Selasa, 30 April 2024

ikan hiu 1





 Penampakan satwa air moderen ini bila dilihat sepintas tidak mengalami perubahan sebagaimana wujud asli leluhurnya yang sudah tiada.

Apakah ini pertanda bahwa “fosil-fosil hidup” tersebut memang tidak berevolusi selama jutaan tahun? Atau sebaliknya, mereka telah berevolusi hanya belum terungkap karena keterbatasan ilmu pengetahuan kita?

Hiu Goblin

Hiu goblin memang jarang terlihat, namun sekalinya muncul akan selalu menghebohkan. Ini karena bentuknya yang tidak biasa. Dagingnya yang merah muda itu seolah habis dikuliti. Moncongnya yang seperti pisau belati, menonjol di atas kepala, membuatnya begitu berbeda. Tak heran, jika ia dijuluki “alien dasar samudera”.

Tidak hanya itu keunikannya. Riwayat hidupya juga sangat berbeda, dimana tubuhnya hampir-hampir tak berubah sedikitpun selama 125 juta tahun! Ini menandakan bahwa hiu goblin merupakan ‘fosil hidup’ yaitu hewan yang mampu bertahan dan tak berubah bentuk dalam jangka waktu yang amat panjang. Tapi benarkah hiu ini tak pernah berubah bentuk selama jutaan tahun dan bisa diartikan sebagai fosil hidup?

Platypus Paruh BebekPlatipus yaitu  hewan semi-akuatik yang banyak ditemui di bagian timur benua Australia. Walaupun Platipus bertelur tetapi ia tergolong ke dalam kelas Mammalia karena ia menyusui anaknya. Platipus juga sering dikenal dengan nama duck-billed Platypus atau Platypus berparuh bebek disebabkan bentuk paruhnya yang menyerupai bebek.

Platipus termasuk binatang yang aneh dari kerajaan Animalia. Binatang Mammalia ini tetapi bertelur (mayoritas Mammalia beranak seperti anjing, kucing, beruang, dan sebagainya). Platipus memiliki paruh yang seperti bebek dan kaki berselaput. Seperti halnya kangguru dan koala , platipus menjadi simbol fauna Australia dan dapat ditemui di koin 20 sen Australia.

Fisiologi

Temperatur tubuh platipus kira-kira 32oC. Temperatur ini lebih rendah dari kebanyakan Mammalia (sekitar 38oC). Tubuh platipus ditutupi bulu berwarna coklat yang menjaga agar tubuhnya tetap hangat. Kaki platipus berselaput seperti bebek. Platipus juga memiliki paruh seperti bebek. Paruh ini digunakan sebagai organ sensor.

Berat platipus berkisar antara di bawah 1 kg sampai dengan lebih dari 2 kg. Panjang tubuhnya sekitar 30–40 cm dan panjang ekornya sekitar 10–15 cm (jantan) dan 8–13 cm (betina). Platipus jantan lebih besar hingga 3x betinanya.

Platipus juga yaitu  hewan berbisa. Bisa ini digunakan dalam pertarungan perebutan wilayah atau pertempuran antar teman.

Ekologi dan habitat

Platipus yaitu  hewan malam dan semi-akuatik. Platipus yaitu  perenang yang baik dan menghabiskan banyak waktunya di dalam air untuk mencari makanan. saat  berenang, platipus menutup matanya rapat-rapat dan menyerahkan sisanya kepada indra lainnya. Keempat kaki platipus berselaput. saat  ia berenang, ia mengayuh dengan memakai  kedua kaki depannya. Dan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya digunakan ekornya dan kedua kaki belakangnya. Platipus memakan cacing, larva serangga , dan

yabbie yang digalinya atau ia tangkap pada saat berenang. Platipus juga sering dimasukkan ke dalam games games

Reproduksi

Platipus yaitu  hewan ovipar .Platipus menelurkan telur yang mirip dengan telur reptil , dan sedikit lebih bundar dibandingkan  telur burung . Platipus betina biasanya menelurkan dua telur pada saat yang bersamaan. Walaupun kadang-kadang memungkinkan platipus betina menelurkan satu atau tiga telur. Periode inkubasi -nya terbagi menjadi tiga bagian.

Tahap pertama: embrio tidak memiliki satupun organ fungsional dan bergantung pada kantung merah telur untuk bernapas.

Tahap kedua: jari-jari kaki mulai muncul.

Tahap ketiga: gigi muncul.

