Tampilkan postingan dengan label Miskin 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Miskin 3. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Oktober 2025

Miskin 3


 


rang tuanya, hingga hak￾haknya dilanggar. sebab   alasan keuangan, anak-anak yang seharusnya memiliki masa 

kecil yang bahagia dan pendidikan terpaksa berkompromi.

Mereka terpaksa putus sekolah agar bisa bekerja demi memenuhi kebutuhan 

keuangan keluarga. Faktanya, sebab   menghambat aktivitas bermain dan pendidikan, hal 

ini dapat membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka. Selain itu, kemiskinan 

mempunyai dampak lain. Pertama, sebab   warga   miskin sering kali memakai   

segala cara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, maka terjadi peningkatan kejahatan di 

wilayah ini . Kedua, angka kematian meningkat sebab   sulitnya mendapatkan akses 

kesehatan yang memadai. Ketiga, akses pendidikan tertutup sebab   warga   miskin 

tidak mampu membayar pendidikan yang memadai. Keempat, meningkatnya angka 

pengangguran sebab   kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang layak. Kelima, 

munculnya konflik antar warga   sebab   adanya kesenjangan yang memicu 

kecemburuan di warga  . Pemahaman yang mendalam mengenai dampak kemiskinan

sangat penting dalam merumuskan kebijakan yang efektif untuk mengatasi kemiskinan 

dan mendorong pemerataan pembangunan yang berkelanjutan.

Kebijakan penanggulangan kemiskinan di negara kita   mengadopsi dua pendekatan 

utama, yakni kebijaksanaan tidak langsung dan kebijaksanaan langsung. Pendekatan 

tidak langsung difokuskan pada penciptaan kondisi yang mendukung upaya 

penanggulangan kemiskinan, seperti stabilitas sosial politik, keberlanjutan ekonomi, dan 

pembangunan budaya yang inklusif. Ini termasuk upaya pengaturan ekonomi makro 

melalui kebijakan keuangan dan perpajakan yang hati-hati, serta pengendalian tingkat inflasi untuk memastikan harga kebutuhan dasar tetap terjangkau bagi warga   miskin. 

Pendekatan langsung dalam penanggulangan kemiskinan menekankan peningkatan 

partisipasi serta produktivitas sumber daya manusia, khususnya di kalangan warga   

dengan pendapatan rendah. Upaya ini melibatkan penyediaan kebutuhan esensial seperti 

makanan, pakaian, tempat tinggal, pelayanan kesehatan, dan akses pendidikan. Selain itu, 

pendekatan ini juga melibatkan pembangunan program-program sosial ekonomi yang 

berkelanjutan, bertujuan untuk meningkatkan kemandirian kelompok warga   yang 

rentan terhadap kemiskinan.

Pemerintah negara kita   telah menetapkan penanggulangan kemiskinan sebagai fokus 

utama dalam agenda pembangunan nasional, yang tercermin dalam dokumen 

perencanaan tahunan seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan 

Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Untuk mengurangi kemiskinan, pemerintah 

meluncurkan sejumlah program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), 

Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dijalankan 

oleh Kementerian Sosial. Program-program ini bertujuan memberikan bantuan kepada 

keluarga miskin guna memenuhi kebutuhan dasar mereka. Evaluasi terus dilakukan 

terhadap efektivitas program-program ini , dengan beberapa skema bantuan seperti 

Raskin dan Bansos penanganan kemiskinan ekstrem masih dinilai belum optimal. Selain 

itu, untuk mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh, diperlukan langkah-langkah 

strategis seperti perluasan akses keuangan, perbaikan fokus pada kemiskinan dalam 

perencanaan nasional, pengembangan sistem jaminan sosial komprehensif, investasi 

dalam kesehatan dan sanitasi, serta perkuatan peraturan ketenagakerjaan yang lebih 

fleksibel.

Pendekatan berkelanjutan dalam penanggulangan kemiskinan sangat penting, 

mengingat kemiskinan akan selalu menjadi masalah yang harus diatasi. Melalui 

pendidikan yang berkelanjutan, diharapkan upaya penanggulangan kemiskinan dapat 

mencapai hasil yang signifikan, sebab   pendidikan merupakan investasi jangka panjang 

yang tidak hanya memberikan manfaat saat ini tetapi juga di masa depan.

Simpulan

Kemiskinan adalah masalah serius dalam pembangunan nasional negara kita  , 

meskipun pemerintah telah mengenalkan program-program untuk mengatasinya. 

Kemiskinan bukanlah hasil kehendak individu, tetapi akibat dari keadaan yang tidak 

dapat dihindari dengan sumber daya yang dimiliki. Ini juga merupakan masalah 

multidimensional yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik, dan kesempatan 

yang tidak merata dalam warga  . Dampaknya dirasakan dalam pendidikan, 

kesehatan, kriminalitas, akses pendidikan, pengangguran, dan konflik sosial. Pemahaman 

ini penting dalam merumuskan kebijakan efektif untuk mengatasi kemiskinan dan 

mendorong pemerataan pembangunan yang berkelanjutan.

Di negara kita  , penanggulangan kemiskinan mengadopsi dua pendekatan utama,

yaitu kebijakan tidak langsung dan langsung. Ini melibatkan upaya penciptaan kondisi 

mendukung, seperti stabilitas sosial politik, keberlanjutan ekonomi, dan pembangunan 

budaya inklusif. Program bantuan sosial seperti PKH, BPNT, dan BLT juga menjadi 

instrumen utama. Untuk mengentaskan kemiskinan, diperlukan langkah-langkah seperti 

perluasan akses keuangan, fokus pada kemiskinan dalam perencanaan nasional, 

pengembangan jaminan sosial komprehensif, investasi dalam kesehatan dan sanitasi, serta 

peraturan ketenagakerjaan yang fleksibel. Dengan pendekatan berkelanjutan, diharapkan 

upaya ini dapat mencapai hasil signifikan.



Untuk menigkatkan kapasitas dan kopetensi ini, manusia perlu meningkatkan pendidikan dan kesehatan. Tujuan 

artikel ini ingin melihat bahwa bahwa ada kecenderungan pembangunan kualitas manusia berkorelasi dengan kondisi 

kemiskinan warga  , artinya kualitas menusia akan mudah dicapai apabilia warga  nya sudah terentas dari 

kemiskinan. Dilihat dari data, kemiskinan makin sulit diturunkan sebab   garis kemiskinan juga bergerak. saat  

pertumbuhan konsumsi warga   tidak bisa mengejar pertumbuhan angka kemiskinan, sudah pasti dia tidak 

bisa melewati garis kemiskinan. Pertanyaanya yang muncul apakah dalam kondisi warga   yang masih miskin 

pembangunan manusia yang berkualitas bisa terealisasi. Komitmen untuk meningkatkan pembangunan manusia 

perlu disertai dengan upaya menurunkan angka kemiskinan. Perlu terus diupayakan membantu dan memberdayakan 

warga   miskin. Kajian artikel ini memakai   metode studi pustaka sebagai cara untuk melakukan analisa 

sehingga diperoleh hasil yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


Badan Pusat Statistik mengumumkan 

bahwa angka kemiskinan meningkat sebanyak 

860 ribu orang, atau naik dari10,96 persen 

pada September 2014 menjadi 11,22 persen 

pada Maret 2015 (Ritonga; 2015). Secara 

keseluruhan, hampir tiga perempat atau 73,23 

persen dari garis kemiskinan disumbang 

komuditas pangan. Selain mengakibatkan 

naiknya angka kemiskinan, meningkatnya 

harga pangan juga berpotensi menurunkan 

konsumsi pangan bergizi. Sudah lama diketahui 

bahwa jika harga pangan naik, warga   

golongan terbawah berupaya mengonsumsi 

pangan dengan harga yang terjangkau, antara 

lain dengan menurunkan kualitas pangan yang 

dikonsumsi. Tingginya privalensi penderita gizi 

kurang dan buruk pada tahap lanjut berpotensi 

mendistorsi kualitas sumber daya manusia 

akibat capaian pembangunan manusianya tidak 

optimal. Secara umum, kurangnya asupan gizi 

akan berpotensi menurunkan capaian ketiga dimensi pembangunan manusia sekaligus, 

yakni kesehatan, pendidikan, dan kemampuan 

daya beli, khusunya pada anak balita.

 Pada dimensi kesehatan, kurangnya asupan 

gizi menyebabkan menurunya daya tahan tubuh 

sehingga rentan terserang penyakit. Bagi anak 

balita, kekurangan gizi itu akan mendistorsi 

tumbuh kembang mereka sehingga menyulitkan 

dalam meningkatkan derajat kesehatan 

warga   untuk penyiapan sumber daya 

manusia berkualitas. Bahkan, kualitas sumber 

daya manusia lain terdidtorsi jika kekeurangan 

gizi itu dialami perempuan, khususnya 

saat  hamil dan melahirkan (Ritonga,2015). 

Fakta itu sekaligus menunjukkan bahwa 

kurangnya asupan gizi berpotensi mendistorsi 

pembangunan manusia dari dimensi pendidikan. 

Pada tahap lanjut, anak balita yang mengalami 

gangguan tumbuh kembang, baik fisik maupun 

intelegensi, kelak saat  dewasa cenderung 

kurang mampu bekerja optimal, tercermin dari 

kecenderungan produktivitas yang rendah. 

Menurunnya produktifitas cenderung akan 

berakibat menurunnya kemampuan daya beli 

sebagai dimensi ketiga dari pembangunan 

manusia.

Populasi warga   Negara negara kita   

termasuk besar yang menempati posisi keempat 

di dunia setelah Republik Rakyat Tiongkok, 

India, dan Amerika Serikat. Dari jumlah 

warga   ini  ada   kelompok atau 

keluarga dengan kategori miskin. berdasar  

laporan Sekretaris Eksekutif Tim Nasional 

Percepatan Penanggulangan Kemiskinan 

(TNP2K) Widianto (Kompas, 2014), 

mengatakan sudah ada penurunan jumlah 

ataupun persentase warga   miskin dalam 

lima tahun terakhir. Pada tahun 2009, jumlah 

warga   miskin mencapai 32,53 juta jiwa atau 

14,15 persen dari populasi warga  . Adapun 

pada tahun 2014, jumlah warga   miskin 

turun menjadi 28,28 juta jiwa atau 11,25 persen. 

