Rabu, 31 Mei 2023

hukum kontrak 1




Era reformasi merupakan era perubahan dalam kehidupan berbangsa dan 
bernegara. Era reformasi telah dimulai sejak tahun 1998 yang lalu. Latar belakang 
lahirnya era reformasi adalah tidak berfungsinya roda pemerintahan dalam kehidupan 
berbangsa dan bernegara, terutama di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Maka 
dengan adanya reformasi, penyelenggara negara berkeinginan untuk melakukan 
perubahan secara radikal (mendasar) dalam ketiga bidang tersebut.
Dalam bidang hukum, diarahkan kepada pembentukan peraturan perundang- 
undangan yang baru dan penegakan hukum (law o f enforcement). Tujuan pem­
bentukan peraturan perundang-undangan yang baru adalah untuk menggantikan 
peraturan yang lama yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda diganti 
dengan peraturan yang baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasa 
keadilan, dan budaya hukum masyarakat Indonesia. Pada era reformasi ini telah 
banyak dihasilkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keinginan 
masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 22 
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, 
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang 
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, 
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan lain-lain. Undang- 
undang yang dibentuk dan dibuat dalam era reformasi ini, yang paling dominan 
adalah undang-undang atau hukum yang bersifat sektoral, sedangkan hukum 
yang bersifat dasar (basic law) kurang mendapat perhatian. Hal ini tampak dari 
kurangnya pembahasan dari berbagai hukum dasar, seperti hukum perdata, hukum 
dagang, hukum pidana, hukum tata negara, hukum kontrak, dan lainnya. Hukum 
kontrak kita masih menggunakan peraturan Pemerintah Kolonial Belanda yang 
terdapat dalam Buku III KUH Perdata. Buku III KUH Perdata menganut 
sistem terbuka (open system), artinya bahwa para pihak bebas mengadakan 
kontrak dengan dengan siapa pun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya, 
dan bentuk kontrak, baik berbentuk lisan maupun tertulis. Di samping itu, diper-
Bab 1 Pendahuluan 1
kenankan untuk membuat kontrak baik yang telah dikenal dalam KUH Perdata 
maupun di luar KUH Perdata.
Kontrak-kontrak yang telah diatur dalam KUH Perdata, seperti jual beli, 
tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, 
pinjam pakai, pinjam-meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perjanjian 
untung-untungan, dan perdamaian. Di luar KUH Perdata, kini telah berkembang 
berbagai kontrak baru, seperti leasing, beli sewa, franchise, surrogate mother, 
production sharing, joint venture, dan lain-lain. Walaupun kontrak-kontrak itu 
telah hidup dan berkembang dalam masyarakat, namun peraturan yang berbentuk 
undang-undang belum ada. Yang ada hanya dalam bentuk Peraturan Menteri. 
Peraturan itu hanya terbatas pada peraturan yang mengatur tentang leasing, 
sedangkan kontrak-kontrak yang lain belum mendapat pengaturan secara khusus. 
Akibat dari tidak adanya kepastian hukum tentang kontrak tersebut maka akan 
menimbulkan persoalan dalam dunia perdagangan, terutama ketidakpastian bagi 
para pihak yang mengadakan kontrak. Dalam kenyataannya salah satu pihak 
sering kali membuat kontrak dalam bentuk standar, sedangkan pihak lainnya 
akan menerima kontrak tersebut karena kondisi sosial ekonomi mereka yang 
lemah. Untuk itu pada masa mendatang diperlukan adanya undang-undang tentang 
kontrak yang bersifat nasional, yang menggantikan peraturan yang lama. Undang- 
undang tersebut juga memberikan kedudukan yang seimbang kepada para pihak 
dalam memenuhi hak dan kewajibannya.
Walaupun belum adanya undang-undang tentang kontrak yang khusus dan 
bersifat nasional maka kajian teoretis maupun empirik dalam buku ini adalah 
berpedoman dan bertitik tolak pada KUH Perdata, peraturan perundang-undangan 
di luar KUH Perdata, dan berbagai perjanjian internasional lainnya.
2 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
ONSEP DM PENGERTIM HUKUM 
KONTRAK
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM KONTRAK
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract 
o f law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscom- 
strecht. Lawrence M. Friedman mengartikan hukum kontrak adalah
Perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur 
jenis perjanjian tertentu.” (Lawrence M. Friedman, 2001:196)
Lawrence M. Friedman tidak menjelaskan lebih lanjut aspek tertentu dari 
pasar dan jenis perjanjian tertentu. Apabila dikaji aspek pasar, tentunya kita akan 
mengkaji dari berbagai aktivitas bisnis yang hidup dan berkembang dalam sebuah 
market. Di dalam berbagai market tersebut maka akan menimbulkan berbagai 
macam kontrak yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Ada pelaku usaha yang 
mengadakan perjanjian jual beli, sewa-menyewa, beli sewa, leasing, dan lain-lain. 
Michael D Bayles mengartikan contract o f law atau hukum kontrak adalah 
Might then be taken to be the law pertaining to enporcement o f promise 
or agreement. (Michael D. Bayles, 1987:143)
Artinya, hukum kontrak adalah sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan 
pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.
Pendapat ini mengkaji hukum kontrak dari dimensi pelaksanaan perjanjian 
yang dibuat oleh para pihak, namun Michael D. Bayles tidak melihat pada tahap- 
tahap prakontraktual dan kontraktual. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan 
dalam penyusunan sebuah kontrak. Kontrak yang telah disusun oleh para pihak 
akan dilaksanakan juga oleh mereka sendiri.
Charles L. Knapp and Nathan M. Crystal mengartikan law o f contract is: 
Our society’s legal mechanism for protecting the expectations that arise 
from the making o f agreements for the future exchange of various types 
o f performance, such as the compeyance o f property (tangible and 
untangible), the performance o f services, and the payment o f money 
(Charles L. Knapp and Nathan M. Crystal, 1993:4)
Artinya hukum kontrak adalah mekanisme hukum dalam masyarakat untuk 
melindungi harapan-harapan yang timbul dalam pembuatan persetujuan demi
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 3
perubahan masa datang yang bervariasi kinerja, seperti pengangkutan kekayaan 
(yang nyata maupun yang tidak nyata), kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan 
uang.
Pendapat ini mengkaji hukum kontrak dari aspek mekanisme atau prosedur 
hukum. Tujuan mekanisme ini adalah untuk melindungi keinginan/harapan yang 
timbul dalam pembuatan konsensus di antara para pihak, seperti dalam perjanjian 
pengangkutan, kekayaan, kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan uang. 
Definisi lain berpendapat bahwa hukum kontrak adalah 
’’Rangkaian kaidah-kaidah hukum yang mengatur berbagai persetujuan dan 
ikatan antara warga-warga hukum.” (Ensiklopedia Indonesia, tt: 1348)
Definisi hukum kontrak yang tercantum dalam Ensiklopedia Indonesia meng­
kajinya dari aspek ruang lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan 
warga hukum. Tampaknya, definisi ini menyamakan pengertian antara kontrak 
(perjanjian) dengan persetujuan, padahal antara keduanya adalah berbeda. Kontrak 
(perjanjian) merupakan salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan salah 
satu syarat sahnya kontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH 
Perdata.
Dengan adanya berbagai kelemahan dari definisi di atas maka definisi itu 
perlu dilengkapi dan disempurnakan. Jadi, menurut penulis, bahwa hukum kontrak 
adalah
’’Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum 
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan 
akibat hukum.”
Definisi ini didasarkan pada pendapat Van Dunne, yang tidak hanya mengkaji 
kontrak pada tahap kontraktual semata-mata, tetapi juga harus diperhatikan 
perbuatan sebelumnya. Perbuatan sebelumnya mencakup tahap pracontractual 
dan post contractual. Pracontractual merupakan tahap penawaran dan penerimaan, 
sedangkan post contractual adalah pelaksanaan perjanjian. Hubungan hukum 
adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya 
hak dan kewajiban. Hak merupakan sebuah kenikmatan, sedangkan kewajiban 
merupakan beban.
Dari berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum 
dalam hukum kontrak, sebagaimana dikemukakan berikut ini. .
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tertulis 
dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum 
yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yuris­
prudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah- 
kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat. Contoh, 
jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain-lain. Konsep-konsep hukum ini berasal 
dari hukum adat.
4 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
2. Subjek hukum-
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtsperson. Rechtsperson diartikan 
sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam 
hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang 
berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
3. Adanya prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Prestasi 
terdiri dari:
a. memberikan sesuatu,
b. berbuat sesuatu, dan
c. tidak berbuat sesuatu.
4. Kata sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian. 
Salah satunya kata sepakat (konsensus). Kesepakatan adalah persesuaian 
pernyataan kehendak antara para pihak.
5. Akibat hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat 
hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah 
suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.
B. TEMPAT PENGATURAN HUKUM KONTRAK
Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri atas 18 
bab dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 
1864 KUH Perdata. Masing-masing bab dibagi dalam beberapa bagian. Di dalam 
NBW Negeri Belanda, tempat pengaturan hukum kontrak dalam Buku IV tentang 
van Verbintenissen, yang dimulai dari Pasal 1269 NBW sampai dengan Pasal 
1901 NBW.
Hal-hal yang diatur di dalam Buku III KUH Perdata adalah sebagai berikut.
1. Perikatan pada umumnya (Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1312 KUH 
Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1312 KUH Perdata, 
meliputi: sumber perikatan; prestasi; penggantian biaya, rugi, dan bunga karena 
tidak dipenuhinya suatu perikatan; dan jenis-jenis perikatan.
2. Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (Pasal 1313 sampai dengan Pasal 
1351 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam bab ini meliputi: ketentuan umum, syarat-syarat 
sahnya perjanjian; akibat perjanjian, dan penafsiran perjanjian.
3. Hapusnya perikatan (Pasal 1381 sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata) 
Hapusnya perikatan dibedakan menjadi 10 macam, yaitu karena pembayaran; 
penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 
pembaruan utang; perjumpaan utang atau kompensasi; percampuran utang;
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 5
pembebasan utang; musnahnya barang terutang; kebatalan atau pembatalan; 
berlakunya syarat batal; kedaluwarsa.
4. Jual beli (Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH 
Perdata, meliputi: ketentuan umum; kewajiban si penjual; kewajiban si pembeli; 
hak membeli kembali; jual beli piutang, dan lain-lain hak tak bertubuh.
5. Tukar-menukar (Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUH Perdata)
6. Sewa menyewa (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600KUH Perdata) 
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan sewa-menyewa ini meliputi: ketentuan 
umum; aturan-aturan yang sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan 
penyewaan tanah, aturan khusus yang berlaku bagi sewa rumah dan perabot 
rumah.
7. Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (Pasal 1601'sampai dengan Pasal 1617 
KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1617 
KUH Perdata, meliputi: ketentuan umum; persetujuan perburuhan pada 
umumnya; kewajiban majikan; kewajiban buruh; macam-macam cara 
berakhirnya hubungan kerja yang diterbitkan karena perjanjian; dan 
pemborongan pekerjaan;
8. Persekutuan (Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata) 
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan ini meliputi: ketentuan umum; perikatan 
antara para sekutu; perikatan para sekutu terhadap pihak ketiga; dan macam- 
macam cara berakhirnya persekutuan.
9. Badan hukum (Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUH Perdata)
10. Hibah (Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 KUH Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan tentang hibah ini, meliputi: ketentuan 
umum; kecakapan untuk memberikan hibah dan menikmati keuntungan dari 
suatu hibah; cara menghibahkan sesuatu; penarikan kembali dan penghapusan 
hibah.
11. Penitipan barang (Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739 KUH Perdata) 
Hal-hal yang diatur dalam penitipan barang, yaitu penitipan barang pada 
umumnya dan macam penitipan; penitipan barang sejati; sekestarasi dan 
macamnya.
12. Pinjam pakai (Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1753 KUH Perdata)
Yang diatur dalam ketentuan ini meliputi: ketentuan umum; kewajiban orang 
yang menerima pinjaman; dan kewajiban orang meminjamkan.
13. Pinjam-meminjam (Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata) 
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan pinjam-meminjam ini meliputi: pengertian 
pinjam-meminjam; kewajiban orang yang meminjamkan; kewajiban si pe­
minjam; dan meminjam dengan bunga.
14. Bunga tetap atau abadi (Pasal 1770 sampai dengan Pasal 1773 KUH Perdata)
6 Hukum Komrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
15. Perjanjian untung-untungan (Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791 KUH 
Perdata)
Hal-hal yang diatur dalam perjanjian untung-untungan ini meliputi: pengertiannya; 
persetujuan bunga cagak hidup dan akibatnya; perjudian dan pertaruhan.
