Tampilkan postingan dengan label sapi 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sapi 7. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 April 2024

sapi 7


 



Penelitian ini mengungkapkan tentang budaya Kerapan Sapi Madura sebagai salah satu Budaya asli Madura yang 

penting untuk dilestarikan. Budaya Kerapan Sapi masih terus bertahan hingga saat ini karena Budaya Kerapan Sapi 

dapat menciptakan solidaritas. Proses terbentuknya solidaritas dalam Budaya Kerapan Sapi melalui unsur-unsur 

tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses terbentuknya Modal Sosial warga  Madura. 

Teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori sosial-kapitalis dengan paradigma humanistik, teori nilai 

budaya dengan paradigma sosial sains dan teori dampak sosial dengan paradigma sosial.Metode yang digunakan dalam 

penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian studi kasus. Hasil penelitian ini adalah 

Budaya Kerapan Sapi sebagai modal sosial warga  Madura dapat terbentuk melalui 3 aspek penting, yaitu pertama, 

aspek penyelenggaraannya yang terbagi atas tiga tahapan yaitu persiapan, pelaksanaan, dan setelah pelaksanaan. Kedua, 

aspek pihak yang terlibat yang meliputi: pemilik sapi kerapan, joki, pengibar bendera besar, dan Dinas Kebudayaan dan 

Pariwisata Kabupaten Bangkalan. Ketiga aspek kepentingan yang terbagi atas empat kepentingan inti yaitu: 

kepentingan sosial, kepentingan ekonomi, kepentingan politik dan kepentingan budaya. Simpulan dari penelitian ini 

bahwa Budaya Kerapan Sapi dapat menciptakan solidaritas sebagai modal sosial melalui unsur-unsur yang terbentuk 

dari proses yaitu unsur dari tindakan, unsur dari perilaku, unsur dari simbol, dan unsur dari perkataan.   


Kerapan sapi merupakan budaya asli dari tanah 

Madura yang sudah dikenal sejak abad ke-14 M. Pada 

zaman dahulu sapi merupakan satu-satunya alat 

Transportasi tercepat yang ada di Madura dan banyak 

digunakan oleh warga  , khususnya warga  elit 

atau kerajaan. Kerapan sapi ini merupakan salah satu 

contoh budaya dan hiburan bagi warga  Madura yang 

telah turun temurun dilaksanakan. Kerapan sapi dibuat 

untuk membantu warga  Madura dalam melakukan 

interakasi dan komunikasi dengan orang lain. Interaksi 

dan komunikasi yang terjadi melalui Budaya Kerapan 

Sapi  mengakibatkan terbentuknya kelompok sosial. 

Aspek menarik dari kelompok sosial adalah cara 

yang dilakukan dalam mengendalikan anggota-

anggotanya. Hal yang penting dari kelompok sosial 

terkait tentang kekuatan-kekuatan yang saling 

berhubungan dan berkembang serta memiliki peranan 

dalam mengatur tindakan-tindakan anggotanya untuk 

mencapai tata tertib demi kebaikan kelompok. Kelompok 

sosial yang terbentuk dari interaksi dan komunikasi antar 

individu atau manusia didasarkan atas hubungan 

kekerabatan, usia, seks, dan terkadang atas dasar 

perbedaan pekerjaan atau kedudukan (Soerjono, 

2013:107). Keanggotaan masing-masing kelompok sosial 

tadi memberikan kedudukan atau prestise tertentu sesuai 

dengan adat istiadat dan lembaga kewarga an di 

dalam warga .Namun, yang terpenting adalah 

keanggotaan pada kelompok sosial tidak selalu bersifat 

sukarela. 

Solidaritas merupakan suatu jenis tatanan sosial 

yang memandang warga  sebagai sebuah komponen 

yang berbeda dan memiliki hubungan satu sama lain. 

Solidaritas tersebut dibagi menjadi solidaritas mekanik 

dan solidaritas organik.Solidaritas mekanik terdapat 

dalam warga  pedesaan, sedangkan solidaritas 

organik terdapat dalam warga  perkotaan.Solidaritas 

mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif 

bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan dan 

kebudayaan.warga  yang ditandai dengan solidaritas 

mekanik menjadi satu dan padu, karena seluruh orang 

adalah generalis (George Ritzer, 2008:90-91). 

Ciri-ciri atau karakteristik tersebut membuktikan 

bahwa warga  Madura menganut solidaritas mekanik 

meskipun tidak harmonis yang dibuktikan dengan adanya 

sikap warga  Madura dalam Budaya Karapan Sapi 

yang tidak memandang untung rugi dari pelaksanaan 

Budaya Karapan Sapi. Oleh sebab itu, Penelitian ini 

menjadi hal yang sangat penting karena adanya beberapa 

alasan yaitu: 

Pertama, warga  Madura tergolong sebagai 

warga  tradisional karena memiliki sikap-sikap yang 

bersifat komunal dan kolektif.Namun, jika ditinjau secara 

historis warga  Madura sulit melakukan komunikasi 

diluar pekerjaan.Hal ini mengakibatkan warga  

Madura menjadi sulit unuk berinteraksi satu dengan 

lainnya, sehingga memicu  renggangnya hubungan 

diantara warga  Madura.Kerenggangan hubungan ini 

dapat teratasi melalui Budaya Karapan Sapi.Budaya 

Karapan Sapi menjadi Budaya yang dikenal secara luas 

bahkan hingga ke Mancanegara. 

Kedua, pada fase modern warga  Madura 

menciptakan tradisi baru yang disebut dengan budaya 

merantau. Data primer yang diperoleh tahun 2007 oleh 

Latief Wiyata membuktikan bahwa dari 13,5 juta jiwa 

penduduk Madura hanya 3 juta jiwa saja yang tinggal di 

Madura, sedangkan yang lainnya pergi untuk merantau 

artinya 77,8% penduduk Madura pergi merantau dan 

hanya 22,2% penduduk Madura saja yang tinggal di 

Madura. Budaya Merantau inilah yang memicu  

terjadinya ketidakharmonisan warga  Madura dalam 

berinteraksi.Namun, ketidakharmonisan ini justru dapat 

teratasi melalui Budaya Kerapan Sapi. 

Terakhir, Budaya Kerapan Sapi dapat 

mengintegrasikan nilai-nilai tradisional kedalam nilai-

nilai modern.Contoh konkritnya adalah Budaya Kerapan 

Sapi yang digunakan sebagai alat untuk memperoleh 

kehormatan dan kebanggan (nilai modern), dapat 

dibuktikan dengan pemberian semangat dan dukungan 

melalui alat-alat tradisional seperti membunyikan kaleng-

kaleng bekas dan adanya keleles pada sapi sebagai alat 

tradisional khas Madura.Selain itu, Budaya Kerapan Sapi 

identik dengan kekerasan terhadap hewan yang 

memicu  MUI mengharamkan pelaksanaan Budaya 

Kerapan Sapi yang menggunakan kekerasan. 

Penelitian yang dilakukan tentang budaya merantau 

menggunakan teori sosial- kapitalis dengan paradigma 

humanistik yang bertujuan untuk memahami respon 

subjektif individual. Humanistik menekankan pada “di 

dalam sini” dan cenderung tidak memisahkan “siapa 

seseorang” menunjukkan “apa yang dilihatnya” karena 

penekanannya pada respon subjektif (Burhan, 2009:243). 

Paradigma ini sangat tepat diterapkan dalam penelitian 

kualitatif yang cenderung berupa data diskriptif dengan 

subjek penelitian budaya warga . Dengan demikian, 

paradigma humanistik  berupaya mencari fakta yang 

dapat dipahami.  

berdasar  hal ini, maka rumusan masalah dari 

penelitian ini adalah tentang proses terbentuknya Modal 

Sosial melalui Budaya Kerapan Sapi warga  Madura 

Khususnya di Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan. 

Tujuannya adalah untuk mengetahui proses terbentuknya 

Modal Sosial melalui Budaya Kerapan Sapi yang ditinjau 

Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga  madura 

  

dari 3 aspek penting yaitu aspek penyelenggaraan, aspek 

yang terlibat dan aspek kepentingan. 


