Miskin 3
rang tuanya, hingga hakhaknya dilanggar. sebab alasan keuangan, anak-anak yang seharusnya memiliki masa
kecil yang bahagia dan pendidikan terpaksa berkompromi.
Mereka terpaksa putus sekolah agar bisa bekerja demi memenuhi kebutuhan
keuangan keluarga. Faktanya, sebab menghambat aktivitas bermain dan pendidikan, hal
ini dapat membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka. Selain itu, kemiskinan
mempunyai dampak lain. Pertama, sebab warga miskin sering kali memakai
segala cara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, maka terjadi peningkatan kejahatan di
wilayah ini . Kedua, angka kematian meningkat sebab sulitnya mendapatkan akses
kesehatan yang memadai. Ketiga, akses pendidikan tertutup sebab warga miskin
tidak mampu membayar pendidikan yang memadai. Keempat, meningkatnya angka
pengangguran sebab kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang layak. Kelima,
munculnya konflik antar warga sebab adanya kesenjangan yang memicu
kecemburuan di warga . Pemahaman yang mendalam mengenai dampak kemiskinan
sangat penting dalam merumuskan kebijakan yang efektif untuk mengatasi kemiskinan
dan mendorong pemerataan pembangunan yang berkelanjutan.
Kebijakan penanggulangan kemiskinan di negara kita mengadopsi dua pendekatan
utama, yakni kebijaksanaan tidak langsung dan kebijaksanaan langsung. Pendekatan
tidak langsung difokuskan pada penciptaan kondisi yang mendukung upaya
penanggulangan kemiskinan, seperti stabilitas sosial politik, keberlanjutan ekonomi, dan
pembangunan budaya yang inklusif. Ini termasuk upaya pengaturan ekonomi makro
melalui kebijakan keuangan dan perpajakan yang hati-hati, serta pengendalian tingkat inflasi untuk memastikan harga kebutuhan dasar tetap terjangkau bagi warga miskin.
Pendekatan langsung dalam penanggulangan kemiskinan menekankan peningkatan
partisipasi serta produktivitas sumber daya manusia, khususnya di kalangan warga
dengan pendapatan rendah. Upaya ini melibatkan penyediaan kebutuhan esensial seperti
makanan, pakaian, tempat tinggal, pelayanan kesehatan, dan akses pendidikan. Selain itu,
pendekatan ini juga melibatkan pembangunan program-program sosial ekonomi yang
berkelanjutan, bertujuan untuk meningkatkan kemandirian kelompok warga yang
rentan terhadap kemiskinan.
Pemerintah negara kita telah menetapkan penanggulangan kemiskinan sebagai fokus
utama dalam agenda pembangunan nasional, yang tercermin dalam dokumen
perencanaan tahunan seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan
Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Untuk mengurangi kemiskinan, pemerintah
meluncurkan sejumlah program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH),
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dijalankan
oleh Kementerian Sosial. Program-program ini bertujuan memberikan bantuan kepada
keluarga miskin guna memenuhi kebutuhan dasar mereka. Evaluasi terus dilakukan
terhadap efektivitas program-program ini , dengan beberapa skema bantuan seperti
Raskin dan Bansos penanganan kemiskinan ekstrem masih dinilai belum optimal. Selain
itu, untuk mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh, diperlukan langkah-langkah
strategis seperti perluasan akses keuangan, perbaikan fokus pada kemiskinan dalam
perencanaan nasional, pengembangan sistem jaminan sosial komprehensif, investasi
dalam kesehatan dan sanitasi, serta perkuatan peraturan ketenagakerjaan yang lebih
fleksibel.
Pendekatan berkelanjutan dalam penanggulangan kemiskinan sangat penting,
mengingat kemiskinan akan selalu menjadi masalah yang harus diatasi. Melalui
pendidikan yang berkelanjutan, diharapkan upaya penanggulangan kemiskinan dapat
mencapai hasil yang signifikan, sebab pendidikan merupakan investasi jangka panjang
yang tidak hanya memberikan manfaat saat ini tetapi juga di masa depan.
Simpulan
Kemiskinan adalah masalah serius dalam pembangunan nasional negara kita ,
meskipun pemerintah telah mengenalkan program-program untuk mengatasinya.
Kemiskinan bukanlah hasil kehendak individu, tetapi akibat dari keadaan yang tidak
dapat dihindari dengan sumber daya yang dimiliki. Ini juga merupakan masalah
multidimensional yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik, dan kesempatan
yang tidak merata dalam warga . Dampaknya dirasakan dalam pendidikan,
kesehatan, kriminalitas, akses pendidikan, pengangguran, dan konflik sosial. Pemahaman
ini penting dalam merumuskan kebijakan efektif untuk mengatasi kemiskinan dan
mendorong pemerataan pembangunan yang berkelanjutan.
Di negara kita , penanggulangan kemiskinan mengadopsi dua pendekatan utama,
yaitu kebijakan tidak langsung dan langsung. Ini melibatkan upaya penciptaan kondisi
mendukung, seperti stabilitas sosial politik, keberlanjutan ekonomi, dan pembangunan
budaya inklusif. Program bantuan sosial seperti PKH, BPNT, dan BLT juga menjadi
instrumen utama. Untuk mengentaskan kemiskinan, diperlukan langkah-langkah seperti
perluasan akses keuangan, fokus pada kemiskinan dalam perencanaan nasional,
pengembangan jaminan sosial komprehensif, investasi dalam kesehatan dan sanitasi, serta
peraturan ketenagakerjaan yang fleksibel. Dengan pendekatan berkelanjutan, diharapkan
upaya ini dapat mencapai hasil signifikan.
Untuk menigkatkan kapasitas dan kopetensi ini, manusia perlu meningkatkan pendidikan dan kesehatan. Tujuan
artikel ini ingin melihat bahwa bahwa ada kecenderungan pembangunan kualitas manusia berkorelasi dengan kondisi
kemiskinan warga , artinya kualitas menusia akan mudah dicapai apabilia warga nya sudah terentas dari
kemiskinan. Dilihat dari data, kemiskinan makin sulit diturunkan sebab garis kemiskinan juga bergerak. saat
pertumbuhan konsumsi warga tidak bisa mengejar pertumbuhan angka kemiskinan, sudah pasti dia tidak
bisa melewati garis kemiskinan. Pertanyaanya yang muncul apakah dalam kondisi warga yang masih miskin
pembangunan manusia yang berkualitas bisa terealisasi. Komitmen untuk meningkatkan pembangunan manusia
perlu disertai dengan upaya menurunkan angka kemiskinan. Perlu terus diupayakan membantu dan memberdayakan
warga miskin. Kajian artikel ini memakai metode studi pustaka sebagai cara untuk melakukan analisa
sehingga diperoleh hasil yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Badan Pusat Statistik mengumumkan
bahwa angka kemiskinan meningkat sebanyak
860 ribu orang, atau naik dari10,96 persen
pada September 2014 menjadi 11,22 persen
pada Maret 2015 (Ritonga; 2015). Secara
keseluruhan, hampir tiga perempat atau 73,23
persen dari garis kemiskinan disumbang
komuditas pangan. Selain mengakibatkan
naiknya angka kemiskinan, meningkatnya
harga pangan juga berpotensi menurunkan
konsumsi pangan bergizi. Sudah lama diketahui
bahwa jika harga pangan naik, warga
golongan terbawah berupaya mengonsumsi
pangan dengan harga yang terjangkau, antara
lain dengan menurunkan kualitas pangan yang
dikonsumsi. Tingginya privalensi penderita gizi
kurang dan buruk pada tahap lanjut berpotensi
mendistorsi kualitas sumber daya manusia
akibat capaian pembangunan manusianya tidak
optimal. Secara umum, kurangnya asupan gizi
akan berpotensi menurunkan capaian ketiga dimensi pembangunan manusia sekaligus,
yakni kesehatan, pendidikan, dan kemampuan
daya beli, khusunya pada anak balita.
Pada dimensi kesehatan, kurangnya asupan
gizi menyebabkan menurunya daya tahan tubuh
sehingga rentan terserang penyakit. Bagi anak
balita, kekurangan gizi itu akan mendistorsi
tumbuh kembang mereka sehingga menyulitkan
dalam meningkatkan derajat kesehatan
warga untuk penyiapan sumber daya
manusia berkualitas. Bahkan, kualitas sumber
daya manusia lain terdidtorsi jika kekeurangan
gizi itu dialami perempuan, khususnya
saat hamil dan melahirkan (Ritonga,2015).
Fakta itu sekaligus menunjukkan bahwa
kurangnya asupan gizi berpotensi mendistorsi
pembangunan manusia dari dimensi pendidikan.
Pada tahap lanjut, anak balita yang mengalami
gangguan tumbuh kembang, baik fisik maupun
intelegensi, kelak saat dewasa cenderung
kurang mampu bekerja optimal, tercermin dari
kecenderungan produktivitas yang rendah.
Menurunnya produktifitas cenderung akan
berakibat menurunnya kemampuan daya beli
sebagai dimensi ketiga dari pembangunan
manusia.
Populasi warga Negara negara kita
termasuk besar yang menempati posisi keempat
di dunia setelah Republik Rakyat Tiongkok,
India, dan Amerika Serikat. Dari jumlah
warga ini ada kelompok atau
keluarga dengan kategori miskin. berdasar
laporan Sekretaris Eksekutif Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K) Widianto (Kompas, 2014),
mengatakan sudah ada penurunan jumlah
ataupun persentase warga miskin dalam
lima tahun terakhir. Pada tahun 2009, jumlah
warga miskin mencapai 32,53 juta jiwa atau
14,15 persen dari populasi warga . Adapun
pada tahun 2014, jumlah warga miskin
turun menjadi 28,28 juta jiwa atau 11,25 persen.
