Kamis, 22 Februari 2024

waralaba 3


 



enerasi milenial pergi ke tempat-tempat ekstrem untuk 

berswafoto dan mengunggahnya di media sosial. Semua demi 

pengakuan. Bahkan, ada remaja yang mampir ke Malaysia 

hanya untuk berfoto di depan gedung pencakar langit Pertonas, 

lalu pulang.  

Kebutuhan generasi milenial akan pengakuan dan prestise 

memunculkan banyak dampak. Prestise tidak hanya masalah 

merek-merek terkenal, olah raga ekstrem, pergi ke negara lain 

bersama pasangan, foto prewed yang glamor, atau foto wisuda 

di kampus ternama. Prestise juga menyangkut ucapan bela-

sungkawa kepada seseorang yang ditinggal oleh sanak 

keluarganya. Prestise juga menyangkut ucapan terima kasih 

lebay seseorang kepada semua pihak yang telah membantu 

upacara pernikahannya. Prestise juga adalah tatkala Anda 

mengunggah ekspresi betapa tegangnya diri Anda ketika akan 

mencoba paralayang untuk kali pertamanya di tebing-tebing 

curam Patagonia. Tak hanya itu, prestise juga menyangkut 

tindakan keterlaluan netizen yang berswafoto ramai-ramai di 

pusara Prof. B.J. Habibie sebagai bukti bahwa mereka ‗bersedih‘ 

dan ‗berbelasungkawa‘ agar mendapat  simpati sebagai 

orang budiman. 

Bukti-bukti tak terbantahkan ini  menunjukkan bahwa 

generasi milenial telah bergeser dari pemenuhan kebutuhan 

dasar ke pemenuhan kebutuhan akan prestise. Jadi, ada sebuah 

lompatan yang cukup signifikan. Barangkali inilah yang menjadi 

sebab mengapa generasi milenial kadang lebih mementingkan 

prestise daripada persahabatan dan cinta (di tingkat ketiga) 

serta rasa aman (di tingkat kedua). Anda mungkin masih ingat 

kasus Erri Yunanto tahun 2015. Pemuda itu nekad memanjat 

tebing rapuh di puncak Merapi hanya untuk selfie. Nahas, 

pemuda itu terjatuh ke kawah Merapi yang menggelora, dan 

tewas sia-sia. Bayangkan. Untuk memenuhi kebutuhan akan 

pengakuan bahwa dia orang hebat atau apalah, dia melompati 

kebutuhan akan rasa aman. Tak hanya itu, dia juga melompati 

kebutuhan untuk mencintai dan dicintai,—terutama mencintai 

dirinya sendiri.  

bila  Anda berbicara tentang kebutuhan manusia, maka 

Anda pasti berbicara tentang ekonomi, sebab ekonomi adalah 

ilmu tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan. Jadi, 

shifting atau pergeseran pada kebutuhan generasi ini 

menyebabkan  pergeseran  besar  pula  di dunia ekonomi. Sejak  

generasi muda datang ke puncak gunung hanya untuk 

mengambil beberapa foto saja, ada kecurigaan dari para pakar 

ekonomi bahwa generasi milenial melakukan perjalanan wisata 

bukan untuk bersenang-senang, namun untuk prestise. Hal itu 

terbukti benar. Maka, sejak itu muncullah istilah esteem 

economy,—sebuah taktik ekonomi yang merangsang kebutuhan 

generasi milenial akan pengakuan dan prestise16. 

Pergeseran besar ini tentunya berpengaruh pula pada 

sektor industri, terutama waralaba. Kemunculan generasi 

milenial yang haus pengakuan dan prestise membuat sektor 

waralaba mesti berkembang lebih kreatif lagi. Di bagian akhir 

bab ini, Anda barangkali akan tercengang melihat bahwa jenis-

jenis waralaba telah mulai merambah sektor-sektor yang tidak 

terpikirkan sebelumnya. Semua itu adalah impact dari 

kebutuhan generasi milenial yang tidak tanggung-tanggung.  

Esteem economy berpusat pada bagaimana memenuhi 

kebutuhan generasi milenial akan pengakuan. Generasi milenial 

akan bangga jika dia menjadi orang pertama yang mengunggah 

foto berdiri di punuk gajah, memerah susu singa di kebun 

binatang, atau bahkan jadi manusia pertama yang terjangkiti flu 

di antara kawan-kawan sekolahnya. Di media sosial, generasi 

pemburu self-esteem akan menunjukkan bahwa dirinyalah yang 

paling pintar di grup WhatsApp atau Facebook. Dinding 

Facebook mereka kebanyakan berisikan foto-foto narsis atau 

swafoto. Secara psikologis, tindakan seperti ini mencerminkan 

bahwa si pemilik akun itu adalah tipe orang yang kurang 

produktif, membuang-buang waktu, dan bahkan bisa jadi 

pengangguran. Menurut psikolog, orang-orang yang sering 

mengunggah swafoto atau berkomentar panjang di media 

sosial adalah tipe orang yang kurang kreatif, kurang kritis dan 

tidak produktif,

                                                           

Anda bisa melihat perbedaannya. Teman-teman Anda yang 

produktif dan kreatif rata-rata jarang mengunggah status aneh 

di media sosial, apalagi bercerita tentang keadaan emosinya, 

pacarnya, komplain istri atau suaminya, dan hal-hal negatif lain. 

bila  dia sempat online dan mengunggah sesuatu, paling-

paling dia mengunggah foto-foto kegiatan ala kadarnya, foto 

kebunnya sekali waktu, ide kreatifnya, atau membagikan sebuah 

laman web informatif yang tengah dibacanya. Karena itu, jika 

suatu hari Anda ingin merekrut pegawai untuk usaha Anda, 

mintalah alamat media sosialnya dan selidikilah apa saja yang 

diunggahnya. Dinding media sosial seseorang sedikit tidaknya 

dapat mewakili kepribadiannya. 

Social climber 

Yang menjadi sumber kekuatan waralaba milenial adalah 

kecenderungan anak-anak muda untuk menjadi social climber‗ 

pendaki sosial‘,—yang secara lazim diterjemahkan sebagai 

‗pencari status sosial‘. Pencari status sosial ini adalah mereka 

yang memiliki motif untuk berada pada lingkungan sosial 

tertentu, sehingga mereka menjadikan komunitas di sekeliling-

nya sebagai acuan standar yang harus mereka capai agar 

mendapat  suatu penerimaan sosial18. Kebalikan dari social 

climber adalah social sinker, saat seseorang kehilangan penga-

kuan status sosial dalam ranah digital, utamanya di media sosial. 

Secara lebih sederhana dapat dinyatakan bahwa social 

climber adalah mereka yang menampilkan diri sebagai orang 

lain demi mendapat  pengakuan. Biasanya, para social 

climber selalu menampilkan diri dengan pakaian-pakaian serta 

pernak-pernik kekinian, walaupun sejatinya mereka membeli 

semua itu dengan cara mencicil atau menghabiskan gaji.  

                                                           

Yang menyebabkan seseorang menjadi social climber di era 

milenial ini adalah karena terbukanya akses informasi di seluru 

belahan dunia. generasi milenial cenderung membanding-

bandingkan dirinya sendiri dengan orang yang lebih prestigius. 

Ada rasa tidak percaya diri tatkala seseorang melihat artis-artis 

Korea yang molek dan berpakaian elegan. Ada pula rasa minder 

ketika melihat wajah artis Eropa yang cantik. Mereka kadang 

tidak menyadari bahwa ada efek Photoshop dan Ilustrator di 

balik semua keelokan itu. 

Fenomena social climber adalah akibat dari motivasi yang 

ada pada diri generasi milenial. Menurut Schiffman dan Kanuk 

(2010), motivasi adalah faktor dorongan yang ada dalam setiap 

manusia. Faktor dorongan ini memunculkan alasan untuk 

bertindak karena ada kebutuhan yang belum terpenuhi. Di sisi 

lain, Solomon (2009) menyebutkan bahwa motivasi berarti 

proses mental yang membuat seseorang melakukan tindakan 

tertentu sebagai respons terhadap kebutuhan yang timbul dan 

ingin dipenuhi. Definisi serupa juga dibahas oleh ahli-ahli sosial 

dan psikologi lainnya. Pada intinya, motif atau dorongan yang 

membuat Anda melakukan sesuatu disebut motivasi. 

Secara teori, tanpa adanya motivasi, maka seluruh kegiatan 

manusia otomatis tidak ada, sebab semua kegiatan manusia 

didorong oleh motivasi baik yang disadarinya maupun tidak 

(berada di pikiran bawah sadar). Yang menjadi masalah adalah 

bahwa motivasi generasi milenial tengah meluap-luap ke hirarki 

keempat. Motivasi dalam keseharian mereka rata-rata adalah 

untuk mendapat  prestise. Bahkan, mereka rela mengabaikan 

makan dan minum hanya untuk mendapat  senjata canggih 

dalam sebuah game daring yang membutuhkan waktu berjam-

jam hingga berhari-hari. bila  mereka mendapat  senjata 

canggih itu, mereka mendapat  apresiasi dan kebanggaan. 

