Tampilkan postingan dengan label hukum kontrak 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum kontrak 2. Tampilkan semua postingan
Rabu, 31 Mei 2023
maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya,
rugi, dan bunga.
c. Pegawai yang memangku jabatan umum.
Yang dimaksud di sini adalah membeli untuk kepentingan diri sendiri terhadap
barang yang dilelang.
Yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan
tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya.
Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah
(1) benda atau barang orang lain,
(2) barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang, seperti jual beli narkotika,
(3) bertentangan dengan ketertiban, dan
(4) kesusilaan yang baik.
Apabila hal itu tetap dilakukan maka jual beli itu batal demi hukum. Kepada
penjual dapat dituntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga.
4. Bentuk dan Substansi Perjanjian Jual Beli
Di dalam KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk per
janjian jual beli. Bentuk perjanjian jual beli dapat dilakukan secara lisan maupun
tertulis. Perjanjian jual beli secara lisan cukup dilakukan berdasarkan konsensus
para pihak tentang barang dan harga. Sedangkan perjanjian jual beli secara tertulis
merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis, apakah
itu dalam bentuk akta di bawah tangan maupun akta autentik. Di dalam perjanjian
jual beli tanah, biasanya dibuat dalam akta autentik yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk membuat akta jual beli tanah
adalah Camat dan atau Notaris PPAT. Biasanya akta jual beli tanah tersebut telah
ditentukan bentuknya dalam sebuah formulir. Para Camat atau Notaris PPAT
tinggal mengisi hal-hal yang kosong dalam akta jual beli tersebut. Secara lengkap
isi akta jual beli tanah antara pihak penjual, yaitu Tati Sukmawati dengan pembeli,
yaitu Akhmad H. Syamsuddin, disajikan berikut ini.
AKTA JUAL BELI
No. 16/akt./Cam./1085
Pada hari ini Senin tanggal 28 Oktober 1985 datang menghadap kepada
kami Damhoedji Camat, Kecamatan Empang oleh Menteri Dalam Negeri dengan
surat keputusannya.......Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 Peraturan Menteri 1)
tanggal, 19 Nomor Agraria No. 10/1961 bertindak 2) sebagai
Ditunjuk
pejabat pembuat akta tanah yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah untuk Wilayah
Kecamatan Empang ................................
dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang kami kenal/diperkenalkan kepada kami
dan akan disebutkan di bagian akhir akta ini:
I. Tati Sukmawati, Umur 36 tahun, Warga Negara Indonesia, pekerjaan dagang,
bertempat tinggal di Sumbawa Kecamatan Sumbawa Kabupaten Dati II
Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Selanjutnya disebut Penjual:
II. Akhmad H. Syamsuddin, Umur 35 tahun, Warga Negara Indonesia, pekerjaan
tani, bertempat tinggal di desa Empang Atas, Kecamatan Empang, Kabupaten
Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Selanjutnya disebut Pembeli:
Para penghadap menerangkan bahwa penjual dengan akta ini menjual kepada
pembeli dan pembeli membeli dari penjual:
Sebidang 1) dari 1) tanah hak : Milik No............
sebagian
Terletak di :
Daerah tingkat I/Wilayah
Daerah tingkat II/Wilayah
Kecamatan/Wilayah
Desa
Diuraikan dalam surat ukur
Luas tanah
Nusa Tenggara Barat
Sumbawa
Empang
Empang Atas
tgl ........................................... No...............
880 m2 ( delapan ratus delapan puluh meter
persegi) berukuran panjang kurang-lebih: ....m3) berukuran lebar kurang lebih:
....m3), persil nomor 51, kohir nomor .... 301 : blok m3) dan berbatasan di sebelah:
Utara
Timur
Selatan
Barat
dengan jalan raya
dengan tanah/rumah H.M. Sidik
dengan tanah sawah Arifin A.Wahab BA
dengan tanah/rumah H.M. Saleh
Selanjutnya para penghadap menerangkan:
Bahwa jual beli ini meliputi pula bangunan dan tanaman 1) yang ada di atas
tanah tersebut, yaitu berupa:
Bahwa jual beli ini terjadi dengan harga Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh
ribu rupiah) bahwa penjual mengaku telah menerima sepenuhnya uang pembelian
tersebut di atas dan untuk penerimaan uang itu akta ini berlaku pula sebagai
tanda penerimaannya (kuitansi).
Bahwa jual beli ini dilakukan dengan syarat-syarat seperti berikut.
Pasal 1
Mulai hari ini tanah hak dan bangunan serta tanaman 1) yang diuraikan
dalam akta ini telah diserahkan kepada pembeli, yang mengaku pula telah
menerima penyerahan itu dan segala keuntungan yang didapat dari serta segala
kerugian/beban yang diderita atas tanah hak dan bangunan serta tanaman 1)
tersebut di atas menjadi hak tanggungan pembeli.
Pasal 2
Penjual menjamin bahwa tanah hak dan bangunan serta tanaman 1) tersebut
di atas tidak dikenakan sesuatu sitaan atau tersangkut sebagai tanggungan untuk
sesuatu piutang atau diberati dengan beban-beban lainnya.
Pasal 3
Jika pembeli tidak mendapat izin dari Instansi pemberi izin yang berwenang
untuk membeli tanah hak tersebut sehingga jual beli ini menjadi batal maka ia
dengan ini oleh penjual diberi kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali;
dengan hak memindahkan kekuasaan itu untuk mengalihkan hak atas tanah itu
kepada pihak lain atas nama penjual, dengan dibebaskan dari pertanggung jawab
sebagai kuasa, dan jika ada, menerima uang ganti kerugian yang menjadi hak
sepenuhnya dari pembeli. Adapun uang pembelian yang sudah diberikan kepada
penjual tersebut di atas tidak akan dituntut kembali oleh pembeli.
Pasal ....
Ongkos pembuatan akta ini, uang saksi, dan segala biaya mengenai peralihan
hak ini dipikul oleh Pembeli.
Demikian akta ini dibuat dihadapan saksi-saksi
1. Sanusi M Sekretaris Desa Empang Atas
2. M. Ali H.M. Sidik Empang Atas
Sebagai saksi-saksi dan setelah dibacakan dan di mana perlu dijelaskan oleh
kami maka kemudian akta ini dibubuhi tanda tangan/cap jempol 1) oleh para
penghadap, saksi-saksi dan kami, pejabat pembuat akta tanah.
Penjual Pembeli
ttd. ttd.
(Tati Sukmawati) (Akhmad H. Syamsuddin)
Pejabat Pembuat Akta Tanah
ttd.
(Damhoedji)
NIP. 610000362
Saksi-Saksi
1. Sekretaris Empang Atas 2 .
ttd. ttd.
(Sanusi) (M. Ali H.M. Sidik)
Akta jual beli ini telah dibakukan oleh Pemerintah, sehingga para Camat
atau Notaris tinggal mengisi hal-hal yang kosong dalam lembaran akta jual beli.
Hal-hal yang tercantum dalam akta jual beli tersebut, meliputi:
a. tanggal dibuatnya perjanjian jual beli tanah;
b. subjek hukum, yang meliputi nama pihak penjual dan pembeli, umur,
kewarganegaraan, pekerjaan, dan domisili;
c. objek jual beli, yang meliputi jenis haknya, apakah hak milik, HGB atau
HGU, luasnya, nomor persil dan kohir, batas-batasnya;
d. harga jual beli tanah;
e. pengakuan dari penjual, bahwa ia telah menerima uang jual beli tanah
tersebut;
f. momentum penyerahan tanah, yaitu pada saat tanggal dibuatkan akta;
g. bahwa tanah yang dijual tidak dikenakan sesuatu sitaan atau tersangkut
tanggungan suatu piutang;
h. ongkos pembuatan akta ditanggung pembeli;
i. saksi-saksi.
Keberadaan dua orang saksi ini sangat penting, karena apabila salah satu
dari pihak penjual dan pembeli ingkar terhadap apa yang telah dilakukan maka
kedua saksi inilah yang akan menjelaskan kepada hakim bahwa mereka benar-
benar telah melakukan jual beli tanah seluas dan harga tersebut di atas.
5. Hak dan Kewajiban antara Penjual dan Pembeli
Apabila kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli telah tercapai maka
akan menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Yang menjadi hak
penjual adalah menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli.
Sedangkan kewajiban pihak penjual adalah sebagai berikut,
a Menyatakan dengan tegas tentang perjanjian jual beli tersebut
b. Menyerahkan barang.
Penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam
kekuasaan dan kepunyaan si pembeli. Ada tiga cara penyerahan barang,
yaitu
1) penyerahan barang bergerak cukup dengan menyerahkan kekuasaan
atas barang tersebut;
2) barang tetap dilakukan dengan menggunakan akta transport atau balik
nama pada pejabat yang berwenang;
3) barang tak bertubuh dengan cara cessi.
Sedangkan masalah biaya dan tempat penyerahan ditentukan sebagai berikut:
1) biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan
dipikul oleh si pembeli, kecuali diperjanjikan, dan
2) tempat penyerahan dilakukan di tempat di mana barang yang dijual
berada, kecuali diperjanjikan lain.
Pengecualian dari kewajiban penyerahan ini apabila pembeli belum melunasi
harga barang secara total kepada si penjual.
c. Kewajiban menanggung pembeli.
Kewajiban menanggung dari si penjual adalah dimaksudkan agar (1)
penguasaan benda secara aman dan tenteram, dan (2) adanya cacat barang-
barang tersebut secara sembunyi atau sedemikian rupa sehingga menerbitkan
alasan untuk pembatalan (Pasal 1473 KUH Perdata),
d Wajib mengembalikan kepada si spembeli atau menyuruh mengembalikan
cleh orang yang memajukan tuntutan barang, segala apa yang telah
dikeluarkan oleh pembeli, segala biaya yang telah dikeluarkan untuk
barangnya atau semata-mata untuk perhiasan atau kesenangan,
e. Wajib menanggung terhadap cacat tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak
mengetahui adanya cacat tersebut, kecuali telah diperjanjikan,
f Wajib mengembalikan harga pembelian yang diterimanya, jika penjual
mengetahui barang yang telah dijual mengandung cacat, serta mengganti
segala biaya, kerugian, dan bunga kepada si pembeli.
g. Wajib mengembalikan harga pembelian, apabila ia sendiri mengetahui adanya
cacat tersebut.
h. Jika barang yang dijual musnah disebabkan karena cacat tersembunyi, maka
kerugian dipikul oleh si penjual dan diwajibkan mengembalikan uang harga
pembelian dan kerugian.
Kewajiban pembeli adalah sebagai berikut,
a. Membayar harga pembelian terhadap barang pada waktu dan tempat yang
telah ditentukan (Pasal 1513 KUH Perdata),
b. Membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yang dijual dan diserahkan
memberikan hasil (pendapatan).
Hak pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik secara
nyata maupun secara yuridis. Di dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Penjualan Barang-Barang Internasional (United Nations Convention
on Contract fo r the International Sale o f Goods) telah diatur tentang
kewajiban antara penjual dan.pembeli. United Nations Convention on Contract
for the International Sale o f Goods ini ditetapkan pada tanggal 7 April 1980
di Wina. Tujuan konvensi ini adalah penetapan keseragaman pengaturan yang
akan mengatur berbagai kontrak untuk penjualan barang-barang internasional
memperhitungkan perbedaan sosial, ekonomi, dan sistem hukum. Hal ini akan
memberikan sumbangan untuk menghapuskan hambatan hukum dalam per
dagangan internasional dan mendorong pengembangan perdagangan internasional.
Pasal 30 sampai dengan Pasal 52 United Nations Convention on Contract
for the International Sale o f Goods mengatur tentang kewajiban penjual dan
Pasal 53 sampai dengan Pasal 60 United Nations Convention on Contract
for the International Sale o f Goods mengatur tentang kewajiban pembeli.
Ada 3 (tiga) kewajiban pokok penjual, yaitu
a. menyerahkan barang,
b. menyerahterimakan dokumen, dan
c. memindahkan hak milik (Pasal 30).
Kewajiban penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli meliputi:
a. menyerahterimakan barang kepada pengangkut pertama untuk diteruskan
kepada pembeli, jika kontrak penjualan menyangkut pengangkutan barang
(Pasal 31);
b. merinci jenis-jenis barang yang dikirimkan kepada pembeli (Pasal 32);
c. menyerahkan barang sesuai dengan tanggal yang ditetapkan dalam kontrak .
(Pasal 33);
d. menyerahkan barang yang jumlahnya, mutunya, dan uraian barang yang
diminta dalam kontrak yang dipetikan atau dibungkus (Pasal 35);
e. menyerahkan barang yang bebas dari hak apa pun atau klaim dari pihak
ketiga, kecuali pembeli setuju untuk mengambil barang itu bersyarat pada
hak-hak itu atau klaim (Pasal 41);
f. menyerahkan barang yang bebas dari hak apa pun atau klaim dari pihak
ketiga yang berdasarkan atas hak milik industri atau hak kekayaan intelektual
lainnya (Pasal 42).
Kewajiban pembeli adalah
a. memeriksa barang-barang yang dikirim oleh penjual (Pasal 38),
b. membayar harga barang sesuai dengan kontrak (Pasal 53), dan
c. menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak (Pasal 53).
Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan
mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin
dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan
pelaksanaan pembayaran (Pasal 54). Tempat pembayaran di tempat yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Jika tidak ditentukan oleh kedua belah pihak,
maka pembayaran dapat dilakukan di tempat bisnis penjual atau jika pembayaran
harus dilakukan dengan penyerahan barang atau dokumen di tempat di mana
serah terima itu dilakukan.
D. TUKAR-MENUKAR
1. Pengertian Tukar-menukar
Tukar-menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUH
Perdata. Perjanjian tukar-menukar adalah
’’Suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya
untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai suatu
ganti barang lainnya.” (Pasal 1451 KUH Perdata)
Algra mengartikan perjanjian tukar-menukar adalah
’’Suatu perjanjian di mana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling
memberikan benda kepada satu sama lain.” (Algra, dkk. 1983: 487)
Definisi ini terlalu singkat, karena yang ditonjolkan adalah saling memberikan
benda antara satu sama lain. Akan tetapi menurut hemat penulis, perjanjian
tukar-menukar adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak yang satu dengan
pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan
barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang
ditukar. Barang yang ditukar oleh para pihak, dapat berupa barang bergerak
maupun barang tidak bergerak. Penyerahan barang bergerak cukup penyerahan
nyata, sedangkan barang tidak bergerak menggunakan penyerahan secara yuridis
formal.
Unsur-unsur yang tercantum dalam kedua definisi di atas adalah
a. adanya subjek hukum,
b. adanya kesepakatan subjek hukum,
c. adanya objek, yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak, dan
d. masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar-
menukar.
2. Subjek dan Objek dalam Perjanjian Tukar-menukar
Subjek hukum dalam perjanjian tukar-menukar adalah pihak pertama dan
pihak kedua. Sedangkan yang dapat menjadi objek tukar-menukar adalah semua
barang, baik barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak (Pasal 1542
KUH Perdata). Dengan syarat barang yang menjadi objek tukar-menukar tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika
barang yang telah ditukarkannya ternyata membuktikan bahwa barang yang
ditukarnya bukan pemilik barang tersebut, maka pihak lain tidak dapat
memaksakan untuk menyerahkan barang yang telah ia janjikan dari pihak sendiri,
melainkan mengembalikan barang yang ia telah terimanya (Pasal 1543 KUH
Perdata). Pihak yang telah melepaskan barang yang diterima dalam perjanjian
tukar-menukar maka ia dapat memilih, apakah ia akan menuntut penggantian
biaya, rugi, dan bunga dari pihak lawannya atau menuntut pengembalian barang
yang telah ia berikan (Pasal 1544 KUH Perdata). Tuntutan itu hanya dilakukan
terhadap satu alternatif yang dipaparkan di atas, yaitu menuntut biaya, rugi, dan
bunga atau pengembalian barang. Jadi, pihak yang menyerahkan barang tidak
dapat menuntut kedua alternatif tersebut di atas.