Sepulu sebuah Kecamatan di Kabupaten Bangkalan, 

ProvinsiJawa Timur, Indonesia.Daerah ini terletak di 

Pulau Madura. Dari sejarahnya nama Sepulu ada dua 

versi, (1) Sepulu berasal dari 1 pulau kecil (se-pulau) 

yang konon daerah ini jika air laut pasang maka 

membentuk pulau kecil sehingga warga  memberi 

nama Sepulau (Sepulu). (2) Sepulu berasal dari jumlah 

sumur-sumur yang dulunya dikeramatkan dan biasa 

dijadikan sumber air minum oleh warga , rasanya 

enak dibandingkan sumber air lainnya, sepanjang tahun 

airnya takpernah kering. Sumur-sumur itu berjumlah 10 

Sepulu (Sepulu) sumur (sumber), sehingga kerena air 

merupakan sumber kehidupan manusia maka 

dinamakanlah desa tersebut Sepulu. Sampai saat ini 

sumur-sumur yang masih dijadikan sumber air minum 

sebagian masih ada dan difungsikan dengan baik 

Jumlah penduduk Kecamatan Sepulu sebanyak 

38.809 jiwa, terdiri dari laki-laki 18.467 dan  perempuan 

20.340 jiwa. Kecamatan Sepulu memiliki pantai Tangket 

yang sangat indah sebagai daya tarik tersendiri di 

Kecamatan Sepulu sebelah barat. Mata pencaharian 

utamanya adalah petani sebesar 13.826 orang sedangkan 

agama mayoritasnya adalah islam. Dengan tingkat 

pendidikan yaitu tamat SD dan yang memasuki usia kerja 

12.185 orang. 

 

Fungsi Budaya Kerapan Sapi 

Budaya menurut Titin Listiyani (2011) dalam jurnal 

penelitiannya mengungkapkan bahwa setiap kebudayaan 

senantiasa berintikan seperangkat cita-cita, norma-norma, 

pandangan, aturan, pedoman, kepercayaan, sikap dan 

sebagainya yang dapat mendorong kelakuan manusia. 

Penelitian ini menjelaskan jika, Kerapan Sapi sebagai 

budaya asli Madura merupakan hasil dari pandangan, 

aturan, kepercayaan, dan sikap yang mendorong 

warga  Madura melakukan kegiatan yang sangat 

unik melalui Budaya Kerapan Sapi. Budaya Kerapan 

Sapi memiliki beberapa fungsi, antara lain: a) fungsi 

 Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga  madura 

 

328 

sosial, b) fungsi budaya, c) fungsi hiburan, dan d) fungsi 

politik. 

Fungsi Sosial 

Perlombaan Budaya Kerapan Sapi pada warga  

Madura yang daerahnya beriklim tropis sangat  ditunggu-

tunggu karena dengan adanya Budaya Kerapan Sapi, 

maka warga  Madura akan saling berinteraksi dan 

berkomunikasi satu dengan yang lain. Berlangsungnya 

proses interaksi sosial didasarkan pada berbagai faktor 

penting salah satunya adalah faktor sugesti (Soerjono, 

2013:57).  Faktor sugesti merupakan adanya pengaruh 

yang dilakukan oleh seseorang yang dianggap memiliki 

kedudukan dan berwibawa dalam suatu kelompok 

warga .Menurut, sejarahnya Budaya Kerapan Sapi 

diciptakan oleh Pangeran Katandur sebagai upaya untuk 

mempersatukan warga  Madura yang berprofesi 

sebagai warga  petani. 

warga  Madura yang berprofesi sebagai petani 

pada waktu itu, hanya berinteraksi dan berkomunikasi 

ketika musim panen tiba. Namun, setelah itu warga  

Madura akan terpisah dan tidak saling berkomunikasi. 

Untuk itu, Pangeran Katandur berinisiatif untuk 

menciptakan Budaya Kerapan Sapi sebagai alat untuk 

memperkuat hubungan persaudaraan warga  

Madura.Oleh sebab itu, Budaya Kerapan Sapi menjadi 

budaya khas Madura dan sangat diminati oleh warga  

Madura karena memiliki fungsi untuk memperkuat 

hubungan solidaritas sebagai modal sosial warga  

Madura. 

Selain, berfungsi untuk memperkuat solidaritas 

warga  Madura, Budaya Kerapan Sapi dapat 

dijadikan sebagai alat untuk memperoleh kehormatan 

atau kebanggan dalam masyararakat Madura.Hal 

mengenai Budaya Kerapan Sapi dapat dijadikan sebagai 

alat untuk memperoleh kehormatan atau kebanggan 

dipaparkan oleh Bapak H. Ghozali (49 tahun) sebagai 

pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru Kabupaten 

Bangkalan. 

Biaya besar yang dikeluarkan untuk Budaya 

Kerapan Sapi tidak saya pedulikan, karena hal ini 

sudah menjadi hobi bagi saya yang sudah mendarah 

daging dan sebagai upaya untuk mempertahankan 

kebudayaan.Selain itu, memiliki sapi kerapan 

merupakan suatu kebanggan bagi warga  

Madura termasuk saya sebagai pemilik sapi kerapan. 

Dari pemaparan  Bapak H. Ghozali (49 tahun) 

sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru 

Kabupaten Bangkalan tersebut bahwa Budaya Kerapan 

Sapi memiliki fungsi yang sangat tinggi dalam aspek 

sosial yaitu sebagai media untuk memperkuat solidaritas 

warga  Madura dan juga sebagai suatu kebanggaan 

dan kehormatan dalam stratifikasi sosial warga  

Madura.  Fungsi dalam memperkuat solidaritas 

warga  Madura dan sebagai media untuk 

memperoleh kebanggaan merupakan suatu modal sosial 

yang harus terus dipertahankan agar Budaya Kerapan 

Sapi dapat terus dilestarikan sebagai budaya asli 

warga  Madura 

Fungsi Budaya 

Fungsi budaya dari Budaya Kerapan Sapi tidak lain 

adalah sebagai kebudayaan orisinil warga  Madura. 

Kerapan Sapi merupakan suatu persitiwa budaya yang 

menunjukkan identitas daerah Madura sebagai budaya 

asli yang perlu dilestarikan dan dicermati dari aspek 

waktu baik pada saat persiapan, saat pelaksanaan, dan 

setelah pelaksanaan dengan melibatkan warga  

Madura sebagai pemilik sapi kerapan, penonton, dan joki 

kerapan sapi. Budaya Kerapan Sapi dikatakan sebagai 

sebuah kebudayaan, karena lahir dari adanya faktor 

sugesti yang mengakar dan kemudian disepakati oleh 

warga  Madura serta dapat melahirkan kearifan 

dalam warga  Madura dan membentuk pola pikir 

perilaku warga  Madura. 

Dilihat dari segi budaya, Kerapan Sapi berpengaruh 

terhadap penduduk Kecamatan Sepulu Kabupaten 

Bangkalan terutama bagi generasi mudanya.Hal ini 

disebabkan oleh Budaya Kerapan Sapi yang merupakan 

budaya pewarisan dan turun-temurun dari generasi ke 

generasi.Kecanggihan media komunikasi dan informasi 

yang semakin canggih tidak meurunkan semangat 

generasi Madura yang memiliki ketertarikan sangat tinggi 

terhadap Budaya Kerapan Sapi.Hal ini terbukti dengan 

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2014, HAL 324-342 

 

 

329 

banyaknya pemilik kerapan sapi yang tertarik dengan 

Budaya Kerapan Sapi karena orangtuanya yang juga 

pemilik kerapan sapi.Mengenai Budaya Kerapan Sapi 

sebagai budaya yang diwariskan dipaparkan oleh Bapak 

H. Ghozali (49 tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi 

Desa Banyu Biru Kabupaten Bangkalan. 

Saya menggeluti Budaya Kerapan Sapi ini sejak 

tahun 1992.Dulu orang tua saya memelihara sapi 

kerapan.Ketika itu saya masih kecil. Sekarang saja 

anak saya yang masih kelas 6 SD sudah sangat 

menyenangi dan dia nantinya yang akan 

melanjutkan hobi saya ini untuk melestarikan 

Budaya Kerapan Sapi. 

 

Dari pemaparan Bapak H. Ghozali (49 tahun) 

sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru 

Kabupaten Bangkalan tersebut bahwa Budaya Kerapan 

Sapi Madura merupakan budaya asli Madura sebagai 

identitas daerah Madura yang harus terus dipelihara dari 

generasi ke generasi berikutnya, agar Budaya Kerapan 

Sapi tersebut tidak punah dan dapat terus dilestarikan 

sebagai suatu budaya yang orisinil dan turun-temurun 

untuk membentuk pola pikir perilaku warga  

Madura.kebudayaan akan selalu dapat bertahan apabila 

nilai-nilai yang ada dalam budaya tersebut diyakini dan 

terus dilestarikan dari generasi ke generasi selanjutnya 

atau adanya kontak nilai (Taliziduhu 128:2005) 

Nilai budaya yang terkandung dalam Budaya 

Kerapan Sapi sebenarnya dapat membentuk pola dalam 

tatanan kehidupan warga .Tatanan tersebut baik yang 

meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun 

politik.Dalam aspek Budaya Kerapan Sapi dapat 

membentuk suatu keunikan yaitu pola perilaku pemilik 

sapi yang lebih menyayangi sapinya dengan bentuk 

perawatan sapi yang sangat luar biasa, sehingga 

membutuhkan biaya yang besar.Pola perilaku pemiliki 

sapi inilah yang memicu  terjadinya pergeseran nilai 

dalam warga  Madura yang disebabkan oleh adanya 

faktor sugesti dari pihak yang memiliki kedudukan dan 

berwibawa. 