Meskipun demikian, Widianto mengakui
ketimpangan atau kesenjangan sosial justru
cenderung melebar. Kondisi ini ditunjukkan
dengan rasio gini tahun 2009 sebesar 0,37 persen
dan meningkat menjadi 0,41 persen pada tahun
2012, dan ada kecenderungan ketimpangan akan
terus meningkat. Dilihat dari data, kemiskinan
makin sulit diturunkan sebab garis kemiskinan
juga bergerak. saat pertumbuhan konsumsi
warga tidak bisa mengejar pertumbuhan
angka kemiskinan, sudah pasti dia tidak bisa
melewati garis kemiskinan.
Pengalaman TNP2K ini , upaya
percepatan penanggulangan kemiskinan tidak
hanya bergantung pada pelaksanaan programprogram penanggulangan kemiskinan. Ada
persoalan pertumbuhan garis kemiskinan
akibat ketidakmampuan Negara dalam menjaga
stabilitas harga-harga bahan pokok, terutama
harga bahan makanan. Menjaga harga bahan
pokok yang utama, itu paling penting untuk
mengurangi kemiskinan. Tidak hanya programprogram penanggulangan kemiskinan,
tetapi juga menjaga (stabilitas) harga pokok
serta memberi lapangan pekerjaan baru dan
meningkatkan kapasitas perekonomian.
TNP2K merupakan lembaga koordinasi lintas
sektoral di tingkat pusat, yang dibentuk untuk
mempercepat penanggulangan kemiskinan.
TNP2K memiliki tugas pokok menyusun
kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan, melakukan sinergi program
penanggulangan kemiskinan di kementerian/
lembaga, serta melakukan pengawasan
dan pengendalian pelaksanaan program
penanggulangan kemiskinan (Kompas; 2014).
Jika dikaitkan dengan laporan pembangunan
manusia 2014 yang dirilis Program Pembangunan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada
25 Juli 2014 memberikan konfirmasi bahwa
pembangunan manusia negara kita , yang diukur
dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), memperlihatkan kecenderungan perlambatan
pertumbuhan. Pada laporan itu disebutkan, IPM
negara kita pada 2013 sebesar 0,684 atau sedikit
mengalami kenaikan bila dibanding IPM pada
2012 yang sebesar 0,681. Meski naik, peringkat
IPM negara kita tetap bertengger di urutan ke 108
dari 287 Negara (Kadir, 2014). Konsekuensinya,
negara kita belum beranjak dari kelompok
menengah dalam soal capaian pembangunan
manusia. Akselarasi pembangunan manusia
negara kita juga sedikit lambat. Sepanjang 2000-
2013, pertumbuhan IPM negara kita rata-rata
hanya sebesar 0,9 persen per tahun. Akselarasi
yang lambat juga tercermin dari perubahan
peringkat IPM negara kita yang hanya naik
empat peringkat sepanjang 2008-2013. Hal
itu terjadi ketimpangan dalam akselerasi
pembangunannya. sebab itu, komitmen untuk
meningkatkan pembangunan manusia perlu
disertai dengan upaya menurunkan angka
kemiskinan. Selain menjaga stabilitas harga
pangan, pemerintah perlu terus berupaya
membantu dan memberdayakan warga
miskin (Ritonga, 2015).
Kajian artikel ini memakai metode
studi pustaka sebagai cara untuk melakukan
analisa sehingga diperoleh hasil yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebuah
argumentasi perlu didukung dengan data dan
kajian ilmiah agar bisa dipertanggungjawabkan.
Untuk itulah maka kajian ini memakai
studi pustaka untuk mendukung argumentasi
yang dibangun.
PEMBAHASAN
Ada beberapa hal kerangka konseptual yang
akan dibahas dalam kajian artikel ini agar dalam
analisis dapat memperoleh gambaran keterkaitan
antara kemiskinan terhadap pembangunan
manusia. Oleh sebab itu, komitmen untuk
meningkatkan pembangunan manusia perlu
disertai dengan upaya menurunkan angka
kemiskinan. Untuk itu, selain menjaga harga
pangan, perlu terus berupaya membantu dan
memberdayakan warga miskin.
Kemiskinan
Secara umum, kemiskinan didefinisikan
sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok
orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat (Suhariyanto;
2011). Hanya satu kalimat, tetapi maknanya
sangat luas sehingga bisa mengundang
perdebatan panjang. Contohnya, apa yang
dimaksud dengan kehidupan bermartabat. Apa
pula yang termasuk hak-hak dasar ? Apalagi,
tidak semua hak dasar dapat dikuantifikasi,
seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman
tindak kekerasan dan hak untuk berpatisipasi
dalam kehidupan sosial-politik. Dari definisi itu
terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah
multidemensi. Sulit mengukurnya sehingga
perlu kesepakatan pendekatan pengukuran
yang dipakai. Salah satu konsep perhitungan
kemiskinan yang diterapkan di banyak Negara,
termasuk negara kita , adalah konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar. Dengan konsep ini,
definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami
penyempitan makna sebab kemiskinan hanya
dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan (Suhariyanto,
2011).
Meningkatnya harga pangan, terutama
beras, belakangan ini berpotensi menurunkan
kesejahteraan warga dan berujung
meningkatnya angka kemiskinan. Perkiraan ini
didasarkan atas cukup besarnya kontribusi beras
terhadap garis kemiskinan. Bahkan, dampak
kenaikan harga beras terhadap meningkatnya
angka kemiskinan di perdesaan akan jauh lebih
buruk jika dibandingkan dengan di perkotaan.
Hal itu terdeteksi dari lebih besarnya kontribusi beras terhadap garis kemiskinan di perdesaan
jika dibandingkan dengan di perkotaan
(Ritonga, 2015). Hasil Susenas September
2014, misalnya menunjukkan kontribusi beras
terhadap garis kemiskinan di perdesaan sebesar
31,61 persen, sedang di perkotaan sebesar
23,39 persen. Padahal, angka kemiskinan
di perdesaan saat ini jauh melampaui angka
kemiskinan di perkotaan, yakni 13,76 persen di
perdesaan dan 8,16 persen di perkotaan.
Selain itu ekonomi negara kita dihadapkan
pada ketidakseimbangan yang dapat berakibat
pada terganggunya stabilitas ekonomi, dan
dalam keadaan yang memburuk dapat menjadi
pemicu krisis. Ketidakseimbangan ini
diantaranya adalah ketidakseimbangan
yang bersifat struktural dalam distribusi
pendapatan sebagaimana ditunjukkan oleh
relatif tingginya koefisien gini sebesar 0,41
(angka 1 menunjukkan ketimpangan mutlak).
Tentu saja ada ketidakseimbangan lain
yang berkaitan dengan pendapatan ini, seperti
ketimpangan regional antara kawasan barat
dan timur (Juoro, 2013). Ketidakseimbangan
ini memberikan sinyal negatif kepada
pelaku ekonomi dan mendorong mereka
untuk melakukan tindakan yang mengganggu
stabilitas ekonomi, seperti menekan nilai
rupiah. Khususnya untuk ketimpangan yang
relatif tinggi. Hal ini akan memolarisasi
warga yang berakibat pada meningkatnya
hambatan struktural bagi pertumbuhan yang
berkelanjutan. Menurut pandangan Juoro,
pengalaman di banyak Negara berkembang
menunjukkan, bahwa ketimpangan yang
tinggi menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pada awalnya pertumbuhan ekonomi tinggi,
tetapi kemudian terjerembab dalam krisis yang
dalam. Bukan saja ekonomi, melainkan juga
sosial-politik. Perekonomian yang berhasil
menjadi maju pada umumnya ketimpangan
pendapatannya relatif rendah, yang berarti
perkembangan ekonomi melibatkan peran serta
warga secara luas.
Selama ini pertumbuhan ekonomi tinggi
yang dicapai negara kita dikritisi sebab dinilai
tidak berkualitas, disparitas semakin tinggi,
baik secara spasial antar wilayah maupun
antar kelompok warga . Di balik prestasi
pertumbuhan ekonomi tinggi selama ini,
rasio indeks gini di negara kita juga meningkat
secara konsisten dalam 10 tahun terakhir, dari
0,33 menjadi 0,41. Di awal pemerintahan
baru, jumlah daerah tertinggal di negara kita
masih 122 kabupaten yang terkonsentrasi
di Papua, Maluku dan Nusa Tenggara. Di
kabupaten tertinggal ini , rata-rata Indeks
Pembangunan Manusia hanya 66,01, jauh di
bawah rata-rat nasional yang telah mencapai
73,81. Tingkat kemiskinan di daerah tertinggal
masih 18,36 persen saat rata-rata nasional
telah dapat ditekan hingga 10,96 persen
(Padjung; 2015).
S e d a n g k a n K u n c o r o ( 2 0 1 3 ) ,
mengungkapkan bahwa dalam studi empiris
ada dua jenis ketimpangan/kesenjangan yang
menjadi pusat perhatian. Pertama, ketimpangan/
kesenjangan distribusi pendapatan antar
golongan pendapatan yang diukur dengan
indeks gini dan berapa kue nasional yang
dinikmati 40 persen golongan pendapatan
terendah atau kelompok miskin. Ketimpangan/
kesenjangan yang meningkat diukur dengan
ketimpangan/kesenjangan distribusi pendapatan
yang makin lebar sebagaimana tercermin dari
rasio gini yang meningkat dari 0,33 (2002) ke
0,41 (2011). Ironisnya, penurunan kue nasional
yang dinikmati kelompok 40 persen warga
termiskin justru diikuti kenaikan kue nasional
yang dinikmati 20 persen kelompok terkaya dari
42,2 persen (2002) menjadi 48,42 persen (2011).
