Kamis, 22 Februari 2024

waralaba 6





 ted circuit 

design). 

Sebagai contoh, Anda memiliki sebuah usaha kreatif pem-

buatan tahu dari susu sapi murni. Usaha Anda tergolong unik 

sebab Anda menemukan suatu metode pembuatan tahu dari 

susu sapi murni yang tentunya sangat bergizi. Anda memiliki 

nama usaha dan merek yang Anda cantumkan pada label, 

katakanlah Panir&Co.  

Untuk melindungi Panir&Co dari tindak pemalsuan, plagiar-

isme, dan peniruan lain yang tidak bertanggung jawab, Anda 

harus mendaftarkan kreasi usahan Anda itu. Dalam usaha Anda 

ada unsur-unsur sebagai berikut: (1) Nama usaha atau merek 

dagang; (2) teknik atau metode pengolahan; (3) prosedur 

standar pembuatan tahu susu yang baku; (4) keunikan tahu susu 

Anda, cara pengepakan, dan rasanya. Keempat substansi usaha 

Anda ini adalah aset kekayaan intelektual yang harus Anda 

proteksi. Karena itu, Anda setidaknya harus memiliki empat jenis 

proteksi. Pertama, untuk melindungi nama usaha dan merek 

dagang Anda, Anda harus memiliki hak merek. Dengan hak 

merek, brand, logo, slogan dan unsur-unsur merek Anda 

dilindungi oleh hukum. Jika ada pihak yang menjiplak, Anda 

bisa meminta royalti kepadanya. 

Kemudian, untuk melindungi teknik rahasia dan metode 

pengolahan tahu susu Anda, terdapat dua jenis hak, yakni hak 

paten dan hak cipta desain industri. Hak paten dipakai  untuk 

menyatakan bahwa Andalah pencipta suatu alat, perangkat, 

atau algoritma. Hak paten inilah yang membuat Edison meme-

nangkan paten atas penemuan lisrik AC/DC, sebab Nikola Tesla 

terlambat mempatenkan temuannya. Jadi, jika Anda memiliki 

ciptaan yang unik, segeralah patenkan agar tidak diambil alih 

orang lain. bila  Anda telah memiliki paten atas karya Anda, 

Anda bisa dibayar royalti milyaran rupiah tanpa harus bekerja 

jika kreasi Anda ternyata memiliki prospek luar biasa bagi 

warga . 

Sementara itu, hak cipta desain industri dipakai  untuk 

menyatakan dengan sah bahwa Anda adalah pencipta desain 

tahu susu Anda, baik dari cita rasa, bahan dan sebagainya. Anda 

juga bisa melindungi kerahasiaan resep Anda dengan perlin-

dungan rahasia dagang. 

Di sisi lain, hak cipta bisa Anda gunakan untuk membaku-

kan bentuk tertulis dari prosedur pembuatan tahu susu Anda. 

Jadi, hak cipta terkait dengan bagaimana Anda menulis resep 

itu untuk kali pertamanya. Jadi, jika ada orang yang mengutip 

resep Anda untuk buku atau jurnalnya, secara hukum Anda 

berhak memintainya royalti. 

sesudah  Anda benar-benar yakin bahwa trademark Anda 

telah dilindungi hukum, saatnya berekspansi. Anda bisa mema-

jang logo, mempromosikannya di media sosial dan memajang-

nya di berbagai media tanpa takut dijiplak. Sebuah perusahaan 

waralaba pasti memiliki hak trademark (yang biasa disingkat TM 

dengan lingkaran kecil di sudut setiap merek). Anda bisa 

melihat judul-judul film franchise Holywood yang selalu 

memiliki tanda TM di sudutnya. Ini adalah tanda bahwa mereka 

telah memiliki hak trademark sebagai syarat paling pokok 

sebuah franchise.  

Bidang usaha waralaba sebagai jenis usaha yang berkon-

tribusi dalam peningkatan kesejahteraan warga  tentunya 

mendapat  perlindungan hukum di Indonesia. Tahun 1985, 

saat belum ada pengaturan hukum mengenai waralaba, 

pemerintah berpatokan pada Yurisprudensi MA Nomor 

3051/K/Sip/1981 tentang pemberian lisensi merek. Ini adalah 

cikal bakal perlindungan hak merek di Indonesia. Sebelum 

lahirnya perlindungan hukum yang paling pertama ini, 

perjanjian waralaba di Indonesia masih bisa dikatakan belum 

kuat karena tidak ada payung hukumnya7. 

Singkat cerita, lisensi merek kemudian dikukuhkan kembali 

dalam Undang-Undang Merek Nomor 19/1992 (yang 

diperbaharui dengan Undang-Undang No. 14/1997. Ada pula 

perlindungan desain produk industri dengan dikeluarkannya 

Undang-Undang No. 5/1984 tentang perindustrian, dan 

Undang-Undang No. 6/1982 tentang hak cipta (yang kemudian 

diganti dengan Undang-Undang No. 7/1987. Barulah pada saat 

itu Indonesia memiliki payung hukum yang jelas terkait hak 

cipta dan hak kekayaan intelektual meskipun belum secanggih 

sekarang. 

Peraturan tentang waralaba kala itu hanya diatur dalam 

Peraturan Pemerintah No. 16/1997 tentang waralaba. Meskipun 

kurang rinci, peraturan ini setidaknya memberi perlindungan 

bagi usaha waralaba di Indonesia, sebab waralaba adalah 

segitiga antara perserikatan, merek dan perjanjian. Kemudian, 

peraturan mengenai waralaba kembali diperbaharui dengan 

Peraturan Pemerintah No. 42/2007 tentang waralaba. 

Karena waralaba telah memiliki landasan dan perlindungan 

hukum, baik dari sisi operasional maupun hak atas kekayaan 

intelektual, ini juga berarti bahwa waralaba harus mematuhi 

perundang-undangan yang terkait dengan hak dan kewajiban-

nya, baik secara internal maupun yang bersentuhan dengan hak 

dan kewajiban pihak lain. Terkait dengan ketenagakerjaan, pihak 

penerima waralaba harus mematuhi perundang-undangan ter-

kait ketenagakerjaan sebab pihak penerima waralaba mempe-

kerjakan tenaga kerja. Ada kewajiban kepada pekerja (upah 

minium, jaminan sosial dan kesehatan, serta tunjangan) dan 

kewajiban-kewajiban lain yang harus dipenuhi, termasuk 

kewajiban wajib lapor ketenagakerjaan. 

                                                           

Dalam bidang perpajakan, ada pajak terkait hak merek yang 

ditangung atas penyerahan hak kekayaan intelektual dari 

pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Ada pula pajak-

pajak lain seperti pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan 

nilai, serta pajak penghasilan. 

Selain itu, pihak-pihak yang terlibat dalam usaha waralaba 

harus mendaftarkan perusahaannya ke dinas perizinan masing-

masing kabupaten/kota. Ini terkait dengan kepengurusan 

Nomor Induk Berusaha (NIB) yang kini bisa diproses daring 

lewat portal OSS online. Melalui portal ini , penerima 

waralaba akan mendapat  sertifikat NIB dan Izin Usaha (yang 

dulu dikenal dengan SIUP—Surat Izin Usaha Perdagangan). Buat 

Anda yang belum pernah mengurus NIB dan SIUP, pengalaman 

pertama bisa menjadi kenangan tak terlupakan sebab 

persyaratannya memerlukan persiapan yang lumayan panjang. 

Satu peraturan lagi yang mesti ditaati oleh pemberi 

maupun penerima waralaba adalah larangan praktik monopoli 

dan persaingan usaha yang tidak sehat sesuai dengan Undang-

Undang No. 5/1999. Ada pula peraturan yang mesti ditaati 

pelaku usaha warlaba sesuai dengan Undang-Undang No. 

20/2008 tentang UMKM, terutama pasal-pasal yang terkait 

dengan kemitraan. 

Aturan hukum juga sangat diperhatikan bagi waralaba-

waralaba di luar negeri. Nisar8, misalnya, melakukan studi kasus 

pada dua merek waralaba internasional Dunkin Brands dan 

Domino‘s Pizza. Karena hak kekayaan intelektual mereka dipakai 

di negara-negara yang berbeda dengan aturan yang berbeda, 

mereka harus memastikan bahwa sekuritas hukum terhadap hak 

kekayaan intelektual mereka tetap kuat walaupun melintasi 

batas-batas negara. Suatu waralaba harus memiliki modal untuk 

tumbuh dan menjaga hubungan antara franchisor dan franch-

                                                           

isee, sehingga pihak franchisor harus berusaha meningkatkan 

keuangan dengan cara pemanfaatan aset-aset yang tidak 

berwujud (intangible assets). Di antara semua aset ini , hak 

kekayaan intelektual adalah yang paling signifikan. Sebuah 

perusahaan waralaba bisa menarik royalti pemakaian hak 

kekayaan intelektualnya walaupun melintasi batasan negara. 

Dengan cara demikian, pemberi waralaba bisa mengembangkan 

bisnisnya secara lebih baik. 

Mempertimbangkan usaha waralaba yang semakin meng-

akar dalam warga  Indonesia milenial, Kementerian 

Perdagangan kembali menerbitkan Peraturan Menteri Perda-

gangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang waralaba. Peraturan 

menteri ini menjadi tonggak hukum teranyar tentang waralaba 

yang merevisi empat permendag sebelumnya. Yang menarik 

dari peraturan menteri ini adalah banyaknya aksesibilitas yang 

dibuka oleh pemerintah. Sebagai contoh, di sana tidak ada 

aturan mengenai jumlah threshold atau batasan maksimum 

gerai waralaba, TKDN9 dan master franchise threshold bagi 

pemberi waralaba asing. 

Terbitnya peraturan kementerian ini membuat para pelaku 

usaha kecil menengah menjadi waswas. Tak hanya itu, peda-

gang tradisional pun bakal kena imbas. Namun pemerintah 

meyakinkan bahwa walaupun tidak ada batasan threshold dalam 

jumlah gerai, masih ada kekuatan hukum berupa peraturan 

daerah yang memberi batasan jumlah gerai sesuai dengan 

zonasi yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 

2007. 

Peraturan kementerian perdagangan ini sebenarnya mem-

buka peluang bagi penanam modal dalam negeri untuk 

mengembangkan usaha dalam bentuk waralaba. Meskipun me-

                                                          

rek usahanya adalah merek luar negeri, tetap saja yang menja-

lankan usaha waralaba adalah orang Indonesia. Ini berbeda 

dengan sistem cabang, di mana keuntungan sepenuhnya masuk 

ke headquarters. 