Meskipun demikian, Widianto mengakui 

ketimpangan atau kesenjangan sosial justru 

cenderung melebar. Kondisi ini ditunjukkan 

dengan rasio gini tahun 2009 sebesar 0,37 persen 

dan meningkat menjadi 0,41 persen pada tahun 

2012, dan ada kecenderungan ketimpangan akan 

terus meningkat. Dilihat dari data, kemiskinan 

makin sulit diturunkan sebab   garis kemiskinan 

juga bergerak. saat  pertumbuhan konsumsi 

warga   tidak bisa mengejar pertumbuhan 

angka kemiskinan, sudah pasti dia tidak bisa 

melewati garis kemiskinan.

Pengalaman TNP2K ini , upaya 

percepatan penanggulangan kemiskinan tidak 

hanya bergantung pada pelaksanaan program￾program penanggulangan kemiskinan. Ada 

persoalan pertumbuhan garis kemiskinan 

akibat ketidakmampuan Negara dalam menjaga 

stabilitas harga-harga bahan pokok, terutama 

harga bahan makanan. Menjaga harga bahan 

pokok yang utama, itu paling penting untuk 

mengurangi kemiskinan. Tidak hanya program￾program penanggulangan kemiskinan, 

tetapi juga menjaga (stabilitas) harga pokok 

serta memberi lapangan pekerjaan baru dan 

meningkatkan kapasitas perekonomian. 

TNP2K merupakan lembaga koordinasi lintas 

sektoral di tingkat pusat, yang dibentuk untuk 

mempercepat penanggulangan kemiskinan. 

TNP2K memiliki tugas pokok menyusun 

kebijakan dan program penanggulangan 

kemiskinan, melakukan sinergi program 

penanggulangan kemiskinan di kementerian/

lembaga, serta melakukan pengawasan 

dan pengendalian pelaksanaan program 

penanggulangan kemiskinan (Kompas; 2014). 

 Jika dikaitkan dengan laporan pembangunan 

manusia 2014 yang dirilis Program Pembangunan 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada 

25 Juli 2014 memberikan konfirmasi bahwa 

pembangunan manusia negara kita  , yang diukur 

dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), memperlihatkan kecenderungan perlambatan 

pertumbuhan. Pada laporan itu disebutkan, IPM 

negara kita   pada 2013 sebesar 0,684 atau sedikit 

mengalami kenaikan bila dibanding IPM pada 

2012 yang sebesar 0,681. Meski naik, peringkat 

IPM negara kita   tetap bertengger di urutan ke 108 

dari 287 Negara (Kadir, 2014). Konsekuensinya, 

negara kita   belum beranjak dari kelompok 

menengah dalam soal capaian pembangunan 

manusia. Akselarasi pembangunan manusia 

negara kita   juga sedikit lambat. Sepanjang 2000-

2013, pertumbuhan IPM negara kita   rata-rata 

hanya sebesar 0,9 persen per tahun. Akselarasi 

yang lambat juga tercermin dari perubahan 

peringkat IPM negara kita   yang hanya naik 

empat peringkat sepanjang 2008-2013. Hal 

itu terjadi ketimpangan dalam akselerasi 

pembangunannya. sebab   itu, komitmen untuk 

meningkatkan pembangunan manusia perlu 

disertai dengan upaya menurunkan angka 

kemiskinan. Selain menjaga stabilitas harga 

pangan, pemerintah perlu terus berupaya 

membantu dan memberdayakan warga   

miskin (Ritonga, 2015).

Kajian artikel ini memakai   metode 

studi pustaka sebagai cara untuk melakukan 

analisa sehingga diperoleh hasil yang bisa 

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebuah 

argumentasi perlu didukung dengan data dan 

kajian ilmiah agar bisa dipertanggungjawabkan. 

Untuk itulah maka kajian ini memakai   

studi pustaka untuk mendukung argumentasi 

yang dibangun.

PEMBAHASAN

Ada beberapa hal kerangka konseptual yang 

akan dibahas dalam kajian artikel ini agar dalam 

analisis dapat memperoleh gambaran keterkaitan 

antara kemiskinan terhadap pembangunan 

manusia. Oleh sebab   itu, komitmen untuk 

meningkatkan pembangunan manusia perlu 

disertai dengan upaya menurunkan angka 

kemiskinan. Untuk itu, selain menjaga harga 

pangan, perlu terus berupaya membantu dan 

memberdayakan warga   miskin.

Kemiskinan

Secara umum, kemiskinan didefinisikan 

sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok 

orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya 

untuk mempertahankan dan mengembangkan 

kehidupan yang bermartabat (Suhariyanto; 

2011). Hanya satu kalimat, tetapi maknanya 

sangat luas sehingga bisa mengundang 

perdebatan panjang. Contohnya, apa yang 

dimaksud dengan kehidupan bermartabat. Apa 

pula yang termasuk hak-hak dasar ? Apalagi, 

tidak semua hak dasar dapat dikuantifikasi, 

seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman 

tindak kekerasan dan hak untuk berpatisipasi 

dalam kehidupan sosial-politik. Dari definisi itu 

terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah 

multidemensi. Sulit mengukurnya sehingga 

perlu kesepakatan pendekatan pengukuran 

yang dipakai. Salah satu konsep perhitungan 

kemiskinan yang diterapkan di banyak Negara, 

termasuk negara kita  , adalah konsep kemampuan 

memenuhi kebutuhan dasar. Dengan konsep ini, 

definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami 

penyempitan makna sebab   kemiskinan hanya 

dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi 

ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar 

makanan dan bukan makanan (Suhariyanto, 

2011).

Meningkatnya harga pangan, terutama 

beras, belakangan ini berpotensi menurunkan 

kesejahteraan warga   dan berujung 

meningkatnya angka kemiskinan. Perkiraan ini 

didasarkan atas cukup besarnya kontribusi beras 

terhadap garis kemiskinan. Bahkan, dampak 

kenaikan harga beras terhadap meningkatnya 

angka kemiskinan di perdesaan akan jauh lebih 

buruk jika dibandingkan dengan di perkotaan. 

Hal itu terdeteksi dari lebih besarnya kontribusi beras terhadap garis kemiskinan di perdesaan 

jika dibandingkan dengan di perkotaan 

(Ritonga, 2015). Hasil Susenas September 

2014, misalnya menunjukkan kontribusi beras 

terhadap garis kemiskinan di perdesaan sebesar 

31,61 persen, sedang  di perkotaan sebesar 

23,39 persen. Padahal, angka kemiskinan 

di perdesaan saat ini jauh melampaui angka 

kemiskinan di perkotaan, yakni 13,76 persen di 

perdesaan dan 8,16 persen di perkotaan.

 Selain itu ekonomi negara kita   dihadapkan 

pada ketidakseimbangan yang dapat berakibat 

pada terganggunya stabilitas ekonomi, dan 

dalam keadaan yang memburuk dapat menjadi 

pemicu krisis. Ketidakseimbangan ini  

diantaranya adalah ketidakseimbangan 

yang bersifat struktural dalam distribusi 

pendapatan sebagaimana ditunjukkan oleh 

relatif tingginya koefisien gini sebesar 0,41 

(angka 1 menunjukkan ketimpangan mutlak). 

Tentu saja ada   ketidakseimbangan lain 

yang berkaitan dengan pendapatan ini, seperti 

ketimpangan regional antara kawasan barat 

dan timur (Juoro, 2013). Ketidakseimbangan 

ini  memberikan sinyal negatif kepada 

pelaku ekonomi dan mendorong mereka 

untuk melakukan tindakan yang mengganggu 

stabilitas ekonomi, seperti menekan nilai 

rupiah. Khususnya untuk ketimpangan yang 

relatif tinggi. Hal ini akan memolarisasi 

warga   yang berakibat pada meningkatnya 

hambatan struktural bagi pertumbuhan yang 

berkelanjutan. Menurut pandangan Juoro, 

pengalaman di banyak Negara berkembang 

menunjukkan, bahwa ketimpangan yang 

tinggi menghambat pertumbuhan ekonomi. 

Pada awalnya pertumbuhan ekonomi tinggi, 

tetapi kemudian terjerembab dalam krisis yang 

dalam. Bukan saja ekonomi, melainkan juga 

sosial-politik. Perekonomian yang berhasil 

menjadi maju pada umumnya ketimpangan 

pendapatannya relatif rendah, yang berarti 

perkembangan ekonomi melibatkan peran serta 

warga   secara luas.

Selama ini pertumbuhan ekonomi tinggi 

yang dicapai negara kita   dikritisi sebab   dinilai 

tidak berkualitas, disparitas semakin tinggi, 

baik secara spasial antar wilayah maupun 

antar kelompok warga  . Di balik prestasi 

pertumbuhan ekonomi tinggi selama ini, 

rasio indeks gini di negara kita   juga meningkat 

secara konsisten dalam 10 tahun terakhir, dari 

0,33 menjadi 0,41. Di awal pemerintahan 

baru, jumlah daerah tertinggal di negara kita   

masih 122 kabupaten yang terkonsentrasi 

di Papua, Maluku dan Nusa Tenggara. Di 

kabupaten tertinggal ini , rata-rata Indeks 

Pembangunan Manusia hanya 66,01, jauh di 

bawah rata-rat nasional yang telah mencapai 

73,81. Tingkat kemiskinan di daerah tertinggal 

masih 18,36 persen saat  rata-rata nasional 

telah dapat ditekan hingga 10,96 persen 

(Padjung; 2015). 

S e d a n g k a n K u n c o r o ( 2 0 1 3 ) , 

mengungkapkan bahwa dalam studi empiris 

ada dua jenis ketimpangan/kesenjangan yang 

menjadi pusat perhatian. Pertama, ketimpangan/

kesenjangan distribusi pendapatan antar 

golongan pendapatan yang diukur dengan 

indeks gini dan berapa kue nasional yang 

dinikmati 40 persen golongan pendapatan 

terendah atau kelompok miskin. Ketimpangan/

kesenjangan yang meningkat diukur dengan 

ketimpangan/kesenjangan distribusi pendapatan 

yang makin lebar sebagaimana tercermin dari 

rasio gini yang meningkat dari 0,33 (2002) ke 

0,41 (2011). Ironisnya, penurunan kue nasional 

yang dinikmati kelompok 40 persen warga   

termiskin justru diikuti kenaikan kue nasional 

yang dinikmati 20 persen kelompok terkaya dari 

42,2 persen (2002) menjadi 48,42 persen (2011). 

