Selasa, 30 April 2024

rabies 2






 yang sebaiknya 

diperhatikan dalam upaya melakukan pemberantasan 

rabies karena anjing yaitu  hospes utama penularan 

  

  

rabies. Populasi anjing yang tidak terkendali akan 

meningkatkan risiko penularan ke manusia dan 

juga menimbulkan permasalahan lainnya, seperti 

masalah (1) kesejahteraan hewan, (2) penyakit rabies 

dan penyakit lainnya; (3) cedera melalui kecelakaan 

lalu lintas; dan (4) permasalahan sosial lainnya yang 

seperti keluhan dari warga  dan rasa takut dari 

warga  terhadap gigitan anjing.  

Program MPA komprehensif memiliki 8 komponen 

yang berbeda yaitu (1) edukasi, (2) legislasi, 

(3) registrasi dan identifikasi, (4) sterilisasi dan 

kontrasepsi, (5) fasilitas penampungan sementara 

dan pusat pengembalian hewan/satwa, (6) 

pengendalian akses ke sumber makanan, (7) 

vaksinasi dan perlakuan lainnya, dan (8) euthanasia.  

Tergantung dengan situasi yang spesifik, komponen-

komponen di atas dibanyak kasus bisa dilakukan 

secara bersamaan dan hal ini tidak perlu dilakukan 

secara berurutan. Penjelasan lebih lanjut dari 

8 komponen dari MPA ada  pada lampiran 

manajemen populasi anjing.  

---   |  27 

RENCANA  

OPERASIONAL 

PEMBERANTASAN RABIES

05

  

28  | --- 

Bab 5

5.1 Tahapan 

Pemberantasan

Pemberantasan rabies dilaksanakan secara bertahap 

sesuai dengan kondisi penyakit dan sumber daya 

yang ada di setiap daerah. Dalam pelaksanaannya, 

sebelum pelaksanaan pemberantasan rabies dengan 

pendekatan tahapan dan pendekatan zona, pada 

tahap awal diperlukan adanya penetapan status 

daerah.

5.1.1. Penetapan Status dan 

Situasi Daerah

Sebelum pelaksanaan program pemberantasan 

rabies di negara kita , diperlukan adanya penetapan 

status dan situasi daerah yang dipakai  untuk 

membuat prioritisasi strategi pemberantasan rabies 

setiap daerah. Menurut UU No. 18 Tahun 2009, 

pemerintah menetapkan status daerah menjadi 

daerah tertular, daerah terduga, dan daerah 

bebas penyakit hewan menular, serta pedoman 

pemberantasannya.

Secara keseluruhan, jumlah kabupaten/kota di 

seluruh daerah tertular berjumlah 269 atau 47% 

dari jumlah seluruh kabupaten/kota yang ada di 

negara kita  (469 kabupaten ditambah 98 kota) atau 

72% dari jumlah kabupaten/kota di 26 provinsi 

tertular. Lima belas provinsi (58%) mempunyai 

kabupaten/kota yang tertular dengan persentase 

80-100% dari seluruh jumlah kabupaten/kota 

yang ada. Enam provinsi (23%) mempunyai jumlah 

kabupaten/kota tertular 50-79% dari seluruh jumlah 

kabupaten/kota di provinsi ini . Hanya lima 

provinsi (19%) mempunyai jumlah kabupaten/kota 

tertular 20-49% dari seluruh jumlah kabupaten/

kota di provinsi. 

Rencana Operasional 

Pemberantasan Rabies  

Dengan melihat kondisi geografis negara kita  

sebagai negara kepulauan dengan situasi rabies 

yang berbeda di sejumlah daerah atau pulau, maka 

strategi eliminasi rabies nasional akan memakai  

pendekatan daerah (pulau) berdasar  situasi 

epidemiologinya.  

berdasar  data insidensi rabies pada manusia yang 

terlaporkan per satu juta penduduk selama periode 

2010-2018, maka seluruh wilayah negara kita  dapat 

dibagi menjadi:

1. daerah/wilayah tertular berat;

2. daerah/wilayah tertular sedang;

3. daerah/wilayah tertular ringan;

4. daerah/wilayah bebas terancam; dan 

5. daerah/wilayah bebas. 

Kriteria untuk daerah tertular berat, tertular sedang, 

tertular ringan, bebas terancam dan bebas dapat 

dilihat pada Tabel 1. 

Perhitungan untuk penentuan kriteria daerah:

Jumlah penduduk / 1.000.000 orang /  

kasus rabies pada manusia tertinggi (2010-2018)

Misal:

Jumlah penduduk di Sulawesi Utara = 2.461.000 

jiwa.

Kasus rabies pada manusia tertinggi di Sulawesi 

Utara pada periode 2010-2018 = 39. 

Kriteria daerah tertular berat = 2.461.000 / 

1.000.000 / 39 = 86 kasus (kisaran 51-150).

Penetapan status daerah tertular berat, sedang dan 

ringan dihitung berdasar  kriteria seperti yang 

dimaksudkan dalam Tabel 6 di bawah ini dapat 

dilihat pada Lampiran 7.

---   |  29 

Tabel 1. Penetapan daerah/wilayah berdasar  situasi rabies

No. Situasi Kriteria Provinsi/pulau

1 Daerah tertular 

berat

Daerah dengan insidensi rabies pada 

manusia yang terlaporkan lebih dari 

51-150 kasus per satu juta penduduk*)

Sumatera Utara (Pulau Nias, Tapanuli Utara, Simalungun, 

Humbang Hasudutan), Sulawesi Selatan (Gowa, Bone)

Riau, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Flores 

dan Lembata), Kalimantan Barat (seluruh kabupaten), Bali 

(seluruh kabupaten), Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, 

Maluku

2 Daerah tertular 

sedang

Daerah dengan insidensi rabies pada 

manusia yang terlaporkan lebih dari 

16-50 kasus per satu juta penduduk*)

Jawa Barat (Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Cianjur dan Kota 

Sukabumi), Lampung, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara 

Barat (Dompu, Sumbawa), Kalimantan Tengah, Sulawesi 

Tenggara

3 Daerah tertular 

ringan

Daerah dengan insidensi rabies pada 

manusia yang terlaporkan kurang dari 

1-15 kasus per satu juta penduduk*)

Aceh, Banten (Lebak dan Pandeglang), Kalimantan Selatan, 

Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Bengkulu, Sulawesi 

Barat, Maluku Utara, Gorontalo

4 Daerah bebas 

terancam

Daerah yang dinyatakan bebas secara 

resmi setelah eliminasi rabies berhasil 

dilakukan, akan tetapi berada satu 

pulau dengan daerah lain yang tertular

DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur

5 Daerah bebas Daerah yang rabies tidak pernah 

terlaporkan paling tidak selama 25 

tahun atau memiliki status bebas 

historis (OIE Article 1.4.6.)

Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Papua, Papua 

Barat

Catatan:  *) berdasar  data kasus rabies pada manusia tertinggi selama periode 2010-2018.

Gambar 6. Tahapan pemberantasan rabies

Evaluasi

Penilaian dan 

penentuan  

status 

Identifikasi 

sumber daya 

manusia dan 

finansial

Penentuan 

strategi 

pemberantasan

Implementasi 

strategi 

pemberantasan

Monitoring

Gambar 7 menunjukkan pemetaan daerah berdasar  situasi rabies dengan kriteria pada seperti pada 

Tabel 6 di atas.

Gambar 7. Pemetaan daerah berdasar  situasi rabies dalam periode 2010-2018.

Daerah Tertular Berat

Daerah Tertular Sedang

Daerah Tertular Ringan

Situasi Rabies di negara kita 

Daerah Bebas Terancam

Daerah Bebas

30  | --- 

5.1.2 Implementasi Pendekatan 

Tahapan dan Pendekatan 

Zona dalam Pengendalian dan 

Penanggulangan Rabies

Pelaksanaan program pengendalian dan 

penanggulangan rabies menuju negara kita  bebas 

rabies 2030 dilaksanakan secara bertahap sesuai 

dengan situasi dan kondisi rabies di daerah 

(pendekatan zona) serta bagaimana sumberdaya 

yang ada di daerah ini  (pendekatan tahapan). 

Dalam tahap awal pelaksanaan pembebasan rabies 

perlu diketahui bagaimana kondisi dan status 

terkini rabies di daerah ini . Selain deteksi 

kasus, diperlukan juga adanya data dan situasi 

terkait dengan sumber daya yang dimiliki setiap 

daerah. Salah satu aspek yang paling penting 

yaitu  kapasitas untuk dapat melakukan vaksinasi 

dan Takgit sehingga dapat mencegah penyebaran 

penyakit. 

Pembebasan rabies secara bertahap diperlukan 

adanya penilaian resiko rabies di setiap daerah sebagai 

dasar dalam penetapan prioritas lokasi pengendalian 

menuju pembebasan yang dilaksanakan secara 

bersama-sama antara pemerintah pusat dan daerah. 

Wilayah negara kita  dibagi menjadi 2 (dua) kategori 

yaitu daerah tertular dan bebas. 