3, Hak dan Kewajiban dalam Perjanjian Tukar-menukar
Pihak pertama dan pihak kedua, masing-masing berkewajiban untuk
menyerahkan barang yang ditukar sedangkan haknya menerima barang yang
ditukar.
4. Risiko dalam Perjanjian Tukar-menukar
Jika barang yang menjadi objek tukar-menukar musnah di luar kesalahan
salah satu pihak maka perjanjian tukar-menukar itu menjadi gugur. Pihak yang
telah menyerahkan barang dapat menuntut kembali barang yang telah diserahkannya
(Pasal 1545 KUH Perdata).
Pasal-pasal yang mengatur tentang tukar-menukar sangat sedikit, jika
dibandingkan dengan perjanjian jual beli. Namun, di dalam ketentuan mengenai
tukar-menukar disebutkan bahwa ketentuan tentang jual beli berlaku bagi perjanjian
tukar-menukar.
E. SEWA-MENYEWA
1. Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUH
Perdata. Sewa-menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada
pihak lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi
oleh pihak yang terakhir itu (Pasal 1548 KUH Perdata). Definisi lainnya
menyebutkan bahwa perjanjian sewa-menyewa adalah
’’Persetujuan untuk pemakaian sementara suatu benda, baik bergerak maupun
tidak bergerak, dengan pembayaran suatu harga tertentu.” (Algra, dkk.,
1983: 199)
Pada dasarnya sewa-menyewa dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan
sewa-menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak
berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu
juga karena barang yang disewakan dipindahtangankan. Di sini berlaku asas
bahwa jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa.
Dari uraian di atas, dapatlah dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam
perjanjian sewa-menyewa adalah
a. adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa,
b. adanya konsensus antara kedua belah pihak,
c. adanya objek sewa-menyewa, yaitu barang, baik barang bergerak maupun
tidak bergerak,
d. adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk menyerahkan
kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu benda, dan
e. adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran
kepada pihak yang menyewakan.
2. Subjek dan Objek Sewa-menyewa
Pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa adalah pihak yang
menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan adalah orang atau
badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak penyewa,
sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa
barang atau benda dari pihak yang menyewakan.
Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa-menyewa adalah barang dan
harga. Dengan syarat barang yang disewakan adalah barang yang halal, artinya
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban, dan kesusilaan.
3. Bentuk dan Substansi Perjanjian Sewa-menyewa
Di dalam KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk
perjanjian sewa-menyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu, perjanjian
sewa-menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan. Dalam perjanjian
sewa-menyewa bangunan, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis
dan isi perjanjian itu telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau Notaris. Akan
tetapi, yang paling dominan dalam menentukan substansi kontrak adalah dari
pihak yang menyewakan, sehingga pihak penyewa berada pada pihak yang
lemah. Dengan demikian, semua persyaratan yang diajukan oleh pihak yang
menyewakan tinggal disetujui atau tidak oleh pihak penyewa.
Berikut ini dianalisis substansi perjanjian sewa-menyewa, antara Markus
Sunyoto Kusumo sebagai pengelola Mataram Mali dengan Rubyanto ANG sebagai
penyewa. Hal-hal yang tercantum dalam perjanjian sewa-menyewa bangunan
mail tersebut adalah sebagai berikut.
a. Tanggal dibuatnya akta sewa-menyewa.
b. Subjek hukum, yaitu para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa.
Pihak yang menyewakan, yaitu dua orang:
(1) Tuan Markus Sunjoyo Kusumo (Direktur Utama PT Facifik Cilinaya
Fantacy), dan
(2) Tuan Robyanto ANG (Komisaris Utama PT Facifik Cilinaya Fantacy)
dan pihak penyewa, yaitu Meyliya Handoyo.
c. Objek barang yang disewakan, yaitu bangunan Mataram Mali dengan ukuran
panjang 15,50 (lima belas, lima puluh) meter dan lebar 6 (enam) meter.
Tanah itu berdiri di atas tanah HGB.
d. Jangka waktu sewa, yaitu 5 (lima) tahun, yang dimulai dari tahun 2000
sampai dengan 1 September 2004.
e. Besarnya uang sewa. Besarnya uang sewa untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun sebanyak Rp 163.800.000,00 (seratus enam puluh tiga juta delapan
ratus ribu rupiah). Besarnya uang sewa setiap bulan sebanyak Rp2.730.000,00
(dua juta tujuh ratus tiga puluh ribu rupiah). Uang muka sebesar Rp32.760.000,00
(tiga puluh dua juta tujuh ratus enam puluh ribu rupiah). Sisanya akan diangsur
setiap bulan sebesar Rp2.730.000,00 (dua juta tujuh ratus tiga puluh ribu
rupiah), yang mulai diangsur tanggal 1 Juni 2001 sampai dengan 1 September
2004.
f. Hak dan kewajiban antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa
Hak dari pihak yang menyewakan, yaitu
1) menerima uang sewa bangunan,
2) menerima uang jaminan langganan telepon, dan
3) menerima uang jaminan langganan listrik sebesar Rp 162,00 (seratus
enam puluh dua rupiah) per volt ampere.
Kewajiban pihak yang menyewakan, yaitu
1) menyerahkan bangunan seluas 15,50 x 6 m kepada pihak penyewa,
2) menyerahkan telepon kepada pihak penyewa, dan
3) menyerahkan hak pemakaian atas listrik.
Yang menjadi hak pihak penyewa adalah
1) menerima bangunan seluas 15,50 x 6 m,
2) menerima telepon, dan
3) menerima listrik.
Sedangkan kewajiban pihak yang menyewakan meliputi:
1) membayar sewa bangunan di Mali Mataram, baik berupa uang tunai
dan uang angsuran setiap bulan, sesuai dengan yang disepakati keduanya,
2) membayar biaya langganan listrik dan telepon setiap bulan,
3) membayar denda keterlambatan pembayaran angsuran (jika terlambat),
4) memelihara dan merawat apa yang disewakan, dan
5) membayar service change sebesar Rp4.000,00/bulan. Biaya ini meliputi
biaya operasional fasilitas umum, biaya perbaikan, kebersihan dan
pemeliharaan fasilitas dan area bersama seperti sampah, lift, keamanan,
parkir, toilet, dan lain-lain.
g. Denda.
Di dalam kontrak sewa-menyewa ini ditentukan besarnya denda yang akan
dibayar oleh pihak penyewa, apabila terlambat melakukan pembayaran
angsuran. Besarnya denda ditentukan sebagai berikut.
1) terlambat satu bulan dendanya 5% dari pokok angsuran,
2) terlambat 2 bulan dendanya 10% dari pokok angsuran, dan
3) terlambat tiga bulan dendanya 15% dari pokok angsuran.
Apabila empat bulan berturut-turut pihak kedua tidak membayar angsuran,
maka sanksinya ditentukan sebagai berikut:
1) pihak kedua tetap membayar denda keterlambatan,
2) perjanjian batal dengan sendirinya, dan
3) pihak kedua tetap membayar uang sewa yang sampai saat batalnya
perjanjian ini belum dibayar.
h. Berakhirnya kontrak. Apabila kontrak berakhir, menjadi kewajiban dari pihak
penyewa untuk menyerahkan bangunan tersebut kepada pihak yang me
nyewakan. Akan tetapi, apabila pihak penyewa tidak menyerahkan bangunan
tersebut tepat pada waktunya maka pihak penyewa dibebankan untuk mem
bayar denda sebesar Rpl00.000,00/hari.
Apabila diperhatikan substansi kontrak sewa-menyewa bangunan itu, jelaslah
bahwa pihak yang dirugikan adalah pihak penyewa. Pihak penyewa ini berada
dalam posisi yang lemah, hal ini terlihat dari penetapan denda keterlambatan
pembayaran angsuran yang sangat tinggi dan denda keterlambatan dalam
penyerahan barang apabila kontraknya telah berakhir. Denda yang dibebankan
kepada penyewa yang tidak menyerahkan bangunan tepat pada waktunya
sebanyak Rpl00.000,00/hari. Denda ini sangat besar, jika dibandingkan dengan
keuntungan yang akan diperoleh si penyewa. Ini menunjukkan bahwa yang di
untungkan dalam perjanjian tersebut adalah pihak yang menyewakan.
4. Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa
Hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang telah
ditentukan. Sedangkan kewajiban pihak yang menyewakan, yaitu
a. menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa (Pasal 1550 ayat
(1) KUH Perdata);
b. memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa, sehingga dapat dipakai
untuk keperluan yang dimaksudkan (Pasal 1550 ayat (2) KUH Perdata);
c. memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang disewakan
(Pasal 1550 ayat (3) KUH Perdata);
d. melakukan pembetulan pada waktu yang sama (Pasal 1551 KUH Perdata);
e. menanggung cacat dari barang yang disewakan (Pasal 1552 KUH Perdata).
Hak dari pihak penyewa adalah menerima barang yang disewakan dalam
keadaan baik. Yang menjadi kewajibannya adalah
a. memakai barang sewa sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik,
artinya kewajiban memakainya seakan-akan barang itu kepunyaannya sendiri;
b. membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (Pasal 1560
KUH Perdata).
5. Risiko atas Musnahnya Barang
Risiko adalah suatu ajaran yang mewajibkan seseorang untuk memikul suatu
kerugian, jikalau ada suatu kejadian di luar kemampuan salah satu pihak yang
menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Dalam perjanjian sewa-menyewa
ini, barang itu berada pada pihak penyewa. Persoalannya, apakah barang yang
menjadi objek sewa itu hancur atau musnah, yang bukan disebabkan oleh pihak
penyewa? Terhadap hal ini, dapat kita lihat ketentuan yang tercantum dalam Pasal
1553 KUH Perdata. Musnah atas barang objek sewa dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu musnah secara total dan musnah sebagian dari objek sewa.
a. Jika barang yang disewakan oleh penyewa itu musnah secara keseluruhan
di luar kesalahannya pada masa sewa, perjanjian sewa-menyewa itu gugur
demi hukum dan yang menanggung risiko atas musnahnya barang tersebut
adalah pihak yang menyewakan (Pasal 1553 KUH Perdata). Artinya, pihak
yang menyewakan yang akan memperbaikinya dan menanggung segala ke
rugiannya.
b. Jika barang yang disewa hanya sebagian yang musnah maka penyewa dapat
memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga sewa atau akan
meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1553 KUH Perdata).
Pada dasarnya pihak penyewa dapat menuntut kedua hal itu, namun ia tidak
dapat menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menyewakan (Pasal
1553 KUH Perdata).
F. PERSEKUTUAN
1. Pengertian Persekutuan
Persekutuan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal
1618 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata. Di dalam Pasal
1618 KUH Perdata ditentukan pengertian persekutuan. Persekutuan adalah
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya untuk
memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi
keuntungan karenanya (Pasal 1618 KUH Perdata).
Unsur-unsur yang tercantum dalam rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
a. adanya konsensus antara dua orang atau lebih,
b. memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dan
c. maksudnya untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.
Segala persekutuan harus mengenai usaha yang halal dan harus dibuat untuk
keuntungan bersama. Hal-hal yang dapat dimasukkan oleh para sekutu, yaitu
a. uang,
b. barang lain, atau
c. kerajinannya dalam perusahaan.
2. Jenis-Jenis Persekutuan
Persekutuan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
a. persekutuan penuh, dan
b. persekutuan khusus (Pasal 1620 KUH perdata).
Persekutuan penuh ialah suatu persekutuan yang penuh mengatur keuntungan
yang akan diperoleh para pihak dengan nama apa pun, selama berlangsungnya
persekutuan sebagai hasil kerja sama mereka. Persekutuan penuh yang dilarang,
yaitu segala persekutuan, baik dari semua kekayaan maupun dari sebagian dari
kekayaan seseorang secara percampuran pada umumnya.
Persekutuan khusus ialah persekutuan yang hanya mengenai barang tertentu
saja, atau pemakaiannya, atau hasil-hasil yang akan didapatnya dari barang itu,
atau mengenai sesuatu perusahaan maupun dalam hal menjalankan sesuatu
perusahaan atau pekerjaan tetap.
3. Momentum Berlakunya Persekutuan
Momentum berlakunya persekutuan diatur dalam Pasal 1624 KUH Perdata.
Di dalam pasal itu ditentukan bahwa persekutuan mulai berlaku sejak saat ter
jadinya persesuaian pernyataan kehendak antara para sekutu, kecuali para sekutu
menentukan yang lain.
4. Hak dan Kewajiban Para Sekutu
Kewajiban para sekutu ditentukan dalam Pasal 1625 sampai dengan Pasal
1641 KUH Perdata. Kewajibannya adalah sebagai berikut.
a. Masing-masing sekutu berutang kepada persekutuan tentang segala apa
yang disanggupinya.
b. Masing-masing sekutu diwajibkan untuk memasukkan sejumlah uang kepada
persekutuan.
c. Diwajibkan memberi perhitungan kepada perusahaan tentang keuntungan
yang di peroleh dengan kerajinan.
d. Masing-masing sekutu diwajibkan memberikan ganti rugi kepada persekutuan
tentang kerugian yang diderita persekutuan yang disebabkan karena salahnya
dari sekutu.
Hak para sekutu yang utama adalah berhak untuk mendapatkan keuntungan
dari hasil para sekutu berdasarkan besar kecilnya yang telah dimasukkan ke
persekutuan.
5. Hubungan antara Para Sekutu dengan Pihak Ketiga
Pada dasarnya tidak semua sekutu terikat pada pihak ketiga. Yang terikat
hanyalah sekutu yang telah melakukan hubungan atau perbuatan hukum tersebut
dan tidaklah mengikat sekutu yang lainnya, kecuali sekutu yang lain telah mem
berikan kuasa kepada orang/sekutu yang tidak ada hubungannya.
6. Berakhirnya Persekutuan
Berakhirnya persekutuan telah ditentukan secara tegas dan rinci dalam Pasal
1646 KUH Perdata. Persekutuan berakhir, karena:
a. telah lewat waktunya yang telah ditentukan oleh para sekutu;
b. musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok
persekutuan;
c. atas kehendaknya semata-mata dari beberapa orang atau sekutu untuk
membubarkannya;
d. meninggalnya salah seorang sekutu atau ditaruh di bawah pengampunan
atau dinyatakan pailit;
e. salah satu dari sekutu sakit secara terus-menerus.
G. BADAN HUKUM
1. Pengertian Badan Hukum
Badan hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtpersoon. Badan hukum
adalah himpunan dari orang sebagai perkumpulan, baik perkumpulan itu diadakan
atau diakui oleh pejabat umum, maupun perkumpulan itu diterima sebagai
diperolehkan, atau telah didirikan untuk maksud tertentu yang tidak bertentangan
dengan undang-undang dan kesusilaan yang baik (Pasal 1653 KUH Perdata).
Soemitro mengartikan rechtpersoon adalah
’’Suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban
seperti orang-orang pribadi.” (Soemitro, 1993: 10)
Pandangan lain berpendapat bahwa badan hukum adalah
’’Kumpulan orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu
badan, yaitu
(1) berwujud himpunan, dan
(2) harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu dan ini dikenal
dengan yayasan.” (Sri Soedewi Masjchoen, tt: 29)
Kedua pandangan itu mengkaji dan menelaah pengertian badan hukum dari
aspek yang berbeda. Soemitro mengkaji pengertian badan hukum dari segi ke-
wenangannya. Kewenangan itu dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu
(1) kewenangan atas harta kekayaan, dan
(2) kewenangan untuk mempunyai hak dan mempunyai kewajiban.