Padahal, kebanggaan itu kadang hanya semu belaka. 

Ini tentu berbeda jauh dengan mereka yang benar-benar 

mengaktualisasikan diri dan produktif. Anda bisa membedakan 

yang mana social climber dan mana orang kreatif-produktif dari 

postingan media sosialnya. Para social climber gemar 

memposting hal-hal menyangkut dirinya sendiri namun tidak 

memiliki latar peristiwa yang worthy and valuable ‗bermakna 

dan bernilai‘. Misalnya, seorang social climber senang 

menampilkan foto tas belanjanya yang dilabeli merek terkenal 

seperti Gucci, Prada, Hermes atau Louis Vuitton. Namun dalam 

kenyataannya, orang-orang yang melihat fotonya tidak 

mendapat  kesan apa pun kecuali kagum, atau malah iri. 

Sementara itu, orang-orang yang kreatif atau produktif 

mungkin saja memposting foto dirinya saat sibuk memper-

siapkan presentasi yang penting, atau memposting foto saat 

dirinya menerima penghargaan gubernur. Namun, dari kedua 

ilustrasi ini , Anda tentu bisa menentukan mana yang 

memiliki nilai genuity yang tinggi. 

Keinginan warga  perdesaan untuk merasakan sensasi 

makan di restoran siap saji ternama seperti McDonalds dan KFC 

mendorong ACK untuk merambah wilayah-wilayah desa dan 

menyasar warga  kelas menengah ke bawah. Lagi-lagi, 

motifnya adalah self-esteem. Gucci membuka gerai waralaba di 

pusat-pusat perbelanjaan di tanah air karena warga  

memiliki motif self-esteem yang tinggi.  

warga  Indonesia dinobatkan sebagai salah satu ma-

syarakat paling hedonistik di Asia19. Padahal, tipikal warga  

Indonesia adalah religius. Dua-duanya adalah paham yang 

                                                           

bertolak belakang, namun ada dalam warga  Indonesia. 

Gaya hidup hedonisme menekankan pada kenikmatan jasmani, 

kemewahan dan kesempurnaan hidup di dunia. Sementara itu, 

religi mengajarkan seseorang untuk tawakal, hidup sederhana, 

beramal dan bersyukur20. Menurut lembaga survei media GfK 

Asia, Indonesia adalah negara Asia yang penduduknya paling 

banyak membeli gadget. Tak cukup sampai di sana, Indonesia 

adalah negara ASEAN yang paling boros listrik21 selama tahun 

2010 hingga kini.  

Gabungan antara hedonisme dan religi ini menimbulkan 

campuran yang unik dan juga nyeleneh. Dalam sektor ekonomi, 

religi bisa berbalik menjadi sebuah hedonisme bagi warga  

Indonesia. Muncullah wisata religi, kuliner religi, wisata halal, 

kuliner halal, fashion religi, belanja religi, dan segala sesuatu 

yang dihubung-hubungkan dengan religiusitas warga  

Indonesia. Di Bali sendiri, ada hedonisme upacara agama. 

Orang-orang dari kelas menengah ke atas biasanya membuat 

upacara religi dengan biaya yang besar, rentetan upacara yang 

sangat panjang, melibatkan ribuan orang, dan mereka kadang 

menikmatinya sebagai sebuah prestise. Padahal, upacara yang 

sama bisa dilakukan dengan cara yang jauh lebih sederhana dan 

hemat. Bahkan, hedonisme religi ini tampaknya merambah tidak 

hanya dalam ruang lingkup individu, namun juga kelompok 

warga .  

Di akhir tahun 2019 hingga awal 2020, ada kecenderungan 

signifikan terhadap pembelian mobil di Bali. Sebenarnya, 

kecenderungan ini telah dideteksi sejak 2014 lalu, namun 

                                                           

Subawa et. al. (2020)22 menspesifikasi bahwa kecenderungan 

seperti ini dipengaruhi oleh budaya hedonistik yang tampaknya 

semakin tinggi. Dalam petikan wawancaranya dengan respon-

den sampel, terungkap bahwa kebanyakan dari mereka membe-

li mobil karena terpikat pada model terbaru, warna dan tekno-

logi terkini yang ditawarkan. Kalangan profesional hingga 

mahasiswa pun ‗dirasuki‘ konsep hedonistik seperti ini, yang 

benar-benar mengubah perilaku belanja mereka sejak awal ta-

hun 2000-an. Bahkan, beberapa official kredit bank yang diwa-

wancarainya mengaku bahwa banyak konsumen sesungguhnya 

tidak mampu membayar kredit mobil karena mereka masih 

memiliki tunggakan kredit rumah, emas dan lain-lain. 

Hedonisme di Indonesia juga merambah pada ranah bu-

daya, yang menjadi senjata andalan dalam promosi pariwisata, 

khususnya di Bali. Subawa (2020) menemukan bahwa telah 

terjadi hegemoni terhadap konsumen pariwisata di Bali di era 

desruptif ini23. Dia menyimpulkan bahwa saat ini konsumen 

tidak hanya dijadikan target pasar pariwisata, namun juga agen 

wisata. Ini bisa terjadi dengan adanya media sosial yang me-

mungkinkan setiap orang untuk berbagi pengalaman mereka 

selama berada di Bali. Dengan memposting banyak foto dan 

video, serta memakai  fitur tag, maka secara tidak langsung 

konsumen terhegemoni untuk memasarkan produk wisata. Mari 

kita sebut ini sebagai desruptive mindset on producers.  

Beberapa contoh nyata ini  menjadi bahan kajian dan 

renungan tentang betapa fenomena pendakian sosial berdam-

pak pada segala lini kehidupan warga  milenial. bila  

                                                           

dibahas dari sidut pandang ekonomi, segala peristiwa dan 

fenomena kehidupan manusia adalah peluang untuk mening-

katkan keuntungan. Ekonomi tidak berbicara tentang perasaan 

manusia atau perbaikan pola pikir manusia. Ekonomi berbicara 

tentang keuntungan dengan pengorbanan yang seminimal 

mungkin. Karena itu, menyikapi berbagai fenomena yang 

melanda generasi milenial, sektor ekonomi akan terus giat 

mencari peluang.  

Tipikal warga  membuat sistem waralaba juga harus 

berevolusi dan mencari celah agar dapat memberikan keun-

tungan bagi warga . warga  Indonesia yang religius, 

dan konsumtif juga pada saat yang sama, memunculkan jenis-

jenis waralaba baru yang kadang terkesan aneh dan unik. 

Sistem waralaba ini sesungguhnya telah ada di negara-negara 

barat, sebab mereka telah terlebih dahulu mengalami fenomena 

hedonisme. Jenis-jenis waralaba ini mulai masuk ke Indonesia di 

era sekarang, menjadi peluang segar bagi para pelaku ekonomi 

untuk menjadi lebih kreatif lagi. 

Kecenderungan waralaba dalam esteem economy 

Tiga kata kunci dalam bab ini yakni waralaba, milenial dan 

instan(isasi) memunculkan beragam topik pembahasan yang 

menarik untuk dikaji. Waralaba, tatkala dipertemukan dengan 

milenial, bisa berarti sebuah perusahaan yang meningkatkan 

self-esteem bagi konsumennya. Di sisi lain, self-esteem yang 

sesungguhnya didapatkan dengan kerja keras, perjuangan serta 

dedikasi yang lama bisa diperoleh secara instan dengan sistem 

waralaba. Kehadiran merek-merek terkenal dunia di tanah air 

membuka kesempatan besar bagi para social climber untuk 

meningkatkan self-esteem-nya dengan cepat.  

Beberapa jenis waralaba baru bermunculan sebagai respons 

terhadap tuntutan kebutuhan dan motivasi generasi milenial. 

Sekalipun jenis waralabanya sama dan tidak berubah, bidang 

usahanya yang membuat waralaba menjadi unik, dan bahkan 

aneh. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, untuk meres-

pons kebutuhan warga yang mengeluh pada gangguan serang-

ga di musim panas, waralaba khusus pembasmi serangga 

terbentuk. Waralaba ini memberikan alat pembasmi serangga 

dan metode penyingkiran dengan SOP yang profesional. Di 

county-county terpencil, waralaba ini lumayan dibutuhkan. Siapa 

pun yang mengakui diri sebagai pecinta serangga (sekaligus 

pembenci serangga) bisa membeli waralaba ini dengan harga 

miring. 