16. Pemberian kuasa (Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUH Perdata) 
Hal-hal yang diatur dalam pemberian kuasa meliputi: sifat pemberian kuasa, 
kewajiban penerima kuasa, kewajiban pemberi kuasa, dan macam-macam 
cara berakhirnya pemberian kuasa.
17. Penanggung utang (Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata) 
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan penanggungan utang ini meliputi: sifat 
penanggungan, akibat-akibat penanggungan antara si berpiutang dan si pe­
nanggung, akibat-akibat penanggungan antara si berpiutang dan si penanggung, 
dan antara para penanggung sendiri, dan hapusnya penanggungan utang.
18. Perdamaian (Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata) 
Perjanjian perdamaian ini merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak 
yang bersengketa. Dalam perjanjian itu kedua belah pihak sepakat untuk 
mengakhiri suatu konflik yang timbul di antara mereka. Perjanjian perdamaian 
baru dikatakan sah apabila dibuat dalam bentuk tertulis.
Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan, perkumpulan, 
hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan, 
pemberian kuasa, penanggung utang, dan perdamaian merupakan perjanjian yang 
bersifat khusus, yang di dalam berbagai kepustakaan hukum disebut dengan 
perjanjian nominaat. Perjanjian nominaat adalah perjanjian yang dikenal di dalam 
KUH Perdata. Di luar KUH Perdata dikenal juga perjanjian lainya, seperti 
kontrak production sharing, kontrak joint venture, kontrak karya, leasing, beli 
sewa., franchise, kontrak rahim, dan lain-lain. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian 
innominaat, yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam 
praktik kehidupan masyarakat. Perjanjian innominaat ini belum dikenal pada saat 
KUH Perdata diundangkan.
C. SISTEM PENGATURAN HUKUM KONTRAK
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system). 
Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang 
sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini dapat 
disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH 
Perdata, yang berbunyi: ’’Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai 
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memberikan kebebasan kepada 
para pihak untuk:
1. membuat atau tidak membuat perjanjian,
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 7
2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
4. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan (Salim H.S., 1993: 
100) .
Dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada mulanya menganut 
sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam 
undang-undang. Ini disebabkan adanya pengaruh ajaran legisme yang memandang 
bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal ini dapat dilihat dan dibaca 
dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919.
Putusan Hoge Raad yang paling penting adalah putusan HR 1919, tertanggal 
31 Januari 1919 tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur 
dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Di dalam putusan HR 1919 definisi perbuatan 
melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang, tetapi juga melanggar 
hak-hak subjektif orang lain, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Menurut HR 1919 yang diartikan dengan perbuatan melawan hukum adalah 
berbuat atau tidak berbuat yang:
1. melanggar hak orang lain
Yang dimaksud dengan hak orang lain, bukan semua hak, tetapi hanya hak- 
hak pribadi, seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. 
Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut, seperti hak kebendaan, hak atas 
kekayaan intelektual (HAKI), dan sebagainya;
2. bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
Kewajiban hukum hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang- 
undang;
3. bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh se­
seorang itu bertentangan dengan sopan santun' yang tidak tertulis yang 
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat;
4. bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat; 
Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu
(1) aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya, dan
(2) aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak 
menyelenggarakan kepentingannya sendiri (Nieuwenhuis, 1985:118).
Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara 
bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang 
dikemukakan di atas. Sejak adanya putusan HR 1919, maka sistem pengaturan 
hukum kontrak adalah sistem terbuka.
Kesimpulannya, bahwa sejak tahun 1919 sampai sekarang sistem pengaturan 
hukum kontrak adalah bersifat terbuka. Hal ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat 
(1) KUH Perdata dan HR 1919.
8 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
D. ASAS HUKUM KONTRAK
Di dalam hukum kontrak dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan 
berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian 
hukum), asas iktikad baik, dan asas kepribadian. Kelima asas itu disajikan berikut 
ini.
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 
(1) KUH Perdata, yang berbunyi:’’Semua perjanjian yang dibuat secara sah 
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan 
kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham 
individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan 
oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui 
antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan 
Rosseau (dalam Mariam Badrulzaman, 1997: 19-20). Menurut paham indivi­
dualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam 
hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam ’’kebebasan berkontrak”. Teori leisbet 
fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan 
jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengada­
kan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat. Paham indivi­
dualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk 
menguasai golongan lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan 
pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang 
kuat, diungkapkan dalam exploitation de homme par l ’homme.
Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham indi­
vidualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham 
ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak 
mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti 
mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. 
Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak 
namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga 
keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui 
penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum kontrak 
ke bidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasya­
rakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak.
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 9
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH 
Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, 
yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan 
asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara 
formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan 
merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua 
belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. 
Di dalam hukum Germani tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang dikenal
t
adalah perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian 
yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum Adat). Sedang­
kan yang disebut perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan 
bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan). 
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis Uteris dan contractus 
innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk 
yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata 
adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. 
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda me­
rupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak 
yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. 
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat 
oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) 
KUH Perdata, yang berbunyi: ’’Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai 
undang-undang.”
Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Di 
dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada 
kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung 
makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan 
perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam 
perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti 
sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. 
Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.
4. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. 
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian harus dilaksanakan
10 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
dengan iktikad baik.” Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu 
pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan 
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan 
iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan 
tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya ter­
letak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai 
keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
Berbagai putusan Hoge Raad yang erat kaitannya dengan penerapan asas 
iktikad baik disajikan berikut ini. Kasus yang akan ditampilkan di sini adalah 
kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya 
nilai uang Jerman setelah Perang Dunia I (Van Dunne, dkk. 1987: 35-36). Kasus 
posisi Sarong Arrest sebagai berikut.
Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman 
sejumlah sarong dengan harga sebesar flOO.OOO,-. Karena keadaan memaksa 
sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan pesanan. 
Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi. Tetapi 
sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia 
memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih tinggi, karena apabila harga 
tetap sama ia akan menderita kerugian, yang berdasarkan iktikad baik antara 
para pihak tidak dapat dituntut darinya.
Pembelaan yang ia (penjual) ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUH 
Perdata dikesampingkan oleh Hoge Raad dalam arrest tersebut. Menurut putusan 
Hoge Raad tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan 
keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada iktikad baik untuk 
mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan Hoge Raad masih memberi 
harapan tentang hal ini dengan memformulasikan: mengubah inti perjanjian atau 
mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang 
lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan 
secara keseluruhan.
Putusan Hoge Raad ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya kontrak oleh 
para pihak. Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual 
harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian 
harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Begitu juga dengan Mark Arrest. Kasus 
posisinya sebagai berikut.
Sebelum Perang Dunia I seorang Jerman memberi sejumlah pinjaman uang 
kepada seorang Belanda pada tahun 1924. Dari jumlah tersebut masih ada sisa 
pinjaman tetapi karena sebagai akibat peperangan nilai mark sangat turun maka 
dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga 
dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas 
dasar devaluasi tersebut. Namun, Pasal 1756 KUH Perdata menyatakan: ’’Jika
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 11
sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau ada 
perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang 
dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada saat itu.” Hoge 
Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan per­
janjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah 
dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang 
sangat kecil itu. Hakim menurut badan peradilan yang tertinggi ini, tidak ber­
wenang atas dasar iktikad baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap 
undang-undang yang bersifat menambah.
Putusan mark-arrest ini sama dengan sarong arrest, bahwa hakim terikat 
pada asas iktikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada 
saat terjadinya jual beli atau pada saat pinjam-meminjam uang. Apabila orang 
Belanda meminjam uang sebanyak fl.000,-, maka orang Belanda tersebut harus 
mengembalikan sebanyak tersebut di atas, walaupun dari pihak peminjam ber­
pendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang. Lain halnya dengan di Indonesia. 
Pada tahun 1997, kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter dan 
ekonomi, pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara 
sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat, 
disepakati suku bunga bank sebesar 16% pertahun, namun setelah terjadi krisis 
moneter, suku bunga bank naik menjadi 21-24 %/tahun. Ini berarti bahwa pihak 
nasabah berada pada pihak yang dirugikan, karena kedudukan nasabah berada 
pada posisi yang lemah. Oleh karena itu, pada masa-masa yang akan datang 
pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakati­
nya, yang didasarkan pada iktikad baik.
5. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang 
akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan 
saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 
1315 KUH Perdata berbunyi: ’’Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan 
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa 
seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. 
Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang 
membuatnya.” Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya 
berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualian­
nya, sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang 
berbunyi:” Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila 
suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada 
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan 
bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, 
dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH
12 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk 
kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari 
padanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata 
mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 
KUH Perdata untuk kepentingan:
a. dirinya sendiri,
b. ahli warisnya, dan
c. orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan 
Pasal 1318 KUH Perdata, ruang lingkupnya yang luas.
Di dalam setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, pasti dicantumkan 
identitas dari subjek hukum, yang meliputi nama, umur, tempat domisili, dan 
kewarganegaraan. Kewarganegaraan berhubungan erat dengan apakah yang 
bersangkutan dapat melakukan perbuatan hukum tertentu, seperti jual beli tanah 
hak milik. Orang asing tidak dapat memiliki tanah hak milik, karena kalau orang 
asing diperkenankan untuk memiliki tanah hak milik maka yang bersangkutan 
dapat membeli semua tanah yang dimiliki masyarakat. Mereka mempunyai modal 
yang besar, dibandingkan dengan masyarakat kita. WNA hanya diberikan untuk 
mendapatkan HGB, HGU, dan hak pakai.
Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang di­
selenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman 
dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumus­
kan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu: asas kepercayaan, 
asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, 
asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan (Mariam Darus Badrulzaman, 
1997: 22-23). Kedelapan asas itu dijelaskan berikut ini.
1. Asas kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan 
mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di 
antara mereka di belakang hari.
2. Asas persamaan hukum
Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum 
yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban 
yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama 
lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
3. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi 
dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut 
prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 13
debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian 
itu dengan iktikad baik.
4. Asas kepastian hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. 
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai 
undang-undang bagi yang membuatnya.
5. Asas moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela 
dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi 
dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang 
melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mem­
punyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. 
Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan me­
lakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai 
panggilan hati nuraninya.
6. Asas kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan 
dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
7. Asas kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya 
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang 
menurut kebiasaan lazim diikuti.
8. Asas perlindungan (protection)
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur 
harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan 
itu adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah. 
Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan 
dan membuat kontrak.
E. SUMBER HUKUM KONTRAK
Pada dasarnya sumber hukum kontrak dapat dibedakan menurut sistem hukum 
yang mengaturnya. Sumber hukum, dapat dilihat dari keluarga hukumnya. Ada 
keluarga hukum Romawi, common law, hukum sosialis, hukum agama, dan 
hukum tradisional. Di dalam penyajian tentang sumber hukum kontrak ini hanya 
dibandingkan antara sumber hukum kontrak menurut Eropa Kontinental, terutama 
KUH Perdata dan common law, terutama Amerika. Kedua sumber hukum itu 
disajikan berikut ini.
14 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
1. Sumber Hukum Kontrak dalam Civil Law
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu 
sumber hukum materiil dan sumber hukum formal (Algra, dkk. 1975: 74).
Sumber hukum materiil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil. 
Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, 
misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan 
keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, 
dan keadaan geografis. Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh 
kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan 
peraturan hukum formal itu berlaku. Yang diakui umum sebagai hukum formil 
ialah undang-undang, perjanjian antamegara, urisprudensi, dan kebiasaan. Keempat 
hukum formal ini juga merupakan sumber hukum kontrak.
Sumber hukum kontrak yang berasal dari undang-undang merupakan sumber 
hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh 
Pemerintah dengan persetujuan DPR. Sumber hukum kontrak yang berasal dari 
peraturan perundang-undangan, disajikan berikut ini.
a. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB)
AB merupakan ketentuan-ketentuan Umum Pemerintah Hindia Belanda yang 
diberlakukan di Indonesia. AB diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23, dan diumumkan 
secara resmi pada tanggal 30 April 1847. AB terdiri atas 37 pasal.
b. KUH Perdata (BW)
KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk Pe­
merintah Hindia Belanda, yang diundangkan dengan Maklumat tanggal 30 
April 1847, Stb. 1847, Nomor 23, sedangkan di Indonesia diumumkan dalam 
Stb. 1848. Berlakunya KUH Perdata berdasarkan pada asas konkordansi. 
Sedangkan ketentuan hukum yang mengatur tentang hukum kontrak diatur 
dalam Buku III KUH Perdata.
c. KUH Dagang
d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli 
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 53 pasal. Hal-hal yang diatur 
dalam undang-undang itu meliputi ketentuan umum, asas dan tujuan, perjanjian 
yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, komisi pengawas 
persaingan usaha, tata cara penanganan perkara, dan sanksi;
e. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Di dalam Undang-undang ini ada dua pasal yang mengatur tentang kontrak, 
yaitu Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 22 UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa 
Konstruksi. Yang diartikan dengan kontrak kerja konstruksi adalah kese­
luruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa 
dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (Pasal 1 
ayat (5) UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi).