Sementara kelompok 40 persen warga   

menengah mengalami penurunan kue nasional 

dari 36,9 persen (2002) menjadi 34,7 persen (2011). Ternyata ada indikasi kuat terjadi trickle￾up effect dalam proses pembangunan kita. 

Jenis kedua, ketimpangan/kesenjangan antar 

daerah penting untuk diteliti sebab   gravitasi 

aktifitas ekonomi negara kita   masih cenderung 

terkonsentrasi secara geografis ke Kawasan 

Barat negara kita   (KBI) selama lebih dari lima 

dasa warsa terakhir. Betapa tidak, data BPS 

hingga triwulan IV 2012 menunjukkan, struktur 

perekonomian negara kita   secara spasial masih 

didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa 

yang memberikan kontribusi terhadap Produk 

Domestik Bruto (PDB) sekitar 57,5 persen, 

diikuti Pulau Sumatera sekitar 23,9 persen. 

sedang  Kawasan Timur negara kita   (KTI) 

hanya kebagian sisanya, sekitar 18,6 persen, 

dengan kata lain ketimpangan/kesenjangan 

antar wilayah dan pulau terus terjadi.

Menurut Hadar (2014) Direktur Institute for 

Democracy Education (IDE) dan Koordinator 

Target MDGs 2007-2010 menyebutkan bahwa 

dalam dua kali pemerintahannya, Presiden SBY 

mengusung salah satu kebijakan yang ditunggu 

mayoritas rakyat, yaitu keberpihakan terhadap 

orang miskin (pro poor). Sayangnya, data 

terakhir terkait kemiskinan di negara kita   belum 

mencerminkan hal ini . Penurunan angka 

kemiskinan di negeri ini ternyata relatif lambat.

Maret 2007-Maret 2013, misalnya rata￾rata penurunan jumlah warga   miskin 

hanya 0,87 persen per tahun. Bahkan pada 

tahun terakhir, hanya 0,59 persen. Selain 

lambat, secara kualitas kemiskinan di 

negara kita   justru mengalami involusi. Hal itu 

ditunjukkan oleh semakin meningkat indeks 

keparahan kemiskinan, terutama di wilayah 

perdesaan yang meningkat hampir dua kali 

lipat sepanjang tahun 2012. Kenaikkan indeks 

ini menunjukkan dua hal, yakni semakin 

melebarnya ketimpangan/kesenjangan antar 

warga   miskin dan semakin rendahnya daya 

beli kelompok miskin. Menurut Bank Dunia, 

lambatnya penurunan kemiskinan beberapa 

tahun terakhir akibat laju peningkatan harga￾harga (inflasi). Ironisnya, sepanjang 2012, 

tingkat inflasi wilayah perdesaan sebagai tempat 

bermukimnya mayoritas orang atau kelompok 

miskin (5,08 persen) lebih tinggi dibandingkan 

inflasi nasional (4,3 persen). Sementara 

itu, pertumbuhan ekonomi relatif tinggi 

mencapai rata-rata 6,0 persen ternyata lebih 

menguntungkan warga   kelas menengah 

dan kaya sebab   lebih digerakkan sektor jasa 

ketimbang sektor riil. Sektor pertanian yang 

jadi tumpuan hidup bagi 40 persen angkatan 

kerja dan sekitar 60 persen rumah tangga 

miskin, misalnya, terjebak dalam pertumbuhan 

rendah dalam beberapa tahun terakhir (Hadar, 

2014). Konsekuensinya, jurang ketimpangan 

pendapatan pun melebar. Secara statistik ini 

ditunjukkan indeks gini yang telah menembus 

0,41 poin pada 2012. Angka ini dapat dimaknai 

40 persen warga   berpendapatan terendah 

ternyata hanya menikmati 16,88 persen dari total 

pendapatan yang tercipta dalam perekonomian. 

Sementara 20 persen warga   berpendapatan 

tertinggi justru menikmati 48,94 persen dari 

total pendapatan.

BPS baru saja merilis gambaran pendapatan 

petani terbaru melalui hasil Survei Pendapatan 

Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013. Sampel 

yang digunakan sebanyak 418.000 rumah 

tangga, diperoleh rata-rata pendapatan rumah 

tangga pertanian sebesar Rp 2,2 juta per bulan 

atau Rp 550.000 per kapita per bulan (asumsi 

rata-rata jumlah anggota empat orang). Rata￾rata pendapatan ini  dua kali lebih tinggi 

dibandingkan garis kemiskinan perdesaan 

sebesar Rp 286.000 (kondisi Maret 2014). Lalu, 

mengapa atribut miskin masih saja melekat pada 

profesi petani. Jawabannya ada pada struktur 

pendapatan rumah tangga usaha pertanian 

yang belum sepenuhnya ditopang pendapatan 

dari usaha pertanian. Hanya Rp 1 juta per bulan atau Rp 250.000 per kapita per bulan 

saja yang berasal dari usaha pertanian (Iswadi, 

2014). Artinya, petani negara kita   memang 

miskin jika hanya mengandalkan pendapatan 

dari usaha pertanian. Faktual, 63 persen petani 

mengandalkan hidupnya dari usaha pertanian.

Lahirnya kelompok miskin dan terbatasnya 

ruang kota telah melahirkan problem baru yang 

lebih rumit yang menyangkut ruang untuk hidup 

bagi mereka. Jika kenyataannya mereka masih 

bertahan untuk tinggal di kota, maka hal itu 

terjadi sebab   beberapa alasan. Pertama, kota 

telah menjadi tempat yang nyaman untuk hidup 

dan bertempat tinggal dibandingkan dengan di 

desa. Kedua, tidak ada pilihan lain selain terus 

bertahan di kota dengan segala resiko yang harus 

terus-menerus dihadapi, yaitu bertahan atau 

melawan demi kelangsungan hidup (struggle 

for survival) di kota (Basundoro, 2013).

Eksistensi kelompok miskin di kota 

merupakan bagian dari paradoks kota. Di satu 

sisi kota dianggap menghasilkan dan menjadi 

sumber peradaban, tetapi pada saat yang 

bersamaan kota juga melahirkan warga   

yang dianggap kurang beradab, atau tepatnya 

orang-orang yang kalah. Kota juga dianggap 

sebagai tempat yang aman sedang  jika 

di desa terjadi pergolakan, tetapi pada sisi 

yang lain kota juga dianggap sebagai tempat 

yang kejam bagi orang-orang yang tidak bisa 

menaklukannya seperti yang dialami kelompok 

miskin. 

Lahirnya kelompok miskin perkotaan 

juga merupakan paradoks industrialisasi. 

Industrialisasi yang didengung-dengungkan 

demi kesejahteraan rakyat, sebenarnya pada saat 

yang sama juga melanggengkan kemiskinan 

dengan lahirnya kelas buruh. Industri dan 

buruh merupakan satu kesatuan yang tidak bisa 

dipisahkan. Kenyataan semacam ini menurut 

Basundoro (2013) bukanlah kenyataan sesaat, 

tetapi lahir melalui proses sejarah yang amat 

panjang. Pada proses sejarah yang panjang 

itulah, proses bertahan dan melawan dalam 

rangka memperoleh ruang untuk hidup terus￾menerus dilakukan oleh rakyat atau kelompok 

miskin. Perlawanan rakyat miskin kota dalam 

rangka memperoleh ruang untuk hidup muncul 

dalam bentuk yang amat beragam, terutama 

di Negara-Negara dunia ketiga. Termasuk di 

negara kita   di mana kemampuan Negara untuk 

mengelola rakyat atau kelompok miskin di 

perkotaan masih amat terbatas serta tingginya 

angka urbanisasi di kota-kota besar.

Demikian halnya, kaum lemah atau 

kelompok miskin di perdesaan Dunia Ketiga 

termasuk negara kita  , pada dasarnya tidak 

pernah berhenti menentang ketidakadilan 

yang menimpa diri mereka sebagai akibat 

dari tindakan dan perilaku yang dilakukan 

segolongan manusia, baik yang berasal dari 

dalam warga   mereka sendiri maupun 

kekuatan-kekuatan dari luar warga   

mereka termasuk dalam hal ini pemerintah 

dan aparatnya yang memperlakukan mereka 

secara tidak adil (Soetrisno; 2000). Perasaan 

diperlakukan tidak adil inilah yang sering 

memicu timbulnya konflik antarpihak petani 

gurem atau kelompok miskin dengan kelompok￾kelompok mapan yang mereka anggap sebagai 

sumber ketidakadilan ini . Oleh sebab   

itu akses kelompok miskin terhadap produk 

kebijakan publik dirasakan masih terbatas.

Negara dalam hal ini pemerintah, memiliki 

peran sentral dalam penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial terutama sebab   selain 

Negara memiliki kewajiban memenuhi hak-hak 

dasar publik sebagai konstituennya, Negara juga 

memiliki peran utama sebagai regulator pembuat 

kebijakan publik dan fasilitator penyediaan 

dan pengelolaan anggaran publik bagi usaha 

kesejahteraan sosial. Pemerintah yang responsif 

dalam mengelola dan mengorganisasikan kinerjanya diharapkan mampu menjalankan 

kewajiban dan tanggung jawabnya untuk 

menjamin pelayanan kesejahteraan sosial 

dalam tingkat tertentu bagi warganya termasuk 

komunitas di wilayah perbatasan. Namun 

demikian, dalam pelaksanaannya pemerintah 

juga memiliki keterbatasan sehingga 

partisipasi warga   sebagai pilar usaha 

kesejahteraan sosial, yang mencakup Negara 

pemerintah daerah, warga   madani (civil 

society), sektor swasta, dan lembaga-lembaga 

kemanusiaan internasional dirasakan sangat 

perlu. Namun demikian, pemerintah belum 

dapat sepenuhnya memenuhi kewajibannya 

dalam penyediaan pelayanan sosial. Oleh sebab   

itulah maka partisipasi warga   menjadi 

penting dalam pembangunan khususnya dalam 

penyelenggaraan kesejahteraan sosial. 