Di Australia, yang populer malah waralaba penangkap 

binatang liar. National Geographic Society menobatkan Benua 

Australia sebagai benua paling berbahaya di dunia,—di mana 

Anda bisa tidur berdampingan dengan ular sanca, laba-laba 

black widow yang paling beracun di dalam sepatu, atau 

serangan buaya raksasa yang masuk ke ruang TV. Karena itu, 

penduduk Australia sangat memerlukan penanganan ahli hewan 

liar. Setiap tahun, waralaba penangkap binatang liar sekurang-

kurangnya menangkap 250 buaya air asin dan ‗mendeportasi‘ 

ratusan hewan beracun lainnya seperti ular dan lipan raksasa ke 

alam bebas. Biasanya, waralaba ini bekerja sama dengan 

petugas fauna bila  hewan liar yang tertangkap adalah satwa 

dilindungi atau langka. 

Membahas tentang waralaba dalam hubungannya dengan 

ekonomi milenial, sedikit tidaknya ini pasti mengarah pada 

esteem economy, walaupun tidak semua. Waralaba resto yang 

menjamur belakangan ini sebagian memiliki motif esteem eco-

nomy. Produk-produk kuliner milenial, seperti produk makanan 

olahan pisang besutan Kaesang Pangarep, memiliki unsur 

esteem economy. Orang-orang yang membeli produk makanannya sedikitnya berpikir bahwa mereka sedang mencicipi 

masakan putra sulung Joko Widodo,—dan itu adalah sebuah 

prestise. Sebuah waralaba tailor di Amerika Serikat bahkan 

membuat slogan ekstrem we design for gods ‗kami mendesain 

untuk para dewa‘ untuk menarik perhatian pelanggan (selain 

karena kualitas dan jenis jahitannya yang profesional dan 

elegan). 

Waralaba Jualan Tangis 

Kita telah membahas beberapa contoh perusahaan 

waralaba yang bermotif menyediakan kebutuhan self-esteem. 

Ternyata, di Ghana, sebuah republik di Afrika, orang mati juga 

perlu self-esteem. Sama halnya dengan di Bali, prestise orang-

orang Ghana terhadap upacara kematian sanak keluarga 

mereka menentukan derajat prestise keluarga. Bedanya adalah, 

di Bali belum ada perusahaan waralaba yang bisa menggarap 

upacara kematian sebab sebagian besar tanah kuburan adalah 

milik adat. Karena itu, hampir 90% upacara kematian Hindu di 

Bali masih digarap oleh warga  adat. Jadi, sasaran self-

esteem upacara kematian di Bali pada umumnya adalah penga-

kuan dari warga  adat. 

Di Ghana dan negara-negara maju di Eropa, tradisi pema-

kaman juga dibalut dengan prestise. Ada waralaba menangis 

yang khusus menyediakan jasa jual tangis. Ada keyakinan di 

antara orang-orang kelas menengah ke atas di Ghana bahwa 

semakin banyak tangisan yang mengiringi upacara kematian 

sanak keluarga mereka, maka itu adalah pertanda prestise yang 

tinggi. Karena itu, kian banyak keluarga orang kaya di Ghana 

yang menyewa arak-arkan tangis saat upacara penguburan. 

Semakin besar upacara kematian, semakin mahal pula harga 

tangisan yang mereka tawarkan. 

Mirip seperti di Bali, upacara pemakaman di Ghana tergo-

long upacara prestigius yang meriah. Di Bali, pengiring jenazah 

adalah sanak keluarga dan orang-orang terdekat, serta dibantu 

oleh anggota adat. Namun di Ghana, orang-orang memasang 

billboard untuk mengundang partisipasi dalam upacara 

kematian yang meriah.  

Ternyata, jasa waralaba menangis ini rela mengeluarkan ‗air 

mata buaya‘ mereka karena menguntungkan untuk keluarga 

mendiang. Semakin tangisan mereka menyayat hati, semakin 

banyak uang duka yang terkumpul dari para tamu. Ada-ada 

saja. 

Tak hanya di Ghana bisnis ‗air mata aligator‘ ini laris manis. 

Di negara serumpunnya Republik Kongo, jasa pelayat profe-

sional juga digandrungi. Ada vested interest yang berkembang 

di Afrika sejak dahulu kala, bahwa bila  sanak keluarga tidak 

menangis tatkala upacara pemakaman, maka leluhur yang 

meninggal tak akan tenang. bila  sanak keluarga yang 

ditinggalkan tidak menangis, itu menandakan suatu ketidak-

pedulian pada arwah yang meninggal. Yang jadi masalah 

adalah, sangat sulit menangis ketika upacara pemakaman 

karena sanak keluarga biasanya sibuk mempersiapkan upacara 

yang begitu meriah. The Economist mencatat bahwa penge-

luaran untuk sebuah upacara kematian di Ghana mencapai rata-

rata dua ratus juta rupiah, sama dengan pengeluaran upacara 

pernikahan24. Dalam kesempatan inilah para pelayat profesional 

mengadu nasib.  

Yang miris namun unik justru ada di Taiwan. Orang-orang 

Taiwan terkenal karena kesibukannya yang sangat padat, sama 

seperti orang Jepang di kota-kota besar. Jadi, mereka hampir 

tidak punya waktu bahkan untuk mempersiapkan upacara 

kematian bagi sanak keluarga mereka, atau bahkan hanya untuk 

menjenguk orang meninggal. Alhasil, yang dilakukan keluarga 

mendiang adalah menyewa jasa pelayat profesional. Di sana, 

para pelayat profesional menangis dengan penuh penghayatan. 

Mereka juga mengisi sesi ungkapan belasungkawa dan hiburan 

bagi sanak keluarga yang merupakan acara prestigius bagi 

keluarga-keluarga Taiwan. Akibatnya, muncullah waralaba 

pelatihan pelayat bayaran yang memiliki standar operasi 

tentang jenis-jenis isakan tangis dan jumlah bayarannya. 

Sebuah kelompok pelayat profesional dibayar enam ratus dolar 

dalam sekali sesi. Karena jumlah waralabanya kian menjamur, 

perusahaan ini bisa mengakomodasi hingga 30 upacara 

kematian ‗bertangis buaya‘ setiap hari. 

Dalam sistem waralaba air mata ini, yang dijual adalah 

sistem cara menangis sesuai dengan status orang yang 

meninggal. Standar operasionalnya mewajibkan setiap pene-

rima waralaba (yang biasanya terdiri atas seorang atau 

                                                           

beberapa orang) untuk mendapat  pelatihan sebelum layak 

menyandang merek jasa dan sistem waralaba ini. 

Yang membuat geleng-geleng kepala adalah tatkala sistem 

operasional jasa air mata ini diadopsi di Inggris. Peminatnya 

semakin besar dari tahun ke tahun. Ini membuktikan bahwa 

warga  Inggris juga dilanda demam self-esteem sesudah  

mati. Sebuah perusahaan jasa tangis, Rent a Mourner, terpaksa 

tutup di Maret 2019 karena pelanggan yang membeludak. Jika 

saja pemiliknya mewaralabakan perusahaannya, mungkin ia 

akan menjadi jauh lebih kaya. 

Bagaimana dengan Bali? Satu fakta yang mengagetkan 

adalah, orang Bali tidak perlu tangisan saat upacara kematian. 

Sanak keluarga sibuk mempersiapkan upacara dan meyakini 

bahwa orang yang meninggal hanya berganti badan saja, dari 

badan kasar ke badan lain sesuai dengan perbuatannya selama 

hidup. Yang ada dalam sebuah upacara kematian di Bali adalah 

sebuah perpaduan rasa yang biasa, seolah-olah yang meninggal 

sedang tertidur pulas. Yang dibutuhkan dalam sebuah upacara 

kematian di Bali adalah sarana upacara dan sesajen. Kendala 

lain datang dari warga  Bali yang tinggal di rantauan. 

Mereka yang tinggal di rantauan merasa kesulitan bila  sanak 

keluarganya meninggal sebab mereka tidak tertaut dalam 

lingkungan adat. Mereka takut jikalau tidak ada pihak yang 

berkenan mengurus jenazah mereka.  

Waralaba untuk mencegah pemalsuan 

Sebagai pengusaha, satu hal yang pasti membuat jantung 

Anda menegang dan tekanan darah Anda naik mendadak 

adalah ketika produk Anda dipalsu kompetitor tak sehat. Lagi 

dan lagi, motif pemalsuan adalah self-esteem buat perusahaan 

kompetitor. Untuk mencegah pemalsuan, sistem waralaba bisa 

dipakai . Karena penerima waralaba dipatok oleh sistem yang 

ketat dari pemberi waralaba, pemalsuan dapa dicegah. 

Mencegah pemalsuan melalui waralaba bisa ditempuh 

dengan dua cara. Pertama, Anda memasarkan produk dan jasa 

dengan sistem waralaba biasa. Jadi, Anda merekrut orang atau 

usaha lain untuk memasarkan produk dan jasa Anda di tempat-

tempat yang jauh untuk menghindari pemalsuan dan 

plagiarisme usaha Anda. Cara kedua lebih berani, yakni dengan 

mengajak kompetitor Anda untuk menjadi penerima waralaba 

Anda (seperti yang dilakukan beberapa studio film terkenal di 

Amerika Serikat).  