Sri Soedewi Masjchoen memfokuskan pengertian badan hukum dari segi
tujuan dan pendiriannya. Dari aspek pendiriannya badan hukum dibedakan menjadi
dua macam, yaitu hsimpunan dan yayasan.
Menurut hemat penulis, badan hukum adalah
’’Kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan,
hak dan kewajiban, serta organisasi.”
Yang dimaksud dengan tujuan adalah arah atau yang ingin dicapai dari
pembentukan badan hukum tersebut. Sejak awalnya, pada akta pendiriannya
telah ditentukan tujuan dari badan hukum tersebut. Misalnya, di dalam akta
disebutkan bahwa badan hukum ini didirikan untuk mengurus anak yatim piatu.
Ini berarti bahwa badan hukum tersebut bergerak dalam pembinaan dan
pengembangan anak yatim piatu.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur badan hukum:
a. mempunyai tujuan tertentu,
b. mempunyai harta kekayaan,
c. mempunyai hak dan kewajiban, baik untuk menggugat maupun digugat, dan
d. mempunyai organisasi.
2. Dasar Hukum Badan Hukum
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang badan hukum, dapat
dilihat pada peraturan perundang-undangan berikut ini.
a. KUH Perdata
Ketentuan tentang badan hukum di dalam KUH Perdata sangat sederhana.
Dalam KUH Perdata hanya terdapat 13 pasal yang mengatur tentang badan
hukum yang dimulai dari Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUH Perdata.
Faktor penyebab sedikitnya pasal yang mengatur tentang badan hukum, karena
orang mempelajari atau membicarakan masalah badan hukum dengan sebenar-
benarnya baru sesudah kodifikasi selesai dibuat. Pada waktu itu orang sudah
dapat menganggap cukup untuk memuat sebuah titel saja, seperti yang termuat
dalam Titel IX Buku III KUH Perdata, yang berjudul Perkumpulan (Zedelijke
Lichameri).
b. KUH Dagang
KUH Dagang ditetapkan berdasarkan Stb. 1847 Nomor 53. KUH Dagang
ini terdiri atas dua buah buku, yaitu Buku Kesatu: tentang dagang pada
umumnya dan Buku Kedua tentang hak-hak dan kewajiban yang timbul dari
pelayaran. KUH Dagang terdiri atas 13 bab dan 754 pasal. Ketentuan yang
mengatur tentang badan hukum, terdapat dalam Pasal 15 sampai dengan
Pasal 56 Buku I tentang dagang pada umumnya. Di dalam ketentuan itu
diatur 3 (tiga) jenis badan usaha, yaitu perseroan terbatas, firma, dan
komanditer.
c. NBW Belanda
Di negeri Belanda, ketentuan badan hukum telah diatur dalam Buku II BW
Baru (NBW). Dalam NBW terdapat 404 pasal yang mengatur tentang
badan hukum dan terdiri dari delapan bab. Yang dimulai dari Pasal 1 sampai
dengan Pasal 404 NBW. Pesatnya perkembangan perundang-undangan
badan hukum di negeri Belanda, disebabkan oleh perkembangan teknologi
dan kemajuan industri dalam berbagai kehidupan masyarakat. Dengan adanya
badan hukum tersebut akan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam
meningkatkan perekonomian negara. Jadi, sangatlah wajar apabila ketentuan
tentang badan hukum diatur di dalam buku tersendiri.
d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 merupakan peraturan yang khusus
mengatur tentang badan hukum Perseroan Terbatas. Undang-undang ini terdiri
atas 12 bab dan 129 pasal. Pertimbangan ditetapkannya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas adalah karena:
1) peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847: 23), sudah tidak sesuai
dengan perkembangan ekonomi dan dunia usaha yang semakin pesat
baik secara nasional maupun internasional;
2) adanya dua bentuk badan hukum Perseroan Terbatas, yang diatur dalam
KUH Dagang dan Staatsblad 1939 Nomor 569 jo. 717 tentang Maskapai
Andil Indonesia, sehingga menimbulkan dualisme hukum yang berlaku.
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 meliputi:
1) pendirian, anggaran dasar, pendaftaran, dan pengumuman,
2) modal dan saham,
3) laporan tahunan dan penggunaan laba,
4) rapat umum pemegang saham,
5) direksi dan komisaris,
6) pengabungan, peleburan, dan pengambilalihan,
7) pemeriksaan terhadap perseroan, dan
8) pembubaran perseroan dan likuidasi.
Tujuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
adalah untuk menciptakan unifikasi hukum yang berlaku bagi badan hukum
perseroan terbatas. Dengan demikian* undang-undang inilah yang akan
digunakan bagi anggota masyarakat yang ingin mendirikan badan hukum
perseroan terbatas.
e. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian ditetapkan
pada tanggal 21 Oktober 1995. Undang-undang ini terdiri atas 16 bab dan
67 pasal. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini meliputi:
1) ketentuan umum,
2) landasan, asas, dan tujuan,
3) fungsi, peran, dan prinsip koperasi,
4) pembentukan,
5) perangkat organisasi,
6) modal,
7) lapangan usaha,
8) sisa hasil usaha,
9) pembubaran koperasi,
10) lembaga gerakan koperasi,
11) pembinaan,
12) ketentuan peralihan, dan
13) penutup.
Undang-undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Koperasi. Penggantian ini disebabkan
undang-undang lama sudah tidak sesuai dengan perkembangan koperasi saat
ini. Koperasi telah mengalami perkembangan yang sangat dahsyat dan
mengalami kemajuan yang sangat berarti. Pada setiap desa/kelurahan selalu
berdiri lembaga koperasi. Ini disebabkan lembaga koperasi akan menguntung
kan para anggotanya. Karena prinsip dalam pelaksanaan koperasi dari anggota,
oleh anggota, dan untuk anggota. Namun dalam kenyataannya di pedesaan
banyak koperasi-koperasi yang tidak dapat membayar sisa hasil usaha (SHU)
kepada para anggotanya. Hal ini disebabkan kurangnya kemampuan dari
pengurus untuk mengembangkan usahanya.
/ . Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan adalah karena:
1) pendirian yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan
kebiasaan dalam masyarakat, karena belum ada undang-undang yang
mengatur tentang yayasan;
2) Yayasan di Indonesia telah berkembang dalam berbagai kegiatan, maksud,
dan tujuan.
Undang-undang ini diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001. Undang-
undang ini terdiri atas 16 bab dan 73 pasal. Hal-hal yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, meliputi hal-hal
berikut:
1) ketentuan umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 8);
2) pendirian (Pasal 9 sampai dengan Pasal 16);
3) perubahan anggaran dasar (Pasal 16 sampai dengan Pasal 23);
4) pengumuman (Pasal 24 sampai dengan Pasal 25);
5) kekayaan (Pasal 26 sampai dengan Pasal 27);
6) organ yayasan (Pasal 28 sampai dengan Pasal 47);
7) laporan tahunan (Pasal 48 sampai dengan Pasal 52);
8) pemeriksaan terhadap yayasan (Pasal 53 sampai dengan Pasal 56);
9) pengabungan (Pasal 57 sampai dengan Pasal 61);
10) pembubaran (Pasal 62 sampai dengan Pasal 68);
11) yayasan asing (Pasal 69);
12) ketentuan pidana (Pasal 70);
13) ketentuan peralihan (Pasal 71);
14) ketentuan penutup (Pasal 72 sampai dengan Pasal 73).
Dari keenam dasar hukum badan hukum tersebut, tiga undang-undang terakhir
ini merupakan produk dari Pemerintah Indonesia, yang ditetapkan pada dekade
tahun 90-an dan pada masa reformasi. Sedangkan KUH Perdata dan KUH
Dagang merupakan produk pemerintah kolonial Belanda. NBW sendiri me
rupakan ketentuan tentang Burgerlijk Wetboek Baru di negeri Belanda.
Ketentuan itu berlaku bagi bangsa Belanda, bukan berlaku di Indonesia.
Namun, ketentuan itu dapat dijadikan acuan dan sumber hukum dalam membuat
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan badan hukum.
3. Pembagian Badan Hukum
Badan hukum dapat dibedakan menurut bentuknya, peraturan yang mengaturnya,
dan sifatnya.
a. Badan hukum menurut bentuknya (Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 NBW (BW
Baru) Negeri Belanda.
Badan hukum menurut bentuknya adalah pembagian badan hukum berdasarkan
pendiriannya. Ada dua macam badan hukum berdasarkan bentuknya, yaitu
1) badan hukum publik, dan
2) badan hukum privat.
Yang termasuk badan hukum publik adalah
(1) negara,
(2) provinsi,
(3) kota praja,
(4) majelis-majelis,
(5) lembaga-lembaga, dan
(6) bank-bank negara.
Sedangkan yang termasuk badan hukum privat adalah
(1) perkumpulan-perkumpulan,
(2) perseroan terbatas (PT),
(3) perusahaan tertutup dengan pertanggungan jawab terbatas, dan
(4) Yayasan.
b. Badan hukum menurut peraturan yang mengaturnya (Masjchoen, tt: 33-34).
Pengertian badan hukum menurut peraturannya adalah suatu pembagian badan
hukum yang didasarkan atas ketemtuan yang mengatur badan hukum tersebut.
Ada dua macam badan hukum berdasarkan aturan yang mengaturnya, yaitu
sebagai berikut.
1) Badan hukum yang terletak dalam lapangan hukum perdata BW. Ini
akan menimbulkan badan hukum perdata Eropa. Yang termasuk dalam
badan hukum Eropa adalah
(1) zedelijke lichaam: Perhimpunan yang diatur dalam Buku III KUH
Perdata (Pasal 1653 KUH Perdata s.d. Pasal 1665 KUH Perdata)
dan Stb. 1870 No. 64,
(2) PT, Firma, dan lain-lain yang didirikan menurut KUHD, dan
(3) CV didirikan menurut ketentuan Stb. 1933 No. 108.
2) Badan hukum yang letaknya dalam lapangan hukum perdata adat. Ini
akan menimbulkan badan hukum Bumi Putra. Yang termasuk badan
hukum Bumi Putra:
(1) Maskapai Andil Indonesia (M.A.I) yang didirikan menurut Stb.
1939 No. 569;
(2) perkumpulan Indonesia yang didirikan menurut ketentuan Stb. 1939
No. 570;
(3) koperasi Indonesia, yang didirikan menurut ketentuan Stb. 1927
No.l.
c. Badan hukum menurut sifatnya (Utrecht dan Djindang,1983).
Badan hukum menurut sifatnya dibagi dua macam, yaitu:
(1) korporasi (corporatie), dan
(2) yayasan (stichting).
Di dalam hukum positif Indonesia, ada 2 (dua) jenis badan usaha yang telah
diberi status yuridis sebagai badan hukum, yaitu perseroan terbatas dan koperasi.
Sedangkan yayasan yang merupakan badan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan
telah mendapat status yuridis sebagai badan hukum, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. *
Perseroan terbatas diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995.
Pengertian perseroan terbatas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995.
Perseroan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum
yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaan.
Ciri-ciri suatu perseroan terbatas sebagai badan hukum, yaitu
1) didirikan berdasarkan perjanjian,
2) melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham-saham, dan
3) memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
Perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan perjanjian di depan notaris
tidak cukup untuk dapat melakukan perbuatan hukum keluar, tetapi perseroan itu
harus disahkan akta pendiriannya oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI. Apabila
telah disahkan maka perseroan terbatas baru dapat melakukan perbuatan hukum
untuk dan atas nama perseroan terbatas secara mandiri. Jadi, dapat dikatakan
bahwa momentum perseroan terbatas sebagai badan hukum adalah pada saat
disahkannya akta pendiriannya oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI.
Koperasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Pengertian
koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang atau seseorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian).
Ciri-ciri koperasi sebagai badan hukum, disajikan adalah sebagai berikut.
a. Anggotanya, terdiri atas orang atau seseorang atau badan hukum. Badan
hukum yang dimaksud di sini adalah badan hukum koperasi tersebut, terutama
koperasi sekunder.
b. Tujuannya, yaitu memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian
nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
c. Landasan pada prinsip koperasi, yaitu anggotanya bersifat sukarela,
pengelolaan dilakukan secara demokratis, pembagian sisa hasil usaha dilakukan
secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;
pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, kemandirian, dan kerja
sama antarkoperasi.
d. Syarat pembentukan, bagi koperasi primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya
20 (dua puluh) orang dan bagi koperasi sekunder dibentuk oleh sekurang-
kurangnya 3 (tiga) koperasi.
e. Pembentukan koperasi dengan akta pendirian yang memuat anggaran dasar,
f. Akta pendirian koperasi disahkan oleh pemerintah, berdasarkan permintaan
tertulis dari para pendiri.
Pengesahan akta pendirian koperasi oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI merupakan momentum awal dari
koperasi tersebut memperoleh status sebagai badan hukum. Sehingga dengan
adanya status tersebut maka koperasi dapat melakukan perbuatan hukum secara
mandiri.
Yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Yang diartikan
dengan yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusian, yang tidak mempunyai anggota (Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2001).
Ciri yayasan sebagai badan hukum adalah berikut ini.
a. Mempunyai kekayaan yang dipisahkan.
b. Mencapai tujuan tertentu.
c. Ruang lingkup kegiatannya bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
d. Yayasan tidak mempunyai anggota.
e. Organ yayasan terdiri atas pembina, pengurus, dan pengawas.
f. Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan harta
kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.
g. Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan didirikan berdasarkan
surat wasiat.
h. Yayasan memperoleh status sebagai badan hukum setelah akta pendirian
yayasan memperoleh pengesahan menteri.
Menteri yang berwenang untuk melakukan pengesahan akta pendirian
yayasan adalah Menteri Kehakiman dan HAM RI. Namun, kewenangan
pengesahan akta pendirian oleh Menteri tersebut dilaksanakan oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atas nama Menteri,
yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan yayasan. Pertimbangan
pelimpahan wewenang pengesahan ini adalah untuk mempercepat proses
pemberian status yayasan sebagai badan hukum. Karena dengan telah ditetapkan
status hukum yayasan tersebut maka yayasan tersebut sudah dapat melakukan
perbuatan secara mandiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa momentum
yayasan dikatakan sebagai badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan
oleh Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM atas nama menteri.
Di samping kedua badan usaha dan badan sosial tersebut, di Indonesia juga
dikenal badan usaha lainnya, yaitu firma, komanditer, dan lainnya. Persoalannya,
kini apakah firma dan komanditer tersebut dapat dikualifikasi sebagai badan
hukum. Di dalam peraturan perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas
tentang kedudukan hukum firma maupun komanditer. Namun, para ahli berbeda
pandangan antara satu dengan yang lainnya. Ada dua pandangan yang mengemuka,
yaitu
a. bahwa firma merupakan badan hukum, dan
b. bahwa firma bukan merupakan badan hukum.
Pandangan pertama berpendapat bahwa firma disamakan dengan badan
hukum. Pendapat ini diwakili oleh Prof. Subekti dan Hardijan Rush, S.H.
Prof. Subekti berpendapat bahwa firma sebagai badan hukum karena:
’’Perseroan firma yang dianggap sebagai bentuk khusus dari maatshap/
venootshap telah mula-mula diragukan apakah ia merupakan badan hukum,
karena meskipun ia mempunyai kekayaan sendiri namun para peseronya
masih juga dapat dipertanggungjawabkan untuk utang-utang firma. Sekarang
pada umumnya firma dianggap sebagai badan hukum dan adanya para
pesero dapat dipertanggungjawabkan dianggap sebagai suatu tanggung-jawab
cadangan (subsidair).” (Subekti, 1993: 13)
Rusdi Hardijan berpendapat bahwa:
’’Dalam kenyataannya firma itu secara hukum dianggap,ada dan karena itu
dapat melakukan perbuatan hukum dan ini berarti bahwa firma adalah badan
hukum. Persoalan modal pribadi para pemodal firma terikat atas perikatan
firma tidaklah merupakan penentu bahwa firma itu bukanlah badan hukum,
tetapi tidak dapatnya suatu badan hukum melakukan perbuatan hukumlah
yang merupakan penentu bahwa badan tersebut bukan badan hukum” (Rusdi
Hardijan, 1997: 23-24).