 

 

Fungsi Hiburan 

Fungsi hiburan dari Budaya Kerapan Sapi adalah 

sebagai sarana hiburan, menghilangkan stress, dan 

berrsantai yang menjadikan penonton menjadi lebih 

bersemangat dan optimis kembali untuk melakukan 

kegiatannya sehari-hari.Salah seorang penonton Kerapan 

Sapi berpendapat, terutama yang menyenangi adu 

kecepatan sapi kerapan bahwa ketika melihat sapi 

kerapan berlari kencang, maka dia merasa semangat 

untuk terus menyaksikan perlombaan tersebut hingga 

selesai. Jika, tidak akan merasa kepikiran tentang siapa 

yang akan menjadi juara dalam kerapan sapi.  

warga  Madura dikenal dengan warga  

yang memiliki semangat untuk terus bekerja keras dan 

tidak mudah putus asa dan memiliki jiwa kompetisi yang 

sangat baik. berdasar  Jurnal Penelitian dari Wahyu 

Purhantara (2010) Hasil penelitian yang diperoleh oleh 

Wahyu menyatakan bahwa jumlah perantau tahun 2010, 

sebanyak 52,29% dan 3.541.427 diantaranya 

berpenghasilan 2 juta-3juta/ bulan serta 68% warga  

Madura berpenghasilan diatas 2 juta. Selain itu, 62,79% 

warga  Madura yang merantau memiliki jiwa 

kompetisi yang tinggi. Ini membuktikan bahwa 

warga  Madura memiliki jiwa kompetisi, sehingga 

pantaslah jika warga  Madura sangat menggemari 

Budaya Kerapan Sapi sebagai tontonan atau hiburan. 

Fungsi Politik 

Fungsi politik dari Budaya Kerapan Sapi adalah 

sebagai sarana untuk mengumpulkan massa atau 

pengikut. Proses dalam mengumpulkan massa atau 

pengikut tersebut terjadi melalui hubungan yang bersifat 

horizontal antar sesama warga  Madura. sehingga 

seringkali Budaya Kerapan Sapi dijadikan sebagai ajang 

untuk berkampanye partai politik tertentu. Hal mengenai 

Budaya Kerapan Sapi memiliki fungsi politik 

disampaikan oleh Bapak Syamsul Arifin (41 tahun) 

sebagai pemilik kerapan sapi Desa Junok Kabupaten 

Bangkalan. 

Kebanyakan ya, sekarang dipartai politik orang yang 

mau mencari massa terutama khusus Madura yang 

menjadi alatnya memang, harus mengadakan lomba 

Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga  madura 

 

330 

untuk orang yang mau jadi caleg. Mengadakan 

lomba secara gratis dan faktanya memang ada dan 

sering sudah itu dilakukan. 

 

Dari pemaparan Bapak Syamsul Arifin (41 tahun) 

sebagai pemilik kerapan sapi Desa Junok Kabupaten 

Bangkalan tersebut bahwa faktanya, Budaya Kerapan 

Sapi memang sering dijadikan sebagai alat untuk 

memperoleh massa baik dalam aspek sosial maupun 

politik. Budaya Kerapan Sapi dalam aspek politik sering 

dijadikan sebagai alat untuk berkampanye, karena 

warga  Madura sangat menyukai Budaya Kerapan 

Sapi dan seringkali partai politik atau seseorang yang 

ingin maju sebagai anggota calon legislatif mengadakan 

lomba kerapan sapi secara gratis untuk menarik minat 

warga  Madura terutama untuk menjadikannya 

sebagai anggota legislatif dari perwakilan daerah Madura. 

Politik erat kaitannya dengan kepentingan dari 

seseorang atau sekelompok orang.Meskipun Budaya 

Kerapan Sapi sering dijadikan sebagai alat untuk 

berkampanye, namun esensi atau inti dari adanya Budaya 

Kerapan Sapi harus tetap ada yaitu untuk memperkuat 

hubungan solidaritas dan persaudaraan warga  

Madura.Politik dalam Budaya Kerapan Sapi hanya 

terlihat untuk segelintir orang yang memiliki suatu tujuan 

tertentu dengan modal yang besar.Sehingga menggunakan 

Budaya Kerapan Sapi untuk memperlancar tujuannya 

tersebut. 

Keunikan Budaya Kerapan Sapi 

Juara Menang 

Tabel 5.1 Juara Menang Kerapan Sapi 

No  Nama Sapi Pemilik Alamat 

1.  Satelit H. Hamdan Sumenep 

2.  Gagak 

Rimang 

R.H.M. Tohir Bangkalan 

3.  Sonar Muda 

II 

H. Syaiful Bahri Sampang 

(Sumber: Arsip Museum Tjakraningrat JL. Soekarno-

Hatta No.59a Kabupaten Bangkalan) 

Pemilik Kerapan Sapi yang telah menjuarai 

perlombaan tingkat keresidenan yang sebelumnya telah 

diseleksi terlebih dahulu di tingkat Kawedanan 

(Kecamatan).Setelah itu tingkat Kabupatendan yang 

terakhir Se- Madura yaitu tingkat Keresidenan. Sapi 

Kerapan yang menjuarai perlombaan tingkat Keresidenan, 

maka nilai jualnya akan semakin bertambah mencapai 

lebih dari 150 juta/pasang. Tetapi apabila sapi kerapan 

memenangkan perlombaan sebagai juara menang, maka 

harga jual sapi semakin mahal hingga mencapai 500 

juta/pasang. 

Harga jual sapi yang semakin tinggi, akan 

menambah kebanggaan dan kehormatan si pemiliki sapi. 

Kebanggaan dan kehormatan bagi warga  Madura 

menjadi hal yang sangat penting, karena warga  

Madura tidak akan pernah memperhitungkan uang yang 

dikeluarkan untuk kesenagan dan hobi yang disukai. Hal 

inilah, yang menjadi salah satu alasan Budaya Kerapan 

Sapi di Madura masih terus dilestarikan dengan segala pro 

dan kontra terhdap pelaksanaan Budaya Kerapan Sapi. 

Juara Kalah 

Tabel 5.2 Juara Kalah Kerapan Sapi 

No  Nama Sapi Pemilik Alamat 

1.  Sonar Muda I H.Samsudin Sumenep 

2.  Teror 

Serdad

Jamhari Sampang 

3.  Siluman Subadar Bangkalan 

 (Sumber: Arsip Museum Tjakraningrat JL. Soekarno-

Hatta No.59a Kabupaten Bangkalan) 

 

Keunikan dalam Budaya Kerapan Sapi adalah 

bahwa bukan hanya sapi yang menang yang mendapatkan 

hadiah tetapi sapi yang kalah juga bisa mendapatkan 

hadiah. Proses terbentuknya juara kalah dalam Budaya 

Kerapan Sapi adalah melalui tahapan perlombaan, dimana 

sapi kerapan yang menang akan di adu kembali dengan 

sapi yang menang lainnya. Namun, hal tersebut tidak 

menjadikan sapi yang kalah tidak dapat menjuarai 

perlombaan, sebab bagi sapi kerapan yang kalah saat 

pertandingan akan dilombakan kembali dengan sapi yang 

kalah lainnya. 

Sapi kerapan yang kalah bertanding akan 

memperebutkan juara untuk katagori juara kalah yang 

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2014, HAL 324-342 

 

 

331 

memperebutkan tiga tempat juara. Hadiah yang 

didapatkan untuk juara kalah memang tidak sebesar 

hadiah yang didapatkan oleh juara yang menang yaitu 

hanya sepeda motor saja.Namun, bagi orang Madura 

masuk dalam kategori juara menang atau kalah menjadi 

hal yang tidak dipentingkan karena sapi kerapan menjadi 

juara sudah merupakan hal yang membanggakan dalam 

status sosial warga  Madura.Kebanggakan bagi 

warga  Madura merupakan hal yang penting dan 

tidak dapat ditukar oleh materi maupun hal lainnya. 

 

Proses Terbentuknya Modal Sosial Melalui Budaya 

Kerapan Sapi 

Budaya Kerapan Sapi dapat dijadikan sebagai 

modal sosial untuk memperkuat solidaritas warga  

Madura.Modal sosial sebagai solidaritas yang 

diidentikkan dengan warga  Madura dan terbentuk 

oleh adanya ikatan-ikatan melalui kegiatan-kegiatan yang 

terkait dalam Budaya Kerapan Sapi yang tercermin dalam 

tindakan sosial, perilaku, simbol dan 

perkataan/perkataan. 