Daerah tertular merupakan daerah di mana 

ditemukan kasus penyakit rabies pada hewan 

berdasar  diagnosa klinis, epidemiologis, maupun 

laboratoris. Untuk daerah tertular dapat dibagi 

menjadi tiga berdasar  tingkat insidensi penyakit 

pada hewan, yaitu daerah tertular ringan, tertular 

sedang, dan tertular berat. Daerah bebas merupakan 

daerah yang tidak ditemukan kasus rabies selama 

dua tahun terakhir. Daerah bebas berdasar  

tingkat risikonya dapat dibagi menjadi daerah resiko 

rendah dan resiko tinggi (bebas terancam).

Sampai dengan akhir tahun 2017, hanya sembilan 

dari 34 provinsi di negara kita  yang dinyatakan sebagai 

daerah bebas rabies, di mana lima di antaranya 

yaitu  bebas secara historis (Kepulauan Riau, 

bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat 

dan Papua), sedangkan empat yang lain berhasil 

dibebaskan (DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta 

dan Jawa Timur) (Kementerian Kesehatan 2017). 

Pada Bulan Maret tahun 2019, Provinsi Nusa 

Tenggara Barat secara resmi dideklarasikan tertular 

oleh penyakit rabies (Menteri Pertanian 2019).

Penerapan pendekatan zona secara nasional tidak 

mudah untuk dilakukan dan mungkin saja memiliki 

banyak kelemahan dan kurang akurat, oleh karena 

itu perlu dikombinasikan dengan pendekatan 

tahapan. Penetapan ini sangat tergantung kepada 

hasil surveilans epidemiologi yang dilakukan sesuai 

prosedur oleh masing-masing daerah. Pada saat 

Masterplan ini dibuat, ada  beberapa daerah 

yang sudah melakukan surveilans awal untuk 

penetapan prevalensi, tetapi masih banyak juga 

daerah yang belum melakukan surveilans penetapan 

status awal.   

Kepulauan/pulau/provinsi dengan status 

tidak diketahui

Status suatu daerah/kepulauan/pulau/provinsi 

dianggap tidak diketahui apabila daerah ini  

tidak mempunyai sistem untuk mendata kasus 

rabies namun diduga kasus rabies pernah terjadi; 

kasus rabies pada daerah ini  diketahui hanya 

didasarkan pada deskripsi/gejala klinis dari suatu 

kasus (pada hewan atau manusia) tanpa adanya 

konfirmasi laboratorium; kasus gigitan hewan 

pembawa rabies (GHPR) di daerah ini  jarang 

sekali terkonfirmasi dengan insidensi/prevalensi 

serta distribusinya yang tidak diketahui dengan 

pasti; daerah ini  tidak memilik laboratorium 

terstandar sesuai aturan dalam negeri atau dengan 

referensi internasional; serta tidak memiliki 

pedoman pengendalian dan penanggulangan rabies 

nasional atau jika tersedia, tidak diimplementasikan.

Pihak kesehatan hewan berwenang perlu 

mengetahui insidensi kasus rabies pada dugaan kasus 

GHPR melalui implementasi Takgit dan kegiatan 

surveilans. Prevalensi Rabies harus diketahui melalui 

implementasi Takgit dan tindak lanjut kasus gigitan 

dan surveilans. Pemerintah perlu untuk memberikan 

notifikasi kasus yang telah terkonfirmasi oleh 

laboratorium terstandar (referensi international) 

kepada WHO (kasus rabies pada manusia) dan OIE 

(kasus rabies pada hewan).

Pada tahap selanjutnya, diperlukan penilaian 

epidemiologi rabies secara lokal serta  penyusunan 

---   |  31 

rencana aksi jangka pendek. Pada tahapan ini 

pemerintah perlu melakukan penilaian terhadap 

infrastruktur dan sumberdaya apa yang sudah ada 

dan aktifitas apa yang telah dinisiasi. Pemerintah 

pusat perlu memulai melakukan pendataan dan 

analisa seperti jumlah kasus GHPR dan penilaian 

strategi pengendalian dan penanggulangan di 

wilayah ini . Selain itu, diperlukan inisiasi dan 

pelaksanaan tindak lanjut dan investigasi dari suatu 

laporan kasus ataupun laporan wabah. Hal lain yang 

sangat penting yaitu  pengumpulan informasi dan 

pengembangan program jangka pendek (seperti 

siapa saja pemangku kepentingan yang sebaiknya 

terlibat) memahami kebutuhan yang diperlukan 

(sumberdaya dan infrastruktur).

Lebih lanjut, pemerintah perlu untuk membentuk 

satgas rabies lintas sektoral yang dibuktikan dengan 

kerja sama lintas setoral secara regular. Semua 

kasus rabies wajib dilaporkan dan dibuktikan 

dengan catatan data kasus rabies pada hewan dan 

manusia yang dapat dipercaya. Kesenjangan utama 

pengendalian dan penanggulangan rabies dan 

aktifitas apa yang harus dilakukan untuk mengatasi 

hal ini  (rencana jangka pendek) harus diketahui. 

Surveilans dasar harus berjalan secara regular 

yang disertai dengan vaksinasi massal pada anjing 

dilakukan di beberapa wilayah. Stok atau persediaan 

VAR cukup untuk penanganan korban gigitan HPR. 

Strategi teknis ini  harus didukung dengan 

adanya peningkatan kesadaran di warga  terkait 

dengan rabies.

Kegiatan yang harus dilaksanakan pada daerah 

dengan status tidak diketahui yaitu  KIE, Takgit, 

surveilans, investigasi kasus rabies dengan konfirmasi 

laboratorium, membuat program pengendalian/

penanggulangan, serta identifikasi dukungan 

regulasi.

Kepulauan/pulau/provinsi tertular berat

Pengembangan strategi pencegahan dan 

pengendalian rabies harus dilakukan pada daerah 

dengan status tertular berat. Strategi dimulai dengan 

penerapan langkah-langkah pengendalian rabies 

secara menyeluruh dalam suatu wilayah contoh atau 

daerah dengan status tertular berat. berdasar  

rencana jangka pendek, fokus kegiatan pada daerah 

ini  yaitu  pengembangan kapasitas yang 

dibutuhkan dan elaborasi standar operasional 

prosedur atau protokol kegiatan. Penyelarasan 

dan adaptasi yang komprehensif terhadap legislasi 

nasional dan lokal diperlukan dalam rangka strategi 

penanggulangan rabies nasional. Semua pemangku 

kepentingan daerah harus dapat diidentifikasi dan 

diketahui termasuk dalam hal pembagian pendanaan 

(pembagian pendanaan oleh lokal, nasional dan 

internasional). Selain fokus pada kegiatan ini , 

sebagian besar kegiatan pada tahap 1 harus terus 

dilanjutkan dan dikembangkan.

Pemerintah harus dapat memberikan dukungan, 

terutama dalam hal pendanaan untuk menjalankan 

implementasi strategi.Kegiatan yang harus 

dilaksanakan pada daerah dengan status tertular 

berat yaitu  KIE, Takgit, vaksinasi, pengawasan lalu 

lintas hewan, surveilans, manajemen populasi anjing 

(MPA), investigasi kasus rabies dengan konfirmasi 

laboratorium, penelusuran sumber penularan kasus, 

dan kaji ulang program setiap tahun. Jenis vaksinasi 

yang harus dilakukan yaitu  vaksinasi massal, 

vaksinasi darurat, dan vaksinasi penyisiran/sweeping. 

Vaksinasi massal harus dilakukan untuk mengurangi 

rantai penularan kasus dan harus disertai dengan 

vaksinasi darurat dalam menanggapi semua kasus 

dan wabah rabies. Vaksinasi penyisiran/sweeping 

juga harus dilaksanakan untuk menjaga cakupan 

vaksinasi dan kekebalan kelompok masih berada 

pada level yang tinggi. Hal ini harus didukung dengan 

tersedianya VAR yang cukup dan dapat diakses di 

seluruh wilayah. Kampanye kesadaran terhadap 

rabies harus dilakukan secara nasional dan dapat 

mencakup seluruh wilayah.

Kepulauan/pulau/provinsi tertular sedang

Seperti pada daerah tertular berar, pada daerah 

dengan status tertular sedang, implementasi strategi 

pengendalian dan penanggulangan rabies harus 

dilakukan sepenuhnya ke seluruh wilayah. Semua 

pemangku kepentingan harus mempunyai kesadaran 

yang tinggi dan terlibat dalam pelaksanaan 

pengendalian dan penanggulangan rabies secara 

nasional. Koordinasi dan komunikasi secara 

rutin harus dilakukan untuk bertukar informasi 

dan mengevaluasi kemajuan pengendalian dan 

penanggulangan rabies antara tingkat pusat dan 

daerah, serta antar sektoral terkait. 

Target selanjutnya yang wajib dicanangkan pada 

daerah tertular ringan yaitu  tidak adanya kasus 

32  | --- 

kematian manusia karena rabies selama 12 bulan 

berturut-turut. Hal ini harus didukung dengan 

dokumentasi bukti kampanye vaksinasi pada anjing 

yang sesuai dengan strategi pengendalian dan 

penanggulangan rabies nasional serta tersedianya 

VAR yang dapat diakses di seluruh wilayah dengan 

jumlah yang cukup. Dokumentasi kampanye edukasi 

kepada publik juga harus dilakukan sesuai dengan 

strategi pengendalian dan penanggulangan rabies 

nasional.

