Kamis, 22 Februari 2024

waralaba 2





 tiap bulan. Oriflame adalah salah satu 

contoh waralaba produk. Seseorang yang bergabung ke Ori-

flame hanya tinggal mengikuti standar operasional dalam 

menjual produknya. Tak hanya standar operasional, bahkan 

harganya pun telah ditentukan oleh pewaralaba. Jadi, tugas 

Anda hanyalah menyetor sejumlah modal (yang pas untuk saku 

anak SMA maupun kuliahan) dan jadilah anda seorang pene-

rima waralaba Oriflame. Anda bisa memakai merek Oriflame 

dan menjualkan produk-produk mereka selama jangka waktu 

kontrak. 

                                                           

Di Indonesia sendiri, pertumbuhan waralaba produk adalah 

yang paling pesat, terutama dalam bidang food and beverage. 

Di tahun 2017, persentase pertumbuhan waralaba makanan dan 

minuman di Indonesia berkisar antara 5-6%, dan mengalami 

peningkatan drastis hingga 10% di kuartal awal 201929. Sektor 

waralaba ini adalah yang paling diminati calon penerima wara-

laba karena biaya waralaba yang murah dan jangka waktu 

mencapai BEP (Break Event Point) yang tak lebih dari setahun. 

Bahkan, waralaba ayam goreng ACK, misalnya, telah merambah 

desa-desa terpencil. Di Bali sendiri, waralaba ACK lebih populer 

dibandingkan dengan KFC atau McDonalds dengan harga yang 

pas untuk saku warga  menengah ke bawah. ACK menjadi 

primadona di wilayah perdesaan bagi warga yang tidak dapat 

menikmati nyamannya duduk di bangku KFC atau McDonalds. 

Popularitasnya di beberapa desa di dataran tinggi Bali menya-

                                                           

mai Alfamart dan Indomaret,—terkenal sebagai ‗ayam merah‘ 

karena lampu gerainya yang menyala merah di malam hari. 

Di bidang jasa, waralaba yang kini tengah menggiat di Bali 

masih didominasi sektor pendidikan dan pelatihan. Dimulai dari 

popularitas Primagama dan English First sebagai pelopor wara-

laba sektor jasa pendidikan nonformal, kini hampir semua 

sektor pendidikan nonformal memiliki sistem waralaba30. 

Katakanlah Jolly Roger Education, yang memiliki lima cabang di 

Bali dan satu cabang di Lampung. Lembaga kursus dan 

pelatihan bahasa Inggris yang populer di kota Denpasar ini 

telah mengembangkan sistem waralaba dengan menjual sistem 

pengajaran, model kurikulum, tenaga pengajar dan tata perwa-

jahan kantor ke beberapa penerima waralaba di Kabupaten 

Badung dan Kota Denpasar. Jolly Roger Education bekerja sama 

dengan beberapa hotel, sekolah tinggi dan sekolah menengah 

di berbagai wilayah di Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Badung 

dengan cara mewaralabakan elemen-elemen usahanya. 

Kimia Farma dan Apotek K-24 juga tak mau ketinggalan. 

Sistemnya sama seperti apa yang dilakukan oleh dua ber-

saudara Alfamart dan Indomaret. Yang diwaralabakan adalah 

sistem penjualan, jenis obat dan tentu saja merk mereka yang 

sudah terkenal di mana-mana. Lain lagi di bidang jasa 

perbankan, bank BRI adalah pelopor waralaba perbankan yang 

terbilang sukses menarik ribuan nasabah dari warga  kecil-

menengah. BRI yang memang sesuai dengan visi-misinya 

(sebagai bank kerakyatan) menyasar warga  desa, petani, 

peternak dan pedagang yang lebih nyaman bertransaksi tunai 

daripada memencet tombol ATM. Maka lahirlah waralaba BRI 

                                                           

Link yang gerainya bermunculan di sudut-sudut pasar, di 

samping warung nasi, di warteg, di tempat fotokopi, bahkan di 

balai desa. Dengan BRI Link, siapa pun bisa jadi ‗pegawai bank 

sekali waktu‘. Dengan sedikit pelatihan dari pihak BRI, para 

pedagang, petani atau pelaku usaha mikro-kecil-menengah 

yang ingin penghasilan tambahan bisa mengambil waralaba BRI 

Link yang tidak ribet dan tidak mahal. Dengan angsuran kredit 

yang ringan pula, BRI Link sanggup merambah hingga pelosok-

pelosok desa, menjadi harapan bagi banyak kalangan masya-

rakat. Hingga Agustus 2019, telah ada 375 ribu agen BRI Link di 

seluruh Indonesia. Pada tahun 2017, BRI menguasai 51% pasar 

agen Laku Pandai di Indonesia.

Hanya saja, yang patut disayangkan adalah sistem kea-

manan beberapa bank yang masih rawan retas. Fakta membuk-

tikan bahwa skimming masih rawan terjadi, tidak hanya di bank-

bank Indonesia, namun juga di luar negeri.  

                                                           

Beberapa waralaba lain adalah gabungan antara penjualan 

produk dan jasa. TalkFusion, misalnya, sebuah waralaba asing 

dari Florida, Amerika Serikat, menawarkan paket teknologi 

telekonferensi berbasis smartphone. Tak hanya menjual produk 

paket teknologi dan software, TalkFusion juga menawarkan kerja 

sama pelatihan untuk manajemen dan integrasi sistem berbasis 

digital di suatu perusahaan atau lembaga. Harga paket 

sistemnya berkisar antara 200 hingga 2000 dolar Amerika 

Serikat, namun harga franchise-nya dapat mencapai sekurang-

kurangnya dua ratus juta rupiah. 

Yang tak kalah maraknya di kota-kota besar adalah 

waralaba Oppo dan Vivo. Waralaba ini bergerak dalam bidang 

usaha produk telekomunikasi. Kedua merek ini bukanlah 

waralaba ponsel pertama di Indonesia. Sebelumnya sudah ada 

Nokia yang akhirnya kandas di tahun 2009-2010, lalu Samsung, 

Sony Erickson hingga Huawei si murah yang legendaris. Gerai 

ponsel yang memasang logo Vivo atau Oppo membayar 

sejumlah biaya waralaba dan pihak Oppo atau Vivo akan 

mempermak gerai ponsel itu dengan gaya standar mereka. 

Walaupun pihak penerima waralaba diizinkan menjual produk 

ponsel dari merk lain, Oppo dan Vivo menetapkan persentase 

produk yang harus dipajang. Dengan sistem waralaba, Oppo 

dan Vivo merambah berbagai pelosok di seluruh negeri, dan 

terkenal dengan ‗manusia kantong udara‘-nya yang melambai-

lambai di tepi jalan. 

Ada pula penggolongan waralaba secara lebih spesifik. 

Pengkategorian ini dilakukan oleh Intenational Franchise 

Association (IFA) yang berbasis di Amerika Serikat. Menurut IFA, 

ada beberapa jenis waralaba yang lumrah dijalankan di Amerika 

Serikat dan sebagian besar belahan dunia lainnya. Penggo-

longan waralaba ini lebih berdasar pada persentase pewarala-

baan dan elemen-elemen usaha apa saja yang diwaralabakan 

oleh pemberi waralaba. Sebagai contoh, walaupun Pepsi 

memberikan hak merek dan produksi dalam sistem waralaba, 

Pepsi tetap tidak pernah membocorkan resep rahasianya. Resep 

rahasia ini, yang biasanya dikemas dalam bentuk ramuan 

bubuk, dikirim ke perusahaan manufaktur penerima waralaba 

dalam bentuk siap pakai. Jadi, penerima waralaba tetap tidak 

pernah tahu apa komposisi rahasia dari ‗ramuan‘ Pepsi. 

Kebanyakan waralaba food and beverage memberlakukan 

restriksi yang ketat terhadap ‗ramuan rahasia‘ mereka, temasuk 

KFC dan McDonalds. Namun demikian, pihak pemberi waralaba 

McDonalds tampaknya lebih terbuka dan longgar sebab semua 

gerai McDonalds di seluruh dunia bisa berkreasi dengan 

rempah-rempah dan cita rasa lokal namun tetap mengikuti 

standar jenis makanan ikon McDonalds yakni burger, kola dan 

kentang goreng.  

 

1. Product distribution franchise 

Dalam waralaba jenis ini, produsen (sekaligus pemilik 

merek) memiliki kontrol penuh terhadap perusahaan yang 

mendistribusikan produknya. Biasanya, elemen yang diwara-

labakan adalah merek dan hak cipta. Penerima waralaba bisa 

menjual produk keluaran produsen dan memasang label 

produsen di gerainya. Oppo dan Vivo termasuk dalam jenis 

waralaba ini. Dalam usaha ritel, Ace Hardware yang tampil 

mentereng di pusat-pusat kota juga adalah sebuah franchise 

Amerika Serikat yang berbasis product distribution franchise. 