Kisah Go-Jek sang ‘Hantu’ Hukum 

Dari dalam negeri, ada kasus menarik terkait ranah hukum 

yang memayungi praktik bisnis waralaba. Yang masih menjadi 

topik tren adalah tentang payung hukum yang mengatur Go-

Jek. Walaupun telah beroperasi beberapa tahun dan bahkan 

membuka cabang di negara-negara tetangga, Go-Jek ternyata 

tidak punya payung hukum yang mengatur aktivitasnya10. 

Bahkan, transportasi ojek konvensional pun tidak punya 

hukum yang mengatur. Dalam Undang-Undang Nomor 22 

Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, ojek tidak 

memiliki legalitas. Sementara itu, dalam Permenhub Nomor PM 

108 Tahun 2017, ojek juga tidak memiliki tata aturan 

operasional walaupun ojek tergolong dalam jenis transportasi 

paratransit, atau angkutan orang dengan kendaraan bermotor 

tidak dalam trayek. Permenhub ini  juga tidak menye-

butkan sepeda motor sebagai angkutan orang dengan kenda-

raan bermotor umum tidak dalam trayek. Yang tergolong moda 

transpotasi jenis ini adalah ―angkutan yang dilayani dengan 

mobil penumpang umum atau mobil bus umum dalam wilayah 

perkotaan dan/atau kawasan tertentu atau dari suatu tempat ke 

tempat lain, mempunyai asal dari suatu tempat ke tempat lain, 

mempunyai asal dan tujuan tetapi tidak mempunyai lintasan 

dan waktu tetap.‖ Dengan demikian, jelas ojek (yang memakai 

sepeda motor) bukan termasuk angkutan orang dengan 

kendaraan bermotor tidak dalam trayek. Karena itu, ojek sepeda 

motor sebenarnya masih belum memiliki legalitas secara hukum 

                                                           

untuk beroperasi resmi sebagai angkutan orang, namun hanya 

kendaraan bermotor umum. 

Di sisi lain, kini ojek daring tidak hanya berfungsi mengan-

tarkan orang, namun juga barang dan makanan. Otomatis, ojek 

daring menimbulkan kasus baru lagi,—bahwa ia bukan hanya 

angkutan orang, namun juga barang. Ia melayani jasa pengan-

taran barang dan orang, namun tidak memiliki aset berupa 

sepeda motor layaknya perusahaan taksi konvensional berplat 

kuning atau perusahaan jasa kurir barang. Dengan kata lain, ia 

melayani jasa transportasi, namun tidak memiliki alat trans-

portasi. Nyatanya, ia adalah sebuah program aplikasi berbasis 

platform transportasi, yang menghubungkan calon pengguna 

jasa dan alat transportasinya. Karena itu, jadilah ojek daring 

(semacam Go-Jek dan sejenisnya) sesosok ‗hantu‘ hukum yang 

sakti, layaknya sosok yang bisa berubah-ubah wujud sehingga 

tidak ada payung hukum pasti dan tepat yang bisa mengatur 

ruang pergerakannya.  

Keberadaan ‗hantu‘ hukum yang sakti ini adalah salah satu 

efek dari digitalisasi. Tatkala suatu usaha beralih ke modus 

digital, terutama platform, Anda bisa menjadi penjual sayur 

tanpa perlu menanam sayur. Anda bisa jadi penjual barang-

barang bekas tanpa harus membuka toko. Anda menjadi 

maya,—nyatatapi seolah-olah tidak nyata. Ada namun tiada. 

Inilah permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh para 

perumus aturan hukum di era milenial ini. 

Kekosongan aturan hukum ini membuat Go-Jek bagaikan 

hantu hukum yang nyaris tidak bisa ‗dirantai‘ oleh produk 

hukum mana pun saat ini, sebab Go-Jek adalah ‗makhluk baru‘ 

berbasis platform yang lahir di ranah digital. Jadi, Go-Jek adalah 

subyek hukum (termasuk pula wajib pajak) yang hidup di 

tataran dimensi aktivitas yang lebih tinggi sehingga aturan 

hukum yang dimensinya sesuai harus dirancang untuk dapat 

mengatur ruang geraknya. 

Yang menjadi sumber kekhawatiran berbagai pihak adalah 

karena belum ada undang-undang yang spesifik mengatur 

tentang definisi, jenis usaha dan aturan operasional ojek daring, 

maka ojek daring kemungkinan besar melakukan kesewenang-

wenangan kepada pihak-pihak yang terkait dengannya. Sebagai 

contoh, Go-Jek adalah sebuah perusahaan yang menjalin kerja 

sama mitra,—yang bisa digolongkan sebagai waralaba antara 

sebuah badan usaha dengan individu sebab adanya 

pembayaran royalti dan pemakaian  hak kekayaan intelektual. 

Namun yang terjadi adalah, tatkala seseorang berminat 

menjalin kerja sama dengan menjadi driver Go-Jek, Go-Jek 

hanya memberikan pilihan setuju dan tidak setuju dalam 

pernyataan perjanjian elektronik dalam aplikasinya. Secara 

hukum, ini berpotensi memunculkan apa yang dikenal sebagai 

ketidakseimbangan perjanjian kemitraan,

Seharusnya, dalam sebuah perjanjian kemitraan, ada diskusi 

antara pemberi dan penerima waralaba, sehingga terjalin suatu 

kesepakatan kedua belah pihak. Sementara itu dalam kasus Go-

Jek, penerima waralaba seolah hanya diberikan pilihan ‗setuju‘ 

dan ‗tidak setuju‘. Dengan kata lain, Go-Jek-lah yang menen-

tukan semua kesepakatan. 

Karena tidak adanya payung hukum yang kuat untuk 

mengatur operasional Go-Jek, dan karena tidak adanya perjan-

jian yang seimbang antara kedua belah pihak, maka pihak Go-

Jek bisa saja sewenang-wenang menaik-turunkan harga, 

mengambil persentase keuntungan dan mencabut izin driving 

tanpa pemberitahuan. Ini tentu merugikan pihak penerima 

lisensi aplikasi Go-Jek. Karena itulah terjadi demo driver Go-Jek 

besar-besaran beberapa waktu silam untuk menuntut penga-

turan dari pemerintah. Kini, tarif ojek daring telah diatur oleh 

pemerintah, dan syukurlah situasi kembali kondusif. 

                                                           

Meskipun secara legalitas ojek daring belum mendapat  

payung hukum yang kuat dan tegas, secara sosial ekonomi ojek 

daring sangat membantu warga . warga  yang 

mendambakan sistem transportasi yang bisa mudah diakses, 

pengiriman barang dalam kota yang cepat dan murah, atau 

pengiriman makanan siap saji pasti memilih ojek daring.  

Masalah selanjutnya diuraikan dalam Mawanda & Muhshi 

(2019): 

 

“Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak 

Dalam Trayek adalah angkutan yang dilayanidengan mobil 

penumpang umum atau mobil bus umum dalam wilayah 

perkotaandan/atau kawasan tertentu atau dari suatu tempat 

ke tempat lain, mempunyai asal dari suatu tempat ke tempat 

lain, mempunyai asal dan tujuan tetapi tidak mempunyai 

lintasan dan waktu tetap.” Sehingga ojek dengan 

memakai  sepeda motor bukan merupakan angkutan 

orang dengan kendaraan bermotor tidak dalam trayek. Dalam 

UUNo. 22 Tahun 2009 dan Permenhub No. PM 108 Tahun 

2017 tidak menyebutkanlarangan beroperasinya ojek sepeda 

motor. bila  dilihat dari segi regulasi, ojek sepeda motor 

tidak mempunyai legalitas untuk beroperasi sebagai 

angkutan orang, tetapi hanya diakui sebagai kendaraan 

bermotor umum.12” 

 

Selain itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan pun tidak bisa 

menjerat ojek daring karena hubungan antara driver dengan 

perusahaan ojek daring bukan sebagai pekerja (employee), 

namun mitra yang memakai  hak kekayaan intelektual 

dengan imbalan berupa royalti. Yang unik adalah, dalam 

AD/ART Go-Jek sendiri, pihaknya dengan jelas menyebutkan 

bahwa Go-Jek bukan perusahaan transportasi, namun sebuah 

perusahaan teknologi aplikasi mobile yang praktiknya adalah 

menghubungkan pihak pemilik alat transportasi dengan mereka 

yang membutuhkan jasa transportasi. Jadi, Go-Jek juga tidak 

bisa diatur oleh Undang-Undang LLAJ. Pintar, bukan? 

                                                           

Undang-Undang Waralaba pun tidak bisa menjerat Go-Jek 

sebab Go-Jek tidak memiliki perjanjian kemitraan antara kedua 

belah pihak. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, 

perjanjian itu hanya berupa terms and conditions yang diberi 

opsi ‗setuju‘ dan ‗tidak setuju‘. Ini yang membuat Go-Jek 

berbeda dengan waralaba pada umumnya, sehingga Undang-

Undang Waralaba tidak bisa menentukan sanksi kepada pihak-

pihak Go-Jek dan mitranya sebagai entitas waralaba. 

Satu lagi yang menjadi pekerjaan rumah bagi para ahli 

hukum di Indonesia adalah terkait dengan perjanjian kemitraan. 

Dalam hukum di Indonesia, belum ada pengertian yang tepat 

mengenai perjanjian kemitraan13, terutama yang terkait dengan 

perjanjian ‗instan‘ dengan opsi let‘s agree to disagree ala 

milenial. Selama ini, perjanjian kemitraan yang tidak diatur 

secara spesifik termasuk ke dalam perjanjian tak bernama14 atas 

landasan kebebasan berkontrak. Mengenai definisi selanjutnya, 

belum ada peraturan yang memuatnya secara spesifik dan 

komplet.  

Karena itu, untuk menjaga hubungan yang baik antara 

pihak penyedia aplikasi ojek daring dan mitra-mitranya, peme-

rintah memberlakukan peraturan preventif dan represif. Peratur-

an preventif tertuang dalam Permenhub Nomor 12/2019 

tentang keselamatan dan keamanan pengemudi dan pengusaha 

aplikasi. Di sisi lain, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 

348 Tahun 2019 menyebutkan tentang tarif jasa pemakaian  

sepeda motor berbasis aplikasi. Kedua peraturan ini untuk 

sementara dapat meredam berbagai ketimpangan yang terjadi 

terkait ojek daring. 