Kegiatan yang harus dilaksanakan pada daerah 

dengan status tertular sedang yaitu  KIE, Takgit, 

vaksinasi massal, pengawasan lalu lintas hewan, 

surveilans, manajemen populasi anjing (MPA), 

investigasi kasus rabies dengan konfirmasi 

laboratorium, penelusuran sumber penularan kasus, 

dan kaji ulang program setiap tahun.

Kepulauan/pulau/provinsi tertular ringan

Implementasi strategi pengendalian dan 

penanggulangan rabies di daerah dengan status 

ringan harus difokuskan pada wilayah dengan 

risiko tinggi. Semua pemangku kepentingan harus 

mempunyai kesadaran yang tinggi dan terlibat dalam 

pelaksanaan pengendalian dan penanggulangan 

rabies secara nasional. Koordinasi dan komunikasi 

secara rutin harus dilakukan untuk bertukar 

informasi dan mengevaluasi kemajuan pengendalian 

dan penanggulangan rabies antara tingkat pusat dan 

daerah, serta antar sektoral terkait.

Walaupun sudah tidak ada kasus rabies yang 

terjadi pada manusia, upaya pengendalian dan 

penanggulangan rabies pada anjing harus terus 

dilaksanakan. Hal ini harus disertai dengan 

dokumentasi bukti kampanye vaksinasi pada anjing 

yang sesuai dengan strategi pengendalian dan 

penanggulangan rabies nasional serta tersedianya 

VAR yang dapat diakses di seluruh wilayah dengan 

jumlah yang cukup. Dokumentasi kampanye edukasi 

kepada publik juga harus dilakukan sesuai dengan 

strategi pengendalian dan penanggulangan rabies 

nasional. Selain itu, harus dilakukan tahapan verifikasi 

terkait dengan efektivitas strategi pemberantasan 

rabies secara nasional dan pembuatan rencana 

pasca-pemberantasan.

Dari kegiatan-kegiatan ini , diharapkan tidak 

ada lagi kasus pada anjing atau hewan lainnya selama 

12 bulan berturut-turut. Pada tahap selanjutnya, 

perlu dilakukan deklarasi dan publikasi hasil data yang 

terverifikasi tentang tidak adanya kasus rabies antar 

anjing. Bukti tentang langkah-langkah yang efektif 

untuk mencegah re-introduksi dan penyebaran lebih 

lanjut dari rabies harus didokumentasikan yang 

disertai dengan rekaman yang telah diperbaharui 

terkait epidemiologi rabies dapat diakses oleh semua 

pihak terkait.

Kegiatan yang harus dilaksanakan pada daerah 

dengan status tertular ringan yaitu  KIE, Takgit, 

vaksinasi darurat, pengawasan lalu lintas hewan, 

surveilans, manajemen populasi anjing (MPA), dan 

mempertahankan investigasi kasus rabies dan 

penelusuran sumber penularan kasus.

Kepulauan/pulau/provinsi bebas

Pada daerah bebas, diperlukan adanya monitoring 

kasus rabies anjing ke anjing dan anjing ke 

manusia. Strategi nasional untuk periode pasca-

Tabel 2. Tahap pengendalian dan penanggulangan dan deskripsi situasi rabies

Status 

daerah

Tahap Pengendalian 

dan Penanggulangan

Deskripsi situasi Situasi yang dituju untuk tahap selanjutnya

Status 

tidak 

diketahui

Tahap 0: Situasi tidak 

diketahui

• Tidak ada  sistem untuk mendata 

kasus, diduga kasus rabies pernah 

terjadi

• Kasus rabies hanya didasarkan pada 

deskripsi klinis

• Kasus gigitan jarang sekali 

terkonfirmasi, dan insidensi/ 

prevalensi serta distribusinya tidak 

diketahui secara pasti

• Tidak memilik laboratorium terstandar 

nasional atau internasional

• Tidak memiliki pedoman pengendalian 

dan penanggulangan atau jika tersedia, 

tidak diimplementasikan 

• Perlu mengetahui insidensi kasus rabies pada 

dugaan kasus GHPR melalui implementasi 

Takgit dan kegiatan surveilans

• Prevalensi rabies diketahui melalui 

implementasi TAKGIT dan tindak lanjut kasus 

gigitan dan surveilans

KUNCI:

Memberikan notifikasi kasus yang telah 

terkonfirmasi oleh laboratorium terstandar 

(referensi international) kepada WHO (kasus 

rabies pada manusia) dan OIE (kasus rabies pada 

hewan)

---   |  33 

Status 

daerah

Tahap Pengendalian 

dan Penanggulangan

Deskripsi situasi Situasi yang dituju untuk tahap selanjutnya

Status 

tidak 

diketahui

Tahap 1:

Penilaian 

epidemiologi rabies 

lokal, rencana aksi 

jangka pendek

• Pemerintah menilai infrastruktur dan 

sumber daya apa yang sudah ada dan 

aktifitas apa yang telah dinisiasi

• Pemerintah pusat mulai melakukan 

pendataan dan analisa jumlah 

kasus GHPR dan penilaian strategi 

pengendalian dan penanggulangan di 

wilayah ini 

• Pemerintah melakukan inisiasi 

dan pelaksanaan tindak lanjut dan 

investigasi laporan kasus atau wabah

• Mengumpulkan informasi dan 

mengembangkan program jangka 

pendek dan memahami kebutuhan 

yang diperlukan (sumberdaya dan 

infrastruktur)

Pemerintah membentuk satgas rabies lintas 

sektoral, dan semua kasus rabies wajib dilaporkan

KUNCI:

• Bukti terbentuknya satgas rabies lintas 

sektoral yang bekerja secara reguler

• Data kasus rabies pada hewan dan manusia

• Tantangan utama pengendalian dan 

penanggulangan rabies dan solusinya diketahui 

(rencana jangka pendek) 

• Surveilans dasar berjalan secara regular

• Vaksinasi massal pada anjing dilakukan 

dibeberapa wilayah 

• VAR tersedia di beberapa wilayah 

• Peningkatan kesadaran warga  terkait 

rabies

Tertular 

berat

Tahap 2: 

Pengembangan 

strategi pencegahan 

& pengendalian 

rabies

• Pengembangan strategi pencegahan 

dan pengendalian rabies nasional

• Penerapan langkah-langkah 

pengendalian rabies secara 

menyeluruh

• berdasar  rencana jangka pendek, 

fokus kegiatan yaitu  pengembangan 

kapasitas yang dibutuhkan dan 

elaborasi SOP atau protokol

• Penyelarasan dan adaptasi yang 

komprehensif terhadap legislasi 

nasional dan lokal

• Semua pemangku kepentingan 

diidentifikasi dan diketahui termasuk 

dalam pembagian pendanaan

• Sebagian besar kegiatan pada tahap 1 

terus berlanjut dan berkembang

Pemerintah memberikan dukungan dan 

pendanaan dalam melakukan implementasi 

strategi

KUNCI :

• Kontrol rabies nasional dan strategi 

pencegahan disahkan dan pendanaan telah 

ditetapkan

• Data epidemiologis pada hewan dan manusia 

rabies, termasuk catatan GHPR dari seluruh 

wilayah tersedia, teratur disusun dan  dapat 

diakses

• Vaksinasi dilakukan dalam menanggapi semua 

kasus wabah

• VAR dapat diakses di seluruh negara

• Kampanye kesadaran rabies dilakukan secara 

nasional

Tertular 

sedang 

dan 

tertular 

ringan

Tahap 3:

Implementasi Strategi 

Pemberantasan 

rabies

• Strategi pemberantasan rabies 

nasional dilaksanakan sepenuhnya

• Semua pemangku kepentingan sadar 

dan terlibat dalam pelaksanaan 

pemberantasan rabies nasional

• Koordinasi rutin untuk bertukar 

informasi dan mengevaluasi kemajuan 

pengendalian dan pemberantasan 

rabies antara tingkat pusat dan daerah, 

serta antar sektoral  

Tidak ada kematian manusia karena rabies selama 

12 bulan berturut-turut

KUNCI:

• Dokumentasi bukti kampanye vaksinasi 

pada anjing yang sesuai dengan strategi 

pemberantasan rabies nasional 

• VAR dapat diakses di seluruh daerah dengan 

jumlah yang cukup 

• Bukti kampanye edukasi publik dilakukan 

sesuai dengan strategi pemberantasan rabies 

nasional 

• Tidak ada kematian manusia karena rabies 

selama 12 bulan berturut-turut

34  | --- 

Status 

daerah

Tahap Pengendalian 

dan Penanggulangan

Deskripsi situasi Situasi yang dituju untuk tahap selanjutnya

Tertular 

ringan

Tahap 4: 

Mempertahankan 

bebas rabies pada 

manusia, eliminasi 

rabies pada anjing

• Pengembangan strategi pencegahan 

dan pengendalian rabies nasional

• Mempertahankan tidak ada kasus 

rabies di manusia dan melakukan 

upaya pemberantasan rabies pada 

anjing

• Melakukan tahapan verifikasi 

efektivitas strategi pemberantasan 

rabies secara nasional dan pembuatan 

rencana pasca-pemberantasan.