Di dalam negeri, waralaba untuk mencegah pemalsuan 

diterapkan oleh perusahaan botani pemasok bibit. Kasus 

pemalsuan bibit kelapa sawit banyak terjadi di Sulawesi dan 

Kalimantan dan membuat banyak petani kelapa sawit merugi. 

Agar siap tanam, benih kelapa sawit harus disemai dan 

dibibitkan selama 9 hingga 12 bulan. bila  petani melakukan 

ini tanpa bantuan perusahaan waralaba, maka pekerjaan petani 

menjadi sulit karena terbatasnya fasilitas pembibitan. Karena itu, 

waralaba bibit kelapa sawit menjadi populer. 

Sebelum adanya waralaba benih kelapa sawit, petani harus 

menjemput benih sendiri ke tempat pembibitan karena 

pemalsuan bibit kelapa sawit kerap terjadi dan dilakukan oleh 

agen pemasok yang tidak bertanggung jawab. Dengan hadirnya 

waralaba benih kelapa sawit di berbagai area pertanian, petani 

tidak perlu merasa khawatir lagi karena bibit yang mereka 

terima pasti bibit unggul dan kendala biaya transportasi bolak-

balik ke sumber pembenihan juga lumayan terpangkas. 

Kehadiran waralaba benih kelapa sawit ini ternyata bisa 

meningkatkan produktivitas petani hingga lebih dari 50%. Jika 

petani memakai  bibit bukan unggul, produktivitasnya 

turun hingga kurang dari separuh25. Sistem waralaba sejenis 

juga diterapkan pada bibit karet, kelapa dan sayur mayur untuk 

mencegah pemalsuan. Unit-unit waralaba mereka menyebar di 

wilayah transmigrasi di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. 

 

Maraknya Pemalsuan Logo Merk, Blue Bird 

Bali Tawarkan Kerjasama Operasional 

Selasa, 09 Juli 2019 | 23:00 WITA 

Beritabali.com, Denpasar. Terkait maraknya 

kasus pemalsuan merek logo Blue Bird yang 

belakangan ini marak terjadi, Blue Bird Group 

menawarkan kerjasama operasional (KSO) 

kepada perusahaan atau koperasi yang 

menaungi taksi lainnya di Bali. 

Tawaran kerjasama ini dilakukan agar tidak 

merugikan perusahaan transportasi terbesar di 

Indonesia ini termasuk juga para konsumen 

atau pelanggannya. 

  

“Sebenarnya tawaran KSO (kerjasama 

operasional, red) ini sudah sejak lama kami 

komunikasikan dengan level pimpinan 

perusahaan taksi maupun koperasi yang 

mengelola taksi di Bali. Termasuk juga dengan 

teman-teman di Organda unit taksinya,” ujar 

General Manager Blue Bird area Bali dan 

Lombok, dr I Putu Gede Panca Wiadnyana saat 

jumpa pers di Jimbaran, Selasa (9/7). 

 

Namun diakuinya, tawaran kerjasama itu belum 

membuahkan hasil yang maksimal hingga 

                                                           

25Dalimunthe, et. Al (2009). Meraup Untung dari Bisnis Waralaba Bibit Kelapa Sawit. 

Tangerang: Agromedia Pustaka. 

belakangan ini marak muncul kasus pemalsuan 

merek logo Blue Bird. 

  

“Nah, dengan adanya kasus ini kami jadikan 

momentum lagi untuk mengingatkan lagi 

kepada teman-teman untuk bekerjasama, ya 

daripada sembunyi-sembunyi memakai merek 

logo kami,” kata dr Panca didampingi Kuasa 

Hukum Blue Bird Group, Ketut Mulya Arsana 

SH MHum dan Mahendra Ishartono SH. 

  

dr Panca mengilustrasikan kerjasama ini  

seperti franchise bisnis penjual ayam goreng 

atau fried chicken, dimana perusahaan 

berbeda-beda tapi mereka bisa memakai  

merek terkenal yang menjual. 

  

“Nah, hal serupa kami tawarkan kepada 

pengelola taksi di Bali. Jadi teman-teman di 

perusahaan taksi lain nantinya bisa 

memakai  brand logo kami secara legal,” 

katanya. 

  

Tentunya, kata dr Panca, sesudah  menjalin 

kerjasama, perusahaan taksi ini  

standarnya harus menyesuaikan dengan Blue 

Bird. 

  

“Ya, mulai dari kendaraan yang minimal 

umurnya 5 tahun, pengemudinya yang harus 

terlatih hingga pelayanannya. Jadi semuanya 

standarnya seperti yang ada di Blue Bird,” 

tegasnya. 

  

dr Panca menyebut, kerjasama operasional 

yang ditawarkan Blue Bird ini sudah 

dilakukannya di Jogjakarta dan Bandung. 

“Kalau di Jogja kita kerjasama dengan Koperasi 

Serba Usaha (KSU) Pataga sebagai pengelola 

Pataga Taksi. Kalau di Bandung dengan Rina 

Rini Taksi,” ucapnya. 

 

Ketika ditanya keuntungan apa yang didapat 

perusahaan atau koperasi yang diajak 

kerjasama? dr Panca belum mau menjawab 

lebih detail, namun yang pasti kata dia, seperti 

di Jogja dan Bandung itu, perbankan akan lebih 

percaya terutama dalam dalam pemberian 

kredit.  

  

“Ya, bisa kita bayangkan kalau bank sudah 

percaya berarti perusahaan itu adalah sehat,” 

imbuhnya. 

  

Sementara itu, Kuasa Hukum Blue Bird Group, 

Ketut Mulya Arsana SH MHum menambahkan 

terkait maraknya kasus pemalsuan merek logo 

Blue Bird, pihaknya sudah melakukan berbagai 

upaya mulai dari pencegahan seperti 

pemasangan pengumuman peringatan 

penyalahgunaan merek terdaftar di media 

massa, hingga upaya hukum lainnya bagi yang 

membandel seperti membawa pelaku ke 

pengadilan.  

  

“Bahkan kami juga mewarning kepada para 

usaha pembuat dan pemasangan stiker bahwa 

mereka ini juga kena tindak pidana jika 

memasang logo stiker Blue Bird tanpa izin,” 

ujarnya. 

 

Dalam uraian ini kita mendapat  satu lagi fungsi dan 

keuntungan waralaba, yakni melindungi merek dan mencegah 

pemalsuan. Dari pihak pemberi waralaba, keuntungan pem-

bukaan waralaba besar-besaran adalah untuk menarik royalti 

atas pemakaian  logo dan merek usahanya. Biasanya, peru-

sahaan terdorong oleh motif ini adalah perusahaan-perusahaan 

besar yang sudah mendunia. Ini dilakukan untuk mencegah 

pemalsuan produk. Di pihak penerima, waralaba membuatnya 

terhindar dari tindak pidana pemalsuan produk dan peng-

gunaan merek tanpa izin. Selain itu, keuntungan lainnya untuk 

bergabung dalam sistem waralaba adalah adanya support dan 

training dari pihak pewaralaba resmi yang pastinya akan 

meningkatkan wawasan bisnisnya.  

Dari kasus-kasus di atas, kita dapat menyimpulkan juga 

bahwa pemalsuan bukan hanya berarti meniru bentuk, kualitas 

dan cara kerja suatu barang, namun juga memakai  nama 

resmi suatu usaha untuk barang serupa yang dijual tanpa izin.  

Beberapa perusahaan fashion ternama membuha franchise 

sebesar-besarnya untuk menghindari pemalsuan. Billabong, 

misalnya, yang mereknya sudah terkenal dan logonya dengan 

mudah sekali ditemukan di internet. Daripada memalsukan 

produk Billabong, orang lebih memilih untuk bergabung 

menjadi franchisee dengan banyak sekali keuntungan. Gerai-

gerai Billabong di seluruh dunia adalah hasil dari franchise-nya 

yang bernilai tinggi. Taktik waralaba yang sama juga diber-

lakukan oleh Adidas, yang ternyata memasok bahan baku 

sepatu dari Indonesia. Jadi, walaupun bahan sepatu Adidas yang 

melegenda itu berasal dari perdesaan di Indonesia, yang Adidas 

jadikan kekuatan ekonomi bernilai tinggi sekarang adalah me-

reknya. Karena itu, sengketa merek biasanya berujung pada 

sengketa yang jauh lebih sengit daripada hanya sekadar 

pemalsuan barang atau jasa. 


Waralaba perfilman 

Apakah Anda salah satu pecinta film Avenger? Dalam dunia 

perfilman, dikenal istilah film franchise. Menurut Vermaak 

(2019), film franchise memiliki pengertian yang sedikit berbeda 

dengan franchise yang lumrah, meskipun pada dasarnya prinsip 

kerjanya sama. Yang dimainkan dalam waralaba perfilman 

adalah elemen-elemen esensial seperti hak cipta alur, hak cipta 

karakter, dan pemeran26.  