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 15
Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai:
1) para pihak yang memuat secara jelas identitas para pihak;
2) rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang 
kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
3) masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka 
waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung 
jawab penyedia jasa;
4) tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi, dan 
kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;
5) hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh 
hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan 
yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi 
dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;
6) cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna 
jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
7) cedera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah 
satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan;
8) penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara 
penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
9) pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang 
pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat 
dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
10) keadaan memaksa (force majeure), memuat ketentuan tentang kejadian 
yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang 
menimbulkan kerugian bagii salah satu pihak;
11) kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia 
jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan;
12) perlindungan pekerja, yang memuat tentang kewajiban para pihak dalam 
pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
13) aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan 
ketentuan tentang lingkungan (Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 18 .Tahun 
1999 tentang Jasa Konstruksi).
f. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 
Pilihan Penyelesaian Sengketa
Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 82 pasal. Pasal-pasal yang erat 
kaitannya dengan hukum kontrak adalah Pasal 1 ayat (3) tentang pengertian 
perjanjian arbitrase, Pasal 2 tentang persyaratan dalam penyelesaian sengketa 
arbitrase, dan Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 tentang syarat arbitrase.
g. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 
Undang-undang ini terdiri atas 7 bab dan 22 pasal. Hal-hal yang diatur 
dalam undang-undang ini adalah ketentuan umum, pembuatan perjanjian
16 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
internasional, pengesahan dari perjanjian internasional, pemberlakuan dari 
perjanjian internasional, penyimpanan dari perjanjian internasional, dan 
pengakhiran dari perjanjian internasional;
Traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih 
dalam bidang keperdataan, khususnya kontrak. Ini terutama, erat kaitannya dengan 
perjanjian internasional. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara 
Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company tentang perjanjian 
bagi hasil tembaga dan emas. Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan 
produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak- 
pihak yang berperkara, terutama dalam perkara perdata. Contohnya, putusan 
HR 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum. Dengan adanya putusan 
HR 1919, maka pengertian melawan hukum tidak dianut arti luas, tetapi arti 
sempit. Putusan HR 1919 ini dijadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia 
dalam memutuskan sengketa perbuatan melawan hukum.
2. Sumber Hukum Kontrak Amerika
Dalam hukum kontrak Amerika (common law), sumber hukum dibagi menjadi 
dua kategori, yaitu sumber hukum primer dan sekunder. Sumber hukum primer 
merupakan sumber hukum yang utama. Para pengacara dan hakim menganggap 
bahwa sumber primer dianggap sebagai hukum itu sendiri. Sumber hukum primer 
meliputi keputusan pengadilan {judicial opinion), statuta, dan peraturan lainnya. 
Sumber hukum sekunder merupakan sumber hukum yang kedua. Sumber hukum 
sekunder ini mempunyai pengaruh dalam pengadilan, karena pengadilan dapat 
mengacu pada sumber hukum sekunder tersebut. Sumber hukum sekunder ini 
terdiri dari restatement dan legal comentary.
Berdasarkan sumber tersebut, maka sumber hukum kontrak yang berlaku di 
Amerika Serikat dibedakan menjadi empat macam, yaitu judicial opinion, statu­
tory law, the restatement, dan legal comentary (Charles L. Knapp and Nathan 
M. Crystal, 1993: 4). Keempat sumber hukum itu dijelaskan berikut ini.
a. Judicial Opinion (Keputusan Hakim)
Judicial opinion atau disebut juga dengan judge made law atau judicial 
decision merupakan sumber primer hukum kontrak. Judicial opinion merupa­
kan pernyataan atau pendapat, atau putusan para hakim di dalam memutuskan 
perkara atau kasus, apakah itu kasus perdata maupun kasus pidana. Putusan- 
putusan hakim ini akan diikuti oleh para hakim, terutama terhadap kasus yang, 
sama dan ada kemiripannya dengan kasus yang sedang terjadi.
Seperti kita ketahui bahwa sistem pengadilan Amerika dalam pembuatan 
keputusan, biasanya dinyatakan sebagai stare decisis, ketaatan terhadap 
keputusan yang telah lewat atau disebut precedents. Preseden adalah 
keputusan yang terdahulu yang fakta-fakta cukup mirip dengan kasus sub
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 17
judice- yang berada di bawah keputusan pengadilan (adjudication) tersebut- 
bahwa pengadilan merasa berkewajiban untuk mengikutinya dan membuat 
suatu keputusan yang sama.
Sistem preseden, lazimnya membenarkan dua hal, berikut ini.
Pertama, dia menawarkan derajat yang tinggi tentang kemungkinan 
memprediksi keputusan yang membolehkan siapa saja yang berhasrat untuk 
menangani urusan mereka yang berkaitan dengan aturan hukum yang dapat 
diketahui.
Kedua, dia meletakkan kendali pada apa yang boleh, sebaliknya menjadi 
kecenderungan alami dari hakim untuk memutuskan kasus yang menjadi dasar 
prasangka, emosional pribadi, atau faktor-faktor lainnya yang boleh dihormati 
sebagai dasar yang tidak pantas untuk suatu keputusan.
Sebagaimana suatu sistem yang dengan jelas mempunyai ciri khas, kadang- 
kadang merupakan suatu kebajikan, kadang-kadang merupakan kerusakan 
menjadi statis dan konservatif, secara umum berorientasi pada pelestarian 
terhadap status quo.
Seorang hakim dari common law menyimpulkan, bahwa kesetiaan yang buta 
pada preseden akan menghasilkan suatu ketidakadilan dalam memutuskan 
perkara. Ada sejumlah cara yang mungkin dihindari. Memulai dengan suatu 
preseden dipertimbangkan untuk menjadi mengikat bagi suatu pengadilan, 
hanya jika ini diputuskan oleh pengadilan yang sama atau pengadilan ban­
ding yang kedudukannya lebih tinggi dalam wilayah hukum yang sama. 
Preseden-preseden lainnya dari pengadilan-pengadilan yang lebih rendah 
atau pengadilan dari wilayah hukum lainnya hanya bersifat persuasif belaka. 
Jika suatu preseden terdahulu dalam kenyataannya tidak persuasif maka 
hakim bebas menghormatinya. Apabila suatu preseden tidak hanya persuasif 
tetapi bersifat mengikat, preseden tersebut tidak mudah diabaikan. Hal itu 
mungkin saja terjadi, namun sebaiknya dihindari: jika dalam kenyataannya 
kasus-kasus yang terjadi sekarang tidak memuat suatu fakta yang berisi 
(bahan-bahan) untuk diperlukan pada suatu keputusan yang lebih awal, maka 
pengadilan boleh ’’berbeda” dengan preseden tersebut, dan membuat suatu 
keputusan yang berbeda. Jika preseden yang lebih awal adalah benar-benar 
mengikat, tetapi sulit atau tidak mungkin untuk membedakannya maka ada 
satu cara lain untuk menghindari akibatnya: jika keputusan pengadilan adalah 
salah satu dari yang menciptakan preseden (atau adalah pengadilan lebih 
tinggi) maka secara sederhana pengadilan dapat ’’menolak/mengesampingkan” 
keputusan yang lebih awal tersebut (ini bukan perubahan yang berlaku surut 
yang berakibat bagi kelompok kasus yang lebih awal, tetapi melakukan 
perubahan aturan untuk kasus-kasus yang diputuskan dan kasus yang serupa 
berikutnya). Penolakan, dipertimbangkan terhadap suatu kegiatan yang relatif 
drastis dan biasanya dipersiapkan bagi instansi-instansi, yang mana pengadilan
18 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
merasa bahwa aturan dibedakan oleh preseden terdahulu, yang merupakan 
kesalahan sederhana, itu adalah suatu ketidakadilan dalam pelaksanaannya 
di masyarakat, sebab selain kesulitan pada tahap permulaan, juga merupakan 
suatu ketertinggalan dari pembangunan masa lalu.
Pada dasarnya tidak semua kasus dapat diputuskan berdasarkan Preseden. 
Ini disebabkan oleh hal berikut:
1) tidak adanya preseden yang eksis (hal itu tidak seperti peristiwa dalam 
proses pengadilan pada masyarakat);
2) kasus yang tersedia tidak jelas.
Dalam hal kasus tidak jelas maka pengadilan-pengadilan mengarah pada 
kebijaksanaan untuk menyelesaikan kasus. Suatu kebijaksanaan mungkin 
dihormati secara umum sebagai tujuan masyarakat yang akan diketengahkan 
oleh keputusan khusus. Kegiatan ekonomi, politik, sosial, atau moral dan 
mungkin harus melakukan sesuatu dengan kelompok-kelompok tersendiri 
atau dengan masyarakat secara keseluruhan (atau beberapa bagian yang 
dapat diuraikan). Seringkah suatu pengadilan melihat kebijaksanaan 
masyarakat dalam undang-undang atau keputusan pengadilan, bahkan bila 
hal itu tidak dilaksanakan secara langsung terhadap kasus yang ada; pada 
waktu yang lain di pengadilan akan muncul perasaan hakim tentang apa itu 
keadilan dan moral. Sebagaimana kita lihat beberapa komentator hukum, 
mereka percaya bahwa ’’semua hukum adalah kebijaksanaan” dan seharusnya 
dengan jujur dipandang sebagai perasaan lain bahwa kebijaksanaan terlalu 
sulit untuk didefinisikan, atau merupakan suatu faktor yang tidak dapat 
dicegah guna memberikan tuntunan bagi pembuat keputusan. Beberapa yang 
mempunyai kebijaksanaan khusus bahwa akan terdapat pengadilan-pengadilan 
yang mencoba untuk mempromosikan-efisiensi ekonomi, sebagai contoh. 
Sebagaimana Anda melihat keputusan pengadilan pada materi ini, biarkan 
mata Anda terbuka di antara kedua penerapan keputusan pengadilan yang 
samar-samar dan yang terang terhadap kebijaksanaan sebagai dasar keputusan.
b. Statutory Law (Hukum Per undang-undangan)
Sumber lain dari hukum kontrak adalah bersumber dari statutory o f law 
(hukum perundang-undangan). Sumber hukum ini melengkapi hukum 
kebiasaan (common law). Statutory o f law merupakan sumber hukum yang 
tertulis.
Menurut sejarahnya, hukum kontrak dibangun dalam sistem Anglo-Amerika 
adalah didasarkan pada common law, common law ini lebih tinggi 
kedudukannya dari statutory o f law. Peraturan perundang-undangan tertulis 
{statutory o f law), yang ada hubungan dengan hukum kontrak adalah sebagai 
berikut.
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 19
Undang-Undang Penggelapan
Undang-undang penggelapan ini dibuat pertama kali di Inggris dan 
kemudian diberlakukan pada setiap negara bagian di Amerika Serikat. 
Undang-undang ini mempersyaratkan bahwa kontrak yang dibuat harus 
dalam bentuk tulisan agar dapat dilaksanakan oleh pengadilan. Undang- 
undang penggelapan itu sendiri telah dibebani oleh keputusan pengadilan 
yang lebih banyak kualitas hukum kebiasaannya daripada undang-undang 
modem.
2) Uniform Commercial Code
Uniform commercial code merupakan Kitab Undang-Undang Hukum 
Dagang yang berlaku secara umum di Amerika Serikat. Undang-undang 
ini tidak mengatur dan memuat semua transaksi dagang, tetapi juga 
mengatur tentang biaya, terjadinya gangguan, ketidakmenentuan yang 
disebabkan oleh perbedaan antarnegara-negara dalam lingkup hukum 
komersial.
3) Uniform State Lnws/NCCUSL
Uniform state /flws/NCCUSL merupakan hukum yang berlaku umum. 
Di bawah pimpinan New York, sejumlah negara-negara bagian 
menyelenggarakan Konferensi Nasional Komisioner tentang Hukum 
Negara yang berlaku Umum (Uniform State Lmv.v/NCCUSL). Walaupun 
tidak mempunyai kekuatan untuk membuat hukum, NCCUSL, membuat 
rancangan hukum dan merekomendasikan pembuat undang-undang 
negara dengan seri ’’undang-undang yang berlaku umum”, memberlakukan 
berbagai ketentuan dagang, seperti instrumen-instrumen yang dapat di- 
negoisasikan dan peraturan-peraturan standar.
4) Uniform Sales Acts
Uniform sales acts merupakan undang-undang penjualan yang berlaku 
umum. Undang-undang ini diadopsi secara luas dan dibentuk secara besar- 
besaran dari ketentuan yang dapat diterapkan oleh mereka secara alami. 