Tidak ada penularan antar anjing selama 12 bulan 

berturut-turut

KUNCI

• Tidak ada kasus yang dilaporkan pada anjing

• Melakukan deklarasi dan mempublikasikan 

hasil data yang terverifikasi tentang tidak 

adanya kasus rabies antar anjing

• Bukti tentang langkah-langkah yang efektif 

untuk mencegah re-introduksi dan penyebaran 

lebih lanjut dari rabies

• Rekaman yang terlah diperbaharui terkait 

epidemiologi rabies dapat diakses

Bebas 

dan bebas 

terancam

Tahap 5: 

Bebas penularan 

rabies dari manusia 

dan anjing yang 

dimonitor

• Melakukan monitoring kasus rabies 

anjing ke anjing dan anjing ke manusia

• Strategi nasional untuk pasca-

pemberantasan dijabarkan dan 

disempurnakan termasuk protokol 

untuk implementasi.

BEBAS RABIES

• Mempertahankan tidak ada kasus manusia dan 

anjing (kecuali impor)

• Menjaga tidak ada kasus rabies anjing selama 

12 bulan berturut-turut

• Melakukan deklarasi dan mempublikasikan 

hasil data yang terverifikasi tentang tidak 

adanya kasus tranmisi antar anjing ditingkat 

nasional

• Strategi Nasional untuk mempertahankan 

status bebas rabies anjing disahkan, didanai, 

dan dikomunikasikan dan sepenuhnya 

dilaksanakan

Penentuan prioritisasi strategi teknis pemberantasan rabies yang akan dilakukan harus didasarkan 

kepada kondisi dari situasi penyakit dan juga sumber daya yang dipunyai oleh daerah ini , baik 

sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Strategi pemberantasan yang penting yang 

harus dilaksanakan yaitu  Takgit, vaksinasi, dan KIE.

Pe

ny

ak

it

Takgit

Vaksinasi darurat dan sweeping

KIE

Takgit

Vaksinasi massal

KIE

Takgit

Vaksinasi massal

KIE

Takgit

Vaksinasi darurat dan sweeping

KIE

Gambar 8. Prioritisasi strategi pemberantasan rabies

Sumber daya

---   |  35 

Alur diagram yang menggambarkan operasional kegiatan yaitu  sebagai berikut:

Penentuan Status

(untuk daerah dengan 

status tidak diketahui)

Waktu Status Daerah Strategi yang Dilakukan

Tertular Berat

Tertular Sedang

Tertular Ringan

Bebas Terancam  

dan Bebas

1. KIE

2. Takgit

3. Surveilans

4. Investigasi kasus rabies dengan  

konfirmasi laboratorium

5. Buat program pengendalian/

pemberantasan

6. Dukungan regulasi

1. KIE 

2. Takgit

3. Vaksinasi massal, darurat, dan sweeping

4. Pengawasan lalu lintas hewan

5. Surveilans

6. Manajemen Populasi Anjing (MPA)

7. Investigasi kasus rabies dengan 

konfirmasi laboratorium

8. Penelusuran sumber penularan kasus

9. Kaji ulang program setiap tahun

1. KIE 

2. Takgit

3. Vaksinasi massal

4. Pengawasan lalu lintas hewan

5. Surveilans

6. MPA

7. Investigasi kasus rabies dengan 

konfirmasi laboratorium

8. Penelusuran sumber penularan kasus

9. Kaji ulang program setiap tahun

1. KIE

2. Takgit

3. Vaksinasi darurat

4. Pengawasan lalu lintas hewan

5. Surveilans

6. MPA

7. Pertahankan investigasi kasus rabies dan 

penelusuran sumber penularan

1. KIE

2. Takgit

3. Vaksinasi

4. Pengawasan lalu lintas hewan

5. MPA

Gambar 9. Tahapan pemberantasan rabies di negara kita 

36  | --- 

pemberantasan perlu dijabarkan dan disempurnakan 

untuk dilaksanakan. Perlu untuk terus menjaga tidak 

ada kasus rabies anjing selama 12 bulan berturut-

turut dalam rangka mempertahankan tidak ada 

kasus manusia dan anjing (kecuali impor). Deklarasi 

dan publikasi hasil data yang terverifikasi tentang 

tidak adanya kasus tranmisi antar anjing di tingkat 

nasional harus dilaksanakan. Strategi Nasional 

untuk mempertahankan status bebas rabies 

anjing disahkan, didanai, dan dikomunikasikan dan 

sepenuhnya dilaksanakan.

Kegiatan yang harus dilaksanakan pada daerah 

dengan status tertular ringan yaitu  KIE, Takgit, 

vaksinasi sweeping, pengawasan lalu lintas hewan, 

dan manajemen populasi anjing (MPA).

5.2 Sumber Daya 

Manusia dan Dana

Pelaksanaan program pemberantasan rabies 

akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh 

tersedianya sumber daya manusia (SDM) dan dana 

yang mencukupi. SDM berlatar belakang kesehatan 

hewan, seperti dokter hewan dan paramedis 

kesehatan hewan diperlukan untuk kegiatan-

kegiatan yang bersifat teknis seperti vaksinasi, 

surveilans, respon cepat dan penanganan hewan 

suspek, evaluasi diagnostik, pengawasan lalu lintas, 

dan MPA. SDM lain dapat berperan di dalam kegiatan 

non-teknis, seperti tim logistik, tim komunikasi, data 

encoder, dan tim survei pasca vaksinasi. Untuk 

meningkatkan percepatan program pemberantasan 

rabies di negara kita , diperlukan adanya peningkatan 

SDM terkait dengan pemberantasan rabies.

Biaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan 

program pemberantasan rabies menuju pembebasan 

tidaklah sedikit. Pemerintah pusat harus 

mengalokasikan biaya untuk pemberantasan dengan 

jumlah yang besar namun tidak dapat memenuhi 

seluruh biaya yang dibutuhkan untuk implementasi 

Pemberantasan di seluruh daerah endemis di 

negara kita  sekaligus. Komitmen dana dan politik 

dari pemerintah daerah merupakan sumber utama 

untuk pelaksanaan kegiatan yang membutuhkan 

Tabel 3. Sumber pembiayaan untuk implementasi pemberantasan rabies

No Kategori

Sumber Pendanaan Pemerintah

Sumber lainnya

Pusat Provinsi Kabupaten/Kota

1 Rapat Koordinasi

Nasional √ √ √ √

Provinsi √ √ √ √

Kabupaten/kota √ √ √ √

2 Vaksin dan vaksinasi

Vaksin √ √ √ √

Logistik √ √ √ √

Operasional √ √ √ √

Peningkatan kapasitas √ √ √ √

3 Surveilans

Antigen √ √ √ √

Peralatan √ √ √ √

Operasional √ √ √ √

4 Peningkatan Kesadaran Masyarakat

Media √ √ √ √

Operasional √ √ √ √

5 Monitoring dan Evaluasi √ √ √ √

---   |  37 

sumber dana dan sumber daya demikian juga untuk 

menjamin keberlangsungan kegiatan pemberantasan 

rabies yang dapat menelan dana dan waktu yang 

tidak sedikit.

Pembiayaan untuk implementasi strategi 

pemberantasan rabies bisa berasal dari berbagai 

organisasi/kelembagaan sesuai dengan tingkatan 

hirarkinya. Sumber pembiayaan pemerintah bisa 

diperoleh dari APBN (termasuk Dana Desa), APBD 

Provinsi, maupun APBD Kabupaten/Kota. Sumber 

pembiayaan lainnya bisa diperoleh dari swasta. 

Selain itu terbuka juga peluang untuk memperoleh 

pembiayaan dari organsiasi internasional ataupun 

dari lembaga/negara donor. Tabel di bawah ini 

memuat pembagian peran dan tanggung jawab dalam 

pembiayaan pemberantasan rabies di negara kita .

5.3 Kelembagaan, 

Pengorganisasian, 

dan Manajemen

5.3.1 Kelembagaan

Kapasitas teknis yang dimiliki oleh kelembagaan 

yang berperan dan bertanggung jawab 

merupakan elemen kunci dalam merancang dan 

mengimplementasikan program pemberantasan 

rabies. Begitu juga kemampuan kelembagaan dalam 

menyediakan anggaran jangka panjang, fasilitas 

laboratorium yang memadai, dan sumber daya 

manusia yang kompeten.

Beberapa aspek kelembagaan yang perlu 

Penggunaan BTT 

untuk merespon 

wabah/KLB

Kejadian 

kasus rabies 

terkonfirmasi 

laboratorium

Pelaporan data 

dan dokumen 

teknis terkait 

kasus oleh Dinas 

Teknis kepada 

Sekretariat 

Daerah

Pengajuan Surat 

Keputusan 

terjadinya 

wabah/KLB 

rabies kepada 

Kepala Daerah

Surat Keputusan 

terjadinya 

wabah/KLB oleh 

Kepala Daerah

Pengajuan dana 

Belanja Tidak 

Terduga (BTT) 

kepada BPBD

Gambar 10. Akses dana BTT untuk respon wabah penyakit zoonotik

diperhatikan dalam pemberantasan rabies yaitu  

sebagai berikut:

6. Pengorganisasian, administrasi, koordinasi 

dan supervisi seluruh kegiatan program, 

serta interaksi dan komunikasi yang efektif 

antar seluruh pemangku kepentingan 

(stakeholder) yang terlibat merupakan aspek 

esensial dalam program pemberantasan 

rabies.