 

2. Business format franchise 

Nama lain waralaba ini adalah business opportunity 

ventures. Sebuah perusahaan kosmetik mewajibkan penerima 

waralabanya untuk menjual produk-produk usahanya dan 

mencari pelanggan. Sebagai timbal balik, pemilik waralaba akan 

memberikan kompensasi kepada penerima waralaba sesuai 

dengan kinerjanya. Oriflame adalah contoh waralaba dengan 

gaya business opportunity ventures, dan juga waralaba alat-alat 

kesehatan, terapi detoks bermerek terkenal, dan berbagai mesin 

lainnya. 

 

3. Management franchise 

Sistem waralaba manajemen biasanya dipakai oleh penye-

lenggara jasa. Dalam waralaba jenis ini, elemen manajemen 

perusahaan dipakai sebagai elemen yang diwaralabakan. Dalam 

lembaga pendidikan Primagama, misalnya, atau English First, 

model kurikulum dan sistem pengajaran adalah unsur yang 

diwaralabakan. Beberapa lembaga seperti Ganesha Operation 

dan Jolly Roger Education bisa jadi lebih konservatif, dalam hal 

ini mereka juga mewaralabakan tenaga pengajar yang telah 

mereka latih dalam model pengajaran spesial besutan mereka. 

Contoh lain management franchise yang sering Anda 

temukan di sekitar Anda adalah jasa paket JNE dan perusahaan-

perusahaan pengiriman sejenis. JNE membuka waralaba dalam 

bentuk agen dan memberlakukan tarif yang ditentukan oleh 

sistem pemilik waralaba. Agen harus mengikuti sistem itu 

sepenuhnya dan tidak diizinkan memberlakukan tarif sendiri. 

Gerai agennya pun diset sedemikian rupa sehingga sama di 

mana-mana. 

 

4. Retail franchise 

Anda tentu pernah mendengar Starbucks Coffee. Gerainya 

ada di mana-mana dan digandrungi anak-anak muda. Padahal, 

yang dijual di dalamnya tidak hanya kopi. Gerai Starbucks juga 

menjual produk-produk makanan lain dan memakai  merek 

Starbucks yang mendunia itu sebagai daya tarik dan penambah 

nilai barang. Penerima waralaba Starbucks Coffee terikat kerja 

sama yang disebut sebagai retail franchise, yang mengandalkan 

pelanggan-pelanggan yang datang setiap hari untuk membeli 

produk atau jasanya yang bermerek. Karena itu, retail franchise 

tampak seperti gerai, kafe atau toko biasa. Retail franchise juga 

tergantung pada lokasi yang strategis dan banyaknya 

pelanggan yang mampir. 

 Di Bali, ada gerai kopi NgoCok yang fenomenal. Gerai-

nya mirip sebuah wartel kecil di tahun 90-an, dengan permak 

dan label merek yang khas. Gerai es kopi ini masih tergolong 

sebagai product distribution franchise sebab penerima waralaba 

hanya menjual es kopi sesuai dengan standar produsen. 

 

5. Single Operator Franchise 

Hampir semua distributor kendaraan bermotor di Indonesia 

adalah franchise asing, utamanya single operator franchise. 

Sebuah perusahaan, katakanlah PT Astra Honda Motor, meme-

gang lisensi produk Honda di Indonesia. PT Astra menguasai 

teknik marketing yang cocok di Indonesia, sehingga Honda 

memilihnya menjadi penerima hak waralaba di Indonesia. 

Tatkala kontrak terjadi, Honda akan menyediakan suku cadang, 

logo, desain seragam, dan branding kepada PT Astra. Dalam 

banyak perusahaan, sistem waralaba jenis ini berkolaborasi 

dalam bentuk manufacturing franchise. 

 

6. Manufacturing Franchise 

Anda melihat Coca Cola dan Fanta di mana-mana. Begitu 

pula, Anda melihat KFC, McDonalds dan Pizza Hut di mana-

mana. Ada pula gerai vegetarian Loving Hut yang kini mengarah 

pada waralaba ritel. Produk-produk itu sesungguhnya dipro-

duksi di Bali, namun resep dan ‗bumbu rahasia‘-nya datang dari 

produsen. Produsen yang memiliki waralaba tidak akan pernah 

memberitahu Anda resep rahasia mereka. Sebagai penerima 

waralaba, Anda akan dibekali dengan pengetahuan tentang cara 

memasak dan sebuah bumbu rahasia yang langsung dipakai. Ini 

adalah ciri khas waralaba manufaktur. bila  kontrak waralaba 

Anda telah selesai, produsen bisa menjamin bahwa Anda tidak 

pernah tahu resep rahasia mereka dan tidak akan mengkloning 

bidang usaha mereka.  

Mengapa Waralaba tercipta? 

Sebagai tangan kanan kapitalisme, waralaba memang 

menawarkan perluasan usaha dalam waktu yang singkat. 

Kekuatan utama waralaba sesungguhnya terletak pada merek 

dan hak cipta. Produsen yang mewaralabakan bidang usahanya 

biasanya adalah perusahaan yang telah memiliki nama besar, 

atau perusahaan yang baru muncul dengan kapital dan prospek 

yang menjanjikan. Ace Hardware, misalnya, muncul di Indonesia 

dengan produk-produk Amerika yang mentereng. Karena orang 

Indonesia sangat suka sekali dengan merek-merek luar negeri, 

Ace Hardware langsung mendapat perhatian konsumen yang 

menyukai barang-barang bermerek prestigius.  

Lain halnya dengan Alfamart dan Indomaret. Sasaran 

mereka adalah warga  yang mobilitasnya tinggi, perantau, 

pekerja malam, dan mereka yang menginginkan kebutuhan 

sehari-hari dan ingin berbelanja dengan gaya modern. Kemu-

dian, hadirlah mereka dengan waralaba minimarket yang 

merambah hingga pelosok-pelosok desa. Orang hanya perlu 

menggelontorkan seratus jutaan rupiah untuk membeli wara-

laba Alfamart atau Indomaret dengan jangka waktu 

pengembalian modal sekitar satu atau dua tahun tergantung 

strategis atau tidaknya lokasi. 

Alasan yang paling fundamental mengapa waralaba 

tercipta dikemukakan oleh Jinye Li32, yakni adanya keinginan 

untuk balik modal dengan cepat melalui perluasan usaha yang 

tidak terlalu memakan banyak waktu dan biaya. Idealnya adalah, 

waralaba bertujuan mempersingkat waktu seseorang dalam 

mengembangkan modalnya. Dengan waralaba, seseorang tidak 

perlu lagi menumbuhkan usaha dari awal. Lagipula, memelihara 

usaha waralaba bisa mendatangkan passive income yang 

membuat seseorang merasa lebih nyaman. 

Ada beberapa teori yang menjelaskan mengapa perusa-

haan atau individu mengadopsi sistem waralaba. Teori pertama 

disebut dengan teori pengembangan modal (capital raising 

theory) yang dicetuskan oleh Li33. Teori ini terkait dengan 

kendala modal yang dihadapi perusahaan ataupun individu 

yang ingin mengembangkan usaha. Modal dalam hal ini bukan 

hanya berupa uang, namun juga aset seperti tanah dan gedung, 

sert sumber daya yang terbatas. Tak hanya itu, ketersediaan 

serta beban tenaga kerja juga menjadi alasan utama mengapa 

teori pengembangan modal ini muncul. Waralaba adalah solusi 

ampuh bagi suatu perusahaan ataupun individu untuk 

memperluas modal.  

Menurut teori pengembangan modal, perusahaan-perusa-

haan ataupun individu yang menjalin kerja sama waralaba 

dengan pemilik waralaba terkenal memiliki tujuan untuk mem-

perkuat modal mereka. Bagaikan janin yang bergantung pada 

nutrisi ibunya, perusahaan-perusahaan atau individu bermodal 

kecil ini memilih waralaba untuk ‗memperbesar diri‘. Sekali 

                                                           

mereka telah tumbuh besar, mereka cenderung memilih untuk 

menjadi direct sellers daripada melanjutkan kontrak waralaba. 

Karena itu, menurut teori ini, suatu cabang perusahaan waralaba 

X akan berdiri sendiri dari induknya segera sesudah  ia memiliki 

modal yang cukup besar. Ini adalah salah satu tujuan dari 

waralaba menurut teori capital raising. 

Teori ini nyatanya adalah yang paling cocok menggam-

barkan tentang mengapa waralaba ada. Menurut Thompson34, 

pemeliharaan modal bukan hanya faktor pendorong dari pihak 

penerima waralaba, namun juga dari pihak pemberi waralaba. 

Pemberi waralaba memiliki kendala dalam ekspansi, terutama 

ke wilayah lain dengan demografi, sistem politik dan sosial-

budaya yang berbeda. Sebagai anak emas kapitalisme, pemberi 

waralaba tentu saja membutuhkan ekspansi dan ekstensifikasi 

modal dengan menekan rasio pengorbanan. Karena itu, baik 

pihak pemberi waralaba dan penerima waralaba memiliki motif 

yang sama. 