Pandangan kedua, yang berpendapat bahwa firma, persekutuan perdata,
persekutuan komanditer bukan merupakan badan hukum, sedangkan yang
merupakan badan hukum adalah perseroan terbatas, koperasi, dan perkumpulan
saling menggantung. Pandangan ini diwakili oleh H.M.N. Purwosutjipto. Ia
berpendapat bahwa:
’’Perbedaan esensial antara badan hukum dan bukan badan hukum terletak
pada prosedur mendirikan badan-badan tersebut. Untuk mendirikan suatu
badan hukum mutlak diperlukan pengesahan dari pemerintah, misalnya
perseroan terbatas, koperasi, dan perkumpulan saling menanggung. Untuk
mendirikan perkumpulan yang bukan badan hukum maka pengesahaan akta
pendirian oleh pemerintah itu tidak diperlukan, misalnya:
a. untuk mendirikan persekutuan perdata, tidak perlu adanya formalitas
sedikit pun, cukup dengan adanya kesepakatan para pihak, tanpa
pendaftaran dan tanpa pengumuman;
b. untuk mendirikan persekutuan firma, biasanya didirikan dengan akta
notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dan
diumumkan dalam Berita Negara RI;
c. untuk mendirikan persekutuan komanditer, cukup bila dilakukan sebagai
halnya mendirikan persekutuan firma.” (dalam Chidir Ali, 1987: 83-85)
Pandangan pertama berpendapat bahwa firma, persekutuan perdata, dan
komanditer merupakan badan hukum, karena dalam kenyataan badan itu ada
dan melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian firma, persekutun perdata,
dan komanditer digolongkan sebagai badan hukum. Sedangkan pandangan kedua
melihat pembagian badan hukum dan bukan badan adalah dari aspek prosedur
dalam pengesahan badan hukum. Firma, persekutuan perdata, dan komanditer
bukan badan hukum karena tidak disahkan oleh pejabat yang berwenang. Pada
dasarnya, penulis sependapat dengan pandangan yang kedua ini, bahwa badan
hukum baru dapat melakukan perbuatan hukum secara mandiri apabila akta
pendiriannya telah disahkan oleh pejabat yang berwenang. Di samping itu, firma,
persekutuan perdata, dan komanditer para anggotanya melakukan perbuatan
hukum secara tanggung renteng dan tanggung jawab bersifat individual. Jadi,
firma, persekutuan perdata, dan komanditer adalah sama dengan manusia atau
orang secara individual dalam melakukan perbuatan hukum, tetapi sebagai subjek
hukum, yang bukan badan hukum.
4. Teori-Teori Badan Hukum
Ada lima teori yang menganalisis tentang badan hukum, sebagaimana
dikemukakan berikut ini (Friedmann, 1990: 212-214).
a. Teori Fiksi
Teori fiksi berpendapat bahwa kepribadian hukum atas kesatuan-kesatuan
lain daripada manusia adalah hasil khayalan. Kepribadian yang sebenarnya
hanya pada manusia. Negara-negara, korporasi, lembaga-lembaga, tidak
dapat menjadi subjek dari hak-hak dan kepribadian, tetapi diperlukan seolah-
olah badan-badan itu manusia. Tokoh teori ini adalah von Savigny (sarjana
Jerman), daii pembelanya adalah Salmond (sarjana Inggris). Teori fiksi ini
adalah semata-mata produk dari konsepsi filsafat; dari sifat pembawaan
manusia, yang secara apriori memberinya kepribadian hal ini tampak dari
pernyataan Savigny: ’’Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat
pada setiap individu. Oleh karena itu, konsepsi yang asli mengenai kepribadian
harus sesuai dengan gagasan mengenai manusia.” W. Friedmann menyebutkan
bahwa teori fiksi sama sekali bukan teori, tetapi hanya rumusan. Dalam
bentuk yang murni, teori fiksi secara politis adalah netral (Friedmann, 1990:
213).
b. Teori Konsesi
Teori konsesi ini dikemukakan oleh Gierke. Teori ini berpendapat bahwa
badan hukum dalam negara tidak memiliki kepribadian hukum, kecuali
diperkenankan oleh hukum, dan ini berarti negara. Teori ini didukung oleh
von Savigny, Salmond, dan Dicey.
Tujuan dari teori konsesi adalah memperkuat kekuasaan negara kalau
dikehendakinya, ikut serta dalam kelompok asosiasi-asosiasi dalam negara.
Negara sendiri, walaupun badan hukum tempatnya sejajar dengan individu.
Kelemahan teori ini adalah dalam usahanya untuk mengombinasikan kenyataan
kelompok-kelompok badan hukum dengan supremasi negara. Ini berarti bahwa
negara sebagai badan hukum mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dari
kelompok-kelompok badan hukum yang berada di bawah kekuasaannya.
c. Teori Zweckvermogen
Tokoh dari teori zweckvermogen adalah Brinz. Teori zweckvermogen ber
pendapat bahwa hak milik badan hukum dapat diperuntukkan dan mengikat
secara sah pada tujuan-tujuan tertentu, tetapi tanpa pemilik (tanpa subjek).
Teori ini juga menganggap bahwa manusia saja yang dapat memiliki hak-hak.
Teori Brinz ini erat hubungannya dengan sistem-sistem hukum yang menganggap
lembaga hukum publik (anstalt) dan hukum privat (stiftung) sebagai pribadi-
pribadi hukum. Akan tetapi, badan hukum itu dibentuk berdasarkan maksud dan
tujuannya sehingga untuk mencapai maksud dan tujuan itu diperlukan pengabdian
dari orang-orang yang mengelola badan hukum tersebut.
d. Teori Kekayaan Bersama (Teori Jhering)
Teori kekayaan bersama ini dikemukakan oleh Rodolf von Jhering (1818—
1892). Jhering adalah seorang sarjana Jerman. Teori kekayaan bersama ini
berpendapat bahwa yang dapat menjadi subjek hak badan hukum adalah
(1) manusia yang secara nyata ada di belakangnya,
(2) anggota-anggota badan hukum, dan
(3) mereka yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan (siftung).
Inti kajian dari teori ini adalah pada pemilikan bersama dari harta kekayan
dari badan hukum.
e. Teori Realis atau Organik
Teori realis atau organik dikemukakan oleh Gierke dan didukung oleh Mitland.
Teori ini berpendapat bahwa badan hukum adalah suatu badan yang membentuk
kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut.
Inti dari teori ini adalah difokuskan kepada pribadi-pribadi hukum yang nyata
sebagai sumber kepribadian hukumnya.
Dari berbagai teori yang dikemukakan di atas maka teori yang mendekati
kebenaran adalah teori konsesi dengan sedikit koreksi dari teori fiksi. Teori
konsesi ini ingin membatasi penerapan konsepsi realis atau organik pada
negara dan membatasi subjek hukum dari semua perhimpunan.
H. HIBAH
I. Pengertian Hibah
Perjanjian hibah diatur dalam Pasal 1666 s.d. Pasal 1693 KUH Perdata.
Penghibahan adalah suatu persetujuan, dengan mana seseorang penghibah
menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali,
untuk kepentingan seseorang menerima barang itu (Pasal 1666 ayat (1) KUH
Perdata).
Pada dasarnya perjanjian hibah merupakan perjanjian sepihak, karena yang
paling aktif untuk melakukan perbuatan hukum tersebut adalah si penghibah,
sedangkan penerima hibah adalah pihak yang pasif. Artinya penerima hibah
tidak perlu melakukan kewajiban yang timbal balik. Penerima hibah tinggal
menerima barang yang dihibahkan. Unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian
hibah, yaitu
a. adanya pemberi dan penerima hibah,
b. pemberi hibah menyerahkan barang kepada penerima hibah,
c. pemberian dengan cuma-cuma, dan
d. pemberian itu tidak dapat ditarik kembali.
Pengertian tidak dapat ditarik kembali adalah bahwa pemberian yang telah
diberikan oleh pemberi hibah tidak dapat ditarik atau dicabut kembali dari penerima
hibah.
2. Subjek dan Objek Hibah
Pihak yang terikat dalam perjanjian hibah adalah penghibah (pemberi hibah)
dan yang menerima hibah (penerima hibah). Syarat adanya perjanjian hibah,
yaitu
a. perjanjian hibah hanya dapat dilakukan antara orang yang masih hidup
(Pasal 1666 ayat (2) KUH Perdata);
b. perjanjian hibah hanya dibolehkan terhadap barang-barang yang sudah ada
pada saat penghibaan terjadi (Pasal 1667 KUH Perdata);
c. perjanjian hibah harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUH
Perdata).
Pada perinsipnya perjanjian hibah tidak dapat dicabut dan dibatalkan oleh
pemberi hibah, namun ada tiga pengecualiannya, yaitu
a. jika syarat-syarat penghibaan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah;
b. jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan
usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah (pemberi
hibah);
c. jika pemberi hibah jatuh miskin, sedangkan penerima hibah menolak untuk
memberi nafkah kepadanya (Pasal 1688 KUH Perdata).
3. Bentuk Perjanjian Hibah
Bentuk perjanjian hibah diatur dalam Pasal 1682 sampai dengan Pasal 1687
KUH Perdata. Di dalam Pasal 1682 KUH Perdata ditentukan bahwa suatu
perjanjian hibah dikatakan sah apabila dilakukan dengan akta notaris, yang asli
disimpan oleh Notaris. Ketentuan itu ada pengecualiannya. Artinya bahwa perjanjian
yang tidak perlu dibuat dengan akta Notaris adalah seperti pemberian benda
bergerak yang bertubuh atau surat-surat penagihan utang kepada si penunjuk dari
tangan satu ke tangan lainnya. Penyerahan dengan tanpa akta tetap dikatakan sah
(Pasal 1687 KUH Perdata).
I. PENITIPAN BARANG
1. Pengertian Penitipan Barang
Istilah penitipan barang merupakan terjemahan dari istilah bewargeving.
Penitipan barang diatur dalam Pasal 1694 s.d. Pasal 1739 KUH Perdata. Di
dalam Pasal 1694 KUH Perdata tidak dicantumkan pengertian penitipan barang,
namun hanya disebutkan momentum terjadinya penitipan barang. Penitipan barang
terjadi apabila seseorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat
bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikan dalam wujud asalnya (Pasal
1694 KUH Perdata). Algra mengemukakan pengertian bewargeving. Bewargeving
adalah perjanjian untuk menyimpan barang orang lain dan mengembalikannya,
baik dengan maupun tanpa pembayaran (Algra, 1983: 52). Esensi definisi ini
adalah adanya penyimpanan barang orang lain. Penyimpan barang itu dapat
dilakukan tanpa adanya bayaran maupun dengan adanya bayaran.
2. Jenis-Jenis Penitipan Barang
Penitipan barang dibagi dua macam, yaitu
(1) penitipan mumi (sejati), dan
(2) penitipan sekestrasi (penitipan dalam perselisihan).
Penitipan murni dapat dilakukan dengan cuma-cuma dan hanya dikhususkan
kepada barang bergerak.
Ada dua cara terjadinya penitipan murni (sejati), yaitu
a. sukarela, artinya penitipan barang terjadi karena sepakat secara timbal balik
antara yang menitipkan dan pihak yang menerima titipan. Penitipan cara ini
dilakukan oleh orang yang cakap melakukan perbuatan hukum;
b. terpaksa, yaitu penitipan yang terpaksa dilakukan oleh seseorang karena
timbulnya malapetaka. Misalnya, kebakaran, banjir, dan lain-lain
Sekestrasi adalah penitipan barang kepada pihak ketiga, yang disebabkan
adanya perselisihan antara si penitip dengan pihak lainnya atau karena adanya
perintah hakim (Pasal 1730 KUH Perdata). Penyebab terjadinya sekestrasi adalah
1) adanya perselisihan, dan
2) adanya perintah hakim.
Ada dua cara terjadinya sekestrasi, yaitu
a. sekestrasi karena persetujuan. Sekestrasi ini terjadi apabila barang yang
menjadi sengketa diserahkan kepada pihak ketiga oleh salah seorang atau
secara sukarela;
b. sekestrasi karena perintah hakim. Terjadinya sekestrasi ini jika hakim
memerintahkan supaya barang sengketa dititipkan pada seseorang. Manfaat
sekestrasi ini adalah kepentingan pengadilan diperintahkan kepada seseorang
yang disetujui oleh para pihak atau kepada seseorang yang ditetapkan oleh
hakim karena jabatannya.
Kewenangan hakim dalam sekestrasi adalah
a. memerintahkan sekestrasi barang bergerak yang telah disita dari tangan
orang yang berutang;
b. barang bergerak dan tidak bergerak, di mana hak miliknya atau penguasaannya
dalam sengketa;
c. barang-barang yang ditawarkan oleh seseorang yang berutang untuk melunasi
utangnya.
Sekestrasi dikhususkan terhadap barang bergerak dan tidak bergerak.
3. Subjek dan Objek dalam Perjanjian Penitipan Barang
Pada dasarnya, ada dua pihak yang terikat dalam perjanjian penitipan barang,
yaitu bewaargever dan bewciarnemer. Bewaargever adalah orang yang me
nyerahkan barang untuk disimpan. Sedangkan bewaarnemer adalah Orang yang
menerima barang untuk disimpan. Di samping itu, dikenal juga dengan istilah
bewaarder. Bewaarder, yaitu penyimpan yang ditentukan oleh juru sita untuk
menyimpan barang hasil sitaan dengan menerima ongkos simpan. Objek dalam
penitipan barang ini adalah barang bergerak maupun tidak bergerak.
4. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Penitipan Barang
Hubungan kontraktual antara bewaargever dan bewaarnemer akan
menimbulkan hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban bagi yang menyimpan
barang (bewaarnemer):
a. memelihara barang dengan sebaik-baiknya,
b. mengembalikan barang tersebut kepada penitipnya, dan
c. pemeliharaan harus dilakukan secara hati-hati. Kewajiban ini harus dilakukan
secara lebih teliti jika:
(1) penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan
barang tersebut,
(2) penyimpanan dijanjikan untuk mendapat upah,
(3) penitipan terjadi dilakukan untuk keperluan penyimpan, dan
(4) telah diperjanjikan si penerima titipan akan menanggung segala
kelalaiannya (Pasal 1707 KUH Perdata).
Hak-hak si penyimpan barang:
a. penggantian biaya untuk mempertahankan barang,
b. penggantian kerugian yang diderita dalam menyimpanan barang, dan
c . menahan barang sebelum penggantian biaya dan kerugian diterima dari penitip.
Hak penitip adalah menerima barang yang telah dititip secara utuh. Kewajiban
nya:
a. memberikan upah kepada penyimpan, dan
b. memberikan penggantian biaya dan rugi kepada penyimpan.
J. PINJAM PAKAI
1. Pengertian Pinjam Pakai
Pinjam pakai diatur dalam Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1753 KUH
Perdata. Pinjam pakai adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan
cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah memakainya
atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu akan mengembalikan (Pasal 1740
KUH Perdata). Pihak yang meminjamkan tetap menjadi pemilik barang yang
dipinjamkan.
2. Hak dan Kewajiban
Kewajiban orang yang menerima pinjaman adalah
a. menyimpan dan memelihara barang yang dipinjamnya sebagai seorang bapak
rumah yang baik (Pasal 1744 KUH Perdata);
b. mengembalikan barang yang dipinjamnya tepat waktu, sesuai dengan kese
pakatan.
Apabila barang yang dipinjam oleh yang menerima pinjaman itu musnah
atau rusak maka ia bertanggung jawab atas musnahnya barang tersebut.