Tradisi Budaya Kerapan Sapi Ditinjau Dari Aspek 

Penyelenggaraan 

Melalui Tindakan Sosial 

Pembelian jamu dan telur yang dibutuhkan untuk 

merawat sapi, pemilik sapi juga menyerahkan kepada 

orang lain dan pemilik sapi hanya memberikan intruksi 

dalam meracik jamu secara khusus sebagai resep rahasia 

yang dimiliki oleh setiap pemilik kerapan sapi. Hal 

menarik dari perawatan sapi kerapan ini adalah, ketika 

pembelian telur ayam kampung, Pemilik kerapan sapi 

tidak pernah meminta transparansi dari pembelian telur 

ayam kampung tersebut.Pemilik kerapan sapi merasa 

yakin bahwa orang yang membeli telur ayam kampung 

tersebut tidak mungkin berbohong.Hal mengenai 

transparansi pembelian telur ayam kampung disampaikan 

oleh Bapak Yudha (23 tahun) sebagai pemilik kerapan 

sapi Desa Torjun Kabupaten Bangkalan. 

Oh tidak…karena kerapan sapi merupakan budaya 

tradisional, sehingga hal utama dalam kebudayaan 

ini adalah unsur kepercayaan 

 

Dari pemaparan Bapak Yuda (23 tahun) 

menjelaskan bahwa bentuk dari tindakan sosial 

warga  Madura sebagai upaya menguatkan 

solidaritas salah satu tindakan nyatanya yaitu 

kepercayaan.Kepercayaan tersebut dibuktikan dengan 

sikap saling percaya antara pemilik kerapan sapi dan 

orang yang membantu perawatan sapi kerapan dengan 

tidak meminta transparansi terhadap pembelian telur 

ayam kampung.Selain, Bapak Yuda (23 tahun) 

penjelasan mengenai unsur kepercayaan dalam hal 

pembelian telur ayam kampung juga disampaikan oleh 

Bapak H. Ghazali (43 tahun) Desa Banyu Biru 

Kabupaten Bangkalan. 

Dalam hal merawat saya dibantu orang lain, namun 

cara untuk jamu, makan, dan memandikan itu diatur 

oleh saya sendiri. Karena takutnya terlalu panas, 

maka sapi bisa lemah. Dalam hal untuk membeli 

jamu dan telur ayam kampung itu saya menyuruh 

orang lain untuk membeli. Saya tidak pernah 

meminta kwitansi pembayaran untuk pembelian 

telur dan jamu tersebut, semuanya berdasar  

unsur kepercayaan saja.Dalam sehari saya bisa 

membeli telur ayam kampung seratus butir per hari 

untuk satu ekor sapi. 

 

Dari pemaparan Bapak H Ghazali (43 tahun) Desa 

Banyu Biru Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa 

dalam hal untuk pembelian jamu dan telur, memang tidak 

pernah meminta kwitansi pembayaran, sebab dalam hal 

ini unsur kepercayaan menjadi hal terpenting.  Selain 

dalam hal pembelian jamu dan telur ayam kampung, 

tindakan sosial lainnya yang mencerminkan adanya 

solidaritas dalam Budaya Kerapan Sapi adalah ketika 

proses percaikan jamu yang akan diberikan kepada sapi 

kerapan. Hal itu ditunjukkan dengan kerjasama yang 

dilakukan oleh pemilik kerapan sapi dengan kru yang 

membantu perawatan sapi kerapan. 

Melalui Perilaku Sosial 

Bagi warga  Madura, sapi boleh bertengkar 

tetapi pemilik sapi tidak boleh konflik.Hal ini terjadi 

karena warga  Madura menganggap kesenangan dan 

Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga  madura 

 

 

332 

kecintaan terhadap Budaya Kerapan Sapi bukan berarti 

membuat hubungan antara para pemilik sapi kerap tidak 

harmonis.Sebaliknya, adanya Budaya Kerapan Sapi 

diharapkan mampu untuk mempersatukan segala 

perbedaan yang ada baik dalam segi politik, ekonomi, 

dan sosial.Hal mengenai hubungan tidak adanya konflik 

yang terjadi apabila terjadi perbedaan prinsip diantara 

warga  Madura disampaikan oleh Saudara Halul 

Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan 

Kabupaten Bangkalan. 

Yah kalau unsur kekecewaan pasti ada mbak. Sudah 

pasti mbak, tapi kan orang belum tentu satu prinsip. 

Katakanlah juragan kan belum tentu satu prinsip 

juga mbak. Jadi ya harus dibedakan yang ini 

juragan, sehingga apabila juragan dan yang ikut 

juragan, tentunya di sama-sama ingin melepas sapi 

untuk menang. 

berdasar  pemaparan yang disampaikan oleh Saudara 

Halul Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa 

Senenan Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa 

perbedaan prinsip dalam Budaya Kerapan Sapi, 

khususnya pemberian dukungan tidak akan menimbulkan 

konflik yang berlarut-larut. Rasa kecewa pasti ada, 

namun yang perlu disadari dan diingat bahwa setiap 

orang atau individu memiliki prinsip yang berbeda-beda 

dalam menghadapi dan memilih pilihan yang 

dikehendaki. Sehingga, pada dasarnya Budaya Kerapan 

Sapi dapat dijadikan alat untuk menekan dan 

mengantisipadi konflik yang terjadi baik di dalam 

lapangan maupun di luar lapangan 

 

Melalui Simbol-Simbol 

Simbol-simbol sering digunakan untuk memberikan 

suatu tanda terhadap segala sesuatu yang berhubungan 

dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat rahasia atau 

tersirat. Dalam pelaksanaan perlombaan kerapan sapi 

juga terdapat simbol-simbol yang mencerminkan adanya 

penguatan solidaritas dari warga  Madura, seperti: 

bendera merah dan sapi kerapan. Bendera merah 

diartikan sebagai simbol kejujuran dan keberanian, 

sehingga bendera besar untuk melepas sapi kerapan untuk 

berlomba juga menggunakan bendera berwarna merah. 

. Hal mengenai bendera merah sebagai simbol  

kejujuran dan keberanian warga  Madura 

disampaikan secara tersirat oleh Bapak Mohammad 

Nayak, M.Pd (48 tahun) sebagai panitia dan pengibar 

bendera besar di Kecamatan Sepulu Kabupaten 

Bangkalan. 

Alhamdulillah selama saya menjadi panitia kerapan 

sapi di Bangkalan ini, saya belum pernah 

mendapatkan protes bahwa yang saya lakukan tidak 

jujur.Sehingga, jika bendera merah diangkat di 

sebelah kanan berarti yang menang adalah sapi yang 

berada di Lintasan sebelah kanan.Keunggulan di 

Bangkalan memang, tidak pernah ada protes-protes 

yang membahayakan karena tidak jujur. 

berdasar  pemaparan yang disampaikan oleh 

Bapak Mohammad Nayak, M.Pd (48 tahun) sebagai 

panitia dan pengibar bendera besar di Kecamatan Sepulu 

Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa bendera 

warna merah menjadi simbol penting dalam Budaya 

Kerapan Sapi, karena bendera merah sendiri dijadikan 

sebagai simbol untuk menujukkan sikap jujur dan berani, 

sehingga warga  Madura yang mengikuti kerapan 

sapi tidak merasa ada kebohongan ketika panitia pengibar 

bendera besar mengangkat bendera merah sebagai untuk 

kemenangan sapi yang sedang bertanding. 

 

Melalui Perkataan 

Persiapan dalam bentuk perkataan atau perkataan 

yang mencerminkan adanya ikatan sosial sebagai bentuk 

penguatan solidaritas warga  Madura. warga  

Madura selain, melakukan proses penguatan solidaritas 

menggunakan tindakan, perilaku dan simbol-simbol juga 

menggunakan perkataan atau perkataan untuk 

memperkuat interaksi dan komunikasi antara warga  

Madura seperti: adanya etika dan “saudara” dalam 

melakukan Budaya Kerapan Sapi. Hal mengenai 

perkataan atau omong tentang adanya etika dan “saudara” 

dari Budaya Kerapan Sapi disampaikan oleh Saudara 

Halul Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa 

Senenan Kabupaten Bangkalan. 

Pasti mbak.Kita untuk mengerap sapi itu juga harus 

ada unsur etika dan sopan santunnya. Kalau kita 

ingin mencari saudara istilahnya dalam warga  

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2014, HAL 324-342 

 

 

 

  333 

Madura ya kita harus berbaur sama satu orang 

lapangan juga mbak. Dan semua harus jadi satu, 

soalnya kerapan spi itu unsurnya kan meluas gak 

cuman satu kalangan, gak cuman satu lapisan. 

Misalnya yang A itu miskin dan yang B itu kaya. 