Sementara kelompok 40 persen warga
menengah mengalami penurunan kue nasional
dari 36,9 persen (2002) menjadi 34,7 persen (2011). Ternyata ada indikasi kuat terjadi trickleup effect dalam proses pembangunan kita.
Jenis kedua, ketimpangan/kesenjangan antar
daerah penting untuk diteliti sebab gravitasi
aktifitas ekonomi negara kita masih cenderung
terkonsentrasi secara geografis ke Kawasan
Barat negara kita (KBI) selama lebih dari lima
dasa warsa terakhir. Betapa tidak, data BPS
hingga triwulan IV 2012 menunjukkan, struktur
perekonomian negara kita secara spasial masih
didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa
yang memberikan kontribusi terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) sekitar 57,5 persen,
diikuti Pulau Sumatera sekitar 23,9 persen.
sedang Kawasan Timur negara kita (KTI)
hanya kebagian sisanya, sekitar 18,6 persen,
dengan kata lain ketimpangan/kesenjangan
antar wilayah dan pulau terus terjadi.
Menurut Hadar (2014) Direktur Institute for
Democracy Education (IDE) dan Koordinator
Target MDGs 2007-2010 menyebutkan bahwa
dalam dua kali pemerintahannya, Presiden SBY
mengusung salah satu kebijakan yang ditunggu
mayoritas rakyat, yaitu keberpihakan terhadap
orang miskin (pro poor). Sayangnya, data
terakhir terkait kemiskinan di negara kita belum
mencerminkan hal ini . Penurunan angka
kemiskinan di negeri ini ternyata relatif lambat.
Maret 2007-Maret 2013, misalnya ratarata penurunan jumlah warga miskin
hanya 0,87 persen per tahun. Bahkan pada
tahun terakhir, hanya 0,59 persen. Selain
lambat, secara kualitas kemiskinan di
negara kita justru mengalami involusi. Hal itu
ditunjukkan oleh semakin meningkat indeks
keparahan kemiskinan, terutama di wilayah
perdesaan yang meningkat hampir dua kali
lipat sepanjang tahun 2012. Kenaikkan indeks
ini menunjukkan dua hal, yakni semakin
melebarnya ketimpangan/kesenjangan antar
warga miskin dan semakin rendahnya daya
beli kelompok miskin. Menurut Bank Dunia,
lambatnya penurunan kemiskinan beberapa
tahun terakhir akibat laju peningkatan hargaharga (inflasi). Ironisnya, sepanjang 2012,
tingkat inflasi wilayah perdesaan sebagai tempat
bermukimnya mayoritas orang atau kelompok
miskin (5,08 persen) lebih tinggi dibandingkan
inflasi nasional (4,3 persen). Sementara
itu, pertumbuhan ekonomi relatif tinggi
mencapai rata-rata 6,0 persen ternyata lebih
menguntungkan warga kelas menengah
dan kaya sebab lebih digerakkan sektor jasa
ketimbang sektor riil. Sektor pertanian yang
jadi tumpuan hidup bagi 40 persen angkatan
kerja dan sekitar 60 persen rumah tangga
miskin, misalnya, terjebak dalam pertumbuhan
rendah dalam beberapa tahun terakhir (Hadar,
2014). Konsekuensinya, jurang ketimpangan
pendapatan pun melebar. Secara statistik ini
ditunjukkan indeks gini yang telah menembus
0,41 poin pada 2012. Angka ini dapat dimaknai
40 persen warga berpendapatan terendah
ternyata hanya menikmati 16,88 persen dari total
pendapatan yang tercipta dalam perekonomian.
Sementara 20 persen warga berpendapatan
tertinggi justru menikmati 48,94 persen dari
total pendapatan.
BPS baru saja merilis gambaran pendapatan
petani terbaru melalui hasil Survei Pendapatan
Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013. Sampel
yang digunakan sebanyak 418.000 rumah
tangga, diperoleh rata-rata pendapatan rumah
tangga pertanian sebesar Rp 2,2 juta per bulan
atau Rp 550.000 per kapita per bulan (asumsi
rata-rata jumlah anggota empat orang). Ratarata pendapatan ini dua kali lebih tinggi
dibandingkan garis kemiskinan perdesaan
sebesar Rp 286.000 (kondisi Maret 2014). Lalu,
mengapa atribut miskin masih saja melekat pada
profesi petani. Jawabannya ada pada struktur
pendapatan rumah tangga usaha pertanian
yang belum sepenuhnya ditopang pendapatan
dari usaha pertanian. Hanya Rp 1 juta per bulan atau Rp 250.000 per kapita per bulan
saja yang berasal dari usaha pertanian (Iswadi,
2014). Artinya, petani negara kita memang
miskin jika hanya mengandalkan pendapatan
dari usaha pertanian. Faktual, 63 persen petani
mengandalkan hidupnya dari usaha pertanian.
Lahirnya kelompok miskin dan terbatasnya
ruang kota telah melahirkan problem baru yang
lebih rumit yang menyangkut ruang untuk hidup
bagi mereka. Jika kenyataannya mereka masih
bertahan untuk tinggal di kota, maka hal itu
terjadi sebab beberapa alasan. Pertama, kota
telah menjadi tempat yang nyaman untuk hidup
dan bertempat tinggal dibandingkan dengan di
desa. Kedua, tidak ada pilihan lain selain terus
bertahan di kota dengan segala resiko yang harus
terus-menerus dihadapi, yaitu bertahan atau
melawan demi kelangsungan hidup (struggle
for survival) di kota (Basundoro, 2013).
Eksistensi kelompok miskin di kota
merupakan bagian dari paradoks kota. Di satu
sisi kota dianggap menghasilkan dan menjadi
sumber peradaban, tetapi pada saat yang
bersamaan kota juga melahirkan warga
yang dianggap kurang beradab, atau tepatnya
orang-orang yang kalah. Kota juga dianggap
sebagai tempat yang aman sedang jika
di desa terjadi pergolakan, tetapi pada sisi
yang lain kota juga dianggap sebagai tempat
yang kejam bagi orang-orang yang tidak bisa
menaklukannya seperti yang dialami kelompok
miskin.
Lahirnya kelompok miskin perkotaan
juga merupakan paradoks industrialisasi.
Industrialisasi yang didengung-dengungkan
demi kesejahteraan rakyat, sebenarnya pada saat
yang sama juga melanggengkan kemiskinan
dengan lahirnya kelas buruh. Industri dan
buruh merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Kenyataan semacam ini menurut
Basundoro (2013) bukanlah kenyataan sesaat,
tetapi lahir melalui proses sejarah yang amat
panjang. Pada proses sejarah yang panjang
itulah, proses bertahan dan melawan dalam
rangka memperoleh ruang untuk hidup terusmenerus dilakukan oleh rakyat atau kelompok
miskin. Perlawanan rakyat miskin kota dalam
rangka memperoleh ruang untuk hidup muncul
dalam bentuk yang amat beragam, terutama
di Negara-Negara dunia ketiga. Termasuk di
negara kita di mana kemampuan Negara untuk
mengelola rakyat atau kelompok miskin di
perkotaan masih amat terbatas serta tingginya
angka urbanisasi di kota-kota besar.
Demikian halnya, kaum lemah atau
kelompok miskin di perdesaan Dunia Ketiga
termasuk negara kita , pada dasarnya tidak
pernah berhenti menentang ketidakadilan
yang menimpa diri mereka sebagai akibat
dari tindakan dan perilaku yang dilakukan
segolongan manusia, baik yang berasal dari
dalam warga mereka sendiri maupun
kekuatan-kekuatan dari luar warga
mereka termasuk dalam hal ini pemerintah
dan aparatnya yang memperlakukan mereka
secara tidak adil (Soetrisno; 2000). Perasaan
diperlakukan tidak adil inilah yang sering
memicu timbulnya konflik antarpihak petani
gurem atau kelompok miskin dengan kelompokkelompok mapan yang mereka anggap sebagai
sumber ketidakadilan ini . Oleh sebab
itu akses kelompok miskin terhadap produk
kebijakan publik dirasakan masih terbatas.
Negara dalam hal ini pemerintah, memiliki
peran sentral dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial terutama sebab selain
Negara memiliki kewajiban memenuhi hak-hak
dasar publik sebagai konstituennya, Negara juga
memiliki peran utama sebagai regulator pembuat
kebijakan publik dan fasilitator penyediaan
dan pengelolaan anggaran publik bagi usaha
kesejahteraan sosial. Pemerintah yang responsif
dalam mengelola dan mengorganisasikan kinerjanya diharapkan mampu menjalankan
kewajiban dan tanggung jawabnya untuk
menjamin pelayanan kesejahteraan sosial
dalam tingkat tertentu bagi warganya termasuk
komunitas di wilayah perbatasan. Namun
demikian, dalam pelaksanaannya pemerintah
juga memiliki keterbatasan sehingga
partisipasi warga sebagai pilar usaha
kesejahteraan sosial, yang mencakup Negara
pemerintah daerah, warga madani (civil
society), sektor swasta, dan lembaga-lembaga
kemanusiaan internasional dirasakan sangat
perlu. Namun demikian, pemerintah belum
dapat sepenuhnya memenuhi kewajibannya
dalam penyediaan pelayanan sosial. Oleh sebab
itulah maka partisipasi warga menjadi
penting dalam pembangunan khususnya dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Partisipasi warga memainkan peranan
yang sangat penting dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial sebagaimana ditunjukkan
dari berbagai keberhasilan penyelenggaraan
suatu kegiatan atau program yang diprakarsai
oleh warga (Marjuki, 2013). berdasar
uraian ini , maka kelompok miskin di
dalam mengakses program atau kegiatan
hasil kebijakan publik lebih memungkinkan
jika adanya partisipasi warga dalam
pembangunan kesejahteraan sosial.
