah mengelola perekonomian berdasarkan prinsip keadilan
dan kecukupan, bukan PDB. Contohnya, memperpendek jam kerja
(Perancis dan Selandia Baru) dan investasi pada transportasi tidak
bermotor dan angkutan umum (Belanda dan Chile). Intervensi ini
bersifat radikal karena memakai emisi yang sangat sedikit
dibandingkan moda kerja dan transportasi lainnya serta berkontribusi
terhadap tingkat kesejahteraan maut manusia menjadi lebih tinggi.
Akibatnya, melawan premis dominan yang berkata kata bahwa
pertumbuhan ekonomi dibarengi kesejahteraan mesti dicapai dengan
segala cara.
2. Intervensi yang mengatasi hubungan kekuasaan yang asimetris.
Intervensi radikal mendalam juga mengatasi kesenjangan. Contoh
yang amat kuat meliputi skema pendapatan dasar, pajak pendapatan
dan kekayaan progresif, dan pajak sumber daya ala negara-
negara Skandinavia. Semua tersebut dijalankan agar membatasi
kekuatan modal dan mendorong investasi pasca pertumbuhan
serta mereorientasi di luar akumulasi modal. Contohnya, skema
193
9. Transformasi Agama sebagai Katalisator Keadilan Iklim
voucher keluarga yang mengabaikan pola tradisional dalam meraup
keuntungan dan hubungan patron-klien. Praktiknya, Di Brazil yaitu
dengan pengeluaran yang tidak terlalu besar (sekitar 0.5% dari
PDB), Program Bolsa FamÃlia mampu menghubungkan pendidikan
dan layanan kesehatan melalui bantuan tunai keluarga, sehingga
mengatasi salah satu akar penyebab perubahan iklim (ketimpangan)
sekaligus mengurangi kerentanan terhadap dampaknya.
3. Intervensi yang bertujuan mengatasi dan mengunci sistem eksploitatif
dan ekstraktif dengan cara membalikkannya. Selama tiga dekade
terakhir intervensi ini telah mengembangkan tata kelola warga
yang memanajemen lebih dari 400 juta hektar hutan di negara-negara
Selatan. Dalam intervensi ini mendorong pendekatan sosial dan politik
yang saling berkelindan dalam membatasi emisi karbon, memperkuat
usaha warga adat dan komunitas agar menggulingkan sistem
yang eksploitatif dan ekstraktif, serta mencegah meluasnya degradasi
hutan. Keberhasilan intervensi ini ditentukan oleh upaya yang
memastikan warga tidak mengalami pengucilan dan pembiaran
dalam perangkap kemiskinan yang sangat ekstraktif akibat terburu-
buru dalam melakukan proses transformasi.
Dalam semua tipologi intervensi radikal di atas, aspek pokok yang
paling penting yaitu bagaimana ilmu pengetahuan yang berkontribusi
dalam semua jenis intervensi tersebut. Bagaimana jika di kaitkan
dengan ajaran dan nilai-nilai agama. Dari semua jenis tipe intervensi
radikal di atas, ajaran dan nilai-nilai agama dapat ditransformasikan dan
menyinergikan dengan tipologi intervensi yang adaptif dan selaras dengan
struktur warga , tingkat pendapatan, kelembagaan, dan sistem sosial.
Apalagi jenis intervensi ini juga disinergikan dengan nilai-nilai kearifan
lokal warga sehingga terjadi intervensi “hibrid” atau “kombinasi
intervensi” yang bersinergi dengan ajaran dan nilai-nilai agama.
Nantinya melahirkan model intervensi yang bersifat heterodoks/
eklektik yaitu yang menyempal dari model kapitalisme maupun
strukturalisme/sosialisme dalam mengatasi perubahan iklim yang dapat
diterapkan dalam kehidupan individu umat beragama dan tindakan
194
kolektif organisasi keagamaan. Lewat sinergi dengan ajaran agama ini
diharapkan akan melahirkan model hibrid dalam mengatasi penurunan
emisi GRK yang berimplikasi mereduksi dampak perubahan iklim
global. Dengan demikian, akan melahirkan keadilan iklim secara global
berbasiskan transformasi ajaran-ajaran agama yang tercermin dari jenis
intervensi yang dikembangkan.
Mainstreaming agama dalam mengatasi krisis iklim merupakan
pendekatan yang mengakui peran yang semakin penting dari dimensi
agama dalam upaya melawan perubahan iklim global. Ini melibatkan
penggunaan nilai-nilai dan ajaran agama sebagai alat untuk memotivasi
tindakan pro-lingkungan dan menggalang dukungan dalam pelestarian
lingkungan. Pemahaman bahwa banyak komunitas dan individu yang
dipengaruhi oleh ajaran agama, menjadikan agama sebagai sarana
yang kuat untuk membangun kesadaran lingkungan dan menggerakkan
tindakan konkret.
Selain itu, mainstreaming agama juga mencakup upaya untuk
mengintegrasikan perspektif agama dalam pembuatan kebijakan dan
perencanaan strategi lingkungan. Hal ini mencerminkan pengakuan akan
pengaruh agama dalam membentuk perilaku dan nilai-nilai warga .
Dengan menggabungkan prinsip-prinsip agama yang mendukung
keberlanjutan dan perlindungan alam ke dalam kebijakan pemerintah
dan praktik bisnis, kita dapat mencapai keseimbangan antara kepentingan
ekonomi dan lingkungan.
Terakhir, kolaborasi antaragama dan dialog antarkeyakinan menjadi
komponen kunci dalam mainstreaming agama. Ini memungkinkan berbagai
kelompok agama dan keyakinan untuk bekerja bersama dalam mencari
solusi untuk krisis iklim. Dalam dunia yang semakin terhubung, upaya
bersama ini menghadirkan peluang untuk merangkul keanekaragaman
budaya dan keyakinan dalam upaya bersama melindungi planet ini untuk
generasi mendatang.
196
Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai model gerakan keagamaan,
keterlibatan kaum agamawan dalam forum global, ragam hambatan
dan tantangan agama, transformasi menuju eko-religius, dan aksi nyata
mengatasi krisis iklim.
10.1 Model Gerakan Keagamaan
Banyak kelompok dan denominasi agama di seluruh dunia telah
mengambil tindakan untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong
kepedulian terhadap lingkungan. Berikut beberapa contoh yang telah
dilakukan oleh berbagai kelompok agama:
1. Islam
Agama Islam telah berperan penting dalam upaya global untuk
mengatasi perubahan iklim dan mendorong kepedulian terhadap
lingkungan. Salah satu inisiatif utama yaitu “Islamic Declaration
on Global Climate Change” yang dikeluarkan pada tahun 2015 oleh
sekelompok ulama Muslim terkemuka (Chaplin, 2016; Jenkins et al., 2018;
Koehrsen, 2021). Deklarasi ini menggarisbawahi tanggung jawab moral
umat Islam untuk melindungi alam semesta dan menekankan perlunya
tindakan konkret dalam mengurangi emisi GRK. Dokumen tersebut
mendorong umat Islam untuk mendukung energi terbarukan, mengurangi
pemborosan sumber daya, dan berperan aktif dalam upaya global untuk
mengatasi perubahan iklim.
Selain deklarasi ini, ada berbagai kampanye yang diluncurkan
oleh komunitas Islam. “Muslims for Climate” yaitu salah satu contohnya.
Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran umat Islam
tentang perubahan iklim dan lingkungan. Mereka mengadakan seminar,
lokakarya, dan program pendidikan yang berfokus pada prinsip-prinsip
Islam dalam menjaga alam semesta dan mengelola sumber daya alam
dengan bijak. Kampanye ini juga mendorong umat Islam untuk mengadopsi
gaya hidup berkelanjutan.