7. Pembentukan tim koordinasi dan penunjukan 

pejabat pemerintah pemerintah sebagai 

koordinator atau penanggung jawab program 

merupakan yang yang sangat membantu 

dalam pencapaian sasaran, terutama 

pada kondisi di mana politik kelembagaan 

negara kita  terdesentralisasi.

8. Peran dan tanggung jawab berbagai 

kelembagaan terkait (pusat/regional/lokal) 

harus jelas, dipahami oleh masing-masing 

kelembagaan, dan harus diperkuat.

9. Kerja sama antar kelembagaan yang 

terlibat dalam pemberantasan rabies 

menjadi sangat penting dan masing-masing 

kelembagaan harus berkomitmen secara 

aktif dan berkontribusi secara penuh dalam 

implementasi semua kegiatan.

10. Alur data, informasi, dan komunikasi antar 

kelembagaan harus dibangun secara efektif.

11. Kapasitas diagnostik laboratorium harus 

terus-menerus ditingkatkan, terutama 

jaminan kualitas termasuk standardisasi 

prosedur pengujian dan reagen diagnostik.

12. Kapasitas epidemiologi yang memadai harus 

dimiliki di semua tingkatan (pusat/regional/

lokal) untuk bisa menilai dan mengukur 

Sumber pendanaan lain dapat diakses apabila suatu daerah memerlukan anggaran dalam respon terhadap suatu 

wabah/kejadian luar biasa (KLB) di daerah ini , antara lain Dana Desa dan Belanja Tidak Terduga (BTT).

38  | --- 

indikator kemajuan program pemberantasan.

13. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi 

berkesinambungan untuk mengkaji ulang 

efektivitas dari implementasi kegiatan 

program harus dijalankan untuk memastikan 

adaptasi apabila diperlukan.

5.3.2 Pengorganisasian dan 

Manajemen

Dalam implementasi strategi pemberantasan 

rabies, Direktorat Kesehatan Hewan yaitu  otoritas 

veteriner nasional yang memegang peranan penting 

dalam pengorganisasian dan mengelola program 

pemberantasan di seluruh wilayah negara kita . 

Seluruh otoritas veteriner nasional harus bekerja 

sama dengan dinas berwenang yang membidangi 

fungsi kesehatan hewan di tingkat provinsi yang 

mengarahkan dan memimpin implementasi 

strategi dan mengelola program pemberantasan 

di wilayahnya. Sedangkan dinas berwenang yang 

membidangi fungsi kesehatan hewan di kabupaten 

dan kota memegang peranan utama dalam 

merencanakan, mengkonsolidasi, dan mengelola 

program, serta memobilisasi sumber daya di 

lapangan.

Selain itu, dalam implementasi strategi 

pemberantasan rabies, Direktorat Kesehatan 

Hewan juga perlu melibatkan pihak-pihak terkait, 

terutama jajaran Badan Karantina Pertanian sampai 

ke daerah, terutama dalam pengendalian lalu lintas 

ternak. Pelibatan sektor dan kementerian lainnya, 

seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian 

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian 

Dalam Negeri sangat dibutuhkan dalam upaya 

pemberantasan rabies dengan pendekatan One 

Health di mana kolaborasi, koordinasi, dan komunikasi 

merupakan aspek utama dalam pendekatan ini.

Organisasi dan kelembagaan yang berperan penting 

dalam pembebasan rabies yaitu  sebagai berikut:

1. Kementerian Pertanian

a. Direktorat Jenderal Peternakan dan 

Kesehatan Hewan

1) Direktorat Kesehatan Hewan

2) Direktorat Kesehatan Masyarakat 

Veteriner

3) Balai / Balai Besar Veteriner (BVet/

BBvet)

4) Pusat Veteriner Farma (Pusvetma)

5) Balai Besar Pengujian Mutu 

dan Standardisasi Obat Hewan 

(BBPMSOH)

b. Badan Karantina Pertanian

1) Pusat Karantina Hewan

2) Balai Besar Karantina Pertanian kelas 

I/II

3) Stasiun Karantina Pertanian

c. Balai Besar Penelitian Veteriner 

(BBLITVET) 

2. Kelembagaan dan Institusi lain

a. Kementerian Koordinator

b. Kementerian Kesehatan

c. Kementerian Dalam Negeri

d. Kementerian Keuangan

e. Kementerian Desa Pembangunan Daerah 

Tertinggal dan Transmigrasi

f. TNI/POLRI

g. BNPB dan BPBD

3. Pemerintah Daerah

a. Pimpinan Daerah

  

---   |  39 

b. Dinas yang membidangi fungsi 

peternakan dan kesehatan hewan di 

provinsi

1) Laboratorium kesehatan hewan 

provinsi

c. Dinas yang membidangi fungsi 

peternakan dan kesehatan hewan di 

kabupaten/kota

1) Laboratorium kesehatan hewan 

kabupaten/kota

2) Puskeswan di kecamatan

d. Dinas Kesehatan provinsi dan kabupaten/

kota

e. BPBD

Pembentukan Satuan Tugas (Satgas)

Untuk mewujudkan koordinasi dan komunikasi yang 

efektif sebagaimana diperlukan di atas, perlu dibentuk 

adanya Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Rabies 

mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat kabupaten/

kota. Satgas dibentuk berdasar  surat keputusan 

resmi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah 

di masing-masing tingkatan. Untuk tingkat pusat, 

satgas didasarkan kepada surat keputusan Menteri 

Pertanian, di tingkat provinsi oleh gubernur, dan 

tingkat kabupaten/kota oleh bupati/wali kota.

Satgas di tingkat pusat terdiri atas perwakilan dari 

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan 

Hewan, BBVet/BVet, Pusvetma, dan Badan 

Karantina Pertanian. Satgas ini  juga bertindak 

sebagai komite pengarah dari implementasi strategi 

pemberantasan rabies secara nasional dengan 

melibatkan tenaga ahli, baik dari lembaga penelitian, 

perguruan tinggi, Perhimpunan Dokter Hewan 

negara kita  (PDHI), dan/atau lembaga non pemerintah 

lainnya.

Satgas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terdiri 

atas perwakilan dari dinas berwenang, laboratorium 

kesehatan hewan, karantina pertanian, dan asosiasi 

di bidang kesehatan hewan. Satgas di tingkat provinsi 

dan kabupaten/kota melaksanakan rapat koordinasi 

paling tidak dua kali dalam setahun. Sedangkan di 

tingkat pusat, rapat koordinasi paling tidak dilakukan 

sekali dalam setahun. Pada saat diperlukan, tenaga 

ahli dari lembaga penelitian dan/atau perguruan 

tinggi dapat diikutsertakan dalam rapat koordinasi di 

tingkat pusat.

Gambar 11. Pembagian tugas Gugus Kerja Rabies

40  | --- 

Pembentukan Gugus Kerja Rabies

Pengelolaan program dan koordinasi teknis 

merupakan garis komando teknis yang dibentuk 

di tingkat provinsi dan kabupaten kota dalam 

pelaksanaan program pemberantasan.  Pada 

dasarnya PPKT dibuat dengan tujuan untuk membagi 

peran dan tanggung jawab teknis dalam program 

pemberantasan rabies sehingga diharapkan dapat 

berjalan dengan efektif dan efisien.

Pengelolaan program dan koordinasi teknis 

dikomandoi oleh seorang koordinator yang juga  

seorang kepala Dinas atau pejabat lainnya yang 

ditunjuk oleh kepala Dinas melalui surat keputusan. 

Koordinator ini akan membawai 5 koordinator yaitu 

koordinator pelaksanaan vaksinasi, koordinator 

KIE, koordinator reaksi cepat (pelaporan kasus 

gigitan), koordinator tim survey pasca vaksinasi dan 

koordinator logistik.

Bagan dari pengelolaan gugus kerja rabies dapat 

dilihat pada gambar dibawah ini:

Peran dan Tanggung Jawab Organisasi/

Lembaga

Peran dan tanggung jawab masing-masing organisasi/

kelembagaan pada tingkat pusat dan daerah dapat 

dilihat dari uraian sebagai berikut.

