Selasa, 30 April 2024

sapi 1


 



Parameter untuk mengetahui kesempurnaan kematian pada sapi sesudah  disembelih yaitu dengan 
melihat refleks kelopak mata dan atau waktu henti darah memancar. Menurut EFSA (2004) kematian 
merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan respirasi fisiologis dan sirkulasi darah telah berhenti 
sebagai akibat dari pusat sistem ini  di batang otak secara permanen kehilangan fungsi karena 
kekurangan oksigen dan energi. Waktu henti darah memancar merupakan indikasi bahwa jantung 
sudah tidak dapat memompa darah keluar dari tubuh karena tidak ada lagi asupan oksigen darah dalam 
jantung, sehingga hewan ini  dapat dikatakan mati. Tujuan dari penelitian ini untuk menghitung 
waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan metode pemingsanan dan tanpa 
pemingsanan yang dipotong di rumah potong hewan ruminansia besar (RPHRB), sehingga diperoleh 
data rataan waktu hewan mati sempurna. Tiga puluh ekor sapi Brahman Cross dibagi menjadi 2 kelompok 
perlakuan yaitu, sebanyak 15 ekor yang disembelih dengan pemingsanan (kelompok 1) dan sebanyak 15 
ekor yang disembelih tanpa pemingsanan (kelompok 2). Waktu henti darah memancar dihitung sesaat 
sesudah  hewan disembelih sampai darah berhenti memancar. Hasil dari penelitian diperoleh rataan waktu 
henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan sebelum disembelih adalah sebesar 3,02 menit dan 
rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih tanpa pemingsanan adalah sebesar 
2,13 menit. Selang waktu henti darah memancar antara sapi yang dipingsankan dengan sapi yang tidak 
dipingsankan sebelum disembelih adalah 53,4 detik. Waktu henti darah memancar dipengaruhi oleh 
perlakuan hewan sebelum pemotongan, yaitu dengan atau tanpa pemingsanan.
Kata kunci: Pemingsanan, sapi, tanpa pemingsanan, waktu henti darah
Kebutuhan daging sapi dan kerbau untuk kon-
sumsi dan industri di negara kita  pada tahun 2012 
mencapai 484 ribu ton ,
Setiap tahun permintaan ini  akan terus me-
ningkat seiring dengan bertambahnya populasi pen-
duduk dan tingginya minat masyarakat terhadap 
konsumsi daging. Tingginya permintaan menye-
babkan intensitas pemotongan juga meningkat, 
sehingga keberadaan rumah potong hewan (RPH) 
sebagai tempat untuk pemotongan hewan sangat 
diperlukan. Dalam pelaksanaannya RPH harus dapat 
menjaga kualitas daging, baik dari tingkat kebersih-
an, kesehatan, ataupun kehalalan dagingnya. 
Di negara kita  ada 2 metode sebelum pemotong-
an, yaitu dengan pemingsanan dan tanpa peming-
sanan. Praktik pemotongan sapi tanpa dipingsan-
kan telah dilakukan sejak lama di negara kita , sedang-
kan pemotongan dengan pemingsanan bertujuan 
agar sapi mendapatkan perlakuan sesuai dengan 
kesejahteraan hewan, sehingga meminimalkan ke-
jadian stres pada sapi. Hampir sebagian besar RPH 
masih memakai  metode konvensional dalam 
proses penyembelihan, yaitu dengan cara sapi di-
ikat dan ditarik dengan kuat sehingga sapi roboh ke 
lantai baru kemudian disembelih. Perlakuan yang 
kasar dalam penanganan pemotongan hewan akan 
menyebabkan stres pada hewan dan menghasilkan 
kualitas daging yang rendah. Penanganan hewan 
saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk 
mempertahankan standar karena kesejahteraan 
hewan merupakan bagian dari kualitas daging 
. Untuk meminimalkan stres dan rasa 
sakit pada hewan potong, khususnya pada sapi, 
di beberapa RPH dilakukan pemingsanan sebelum 
hewan disembelih.
Daging yang dihasilkan oleh RPH harus memenuhi 
persyaratan aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). 
Halal merupakan syarat penting yang harus di-
penuhi oleh daging yang dihasilkan oleh RPH karena 
sebagian besar masyarakat negara kita  memeluk 
agama Islam. Titik kritis dari makanan halal ter-
utama daging, terletak pada sumber bahan baku, 
proses penyembelihan, dan proses produksinya. 
Pemingsanan pada sapi harus dilakukan dengan 
benar agar memenuhi aspek kesejahteran hewan 
dan kehalalan pada daging yang dihasilkan. Untuk itu 
diperlukan pengetahuan untuk memastikan agar 
metode pemingsanan tidak menyebabkan kerusak-
an berat/permanen pada otak dan pengetahuan 
tentang indikator kematian hewan sehingga hewan 
benar-benar telah mati sebelum dilakukan pe-
nanganan lebih lanjut.
Parameter yang dapat dipakai  untuk melihat 
hewan mati sempurna adalah dengan melihat re-
fleks kornea dan atau waktu henti darah memancar. 
Waktu henti darah memancar merupakan indikasi 
bahwa jantung sudah tidak dapat memompa darah 
keluar dari tubuh akibat tidak ada lagi asupan 
oksigen darah dalam jantung, sehingga hewan ter-
sebut dapat dikatakan mati. Menurut EFSA (2004) 
kematian merupakan suatu keadaan yang ditandai 
dengan respirasi fisiologis dan sirkulasi darah telah 
berhenti sebagai akibat dari pusat sistem ini  
di batang otak secara permanen kehilangan fungsi 
karena kekurangan oksigen dan energi. Selama ini 
parameter yang dipakai  untuk menentukan 
hewan mati sempurna adalah dengan melihat re-
fleks kelopak mata. Tujuan dari penelitian ini, yaitu 
mendapatkan data rataan waktu henti darah me-
mancar pada penyembelihan sapi dengan peming-
sanan dan tanpa pemingsanan. 
Sampel berupa 30 ekor sapi Brahman Cross yang 
dipilih memakai  metode purposive sampling. 
Penelitian ini dilakukan di RPHR wilayah Depok, 
Tangerang, dan Tasikmalaya dari bulan September 
2013 sampai dengan Maret 2014.  Sapi yang diamati 
pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 
sebanyak 15 ekor disembelih dengan dilakukan pe-
mingsanan terlebih dahulu dan 15 ekor disembelih 
tanpa melalui proses pemingsanan. Penyembelih-
an dilakukan pada malam hari sesuai dengan waktu 
penyembelihan dari masing-masing RPH-R 
Waktu henti darah memancar pada sapi yang 
disembelih dengan dan tanpa pemingsanan di-
hitung memakai  stopwatch. Tombol start pada 
stopwatch ditekan sesaat sesudah  sapi disembelih 
dan terlihat darah pertama kali memancar. Ditunggu 
selang beberapa waktu sampai terlihat darah 
sudah tidak lagi memancar lalu tombol stop pada 
stopwatch ditekan dan dilihat waktu (detik) yang 
tertera pada layar stopwatch.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. 
Data dianalisis dengan uji t untuk mengetahui per-
bedaan waktu henti darah memancar pada pe-
nyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa 
pemingsanan dengan memakai  SPSS 16.

Tabel 1 Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan dan tanpa pemingsangan 
Perlakuan sebelum penyembelihan
Waktu henti darah memancar (menit)
Rataan Minimun Maksimum
Pemingsanan 3,02a 1,53 4,33
Tanpa pemingsanan 2,13b 1,04 3,14
Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan uji berbeda nyata (p<0,05)
Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya per-
bedaan waktu henti darah yang signifikan (p<0,05) 
pada sapi yang disembelih dengan pemingsanan dan 
sapi yang disembelih tanpa pemingsanan terlebih 
dahulu. Rataan waktu henti darah memancar pada 
sapi yang dipingsankan terlebih dahulu sebelum 
disembelih adalah sebesar 3,02 menit dengan waktu 
henti darah maksimum sebesar 4,33 menit dan 
minimum sebesar 1,53 menit. Sedangkan waktu 
yang dibutuhkan untuk darah berhenti memancar 
pada sapi yang disembelih tanpa dipingsankan ter-
lebih dahulu mempunyai nilai rataan sebesar 2,13 
menit dengan waktu henti darah minimum sebesar 
1,04 menit dan maksimum sebesar 3,14 menit. Per-
bedaan waktu henti darah berhenti memancar 
antara sapi yang dipingsankan dengan sapi yang 
tidak dipingsankan sebelum disembelih adalah 53,4 
detik. 