Namun demikian, penerima waralaba yang telah memiliki 

cukup modal biasanya masih enggan ‗melepaskan diri‘ dan 

menjadi direct sellers. Dengan backup merek terkenal dan pasar 

yang luas, penerima waralaba cenderung bertahan daripada 

harus menghentikan kontrak dengan pemberi waralaba yang 

menguntungkan. bila  mereka harus melepaskan diri, mereka 

menghadapi risiko besar kehilangan modal untuk memulai 

branding dari awal. Tren ini tampaknya tidak berubah dari tahun 

90-an35 saat waralaba dunia barat mulai merambah Indonesia 

secara lebih pesat. Tipikal warga  Indonesia yang lebih 

                                                           

menyukai ‗pinjam nama‘ membuat teori ini tidak bisa 

sepenuhnya benar. 

Karena kelemahan teori pengembangan modal ini, muncul 

teori lain yang disebut teori pembagian risiko. Teori ini muncul 

pada tahun 1960-an dan menitikberatkan pada persoalan risiko 

yang dihadapi baik oleh perusahaan yang akan mengembang-

kan usaha maupun mereka yang ingin menopang usaha. Kedua 

belah pihak itu sama-sama memiliki rasa enggan (aversion) 

untuk menerima risiko, namun di saat yang sama keduanya 

ingin berkembang. Karena itu, perusahaan yang ingin bereks-

pansi pada akhirnya mewaralabakan perusahaannya untuk 

membagi risiko dengan penerima waralaba. Inilah sebabnya 

mengapa perusahaan atau individu penerima waralaba enggan 

meninggalkan kontrak waralaba walaupun modal mereka 

sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk maju ke direct sellers. 

Penjelasan teori pembagian risiko ini berhasil menjawab kele-

mahan teori pengembangan modal. 

Menurut teori ini, waralaba adalah sebuah permainan adu 

keseimbangan antara risiko dan keuntungan. Keismpulan dari 

teori ini adalah bahwa waralaba terjadi bila  kedua belah 

pihak sama-sama enggan terhadap risiko dan ingin membagi 

risiko itu bersama-sama dengan kompensasi sebanding dengan 

risiko ini. Dengan demikian, bila  risiko operasional tinggi, 

maka royalti juga menjadi tinggi. Dengan kata lain, risiko 

operasional berbanding lurus dengan royalti waralaba. Akan 

tetapi, Lafontaine (1992) menemukan bahwa dalam kenyataan-

nya, risiko operasional berbanding terbalik dengan royalti 

waralaba. bila  risiko operasionalnya terlalu tinggi, pihak 

penerima waralaba cenderung tidak memperpanjang lagi kon-

traknya dan pemberi waralaba lebih memilih untuk melakukan 

hal yang sama ketimbang menerima royalti meski lebih tinggi. 

Munculnya waralaba juga dilandasi alasan lain, yakni 

kebutuhan pemberi waralaba akan informasi. Dalam rangka 

ekspansi usahanya, produsen tidak semata-mata berurusan 

dengan modal, promosi dan penjualan. Segalanya tidak 

sesederhana itu. Produsen tidak akan semena-mena meng-

gunakan modalnya tanpa ada jaminan bahwa modal itu akan 

kembali dan berkembang dalam waktu yang sudah ditentukan. 

Karena itu, faktor risiko perlu dikaji. Guna mengkaji faktor risiko 

itu, produsen perlu mengumpulkan informasi. Alih-alih meng-

gelontorkan banyak biaya untuk eksplorasi, penelitian dan 

analisis ini-itu, produsen lebih memilih ‗menyewa‘ orang lokal 

untuk menjualkan produk atau jasanya. Jadilah ia pemberi 

waralaba atas dasar mencari informasi. 

BRI contohnya. Alih-alih menggelontorkan banyak biaya 

untuk mengedukasi warga  tentang pentingnya menabung 

dan betapa murahnya bunga kredit UMKM mereka, pihak BRI 

hanya perlu merekrut orang-orang yang berminat untuk 

menjadi agen BRI Link. Dengan sharing informasi dari ratusan 

ribu agennya, BRI mendapat  informasi mengenai situasi 

warga  perdesaan dan kredit macam apa saja yang mereka 

butuhkan. Di sisi lain, agen BRI Link juga mendapat  

keuntungan dari orang-orang yang menabung dan mengajukan 

kredit. Dengan adanya agen lokal yang tentu saja lebih intens 

dalam interaksi dengan warga  lokal, BRI tidak perlu 

menggali informasi secara in-depth ke pelosok-pelosok.  

Daihatsu juga punya cara jitu untuk menggali informasi. 

Anda mungkin pernah melihat iklan Daihatsu yang menam-

pilkan pengusaha hiasan penjor dari Gianyar. Daihatsu menjalin 

kerja sama waralaba dengan perusahaan lokal untuk menggali 

informasi tentang tren orang Bali memakai  mobil. Dengan 

informasi ini, Daihatsu menawarkan jenis mobil yang kompatibel untuk mendukung kebutuhan warga  dengan latar 

belakang budaya, seperti misalnya bagasi belakang yang lebar 

untuk mengangkut banten dan sarana upacara yang banyak, 

serta ban yang kokoh untuk menanjak di perbukitan Bali di 

mana orang-orang rantauan pulang kampung ketika Galungan. 

Bahkan, Daihatsu juga sampai tahu bahwa warga  Bali 

senang makan lungsuran sesudah  datang dari pura. Karenanya, 

perusahaan itu menyediakan tempat sampah yang lumayan 

besar di belakang jok mobil. 

Teori kebutuhan akan informasi didukung oleh Mathewson 

dan Winter36 dengan teori bahaya moral (moral hazard). Teori 

ini juga dikenal dengan teori reduksi supervisi. Suatu 

perusahaan dengan banyak cabang memiliki kendala dalam 

mengawasi bacang-cabangnya. Karena tindak-tanduk cabang 

sangat sulit sekali dipantau terus-menerus, maka cabang 

memiliki risiko bahaya moral (bahaya dalam hal integritas) 

terhadap perusahana pusat. Karena itu, perusahaan pusat 

(disebut dengan headquarters) melakukan supervisi terus-

menerus untuk memantau kinerja cabang-cabang. Supervisi ini 

memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. 

Dengan adanya sistem franchise, perusahaan memberikan 

sejenis otonomi kepada penerima waralaba untuk mengelola 

dan menjual produknya dalam koridor tertentu tanpa harus 

melakukan supervisi secara ketat. Pemberi waralaba hanya 

tinggal menerima royalti waralaba sesuai perjanjian. Adalah 

kewajiban penerima waralaba sebagai direct seller yang harus 

memenuhi kuota penjualan agar senantiasa melebihi biaya 

royalti waralaba.  

                                                           

Sesuai dengan prinsip waralaba, yaitu menyewa merek dan 

hak cipta, maka biaya royalti adalah titik lemah yang bisa 

dipermainkan oleh pemberi waralaba. Karena itu, perlindungan 

hukum diperlukan baik bagi pemberi maupun penerima 

waralaba agar tidak berlaku sewenang-wenang. Kita akan 

membahas perlindungan hukum terhadap pelaku usaha 

waralaba di bab-bab selanjutnya.  

Scott37 menemukan bahwa terdapat pula bahaya moral di 

pihak pemberi waralaba. Sudah menjadi rahasia umum bahwa 

baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba masing-

masing memiliki rahasia perusahaan maupun rahasia individu. 

Kelemahan dari pihak pemberi waralaba adalah ketidakmam-

puannya untuk memberikan dukungan dan pelatihan bagi 

penerima waralaba. Lebih jauh lagi, risiko moral yang dihadapi 

pemberi waralaba adalah tatkala ia gagal dalam promosi pro-

duk dan jasanya sehingga berimbas pada semua penerima 

waralaba atas perusahaannya.  

Karena Scott melihat permasalahan ini lebih menjurus pada 

integritas dan rasa saling bertanggung jawab secara moral 

antara kedua belah pihak, maka teori bahaya moral ini juga 

dikenal sebagai teori etis. Untuk menghindari ketimpangan etis 

ini, penerima waralaba biasanya lebih memilih mengangsur 

pembayaran royalti, dan pihak pemberi waralaba menyetujui hal 

ini  sebagai hak penerima waralaba. 