Telur menetas seusai periode inkubasi yang berlangsung sekitar 10 hari. Setelah telur menetas, keluarlah bayi platipus tidak berambut yang langsung melekat pada induknya. Sang induk kemudian akan menyusui anaknya yang buta dan peka. Bayi platipus akan meninggalkan sarangnya setelah berusia 17 minggu (kurang lebih 4 bulan lewat).

Organ reproduksi platipus mirip dengan burung ( aves ). Platipus betina memiliki sebuah ovarium yang terdiri dari ovarium kanan dan ovarium kiri dimana ovarium kanan tidak tumbuh sempurna (sama dengan burung).Platypus (Ornithorhynchus anatinus) yaitu  spesies hewan yang unik dari Australia . Platipus dikelompokkan ke dalam mamalia monotremata. Kelompok ini dibedakan dari semua mamalia (hewan yang memiliki kelenjar susu) lain karena mereka bertelur.

saat  pertama kali ditemukan, tampilan yang tidak biasa dari

platypus memicu  kebingungan dan keraguan di antara para ilmuwan Eropa. Bahkan banyak dari mereka percaya bahwa binatang itu palsu.

Pandai Berenang

Platipus bisa berenang dengan kecepatan sekitar 1 meter per detik, tetapi saat  mencari makan kecepatan bisa mencapai 4 meter per detik. Wah, cepat sekali ya!

Namun, platypus sulit berjalan di darat karena tungkainya pendek.

Platypus bahkan memakai  hampir 30% lebih banyak energi saat  bergerak di darat, dibandingkan dengan mamalia darat dengan ukuran yang sama.

platypus

platypus ( Putri Puspita)

Platypus berenang

Mirip Bebek

Bentuk fisik platypus mirip dengan bebek, sehingga sering juga disebut Duck-billed Platypus atau Bebek Platypus . Namun, ia memiliki keunikan sendiri karena memiliki bentuk badan ramping (streamlined ) dan pendek dengan paruh lebar pipih ( bill) di bagian depan. Platypus juga memiliki ekor yang ditutupi dengan bulu-bulu kedap air untuk menjaga suhu tubuhnya, kaki berselaput, berwarna coklat gelap hingga coklat kemerahan.

platypus

platypus ( Putri Puspita)

Ini dia platypus

20 Tahun

Platypus yaitu  binatang berumur panjang. Mereka dapat hidup sampai sekitar 20 tahun. Platypus muda memulai bereproduksi pada tahun kedua. Setelah kawin, platypus betina akan memasuki masa kehamilan selama 21 hari, kemudian ia akan meletakkan 1-3 telur. Platypus betina kemudian mengerami telur sekitar 10 hari, lalu periode menyusui berlangsung selama 3-4 bulan sebelum

platypus muda muncul dari liang.

platypus

platypus ( Putri Puspita)

Platypus sulit berjalan di darat.

Malam Hari

Platypus biasanya makan pada malam hari. Makanan kesukaan

platypus yaitu  udang, kumbang renang, dan berudu, kadang-kadang cacing, kerang, serta siput.

Platypus akan melacak keberadaan calon makanan dengan paruhnya yang dikenal dengan bill. Sampai saat ini proses platypus mendekteksi mangsa dengan bill tersebut masih menjadi teka-teki.

Setelah melacak, platypus akan berada di bawah air selama antara 30-140 detik, mengumpulkan hewan-hewan kecil dari dasar sungai dan menyimpannya di kantong yang berada di pipinya sebelum dikunyah .

platypus

platypus ( Putri Puspita)

Paruhnya seperti paruh bebek.

Dilindungi

Saat ini, platypus dilindungi oleh undang-undang di semua negara yang menjadi habitatnya. Hewan ini tidak boleh ditangkap atau dibunuh, kecuali untuk penelitian ilmiah. Platypus yaitu  spesies yang persebarannya sangat sedikit, sehingga masih perlu banyak penelitian untuk mengenali hewan ini. Namun, ketergantungan

platypus pada sistem air tawar dapat memicu  penurunan jumlah mereka di masa depan apabila tidak kita jaga.

Platypus memiliki bulu seperti mamalia. Saat berada di air, ia memakai  kedua kakinya untuk mendayung tubuhnya seperti

unggas , dan bertelur seperti reptil .

Binatang ini ternyata merupakan campuran antara mamalia,

unggas , dan reptil .