Sapi yang dipingsankan sebelum disembelih 
membutuhkan waktu henti darah lebih lama di-
bandingkan sapi yang tidak dipingsankan. Waktu 
henti darah memancar dipengaruhi oleh perlakuan 
hewan sebelum penyembelihan. Sapi yang diamati 
dengan perlakuan pemingsanan sebelum penyem-
belihan, dipingsankan mengunakan captive bolt stun 
gun non-penetrating. Non-penetrating captive bolt 
stun gun yang dipakai  di RPH di negara kita  
adalah tipe Cash Magnum Knocker caliber 0,25 yang 
menghilangkan rasa sakit pada hewan dan me-
mudahkan manusia dalam melaksanakan penyem-
belihan. Jantung pada sapi dapat memompa darah 
lebih stabil tanpa adanya peningkatan frekuensi 
jantung. Penurunan tekanan jantung terutama ven-
trikel selama pengeluaran darah terjadi karena pe-
nurunan oksigen darah pada miokardium. Respirasi 
pada hewan yang dipingsankan akan menurun 
sehingga distribusi oksigen ke jantung juga me-
nurun. Hal ini memicu  kekuatan frekuensi 
jantung dan tekanan darah menurun (Vemini et al., 
1983). Kondisi ini  membuat waktu henti darah 
memancar pada sapi yang dipingsankan lebih lama 
dibandingkan dengan sapi yang tidak dipingsankan.
Sapi yang disembelih tanpa melalui proses pe-
mingsanan terlebih dahulu, difiksasi memakai  
restraining box mark IV. Menurut Grandin (1991), 
restraining box adalah alat yang dipakai  untuk 
mengendalikan sapi sebelum disembelih agar ting-
kat stres pada sapi berkurang. Pada prinsipnya, 
tingkat stres dapat diturunkan karena (1) saat sapi 
masuk ke dalam restraining box sapi tidak merasa 
takut karena terhindar dari pengaruh lingkungan 
area penyembelihan, hal ini  penting terutama 
bagi sapi yang cukup agresif; (2) untuk mengatasi 
terjangan kepala sapi karena pandangan di sekeli-
ling sapi tertutup penuh; (3) memudahkan dalam 
merobohkan sapi tanpa perlakuan kasar; (4) stabili-
tas alat ini membuat sapi menjadi lebih tenang dan 
mengatasi gerakan berontak yang tiba-tiba; dan (5) 
tekanan alat pada sapi tidak menimbulkan kesakitan 
HASIL
Obyek penelitian yang dipakai  dalam peneli-
tian ini adalah sapi Brahman Cross jantan. Jumlah 
total sapi yang diamati pada penghitungan waktu 
henti darah memancar adalah sebanyak 30 ekor 
yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu sebanyak 15 
ekor disembelih dengan dilakukan pemingsanan ter-
lebih dahulu dan 15 ekor disembelih tanpa melalui 
proses pemingsanan. Hasil penghitungan waktu 
henti darah memancar pada sapi Brahman Cross yang 
dipingsankan dan tanpa pemingsanan sebelum di-
sembelih disajikan dalam Tabel 1.
diproduksi oleh Accles dan Shelvoke. Cash Magnum 
Knocker menembakkan baut (bolt) berukuran 
panjang 121 mm dan diameter 11,91 yang berbentuk 
kepala jamur (mushroom-headed). Cartridge merupa-
kan tenaga pendorong untuk menyebabkan trauma 
ke korteks otak tanpa penetrasi ke dalam tengkorak 
(Accles & Shelvoke, 2014). Tipe non-penetrating 
menyebabkan ketidaksadaran melalui pelemahan 
sistem syaraf  yang memicu  hilangnya ke-
sadaran tanpa perubahan anatomis di otak. Pe-
mingsanan merupakan salah satu teknik sebelum 
pemotongan pada hewan dengan tujuan untuk 
Penyembelihan Sapi dengan dan tanpa Pemingsanan | 61 
http://www.journal.ipb.ac.id/indeks.php/actavetindones
dan berlangsung cepat. Pada prinsipnya, tingkat 
stres dapat diturunkan karena pergerakan alat 
halus, memiliki tingkat kebisingan yang rendah, 
tekanan alat pada sapi tidak menimbulkan kesakit-
an, dan sapi tidak merasa takut karena terhindar 
dari pengaruh lingkungan area penyembelihan. 
Upaya penurunan stres memakai  mark IV masih 
menyisakan sapi dalam keadaan sadar, sehingga 
stres masih berpengaruh pada sapi dibanding-
kan dengan metode pemingsanan. Implikasi dari 
pemakaian  metode mark IV tetap memicu  
terjadinya peningkatan tekanan darah dan frekuensi 
jantung. Peningkatan frekuensi jantung menyebab-
kan darah yang dipompa keluar pada saat disembelih 
menjadi lebih cepat, sehingga darah yang memancar 
pada sapi akan lebih cepat berhenti. Peningkatan 
tekanan darah terjadi akibat adanya penyempitan 
pembuluh darah kapiler pada jaringan. Darah di-
pompakan melalui pembuluh darah oleh jantung. 
Pembuluh-pembuluh darah merupakan sistem yang 
tertutup, yang membawa darah dari jantung ke 
seluruh jaringan tubuh dan kembali ke jantung. Aliran 
darah ke tiap-tiap jaringan diatur oleh mekanisme 
kimia lokal dan mekanisme saraf umum yang 
melebarkan atau menyempitkan pembuluh darah 
jaringan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan 
oksigen pada jaringan melalui sistem kemoreseptor 
(Guyton & Hall, 2006). Mekanisme kimia lokal me-
rupakan mekanisme pengaturan saraf otonom, 
yaitu oleh zat-zat kimia seperti asetilkolin dan 
katekolamin, yang utama adalah norepinefrin dan 
epinefrin. Katekolamin menyebabkan penyempitan 
buluh-buluh darah sehingga terjadi peningkatan 
tekanan darah. Stres sehubungan dengan peming-
sanan dan pengeluaran darah secara normal menye-
babkan pelepasan katekolamin sehingga terjadi 
penyempitan pembuluh darah jaringan 
Stunning menjadi sangat penting karena stres 
sebelum penyembelihan memiliki dampak buruk 
terhadap kualitas daging yang dihasilkan. Stres 
sebelum penyembelihan menyebabkan peningkat-
an kadar katekolamin dan kreatinin kinase dalam 
tubuh. Peningkatan kadar katekolamin dan kre-
atinin kinase menyebabkan glikolisis secara cepat 
sehingga terjadi penumpukan asam laktat pada 
daging. Stres sebelum penyembelihan juga menye-
babkan penurunan kadar glikogen yang menyebab-
kan tingginya pH daging dan daya ikat air. Selain itu, 
daging yang dihasilkan lebih keras dengan warna 
yang lebih gelap ,
Penyembelihan sapi dengan pemingsanan mau-
pun tanpa pemingsanan harus memenuhi kaidah 
halal diantaranya harus memotong tiga saluran 
pada leher, yaitu esofagus, trakhea, dan pembuluh 
darah (vena jugularis dan arteri karotis). Proses 
penyembelihan memicu  pengeluaran darah 
dari pembuluh darah dalam jumlah yang besar. 
Respon fisiologis dari hewan yang kehilangan darah 
dalam jumlah yang besar secara tiba-tiba disebut 
syok hemoragik. Syok hemoragik merupakan gejala 
klinis akibat berkurangnya curah jantung dan perfusi 
darah ke organ karena penurunan volume darah 
(hipovolemia) yang  dipicu  oleh hilangnya 
darah. Hal ini  dipicu  ketidakmampuan sistem 
homestasis tubuh dalam mengembalikan jumlah 
normal darah akibat banyaknya darah yang keluar. 
Penurunan volume darah selama perdarahan akut 
menyebabkan penurunan tekanan vena cava dan 
pengisian darah ke jantung. Hal ini menyebabkan 
penurunan curah jantung dan tekanan arteri. Tubuh 
memiliki sejumlah mekanisme yang menjadi aktif 
dalam upaya untuk mengembalikan tekanan arteri 
kembali normal melalui refleks baroreseptor dan 
refleks kemoreseptor. Namun, karena terhentinya 
asupan oksigen dan nutrisi ke jantung akibat per-
darahan yang sangat parah (hypovolemia) menye-
babkan jantung gagal berkontraksi. Kegagalan 
jantung berkontraksi memicu  tidak ada lagi 
aliran darah dalam tubuh, sehingga perfusi darah 
ke organ tidak terjadi , Proses ini 
dapat berujung pada kematian.
Pengeluaran darah selama penyembelihan he-
wan sangat dipengaruhi oleh curah jantung, walau-
pun jantung bukan merupakan faktor utama dalam 
pengaturan curah jantung. ada  berbagai faktor 
sirkulasi perifer yang mempengaruhi aliran darah ke 
dalam jantung yang berasal dari vena, yang disebut 
aliran balik vena, yang merupakan pengatur utama. 
Alasan utama mengapa faktor-faktor perifer biasa-
nya lebih penting daripada jantung itu sendiri dalam 
mengatur curah jantung adalah karena jantung me-
miliki mekanisme di dalam jantung itu sendiri yang 
biasanya memungkinkan jantung untuk memompa 
secara otomatis berapapun darah yang mengalir ke 
dalam atrium kanan yang berasal dari vena. Tujuan 
dari pengeluaran darah adalah untuk mengeluarkan 
darah dan memastikan hewan mati dengan meng-
hentikan suplai oksigen ke otak proses kehilangan darah 
(blood loss) membutuhkan waktu tertentu untuk 
mencapai tingkat kritis. Pemotongan yang efektif 
akan menyebabkan 40%-60% volume darah hilang 
dalam pola dan tingkat yang sama pada spesies 
yang berbeda. lbahwa 
33% darah akan hilang sesudah  30 detik pemotong-
an, sedangkan  , setiap individu hewan membutuhkan waktu 
yang berbeda untuk mengalami perdarahan hingga 
kematian. Waktu kematian tertunda jika hanya 
arteri pada satu sisi leher yang terputus atau ujung 
arteri mengalami penyumbatan sebelum pendarah-
an sempurna. Perdarahan akan menyebabkan ke-
tidaksadaran yang berlanjut dengan kematian. Ke-
matian terjadi karena kurangnya suplai oksigen ke 
otak yang telah disuplai oleh aliran arteri.
Pengeluaran darah yang baik dapat terjadi pada 
hewan dalam keadaan sehat namun dapat diper-
lambat jika hewan mengalami kondisi demam, 
infeksi pada bagian jantung, paru-paru, dan otot 
Kerusakan otot dapat 
 dipicu  oleh beberapa hal diantaranya karena 
terbanting atau karena penyakit infeksius yang 
menyebabkan rusaknya pembuluh darah kapiler 
pada jaringan sehingga darah masuk ke otot yang 
menyebabkan kualitas daging menurun. Kesempur-
naan pengeluaran darah merupakan syarat agar 
kualitas daging yang dihasilkan baik. Kontraksi, 
gravitasi, dan aktifitas jantung merupakan faktor 
yang mempengaruhi pengeluaran darah otot-otot 
hewan oleh sebab itu, selama 
penyembelihan hewan harus dibiarkan berkontraksi 
hingga mati sempurna, sesudah  itu baru dilakukan 
penggantungan dan pelepasan kulit.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan 
bahwa sapi mati sempurna berdasarkan waktu 
henti darah memancar pada sapi yang disembelih 
dengan metode pemingsanan adalah 3,02 menit 
sedangkan pada sapi yang disembelih dengan me-
tode tanpa pemingsanan adalah 2,13 menit.