Satu lagi teori yang melandasi adanya waralaba adalah apa 

yang disebut Perryman dan Combs38 sebagai teori agen utama 

(principal-agent theory). Sebagai contoh, tatkala sebuah 

                                                          

perusahaan memiliki banyak rantai perusahaan, maka di setiap 

toko ia harus mempekerjakan seorang manajer toko. Ini tentu 

membutuhkan tambahan biaya dan beban gaji pegawai. Untuk 

menghindari hal itu, perusahaan mewaralabakan mereknya dan 

memberikan kesempatan sebebas-bebasnya bagi penerima 

waralaba untuk memasarkan produk dan jasanya. Melalui 

kontrak royalti, perusahaan bisa menerima income tetap dari 

penerima waralaba. Sementara itu, penerima waralaba harus 

kreatif agar ia memperoleh penghasilan melebihi biaya royalti 

yang harus disetorkannya kepada pemberi waralaba. Ini akan 

membuat penerima waralaba menjadi termotivasi dengan 

sendirinya. 

Menurut teori ini, yang senada dengan teori etis, waralaba 

dapat mengurangi faktor adanya masalah agensi dan supervisi 

perusahaan. Di sisi lain, waralaba memanfaatkan keinginan 

ekonomi penerima waralaba untuk giat berusaha agar keun-

tungannya berlipat ganda. Sistem waralaba memungkinkan 

pemberi waralaba untuk meredakan fluktuasi profit secara 

bertanggung jawab. Artinya, pemberi waralaba bertanggung 

jawab secara moral kepada penerima waralaba, misalnya de-

ngan memberi mereka pelatihan, update informasi dan bahkan 

baju seragam. 

Faktor pendorong berkembangnya waralaba 

Berawal dari sebuah perusahaan mesin jahit, sistem wara-

laba kini merambah berbagai sektor. Sektor pendidikan 

nonformal mulai melirik sistem waralaba sejak awal tahun 2000-

an, sebab melirik pasar pendidikan sebagai ladang yang subur. 

Banyak siswa tak puas belajar di sekolah sehingga waralaba 

pendidikan memiliki kekuatan pada metode pengajaran. 

Ganesha Operation, misalnya, memiliki metode the king yang 

fenomenal di awal tahun 2002-an. Metode dan kurikulum 

nonformal yang ditawarkan bahkan melebihi kesaktian kuri-

kulum sekolah. Ini yang menyebabkan waralaba sektor pendi-

dikan melesat. 

Di Indonesia sendiri, waralaba masih terasosiasi dengan 

makanan dan minuman. Namun di Bali sendiri, waralaba 

makanan dan minuman masih didominasi merek luar Bali. 

Sementara waralaba makanan dan minuman asli Bali tampaknya 

masih kalah bersaing dengan makanan instan dari luar. 

Faktor utama berkembangnya waralaba adalah keuntung-

annya yang relatif instan. Dengan bermodalkan uang lima puluh 

hingga seratus juta rupiah saja, seseorang bisa mendapat  

kontrak waralaba selama beberapa tahun, biasanya 10-15 tahun. 

Pada intinya, sistem waralaba dipilih oleh pengusaha kecil-

menengah karena mereka menginginkan keuntungan banyak 

dalam waktu jauh lebih singkat dibandingkan dengan jika 

mereka harus mendirikan perusahaan dari awal. 

Adanya kebutuhan warga  yang semakin meluas 

adalah faktor lain yang menyebabkan waralaba semakin 

diminati. Kebutuhan warga  yang sedemikian kompleks 

membuat produsen harus pandai-pandai memilih produk dan 

jasa yang memberikan banyak keuntungan. Tak jarang, satu 

produsen bisa memproduksi berbagai jenis barang dalam satu 

brand. Ini bertujuan mengakomodasi kebutuhan warga  

yang semakin meluas. Di desa-desa atau pinggiran kota, 

waralaba diminati karena memungkinkan orang-orang berbel-

anja kebutuhan umum dengan jarak yang lebih dekat. 

Kebutuhan warga  yang semakin kompleks ini didorong 

oleh demografi yang menyebar begitu luas dan heterogen. Di 

kota-kota besar, misalnya, warga  begitu heterogen 

sehingga kebutuhannya sangat beragam. Dengan adanya 

waralaba, pemilik waralaba (pemberi waralaba) bisa menjangkau 

demografi yang lebih luas dengan heterogenitas tinggi tanpa 

perlu tambahan biaya riset, biaya pegawai atau beban sewa. 

Tentu saja hal ini sangat menguntungkan sebab pemilik 

waralaba hanya perlu menjaga image mereknya dari satu 

tempat dan menjaga standar kualitas elemen-elemen usaha 

yang diwaralabakan. 

Bayangkan saja bila  Pertamina harus melakukan 

manajemen dan supervisi langsung terhadap ratusan ribu 

SPBU-nya di seluruh Indonesia. Tentu biaya yang dikeluarkan 

akan cukup besar. Karena itu, mulai tahun 2003 Pertamina 

membuka peluang waralaba dengan pihak swasta. Anda mung-

kin kadang tidak menyadari bahwa sebagian SPBU bukanlah 

milik Pertamina saja. Sebagian SPBU (yang ditandai dengan 

penomoran yang berbeda) adalah franchise. Dengan kata lain, 

seseorang telah membeli hak cipta dan merek Pertamina serta 

menjual produk Pertamina dalam sistem waralaba yang dikenal 

sebagai sistem DODO dan CODO. Tentu saja, Pertamina 

memberlakukan sistem yang ketat terkait pengaturan harga dan 

distribusi untuk mencegah terjadinya penimbunan BBM dan 

mempertahankan eksistensinya sebagai perusahaan monopoli 

bahan bakar di Indonesia. Anda bisa mencoba menjadi juragan 

minyak dengan membeli franchiseSPBU Pertamina. Modalnya 

cukup lima miliyar saja ditambah lahan seluas minimal 1.500 

meter persegi. 

Dari pihak produsen, adanya sistem waralaba menghindar-

kannya dari pajak bea cukai, terutama bila  barang dan jasa 

mereka dijual ke luar negeri. Bayangkan jika Coca Cola harus 

mengirim barangnya dari Atlanta ke Denpasar. Harga satu 

kaleng Coca-Cola bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Beruntung, 

dengan sistem waralaba, Coca Cola Company bisa menjual hak 

cipta produk dan prosedur resep coke-nya yang istimewa itu ke 

banyak franchisee di seluruh dunia. Bahkan, Coca Cola 

memperbolehkan para franchisee-nya untuk mengubah gaya 

penulisan merek Coca Cola di botol kemasan. Karena itu, Anda 

akan melihat banyak jenis logo Coca Cola di berbagai negara di 

dunia yang ditulis dengan aksara-aksara yang berlainan, mulai 

dari aksara Latin, Sirilik, Jepang, Korea hingga Mandarin. 

Karena perusahaan luar negeri banyak ‗menebar benih‘ di 

negara-negara lain dengan sistem waralaba, mereka dengan 

sendirinya terbebas dari pajak bea cukai yang tergolong tinggi. 

Sebagai gantinya, pemerintah memberlakukan jenis pajak lain. 

Aturan-aturan hukum mengenai waralaba asing akan kita bahas 

dalam bab selanjutnya.  

Sistem waralaba juga memungkinkan perusahaan asing 

terhindar dari beban tenaga kerja luar negeri dan upah standar 

pekerja luar negeri. Mari kita ambil contoh India. Sebelum 

sebuah perusahaan mengirim tenaga kerja asing dari luar India, 

perusahaan itu harus memastikan bahwa gaji tahunan karyawan 

asing yang dipekerjakan di India itu lebih dari lima ribu dolar. Ini 

tentu membuat kepala pengusaha semakin pening. Karena 

kebijakan dalam negeri masing-masing negara berbeda-beda, 

suatu perusahaan yang ingin mengembangkan usahanya ke 

negara lain akan terkendala berbagai hal. Dengan waralaba, 

pengusaha atau produsen bisa memberlakukan prinsip mencari 

informasi, dengan melibatkan warga negara lain untuk menjadi 

penerima waralabanya. Dengan demikian, produsen luar negeri 

akan terbebas dari beban gaji standar karyawan yang bekerja 

luar negeri. 

Dalam kasus inilah waralaba sering dianggap sebagai 

tangan kanan kapitalis. Waralaba bagaikan sebuah tombak yang 

bisa menembus apa saja, memungkinkan ekspansi perusahaan 

dengan jauh lebih pesat tanpa diblokir oleh segudang pera-

turan perdagangan antarnegara yang ruwet. Tak heran, 

perusahaan-perusahaan besar langsung bisa berkespansi 

dengan cabang-cabang yang banyak hampir bersamaan di 

seluruh dunia.  

Namun tak bisa dimungkiri bahwa waralaba memiliki peran 

positif dalam menggerakkan perekonomian rakyat dengan lebih 

baik. Setiap orang ingin meningkatkan pendapatannya dengan 

pengorbanan sekecil-kecilnya. Salah satu prinsip dasar sebuah 

usaha adalah Anda harus selalu punya modal. Dengan modal, 

Anda bertaruh dan memperjuangkan agar modal itu berbuah 

dan terus berkembang. Waralaba menawarkan pertumbuhan 

modal yang jauh lebih pasti daripada jika Anda berusaha dari 

nol. Dengan merek yang sudah terkenal dan prosedur standar 

yang sudah teruji, Anda hanya tinggal membelinya dan 

mengembangkannya di wilayah Anda.  