Secara represif (perlindungan hukum akhir sesudah  pelang-

garan atau sengketa terjadi) masih terkendala. Menurut 

peraturan yang ada, tindakan hukum terhadap pelanggaran 

                                                           

akan diproses di pengadilan negeri, namun ini terkait dengan 

domisili. bila  ini diterapkan, maka Go-Jek dan perusahaan 

ojek daring lainnya harus memiliki kantor di setiap 

kabupaten/kota agar perkara bisa diselesaikan di pengadilan 

negeri masing-masing kabupaten/kota. Sementara ini, kantor 

pusat Go-Jek berada di Jakarta Selatan. Jika perkara terjadi di 

Bali, maka pihak mitra harus pergi ke Jakarta Selatan untuk 

memproses kasusnya. Tentu ini akan sangat memberatkan. 

Demikian sekilas tentang case hukum untuk perusahaan 

ojek aplikasi di Indonesia. Kasus unik ini memberi kita gambaran 

bahwa sudah saatnya mata hukum di-upgrade sehingga mampu 

melihat dan mengatur akivitas di ranah digital. Peraturan hukum 

yang kompleks dan highly adaptive diperlukan untuk mengatur 

aktivitas digital, sebab dalam dunia digital, segala sesuatu bisa 

berubah-ubah kapan dan di mana saja. 

Waralaba dan Pasar Tradisional 

Membahas mengenai rival, sinergi dan elemen-elemen 

penting dalam waralaba di era digital, kita tidak bisa lepas dari 

pasar tradisional. Pasar tradisional bukan sebuah rival bagi 

waralaba, namun kenyataannya waralabalah yang dianggap 

menjadi rival bagi pasar-pasar tradisional15. Di Medan, contoh-

nya, keberadaan toko waralaba ritel mematikan pasar tradisi-

onal karena lokasinya yang tidak diatur oleh perda. Di beberapa 

desa pakraman di Bali, waralaba ritel dilarang mendirikan gerai 

di wilayah adat karena berpotensi mematikan pedagang di 

pasar tradisional dan para pelaku usaha kecil-menengah. 

Jika dilihat dari sisi konsumen, kehadiran waralaba ritel 

memang memudahkan akses barang kebutuhan sehari-hari. 

Lagipula, kondisi pertokoan ritel memang lebih bersih dan 

                                                           

tertata daripada pasar-pasar tradisional yang pada umumnya 

kotor, rawan pencopetan dan seringkali tidak higienis. Selain itu, 

tidak bisa dimungkiri bahwa gaya hidup berlatar esteem-

economy lagi-lagi mempengaruhi pola pikir warga  dalam 

berbelanja. Menurut perspektif esteem economy, berbelanja kini 

identik dengan barkode, QR code, kartu-kartu, dan kasir 

modern. Sementara itu, pasar tradisional tidak menyediakan 

semua itu. Secara esteem, pamornya memang kalah. Namun 

demikian, dalam sub-bab ini ada satu hal unik mengenai pasar 

tradisional yang akan mengubah paradigma berbelanja dalam 

atmosfer esteem ini. 

Ada beberapa peraturan hukum yang mengatur kebera-

daan pasar tradisional di Indonesia. Pasar tradisional adalah 

salah satu kekayaan budaya Indonesia yang mencerminkan 

adanya interaksi sosial secara langsung melalui kegiatan tawar-

menawar dan pertukaran barang dan/atau jasa. Karena itu, 

pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah menerbit-

kan Permendag Nomor 53 Tahun 2008 mengenai pedoman 

penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan 

dan toko modern. Pedoman ini dijadikan rujukan bagi peme-

rintah provinsi dan kabupaten untuk mengatur perkembangan 

pusat-pusat perbelanjaan modern, ritel waralaba dan pasar 

tradisional agar perputaran modal tetap berjalan lancar dan 

tidak ada monopoli. Selain itu, ada pula Peraturan Menteri 

Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014 dan Peraturan 

Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2012 yang mengatur 

tentang pasar tradisional.  

 

Gambar 4.6 | Ada banyak jenis produk khas yang hanya bisa ditemukan di 

pasar tradisional di Bali. Ini membuat keberadaan pasar tradisional di Bali 

masih vital untuk mendukung pemenuhan kebutuhan harian warga .  

 

 

Fakta membuktikan bahwa pasar modern di Indonesia 

tumbuh sebesar lebih dari 30% per tahun sementara pasar 

tradisional menyusut 8% per tahun16. Padahal, pasar tradisional 

adalah salah satu ikon perekonomian Indonesia. Tidak hanya 

pedagang dan pembeli yang berperan dalam pasar tradisional, 

namun juga petani, pelaku usaha keuangan desa (seperti LPD,—

Lembaga Perkreditan Desa yang dikelola desa pakraman di 

Bali), buruh angkut, dan sebagainya.  

Permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi di pasar 

tradisional ternyata pernah terjadi di Jepang tatkala toko-toko 

modern mulai masuk pada era Restorasi Meiji. Jepang kala itu 

membuka hubungan luar negeri, dan banyak jenis usaha inter-

nasional masuk ke negeri itu. Pasar tradisional berganti menjadi 

                                                           

toko-toko yang lebih modern, dan terjadi ketimpangan dalam 

perputaran modal. Ini menyebabkan para pedagang kecil mati 

kutu. Kemudian, Jepang mengandalkan kreativitas. Pasar tradisi-

onal disulap menjadi pasar yang bernuansa modern namun 

tetap mengedepankan ciri kebudayaan tradisional Jepang. Ada 

label-label harga dalam setiap kios, dan orang-orang boleh 

membayar dengan kartu kredit. Di pasar-pasar tradisional, 

pembayaran untuk semua kios dilakukan di sistem pembayaran 

satu pintu, sehingga kesan berbelanja di kios-kios pasar 

tradisional Jepang sangat berbeda dengan stereotip pasar 

tradisional pada umumnya. 

Inilah yang kemudian diadaptasi oleh pemerintah Provinsi 

Bali di tahun 2018. sesudah  kebakaran hebat yang melanda 

Pasar Badung beberapa tahun silam, pemerintah Provinsi Bali 

kembali membangun Kompleks Pasar Badung dengan nuansa 

tradisional-milenial. Kini, para pedagang di kios-kios Pasar 

Badung bisa menerima pembayaran daring dengan hanya 

memindai (men-scan) kode QR di masing-masing kios. Tak 

hanya itu, Pasar Badung dilengkapi dengan 18 titik wifi gratis, 

lahan parkir bawah tanah yang luas, pemandangan sungai yang 

sejuk, serta berbagai macam lapak panganan khas Bali maupun 

daerah-daerah lain. Kini, berkat inovasi teknologi dari pemerin-

tah dan pihak-pihak terkait, Pasar Badung menjadi destinasi 

wisata belanja favorit di kota Denpasar dan menjadi ikon pasar 

tradisional paling keren di Bali,—bahkan di Indonesia. 

Jika seandainya Pasar Badung tidak disulap menjadi pasar 

tradisional ber-wifi dan bergaya swalayan, keberadaan pasar 

tradisional di Bali masih sangat vital bagi kehidupan warga  

Bali. Dengan kata lain, pasar tradisional sebagai simpul pere-

konomian warga  Bali masih berada dalam tahap sehat dan 

masih menjadi andalan dalam perputaran modal dan peme-

nuhan kebutuhan sehari-hari warga ,

Ada beberapa kelebihan yang menyebabkan pasar tradisi-

onal di Bali masih hidup dan tetap berjaya mengarungi arus 

zaman. Kelebihan pertama, yang tidak dimiliki oleh pasar 

tradisional di daerah lain, adalah sistem pasar sebagai bagian 

integral dari sebuah desa adat. Desa adat, atau yang kini po-

puler dengan istilah desa pakraman, pada umumnya harus 

memiliki sebuah pasar tradisional yang terletak dekat dengan 

catuspata, atau perempatan utama desa. Keberadaan pasar 

tradisional dalam pakem adat Bali menjadi salah satu bagian tri 

hita karana yang menjurus pada hubungan manusia dengan 

sesamanya. Karena itu, sebuah desa adat memiliki tanggung 

jawab memelihara keberadaan pasar tradisionalnya sebagai 

simpul perekonomian warga desa. Secara religi, sebuah pasar 

tradisional pasti memiliki sebuah pura khusus bernama Pura 

Melanting, yang dikelola oleh para pedagang dan warga  

desa setempat. Jadi, secara pakem religi, sebuah desa harus 

memiliki sebuah Pura Melanting, sehingga dengan sendirinya 

sebuah desa harus memelihara pasar tradisionalnya. Inilah 

keunikan pakem adat Bali yang tidak dimiliki daerah lain. 

Kelebihan kedua datang dari jenis permintaan konsumen. 

Pasar modern dan ritel waralaba tidak bisa memenuhi kebutuh-

an warga  Bali akan bahan-bahan alami untuk upacara 

keagamaan. warga  Bali yang sebagian besar beragama 

Hindu dan memegang tradisi yang unik memerlukan banyak 

bahan-bahan alami yang hanya bisa diperoleh dari pasar 

tradisional. Menjelang hari raya, warga  Bali memerlukan 

berikat-ikat janur (yang tidak akan pernah bisa ditemukan 

                                                           

dalam list barang promo di Alfamart atau Indomaret), buah 

pala, kelapa muda, sirih, rempah-rempah, bambu gelondongan, 

hingga canang18. Beberapa swalayan modern di Denpasar telah 

mencoba menjual canang segar dan menaruhnya di dalam pen-

dingin, namun pedagang canang di tepi pasar tradisional tetap 

jadi pilihan nomor satu.  

Kehadiran Lembaga Perkreditan Desa (LPD) adalah kele-

bihan ketiga yang dimiliki pasar tradisional di Bali. Ada sinergi 

yang sangat kuat antara pasar tradisional dan LPD. Para 

pedagang bisa meminjam modal di LPD dengan bunga ringan. 

Sementara itu, LPD tetap dapat tersokong dengan adanya per-

putaran ekonomi di dalam pasar, termasuk retribusi parkir, 

kredit dan pemungutan iuran wajib. 

Kelebihan-kelebihan ini  bisa menjadi bahan kajian 

yang sangat menarik baik dalam bidang ekonomi, manajemen, 

maupun ilmu budaya dan religi. Keunikan warga  Bali 

dengan konsep keseimbangan tri hita karana adalah gabungan 

yang tak terpisahkan dari sistem religi, budaya, ekonomi, sosial, 

pertahanan dan keamanan yang berada dalam satu pakem 

tradisi yang sedemikian kompleks. Sinergi elemen-elemen 

budaya ini menyebabkan pasr tradisional Bali mampu bertahan 

di era milenial.  