Sapi merupakan salah satu hewan ternak yang
penting sebagai sumber protein hewani, selain
kambing, domba dan ayam. Sapi menghasilkan sekitar
50% (45-55%) kebutuhan daging di dunia, 95%
kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit  Sapi berasal dari
famili Bovidae. seperti halnya bison, banteng, kerbau
(Bubalus), kerbau Afrika (Syncherus), dan anoa.
Pemeliharaan sapi secara intensif mulai dilakukan
sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari
Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika
dan seluruh wilayah Asia. Menjelang akhir abad ke-
19, sapi Ongole dari India dimasukkan ke pulau Sumba
dan sejak saat itu pulau tersebut dijadikan tempat
pembiakan sapi Ongole murni. Pada tahun 1957 telah
dilakukan perbaikan mutu genetik sapi Madura dengan
jalan menyilangkannya dengan sapi Red Deen.
Persilangan lain yaitu antara sapi lokal (peranakan
Ongole) dengan sapi perah Frisian Holstein di Grati
guna diperoleh sapi perah jenis baru yang sesuai
dengan iklim dan kondisi di negara kita  ,
Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos)
yang terdapat di dunia ada dua, yaitu (1) kelompok
yang berasal dari sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis
sapi yang berpunuk, yang berasal dan tersebar di
daerah tropis serta (2) kelompok dari Bos primigenius,
yang tersebar di daerah sub tropis atau lebih dikenal
dengan Bos Taurus. Di negara kita , manajemen
pemeliharaan biasanya terbagi atas pemeliharaan sapi
perah dan sapi potong. Jenis sapi perah yang unggul
dan paling banyak dipelihara adalah sapi Shorhorn (dari
Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari
selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown
Swiss (dari Switzerland), Red Danish (dari Denmark)
dan Droughtmaster (dari Australia). Hasil survei
menunjukkan bahwa jenis sapi perah yang paling cocok
dan menguntungkan untuk dibudidayakan di negara kita 
adalah Frisien Holstein.Pengembangan usaha
peternakan sapi perah di negara kita  (on farm) beserta
industri pengolahannya (off farm) mengalami
kemajuan pesat pada tahun 1980 sampai dengan 1990
namun pada tahun 1990 sampai dengan 1999 produksi
susu segar relatif tetap. Jumlah susu segar yang
diproduksi pertahunnya mencapai kurang lebih 330.000
ton. Produksi tersebut terbagi atas 49% berasal dari
Jawa Timur, 36% dari Jawa Barat dan sisanya 15%
dari Jawa Tengah. (1999). Dari segi perkembangan
populasi sapi perah pada tahun 1970 sekitar 3000 ekor
menjadi 193.000 ekor pada tahun 1985, dan menjadi
369.000 ekor pada tahun 1991. Kenaikan ini terjadi
karena adanya impor sapi perah asal Australia dan
New Zealand ( Achjadi, 2001). Pada tahun 1999
industri persusuan nasional hanya memproduksi ± 20%
terhadap total kebutuhan industri pengolahan, sehingga
sisanya masih sangat bergantung kepada bahan baku
impor. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlangsung lama
tanpa adanya upaya perbaikan pengelolaan sapi perah.
Untuk memperbaiki keadaan ini dibutuhkan usaha
yang keras dari segala komponen yang terkait, mulai
dari peternak sampai dengan pemerintah.
Sistem peternakan sapi perah yang ada di
negara kita  masih merupakan jenis peternakan rakyat
yang hanya berskala kecil dan masih merujuk pada
sistem
pemeliharaan yang konvensional. Banyak
permasalahan yang timbul seperti permasalahan
pakan, reproduksi dan kasus klinik. Agar permasalahan
tersebut dapat ditangani dengan baik, diperlukan
adanya perubahan pendekatan dari pengobatan
menjadi bentuk pencegahan dan dari pelayanan
individu menjadi bentuk pelayanan kelompok.
Keberhasilan usaha peternakan sapi perah sangat
tergantung dari keterpaduan langkah terutama di
bidang pembibitan (Breeding), pakan, (feeding), dan
tata laksana (management). Ketiga bidang tersebut
kelihatannya belum dapat dilaksanakan dengan baik.
Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan
ketrampilan peternak serta masih melekatnya budaya
pola berfikir jangka pendek tanpa memperhatikan
kelangsungan usaha sapi perah jangka panjang. Oleh
karena itu, dibutuhkan peningkatan pengetahuan dan
pemahaman peternak tentang manajemen sapi perah
yang baik sehingga akan berdampak pada peningkatan
produksi dan ekonomi.
Industri susu nasional menghadapi tantangan
pemenuhan permintaan susu dimasa sekarang dan
yang akan datang, yaitu masih mengandalkan import
untuk memenuhi 68 % kebutuhan susu nasional
Perkembangan
populasi ternak sapi perah cenderung stagnan ,
produksi susu cenderung turun 0,6%, dengan demikian
ada kecenderungan nilai tambah yang dinikmati
peternak semakin kecil. Keadaan ini dapat terjadi
sebagai akibat harga susu yang cenderung tetap sejak
tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Hal ini
dikatakan oleh Tawaf (2007) bahwa harga faktor
produksi yang berakibat pada meningkatnya biaya
produksi usaha ternak sapi perah, sedangkan harga
susu tidak mengalami kenaikan. Keadaan ini
mengakibatkan persusuan di Jawa Barat dan Jawa
Timur dalam keadaan stagnan usaha.
Sutanto (2008) dalam disertasinya mengatakan
bahwa selama berdirinya koperasi susu SAE Pujon
sampai dengan tahun 2003 koperasi menggantungkan
penjualannya susu segar ke PT Nestle, akan tetapi
mulai tahun 2004 koperasi mulai merintis pasar-pasar
baru yaitu pada IPS yang lain. Perubahan pasokan
susu ke PT Nestle sebagai konsumen utama terjadi
penurunan pada tahun 2002 sebesar 96,26% dan tahun
2008 hanya sebesar 78,63 %; sedangkan pasokan susu
ke IPS lain meningkat dari 3,71 pada tahun 2002
menjadi 21,17 % pada tahun 2008. Pengalihan
sebagian produksi susu koperasi ke IPS lain selain P.T.
Nestle semata-mata berkaitan dengan tingkat kualitas
susu, grade yang dapat dipenuhi oleh sebagian besar
peternak adalah grade yang paling rendah, dimana
harga pembeliannya sangat kecil. Untuk meningkatkan
grade guna mendapatkan harga jual yang lebih, maka
peternak harus mengeluarkan dana sendiri (IPS tidak
mengeluarkan dana untuk meningkatkan kualitas
susu). Dengan demikian , kenaikan harga yang
ditentukan IPStidak akan dapat menutupi biaya pokok
produksi peternak, bahkan akan merugikan peternak
karena ada tambahan biaya untuk meningkatkan
kualitas susu. Dalam kondisi itulah maka koperasi
secara bertahap mengurangi ketergantungan pada
salah satu IPS saja dan mulai merintis pasarpasar baru
guna mendapatkan posisi tawar yang lebih baik.
Bertambahnya tingkat pengetahuan masyarakat
tentang kesehatan dan kebutuhan terhadap gizi
mengakibatkan terjadinya peningkatan konsumsi susu
, baik susu segar ataupun susu bubuk.. Rendahnya
harga jual susu ke IPS antara lain disebabkan konsumsi
pakan yang rendah kualitasnya, sehingga kadar nutrisi
masih berada dibawah standard yang ditentukan oleh
IPS. Disamping itu karena masih terdapatnya residu
antibiotika pada air susu , industri pengolahan susu
bubuk kini memperketat terhadap penerimaan susu
segar dari peternak. Keberadaan residu antibiotika
pada ternak cukup mudah dideteksi oleh laboratorium
baik dengan Yoghurt test ataupun dengan maupun
Agar Test sehinggga tidak semua susu segar yang
disetor KUD dapat diterima industri pengolahan susu.
Kondisi ini memaksa peternak untuk mencari obat
alternatif yang dapat membunuh bibit penyakit, mampu
meningkatkan sistem pertahanan tubuh serta ,
meningkatkan nafsu makan serta memperlancar
produksi air susu.
Di KUD Pujon semenjak diberlakukannya
peraturan penolakan susu segar yang disetor ke Nestle
karena terdeteksinya kadar antibiotika yang cukup
tinggi pada susu segar , maka peternak berusaha
supaya tidak menyetor susu yang baru diobati terutama
dengan penicillin dan streptomicin . Hal lain yang
dilakukan oleh peternak yaitu dengan memberikan
obat-obatan herbal sekedar yang mereka tahu saja.
Peternak di wilayah pujon masih enggan mencari bibit
atau juga karena ketidak tahuan \mereka terhadap
tanaman-tanaman yang berhasiat untuk kesehatan
sapi.
Yang biasa dilakukan adalah dengan
memberikannya sebagaimana mereka memberikan
pakan rumput bagi mereka yang mengetahui khasiat
tanaman obat (survey ke lokasi peternak di Pujon,
Aisyah 2009). Harga obat-obatan untuk ternak sapi
cukup mahal, tidak sesuai dengan harga susu yang
diproduksi sehingga perlu dicarikan terobosan baru
agar peternak tidak mengalami kerugian.
Aloe Barbadensis Miller adalah tanaman lidah
buaya jenis unggul dari Amerika Serikat, harga bibit
perbatang sekitar Rp 15.000,- . Tanaman ini ,
berdasarkan hasil penelitian, daun lidah buaya beserta
gelnya berfungsi untuk menyembuhkan luka, bisul
bernanah, anemia, antibiotika, fungisida, sembelit,
diabetes, disentri, influenza, cacingan. Tanaman aloe
vera ini mengandung mineral calsium sebanyak 458,00
ppm; fosfor 20,10 ppm, besi (1,18); magnesium 60,80
ppm; mangan 1,04; kalium 797 ppm natrium 84,4 ppm;
tembaga 0,11 ppm, asam aspartat 43,00 ppm,asam
glutamat 52,00 ppm,alanin 28,00,ppm, isoleusin 14,00,
fenilalanin 14,00 ppm,threonin 31,00 ppm; prolin 14,00
ppm; valin 14 ppm; leusin 20,00 ppm, histidin 18,00
ppm, serin 45,00 ppm; glisin 28 ppm; arginin 14 ppm;
tyrosin 14 ppm tryptopan 30 ppm. Pada ayam broiler
untuk imbuhan pakan berfungsi meningkatkan
pertumbuhan dan konversi pakan ,
Pemberian aloe vera pada sapi sapi potong juga
berfungsi meningkatkan nafsu makan, konversi pakan
dan meningkatkan bobot badan ,
, mengatakan bahwa Aloe
barbadensis Miller memiliki konstituen yang bekerja
secara sinergystik. Konstituen dalam aloe vera yaitu
asam amino, antraquinon, enzym, mineral, vitamin,
lygnin, monosacharida, polisacharida, asam salisilat,
saponin dan sterol. Enzym yang ditemukan dalam aloe
vera adalah amylase, yang memutus gula dan tepung,
bradykinase (menstimulasi sistem imun, analgesik, anti
inflamasi, catalase (mencegah akumulasi air dalam
tubuh), selulase (berperan mencerna selulosa), lipase
(mencerna lemak), oxidase, alkalin phospatase,
proteolytase (hydrolisis protein dalam elemen-elemen
konstituen) creatin kinase, carboxypeptidase,
antioksidan vit A, C dan E, mineral, zink dan selenium.
Vitamin B1,B2,B3, B5, B6 dan B12, choline, calsium
(yang berperan dalam pertumbuhan tulang dan gigi.
Sapi perah adalah ternak yang sangat rentan
terhadap berbagai macam penyakit terutama apabila
pemberian pakan tidak terkontrol, yaitu cara
pengaturan pemberian pakan yang salah antara lain
pemberian lemak yang terlalu tinggi, dan rendah
pemberian karbohidrat berakibat terjadinya ketosis
yaitu penyakit metabolisme yang ditandai dengan
penimbunan benda-benda keton yaitu asam aseto
asetat ,betahidroksibutirat dan hasil dekarboksilasinya,
yaitu aseton dan isopropanol didalam cairan tubuh.
. Kondisi ini menggugah kami untuk melakukan
kegiatan penelitian sapi perah masa laktasi dengan
pemberian tanaman obat-obatan Aloe barbadensis
Miller yang diharapkan dapat dipergunakan untuk
mengobati , meningkatkan sistem pertahanan terhadap
serangan penyakit , serta meningkatkan produksi susu.