Baca juga: Video: Upacara Pemakaman Robot Anjing yang Sudah Tak Berfungsi

"Platypus yaitu  cabang tertua dari pohon keluarga mamalia, jadi 166 juta tahun yang lalu kita 'berbagi' nenek moyang dengan platypus," kata Jenny Graves, anggota pelaksana studi, kepala Grup Komparatif Genomik di Australian National University.

"Oleh karena itu, mereka berada di antara mamalia dan reptil, karena mereka masih memiliki cukup banyak karakteristik reptil yang tidak kita miliki. Bertelur, misalnya," tambah Jenny Graves. Platypus memberi kita wawasan bagaimana reptil berevolusi memiliki bulu hingga bisa memproduksi susu dan melahirkan.

Mamalia primitif ini berhabitat di Australia Timur, di mana mereka menggali tanah di bantaran sungai. Tubuhnya datar, ramping memanjang hingga 50 cm, dengan ekor menyerupai raket ping-pong dan empat kaki berselaput.

Platipus purba diperkirakan berukuran dua kali lebih besar dibandingkan  platipus saat ini. (bbc.co.uk)

Ornithorhynchus anatinus ini satu dari dua mamalia yang bertelur. Mamalia lainnya yang bertelur disebut echidna atau trenggiling berduri. Tak seperti mamalia lainnya, platypus jantan bisa menyalurkan racun ke ujung-ujung jarinya.

Sekitar dua-pertiga ukuran genom platypus berukuran sama dengan genom manusia. Hal ini mengindikasikan bahwa 80% genom platypus sama dengan genom mamalia lainnya.

Sama seperti manusia, platypus juga membawa kromosom X dan Y, namun kedua kromosom ini tidak mengacu pada jenis kelamin. Platypus memiliki 52 kromosom, termasuk 10 kromosom jenis kelamin.

Baca juga: Hidup Penduduk Pegunungan Ini Bergantung Pada Seutas Jembatan Kabel

Genom platypus juga termasuk bagian dari DNA yang terkait dengan bertelur dan menyusui. Karena platypus tidak memiliki puting susu, anak-anaknya menyusu pada kulit perut sang induk.

Keanehan lain mamalia ini yaitu  saat  ia mendayung di air, ia menutup mata, telinga, dan lubang hidungnya. Ia memanfaatkan paruhnya yang mirip bebek sebagai antena yang merasakan medan listrik samar sekitar mangsanya. Genom platypus pun membuktikan bahwa hewan ini memiliki kemampuan membaui yang lumayan.Yuk kita ingat – ingat lagi pelajaran biologi. Masih ingat donk hewan yang masuk kelas mamalia? Mamalia yaitu  kelompok hewan dengan ciri khas utama bisa menyusui. Hewan mamalia ini juga memiliki ciri – ciri seperti : melahirkan, mempunyai daun telinga, tubuhnya memiliki rambut (bedakan dengan bulu) dan ya, seperti yang sudah disebutkan tadi ‘menyusui’.

Tapi, sepertinya memang selalu ada hal unik di dunia ini. Ada pengecualian pada hewan mungil bernama Platypus (kadang juga disebut platipus) ini. Platypus tergolong hewan mamalia. Tapi, dia tidak beranak melainkan bertelur. Platypus bertelur, tetapi menyusui. Nah loh. Hewan ini dikatakan sebagai satu-satunya mamalia yang bertelur.

Kalau diamati, bentuk tubuhnya pun mirip perpaduan antara bebek (unggas) dan berang-berang. Kenapa mirip bebek? Karena platypus ini punya paruh seperti bebek loh. Ia juga punya tangan dan kaki yang berselaput seperti bebek. Wow. Tapi, bentuk tubuh dan ekornya mirip dengan berang-berang.

Lucu juga yah? Baiklah, kalau begitu mari kita kenalan lebih jauh lagi tentang hewan unik nan lucu si Platypus ini.

Nama

Nama Indonesia : Platypus

Nama bahasa Inggris : Platypus

Nama Latin : Ornithorhynchus anatinus

Klasifikasi

1. Kerajaan : Animalia

2. Filum : Chordata

3. Kelas : Mammalia

4. Ordo : Monotremata

5. Famili : Ornithorhynchidae

6. Genus : Ornithorhynchus

7. Spesies : Ornithorhynchus anatinus

Makanan

Karnivora (hewan pemakan daging)

Makanannya khususnya yaitu  : ikan-ikan kecil, katak, telur ikan, dan sebagainya.