197
10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim
Selain itu, gerakan penanaman pohon yaitu bagian integral
dari upaya umat Islam untuk pelestarian lingkungan. Program seperti
“Greening the Desert” di berbagai negara bertujuan untuk menghijaukan
lahan tandus dan mengatasi deforestasi dengan penanaman pohon dan
tanaman lokal (AlHammad, 2022; Bolleter, 2019). Gerakan semacam
ini bukan hanya memberikan manfaat ekologi, tetapi juga membantu
komunitas yang terlibat untuk mengatasi tantangan perubahan iklim.
Di tingkat komunitas, banyak masjid dan lembaga pendidikan Islam
telah mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan, seperti penggunaan
energi terbarukan, pengelolaan sampah yang bijak, dan pendidikan
lingkungan. Mereka juga aktif dalam menjalankan program-program
kebersihan lingkungan, seperti membersihkan pantai atau taman kota,
untuk memberikan contoh kepada jamaah mereka tentang pentingnya
merawat alam semesta.
2. Kristen
Agama Kristen telah mengambil berbagai tindakan penting dalam
upaya mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kesadaran terhadap
kepedulian terhadap lingkungan. Salah satu inisiatif terkemuka yaitu
“Laudato Si’” ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada
tahun 2015. Dokumen ini menciptakan kerangka kerja yang kuat untuk
mengintegrasikan isu-isu lingkungan dengan nilai-nilai moral Kristen.
“Laudato Si’” mengajak umat Kristen untuk melihat alam semesta sebagai
hadiah Tuhan yang harus dijaga dan menyuarakan perlunya tindakan
konkret dalam mengurangi emisi GRK dan menjaga ekosistem bumi
(Francis, 2019).
Umat Kristen di seluruh dunia juga terlibat dalam berbagai berbagai
kampanye lingkungan. Salah satunya yaitu kampanye “Season of
Creation” yang dirayakan setiap tahun antara tanggal 1 September hingga
4 Oktober. Selama periode ini, umat Kristen terlibat dalam doa, acara
pemeliharaan lingkungan, dan aktivitas lainnya untuk meningkatkan
kesadaran akan pentingnya pelestarian alam dan tanggung jawab kita
sebagai kustodian ciptaan Tuhan
Paus Fransiskus juga meluncurkan kampanye “Canticle of the
Creatures” yang mendorong penggunaan energi terbarukan dan
berkelanjutan. Kampanye ini mengingatkan umat Kristen tentang
pentingnya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang
merusak lingkungan dan menciptakan dampak perubahan iklim.
Di tingkat lokal, banyak komunitas Kristen aktif dalam program
“Green Parish,” di mana mereka mengadopsi praktik berkelanjutan dalam
kehidupan paroki mereka, termasuk penggunaan energi terbarukan,
pengurangan sampah, dan pendidikan lingkungan untuk jamaah mereka.
Deklarasi “Catholic Climate Covenant” di Amerika Serikat yaitu
contoh lainnya (Agliardo, 2013). Ini yaitu upaya kolaboratif antara
gereja Katolik dan organisasi-organisasi Katolik di Amerika Serikat untuk
memobilisasi umat Katolik di negara tersebut dalam mengatasi perubahan
iklim dan memperingatkan pentingnya menjaga penciptaan Tuhan.
Gereja Inggris membuat kampanye lingkungan hidup “Shrinking
the Footprint” yang merupakan kampanye terkemuka dalam upaya
mereka untuk mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kesadaran
lingkungan (Swift, 2012; DeLashmutt, 2011). Kampanye ini mencakup
berbagai inisiatif, seperti mengurangi emisi karbon gereja-gereja Anglikan,
mempromosikan praktik-praktik berkelanjutan dalam pengelolaan
properti gereja, dan mendorong para anggota untuk berkomitmen pada
gaya hidup yang ramah lingkungan. Selain itu, komuni Anglikan juga telah
mengeluarkan deklarasi resmi yang mendukung upaya perlindungan
lingkungan dan penanganan perubahan iklim, memberikan dukungan
moral yang kuat bagi inisiatif-inisiatif ini. Dengan demikian, “Shrinking the
Footprint” yaitu contoh konkret dari komitmen komuni Anglikan untuk
melibatkan gereja dan anggotanya dalam upaya konkret untuk merespons
krisis perubahan iklim dan menggerakkan kesadaran lingkungan.
199
10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim
3. Hindu
Agama Hindu memiliki peran yang penting dalam mengatasi
perubahan iklim dan mendorong kepedulian terhadap lingkungan.
Salah satu contoh gerakan yang mencolok yaitu “Green Hinduism”
yang merupakan inisiatif global yang bertujuan untuk menggabungkan
ajaran-ajaran agama Hindu dengan tindakan nyata untuk melindungi
lingkungan (Koning, 2022). Gerakan ini mengajarkan bahwa Bumi
yaitu “Matri Bhumi” (ibu kita) dan bahwa menjaga alam yaitu tugas
suci. Para penganut Hindu yang terlibat dalam gerakan ini secara aktif
mempromosikan praktik-praktik ramah lingkungan seperti daur ulang,
pengurangan konsumsi daging, dan penggunaan energi terbarukan. Ini
yaitu pandangan yang sejalan dengan upaya global untuk mengurangi
dampak perubahan iklim.
Selain itu, gerakan “Project Green Hands” yang didirikan oleh Isha
Foundation di India telah sukses menanam jutaan pohon dan memberikan
pelatihan tentang praktik pertanian berkelanjutan kepada petani-petani
setempat (Sankar, 2011). Selanjutnya, ada kampanye “Sacred Earth Sacred
Trust” telah menciptakan kesadaran dalam komunitas Hindu tentang
perlunya menjaga alam sebagai tugas suci. Kampanye ini mendukung
tindakan konkret seperti pengurangan limbah plastik, penanaman pohon,
dan promosi energi terbarukan. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak
kuil Hindu di seluruh dunia juga telah menerapkan praktik-praktik ramah
lingkungan seperti daur ulang dan mengurangi konsumsi energi. Kampanye
ini juga menyebarkan pesan-pesan penting tentang pengurangan emisi
karbon dan konsumsi berkelanjutan.
Para pemimpin agama Hindu dari seluruh dunia membuat sebuah
deklarasi, yaitu “Hindu Declaration on Climate Change” pada tahun 2015
(Lal, 2015). Deklarasi ini menggarisbawahi keterkaitan antara spiritualitas
Hindu dan perlindungan lingkungan alam. Deklarasi ini mengajak umat
Hindu untuk mengadopsi gaya hidup yang berkelanjutan, mengurangi
emisi GRK, dan menghormati semua bentuk kehidupan sebagai ekspresi
dari prinsip ahimsa. Selain itu, deklarasi ini mempromosikan pentingnya
menjaga sumber-sumber air yang suci dan berkomitmen untuk mendidik
200
dan meningkatkan kesadaran umat Hindu tentang isu-isu lingkungan
dan perubahan iklim, dengan tujuan untuk menjadi pemimpin dalam
perlindungan alam dan keberlanjutan global.
Tidak hanya dalam lingkup global, tetapi juga di tingkat lokal, banyak
kuil Hindu telah berkomitmen untuk menjadi tempat-tempat yang ramah
lingkungan. Contohnya yaitu penggunaan atap surya untuk menghasilkan
energi hijau di kuil-kuil, serta praktik daur ulang dan pengurangan limbah
plastik di tempat ibadah tersebut. Hal ini yaitu wujud dari komitmen
komunitas Hindu dalam menjaga lingkungan.
4. Buddha
Pemeluk agama Buddha telah lama menjadi pelopor dalam upaya
mengatasi perubahan iklim dan mendorong kepedulian terhadap
lingkungan. Salah satu contoh gerakan yang signifikan yaitu penggunaan
konsep “Green Sangha” di mana umat Buddha secara aktif terlibat dalam
praktik-praktik yang berkelanjutan. Ini termasuk mempromosikan praktik
vegetarianisme, mengurangi pemborosan sumber daya, dan mendukung
energi terbarukan. Gerakan ini juga mendorong praktik meditasi yang
membantu individu lebih sadar akan dampak mereka pada lingkungan
dan membantu mengatasi stres yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Gerakan lainnya, yaitu “Green Buddhism” (Kaza, 2019). Gerakan ini
berupaya mengintegrasikan ajaran dan prinsip Buddha ke dalam advokasi
lingkungan. Gerakan ini mendorong umat Buddha untuk hidup penuh
kesadaran, mengurangi jejak ekologis, dan mempraktikkan konservasi.