Kewajiban dari pemberi pinjaman adalah
a. tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamnya kecuali lewat waktu
yang ditentukan (Pasal 1750 KUH Perdata);
b. menyerahkan barang yang dipinjamnya.
Hak pemberi pinjaman adalah menerima kembali barang yang telah
dipinjamnya.
K. PERJANJIAN PINJAM-MEMINJAM (PAKAI HABIS)
1. Pengertian
Pinjam-meminjam (pakai habis) diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal
1762 KUH Perdata. Yang dimaksud dengan pinjam-meminjam (pinjam pakai habis)
adalah suatu perjanjian yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah
uang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak
kedua tersebut akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak lain dalam
jumlah dan keadaan yang sama (Pasal 1754 KUH Perdata).
Berdasarkan definisi di atas maka orang yang menerima pinjaman menjadi
pemilik mutlak barang pinjaman itu dan bila barang itu musnah maka yang
bertanggung jawab adalah peminjam itu sendiri.
2. Subjek dan Objek Pinjam Pakai Habis
Subjek dalam perjanjian pinjam-meminjam (pakai habis) adalah pemberi
pinjaman (kreditur) dan penerima pinjaman (debitur). Kreditur adalah orang yang
memberikan pinjaman uang kepada debitur, sedangkan debitur adalah orang yang
menerima pinjaman dari kreditur. Sedangkan yang menjadi objek pinjam-meminjam
(pakai habis) adalah semua barang-barang yang habis dipakai, dengan syarat
barang itu harus tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan.
3. Hak dan Kewajiban
Hak dan kewajiban antara pemberi dan penerima pinjaman diatur dalam
Pasal 1759 sampai dengan Pasal 1764 KUH Perdata. Hak dari peminjam adalah
menerima barang yang dipinjam dari pemberi pinjaman. Kewajiban pemberi pinjaman
tidak dapat meminta kembali barang yang diperpinjamkan sebelum lewat waktu
yang ditentukan dalam perjanjian.
Kewajiban dari peminjam adalah mengembalikan barang yang dipinjam dalam
jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang diperjanjikan (Pasal 1763
KUH Perdata). Jika ia tidak mampu memenuhi kewajibannya maka ia diwajibkan
membayar harga barang yang dipinjamnya, dengan syarat ia harus memperhatikan
waktu dan tempat di mana barangnya, sesuai dengan kontrak (Pasal 1763 KUH
Perdata). Yang menjadi hak dari peminjam adalah menerima barang yang dipinjam,
pakai habis.
4. Peminjaman dengan Bunga
Pada dasarnya, peminjaman uang atau barang yang habis dalam pemakaian,
diperbolehkan untuk membuat syarat bahwa atas pinjaman itu akan dibayarkan
bunga (Pasal 1765 KUH Perdata). Akan tetapi, apabila tidak diperjanjikan maka
tidak ada kewajiban dari peminjam untuk membayarkan bunga tersebut. Jika
peminjam telah membayar bunga yang tidak diperjanjikan maka peminjam tidak
dapat meminta kembali bunga tersebut dan tidak dapat menguranginya dari pinjaman
pokok, kecuali bunga yang dibayar melampaui bunga yang ditentukan oleh undang-
undang.
Bunga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
a. bunga yang ditentukan dalam undang-undang;
b. bunga yang didasarkan pada perjanjian (Pasal 1767 KUH Perdata).
Bunga menurut undang-undang adalah bunga yang ditentukan menurut undang-
undang. Bunga yang ditentukan oleh undang-undang sebesar 6%/tahun, sedangkan
menurut Staatsblaad Tahun 1976 Nomor 239, bunga yang ditetapkan dalam undang-
undang berkisar antara 8 sampai dengan 10%/tahun. Dalam praktiknya, bunga
perbankan berkisar antara 18 sampai dengan 24%/tahun. Sedangkan bunga menurut
perjanjian adalah bunga yang ditentukan besarnya oleh para pihak, berdasarkan
atas kesepakatan yang dibuat antara mereka. Bunga berdasarkan perjanjian ini
boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang dilarang
oleh undang-undang. Di dalam praktik di masyarakat kita, bunga menurut perjanjian
ini seringkali ditentukan oleh salah satu pihak, terutama pemilik uang dan bunga
yang ditentukan sangat tinggi, yaitu berkisar antara 5-7%/bulan. Ini berarti dalam
setahun bunganya berkisar antara 60-84%. Bunga sebesar ini sungguh mem
beratkan bagi peminjam. Ini menunjukkan bahwa kedudukan peminjam berada
pada posisi yang lemah, sehingga apa yang ditawarkan oleh pemilik uang selalu
diterima dengan terpaksa oleh nasabah tersebut.
L. BUNGA TETAP ATAU BUNGA ABADI
Bunga tetap atau bunga abadi diatur dalam Pasal 1770 sampai dengan Pasal
1773 KUH Perdata. Perjanjian bunga abadi merupakan perjanjian bahwa pihak
yang memberikan pinjaman uang akan menerima pembayaran bunga atas sejumlah
uang pokok yang tidak akan dimintanya kembali (Pasal 1770 KUH Perdata).
Bunga itu dapat diangsur. Hanya kedua belah pihak dapat mengadakan kesepakatan
bahwa angsuran itu tidak boleh dilakukan sebelum lewat waktu tertentu, yang
tidak boleh ditetapkan lebih lama dari 10 (sepuluh) tahun, atau tidak boleh di
lakukan sebelum diberitahukan kepada kreditur dengan suatu tenggang waktu,
yang sebelumnya telah ditetapkan oleh mereka, tetapi tidak boleh lebih lama dari
1 (satu) tahun (Pasal 1771 KUH Perdata). Sebagai contoh Indonesia telah berutang
pada negara donor, seperti CGI, IMF, ADB, dan lain-lain. Bunga yang ditetapkan
oleh pemberi pinjaman sangat kecil, yaitu 5-10%/tahun dan jangka waktunya,
berkisar antara 10 sampai 30 tahun.
Seorang berutang bunga abadi dapat dipaksa mengembalikan uang pokok:
a. jika ia tidak membayar apa pun dari bunga yang harus dibayarnya selama 2
(dua) tahun berturut-turut;
b. jika ia lalai memberikan jaminan yang dijanjikan kepada kreditur;
c. jika ia dinyatakan pailit atau dalam keadaan benar-benar tidak mampu mem
bayar (Pasal 1772 KUH Perdata).
Dalam hal yang pertama dan kedua, debitur dapat membebaskan diri dari
kewajiban mengembalikan uang pokok, jika dalam waktu 20 (dua puluh) hari
terhitung ia mulai diperingatkan dengan perantaraan hakim, ia membayar angsuran-
angsuran yang sudah harus dibayarnya atau memberikan jaminan yang dijanjikan.
M. PERJANJIAN UNTUNG-UNTUNGAN
1. Istilah dan Pengertian Perjanjian Untung-untungan
Istilah perjanjian untung-untungan berasal dari terjemahan kansovereenkomst
(Belanda). Perjanjian ini diatur di dalam Bab XV Buku III KUH Perdata.
Jumlah pasal yang mengatur tentang perjanjian untung-untungan sebanyak 18
pasal, yang dimulai dari Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791 KUH Perdata.
Konsep teoretis tentang perjanjian untung-untungan dapat dilihat dalam Pasal
1774 KUH Perdata. Perjanjian untung-untungan adalah
’’Suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenai untung ruginya, baik bagi
semua pihak maupun bagi sementara pihak, yang tergantung pada suatu
kejadian yang belum pasti.”
Selanjutnya di dalam Artikel 1811 NBW disebutkan juga pengertian perjanjian
untung-untungan. Perjanjian untung-untungan ialah
’’Suatu perjanjian, di mana suatu hasil untung rugi bagi kedua belah pihak
tidak dapat dipastikan terlebih dahulu, tetapi didasarkan pada suatu kejadian
yang belum pasti.”
Kedua definisi itu mekonstruksikan perjanjian untung-untungan merupakan
perjanjian yang belum pasti. Belum pasti ini berarti bahwa hasil yang diperoleh
dari kegiatan itu belum tentu ada. Hasil yang diperoleh dari perjanjian ini tergantung
pada faktor nasib dari para pihak.
2. Jenis-Jenis Perjanjian Untung-untungan
Perjanjian untung-untungan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu
(1) perjanjian pertanggungan (asuransi),
(2) bunga cagak hidup, dan
(3) perjudian dan pertaruhan (Pasal 1774 KUH Perdata).
Perjanjian pertanggungan (asuransi) diatur di dalam KUH Dagang, sedangkan
jenis kedua dan ketiga diatur di dalam KUH Perdata. Dengan demikian sehingga
di sini berlaku asas lex specialis derogaat lex generale, artinya undang-
undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.
Walaupun di dalam KUH Perdata hanya diatur secara singkat tentang asuransi,
namun secara khusus hal itu diatur dalam KUH Dagang.
Di dalam subbab ini akan dipaparkan jenis perjanjian untung-untungan yang
kedua dan ketiga, yaitu bunga cagak hidup dan perjudian dan pertaruhan, karena
kedua hal itu diatur di dalam KUH Perdata, sedangkan hal yang pertama, yaitu
pertanggungan akan dikaji oleh ahli lainnya.
3. Bunga Cagak Hidup
a. Pengertian Bunga Cagak Hidup
Istilah bunga cagak hidup berasal dari terjemahan lijfrente. Di dalam KUH
Perdata tidak kita temui pengertian bunga cagak hidup, yang ada hanya
tentang cara terjadinya bunga cagak hidup dan orang-orang yang berhak
untuk mendapat cagak hidup. Vollmar mengartikan bunga cagak hidup, yaitu
’’Bunga yang harus dibayar selama hidupnya atau selama bagian dari hidupnya
seorang tertentu, yang karena itu lantas ada harapan, bahwa di situ hanya
perlu dibayarkan (uang) sedikit saja atau sama sekali tidak perlu dibayar apa-
apa atau di situ perlu dibayarkan bunga yang sangat tinggi jumlahnya, satu
dan lain dengan mengingat orang di atas dirinya bunga itu ditanamkan atau
panjang umurnya.” (Vollmar, tt: 408—409)
Inti dari definisi cagak hidup ini adalah pemberian biaya hidup kepada seorang
tertentu. Definisi yang agak jelas dapat kita baca dalam Kamus Hukum dan
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Di dalam Kamus Hukum disebutkan bahwa
bunga cagak hidup atau lijfrente adalah
’’Pembayaran berkala yang dibayar selama hidup orang tertentu, atau selama
waktu tertentu, asal saja orang tersebut masih hidup.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bunga cagak hidup adalah
’’Uang atau bunga yang harus dibayarkan setiap tahun (bulan) kepada orang
yang ditunjuk selama ia masih hidup atau dalam beberapa waktu tertentu
untuk keperluan sehari-harinya.”
Kedua definisi itu tidak disebutkan siapa yang memberikan bunga tersebut
kepada orang tertentu. Yang ada hanya penerima bunga cagak hidup, yang
diberikan selama masih hidup. Apabila yang bersangkutan meninggal dunia
maka pemberian bunga cagak hidup itu menjadi tidak berlaku lagi. Konstruksi
ini analog dengan trust yang dikenal di dalam common law. Di dalam trust,
jelas siapa pemberi dan yang menerima atau yang mengelola uang, sedangkan
dalam bunga cagak hidup tidak dijelaskan pemberi cagak hidup. Oleh karena
berbagai definisi itu kurang jelas, maka penulis mencoba memberikan definisi
yang mendekati kebenaran. Bunga cagak hidup adalah
’’Bunga yang dibayarkan setiap tahun (bulan) oleh seseorang kepada orang-
orang yang ditunjuk selama ia masih hidup atau selama waktu tertentu
untuk keperluan sehari-hari.”
Unsur yang tampak dalam definisi ini adalah
1) adanya bunga,
2) adanya pemberi dan penerima,
3) jangka waktu tertentu, yaitu selama masih hidup, dan
4) untuk keperluan hidup sehari-hari.
Cara Terjadinya Bunga Cagak Hidup
Cara terjadinya bunga cagak hidup diatur dalam Pasal 1775 KUH Perdata.
Cara terjadinya bunga cagak hidup dibagi menjadi 3 (tiga) cara, yaitu
1) perjanjian,
2) hibah, dan
3) wasiat.
Terjadinya bunga cagak hidup karena perjanjian adalah suatu cara terjadinya
disebabkan oleh adanya perjanjian antara para pihak yang mengadakan
bunga cagak hidup. Misalnya, A berjanji pada B untuk memberikan bunga
cagak hidup selama hidupnya. Besarnya bunga cagak hidup yang diserahkan
kepada B sebesar Rp50.000,00/bulan. Uang sebanyak itulah digunakan oleh
B untuk biaya hidupnya selama 1 (satu) bulan. Terjadinya karena hibah
adalah terjadinya bunga cagak hidup yang didasarkan pada suatu pemberian
dari si pemilik uang kepada yang menerimanya. Misalnya, A menghibahkan
bunga cagak hidup yang ada di bank untuk kepentingan B. Sedangkan
terjadinya bunga cagak hidup karena wasiat suatu cara terjadinya bunga
cagak hidup adanya pesan dari seseorang kepada orang lainnya. Misalnya
A membuat surat wasiat pada Notaris, bahwa uang cagak hidup sebesar
Rp5.000.000,00 diserahkan kepada B untuk biaya hidupnya. Biasanya wasiat
seperti itu baru berlaku atau dibuka setelah pemberi wasiat meninggal dunia.
c. Orang yang Berhak Menerima Bunga Cagak Hidup
Orang yang berhak menerima bunga cagak hidup ini diintrodusir dalam
Pasal 1776 sampai dengan Pasal 1778 KUH Perdata. Orang yang berhak
menerima bunga cagak hidup, yaitu
1) atas diri orang yang memberikan pinjaman,
2) atas diri orang yang diberi manfaat dari bunga tersebut,
3) atas diri seorang pihak ketiga, walaupun orang ini tidak mendapat
manfaat daripadanya,
4) atas diri satu orang atau lebih, dan
5) dapat diadakan untuk seorang pihak ketiga, meskipun uangnya diberikan
oleh orang lain.
Pada dasarnya bunga cagak hidup hanya diberikan kepada orang yang
masih hidup, sedangkan bagi orang yang sudah meninggal pada hari perjanjian
tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum.
4. Perjudian dan Pertaruhan
Perjudian dan pertaruhan diatur di dalam Pasal 1788 sampai dengan Pasal
1791 KUH Perdata. Perjudian merupakan perbuatan untuk mempertaruhkan
sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan,
dengan tujuan untuk mendapatkan harta yang lebih besar daripada jumlah uang
atau harta semula. Sedangkan pertaruhan adalah uang atau harta benda yang
dipasang ketika berjudi. Secara sosiologis banyak kegiatan-kegiatan berkaitan
dengan perjudian dan pertaruhan, seperti misalnya judi kupon putih, judi ayam,
dan lain-lain.
Perjudian dan pertaruhan ini termasuk dalam perikatan wajar (natuurlijk
verbintenis). Artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian tidak
mempunyai hak untuk menuntutnya ke pengadilan, apabila salah satu pihak
wanprestasi (Pasal 1788 KUH Perdata). Ini disebabkan karena perjanjian ini
bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Di
dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Perjudian disebutkan bahwa
perjudian pada hakikatnya bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral/,
Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan bangsa dan
negara. Walaupun perjudian dan pertaruhan itu dilarang, namun ada pengecualiannya,
yaitu dalam permainan-permainan yang dapat dipergunakan untuk olahraga,
seperti anggar, lari cepat, dan lain-lain (Pasal 1789 KUH Perdata). Pertaruhan
dan perjudian dalam permainan olahraga ini dibolehkan, tetapi nilai perjudian dan
pertaruhannya apabila melebihi nilai kepantasan maka hakim dapat menolak
gugatan tersebut.