Partisipasi warga   memainkan peranan 

yang sangat penting dalam penyelenggaraan 

kesejahteraan sosial sebagaimana ditunjukkan 

dari berbagai keberhasilan penyelenggaraan 

suatu kegiatan atau program yang diprakarsai 

oleh warga   (Marjuki, 2013). berdasar  

uraian ini , maka kelompok miskin di 

dalam mengakses program atau kegiatan 

hasil kebijakan publik lebih memungkinkan 

jika  adanya partisipasi warga   dalam 

pembangunan kesejahteraan sosial.

Salah satu persoalan besar bangsa di masa 

depan adalah bagaimana menyediakan pangan 

yang cukup bagi perut semua warga. Salah satu 

indikator kesanggupan memberi makan bisa 

ditilik dari indeks luas panen per kapita. Di 

Asia Tenggara, indeks luasan panen per kapita 

negara kita   termasuk kecil, hanya 531 meter 

persegi per kapita, setara Filipina (516) dan 

Malaysia (315). Filipina dan Malaysia adalah 

pengimpor pangan reguler (Khudori, 2011). 

Negara-Negara pengekspor pangan memiliki 

indeks luasan panen per kapita cukup besar, yaitu 

Vietnam 929 meter persegi/kapita, Myanmar 

1.285 meter persegi/kapita, dan Thailand 

1.606 meter persegi/kapita. Memang indeks ini 

bukan satu-satunya penentu besarnya produksi. 

Luasan panen dapat dikompensasikan dengan 

produktifitas tinggi. Masalah kelaparan dan 

kemiskinan merupakan fenomena global yang 

telah lama. Pada Konferensi Tingkat Tinggi 

Pangan di Roma tahun 1996, para pemimpin 

dunia bertekad mengurangi kelaparan dari 

840 juta orang menjadi 400 juta orang sampai 

2015 (Nainggolan, 2006). Kelaparan terjadi 

sebab   keterbatasan akses pangan, dimana 

satu orang anak mati setiap lima detik sebagai 

akibat kelaparan dan kurang gizi. Kerawanan 

pangan dan kelaparan sering terjadi pada 

kelompok miskin seperti petani skala kecil, 

nelayan, dan warga   sekitar hutan yang 

menggantungkan hidupnya pada sumber daya 

alam yang terdegradasi. Kerawanan pangan 

juga terjadi pada kelompok miskin perkotaan, 

utamanya kaum buruh. Berbagai persoalan itu 

muncul akibat masalah paling fundamental, 

yaitu disharmoni. Organisasi Perdagangan 

Dunia (WTO) yang semula dimaksudkan 

menjaga harmoni perdagangan global, justru 

cenderung menciptakan ketimpangan dan 

pemiskinan di Negara-Negara berkembang 

dengan segala intrumen yang memenangkan 

Negara maju.

Sementara itu di negara kita   sendiri pada 

pemilihan presiden dan wakil presiden selama 

ini cenderung agenda menyejahterakan rakyat 

selalu mengemuka. Pada kenyataannya, para 

presiden dan wakil presiden sampai saat ini 

belum mampu menyejahterakan rakyatnya 

secara hakiki. Artinya, upaya dan kerja keras 

telah mereka tempuh selama ini meskipun 

hasilnya belum sesuai dengan harapan rakyat. 

Penghargaan perlu diberikan kepada para 

pemimpin Negara selama ini sebab   kerja keras 

mereka. Namun, rakyat juga perlu diapresiasi 

sebab   sangat sabar dalam berjuang untuk meraih kesejahteraan (Brodjonegoro, 2014). 

Mencermati kondisi di atas, tampaknya ada 

sesuatu yang salah dalam tata kelola Negara 

ini. Artinya, belum terjadi sinergi antara 

kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan 

rakyat dan perjuangan rakyat untuk mencapai 

kesejahteraan sosial.

Selanjutnya dikatakan, bahwa indikator 

pertumbuhan ekonomi yang selalu dikaitkan 

dengan tingkat kesejahteraan rakyat ternyata 

keduanya tidak selalu sinkron, di mana 

pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, tetapi 

rakyat tetap miskin, bahkan terjadi kesenjangan 

ekonomi yang makin lebar. Indikator 

pendidikan yang selalu dikaitkan dengan 

kualitas sumber daya manusia ternyata belum 

sepenuhnya benar. Sebab, anggaran yang 

cukup besar belum mampu mendongkrak mutu 

secara signifikan, yang tampak adalah jumlah 

peserta didik yang meningkat drastis. Ada 

kekhawatiran bahwa banyaknya peserta didik 

jika tidak diimbangi oleh mutu yang hakiki 

justru akan menimbulkan masalah baru, yaitu 

para penganggur, dan mereka akan menjadi 

beban berat bagi rakyat dan Negara.

Tampaknya diperlukan paradigma baru 

dalam mengelola Negara agar mampu 

menyejahterakan rakyatnya, yaitu paradigma 

pemberdayaan rakyat. Pemerintah sebagai pihak 

yang diberi amanah oleh konstitusi harus paham 

makna kesejahteraan rakyat, yaitu keberdayaan 

rakyat. Rakyat akan sejahtera jika mereka 

berdaya, mereka mampu menyejahterakan 

dirinya sesuai kapasitas yang dimilikinya.

Ada dua aliran teori besar berkembang 

membangun ekonomi menyejahterakan 

warga  . Pertama adalah aliran konservatif 

yang mendambakan kebebasan pasar dari 

intervensi pemerintah. Aliran konservatif ini 

percaya semangat “homo-economicus” selaku 

“makhluk ekonomi” bisa mengembangkan 

kemampuan diri asalkan diberi kebebasan 

berkarya dan mencipta (Salim, 2012). Landasan 

ilmu aliran ini dikembangkan oleh Chicago 

School Amerika Serikat dengan pemikiran 

utamanya Profesor Millton Friedman. Pada pola 

pembangunan ini kemiskinan akan terhalau 

oleh daya kreatif warga   yang tumbuh 

dalam kebebasan ekonomi mengikuti nalurinya 

selaku “makhluk ekonomi”.

Aliran kedua mengembangkan teori 

intervensi pemerintah dalam pasar menggiring 

pembangunan ekonomi ke sasaran tertentu, 

seperti kesempatan kerja penuh, counter￾cyclus, dan counter-inflasi. Landasan teorinya 

diletakkan oleh John Meynard Keynes dari 

Universitas Cambridge, Inggris. Perinsipnya 

bahwa “pasar” tidak bisa dibiarkan mandiri, tapi 

perlu peranan pemerintah untuk memberantas 

kemiskinan dengan intervensi dalam ekonomi. 

Maka, pemerintahlah harus aktif “mengangkat 

sang miskin” keluar dari lubang kemiskinan 

melalui kebijakan fiskal dan moneter yang pro￾poor. (Salim; 2012). Penganut paham ini, seperti 

Joseph Eugene Stiglitz, dan Jeffrey Sachs. Di 

tanah air kita Sumitro Djohadikusumo, dan 

Widjojo Nitisastro, telah memperluas teori ini 

ke dalam langkah kebijakan pembangunan. 

Banyak Negara berkembang menganut aliran 

kedua ini. Tetapi, pembangunan memberantas 

kemiskinan tidak bisa dilaksanakan dengan 

sekali pukul dalam waktu singkat. Pembangunan 

itu sendiri, berkat W.W. Rostow dalam buku 

klasiknya “The Stages of Economic Growth”, 

sebagaimana dikutip Salim (2012), berlangsung 

secara bertahap. Mula-mula berupa ekonomi 

“pertanian” yang didominasi kerja manusia 

dengan sumber daya alam terbarukan untuk 

kemudian beralih ke tahap berikut “industry”, 

berisikan tenaga kerja dengan modal dan 

mesin. Kemudian tumbuh tahap ketiga, 

ekonomi jasa yang mengandalkan kreativitas 

dan kemampuan skills manusia. Rostow berhasil menjelaskan tahapan pembangunan 

yang mengubah institusi kegiatan ekonomi, 

tetapi tidak berhasil menjelaskan bagaimana 

dalam pentahapan ini menghapus kemiskinan, 

kemelaratan, dan ketertinggalan wong cilik 

atau kelompok miskin yang terperangkap dalam 

lubang kemiskinan. Pembangunan tidak selalu 

berujung pada pengentasan kemiskinan.

Dilema yang dihadapi disini bahwa “teori 

tahapan pembangunan ekonomi Rostow” tidak 

dibarengi dengan “teori tahapan pembangunan 

politik” yang perlu menyertainya. Sistem politik 

demokrasi pada tahap ekonomi-pertanian 

berbeda dengan sistem politik demokrasi 

pada tahap ekonomi-industri. Namun, apa 

dan bagaimana perbedaan sistem politik yang 

mengiringi proses pentahapan pembangunan 

ekonomi tidak dijelaskan (Salim, 2012).

Sampai saat ini belum berkembang teori 

“Stages of Economic and Political Growth”. 

Akibatnya lahir situasi semrawut dalam tata 

kelola pembangunan ekonomi yang mengalami 

perubahan, tetapi tidak disertai perubahan tata 

kelola politik mendukung perubahan ekonomi 

ini. Arah membangun tata kelola ekonomi 

memberantas kemiskinan yang tidak ditopang 

oleh tata kelola politik yang sehaluan, tidak 

dapat menghasilkan pembangunan ekonomi 

memberantas kemiskinan.

Bahwa di era liberalisasi ekonomi 

dunia dewasa ini dan mendatang akan 

dihadapi warga   negara kita   bukan hanya 

meningkatnya masalah kemiskinan seperti biasa 

dipahami selama ini, melainkan produksi dan 

reproduksi beragam masalah sosial baru, seperti 

meningkatnya pengangguran, meningkatnya 

jumlah warga   usia lanjut, semakin maraknya 

beragam bentuk penyimpangan sosial, dan tidak 

kalah pentingnya meningkatnya “pembelotan 

sipil” (civil disobiience). Semua itu, yang 

selama ini hanya dipahami samar-samar sebagai 

fenomena darurat yang bersifat temporer 

dan berskala kecil, di masa mendatang akan 

semakin menjadi ciri inheren dari warga   

dan ekonomi negara kita   (Nasikun; 1999).