Ya misalnya yang menang yang miskin ya berarti 

yang kaya harus menerima mbak. Karena disini 

unsurnya untuk mempererat persaudaraan 

warga  Madura   

 

 Pemaparan yang disamapaikan oleh  Saudara Halul 

Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan 

Kabupaten Bangkalan menjelaskan bahwa perkataan 

seperti etika, sopan santun, dan saudara memiliki makna 

yang sangat penting dalam kehidupan warga  

madura. Ketika seseorang mengatakan “saudara” kepada 

orang lain, maka secara langsung orang tersebut 

mengganggap telah terjadi suatu ikatan yang bersifat 

emosional meskipun tanpa adanya hubungan darah 

maupun ikatan perkawinan yang memicu  seseorang 

memiliki hubungan kekerabatan. 

Selain kata, saudara sering pula didengar kata “anak 

sendiri” ketika orang yang kita hargai memiliki usia yang 

lebih muda. Pemilik kerapan sapi menganggap orang 

yang membantu merawat sapinya sebagai anak sendiri 

yang harus dihargai dan disayangi sebagai sesama 

warga  Madura yang menyukai dan mencitai Budaya 

Kerapan Sapi untuk terus melestarikannya sebagai 

budaya asli Madura.Hal mengenai kata “anak sendiri” 

sebagai ungkapan sayang dan rasa menghargai dari 

pemilik sapi saat merawat sapi kerapan disampaikan oleh 

Bapak Haji Mohammad Modin (58 tahun) pemilik 

kerapan sapi Desa Ketengan Kabupaten Bangkalan. 

Ya pembantu saya dinggap sebagai anak saya 

sendiri dan saya dianggap olehnya sebagai orangtuanya 

sendiri. 

 

Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak Haji 

Mohammad Modin (58 tahun) pemilik kerapan sapi Desa 

Ketengan Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa 

kata “anak sendiri” memiliki makna yang sama dengan 

kata saudara yaitu sebagai perkataan yang berguna untuk 

memberikan pengakuan tentang rasa sayang, menghargai 

dan ungkapan tulus untuk beterima kasih terhadap segala 

perbuatan dan tindakannya yang dilakukan sebagai 

bentuk penguatan solidaritas masyarkat Madura yang 

semakin hari kian terkikis oleh perkembangan zaman 

yang modern. Budaya Kerapan Sapi juga tidak pernah 

nmenghasilkan konflik yang berlarut-larut. Kata lain 

yang sering diucapkan sebagai bentuk penguatan 

solidaritas atau ikatan persaudaraan adalah “kebanggaan 

dan mendukung”. Kata ini sering dimaknai sebagai 

bentuk practice warga  Madura terhadap kedudukan 

dan stratifikasi sosial dlam kehidupan sosial warga  

Madura. Hal ini disampaikan oleh Bapak H. Ghazali (49 

tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru 

Kabupaten Bangkalan. 

Oh..tidak itu tidak mungkin seperti tiu, jangan 

sesama saudara satu kampung saja ikut mendukung 

karena itu membanggakan nama kampung. 

Pemaparan yang disamapaikan oleh Bapak H. 

Ghazali (49 tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa 

Banyu Biru Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa 

kata-kata yang diungkapkan saat tahapan persiapan 

seperti dukungan dan kebanggaan secara tersirat 

menegaskan warga  Madura pada dasarnya sangat 

memperhatikan gengsi untuk memperoleh massa atau 

pengikut baik dalam aspek politik, sosial, maupun budaya 

 

Tradisi Budaya Kerapan Sapi Ditinjau Dari Pihak-

Pihak Yang Terlibat 

 

Pemilik Sapi Kerapan 

Pemilik Sapi Kerapan dalam Budaya Kerapan Sapi 

biasanya disebut sebagai “Pengerrap” dan merupakan 

seorang tokoh Madura yang disegani.Sehingga, pemilik 

sapi kerapan selalu diidentikkan dengan seseorang yang 

memiliki pengaruh dan materi yang berlimpah.Oleh 

sebab itu, Budaya Kerapan Sapi bagi pemilik sapi 

kerapan bukan hanya untuk memperkuat solidaritas 

warga  Madura tetapi dijadikan sebagai media untuk 

memperoleh kehormatan dan kebanggan.Bagi pemilik 

sapi kerapan memenangkan perlombaan tidak mengejar 

Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga  madura 

 

  334 

hadiah, namun kebanggaan dan kehormatanlah yang 

diinginkan. 

Sapi kerapan yang sering memenangkan 

pertandingan mulai dari tingkan Kecamatan, Kabupaten, 

bahkan hingga tingkat Keresidenan akan menambah 

kepercayaan diri bagi pemilik sapi kerapan. Pemilik sapi 

kerapan menganggap Budaya Kerapan Sapi adalah salah 

satu cara yang paling efektif untuk menguatkan 

solidaritas dan memupuk tali persaudaraan antar 

warga  Madura. Hal ini disampaikan oleh pemilik 

sapi kerapan yaitu Bapak H.Ghozali (49 tahun) sebagai 

pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru Kabupaten 

Bangkalan yang telah berkecimbung dalam Budaya 

Kerapan Sapi sejak tahun 1993 atau sudah 21 tahun. 

Uang bukan lagi menjadi hal yang utama, karena 

hobi bagi saya adalah suatu hal yang harus saya 

lakukan.Selain untuk mempertahankan kebudayaan 

Madura.Karena hobi yang sudah mendarah daging 

dan untuk kesenangan. 

 

Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak 

H.Ghozali (49 tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa 

Banyu Biru Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa 

proses terbentuknya modal sosial dapat berawal dari 

kesenangan maupun hanya sekedar hobi, apabila hal ini 

berdampak positif. Selain H. Ghozali pemilik sapi 

kerapan lainnya yaitu Bapak H.Modin (58 tahun) sebagai 

pemilik sapi kerapan di Daerah Ketengan Kabupaten 

Bangkalan 

Merasa bangganya itu, saat kalau sapi yang masuk 

juara itu harga sapi bisa naik.Dari yang semula 

300juta menjadi setengah Miliyar atau 

500juta.Namun, yang lebih penting lagi adalah 

karena adanya unsur kesenangan di dalamnya. 

 

Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak H. Modin 

sebagai pemilik sapi kerapan di Daerah Ketengan 

Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa unsur 

kesenangan menjadi hal yang penting dalam Budaya 

Kerapan Sapi.Untuk mengaplikasikan kesenangan 

tersebut dalam Budaya Kerapan Sapi pemilik sapi 

kerapan rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya 

untuk merawat sapi kerapan dan bertanding dalam 

perlombaan Kerapan Sapi.tujuannya adalah agar sapi 

kerapan dapat bertanding dengan baik dan pemilik sapi 

kerapan dapat memperoleh kebanggaan. Hal ini 

disampaikan oleh Bapak H. Ghozali (49 tahun) sebagai 

pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru Kabupaten 

Bangkalan yang telah berkecimbung dalam Budaya 

Kerapan Sapi sejak tahun 1993 atau sudah 21 tahun. 

Kalau untuk merawatnya itu orang lain, tetapi saat 

meracik jamu, cara makan dan memandikan  itu 

saya yang mengaturnya karena takut terlalu panas, 

sapi nanti bisa lemas atau loyo. Saya dalam 

membeli telur itu untuk satu ekor sapi 100 butir 

telur ayam kampung per hari. Apalagi mau 

menjelang pertandingan Kerapan Sapi, maka untuk 

pagi hari itu 41 butir telur dan menjelang siang 

ditambahi lagi 101 butir telur ayam kampung per 

hari untuk satu ekor sapi. Dan biayanya sangat 

besar, namun karena hobi biaya menjadi hal yang 

tidak penting. 

 

Pemaparan yang dismpaikan oleh Bapak H. Ghozali 

(49 tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu 

Biru Kabupaten Bangkalan yang telah berkecimbung 

dalam Budaya Kerapan Sapi sejak tahun 1993 atau sudah 

21 tahun menegaskan bahwa dalam proses terbentuknya 

modal sosial melalui tindakan yang dilakukan adalah 

dengan melakukan proses perawatan sapi secara 

maksimal dengan biaya yang tidak sedikit dan 

membutuhkan ketelatenan. Selain Saudara Halul Huda 

(19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan Kabupaten 

Bangkalan yang baru saja terjun sebagai pemilik sapi 

kerapan secara professional selama 1 tahun 

Dalam melakukan perawatan tentunya 

membutuhkan bantuan orang lain. Biaya yang 

dibutuhkan untuk perawatan sapi kerapan juga tidak 

sedikit.Kalau biaya sehari-hari 7 juta itu bisa untuk 

merawat sapi, tetapi jika mendekati pertandingan 

Kerapan Sapi bisa meningkat hingga 10-20 juta per 

bulannya. Orang Madura tidak akan eker-ekeran 

masalah uang yang dikeluarkan. Cuman, orang 

madura ingin melestarikan Budaya yang ada 

pertama. Kedua, orang Madura juga ingin mencari 

nama karena orang Madura itu haus akan gengsinya. 