Faktor fundamental terakhir yang membuat waralaba 

semakin menjamur adalah proteksi dan pengaturan hukum 

yang masih lemah. Waralaba, sebagaimana halnya jenis taktik 

usaha lain, selalu memiliki kelebihan dan kelemahan. Meskipun 

waralaba menawarkan investasi yang ringan dan BEP yang 

relatif cepat, waralaba juga berpotensi mematikan pengusaha 

mikro yang modalnya masih kecil sekali. Karena itu, 

perlindungan hukum yang tepat sasaran dan adil harus 

dirancang dan diberlakukan untuk melindungi sektor usaha 

kecil agar tidak tergilas roda waralaba yang semakin menggila. 

Keuntungan dan kerugian waralaba 

Barangkali Anda masih ingat dengan peristiwa yang sempat 

melanda Sari Roti di tahun 2017 silam. Karena isu-isu negatif, 

Sari Roti mengalami penurunan omset secara drastis. Meskipun 

pada akhirnya perusahaan itu bangkit lagi dengan harapan 

cerah, orang bisa belajar banyak dari tragedi yang pernah 

menimpanya hanya gara-gara satu-dua gerai yang dianggap 

‗bermasalah‘ dengan pihak-pihak tertentu. Nah, gara-gara satu-

dua gerai yang mengalami masalah, seluruh agen franchise Sari 

Roti di Jabodetabek kena imbasnya. Omset mereka rata-rata 

turun drastis selama beberapa bulan.  

Kasus ini  adalah salah satu kelemahan sistem wara-

laba. Memang, waralaba menawarkan solusi pertumbuhan 

bisnis yang cepat, namun bukan berarti risikonya tidak ada. 

Prinsip paling pokok dalam waralaba adalah bahwa Anda 

membeli merek dan nama baik sebuah produk atau jasa dan 

menjualnya secara kreatif. Jadi, Anda berkewajiban untuk turut 

menjaga standar baku dan jaminan mutu yang telah ditentukan 

oleh perusahaan pemberi waralaba. bila  Anda berbuat 

ulah,—misalnya lupa bahwa roti lapis yang Anda jual seha-

rusnya sudah diganti karena kadaluwarsa,—maka konsumen 

akan cenderung menganggap bahwa semua toko roti lapis 

merek X menjual roti kadaluwarsa. Gara-gara Anda menjual 

sebungkus roti kadaluwarsa dan lupa menggantinya, semua 

penerima waralaba roti X di wilayah Anda bisa terkena 

imbasnya. Barangkali ini menjadi sebab utama mengapa Tuan 

Crab enggan mewaralabakan Craby Patty yang legendaris itu. 

Jadi, yang menjadi kelemahan utama waralaba adalah ‗satu 

salah semua kena‘. Ini mirip seperti hukuman kesalahan dalam 

pasukan baris-berbaris, di mana kesalahan satu individu ditang-

gung oleh semua anggota pasukan. Secermat apa pun Anda 

memilih waralaba, faktor ‗satu salah semua kena‘ ini kadng tidak 

dapat dihindarkan.  

Contoh lain ada di salah satu toko ritel waralaba di Amerika 

Serikat. Seorang kasir toko ini suatu ketika menyapa seorang 

(maaf) transgender dengan sebutan ‗pak‘. Transgender ini 

langsung murka dan mencaci sang kasir. Tak sampai beberapa 

jam kemudian, seluruh cabang waralabanya di seluruh negara 

bagian dicap sebagai toko yang tidak ramah pada transgender. 

Video dan beritanya viral selama beberapa minggu di media 

sosial di awal 2019 lalu. 

Waralaba memang menawarkan keuntungan yang besar 

bagi penanam modal. Walaupun modal awalnya bisa dikatakan 

cukup menguras rekening, kembalinya modal itu bisa 

dipastikan. Sayangnya, penerima waralaba terikat tanggungan 

royalti atas elemen-elemen hak cipta yang diwaralabakan. 

Untuk menjamin bahwa perusahaan pemberi waralaba mela-

kukan kewajibannya sebagai trainer dan pendukung penerima 

waralaba, maka banyak penerima waralaba yang mencicil 

pembayaran royaltinya setiap tahun. Tak hanya kewajiban 

membayar royalti, penerima waralaba juga dihadapi dengan 

durasi kontrak. Artinya, selama kontrak waralaba berjalan, 

penerima waralaba tidak diperbolehkan mengelola usaha lain. 

Bahkan, beberapa pemberi waralaba yang strik melarang 

penerima waralabanya untuk mengembangkan unit usaha lain 

di samping waralaba itu saja. Ini tentu menimbulkan sedikit 

tekanan pada si penerima waralaba dna mengurangi krea-

tivitasnya. Faktor ini juga membuat penerima waralaba menjadi 

kurang fleksibel dan kurang inovatif. Beberapa pengamat dunia 

usaha juga menyebut kelemahan waralaba ini sebagai peng-

hambat kemajuan dan kreativitas penerima waralaba. 

Lebih lanjut lagi, penerima waralaba juga terikat dengan 

supplier yang ditentukan oleh pemilik waralaba. Sebagai contoh, 

Anda yang membuka toko roti lapis mengetahui bahwa ada 

supplier yang menawarkan harga lebih murah. Namun, Anda 

tidak bisa serta merta membeli dari supplier roti tawar itu 

karena pemilik waralaba Anda telah menentukan supplier-nya 

sendiri. Anda harus mengikuti standar itu semahal apa pun 

harganya. 

Lagipula, tak semua waralaba yang terkenal bisa dijalankan 

dengan mulus di tangan yang berbeda. Waralaba ritel terkenal, 

si sobat Alfamart dan Indomaret, adalah salah satu contohnya. 

Kendala terberat yang ditanggung oleh penerima waralaba ritel 

minimarket ini adalah gaji karyawan. Pemerintah melalui 

undang-undang ketenagakerjaan mewajibkan pemilik usaha 

untuk menggaji karyawannya setara UMR atau lebih. Jika tidak 

demikian, si pemilik usaha bisa masuk penjara karena kasus 

perbudakan atau kerja paksa. Selain itu, waralaba ini mengalami 

kendala dalam perizinan di setiap daerah. Beberapa desa 

pakraman di Bali benar-benar melarang adanya minimarket 

dalam wujud apa pun di wilayah desa pakraman. Ini dilakukan 

untuk melindungi warga desa yang berjualan di pasar 

tradisional dari ancaman monopoli. 

Terlepas dari semua kerugian dan keuntungan ini , 

sistem waralaba nyatanya semakin berkembang dan menjadi 

lebih fleksibel. Titik lemah sistem waralaba mulai diperbaiki, dan 

di masa depan kita bisa berharap untuk melihat sistem waralaba 

yang lebih kuat lagi dan lebih mengedepankan prinsip saling 

menguntungkan. 

tahun 1962, sebuah buku fenomenal terbit di Kanada. 

Judul buku itu The Guttenberg Galaxy: The Making of 

Typographic Man, yang ditulis oleh pakar komunikasi 

Marshal McLuhan. Dalam buku ini  ia mencetuskan 

satu teori fenomenal yang disebut sebagai determinisme 

teknologi. Sebenarnya, teori ini telah tercetus pada tahun 1920 

sebagai respons para peneliti terhadap tren revolusi industri, 

Perang Dunia  Pertama yang melibatkan berbagai jenis senjata 

yang tidak pernah ada sebelumnya, hingga prestasi manusia 

dalam membuat kapal pesiar Titanic yang legendaris. Teori ini 

menyatakan bahwa inovasi dalam bidang teknologi informasi 

dan teknologi komunikasi akan memberi dampak perubahan 

yang sangat besar bagi kehidupan manusia. 

Teori ini percaya bahwa budaya manusia dibentuk dari 

bagaimana cara anggota warga  berkomunikasi. Dengan 

kata lain, budaya pertama-tama terbentuk oleh cara dua 

individu berkomunikasi. Teori ini juga menyebutkan bahwa 

penguasaan teknologi adalah cara yang paling efektif untuk 

mengendalikan warga . Oleh karena itu, perubahan tekno-

logi memiliki dampak langsung pada perubahan sosial-budaya 

manusia. Pada dasarnya, teknologi adalah suatu efektivitas 

kerja. Dengan kata lain, kata kunci untuk teknologi adalah 

efisiensi kerja. Teknologi adalah tentang bagaimana orang 

memenuhi kebutuhannya secara lebih efisien. Dengan kom-

puter, Anda bisa mengetik dengan lebih baik tanpa harus 

membuang-buang kertas. Dengan smartphone dan aplikasi jual 

beli daring, Anda tidak perlu lagi membuka toko untuk menjual 

barang atau jasa. Semua ini berujung pada efisiensi.  