Kasali19 menuliskan fenomena shifting yang terjadi dalam 

kebudayaan Bali. Ia mencontohkan pemesanan bahan-bahan 

upacara yang kini bisa dipesan secara daring. Walaupun 

demikian, tetap saja bahan-bahan upacara ini  tersedia di 

pasar-pasar tradisional. Pasar tradisional adalah muara dari 

sumber daya alam Bali yang berbasis religi dan budaya, 

sehingga keberadaannya patut dilestarikan. 

                                                           

Melalui peraturan daerah yang diperkuat oleh aturan-

aturan desa (yang disebut awig-awig), warga  Bali telah 

melaksanakan tindakan preventif maupun represif terhadap 

berkembangnya ritel modern di berbagai pelosok. Beberapa 

desa adat bahkan melarang ritel beroperasi di wilayah desa adat 

untuk mencegah matinya pasar tradisional. Beberapa desa 

memberlakukan pungutan yang tinggi untuk membantu me-

nyokong kehidupan warga desa, sementara di desa-desa lain 

ritel masih boleh didirikan dengan sistem zonasi dan kuota 

jumlah gerai. 

Penggerak mobilitas dan demografi 

Ada satu pepatah kapitalis yang berbunyi, ―Uang adalah 

energi. Untuk bergerak, Anda memerlukan energi, dan dengan 

energi itu Anda mengambil lebih banyak lagi energi.‖ Waralaba 

beroperasi dengan prinsip ini. Ia mengumpulkan energi berupa 

simpul-simpul franchisee di banyak tempat, lalu menghimpun 

energi itu dan berkembang lagi. Sebagai tangan kanan 

kapitalisme, waralaba adalah generator energi dalam bentuk 

income yang besar dan ekspansi yang juga cepat. Bagaikan 

sumber energi yang besar, waralaba berperan dalam 

menggerakkan sektor-sektor kehidupan manusia, misalnya dari 

sisi mobilitas, demografi, dan urbanisasi. 

Dari sisi kesejahteraan warga , waralaba bisa membuka 

lapangan pekerjaan yang jauh lebih luas daripada toko 

konvensioal, terutama dalam sektor ritel. Sebagai bayangan, 

bila  satu toko waralaba ritel 24 jam memiliki 3 shift setiap 

hari dengan delapan pegawai per shift, maka mereka akan 

menyerap 24 pegawai per toko. bila  ada seratus toko, maka 

ada 2.400 tenaga kerja yang bisa diserap. Menurut data WALI 

(Asosiasi Waralaba dan Lisensi Indonesia) tahun 2019, porsi 

pemasukan minimarket waralaba adalah sebesar Rp 50 triliyun 

per tahun, atau sekitar 40% dari total semua jenis waralaba di 

negeri ini. Menurut data ini , kemampuan waralaba ritel 

untuk menyerap tenaga kerja sangatlah tinggi. Jadi, dari sisi 

tenaga kerja, tentu saja waralaba amat membantu memperbaiki 

kesejahteraan warga . 

Lebih lanjut lagi, waralaba juga berperan besar dalam 

mendorong urbanisasi dan meningkatkan persentase penglaju 

per hari. Mari kita lihat contoh data di kota Denpasar. Jumlah 

penduduk migran di kota Denpasar adalah sejumlah 415.417 

jiwa20. Sebagian bekerja di sektor swasta, dan sisanya di sektor 

pariwisata dan memiliki usaha sendiri. Sektor waralaba ritel 

menjadi mata pencaharian banyak penduduk pendatang.Yang 

mengejutkan adalah, jumlah penduduk migran mencakup 60% 

dari total jumlah penduduk Kota Denpasar,—lebih banyak 

daripada penduduk asli. Tak heran jika setiap hari raya 

Galungan dan Kuningan, jalanan Denpasar jadi lenggang karena 

penduduknya sebagian pulang kampung. 

Urbanisasi yang besar ini juga berdampak pada demografi, 

ketersediaan lahan, perumahan, keamanan dan juga pelayanan 

publik. Dengan arus urbanisasi yang besar, akan terbentuk 

pusat-pusat hunian baik permanen, kontrakan maupun indekos. 

Di pusat-pusat urbanisasi seperti inilah kerap terjadi banyak 

konflik sehingga tingkat keamanan menjadi hal yang sangat 

riskan.                                                          

Keuntungan lain yang didapatkan warga  dengan 

hadirnya waralaba adalah dipermudahnya akses bahan 

kebutuhan sehari-hari bagi penduduk di daerah penggiran kota. 

Dengan sistem waralaba yang ‗sama di mana saja‘, distribusi 

barang menjadi lebih mudah. Penduduk pinggiran tidak perlu 

lagi datang ke pusat kota untuk membeli barang-barang ber-

kualitas. Semuanya telah didistribusikan oleh pemberi waralaba 

dengan sistem dan patokan harga yang nyaris tidak berbeda. 

Tak hanya itu, sistem waralaba (terutama ritel) memiliki jaringan 

distribusi yang cepat sehingga akses ke tempat-tempat yang 

jauh pun bisa dilayani dengan baik. 

Dari sisi positifnya, waralaba memiliki sisi praktikal yang 

menguntungkan. Yang buruk dari sebuah waralaba adalah 

hanya ketika ia menjadi besar sendiri dan melakukan monopoli. 

Sebuah kasus yang terjadi beberapa tahun silam di sebuah desa 

adat di Badung, Bali, menjadi contohnya. Sebuah toko ritel 

waralaba dibangun tepat di depan pasar tradisional. Penerima 

waralabanya adalah seorang penduduk desa. Beberapa bulan 

sesudah  ritel itu dibuka, pengunjungnya kian bertambah. Pem-

beli yang biasanya berbelanja ke warung-warung konvensional 

mulai berpindah ke toko ritel itu sebab harganya lebih murah 

dan cara berbelanjanya lebih mudah.  

Kemudian terjadilah protes dari pedagang yang kehilangan 

pembeli. Toko ritel itu pun ditutup atas permintaan aparat desa 

karena berpotensi menurunkan pendapatan pedagang. sesudah  

kasus itu, desa adat memberlakukan larangan bagi waralaba 

untuk membuka ritel di wilayah desa ini . Toko bekas ritel 

ini  kini menjadi toko buah konvensional. 

Kejadian ditutupnya toko ritel ini terjadi sebelum pemerin-

tah Provinsi Bali memberlakukan perda mengenai zonasi toko 

ritel. Padahal, telah ada Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 

2007 kala itu, namun tampaknya beberapa aspek dari peraturan 

itu belum benar-benar dirasakan oleh warga . Barulah 

kemudian tatkala perda diberlakukan, ada keseimbangan antara 

ruang gerak pasar tradisional dan toko-toko modern.  

Agen perubahan sosial budaya 

Sisi lain yang dipengaruhi oleh waralaba ada dalam ranah 

sosial dan budaya. Yang signifikan adalah pemakaian  media 

sosial dalam interaksi dan membangun hubungan dengan 

pelanggan atau penerima waralaba. Sebuah penelitian yang 

dilakukan oleh Kacker dan Perrigot21 mengungkap bahwa dari 

500 usaha waralaba di Amerika Serikat, hampir semuanya 

memakai  media sosial dalam mempromosikan waralaba 

mereka. Yang mengejutkan adalah, para konsumen dan calon 

penerima waralaba tidak tertarik dengan berapa lama suatu 

pemberi waralaba telah berdiri. Yang mereka perhatikan adalah 

kelengkapan informasi dan besarnya merek yang ditawarkan 

oleh pemberi waralaba. Ini menandakan bahwa bahkan                                                         

waralaba-waralaba yang baru berkembang pun (waralaba yang 

tidak memiliki label ‗berdiri sejak tahun sekian‘ untuk 

menunjukkan betapa tangguhnya mereka) memiliki potensi 

pasar yang bisa jauh lebih besar daripada waralaba-waralaba 

‗tua‘. Faktor-faktor penyebabnya adalah kesanggupan mereka 

menyediakan apa yang dibutuhkan oleh warga  modern 

yang telah dimasuki paham esteem economy.  

Secara sosial, waralaba berpengaruh pada pemerataan 

warga . Di tahun 90-an, masih bisa kita lihat perbedaan 

menonjol antara penduduk perdesaan dan perkotaan. Pendu-

duk kota berbelanja ke supermarket, sementara penduduk desa 

berbelanja ke toko-toko kecil, atau paling tidak ke swalayan 

kelas menengah di wilayah sub-urban yang jumlahnya tak 

seberapa. sesudah  waralaba menjamur, seolah-olah tidak ada 

lagi perbedaan antara orang desa dan kota. Semua bisa 

berbelanja di minimarket, memesan ojek daring, mengirim 

barang dengan Go-Send atau mengirim paket dengan harga 

standar lewat JNE atau JNT. Asalkan mereka punya ponsel, 

setiap orang,—entah dari desa atau kota—bisa berbelanja 

daring dan mendapat  barang dambaan mereka dengan 

mudah. Kini kita bisa melihat sebuah mobil Fortuner setengah 

milyar parkir di depan minimarket di tepi desa, atau anak-anak 

remaja desa yang mengenakan jam tangan bagus hasil 

pembelian di internet. Semua itu berkat jaringan waralaba yang 

merambah wilayah yang luas dan menghapus kesenjangan 

warga  dalam opsi konsumsi mereka. 

Yang patut pula diperhatikan dari perkembangan waralaba 

adalah dominasi budaya. Kita tentu mengingat prinsip utama 

waralaba, yakni ‗sama di mana-mana‘. Secara tidak langsung, 

sebuah jaringan waralaba juga membawa budaya yang 

perlahan-lahan masuk ke dalam lingkungan sosial-budaya 

warga  lain. McDonalds dan KFC, misalnya, dengan budaya 

drive thru dan cara makan simpel gaya Amerika, terbawa oleh 

jaringan waralabanya di seluruh dunia. Dulu, budaya menyapa 

seseorang dengan panggilan ‗kak‘ hanya dikenal di Jakarta dan 

sekitarnya. Namun sejak sektor waralaba dan gerai digital 

berkembang, kata sapaan ‗kak‘ kini menjadi lumrah buat para 

admin toko yang tidak tahu sedang chatting dengan konsumen 

dari usia berapa dan jenis kelamin yang mana. 