Undang-undang ini hanya mengatur tentang tata cara menjual barang, seperti 
bagian-bagian hak milik dan harta kekayaan, dan lain-lain.
Pada tahun 1940 terhadap Uniform Sale Act dan The Uniform Commer­
cial Code telah diadakan pembaruan. Yang menjadi arsitek dari pembaruan 
kedua undang-undang itu adalah Profesor Kari Lliwellyn dan ia juga peran­
cang utama dari Pasal 2 tentang Perdagangan. Menanggapi pengaruhnya, 
kitab undang-undang tersebut mewakili suatu upaya tertentu untuk mem­
berikan hukum agar dapat diterapkan pada transaksi perdagangan yang 
lebih cocok dengan praktik bisnis, jadi diharapkan berguna dalam bisnis. 
Walaupun penerimaan kedua undang-undang itu oleh negara-negara bagian 
agak lamban, namun seluruh atau sebagian dari UCC telah diadopsi dan
20 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
sekarang ditegakkan di negara Amerika Serikat.
Ketika pengadilan memutuskan suatu kasus yang diatur oleh suatu undang- 
undang, alasannya berbeda dengan alasan yang digunakan oleh prinsip- 
prinsip hukum kebiasaan yang diterapkan. Beberapa pengadilan bahkan 
pengadilan tinggi dari suatu wilayah hukum terikat untuk mengikuti ketentuan 
undang-undang yang valid yang diterapkan untuk suatu sengketa sebelumnya. 
Tugas ini berasal dari prinsip politik yang mendasar dari masyarakat Amerika. 
Pembuat undang-Undang mempunyai kekuasaan dalam pembentukan hukum, 
demikian pula terhadap undang-undang terikat dengan berbagai kewenangan 
konstitusi. Dengan demikian, pembuat undang-undang dapat mengubah dan 
menyaring aturan hukum kebiasaan. Kadang-kadang, bahasa undang-undang 
mungkin tunduk pada interpretasi yang berbeda: seperti pada kasus, 
pengadilan biasanya menegaskan maksud legislator dalam pembuatan 
undang-undang, agar mengadopsi ’’sejarah pembentukan undang-undang” 
yang terkait dengan debat legislatif, laporan panitia, dan sebagainya. 
Sebagaimana kita lihat, UCC mempunyai bentuk khusus tersendiri mengenai 
sejarah legislatif, official comments dari perancang undang-undang (itu bukan 
sejarah perundang-undangan yang tertulis; mereka bukan produk pembuat 
undang-undang negara sendiri, tetapi penulis dari official UCC yang 
didasarkan pada undang-undang negara yang beraneka ragam).
Ketika merancang Pasal 2 UCC, Profesor Liwellyn dan rekan-rekannya 
meninggalkan bentuk Undang-Undang Penjualan (Uniform Sales Acts) yang 
terdahulu. Anggapan sebuah badan hukum tentang kontrak dapat diterapkan 
sebagai latar belakang, ketentuan tersebut termasuk dalam Kitab Undang 
Undang (Code), yakni sejumlah peraturan yang mengubah aturan-aturan 
hukum kebiasaan tentang kontrak, seperti yang diterapkan terhadap penjual 
barang. Peraturan tersebut mengungkapkan prinsip-prinsip yang juga dapat 
diterapkan pada kontrak-kontrak selain dari penjualan barang. Pada tahun 
sekarang ini pengadilan telah mulai menerapkan ketentuan-ketentuan UCC 
dengan analogi di dalam kasus kontrak bahwa Pasal 2 tidak dapat diterapkan 
secara langsung. Kecenderungan ini memberikan pengaruh terhadap bentuk 
lain dari kewenangan, dengan pendekatan lebih persuasif daripada mengikat, 
mempunyai dampak yang sangat kuat pada hukum kontrak.
Restatements
Sumber hukum sekunder adalah restatements. Restatements merupakan hasil 
rumusan ulang tentang hukum. Rumusan ini dilakukan karena timbulnya 
ketidakpastian dan kurangnya keseragaman dalam hukum dagang (commercial 
law). Restatement tersebut menyerupai undang-undang, meliputi black letter, 
pernyataan-pernyataan dari ’’aturan umum” (atau kasus itu mengetengahkan 
konflik dengan aturan yang lebih baik).
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 21
Restatements ini dilakukan oleh Institut Hukum Amerika (American Law 
Institute/ALI). Lembaga ini dibentuk pada tahun 1923. Proyek awal yang 
dijalankan oleh organisasi ini adalah
1) melakukan persiapan dan penyebarluasan terhadap apa yang diakui 
menjadi suatu ringkasan yang akurat dan otoritatif;
2) melakukan ringkasan terhadap aturan hukum kebiasaan (common law) 
dalam berbagai macam bidang, termasuk kontrak, masalah kerugian, 
dan harta kekayaan.
Restatement yang diterima dan digunakan oleh pengacara dan hakim/ 
pengadilan, seperti restatement tentang kontrak, terutama diadopsi oleh ALI 
pada tahun 1932 dan diterbitkan secara gradual dalam bentuk rancangan, 
sekitar beberapa tahun yang lalu.
Lagi pula banyak sekali pasal yang didukung dengan beberapa komentar 
dan ilustrasi. Tidak satu pun dari restatement ALI mengutamakan penegakan 
hukum seperti perlakuan terhadap undang-undang atau keputusan pengadilan 
secara individu. Walaupun itu merupakan sumber sekunder, restatement 
tersebut dalam kenyataannya dibuktikan dengan pendekatan yang benar- 
benar persuasif, tidak jarang pengadilan akan membenarkan keputusannya 
dengan memberikan kutipan-kutipan sederhana (mungkin dengan menyetujui 
adanya diskusi) tentang aturan restatement pada poin-poin yang diberikan). 
Dengan mengetahui bahwa hukum kontrak telah mengalami perkembangan 
secara substansial sejak tahun 1932, tahun 1962 ALI mulai mempersiapkan 
terjemahan dari restatement yang direvisi. Akhirnya melakukan adopsi pada 
tahun 1979. Restatements (kedua) dari kontrak mewujudkan perubahan secara 
filosofi dari restatement yang aslinya.
Restatement pertama cenderung untuk menekankan penyamarataan dan 
prediksi terhadap biaya atau ongkos yang beraneka ragam dan fleksibel, 
sedangkan restatement kedua, lebih banyak memberikan komentar yang 
mendukung catatan editorial. Restatement kedua untuk menjawab beberapa 
kesulitan dari restatement pertama yang dipersiapkan untuk mengabaikan 
dan menyarankan suatu kendali bagi keleluasaan keputusan pengadilan. 
Sebagaimana kami lihat, restatement (kedua) juga mencerminkan suatu 
derajat yang tinggi, yang memberikan pengaruh terhadap Kitab Undang- 
Undang Hukum Dagang (UCC). Secara keseluruhan bahan-bahan ini mem­
berikan referensi terhadap restatement pertama atau kedua. Restatement 
kedua mengatur tentang kontrak. Sedangkan Restatemen ALI mengatur 
lainnya, seperti tentang peragenan, harta kekayaan, atau kerugian.
d. Legal Commentary (Komentar Hukum)
Legal commentary merupakan sumber hukum sekunder. Legal commen­
tary dianalogkan dengan doktrin dalam hukum Kontinental. Karena com-
22 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
mentary o f law merupakan pendapat atau ajaran-ajaran dari para pakar 
tentang hukum kontrak.
Pada dasarnya yang banyak dikomentari oleh para pakar hukum kontrak 
adalah tentang restatement kontrak. Restatement kontrak telah mempunyai 
dampak yang kuat dalam membentuk pandangan pengadilan tentang apa 
yang sepatutnya dilakukan common law dari kontrak. Restatement tentang 
kontrak cukup mempunyai pengaruh terhadap hukum. Akan tetapi, selama 
bertahun-tahun telah bermacam artikel dipublikasikan, buku-buku, dan ber­
aneka ragam risalah telah dicurahkan untuk menganalisis, mengevaluasi, 
dan mempersatukan badan-badan yang luas tentang kasus-kasus kontrak 
yang telah diakumulasi dalam keputusan yang dilaporkan oleh pengadilan 
Amerika. Pengarang-pengarang dari pekerjaan ini menghendaki klarifikasi 
hukum, untuk tujuan penyelesaian permasalahan yang tidak dapat di­
selesaikan, serta dalam beberapa kasus dibahas secara serius dan seringkah 
efektif bagi kesempatan hukum. Sejumlah penjelasan telah memberikan 
pengaruh dalam membentuk bagian-bagian dari hukum kebiasaan kontrak. 
Mungkin banyak sekali hal penting (tentunya dalam pound dan mungkin juga 
berpengaruh) dari uraian-uraian dan dari bermacam risalah yang dikemukakan 
oleh Profesor Samuel Willinston dan Arthur Corbin dilaporkan mengenai re­
statement asli dari kontrak dan ide-ide tersebut dicerminkan dalam organisasi 
dan substansinya. Risalah William (pertama kali dipublikasikan tahun 1920, 
dan kemudian direvisi secara periodik, hal ini secara alami berkaitan dengan 
respek hakim yang memandang restatement tersebut berwibawa. Risalah dari 
Profesor Corbins tidak dipublikasikan hingga tahun 1950, dan mengakhiri karier 
ilmiahnya yang panjang. Meskipun dia dan Willinston berkawan dan berteman 
sejawat, namun Corbin sendiri berperan dalam penulisan restatement. Secara 
filosofis, namun keduanya terdapat perbedaan dalam memandang hukum. 
Willinston cenderung menghargai hukum sebagai bagian dari aturan yang 
abstrak yang mana pengadilan secara deduksi biasanya memutuskan kasus 
perorangan; sedangkan Corbin menghargai tugasnya sebagai sarjana hukum 
untuk menemukan apakah pengadilan secara aktual melakukan dan berusaha 
untuk menyusun temuan ke dalam apa yang disebut dengan ’’bekerjanya 
aturan-aturan” hukum.
Selain pekerjaan dari kedua tokoh besar hukum kontrak tersebut, banyak 
penjelasan singkat yang bermunculan dalam tahun ini. Di antaranya baru- 
baru ini mungkin banyak dipengaruhi dua dari berbagai risalah Profesor E. 
Alan Farnsworth, yang membantu sebagai reporter untuk restatement (kedua) 
kontrak. Untuk masalah-masalah yang sedang berkembang di bawah UCC, 
para pengacara dan hakim seringkah mengikuti James J. White dan Robert 
S. Summers, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang seragam (Uni­
form Commercial Code, 3d ed. 1988).
Bab 2 Konsep dan Pengertian Hukum Kontrak 23
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komentar-komentar para pakar 
hukum dalam restatement sangat membantu pengadilan dan pengacara dalam 
memecahkan berbagai kasus di bidang kontrak.
D a fta r  P e r ta n y a a n
1. Kemukakan perbedaan pendapat antara Charles L. Knapp and Nathan M. 
Crystal, Lawrence M. Friedman dengan Salim, H.S. tentang pengertian 
hukum kontrak serta jelaskan unsur-unsurnya!
2. a. Kemukakan tempat pengaturan hukum kontrak yang Anda ketahui! 
b. Kemukakan perbedaan antara sistem pengaturan hukum benda dengan
hukum kontrak yang Anda ketahui!
3. a. Sebutkan dan jelaskan asas-asas hukum kontrak yang Anda ketahui! 
b. Kemukakan apa yang mengilhami munculnya asas konsensualisme?
Jelaskan!
4. a. Kemukakan perbedaan antara sumber hukum primer dan sekunder dalam
hukum kontrak Amerika dengan sumber hukum formal dan materiil dalam 
hukum Eropa Kontinental, khususnya KUH Perdata! 
b. Kemukakan perbedaan antara preseden dengan jurisprudensi dalam 
sistem hukum Eropa Kontinental!
5. a. Kemukakan perbedaan antara syarat-syarat sahnya kontrak menurut
hukum kontrak Amerika dengan hukum Eropa Kontinental yang Anda 
ketahui!
b. Kemukakan perbedaan antara legal comentary dengan doktrin!
24 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik: Penyusunan Kontrak
YARAT-SYARAT SAHNYA DAN 
MOMENTUM TERJADINYA 
KONTRAK
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN KONTRAK
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedangkan dalam 
bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian).
Pengertian perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUH Perdata. Pasal 
1313 KUH Perdata berbunyi: ’’Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 
satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” 
Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah
1. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian,
2. tidak tampak asas konsensualisme, dan
3. bersifat dualisme.
Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya 
disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut 
dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam 
doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah
’’Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat 
hukum.”
Definisi ini, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat 
hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Unsur-unsur perjanjian, menurut 
teori lama adalah sebagai berikut:
1. adanya perbuatan hukum,
2. persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang,
3. persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,
4. perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih,
5. pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung 
satu sama lain,
6. kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,
7. akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau 
timbal balik, dan
8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang- 
undangan.