Hal ini sering kali melibatkan inisiatif seperti penanaman pohon, gerakan
pembersihan, dan lokakarya kehidupan berkelanjutan.
Selain gerakan, kampanye juga telah menjadi bagian penting
dalam upaya ini. Kampanye-kampanye seperti “Dharma for the Earth”
dan “Buddhists for Climate Action” telah mendapatkan momentum,
mengumpulkan dukungan dari komunitas Buddha di seluruh dunia.
Mereka mengorganisir konferensi, seminar, dan pertemuan publik untuk
menyadarkan umat Buddha akan pentingnya menjaga lingkungan dan
201
10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim
melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan seperti penanaman pohon,
membersihkan pantai, dan menggalang dana untuk proyek-proyek
lingkungan.
Deklarasi juga telah menjadi alat efektif dalam menyuarakan
kepedulian terhadap lingkungan dalam konteks agama Buddha. Sebagai
contoh, beberapa komunitas Buddha telah merilis “Deklarasi Buddhisme
untuk Lingkungan Hidup” yang menegaskan komitmen mereka untuk
melindungi alam dan memperjuangkan perubahan positif. Deklarasi-
deklarasi semacam itu menyoroti ajaran-ajaran Buddha yang mengajarkan
empat kebenaran mulia, termasuk penderitaan yang diakibatkan
oleh kerusakan lingkungan, serta pentingnya praktik kasih sayang dan
kebijaksanaan dalam mengatasi masalah tersebut.
5. Yahudi
Agama Yahudi juga telah aktif terlibat dalam upaya untuk mengatasi
perubahan iklim dan mendorong kepedulian terhadap lingkungan. Salah
satu contoh gerakan yang mencolok yaitu “Hazon” yang merupakan
sebuah organisasi nirlaba di Amerika Serikat yang mendorong praktik-
praktik berkelanjutan dalam komunitas Yahudi. Hazon mempromosikan
penggunaan makanan organik, pengurangan limbah makanan, dan
transportasi berkelanjutan melalui program-program pendidikan dan
kampanye-kampanye kesadaran.
Sejumlah kampanye juga telah diperkenalkan oleh komunitas Yahudi.
Contohnya yaitu kampanye “Shabbat Shabbaton” yang mengajak orang-
orang untuk merayakan hari Sabat dengan tidak memakai listrik
dan peralatan listrik sebagai bentuk penghematan energi (Nevin, 2012).
Kampanye ini menekankan pentingnya mengurangi konsumsi energi fosil
dan menciptakan kesadaran akan dampaknya terhadap iklim.
Deklarasi juga telah menjadi alat yang penting dalam menggerakkan
komunitas Yahudi terhadap isu-isu lingkungan. “Rabbinic Letter on the
Climate Crisis” yaitu salah satu contoh deklarasi yang ditandatangani
oleh ratusan rabbi Yahudi yang menggarisbawahi tanggung jawab
202
moral untuk mengatasi perubahan iklim. Deklarasi ini berkata kata
dukungan bagi upaya-upaya perlindungan lingkungan dan penekanan
pada pentingnya menjaga bumi sebagai warisan yang diberikan kepada
generasi mendatang.
Beberapa sinagoge dan organisasi Yahudi telah mengadopsi konsep
“Sinagoge Hijau”, yaitu sebuah konsep yang menciptakan hubungan
antara agama Yahudi dan kepedulian terhadap lingkungan. Ini yaitu
upaya untuk memadukan nilai-nilai agama Yahudi dengan tindakan
nyata untuk menjaga Bumi (UNEP, 2020). “Sinagoge Hijau” mendorong
komunitas Yahudi untuk mengadopsi praktik-praktik ramah lingkungan
dalam ibadah mereka, seperti penggunaan energi terbarukan, daur
ulang, dan pengurangan konsumsi daging. Konsep “Sinagoge Hijau” juga
menekankan pentingnya menghormati dan menjaga alam sebagai bagian
dari tanggung jawab sosial dan moral dalam ajaran Yahudi. Ini yaitu
upaya yang bertujuan untuk menciptakan komunitas Yahudi yang lebih
berkelanjutan dan peduli terhadap lingkungan.
Umat Yahudi memiliki perayaan penting, yaitu Tu BiShvat atau juga
dikenal sebagai “Tahun Baru Pohon” atau “Rosh HaShanah La’Ilanot” yang
dirayakan tiap tanggal 15 bulan Shevat dalam kalender Ibrani, Tu BiShvat
memperingati waktu di mana pohon-pohon buah di Israel mulai berbuah
kembali setelah musim dingin. Selama perayaan ini, umat Yahudi sering
melakukan tindakan-tindakan yang menekankan pentingnya menjaga
alam dan lingkungan, seperti menanam pohon-pohon, memperkenalkan
unsur-unsur lingkungan dalam ibadah, dan mempertimbangkan tanggung
jawab mereka terhadap alam (Shoham, 2017). Tu BiShvat juga sering
kali digunakan sebagai kesempatan untuk memahami dan merayakan
hubungan yang dalam antara agama Yahudi dan alam, serta pentingnya
menjaga ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.
Umut Yahudi di Amerika Serikat membuat organisasi bernama
“Coalition on the Environment and Jewish Life”, disingkat COEJL. Organisasi
ini berfokus pada masalah lingkungan dan keberlanjutan. Tujuan utama
COEJL yaitu untuk menggabungkan nilai-nilai agama Yahudi dengan
203
10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim
tindakan nyata dalam menjaga lingkungan alam dan mempromosikan
kesadaran tentang isu-isu lingkungan di kalangan komunitas Yahudi
(Troster, 2004).
6. Sikh
Umat agama Sikh telah aktif terlibat dalam berbagai gerakan,
kampanye, dan deklarasi untuk mengatasi perubahan iklim dan
meningkatkan kesadaran lingkungan. Salah satu gerakan yang mencolok
yaitu “EcoSikh,” yang berfokus pada memadukan ajaran Sikh dengan
praktik berkelanjutan (Singh, 2021). EcoSikh mengadvokasi penanaman
pohon, penggunaan energi terbarukan, dan mengurangi sampah plastik
dalam rangka mengurangi dampak lingkungan.
Kampanye “Lakh Tree Campaign” yaitu salah satu inisiatif dari
EcoSikh yang bertujuan menanam satu juta pohon di seluruh dunia.
Kampanye ini memotivasi umat Sikh dan warga umum untuk
berpartisipasi aktif dalam menjaga ekosistem global dengan menanam
pohon-pohon yang berkontribusi pada penyerapan karbon.
Deklarasi “Amritsar Declaration on Environment” yaitu sebuah
pernyataan yang dikeluarkan oleh berbagai pemimpin agama Sikh
pada tahun 2016. Deklarasi ini menekankan pentingnya melindungi
air dan tanah, mengurangi limbah plastik, dan mempromosikan energi
terbarukan. Amritsar Declaration juga menyoroti peran penting agama
Sikh dalam melestarikan sumber-sumber air suci dan mengambil tindakan
nyata untuk perlindungan lingkungan.
Agama Sikh juga mempraktikkan konsep “Langar” yang merupakan
pembagian makanan gratis kepada semua, tanpa pandang agama atau
status sosial. Langar yaitu dapur komunitas Gurdwara, yang menyajikan
makanan kepada semua orang secara gratis, tanpa memandang agama,
kasta, jenis kelamin, status ekonomi, atau etnis. Dalam kerangka ini,
banyak langar telah mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan, seperti
memakai peralatan makanan yang ramah lingkungan dan mengurangi
pemborosan makanan.