Di samping dominasi budaya, waralaba juga berpotensi 

mendorong heterogenitas penduduk. Ketika sebuah waralaba 

membuka jaringan dan membutuhkan tenaga kerja, maka 

tenaga kerja bisa datang dari mana saja, bahkan dari luar 

daerah. Mereka tentunya membawa serta budaya dan kebia-

saan masing-masing daerah. Heterogenitas penduduk ini 

memiliki berbagai dampak lain, seperti masalah keamanan, 

ketertiban dan juga pertukaran budaya. Para pendatang yang 

berasal dari daerah yang sama biasanya berkumpul bersama di 

suatu lokasi. Konflik bisa terjadi bila  terjadi ketersinggungan 

yang bisa melibatkan seluruh komunitas pendatang. Tatkala 

heterogenitas penduduk menjadi sedemikian tinggi, akan 

sangat sulit membedakan kebudayaan lokal dan kebudayaan 

dari luar, sehingga heterogenitas yang tidak diatur juga dapat 

menimbulkan lenyapnya suatu budaya yang tidak mampu 

bertahan. Probabilitas lain adalah adanya campuran unsur-

unsur budaya yang melahirkan jenis budaya baru, misalnya 

kewajiban anak-anak sekolah dari berbagai latar belakang untuk 

memakai pakaian adat Bali setiap Kamis. Bagi anak-anak pen-

datang dari luar Bali, perbedaan kebudayaan ini tentu menim-

bulkan rona baru dalam keseharian mereka. 

Dampak yang lumrah dari sebuah jaringan waralaba adalah 

instanisasi. Dari sisi pengusaha, waralaba memberikan keuntungan besar dalam waktu singkat. Tak hanya dari sisi pengu-

saha, keuntungan instan juga dirasakan para pekerja di sektor 

waralaba. Dengan berkembangnya sebuah jaringan waralaba, 

mereka bisa mendapat  pekerjaan yang tidak menuntut 

keahlian tinggi dan bisa cepat dipelajari. Dengan demikian, jenis 

pekerjaan di sektor waralaba sangat cocok bagi para pekerja 

paruh waktu, mereka yang memerlukan pekerjaan cepat tanpa 

melalui pelatihan yang melelahkan, serta para perantau yang 

kesulitan mendapat  pekerjaan. 


Masa depan tidak bisa dilihat, begitu kata orang tua. 

Bahkan tukang ramal pun bisa salah. Di zaman 

digital ini, hebatnya, Google Trends dan Google 

Analytics nyaris tidak pernah keliru. Keduanya 

adalah platform pengolah Big Data andalan Google dan 

dipakai  jutaan orang untuk memprediksi tren inquiry dari 

setiap individu, kelompok warga , bahkan negara-negara di 

dunia. Dengan algoritmanya, Google Trends dan Google 

Analytics bisa memprediksi dengan akurat apa kecenderungan 

inquiry pencarian di Google, dan apa mood suatu negara atau 

suatu bangsa dalam periode waktu tertentu. Dengan prediksi 

itu, Google membuat analisis kebutuhan konsumen yang akurat 

dan bisa diakses gratis oleh siapa saja. 

Dalam dunia bisnis dan ekonomi, seseorang harus pandai 

meramal dan berani tanggung risiko jika ramalannya meleset. 

Walaupun suatu prediksi tak pernah selalu tepat, minimal keru-

gian dapat diminimalisir. Anda mungkin mengenal Netflix, atau 

malah sudah berlangganan paket nontonnya. Netflix ternyata 

memakai  Google Analytics untuk menentukan acara kesu-

kaan para pelanggannya. Berdasarkan data itu, Netflix menen-

tukan topik konten selanjutnya dan berhasil meningkatkan 

followers-nya hingga dua kali lipat. 

Dalam bab ini kita akan membahas lebih banyak tentang 

salah satu dari tiga sektor utama yang menjadi primadona 

investasi di tahun 2019 versi kementerian ekonomi, yakni sektor 

e-commerce (termasuk di dalamnya startup dan segala jenis 

online shops dan pasar digital), sektor smelting atau pengolahan 

logam (terutama nikel dan tembaga), dan pariwisata. Ketiga 

sektor ini mengalami kenaikan tajam dalam investasi sehingga 

pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat di atas 5% hingga 

pertengahan tahun 2019. 

Dari sisi e-commerce, kita akan lebih banyak membahas 

waralaba perfilman dan dunia hiburan. Di Amerika, berdasarkan 

data PAW tahun 2018 silam, waralaba perfilman dan dunia 

hiburan adalah yang paling sukses mereguk keuntungan, diikuti 

franchise makanan. Tahun 2019 ini, Amerika Serikat sedang 

dilanda demam videostreaming dan ribuan franchisee yang 

berlomba-lomba untuk melepaskan diri dari induknya dan 

berdiri sebagai perusahaan independen yang juga mampu 

menjual merek dan lisensi sendiri. Karena itu, berdasarkan 

Kacker dan Perrigot1 dalam bab sebelumnya, waralaba ‗tua‘ tak 

menjamin ketangguhannya melawan arus internet. Sebutan ‗tua‘ 

tidak lagi menunjuk pada merek waralaba yang sudah berdiri 

sejak tahun seribu delapan ratusan. Kata ‗tua‘ kiranya lebih 

gamblang disebut sebagai ‗suhu‘ oleh generasi milenial kini,—

semuda apa pun dia dari segi usia. Sebuah usaha yang ‗tua‘ kini 

dilihat dari jumlah pengikutnya, keunikan penawarannya, 

                                                           

strategi marketingnya yang sesuai dengan kebutuhan pasar, 

dan yang tidak kalah penting—kecepatannya ‗berubah wujud‘ 

sesuai kemauan konsumen. 

Menurut Asosiasi Waralaba Indonesia, kunci-kunci dasar 

dalam menjalankan bisnis waralaba di era milenial ada pada 

komunikasi yang lancar antara pemberi dan penerima waralaba, 

serta penerima waralaba dengan konsumen. Studi yang 

dilakukan oleh Griessmair et. al di Jerman membuktikan bahwa 

kebanyakan waralaba sangat mementingkan isu trust, rasa 

saling percaya antara pemberi dan penerima waralaba2. Trust ini 

dibangun dengan dukungan informasi yang cepat dan selalu 

dimutakhirkan. Bahkan, Griessmar dan kawan-kawan penelitinya 

menemukan bahwa pemerima waralaba yang memiliki tingkat 

kepercayaan yang tinggi cenderung untuk bertahan dalam 

jaringan waralaba dan bahkan membuka multi-unit franchise.  

Membangun rasa saling percaya antara franchisor dan 

franchisee membutuhkan komunikasi yang intens. Penerima 

waralaba, menurut survei Blut et.al beberapa tahun silam, 

memerlukan pembaharuan kontinyu mengenai SOP, pemeli-

haraan kualitas, pembaharuan merek dan dukungan teknis dan 

mental bila  penerima waralaba mengalami penurunan 

omset3. Selain itu, kerja sama dalam meningkatkan omset juga 

diharapkan oleh penerima waralaba, sebab bila  pemberi 

waralaba gagal dalam meningkatkan reputasi mereknya atau 

strategi marketing yang tidak mengikuti arus tren, semua 

penerima waralaba dalam jaringannya akan terkena dampaknya.  

                                                          

Kunci terakhir ada pada pemanfaatan teknologi. Yang 

diutamakan tentunya adalah teknologi digital. Seringkali pene-

rima waralaba mengharapkan agar pemberi waralaba 

memberikan sedikit kelonggaran untuk berinovasi dan berkrea-

tivitas bagi penerima waralaba, terutama dalam hal peman-

faataan teknologi. Indomaret dan Alfamart bisa jadi contoh 

yang positif dalam pemanfaatan teknologi. Berkat teknologi, 

kedua waralaba ritel itu kini juga menjual listrik, PDAM, pulsa, 

hingga paket internet rumahan. Padahal, ia adalah sebuah toko 

ritel bahan kebutuhan sehari-hari. Teknologi telah memberi-

kannya peluang untuk berkembang menjadi ritel di mana setiap 

orang bisa membeli apa saja, termasuk membeli akses jalan tol 

dan belanja daring lewat isi ulang e-money. 

Sejak perkembangannya pada masa awal, waralaba telah 

mengalami banyak evolusi. Dalam bab ini, ada sekelumit 

tentang beberapa bentuk baru waralaba yang pernah dipakai, 

sedang tren, atau malah bersiap ditinggalkan. Waralaba single-

unit yang seolah tak lekang oleh waktu adalah sistem waralaba 

paling simpel yang pernah dipraktikkan. Kini berkembang pula 

conversion franchise dan takeover. Alfamart telah mempraktik-

kan ketiga jenis franchise ini sejak beberapa tahun lalu. 

Waralaba single-unit memang masih jadi pilihan nomor satu 

karena permodalannya yang tidak terlampau besar dan sistem-

nya yang tidak begitu ribet. Meskipun grafik keuntungannya 

masih kalah dibandingkan dengan multi-unit franchise, single-

unit franchise tak kalah pamor karena simplisitasnya baik dari 

segi hirarki hegemoni maupun manajemen. 

Dalam single-unit franchise package, misalnya, Alfamart 

menawarkan kerja sama bisnis waralaba satu unit. Dalam 

waralaba jenis ini, Alfamart menawarkan pembukaan gerai baru 

dengan sistem waralaba. Belakangan, sistem ini mengalami 

hambatan karena kebijakan pemerintah daerah maupun pakem 

warga  lokal yang membatasi ruang gerak waralaba, teru-

tama ritel, agar tidak melahap arus modal dan merugikan pasar 

tradisional.  

Alfamart juga menawarkan sistem conversion franchise, di 

mana seseorang yang telah memiliki toko atau gerai ‗disulap‘ 

menjadi toko Alfamart namun masih memakai  nama toko 

yang lama. Dalam sistem ini, Alfamart mengakui barang 

dagangan milik toko lama sebagai barang stok pembukaan 

gerai Alfamart sistem conversion franchise. 

Sistem ketiga yang ditawarkan Alfamart adalah sistem 

takeover, yakni membeli waralaba yang telah beroperasi atau 

membeli satu cabang Alfamart yang telah berkembang untuk 

diwaralabakan. Harga waralaba jenis ini adalah yang paling 

tinggi, sebab jaminan kesuksesannya lebih besar. Sistem ini juga 

dinamakan sistem resale. Istilah lain untuk waralaba jenis ini 

adalah waralaba second. Berbeda dengan barang second yang 

harganya rendah, waralaba second justru memiliki harga yang 

lebih tinggi,—terutama jika waralaba second ini  telah 

terbukti menghasilkan keuntungan yang besar dengan pasar 

yang luas. 