Sebuah film dapat dikatakan sebagai film franchise bila  

sekuelnya lebih dari dua episode. Sebuah franchise film memer-

lukan sistem perjanjian yang ketat. bila  dalam sekuel sebuah 

film ada pemeran yang diganti, maka franchise menjadi gagal 

atau di-reboot. bila  franchise film di-reboot, maka produser 

film, sutradara dan pembuat naskah harus berpikir keras lagi 

untuk membuat sekuel yang diawali dari episode-episode film 

yang di-reboot.  

Salah satu contoh film franchise fenomenal adalah sekuel 

Harry Potter. Tatkala Daniel Radcliffe terpilih untuk memerankan 

Harry Potter di usia 11 tahun, produser film membuat perjanjian 

bahwa Daniel harus bersedia memerankan Harry Potter sampai 

dia berusia 18 tahun. Orang tuanya sempat tidak setuju dengan 

kontrak selama itu, namun begitulah syarat sebuah film 

franchise. Tak pelak lagi, film franchise mendulang keuntungan 

hingga triliyunan rupiah per episode. Karena itu, banyak studio 

film rela bersusah payah untuk menggarap sebuah film 

franchise sekelas Fast and Furious (8 sekuel) demi keuntungan 

super besar itu. 

 

                                                         

Prosedur franchise film rata-rata berlangsung seperti ini. 

Sebuah film franchise biasanya diangkat dari kisah novel yang 

panjang atau seri komik. Waralaba the Avengers, misalnya, 

diangkat dari kisah komik tahun 90-an. Demikian pula DC 

Movies yang diangkat dari kisah komik. Selain itu, sebuah 

rentetan film franchise (seperti Star Wars dan Star Trek) diangkat 

dari sebuah skenario yang panjang tentang suatu kisah 

perseteruan yang begitu lama. Karena sebuah film franchise 

tidak boleh mengganti pemerannya dalam setiap sekuel, maka 

dalam rentetan film franchise ceritanya akan selalu bersambung, 

atau tokoh utamanya diubah-ubah sepanjang cerita. Dalam Star 

Wars, misalnya, yang kini memiliki sembilan sekuel, tokoh-tokoh 

utama mengalami pergantian seiring bergantinya latar zaman di 

hampir setiap sekuel. 

Pertama-tama, produser film (yang adalah sebuah studio 

bermodal besar) membeli hak cipta suatu kisah dari seorang 

penulis novel. Sebagai contoh, Universal Studios membeli hak 

cipta cerita Jurassic Park dari Michael Crichton. sesudah  

perjanjian waralaba ini dibuat, maka Michael Crichton selaku 

pemberi waralaba memberikan hak ciptanya kepada Universal 

Studios untuk dijadikan film. Sebagai kewajiban penerima 

waralaba, Universal Studios wajib memberikan royalti kepada 

sang penulis. Ini adalah waralaba film jenis pertama, yakni film 

yang diangkat dari kisah nyata. Di Indonesia, film yang diangkat 

dari kisah nyata adalah Laskar Pelangi, yang memiliki empat 

sekuel. Namun, film ini belum dapat digolongkan sebagai 

franchise karena pemerannya berganti-ganti di setiap sekuel. 

Jenis film franchise kedua adalah ketika hak kreasi film 

ini  dipindahtangankan ke perusahaan penerima waralaba 

karena dibeli atau diakuisisi. Sebagai contoh, 20th Century Fox 

memproduksi sekuel-sekuel X-Men, Avatar, The Simpsons, Alien 

dan Predator. Kemudian, di awal tahun 2019, Disney 

mengakuisisi Fox dalam sebuah perjanjian franchise bernilai 

triliyunan rupiah. Secara otomatis, semua tokoh yang tercipta 

dari Fox kini berada di bawah naungan Disney. Dalam dunia 

perfilman Marvel, ini dikenal sebagai peristiwa ‗pindah semesta‘. 

Dalam kenyataannya, peristiwa jual-beli franchise film ini 

lumrah di jagat Holywood. Tujuannya adalah untuk menambah 

permodalan dan memperkaya khazanah cerita. Dengan 

diakuisisinya Fox oleh Disney, kini Disney bisa menggabungkan 

X-Men dengan Jungle Book, Avatar dengan John Carter of Mars, 

atau Alien dengan Aladin. Gabungan cerita semacam itu 

pastinya akan membuka tabir kreativitas yang baru pula.  

Franchise perfilman ini yang membuat Amerika Serikat 

selalu menduduki peringkat pertama dalam industri perfilman 

dilihat dari jumlah pendapatan. Pendapatan rata-rata seorang 

sutradara film franchise ternama di Holywood adalah 2 milyar 

dolar per tahun27. bila  kita memperhatikan tren perfilman 

mulai tahun 2010, film-film Holywood yang bukan berbentuk 

franchise cenderung memiliki tema yang monoton. Berbeda 

halnya dengan film franchise yang ide-idenya selalu kaya dan 

mencengangkan. Buat Anda yang tergila-gila pada the 

Avengers, the Lord of the Rings, atau DC Films, akan Anda 

saksikan lika-liku plot yang memukau. Maka sadarilah bahwa 

semua hal keren di layar Holywood itu ada berkat kekuatan 

waralaba, sang tangan kanan kapitalisme. 

Waralaba wisata 

Perlu kita ingat bersama bahwa di era milenial ini, wisata 

adalah prestise. Orang luar Bali mungkin bangga sekali jika bisa 

berwisata ke tempat-tempat eksotis di Bali, tetapi orang Bali 

juga mengalami shifting pada preferensi wisatanya. Dua puluh 

tahun lalu, obyek wisata Sangeh masih diminati dan jadi 

primadona wisata di Badung utara. Kini, pamornya kalah 

dengan Monkey Forest Ubud. Walaupun banyak turis lokal yang 

masih datang ke sana kala liburan, orang Bali secara umum kini 

lebih mengenal Pandawa Beach, air terjun Tukad Cepung, atau 

Batur Trekking. Dua puluh tahun lagi, mungkin berkembang 

obyek-obyek dan tempat-tempat wisata baru dengan berbagai 

tawaran keindahannya. 

Bagaikan bunga yang lama-kelamaan layu, keindahan suatu 

tempat bisa berkurang karena kedatangan semakin banyak 

manusia. Hanya untuk self-esteem, pernah suatu ketika ladang 

bunga kasna di Besakih rusak gara-gara ratusan orang datang 

hanya untuk swafoto. Belum lama ini, fenomena embun 

                                                           

membeku di Dieng jadi pusat perhatian. Banyak orang datang 

ke sana, menghabiskan waktu berjam-jam di jalan, dan ujung-

ujungnya hanya selfie. sesudah  itu, manusia pergi meninggalkan 

plastik. Pelataran Candi Dieng yang sakral dan eksotis jadi 

tempat pembuangan sampah. 

Self-esteem, sebagaimana telah kita bahas dalam bagian 

sebelumnya, adalah sebuah kebutuhan yang melompat ke level 

empat,—melangkahi kebutuhan akan rasa aman, rasa cinta, 

persahabatan dan kasih sayang. Karena itu tak jarang para 

pemburu likes mengabaikan kasih sayang dan cinta pada 

lingkungan. 

Untuk mengakomodasi para wisatawan dengan gaya 

barunya itu, banyak waralaba wisata bermunculan. Waralaba 

yang banyak digandrungi adalah waralaba paket tur dan travel, 

karena bisa dioperasikan hanya dengan smartphone biasa. 

Banyak layanan waralaba paket perjalanan yang memberikan 

akses lebih dekat ke konsumen. Bahkan, ada biro perjalanan 

wisata privat yang berbasis waralaba. Di era milenial ini bisnis 

semacam ini kian menjamur. Banyak penyedia layanan sopir 

wisata privat tinggal di kos-kosan dan membuka layanan antar-

jemput tamu. Hanya berbekal kemampuan bahasa Inggris yang 

standar dan rasa percaya diri, mereka mengambil waralaba 

paket wisata dan mendapat  keuntungan. Secara ekonomi, 

ini tentu sangat positif. 

Yang dilakukan Inggris lain lagi. Para pekerja sektor 

pariwisata di Inggris melakukan promo wisata syuting film. 

Caranya, mereka membeli waralaba dari merek dan properti film 

terkenal dan mempromosikannya. Misalnya, seperti yang 

sedang naik daun, ada waralaba merek Harry Potter yang 

mengambil lokasi syuting di tempat-tempat kuno di Inggris. 

Dengan berbekal hak cipta Harry Potter, pengusaha pariwisata 

membuat promo perjalanan wisata ke tempat-tempat syuting 

Harry Potter dengan biaya terjangkau.