Penelitian ini akan dilaksanakan awal bulan
Oktober 2009 sampai Mei 2010, di exfarm fapetrik
UMM atau di Kecamatan Pujon di Peternakan sapi
perah milik Bapak Ali Mahmud pada saat masa laktasi.
Alat-alat yang dipergunakan untuk uji kualitas
susu adalah laktometer untuk uji BJ, sohlet henkel
untuk uji kadar lemak, alat-alat titrasi untuk uji kadar
protein dengan titrasi formol, alat-alat gelas, alat ukur
literan untuk produksi susu juga mesin pemerah susu,
CMT kid.
Kemudian untuk alat-alat untuk uji diagnostik
klinik yaitu stetoskop, termometer suhu badan, palu
perkusi untuk pemeriksaan kesehatan paru-paru,
mikroskop untuk pemeriksaan preparat natif adanya
keberadaan cacing pada feses. Alat-alat untuk uji telur
cacing dengan metode endapan dan apung.
 Metoda
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen,
analisis ragam yaitu sifat genetis, umur dan bobot sapi
yang dianggap homogen demikian pula lingkungan sapi
pada penelitian ini. Rancangan yang dipergunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan
dan 3 ulangan . Sapi yang digunakan adalah sapi PFH
masa laktasi pertama sebanyak 15 ekor . Dengan
perlakuan aloe vera (P1, 0kg; P2 1 kg; P3 2 kg; P4 3
kg; P5 4 kg dan masing-masing diulang 3 kali. Variabel
yang diukur :
1)  jumlah produksi beserta kualitas fisik, kadar
lemak dan kadar protein menggunakan titrasi
formol.
2) Pemeriksaan kesehatan sapi dilakukan sesuai
prosedur ambulatoir,yaitu diperiksa mulai
mukosa, kulit, kelenjar (limpoglandula subcutis,
cara berjalan dan berdiri, bulu dan feses, suhu
badan, denyut jantung, kesehatan paru-paru,
gangguan pencernaan serta gannguan pada
saluran urinaria, nafsu makan meningkat/
tidak.

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kecamatan
Pujon Kabupaten Malang yang terletak 840 meter dari
permukaan laut dengan suhu rata-rata 20 o C dan pada
siang hari mencapai 25 O C, peternakan sapi perah
yang kami gunakan bersuhu 20 sampai 26 o C. Dengan
temperatur tersebut sapi perah Peranakan Frisien
Holstein yang dipergunakan dalam penelitian ini mampu
bereproduksi. Sapi perah merupakan salah satu ternak
yang membutuhkan suhu rendah untuk berproduksi
secara optimal. Secara historis sapi perah yang
dikembangkan di negara kita  merupakan sapi perah
yang berasal dari negara yang memiliki suhu rendah
yaitu Belanda.
Produktifitas sapi perah juga dipengaruhi oleh
kelembaban udara yang sangat berpengaruh terhadap
aktifitas fisiologisnya. Sapi perah Peranakan Frisien
Holstein mampu bertoleransi terhadap kelembaban
udara sampai 65 %. Kelembaban udara dalam kandang
selama penelitian berlangsung berkisar antara 80 –
95 % Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat
mengganggu aktifitas fisiologis optimal ternak sehingga
produktifias ternak menjadi kurang optimal.
Kadar Lemak Susu
Hasil penelitian kadar lemak susu sapi perah PFH
dengan berbagai tingkat pemberian perlakuan Aloe
Barbadensis Miller. tertera pada tabel dibawah ini :

Gambar 1. Hasil penelitian kadar lemak susu sapi perah PFH dengan berbagai tingkat
pemberian perlakuan Aloe Barbadensis Miller

Dari tabel diatas tampak bahwa rataan kadar lemak susu pada perlakuan P0 sebesar 4,496 persen ; P1
sebesar 4,546 persen ; P2 3,91 persen; P3 4,336 persen; P4 4,40 persen. Setelah dilakukan analisis ragam
kadar lemak susu sapi PFH tercantum pada tabel 2 dibawah ini :

 
Keterangan : Pemberian Aloe Barbadensis Miller tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar lemak susu Fhit < Ftab1%
Hasil analisis diatas menunjukkan bahwa Aloe
Barbadensis Miller tidak memberikan pengaruh yang
berarti pada kadar lemak susu. Walaupun dalam
analisis ragam ini menunjukkan bahwa Aloe vera tidak
memberikan perbedaan yang nyata, tetapi rata-rata
kadar lemak yang diperoleh berada diatas kodex susu
yang yang berlaku di negara kita , yaitu 2,7% dan
menurut Sudono (1982), sapi FH umumnya memiliki
kadar lemak 3,5 %. Rata-rata kadar lemak pada
semua perlakuan adalah 4,496 % (P0), 4,546 % (P1);
3,91 % (P2); 4,336 % (P3); 4,40 % (P4). Hasil ini
menunjukkan bahwa hasil perlakuan dengan aloe vera

tidak menyebabkan terjadinya penurunan kadar lemak
dan nilai ini juga melebihi nilai kadar lemak untuk
kodeks susu, walaupun tidak terdapat perbedaan antar
perlakuan . Lemak susu merupakan komponen susu
yang penting seperti halnya protein. Dalam susu, lemak
terdapat sebagai globula atau emulsi, yaitu
bulatanbulatan minyak berukuran kecil di dalam serum
susu. Besar kecilnya globula lemak dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain jenis sapi, masa laktasi,
jenis dan bentuk pakan. Lemak susu mengandung
berbagai asam lemak, yaitu asam butirat, kaproat,
laurat, kaprilat,kaprat, miristat, palmitat, stearat,oleat,
deoksi stearat. Disamping itu juga mengandung bentuk
lipida pospolipida lesitin dan gol sterol yaitu kholesterol.
mengatakan bahwa Aloe vera
mengandung sterol tanaman atau plant steroid dalam
aloe vera, yang termasuk adalah cholesterol,
Campesterol, Lupeol, dan B sitosterol. Steroid ini
mengandung asam lemak didalamnya yang berperan
sebagai antiseptik yang dapat membunuh bakteri, virus,
fungi, dan parasit; analgesik dan antiinflamatori . 
 bahwa aloe vera mengandung lignin yaitu
selulosa sebagaimana hijauan.
Hijauan merupakan sumber lemak utama pada
ruminansia dapat dihidrolisis secara optimal oleh
mikroba rumen. Mikroba rumen dapat tumbuh optimal
dan berfungsi optimal dengan enzim selulase yang
dihasilkannya. Optimalnya fungsi mikroba dibantu oleh
adanya mineral P serta adanya mineral Cu, Na ,K,
Mg, Mn, serta Co ,Mineral
mineral ini diduga mampu memperbaiki daya cerna
serat kasar serta berperan dalam siistem enzim yang
terlibat dalam metabolisme lemak dan karbohidrat.
Sedangkan komponen pembentuk lemak susu adalah
asam asetat,asam lemak, gliserol,glukosa, dan beta
hidroksbuitirat trigserida pakan . Aloe
vera mengandung semua yang dibutuhkan ternak
perah untuk pembentukan lemak susu  namun
konsentrasi yang kecil, kendati dosis berbeda pada tiap
perlakuan tetapi masih belum mampu mengimbangi
berat tubuh sapi yang 300 kg. Memang saponin
merupakan unsur steroid yang yang dapat membunuh
bakteri, dan protozoa yang ada dalam lambung sapi,
namun komponen-komponen lain yaitu mineral tersebut
diatas mampu mengimbangi metabolisme pembentukan
lemak susu, sehingga yang diperoleh kadar lemak susu
lebih tinggi dari kodex susu yang berlaku di negara kita .
Kadar lemak tanpa perlakuan tampak tidak
berbeda nyata dengan kadar lemak dengan perlakuan
hal ini disebabkan kadar protein rumput gajah yang
diberikan sebagai pakan 10, ,1%, kadar lemak 2,5%;
serat kasat 3,1 %, bahan ekstrak tanpa nitrogen 46,1
5, TDN 59 %, disamping adanya konsentrat yang
diberikan. Jadi dalam hal ini pemberian aloe vera yang
tinggi nutrisi justru ada kemungkinan dapat
meningkatkan kadar lemak diataskodex susu apabila
pemberiannya diberikan pada konsentrasi yang tinggi.
Kadar Protein susu setelah perlakuan
Protein dalam susu terdapat dalam bentuk kasein,
laktalbumin, dan laktoglobulin. Kasein merupakan
jumlah terbanyak dibandingkan laktalbumin dan
laktoglobulin, namun disamping protein tersebut msih
terdapat enzim dan imunoglobulin. Didalam susuprotein
terdispersi sebagai partikel yang berukuran bermacam-
macam, rata-rata diameter 66 mu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar
protein setelah perlakuan Aloe barbadensis .Miller
sebagaimana tertera pada tabel 4. 2 dibawah ini :


Data rataan kadar protein tanpa perlakuan aloe
vera 3,823 %( P0); P1 3,86; P2 3,083; P3 3,71 dan P4
3,75. Berdasarkan data tersebut setelah dianalisis
ragam didapatkan bahwa F hit < dari F tabel. Hasil ini
menunjukkan bahwa perlakuan Aloe barbadensisi
Miller tidak memberikan pernbedaan yang nyata
dengan P0 (tanpa perlakuan). Tetapi nilai hasil
perlakuan apabila dibandingkan dengan kodex susu
yang berlaku di negara kita  berada diatas kodex susu
yaitu yaitu 3,0 untuk kadar protein kasar dan 2,7 untuk
kadar protein murni. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian aloe barbadensis tidak memberikan
pengaruh buruk dengan menurunkan kadar protein ,
tetapi justru meningkatkan kadar protein walaupun
perbedaan tidak nyata dengan tanpa perlakuan karena
pemberian nutrisi yang memang sudah tinggi kadar
proteinnya,disamping itu kadar protein yang sangat
rendah dalam kondisi aloe vera segar lebih-lebih bila
dibandingkan dengan berat tubuh sapi yang 250-300
kg yang mengakibatkan tidak berbeda nyata diantara
perlakuan .  bahwa Aloe
vera kaya dengan protein enzim lipase, protease,
bradikinase, karboxypeptidase, alkalinphospatase,
oxydase dan kreatinphospokinase.. Protein dan asam-
asam amino esensial inilah yang bergabung
membentuk protein guna meningkatkan kadar protein
susu. Proses pembentukan protein susu ,adalah sebagai berikut : Precursor untuk
sintesis protein adalah asam amino bebas, plasma
protein, dan peptide, Protein susu disintesis oleh
ambing, sedangkan untuk pembentukan dari
penggabungan-penggabungan asam amino. Proses
sintesis air susu terjadi pada sekretoris bagian ribosom
dikontrol oleh gen-gen yang mengandung bahan
genetik (DNA). Sintesis protein meliputi 3 proses yaitu
replikasi DNA< transkripsi DNA menjadi RNA dan
translasi RNA menjadi protein.
Gambar 2. Rataan kadar protein susu setelah perlakuan
Berat Jenis Air susu Setelah Perlakuan
Berat jenis air susu dihitung berdasarkan hukum
archimedes yang menyatakan bahwa tiap benda yang
dimasukkan kedalam zat cair maka pada benda
tersebut akan bekerja tekanan keatas yang besarnya
sama dengan berat cairan yang dipindahkan oleh benda
tersebut. Oleh karenanya semakin encer susu karena
kadar lemak, kadar protein dan nitrisi lainnya
konsentrasinya rendah maka BJ susu juga akan turun.
Rataan BJ susu setelah perlakuan aloe vera tertera
pada tabel dibawah ini :