Apabila pihak yang kalah dalam judi dan pertaruhan secara sukarela mem
bayar uang tersebut, sekali-kali tidak dapat menuntut kembali uangnya, kecuali
bila pihak yang menang itu telah melakukan kecurangan dan penipuan (Pasal
1791 KUH Perdata).
N. PEMBERIAN KUASA
1. Pengertian Pemberian Kuasa
Perjanjian pemberian kuasa atau disebut juga dengan lastgeving. Lastgeving
diatur di dalam Pasal 1792 s.d. Pasal 1818 KUH Perdata, sedangkan di dalam
NBW Belanda, lastgeving diatur pada Artikel 1829. Perjanjian pemberian kuasa
adalah suatu perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain
yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi
kuasa (Pasal 1792 KUH Perdata). Algra, dkk mendefinisikan pemberian kuasa
adalah
’’Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kuasa kepada
pihak yang lain (penerima kuasa/lasthebber), yang menerimanya-untuk
atas namanya sendiri atau tidak-menyelenggarakan satu perbuatan hukum
atau lebih untuk yang memberi kuasa itu.” (Algra, dkk., 1983: 260)
Selanjutnya Algra mengemukakan ciri-ciri dari perjanjian pemberian kuasa,
yaitu
a. bebas bentuk, artinya dapat dibuat dalam bentuk lisan atau tertulis, dan
b. persetujuan timbal balik para pihak telah mencukupi.
2. Jenis-Jenis Pemberian Kuasa
Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan
menjadi enam macam, yaitu
a. akta umum,
b. surat di bawah tangan,
c . lisan,
d. diam-diam,
e. cuma-cuma,
f. kata khusus, dan
g. umum (Pasal 1793 s.d. Pasal 1796 KUH Perdata).
Pemberian kuasa dengan akta umum adalah suatu pemberian kuasa yang
dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta
notaris atau akta notariel. Artinya bahwa pemberian kuasa itu dilakukan di
hadapan dan di muka Notaris. Dengan demikian pemberian kuasa mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna. Pemberian kuasa dengan surat di bawah
tangan adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa
dengan penerima kuasa, artinya surat pemberian kuasa itu hanya dibuatkan oleh
para pihak. Pemberian kuasa secara lisan adalah suatu kuasa yang dilakukan
secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Pemberian kuasa
secara diam-diam adalah suatu kuasa yang dilakukan secara diam-diam oleh
pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Sedangkan pemberian kuasa secara
cuma-cuma adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa
dengan penerima kuasa, artinya penerima kuasa tidak memungut biaya dari
pemberi kuasa.
Pemberian kuasa khusus, yaitu suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara
pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya pemberian kuasa itu hanya
mengenai kepentingan tertentu saja atau lebih dari pemberi kuasa. Sedangkan
pemberian kuasa umum, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan oleh pemberi
kuasa kepada penerima kuasa, artinya isi atau substansi kuasanya bersifat umum
dan segala kepentingan diri pemberi kuasa.
3. Subjek dan Objek Pemberian Kuasa
Subjek dalam perjanjian pemberian kuasa adalah pemberi kuasa dan penerima
kuasa. Yang menjadi pokok perjanjian pemberian kuasa adalah dapat satu atau
lebih perbuatan hukum dalam hukum harta kekayaan.
4. Bentuk dan Isi Perjanjian Pemberian Kuasa
Di dalam Pasal 1793 KUH Perdata ditentukan bentuk perjanjian pemberian
kuasa. Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan akta autentik, dalam bentuk
tulisan di bawah tangan, dan dengan lisan. Pemberian kuasa dengan akta autentik
adalah suatu pemberian kuasa, yang dibuat antara pemberi kuasa dan penerima
kuasa, artinya perjanjian kuasa itu dibuat di muka dan di hadapan notaris.
Pemberian kuasa dalam bentuk tulisan di bawah tangan merupakan perjanjian
pemberian kuasa yang dibuat secara tertulis antara pemberi kuasa dan penerima
kuasa. Perjanjian pemberian kuasa secara lisan merupakan perjanjian pemberian
kuasa, artinya pihak pemberi kuasa memberikan kuasa secara lisan kepada
penerima kuasa tentang hal yang dikuasakannya.
Isi pemberian kuasa ditentukan oleh pihak pemberi kuasa. Pemberi kuasa
biasanya memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk mewakilinya, baik di
luar pengadilan maupun di muka pengadilan. Suatu contoh pemberian kuasa di
luar pengadilan, yaitu penerima kuasa dikuasakan untuk menandatangani perjanjian
kredit. Ini disebabkan pemberi kuasa pada saat akan menandatangani perjanjian
kredit tidak berada di tempat. Sehingga penerima kuasa yang mewakili
menandatangani perjanjian kredit tersebut. Begitu juga di pengadilan, pemberi
kuasa menguasakan kepada seorang pengacara untuk mewakilinya di pengadilan.
Ini disebabkan kurangnya kemampuan dan pengetahuan dari pemberi kuasa
dalam bidang hukum. Pemberi kuasa merasa tenang dan aman dalam mem
perjuangkan hak-haknya di pengadilan apabila yang mewakilinya mempunyai
kemampuan dan pengetahuan hukum yang luas. Sehingga, pada gilirannya ia
akan mendapatkan hak yang dituntutnya di pengadilan. Biasanya surat kuasa
yang dibuat antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, baik di luar pengadilan
maupun di pengadilan merupakan surat kuasa khusus. Berikut ini disajikan sebuah
contoh surat kuasa dalam perjanjian kredit bank.
SURAT KUASA
Nomor: Sembilan
Pada hari ini, hari Selasa, tanggal lima belas November Dua Ribu Dua,
telah menghadap di muka saya, Abdurrahim Sarjana Hukum, di dalam hal ini
bertindak sebagai Wakil Notaris Sementara, bertempat kedudukan di Mataram,
yang untuk itu diangkat dengan Surat Keputusan Pengadilan Negeri Mataram,
, tanggal, 3 (tiga) Maret 1982 (seribu sembilan ratus delapan dua) Nomor: 03/
PN.MTR/II.SK/UP/1982 (nol tiga garis miring PN titik MTR garis miring dua
romawi titik SK garis miring UP garis miring seribu sembilan ratus delapan
puluh dua). Jo Surat Keputusan Kepala Pengadilan Negeri Mataram di Ampenan
tertanggal 6 (enam) April 1966 (seribu sembilan ratus enam puluh enam), nomor
14 (empat belas), di muka dua orang saksi yang telah saya kenal dan yang
nama-namanya akan disebut pada akhir akta ini:
1. Tuan Salim, H.S. Sarjana Hukum, Dosen Fakultas Hukum Universitas
Mataram, bertempat tinggal di Jalan Towuti 1/6 Komplek Perum Perumnas
Mataram (Lombok Barat), menurut keterangannya di dalam hal ini bertindak
untuk diri sendiri.
Penghadap telah saya, Wakil Notaris Sementara, kenal. Penghadap dalam
kedudukan dan tindakannya tersebut di atas lebih lanjut menerangkan kepada
saya, Wakil Notaris Sementara, bahwa dengan ini memberi kuasa kepada:
2. Nyonya Mardiana, Guru SDN Nomor IV Karang Pule Ampenan-Mataram
(Lombok Barat), bertempat tinggal di Jalan Towuti 1/6 Perum Perumnas
Mataram (Lombok Barat), yang selanjutnya disebut Yang Diberi Kuasa.
KHUSUS
Untuk mewakili penghadap dalam kedudukan dan tindakannya seperti
diuraikan di depan, yang selanjutnya disebut Yang Memberi Kuasa di mana-
mana dan terhadap siapa pun juga baik instansi-instansi pemerintah maupun
swasta dan badan-badan lainnya, dalam hal pengurusaan, penyelesaian, dan
penandatanganan segala macam surat yang berhubungan dengan Akta Jual Beli
dan Penyerahan Hak Penggunaan Atas Tanah dan Realisasi Perjanjian Kredit
Pemilikan Rumah dari Bank Tabungan Negara Cabang Denpasar, atas:
Sebuah Bangunan Rumah Permanen (Proyek Rumah Murah) yang dibangun di
atas tanah Hak Guna Bangunan yang terletak di Jalan Towuti 1/6 Komplek
Perum Perumnas Mataram (Lombok Barat).
Demikian Yang Diberi Kuasa berhak:
Untuk mengurus, menyelesaikan, dan menandatangani segala macam surat yang
berhubungan dengan Akta Jual Beli dan penyerahan Hak Penggunaan Atas Tanah
dan Realisasi Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah yang dimaksud.
DEMIKIANLAH
Akta ini dibuat untuk menjadi bukti yang sah dan disahkan di Mataram, pada
hari, tanggal, bulan, dan tahun sebagai diterangkan pada awal akta ini di hadapan
saudara-saudara Ida Wayan Draka dan Saelan masing-masing menjadi pegawai
pada kantor Wakil Notaris Sementara di Mataram, masing-masing bertempat
tinggal di Cakranegara dan Ampenan sebagai saksi-saksi.
Seketika setelah akta ini dibacakan, lalu ditandatangani oleh penghadap, kedua
saksi dan saya, Wakil Notaris Sementara tersebut.
Terbuat dengan tidak memakai tambahan, perubahan maupun pencoretan.
Sudah ditandatangani oleh:
1. Salim H.S., S.H.
2. Ida Wayan Draka
3. Saelan
4. Abdurrahim, S.H
Diberikan untuk turunan yang berbunyi;
Wakil Notaris Sementara
ttd.
Abdurrahim S.H.
Substansi surat kuasa ini telah dirumuskan oleh notaris. Para pihak tinggal
menjelaskan tentang isi surat kuasa secara umum dan selanjutnya para notarislah
yang merumuskan substansi surat kuasa tersebut. Hal-hal yang tercantum dalam
surat kuasa di atas, meliputi:
a. tanggal para pihak menghadap notaris;
b. subjek hukum, yaitu pihak pemberi kuasa, yaitu Salim H.S. dan penerima
kuasa, yaitu Mardiana;
c. sifat surat kuasa, yaitu surat kuasa khusus;
d. objek pemberian kuasa, yaitu mengurus, menyelesaikan, dan menandatangani
segala macam surat yang berhubungan dengan akta jual beli dan penyerahan
hak penggunaan atas tanah dan realisasi perjanjian kredit pemilikan rumah;
e. adanya dua orang saksi.
Surat kuasa yang dibuat oleh para pihak sebagai bukti yang sah. Dengan
adanya surat kuasa tersebut, pihak Bank Tabungan Negara akan merealisasikan
perjanjian kredit pemilikan rumah antara Salim H.S. dengan bank. Sedangkan
Salim H.S. sendiri diwakili oleh penerima kuasa, yaitu Mardiana.
Di samping contoh surat kuasa di atas, berikut ini juga disajikan contoh
surat kuasa antara seorang klien dengan seorang pengacara.
SURAT KUASA KHUSUS
Yang bertanda tangan di bawah ini : -----------------------------------------------------
Ali S. Bawazir, Pekerjaan swasta, Umur 60 tahun, beralamat di Jalan
Utama V No. 5 RT 005 RW 005 Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan
Duren Sawit Kodya Jakarta Timur, selanjutnya disebut sebagai : -----
’’Pemberi Kuasa”,
dengan ini menerangkan dan memberi kuasa kepada :
M. Irawan Dilaga, S.H., Pengacara Praktik berkedudukan di Wilayah Pengadilan
Negeri Dompu Berdasarkan Surat Keputusan Ketua PT Mataram dengan SK
No. W.24 DMT-03-HK-02.08 tanggal 9 November 1998, bertempat tinggal di
Jalan Merapi No. 16 A Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat,
selanjutnya disebut sebagai : -----------------------------------------------------------------
---------------------------------------- ’’Penerima Kuasa” -------------------------------------
-------------------------------------------- KHUSUS---------------------------------------------
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa, mewakili Pemberi Kuasa dalam Tingkat
Banding sebagai Penggugat/Terbanding dalam Perkara No. /PDT.G/2001/
PN.MTR, di Pengadilan Tinggi Mataram. Untuk itu yang diberi kuasa dikuasakan
untuk menghadap dan menghadiri semua persidangan, menghadap hakim-hakim,
menerima, mengajukan dan menandatangani surat-surat, permohonan-
permohonan, memori-memori, kesimpulan-kesimpulan (konklusi-konklusi), meminta
atau memberikan segala keterangan yang diperlukan, penting, perlu, dan berguna
sehubungan dengan pembelaan/menjalankan perkara, serta dapat mengerjakan
segala sesuatu pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan oleh seorang kuasa/
wakil guna kepentingan tersebut di atas, juga untuk mengajukan permohonan
kasasi.
Penerima Kuasa,
ttd.
Mataram, 10 Januari 2002
Pemberi Kuasa,
ttd.
M. Irawan Dilaga, S.H. Ali S. Bawazir
Surat Kuasa ini telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Mataram
pada hari: ,Tanggal Januari 2002 di bawah Register Nomor:
Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Mataram
ttd.
Lanabe. S.H.
NIP 040019994
Hal-hal yang tercantum dalam surat kuasa antara klien dengan seorang
lawyer, meliputi:
1. pemberi kuasa dan penerima kuasa, yaitu Ali S. Bawazir dan Irawan Dilaga,
S.H.;
2. objek pemberian kuasa adalah mewakili pemberi kuasa dalam perkara tingkat
banding;
3. surat kuasa didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dimaksudkan supaya perjanjian
pemberian kuasa dapat digunakan dalam mewakili klien pada Pengadilan Tingkat
Banding.
5. Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa
Hubungan hukum yang terjadi antara pemberi kuasa dan penerima akan
menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban
para pihak. Kewajiban penerima kuasa disajikan berikut ini.
a. Melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian,
dan bunga yang timbul dari tidak dilaksanakannya kuasa itu.
b. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi
kuasa meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikan.
c. Bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
dan kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
d. Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah dilakukan,
serta memberi perhitungan segala sesuatu yang diterimanya.
e. Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya
dalam melaksanakan kuasanya:
(1) bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya;
(2) bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan
orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu
(Pasal 1800 s.d. Pasal 1803 KUH Perdata).
Hak penerima kuasa adalah menerima jasa dari pemberi kuasa. Hak pemberi
kuasa adalah menerima hasil atau jasa dari penerima kuasa. Kewajiban pemberi
kuasa adalah
a. memenuhi perjanjian yang telah dibuat antara penerima kuasa dengan pemberi
kuasa;
b. mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan penerima kuasa;
c. membayar upah kepada penerima kuasa;
d. memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian yang dideritanya
sewaktu menjalankan kuasanya;
e. membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan penerima kuasa,
terhitung mulai dikeluarkannya persekot tersebut (Pasal 1807 s.d. Pasal 1810
KUH Perdata).
6. Berakhirnya Pemberian Kuasa
Ada lima cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu
a. penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa;
b. pemberitahuan penghentian kuasanya oleh pemberi kuasa;
c. meninggalnya salah satu pihak;
d. pemberi kuasa atau penerima berada di bawah pengampuan; atau
e. pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa;
f. kawinnya perempuan yang memberi dan menerima kuasa (Pasal 1813 KUH
Perdata).
0 . PERJANJIAN PENANGGUNGAN UTANG
1. Sifat Perjanjian Penanggungan Utang
Perjanjian penanggungan utang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan
Pasal 1850 KUH Perdata. Penanggungan adalah suatu perjanjian, di mana
pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya untuk memenuhi
perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820
KUH Perdata).
Apabila diperhatikan definisi tersebut, maka jelaslah bahwa ada tiga pihak
yang terlibat dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu pihak kreditur, debitur,
dan pihak ketiga. Kreditur di sini berkedudukan sebagai pemberi kredit atau
utang, sedangkan debitur adalah orang yang mendapat pinjaman uang atau
kredit dari kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang akan menjadi penanggung
utang debitur kepada kreditur, manakala debitur tidak memenuhi prestasinya.