Sehingga, ada unsur kebanggaan yang dicari dalam 

Budaya Kerapan Sapi ini.  

Pemaparan yang disampaikan oleh Saudara Halul 

Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan 

Kabupaten Bangkalan yang baru saja terjun sebagai 

pemilik sapi kerapan secara profesional selama 1 tahun 

memperkuat pernyataan Bapak H. Ghozali (49 tahun) 

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2014, HAL 324-342 

 

 

 

  335 

bahwa tindakan sosial yang dilakukan dengan merawat 

sapi secara intensif dengan biaya yang besar merupakan 

perwujudan untuk memperoleh kebanggan diantara 

warga  Madura.  

 

Joki 

Joki merupakan orang yang memacu sapi saat 

bertanding dan posisi joki berada di tengah-tengah sapi 

untuk mengarhkan sapi saat akan melaju di lintasan 

pertandingan. Menjadi joki bukanlah hal yang mudah, 

tetapi membutuhkan suatu keberanian sebab apabila saat 

bertanding keadaan sapi buruk atau dalam kondisi yang 

lelah, sapi bisa saja marah dan jokilah yang akan 

terlempar dan terluka untuk yang pertama kali. Namun 

kondisi ini seperti tidak penting bagi joki karena adanya 

bayaran yang tidak begitu besar dan keinginan untuk 

melestarikan Budaya Kerapan Sapi. 

Joki Kerapan Sapi dapat Dibayar sebesar 200-500 

ribu hingga pertandingan  berakhir. Apabila, sapi yang 

ditunggangi mendapatkan juara, maka bayaran yang 

diterima joki dapat bertambah sebagai bonus dari pemilik 

sapi. Hubungan antara pemilik sapi dan joki harus 

terbangun dengan baik, sebab apabila hubungan terjalin 

dengan baik akan mempermudah pemilik sapi kerapan 

untuk mengarahkan joki saat akan bertanding. Hal ini 

disampaikan oleh Joki Kerapan Sapi Yana Wahyudi (13 

tahun) kelas 1 SMP Torjun KabupatenSampang 

Saya menjadi joki dibayar 500 ribu hingga 

pertandingan ini selsesai. Ketertarikan saya selain 

materi menjadi joki adalah karena hobi saya 

terhadap sapi kerapan dan juga saya senang, apabila 

melihat sapi melaju di dalam lintasan pacu 

Pemaparan yang disampaikan oleh  Yana Wahyudi 

(13 tahun) kelas 1 SMP Torjun KabupatenSampang 

membuktikan bahwa menjadi Joki bukan hanya untuk 

memperoleh materi saja, karena materi yang diperoleh 

juga tidak tentu atau bergantung pada Pengerrap. Namun, 

yang terpenting saat menjadi joki adalah dapat 

menyalurkan hobi terhadap Budaya Kerapan Sapi 

meskipun bukan sebagai pemilik sapi Kerapan. 

Pelepas Bendera Pertandingan 

Pengibar bendera pertandingan merupakan 

seseorang yang bertugas dalam Budaya Kerapan Sapi 

untuk mengangkat Bendera saat sapi akan dipacu. 

Bendera yang digunakan disebut sebagai bendera besar 

dan berwarna merah. Pengibar bendera besar akan 

mengangkat bendera apabila setiap sapi yang akan dipacu 

mengangkat benderanya masing-masing sebagai tanda 

bahwa sapi siap untuk dipacu. Tetapi, pengibar bendera 

besar harus rela bersabar di tengah lapangan dengan 

waktu yang cukup lama sekitar 15-20 menit untuk 

menunggu setiap sapi dalam keaadaan siap untuk 

dipacu.Hal ini disampaikan oleh Bapak Moh. Nayak, 

M.Pd (48 tahun) sebagai panitia dan pelepas bendera 

besar selama hampir 10 tahun 

Di Bangkalan sendiri syukur Alhamdulillah selama 

saya menjadi panitia untuk melepaskan bendera 

besar belum pernah ada yang mengatakan kalau 

saya tidak jujur. Dan inilah kelebihan di Kabupaten 

Bangkalan yang menjunjung tinggi kejujuran dan 

protes-protes yang membahayakan serta 

menerapkan Budaya Kerapan Sapi tanpa Kekerasan 

hingga turunnya keputusan Presiden dan inilah yang 

membanggakan Kebupaten Bangkalan terutama 

untuk kebudayaan Kerapan Sapinya 

 

berdasar  pemaparan Bapak Moh. Nayak, M.Pd 

(48 tahun) sebagai panitia dan pelepas bendera besar 

selama hampir 10 tahun menjelaskan bahwa dalam proses 

terbentuknya modal sosial yang dilakukan oleh pelepas 

bendera besar melalui tindakan berupa melepaskan 

bendera besar secara adil dan tidak berat sebelah, 

sehingga tidak memicu  protes-protes yang 

membahayakan. Inilah yang menjadi bentuk dari 

tindakan yang dilakukan oleh pelepas bendera besar 

sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian Budaya 

Kerapan Sapi. 

Kendala-kendala yang dihadapi oleh pelepas 

bendera besar berupa menunggunya pelepas bendera 

merah di tengah lapangan yang terik.Hal ini seakan tidak 

dihiraukanb karena bagi pelepas bendera besar sebagai 

panitia merupakan tugas dan tanggung jawab yang harus 

dilakukan secara baik dan konsekuen. 

Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga  madura 

 

 

  336 

Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Bangkalan 

 

Budaya Kerapan Sapi sudah menjadi indentitas dan 

budaya asli Madura.Budaya Kerapan Sapi ini merupakan 

salah satu budaya kebanggaan warga  Madura karena 

dapat menarik perhatian wisatawan mulai dari wisatawan 

lokal hingga ke mancanegara.Oleh sebab itu, Budaya 

Kerapan Sapi ini mendapatkan apresiasi tinggi dari 

pemerintahan Daerah Kabupaten Bangkalan khususnya 

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Hal ini Disampaikan 

oleh  Bapak Hendra Gemma, S.Si (37 tahun) Kepala Sub 

Bagian Kebudayaan Dinas Olahraga Kebudayaan Dan 

Pariwisata Kabupaten Bangkalan 

Kami mengadakan proses seleksi yang tradisional 

mulai dari tingkat Kawedanan. Setiap Kecamatan 

akan melakukan perlombaan dan pemenangnya 

akan diseleksi lagi ditingkat Kabupaten. Jadi, jadwal 

dari Badan Kantor Wilayah (Bakorwil) selaku 

panitia utama yang beranggotakan tokoh-tokoh 

Kerap memberikan sebuah jadwal, dimana biasanya 

Kerapan sapi ini dilaksanakan pada musim 

kemarau.Tapi karena saat ini iklim tidak dapat 

diprediksi, maka Budaya Kerapasn Sapi ini 

dilaksanakan pada bulan Oktober setiap tahun 

menjelang musim hujan.Ada seleksi tingkat 

Kabupatenyang melibatkan Persatua Kerapan Sapi 

(PerKasa) Se-Kabupaten. Saat pelaksanaan kita 

akan memberikan dukungan pada waktu seleksi 

tingkat Kabupatendan memantau jalannya proses 

persiapan dan pelaskanaan Kerapan Sapi. 

 

Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak Hendra 

Gemma, S.Si (37 tahun) Kepala Sub Bagian Kebudayaan 

Dinas Olahraga Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten 

Bangkalan membuktikan bahwa Budaya Kerapan Sapi ini 

mendapat dukungan secara penuh dari pemerintah 

Daerah Kabupaten Bangkalan. Proses terbentuknya 

modal sosial melalui tindakan yang dilakukan oleh Dinas 

Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangkalan adalah 

dengan melakukan proses seleksi mulai dari tingkat 

Kawedanan (Kecamatan) sampai ketingkat 

Kabupatenyang dipantau secara langsung. 

Dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah 

melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten 

Bangkalan merupakan salah satu cara yang dilakukan 

Pemerintah Daerah Madura untuk terus melestarikan 

Budaya Kerapan Sapi, sebab  

Tradisi Budaya Kerapan Sapi Ditinjau Dari Aspek 

Kepentingan 

 

Kepentingan Sosial 

Kepentingan sosial merupakan salah satu tujuan 

utama dari adanya Budaya Kerapan Sapi, karena tujuan 

yang diharapkan dalam Budaya Kerapan Sapi adalah 

untuk menguatkan solidaritas dan mendapatkan rasa 

hormat serta kebanggaan dalam strata sosial warga  

Madura.warga  Madura meyakini bahwa Budaya 

Kerapan Sapi adalah pelombaan bergengsi yang 

mengadu ketangkasan sapi, sehingga diikuti oleh orang-

orang yang memiliki uang dan kedudukan tertentu 

dalam warga . 