Tirto.id baru-baru ini merilis data4 bahwa jumlah gerai 

Alfamart di Indonesia mencapai 9.302 gerai pada tahun 2013, 

sementara Indomaret 8.834 gerai. Pada tahun 2017 silam, 

jumlah itu disalip Indomaret dengan mencapai 15.335 gerai. 

Menurut riset Nielsen, pangsa pasar kedua ritel ini mencapai 

87%. Ekspansi yang masif ini adalah hasil dari waralaba. 

Sebanyak 40% gerai Indomaret sendiri adalah gerai waralaba. 

Sisanya adalah cabang-cabang yang dikelola perusahaan pusat. 

Fenomena lain yang mesti disoroti adalah kecenderungan 

penerima waralaba untuk memilih menjadi independen. 

Persaingan yang makin ketat membuat kecenderungan 

beberapa waralaba memilihberdiri sendiri dan mengadu merek 

mereka sendiri di gelombang pasar digital yang semakin ganas. 

Kecenderungan ini terjadi pada waralaba digital berbasis 

platform. Begitu mudahnya membeli lisensi dari sebuah perusa-

haan hiburan dan menghadirkan kontennya dalam platform, 

sehingga banyak perusahaan ingin mencoba mendirikan 

platform independen.  

Dengan perkembangan teknologi dan tren investasi yang 

besar dalam ranah konten digital, banyak perusahaan penerima 

waralaba akhirnya berdiri sendiri dan menciptakan branding 

mereka sendiri. Dengan media sosial dan konten marketing 

yang cetar, sebuah brand bisa melompati fase-fase inkubasi 

awal5 dan melejit menjadi brand baru dengan keunikan dan 

                                                          

fleksibilitas tinggi. Fleksibilitas tinggi berarti bahwa ada 

perkembangan dari ‗aku punya apa yang kamu mau‘ menjadi 

‗aku bisa menjadi apa saja yang kamu mau‘. Pada akhirnya, 

segala hal memang tidak kekal, namun yang bertahan adalah 

yang paling adaptif terhadap perubahan. Manusia senantiasa 

mencari akal untuk mendapat  sesuatu, dan di sanalah seni 

sebuah bisnis. 

Tahap Lanjutan Evolusi Waralaba 

Sebuah waralaba berkembang karena keinginan manusia 

yang terus bertambah untuk menguasai pasar. Sebagai tangan 

kanan kapitalisme yang telah ampuh menjadi agen ekspansi 

ekonomi, waralaba juga memiliki peran dalam imperialisme 

budaya. Namun demikian, sisi positif waralaba akan bisa 

dirasakan bila  ada aturan yang jelas yang membatasi ruang 

gerak waralaba agar tidak merusak sistem ekonomi bangsa. 

Telah kita bahas mengenai sistem waralaba dan hubung-

annya dengan pasar tradisional. Di Indonesia dan negara-

negara Asia, pasar-pasar tradisional terancam karena waralaba. 

Sementara itu, di negara yang lebih maju seperti Amerika 

Serikat, yang terancam oleh waralaba adalah ritel tradisional 

seperti mom & pop stores dan mini market yang dijalankan 

dengan usaha independen. Ritel-ritel tradisional ini berkembang 

di Amerika Serikat karena tipikal demografi dan topografi yang 

berjauhan, selain karena faktor watak warga  yang liberal 

dan cukup berbeda dengan warga  Indonesia6. 

Kehausan sistem waralaba untuk berekspansi menimbulkan 

ide pengembangan yang terus-menerus diperbaharui. Sistem 

waralaba unit tunggal (single-unit) adalah sistem yang paling 

tua dan sederhana. Seorang pemberi waralaba memberikan hak 

                                                           

kepada seorang penerima waralaba yang mendirikan usaha 

waralaba itu di suatu lokasi. bila  ia ingin berekspansi di 

tempat lain, ia akan mengundang penerima waralaba lain. 

Sistem unit tunggal ini memang sederhana, namun agak kurang 

efisien sebab masing-masing penerima waralaba harus 

diberikan bimbingan, pelatihan, atau dukungan sendiri-sendiri. 

Karena itu, waralaba unit tunggal (single-unit franchise) akhirnya 

berkembang menjadi multi-unit franchise.  

Dalam multi-unit franchise ‗waralaba unit jamak‘, satu 

pemberi waralaba memberikan lisensi kepada satu orang 

penerima waralaba. Lisensi ini  tertuang dalam dua jenis 

perjanjian, yakni franchise agreement dan development agree-

ment. Jadi, si penerima waralaba terikat perjanjian dengan 

pemberi waralaba bahwa ia akan mengembangkan sejumlah 

unit lain sesuai dengan target (biasanya 3-5 tahun). Jadi, si 

penerima waralaba juga berfungsi sebagai pewaralaba dalam 

wilayah tertentu dan diikat oleh perjanjian development itu. 

bila  si penerima waralaba gagal memenuhi kuota pengem-

bangan unit yang dijanjikan, maka pemberi warlaba tidak 

memperpanjang kontraknya. 

Waralaba unit jamak ini memiliki sistem yang lebih stabil, di 

mana terjadi hegemoni ganda yang bertingkat. Pertama, 

pemberi waralaba memiliki hegemoni tertinggi. Ia menghege-

moni franchisee dengan dua jenis perjanjian. Franchisee ini 

kemudian berfungsi sebagai pemberi waralaba di tingkat kedua, 

yang memiliki hak juga untuk mencetak franchisee dalam 

jumlah tertentu. Franchisee-franchisee yang berhasil dicetaknya 

akan memiliki hegemoni terhadap konsumen. Jadi, di sini ada 

tingkatan hegemoni berjenjang majemuk. Bagi pemberi wara-

laba, ini mempermudah koordinasi sebab jumlah franchisee 

yang harus dibina tidak terlalu banyak namun ekspansinya di 

tingkat kedua bisa jauh lebih luas daripada single-unit franchise. 

Sistem waralaba yang mirip dengan multi-unit franchise ini 

disebut master franchisee. Dalam sistem ini, pemberi waralaba 

memberi hak waralaba kepada seorang penerima waralaba 

yang kemudian berfungsi sebagai pemberi waralaba khusus di 

area tertentu saja. Jadi, si penerima waralaba ini boleh menjual 

lisensi itu kembali kepada calon penerima waralaba, dengan 

catatan persentase keuntungan yang didapatkan oleh master 

franchisee harus disetorkan kepada pemberi waralaba. Sistem ini 

rumit dalam manajemen keuangannya sehingga kurang begitu 

diminati. 

Yang lebih sederhana dalam pengaturan keuangan dan 

manajemen perjanjian kemitraan adalah area representative. 

Misalnya, ritel P ingin memperluas usaha di kota Denpasar. Ia 

memilih empat agen waralaba untuk empat kecamatan di 

Denpasar, katakanlah A, B, C dan D. Keempat agen ini bertugas 

mempromosikan, mengajak dan menghubungkan calon peneri-

ma waralaba dengan pemberi waralaba. Tidak ada perjanjian 

apa pun antara area representative dan penerima waralaba,—

berbeda dengan sistem master franchisee. Sang area represent-

ative memperoleh persentase keuntungan dari berapa banyak 

penerima waralaba yang bergabung di wilayahnya. 

Jenis waralaba lain yang berekspansi bagaikan berkamo-

flase disebut conversion franchise, atau waralaba konversi. Jenis 

ini sudah dipraktikkan oleh Alfamart dan terbukti mendulang 

sukses. Sebuah toko ritel tradisional di kota Denpasar sudah 

berdiri selama dua puluh tahun. Kemudian, ada perusahaan 

waralaba ritel yang berniat mengkonversi toko ini  dengan 

branding dan SOP milik si pemberi waralaba. Kesepakatan 

dibuat, dan berubahlah toko itu menjadi waralaba. Barang-

barang yang sudah ada di toko itu biasanya disepakati sebagai 

barang dagangan bersama yang dihitung pada saat pendirian 

waralaba. Waralaba konversi terjadi biasanya karena pemilik 

toko ritel tradisional tidak mampu lagi mengelola usahanya 

sendiri. Karena itu, ia menginvestasikan modalnya agar ada 

yang meneruskan usahanya ini . Sebab lain adalah lantaran 

sebuah toko mengalami kolaps dari segi manajemen atau 

pemasaran.  

Di Bali sendiri, banyak toko yang kini dikonversi menjadi 

waralaba. Ini bisa menjadi topik riset yang sangat menarik. 

Secara kualitatif, faktor-faktor yang mempengaruhi pemilik toko 

untuk mengkonversi usahanya akan menjadi indikator yang 

sangat berharga untuk mengetahui tren kalangan pengusaha 

Bali di masa depan. Dari ranah kuantitatif, peningkatan atau 

penurunan pendapatan suatu usaha sesudah  dikonversi akan 

menentukan apakah waralaba konversi memang bisa diterapkan 

secara positif atau tidak. 

Kadangkala ketika pameran, konser atau pertandingan bola, 

kita melihat stand-stand merek terkenal berdiri di lokasi keramaian. sesudah  acara selesai, stand itu pun ikut bubar. Di Inggris, 

jenis waralaba ini disebut pop-up store franchise, atau waralaba 

lapak. Jenis waralaba ini berpindah-pindah mengikuti perge-

rakan keramaian konsumen. Biasanya, waralaba yang member-

lakukan sistem pop-up store adalah waralaba makanan dan 

minuman. Bagi warga  yang memiliki modal kecil, waralaba 

jenis ini boleh jadi menggiurkan dan mudah. Yang menjadi 

kerugiannya adalah tempat usaha yang berpindah-pindah dan 

‗bermusim‘ sehingga memerlukan tenaga dan waktu yang 

lumayan merepotkan untuk memindahkan sebuah stand dari 

waktu ke waktu.  

Langkah yang lebih straight to the target adalah dengan 

cara membeli waralaba second atau franchise resale. Sebagai-

mana yang telah dijabarkan dalam bagian sebelumnya, 

waralaba ‗bekas‘ memiliki harga yang lebih tinggi. Alfamart, 

contohnya, mematok harga hingga 600 juta rupiah untuk satu 

unit waralaba second,—hampir empat kali lipat harga franchise 

baru7. Sebuah waralaba yang telah berjalan dan berkembang 

akan memiliki reputasi yang baik, sehingga bila  dibeli, 

harganya juga melambung tinggi.  