Rataan Bj susu yang tertera diatas menunjukkan
bahwa nilai semua perlakuan tidak berbeda nyata
setelah dianalisis ragam, tetapi nilai Bj ini berada diatas
kodex susu yang berlaku di negara kita  yaitu 1,028 gram/
cm3. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya kadar
lemak, kadar protein susu ternyata memberikan nilai
BJ yang berada diatas kodex walaupun perbedaannya
tidak nyata antar perlakuan diakibatkan kadar aloe
vera yang diberikan cukup kecil sehingga perbedaan
4 kg tidak memberikan perbedaan yang berarti
dibanding berat tubuh sapi yang 300 kg. Konsentrasi
kadar lemak, protein dan karbohidrat yang sangat
rendah pada aloe vera ternyata belum cukup pula untuk
meningkatkan kadar nutrisi melebihi dari kadar
kontrolnya. Gambar BJ susu setelah perlakuan tertera
pada gambar dibawah:
Gambar 3. Bj susu setelah perlakuan tidak berbeda nyata dibanding tanpa perlakuan. Produksi
Susu Setelah Perlakuan
Produksi susu acap kali berubah, berbeda sifat,
komposisi, jumlahnya. Hal ini menurut Hadiwiyoto,
1994, dikatakan bahwa yang berpengaruh terhadap
produksi susu adalah jenis hewan, keturunan,
pertumbuhannya, umur hewan panjang masa laktasi,
kesehatan hewan, jenis dan macam pakan pengaruh
musim dan manajemen pemerahan. Umur sapi
penelitian adalah antara 1,8- 2,5 tahun yang masih
laktasi pertama jenis sapi adalah Peranakan FH. Pakan
yang diberikan adalah konsentrat dan rumput gajah
yang mempunyai komposisi nutrisi cukup tinggi kadar
proteinnya yaitu 10%.
Hasi penelitian ini memperlihatkan bahwa jumlah
produksi susu tidak berbeda nyata antar perlakuan baik
yang diberi aloe vera maupun yang tidak diberi aloe
vera tetapi bila untuk sapi peranakan FH yang masih
laktasi I dianggap bahwa produksi susu ini cukup tinggi
karena pengaruh pakan yang diberikan disamping
adanya aloe vera yang ternyata tidak memberi
pengaruh negatif terhadap produksi susu, dan bahkan
pemberiannya justru diduga dapat meningkatkan
produksi akan tetapi jumlah yang diberikan tidak
memberikan perbedaan yang nyata dibanding berat
badan sapi yang berkisar 300 kg an.
Dibawah ini tampak diagram produksi susu
setelah perlakuan.                        
Gambar 4. diagram produksi susu setelah perlakuan
Pengaruh Perlakuan terhadap Kesehatan
Dari hasil pemeriksaan Klinis didapatkan bahwa
pemeriksaan kulit organ-organ jantung, paru-paru
limphoglandula maxilaris dan mandibulris, pemeriksaan
mukosa gerakan, abdomen memperlihatkan tidak ada
kelainan selama penelitian Pada pemeriksaan
endoparasit didapatkan terdapat cacing Strongilus dan
Fasciola gigantica pada sapi tanpa perlakuan tetapi
setelah perlakuan didapatkan cacing-cacing yang
berupa kerangka hal ini menunjukan terjadi kelainan
pada cacing setelah perlakuan Aloe barbadensis
Miller yang tampak adalah setelah perlakuan 4 kg.
Data pemeriksaan telur cacing setelah 6 hari
perlakuan.

 Dari tabel 7 tampak bahwa terjadi penurunan
yang sangat significan karena dari pada P(1) dengan
derajad infeksi ringan setelah pemberian 12 hari
diperoleh derajad infeksi 0, pada P2 dengan derajad
infeksi ringan dan berat setelah pemberian 12 hari
diperoleh derajad infeksi 0 . Pada P3 dengan derajad
infeksi ringan dan cacing. Hal ini dapat dibuktikan
karena banyaknya kerangka-kerangka cacing setelah
12 hari pemberian aloe vera. Diduga bahwa
pendegradasi cacing dilakukan oleh protease aloe vera,
saponin yang juga berfungsi sebagai anti mikroba.
Selama penelitian tidak ditemukan adanya kesulitan
59Siti Aisyah, tingkat Produksi Susu dan Kesehatan Sapi Perah dengan Pemberian Aloe Barbadensis Miller
buang air besar, yang diduga akibat adanya saponin dapat menghambat pencernaan selulosa akibat terbunuhnya
bakteri dan jamur dalam rumen, dimana pencernaan selulosa dilakukan oleh mikroba selulolitik dan jamur
selulolotik. Komponen aloe vera yang sangat lengkap dan bekerja secara sinergistik (Baldwin,2008) ternyata
mampu menetralisir kondisi ini. Kendati demikian perlu pula menjadi catatan bagi peneliti bahwa sebagaimana
yang disampaikan oleh Kamra (2003), ekosistem bakteri dalam rumen di negara tropis, sebanyak 1010-1011
cells/ml, terdapat lebih dari 50 genus), protozoa gol ciliata (104- 106/ml,dari 25 genus); fungi anaerobic terdiri
dari103-105 zoospores/ml, terdapat 5 genera dan bakteripages 108-109 /ml. Didalam rumen terjadi reaksi yang
synegistik dan antagonisdiantara kelompok-kelompok mikroba ini. Hasil dari reaksi ini adalah biokonversi pakan
yang akan merubahnya menjadi bentuk energi.Walau dalam penelitian ini hingga laporan ini dibuat tidak terjadi
kelainan pada sistem pencernaan yang tampak secara klinis tetapi perlu uji lebih lanjut tentang kelangsungan
hidup mikroba rumen ini setelah pemberian aloe vera yang mempunyai kanungan anti mikroba seperti antraquinon,
saponin dan asam salicilat. sedang setelah pemberian 12 hari diperoleh derajad infeksi ringan dan 0. Pada P4,
derajad infeksi berat setelah pemberian aloe vera 12 hari diperoleh derajad infeksi 0. Tetapi pada P0 tanpa
pemberian aloe vera didapatkan bahwa setelah 12 hari perlakuan tidak terjadi perubahan penurunan jumlah
telur cacing. Hal ini menunjukkan bahwa aloe vera mampu membunuh cacing, dengan cara mendegradasi.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
1)  kadar protein, kadar lemak, BJ, produksi susu serta
status kesehatan tidak berbeda nyata antara sapi
dengan perlakuan Aloe barbadensis Miller dan tanpa
perlakuan (P0). Akan tetapi aloe vera ini tidak
memberikan pengaruh buruk terhadap kadar nutrisis
susu. Pemberian aloe vera ini memberikan pengaruh
yang baik bagi kesehatan sapi perah dengan tidak
diketemukannya sapi sakit seklama penelitian.
Endoparasit cacing yang ditemukan adalah Strongylus
dan Fasciola gigantica Setelah perlakuan 4 kg
didapatkan infeksi ringan dan banyak terdapat
kerangka cacing yang menunjukkan bahwa akibat aloe
vera cacing mengalami kematian katera kandungan
protease dan steroid yang dimiliki aloe vera ini. Tidak
terjadi kelainan dalam sistem pencernaan yang diamati
secara klinis.
Saran
Pemberian aloe vera cukup baik untuk
meningkatkan kualitas dan kesehatan sapi perah. Agar
aloe vera tidak terasa mahal maka sebaiknya peternak
melakukan penanaman aloe vera ini sebagai suplemen
tambahan bagi ternak untuk mengurangi biaya
produksi. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pengaruh
pemberian aloe vera dalam bentuk kering atau
diekstraksi untuk meningkatkan konsentrasi nutrisinya.
Pemberian aloe vera tidak perlu terlalu sering atau
perlu ada kombinasi dengan bahan pakan lain untuk
menjaga kemungkinan terganggunya mikroflora
rumen.



Daging didefinisikan sebagai semua 

jaringan hewan dan semua hasil pengolahan 

jaringan-jaringan tersebut sesuai untuk 

dimakan serta tidak menimbulkan 

gangguan kesehatan bagi yang 

mengkonsumsinya. Organ-organ misalnya 

hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, 

pankreas, dan jaringan otot termasuk dalam 

definisi ini. Secara umum daging 

mengandung sekitar 75% air, dengan 

kisaran 68-80%, protein sekitar 19% (16-

22%), mineral 1% serta lemak sekitar 2.5% 

(1.5-13.0%) (Soeparno, 1992). Protein asal 

daging mengandung asam-asam amino 

esensial karena merupakan bahan pangan 

yang sangat baik dipakai  sebagai sumber 

protein hewani dalam perbaikan gizi, 

walaupun masih perlu pula 

dipertimbangkan masalah penyediaan dan 

harganya (Purnomo dan Padaga, 1996).  

Menurut  Nurwantoro dan Mulyani 

(2003), cooking loss atau susut masak 

menggambarkan jus daging yang 

merupakan fungsi suhu dan lama waktu 

pemasakan atau pemanasan. Pada filamen-

filamen pemasakan 80oC, daging yang 

mengalami pemendekan dingin pada pH 

normal 5,4-5,8 menghasilkan susut masak 

yang lebih besar daripada susut masak 

(cooking loss) daging regang dengan 

panjang serabut yang sama. Pemasakan 

pada filamen-filamen 90oC juga dapat 

menghasilkan susut masak otot. Susut 

masak menurun secara linear dengan 

bertambahnya umur tenak. 