Budaya Kerapan Sapi telah menjadi identitas diri 

warga  Madura yang kuat dan Berani.Kekuatan 

diartikan sebagai modal yang perlu dicapai dan diperoleh. 

Semakin kuat, warga  Madura akan semakin tinggi 

pula kebanggan dan kehormatan yang diperoleh. Hal ini 

disampaikan oleh Saudara  Halul Huda (19 tahun) 

pemilik kerapan sapi Desa Senenan Kabupaten 

Bangkalan yang baru saja terjun sebagai pemilik sapi 

kerapan secara professional selama 1 tahun 

Budaya Kerapan Sapi, sangat sangat bisa jadi, jadi 

kebanggaan warga  Madura. Kalau masalah 

merekatkan hubungan persaudaraan atau solidaritas 

warga  Madura, hal itu sudah pasti 

mbak.Karena kita dalam mengerap sapi itu ada 

unsur etika (adeb asornya) mbak.Kalau kita ingin 

mencari saudara istilahnya kata orang Madura ya 

kita harus berbaur dengan orang lapangan juga 

mbak.Sehingga semuanya berbaur jadi satu dan 

tidak ada pengkelasan di dalam pelaksananaan 

Budaya Kerapan Sapi itu sendiri. 

 

Pemaparan yang disampaikan oleh Halul Huda 

(19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan 

Kabupaten Bangkalan yang baru saja terjun sebagai 

pemilik sapi kerapan secara professional selama 1 tahun 

membuktikan bahwa menguatkan solidaritas 

warga  Madura menjadi unsur terpenting dalam 

pelaksanaan Budaya Kerapan Sapi. 

 

Kepentingan Ekonomi 

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2014, HAL 324-342 

 

 

 

 

  337 

Kepentingan ekonomi melibatkan adanya unsur 

materi yang ingin dicapai dalam pelaksanaan dan 

penyelenggaraannya.Kepentingan ekonomi pada 

hakikatnya menjadi wajar, sebab manusia adalah 

makhluk yang memiliki hasrat untuk memiliki segala 

sesuatu yang diingingkan dan dibutuhkan.Keinginan 

dan kebutuhan manusia berbanding lurus dengan 

banyaknya materi yang diperlukan untuk mencapai 

semua hal tersebut. Faktanya, banyak orang yang 

melakukan segala cara untuk memperoleh keinginannya 

tersebut, mulai dari cara-cara yang baik hingga cara 

yang buruk. 

Harga jual sapi yang tinggi dan hadiah yang akan 

diperoleh oleh pemilik sap kerapan inilah, yang 

memotivasi pemilik sapi kerapan untuk memberikan 

perawatan terbaik bagi sapi-sapi kerapannya dengan 

harapan sapi kerapannya dapat menjuarai perlombaan 

Kerapan Sapi, mulai Tingkat Kawedenan (Kecamatan) 

hingga tingkat Keresidenan yaitu seluruh Madura. Hal ini 

disampaikan oleh  Bapak H.Modin (58 tahun) sebagai 

pemilik sapi kerapan di Daerah Ketengan Kabupaten 

Bangkalan 

Merasa bangganya itu, saat kalau sapi yang masuk 

juara itu harga sapi bisa naik.Dari yang semula 

300juta menjadi setengah Miliyar atau 

500juta.Namun, yang lebih penting lagi adalah 

karena adanya unsur kesenangan di dalamnya. 

 

Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak H. 

Modin sebagai pemilik sapi kerapan di Daerah 

Ketengan Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa 

selain kepentingan sosial yang diinginkan dalam 

pelaksanaan Kerapan Sapi juga ada kepentingan 

ekonomi yang sangat kental. Hal tersebut ditandai 

dengan harga jual satu pasang sapi kerapan yang 

bernilai  300 juta bahkan menjadi setengah Miliyar atau 

500 juta apabila sapi kerapan menjuarai turnamen. 

Kepentingan Politik 

Kepentingan politik juga terjadi dalam 

pelaksanaan Budaya Kerapan Sapi. Budaya Kerapan 

Sapi dijadikan sebagai alat untuk menjadi bagian dari 

terjadinya proses politik di Indonesia. Banyak yang 

menjadikan  Budaya Kerapan Sapi untuk memperoleh 

massa maupun pengikut yang dapat mendukung 

seseorang untuk mendapatkan kedudukan atau jabatan 

penting dalam pemerintahan. Budaya Kerapan Sapi 

menjadi alat untuk berkampanye maupun menarik 

simpati rakyat agar dapat memilihnya saat pemilu 

Pemilik Kerapan Sapi adalah salah satu pioneer 

dalam pelaksanaan Budaya Kerapan Sapi. Hal itu 

terjadi karena pemilik sapi kerapan adalah salah satu 

pihak yang berperan secara langsung terhadap 

terlaksananya Budaya Kerapan Sapi.Pemilik sapi 

kerapan, terkadang memilih seseorang yang dirasa 

mampu untuk mendukung terlaksananya Budaya 

Kerapan Sapi.hal tersebut disampaikan disampaikan 

oleh Bapak Syamsul Arifin (41 tahun) sebagai pemilik 

kerapan sapi Desa Junok Kabupaten Bangkalan. 

Kebanyakan ya, sekarang dipartai politik orang 

yang mau mencari massa terutama khusus Madura 

yang menjadi alatnya memang, harus mengadakan 

lomba untuk orang yang mau jadi caleg. 

Mengadakan lomba secara gratis dan faktanya 

memang ada dan sering sudah itu dilakukan. 

 

Dari pemaparan Bapak Syamsul Arifin (41 tahun) 

sebagai pemilik kerapan sapi Desa Junok Kabupaten 

Bangkalan tersebut bahwa kenyataannya Budaya 

Kerapan Sapi sering dijadikan alat partai politik untuk 

menang seperti mengadakan perlombaan-perlombaan 

secara grratis, sehingga warga  mengetahui siapa 

orang yang akan mencalonkan diri menjadi calon 

legislatif. Hal tersebut bukan hanya satu kali terjadi, 

namun sudah serinng dilakukan oleh calon-calon 

legislatif. Pemaparan yang serupa juga disampaikan oleh  

BapakH. Ghozali (49 tahun) sebagai pemilik Kerapan 

Sapi Desa Banyu Biru Kabupaten Bangkalan yang telah 

berkecimbung dalam Budaya Kerapan Sapi sejak tahun 

1993 atau sudah 21 tahun 

Sangat bisa dek.malah, bukannya karena saya ini 

tokoh kerap. Cuman saya nilai kalau untuk 

warga nya, insyaallah melebihi karena mudah 

untuk memupuk hubungan ini antar sesama 

Pengerrap ini Se-Madura ini mudah untuk 

berkomunikasi dan suatu cara untuk partai politik 

mengumpulkan massa. Sehingga, insyaallah setelah 

Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga  madura 

 

 

 

  338 

itu suara yang dibutuhkan akan tinggi saa 

pemilihan.  

Pemaparan yang disamapaikan oleh Bapak H. 

Ghozali (49 tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa 

Banyu Biru Kabupaten Bangkalan yang telah 

berkecimbung dalam Budaya Kerapan Sapi sejak tahun 

1993 atau sudah 21 tahun menegaskan, jika Budaya 

Kerapan Sapi pasti dapat menjadi media untuk 

kepentingan politik. Oleh sebab itu, menjadi hal yang 

wajar, jika saat pemilu suara yang dibutuhkan akan 

menjadi tinggi atau sesuai dengan yang diinginkan 

Kepentingan Budaya 

Kepentingan Budaya dalam Budaya Kerapan Sapi, 

meliputi cara-cara yang dilakukan oleh pihak-pihak 

yang berkaitan dengan kebudayaan baik yang terlibat 

secara langsung maupun tidak langsung.Setiap 

warga  Madura memiliki kewajiban untuk berusaha 

melestarikan Budaya Kerapan Sapi, karena 

mempertahankan jauh lebih sulit daripada 

mendapatkannya.Begitu pula, dengan Budaya Kerapan 

Sapi yang perlu dilestarikan sebagai identitas dari 

Budaya Madura yang berharga. 