204
Umat Sikh sering merayakan ulang tahun Guru Nanak dengan
mengadakan inisiatif lingkungan, seperti membersihkan sungai dan
menanam pohon (Prill, 2015).
7. Baha’i
Salah satu aspek sentral ajaran Baha’i yaitu pandangan bahwa alam
yaitu karunia dari Tuhan dan bahwa manusia memiliki tanggung jawab
moral untuk merawat dan melindungi lingkungan. Sebagai contoh, gerakan
“Green Baha’i” yaitu inisiatif global yang melibatkan para pengikut Baha’i
di seluruh dunia. Gerakan ini bertujuan untuk menyadarkan umat Baha’i
tentang pentingnya keberlanjutan lingkungan dan mengajak mereka untuk
mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari
mereka, seperti pengurangan limbah dan penggunaan energi terbarukan.
Selain itu, kampanye-kampanye seperti “Bicara Kebenaran tentang
Iklim” telah diadakan oleh komunitas Baha’i untuk meningkatkan
kesadaran tentang perubahan iklim dan mengadvokasi tindakan konkret
untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Kampanye ini
menekankan pentingnya berbicara jujur tentang tantangan iklim dan
berkomitmen untuk mengambil tindakan dalam menyikapinya.
Deklarasi juga merupakan bagian penting dari upaya Baha’i dalam
mengatasi isu lingkungan. “Pernyataan Baha’i tentang Perlindungan dan
Pelestarian Lingkungan” yaitu contoh deklarasi yang menggarisbawahi
pentingnya etika lingkungan dalam ajaran Baha’i. Deklarasi ini menyerukan
kepada para pengikut Baha’i untuk menjalani kehidupan yang lebih
berkelanjutan, memelihara alam, dan bekerja sama dengan semua pihak
dalam menjaga keanekaragaman hayati.
Dalam praktik ibadah Baha’i, unsur-unsur yang menekankan
kepedulian terhadap lingkungan telah diintegrasikan. Misalnya, dalam
perayaan “Ridvan” yang merupakan salah satu perayaan paling penting
dalam agama Baha’i, para pengikut Baha’i biasanya melakukan kegiatan-
kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan, seperti penanaman
pohon atau membersihkan daerah lokal.
205
10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim
8. Agama tradisional
Agama tradisional yaitu sistem kepercayaan, praktik, dan ritual
yang telah ada dalam warga selama berabad-abad, sering kali
sebelum agama-agama besar seperti agama-agama Abrahamik (Yahudi,
Kristen, Islam) atau agama-agama dunia seperti Hinduisme, Buddha, atau
Sikhisme muncul.
Contoh gerakan yang dapat disebutkan yaitu “Hima” sebuah
konsep yang ditemukan di beberapa budaya di Timur Tengah dan Asia
Tengah, seperti dalam tradisi agama Zoroastrianisme. Hima yaitu bentuk
pelestarian lingkungan di mana komunitas setempat berkomitmen untuk
melindungi dan memelihara wilayah alam tertentu sebagai tugas agama
mereka
Komunitas adat Suku Sami di wilayah Arktik telah aktif dalam upaya
pelestarian lingkungan dengan melibatkan pengetahuan tradisional
mereka dalam menghadapi perubahan iklim (Tisdall, 2010). Mereka telah
mengamati perubahan dramatis dalam cuaca, musim, dan lingkungan,
dan memakai pengetahuan ini untuk mengidentifikasi tindakan-
tindakan konkret seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor
dan mempromosikan transportasi yang ramah lingkungan, serta
melibatkan komunitas dalam pelestarian ekosistem yang penting bagi
mata pencaharian tradisional mereka. Upaya komunitas Suku Sami yaitu
contoh nyata bagaimana agama tradisional dan pengetahuan adat dapat
menjadi pendorong utama dalam mengatasi perubahan iklim dengan
menerapkan tindakan nyata yang berkelanjutan dan berbasis lokal.
warga adat Maori di Selandia Baru telah aktif terlibat dalam
upaya pelestarian lingkungan dan mitigasi perubahan iklim. Mereka
menjalankan konsep “Kaitiakitanga” yang merupakan tanggung jawab
suci untuk merawat dan melindungi alam (McAllister et al., 2023; Marras
Tate & Rapatahana, 2022). warga Maori secara tradisional telah
menjaga hutan, sungai, dan lautan mereka dengan hati-hati, dan konsep
ini terus hidup dalam budaya mereka. warga Maori telah aktif dalam
206
memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam,
serta berpartisipasi dalam proyek-proyek restorasi lingkungan seperti
penanaman pohon dan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Di Afrika, komunitas suku-suku adat seperti Suku Himba di Namibia
juga telah terlibat dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Mereka telah
mengembangkan sistem manajemen air tradisional yang efisien dan
berkelanjutan di tengah gurun yang kering (Hegga et al., 2020). Sistem ini
memungkinkan mereka untuk mengumpulkan dan menyimpan air hujan
dengan bijak, sehingga mengurangi tekanan terhadap sumber daya air
yang semakin terbatas akibat perubahan iklim.
Beberapa komunitas adat di Asia seperti Suku Dayak di Kalimantan,
Indonesia, telah aktif memakai media sosial untuk menyoroti topik-
topik yang berkaitan dengan isu-isu struktural terkait dengan hak milik
asli mereka—yaitu, hak adat asli mereka—dan perampasan tanah adat,
khususnya oleh para penebang. dalam melindungi hutan hujan mereka
dari deforestasi
Deklarasi-deklarasi adat juga telah menjadi bagian penting dalam
upaya komunitas ini. Misalnya, “Deklarasi Kari-Oca” yang dikeluarkan oleh
suku-suku adat dalam Konferensi PBB pada tahun 1992, dan “Deklarasi
Kari-Oca 2” pada tahun 2012 menyoroti pentingnya pengetahuan adat
dan keberlanjutan dalam konteks perlindungan lingkungan. Selain itu,
dalam banyak komunitas adat, para pemimpin keagamaan berperan
dalam memotivasi umat mereka untuk mengambil tindakan nyata dalam
menjaga alam
10.2 Keterlibatan Kaum Agamawan
dalam Forum Global
Keterlibatan agama dalam forum global mengenai perubahan
iklim telah berkembang seiring berjalannya waktu, mencerminkan
semakin besarnya pengakuan terhadap dimensi moral dan etika dalam
permasalahan lingkungan. Sebelum tahun 1990-an, perubahan iklim
belum menjadi isu global yang mendapatkan perhatian signifikan dari
207
10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim
agama-agama. Pada tahun 1992, konferensi puncak bumi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di Rio de Janeiro menghadirkan para pemimpin
agama dari seluruh dunia yang mengemukakan pandangan mereka
tentang perlindungan lingkungan. Ini menciptakan kesadaran awal
tentang peran agama dalam isu lingkungan.
Pada awal tahun 2000-an, beberapa agama mulai mengadakan
pertemuan dan konferensi sendiri tentang perubahan iklim,
menggarisbawahi pentingnya tanggung jawab etika terhadap lingkungan.
Pada COP 13 di Bali, Indonesia tahun 2007 diadakan “Forum Agama”
pertama yang dihadiri oleh berbagai pemimpin agama. Ini menjadi titik
awal untuk pengakuan resmi peran agama dalam upaya penanggulangan
perubahan iklim. Pada tahun 2009 dilaksanakan konferensi perubahan
Iklim PBB di Kopenhagen. Konferensi ini menciptakan peluang untuk
dialog antara berbagai agama. Pada saat ini, pemimpin agama, termasuk
Paus Benediktus XVI, berbicara tentang dampak perubahan iklim dan
mendukung tindakan kolektif untuk mengatasi isu ini. Ini yaitu langkah
awal dalam memasukkan perspektif agama dalam arena global.