Daya ikat air atau yang dapat juga 

disebut Water Holding Capaity (WHC) atau 

Water Binding Capacity (WBC) adalah 

kemampuan daging untuk mengikat 

airnyaatau air yang ditambahkan selama 

ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya 

pemotongan daging, pemanasan, 

pendinginan dan tekanan  menambahkan nilai WHC 

daging dipengaruhi oleh susunan jarak 

molekul dari protein myofibril terutama 

miosin dan serabut-serabut (filamen-

filamen). Jika kekuatan tarik menarik antara 

molekul-molekul yang berdekatan 

menurun, disebabkan kenaikan muatan 

netto negative diantar muatan protein atau 

melemahnya ikatan hidrogen maka jaringan 

protein akan membesar, pembengkakan 

meningkat dan lebih banyak air yang terikat 

oleh protein, sehingga akan terjadi 

peningkatan WHC. Jika kekuatan tarik 

menarik ini mengalami penurunan terus 

menerus maka jaringan protein akan 

mengalami kerusakan dan gel akan menjadi 

larutan koloid. Jika kekuatan tarik menarik 

antara molekul yang berdekatan naik, maka 

air yang terikat akan dilepaskan kembali 

sehingga nilai WHC turun. 

bahwa 

kesan keempukan secara keseluruhan 

meliputi tekstur dan terdiri dari 3 aspek 

yaitu  (a) kemudahan awal penetrasi ke 

dalam daging, (b) mudahnya daging di 

kunyah menjadi potongan yang lebih kecil 

dan (c) jumlah residu yang tertinggal 

setelah pengunyahan.  


             Metode penelitian yang digunakan 

adalah adalah percobaan dengan Rancangan 

Acak Lengkap (RAL) dan diolah 

menggunakan Microsoft Office Excel. 

Sampel daging sapi segar dari 5 pedagang 

penjual daging sapi segar yang ada di pasar 

tradisional Kecamatan Poncokusumo 

Kabupaten Malang. Masing-masing sampel 

di ulang sebanyak 3 kali dan diambil pada 

pagi hari.  

Uji Kualitas Daging Sapi 

Pengujian kualitas daging sapi 

segar meliputi uji kadar air, uji pH, uji susut 

masak (cooking loss), uji daya ikat air / 

Water Holding Capacity (WHC) dan uji 

tekstur. 

1. Analisa kadar air menurut petunjuk 

AOAC (2005) ditentukan dengan cara 

oven. Prinsipnya adalah menguapkan 

molekul air (H

2

O) bebas yang ada 

dalam sampel. 

2. Analisa pH menurut petunjuk  

pH adalah derajat keasaman 

yang digunakan untuk menyatakan 

tingkat keasaman atau kebasaan pada 

sampel. 

3. Analisa susut masak (cooking loss) 

4. Analisa WHC (Water Holding 

Capacity) menurut petunjuk Honikel 

dan Hamm(1994). WHC adalah 

kemampuan matriks molekul bahan 

(makromolekul) untuk menahan 

keberadaan sejumlah air di dalam 

matriks sampel. 

5. Analisa keempukan menurut petunjuk 

Carballo, Fernandez, Baretto, Solas and 

Colmenero  (1996). Keempukan daging 

merupakan tingkat kekerasan tekstur 

yang dimiliki sampel daging. Diukur 

menggunakan Pnetrometer PNR6.  

Analisa Data 

Data yang diperoleh dianalisis 

menggunakan metode analisis ragam 

Rancangan Acak Lengkap  (RAL), bila 

terdapat perbedaan maka dilakukan Uji 

Jarak Berganda Duncan (UJBD).   


Data penelitian kualitas fisik daging 

sapi segar di pasar tradisional Kecamatan 

Poncokusumo Kabupaten Malang, yang 

meliputi kadar air (%), pH, susut masak 

(cooking loss) (%), daya ikat air (WHC) 

(%) dan tekstur (N) dapat dilihat pada  

Tabel 1.  


Keterangan :  Notasi a,b,c dan d  pada kolom yang 

sama menunjukkan pengaruh yang 

berbeda nyata (P<0.05) sedangkan 

notasi yang sama dari rata-rata pH 

menunjukkan tidak berpengaruh.  

Kadar air daging sapi sampel yang 

diambil dari pedagang penjual daging sapi 

segar, menunjukkan perbedaan pengaruh 

yang nyata (p<0,05). Pada Tabel 1 dapat 

dilihat bahwa kadar air tertinggi didapat 

pada sampel dari pedagang nomor 5, yaitu 

sebesar 77.64%. Sedangkan yang terendah 

dari pedagang nomor 2, yaitu sebesar 

74.60%. Kadar air merupakan salah satu 

faktor penyebab kerusakan bahan pangan, 

termasuk daging sapi, sebab air yang 

terkandung dalam bahan pangan merupakan 

media yang baik untuk mendukung 

pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme 

perusak bahan pangan. Lama penyimpanan 

juga akan mempengaruhi kadar air, yaitu 

semakin tingginya kadar air daging sapi. 

kadar air dalam daging berkisar antara 60 

 

70% dan apabila daging mempunyai kadar 

air yang tidak terlalu tinggi atau tidak 

terlalu rendah,  maka daging tersebut dapat 

tahan lama selama penyimpanan. 

pH daging sapi sampel yang diambil 

dari pedagang penjual daging sapi segar, 

menunjukkan tidak berpengaruh (p>0,05). 

Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa pH 

berkisar antara 5,6 

 

5,7. pH daging 

merupakan salah satu penentu kualitas 

daging, yaitu jika pH daging semakin 

rendah atau asam berarti daging 

tersebutakan lebih cepat mengalami 

pembusukan. Hampir semua bakteri 

tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7, 

tetapi pH untuk pertumbuhan optimal 

ditentuan oleh kerja stimulan dari berbagai 

variabel lain, diluar faktor pH itu sendiri.  

penurunan pH pada 

daging disebabkan karena lebih terbukanya 

struktur filamen-filamen miofibrilar, yang 

kemungkinan disebabkan oleh proses 

pemotongan karkas atau juga penggilingan, 

pada daging giling. Hal tersebut 

menyebabkan semakin banyak air yang 

masuk sehingga meningkatkan juga kadar 

daya ikat airnya (WHC).  

Soeparno (2005) menjelaskan 

bahwa perubahan pH daging setelah 

pemotongan ternak dipengaruhi oleh 

ketersediaan asam laktat di dalam otot. 

Ketersediaan asam laktat ini dipengaruhi 

oleh kandungan glikogen, dan kandungan 

glikogen dipengaruhi oleh penanganan 

ternak sebelum dipotong. Kandungan 

glikogen otot sangat rendah, yaitu pada 

kisaran 0,5 

 

1,3% dari berat daging segar. 

Dengan kata lain, penurunan pH terjadi 

secara bertahap dan membutuhkan jangka 

waktu yang lama.   

meneliti bahwa pada daging giling sapi 

yang ditambahkan ekstrak biji picung 

(Pengium edule),  cenderung meningkat pH 

nya dengan semakin meningkatnya 

konsentrasi ekstrak picung (0-6%) dan lama 

penyimpanan (0-9 hari) pada suhu dingin, 

yaitu berkisar antara 5,5 5,9. meneliti bahwa 

pH pada Sapi PO dan Sapi Silangan, tidak 

berbeda nyata. pH daging sapi PO 

(Peranakan Ongole) rata-rata  6,03 dan pH 

pada Sapi Silangan berkisar 5,96. bahwa 

keempukan daging tidak terlalu besar 

pengaruhnya diantara perbedaan bangsa 

sapi, dan sebagian besar berhubungan 

dengan reduksi sistem enzim calpain dalam 

daging. 

Cooking Loss atau susut masak 

daging sapi sampel yang diambil dari 

pedagang penjual daging sapi segar, 

menunjukkan perbedaan pengaruh yang 

nyata (p<0,05). Pada Tabel 1. dapat dilihat 

bahwa Cooking Loss atau susut masak  

tertinggi didapat pada sampel dari pedagang 

nomor 5, yaitu sebesar 27,26%. Sedangkan 

yang terendah dari pedagang nomor 2, yaitu 

sebesar 18,79%. Cooking loss merupakan 

jumlah cairan dalam daging masak, yang 

apabila mempunyai nilai yang rendah, maka 

akan mempunyai kualitas fisik yang lebih 

baik daripada daging yang mempunyai nilai 

cooking loss yang besar.  

bahwa cooking loss dipengaruhi oleh waktu 

post mati. Jangka waktu mati 

mempengaruhi cooking loss daging 

Perubahan cooking loss disebabkan 

terjadinya penurunan pH daging post 

mortem yang mengakibatkan banyak 

protein miofibriller yang rusak, sehinggga 

diikuti dengan kehilangan kemampuan 

protein untuk mengikat air yang pada 

akhirnya semakin besarnya cooking loss. 

Perbedaan susut masak dari data yang 

didapat, kemungkinan juga berhubungan 

dengan kandungan lemak pada otot, dimana 

otot yang mengandung lebih banyak lemak 

akan mengalami kehilangan lemak yang 

lebih tinggi pada saat pemasakan, serta 

adanya perbedaaan nilai pH dan WHC atau 

daya ikat airnya. meneliti 

bahwa cooking loss pada daging ayam 

broiler dari sampel yang diambil di pasar 

tradisional Kecamatan Poncokusumo 

Kabupaten Malang, berkisar antara 22,93-

34,44%. 

bahwa susut masak  mempunyai hubungan 

negative dengan daya ikat air (WHC). 

Daya ikat air (WHC) daging sapi 

sampel yang diambil dari pedagang penjual 

daging sapi segar, menunjukkan perbedaan 

pengaruh yang nyata (p<0,05). Pada    

Tabel 1. dapat dilihat bahwa WHC tertinggi 

didapat pada sampel dari pedagang nomor 

3, yaitu sebesar 54.32% sedangkan yang 

terendah dari pedagang nomor 1, yaitu 

sebesar 22,04%. Daya ikat air atau WHC 

diartikan sebagai kemampuan daging untuk 

menahan air yang terdapat dalam 

jaringannya.  bahwa besar kecilnya 

daya ikat air tersebut, akan berpengaruh 

terhadap warna, keempukan, kekenyalan, 

juiciness dan tekstur daging.  

 besar  kecilnya daya ikat air dipengaruhi oleh 

perbandingan kadar air dan protein, tipe 

protein myosin, pH, semua susunan jarak 

dari protein-protein miofibril terutama 

miosin dan serabut-serabut (filamen-

filamen). Kekuatan tarik menarik antara 

molekul yang berdekatan bias menurun, 

disebabkan kenaikan muatan negatif 

diantara muatan protein atau melemahkan 

ikatan hydrogen, maka jaringan protein 

akan membesar, sehingga pembengkakan 

meningkat dan lebih banyak air yang terikat 

oleh protein sehingga akan terjadi 

peningkatan nilai daya ikat air (WHC).  

bahwa penurunan pH akan meningkatkan 

kontraksi aktomiosin dan mengakibatkan 

menurunnya WHC akibat adanya 

pemecahan ATP yang cepat, yang akan 

meningkatkan proses denaturasi protein. 