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 25
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan 
perjanjian, adalah
’’Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata 
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga 
harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap 
dalam membuat perjanjian, menurut teori baru, yaitu
1. tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;
2. tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara 
para pihak;
3. tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.
Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan contract is:
An agreement between two or more persons not merely a shared belief, 
but common understanding as to something that is to be done in the 
future by one or both o f them (Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal, 
1993: 2). Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau 
lebih tidak hanya memberikan kepercayaan, tetapi secara bersama saling 
pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang 
atau keduanya dari mereka.
Pendapat ini tidak hanya mengkaji definisi kontrak, tetapi ia juga menentukan 
unsur-unsur yang harus dipenuhi supaya suatu transaksi dapat disebut kontrak. 
Ada tiga unsur kontrak, yaitu
1. The agreement fact between the parties (adanya kesepakatan tentang 
fakta antara kedua belah pihak);
2. The agreement as writen (persetujuan dibuat secara tertulis);
3. The set o f rights and duties created by (1) and (2) (adanya orang yang 
berhak dan berkewajiban untuk membuat: (1) kesepakatan dan (2) persetujuan 
tertulis).
Di dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan contract adalah 
An agreement between two or more person which creates an obligation 
to do or not to do particular thing. Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan 
antara dua orang atau lebih, di mana menimbulkan sebuah kewajiban untuk 
melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. (Black’s Law 
Dictionary, 1979: 291)
Inti definisi yang tercantum dalam Black’s Law Dictionary bahwa kontrak 
dilihat sebagai persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik 
melakukan atau tidak melakukan secara sebagian.
Satu hal yang kurang dalam berbagai definisi kontrak yang dipaparkan di 
atas, yaitu bahwa para pihak dalam kontrak hanya semata-mata orang perorangan
26 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
semata-mata. Tetapi dalam praktiknya, bukan hanya orang perorang yang 
membuat kontrak, termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek hukum. 
Dengan demikian, definisi itu, perlu dilengkapi dan disempurnakan. Menurut penulis, 
bahwa kontrak atau perjanjian merupakan:
’’Hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang 
lain dalam bidang harta kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas 
prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan 
prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”
Unsur-unsur yang tercantum definisi yang terakhir ini adalah sebagai berikut.
1. Adanya hubungan hukum.
Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. 
Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
2. Adanya subjek hukum.
Subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban.
3. Adanya prestasi.
Prestasi terdiri atas melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat 
sesuatu.
4. Di bidang harta kekayaan.
B. JENIS-JENIS KONTRAK
Para ahli di bidang kontrak tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian 
kontrak. Ada ahli yang mengkajinya dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya, 
aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya. Berikut ini disajikan jenis-jenis 
kontrak berdasarkan pembagian di atas.
1. Kontrak Menurut Sumber Hukumnya (Sudikno Mertokusumo, 1987: 11)
Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak 
yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Sudikno Mertokusumo 
menggolongkan perjanjian (kontrak) dari sumber hukumnya. Ia membagi jenis 
perjanjian (kontrak) menjadi lima macam, yaitu
a. perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti nalnya perkawinan;
b. perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan 
peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
c. perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
d. perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan bewijsove- 
reenkomst;
e. perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publieck- 
rechtelijke overeenkomst.
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Teijadinya Kontrak 27
2. Kontrak Menurut Namanya
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam 
Pasal 1319 KUH Perdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 KUH 
Perdata dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam kontrak menurut 
namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak 
bernama). Kontrak nominaat adalah kontrak yang dikenal dalam KUH Perdata. 
Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar-menukar, sewa- 
menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam- 
meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain. 
Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan 
berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUH 
Perdata. Yang termasuk dalam kontrak innominaat adalah leasing, beli sewa, 
franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production 
sharing, dan lain-lain. Namun, Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga 
antara bernama dan tidak bernama, yaitu kontrak campuran (Vollmar, 1984: 
144-146). Kontrak campuran, yaitu kontrak atau perjanjian yang tidak hanya 
diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam 
titel I, II, dan IV, karena kekhilafan, titel yang terakhir ini (titel IV) tidak disebut 
oleh Pasal 1355 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan 
khusus untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum.
Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) 
menyewakan kamar-kamar (sewa-menyewa), tetapi juga menyediakan makanan 
(jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). 
Kontrak campuran disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuan- 
ketentuan yang mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara 
analogi (Arrest HR 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi 
(absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundang-undangan dari 
perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang paling menonjol 
(HR, 12 April 1935), sedangkan dalam tahun 1947 Hoge Raad menyatakan diri 
(HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.
3. Kontrak Menurut Bentuknya
Di dalam KUH Perdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk 
kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam 
KUH Perdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, 
yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian 
yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak 
(Pasal 1320 KUH Perdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian itu 
telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. 
Pembedaan ini diilhami dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak 
hanya memerlukan adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan
28 H u k um  K o n tra k : T eo ri d a n  T e k n ik  Penyusunan K o n tra k
yang suci dan juga harus didasarkan atas penyerahan nyata dari suatu benda. 
Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan 
para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan 
dilaksanakan secara nyata.
Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam 
bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan 
dengan akta notaris (Pasal 1682 KUH Perdata). Kontrak ini dibagi menjadi dua 
macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta notaris. Akta di 
bawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para 
pihak. Sedangkan akta autentik merupakan akta yang dibuat oleh atau di hadapan 
notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, 
berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta 
yang dibuat di hadapan notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di 
hadapan notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya 
yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang 
telah dituangkan dalam bentuk formulir.
4. Kontrak Timbal Balik
Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal 
balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan 
kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa. Perjanjian 
timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal ba'ik tidak sempurna dan 
yang sepihak.
a. Kontrak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu 
pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi- 
prestasi yang seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa 
berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundaknya 
oleh orang pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan 
kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya 
telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantinya.
b. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban- 
kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam 
mengganti.
Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam rangka pembubaran perjanjian.
5. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani
Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya 
prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian, yang 
menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. 
Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak 
yang membebani merupakan perjanjian, di samping prestasi pihak yang satu
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 29
senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain, yang menurut hukum saling 
berkaitan. Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B 
menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A.
6. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya
Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang 
ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi 
menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) dan 
peijanjian obligatoir. Peijanjian kebendaan adalah suatu perjanjian, yang ditimbulkan 
hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian untuk memenuhi perikatan. 
Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan 
hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan 
kewajiban dari para pihak.
Di samping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian 
pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang 
utama, yaitu perjanjian pinjam-meminjam uang, baik kepada individu maupun 
pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir merupakan perjanjian 
tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia.
7. Perjanjian dari Aspek Larangannya
Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan penggolongan 
perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian 
yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini 
disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan atau persaingan 
usaha tidak sehat.
Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli 
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi 13 
(tiga belas) jenis, sebagaimana disajikan berikut ini.
a. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan 
pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produksi 
dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan 
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
b. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha 
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang 
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada 
pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah
(1) suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan
(2) suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
c. Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku- 
pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar 
dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain
30 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
%*
i
X
1
*
*
M
V
i
#-
untuk barang atau jasa yang berbeda.
d. Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat 
antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan 
harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan 
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
e. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara 
pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa 
penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali 
barang dan atau jasa yang diterimanya. Tindakan itu dilakukan dengan harga 
yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat 
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
f. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku 
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi 
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. 
Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau 
persaingan tidak sehat.
g. Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat 
pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghalangi pelaku 
usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar 
dalam negeri maupun luar negeri.
h. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan 
pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga 
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, 
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan 
usaha tidak sehat.
i. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan 
pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan 
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan 
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perseroan anggotanya. 
Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas 
barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik 
monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
j. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan 
pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai 
pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas 
barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat 
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak 
sehat.
k. Perjanjian integrasi vertikal, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha 
dengan pelaku usaha lain, yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 31
produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu. 
Setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, 
baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat 
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan 
masyarakat.
l. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan 
pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima 
barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa 
tersebut kepada pihak dan atau pada tempat tertentu.
m. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara 
pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan 
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan 
tidak sehat.
Di samping uraian di atas, di dalam Hukum Kontrak Amerika dikenal pula 
perjanjian yang didasarkan pada metodenya (Black Laws Dictionary, 1979: 292). 
Pembagian ini didasarkan pada suatu cara (metode) untuk menentukan kesepakatan 
dan tindakan simbolik lainnya dalam pelaksanaan perjanjian. Perjanjian menurut 
metodenya dibagi menjadi tiga macam, sebagaimana disajikan berikut ini.
1. Perjanjian pasti (certain) dan penuh risiko/berbahaya (hasardoz) 
Perjanjian pasti (khusus) dilakukan tergantung dari kemauan para pihak 
atau kapan suatu kegiatan dilakukan. Perjanjian ini dilakukan setelah ada 
kesepakatan para pihak. Perjanjian penuh risiko, yaitu perjanjian yang 
dilakukan tanpa adanya kemauan dan pembicaraan yang khusus sebelumnya.
2. Perjanjian komutatif dan berdiri sendiri
Perjanjian komutatif dilakukan tergantung dari apa yang dilakukan, diberikan, 
atau setelah ada perjanjian sebelumnya dengan para pihak. Sedangkan 
perjanjian berdiri sendiri, dilakukan setelah ada tindakan saling pengertian 
dan pertimbangan sebelumnya.
3. Perjanjian konsensual dan nyata
Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang dilakukan atas dasar 
persetujuan bersama antara para pihak, tanpa formalitas lain atau tindakan 
simbolik yang menjelaskan secara detail tentang tanggung jawab tersebut. 
Sedangkan perjanjian nyata adalah suatu perjanjian yang dapat dilaksanakan 
secara nyata oleh para pihak.
Dari berbagai jenis perjanjian yang dipaparkan di atas maka jenis atau 
pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu 
kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah 
perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun 
dari aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah 
perjanjian konsensual, perjanjian obligatoir, dan lain-lain.
32 H u k um  K o n tra k :  T eo ri d a n  T e k n ik  Penyusunan K o n tra k
C. SYARAT-SYARAT SAHNYA KONTRAK
Syarat sahnya kontrak dapat dikaji berdasarkan hukum kontrak yang terdapat 
di dalam KUH Perdata (civil law) dan hukum kontrak Amerika.
1. Menurut KUH Perdata (Civil Law)
Dalam hukum Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur dalam 
Pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru) Belanda. 
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu
(1) adanya kesepakatan kedua belah pihak,
(2) kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,
(3) adanya objek, dan
(4) adanya kausa yang halal.
Keempat hal itu, dikemukakan berikut ini.
a. Kesepakatan (Toesteming/Izin) Kedua Belah Pihak
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau 
konsensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) 
KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian 
pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. 
Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat 
dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan 
kehendak, yaitu dengan:
1) bahasa yang sempurna dan tertulis;
2) bahasa yang sempurna secara lisan;
3) bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. 
Karena dalam kenyataannya seringkah seseorang menyampaikan dengan 
bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
4) bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
5) diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan 
(Sudikno Mertokusumo, 1987: 7).
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu 
dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan 
pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian 
hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala 
timbul sengketa di kemudian hari.
b. Kecakapan Bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan 
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbliatan yang akan me­
nimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian 
haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk 
melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-
Bab 3 Syarat-Syarat Sairnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 33
undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan 
hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah 
berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang 
untuk melakukan perbuatan hukum:
1) anak di bawah umur (minderjarigheid),
2) orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan
3) istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Akan tetapi dalam perkembangannya 
istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam 
Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.
c. Adanya Objek Perjanjian (Onderwerp der Overeenskomst)
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian 
adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi 
kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur (Yahya Harahap, 
1986: 10; Mertokusumo, 1987: 36). Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif 
dan negatif. Prestasi terdiri atas:
(1) memberikan sesuatu,
(2) . berbuat sesuatu, dan
(3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
Misalnya, jual beli rumah. Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah 
menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang harga dari 
pembelian rumah itu. Contoh lainnya, dalam perjanjian kerja maka yang 
menjadi pokok perjanjian adalah melakukan pekerjaan dan membayar upah. 
Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat 
dinilai dengan uang. Dapat ditentukan artinya di dalam mengadakan 
perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan dalam arti dapat ditentukan secara 
cukup. Misalnya, A membeli lemari pada B dengan harga Rp500.000,00. Ini 
berarti bahwa objeknya itu adalah lemari, bukan benda lainnya.
d. Adanya Causa yang Halal (Geoorloofde Oorzaak)
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa 
yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa 
yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan 
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun 
1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. 