Oleh sebab   itu ada   beberapa hal 

terkait dengan penanganan masalah-masalah 

sosial. Pertama, dalam konteks keseluruhan 

kompleksitas masalah yang demikian, masalah￾masalah sosial tidak dapat lagi ditangani melalui 

program-program parsial seperti selama ini kita 

lakukan. Sebaliknya, di era liberalisasi global 

yang akan datang, masalah-maslah sosial harus 

ditangani melalui pengembangan suatu sistem 

kesejahteraan sosial nasional yang benar-benar 

tepadu. Kedua, dalam konteks korporatisme 

Negara yang sudah sangat berkembang selama 

ini, dilema dan ketegangan pilihan pendekatan 

kebijakan dan program-program kesejahteraan 

sosial akan terjadi antara pilihan pendekatan 

“residual” untuk melindungi bekerjanya 

mekanisme pasar bebas dari campur tangan 

pertimbangan-pertimbangan politik. Di satu 

sisi pilihan pendekatan “institusional” untuk 

melindungi hak-hak warga Negara dari 

ketidakadilan mekanisme ekonomi pasar 

bebas di sisi yang lain. Ketiga, meningkatnya 

“magnitude” masalah-masalah sosial di masa 

mendatang. Sebaliknya akan semakin menuntut 

pilihan pendekatan institusional di dalam 

perumusan kebijakan dan program-program 

kesejahteraan sosial dan program-program anti 

kemiskinan.

Mencermati tulisan dalam Tajuk Rencana 

di harian Kompas (2014) yang menyatakan, 

bahwa memasuki tahun 2014 banyak rumah 

tangga merasakan tekanan akibat meningkatnya 

pengeluaran sebab   harga kebutuhan sehari￾hari naik. Kenaikan harga sudah dirasakan 

sejak tahun lalu, mulai dari harga bahan bakar 

minyak, tarif listrik naik 15 persen, dan harga 

bahan makanan. Hal itu tercermin pada inflasi 

tahun 2013 lalu sebesar 8,38 persen, naik tajam dari 4,3 persen pada tahun 2012. Bagi sebagian 

besar ibu rumah tangga, kenaikan harga akan 

memaksa mereka menyusun kembali anggaran 

belanja keluarga. Pada keluarga yang memiliki 

kemampuan ekonomi, langkah yang akan 

dilakukan adalah mengurangi kenikmatan 

seperti rekreasi keluarga. sedang  bagi 

keluarga berpenghasilan tetap dan terbatas 

boleh jadi memilih mengurangi pengeluaran 

untuk makanan sebab   ini yang masih mungkin 

disiasati atau distrategikan untuk mencukupkan 

pendapatan yang terbatas. Dampaknya memang 

tidak kelihatan atau tampak, tetapi dalam jangka 

menengah dan panjang akan menurunkan 

tingkat kecerdasan anak balita dan pada jangka 

panjang merugikan produktifitas tenaga kerja. 

Kenaikan tajam terjadi pada elpiji kemasan 

12 kilogram (kg) yang tidak masuk dalam 

program subsidi pemerintah. PT Pertamina 

mengumumkan menaikan harga elpiji kemasan 

12 kg mulai 1 Januari 2014 lalu sebesar 68 

persen atau Rp 47.508,-. Alasan badan usaha 

milik Negara itu sebab   merugi Rp 7,73 triliun 

pada tahun 2011-2012. Sepanjang 2013, 

kerugian diperkirakan Rp 5,7 triliun. Kerugian 

terjadi sebab   Pertamina harus membeli gas 

sesuai harga pasar, sedang  nilai tukar rupiah 

merosot. Pertamina meyakini kenaikan harga 

tidak akan menurunkan daya beli warga   

sebab   pemakai elpiji kemasan 12 kg adalah 

kelompok mampu. Konsumen kurang mampu 

dapat memakai   elpiji kemasan 3 kg yang 

disubsidi pemerintah. Perlu diperhatikan 

bahwa luput dijelaskan, inflasi tinggi tahun lalu 

menggerus daya beli warga  . Meski tingkat 

kemiskinan nasional berkurang dalam tiga 

tahun, kesenjangan warga   miskin dengan 

warga   kaya tidak berubah. warga   

semakin sulit mencukupi kebutuhan sehari￾hari. Agar tidak semakin miskin atau terpuruk, 

warga   pada kategori kelompok miskin 

mencoba menyiasati atau melakukan strategi 

untuk mempertahankan hidup. berdasar  

pemantauan Media negara kita   (2014) di sejumlah 

daerah, banyak cara yang dilakukan warga 

untuk menutupi kebutuhan mereka. Adapun 

strategi untuk menghadapi kebutuhan hidup 

diantaranya adalah dengan memelihara ternak, 

menanam sayur di halaman rumah, membuka 

warung di rumah, atau membawa bekal 

makanan ke kantor. Menarik untuk dicermati 

peringatan Badan Pusat Staitstik mengenai 

kemungkinan terjadinya kondisi rawan pangan 

pada akhir 2011 dan awal 2012 memunculkan 

keprihatinan kita (Tajuk Rencana Kompas, 

2011). Ada beberapa persoalan di sini. Pertama, 

turunnya angka produksi beras, jagung, dan 

kedelai, yang justru terjadi di tengah langkah 

pemerintah mencanangkan surplus beras 10 

juta ton dan swasembada jagung, kedelai, dan 

gula. Kedua, tidak tercapainya target stok Bulog 

akibat minimnya pengadaan. Ketiga, situasi 

pasokan beras di pasar dunia yang terganggu, 

terutama dengan adanya banjir di Thailand. 

Kempat, buruknya statistik perberasan yang 

membingungkan terkait produksi sebab   belum 

lama BPS mengatakan terjadi surplus produksi 

4-5 juta ton. 

 Kebijakan kesejahteraan sampai saat ini 

masih mengalami permasalahan. Singkatnya 

dapat dikatakan bahwa kebijakan ini  tidak 

bekerja dengan baik dan mayoritas warga   

telah kehilangan kepercayaan terhadapnya. 

Khususnya terhadap meluasnya ketidakpuasan 

akan kegagalan dalam penyaluran santunan atau 

bantuan sosial kepada mereka yang sangat miskin 

atau kelompok miskin, seperti santunan untuk 

keluarga yang memiliki tanggungan anak (Aid 

to families with Dependent Children). Setelah 

beberapa dekade menjadi program pemerintah, 

program ini tidak dapat membuktikan bahwa 

kebijakan santunan sosial yang diberikan 

berdasar  asumsi dan pengukuran terhadap 

tingkat pendapatan terendah sebuah rumah tangga (means-tesyed) secara permanen dapat 

mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih 

baik (Sherraden; 2006). Berkaitan dengan itu 

sebenarnya pembangunan menurut Kazt dan 

Philip Roupp, pada hakekatnya merupakan 

perubahan terencana dari situasi yang satu ke 

situasi lain yang dinilai lebih baik (Wuryandari; 

2010).

Pada proses pelaksanaannya, pembangunan 

yang dilakukan di berbagai Negara berkembang 

seperti negara kita   memiliki perbedaan prinsipil 

yang dilandasi oleh falsafah, hakekat, 

tujuan, dan startegi maupun kebijaksanaan 

dan program pembangunan. Pendapat yang 

lebih fokus dikemukakan Rudito dkk (2005), 

bahwa pembangunan merupakan suatu proses 

perubahan yang terencana terhadap kondisi 

sosial, budaya, dan lingkungan. Pembangunan 

diterapkan guna menjangkau keseimbangan 

pengetahuan yang ada pada seluruh anggota 

warga   yang hidup dalam satu lingkungan 

hidup yang sama, sehingga dengan demikian 

dapat tercipta suatu pengetahuan yang sama 

atau mirip terhadap masing-masingnya dan 

juga terhadap lingkungan hidupnya.

Masalah yang tengah dihadapi oleh 

negara kita   saat ini adalah bagaimana dapat keluar 

dari sistem ekonomi yang tidak menguntungkan 

yang telah membuat kita tidak bisa melangkah 

lebih maju setara dengan Negara-Negara maju 

lainnya. Keadaan ini tidak lepas dari paradigma 

lama yang masih kita pertahankan dalam 

mengelola ekonomi di negeri ini. Paradigma 

lama itu adalah cara pandang di masa kolonial 

yang masih kita pertahankan dengan menjadikan 

bangsa ini sebagai subordinasi Negara-Negara 

maju. Jika di masa lalu, penguasaan ekonomi 

dan politik itu dengan cara okupasi langsung, 

kini dilakukan dengan perjanjian dan kontrak 

yang membuat negara kita   tidak berdaya. Seakan 

menjadi rumus baku bahwa Negara industri 

maju mengolah bahan mentah menjadi barang 

siap pakai, sementara Negara dunia ketiga yang 

kaya sumber daya alam seperti negara kita   hanya 

menjadi eksportir bahan mentah (Rahardjo, 

2011).

 Namun dalam pelaksanaannya menurut 

Sumarto (2014; 7) walaupun mungkin benar 

laporan yang disampaikan Sekretaris Eksekutif 

TNP2K, bahwa program perlindungan sosial dan 

program lainnya telah menurunkan kemiskinan 

walaupun itu masih bisa diperdebatkan 

sebab   pilihan indikator kemiskinan yang 

dipergunakannya. Hal lain yang tidak kalah 

pentingnya adalah implikasi sosial-politik 

akibat pelaksanaan program-program ini , 

yaitu terjadi konflik sosial dan praktik 

klienelisme yang cukup problematik.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan, 

program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan 

Bantuan Beras untuk Orang Miskin (Raskin) 

telah menimbulkan konflik. Konflik ini  

mengancam modal sosial (social capital) yang 

merupakan media yang digunakan warga   

untuk mendistribusikan perlindungan sosial. 

Modal sosial telah membantu warga   

mempertahankan hidupnya saat Negara 

mengalami keterbatasan dalam menjangkau 

mereka (kelompok miskin). Pada saat yang 

sama, program-program ini  telah 

dimanfaatkan elite politik untuk praktik 

klientelisme dengan cara memakai  nya 

untuk memperoleh dukungan politik guna 

memenangkan pemilihan kepala desa, pemilu 

legislatif, dan pemilu presiden.