Salah satu persoalan besar bangsa di masa
depan adalah bagaimana menyediakan pangan
yang cukup bagi perut semua warga. Salah satu
indikator kesanggupan memberi makan bisa
ditilik dari indeks luas panen per kapita. Di
Asia Tenggara, indeks luasan panen per kapita
negara kita termasuk kecil, hanya 531 meter
persegi per kapita, setara Filipina (516) dan
Malaysia (315). Filipina dan Malaysia adalah
pengimpor pangan reguler (Khudori, 2011).
Negara-Negara pengekspor pangan memiliki
indeks luasan panen per kapita cukup besar, yaitu
Vietnam 929 meter persegi/kapita, Myanmar
1.285 meter persegi/kapita, dan Thailand
1.606 meter persegi/kapita. Memang indeks ini
bukan satu-satunya penentu besarnya produksi.
Luasan panen dapat dikompensasikan dengan
produktifitas tinggi. Masalah kelaparan dan
kemiskinan merupakan fenomena global yang
telah lama. Pada Konferensi Tingkat Tinggi
Pangan di Roma tahun 1996, para pemimpin
dunia bertekad mengurangi kelaparan dari
840 juta orang menjadi 400 juta orang sampai
2015 (Nainggolan, 2006). Kelaparan terjadi
sebab keterbatasan akses pangan, dimana
satu orang anak mati setiap lima detik sebagai
akibat kelaparan dan kurang gizi. Kerawanan
pangan dan kelaparan sering terjadi pada
kelompok miskin seperti petani skala kecil,
nelayan, dan warga sekitar hutan yang
menggantungkan hidupnya pada sumber daya
alam yang terdegradasi. Kerawanan pangan
juga terjadi pada kelompok miskin perkotaan,
utamanya kaum buruh. Berbagai persoalan itu
muncul akibat masalah paling fundamental,
yaitu disharmoni. Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) yang semula dimaksudkan
menjaga harmoni perdagangan global, justru
cenderung menciptakan ketimpangan dan
pemiskinan di Negara-Negara berkembang
dengan segala intrumen yang memenangkan
Negara maju.
Sementara itu di negara kita sendiri pada
pemilihan presiden dan wakil presiden selama
ini cenderung agenda menyejahterakan rakyat
selalu mengemuka. Pada kenyataannya, para
presiden dan wakil presiden sampai saat ini
belum mampu menyejahterakan rakyatnya
secara hakiki. Artinya, upaya dan kerja keras
telah mereka tempuh selama ini meskipun
hasilnya belum sesuai dengan harapan rakyat.
Penghargaan perlu diberikan kepada para
pemimpin Negara selama ini sebab kerja keras
mereka. Namun, rakyat juga perlu diapresiasi
sebab sangat sabar dalam berjuang untuk meraih kesejahteraan (Brodjonegoro, 2014).
Mencermati kondisi di atas, tampaknya ada
sesuatu yang salah dalam tata kelola Negara
ini. Artinya, belum terjadi sinergi antara
kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan
rakyat dan perjuangan rakyat untuk mencapai
kesejahteraan sosial.
Selanjutnya dikatakan, bahwa indikator
pertumbuhan ekonomi yang selalu dikaitkan
dengan tingkat kesejahteraan rakyat ternyata
keduanya tidak selalu sinkron, di mana
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, tetapi
rakyat tetap miskin, bahkan terjadi kesenjangan
ekonomi yang makin lebar. Indikator
pendidikan yang selalu dikaitkan dengan
kualitas sumber daya manusia ternyata belum
sepenuhnya benar. Sebab, anggaran yang
cukup besar belum mampu mendongkrak mutu
secara signifikan, yang tampak adalah jumlah
peserta didik yang meningkat drastis. Ada
kekhawatiran bahwa banyaknya peserta didik
jika tidak diimbangi oleh mutu yang hakiki
justru akan menimbulkan masalah baru, yaitu
para penganggur, dan mereka akan menjadi
beban berat bagi rakyat dan Negara.
Tampaknya diperlukan paradigma baru
dalam mengelola Negara agar mampu
menyejahterakan rakyatnya, yaitu paradigma
pemberdayaan rakyat. Pemerintah sebagai pihak
yang diberi amanah oleh konstitusi harus paham
makna kesejahteraan rakyat, yaitu keberdayaan
rakyat. Rakyat akan sejahtera jika mereka
berdaya, mereka mampu menyejahterakan
dirinya sesuai kapasitas yang dimilikinya.
Ada dua aliran teori besar berkembang
membangun ekonomi menyejahterakan
warga . Pertama adalah aliran konservatif
yang mendambakan kebebasan pasar dari
intervensi pemerintah. Aliran konservatif ini
percaya semangat “homo-economicus” selaku
“makhluk ekonomi” bisa mengembangkan
kemampuan diri asalkan diberi kebebasan
berkarya dan mencipta (Salim, 2012). Landasan
ilmu aliran ini dikembangkan oleh Chicago
School Amerika Serikat dengan pemikiran
utamanya Profesor Millton Friedman. Pada pola
pembangunan ini kemiskinan akan terhalau
oleh daya kreatif warga yang tumbuh
dalam kebebasan ekonomi mengikuti nalurinya
selaku “makhluk ekonomi”.
Aliran kedua mengembangkan teori
intervensi pemerintah dalam pasar menggiring
pembangunan ekonomi ke sasaran tertentu,
seperti kesempatan kerja penuh, countercyclus, dan counter-inflasi. Landasan teorinya
diletakkan oleh John Meynard Keynes dari
Universitas Cambridge, Inggris. Perinsipnya
bahwa “pasar” tidak bisa dibiarkan mandiri, tapi
perlu peranan pemerintah untuk memberantas
kemiskinan dengan intervensi dalam ekonomi.
Maka, pemerintahlah harus aktif “mengangkat
sang miskin” keluar dari lubang kemiskinan
melalui kebijakan fiskal dan moneter yang propoor. (Salim; 2012). Penganut paham ini, seperti
Joseph Eugene Stiglitz, dan Jeffrey Sachs. Di
tanah air kita Sumitro Djohadikusumo, dan
Widjojo Nitisastro, telah memperluas teori ini
ke dalam langkah kebijakan pembangunan.
Banyak Negara berkembang menganut aliran
kedua ini. Tetapi, pembangunan memberantas
kemiskinan tidak bisa dilaksanakan dengan
sekali pukul dalam waktu singkat. Pembangunan
itu sendiri, berkat W.W. Rostow dalam buku
klasiknya “The Stages of Economic Growth”,
sebagaimana dikutip Salim (2012), berlangsung
secara bertahap. Mula-mula berupa ekonomi
“pertanian” yang didominasi kerja manusia
dengan sumber daya alam terbarukan untuk
kemudian beralih ke tahap berikut “industry”,
berisikan tenaga kerja dengan modal dan
mesin. Kemudian tumbuh tahap ketiga,
ekonomi jasa yang mengandalkan kreativitas
dan kemampuan skills manusia. Rostow berhasil menjelaskan tahapan pembangunan
yang mengubah institusi kegiatan ekonomi,
tetapi tidak berhasil menjelaskan bagaimana
dalam pentahapan ini menghapus kemiskinan,
kemelaratan, dan ketertinggalan wong cilik
atau kelompok miskin yang terperangkap dalam
lubang kemiskinan. Pembangunan tidak selalu
berujung pada pengentasan kemiskinan.
Dilema yang dihadapi disini bahwa “teori
tahapan pembangunan ekonomi Rostow” tidak
dibarengi dengan “teori tahapan pembangunan
politik” yang perlu menyertainya. Sistem politik
demokrasi pada tahap ekonomi-pertanian
berbeda dengan sistem politik demokrasi
pada tahap ekonomi-industri. Namun, apa
dan bagaimana perbedaan sistem politik yang
mengiringi proses pentahapan pembangunan
ekonomi tidak dijelaskan (Salim, 2012).
Sampai saat ini belum berkembang teori
“Stages of Economic and Political Growth”.
Akibatnya lahir situasi semrawut dalam tata
kelola pembangunan ekonomi yang mengalami
perubahan, tetapi tidak disertai perubahan tata
kelola politik mendukung perubahan ekonomi
ini. Arah membangun tata kelola ekonomi
memberantas kemiskinan yang tidak ditopang
oleh tata kelola politik yang sehaluan, tidak
dapat menghasilkan pembangunan ekonomi
memberantas kemiskinan.
Bahwa di era liberalisasi ekonomi
dunia dewasa ini dan mendatang akan
dihadapi warga negara kita bukan hanya
meningkatnya masalah kemiskinan seperti biasa
dipahami selama ini, melainkan produksi dan
reproduksi beragam masalah sosial baru, seperti
meningkatnya pengangguran, meningkatnya
jumlah warga usia lanjut, semakin maraknya
beragam bentuk penyimpangan sosial, dan tidak
kalah pentingnya meningkatnya “pembelotan
sipil” (civil disobiience). Semua itu, yang
selama ini hanya dipahami samar-samar sebagai
fenomena darurat yang bersifat temporer
dan berskala kecil, di masa mendatang akan
semakin menjadi ciri inheren dari warga
dan ekonomi negara kita (Nasikun; 1999).