Contoh A menjual sepeda motor kepada B. Akan tetapi, sepeda motor yang 
dijual oleh A itu adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak mencapai 
tujuan dari pihak B. Karena B menginginkan barang yang dibelinya itu 
barang yang sah.
Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut 
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan
34 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. 
Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat 
dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada 
Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila 
para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. 
Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi 
hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
2. Menurut Hukum Kontrak Amerika
Di dalam hukum kontrak (law o f contract) Amerika ditentukan empat syarat 
sahnya kontrak, yaitu
1) adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan),
2) metting o f minds (persesuaian kehendak),
3) consideration (prestasi), dan
4) competent paries and legal subject matter (kemampuan hukum para pihak 
dan pokok persoalan yang sah). Keempat hal ini, dijelaskan berikut ini.
a. Offer dan Acceptance (Penawaran dan Penerimaan)
Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer (penawaran) dan acceptance 
(penerimaan). Yang diartikan dengan offer (penawaran) adalah suatu janji 
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa 
yang akan datang. Penawaran ini ditujukan kepada setiap orang.
Yang berhak dan berwenang mengajukan penawaran adalah setiap orang 
yang layak dan memahami apa yang dimaksudkan. Ada 5 (lima) syarat 
adanya penawaran, yaitu
1) adanya konsiderasi (prestasi),
2) sesuai dengan undang-undang,
3) under one o f the special rules relating to the revocation o f a 
wiilateral contract,
4) under doctrine o f promissory estoppel, dan
5) by virtue o f a sealed instrument.
Penawaran yang disampaikan kepada para khalayak, akan menghasilkan dua 
macam kontrak, yaitu
1) kontrak bilateral, dan
2) kontrak unilateral.
Kontrak bilateral, yaitu kontrak yang diadakan antara dua orang. Dalam 
kontrak itu kedua belah pihak harus memenuhi janjinya. Sedangkan kontrak 
unilateral adalah penawaran yang membutuhkan tindakan saja, karena berisi 
satu janji dari satu pihak saja.
Pada prinsipnya penawaran tetap terbuka sepanjang belum berakhirnya waktu 
atau belum dicabut. Suatu penawaran akan berakhir, apabila:
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 35
1) si pemberi tawaran (penawaran) atau penerima tawaran sakit ingatan 
atau meninggal dunia sebelum terjadi penerimaan penawaran,
2) penawaran dicabut, dalam hal ini pihak penawar harus memberitahukan 
sebelum penawaran diterima. Jika suatu penawaran ditentukan dalam 
waktu tertentu maka penawaran tersebut tidak dapat dicabut sebelum 
waktunya berakhir, dan
3) penerima tawaran tidak menerima tawaran, tetapi membuat suatu kontra 
penawaran. Sebagai contoh Carter menawarkan mobilnya seharga $900, 
Dealer menjawab dengan surat hendak membeli mobil itu seharga 
$700, penawaran asli yang $900 telah berakhir dan tidak bisa diterima 
oleh Dealer kecuali Carter membuat penawaran baru.
Acceptance adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar tawaran 
untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar. Penerimaan itu 
harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar tawaran. Penerimaan 
itu harus bersifat absolut dan tanpa syarat atas tawaran itu. Penerimaan 
yang belum disampaikan kepada pemberi tawaran, belum berlaku sebagai 
penerimaan tawaran. Akan tetapi, dalam perundingan yang dilakukan dengan 
korespondensi, penerimaan yang dikirim dengan media yang sama dianggap 
sudah disampaikan. Dalam pelelangan umum diatur dengan prosedur khusus. 
Bilamana memungkinkan, baik tawaran maupun penerimaan tawaran sebaik­
nya dinyatakan secara tertulis dan jelas. Lagi pula, suatu penerimaan kalau 
dapat harus diterima sendiri, serta jangan sampai membuat atau memberikan 
penawaran yang belum dapat diketahui tindakannya.
b. Metting o f Minds (Persesuaian Kehendak)
Penawaran dan penerimaan antara kedua belah pihak dapat menghasilkan 
bentuk luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak berarti bahwa kontrak itu 
dikatakan sah. Yang harus diperhatikan supaya kontrak itu dikatakan sah 
adalah adanya metting o f mind, yaitu adanya persesuaian pernyataan 
kehendak antara para pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas 
maka kontrak itu dikatakan sah. Persesuaian kehendak itu harus dilakukan 
secara jujur, tetapi apabila kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan 
(fraud), kesalahan (mistake), paksaan (durress), dan penyalahgunaan 
keadaan (undu influence) maka kontrak itu menjadi tidak sah, dan kontrak 
itu dapat dibatalkan (Jesse S Rafhael, 1962: 15). Keempat hal itu dikemukakan 
berikut ini.
1) Fraude (penipuan)
Fraude (penipuan) adalah dengan sengaja mengajukan gambaran atau 
fakta yang salah untuk memasuki hubungan kontrak. Untuk itu pihak 
yang tidak bersalah harus bersandar pada gambaran yang salah tadi 
dan secara finansial, pihak yang merugikan orang lain wajib membayar
36 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
ganti rugi. Kalau sekiranya orang yang tidak bersalah tadi tahu bahwa 
objek kontrak rusak maka ia tidak akan menutup kontrak tersebut. 
Adalah sangat adil dan tepat apabila pihak yang menggugat fraucle 
mendapat kesempatan untuk menemukan fakta-fakta hukum tentang 
objek tersebut. Sebagai contoh Charles membeli mobil bekas seharga 
$ 500,- yang ternyata radiatornya rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi. 
Dalam membeli mobil tersebut Charles melihat pernyataan Dealer bahwa 
mobil itu diubah menjadi mobil baru dan baru menempuh/berjalan kurang 
dari 20.000 mil. Kemudian ia mendapat keterangan dari bekas pemilik 
bahwa pemilik lama membeli mobil tersebut sudah dipakai 25.000 mil 
dan bekas pemilik memakai sejauh 30.000 mil. Jadi, yang salah adalah 
pernyataan Dealer bahwa pemilik lama membeli dalam keadaan masih 
baru, padahal sudah dipakai sejauh 20.000 mil.
Penipuan yang tampak pada kasus itu adalah pernyataan dari Dealer 
bahwa yang dijual baru, sedangkan dari pemilik awal bahwa mobil itu 
adalah mobil bekas.
2) Mistake (kesalahan)
Salah satu unsur lain yang membatalkan kontrak, yaitu adanya mistake 
(kesalahan). Mistake, yaitu jika dua pihak yang mengadakan kontrak 
dengan fakta yang ternyata salah maka pihak tadi dapat membatalkan 
kontrak setelah mengetahui fakta yang sebenarnya. Sebagai contoh Mrs. 
Childs baru mendapat surat dari pemerintah yang mengatakan bahwa 
suaminya yang bertugas di Polandia dan tidak terdengar beritanya bahwa 
suaminya benar-benar meninggal dunia. Saat Mrs. Childs ditinggalkan 
suaminya terdapat polis asuransi jiwa senilai $ 50.000. Karena ia tidak 
dapat membuktikan kematian suaminya dan tidak membayar bukti polis 
maka Mrs. Childs menurunkan nilai polis menjadi $ 10.000 dengan imbalan 
pihak asuransi tidak menuntut premi atas polis yang diturunkan itu. Mrs. 
Childs dapat memperoleh uang $ 50.000 atas kontrak asuransi asli 
(pertama) karena pada saat kontrak asuransi kedua dibuat kedua pihak 
berada dalam anggapan yang salah di mana suaminya masih hidup.
3) Durres (paksaan)
Durres terjadi apabila salah satu pihak lain menyetujui kontrak dengan 
ancaman penjara, jiwa, atau badan. Ancaman ini dapat saja dilakukan 
terhadap dirinya, keluarganya, dan ancamannya tidak bersifat fisik, 
misalnya ancaman untuk membuat bangkrut atau tidak mendapatkan 
kekayaan yang menjadi haknya. Emanuel dan Knowles mengkategorikan 
duress menjadi empat macam, yaitu
(1) kekerasan atau ancaman penggunaan kekerasan,
(2) pemenjaraan atau ancaman memenjarakan,
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 37
(3) mengambil atau menguasai barang pihak lain secara tidak sah, atau 
ancaman melakukan demikian, dan
(4) ancaman untuk melanggar kontrak atau untuk melakukan tindakan- 
tindakan yang tidak sah (dalam Djasadin Saragih, 1993: 16). Bentuk 
duress yang paling sering terjadi adalah bila salah satu pihak 
mengancam untuk melanggar kontrak apabila kontrak itu tidak diubah 
demi keuntungannya, atau bila tidak dibuat kontrak baru.
4) Undue inpluence (penyalahgunaan keadaan)
Ajaran undue inpluence (penyalahgunaan keadaan) pertama kali muncul 
pada abad ke-15 di Inggris, yang didasarkan pada equity. Equity ini 
muncul karena dalam common law tidak mengatur paksaan secara 
batiniah. Yang dikenal dalam common law hanya paksaan secara fisik 
sebagai faktor pengganggu. Untuk mengantisipasi hal itu, Court o f 
Chancerry mengeluarkan putusan undue inpluence, yang merupakan 
moral imperative (paksaan moral). Di negeri Belanda ajaran ini mulai 
diterapkan oleh hakim pada tahun 1957 dalam kasus Bovag II.
Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada hal 
berikut, yaitu
a) penyalahgunaan keunggulan ekonomi, dan
b) penyalahgunaan kejiwaan (Van Dunne, 1987).
Rutinga menyebutkan inti penyalahgunaan keunggulan ekonomis terletak 
Inequality o f bargaining power, yaitu ketidakseimbangan kekuatan dalam 
melakukan tawar-menawar atau perundingan antara pihak ekonomi kuat 
terhadap pihak ekonomi lemah. Ada dua persyaratan dasar dalam 
penyalahgunaan keunggulan ekonomis, yaitu
(1) satu pihak mempunyai keunggulan ekonomis, dan
(2) pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian.
Sedangkan penyalahgunaan keunggulan kejiwaan terjadi apabila salah 
satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif atau keadaan jiwa 
yang istimewa dari pihak lain. Pihak yang dirugikan dibujuk untuk 
melakukan perbuatan hukum yang sama sekali tidak dikehendakinya, 
seperti misalnya status sosial, hubungan dokter-pasien, pengacara dan 
klien, dan lain-lain.
c. Consideration (Konsiderasi)
Supaya kontrak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat, 
haruslah didukung dengan konsiderasi (concideration).
Menurut sejarahnya, bahwa doktrin konsiderasi sudah berumur ratusan tahun. 
Ini tidak dianggap sebagai unsur penting untuk membuat kontrak. Dulu, semua 
hak yang di laksanakan dibagi menjadi sejumlah kategori yang terbatas. Untuk 
pelanggaran masing-masing kategori pengadilan menyediakan formulir yang
38 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
dikenal sebagai Surat Perintah {writ). Setelah berbagai macam writ ada, 
pengadilan enggan untuk menggandakannya. Yang tersisa dalam kontrak adalah 
writ perjanjian. Writ ini baru dapat dilaksanakan hanya setelah dibuat secara 
tertulis dan dibuat di atas segel oleh para pihak yang mengadakan kontrak. 
Kontrak yang dibuat dengan writ dinamakan perjanjian {kovenan) dan bersifat 
mengikat para pihak. Kendati demikian, sejalan dengan pertumbuhan 
perdagangan dan perniagaan, desakan untuk pelaksanaan kontrak yang sah 
tidak perlu dibuat di atas segel. Untuk itu pengadilan memeriksa writ yang 
ada untuk melihat apakah bisa digunakan atau tidak.
Mengenai pengertian konsiderasi itu sendiri belum ada kesepakatan para ahli. 
Ada ahli yang mengartikan bahwa konsiderasi merupakan motive atau alasan 
untuk membuat kontrak (Blacklaw Dictionary, 1983: 277). Jesse S. Raphael 
mengartikan konsiderasi adalah
’’Penghentian hak (sah) oleh satu pihak dengan imbalan janji dari pihak 
lain. Jika seorang membuat janji dengan menghentikan salah satu hak 
dari yang mendapat janji, janji tadi secara sah mengikat karena ditunjang 
oleh konsiderasi.” (Jesse S. Raphael, 1962: 18)
Pendapat lain mengatakan bahwa konsiderasi disamakan artinya dengan 
prestasi, yaitu sebagai sesuatu yang diberikan, dijanjikan, atau dilakukan 
secara timbal balik. Perbuatan, sikap tidak berbuat atau janji dari masing- 
masing pihak adalah harga bagi yang telah dibeli oleh pihak lainnya. 
Konsiderasi dapat berupa akan dilaksanakan atau sudah dilaksanakan (Abdul 
Kadir Muhammad, 1986: 99).