Munculnya konflik sosial dan praktik 

klientelisme ini sering terjadi dalam transformasi 

rezim kesejahteraan di Negara berkembang. 

Konflik terjadi sebab   sistem distribusi yang 

memberikan perlindungan sosial secara selektif 

hanya kepada warga   miskin belum 

terbangun secara mapan sehingga salah sasaran 

dan memicu konflik. Untuk itu, tantangan pemerintah ke depan tidak hanya masalah 

teknik pengelolaan program, sebagaimana 

disampaikan Sekretaris Eksekutif TNP2K dan 

Tim Transisi Jokowi-JK tetapi juga problema 

yang lebih mendasar adalah keterbatasan 

pemahaman ideologis, minimalisasi risiko 

munculnya konflik, dan menjaga keberlanjutan 

modal sosial. Terkait modal sosial pada 

dasarnya menurut Eva Cox (1995) dalam 

Hasbullah (2006), bahwa mengatakan sebagai 

suatu rangkaian proses hubungan antar manusia 

yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, 

dan kepercayaan sosial yang memungkinkan 

efisiensi dan efektifnya koordinasi dan 

kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan 

bersama. Implementasi berbagai program oleh 

orang-orang yang mempunyai kepentingan 

dalam mengambil keuntungan tertentu, maka 

akan merusak tatanan kepercayaan, nilai, dan 

norma warga  . Dengan begitu semakin 

terjadi kesenjangan sosial di antara kelompok 

warga   miskin dan menengah keatas. 

Pembangunan Manusia 

 Pembangunan manusia adalah tujuan akhir 

dari pembangunan ekonomi dan merupakan 

cara terbaik untuk memajukan pembangunan. 

Pembangunan manusia bertujuan meningkatkan 

kemampuan warga   untuk menuju hidup 

yang lengkap, produktif, dan menyenangkan. 

Misalnya umur panjang, kesehatan baik, 

terdidik, pendapatan cukup untuk membeli 

makanan, pakaian dan tempat tinggal, serta 

berpatisiapsi dalam pengambilan keputusan￾keputusan yang menyangkut dirinya (Samosir; 

2011).

Meningkatkan pencapaian pembangunan 

manusia, negara kita   harus meningkatkan strategi 

pembangunan manusia dalam pembangunan. 

Strategi pembangunan manusia adalah suatu 

perubahan besar dalam prioritas pembangunan 

dengan prinsip menomorsatukan manusia dan 

menekankan pembentukan modal manusia. 

Modal manusia memegang peran sentral 

dalam proses pembangunan. Kualitas seorang 

manusia sebagai sebuah faktor produksi 

dianggap ditentukan oleh kondisi fisiknya, 

tingkat pendidikannya, dan ketrampilan yang 

dimilikinya. Manusia yang berkualitas tinggi 

adalah manusia yang sehat badannya dan 

memperoleh cukup pendidikan dan pelatihan 

(Marzali; 2005).

 Program Pembangunan Perserikatan 

Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa Indeks 

Pembangunan Manusia negara kita   pada tahun 

2011 sebesar 0,617. Norwegia tetap berada di 

peringkat pertama dengan Indeks Pembangunan 

Manusia (IPM) 0,943 dan Kongo di urutan 

terakhir dengan IPM 0,286. Nilai IPM di 

atas, negara kita   menduduki peringkat ke 124, 

turun dari peringkat ke-108 pada tahun 2010 

(Samosir, 2011). Meskipun peringkat IPM 

negara kita   turun, sebenarnya nilai IPM negara kita   

meningkat dari 0,600 pada 2010. Selain itu, 

kalau pada 2010 Program Pembangunan PBB 

(UNDP) menghitung IPM untuk 169 Negara, 

tahun 2011 UNDP menghitung IPM untuk 

187 nrgara. Masuknya 18 Negara baru dalam 

percaturan IPM mengakibatkan pergeseran 

peta peringkat IPM Negara-Negara di dunia. 

Negara-Negara ini memiliki tingkat kesehatan, 

pendidikan, dan ekonomi lebih baik daripada 

negara kita  , seperti Palau (49), Kuba (51), 

Seychelles (52), Lebanon (71), Samoa (99), dan 

Palestina (114).

 Sesungguhnya konsep pembangunan 

manusia itu bukanlah sesuatu yang sama sekali 

baru. Pada masa Orde Baru, konsep ini sudah 

muncul dan termasuk problem hakiki dalam 

pembangunan bangsa dan Negara secara 

umum. Konsep ini tentu tidak muncul begitu 

saja. Benih pembangunan ekonomi (economic 

development) khususnya sudah muncul terlebih 

dahulu sejak awal Orde Baru yang dianggap sebagai panglima menggantikan politik sebagai 

panglima bagi Orde Lama dengan semboyan 

pembangunan karakter (character building). 

Konsep pembangunan ekonomi mengandung 

pengertian kuat dari perspektif positivistik yang 

serba terukur di mana fakta-fakta ekonomi padu 

dengan perhitungan-perhitungan matematis 

sebagaimana terwakili dalam pengukuran 

gross national product (GNP) atau produk 

nasional bruto (Awuy, 2014). Pada tahun 1990, 

Program Pembangunan Perserikatan Bangsa￾Bangsa (UNDP) membuat langkah maju dalam 

konsep pembangunan bangsa dan Negara 

dengan memublikasikan human development 

report (HDR). Dari sini muncul kritik dan 

revisi terhadap konsep development yang 

dihegemonik oleh pengukuran positivistik, 

khususnya saat  konsep pembangunan ini  

diterapkan pada keberadaan diri manusia 

menjadi human development. HDR pun pada 

hematnya bukanlah barang baru diukur dari 

publikasi pertama UNDP itu.

 Pada tahun 1990 ekonom Pakistan, Mahbub 

ul Haq, sebagaimana dikutip Hardinsyah (2011) 

yang tidak puas menilai sukses pembangunan 

hanya berdasar  ukuran ekonomi seperti 

GDP mengembangkan ukuran aggregat 

kualitas manusia di suatu Negara atau wilayah 

yang disebut Indeks Pembangunan Manusia 

(IPM)atau Human Development Index (HDI). 

Selanjutnya setiap tahun United Nations 

Development Program (UNDP) menganalisis 

dan mempublikasikan IPM dalam Human 

Development Report. IPM merupakan ukuran 

komposit dari tiga dimensi pembangunan 

manusia, yaitu manusia yang: 1) hidup sehat 

berumur panjang; 2) berpengetahuan dan 

berpendidikan; dan 3) penghasilan yang layak. 

Masing-masing dimensi diukur atau 

diproksi secara sederhana berdasar  data 

sekunder yang umumnya tersedia secara 

berkala di setiap Negara. Dimensi pertama 

diukur secara sederhana dari usia harapan 

hidup, dimensi kedua diukur secara sederhana 

dari persen warga   melek huruf dikalangan 

warga   berusia 15 tahun ke atas, dan 

persentase warga   terdaftar pada sekolah 

SD, SLTP dan SLTA; dan dimensi ketiga diukur 

secara sederhana dari penghasilan rata-rata per 

kapita yang ditinjau dari segi daya beli atau 

tingkat kemiskinan. IPM menunjukka nilai tiga 

dimensi dasar pembangunan manusia ini , 

yang kemudian diranking antar Negara yang 

dianalisis.

 Terkait dengan perihal memaknai 

pembangunan manusia, masih mengutip 

pandangan Awuy (2104), bahwa seorang 

ekonom dan negarawan asal Pakistan, 

Mahbub Ul Haq, mengeluarkan konsep human 

development yang lalu mendapatkan patner 

yang tepat, yakni Amartya Sen. Baik Mahbub 

Ul Haq maupun Amartya Sen tak sekedar 

menyoroti pembangunan ekonomi dari dalam 

diri ekonomi itu sendiri. Mereka memaknai 

hubungan pembangunan ekonomi yang tak 

terlepas dari pembangunan manusia secara 

lebih luas. Program utama dari Mahbub Ul 

Haq dan Amartya Sen adalah menyampingkan 

pendekatan posivistik dengan alasan bahwa 

manusia bukanlah obyek dalam pembangunan 

ekonomi, melainkan subyek, dan sebagai 

subyek, manusia tidak semata-mata bisa dilihat 

sebagai mahluk yang total rasionalistik lalu 

mengurung dirinya dalam pengukuran GNP. 

Mahbub Ul Haq Mahbub Ul Haq, mengartikan 

pembangunan manusia itu pada pilihan manusia 

(people choices).

Pembangunan ekonomi dan pembangunan 

manusia dilihat sebagai ruang pilihan-pilihan 

sebagaimana manusia memiliki berbagai 

potensi dalam dirinya untuk kemudian mampu 

memilih diantaranya untuk eksis. Musuh 

pembangunan manusia dan ekonomi tak lain adalah menutup ruang-ruang pilihan itu 

sehingga manusia tak mampu menemukan dan 

memenuhi kebutuhannya sendiri sebagaimana 

jika kita sekadar tunduk pada perhitungan GNP.

 Selain masalah pendidikan yang belum 

diimbangi oleh kualitas, masih terlihat adanya 

kesenjangan pendidikan menengah yang 

cenderung masih tinggi (Kompas, 2014). 

Penyediaan akses pendidikan dasar hingga 

menengah bagi anak-anak usia belajar di 

negara kita   meningkat. Namun, masih terjadi 

kesenjangan partisipasi pendidikan terkait 

status sosial ekonomi kaya-miskin ataupun 

perbedaan wilayah. Draf rancangan teknokritik 

Rencana Panjang Menengah Nasional 2015 

-2019 bidang pendidikan, Direktorat Pendidikan 

Kementerian Perencanaan Pembangunan 

Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan 

Nasional (Bappenas) terlihat bahwa pendidikan 

belum sepenuhnya dinikmati semua lapisan 

warga  . Kelompok warga   miskin jauh 

tertinggal dibandingkan dengan warga   

kaya dalam memperoleh layanan pendidikan. 