Pada tahun 2010 Uskup Agung Canterbury merilis “Lambeth
Declaration on Climate Change” yang menggarisbawahi komitmen gereja
terhadap penanggulangan perubahan iklim. Pada tahun 2015, Paus
Fransiskus merilis ensiklik “Laudato Si’” yang menyoroti isu lingkungan
sebagai isu moral dan etika yang mendesak. Ini memicu perhatian global
terhadap peran agama dalam perubahan iklim. Pada tahun yang sama
para pemimpin Muslim dari seluruh dunia merilis “Islamic Declaration on
Global Climate Change” yang menegaskan tanggung jawab etika dan moral
umat Islam untuk melindungi alam. Pada tahun 2018 pernyataan serupa
yang disebut “Declaración Islámica Sobre el Cambio Climático” diterbitkan
dalam bahasa Spanyol, menjangkau komunitas Muslim di seluruh Amerika
Latin. Pada tahun 2020, dalam rangka kampanye “Countdown Interfaith
Service” sebuah layanan antaragama diselenggarakan di seluruh dunia
untuk mengilhami tindakan iklim. Pada COP 26 di Glasgow tahun 2020,
agama-agama aktif dalam acara “Faith for Climate: Live” menyoroti peran
penting agama dalam upaya penanggulangan perubahan iklim.
208
Seiring berjalannya waktu, keterlibatan agama dalam forum
global tentang perubahan iklim semakin mendalam. Agama-agama
telah mengambil peran penting dalam mendidik, menginspirasi, dan
menggerakkan komunitas mereka serta warga internasional untuk
bertindak demi melindungi planet ini. Melalui deklarasi, konferensi, dan
kampanye lingkungan, agama-agama terus berkontribusi pada upaya
penanggulangan perubahan iklim secara global.
10.3 Ragam Hambatan dan Tantangan
Agama
Keterlibatan agama dalam menanggulangi perubahan iklim dapat
dipengaruhi oleh beragam hambatan dan tantangan. Hambatan ini
mungkin berbeda-beda tergantung pada tradisi agama, wilayah, dan
komunitas tertentu, namun beberapa hambatan umum meliputi:
Pertama, perbedaan teologis. Ketidaksepakatan teologis di dalam dan di
antara denominasi agama dapat menghambat tindakan kolektif terhadap
perubahan iklim. Beberapa kelompok agama mungkin menafsirkan
teks suci atau doktrin mereka secara berbeda, sehingga menimbulkan
pandangan yang bertentangan mengenai pengelolaan dan tanggung jawab
lingkungan. Kedua, kurangnya kesadaran. Beberapa pemimpin agama
dan komunitas mungkin tidak sepenuhnya memahami ilmu pengetahuan
dan urgensi perubahan iklim, sehingga dapat menghambat keterlibatan
mereka. Meningkatkan kesadaran dan memberikan pendidikan mengenai
ilmu pengetahuan iklim dan implikasinya sangatlah penting. Ketiga, kendala
sumber daya. Banyak lembaga keagamaan, khususnya lembaga-lembaga
kecil atau terpinggirkan, mungkin kekurangan sumber daya finansial dan
manusia yang diperlukan untuk memulai atau mempertahankan inisiatif
perubahan iklim. Investasi dalam program dan advokasi lingkungan
mungkin bersaing dengan prioritas lain, seperti penjangkauan warga
atau pemeliharaan infrastruktur.
Keempat, resistensi terhadap perubahan. Resistensi terhadap
perubahan, baik dalam komunitas agama maupun individu, dapat
menghambat upaya mengatasi perubahan iklim. warga mungkin
209
10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim
menolak mengubah praktik tradisional atau menerapkan perilaku baru
yang ramah lingkungan. Kelima, perpecahan politik. Di beberapa wilayah,
perubahan iklim telah menjadi isu yang memecah belah secara politik,
dan komunitas agama mungkin ragu untuk terlibat karena kekhawatiran
akan mengasingkan anggota yang memiliki pandangan politik berbeda.
Hal ini dapat menyebabkan keengganan untuk mengambil sikap publik
terhadap perubahan iklim. Keenam, fokus jangka pendek. Beberapa
komunitas agama mungkin memprioritaskan kebutuhan dan krisis yang
mendesak dibandingkan masalah lingkungan hidup jangka panjang.
Mengatasi masalah kemiskinan, kelaparan, dan keadilan sosial mungkin
lebih diutamakan daripada perubahan iklim dalam hierarki permasalahan.
Ketujuh, tantangan komunikasi. Komunikasi yang efektif tentang
perubahan iklim bisa jadi sulit, terutama ketika menangani kelompok
agama yang beragam dengan tingkat literasi sains yang berbeda-beda.
Para pemimpin agama dan komunikator mungkin kesulitan menyampaikan
urgensi masalah ini dan perlunya tindakan.
Kedelapan, faktor budaya dan daerah. Norma budaya dan sikap
daerah terhadap lingkungan dapat memengaruhi keterlibatan komunitas
agama dalam perubahan iklim. Di beberapa wilayah, permasalahan
ekologi mungkin kurang mendapat prioritas. Kesembilan, hubungan
antaragama. Meskipun inisiatif antaragama dapat menjadi kekuatan
yang kuat untuk mengatasi perubahan iklim, membangun kepercayaan
dan kerja sama di antara kelompok agama yang berbeda dapat menjadi
sebuah tantangan, terutama ketika ada konflik historis atau
perbedaan sistem kepercayaan. Kesepuluh, kepentingan ekonomi. Dalam
beberapa kasus, lembaga keagamaan mungkin mempunyai investasi
atau kemitraan dengan industri yang berkontribusi terhadap degradasi
lingkungan atau perubahan iklim. Mengatasi konflik kepentingan ini bisa
jadi rumit. Kesebelas, kepemimpinan dan struktur organisasi. Kesediaan
dan kemampuan para pemimpin agama untuk mengambil sikap terhadap
perubahan iklim bisa sangat bervariasi. Beberapa lembaga keagamaan
mungkin memiliki struktur hierarki yang menyulitkan inisiatif lingkungan
hidup di tingkat akar rumput untuk mendapatkan daya tarik.
210
Kedua belas, konflik antaragama. Sama seperti kolaborasi antaragama
dapat menjadi sebuah kekuatan, kolaborasi antaragama juga dapat menjadi
tantangan ketika ada konflik historis atau doktrinal di antara kelompok-
kelompok agama. Konflik-konflik ini dapat menghambat kerja sama dalam
isu-isu iklim. Ketiga belas, sikap konservatif. Beberapa komunitas agama
mungkin memiliki pandangan sosial dan politik konservatif yang skeptis
terhadap ilmu pengetahuan iklim atau menolak tindakan iklim, sehingga
berpotensi mengarah pada tindakan atau hambatan. Keempat belas,
prioritas internal. Agama sering kali mempunyai prioritas yang beragam,
termasuk keadilan sosial, pengentasan kemiskinan, dan pendidikan.
Perubahan iklim mungkin tidak selalu menjadi prioritas utama, sehingga
menyebabkan terbatasnya sumber daya dan upaya di bidang ini.
Terlepas dari hambatan-hambatan ini, banyak komunitas dan
pemimpin agama yang secara aktif terlibat dalam upaya mengatasi
perubahan iklim. Mengatasi tantangan-tantangan ini sering kali melibatkan
pendidikan, dialog, kolaborasi, dan komitmen untuk menemukan titik
temu di antara berbagai kelompok dengan nilai-nilai bersama dalam
pengelolaan dan tanggung jawab lingkungan.
10.4 Transformasi Menuju Eko-Religius
Dalam era modern ini, manusia semakin menyadari perlunya
transformasi dalam pandangan dan perilaku manusia terhadap alam
semesta yang kita tinggali. Salah satu perubahan yang semakin mendapat
perhatian yaitu transformasi menuju pendekatan eko-religius.