Kepentingan Budaya dalam kebudayaan kerapan 

sapi yang utama dan pertama adalah untuk melestarikan 

dan mempertahankan Budaya Kerapan Sapi. Hal ini 

disampaikan oleh Saudara Halul Huda (19 tahun) pemilik 

kerapan sapi Desa Senenan Kabupaten Bangkalan yang 

baru saja terjun sebagai pemilik sapi kerapan secara 

professional selama 1 tahun 

Orang Madura tidak akan eker-ekeran masalah uang 

yang dikeluarkan. Cuman, orang madura ingin 

melestarikan Budaya yang ada pertama. Kedua, 

orang Madura juga ingin mencari nama karena 

orang Madura itu haus akan gengsinya. Sehingga, 

ada unsur kebanggaan yang dicari dalam Budaya 

Kerapan Sapi ini 

 

Pemaparan yang disamapaikan oleh Saudara Halul 

Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan 

Kabupaten Bangkalan yang baru saja terjun sebagai 

pemilik sapi kerapan secara professional selama 1 tahun 

membuktikan bahwa tujuan dan fungsi utama dari 

Budaya Kerapan Sapi adalah untuk melestarikan budaya 

yang telah ada agar tidak punah dari generasi ke generasi 

selanjutnya. Pernyataan yang serupa juga disampaikan 

oleh Bapak H.Modin (58 tahun) sebagai pemilik sapi 

kerapan di Daerah Ketengan Kabupaten Bangkalan 

Tujuannya itu untuk mempertahankan kebudayaan 

agar tidak punah selain untuk menguatkan 

silaturahmi warga  Madura 

Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak 

H.Modin (58 tahun) sebagai pemilik sapi kerapan di 

Daerah Ketengan Kabupaten Bangkalan menguatkan 

pernyataan yang disampaikan oleh Saudara Halul Huda 

bahwa memang benar Budaya Kerapan Sapi diadakan 

setiap tahunnya bertujuan untuk melestarikan 

kebudayaan asli Madura yang telah ada 

  

Unsur Solidaritas Melalui Pemilik Sapi Kerapan 

Bahwa tindakan sosial yang dilakukan dengan 

merawat sapi secara intensif dengan biaya yang besar 

merupakan perwujudan untuk memperoleh kebanggan 

diantara warga  Madura. 

Unsur Solidaritas Melalui Joki 

Tindakan yang dilakukan oleh Joki dalam proses 

terbentuknya modal sosial adalah dengan mengikuti 

setiap perlombaan Kerapan Sapi dengan bayaran yang 

tidak tentu. 

 

 

Modal Sosial 

Unsur Solidaritas Melalui Pelepas 

BenderaPertandingan 

Pelepas bendera besar menganggap bahwa hal ini 

adalah kebanggaan karena dapat menjadi bagian dari 

Budaya Kerapan Sapi yang perlu untuk dilestarikan 

sebagai budaya asli warga  Madura. 

Unsur Solidaritas Melalui Dinas Pariwisata dan 

Kebudayaan 

Budaya Kerapan Sapi adalah budaya asli Madura 

yang dapat menjadi asset penting dalam meningkatkan 

pendapatan daerah di bidang pariwisata dan kebudayaan 

yang telah dikenal di Tingkat Internasional yang 

dibuktikan dengan banyaknya wisatawan asing yang 

datang untuk menyaksikan pelaksanaan Budaya Kerapan 

Sapi. 

 

 

Melalui Tindakan oleh Dinas 

Pariwisata dan Kebudayaan 

Kabupaten Bangkalan 

Hubungan Pihak-pihak Yang Terlibat Terhadap 

Terbentuknya Modal Sosial 

Untuk mempertegas tentang hubungan joki kerapan 

dalam membentuk modal sosial warga  Madura, 

maka yang harus dipahami bahwa joki kerapan terdiri 

dari dua jenis yaitu: 1) joki yang bersal dari keluarga joki, 

2) joki yang berasal dari kerabat atau keluarga sendiri. 

Joki yang berasal dari keluarga joki adalah joki yang 

memang terlahir dari keturunan atau keluarga joki, 

kemudian terus diturunkan kepada 

keluarganya.Sedangkan, joki yang berasal dari kerabat 

adalahn joki yang merupakan anggota keluarga dari 

pemilik sapi seperti anaknya atau keponakaan.Pemaparan 

ini dapat dijelaskan dengan menggunakan siklus berikut 

ini. 

Hubungan yang terbentuk dari aspek-aspek yang 

terlibat yan g meliputi: pemilik sapi kerapan, joki, 

pelepas bendera besar dan pemerintah setempat sehingga 

dapat menjadi modal social dalam pelaksanaan Budaya 

Kerapan Sapi dapat digambarkan dan dijelaskan dengan 

menggunakan siklus piramida dengan saling 

menguntungkan bagi aspek-aspek yang terlibat 

berdasar  hasil pembahasan melalui peta 

pemikiran dari Budaya Kerapan Sapi yang ditinjau dari 

aspek penyelenggaraan, aspek pihak-pihak yang terlibat 

dan aspek kepentingan. Terbentuknya modal sosial 

melalui unsur-unsur tindakan, perilaku, simbol, dan 

perkataan, aspek yang memiliki pengaruh besar 

terhadap terbentuknya Budaya Kerapan Sapi adalah 

tinjauan dari aspek penyelenggaraan yang terdiri dari 

22 unsur dengan unsur terpenting adalah melalui 

perilaku yang terdiri dari ikatan emosional, interaksi, 

lapang dada, kebersamaan, sportifitas, kerukunan. 

 

berdasar  pembahasan dari penelitian ini  dapat 

disimpulkan bahwa proses terbentuknya penguatan 

solidaritas sebagai modal sosial Budaya Kerapan Sapi 

adalah melalui proses-proses tertentu yang dimulai dari 

tahapan persiapan, pelaksanaan, dan setelah pelaksanaan. 

Tahapan-tahapan tersebut kemudian menghasilkan unsur-

unsur yang dapat menguatkan solidaritas yang dapat 

dipaparkan sebagai berikut: Pertama, berdasar  

tindakan mengandung unsur:  1)  Kepercayaan, 2) 

Kerjasama, 3) interaksi, 4) Kesetiakawanan, 5) solidaritas 

mekanik, 6) keakraban, 7) ikatan emosional  

Kedua, berdasar  perilaku mengandung unsur: 1) 

interaksi, 2) lapang dada, 3) antusiasme, 4) kebersamaan, 

5) sportifitas, 6) kerukunan. Ketiga, berdasar  simbol 

mengandung unsur: 1) kejujuran, 2) keberanian, 3) 

kebanggaan, 4) kehormatan, 5) semangat, 6) dukungan, 

7) keakraban, 8) kemenangan, 9) pengakuan. Keempat, 

berdasar  perkataan mengandung unsur: 1) etika, 2) 

kerabat, 3) kehormatan, 4) semangat, 5) ungkapan tali 

persaudaraan.  

Unsur-unsur inilah yang memicu  adanya 

modal sosial dalam bentuk penguatan solidaritas 

warga  Madura, sehingga Budaya Kerapan Sapi, 

meskipun memiliki banyak nilai-nilai yang bersifat relatif 

seperti adanya penyiksaan terhadap binatang atau hewan 

dan perjudian, juga terdapat nilai-nilai yang baik seperti 

penguatan solidaritas melalui tindakan sosial, perilaku 

warga  madura, simbol-simbol dan perkataan atau 

perkataan yang menunjukkan adanya penguatan 

solidaritas diantara warga  madura yang memiliki 

rasa kesamaan untuk mencintai Budaya Kerapan Sapi. 

Oleh sebab itu, Budaya Kerapan Sapi memamg 

benar dapat dijadikan sebagai media untuk menguatkan 

solidaritas sebagai modal sosial warga  Madura. Hal 

ini terbukti dari proses-proses terbentuknya modal sosial 

melalui 3 aspek penting yaitu: aspek penyelenggaraan, 

aspek pihak-pihak yang terlibat, dan aspek kepentingan. 

Aspek-aspek inilah yang menjadi pedoman dalam 

menciptakan kelestarian Budaya Kerapan Sapi melalui 

modal sosial warga  Madura.. 

 

warga  harus terus mempertahankan nilai-nilai 

yang ada dalam Budaya Kerapan Sapi terutama nilai 

solidaritas yang menjadi salah satu faktor penting dari 

lestarinya Budaya Kerapan Sapi di Madura.Adanya 

kekerasan terhadap binatang, seharusnya dapat segera 

dihilangkan karena hal ini dapat menjadi citra buruk dari 

Budaya Kerapan Sapi yang memiliki manfaat besar 

dalam menguatkan tali persaudaraan sebagai modal sosial 

warga  Madura. 

warga  madura, dikenal sebagai warga  

yang haus akan kebanggan dan kehormatan. Untuk itu 

dalam upaya mempertahankan Budaya Kerapan Sapi 

sudah sewajarnya diberikan suatu penghargaan yang 

tinggi bagi pelaku-pelaku baik yang langsung maupun t

idak langsung.Pemerintah Daerah yang dalam hal ini 

diwakili oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan 

Kabupaten Bangkalan harus terus memberikan 

dukungannya terhadap pelaksanaan Budaya Kerapan Sapi 

tanpa kekerasan, sehingga aspek negatif dari Budaya 

Kerapan Sapi dapat dihilangkan dan tidak menjadi 

perdebatan yang akhirnya menimbulkan konflik baik 

internal maupun eksternal