Hal serupa tercermin dalam hasil Survei Sosial 

Ekonomi Nasional (Susenas, 2012), dimana 

kesenjangan partisipasi dalam pendidikan 

menengah tampak antara kelompok warga   

kaya dan miskin pada kelompok umur 16 – 18 

tahun. Angka partisipasi sekolah menengah 

dari kuantil 1 (20 persen kelompok warga   

paling miskin) baru mencapai 42,9 persen. 

Adapun pada kuantil 5 (20 persen kelompok 

warga   terkaya) sudah 75,3 persen. Selain 

itu, kesenjangan Angka Partisipasi Murni 

(APM) di jenjang pendidikan menengah dialami 

oleh warga   yang tinggal di wilayah barat 

dan timur negara kita  . APM ialah persentase 

jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu 

dibandingkan dengan warga   usia sekolah. 

Kesenjangan itu terjadi, bahkan di dalam 

sebuah provinsi (Kompas, 2014). Itu terefleksi 

dalam data Kementerian Pendidikan dan 

Kebudayaan 2013. Di DKI Jakarta misalnya, 

APM pendidikan menengah di Jakarta Utara 

dan Jakarta Barat baru berkisar 53 persen dan 

58 persen, sementara di Jakarta Pusat sudah 

95 persen. Di Papua Barat, Papua, dan Nusa 

Tenggara Timur, APM pendidikan menengah 

masih di bawah 50 persen. Fakta serupa terjadi 

di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, 

dan Lampung. Kebijakan pendidikan mesti 

disesuaikan dengan kondisi di daerah. Program 

tak bisa diseragamkan.



Kemiskinan merupakan suatu kondisi yang diakibatkan 

oleh kekurangannya sumberdaya yang berfungsi untuk 

memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan 

kesejahteraan suatu warga  . Kemiskinan merupakan 

permasalahan yang belum terpecahkan di negara kita   

sebab   ada   banyak faktor yang melatarbelakanginya. 

Kemiskinan dibagi kedalam beberapa kelompok yakni 

diantaranya kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, 

kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Faktor 

latar belakang yang menyebabkan munculnya masalah 

kemiskinan diantaranya kebiasaan buruk yang dianut oleh 

suatu kelompok warga   dan ketimpangan pendapatan 

yang didapat oleh warga  . Untuk mengatasi 

kemiskinan perlu adanya upaya dari beberapa pihak 

seperti para pemangku kebijakan dan profesional salah 

satunya yakni Pekerja Sosial. Pekerja sosial memiliki 

tujuan untuk memberdayakan warga  , hal ini  

berkaitan dengan penelitian dalam penulisan artikel ini 

mengenai bagaimana upaya yang dilakukan untuk 

menanggulangi permasalahan kemiskinan melalui 

perspektif Pekerja Sosial. Penulisan artikel ini bertujuan untuk melakukan penelitian mengenai situasi kemiskinan 

di negara kita   saat ini dan upaya yang dapat dilakukan 

untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan melalui 

perspektif profesi pekerja sosial.Kemiskinan merupakan suatu 

permasalahan yang sulit untuk diselesaikan di 

negara berkembang khususnya negara kita  . Hari 

(2017) mengungkapkan bahwa kemiskinan 

dalam hal sosial-psikologis mengarah pada 

kekurangan jaringan serta struktur sosial yang 

dapat meningkatkan produktivitas. Dimensi 

kemiskinan merupakan kemiskinan yang 

disebabkan oleh faktor-faktor yang 

menghambat kesempatan yang ada   di 

warga  . Faktor penghambat dalam hal ini 

yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor 

Internal merupakan faktor yang berasal dari 

dalam diri seseorang seperti misalnya 

rendahnya pendidikan sedang  faktor 

eksternal adalah faktor yang berada dari luar 

diri seseorang, kedua faktor ini  

mempengaruhi akses bagi seseorang yang 

berada dalam kategori miskin untuk memenuhi 

kebutuhan serta meningkatkan 

kesejahteraannya.

Sharp dalam Kuncoro (2004) 

menyatakan bahwa ada   beberapa 

pemicu  dari timbulnya masalah kemiskinan, 

yakni (1) ada  nya perbedaan pola 

kepemilikan sumber daya sehingga 

menyebabkan tidak meratanya distribusi 

pendapatan, (2) ada   perbedaan pada 

kualitas sumberdaya manusia, dan (3) 

ada  nya teori lingkaran setan kemiskinan 

(Vicious Circle of Poverty). Upaya 

penanggulangan kemiskinan sudah sejak lama 

dilakukan oleh berbagai pihak seperti 

pemerintah dengan mengeluarkan beberapa 

program-program yang dapat membantu 

mencukupi kebutuhan warga  . Program 

ini  diantaranya yaitu Program negara kita   

Pintar (PIP) yang diberikan melalui Kartu 

negara kita   Pintar (KIP), Program negara kita   Sehat 

(PIS) yang diberikan melalui Kartu negara kita   

Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), 

dan program-program lainnya yang ditujukan 

untuk membantu memenuhi kebutuhan 

warga   miskin (Poluakan, 2019). Namun hal 

ini  tentu tidak cukup untuk 

menanggulangi kemiskinan, mengingat 

kemiskinan tidak dapat dipandang hanya dari 

satu sisi saja sebab   merupakan suatu 

permasalahan yang kompleks sebab   tidak 

hanya terkait dengan ekonomi, melainkan juga 

sisi lainnya seperti kesehatan, pendidikan, 

politik, kelembagaan dan sebagainya (Haris, 

2018). Oleh sebab   itu, dalam proses 

penanggulangan kemiskinan diperlukan suatu 

pendekatan yang tidak hanya berfokus pada 

individual tetapi juga perlu memperhatikan segi 

kultural, dan struktural di warga   

(Poluakan, 2019).

Pekerjaan sosial hadir sebagai sebuah 

profesi yang dilatarbelakangi oleh adanya 

peristiwa black death yaitu kematian massal 

akibat suatu wabah penyakit di Inggris pada 

abad ke-14 yang berdampak pada kondisi 

warga   yang menjadi miskin (Sitepu, 2017). 

Oleh sebab   itu, pekerja sosial sangat terkait 

dengan masalah kemiskinan, sebab   pekerjaan 

sosial lahir dari adanya masalah kemiskinan 

(Ishartono dkk, 2016). Pekerja sosial menjadi 

tenaga terdepan dalam mengatasi masalah

kemiskinan (Ishartono dkk, 2016). Penulisan 

artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi a). 

Situasi Kemiskinan di negara kita   saat ini b). 

Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk 

menanggulangi permasalahan kemiskinan 

melalui perspektif Pekerja Sosial. Penelitian dalam penulisan artikel ini 

yaitu memakai   metode studi kepustakaan 

atau studi literatur. Menurut Achmadi (2005) 

penelitian studi literatur tidak diharuskan untuk 

secara langsung turun ke lapangan dan bertemu 

dengan responden. Pendekatan studi 

kepustakaan adalah teknik pengumpulan data￾data untuk memenuhi kebutuhan penelitian 

yang diperoleh dari literatur, laporan-laporan, 

sumber pustaka atau dokumen. Tulisan ini 

dikembangan dengan memperbanyak informasi 

dari berbagai sumber lalu membandingkannya 

dan membuat hasil atas data yang berhubungan 

dengan topik pembahasan. 

Kumpulan informasi atau data yang 

terkait dengan topik pembahasan pada artikel 

ini bersumber dari Platform Google. Data yang 

digunakan untuk menjadi sumber referensi 

dalam penulisan artikel berasal dari jurnal 

mengenai upaya menanggulangi permasalahan 

kemiskinan di negara kita   memakai   salah 

satu perspektif pekerja sosial yaitu 

pemberdayaan warga  .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kasus Kemiskinan Di negara kita  

Kemiskinan merupakan salah satu 

permasalahan yang belum terselesaikan di 

negara berkembang khususnya di negara kita  . 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per 

September 2021 jumlah warga   miskin di 

negara kita   mencapai hingga 26,50 juta warga   

atau sebesar 9,71 persen. Dilansir dari laman 

web Kompas.com, Lembaga Riset Institute for 

Demographic and Poverty Studies (IDEAS) 

memberi prediksi bahwa pada tahun 2022 

negara kita   mengalami kenaikan dalam angka 

kemiskinan menjadi 29,3 juta warga   atau 

sebesar 10,81 persen. 

Menurut Friedman dalam Suharto 

(2014:134) Kemiskinan merupakan kondisi yang 

muncul diakibatkan oleh adanya kesempatan 

yang tidak merata dalam mengakumulasi dasar 

kekuatan sosial seperti:

Modal produktif

Aset (tanah, perumahan, peralatan dan 

kesehatan)

Sumber-sumber keuangan (pendapatan serta 

kredit yang memadai)

Organisasi sosial dan politik (partai politik, 

koperasi, kelompok usaha, dan kelompok 

simpan pinjam)

Network atau jaringan sosial

Keterampilan dan informasi untuk 

mengembangkan hidup

Menurut Hari (2017) secara ekonomi, 

kemiskinan merupakan kondisi yang 

diakibatkan oleh kekurangannya sumberdaya 

yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan 

hidup serta meningkatkan kesejahteraan suatu 

warga  , sumberdaya dalam hal ini berarti 

meliputi hal yang dapat digunakan untuk 

meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang 

luas. sedang  Andi (2018) berpendapat 

bahwa kemiskinan merupakan permasalahan 

yang dapat dilihat berdasar  beberapa hal 

seperti rendahnya kualitas hidup warga  , 

terbatasnya kecukupan dalam mutu pangan, 

minimnya akses layanan kesehatan yang 

dimiliki, kekurangan gizi serta buruknya 

kualitas layanan pendidikan yang diperoleh.

Fakir miskin merupakan suatu 

kelompok yang tidak memiliki sumber mata 

pencaharian atau memiliki sumber mata 

pencaharian namun tidak mampu untuk 

memenuhi kebutuhan dasar baik untuk diri 

sendiri maupun keluarganya (Hari, 2017).

Kemiskinan adalah suatu masalah mengenai 

rendahnya kualitas hidup suatu warga  , 

terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, 

kurangnya pelayanan kesehatan, gizi anak serta 

buruknya kualitas atau mutu layanan 

pendidikan (Haris, 2018). Kemiskinan juga 

dapat memberikan dampak negatif, mulai dari 

munculnya tindakan kejahatan, pengangguran, 

dan berbagai bentuk kondisi kehidupan sosial 

ekonomi yang buruk. berdasar  hal ini  

dapat dikatakan bahwa kemiskinan dapat 

memicu munculnya beragam masalah sosial. 