Pendekatan ini membawa harmonisasi antara keyakinan agama dan
kesadaran ekologis, menciptakan hubungan yang kuat antara manusia
dan alam. Melalui pemahaman eko-religius, manusia memandang alam
bukan hanya sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi, tetapi sebagai
entitas hidup yang harus dihormati dan dilestarikan. Transformasi ini
bukan hanya tentang menggabungkan nilai-nilai spiritual dengan isu-isu
lingkungan, tetapi juga tentang mengubah cara manusia berinteraksi
dengan planet ini untuk menghadapi tantangan serius seperti krisis iklim.
211
10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim
Transformasi menuju eko-religius menantang manusia untuk
merenungkan kembali makna hubungan antara agama, ekologi, dan etika.
Ini merupakan sebuah langkah penting dalam menghadapi berbagai
masalah lingkungan yang dihadapi dunia saat ini. Dengan menggabungkan
keyakinan agama dengan kesadaran akan tanggung jawab terhadap alam,
manusia dapat menginspirasi perubahan positif dalam perilaku dan
kebijakan yang mendukung keseimbangan ekologi planet ini. Transformasi
ini bukan hanya perubahan pandangan, tetapi juga sebuah perjalanan
menuju tindakan nyata yang dapat membantu memitigasi perubahan iklim
dan melestarikan keberlanjutan lingkungan untuk generasi mendatang.
Perubahan iklim telah menjadi keprihatinan dan kepedulian semua
komunitas dunia, tak terkecuali komunitas agamawan. Ajaran agama yang
mengajarkan etika dan perilaku dalam menjaga alam menjadi penting
untuk ditransformasikan dalam mengurangi dan mengatasi dampak
perubahan iklim. Oleh karena itu, inspirasi dalam beragama mestinya
didorong untuk terfokus pada etika biosentris dan ekosentris, di samping
antroposentris. Artinya, manusia tidak hanya bertanggungjawab terhadap
manusia lainnya, melainkan juga terhadap lingkungan non-manusia yaitu
flora dan fauna serta alam semesta. Agama diharapkan dapat mendorong
perubahan perilaku manusia agar memiliki kepedulian terhadap
kelestarian lingkungan, menciptakan warga inklusif/partisipatif yang
adil sehingga setiap anggota warga menikmati rezeki secara kolektif
(Kafley, 2019). Dengan demikian, agama dapat memengaruhi perilaku
warga untuk memilih perilaku, gaya hidup, dan pola konsumsi yang
ramah atau tidak memusuhi ekologi (Hulme, 2017).
Saat ini keterlibatan agama dalam mencegah dan mengatasi dampak
perubahan iklim masih relatif rendah. Padahal ajaran-ajaran agama secara
teologi telah memberikan rambu-rambu yang harus dijalankan manusia
dalam mencegah kerusakan lingkungan. Secara eksplisit, memang dalam
ajaran agama tidak menyebutkan tentang dampak perubahan iklim.
Namun, ajaran-ajaran agama maupun non agama dalam kitab sucinya
masing-masing memberikan aturan-aturan yang bisa dijadikan dasar
untuk mencegah dan mengatasi perubahan iklim.
212
Berbagai riset yang telah dilakukan para ilmuwan berkata kata
bahwa pandangan kaum agamawan tentang perubahan iklim berbeda-
beda. Pandangan agamawan yang menganggap bahwa perubahan iklim
bersumber dari Tuhan dan manusia tidak memiliki kemampuan untuk
melawan Tuhan, sehingga manusia tidak perlu melakukan tindakan
mitigasi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim. Pandangan
semacam ini berbasiskan paham teosentris. Pandangan kaum agamawan
yang berkata kata bahwa perubahan iklim bersumber dari aktivitas
manusia yang melakukan tindakan eksplitatif dan ekstraktif terhadap
alam. Pandangan semacam ini termasuk antroposentris. Pandangan
agama non samawi atau agama-agama lokal yang memandang bahwa
manusia harus hidup bersahabat dengan alam tanpa melakukan tindakan-
tindakan pengrusakan ekologi. Cara pandang ini bisa ditransformasikan
dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim.
Dari berbagai sumber literatur menyebutkan bahwa kalangan
non-agama (ateis) memiliki tingkat kepedulian yang tinggi terhadap
perubahan iklim dibandingkan yang beragama (Arli et al., (2022). Oleh
karena itu dalam mengoptimalkan peran agama dalam mencegah dan
mengatasi dampak perubahan iklim yaitu diperlukan pergeseran
paradigma dan transformasi nilai-nilai keagamaan yang peduli terhadap
lingkungan disertai kolaborasi antarumat beragama maupun non-agama
dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Proses transformasi tersebut;
pertama, merekonstruksi dan mentransformasikan nilai-nilai ajaran agama
secara empiris dalam tataran perilaku individu maupun tindakan kolektif
untuk mencegah dan mengurangi dampak perubahan iklim. Secara literal
memang dalam ajaran agama samawi maupun agama tradisional tidak
menyebutkan istilah dampak perubahan iklim. Namun, jika ditelusuri
secara substantif ajaran agama maupun agama tradisional memberikan
pemaknaan tentang pentingnya manusia menjaga kelestarian alam dan
tidak merusak alam. Dari pemahaman semacam ini dikonstruksi bahwa
perubahan iklim yaitu timbul akibat tindakan destruktif manusia yang
merusak alam misalnya menebang hutang, membuang bahan pencemar
ke perairan dan penggunaan bahan bakar fosil yang tak terkendali.
Semua tindakan manusia ini memicu peningkatan efek GRK sehingga
213
10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim
menimbulkan dampak perubahan iklim global. Kongkretnya yaitu
aktivitas keagamaan seperti khotbah menguraikan tidak hanya terkait
ritual keagamaan melainkan juga aktivitas-aktivitas manusia yang memicu
pemanasan global, seperti bagaimana mengurangi penggunaan bahan
bakar fosil dan tidak menebang pohon sembarangan.
Kedua, secara institusi dan organisasi keagamaan menggalang dan
memelopori gerakan dan kampanye tentang ancaman dampak perubahan
iklim. Kelembagaan dan organisasi keagamaan tidak hanya mengurusi
aktivitas ibadah personal (kesalehan individu), melainkan ibadah nonritual
(kesalehan sosial). Gerakan dan kampanye tentang ancaman perubahan
iklim akibat pemanasan global dan sekarang menjadi pendidihan global
seharusnya menjadi bagian penting dalam organisasi keagamaan sebagai
manifestasi ajaran-ajaran kitab suci secara empiris.
Ketiga, organisasi-organisasi keagamaan seharusnya terlibat aktif
dalam forum-forum internasional, nasional dan lokal yang membahas
perubahan iklim. Dalam forum-forum tersebut organisasi-organisasi
keagamaan harus memberikan perspektif dan pandangan yang
komprehensif dan holistik yakni nilai-nilai ajaran agama sejatinya memiliki
tingkat kepedulian yang tinggi terhadap upaya menjaga kelestarian
alam dan lingkungan. Perubahan iklim merupakan bagian dari problem
lingkungan global yang mengancam kehidupan umat manusia, flora
dan fauna, ekosistem planet bumi sehingga jika dibiarkan sama artinya
mengabaikan nilai-nilai ajaran agama.
Keempat, menyinergikan ajaran-ajaran agama dengan pengetahuan
lokal maupun kearifan lokal warga dalam menjaga keberlanjutan
ekologi dan ekosistem karena pengetahuan serta tindakan warga
tersebut dapat mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim. Nilai-
nilai dan ajaran agama seharusnya tidak dipertentangkan secara diametral
dengan pengetahuan dan kearifan lokal warga .