Sifat perjanjian penanggungan utang adalah bersifat accesoir (tambahan),
sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian kredit atau perjanjian pinjam
uang antara debitur dengan kreditur.
2. Akibat-Akibat Penanggungan antara Kreditur dan Penanggung
Pada prinsipnya, penanggung utang tidak wajib membayar utang debitur
kepada kreditur, kecuali jika debitur lalai membayar utangnya. Untuk membayar
utang debitur tersebut maka barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual
terlebih dahulu untuk melunasi utangnya (Pasal 1831 KUH Perdata).
Penanggung tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dulu
disita dan dijual untuk melunasi utangnya:
a. bila ia (penanggung utang) telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut
barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual;
b. bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur utama secara
tanggung-menanggung; dalam hal itu akibat-akibat perikatannya diatur
menurut asas-asas utang-utang tanggung menanggung;
c. bila debitur dapat mengajukan suatu eksepsi yang hanya mengenai dirinya
sendiri secara pribadi;
d. bila debitur dalam keadaan pailit;
e. dalam hal penanggungan yang diperintahkan hakim (Pasal 1832 KUH
Perdata).
3. Akibat-Akibat Penanggungan antara Debitur dan Penanggung dan
antara Para Penanggung
Hubungan hukum antara penanggung dengan debitur utama adalah erat
kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran utang debitur kepada kreditur.
Untuk itu, pihak penanggung menuntut kepada debitur supaya membayar apa
yang telah dilakukan oleh penanggung kepada kreditur. Di samping penanggung
utang juga berhak untuk menuntut:
a. pokok dan bunga;
b. penggantian biaya, kerugian, dan bunga.
Di samping itu, penanggung juga dapat menuntut debitur untuk diberikan
ganti rugi atau untuk dibebaskan dari suatu perikatannya, bahkan sebelum ia
membayar utangnya:
a. bila ia digugat di muka hakim untuk membayar;
b. bila debitur berjanji untuk membebaskannya dari penanggungannya pada
suatu waktu tertentu;
c. bila utangnya sudah dapat ditagih karena lewatnya jangka waktu yang
telah ditetapkan untuk pembayarannya;
d. setelah lewat waktu sepuluh tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung
suatu jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya, kecuali bila perikatan
pokok sedemikian sifatnya, sehingga tidak dapat diakhiri sebelum lewat waktu
tertentu.
Hubungan antara para penanggung dengan debitur disajikan berikut ini. Jika
berbagai orang telah mengikatkan dirinya sebagai penanggung untuk seorang
debitur dan untuk utang yang sama maka penanggung yang melunasi utangnya
berhak untuk menuntut kepada penanggung yang lainnya, masing-masing untuk
bagiannya.
4. Hapusnya Penanggungan Utang
Hapusnya penanggungan utang diatur dalam Pasal 1845 sampai dengan
Pasal 1850 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1845 KUH Perdata disebutkan
bahwa perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab
yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya. Pasal ini
menunjuk kepada Pasal 1381, Pasal 1408, Pasal 1424, Pasal 1420, Pasal 1437,
Pasal 1442, Pasal 1574, Pasal 1846, Pasal 1938, dan Pasal 1984 KUH Perdata.
Di dalam Pasal 1381 KUH Perdata ditentukan 10 (sepuluh) cara berakhirnya
perjanjian penanggungan utang, yaitu pembayaran; penawaran pembayaran tunai,
diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; pembaruan utang; kompensasi;
pencampuran utang; pembebasan utang; musnahnya barang yang terutang;
kebatalan atau pembatalan; dan berlakunya syarat pembatalan.
P. PERJANJIAN PERDAMAIAN
1. Pengertian Perjanjian Perdamaian
Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Perjanjian
perdamaian diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata.
Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu
perkara yang sedang diperiksa pengadilan atau mencegah timbulnya suatu perkara
(Pasal 1851 KUH Perdata). Definisi lain disebutkan bahwa perdamaian adalah
’’Persetujuan dengan mana kedua belah pihak atas dasar saling pengertian
mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung atau mencegah timbulnya
suatu sengketa.” (Art. 1888 NBW)
Unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian perdamaian:
a. adanya kesepakatan kedua belah pihak;
b. isi perjanjiannya menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang;
c. kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa;
d. sengketa tersebut sedang diperiksa atau untuk mencegah timbulnya suatu
perkara (sengketa).
2. Orang yang Berwenang Mengadakan Perdamaian
Pada dasarnya setiap orang dapat mengadakan perdamaian,- namun di dalam
Pasal 1852 KUH Perdata ditentukan bahwa orang yang berwenang untuk
mengadakan perdamaian adalah orang yang berwenang untuk melepaskan haknya
atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian itu. Sedangkan orang yang tidak
berwenang mengadakan perdamaian adalah:
a. para wali dan pengampu, kecuali jika mereka bertindak menurut ketentuan-
ketentuan dari Bab XV dan Bab XVII dalam Buku Kesatu KUH Perdata;
b. kepala-kepala daerah dan kepala lembaga-lembaga umum.
3. Objek Perdamaian
Objek perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1853 KUH Perdata. Adapun
objek perjanjian perdamaian adalah
a. Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang timbul
dari suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini, perdamaian sekali-
sekali tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau
pelanggaran yang bersangkutan. (AB. 23, 25, 28, 30; KUH Perdata. 1356
dsb Sv. 10)
b. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya.
Sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan
dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut. (KUH Perdata
1350)
4. Bentuk Perjanjian Perdamaian
Perdamaian yang diadakan di antara pihak harus dibuatkan dalam bentuk
tertulis (Pasal 1851 ayat (2) KUH Perdata). Maksud diadakan perjanjian per
damaian secara tertulis ini adalah menjadi alat bukti bagi para pihak untuk di
ajukan ke hadapan hakim (pengadilan). Karena isi perdamaian itu disamakan
dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
5. Perdamaian yang Tidak Dibolehkan
Pada dasarnya substansi perdamaian dapat dilakukan secara bebas oleh
para pihak, namun undang-undang telah mengatur berbagai jenis perdamaian
yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak.
Perdamaian yang tidak dibolehkan ditentukan dalam Pasal 1859 sampai
dengan Pasal 1862 KUH Perdata. Perdamaian yang tidak dibolehkan adalah
sebagai berikut.
a. Perdamaian tentang telah terjadi kekeliruan mengenai orang yang bersangkutan
atau pokok perkara.
b. Perdamaian yang telah dilakukan dengan cara penipuan (dwelling) atau
paksaan (clwang).
c. Perdamaian mengenai kekeliruan mengenai duduknya perkara tentang suatu
alas hak yang batal, kecuali bila para pihak telah mengadakan perdamaian
tentang kebatalan itu dengan pernyataan tegas.
d. Perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan
palsu.
e. Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu keputusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak
diketahui oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Akan tetapi, jika
keputusan yang tidak diketahui itu masih dimintakan banding maka
perdamaian mengenai sengketa yang bersangkutan adalah sah.
f. Perdamaian hanya mengenai suatu urusan, sedangkan dari surat-surat yang
ditemukan kemudian ternyata salah satu pihak tidak berhak atas hal itu.
Apabila keenam hal itu dilakukan maka perdamaian itu dapat dimintakan
' pembatalan kepada pengadilan.
6. Kekuatan Pembuktian Perjanjian Perdamaian
Perdamaian yang dilakukan oleh para pihak mempunyai kekuatan mengikat
sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu putusan kasasi maupun
peninjauan kembali (Pasal 1858 KTJH Perdata). Perdamaian itu tidak dapat
dijadikan dengan alasan pembatalan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum
atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.
1. a.
b.
2. a.
b.
c.
3. a.
b.
4. a.
b.
5. a.
b.
6. a.
b.
7. a.
b.
D a fta r P e r ta n y a a n
Kemukakan pengertian kontrak nominaat!
Sebutkan jenis-jenis kontrak nominaat yang Anda ketahui?
Kemukakan perbedaan antara pengertian perjanjian jual beli, sale, dan
agreement salei
Kemukakan momentum terjadinya perjanjian jual beli!
Sebutkan cara-cara penyerahan benda dalam perjanjian jual beli!
Kemukakan orang-orang yang tidak diperkenankan untuk mengadakan
perjanjian jual beli!
Sebutkan hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli!
Kemukakan siapa yang menanggung risiko, apabila terjadi overmacht
dalam perjanjian tukar-menukar!
Kemukakan bentuk dan substansi kontrak dalam perjanjian sewa-
menyewa!
Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis persekutuan perdata!
Kemukakan hubungan antara para sekutu dengan pihak ketiga!
Apakah perjanjian hibah dapat dibuatkan dalam bentuk perjanjian lisan?
Jelaskan!
Sebutkan dan jelaskan para pihak dalam perjanjian hibah!
Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis penitipan barang yang Anda ketahui!
Kemukakan perbedaan antara bewaarnemer dengan bewaargeverl
8. a. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis perjanjian pemberian kuasa!
b. Kapan berakhirnya perjanjian pemberian kuasa?
9. a. Apakah para pihak yang bersengketa dapat mengadakan perjanjian
perdamaian? Jelaskan jawaban Anda!
b. Sebutkan orang-orang yang berwenang mengadakan perdamaian!
c. Kemukakan kekuatan pembuktian dalam perjanjian perdamaian!
10. a. Sebutkan jenis badan hukum dari aspek bentuknya!
b. Sebutkan teori-teori badan hukum yang Anda ketahui!
ETENTUAN-KETENTUAN UMUM
DALAM HUKUM KONTRAK
A. SOMASI
1. Dasar Hukum dan Pengertian Somasi
Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingebrekes-
telling. Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH
Perdata. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang
(debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah
disepakati antara keduanya. Somasi timbul disebabkan debitur tidak memenuhi
prestasinya, sesuai dengan yang diperjanjikan. Ada tiga cara terjadinya somasi
itu, yaitu
a. debitur melaksanakan prestasi yang keliru, misalnya kreditur menerima
sekeranjang jambu seharusnya sekeranjang apel;
b. debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan. Tidak
memenuhi prestasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelambatan
melaksanakan prestasi dan sama sekali tidak memberikan prestasi. Penyebab
tidak melaksanakan prestasi sama sekali karena prestasi tidak mungkin
dilaksanakan atau karena debitur terang-terangan menolak memberikan
prestasi.
c. prestasi yang dilaksanakan oleh debitur tidak lagi berguna bagi kreditur setelah
lewat waktu yang diperjanjikan.
Ajaran tentang somasi ini sebagai instrumen hukum guna mendorong debitur
untuk memenuhi prestasinya. Bila prestasi sudah tentu tidak dilaksanakan, maka
sudah tentu tidak dapat diharapkan prestasi. Momentum adanya somasi ini
apabila prestasi tidak dilakukan pada waktu yang telah diperjanjikan antara
kreditur dengan debitur.
2. Bentuk dan Isi Somasi
Dari telaahan berbagai ketentuan tentang somasi, tampaklah bahwa bentuk
somasi yang harus disampaikan kreditur kepada debitur adalah dalam bentuk
surat perintah atau sebuah akta yang sejenis.
Yang berwenang mengeluarkan surat perintah itu adalah kreditur atau pejabat
yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang adalah Juru Sita, Badan
Urusan Piutang Negara, dan lain-lain. Surat teguran harus dilakukan paling
sedikit tiga kali, dengan mempertimbangkan jarak tempat kedudukan kreditur
dengan tempat tinggal debitur. Tenggang waktu yang ideal untuk menyampaikan
teguran antara peringatan I, II, dan III adalah tiga puluh hari. Maka waktu yang
diperlukan untuk itu selama tiga bulan atau sembilan puluh hari. Suatu contoh,
BUPN mengirimkan surat teguran kepada debitur supaya menghadap ke Kantor
BUPN dengan tujuan untuk melunasi utang-utang yang tidak dibayarnya kepada
bank.
Berikut ini disajikan contoh surat somasi dari Bank BNI 46 Cabang Mataram.
BANK NEGARA INDONESIA (BNI 46)
CABANG MATARAM
Jin. Langko Mataram, Telp. (0370) 631046
Mataram, 10 Juni 2002
Nomor :
Lamp. : 1 eksp
Hal : Teguran Pertama
Kepada
Yth. Bapak M. Ali HMS
Jin. Towuti 1/13 Tanjung Karang Permai
Ampenan Mataram
di Mataram
Dengan hormat, bersama ini kami sampaikan kepada Saudara bahwa
berdasarkan perjanjian kredit bank yang telah dibuat antara BNI 46 Cabang
Mataram dengan Saudara, pada tanggal 10 Juli 2001, bahwa setiap tanggal
10 bulan berikutnya Saudara harus membayar angsuran kredit, yaitu pokok
dan bunga sebesar Rp 1.000.000,00/bulan. Namun, berdasarkan data yang
ada pada kami, ternyata Saudara menunggak kredit atas utang pokok dan
bunga sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Berdasarkan hal-hal di atas, maka diharapkan kepada Saudara untuk
segera melunasi kewajiban sebanyak tersebut di atas, paling lambat tanggal
15 Juli 2002.
Demikian, agar dapat saudara laksanakan tepat pada waktunya.
Pimpinan BNI Cabang Mataram
Tanda tangan
(Nama terang)
Isi atau hal-hal yang harus dimuat dalam surat somasi, yaitu
1. apa yang dituntut (pembayaran pokok kredit dan bunganya);
2 dasar tuntutan (perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dan debitur);
dan
3. tanggal paling lambat untuk melakukan pembayaran angsuran, pada tanggal
15 Juli 2002.
3. Peristiwa-Peristiwa yang Tidak Memerlukan Somasi
Ada lima macam peristiwa yang tidak mensyaratkan pernyataan lalai, sebagai
mana dikemukakan berikut ini (Niewenhuis, 1988).
a. Debitur menolak pemenuhan.
Seorang kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila debitur menolak
pemenuhan prestasinya, sehingga kreditur boleh berpendirian bahwa dalam
sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan menimbulkan suatu
perubahan (HR 1-2-1957).
b. Debitur mengakui kelalaiannya.
Pengakuan demikian dapat terjadi secara tegas, akan tetapi juga secara
implisit (diam-diam), misalnya dengan menawarkan ganti rugi.
c. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.
Debitur lalai tanpa adanya somasi, apabila prestasi (di luar peristiwa over-
macht) tidak mungkin dilakukan, misalnya karena debitur kehilangan barang
yang harus diserahkan atau barang tersebut musnah. Tidak perlunya per
nyataan lalai dalam hal ini sudah jelas dari sifatnya (somasi untuk pemenuhan
prestasi).
d. Pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos)
Tidak diperlukannya somasi, apabila kewajiban debitur untuk memberikan
atau melakukan, hanya dapat diberikan atau dilakukan dalam batas waktu
tertentu, yang dibiarkan lampau. Contoh klasik, kewajiban untuk menyerahkan
pakaian pengantin atau peti mati. Penyerahan kedua barang tersebut setelah
perkawinan atau setelah pemakaman tidak ada artinya lagi.
e. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.
Kelima cara itu tidak perlu dilakukan somasi oleh kreditur kepada debitur.
Debitur dapat langsung dinyatakan wanprestasi.
B. WANPRESTASI
1. Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi.
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan
debitur. Dalam restatement o f the law o f contracts (Amerika Serikat),
wanprestasi atau breach o f contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu
total breachts dan partial breachts. Total breachts artinya pelaksanaan kontrak - .
tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan partial breachts artinya pelaksanaan
perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan. Seorang debitur baru dikatakan \
wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi
itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila
somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu
ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wan
prestasi atau tidak.
2. Akibat Adanya Wanprestasi
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.
a. Perikatan tetap ada.
Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila
ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut
ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan
kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi
tepat pada waktunya.
b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Per
data).
c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah
debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari
pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang
pada keadaan memaksa.
d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan
diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan
Pasal 1266 KUH Perdata.
3. Tuntutan Atas Dasar Wanprestasi
Kreditur dapat menuntut kepada debitur yang telah melakukan wanprestasi
hal-hal sebagai berikut.
a. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur.
b. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal
1267 KUH Perdata).
c. Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian
karena keterlambatan (HR 1 November 1918).
d. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian.
e. Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur.
Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.
Di dalam hukum kontrak Amerika, sanksi utama terhadap breach o f contract
adalah pembayaran compensation (ganti rugi), yang terdiri atas costs (biaya)
and damages (ganti rugi), serta tuntutan pembatalan perjanjian (rescission).
Akibat kelalaian kreditur yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu:
a. debitur berada dalam keadaan memaksa;
b. beban risiko beralih untuk kerugian kreditur, dan dengan demikian debitur
hanya bertanggung jawab atas wanprestasi dalam hal ada kesengajaan atau
kesalahan besar lainnya;
c. kreditur tetap diwajibkan memberi prestasi balasan (Pasal 1602 KUH
Perdata).
Di dalam hukum Common Law, jika terjadi wanprestasi (breach o f
contracht), maka kreditur dapat menggugat debitur untuk membayar ganti rugi
Cdamages), dan bukan pemenuhan prestasi {performance). Akan tetapi dalam
perkembangannya, adanya kebutuhan akan gugatan pemenuhan prestasi yang
lebih umum, akhirnya dimungkinkan berdasarkan equity, di samping legal remedy
(ganti rugi), ada equitable remedy (pemenuhan prestasi). Di samping kedua
gugatan tersebut, dalam hukum Anglo-Amerika tidak dibutuhkan suatu gugatan
khusus untuk pembubaran karena dapat dilakukan repudiation (penolakan kontrak
sejauh dimungkinkan) tanpa campur tangan hakim
Tidak setiap breach o f contrach (wanprestasi) menimbulkan hak mem
bubarkan perjanjian karena terbatas pada pelanggaran (breach) yang berat
(substansial).
C. GANTI RUGI
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan
perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam Buku III
KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 124 KUH Perdata s.d. Pasal 1252 KUH
Perdata. Sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah
suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan
kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya
kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.
Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan
kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur
dengan debitur. Misalnya, A berjanji akan mengirimkan barang kepada B pada
tanggal 10 Januari 1996. Akan tetapi, pada tanggal yang telah ditentukan, A belum
juga mengirimkan barang tersebut kepada B. Supaya B dapat menuntut ganti rugi
karena keterlambatan tersebut, maka B harus memberikan peringatan (somasi)
kepada A, minimal tiga kali.
Apabila peringatan/teguran itu telah dilakukan, maka barulah B dapat
menuntut kepada A untuk membayar ganti kerugian. Jadi, momentum timbulnya
ganti rugi adalah pada saat telah dilakukan somasi.
Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur adalah
sebagai berikut
1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan
kerugian.
2. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUH Perdata), ini
ditujukan kepada bunga-bunga.
Yang diartikan dengan biaya-biaya (ongkos-ongkos), yaitu ongkos yang telah
dikeluarkan oleh kreditur untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian adalah
berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian.
Sedangkan bunga-bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditur.
Penggantian biaya-biaya, kerugian, dan bunga itu harus merupakan akibat lansung
dari wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.
Di dalam Pasal 1249 KUH Perdata ditentukan bahwa penggantian kerugian
yang disebabkan wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang. Namun,
dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi materiil, dan ganti rugi
inmateriil (Asser’s 1988: 274). Kerugian materiil adalah suatu kerugian yang
diderita kreditur dalam bentuk uang/kekayaan/benda. Sedangkan kerugian
inmateriil adalah suatu kerugian yang diderita oleh kreditur yang tidak bernilai
uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat, dan lain-lain.
D. KEADAAN MEMAKSA
1. Dasar Hukum dan Pengertian Keadaan Memaksa
Ketentuan tentang overrnacht (keadaan memaksa) dapat dilihat dan di baca
dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH
Perdata berbunyi: ’’Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan
bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu
atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh
suatu hal yang tidak terduga, yang tak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya,
walaupun tidak ada iktikad buruk padanya. Selanjutnya dalam Pasal 1245 KUH
Perdata yang berbunyi: ’’Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila
karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur
terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan
sesuatu perbuatan yang terlarang olehnya.”
Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan
penggantian biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur, oleh karena suatu keadaan
yang berada di luar kekuasaannya.
Ada tiga hal yang menyebabkan debitur tidak melakukan penggantian biaya,
kerugian dan bunga, yaitu
1. adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya, atau
2. terjadinya secara kebetulan, dan atau
3. keadaan memaksa.
Yang diartikan dengan keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana
debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan
adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya. Misalnya karena adanya
gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain.
2. Macam Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
1) keadaan memaksa absolut, dan
2) keadaan memaksa yang relatif.
Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama
sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya
gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin membayar
utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran
utang, terjadi gempa bumi. Maka A sama sekali tidak dapat membayar utangnya
pada B.
Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan
debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Tetapi pelaksanaan prestasi
itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang
atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau ke
mungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contoh keadaan memaksa
relatif, seorang penyanyi telah mengikat dirinya untuk menyanyi di suatu konser,
tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan, ia menerima kabar bahwa anaknya
meninggal dunia. Contoh lainnya, A telah meminjam kredit usaha tani dari KUD,
dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi sebelum panen, padinya
diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu membayar
kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan membayar pada musim panen
mendatang.
3. Teori-Teori Keadaan Memaksa
Ada dua teori yang membahas tentang keadaan memaksa, yaitu
1) teori ketidakmungkinan (onmogelijkeheid), dan
2) teori penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld).
Teori ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah suatu
keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan.
Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam.
a. Ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolut onmogelijkheid), yaitu
suatu ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk melakukan prestasinya
pada kreditur.
b. Ketidakmungkinan relatif atau ketidakmungkinan subjektif (relative
onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk
memenuhi prestasinya.
Teori/ajaran penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheid van
schuld), berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau
overmacht peniadaan kesalahan. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan
tadi tidak boleh/bisa dipertanggungjawabkan (Harahap,1986: 84).
4. Akibat Keadaan Memaksa
Ada tiga akibat keadaan memaksa, yaitu.
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b. beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara;
c. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum
bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk
yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
Ketiga akibat itu dibedakan menjadi dua macam, yaitu
(1) akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat nomor a dan c, dan
(2) akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat nomor b.
E. RISIKO
Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer
(ajaran tentang risiko). Resicoleer adalah suatu ajaran, yaitu seseorang ber
kewajiban untuk memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini
timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht). Ajaran ini dapat
diterapkan pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak
adalah suatu perjanjian, di mana salah satu pihak aktif melakukan prestasi,
sedangkan pihak lainnya pasif. Misalnya A memberikan sebidang tanah pada B.
Tanah itu direncanakan untuk diserahkan pada tanggal 10 Mei 1996, tetapi pada
tanggal 15 April 1996 tanah itu musnah. Pertanyaannya kini, siapa yang menang
gung risiko? Yang menanggung risiko atas musnahnya tanah tersebut adalah B
(penerima tanah) (Pasal 1237 KUH Perdata).
Perjanjian timbal balik adalah suatu perjanjian yang kedua belah pihak
diwajibkan untuk melakukan prestasi, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat
antara keduanya. Yang termasuk dalam perjanjian timbal balik, yaitu jual beli,
sewa menyewa, tukar menukar, dan lain-lain. Contohnya, A telah membeli sebuah
rumah beserta tanahnya pada B seharga Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Rumah itu dibeli pada tanggal 10 Januari 1996. Namun rumah tersebut belum
diserahkan kuncinya oleh B kepada A. Akan tetapi, pada tanggal 10 Februari
1996 terjadi gempa bumi yang memusnahkan rumah tersebut. Pertanyaannya
kini, siapakah yang menanggung risiko atas rumah tersebut? Menurut Pasal
1460 KUH Perdata yang menanggung risiko atas musnahnya rumah tersebut
adalah A (pembeli), walaupun rumah tersebut belum diserahkan dan dibayar
lunas. Jadi, B berhak menagih berapa pembayaran yang belum dilunasi oleh A.
Ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata telah dicabut berdasarkan SEMA Nomor
3 Tahun 1963. Ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara tegas, namun pene
rapannya harus memperhatikan:
1. bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu, dan
2. bergantung pada orang yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang
tersebut.
Di dalam perjanjian tukar-menukar, risiko tentang musnahnya barang di
luar kesalahan pemilik, persetujuan dianggap gugur, dan pihak yang telah
memenuhi persetujuan dapat menuntut pengembalian barang yang ia telah berikan
dalam tukar-menukar (Pasal 1545 KUH Perdata).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual beli risiko
atas musnahnya barang menjadi tanggung jawab pembeli, sedangkan dalam
perjanjian tukar-menukar, perjanjian menjadi gugur.
D a fta r P e r ta n y a an
1. a. Jelaskan pengertian somasi yang Anda ketahui!
b. Kemukakan tujuan somasi!
2. a. Kemukakan bentuk somasi!
b. Sebutkan hal-hal yang tidak perlu dilakukan somasi!
3. a. Kemukakan akibat adanya wanprestasi!
b. Sebutkan hal-hal yang dapat dituntut oleh kreditur terhadap debitur
yang telah melakukan wanprestasi!
4. a. Kemukakan penyebab timbulnya ganti rugi!
b. Sebutkan kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur!
5. A adalah pengusaha yang telah meminjam uang pada bank sebanyak
Rp20.000.000,00. Pada mulanya nasabah ini lancar membayar angsurannya.
Namun, karena adanya banjir maka nasabah sudah tidak mampu membayar
utang-utang bank.
Pertanyaan:
a. Apakah dengan adanya banjir tersebut, dapat dijadikan alasan adanya
overmacht, sehingga yang bersangkutan tidak perlu membayar utang-
utangnya pada bank? Jelaskan!
b. Sebutkan dan jelaskan macam-macam overmacht yang Anda ketahui!
6. a. Kemukakan apa yang Anda ketahui tentang resicoleer\
b. Siapakah yang menanggung risiko dalam perjanjian tukar-menukar!
Jelaskan!
ENYUSUNAN, STRUKTUR, DAN
ANATOMI KONTRAK
A. PENGANTAR
Pada dasarnya kontrak yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, kontrak yang dibuat
oleh para pihak disamakan dengan undang-undang. Oleh karena itu, untuk
membuat kontrak diperlukan ketelitian dan kecermatan dari para pihak, baik dari
pihak kreditur maupun debitur, pihak investor maupun dari pihak negara yang
bersangkutan. Hal-hal yang diperhatikan oleh para pihak yang akan mengadakan
dan membuat kontrak adalah
(1) kewenangan hukum para pihak,
(2) perpajakan,
(3) alas hak yang sah,
(4) masalah keagrariaan,
(5) pilihan hukum,
(6) penyelesaian sengketa,
(7) pengakhiran kontrak, dan
(8) bentuk perjanjian standar (Arie S. Hutagalung, 1993: 14-18; Peter Mahmud,
2000: 17-19).
Kedelapan hal itu dijelaskan berikut ini.
1. Kemampuan Para Pihak
Kemampuan para pihak, yaitu kecakapan dan kemampuan para pihak untuk
mengadakan dan membuat kontrak. Di dalam KUH Perdata ditentukan bahwa
orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum apabila telah
dewasa dan atau sudah kawin. Ukuran kedewasaan, yaitu berumur 21 tahun.
Sedangkan orang-orang yang tidak wenang untuk membuat kontrak adalah
(1) minderjarigheid (di bawah umur),
(2) curatele (di bawah pengampunan), dan
(3) istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Istri kini wenang untuk membuat kontrak
(SEMA Nomor 3 Tahun 1963; Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan).
2. Perpajakan
Dalam banyak hal, para pihak pembuat kontrak menginginkan perjanjian
dirumuskan sedemikian rupa untuk memperkecil pajak, karena transaksi bisnis
merupakan transaksi kena pajak. Pada dasarnya perancang kontrak, yaitu para
ahli hukum harus memberikan pelayanan yang memuaskan kliennya. Akan tetapi,
dalam hal memperkecil pengenaan pajak, bukan tidak mungkin rumusan kontrak
itu menjadi lain dari maksud para pihak yang sesungguhnya. Hal ini sebenarnya
harus dihindari oleh ahli hukum. Oleh karena itu, ahli hukum perancang kontrak
harus memahami masalah perpajakan dan jika mungkin bekerja sama dengan
konsultan pajak.
3. Alas Hak yang Sah
Khusus untuk perjanjian jual beli, calon pembeli harus mengetahui atau berusaha
mencari tahu bahwa penjual memang mempunyai alas hak yang sah atas barang
yang dijual. Dalam hal barang bergerak tidak atas nama berlaku ketentuan Pasal
1977 KUH Perdata yang menetapkan bahwa barangsiapa menguasai barang
bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang tidak harus dibayar atas
tunjuk, dianggap sebagai pemilik sepenuhnya. Namun demikian dalam hal ini berlaku
asas revindikasi, yaitu apabila barang itu hilang atau hasil curian, pemilik barang
dapat menuntut supaya barang itu dikembalikan kepadanya. Memang dalam hal
ini pembeli yang beriktikad baik akan tetap dilindungi, yaitu minta ganti rugi atas
harga pembelian barang tersebut. Namun proses demikian tidak selalu mulus,
lebih-lebih kalau pencurinya sudah tidak mampu lagi mengembalikan uang pem
belian.
Dalam hal barang bergerak atas nama dan barang tidak bergerak, yang
dianggap paling berhak adalah orang yang namanya tercantum dalam surat itu.
Namun demikian, dalam hal barang bergerak atas nama maupun barang tidak
bergerak merupakan harta bersama dalam perkawinan, perlu ada suatu counter
sign dari suami/istri. Counter sign juga diperlukan dalam hal perjanjian jaminan.
4. Masalah Keagrariaan
Perancang perjanjian juga harus memperhatikan masalah seputar Hukum
Agraria. Dalam banyak hal para pihak tidak memahami masalah-masalah
keagrariaan. Oleh karena itu, para ahli hukum harus memberitahukan kepada
kliennya mengenai hal tersebut.
5. Pilihan Hukum
Pilihan hukum, yaitu berkaitan dengan hukum manakah yang akan digunakan
dalam pembuatan kontrak tersebut.
6. Penyelesaian Sengketa
Perjanjian tidak selalu dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh karena
itu, dalam setiap perjanjian perlu dimasukkan klausula mengenai penyelesaian
sengketa apabila salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian atau wanprestasi.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai, arbitrase, atau mungkin
melalui pengadilan. Dalam hal sengketa diselesaikan melalui pengadilan perlu
diingat Hukum Acara Perdata Indonesia mengenai kompetensi dan yurisdiksi
pengadilan negeri tersebut.
7. Berakhirnya Kontrak
Di dalam Pasal 1266 KUH Perdata ditentukan bahwa: ’’Tiap-tiap pihak
yang akan mengakhiri kontrak harus dengan putusan pengadilan yang mempunyai
yurisdiksi atas kontrak tersebut.” Maksud ketentuan ini adalah melindungi pihak
yang lemah.
8. Bentuk Standar Kontrak
a. Pengertian Standar Kontrak
Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah
dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak
oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah.
Hondius mengemukakan bahwa syarat-syarat baku adalah
’’Syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian
yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan
isinya lebih dahulu.” (Sudikno Mertokusumo, 1995: 2)
Inti dari perjanjian baku menurut Hondius adalah isi perjanjian itu tanpa
dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hany
Langganan:
Postingan (Atom)