Dalam kenyataannya, titik efisiensi senantiasa berubah. 

Sudah menjadi kodrat alami manusia, tatkala ia mencapai titik 

tertentu, maka dia meninggikan standarnya. Tatkala Facebook 

pada tahun 2006 berhasil membuat chat pertamanya, ia 

mengembangkannya lagi dengan menambahkan berbagai jenis 

emoji. Ketika mobil pertama dibuat tanpa power steering, kini 

orang bisa menyetir hanya dengan satu tangan, dan besok 

malah tanpa tangan samasekali.  

 Salah satu sampul buku terbitan Guepedia, penerbit buku indie 

yang sepenuhnya dijalankan dengan modus daring tanpa sistem musyawarah 

perjanjian bermeterai yang ribet. Di masa digitalisasi, bentuk perjanjian bukan 

lagi perjanjian dua belah pihak, namun perjanjian setuju dan tidak setuju. Ini 

menjadi persoalan baru di bidang ekonomi, ketenagakerjaan dan HAM. 

 

 

Ada dua kata penting yang akan menjadi fokus dalam bab 

ini, yakni waralaba dan milenial. bila  digabung, keduanya 

bisa memunculkan ide yang benar-benar baru. Zaman milenial 

ini adalah saat di mana setiap orang bisa mendapat  peluang 

eksistensi dan mendapat  apa yang mereka butuhkan 

dengan cara yang lebih cepat dan murah. Walaupun hanya 

beberapa puluh persen saja dari total pengguna internet yang 

membeli kebutuhan hidup secara daring, kecenderungan ini 

terus meningkat dari tahun ke tahun.  

Teknologi informasi menyebabkan sistem waralaba juga 

berubah. Mulai 2010, telah muncul waralaba berbasis digital di 

berbagai negara. Perusahaan-perusahaan startup yang bermun-

culan baru-baru ini tampaknya sudah memiliki benih waralaba 

sejak pertama dilahirkan. Sebagaimana prinsip waralaba, yakni 

adanya perjanjian antara kedua belah pihak untuk menggu-

nakan hak cipta, ciri khas atau prosedur suatu usaha, maka 

hampir separuh perusahaan startup di era milenial ini adalah 

perusahaan waralaba digital. Trennya adalah, perusahaan pem-

beri waralaba cenderung menyasar penerima waralaba dari 

kalangan perseorangan. Go-Jek dan Grab, misalnya, adalah 

perusahaan waralaba berbasis platform yang efektif sekali. 

Untuk memakai  atribut Go-Jek, mulai dari jaket, helm, 

hingga aplikasi untuk driver, seseorang harus melakukan 

registrasi dan melakukan pembayaran. Jadi, jaket dan helm Go-

Jek sebenarnya tidak gratis. Ini adalah bagian dari sistem 

waralabanya1. Untuk mendapat  hak akses ke aplikasi dan 

menerima pelanggan, seorang driver harus membayar sejumlah 

uang. sesudah  membayarkan sejumlah uang kepada perusahaan, 

barulah mereka mendapat  sejenis ‗pulsa driver‘ yang 

berkurang setiap kali driver mendapat  penumpang. Selisih 

antara ‗pulsa driver‘ ini dan ongkos antaran yang tertera pada 

aplikasi pelanggan adalah keuntungan yang didapat oleh si 

abang ojol. 

Teknik prabayar ini terbukti sukses membuat Go-Jek men-

jadi perusahaan yang membantu ekonomi warga  kecil 

                                                           

yang membutuhkan pekerjaan tanpa harus melalui pelatihan 

yang rumit. Seorang driver Go-Jek tidak perlu lisensi pengemudi 

transportasi umum, SIM B atau mengikuti pelatihan mengemudi 

selama beberapa minggu. Mereka pun tidak perlu mengerjakan 

tes-tes yang memeras otak. Dengan mendaftar menjadi driver 

Go-Jek dan bermodal kendaraan sendiri, orang bisa menjadi 

driver. Dengan royalti yang dbayarkan dengan cara seolah-olah 

membeli pulsa, para driver tidak merasakan beban berat tatkala 

harus membayar royalti merek Go-Jek yang tertera di 

punggung, belakang kepala dan dalam smartphone-nya. Benar-

benar cara yang cerdas. 

Berkat sistem waralaba ini, Go-Jek laku keras. Orang kini 

bisa memanggil ojek tanpa melambai-lambaikan tangan di tepi 

jalan, tanpa perlu datang ke pangkalan sebab pangkalan ojek 

kini berada di dalam smartphone. Jadilah Go-Jek sebuah 

perusahaan jasa transportasi yang tidak memiliki satu pun alat 

transportasi. Go-Jek murni hanya menjual sistem dan mereknya.  

Munculnya mode transportasi umum daring membuat 

penyedia jasa transportasi konvensional marah-marah. Di awal 

kemunculannya, belum ada peraturan pemrintah atau undang-

undang yang mengatur pergerakan jasa transportasi daring 

serta penentuan tarifnya. Ketiadaaan undang-undang ini 

membuat perusahaan penyedia transportasi daring bebas 

menentukan harga, dan seringkali harga yang mereka tawarkan 

jauh lebih murah daripada transportasi konvensional berbasis 

argo. Otomatis, warga  lebih memilih ojek online. 

Yang tren juga saat ini adalah sebuah waralaba daring 

bernama Airbnb. Airbnb fokus pada penyedia jasa penginapan 

di Amerika Serikat. Kerennya, berkat Airbnb setiap orang kini 

bisa menjadi manajer hotel. Mereka hanya perlu menata 

beberapa kamar kosong di rumah mereka, lalu menjualkan jasa 

penginapan murah di aplikasinya dengan merek Airbnb. Tren 

yang terjadi adalah adanya peningkatan minat pada penginap-

an murah ini daripada hotel.  

Di Bali sendiri, meskipun permintaan terhadap kamar hotel 

masih tinggi, ada tren baru mulai tahun 2014. Wisatawan asing 

tampaknya cenderung lebih memilih menginap di homestay, 

viladan kamar-kamar sewaan sederhana dibandingkan dengan 

menginap di hotel-hotel berbintang. Ini yang menyebabkan 

permintaan homestay dan vila di daerah Ubud, Payangan dan 

Tampaksiring meningkat2. bila  di kemudian hari warga  

Bali bisa mengelola dan menata lingkungan perumahannya, 

bukan tidak mungkin lagi setiap rumah bisa menjadi hotel mini 

yang dijajakan dalam mode waralaba sejenis Airbnb. 

                                                           

Instanisasi dan perubahan perilaku 

Kata kunci lain dalam bab ini adalah ‗instan‘ dan 

‗instanisasi‘. Widhiasthini3 memakai  termin ini sebagai kata 

lain yang menunjuk pada kemampuan sistem waralaba untuk 

mempercepat pertumbuhan modal dan ekspansi usaha. 

Kenyataannya, instanisasi usaha di era milenial ini memang 

benar terjadi hampir dalam segala aspek kehidupan. Ini adalah 

salah satu pengejawantahan keinginan manusia yang semakin 

menggebu-gebu dalam memperoleh sesuatu atau mencapai 

tujuannya.  

Konsumen, menurut Sumarwan4, adalah pembeli, peng-

guna, pengambil keputusan dan/atau pelanggan. Seorang 

konsumen akan melakukan tindakan yang disebut perilaku 

konsumen terhadap barang, jasa, merek, harga, dan kualitas 

suatu produk atau jasa. Dalam sistem waralaba, seorang 

penerima waralaba boleh dikatakan bertindak sebagai seorang 

konsumen dari merek, hak cipta, ciri khas atau cetak biru 

sebuah perusahaan. Tujuan dari penerima waralaba adalah 

untuk menjadi perpanjangan tangan dari perusahaan pemberi 

waralaba. Jadi, boleh dikatakan bahwa penerima waralaba akan 

menjadi sejenis reseller. Bedanya adalah, penerima waralaba 

hanya menjadi reseller cetak biru dari kekhasan produk atau jasa 

yang diputuskan oleh pemberi waralaba. 

Penerima waralaba yang bertindak sebagai konsumen cetak 

biru perusahaan pemberi waralaba berposisi sebagai pihak yang 

diberikan hegemoni. Artinya pemberi waralaba memiliki hege-

moni terhadap penerima waralaba. Ini mirip seperti ketika Anda 

                                                           

menjual produk buatan Anda. Anda memiliki hegemoni atas 

konsumen Anda, sebab konsumen memerlukan produk Anda. 

Semakin kuat produk Anda, maka semakin berpengaruh pula 

hegemoni Anda. Secara tak kasat mata, hegemoni adalah faktor 

yang mengikat warga  tanpa kekerasan5. Ini akan terlihat 

nyata tatkala Anda membeli sabun atau pasta gigi. Secara tidak 

langsung, Anda telah terhegemoni bahwa bila  Anda tidak 

memakai  pasta gigi berkalsium, maka gigi Anda akan 

berlubang. Dengan demikian, Anda terikat untuk patuh pada 

produsen pasta gigi berkalsium. 