Kelima, menginstitusionalisasi dan menginternalisasikan urgensi
adaptasi perubahan iklim dalam lembaga pendidikan yang berbasiskan
agama maupun non agama. Hal dibutuhkan untuk meningkatkan
pemahaman dan mewarga kan pentingnya pendidikan adaptasi
214
terhadap dampak perubahan iklim bagi anak didik sehingga memaknai
agama secara kontekstual dan praksis. Lembaga pendidikan dalam
melakukannya dengan cara memasukkan tentang isu perubahan iklim,
adaptasi dan mitigasinya dalam kurikulum pendidikan.
10.5 Aksi Nyata Mengatasi Perubahan Iklim
Agama dan komunitas keagamaan dapat memainkan peran penting
dalam mengatasi perubahan iklim dengan mengambil aksi nyata untuk
meningkatkan kesadaran, mendorong keberlanjutan, dan mengadvokasi
pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab. Berikut beberapa
aksi nyata yang bisa dilakukan agama untuk terlibat dalam mengatasi
perubahan iklim: Pertama, menyelenggarakan seminar, lokakarya, dan
program pendidikan dalam lembaga keagamaan untuk meningkatkan
kesadaran tentang ilmu pengetahuan tentang perubahan iklim,
dampaknya, dan dimensi moral dan etika dari tanggung jawab lingkungan.
Kedua, memasukkan tema lingkungan ke dalam pendidikan agama,
khotbah, dan ajaran untuk menekankan pentingnya merawat Bumi.
Ketiga, memimpin dengan memberi contoh dengan menerapkan praktik
ramah lingkungan di dalam fasilitas keagamaan, seperti penerangan hemat
energi, sistem pemanas dan pendingin, serta mengurangi konsumsi air.
Mendorong carpooling, bersepeda, atau penggunaan transportasi umum
di antara anggota jemaat untuk mengurangi emisi karbon yang terkait
dengan perjalanan pulang pergi. Keempat, mengadvokasi praktik-praktik
berkelanjutan sesuai pedoman pola makan agama, mendorong pola
makan nabati atau pilihan pangan berkelanjutan yang bersumber secara
lokal. Mempromosikan penggunaan lahan dan praktik konstruksi yang
berkelanjutan, seperti penggunaan bahan bangunan ramah lingkungan
dan merancang fasilitas keagamaan yang ramah lingkungan.
Kelima, membangun atau mendukung taman komunitas atau ruang
hijau di dalam tempat keagamaan untuk membina hubungan dengan
alam dan memberikan kesempatan pendidikan. Memulai kampanye
penanaman pohon untuk berkontribusi pada upaya reboisasi dan
mengurangi tingkat karbon dioksida. Keenam, terlibat dalam advokasi
215
10. Mainstreaming Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim
iklim dengan mendukung kebijakan dan inisiatif yang mendorong energi
terbarukan, mengurangi emisi GRK, dan melindungi warga rentan dari
dampak perubahan iklim. Berkolaborasi dengan organisasi lintas agama
dan lingkungan hidup untuk memperkuat suara yang mengadvokasi aksi
iklim di tingkat lokal, nasional, dan global. Ketujuh, menumbuhkan dialog
dan kemitraan antaragama untuk mengatasi perubahan iklim secara
kolektif, dengan memanfaatkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip bersama
dalam pengelolaan lingkungan hidup yang ada dalam berbagai tradisi
agama. Berpartisipasi dalam acara dan inisiatif aksi iklim antaragama
untuk menunjukkan persatuan dalam menghadapi tantangan lingkungan.
Kedelapan, melakukan advokasi keadilan lingkungan, khususnya pada
komunitas marginal yang terkena dampak perubahan iklim dan degradasi
lingkungan secara tidak proporsional. Memberikan dukungan dan sumber
daya kepada warga yang menghadapi krisis lingkungan, seperti akses
terhadap air bersih, bantuan bencana, dan langkah-langkah adaptasi.
Kesembilan, meninjau dan mempertimbangkan kembali investasi
yang dilakukan oleh lembaga keagamaan, melakukan divestasi dari
industri yang berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim, seperti
bahan bakar fosil, dan berinvestasi pada pilihan yang bertanggung jawab
secara sosial dan berkelanjutan. Kesepuluh, mendorong para pemimpin
agama untuk bersuara mengenai perubahan iklim dan isu-isu lingkungan
hidup, memakai otoritas moral mereka untuk menginspirasi tindakan
dalam jemaat mereka dan komunitas yang lebih luas. Kesebelas, mengakui
dan merayakan individu dan jemaat yang menunjukkan komitmen luar
biasa terhadap kelestarian lingkungan. Kedua belas, libatkan generasi
muda komunitas agama dalam kegiatan dan pendidikan terkait iklim,
karena mereka sering kali merupakan pendukung aksi lingkungan yang
bersemangat. Ketiga belas, mengintegrasikan ajaran-ajaran lingkungan
ke dalam pengajaran agama dan praktik keagamaan sehari-hari. Ini
dapat mencakup mengajarkan nilai-nilai keberlanjutan, tanggung jawab
terhadap alam, dan etika lingkungan. Keempat belas, berperan sebagai
advokat yang aktif dalam mendukung kebijakan iklim yang berkelanjutan.
Hal ini dapat mencakup partisipasi dalam kampanye politik dan pendidikan
warga tentang isu-isu iklim.
216
Kelima belas, memulai proyek-proyek lingkungan seperti penghijauan,
kampanye penghematan energi, dan pembersihan lingkungan. Mereka
juga dapat berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan seperti panel
surya di tempat ibadah mereka. Keenam belas, menyelenggarakan
program pendidikan tentang perubahan iklim dan lingkungan untuk
anggota komunitas mereka. Ini dapat mencakup seminar, lokakarya,
dan kegiatan pembelajaran lainnya. Ketujuh belas, memutuskan untuk
divestasi dari investasi di industri energi fosil dan mengalihkan investasinya
ke energi terbarukan dan proyek-proyek lingkungan. Kedelapan belas,
meningkatkan kolaborasi antaragama dapat memperkuat upaya
penanggulangan perubahan iklim. Agama-agama dapat bekerja sama
dalam proyek-proyek lingkungan, kampanye kesadaran iklim, dan upaya
internasional. Kesembilan belas, terlibat dalam pemulihan habitat
alami, seperti restorasi lahan basah atau hutan, untuk mempromosikan
keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem.
Kedua puluh, mendorong anggota komunitas untuk mengadopsi
praktik-praktik hijau, seperti penggunaan kendaraan ramah lingkungan
atau pengurangan limbah. Kedua puluh satu, berpartisipasi dalam lobi
politik untuk mendorong pemerintah mengadopsi kebijakan lingkungan
yang lebih kuat dan ambisius. Kedua puluh dua, memberikan bantuan
dan dukungan kepada komunitas yang terkena dampak perubahan
iklim, termasuk bantuan saat terjadi bencana alam yang disebabkan
oleh perubahan iklim. Kedua puluh tiga, meluncurkan kampanye untuk
mengubah perilaku individu, seperti kampanye hemat energi atau
mengurangi limbah plastik. Kedua puluh empat, mengganti lampu dan
sistem pencahayaan di tempat ibadah dengan penerangan yang lebih
efisien energi dan ramah lingkungan.
Langkah-langkah nyata ini dapat membantu agama dan komunitas
agama menjadi peserta aktif dalam upaya global mengatasi perubahan
iklim, memanfaatkan pengaruh, sumber daya, dan nilai-nilai mereka untuk
mendorong keberlanjutan dan tanggung jawab terhadap lingkungan.
Perubahan iklim telah menjadi isu dan agenda warga global.
Pada tataran praksis perubahan iklim telah dirasakan dan berdampak pada
kehidupan umat manusia di seluruh planet bumi. Setiap tahun Organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation) melakukan pertemuan para
pihak (the Conference of the Parties/COP) dalam Konferensi Perubahan
Iklim (the United Nations Framework Convention on Climate Change/
UNFCC). Pertemuan terakhir COP ke-27 berlangsung tanggal 6 sampai
20 November 2022 di Mesir. Hasil pertemuan COP 27 menegaskan
kembali target utama untuk membatasi kenaikan suhu global hingga
1.5°C. Untuk mencapai target pembatasan kenaikan suhu global tersebut
membutuhkan kontribusi dan keterlibatan dari berbagai pihak. Salah
satunya yaitu kontribusi agama sebagai institusi sosial dan keterlibatan
penganutnya pada tataran praksis.