Tak hanya itu, franchise Harry Potter juga dibeli untuk 

konstruksi sebuah desa sihir yang sama persis dengan desain di 

film Harry Potter. Desa itu, yang dibangun menyerupai sebuah 

Disneyland, meraup keuntungan jutaan pounsterling dari 

kunjungan wisatawan mancanegara. Pembelian franchise serupa 

dilakukan juga oleh pegiat pariwisata Selandia Baru. Mereka 

membeli franchise film the Lord of the Rings karena film 

spektakuler itu mengambil lokasi syuting di pegunungan-

pegunungan Selandia Baru yang eksotis. 

Kecenderungan baru dalam berwisata di era milenial ini 

disebut sebagai millenial leisure29. Tujuan wisata bukan lagi 

untuk menghilangkan penat, namun sebagai lambang prestise. 

Dengan munculnya Instagram, setiap orang ingin berkunjung ke 

tempat paling aneh, paling terpencil, paling mahal, dan ‗paling‘ 

lainnya hanya untuk berfoto. Akibat milenial leisure ini, muncul 

bisnis wisata mikro/kecil degan bermodal sebuah pohon besar 

dan tempat duduk menyerupai sarang burung yang digantung 

di dahannya. Pasangan-pasangan yang baru menikah, yang 

akan melakukan sesi prewed atau bahkan yang sudah memiliki 

anak akan berebutan masuk ke dalam sarang burung raksasa itu 

dan melakukan selfie session hingga berjam-jam. Milenial leisure 

seolah-olah menggeser aspek leisure untuk menghilangkan 

penat ke arah menambah prestise, sehingga kegiatan wisata 

keluarga pada zaman ini secara umum telah bergeser kepada 

                                                          

kegiatan selfie dan foto makanan daripada kegiatan yang lebih 

mendekatkan manusia dengan alam. 

Waralaba untuk hewan peliharaan 

Di Jepang dan Amerika Serikat, ada waralaba pet shop, yang 

menyediakan berbagai keperluan hewan peliharaan, pengi-

napan dan penitipan hewan, serta klinik hewan. Permintaan 

para pecinta hewan peliharaan akan fasilitas ini semakin tinggi, 

terutama jika si pemilik akan keluar kota atau ke luar negeri.  

Waralaba pet shop juga merambah Indonesia. Raja Pet 

Shop misalnya, adalah waralaba kebutuhan hewan peliharaan 

yang berbasis di Jakarta. Klien mereka mulai dari ikan, kucing, 

anjing, burung, hamster, hingga binatang-binatang ekstrem 

seperti iguana, ular dan salamander. Untuk membeli waralaba 

Raja Pet Shop, Anda akan diberikan pelatihan tentang standar 

operasionalnya. Untuk dokter hewan, Anda tidak perlu khawatir. 

Jasa layanan kesehatan hewan adalah tanggung jawab para 

profesional yang ditanggung oleh pemberi waralaba. 

Bagi sebagian warga  perkotaan, memiliki hewan 

peliharaan adalah sebuah ungkapan rasa bosan akan hiruk 

pikuk kota. Penelitan tahun 2017 di California mengungkap 

bahwa orang-orang California yang memelihara hewan 

peliharaan memiliki risiko stres dan sakit jantung yang lebih 

kecil dibandingkan mereka yang tidak memiliki hewan 

peliharaan30. Sebuah penelitian lain di Universitas Bristol, 

Inggris, mengungkap bahwa ada kecenderungan manusia telah 

mengalami shifting dari ‗memelihara hewan peliharaan‘ ke 

                                                           

‗terikat kepada hewan peliharaan‘31. Dalam hal ini, hewan 

peliharaan adalah cerminan dari self-esteem dari pemiliknya. 

Tatkala Haloween, yang dibelikan pakaian Haloween mewah 

adalah anjing atau kucing peliharaan mereka. Semakin lucu 

pakaian hewan peliharaan mereka, maka semakin besar self-

esteem pemiliknya. Maka, tak heran jika waralaba pet shop 

begitu laris di negara-negara dengan self-esteem pada hewan 

peliharaan seperti itu. 

Beberapa waralaba hewan peliharaan di Amerika Serikat 

bahkan menyediakan jasa spa dan pijat untuk hewan. Tak hanya 

itu, mereka menyediakan jasa pedicure, rebonding, salon dan 

barber. Di Indonesia, kecintaan orang pada hewan peliharaan 

tidak sampai seekstrem itu (walaupun tentunya ada), namun 

grafik perkembangan waralaba pet shop positif dari tahun ke 

tahun. Kebanyakan para pecinta hewan peliharaan datang dari 

para penggemar burung, penggemar ikan hias hingga hewan-

hewan konvensional seperti anjing dan kucing sebagai 

penunggu rumah.  

Kesehatan, Kecantikan dan Pendidikan Instan 

Menjalarnya waralaba juga dirasakan di dunia kesehatan, 

kecantikan dan pendidikan tinggi. Tatkala waralaba merambah 

banyak aspek kehidupan manusia, maka aspek-aspek itu 

menjadi kapitalis. Jadi, bila  suatu sistem telah bertrans-

formasi menjadi waralaba, maka tujuan akhirnya pastilah profit 

yang sebesar-besarnya. Dunia pendidikan, contohnya. Waralaba 

telah merambat ke dunia pendidikan dan menjadikannya 

ladang yang subur bagi penanaman modal dan keuntungan 

finansial.  

                                                           

Kebutuhan warga  akan pendidikan nyaris sama 

dengan kebutuhan dasar. Posisi pendidikan ada dalam hirarki 

terbawah Piramida Maslow, yang berarti bahwa pendidikan, 

angka harapan hidup dan pemenuhan kebutuhan dasar (air, 

makanan, dan perumahan) adalah tiga hal pokok yang paling 

dibutuhkan manusia. Karena itu, UNDP menetapkan tiga 

komponen ini sebagai komponen indeks pembangunan 

manusia32.  

Hebatnya, waralaba telah merambah sektor dasar ini. 

Dengan kata lain, bahkan kebutuhan dasar manusia pun telah 

begitu dikomersilkan dan dikapitalisasi. Waralaba pendidikan, 

misalnya, yang kini banyak bertumbuh di kota-kota. Yang 

ditonjolkan oleh waralaba pendidikan biasanya adalah merek 

yang telah terkenal serta metode pengajaran yang telah terbukti 

sukses. Kursus Lulus STAN, misalnya, sebuah waralaba yang 

memperkenalkan metode jitu untuk lulus tes STAN. Waralaba ini 

diminati betul oleh anak SMA. Salah satu kantor franchise-nya di 

Denpasar dipenuhi banyak sekali siswa SMA/SMK yang akan 

melamar di STAN. Bayarannya tak murah pula. Dengan meng-

gandeng merek ternama, franchisee langsung dikenal luas. 

                                                           

Lain kursus lulus STAN, lain pula Kumon. Target pasar 

Kumon di Indonesia adalah anak-anak, walaupun di negeri 

asalnya di Jepang, Kumon juga menawarkan pelatihan 

matematika sampai tingkat menengah hingga mahir. Di 

Indonesia, Kumon memang menyasar pasar pembelajar usia 

dini dan dasar. Kekuatan Kumon ada pada teknik pengajaran 

baca-tulis-hitung yang membuat si anak cepat paham. 

Waralaba bisnis ini telah memiliki 800 kelas di seluruh Indonesia 

dan lebih dari 130 ribu siswa. Di luar negeri, Kumon juga 

memiliki cabang franchise di Amerika Serikat, Korea dan hingga 

Asia Tenggara.  

Anda yang menyukai perawatan kecantikan pasti tidak 

asing lagi dengan merek Royal GardenSpa dan Jelita Mobile 

Clinics. Kedua merek ini adalah waralaba kecantikan paling 

diminati di Indonesia. Royal Garden Spa telah membuka 56 

cabang di seluruh Indonesia dan membuka peluang bisnis 

waralaba spa sebesar-besarnya. Dalam situs webnya, Royal 

Garden Spa menawarkan kerja sama waralaba dan fasilitas yang 

akan didapatkan oleh penerima waralaba. Jadi, bila  tetangga 

Anda tiba-tiba menjadi pengusaha spa yang langsung terkenal, 

Anda sudah bisa menebak bahwa dia mengikuti program 

waralaba. Keunikan yang ditawarkan oleh Royal Garden Spa 

adalah fasilitas dan paket spa keluaga. Jadi, prinsip waralaba 

Royal Garden adalah memberikan pelayanan spa, massage, 

perawatan kulit dan perawatan rambut bagi seluruh keluarga. 

Tak cukup sampai sana, Royal Garden Spa juga memberi 

pelayanan refleksiologi dan produk-produk kecantikan dari 

rempah-rempah asli Indonesia. Royal Garden Spa memberi 

kisaran harga 200 hingga 400 juta rupiah untuk tiga paket 

waralabanya. 