Pada tahap pembelian franschise, penerima waralaba berla-

ku sebagai konsumen cetak biru. Karena itu, penerima waralaba 

melakukan apa yang disebut sebagai perilaku konsumen. 

Tindakan apa pun yang dilakukan oleh konsumen dalam rangka 

mendapat , mengkonsumsi, serta menghabiskan nilai suatu 

barang dan jasa, serta segala proses pengambilan keputusan 

dan persepsi yang mendahului dan mengakhiri segala tindakan 

ini adalah rentangan dari perilaku konsumen6. Pengertian lain 

dari perilaku konsumen adalah perilaku yang diperlihatkan 

konsumen dalam mencari, membeli, memakai , menilai, 

serta mengurangi nilai barang dan jasa untuk memuaskan 

kebutuhannya7. bila  Anda ingin membeli sebuah tas baru, 

segala hal tentang bagaimana Anda memutuskan untuk 

membelinya, di mana Anda membelinya, dengan cara apa Anda 

membayarnya, termasuk mengapa Anda lebih memilih tas yang 

simpel atau tas yang bermerek terkenal, semua itu termasuk 

dalam kajian perilaku konsumen. 

                                                           

Inilah sebabnya mengapa ilmu perilaku konsumen adalah 

ilmu yang luas,—yang adalah gabungan dari teori-teori psikolo-

gi, makna, sosial, dan bahkan pragmatik. Secara umum, perilaku 

konsumen disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor internal dan 

faktor eksternal. Secara intenal, perilaku Anda dalam memilih 

barang dan jasa dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti konsep 

diri, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, dan pola 

konsumsi Anda. Dari luar, keputusan Anda untuk membeli tas 

yang bermerek atau tidak bermerek datang dari lingkungan dan 

keluarga, teknologi, kelompok acuan, sosial-budaya, ekonomi, 

dan bahkan agama.  

Freud (dikutip oleh Sumarwan8) menyatakan bahwa mental 

manusia memiliki tiga bagian, yakni identitas, ego, dan 

superego. Contohnya seperti ini. Semua manusia memiliki rasa 

lapar dan keinginan untuk makan. Suatu hari, Anda sangat 

tertarik pada buah pisang ranum milik tetangga Anda. Rasa 

                                                           

ketertarikan alamiah pada makanan lezat ini adalah identitas 

Anda,—dengan kata lain, sifat insting yang Anda, saya dan 

semua orang miliki. Istilah lain untuk menyebut identitas adalah 

insting. Ketika Anda ingin memetik buah pisang itu, tiba-tiba 

Anda berpikir, ―Buah ini bukan milik saya, jadi saya tidak boleh 

mengambilnya.‖ Jadi, ada konsep yang tertanam dalam diri 

Anda bahwa mengambil barang yang bukan milik sendiri adalah 

salah. Ini yang disebut sebagai superego. Sementara itu, ego 

adalah keputusan yang Anda ambil: apakah Anda akan mencuri 

buah pisang lezat itu atau minta izin kepada pemiiknya untuk 

membelinya barang beberapa biji. 

Perilaku konsumen senantiasa bergerak antara tiga bagian 

mental ini. Perilaku konsumen disebabkan secara internal oleh 

konsep diri Anda. Ketika konsep diri dipadukan dengan 

penawaran merek yang sesuai dengan konsep diri Anda, itulah 

yang membuat Anda memutuskan membeli barang atau jasa 

sesuatu yang mendukung konsep diri Anda, sehingga Anda 

merasa puas9. 

Secara eksternal, perilaku konsumen dipengaruhi oleh 

beberapa faktor. Faktor utamanya, menurut Sumarwan, adalah 

faktor lingkungan dan keluarga. Di Bali, misalnya, ada tren 

perilaku konsumen unik yang dipengaruhi oleh faktor ling-

kungan dan keluarga. Sepanjang tahun-tahun pertama abad 

milenial, Bali dibanjiri buah-buahan impor, terutama menjelang 

hari raya Galungan dan Kuningan. Penyebabnya adalah, tingkat 

konsumsi buah impor di Bali meningkat drastis selama tahun 

itu. Satu keluarga yang membeli buah-buahan impor biasanya 

membuat sebuah gebogan (di Bali utara lazim disebut pajegan). 

Dalam sebuah gebogan, buah-buahan dirangkai sedemikian 

                                                           

rupa membentuk tingkat-tingat yang indah. Orang yang ekono-

minya menengah ke bawah biasanya tidak membuat gebogan, 

namun mengemas buah-buahan dalam sebuah wadah anyaman 

yang disebut keben. Karena prestise dan malu dilihat orang lain, 

banyak orang pada akhirnya berlomba-lomba membuat 

gebogan dari buah impor. Syukurlah kini tren ini telah kada-

luwarsa berkat perkembangan teknologi informasi. Ternyata, 

banyak buah impor yang disemprot zat kimia berbahaya dan 

dijual dengan harga murah. Ini yang menyebabkan tren buah 

impor belakangan merosot di Bali. 

Yang aneh juga di Bali terkait perilaku konsumen adalah 

tren jumlah sesari. Sesari adalah sejenis sumbangan, atau amal, 

dalam bentuk sejumlah uang yang dipakai  untuk pemeliha-

raan tempat suci dan santunan kepada orang-orang suci. Sesari 

biasanya diselipkan pada sesajen dan dimasukkan ke dalam 

kotak. Secara prinsip ekonomi, memberikan sesari adalah ter-

masuk proses konsumsi, sebab pemberi sesari mendapat  

kepuasan batin ketika memberikan uang. Masalahnya adalah, 

tingkat kepuasan batin lama-kelamaan dipengaruhi oleh stan-

dar yang dilihat seseorang dari kelompok acuannya. Misalnya, si 

A ingin menyumbang uang dua ribu rupiah, sementara semua 

anggota kelompok lainnya menyumbang lima ribu rupiah. 

Karena pengaruh kelompok ini, si A ingin menyumbang lebih 

karena memakai acuan standar kelompoknya.  

Subawa & Widhiasthini (2018)10 malah menemukan hal unik 

bahwa di Bali sendiri, perilaku konsumen dipengaruhi oleh 

empat faktor yakni budaya follower, citra, gaya hidup instan dan 

prestise. Kebanyakan kalangan warga  yang dipengaruhi 

oleh keempat faktor ini adalah mereka yang berpenghasilan 

                                                           

rendah, mahasiswa, dan para profesional. Dalam salah satu 

wawancaranya, Subawa dan Widhiasthini mendapat  simpul-

an bahwa konsumen mengalami kebimbangan karena mem-

bandingkan diri dengan rekan-rekan kerja, sehingga mau tidak 

mau konsumen terpacu untuk mengikuti semacam ‗standar‘ 

acuan dalam kelompok mereka.  

Kebimbangan yang disebabkan oleh standar dari kelompok 

acuan dimanfatkan oleh produsen untuk memasarkan pro-

duknya. Anda mungkin masih ingat iklan internet murah di awal 

tahun 2009. Slogannya yang terkenal adalah ―hari gini ga pake 

internet?‖ Ini adalah salah satu teknik untuk memberi sugesti 

bahwa ―hanya kamu yang tidak punya internet, sementara 

semua orang lain sudah punya. Ayo cepat beli produk kami.‖ 

Teknologi adalah faktor utama lain yang membuat kegiatan 

manusia menjadi efisien. Ada tiga aspek esensial dalam kehi-

dupan manusia yang berubah berkat teknologi: komunikasi, 

transportasi, finansial. Berkat kemajuan teknologi, ketiga hal 

fundamental itu sekarang makin cepat. Semakin mudahnya 

akses komunikasi, informasi, transportasi dan keuangan mem-

buat warga  berpikir untuk serba instan, termasuk dalam 

hal permodalan. Faktor ini pula yang menyebabkan sistem 

waralaba menjamur belakangan ini. 

Terdapat faktor lain yang mendorong perilaku calon 

franchisee dalam memilih waralaba. Beberapa survei dari tahun 

ke tahun mengungkap kecenderungan faktor yang berubah 

ubah tidak hanya dari segi internal, namun juga eksternal. 

Junaidi11 meneliti kecenderungan faktor pendorong utama yang 

menyebabkan larisnya pembelian waralaba ritel Alfamart di 

Jabodetabek. Ditemukan bahwa pengaruh yang paling 

                                                           

signifikan datang dari faktor keinginan pribadi penerima 

waralaba untuk mengembangkan bisnis dan menjadi wirausaha. 