Oleh sebab itu ada beberapa hal
terkait dengan penanganan masalah-masalah
sosial. Pertama, dalam konteks keseluruhan
kompleksitas masalah yang demikian, masalahmasalah sosial tidak dapat lagi ditangani melalui
program-program parsial seperti selama ini kita
lakukan. Sebaliknya, di era liberalisasi global
yang akan datang, masalah-maslah sosial harus
ditangani melalui pengembangan suatu sistem
kesejahteraan sosial nasional yang benar-benar
tepadu. Kedua, dalam konteks korporatisme
Negara yang sudah sangat berkembang selama
ini, dilema dan ketegangan pilihan pendekatan
kebijakan dan program-program kesejahteraan
sosial akan terjadi antara pilihan pendekatan
“residual” untuk melindungi bekerjanya
mekanisme pasar bebas dari campur tangan
pertimbangan-pertimbangan politik. Di satu
sisi pilihan pendekatan “institusional” untuk
melindungi hak-hak warga Negara dari
ketidakadilan mekanisme ekonomi pasar
bebas di sisi yang lain. Ketiga, meningkatnya
“magnitude” masalah-masalah sosial di masa
mendatang. Sebaliknya akan semakin menuntut
pilihan pendekatan institusional di dalam
perumusan kebijakan dan program-program
kesejahteraan sosial dan program-program anti
kemiskinan.
Mencermati tulisan dalam Tajuk Rencana
di harian Kompas (2014) yang menyatakan,
bahwa memasuki tahun 2014 banyak rumah
tangga merasakan tekanan akibat meningkatnya
pengeluaran sebab harga kebutuhan seharihari naik. Kenaikan harga sudah dirasakan
sejak tahun lalu, mulai dari harga bahan bakar
minyak, tarif listrik naik 15 persen, dan harga
bahan makanan. Hal itu tercermin pada inflasi
tahun 2013 lalu sebesar 8,38 persen, naik tajam dari 4,3 persen pada tahun 2012. Bagi sebagian
besar ibu rumah tangga, kenaikan harga akan
memaksa mereka menyusun kembali anggaran
belanja keluarga. Pada keluarga yang memiliki
kemampuan ekonomi, langkah yang akan
dilakukan adalah mengurangi kenikmatan
seperti rekreasi keluarga. sedang bagi
keluarga berpenghasilan tetap dan terbatas
boleh jadi memilih mengurangi pengeluaran
untuk makanan sebab ini yang masih mungkin
disiasati atau distrategikan untuk mencukupkan
pendapatan yang terbatas. Dampaknya memang
tidak kelihatan atau tampak, tetapi dalam jangka
menengah dan panjang akan menurunkan
tingkat kecerdasan anak balita dan pada jangka
panjang merugikan produktifitas tenaga kerja.
Kenaikan tajam terjadi pada elpiji kemasan
12 kilogram (kg) yang tidak masuk dalam
program subsidi pemerintah. PT Pertamina
mengumumkan menaikan harga elpiji kemasan
12 kg mulai 1 Januari 2014 lalu sebesar 68
persen atau Rp 47.508,-. Alasan badan usaha
milik Negara itu sebab merugi Rp 7,73 triliun
pada tahun 2011-2012. Sepanjang 2013,
kerugian diperkirakan Rp 5,7 triliun. Kerugian
terjadi sebab Pertamina harus membeli gas
sesuai harga pasar, sedang nilai tukar rupiah
merosot. Pertamina meyakini kenaikan harga
tidak akan menurunkan daya beli warga
sebab pemakai elpiji kemasan 12 kg adalah
kelompok mampu. Konsumen kurang mampu
dapat memakai elpiji kemasan 3 kg yang
disubsidi pemerintah. Perlu diperhatikan
bahwa luput dijelaskan, inflasi tinggi tahun lalu
menggerus daya beli warga . Meski tingkat
kemiskinan nasional berkurang dalam tiga
tahun, kesenjangan warga miskin dengan
warga kaya tidak berubah. warga
semakin sulit mencukupi kebutuhan seharihari. Agar tidak semakin miskin atau terpuruk,
warga pada kategori kelompok miskin
mencoba menyiasati atau melakukan strategi
untuk mempertahankan hidup. berdasar
pemantauan Media negara kita (2014) di sejumlah
daerah, banyak cara yang dilakukan warga
untuk menutupi kebutuhan mereka. Adapun
strategi untuk menghadapi kebutuhan hidup
diantaranya adalah dengan memelihara ternak,
menanam sayur di halaman rumah, membuka
warung di rumah, atau membawa bekal
makanan ke kantor. Menarik untuk dicermati
peringatan Badan Pusat Staitstik mengenai
kemungkinan terjadinya kondisi rawan pangan
pada akhir 2011 dan awal 2012 memunculkan
keprihatinan kita (Tajuk Rencana Kompas,
2011). Ada beberapa persoalan di sini. Pertama,
turunnya angka produksi beras, jagung, dan
kedelai, yang justru terjadi di tengah langkah
pemerintah mencanangkan surplus beras 10
juta ton dan swasembada jagung, kedelai, dan
gula. Kedua, tidak tercapainya target stok Bulog
akibat minimnya pengadaan. Ketiga, situasi
pasokan beras di pasar dunia yang terganggu,
terutama dengan adanya banjir di Thailand.
Kempat, buruknya statistik perberasan yang
membingungkan terkait produksi sebab belum
lama BPS mengatakan terjadi surplus produksi
4-5 juta ton.
Kebijakan kesejahteraan sampai saat ini
masih mengalami permasalahan. Singkatnya
dapat dikatakan bahwa kebijakan ini tidak
bekerja dengan baik dan mayoritas warga
telah kehilangan kepercayaan terhadapnya.
Khususnya terhadap meluasnya ketidakpuasan
akan kegagalan dalam penyaluran santunan atau
bantuan sosial kepada mereka yang sangat miskin
atau kelompok miskin, seperti santunan untuk
keluarga yang memiliki tanggungan anak (Aid
to families with Dependent Children). Setelah
beberapa dekade menjadi program pemerintah,
program ini tidak dapat membuktikan bahwa
kebijakan santunan sosial yang diberikan
berdasar asumsi dan pengukuran terhadap
tingkat pendapatan terendah sebuah rumah tangga (means-tesyed) secara permanen dapat
mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih
baik (Sherraden; 2006). Berkaitan dengan itu
sebenarnya pembangunan menurut Kazt dan
Philip Roupp, pada hakekatnya merupakan
perubahan terencana dari situasi yang satu ke
situasi lain yang dinilai lebih baik (Wuryandari;
2010).
Pada proses pelaksanaannya, pembangunan
yang dilakukan di berbagai Negara berkembang
seperti negara kita memiliki perbedaan prinsipil
yang dilandasi oleh falsafah, hakekat,
tujuan, dan startegi maupun kebijaksanaan
dan program pembangunan. Pendapat yang
lebih fokus dikemukakan Rudito dkk (2005),
bahwa pembangunan merupakan suatu proses
perubahan yang terencana terhadap kondisi
sosial, budaya, dan lingkungan. Pembangunan
diterapkan guna menjangkau keseimbangan
pengetahuan yang ada pada seluruh anggota
warga yang hidup dalam satu lingkungan
hidup yang sama, sehingga dengan demikian
dapat tercipta suatu pengetahuan yang sama
atau mirip terhadap masing-masingnya dan
juga terhadap lingkungan hidupnya.
Masalah yang tengah dihadapi oleh
negara kita saat ini adalah bagaimana dapat keluar
dari sistem ekonomi yang tidak menguntungkan
yang telah membuat kita tidak bisa melangkah
lebih maju setara dengan Negara-Negara maju
lainnya. Keadaan ini tidak lepas dari paradigma
lama yang masih kita pertahankan dalam
mengelola ekonomi di negeri ini. Paradigma
lama itu adalah cara pandang di masa kolonial
yang masih kita pertahankan dengan menjadikan
bangsa ini sebagai subordinasi Negara-Negara
maju. Jika di masa lalu, penguasaan ekonomi
dan politik itu dengan cara okupasi langsung,
kini dilakukan dengan perjanjian dan kontrak
yang membuat negara kita tidak berdaya. Seakan
menjadi rumus baku bahwa Negara industri
maju mengolah bahan mentah menjadi barang
siap pakai, sementara Negara dunia ketiga yang
kaya sumber daya alam seperti negara kita hanya
menjadi eksportir bahan mentah (Rahardjo,
2011).
Namun dalam pelaksanaannya menurut
Sumarto (2014; 7) walaupun mungkin benar
laporan yang disampaikan Sekretaris Eksekutif
TNP2K, bahwa program perlindungan sosial dan
program lainnya telah menurunkan kemiskinan
walaupun itu masih bisa diperdebatkan
sebab pilihan indikator kemiskinan yang
dipergunakannya. Hal lain yang tidak kalah
pentingnya adalah implikasi sosial-politik
akibat pelaksanaan program-program ini ,
yaitu terjadi konflik sosial dan praktik
klienelisme yang cukup problematik.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan,
program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan
Bantuan Beras untuk Orang Miskin (Raskin)
telah menimbulkan konflik. Konflik ini
mengancam modal sosial (social capital) yang
merupakan media yang digunakan warga
untuk mendistribusikan perlindungan sosial.