Tekstur daging sapi sampel yang diambil 

dari pedagang penjual daging sapi segar, 

menunjukkan perbedaan pengaruh yang 

nyata (p<0,05). Pada Tabel 1. dapat dilihat 

bahwa nilai tekstur tertinggi didapat pada 

sampel dari pedagang nomor 1, yaitu 

sebesar 31,7 N sedangkan yang terendah 

dari pedagang nomor 3 dan 5, yaitu sebesar 

16,2 N. Tekstur daging juga merupakan 

parameter utama penentuan kualitas daging. 

Antemortem dan postmortem merupakan 

dua faktor yang mempengaruhi keempukan 

daging. Faktor antemortem seperti genetik, 

termasuk bangsa, spesies, dan fisiologi, 

jenis kelamin, umur, manajemen dan stress. 

Faktor post mortem meliputi metode 

chilling, refrigerasi, pelayuan dan 

pembekuan, lama dan suhu penyimpanan, 

metode pengolahan atau metode 

pemasakan.  

Perubahan nilai keempukan atau 

tekstur daging sewaktu pelayuan 

dipengaruhi oleh perubahan daya ikat air, 

penurunan daya ikat air menyebabkan 

penurunan nilai keempukan daging, 

kemudian nilai keempukan daging 

meningkat lagi setelah tercapainya pH 

isoelektrik ,

    

Kualitas fisik daging sapi segar di 

pasar tradisional Kecamatan Poncokusumo 

Kabupaten Malang yang diambil dari          

5 pedagang daging sapi segar, berpengaruh 

nyata (p<0.05) pada kualitas fisik, yaitu 

kadar air, cooking loss atau susut masak, 

daya ikat air (WHC) dan tekstur. 

Sedangkan pada pH, tidak berpengaruh atau 

tidah berbeda diantara pedagang tersebut. 





Penelitian yang dilakukan merupakan sebuah penelitian lanjutan dari hasil

ditemukannya kasus pneumoni pada paru-paru sapi yang berasal dari tempat

pemotongan hewan (TPH) di kota Gorontalo sebelumnya. Tujuan dari penelitian ini

untuk mengetahui apakah ada pertumbuhan bakteri pada paru-paru sapi yang

mengalami pneumoni dan melihat bentuk patologi dari pneumoni yang ditemukan.

Metode penelitian dilakukan dengan melakukan pemeriksaan makropatologi paru-paru

yang mengalami pneumoni. Paru-paru yang mengalami pneumoni dimasukkan ke dalam

kantung plastik steril dan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan

mikrobiologi. Isolasi bakteri kemudian dilakukan dengan melakukan penanaman isolat ke

nutrien agar (NA) dan selanjutnya dilakukan pengamatan yang meliputi bentuk koloni,

tepi, diameter, permukaan, elevasi, konsistensi koloni, status gram bakteri dan sifat

bakteri lainnya. Sebagian jaringan pneumoni diambil untuk dilakukan pemeriksaan

histopatologi. Hasil yang diperoleh disajikan secara deskriptif.

Hasil pemeriksaan makropatologi ditemukan paru-paru yang mengalami atelektasis,

pneumoni intersisial, pneumoni aspirasi dan lobarpneumoni. Hasil penanaman mikroba

ditemukan adanya pertumbuhan bakteri yang berasal dari isolat paru-paru yang

mengalami pneumoni. Hasil pemeriksaan histopatologi diketahui terjadi multifocal

necrotizing chronic fibrinous suppurative bronchopneumonia pada paru-paru yang

mengalami lobarpneumonia dan diffuse catarrhal bronchopneumonia pada kasus

atelektasis. Ada dugaan keterkaitan pertumbuhan bakteri dengan terjadinya pneumoni,

namun adanya pertumbuhan bakteri pada kasus penumonia juga dapat merupakan

bagian infeksi sekunder dari penyakit lain.


Penelitian ini merupakan sebuah

penelitian lanjutan dari hasil

ditemukannya kejadian pneumoni (radang

paru-paru) pada sapi yang dipotong di

tempat pemotongan hewan (TPH) di kota

Gorontalo. Kejadian pneumoni pada

organ paru-paru sapi yang dipotong di

tempat potong hewan di kota Gorontalo

telah ditemukan  Dari 76 sampel paru sapi

yang diperiksa 49 organ mengalami

pneumoni. Sampai saat ini kejadian

itu  masih sering ditemukan pada sapi

baik yang dipotong ditempat pemotongan

hewan atau pemotongan yang sifatnya

secara mandiri dilakukan.  kejadian yang sama pada

saat melakukan pemeriksaan hewan

kurban, yaitu ditemukan kejadian

pneumoni seperti lobus yang ada  pus

(nanah). Sampai saat ini belum diketahui

secara pasti faktor pemicu  pneumoni

dan penyakit apa yang menyebabkan

pneumoni itu .

Gangguan pada paru-paru salah

satunya dapat disebabkan oleh infeksi

penyakit dan akan menimbulkan

manefestasi peradangan pada tiap

lobusnya. Peradangan yang terjadi pada

paru-paru sering disebut dengan

pneumoni atau pneumonitis , Faktor pemicu  kejadian

pneumoni bisa sangat beragam. Menurut

Myint dan Carter (1989), manifestasi

pneumoni pada sapi dapat diakibatkan

oleh virus, bakteri atau kombinasi

keduanya, parasit metazoa dan agen-agen

fisik/kimia lainnya. Sebagai upaya awal

untuk mengetahui pemicu  terjadinya

pneumoni pada sapi itu  akan

dilakukan pemeriksaan salah satunya

dengan melakukan pemeriksaan mikroba

dan pengamatan patologi organ paru-paru

yang mengalami pneumoni..


Pengambilan Paru-paru Sapi

Pengambilan sampel dilakukan

segera setelah sapi dipotong dan paru-

paru belum dipisahkan dari sapi dan

sesegera mungkin dimasukkan kedalam

kantung plastik steril dan diberi tanda.

Bagian paru-paru yang diambil untuk

diperiksa sebelumnya dilakukan

dokumentasi dengan kamera foto digital.

Penanaman pada Nutrient Agar (NA)

Sampel sebanyak 5 gram dihaluskan

secara aseptis. Sampel halus sebanyak 1

gram dimasukkan kedalam tabung reaksi

yang berisi 9 ml aquades steril untuk

selanjutnya dilakukan seri pengenceran

sampai pada taraf pengenceran 10-6.

Suspensi sampel sebanyak 1 ml dari

masing-masing pengenceran berseri pada

teknik dilusi dan dimasukkan ke dalam

cawan petri steril, cawan segera ditutup

agar terhindar dari kontaminan. Masing-

masing cawan petri berisi hasil

pengenceran ditambahkan nutrient agar

(NA). Segera setelah media dimasukkan,

cawan petri diputar secara perlahan-lahan

di atas meja horizontal untuk mengaduk

campuran media agar dengan dilusi kultur

mikroba. Setelah memadat, cawan-cawan

itu  diletakkan dalam posisi terbalik.

Inkubasi dilakukan pada suhu 37ºC,

diinkubasi selama 18-24 jam. Pengamatan

pada media biakan dilakukan setelah

media biakan dikeluarkan dari inkubator

dari waktu yang sudah ditentukan. Hasil

pengamatan penanaman bakteri yang

dilakukan meliputi bentuk koloni, tepi,

diameter, permukaan, elevasi dan

konsistensi koloni. Hasil pertumbuhan

koloni bakteri kemudian diambil untuk

dilakukan pewarnaan untuk mengetahui

jenis gram bakteri. Koloni bakteri yang

tumbuh dimurnikan sebagai isolat murni

pada medium agar miring.

Pemeriksaan Histopatologi

Bagian paru-paru yang mengalami

pneumoni dipotong selanjutnya

dimasukkan dalam gelas kaca kecil steril

yang telah diberi netral buffer formalin 10

%. Selanjutnya dilakukan dehidrasi

dengan cara merendam potongan organ

secara berurutan ke dalam alkohol 70%,

80%, 95%, dan 98% selama beberapa jam.

Kemudian dilakukan clearing atau

penjernihan dengan merendam potongan

organ dalam Xylol atau Toluena atau

Benzena, kemudian infiltrasi dengan

parafin cair. Tahap berikutnya dilakukan

embedding dan blocking dimana potongan

organ ditanam pada blok yang telah

disiapkan kemudian disimpan dalam

lemari dingin selama 24 jam. Setelah itu

dilakukan sectioning atau pemotongan

dengan alat mikrotome setebal 5 mikron

dan dilanjutkan dengan pewarnaan dan

mounting dengan metode harris-

hematoxilin eosin sampai dilakukan

pengamatan dengan mikroskop.


Hasil Pemeriksaan Mikroba

Berdasarkan hasil pemeriksaan

mikrobiologi terhadap sampel paru-paru

sapi yang mengalami pneumoni

ditemukan adanya mikroba khususnya

bakteri. Adapun hasil pengamatan

terhadap morfologi koloni bakteri

sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1.

Hasil pemeriksaan terhadap

morfologi sel bakteri dan pewarnaan gram

menunjukkan bahwa isolat bakteri yang

tumbuh pada sampel paru-paru sapi yang

mengalami pneumoni rata-rata hampir

sama yaitu berbentuk batang dan bulat

dan tergolong kedalam kelompok gram

negatif dan gram positif sebagaimana

ditunjukkan pada gambar 2.

Pemeriksaan Patologi Paru-paru Sapi

Hasil pemeriksaan makropatologi

ditemukan adanya kasus kejadian

pneumoni pada sapi yang telah dipotong

baik di TPH Biau maupun TPH Andalas.

Kasus pneumonia yang ditemukan sangat

beragam yang meliputi atelektasis,

pneumonia aspirasi, pneumonia intersisial

dan lobarpneumoni (gambar 3). Hasil

pemeriksaan histopatologi dari kasus

lobarpneumoni diketahui mengalami

multifocal necrotizing chronic fibrinous

suppurative bronchopneumonia dan kasus

atelektasis serta pneumoni intersisial

mengalami diffuse catarrhal

bronchopneumonia.

Beberapa kasus pneumoni

menunjukkan hasil yang berbeda dalam

pemeriksaan histopatologi. Adanya

perbedaan histopatologi terkait dari jenis

agen pemicu  pneumoni dan lamanya

waktu terjadinya pneumoni. Dalam

pemeriksaan mikrobiologi ditemukan

pertumbuhan bakteri dari semua isolat

paru-paru sapi yang mengalami pneumoni.