Waralaba dalam dunia hiburan, terutama perfilman juga 

mengalami evolusi yang signifikan. Dunia perfilman di era ini 

mulai merambah pada transmedia sehingga diperlukan suatu 

sistem licensing yang lebih kompleks daripada lisensi franchise 

perfilman biasa. Karena transmedia memerlukan kreativitas dan 

perspektif yang baru dari plot utama, maka setiap lisensi 

franchise dalam media-media yang berbeda membutuhkan 

spesifikasi berbeda. Misalnya, sebuah rumah produksi merilis 

film Star Wars dengan plot utamanya. Kemudian, tatkala 

branding Star Wars menjadi terkenal, sebuah perusahaan game 

berniat membeli lisensi franchise film ini . Namun karena 

perusahaan game ini akan membuat sebuah versi Star Wars 

yang mengisahkan petualangan sebelum terjadinya plot utama 

pada versi filmnya, maka baik perusahaan game ini maupun 

pihak produser Star Wars harus memiliki perjanjian yang benar-

benar jelas mengenai sejauh mana plot dan karakter Star Wars 

akan dikembangkan dalam game ini . bila  

pengembangan plot ini tidak dijabarkan secara detail dalam 

perjanjian kerja sama franchise, maka pihak produser game 

dapat dikenai sanksi pelanggaran hak cipta dan hak merek,

                                                           

Transmedia telah secara langsung membuat sistem 

waralaba menjadi lebih kompleks dan kuat, terutama mengenai 

isu-isu konten dan originalitasnya. Ranah digital membuat 

konten begitu rentan penggandaan, sebab menyalin isi konten 

digital tidak memerlukan usaha yang besar. Karena itu, isu dan 

tren yang mencuat mengenai konten digital pada masa kini 

adalah bagaimana proses licensing terkait erat dengan proses 

monetizing. Maksudnya adalah, sebuah lisensi atau patokan 

bahwa konten itu benar diciptakan oleh seseorang ditentukan 

oleh monetisasinya di ranah digital. bila  dua orang memiliki 

konten yang sama, namun orang pertama memonetisasi 

kontennya terlebih dahulu, maka ia menjadi pemegang lisensi 

di ranah konten digital. 

Di negara-negara yang kesadaran hukumnya telah maju, 

warga  cenderung telah memiliki kesadaran bahwa konten 

original adalah hasil kreativitas yang bernilai tinggi. Karena itu, 

mereka rela membayar lebih mahal untuk sebuah konten 

original daripada konten bajakan sebagai bentuk penghargaan 

pada hak kekayaan intelektual penciptanya. Kenyataannya 

cukup berbeda di negara-negara berkembang yang kesadaran 

hukumnya belum tinggi. Di negara-negara berkembang, konten 

bajakan menjadi populer, sebab orientasi mereka masih dalam 

motif ekonomi daripada motif sekuritas dan prestise. Di Jepang, 

misalnya, orang-orang membeli konten manga digital yang asli, 

walaupun konten bajakannya bertebaran di mana-mana. Ini 

menimbulkan sakit kepala berat bagi produsen manga di 

Jepang. Situs pembajakan manga terkenal Jepang, Mangamura, 

adalah salah satu biang keladinya. Situs ini populer di luar 

Jepang, memberikan akses download gratis untuk konten 

manga. Akhirnya, berkar kebijakan pemerintah Jepang, situs ini 

ditutup pada tahun 2018 lalu,

Dengan berkembangnya teknologi dalam bidang media 

digital, keaslian suatu konten semakin sulit dibedakan. Karena 

itu, yang menentukan originalitas suatu konten adalah proses 

monetisasi. bila  suatu konten telah dimonetisasi, maka pada 

saat yang bersamaan monetisasi berarti sebuah lisensi. Jadi, 

pihak lain tidak dapat mengklaim konten yang telah dimone-

tisasi ini . Singkatnya, semakin cepat sebuah konten 

dimonetisasi, maka kemungkinan konten itu dipakai  pihak 

lain akan semakin kecil. Toh pun jika pihak lain memakai  

konten ini , hak monetisasi tetap ada pada pihak yang 

memonetisasinya. Misalnya, Anda mengunggah sebuah konten 

di YouTube dan memonetisasinya. YouTube akan menganggap 

bahwa Andalah pemegang lisensi konten ini . bila  

orang lain mengambil konten video Anda dan mengunggahnya, 

maka segala keuntungan finansial adSense yang dihasilkan dari 

viewing konten itu tetap jatuh ke tangan Anda. 

Mulai 2016, Google, Bing dan mesin pencari lainnya telah 

bekerja keras untuk mengurangi konten bajakan di hasil 

pencarian mereka. Ini menjadi satu langkah besar dalam 

penghargaan atas hak kekayaan intelektual10. Isu hak kekayaan 

intelektual dan lisensi konten digital bisa menjadi topik riset 

yang sangat menarik di tahun-tahun ke depan. Di Indonesia 

sendiri, perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual 

sudah mengalami evolusi yang signifikan. Namun demikian, 

tindakan hukum bagi para pelanggar hak kekayaan intelektual 

                                                          

belum dilakukan secara nyata dan tegas. bila  undang-

undang hak kekayaan intelektual benar-benar diterapkan di 

Indonesia, maka akan terjadi penurunan omset yang sangat 

drastis di kalangan pengusaha fotokopi dan digital printing. 

Imbasnya juga berujung pada pada kenaikan PHK dan mele-

mahnya ekonomi rakyat. Dilema ini juga layak dikaji baik dari 

perspektif hukum maupun ekonomi. 

Sektor pendukung waralaba milenial 

Berdirinya sebuah waralaba dan bagaimana ia berkembang 

tidak bisa dilepaskan dari peranan sektor-sektor lain. Mari kita 

sebut sektor-sektor ini sebagai sektor pendukung. Tanpa ada-

nya sektor pendukung, waralaba di era milenial ini nyaris tidak 

dapat berkembang. Dalam ranah licensing digital, keberadaan 

sektor-sektor pendukung, mulai dari penyedia platform, deve-

loper, programmer hingga konten kreator bagaikan sebuah 

ekosistem digital yang tidak bisa diputus. Jadi, dunia digital saat 

ini bukan hanya kumpulan data, namun juga kumpulan 

kreativitas. Semua elemen ini  telah membentuk sebuah 

ekosisitem digital yang sekompleks ekosistem dalam food chain 

di dunia nyata.  

Sektor e-commerce, misalnya, menjadi sedemikian penting 

dalam kelancaran waralaba di era digital. Investasi untuk e-

commerce di Indonesia mencapai 950 juta dolar AS di awal 

tahun 201911, menjadi yang terbesar daripada sektor-sektor 

lainnya. Besarnya investasi pada sektor e-commerce ini ber-

potensi menimbulkan e-commerce boom. Menurut Lieu, ada tiga 

komponen yang menimbulkan potensi ‗ledakan e-commerce‘ 

                                                           

mulai tahun 2019. Ketiga komponen ini  adalah personal-

isasi, keterlibatan AI/ML (Artificial Intelligence/Machine Learning) 

dan semakin canggihnya perangkat gawai.  

Semakin canggihnya fitur-fitur belanja online membuat 

setiap orang kini bisa menikmati tokonya sendiri. Para calon 

pembeli bisa mengelompokkan barang-barang yang sering 

mereka beli dalam kustomisasi toko. Dengan sistem login da

logout, kini siapa pun dapat menstok barang di toko online dan 

membelinya kapan saja. Personalisasi ini memudahkan setiap 

orang dalam berbelanja tanpa perlu mengingat-ingat lagi 

barang yang ingin dibelinya dan di toko mana.  

Kemudahan makin terasa dengan disematkannya fitur 

kecerdasan buatan dan robotisasi. Kecerdasan buatan, yang berupa algoritma berpikir, disematkan ke dalam web e-commerce 

untuk mengetahui impresi pelanggan terhadap barang dan jasa 

yang dipilih. Kecenderungan seseorang untuk memilih barang 

dan jasa akan direkam oleh AI, dan dipakai  untuk 

menentukan jenis barang dalam periode promo selanjutnya.  

Sektor copywriting menjadi satu lagi yang paling menen-

tukan berkembangnya sebuah franchise di era digital. Sektor ini 

sebenarnya dibagi menjadi dua, yakni copywriting dan content 

writing dengan spesifikasi berbeda. Ketika Anda membuat 

sebuah konten promosi dengan mengaitkan produk atau jasa 

dengan keadaan konsumen, maka Anda sedang melakukan 

aktivitas copywriting. Di sisi lain, saat Anda menulis topik yang 

relevan dengan sebuah produk atau web, maka Anda sedang 

melakukan content writing. Kedua jenis keterampilan ini sangat 

diperlukan dalam digital marketing. bila  Anda mengikuti 

seminar Google Gapura Digital secara teratur, Anda akan 

                                                          

disuguhi banyak materi e-commerce yang sangat bermanfaat, 

termasuk mengenai content writing dan copywriting. Sangat 

baik jika Anda meluangkan waktu Anda untuk mendaftar gratis 

di Google Gapura Digital di kota Anda dan mengikuti pelatihan 

ringkas mengenai konten digital dan digital marketing dari 

narasumber yang telah berpengalaman. 

Menurut survei Tirto.id, copywriting dan content writing 

melesat menjadi dua bidang pekerjaan yang paling menjanjikan 

di ranah digital saat ini13. Bidang pekerjaan ini  sangat 

terkait dengan sistem waktu yang fleksibel dan tidak terikat

yang menjadi dambaan hampir setiap generasi masa kini. 

Waktu kerja yang fleksibel memungkinkan kreativitas yang lebih 

baik dan pengaturan waktu dengan lebih efisien. Dengan 

pengaturan jam kerja yang fleksibel, seseorang bisa menen-

tukan saat-saat yang tepat untuk menyelesaikan pekerjaan. 

Digempurnya sistem kerja 9-5 oleh kemajuan teknologi 

membuat sistem kerja konvensional itu mulai tenggelam dalam 

berbagai kecaman, terutama terkait dengan manajemen stres 

dan kesehatan para pekerja.  

Bidang pekerjaan yang juga sangat membantu waralaba di 

era digital ini adalah application developing dan social media 

strategy, atau pengembangan aplikasi dan strategi media sosial. 

Saat ini telah banyak pakar media sosial yang bekerja mem-

bantu perusahaan untuk mendapat  rating tinggi dalam 

marketing dan promosi. Para app. developer bekerja untuk 

membangun sistem aplikasi yang mempererat kedekatan kon-

sumen dengan produsen. Perusahaan-perusahaan platform 

menghubungkan berbagai kebutuhan produsen dan kebutuhan 

                                                           

konsumen. Semua bidang itu adalah simpul-simpul penting 

dalam ekosistem digital. 