Satu lagi yang tidak boleh dilewatkan dalam waralaba di 

bidang kesehatan adalah waralaba air minum alkalin. Waralaba 

ini sesungguhnya adalah transformasi dari waralaba depot air 

minum isi ulang yang marak di tahun 2000-an awal. Dengan 

semakin menjamurnya depot air minum isi ulang, yang juga 

menimbulkan banyak kasus penipuan hingga kualitas air yang 

tidak bagus, datanglah air minum alkalin. Air minum alkalin 

adalah air yang disterilisasi dengan cahaya ultraviolet dan 

dinaikkan pH-nya hingga menjadi alkali (basa). Tingkat 

keasaman air yang normal adalah 6 atau 7, namun air alkali 

memiliki tingkat pH hingga 8 hingga 10 sehingga baik bagi 

pemeliharaan sel. Waralaba air alkalin yang cukup dikenal 

antara lain Milagros dan Kangen Water. Untuk membeli 

waralabanya, Anda perlu merogoh uang sekitar 50 juta rupiah. 

Saat gereja California jadi waralaba 

Kasusnya sudah lumayan lama, namun kini masih ada dan 

malah tak berkurang. Nama franchise ini adalah Church Chain 

Franchise, yang populer mulai tahun 2000-an awal di California 

hingga wilayah-wilayah lain di Amerika Serikat seperti Denver, 

Detroit, New York, dan Chicago.  

Istilah lain untuk franchise ini adalah multisite church, 

dikelola oleh Community Christian dan Willow Creek 

Community Church. Gereja-gereja yang mengikuti tren 

waralaba ini menyulap tampilannya menjadi apa yang 

distandardisasikan oleh multisite church, mengambil tata cara 

operasional gereja, termasuk gaya gereja, gaya musik dan 

bagaimana lagu-lagu rohani dimainkan. Saat ini, multisite 

church memiliki cabang lebih dari seribu gereja di Amerika 

Serikat dan memiliki keuntungan yang besar. Berkat waralaba 

ini, gereja-gereja yang bergabung bisa mengadakan konser-

konser religi besar, membuat bioskop spiritual dan melakukan 

berbagai aktivitas amal. Tak hanya itu, multisite church ini 

tentunya memberikan hidup yang layak bagi para pewaralaba 

dan terwaralabanya. 

Agaknya kajian yang lebih mendalam dari kacamata ilmu 

agama perlu dilakukan lagi mengenai hal ini. Dari perspektif 

ekonomi, waralaba adalah sebuah manifestasi dari prinsip 

mencari keuntungan finansial. Apakah pantas jika keyakinan 

seseorang dijadikan ladang untuk mencari keuntungan, bukan 

hak ilmu ekonomi untuk menjawab hal itu. 

Komersialisme Spiritual di India 

Tak bisa dimungkiri bahwa India ibarat gudang play store 

bagi waralaba berbasis spiritual. Di sepanjang tempat-tempat 

suci seperti Kasi, Ramasetu dan Vrindavana, banyak sekali 

organisasi spiritual yang menawarkan waralaba. Dengan 

berbasis ajaran agama, mereka menggabungkan ajaran spiritual 

dan pedagogi, spiritual dan kuliner, atau spiritual dan 

kesetaraan gender33. UNDP mencatat bahwa India adalah salah 

satu negara Asia dengan kesetaraan gender paling rendah, 

sehingga sangat besar komparasi para pekerja laki-laki dan 

wanita di negara itu. Beberapa organisasi waralaba menjanjikan 

kesetaraan gender, terutama menyangkut pendidikan dan 

pelatihan. Isu ini menarik banyak minat perempuan India untuk 

melanjutkan sekolah. Dampaknya lumayan positif bagi 

kesejahteraan dan pembangunan sumber daya manusia. 

Beberapa institusi waralaba di India adalah Sri Sri Ravi Shankar 

Bal Mandir, yang menyediakan pendidikan reguler dan spiritual 

(sejenis pesantren atau pasraman) bagi anak-anak. Lain lagi 

dengan maharishi Vidya Mandir yang mengutamakan 

kesetaraan gender berbasis ajaran spiritual.  

Ada yang nyata baik, ada juga yang nyata berkedok. Yang 

jadi masalah dalam jagat spiritual India adalah munculnya 

waralaba professional reciters dan professional preachers. Para 

professional reciters dibayar untuk melantunkan lagu-lagu 

rohani dan mantra-mantra dalam setiap upacara. Mereka bisa 

berasal dari mana saja, dan mendapat  pelatihan di sebuah 

lembaga waralaba khusus. Dengan berbekal branding waralaba 

spiritual terkenal, mereka tampil di mana-mana dengan alunan 

musik yang merdu dan mantra-mantra yang syahdu. 

Professional preachers adalah para pengkotbah agama yang 

bernaung dalam waralaba. Sifatnya memang tidak terbuka, 

namun mereka memang terstruktur secara rapi. Para calon 

professional preachers mendapat  pelatihan SOP dan 

mendapat  hak merek sebuah organisasi spiritual. Kemudian, 

sesudah  menghapalkan banyak ayat, mereka terjun dan menjadi 

penceramah yang dibayar. 

                                                           

Sekelumit kisah waralaba aneh tapi nyata dari beberapa 

pelosok dunia ini  mungkin bisa membuka mata kita 

bahwa kapitalisme telah masuk dalam hampir setiap lini 

kehidupan manusia. Motif manusia untuk mencari keuntungan 

belakangan telah merambah hal-hal yang semestinya 

diagungkan, disakralkan dan dihormati sebagai sesuatu yang 

mulia dan suci. Beberapa-kasus waralaba yang tak lazim ini 

memang memiliki dampak positif bagi perbaikan kesejahteraan 

banyak orang, terutama yang terkait dengan sekolah atau 

pelayanan publik. Akan tetapi, banyak juga yang berbuat nista 

dengan memakai  prinsip waralaba. Meskipun waralaba 

selalu berorientasi pada keuntungan, ia bagaikan pisau yang 

bisa dipakai  untuk memotong bahan makanan atau untuk 

melukai tangan,—tergantung ke mana manusia mengarahkan 

keuntungan finansialnya. 

 

pembahasan mengenai literasi berarti mengupas tentang 

segala sesuatu yang membuat orang menjadi lebih tahu, 

lebih kritis, tidak mudah termakan isu, dan yang paling 

penting adalah lebih terbuka terhadap segala kemungkinan dan 

peluang1. Literasi secara umum berarti kemampuan seseorang 

untuk memahami bacaan, menulis, mengkalkulasi dan meme-

cahkan masalah dalam tingkat keahlian tertentu. Yang menjadi 

fokus dalam literasi lagi-lagi adalah bagaimana seseorang bisa 

menemukan solusi yang terbaik atas suatu masalah. Literasi 

dalam pengertian yang lebih luas tidak hanya berarti mengha-

biskan waktu membaca buku dan menulis, tetapi terlebih 

kepada membentuk sebuah pola pikir rasional yang sistematis, 

memformulasikan solusi, mensintesis ide dari berbagai sudut 

pandang, dan pemikiran multifaset2. 

Dari waktu ke watu, kompleksitas dan kuadran literasi pun 

berubah-ubah. Dalam kaitannya dengan ranah perekonomian, 

literasi memiliki tujuan-tujuan yang juga berevolusi. Di masa 

terdahulu, yang mari kita sebut sebagai masa generasi X,—

penguasaaan literasi sebagian besar bertujuan untuk peman-

faatan sumber daya. Kala itu, yang menjadi paradigma ekonomi 

resource-based economy, saat orang berlomba-lomba mengeks-

plorasi sumber daya alam maupun manusia sebagai aset ter-

penting dalam perekonomian. Yang terjadi sekarang adalah hal 

yang berbeda. Dengan munculnya platform digital, aset bukan 

lagi berpusat pada sumber daya, melainkan bagaimana sumber-

sumber itu terkoneksikan. Semakin luas dan ramai konektivitas, 

maka sumber daya yang dimanfaatkan semakin besar. Karena 

itu, knowledge-based economy ‗ekonomi berbasis pengetahuan‘ 

                                                           

menjadi paradigma baru di era ini3. Barangsiapa menguasai 

ilmu pengetahuan dan teknologi, dia memiliki kemampuan 

mengkoneksi berbagai sumber daya. 

 

 

Gambar 3.1 | Sang Pisang Kaesang, mengkombinasikan cemilan pisang 

goreng, manisnya topping, cita rasa gorengan, serta kompatibilitas ukuran 

yang pas untuk cemilan keluarga. Dari bahan-bahan yang simpel, kolaborasi 

telah menciptakan nilai yang baru dan profit yang berlipat. 

 

Pablo Picasso, seorang pelukis Italia, dahulu sekali pernah 

menulis bahwa sebagai seorang pelukis, kreativitas bukan 

tentang menciptakan warna-warna yang baru. Kreativitas adalah 

tentang bagaimana orang mencampurkan warna-warna yang 

lama menjadi sesuatu yang baru dan bernilai lebih tinggi. 

warga  milenial sangat menyukai kebaharuan, updates, dan 

kreativitas yang tanpa henti. Kebaharuan adalah aset bagi 

generasi milenial. Di era ini, intensifikasi maksimum dari satu 

atau beberapa jenis sumber daya lebih bernilai sebab isu 

                                                           

penipisan sumber daya mulai disadari oleh banyak pihak. 