Kemudian, faktor harga jual produk Alfamart dan variasinya 

membuat waralabanya diminati. Dari sisi pemberi waralaba, 

yang membuat waralaba Alfamart sangat laris adalah sistem 

manajemen yang terstruktur, komunikasi yang baik dengan 

pemberi waralaba, prosedur operasi yang mudah dan tertata 

dengan baik, analisis keuangan yang simpel, serta jangka waktu 

BEP yang tidak terlalu lama. Tak hanya itu, faktor citra 

perusahaan pemberi waralaba juga menjadi faktor penting. Citra 

perusahaan ini meliputi popularitas merek, manajemen, 

pelayanan toko, penampilan pegawai dan perwajahan toko, 

serta luasnya jaringan toko. 

Di tahun-tahun berikutnya, survei dilakukan oleh Imanullah 

dan rekan-rekannya dengan mengambil sampel pengusaha 

waralaba di provinsi-provinsi di Indonesia. Hasilnya, sebagian 

besar faktor yang membuat orang memilih usaha waralaba 

adalah faktor popularitas perusahaan pemberi waralaba dan 

cetak birunya. Dengan kata lain, larisnya waralaba di tahun 2009 

disebabkan utamanya karena hak kekayaan intelektualnya yang 

unik. Kemudian, faktor distribusi tempat menduduki peringkat 

kedua, yang disusul oleh jumlah modal awal yang tidak 

memberatkan, serta kemampuan pemberi waralaba untuk 

melakukan promosi. Studi ini menemukan bahwa hak kekayaan 

intelektual menjadi faktor penting sebab elemen ini telah 

terlindungi di Indonesia, walaupun belum setegas negara-

negara maju12. 

Ada lagi penelitian lanjutan di tahun 2015 silam. Fatimah 

(2015) menemukan bahwa faktor kecanggihan teknologi 

                                                           

menjadi pendorong utama kalangan perempuan melakukan 

bisnis, termasuk waralaba di Jakarta13. Di Medan, faktor 

pendorong utama pembelian waralaba adalah popularitas 

merek, terjangkaunya modal, besarnya potensi keuntangan dan 

jenis produk14. Melompat ke Istanbul, Turki, faktor yang 

mendorong terbelinya waralaba adalah karena faktor fungsi 

operasi merek dan insentif yang diberikan, kemudian baru 

diikuti oleh faktor kemudahan teknologi15. 

Lalu, apa yang kita dapatkan dari data ini? Kesimpulannya 

adalah, para penerima waralaba sepakat bahwa waralaba 

sanggup memberikan instanisasi baik modal, pengerjaan dan 

keuntungan. Mereka cenderung memilih waralaba yang kredibel 

secara merek dan standar operasi. Tak hanya itu, kemampuan 

pemberi waralaba untuk memasarkan produk dan jasanya juga 

menjadi bahan pertimbangan yang cukup tinggi. Ambillah 

contoh Ace Hardware. Dalam selang beberapa tahun saja, 

merek waralaba itu telah berhasil bersanding dengan toko-toko 

perabotan di tanah air. Melalui kekuatan mereknya yang 

mendunia dan tokonya yang besar dan eksklusif, Ace Hardware 

segera merajai pasar perabotan rumah tangga di tanah air. 

Perubahan perilaku konsumen menyebabkan pemberi 

waralaba juga harus menjaga image merek dan cetak biru yang 

mereka tawarkan. bila  pemberi waralaba gagal melakukan 

fungsi support-nya, seluruh cabang waralabanya bisa terkena 

dampak. Karena itu, pemberi waralaba juga harus ramah 

                                                           

dengan faktor-faktor utama mengapa sebuah waralaba dibeli 

oleh calon pengusaha. 

Telah dijelaskan di atas bahwa tatkala menerima waralaba, 

penerima waralaba bertindak selaku konsumen dari hak cipta 

dan sistem operasional perusahaan pemberi waralaba. Dengan 

dikontraknya hak cipta dan sistem operasional, maka penerima 

waralaba pada saat yang bersamaan menjadi agen dari 

produsen. Dengan kata lain, produsen menurunkan sekian 

bagian hak hegemoni kepada penerima waralaba untuk 

menghegemoni konsumen. Ini adalah teknik waralaba yang 

klasik. Namun demikian, dari waktu ke waktu, perilaku kon-

sumen (dalam hal ini, termasuk juga para penerima waralaba) 

mengalami perubahan. bila  perilaku konsumen berubah,—

misalnya, mereka lebih tertarik pada sistem jual-beli daring dan 

harga yang lebih murah, penerima waralaba harus menunggu 

keputusan final dari pemberi waralaba. Di sinilah pemberi 

waralaba harus terus melakukan pemutakhiran informasi terkait 

perilaku konsumen yang berubah-ubah. Risikonya lumayan 

tinggi jika pihak pemberi waralaba sampai tidak hirau kepada 

konsumen. Melalui pihak penerima waralaba, pemberi waralaba 

bisa menjalankan prinsip penelusuran informasi. Dengan terus 

mengadakan dengar feedback, pihak pemberi waralaba bisa 

mengubah sistemnya secara berkelanjutan yang akan mengun-

tungkan baik pihaknya maupun semua penerima waralaba atas 

merek dan sistem operasionalnya. Inilah tantangan besar bagi 

pewaralaba di abad milenial: komunikasi yang baik harus selalu 

terjalin antara franchisor dan franchisee, terutama terkait de-

ngan perubahan perilaku konsumen. 

Shifting pada kebutuhan publik milenial 

Abraham Maslow (1908-1970) bukanlah seorang ekonom, 

namun seorang psikolog Amerika berdarah Yahudi yang banyak 

menginspirasi para pakar tak hanya dalam bidang kejiwaan 

namun juga ekonomi, budaya hingga militer. Salah satu 

makalahnya berjudul ―A Theory of Human Motivation‖ yang 

diterbitkan Jurnal Psychological Review pada 1943 mengulas 

tentang hirarki kebutuhan manusia. Menurut teori hirarki 

kebutuhan manusia ini, Maslow menyatakan bahwa kebutuhan 

manusia berjenjang dari tingkat dasar hingga puncak. Sebelum 

manusia bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, maka dia tidak 

beranjak kepada hirarki kebutuhan yang lebih tinggi. 

Tatkala teknologi berkembang, kebutuhan manusia menga-

lami pergeseran yang signifikan. Di zaman ini, menurut Kasali 

(2018), titik kebutuhan manusia berpusat pada apa yang 

disebutnya sebagai self-esteem (tingkat keempat). Jadi, kebu-

tuhan publik milenial kini terpusat nyaris  pada puncak piramida  

Maslow. Kita bisa melihat bukti-bukti nyata yang ada. Tiga 

puluh tahun yang lalu, orang Bali masih bisa mengatakan, betek 

basang pesu kidung (lapar hilang, muncullah nyanyian). 

Maknanya adalah, tatkala kebutuhan fisik seperti makan, 

minum, tidur dan seks terpenuhi, maka manusia memerlukan 

rasa aman dan perlindungan. Tatkala manusia merasa aman, dia 

bisa menghibur dirinya, misalnya dengan cara menyanyi. Hirarki 

kebutuhan warga  pada umumnya hanya sampai pada 

tingkat kedua, atau ketiga. Itulah sebabnya, secara umum hanya 

sedikit orang-orang dari golongan ekonomi lemah yang 

mampu mengaktualisasi dirinya, kecuali dia telah dibantu 

memenuhi kebutuhan dasarnya.  

Hirarki inilah yang menginspirasi Bill Gates sehingga ia 

menyatakan bahwa ―jika Anda ingin membuat karyawan Anda 

lebih kreatif dan inovatif, maka naikkanlah gajinya.‖ bila  

seseorang masih berpikir bagaimana dia makan esok hari, maka 

keinginannya untuk self-esteem, apalagi membuat sebuah kanal 

YouTube dengan konten kreatif,—akan nyaris tidak terlaksana. 

Jadi, menurut Maslow, kreativitas dan aktualisasi diri pekerja 

akan muncul bila  dia tidak khawatir lagi pada pemenuhan 

kebutuhan dasar. Masalahnya adalah, kenaikan upah harus 

disertai dengan sistem yang efektif sehingga karyawan tidak 

leha-leha dengan gaji besar namun pekerjaan nihil. Di sini etos 

kerja yang tinggi berperan, baik dari sisi manajemen maupun 

diri sendiri. Anda bisa lihat Google, yang semua karyawannya 

tidak khawatir lagi tentang kebutuhan pokok. Mereka bisa fokus 

mengerjakan inovasi-inovasi yang baru dan menelurkan banyak 

besutan teknologi dan ide-ide kreatif tiap tahun. 

Secara umum, di zaman milenial ini, generasi muda 

memfokuskan pemenuhan kebutuhan di tingkat empat, yakni 

self-esteem. Self-esteem berarti kebutuhan akan prestise, 

pengakuan dari komunitas, dan penerimaan dari orang-orang. 

Buktinya simpel saja: kini orang ke restoran tidak lagi untuk 

makan, namun untuk berfoto bersama makanan.Pada era 

sebelumnya, orang pergi ke tempat wisata untuk bersantai, 

namun g