Peran dan tanggung jawab Direktorat Jenderal 

Peternakan dan Kesehatan Hewan

Peran dan tanggung jawab Direktorat Jenderal 

Peternakan dan Kesehatan Hewan yaitu  sebagai 

berikut:

1. Membuat pedoman nasional yang ditetapkan 

melalui Keputusan Menteri Pertanian

2. Membuat surat edaran ke provinsi

3. Melakukan koordinasi dan komunikasi 

dengan instansi terkait (jajaran karantina dan 

komisi nasional)

4. Melaksanakan rapat koordinasi tingkat 

nasional setiap tahun dan apabila diperlukan 

melibatkan lembaga penelitian, perguruan 

tinggi, dan organisasi kelembagaan swasta 

terkait

5. Melaksanakan peningkatan kapasitas dalam 

bentuk pelatihan dan lokakarya

6. Membuat analisa epidemiologi dan kajian 

kerugian ekonomi terkait rabies secara 

nasional

7. Menyiapkan pembiayaan untuk vaksin, 

antigen, operasional vaksinasi, operasional 

diagnostik, dan surveilans

8. Menyiapkan materi dan sarana untuk 

peningkatan komunikasi, informasi, dan 

edukasi (KIE)

9. Melaksanakan surveilans aktif untuk 

pembuktian status bebas suatu daerah dan 

pelaporannya

10. Menerbitkan sertifikat bebas rabies

11. Melakukan monitoring dan evaluasi program 

pemberantasan rabies 

Peran dan tanggung jawab dinas berwenang di 

tingkat provinsi

Peran dan tanggung jawab dinas berwenang yang 

membawahi bidang kesehatan hewan di tingkat 

provinsi yaitu  sebagai berikut:

1. Membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) 

berdasar  pedoman nasional yang 

ditetapkan dengan keputusan gubernur

2. Membuat surat edaran ke kabupaten/kota

3. Melaksanakan koordinasi dan komunikasi 

dengan instansi terkait

4. Membuat rencana pemberantasan dan 

analisa epidemiologi dan ekonomi

5. Membentuk tim pemberantasan

6. Melaksanakan rapat koordinasi tingkat 

provinsi dua kali setahun

7. Menerbitkan surat keterangan kesehatan 

hewan (SKKH) dengan lampiran surat 

keterangan vaksinasi rabies untuk HPR yang 

akan dilalulintaskan antar provinsi

8. Melaksanakan peningkatan kapasitas berupa 

pelatihan dan lokakarya

9. Menyiapkan pembiayaan untuk vaksin, 

antigen, operasional vaksinasi, dan 

operasional surveilans

10. Menyiapkan materi dan sarana untuk 

peningkatan KIE

11. Melaksanakan operasionalisasi peningkatan 

KIE

---   |  41 

12. Melaksanakan monitoring dan evaluasi

Peran dan tanggung jawab dinas berwenang di 

tingkat kabupaten/ kota

Peran dan tanggung jawab dinas berwenang yang 

membawahi bidang kesehatan hewan di tingkat 

kabupaten/kota yaitu  sebagai berikut:

1. Membuat petunjuk teknis (juknis) 

berdasar  pedoman nasional yang 

ditetapkan dengan keputusan gubernur

2. Melaksanakan koordinasi dan komunikasi 

dengan instansi terkait

3. Membuat rencana operasional 

pemberantasan dan analisa epidemiologi dan 

ekonomi

4. Membentuk tim pengendalian dan 

penanggulangan

5. Melaksanakan rapat koordinasi tingkat 

kabupaten

6. Menerbitkan surat keterangan kesehatan 

hewan (SKKH) dengan lampiran surat 

keterangan vaksinasi rabies untuk HPR yang 

akan dilalulintaskan antar kabupaten

7. Melaksanakan peningkatan kapasitas berupa 

pelatihan dan lokakarya

8. Menyiapkan pembiayaan untuk vaksin, 

antigen, operasional vaksinasi, dan 

operasional surveilans

9. Menyiapkan materi dan sarana untuk KIE

10. Melaksanakan operasionalisasi peningkatan 

KIE

11. Melaksanakan monitoring dan evaluasi

Peran dan tanggung jawab karantina hewan

Peran dan tanggung jawab karantina hewan yaitu  

sebagai berikut:

1. Membuat pedoman karantina dan 

pengendalian lalu lintas terkait dengan 

pedoman nasional pengendalian dan 

penanggulangan rabies

2. Melakukan koordinasi dan komunikasi 

dengan instansi terkait

3. Memeriksa SKKH untuk semua HPR 

yang dilalu-lintaskan

4. Melakukan koordinasi dan komunikasi 

dengan dinas berwenang

5. Menyiapkan materi dan sarana untuk 

peningkatan KIE

6. Melaksanakan monitoring dan evaluasi

Peran dan tanggung jawab kelembagaan non-

pemerintah

Peran dan tanggung jawab kelembagaan non-

pemerintah yaitu  sebagai berikut:

1. Melakukan penandatanganan nota 

kesepahaman dengan pemerintah dan 

pemerintah daerah untuk kerja sama dan 

mengembangkan program yang sinergis

2. Melakukan sosialisasi program pengendalian 

dan penanggulangan rabies ke perangkat 

organisasi di bawahnya

3. Melakukan koordinasi dan komunikasi 

dengan pemerintah dan pemerintah daerah

4. Membantu pelaksanaan operasional 

program pengendalian dan penanggulangan 

rabies sesuai dengan nota kesepahaman 

5. Membantu menyiapkan pembiayaan untuk 

vaksin, antigen, operasional vaksinasi, dan 

operasional surveilans

6. Membantu menyiapkan materi dan sarana 

untuk peningkatan KIE

5.4 Pelibatan Pihak 

Terkait

Untuk mendukung program pengendalian dan 

penanggulangan rabies, pemerintah pusat dan 

pemerintah daerah perlu melibatkan tenaga ahli 

dari berbagai pihak seperti lembaga penelitian, 

universitas, lembaga internasional, dan LSM terutama 

dalam upaya melaksanakan peningkatan kapasitas 

dalam bentuk pelatihan dan/atau lokakarya. Selain 

itu juga perlu melibatkan pihak swasta seperti LSM, 

organisasi profesi dan pihak swasta lainnya  sesuai 

dengan perannya masing-masing.

5.5 Sistem Informasi

Sistem informasi kesehatan hewan (iSIKHNAS) 

merupakan sub-sistem penunjang di dalam sistem 

42  | --- 

kesehatan hewan nasional (Siskeswannas) yang 

dipakai  untuk mencatat dan mengkompilasi 

data penyakit hewan menular strategis, kemudian 

hasil analisa terhadap date ini  dipakai  

sebagai informasi untuk mengetahui situasi dan 

status penyakit. Selain itu, hasil analisa juga dapat 

dipakai  untuk kepentingan perencanaan, 

pembuatan program dan evaluasi program 

pengendalian dan penanggulangan penyakit. 

Sistem informasi ini telah dikembangkan di mana 

database-nya dirancang secara terintegrasi untuk 

dipakai  di dalam pengelolaan data terkait dengan 

program pengendalian dan penanggulangan. 

Sistem informasi harus dapat mencakup data 

pelaksanaan program secara harian pada struktur 

wilayah terkecil (tingkat desa dan banjar/dusun/

dukuh) sehingga dapat dilakukan analisa data secara 

harian pada saat pelaksanaan program. Hal ini akan 

sangat bermanfaat dalam monitoring serta evaluasi 

pelaksanaan program.

5.6 Dukungan Regulasi

Dukungan regulasi merupakan salah satu aspek 

penting dalam program pengendalian dan 

penanggulangan rabies. Regulasi merupakan dasar 

bagi pemerintah, khusus tim pelaksana teknis baik 

di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum 

dukungan regulasi terkait upaya pengendalian dan 

penanggulangan rabies telah tertuang dalam UU No 

18 Tahun 2009 dan UU No 41 Tahun 2014.  Regulasi 

ini juga diperkuat oleh aturan yang dikeluarkan 

oleh Kementrian Pertanian berupa Peraturan 

Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 4026/Kpts/

Ot.140/04/2013 tentang Penyakit Hewan Menular 

Strategis (PHMS) yang menetapkan rabies sebagai 

salah satu PHMS yang harus menjadi perhatian.

Peraturan perundangan terutama Undang-Undang 

No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan 

Kesehatan Hewan  dan Undang Undang No. 41 

Tabel 4. Peraturan perundangan terkait rabies di negara kita 

Aspek Regulasi

Pengendalian dan penanggulangan Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Pasal 39 (1) 

Undang-Undang No. 41 Tahun 2014

Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2014

Instruksi Presiden No 4 Tahun 2019

Surveilans Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Pasal 40 (1)

Undang-Undang No. 41 Tahun 2014

SK Menteri Pertanian No. 828/Kpts/OT.210/10/ 1998 

Instruksi Presiden No 4 Tahun 2019

Pelaporan penyakit oleh peternak Undang-Undang No. 18 tahun 2009 Pasal 45 (1)

Undang-Undang No. 41 Tahun 2014

Pengendalian lalu lintas ternak Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Pasal 42 (5) 

Undang-Undang No. 41 Tahun 2014

SK Menteri Pertanian No. 828/Kpts/OT.210/10/ 1998

Pelarangan lalu lintas hewan dan produk hewan dari 

daerah tertular/tersangka ke daerah bebas 

Undang-Undang No. 18 Tahun 2009

Undang-Undang No. 41 Tahun 2014

Vaksinasi dan Manajemen Populasi Anjing Undang-Undang No. 18 Tahun 2009

Undang-Undang No. 41 Tahun 2014

Daerah/Provinsi/Kabupaten Regulasi

DKI Jakarta Peraturan Gubernur No. 199 Tahun 2016

Bali Peraturan Daerah No. 15 Tahun 2009

Bali Peraturan Gubernur No. 19 tahun 2010

Kota Pontianak, Kalimantan Barat Peraturan Walikota No. 42 Tahun 2016

Desa Miau Merah, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat Peraturan Desa No. 7 Tahun 2016

Desa Kutuh, Badung, Bali Peraturan Desa No. 5 Tahun 2015

Desa Adat di Bali Pararem dan Awig-Awig Desa Adat di Bali

Flores Peraturan Paroki/Gereja

Dalam menerjemahkan kebijakan yang bersifat umum ini, diperlukan kebijakan lain yang bersifat lebih spesifik, baik yang berupa 

peraturan daerah yang bersifat resmi maupun aturan adat atau agama yang berlaku bagi warga  setempat. Contoh peraturan dari 

daerah tentang rabies yaitu  sebagai berikut.