Modal sosial telah membantu warga
mempertahankan hidupnya saat Negara
mengalami keterbatasan dalam menjangkau
mereka (kelompok miskin). Pada saat yang
sama, program-program ini telah
dimanfaatkan elite politik untuk praktik
klientelisme dengan cara memakai nya
untuk memperoleh dukungan politik guna
memenangkan pemilihan kepala desa, pemilu
legislatif, dan pemilu presiden.
Munculnya konflik sosial dan praktik
klientelisme ini sering terjadi dalam transformasi
rezim kesejahteraan di Negara berkembang.
Konflik terjadi sebab sistem distribusi yang
memberikan perlindungan sosial secara selektif
hanya kepada warga miskin belum
terbangun secara mapan sehingga salah sasaran
dan memicu konflik. Untuk itu, tantangan pemerintah ke depan tidak hanya masalah
teknik pengelolaan program, sebagaimana
disampaikan Sekretaris Eksekutif TNP2K dan
Tim Transisi Jokowi-JK tetapi juga problema
yang lebih mendasar adalah keterbatasan
pemahaman ideologis, minimalisasi risiko
munculnya konflik, dan menjaga keberlanjutan
modal sosial. Terkait modal sosial pada
dasarnya menurut Eva Cox (1995) dalam
Hasbullah (2006), bahwa mengatakan sebagai
suatu rangkaian proses hubungan antar manusia
yang ditopang oleh jaringan, norma-norma,
dan kepercayaan sosial yang memungkinkan
efisiensi dan efektifnya koordinasi dan
kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan
bersama. Implementasi berbagai program oleh
orang-orang yang mempunyai kepentingan
dalam mengambil keuntungan tertentu, maka
akan merusak tatanan kepercayaan, nilai, dan
norma warga . Dengan begitu semakin
terjadi kesenjangan sosial di antara kelompok
warga miskin dan menengah keatas.
Pembangunan Manusia
Pembangunan manusia adalah tujuan akhir
dari pembangunan ekonomi dan merupakan
cara terbaik untuk memajukan pembangunan.
Pembangunan manusia bertujuan meningkatkan
kemampuan warga untuk menuju hidup
yang lengkap, produktif, dan menyenangkan.
Misalnya umur panjang, kesehatan baik,
terdidik, pendapatan cukup untuk membeli
makanan, pakaian dan tempat tinggal, serta
berpatisiapsi dalam pengambilan keputusankeputusan yang menyangkut dirinya (Samosir;
2011).
Meningkatkan pencapaian pembangunan
manusia, negara kita harus meningkatkan strategi
pembangunan manusia dalam pembangunan.
Strategi pembangunan manusia adalah suatu
perubahan besar dalam prioritas pembangunan
dengan prinsip menomorsatukan manusia dan
menekankan pembentukan modal manusia.
Modal manusia memegang peran sentral
dalam proses pembangunan. Kualitas seorang
manusia sebagai sebuah faktor produksi
dianggap ditentukan oleh kondisi fisiknya,
tingkat pendidikannya, dan ketrampilan yang
dimilikinya. Manusia yang berkualitas tinggi
adalah manusia yang sehat badannya dan
memperoleh cukup pendidikan dan pelatihan
(Marzali; 2005).
Program Pembangunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa Indeks
Pembangunan Manusia negara kita pada tahun
2011 sebesar 0,617. Norwegia tetap berada di
peringkat pertama dengan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) 0,943 dan Kongo di urutan
terakhir dengan IPM 0,286. Nilai IPM di
atas, negara kita menduduki peringkat ke 124,
turun dari peringkat ke-108 pada tahun 2010
(Samosir, 2011). Meskipun peringkat IPM
negara kita turun, sebenarnya nilai IPM negara kita
meningkat dari 0,600 pada 2010. Selain itu,
kalau pada 2010 Program Pembangunan PBB
(UNDP) menghitung IPM untuk 169 Negara,
tahun 2011 UNDP menghitung IPM untuk
187 nrgara. Masuknya 18 Negara baru dalam
percaturan IPM mengakibatkan pergeseran
peta peringkat IPM Negara-Negara di dunia.
Negara-Negara ini memiliki tingkat kesehatan,
pendidikan, dan ekonomi lebih baik daripada
negara kita , seperti Palau (49), Kuba (51),
Seychelles (52), Lebanon (71), Samoa (99), dan
Palestina (114).
Sesungguhnya konsep pembangunan
manusia itu bukanlah sesuatu yang sama sekali
baru. Pada masa Orde Baru, konsep ini sudah
muncul dan termasuk problem hakiki dalam
pembangunan bangsa dan Negara secara
umum. Konsep ini tentu tidak muncul begitu
saja. Benih pembangunan ekonomi (economic
development) khususnya sudah muncul terlebih
dahulu sejak awal Orde Baru yang dianggap sebagai panglima menggantikan politik sebagai
panglima bagi Orde Lama dengan semboyan
pembangunan karakter (character building).
Konsep pembangunan ekonomi mengandung
pengertian kuat dari perspektif positivistik yang
serba terukur di mana fakta-fakta ekonomi padu
dengan perhitungan-perhitungan matematis
sebagaimana terwakili dalam pengukuran
gross national product (GNP) atau produk
nasional bruto (Awuy, 2014). Pada tahun 1990,
Program Pembangunan Perserikatan BangsaBangsa (UNDP) membuat langkah maju dalam
konsep pembangunan bangsa dan Negara
dengan memublikasikan human development
report (HDR). Dari sini muncul kritik dan
revisi terhadap konsep development yang
dihegemonik oleh pengukuran positivistik,
khususnya saat konsep pembangunan ini
diterapkan pada keberadaan diri manusia
menjadi human development. HDR pun pada
hematnya bukanlah barang baru diukur dari
publikasi pertama UNDP itu.
Pada tahun 1990 ekonom Pakistan, Mahbub
ul Haq, sebagaimana dikutip Hardinsyah (2011)
yang tidak puas menilai sukses pembangunan
hanya berdasar ukuran ekonomi seperti
GDP mengembangkan ukuran aggregat
kualitas manusia di suatu Negara atau wilayah
yang disebut Indeks Pembangunan Manusia
(IPM)atau Human Development Index (HDI).
Selanjutnya setiap tahun United Nations
Development Program (UNDP) menganalisis
dan mempublikasikan IPM dalam Human
Development Report. IPM merupakan ukuran
komposit dari tiga dimensi pembangunan
manusia, yaitu manusia yang: 1) hidup sehat
berumur panjang; 2) berpengetahuan dan
berpendidikan; dan 3) penghasilan yang layak.
Masing-masing dimensi diukur atau
diproksi secara sederhana berdasar data
sekunder yang umumnya tersedia secara
berkala di setiap Negara. Dimensi pertama
diukur secara sederhana dari usia harapan
hidup, dimensi kedua diukur secara sederhana
dari persen warga melek huruf dikalangan
warga berusia 15 tahun ke atas, dan
persentase warga terdaftar pada sekolah
SD, SLTP dan SLTA; dan dimensi ketiga diukur
secara sederhana dari penghasilan rata-rata per
kapita yang ditinjau dari segi daya beli atau
tingkat kemiskinan. IPM menunjukka nilai tiga
dimensi dasar pembangunan manusia ini ,
yang kemudian diranking antar Negara yang
dianalisis.
Terkait dengan perihal memaknai
pembangunan manusia, masih mengutip
pandangan Awuy (2104), bahwa seorang
ekonom dan negarawan asal Pakistan,
Mahbub Ul Haq, mengeluarkan konsep human
development yang lalu mendapatkan patner
yang tepat, yakni Amartya Sen. Baik Mahbub
Ul Haq maupun Amartya Sen tak sekedar
menyoroti pembangunan ekonomi dari dalam
diri ekonomi itu sendiri. Mereka memaknai
hubungan pembangunan ekonomi yang tak
terlepas dari pembangunan manusia secara
lebih luas. Program utama dari Mahbub Ul
Haq dan Amartya Sen adalah menyampingkan
pendekatan posivistik dengan alasan bahwa
manusia bukanlah obyek dalam pembangunan
ekonomi, melainkan subyek, dan sebagai
subyek, manusia tidak semata-mata bisa dilihat
sebagai mahluk yang total rasionalistik lalu
mengurung dirinya dalam pengukuran GNP.
Mahbub Ul Haq Mahbub Ul Haq, mengartikan
pembangunan manusia itu pada pilihan manusia
(people choices).
Pembangunan ekonomi dan pembangunan
manusia dilihat sebagai ruang pilihan-pilihan
sebagaimana manusia memiliki berbagai
potensi dalam dirinya untuk kemudian mampu
memilih diantaranya untuk eksis. Musuh
pembangunan manusia dan ekonomi tak lain adalah menutup ruang-ruang pilihan itu
sehingga manusia tak mampu menemukan dan
memenuhi kebutuhannya sendiri sebagaimana
jika kita sekadar tunduk pada perhitungan GNP.
Selain masalah pendidikan yang belum
diimbangi oleh kualitas, masih terlihat adanya
kesenjangan pendidikan menengah yang
cenderung masih tinggi (Kompas, 2014).
Penyediaan akses pendidikan dasar hingga
menengah bagi anak-anak usia belajar di
negara kita meningkat. Namun, masih terjadi
kesenjangan partisipasi pendidikan terkait
status sosial ekonomi kaya-miskin ataupun
perbedaan wilayah. Draf rancangan teknokritik
Rencana Panjang Menengah Nasional 2015
-2019 bidang pendidikan, Direktorat Pendidikan
Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) terlihat bahwa pendidikan
belum sepenuhnya dinikmati semua lapisan
warga . Kelompok warga miskin jauh
tertinggal dibandingkan dengan warga
kaya dalam memperoleh layanan pendidikan.