Di negara kita  , permasalahan kemiskinan 

memiliki sifat multidimensional yang berarti 

membutuhkan adanya penanganan 

berdasar  beberapa aspek lain dari 

kemiskinan. Pernyataan ini  didukung oleh 

penelitian yang dilakukan oleh Hari (2017) yang 

menyatakan bahwa kemiskinan merupakan 

konsep yang berdimensi ganda 

(multidimensional), yakni terdiri dari dimensi 

ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Hal 

ini  juga searah dengan pendapat 

Tjokrowinoto dalam Sulistiyani (2017:27) bahwa 

kemiskinan tidaklah hanya memiliki keterkaitan 

dengan kesejahteraan warga   melainkan 

juga berkaitan dengan permasalahan 

kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan 

(powerless), kurangnya peluang akses lapangan pekerjaan bagi warga  , penghasilan yang 

habis untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, 

tingginya angka ketergantungan, dan budaya 

kemiskinan yang diberikan oleh generasi 

sebelumnya dan masih diterapkan hingga saat 

ini. Kemiskinan dapat diukur melalui penetapan 

persediaan sumberdaya dengan pemakaian  

standar baku yang dapat disebut dengan garis 

kemiskinan (poverty line), cara ini  

dinamakan dengan metode pengukuran 

kemiskinan absolut. 

ada   ketentuan yang dikeluarkan 

oleh pemerintah yang mengatur mengenai 

indikator kemiskinan yang standar dalam 

PERMENSOS No. 146 Tahun 2013, yakni 

sebagai berikut:

1. Tidak memiliki sumber mata 

pencaharian atau memiliki sumber mata 

pencaharian namun tidak cukup untuk 

memenuhi kebutuhan dasar

2. Penghasilan hanya dapat digunakan 

sebagian besar untuk memenuhi 

konsumsi makanan pokok dengan 

sangat sederhana

3. Tidak memiliki akses untuk berobat ke 

tenaga medis terkecuali puskesmas atau 

mendapatkan subsidi dari pemerintah

4. Tidak mampu untuk membeli pakaian 

satu kali dalam jangka waktu satu tahun 

untuk setiap anggota keluarga atau 

rumah tangga

5. Hanya memiliki kemampuan untuk 

menyekolahkan anak sampai jenjang 

pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat 

Pertama (SLTP)

6. Dinding rumah terbuat dari 

bambu/kayu/tembok dengan kondisi 

yang tidak baik seperti tembok yang 

telah usang atau yang tidak diplester

7. Lantai terbuat dari tanah atau 

kayu/semen/keramik dengan kondisi 

yang tidak baik

8. Atap terbuat dari ijuk/rumbia atau 

genteng/seng/asbes dengan kondisi 

yang tidak baik

9. Penerangan yang digunakan pada 

bangunan tempat tinggal bukanlah 

berasal dari listrik atau dari listrik tanpa 

meteran

10. Luas lantai rumah kurang dari 8 

m2/orang

11. Sumber air minum yang dimiliki berasal 

dari sumur atau mata air yang tak 

terlindung seperti sungai, air hujan, dll.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 

Kemiskinan merupakan ketidakmampuan 

suatu warga   dari sisi ekonomi dalam 

memenuhi kebutuhan dasar baik makanan 

maupun bukan makanan yang terukur 

berdasar  sisi pengeluaran, sedang  

warga   miskin merupakan warga   yang 

memiliki rata-rata pengeluaran perkapita 

perbulan dibawah garis kemiskinan.

ada   14 Kriteria Miskin menurut 

Standar Badan Pusat Statistik, diantaranya:

1. Luas lantai bangunan pada tempat 

tinggal berukuran kurang dari 8m2 per 

orang

2. Jenis lantai pada tempat tinggal terbuat 

dari tanah/bambu/kayu dengan biaya 

atau harga yang murah

3. Jenis dinding pada tempat tinggal dari 

bambu/rumbia/kayu dengan kualitas 

rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar 

atau dilakukan secara bersama-sama 

dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga 

masih tidak memakai   listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/ 

mata air tidak terlindung/sungai/air 

hujan.

7. Bahan bakar yang digunakan untuk 

memasak makanan sehari-hari yakni 

memakai   kayu bakar/ arang/ 

minyak tanah

8. Hanya mengkonsumsi 

daging/susu/ayam dalam satu kali 

seminggu.

9. Hanya mampu membeli satu stel 

pakaian baru dalam setahun

10. Hanya mampu makan sebanyak satu/ 

dua kali dalam sehari

11. Tidak mampu membayar biaya 

pengobatan di puskesmas/ poliklinik

12. Sumber penghasilan kepala rumah 

tangga adalah: petani dengan luas lahan 

500m2, buruh tani, nelayan, buruh 

bangunan, buruh perkebunan dan atau 

pekerjaan lainnya dengan pendapatan 

dibawah Rp. 600.000,- per bulan

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah 

tangga yakni tidak sekolah/ tidak tamat 

SD/ tamat SD.

14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang 

mudah dijual dengan minimal Rp. 

500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, 

atau barang modal lainnya.

Kemiskinan merupakan permasalahan 

yang termasuk ke dalam patologi sosial dan 

dapat menyebabkan terbentuknya perilaku anti 

sosial serta kriminalitas terhadap seseorang 

seperti aksi kejahatan hingga pengangguran dan 

kondisi kehidupan sosial ekonomi yang buruk 

lainnya (Andi, 2018).

Munculnya permasalahan kemiskinan tentunya 

tidak terlepas dari faktor yang 

melatarbelakanginya. Jamasy (2004) 

menyatakan bahwa kemiskinan dibagi menjadi 

dua kelompok dilihat dari pemicu nya, yakni 

kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.

Kemiskinan Kultural

Kemiskinan kultural yaitu kemiskinan 

yang diakibatkan oleh ada  nya kultur, 

budaya atau kebiasaan yang dianut oleh suatu 

warga   berupa kebiasaan warga   

dalam cara berpikir warga   yang kurang 

rasional serta merasa cepat puas dengan sesuatu 

yang telah dicapai sehingga menyebabkan 

timbulnya sifat malas. Kemiskinan kultural 

merupakan kondisi kelompok warga   

dimana menurut kelompok warga   lainnya 

sudah termasuk kedalam kategori miskin atau 

sangat miskin namun kelompok warga   ini 

tidak merasa memiliki masalah dengan keadaan 

yang mereka hadapi sehingga menyebabkan 

sulitnya menanggulangi permasalahan 

kemiskinan pada kelompok yang masuk ke 

dalam kemiskinan kultural ini.

Kemiskinan Struktural 

Kemiskinan struktural merupakan 

kemiskinan yang diakibatkan oleh ada  nya 

kebijakan pembangunan yang belum merata 

bagi seluruh warga   sehingga munculnya 

permasalahan ketimpangan pendapatan pada 

suatu kelompok warga  . Kelompok 

kemiskinan ini diakibatkan oleh sistem dan 

struktur sosial yang tidak menyediakan 

kesempatan atau lapangan pekerjaan yang 

memungkinkan warga   dalam kategori 

miskin untuk dapat bekerja. warga   yang 

termasuk kedalam kelompok ini umumnya 

yakni bekerja sebagai buruh tani, pemulung, 

penggali pasir serta orang-orang yang tidak 

terpelajar atau terlatih. Pemerintah memiliki 

peranan besar dalam mengentaskan 

permasalahan kemiskinan dalam kelompok 

kemiskinan struktural disebab  kan dalam 

menyelesaikan permasalahan kemiskinan pada 

kelompok ini butuh adanya seseorang yang 

memiliki kekuasan dan mampu untuk 

menciptakan kebijakan yang pro terhadap 

warga   miskin. Hal ini berkaitan juga 

dengan salah satu pemicu  permasalahan 

kemiskinan di negara kita  , yakni ada  nya 

kebijakan ekonomi dan politik yang tidak 

memberikan keuntungan pada warga   

yang tergolong kedalam warga   miskin 

sehingga menyebabkan mereka tidak 

mendapatkan akses sumberdaya untuk 

memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan 

layak.

Chambers dalam Khomsan, dkk 

(2015:3-4) juga menyatakan ada   empat 

faktor yang menjadi latar belakang terjadinya 

kemiskinan:

Kemiskinan absolut, kemiskinan yang terjadi 

pada suatu kelompok warga   dimana 

pendapatan mereka berada pada bawah garis 

kemiskinan sehingga mereka tidak mampu 

untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar 

seperti sandang, pangan dan papan serta 

kesehatan dan pendidikan yang mana hal 

ini  dibutuhkan mereka untuk melakukan 

kegiatan bekerja dan melanjutkan hidup.

Kemiskinan relatif, kemiskinan yang 

diakibatkan oleh ada  nya ketimpangan 

pendapatan, namun kelompok warga   pada 

kategori ini masih tergolong memiliki 

pendapatan di atas garis kemiskinan namun 

mereka cenderung masih berada di bawah 

kemampuan warga   di sekitar mereka.

Kemiskinan kultural, kemiskinan yang 

diakibatkan oleh adanya faktor budaya atau 

kebiasaan yang dianut oleh suatu warga  , 

yang mana mereka tidak mau untuk 

memperbaiki kondisi kehidupan mereka seperti 

misalnya malas dan boros.

Kemiskinan struktural, merupakan 

kemiskinan yang terjadi diakibatkan oleh 

kurangnya akses bagi suatu kelompok 

warga   untuk memperoleh sumber daya 

yang ada   dalam sistem sosial budaya

politik hingga tidak mendukung adanya 

pembebasan serta pengentasan kemiskinan.

Perkembangan yang terjadi pada masa 

kini menyebabkan kegiatan pembangunan pada 

suatu wilayah tidak dapat dihindari terutama di 

wilayah perkotaan, hal ini  menjadi salah 

satu pemicu  termarginalisasikannya 

warga   kurang mampu atau miskin yang tidak memiliki pengetahuan serta