Hasil riset menyebutkan bahwa jumlah orang yang percaya
kepada Tuhan di planet bumi mencapai 85.06 persen. Sejumlah 73.11
persen mereka menganggap Tuhan penting dalam kehidupannya.
Mereka menganggap kehadiran agama menjadi penting dalam kehidupan
sebanyak 72.40 persen orang. Artinya, agama bisa menjadi institusi sosial
yang digerakkan dalam mencegah dan mengatasi dampak perubahan
iklim global. Ajaran agama apa pun baik itu agama samawi maupun
agama tradisional memiliki ajaran dan nilai-nilai yang melarang umat
manusia merusak lingkungan dan ekologi. Perubahan iklim yaitu
bagian dari masalah yang dihadapi umat manusia akibat tindakan
manusia mengeksploitasi alam, maupun ekologi yang telah berlangsung
ratusan tahun. Problemnya yaitu dari berbagai riset dan literatur yang
ditemukan ternyata agama belum berkontribusi dan memiliki keterlibatan
yang optimal dalam mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim.
218
Pandangan keagamaan terhadap perubahan iklim masih bersifat
ambivalen. Di satu sisi, kaum agamawan menganggap bahwa perubahan
iklim yaitu hukum alam yang bersumber dari Tuhan sehingga manusia
tak perlu melawan hukum Tuhan tersebut yang dikenal sebagai teosentris.
Di sisi lain kaum agamawan menganggap bahwa perubahan iklim akibat
tindakan dan perilaku manusia yang merusak dan mengeksploitasi
alam yang dikenal sebagai antroposentris. Pandangan yang bersifat
antroposentrisme ini dominan dalam komunitas global tanpa memandang
agama apa pun, sehingga upaya mencegah dan mengatasi dampak
perubahan iklim baik melalui adaptasi dan mitigasi telah menjadi agenda
dan kesepakatan bersama komunitas global.
Dari riset ini ditemukan bahwa sejumlah 70.60 persen umat
manusia merasa dirinya sebagai seseorang yang religius terlepas apakah
ia menghadiri kegiatan keagamaan atau tidak sama sekali. Ditemukan juga
bahwa 34.03 persen orang yang mengikuti kegiatan keagamaan paling
tidak sekali dalam seminggu. Dari seluruh negara yang diteliti ternyata
Qatar menjadi negara yang paling religius di dunia. Sebaliknya, China
menjadi negara yang paling tidak religius. Dari 95 negara yang diteliti,
ternyata sepuluh negara penghasil emisi CO2 terbesar tahun 2020 yaitu
China, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Iran, Jerman, Korea Selatan,
Indonesia, dan Arab Saudi. Mereka menyumbang sekitar 74.98 persen
emisi CO2 dunia. China menduduki peringkat pertama menyumbang emisi
CO2 dunia sebesar 30.63 persen. Sumber emisi China yaitu pesatnya
industrialisasi, jumlah penduduk yang banyak dan menjadi pengguna
batu bara terbesar di dunia, yakni 53 persen dari total konsumsi batu
bara global. riset ini juga menemukan sepuluh negara penyumbang
jejak ekologis terbesar yaitu China, Amerika Serikat, India, Federasi Rusia,
Brasil, Jepang, Indonesia, Jerman, Meksiko, dan Turki. Sepuluh negara
tersebut menyumbang sekitar 74.98 persen jejak ekologis dunia. Negara
China kembali menjadi penyumbang jejak ekologis terbesar dunia sebesar
29.34 persen. Jika dikaitkan dengan tingkat religiositas umat manusia
dalam suatu negara ternyata religiositas memengaruhi perilaku dan
tindakannya terhadap alam (pengelolaan dan eksploitasi sumber daya
alam) dan keberlanjutan ekologi maupun ekosistem. Negara dengan
penduduknya yang memiliki tingkat religiositas tinggi memiliki tingkat
kepedulian yang tinggi dalam mengurangi emisi CO2 per kapita dan jejak
ekologis per orangnya. Sebaliknya, negara dengan tingkat religiositas yang
rendah justru menjadi penyumbang emisi CO2 dan jejal ekologis per orang
terbesar di dunia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa religiositas memiliki
pengaruh yang signifikan dalam mengurangi emisi CO2 per kapita dan
jejak ekologis per orang dalam suatu negara. Hal ini membuktikan
bahwa ajaran agama dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat
ditransformasikan menjadi institusi sosial yang mampu mencegah dan
mengatasi persoalan perubahan iklim secara global. Dengan demikian
akan menjamin keberlanjutan sumber daya alam dan ekosistemnya serta
umat manusia dapat menjalankan kehidupan yang nyaman dan aman di
planet bumi.
Dari temuan ini penulis merekomendasikan agar agama menjadi
arus utama (mainstreaming) dalam mengatasi persoalan perubahan
iklim. Agama mesti mentransformasikan nilai-nilai yang terkandung
dalam ajarannya pada tataran empiris dan praksis umpamanya melalui
gerakan-gerakan yang membangun kesadaran kolektif tentang lingkungan
dan tanggung jawab moral menjamin keberlanjutan kehidupan dan
alam semesta. Kalangan tokoh-tokoh agama juga harus melibatkan diri
baik secara organisasi maupun individu dalam forum-forum global yang
membahas dan menghasilkan resolusi serta kesepakatan-kesepakatan
menyangkut upaya mengatasi perubahan iklim.
Pada tataran institusi, agama mesti mengembangkan program aksi
yang nyata dengan cara memfasilitasi pendidikan lingkungan, memotivasi
umatnya untuk melakukan tindakan nyata dalam menjaga kelestarian
sumber daya alam dan lingkungan sekitarnya, serta mendukung kebijakan
lingkungan yang berkelanjutan. Organisasi-organisasi keagamaan juga
mesti membangun berkolaborasi dengan komunitas lintas agama,
organisasi non-pemerintah, pemerintah lokasi maupun nasional,
220
warga adat untuk melakukan gerakan-gerakan kongkret yang
melindungi alam dan ekologi, sehingga berkontribusi dalam mengatasi
dampak perubahan iklim.
Pada tataran individu penganut ajaran agama, mesti
menginternalisasikan dalam kehidupannya tentang pentingnya menjalani
kehidupan yang harmonis dan selaras dengan alam sebagai manifestasi
dari ajaran agama. Pasalnya, ajaran agama mana pun selalu mengajarkan
umatnya untuk merusak alam dan lingkungan sekitarnya sehingga ada
relasi keseimbangan dalam kehidupan manusia, yaitu; (i) relasi manusia
dengan Tuhan (religiositas); (ii) relasi manusia dengan manusia, dan (iii)
relasi manusia dengan alam semesta beserta isinya. Dari sinilah sejatinya
esensi ontologis dan epistemologi ajaran agama ditransformasikan dalam
mengatasi perubahan iklim. Di samping itu, individu penganut ajaran
agama mestinya mengendalikan hingga mengurangi komsumsi bahan
bakar fosil yang memicu meningkatnya emisi GRK. Kaum agamawan
dan institusi keagamaan sudah saatnya mengampanyekan penggunaan
energi terbarukan dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan
memasukkan dalam kurikulum pendidikannya tentang perubahan iklim
dan pengetahuan energi terbarukan. Dengan demikian, tanggung jawab
mengatasi perubahan iklim bukan hanya bersifat individual, lembaga
keagamaan maupun kebijakan politik negara, melainkan menjadi tanggung
jawab kolektif seluruh umat manusia di planet bumi.