Dengan peraturan yang sudah ada, program pengendalian dan penanggulangan rabies tetap masih sangat memerlukan dukungan dan 

komitmen pemerintah, terutama komitmen jangka panjang. Komitmen ini berupa dukungan dana dan tersedianya SDM yang memadai, 

terutama SDM berlatarbelakang medis.

---   |  43 

salah satu kunci dalam pemberantasan rabies 

selain Takgit dan vaksinasi. KIE berperan dalam 

peningkatan kesadaran warga , terutama yang 

berada di daerah yang berisiko terhadap penularan 

rabies. Lebih dari 40% kasus rabies yang dilaporkan 

di seluruh dunia yaitu  anak-anak di bawah usia 15 

tahun. Selain itu, rabies sangat sering terjadi pada 

warga  miskin yang berada di wilayah terpencil di 

Asia dan Afrika. Dua kelompok warga  ini  

merupakan target utama dalam melaksanakan KIE. 

Jika risiko tentang penularan rabies telah dipahami 

secara luas serta tingkat pemahaman warga  

tentang cara pencegahan rabies sudah tinggi, 

penularan rabies sepenuhnya akan dapat dicegah 

(Mission Rabies 2019). 

Peningkatan kesadaran warga  dan edukasi 

dapat berlangsung lebih efektif dan menyeluruh 

apabila dilakukan pelibatan warga  secara 

langsung, seperti kader, kelompok penyayang anjing, 

tokoh warga , dan lain sebagainya. Penyampaian 

informasi dapat disampaikan secara langsung 

kepada warga , baik melalui kunjungan dari 

rumah ke rumah, maupun pada saat dilakukan acara 

khusus untuk sosialisasi program. Bentuk informasi 

dapat diberikan melalui media visual, seperti brosur, 

poster, komik, dan media visual lainnya. Bentuk 

informasi juga dapat diberikan melalui media audial, 

seperti radio, serta melalui media audio-visual 

seperti VCD dan TV.

Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UU No. 18 

Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan 

Hewansecara umum mengatur tentang penyakit 

hewan menular, dimana salah satunya yaitu  

rabies. Pada kenyataannya, salah satu faktor 

yang masih lemah dalam implementasi strategi 

pengendalian dan penanggulangan rabies di 

lapangan yaitu  dalam aspek penerapan peraturan 

perundangan (law enfocerment) dan pedoman 

teknis yang telah dibuat oleh pemerintah pusat 

tidak selalu diikuti oleh pemerintah daerah. Suatu 

titik kritis yang perlu diperhatikan secara serius 

dan diperbaiki secara berkelanjutan, terutama 

dalam mengimplementasikan strategi utama 

yaitu vaksinasi, manajemen populasi anjing dan 

komunikasi, informasi dan edukasi.

Peraturan perundangan yang mendukung 

implementasi strategi pengendalian dan 

penanggulangan rabies yang berlaku saat ini dapat 

dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.

5.7 Peningkatan 

Kesadaran 

Masyarakat

Salah satu strategi yang harus dilaksanakan 

oleh setiap daerah dalam pengendalian dan 

penanggulangan rabies yaitu  KIE. KIE merupakan 

  

44  | --- 

5.8 Monitoring dan 

Evaluasi

Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan 

dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dan 

saling terkait. Pada program pengendalian dan 

penanggulangan rabies, monev dilakukan mulai 

sejak tahap persiapan, pelaksanaan dan pada akhir 

kegiatan, bahkan sampai dengan pada saat program 

sudah berakhir. Monev pada tahap persiapan 

akan dilakukan dengan melakukan monitoring 

dan evaluasi situasi awal penyakit, ketersediaan 

sumber daya, ketersediaan sumber dana, komitmen 

pemangku kepentingan di daerah setempat. Monev 

pada tahap pelaksanaan merupakan kegiatan 

monitoring dan evaluasi  yang paling utama untuk 

dilakukan. 

Sementara monev pada tahapan akhir dilakukan 

untuk melihat keberhasilan kegiatan pengendalian 

dan penanggulangan dengan melakukan monitoring 

dan evaluasi pada penurunan kasus, dan kemungkinan 

pembebasan. Monev pada saat program sudah 

berkahir yaitu  untuk mengidentifikasi risiko-risiko 

yang dapat memicu  daerah-daerah tertular 

kembali dan merekomendasikan kegiatan-kegiatan 

yang dapat mencegah dan mengantisipasi risiko 

ini .  

Kegiatan monitoring dapat juga dilakukan oleh 

beberapa instansi lain yaitu BBV/BV, BBPMSOH, 

BBlitvet dan Pusvetma serta pihak lain bila dipandang 

perlu. Monitoring tingkat pusat dilakukan oleh tim 

pemantau rabies sedikitnya tiga kali dalam setahun 

per provinsi. Sedangkan monitoring tingkat daerah 

sedikitnya dua kali dalam setahun atau disesuaikan 

dengan kondisi dan situasi daerah masing-masing.

Patogenesis

Semua informasi yang tersedia tentang patogenesis 

virus rabies (Lyssavirus) kurang lebih sama. Virus 

rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka gigitan 

atau melalui luka terbuka dan mukosa tubuh yang 

berkontak langsung dengan air liur dari hewan 

terinfeksi. Virus rabies tidak menular melalui kontak 

air liur hewan terinfeksi dengan kulit.

Virus rabies memperbanyak diri atau bereplikasi di 

dalam otot atau jaringan lokal lainnya di mana virus 

masuk ke dalam tubuh, kemudian mendapatkan 

akses ke akson sel syaraf tepi melalui motor endplates 

untuk dapat mencapai sistem syaraf pusat. Virus juga 

dapat langsung masuk ke dalam motor endplates pada 

sistem syaraf perifer saat masuk ke dalam melalui 

luka. Kecepatan virus bermigrasi dari sistem syaraf 

perifer ke otak tergantung pada jenis pergerakan 

pada akson sel, yaitu melalui transport retrograde 

centripetal atau gerakan centrifugal. Pada transport 

retrograde centripetal, pergerakan virus terjadi sangat 

cepat dengan kecepatan 5-100 mm/hari atau bahkan 

bisa lebih. Sedangkan pada gerakan centrifugal, 

kecepatan migrasi virus terjadi secara lambat karena 

media geraknya lebih pasif.

Gambar 12. Patogenesis infeksi virus rabies

Virus memasuki sistem syaraf pusat dengan 

pergerakan cepat retrograde centripetal pertama 

yang menyebar luas pada transfer transneuron dan 

menginfeksi serabut ganglia dorsal melalui hubungan 

sentral dengan neuron motorik dan interneuron 

spinal yang telah terinfeksi. Virus kemudian bergerak 

secara centrifugal dari sistem syaraf pusat melalui 

aliran aksoplasmik anterograde yang pelan pada 

akson motorik menuju serabut dan syaraf ventral, 

serta akson sensorik perifer pada serabut ganglia 

dorsal yang memicu  infeksi pada serabut otot, 

kulit, folikel rambut dan jaringan non-syaraf yang lain, 

seperti kelenjar air liur, otot jantung, paru-paru dan 

organ pencernaan melalui inervasi syaraf sensorik. 

Pada saat terjadi gejala klinis rabies, virus secara 

luas tersebar ke seluruh tubuh melalui sistem syaraf 

pusat dan organ extra-neural. Gejala klinis spesifik 

pertama yang muncul yaitu  adanya kesakitan 

neuropatik pada lokasi gigitan. Hal ini terjadi karena 

replikasi virus pada serabut ganglia dorsal dan 

induksi peradangan oleh kekebalan selular. 

Masa inkubasi virus sangat bervariasi, mulai dari 5 

hari sampai beberapa tahun (biasanya terjadi selama 

2-3 bulan, lebih dari 1 tahun jarang terjadi). Hal ini 

tergantung pada jumlah virus yang masuk ke dalam 

tubuh, kepadatan motor endplates pada tempat 

gigitan atau kontak, dan jarak tempat masuknya virus 

ke otak.

Diagnosa 

Rabies merupakan peradangan otak (ensefalitis) 

akut dan progresif yang dipicu  oleh Lyssavirus. 

Diagnosa  klinis dari ensefalitis sulit dilakukan dan 

Diagnosa  berdasar  laboratorium harus dipakai  

untuk konfirmasi penyakit jika memungkinkan. 

Selama satu dekade terakhir, perkembangan 

yang signifikan telah dilakukan dalam Diagnosa  

laboratorium untuk rabies, termasuk konfirmasi 

kasus klinis dengan penggunaan antigen virus, 

antobodi dan amplicon (WHO Expert Consultation 

on Rabies   .