Pendapat Jesse S. Raphael dan Abdul Kadir Muhammad ini ada kesamaannya, 
yaitu bahwa konsiderasi merupakan prestasi, karena masing-masing 
melaksanakan prestasi secara timbal balik. Konsiderasi (prestasi) harus 
berwujud dan mempunyai nilai. Apabila tidak mempunyai nilai, maka tidak 
ada perjanjian.
d. Competent Parties and Legal Subject Matter (Kemampuan dan Keabsahan 
tentang Subjek)
Competent parties adalah kemampuan dan kecakapan dari subjek hukum 
untuk melakukan kontrak. Sedangkan legal subject matter, yaitu keabsahan 
dari pokok persoalan.
Di dalam sistem hukum Amerika, pengadilan membedakan kemampuan 
tentang legalitas dari seorang untuk membuat kontrak. Orang yang dapat 
membuat kontrak harus sudah cukup umur. Masing-masing negara bagian 
tidak sama tentang umur kedewasaan. Ada yang menentukan 21 tahun 
untuk semua jenis kelamin dan ada juga negara Bagian yang menentukan 
21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk wanita. Sedangkan orang yang 
tidak berwenang untuk membuat kontrak adalah
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 39
1) orang di bawah umur, dan
2) orang gila.
Apabila orang di bawah umur itu membuat kontrak maka ia dapat membatalkan 
kontrak tersebut, kapan pun pada saat ia masih di bawah umur. Namun, 
orang di bawah umur itu juga dapat mengesahkan kontrak apabila ia sudah 
dewasa.
Persyaratan lain dari sahnya kontrak adalah adanya legal subjek matter, 
yaitu pokok persoalan yang sah. Syarat ini sama dengan causa yang halal 
dalam sistem hukum Kontinental (baca KUH Perdata). Suatu legal subjek 
matter dikatakan sah apabila tidak bertentangan dengan kepentingan orang 
banyak (kepentingan umum). Apabila bertentangan dengan kepentingan 
umum, maka perjanjian itu dikatakan tidak sah. Ada dua macam perjanjian 
yang tidak sah, yaitu
(1) perjanjian pembayaran bunga yang melampaui suku bunga yang sah 
(riba), dan
(2) perjanjian utang dalam perjudian (Jesse S. Raphael, 1962: 21-22).
D. MOMENTUM TERJADINYA KONTRAK
Di dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara jelas tentang momentum 
terjadinya kontrak. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan cukup 
dengan adanya konsensus para pihak. Di berbagai literatur disebutkan empat 
teori yang membahas momentum terjadinya kontrak, yaitu teori pernyataan, 
pengiriman, pengetahuan, dan penerimaan (Vollmar, 1984: 147-14; Sri Soedewi 
Masjchoen Sofwan, 1980: 20-21; Sudikno Mertokusumo, 1987: 15). Keempat 
hal itu dijelaskan berikut ini.
1. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
Menurut teori pernyataan, kesepakatan (Westerning) terjadi pada saat pihak 
yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. 
Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint 
untuk menyatakan menerima, kerepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini 
adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima 
penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini, bagaimana hal itu 
bisa diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak 
yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoretis, dianggap terjadinya kesepakatan 
secara otomatis.
40 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak 
yang menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan 
itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini, 
bagaimana ia mengetahuinya isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.
4. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)
Menurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang 
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Di samping keempat teori tersebut, Pitlo mengungkapkan sebuah teori yang 
kelima tentang momentum terjadinya kontrak, yaitu geobjectiveerde bertiemings- 
theorie, yang menentukan adalah saat si pengirim surat redelijkerwijs, dapat 
menganggap bahwa si alamat telah mengetahui isi surat itu. Contohnya, saya telah 
memasukkan surat tawaran ke dalam kotak pos pada jam 12 siang di Amsterdam. 
Surat itu disampaikan oleh Harleem kepada pengantar pos pada sore hari. 
Persoalannya sekarang, kapan terjadi perjanjian. Menurut Hoge Raad terjadinya 
perjanjian itu pada sore hari tersebut di atas (dalam Sri Soedewi Masjchoen 
Sofwan, 1980: 20).
Di dalam hukum positif Belanda, juga diikuti yurisprudensi, maupun doktrin, 
teori yang dianut adalah teori pengetahuan (vernemingstheorie) dengan sedikit 
koreksi dari ontvangstheorie (teori penerimaan). Maksudnya penerapan teori 
pengetahuan tidak secara mutlak. Sebab lalu lintas hukum menghendaki gerak 
cepat dan tidak menghendaki formalitas yang kaku, sehingga vernemingstheorie 
yang dianut. Karena jika harus menunggu sampai mengetahui secara langsung 
adanya jawaban dari pihak lawan (ontvangstheorie), diperlukan waktu yang 
lama.
Pada uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa momentum terjadinya 
perjanjian, yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak 
antara kreditur dan debitur. Namun, ada kalanya tidak ada persesuaian antara 
pernyataan dan kehendak.
Ada tiga teori yang menjawab tentang ketidaksesuaian antara kehendak 
dan pernyataan, yaitu teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan 
(Van Dunne, 1987: 108-109). Ketiga teori itu dikemukakan berikut ini.
7. Teori kehendak (wilstheorie)
Menurut teori kehendak bahwa perjanjian terjadi apabila ada persesuaian 
antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah 
yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini menimbulkan 
kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.
2. Teori pernyataan (verklaringtheorie)
Menurut teori ini kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 41
orang lain. Akan tetapi, yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah 
pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka 
peijanjian tetap terjadi. Dalam praktiknya teori ini menimbulkan berbagai kesulitan, 
seperti bahwa apa yang dinyatakan berbeda dengan yang dikehendaki. Misalnya 
A menyatakan Rp500.000,00 tetapi yang dikehendaki Rp50.000,00.
3. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie)
Menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi 
pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. 
Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki. 
Kelemahan teori ini adalah bahwa kepercayaan itu sulit dinilai.
Ada tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi dari ketiga teori 
di atas. Ketiga alternatif tersebut, seperti berikut ini.
1. Dengan tetap mempertahankan teori kehendak, yaitu menganggap perjanjian 
itu terjadi apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. 
Pemecahannya: akan tetapi pihak lawan berhak mendapat ganti rugi, karena 
pihak lawan mengharapkannya.
2. Dengan tetap berpegang pada teori kehendak, hanya dalam pelaksanaannya 
kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.
3. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku (standart contract), 
yaitu suatu perjanjian yang didasarkan kepada ketentuan umum di dalamnya. 
Biasanya perjanjian dituangkan dalam bentuk formulir (Mertokusumo, 1987: 
20) .
Timbulnya ketiga teori di atas disebabkan adanya kasus yang terjadi pada 
tahun 1856 di Keulun/Koln/Collegrie, Belanda. Kasusnya, seorang komisioner 
bernama Weiler menerima telegram dari Oppeinheim yang isinya suatu perintah 
untuk menjual saham-saham Opeinheim. Akan tetapi, surat kawat itu cacat 
(tidak sesuai dengan yang dikehendakinya). Sebab yang dimaksud bukanlah 
menjual saham, tetapi justru membeli saham. Jadi, di sini terjadi kekeliruan 
dalam penyampaian telegram oleh petugas pengirim telegram. Kemudian terjadi 
sengketa, Opeinheim menggugat Weiler untuk mendapatkan ganti rugi dan hal 
ini dikabulkan. Ini berarti yang dimenangkan adalah Opeinhem (Van Dune, 1987: 
107). Pengadilan memutuskan berdasarkan atas teori kehendak. Teori kehendak 
ini dipertahankan dan sangat berpengaruh pada abad k e -19, dan merupakan 
ajaran yang berkuasa (heersende leer).
E. BENTUK-BENTUK KONTRAK
Bentuk kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan 
lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam 
bentuk tulisan. Sedangkan perjanjian lisan suatu perjanjian yang dibuat oleh para 
pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).
42 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, sebagaimana dikemukakan berikut ini.
1. Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang 
bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian, 
tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain, 
jika perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga maka para pihak atau salah 
satu pihak dari perjanjian itu berkewajiban mengajukan bukti-bukti yang 
diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud 
tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan.
2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. 
Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata hanya untuk 
melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi, kesaksian 
tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Salah 
satu pihak mungkin saja menyangkal isi perjanjian. Namun, pihak yang 
menyangkal itu adalah pihak yang harus membuktikan penyangkalannya.
3. Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta 
notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka 
pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah 
notaris, camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti 
yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga.
Ada tiga fungsi akta notariel (akta autentik), yaitu
a. sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan 
perjanjian tertentu;
b. sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian 
adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak;
c. sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali jika 
ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa 
isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Akta notariel merupakan bukti prima facie mengenai fakta, yaitu pernyataan 
atau perjanjian yang termuat dalam akta notaris, mengingat notaris di Indonesia 
adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk memberikan kesaksian 
atau melegalisir suatu fakta. Jika isi dari fakta semacam itu disangkal di suatu 
pengadilan maka pengadilan harus menghormati dan mengakui isi akta notariel, 
kecuali jika pihak yang menyangkal dapat membuktikan bahwa bagian tertentu 
dari akta telah diganti atau bahwa hal tersebut bukanlah yang disetujui oleh para 
pihak, pembuktian mana sangat berat.
Di dalam hukum kontrak Amerika, kontrak menurut bentuknya dibagi menjadi 
dua macam, yaitu
1. informal contract, yaitu kontrak yang dibuat dalam bentuk yang lazim atau 
informal;
2. formal contract, yaitu perjanjian yang memerlukan bentuk atau cara-cara 
tertentu. Formal contract dibagi menjadi tiga jenis, yaitu
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 43
a. contracts underseal, yaitu kontrak dalam bentuk akta autentik,
b. recognizance, yaitu acknowledgment atau pengakuan di muka sidang 
pengadilan, dan
c. negotiable instrument, yaitu berita acara negosiasi (Subekti, 1993: 40). 
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk kontrak di dalam hukum
kontrak Amerika dapat digolongkan dalam kontrak informal dan formal.
F. INTERPRETASI DALAM KONTRAK
Penafsiran tentang kontrak diatur dalam Pasal 1342 sampai dengan Pasal 
1351 KUH Perdata. Pada dasarnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah 
dapat dimengerti dan dipahami isinya. Namun, dalam kenyataannya banyak kontrak 
yang isinya tidak dimengerti oleh para pihak.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa isi perjanjian dibedakan menjadi 
dua macam, yaitu
(1) kata-katanya jelas, dan
(2) kata-katanya tidak jelas, sehingga menimbulkan bermacam-macam penafsiran. 
Di dalam Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa apabila kata-katanya
jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. 
Ini berarti bahwa para pihak haruslah melaksanakan isi kontrak tersebut dengan 
iktikad baik. Apabila kata-katanya tidak jelas, dapat dilakukan penafsiran terhadap 
isi kontrak yang dibuat para pihak.
Untuk melakukan penafsiran haruslah dilihat pada beberapa aspek, yaitu
1. jika kata-katanya dalam kontrak memberikan berbagai penafsiran maka harus 
diselidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian (Pasal 1343 KUH 
Perdata);
2. jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran maka harus diselidiki pengertian 
yang memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksanakan (Pasal 1344 KUH 
Perdata);
3. jika kata-kata dalam perjanjian diberikan dua macam pengertian maka harus 
dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Pasal 1345 
KUH Perdata). Apabila terjadi keragu-raguan, maka harus ditafsirkan menurut 
kebiasaan dalam negeri atau di tempat dibuatnya perjanjian (Pasal 1346 
KUH Perdata);
4. jika ada keragu-raguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang 
yang meminta diperjanjikan sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang 
mengikatkan dirinya untuk itu (Pasal 1349 KUH Perdata).
Di dalam hukum AngiO-Amerika, dikenal juga adanya interpretasi terhadap 
substansi kontrak. Uniken Venema mengemukakan aturan-aturan yang paling 
penting dalam hukum Anglo-Amerika; kecuali butir 5 tersebut juga berlaku 
interpretasi undang-undang, sebagaimana dikemukakan berikut ini.
44 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
1. Perjanjian tertulis akan ditafsirkan gramatikal. Aturan ini berkaitan dengan 
plain meaning rule, artinya kata-kata yang jelas dalam perjanjian tidak 
boleh disimpangi melalui interpretasi.
2. Hakim akan cenderung menafsirkan suatu klausula sedemikian rupa sehingga 
paling tidak mempunyai suatu efek.
3. Hakim akan menilai seluruh dokumen yang bersangkutan, jadi harus 
melakukan penafsiran sistematis.
4. Hakim akan selalu cenderung melakukan penafsiran restriktif sedemikian 
rupa sehingga kata-kata umum yang disertai contoh yang spesifik akan 
diberinya arti yang cocok dengan contoh-contoh diberikan.'