Secara umum hasil keseluruhan penelitian

tersaji dalam tabel 1.


Pembahasan

Paru-paru merupakan salah satu

organ pernafasan bagi makhluk hidup

khususnya mamalia. Paru-paru dapat

berfungsi normal apabila dalam keadaan

sehat dan tidak terinfeksi suatu agen kimia

maupun agen biologi. Agen biologi yang

dapat bersifat patogen pada paru-paru

dapat berupa bakteri, jamur, parasit

maupun virus. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa paru-paru sapi yang

mengalami pneumoni setelah dilakukan

uji mikrobiologis ditemukan adanya

pertumbuhan mikroorganisme khususnya

adalah kelompok bakteri.

Gambar 1. Morfologi isolat

mikroorganisme dari paru-paru sapi asal

TPH di kota Gorontalo yang mengalami

pneumoni

Adanya pertumbuhan bakteri isolat

paru-paru sapi yang mengalami pneumoni

diduga merupakan flora normal yang

berasal dari sistem pernafasan bagian atas

seperti rongga hidung, laring dan trakea.

Paru-paru sapi yang sehat atau normal

idealnya tidak ada  adanya bakteri

yang tergolong flora normal. Flora normal

adalah kumpulan mikroorganismeyang

secara alami ada  pada tubuh hewan

atau manusia normal dan sehat.

Kebanyakan flora normal yang ada 

pada tubuh hewan dan manusia adalah

dari jenis bakteri. Namun beberapa virus,

jamur, dan protozoa juga dapat ditemukan

pada host yang sehat. Untuk dapat

menyebabkan penyakit, mikroorganisme

patogen harus dapat masuk ke tubuh host,

namun tidak semua pertumbuhan

mikroorganisme dalam tubuh host dapat

memyebabkan penyakit. Banyak

mikroorganisme tumbuh pada permukaan

tubuh host tanpa menyerang jaringan

tubuh dan merusak fungsi normal tubuh.

Flora normal dalam tubuh umumnya tidak

patogen, namun pada kondisi tertentu

dapat menjadi patogen oportunistik

(ikutan). Penyakit timbul bila infeksi

menghasilkan perubahan pada fisiologi

normal tubuh. Dalam keadaan normal

darah dan jaringan merupakan bagian

tubuh yang steril dari flora normal

(Guyton, 1997). Adanya migrasi flora

normal saluran pernafasan bagian atas ke

paru-paru dan bertahan hidup di dalam

paru-paru diduga menjadi pemicu 

terjadinya pneumoni. Adanya infeksi

infeksi akibat agen patogen yang lain juga

dapat menjadi munculnya infeksi

sekunder pada paru-paru.

Gambar 2. Morfologi sel bakteri yang

ditemukan pada paru-paru sapi yang

mengalami pneumoni.

Hasil penelitian ini menarik untuk

diulas mengingat sapi yang dipilih

merupakan sapi pilihan yang rata-rata

gemuk dan secara fisik tampak sehat,

namun pada kenyataannya setelah

dilakukan pemeriksaan makropatologi

terhadap organ paru-paru sapi, ada

beberapa organ ditemukan adanya kasus

pneumoni. Hal ini menunjukkan bahwa

sapi saat hidup sudah mengalami sakit

belum terlalu parah serta tidak

menunjukkan gejala klinis.

Paru-paru sapi normal akan tampak

berwarna pink dan multilobularis. Pada

saat palpasi konsistensi paru-paru seperti

bunga karang atau spon (gambar 3a). Pada

kejadian atelektasis paru-paru ditemukan

dengan ukuran lebih kecil dari ukuran

normalnya (gambar 3b). Atelektasis

adalah pengkerutan sebagian atau seluruh

lobus paru-paru akibat penyumbatan

saluran udara (bronkus maupun

bronkiolus) atau akibat pernafasan yang

sangat dangkal ,pemicu 

utama terjadinya atelektasis adalah adanya

penyumbatan pada bronkus. Bronkus

merupakan percabangan utama dari trakea

yang langsung menuju ke paru-paru.

Penyumbatan dapat pula terjadi pada

saluran pernafasan yang lebih kecil.

Beberapa faktor penyumbat bisa

diakibatkan oleh gumpalan lendir, tumor,

benda asing yang terhisap ke dalam

bronkus atau adanya cacing , cacing Dictyocaulus viviparus

dapat mengakibatkan paru-paru

mengalami penyumbatan. Apabila saluran

pernafasan tersumbat, udara di dalam

alveoli akan terserap ke dalam aliran

darah sehingga alveoli akan menciut dan

memadat. Jaringan paru-paru yang

mengkerut akan terisi dengan sel darah,

serum, lendir dan kemudian dapat

mengalami infeksi. Kejadian atelektasis

ini juga pernah ditemukan kasusnya pada

sapi yang dipotong di TPH kota Gorontalo

oleh Rokhyati dan Nugroho (2009).

Pneumoni interstisial adalah proses

inflamasi yang lebih atau terbatas pada

dinding alveolar dan jaringan peribroncial

atau interlobular (gambar 1c). Pada

pneumoni interstisial tampak jelas telihat

pembesaran septa interstisial dan

berwarna warna putih mencolok pada

paru-paru (3c tanda panah). Lobus paru-

paru yang mengalami pneumoni

interstisial tampak berubah warna lebih

pucat (tanda lingkaran) yang diduga

akibat kekurangan suplai darah

dibandingkan dengan lobus yang lain

yang tampak berwarna lebih pink.

Merujuk pada pernyataan Gabor (2003),

pneumoni interstisial ini termasuk ke

dalam kategori pneumoni dengan lokasi

yang dangkal, artinya eksudat ditemukan

di jaringan antara.

Bentuk pneumoni selanjutnya adalah

pneumoni aspirasi, yaitu infeksi paru-paru

yang disebabkan oleh terhirupnya bahan-

bahan ke dalam saluran pernafasan

(gambar 3d). Pneumoni ini sering sekali

dialami oleh sapi-sapi yang dipotong

(Ressang, 1984). Hal ini masih bersifat

wajar karena pada saat pemotongan

saluran pernafasan dan saluran

pencernaan dipotong secara bersamaan,

sehingga pada saat sapi bereaksi terhadap

sayatan pisau, sapi akan melakukan

inspirasi yang sangat kuat dan pada

akhirnya akan menyebabkan isi dari

saluran pencernaan terhisap masuk sampai

ke paru-paru. Kejadian seperti ini sering

ditemukan pada saat pemotongan trachea,

arteri carotis comunis, vena jugularis dan

oesophagus dilakukan secara bersamaan.

Bakteri yang tumbuh pada media diduga

merupakan bakteri kontaminan yang

berasal dari saluran pencernaan saat

dipotong.

Kasus lobarpneumoni juga

ditemukan dalam penelitian ini.

Lobarpneumoni dikategorikan juga ke

dalam pneumonia crouposa atau

pneumoni fibrinosa (Graydon dkk., 1993;

Ressang, 1984). Lobarpneumoni berbeda

dengan bronchopneumoni, jika

lobarpneumoni radang terjadi hanya pada

satu lobus tertentu sedangkan

brochopneumoni terjadi hampir pada

seluruh lobus paru-paru. Bentuk pertama

paru-paru yang mengalami

lobarpneumoni tampak mengalami edema.

Edema paru adalah akumulasi cairan di

paru-paru akibat peningkatan tekanan

intravaskular. Edema paru terjadi oleh -


Edema paru adalah akumulasi cairan di

paru-paru akibat peningkatan tekanan

intravaskular. Edema paru terjadi oleh

karena adanya aliran cairan dari darah ke

ruang intersisial paru yang selanjutnya ke

alveoli paru, melebihi aliran cairan

kembali ke darah atau melalui saluran

limfatik. Pada paru-paru tampak daerah

yang mengalami edema berwarna lebih

merah (hiperemia) dibandingkan warna

paru-paru. Terlihat adanya akumulasi

cairan darah yang terjebak dalam ruang-

ruang alveoli yang sudah tampak

mengalami kematian sel (gambar 3e).

Bentuk lain lobarpneumoni yang

ditemukan adalah adanya lobus paru-paru

yang mengalami radang yang

mengandung nanah (gambar 3f). Kondisi

paru-paru seperti ini bisa disebut dengan

lobarpneumonia. 

pada kejadian pneumonia lobar yang

mengalami hepatisasi grey (kelabu) fibrin

akan mengisi seluruh ruangan alveoli dan

pembuluh darah di dalam septa sekarang

tertekan dan tertututp oleh fibrin itu .

Paru-paru dalam keadaan ini sangat

kekurangan darah. Kekurangan darah dan

adanya jumlah besar leukosit di dalam

alveoli memberikan warna kelabu pada

paru-paru. Pada kasus lobarpneumonia

proses patologisnya ada beberapa fase

yaitu red hepatisation (perdarahan

hemoragic), gray hepatisation

(peradangan fibrin ditandai adanya

exsudat fibrin), yellow hepatisation

(peradangan yang disertai nanah atau

abses).

Hasil pemeriksaan histopatologi pada

paru-paru yang mengalami

lobarpneumonia diketahui paru-paru

mengalami multifocal necrotizing chronic

fibrinous suppurative bronchopneumonia,

sedangkan paru-paru yang mengalami

atelektasis dan pneumoni intersisial

diketahui paru-paru mengalami diffuse

catarrhal bronchopneumonia. Beberapa

penyakit bakteri diketahui dapat

mengakibatkan perubahan patologi pada

paru-paru sapi misalnya seperti penyakit

ngorok sapi atau sering dikenal juga

dengan Septicemia epizotica (SE),

Tuberkulosis (TBC) dan penyakit lain

yang disebabkan oleh bakteri flora normal

saluran pernafasan seperti Streptococcus

sp., Staphylococcus sp., Klebsiela sp. dan

lain sebagainya atau bisa juga akibat dari

bakteri saluran pencernaan seperti

golongan bakteri Enterobacteriaceae sp.


ada  mikroba jenis bakteri pada

sampel paru-paru sapi yang berasal dari

TPH di kota Gorontalo mengalami

pneumoni. Hasil pengamatan morfologi

diduga ada  14 jenis bakteri yang

ditemukan pada paru-paru sapi yang

mengalami pneumoni yang ditandai

dengan perbedaan morfologi koloni dan

morfologi sel serta responnya terhadap

perwarnaan gram. Paru-paru yang

mengalami atelektasis secara

histopatologi mengalami multifocal

necrotizing chronic fibrinous suppurative

bronchopneumonia, sedangkan paru-paru

yang mengalami lobarpneumonia

diketahui paru-paru mengalami diffuse

catarrhal bronchopneumonia..