Semakin sumber-sumber daya digabungkan, dikolaborasikan, 

atau dikreasikan, maka nilainya akan berlipat-lipat lebih tinggi 

daripada hanya eksploitasi belaka.  

Di sinilah ilmu pengetahuan dan teknologi diperlukan. Di 

masa lalu, kakek Anda membeli pisang dari petani dengan 

harga Rp 500 per biji, dan dijualnya dengan harga Rp 1.000. 

Keuntungan yang diperoleh dari menjual barang yang tidak 

diolah tentunya kecil. Kemudian, tatkala industri manufaktur 

berkembang di era 80-90-an, ayah Anda mengolah pisang itu 

menjadi keripik pisang. Satu biji pisang bisa menghasilkan satu 

bungkus keripik yang dijual dengan harga Rp 5.000. Keun-

tungannya berlipat karena proses produksi yang lebih kreatif. Di 

masa kini, yang menjadi fokus bukan lagi tentang menjual 

pisang, namun membuat sesuatu yang berbeda dari pisang 

yang sama. Dengan penguasaaan iptek, Anda berhasil membuat 

selai pisang yang digabung dengan roti sandwich milik 

Starbucks. Bahkan, dengan teknologi informasi, Anda bisa 

bertemu dengan pengepul kulit pisang yang bisa dijadikan 

pakan ternak. Anda bisa berkolaborasi dengan lebih banyak 

resto, kafe, hotel atau gerai di mana Anda bisa memasarkan 

produk Anda dengan kekuatan merek mereka. Terlebih lagi jika 

Anda bisa berkolaborasi dengan perusahaan kosmetik yang bisa 

membuat krim pelembab wajah dari ekstrak pisang yang kaya 

asam folat dan kalium. Nilai jual sebutir pisang itu bisa berlipat-

lipat kali lebih tinggi. Belum lagi jika Anda berhasil membuat Ria 

Ricis atau Deddy Corbuzier mencicipi pisang produksi Anda. 

Pasti nilai jual pisang Anda jauh lebih tinggi. 

Inilah kekuatan dari knowledge-based economy. Penguasa-

aan teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi kunci pokok 

perkembangan ekonomi di era ini. Setiap negara kini berlomba 

menguasai iptek dengan menganggarkan dana besar bagi 

penelitian dan pengembangan teknologi. Di tingkat ASEAN, 

Singapura mengalokasikan 2,1% anggaran untuk pengem-

bangan riset, dan Malaysia memberi 1% dari GDP. Thailand 

berada di urutan ketiga, yakni 0,25%, sementara Indonesia 

hanya 0,09% dari GDP4. Jumlah ini tentu sangat kecil dengan 

rasio penduduk yang begitu besar. 

Pada tahun 2017 silam, PISA (Programme for International 

Student Assessment) merilis data tentang penguasaan ilmu 

pengetahuan dan teknologi di sekian negara yang disurvei. 

Serangkaian data yang unik ditemukan di Indonesia. Menurut 

survei itu, angka pengguna internet aktif di Indonesia adalah 

salah satu yang paling tinggi di Asia, berbalapan dengan 

Tiongkok dan India. Jumlahnya mencapai hampir seratus juta 

pengguna,—separuh dari jumlah populasi. Yang lebih hebat lagi 

adalah, separuh jumlah penduduk Indonesia adalah penduduk 

usia produktif dan anak-anak muda. Jadi, menurut survei PISA, 

Indonesia punya potensi besar untuk menguasai perekonomian 

regional maupun global dengan kekuatan demografi usia 

produktif sebanyak itu. 

Yang disayangkan adalah, ternyata tingkat penguasaaan 

teknologi di Indonesia sangat minim. PISA mendefinisikan 

penguasaaan teknologi lebih sebagai kemampuan untuk meng-

kreasi, mengkolaborasi, dan mereka-cipta dengan memanfaat-

kan teknologi, bukan semata-mata memakai  teknologi. 

Kalau dilihat dari pemakaian  teknologi, bahkan balita-balita 

Indonesia sudah bisa selfi sendiri dan memutar konten YouTube 

tanpa diajari. Namun dari penguasaan teknologi, generasi 

Indonesia masih di ranking bawah. Generasi Indonesia masih 

‗dikuasai‘ teknologi, bukan menguasai teknologi. 

                                                           

Menguasai teknologi secara umum berarti kemampuan 

seseorang dalam memakai  teknologi untuk memecahkan 

suatu persoalan. Dalam ruang lingkup yang lebih khusus, 

penguasaan teknologi berarti kemampuan seseorang untuk 

meningkatkan nilai produksi dengan memanfaatkan teknologi,

Kenyataannya, kemampuan ini belum dimiliki generasi muda 

Indonesia. Masih sedikit sekali anak muda Indonesia yang 

memanfaatkan teknologi untuk memajukan kesejahteraan, 

meningkatkan pengetahuan, mencerahkan warga , mening-

katkan nilai sumber daya, menciptakan sesuatu yang bernilai 

kebaharuan, atau membantu warga  untuk memenuhi 

kebutuhan hidupnya. Thailand menguasai teknologi pertanian, 

dan kini Vietnam mengejar dengan begitu cepat. Amerika 

Serikat menguasai teknologi informasi, dan Jepang menguasai 

teknologi robotik dan kecerdasan buatan. Di sisi lain, Korea dan 

Tiongkok menjadi raja teknologi ponsel. Sementara itu, 

Indonesia masih belum menguasai bidang teknologi spesifik 

yang menonjol. Padahal, Indonesia punya segudang sumber 

daya, baik otak maupun bahan. Yang diperlukan oleh Indonesia 

kini adalah belajar lebih giat, mengembangkan literasi tak hanya 

dari sisi baca tulis, namun juga digital, finansial dan humanisme.  

Untuk menemukan solusi terbaik, orang perlu memahami 

informasi, mengidentifikasi masalah, merumuskan beberapa 

alternatif, melakukan uji coba, dan mengambil kesimpulan. 

Semua langkah itu adalah bagian-bagian yang lebih rinci dari 

literasi, walaupun kelihatannya literasi hanya terkait dengan 

baca, tulis dan berhitung saja6. Setiap orang pada dasarnya 

melakukan langkah-langkah itu dari yang paling sederhana 

hingga yang paling kompleks. Masalahnya ada pada seberapa 

                                                          

efektif solusi yang bisa ditawarkan dan seberapa luas jaringan 

yang bisa dijangkau. Semua itu dimungkinkan dengan literasi 

digital. Dengan berkembangnya komputer, internet, perangkat 

mobile, dan platform, warga  dunia dituntut untuk mema-

hami seluk beluk dunia maya dan bagaimana mengoperasikan 

teknologi secara efektif dan efisien demi mencapai tujuan yang 

diharapkan.  

Dalam bab ini, hal kunci utama yang akan dibahas adalah 

bagaimana waralaba terkait dengan literasi digital. Kita akan 

mencoba melihat sinergi-sinergi waralaba sebagai kekuatan 

utama ekonomi kapitalis dan teknologi sebagai media eks-

pansinya dengan penghematan biaya yang luar biasa besar. 

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Daniels7, waralaba di era 

digital mementingkan keluwesan mobilitas karena waralaba 

milenial adalah ‗warung yang mengejar keramaian, sementara 

keramaian mengejar esteem8‘. Karena itu, walaupun literasi 

digital penting, tatkala seorang penjual benar-benar bertemu 

dengan pelanggan, literasi humanisme mengambil alih. Jadi, 

antara literasi data, teknologi dan humanisme mesti berjalan 

beriringan. 

Yang menarik juga dari bab ini adalah mengenai tendensi-

tendensi yang ada pada waralaba, atau perubahan idealisme 

nonprofit yang tiba-tiba menjadi seperti waralaba atau benar-

benar berujung pada prinsip-prinsip waralaba. Berkat teknologi 

dan akses informasi yang cepat, struktur-struktur waralaba 

menjadi semakin luwes dari yang pada awalnya berupa brick 

and stone menjadi kumpulan data yang bisa terkoneksi ke mana 

saja nyaris tanpa sekat.  

                                                           

Banyak kegiatan dalam ranah sosial, budaya, hiburan, 

bahkan spiritualitas yang kini mengambil beberapa konsep 

waralaba untuk memudahkan ekspansi dan manajemen. Ini bisa 

memberikan kita sedikit gambaran bahwa faktor ekonomi 

adalah penggerak utama sektor-sektor lainnya. Sangat sulit kita 

temukan di masa kini sebuah usaha yang tidak memiliki back up 

ekonomi, walaupun usaha itu berlabel nonprofit sekalipun.  

Di Inggris sendiri, tren waralaba masa kini adalah mobile 

franchise dengan berusat pada pelayanan home-based, 

terutama dalam bidang panganan dan kopi. Mobile franchise 

membutu