5. Efek restriktif juga disebabkan oleh penafsiran contra proferentum juga 
dirumuskan dalam Pasal 1349 KUH Perdata bahwa suatu ketentuan yang 
meragukan hams ditafsirkan atas kerugian pihak yang meminta diperjanjikannya 
sesuatu. Aturan ini penting dalam penafsiran klausula-klausuia eksonerasi.
6. Sifat restriktif juga terdapat dalam aturan yang menentukan bahwa klausula 
yang tegas dalam kontrak dapat mencegah hakim untuk menerima implied 
term. Aturan ini berlandasan pada pemikiran bahwa para pihak yang telah 
mengatur hal tertentu, haruslah dianggap telah mengatur secara lengkap, 
sehingga tidak ada peluang untuk menafsirkan adanya implied term (pengertian 
secara tidak langsung).
7. Juga suatu padanan yang mumi dalam penafsiran a contrario dapat ditemukan 
dalam hukum Anglo-Amerika. Misalnya, apa yang dinamakan distinction 
yang dibuat oleh hakim untuk meniadakan pengaruh precedent. Dapat 
dianggap sebagai suatu penafsiran a contrario (dalam Djasadin Saragih, 
1993: 13-14).
Dengan demikian, para hakim atau para pihak haruslah memperhatikan 
tentang cara-cara untuk melakukan penafsiran terhadap substansi kontrak.
G. FUNGSI KONTRAK
Fungsi kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yuridis 
dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak adalah dapat memberikan kepastian 
hukum bagi para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak 
milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang 
lebih tinggi.
H. BIAYA DALAM PEMBUATAN KONTRAK
Pada dasarnya setiap pembuatan perjanjian memerlukan biaya. Biaya-biaya 
itu meliputi:
I. biaya penelitian meliputi biaya penentuan hak milik yang diinginkan dan biaya 
penentuan bernegosiasi;
Bab 3 Syarat-Syarat Sahnya dan Momentum Terjadinya Kontrak 45
2. biaya negosiasi, yang meliputi biaya penyiapan, biaya penulisan kontrak, dan 
biaya tawar-menawar dalam uraian yang rinci;
3. biaya monitoring, yaitu biaya penyelidikan tentang objek;
4. biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidangan dan arbitrase;
5. biaya kekeliruan hukum, yang merupakan biaya sosial. Biaya ini akan muncul 
apabila Hakim membuat kesalahan dalam memutus suatu kasus. Hal ini akan 
membuat kesalahan pada kasus-kasus berikutnya.
D a fta r  P e r ta n y a an
1. a.
b.
2. a.
b.
3. a.
b.
4. a.
b.
5. a.
b.
c.
6. a.
b.
7. a.
b.
c.
Kemukakan pengertian kontrak, menurut teori lama dan baru! 
Sebutkan unsur-unsur kontrak yang Anda ketahui!
Sebutkan jenis-jenis kontrak yang Anda ketahui!
Sebutkan penggolongan perjanjian menurut sumbernya!
Kemukakan sumber-sumber hukum kontrak Eropa Kontinental yang 
Anda ketahui!
Kemukakan pula sumber hukum kontrak menurut hukum Amerika! 
Sebutkan dan jelaskan teori-teori tentang momentum terjadinya kontrak! 
Teori manakah yang dianut oleh para hakim di negeri Belanda, yurispru­
densi atau doktrin? Jelaskan pendapat Anda!
Sebutkan dan jelaskan teori-teori ketidaksesuaian antara kehendak dan 
pernyataan!
Kemukakan latar belakang lahirnya teori tersebut!
Teori manakah yang paling berpengaruh pada abad ke-19?
Sebutkan bentuk kontrak yang Anda ketahui!
Sebutkan dan jelaskan bentuk kontrak tertulis!
Apakah kontrak yang dibuat oleh para pihak dapat dilakukan interprestasi? 
Jelaskan!
Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis interpretasi yang Anda ketahui! 
Kemukakan fungsi kontrak yang Anda ketahui!
46 Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN KONTRAK NOMINAAT
Istilah kontrak nominaat merupakan terjemahan dari nominaat contract. 
Kontrak nominaat sama artinya dengan perjanjian bernama atau benoemde 
dalam bahasa Belanda. Kontrak nominaat merupakan perjanjian yang dikenal 
dan terdapat dalam Pasal 1319 KUH Perdata. Pasal 1319 KUH Perdata berbunyi: 
’’Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak 
dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang 
termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.”
Di dalam Pasal 1319 KUH Perdata, perjanjian dibedakan menjadi dua macam, 
yaitu perjanjian bernama (nominaat) dan tidak bernama (innominaat). Perjanjian 
tidak bernama merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang 
dalam masyarakat. Perjanjian bernama maupun tidak bernama tunduk pada 
Buku III KUH Perdata. Maksud pembedaan dalam Pasal 1319 KUH Perdata 
adalah bahwa ada perjanjian-perjanjian yang tidak dikuasai oleh ajaran umum 
sebagaimana terdapat dalam titel-titel I, II, dan IV. Pasal 1319 KUH Perdata 
tidak lupa menyebutkan titel IV, melainkan juga diatur oleh ketentuan-ketentuan 
khusus yang tunduk untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum tadi, 
terutama yang dimaksudkan adalah isi dari titel-titel V sampai dengan XVIII. 
Ketentuan-ketentuan dalam titel ini, yang dalam praktik lazim disebut dengan 
perjanjian khusus atau perjanjian bernama (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980: 
17; Vollmar, 1984: 145).
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur perjanjian bernama, yaitu
1. perjanjian bernama terdapat dalam KUH Perdata,
2. perjanjian bernama dikuasai oleh titel I, II, IV, dan V sampai dengan titel 
XVIII KUH Perdata, dan
3. perjanjian bernama jumlahnya terbatas.
B. JENIS-JENIS KONTRAK NOMINAAT
Kontrak nominaat diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari 
Bab 5 sampai dengan Bab 18. Jumlah pasal yang mengatur tentang kontrak 
niminaat ini sebanyak 394 pasal. Di dalam KUH Perdata ada 15 (lima belas)
Bab 4 Kontrak Nominaat 47
jenis kontrak nominaat, yaitu
1. jual beli,
2. tukar-menukar,
3. sewa-menyewa,
4. perjanjian melakukan pekerjaan,
5. persekutuan perdata,
6. badan hukum,
7. hibah,
8. penitipan barang,
9. pinjam pakai,
10. pinjam meminjam,
11. pemberian kuasa,
12. bunga tetap atau abadi,
13. perjanjian untung-untungan,
14. penanggungan utang, dan
15. perdamaian.
Dari ke-15 (lima belas) jenis kontrak nominaat di atas, yang akan disajikan 
dalam sub-subbab ini hanya 14 (empat belas) jenis, sedangkan yang satu jenis, 
yaitu perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan tidak akan dijelaskan dalam 
sub-subbab ini, karena perjanjian jenis ini akan dikaji dan ditelaah secara mendalam 
dalam hukum perburuhan. Keempat belas jenis kontrak tersebut disajikan dalam 
subbab berikut ini.
C. JUAL BELI
1. Pengertian Jual Beli
Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan dari contract o f sale. 
Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 s.d. Pasal 1450 KUH Perdata. Yang 
dimaksud dengan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak satu 
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk 
membayar harga yang dijanjikan (Pasal 1457 KUH Perdata). Esensi dari definisi 
ini penyerahan benda dan membayar harga.
Definisi ini ada kesamaannya dengan definisi yang tercantum dalam Artikel 
1493 NBW. Perjanjian jual beli adalah persetujuan di mana penjual mengikatkan 
dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang sebagai milik (en 
eigendom te leveren) dan menjaminnya (vrijwaren) pembeli mengikat diri untuk 
membayar harga yang diperjanjikan. Ada tiga hal yang tercantum dalam definisi 
ini, yaitu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan barang kepada pembeli dan 
menjaminnya, serta membayar harga.
Di dalam hukum Inggris, perjanjian jual beli (contract o f sale) dapat dibedakan 
menjadi 2 (dua) macam, yaitu sale (actual sale) dan agrement to sell, hal ini
4 8  Hukum Kontrak: Teori dan Teknik P e n y u s u n a n  Kontrak
terlihat dalam Section 1 ayat (3) dari Sale o f Goods Act 1893. Sale adalah suatu 
perjanjian sekaligus dengan pemindahan hak milik (compeyance), sedangkan 
agreement to sell adalah tidak lebih dari suatu koop overeenkomst (perjanjian 
jual beli) biasa menurut KUH Perdata. Apabila dalam suatu sale si penjual me­
lakukan wanprestasi maka si pembeli dapat menggunakan semua upaya dari seorang 
pemilik, sedangkan dalam agrement to sell, si pembeli hanya mempunyai personal 
remedy (kesalahan perorangan) terhadap si penjual yang masih merupakan pemilik 
dari barangnya (penjual) jatuh pailit, barang itu masuk boedel kepailitan (Subekti, 
1993: 33).
# Dalam hukum Inggris di atas terlihat, bahwa ada perbedaan prinsip antara 
sale dan agreement sale. Sale terdiri atas perjanjian jual dan pemindahan hak 
milik, agreement to sell belum tentu ada penyerahan hak milik.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat penulis formulasikan definisi perjanjian 
jual beli secara lengkap. Perjanjian jual beli adalah
’’Suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli. Di dalam 
perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli 
kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban 
untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.”
Unsur-unsur yang tercantum dalam kedua definisi di atas adalah
a. adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli;
b. adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga;
c. adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli.
2. Momentum Terjadinya Kontrak Jual Beli
Pada dasarnya, terjadinya kontrak jual beli antara pihak penjual dan pembeli 
adalah pada saat terjadinya persesuaian kehendak dan pernyataan antara mereka 
tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya 
belum dibayar lunas (Pasal 1458 KUH Perdata). Walaupun telah terjadinya 
persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu 
menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahaan (levering) benda. 
Penyerahan ini tergantung pada jenis bendanya.
a. Benda bergerak.
Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci 
atas benda tersebut.
b. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh.
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan 
dengan sebuah akta autentik atau akta di bawah tangan.
c. Benda tidak bergerak.
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman 
akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
d. Benda/barang yang-sudah ditentukan (Pasal 1460 KUH Perdata). 
Benda/barang yang sudah ditentukan dijual maka barang itu saat pembelian 
menjadi tanggungan si pembeli, walaupun barang itu belum diserahkan (Pasal 
1460 KUH Perdata). Namun, ketentuan itu telah dicabut dengan SEMA 
Nomor 3 Tahun 1963, sehingga ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara 
tegas, namun penerapannya harus memperhatikan:
(1) bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu, dan
(2) bergantung pada yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang 
tersebut.
e. Benda menurut berat, jumlah, atau ukuran (Pasal 1461 KUH Perdata). 
Barang yang dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran, tetap menjadi tang­
gungan si penjual hingga barang itu ditimbang, dihitung, atau diukur. Jadi, 
sejak terjadinya penimbangan, penghitungan, dan pengukuran atas barang 
maka tanggung jawab atas benda tersebut beralih kepada si pembeli.
f. Jual beli tumpukan (Pasal 1462 KUH Perdata).
Jika barang yang dijual menurut tumpukan maka sejak terjadinya kesepakatan 
tentang harga dan barang maka sejak saat itulah barang-barang itu menjadi 
tanggung jawab si pembeli, walaupun barang itu belum ditimbang, dihitung, 
atau diukur.
g. Jual beli percobaan (Pasal 1463 KUH Perdata).
Jual beli percobaan merupakan jual beli dengan syarat tangguh.
h. Jual beli dengan sistem panjar (Pasal 1464 KUH Perdata).
Jual beli dengan sistem panjar merupakan suatu jual beli yang diadakan antara 
penjual dan pembeli. Di dalam jual beli itu pihak pembeli menyerahkan uang 
perschot/panjar atas harga barang, sesuai kesepakatan antara kedua belah 
pihak tersebut. Jual beli dengan sistem ini salah satu pihak tidak dapat meniadakan 
pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya.
3. Subjek dan Objek Jual Beli
Pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam 
perjanjian jual beli, yaitu bertindak sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat 
yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah nikah. Namun, secara yuridis 
ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual 
beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini.
a. Jual beli antara suami istri.
Pertimbangan hukum tidak diperkenankan jual beli antara suami istri adalah 
karena mereka sejak terjadi perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi 
percampuran harta, yang disebut harta bersama, kecuali ada perjanjian 
kawin. Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, yaitu
1) jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada istri 
atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan
untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.
2) Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya, juga dari 
siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya 
mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang 
menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.
3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi 
sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta 
perkawinan.
b. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita, dan Notaris. 
Para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada 
benda-benda atau barang dalam sengketa.