Hal serupa tercermin dalam hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas, 2012), dimana
kesenjangan partisipasi dalam pendidikan
menengah tampak antara kelompok warga
kaya dan miskin pada kelompok umur 16 – 18
tahun. Angka partisipasi sekolah menengah
dari kuantil 1 (20 persen kelompok warga
paling miskin) baru mencapai 42,9 persen.
Adapun pada kuantil 5 (20 persen kelompok
warga terkaya) sudah 75,3 persen. Selain
itu, kesenjangan Angka Partisipasi Murni
(APM) di jenjang pendidikan menengah dialami
oleh warga yang tinggal di wilayah barat
dan timur negara kita . APM ialah persentase
jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu
dibandingkan dengan warga usia sekolah.
Kesenjangan itu terjadi, bahkan di dalam
sebuah provinsi (Kompas, 2014). Itu terefleksi
dalam data Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan 2013. Di DKI Jakarta misalnya,
APM pendidikan menengah di Jakarta Utara
dan Jakarta Barat baru berkisar 53 persen dan
58 persen, sementara di Jakarta Pusat sudah
95 persen. Di Papua Barat, Papua, dan Nusa
Tenggara Timur, APM pendidikan menengah
masih di bawah 50 persen. Fakta serupa terjadi
di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
dan Lampung. Kebijakan pendidikan mesti
disesuaikan dengan kondisi di daerah. Program
tak bisa diseragamkan.
Kemiskinan merupakan suatu kondisi yang diakibatkan
oleh kekurangannya sumberdaya yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan
kesejahteraan suatu warga . Kemiskinan merupakan
permasalahan yang belum terpecahkan di negara kita
sebab ada banyak faktor yang melatarbelakanginya.
Kemiskinan dibagi kedalam beberapa kelompok yakni
diantaranya kemiskinan absolut, kemiskinan relatif,
kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Faktor
latar belakang yang menyebabkan munculnya masalah
kemiskinan diantaranya kebiasaan buruk yang dianut oleh
suatu kelompok warga dan ketimpangan pendapatan
yang didapat oleh warga . Untuk mengatasi
kemiskinan perlu adanya upaya dari beberapa pihak
seperti para pemangku kebijakan dan profesional salah
satunya yakni Pekerja Sosial. Pekerja sosial memiliki
tujuan untuk memberdayakan warga , hal ini
berkaitan dengan penelitian dalam penulisan artikel ini
mengenai bagaimana upaya yang dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan kemiskinan melalui
perspektif Pekerja Sosial. Penulisan artikel ini bertujuan untuk melakukan penelitian mengenai situasi kemiskinan
di negara kita saat ini dan upaya yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan melalui
perspektif profesi pekerja sosial.Kemiskinan merupakan suatu
permasalahan yang sulit untuk diselesaikan di
negara berkembang khususnya negara kita . Hari
(2017) mengungkapkan bahwa kemiskinan
dalam hal sosial-psikologis mengarah pada
kekurangan jaringan serta struktur sosial yang
dapat meningkatkan produktivitas. Dimensi
kemiskinan merupakan kemiskinan yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang
menghambat kesempatan yang ada di
warga . Faktor penghambat dalam hal ini
yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
Internal merupakan faktor yang berasal dari
dalam diri seseorang seperti misalnya
rendahnya pendidikan sedang faktor
eksternal adalah faktor yang berada dari luar
diri seseorang, kedua faktor ini
mempengaruhi akses bagi seseorang yang
berada dalam kategori miskin untuk memenuhi
kebutuhan serta meningkatkan
kesejahteraannya.
Sharp dalam Kuncoro (2004)
menyatakan bahwa ada beberapa
pemicu dari timbulnya masalah kemiskinan,
yakni (1) ada nya perbedaan pola
kepemilikan sumber daya sehingga
menyebabkan tidak meratanya distribusi
pendapatan, (2) ada perbedaan pada
kualitas sumberdaya manusia, dan (3)
ada nya teori lingkaran setan kemiskinan
(Vicious Circle of Poverty). Upaya
penanggulangan kemiskinan sudah sejak lama
dilakukan oleh berbagai pihak seperti
pemerintah dengan mengeluarkan beberapa
program-program yang dapat membantu
mencukupi kebutuhan warga . Program
ini diantaranya yaitu Program negara kita
Pintar (PIP) yang diberikan melalui Kartu
negara kita Pintar (KIP), Program negara kita Sehat
(PIS) yang diberikan melalui Kartu negara kita
Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH),
dan program-program lainnya yang ditujukan
untuk membantu memenuhi kebutuhan
warga miskin (Poluakan, 2019). Namun hal
ini tentu tidak cukup untuk
menanggulangi kemiskinan, mengingat
kemiskinan tidak dapat dipandang hanya dari
satu sisi saja sebab merupakan suatu
permasalahan yang kompleks sebab tidak
hanya terkait dengan ekonomi, melainkan juga
sisi lainnya seperti kesehatan, pendidikan,
politik, kelembagaan dan sebagainya (Haris,
2018). Oleh sebab itu, dalam proses
penanggulangan kemiskinan diperlukan suatu
pendekatan yang tidak hanya berfokus pada
individual tetapi juga perlu memperhatikan segi
kultural, dan struktural di warga
(Poluakan, 2019).
Pekerjaan sosial hadir sebagai sebuah
profesi yang dilatarbelakangi oleh adanya
peristiwa black death yaitu kematian massal
akibat suatu wabah penyakit di Inggris pada
abad ke-14 yang berdampak pada kondisi
warga yang menjadi miskin (Sitepu, 2017).
Oleh sebab itu, pekerja sosial sangat terkait
dengan masalah kemiskinan, sebab pekerjaan
sosial lahir dari adanya masalah kemiskinan
(Ishartono dkk, 2016). Pekerja sosial menjadi
tenaga terdepan dalam mengatasi masalah
kemiskinan (Ishartono dkk, 2016). Penulisan
artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi a).
Situasi Kemiskinan di negara kita saat ini b).
Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan kemiskinan
melalui perspektif Pekerja Sosial. Penelitian dalam penulisan artikel ini
yaitu memakai metode studi kepustakaan
atau studi literatur. Menurut Achmadi (2005)
penelitian studi literatur tidak diharuskan untuk
secara langsung turun ke lapangan dan bertemu
dengan responden. Pendekatan studi
kepustakaan adalah teknik pengumpulan datadata untuk memenuhi kebutuhan penelitian
yang diperoleh dari literatur, laporan-laporan,
sumber pustaka atau dokumen. Tulisan ini
dikembangan dengan memperbanyak informasi
dari berbagai sumber lalu membandingkannya
dan membuat hasil atas data yang berhubungan
dengan topik pembahasan.
Kumpulan informasi atau data yang
terkait dengan topik pembahasan pada artikel
ini bersumber dari Platform Google. Data yang
digunakan untuk menjadi sumber referensi
dalam penulisan artikel berasal dari jurnal
mengenai upaya menanggulangi permasalahan
kemiskinan di negara kita memakai salah
satu perspektif pekerja sosial yaitu
pemberdayaan warga .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kasus Kemiskinan Di negara kita
Kemiskinan merupakan salah satu
permasalahan yang belum terselesaikan di
negara berkembang khususnya di negara kita .
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per
September 2021 jumlah warga miskin di
negara kita mencapai hingga 26,50 juta warga
atau sebesar 9,71 persen. Dilansir dari laman
web Kompas.com, Lembaga Riset Institute for
Demographic and Poverty Studies (IDEAS)
memberi prediksi bahwa pada tahun 2022
negara kita mengalami kenaikan dalam angka
kemiskinan menjadi 29,3 juta warga atau
sebesar 10,81 persen.
Menurut Friedman dalam Suharto
(2014:134) Kemiskinan merupakan kondisi yang
muncul diakibatkan oleh adanya kesempatan
yang tidak merata dalam mengakumulasi dasar
kekuatan sosial seperti:
Modal produktif
Aset (tanah, perumahan, peralatan dan
kesehatan)
Sumber-sumber keuangan (pendapatan serta
kredit yang memadai)
Organisasi sosial dan politik (partai politik,
koperasi, kelompok usaha, dan kelompok
simpan pinjam)
Network atau jaringan sosial
Keterampilan dan informasi untuk
mengembangkan hidup
Menurut Hari (2017) secara ekonomi,
kemiskinan merupakan kondisi yang
diakibatkan oleh kekurangannya sumberdaya
yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
hidup serta meningkatkan kesejahteraan suatu
warga , sumberdaya dalam hal ini berarti
meliputi hal yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang
luas. sedang Andi (2018) berpendapat
bahwa kemiskinan merupakan permasalahan
yang dapat dilihat berdasar beberapa hal
seperti rendahnya kualitas hidup warga ,
terbatasnya kecukupan dalam mutu pangan,
minimnya akses layanan kesehatan yang
dimiliki, kekurangan gizi serta buruknya
kualitas layanan pendidikan yang diperoleh.
Fakir miskin merupakan suatu
kelompok yang tidak memiliki sumber mata
pencaharian atau memiliki sumber mata
pencaharian namun tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan dasar baik untuk diri
sendiri maupun keluarganya (Hari, 2017).