Definisi kasus rabies pada hewan

Pemerintah harus memakai  definisi standar 

untuk rabies yang didukung dengan surveilans 

berbasis laboratorium pada kasus suspek pada 

manusia dan hewan. Gejala klinis rabies pada hewan 

sangat bervariasi. Kasus suspek rabies secara 

klinis pada hewan didefinisikan sebagai kasus yang 

biasanya terjadi dengan beberapa gejala berikut ini 

(FAO, Kementan, WAP 2015): 

Rabies ganas (furious rabies):

a. Agresif 

b. Perilaku abnormal

c. Menggigit lebih dari satu orang atau hewan lain 

tanpa disertai provokasi

d. Pica atau mengunyah objek bukan makanan

e. Suara yang abnormal

f. Aktivitas diurnal pada hewan nokturnal

g. Berkeliaran tanpa tujuan

h. mati

Rabies paralisis (dumb rabies):

a. Inkoordinasi

b. Sindrom tersedak

c. Hipersalivasi/banyak mengeluarkan air liur

d. Paralisis/kelumpuhan

e. Kejang-kejang

f. Lethargi

g. Mati 

Kasus rabies pada hewan dapat diklasifikasikan 

sebagai berikut (FAO, Kementan, WAP 2015):

a. Suspek tinggi

Hewan mempunyai ciri salah satu dari:

1. Lebih dari satu tanda rabies

2. Telah menggigit lebih dari satu kali

3. Hewan menggigit ditemukan mati atau 

tidak ditemukan

4. Anak anjing dari induk positif

b. Suspek

Hewan tidak menunjukkan perilaku aneh, 

hanya menggigit satu kali

Pengambilan dan Pengiriman Bahan 

Pemeriksaan (spesimen)

Diagnosa penyakit rabies perlu untuk memperhatikan 

beberapa hal, seperti riwayat penyakit, tanda klinis 

dan pemeriksaan secara laboratoris. Pemeriksaan 

spesimen secara laboratoris dapat memakai  

spesimen dalam bentuk kepala utuh atau spesimen 

otak yang segar. Spesimen untuk diagnosa 

penyakit rabies harus ditransportasikan sesuai 

dengan peraturan nasional dan internasional 

untuk menghindari kontaminasi virus rabies ke 

lingkungan. Kualitas spesimen untuk diagnosa 

selama pengambilan, pengiriman, dan penyimpanan 

sangat mempengaruhi hasil uji laboratorium 

(Direktorat Kesehatan Hewan 2015). Berikut ini 

cara yang direkomendasikan dalam pengambilan dan 

pengiriman spesimen.

a. Spesimen segar

1. Seluruh kepala

Prosedur

• Seluruh kepala dipisahkan dari badan dengan 

pisau besar dan dimasukkan bersama 

potongan es sampai penuh ke dalam suatu 

kontainer. specimen juga dapat dikirimkan 

dalam keadaan beku memakai  dry ice 

(CO2 padat) atau nitrogen cair (N2 cair)

• Kontainer ini dimasukkan ke dalam kontainer 

ke dua yang lebih besar. Perlu dipastikan 

bahwa kontainer ini  ditutup dengan 

rapat

• Di tutup atas harus ditempelkan keterangan 

tentang isi spesimen dengan label yang 

bertuliskan “paket ini berisi spesimen kepala 

anjing/hewan lain yang diduga terinfeksi 

rabies”

• Setiap pengiriman spesimen harus disertai 

dengan surat pengantar

• Pengiriman spesimen kepala harus tiba di 

laboratorium dalam waktu satu hari (24 jam)


2. Otak

Prosedur

• Siapkan peralatan necropsy: pisau scalpel, pisau 

dengan ukuran besar, gunting tulang, gergaji 

tulang, larutan glycerine saline 50%, formalin 

10%, dan container, serta meja dengan lapisan 

bahan logam keras yang mudah dibersihkan

• Kulit kepala dibuka tepat di tengah kepala 

menggunaka scalpel, kemudian kuakkan ke kiri 

dan ke kanan agar tempurung kepala terlihat

• Semua jaringan ikat dan otot dibersihkan dari 

tempurung kepala

• Gergaji tempurung kepala secara melingkar 

dari atas mata sampai atas foramen magnum 

dan kuakkan hingga otak terlihat, jika kesulitan 

memakai  gergaji, dapat dipakai  

gunting tulang dan pinset

• Keluarkan otak secara hati-hati dengan 

memotong medulla, syaraf cranialis dan bagian 

depan thalamus

• Letakkan otak di atas cawan petri yang besar 

dan steril

• Catat dan laporkan semua kelainan otak dan 

jaringan lain

• Bila memungkinkan, otak dapat dikirimkan 

secara segar ke laboratorium memakai  

es

3. Hippocampus

Apabila pengiriman seluruh otak tidak 

mungkin untuk dilakukan, maka sampel 

yang dikirim cukup bagian hippocampus 

saja.

Prosedur

• Buat irisan longitudinal pada bagian 

permukaan dorsal otak kira-kira 2 cm dari 

garis tengah, irisan melalui masa abu-abu 

dan masa putih diperlebar sampai terlihat 

hippocampus

• Hippocampus terlihat berbentuk semi 

silinder berwarna putih dan berkilauan

4. Kelenjar ludah

Virus tidak selalu ditemukan di kelenjar 

ludah walaupun otak telah terinfeksi 

virus rabies. Namun untuk beberapa alas 

an masih diperlukan pengiriman sampel 

kelenjar ludah ke laboratorium.

Prosedur

• Buka kulit di bagian tengah leher mulai dari 

bawah mulut dengan pisau scalpel

• Kuakkan kulit ke bagian kiri dan kanan. 

Kelenjar ludah akan terlihat berada di bagian 

bawah kulit

• Bersihkan jaringan ikat superfisial kemudian 

ambil sebagian kelenjar ludah untuk dikirim 

ke laboratorium

b. Spesimen untuk pemeriksaan cepat

1. Preparat sentuh

Preparat sentuh harus dibuat dari 

hippocampus otak besar, cortex otak kecil, 

dan otak kecil (yang paling penting yaitu  

hippocampus). Jumlah preparat paing 

sedikit 6 buah dari setiap bagian otak 

ini .

Prosedur

• Buat potongan sedalam 2-3 mm pada jaringan 

otak (hippocampus, cortex otak kecil, dan otak 

kecil) dengan gunting

• Jaringan ini  dipotong dan ditempatkan 

pada kertas atau potongan kayu kecil (batang 

es krim)

• Ambil gelas objek yang steril. Sentuh dan 

tekan sedikit pada permukaan jaringan otak. 

Sentuhakn dibuat pada tiga bagian/tempat 

yang berbeda pada setiap gelas objek

• Dalam keadaan masih lembab, gelas objek 

dimasukkan ke dalam pewarnaan Seller’s


2. Ulas otak

Jaringan yang dipakai  pada preparat 

ulas otak sama seperti preparat sentuh.

Prosedur

• Ambil sedikit jaringan dengan gunting dan 

letakkan pada gelas objek

• Ambil gelas objek lainnya yang steril dan 

tekan serta ulas jaringan pada gelas objek 

pertama sampai jaringan menyebar secara 

homogen dalam area ¾ permukaan gelas 

objek

3. Rolling method

Prosedur

• Gunting sedikit jaringan otak sebesar biji 

kacang kedelai

• Gulingkan di atas gelas objek steril dengan 

sepotong tusuk gigi yang steril

• Warnai dengan pewarnaan Seller’s

c. Spesimen untuk pemeriksaan histopatologis

Spesimen yang diambil yaitu  hippocampus, 

cortex otak besar, dan otak kecil dengan ukuran 

2 x 2 x 2 cm, diawetkan dalam formalin 10% 

dengan perbandingan 1:3 (1 bagian specimen 

3 bagian formalin). Kontainer penyimpanan 

dapat berupa botol dari kaca atau plastik yang 

bersih dan steril.

d. Spesimen untuk pemeriksaan biologis dan FAT

Jaringan yang dipakai  yaitu  hippocampus, 

otak besar, otak keci, dan kelenjar ludah dan 

dimasukkan ke dalam kontainer yang berisi 

gliserin saline 5% dengan perbandingan 1:3 (1 

bagian specimen 3 bagian gliserin saline).

Jenis Pemeriksaan Diagnosa 

Rabies yaitu  penyakit yang sangat berbahaya. 

Selain penularan melalui gigitan, penularan di 

laboratorium juga pernah dilaporkan. Pengerjaan 

specimen harus dilakukan di ruangan yang steril 

dengan level biosekuriti tinggi. Penentuan penyakit 

rabies didasarkan riwayat penyakit, gejala klinis, 

kelainan pasca mati yang diteguhkan dengan hasil 

pemeriksaan laboratorium.

Beberapa metode yang dapat dipakai  untuk 

mendiagnosa penyakit rabies yaitu  sebagai berikut:

1. FAT (fluorescent antibody technique)

Rabies pada hewan dapat dicurigai 

berdasar  sejarah gigitan dan tanda-tanda 

klinis, tapi konfirmasi laboratorium melalui 

FAT (flurorescent antibody test) sebagai