Yang juga berpotensi besar sebagai ladang perluasan wara-

laba adalah sektor transportasi dan pariwisata. Tahun 2019, 

investasinya di Indonesia saja mencapai 275,4 juta dolar AS, 

menempati posisi ketiga daftar investasi terbesar di Indonesia 

sesudah  e-commerce dan smelting logam.  

Dari Waralaba ke Independensi 

Migrasi sistem waralaba ke perusahaan independen 

sebenarnya sudah banyak terjadi sejak waralaba itu ada. Tatkala 

suatu branding mencapai tahap tertentu, maka branding 

ini  memiliki kecenderungan untuk menjadi independen 

dengan tidak lagi mengadakan perpanjangan kerja sama 

kemitraan waralaba14. Berakhirnya suatu waralaba tidak hanya 

disebabkan oleh karena hal yang negatif atau merugikan, na-

mun dalam banyak kasus,—seperti kasus Netflix dan Spotify 

yang akan kita bahas kini—menjadi entitas independen karena 

alasan keuangan dan originalitas. Bidang-bidang usaha kreatif 

dan menekankan kepada konten original seperti perusahaan 

film, musik, dan hiburan lainnya cenderung mengalami evolusi 

begitu cepat dan kini lebih memilih menjadi perusahaan 

independen yang bergantung sepenuhnya dari konten asli 

ciptaan mereka. 

Contoh menarik terjadi pada Netflix, perusahaan streaming 

acara TV, show dan film paling menonjol saat ini. Sebelum 

bertransformasi sebagai provider khusus video streaming dan TV 

di internet, Netflix adalah sebuah perusahaan rental DVD di 

tahun 1990-an akhir hingga 2000-an awal. Kemudian, medianya 

berubah menjadi streaming karena DVD mulai ditinggalkan saat 

                                                          

ponsel pintar mewabah. Kini, pelanggan Netflix mencapai 139 

juta orang di seluruh dunia kecuali Tiongkok, Korea Utara, 

Suriah, dan beberapa daerah lain. Indonesia pada awalnya 

menolak Netflix karena berpotensi meruntuhkan industri 

pertelevisian, namun kini Netflix sudah bisa Anda unduh di Play 

Store berkat izin yang diberikan pemerintah.  

Untuk menonton video-video Netflix, Anda harus mem-

bayar paket nonton per bulan yang tergolong murah meriah. 

Netflix berani keluar dari konsensus lama yang bergantung 

pada iklan daring atau promo-promo paket yang berjenjang. 

Dengan penuh percaya diri, ia memungut bayaran atas 

langganan konten-konten video streaming-nya sehingga setap 

orang yang berlangganan bisa menonton apa pun yang mereka 

sukai dan memilih tontonan yang mereka inginkan. Kebebasan 

memilih tontonan adalah kekuatan utama Netflix yang tidak 

bisa dilakukan oleh stasiun TV komersil konvensional. 

Pada awalnya, Netflix mendapat kecaman dari perusahaan 

pertelevisian karena menjadi entitas OTT (Over The Top) yang 

‗berbahaya‘ bagi kelangsungan hidup stasiun TV. Over The Top 

adalah sistem broadcasting konten video dengan cara streaming 

secara langsung kepada penonton lewat jaringan internet. 

Sistem OTT mengalahkan jaringan TV satelit biasa dan TV kabel, 

sehingga bila  media streaming OTT berkembang, industri TV 

konvensional dan TV berlangganan terancam gulung kabel. 

Namun konsumen adalah pihak terakhir yang menentukan 

bagus atau tidaknya suatu inovasi. Terbukti, streaming via 

jaringan OTT lebih diminati, terutama buat para pengguna 

internet yang kebanyakan memiliki perangkat mobile. Yang 

paling diminati oleh konsumen adalah kebebasan mereka untuk 

memilih apa yang ingin mereka tonton kapan saja. Ini adalah 

hal yang tidak bisa dilakukan dengan TV biasa.  

Sistem kerja Netflix adalah membeli franchise berupa lisensi 

dari provider konten. Para provider konten ini bisa berupa 

produser film, rumah produksi atau studio, stasiun televisi, dan 

penyedia konten original lain. Netflix membeli lisensi film dan 

TV show dari waktu ke waktu sehingga tayangannya senantiasa 

terupdate, terutama menyangkut konten show. Untuk memper-

baharui konten, ia harus terus bernegosiasi dengan berbagai 

jenis jaringan hiburan dan produsen film. Bentuk kerja sama 

Netflix dengan para provider konten ini dikenal dengan nama 

licensing process, di mana Netflix bertindak sebagai penerima 

waralaba konten. 

Investopedia.com memberikan definisi sederhana untuk 

licensing. Istilah ini dipakai secara khusus dalam franchise dunia 

hiburan, terutama film dan konten audio-visual. Jadi, dalam 

ranah streaming daring, licensing berarti proses memperoleh 

izin dari pemilik TV show atau film agar konten mereka bisa 

ditayangkan lagi dalam versi streaming di jasa layanan 

streaming. Jadi, posisi Netflix adalah sebagai penerima waralaba 

dari berbagai jenis pemberi waralaba. Dalam pembahasan 

sebelumnya tentang waralaba digital, kita telah membahas 

mengenai crossmedia dan transmedia. Dalam hal ini, Netflix 

adalah penerima waralaba crossmedia berbayar.  

Jadi, ada sebuah keunikan di sini. Satu entitas penerima 

waralaba dapat menerima lisensi dari banyak pemberi waralaba, 

yang hampir mustahil dilakukan dengan cara konvensional 

dalam brick-and-stone franchise tanpa keterlibatan teknologi 

informasi. Bayangkan jika Anda mengelola sebuah minimarket 

dan di saat yang sama mengelola waralaba tukang pangkas 

rambut. Namun untuk konten digital, semua itu mungkin. 

Sebagaimana yang disurvei oleh kementerian perdagangan 

pada awal tahun 2019 lalu, sektor e-commerce, termasuk 

startup, online shops dan perdagangan digital memiliki nilai 

investasi terbesar di Indonesia. Ledakan investasi dalam sektor 

e-commerce ini akan memunculkan fenomena yang dikenal 

sebagai e-commerce boom.  

Sebagaimana waralaba memiliki pihak franchisor dan 

franchisee, dalam ranah konten digital dikenal istilah licensor 

dan licensee. Fungsi, tugas dan tanggung jawabnya sama 

dengan franchisor dan franchisee. Istilah ini lazim dipakai  

dalam franchise digital karena sistem franchise ini kebanyakan 

melibatkan pemakaian  konten dan hak kekayaan intelektual. 

Dalam kasus Netflix, bahkan ada konten eksklusif yang hanya 

bisa ditonton di Netflix saja. Maksudnya, konten-konten 

eksklusif ini dibuat oleh penyedia konten (stasiun TV atau 

rumah produksi) dan dijual kepada Netflix degan harga 

eksklusif. Untuk mendapat  lisensi konten-konten ini, Netflix 

harus merogoh saku lebih banyak.Imbasnya juga signifikan. 

Berkat konten eksklusif ini, pelanggan Netflix meningkat drastis 

hingga mencapai hampir 140 pelanggan di sleuruh dunia di 

kuartal awal 2019. Netflix memakai  prediksi rating untuk 

menentukan konten selanjutnya. Dengan mengkalibrasi impresi 

penonton dan jenis video apa yang banyak ditonton, Netflix 

bisa menentukan konten-konten pilihan selanjutnya. 

Walaupun Netflix mencuat dari penyewaan DVD 

konvensional menjadi raksasa dunia konten digital berbayar,

bukan berarti Netflix tak punya ancaman. Sebenarnya, Netflix 

tidak punya konten yang dibuat sendiri (disebut konten 

original), melainkan bergantung pada perjanjian lisensi dengan 

berbagai pihak. Karena pelanggan Netflix naik drastis, pihak 

pemberi lisensi cenderung menaikkan royalti lisensinya. Di 

tahun 2018 saja, biaya licensing yang harus dibayar oleh Netflix 

mencapai 13 milyar dolar AS, terbesar dalam sejarah waralaba 

crossmedia digital. 

Ini membuat Netflix berpikir keras. Pengeluaran sebanyak 

itu untuk membeli lisensi akan berdampak kurang sehat untuk 

keuangan perusahaan. Untuk menjaga stabilitas keuangannya, 

Netflix akhirnya menciptakan konten originalnya sendiri mulai 

tahun 2013. Film-film originalnya antara lain House of Cards,

Orange Is a New Black, dan the Crown. Ia bahkan mengangkat 

kisah dari banyak novel menjadi konten film original yang 

kemudian terus bertambah jumlahnya hingga kini.  

Netflix kini berada di ambang desruptif, meskipun ia sudah 

bertransformasi berkali-kali dalam modus waralaba konten 

digital.Yang terjadi sekarang adalah, banyak studio film telah 

membuka platform layanan konten sendiri. Baru-baru ini, Disney 

mengikuti jejak Netflix dengan membuat streaming berbayar 

Disney Plus.Tak mau ketinggalan, Fox, Warner Bros. dan banyak 

rumah produksi lainnya berbalapan meluncurkan platform 

streaming. bila  perkembangan ini terus tejadi, maka jalan 

satu-satunya bagi Netflix adalah menjadi produsen film sendiri, 

bukan lagi membeli lisensi franchise dari penyedia konten. 

Rupanya, Netflix memang serius dalam mengembangkan 

konten original. Perusahaan raksasa itu telah mengeluarkan 15,7 

milyar dolar AS untuk mengembangkan konten-konten 

originalnya dari tahun 2018.  

Dari kasus ini, dapat kita amati bahwa terdapat 

kecenderungan independensi baik dari pihak pemberi maupun 

penerima waralaba dalam ranah digital. Pemberi warlabaa tidak 

lagi memberikan lisensi produk dan jasanya karena dia dapat 

berekspansi sendiri berkat semakin luasnya jangkauan media 

digital dan platform. Menyusul Netflix, Fox mengeluarkan Hulu 

dan Hulu Plus yang menjaring enam juta pelanggan. Amazon 

mengeluarkan platform streaming bernama Amazon Prime 

Video. Apple Inc. tak mau ketinggalan. Ia mengeluarkan Apple 

TV yang siap menjadi raksasa dan menelan platform mana saja 

yang tidak berevolusi.