Kemiskinan adalah suatu masalah mengenai
rendahnya kualitas hidup suatu warga ,
terbatasnya kecukupan dan mutu pangan,
kurangnya pelayanan kesehatan, gizi anak serta
buruknya kualitas atau mutu layanan
pendidikan (Haris, 2018). Kemiskinan juga
dapat memberikan dampak negatif, mulai dari
munculnya tindakan kejahatan, pengangguran,
dan berbagai bentuk kondisi kehidupan sosial
ekonomi yang buruk. berdasar hal ini
dapat dikatakan bahwa kemiskinan dapat
memicu munculnya beragam masalah sosial.
Di negara kita , permasalahan kemiskinan
memiliki sifat multidimensional yang berarti
membutuhkan adanya penanganan
berdasar beberapa aspek lain dari
kemiskinan. Pernyataan ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Hari (2017) yang
menyatakan bahwa kemiskinan merupakan
konsep yang berdimensi ganda
(multidimensional), yakni terdiri dari dimensi
ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Hal
ini juga searah dengan pendapat
Tjokrowinoto dalam Sulistiyani (2017:27) bahwa
kemiskinan tidaklah hanya memiliki keterkaitan
dengan kesejahteraan warga melainkan
juga berkaitan dengan permasalahan
kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan
(powerless), kurangnya peluang akses lapangan pekerjaan bagi warga , penghasilan yang
habis untuk memenuhi kebutuhan konsumsi,
tingginya angka ketergantungan, dan budaya
kemiskinan yang diberikan oleh generasi
sebelumnya dan masih diterapkan hingga saat
ini. Kemiskinan dapat diukur melalui penetapan
persediaan sumberdaya dengan pemakaian
standar baku yang dapat disebut dengan garis
kemiskinan (poverty line), cara ini
dinamakan dengan metode pengukuran
kemiskinan absolut.
ada ketentuan yang dikeluarkan
oleh pemerintah yang mengatur mengenai
indikator kemiskinan yang standar dalam
PERMENSOS No. 146 Tahun 2013, yakni
sebagai berikut:
1. Tidak memiliki sumber mata
pencaharian atau memiliki sumber mata
pencaharian namun tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar
2. Penghasilan hanya dapat digunakan
sebagian besar untuk memenuhi
konsumsi makanan pokok dengan
sangat sederhana
3. Tidak memiliki akses untuk berobat ke
tenaga medis terkecuali puskesmas atau
mendapatkan subsidi dari pemerintah
4. Tidak mampu untuk membeli pakaian
satu kali dalam jangka waktu satu tahun
untuk setiap anggota keluarga atau
rumah tangga
5. Hanya memiliki kemampuan untuk
menyekolahkan anak sampai jenjang
pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP)
6. Dinding rumah terbuat dari
bambu/kayu/tembok dengan kondisi
yang tidak baik seperti tembok yang
telah usang atau yang tidak diplester
7. Lantai terbuat dari tanah atau
kayu/semen/keramik dengan kondisi
yang tidak baik
8. Atap terbuat dari ijuk/rumbia atau
genteng/seng/asbes dengan kondisi
yang tidak baik
9. Penerangan yang digunakan pada
bangunan tempat tinggal bukanlah
berasal dari listrik atau dari listrik tanpa
meteran
10. Luas lantai rumah kurang dari 8
m2/orang
11. Sumber air minum yang dimiliki berasal
dari sumur atau mata air yang tak
terlindung seperti sungai, air hujan, dll.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS),
Kemiskinan merupakan ketidakmampuan
suatu warga dari sisi ekonomi dalam
memenuhi kebutuhan dasar baik makanan
maupun bukan makanan yang terukur
berdasar sisi pengeluaran, sedang
warga miskin merupakan warga yang
memiliki rata-rata pengeluaran perkapita
perbulan dibawah garis kemiskinan.
ada 14 Kriteria Miskin menurut
Standar Badan Pusat Statistik, diantaranya:
1. Luas lantai bangunan pada tempat
tinggal berukuran kurang dari 8m2 per
orang
2. Jenis lantai pada tempat tinggal terbuat
dari tanah/bambu/kayu dengan biaya
atau harga yang murah
3. Jenis dinding pada tempat tinggal dari
bambu/rumbia/kayu dengan kualitas
rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar
atau dilakukan secara bersama-sama
dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga
masih tidak memakai listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/
mata air tidak terlindung/sungai/air
hujan.
7. Bahan bakar yang digunakan untuk
memasak makanan sehari-hari yakni
memakai kayu bakar/ arang/
minyak tanah
8. Hanya mengkonsumsi
daging/susu/ayam dalam satu kali
seminggu.
9. Hanya mampu membeli satu stel
pakaian baru dalam setahun
10. Hanya mampu makan sebanyak satu/
dua kali dalam sehari
11. Tidak mampu membayar biaya
pengobatan di puskesmas/ poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala rumah
tangga adalah: petani dengan luas lahan
500m2, buruh tani, nelayan, buruh
bangunan, buruh perkebunan dan atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan
dibawah Rp. 600.000,- per bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah
tangga yakni tidak sekolah/ tidak tamat
SD/ tamat SD.
14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang
mudah dijual dengan minimal Rp.
500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor,
atau barang modal lainnya.
Kemiskinan merupakan permasalahan
yang termasuk ke dalam patologi sosial dan
dapat menyebabkan terbentuknya perilaku anti
sosial serta kriminalitas terhadap seseorang
seperti aksi kejahatan hingga pengangguran dan
kondisi kehidupan sosial ekonomi yang buruk
lainnya (Andi, 2018).
Munculnya permasalahan kemiskinan tentunya
tidak terlepas dari faktor yang
melatarbelakanginya. Jamasy (2004)
menyatakan bahwa kemiskinan dibagi menjadi
dua kelompok dilihat dari pemicu nya, yakni
kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.
Kemiskinan Kultural
Kemiskinan kultural yaitu kemiskinan
yang diakibatkan oleh ada nya kultur,
budaya atau kebiasaan yang dianut oleh suatu
warga berupa kebiasaan warga
dalam cara berpikir warga yang kurang
rasional serta merasa cepat puas dengan sesuatu
yang telah dicapai sehingga menyebabkan
timbulnya sifat malas. Kemiskinan kultural
merupakan kondisi kelompok warga
dimana menurut kelompok warga lainnya
sudah termasuk kedalam kategori miskin atau
sangat miskin namun kelompok warga ini
tidak merasa memiliki masalah dengan keadaan
yang mereka hadapi sehingga menyebabkan
sulitnya menanggulangi permasalahan
kemiskinan pada kelompok yang masuk ke
dalam kemiskinan kultural ini.
Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural merupakan
kemiskinan yang diakibatkan oleh ada nya
kebijakan pembangunan yang belum merata
bagi seluruh warga sehingga munculnya
permasalahan ketimpangan pendapatan pada
suatu kelompok warga . Kelompok
kemiskinan ini diakibatkan oleh sistem dan
struktur sosial yang tidak menyediakan
kesempatan atau lapangan pekerjaan yang
memungkinkan warga dalam kategori
miskin untuk dapat bekerja. warga yang
termasuk kedalam kelompok ini umumnya
yakni bekerja sebagai buruh tani, pemulung,
penggali pasir serta orang-orang yang tidak
terpelajar atau terlatih. Pemerintah memiliki
peranan besar dalam mengentaskan
permasalahan kemiskinan dalam kelompok
kemiskinan struktural disebab kan dalam
menyelesaikan permasalahan kemiskinan pada
kelompok ini butuh adanya seseorang yang
memiliki kekuasan dan mampu untuk
menciptakan kebijakan yang pro terhadap
warga miskin. Hal ini berkaitan juga
dengan salah satu pemicu permasalahan
kemiskinan di negara kita , yakni ada nya
kebijakan ekonomi dan politik yang tidak
memberikan keuntungan pada warga
yang tergolong kedalam warga miskin
sehingga menyebabkan mereka tidak
mendapatkan akses sumberdaya untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan
layak.
Chambers dalam Khomsan, dkk
(2015:3-4) juga menyatakan ada empat
faktor yang menjadi latar belakang terjadinya
kemiskinan:
Kemiskinan absolut, kemiskinan yang terjadi
pada suatu kelompok warga dimana
pendapatan mereka berada pada bawah garis
kemiskinan sehingga mereka tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar
seperti sandang, pangan dan papan serta
kesehatan dan pendidikan yang mana hal
ini dibutuhkan mereka untuk melakukan
kegiatan bekerja dan melanjutkan hidup.
Kemiskinan relatif, kemiskinan yang
diakibatkan oleh ada nya ketimpangan
pendapatan, namun kelompok warga pada
kategori ini masih tergolong memiliki
pendapatan di atas garis kemiskinan namun
mereka cenderung masih berada di bawah
kemampuan warga di sekitar mereka.
Kemiskinan kultural, kemiskinan yang
diakibatkan oleh adanya faktor budaya atau
kebiasaan yang dianut oleh suatu warga ,
yang mana mereka tidak mau untuk
memperbaiki kondisi kehidupan mereka seperti
misalnya malas dan boros.
Kemiskinan struktural, merupakan
kemiskinan yang terjadi diakibatkan oleh
kurangnya akses bagi suatu kelompok
warga untuk memperoleh sumber daya
yang ada dalam sistem sosial budaya
politik hingga tidak mendukung adanya
pembebasan serta pengentasan kemiskinan.
Perkembangan yang terjadi pada masa
kini menyebabkan kegiatan pembangunan pada
suatu wilayah tidak dapat dihindari terutama di
wilayah perkotaan, hal ini menjadi salah
satu pemicu termarginalisasikannya
warga kurang mampu atau miskin yang tidak memiliki pengetahuan serta
.jpeg)