Biasanya platypus berburu pada malam hari.

Ciri ciri

Berat badan : 3 lbs atau 1,4 kg

Tinggi kepala dan tubuh : 15 inch atau 38 cm

Panjang ekor : 5 inch atau 13 cm

Memiliki paruh seperti bebek

Memiliki kaki bersirip seperti bebek

Memiliki bulu pendek dan berwarna cokelat.

Bertelur dan mengerami telurnya

Menyusui anaknya

Pintar dalam berenang

Cara reproduksi

Platypus memiliki organ reproduksi yang mirip dengan burung ( aves ). Platipus betina mempunyai sebuah ovarium yang terdiri dari ovarium kanan dan ovarium kiri. Sama dengan burung, ovarium kanannya juga tidak tumbuh sempurna.

Platypus merupakan hewan ovipar atau hewan yang bertelur. Mirip seperti unggas, platypus akan bertelur, meletakkan telurnya dalam sarang lalu mengeraminya. Setelah telurnya menetas, induk platypus akan segera menyusui anaknya.

Telur platypus mirip dengan telur reptil. Bentuknya sedikit lebih bundar bila dibanding telur burung. Dalam satu waktu, biasanya platypus akan menelurkan dua butir telur sekaligus. Terkadang, platipus betina juga dapat menelurkan satu atau tiga telur.

Periode inkubasi pada telur platypus terbagi menjadi tiga bagian, yakni :

1. Tahap pertama : embrio tidak memiliki satupun organ fungsional sehingga hanya bergantung pada kantung merah telur untuk bernapas.

2. Tahap kedua : jari-jari kaki mulai muncul.

3. Tahap ketiga : gigi muncul

Periode inkubasi berlangsung sekitar 10 hari. Setelah itu, telur akan menetas. Bayi platypus yang baru menetas tidak memiliki rambut. Begitu menetas, bayi platypus akan segera menempel pada induknya.

Sang induk lalu akan segera menyusui anaknya yang buta dan peka. Bayi platypus akan meninggalkan sarangnya setelah usiamya 17 minggu atau kurang lebih 4 bulan.

Habitat

Platypus yaitu  hewan malam dan semi-akuatik,

Platypus yaitu  hewan endemik (hanya terdapat) di Australia, terutama di :

Tasmania,

Victoria,

New South Wales

QueenslandKeunikan

Cara reproduksinya sih bertelur (mirip aves) tetapi menyusui (termasuk mamalia).

Bayi platypus yang baru lahir mempunyai gigi, tapi segera setelah ia meninggalkan sarangnya, ia akan kehilangan giginya dan hanya akan mengandalkan paruhnya untuk mencari makan.

Paruh platypus memiliki sensor khusus yang dapat mendeteksi mangsa buruannya. Jadi, ia bisa berburu dalam air keruh sekalipun dan dengan menutup mata.

Ia mempunyai racun yang terletak di bagian atas cakarnya.

Predator

Platypus biasanya dimangsa oleh :

ular

tikus air

kadal monitor

elang

burung hantu

Sifat

Lama hidup

Di alam liar umumnya berumur 10 tahun

Di penangkaran umumnya berumur 17 tahun

Deskripsi

Platypus umumnya hidup secara soliter atau individu, jadi mereka tidak berkelompok ya. Platypus yaitu  hewan semi-aquatik yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di wilayah perairan. Jadi, mereka akan sering menghabiskan waktu untuk menyelam.

Dalam penyelamannya ini, platypus akan menutup telinga dan mata mereka. Perlu diingat ya, platypus memiliki sensor lembut yang sangat peka di bagian paruhnya. Jadi, ia bisa mendeteksi mangsa dan keadaan sekitarnya lewat paruh ini.

Platypus juga dapat membangun sarang dengan cara menggali. Ia bisa membuat terowongna yang panjangnya bisa lebih dari 30 meter. Nah, di dalam terowongan itu lah, mereka akan membangun sarangnya.

Pada platypus jantan, terdapat taji atau semacam tanduk kecil yang terletak di atas dekat bagian cakar atau kaki berselaputnya. Nah, dari taji ini bisa menyembur racun. Racun biasanya dikeluarkan saat mereka berkelahi atau dalam keaadaan bahaya.

Racun platypus ini cukup kuat untuk membunuh hewan-hewan kecil. Bahkan, cukup kuat pula untuk menimbulkan rasa nyeri yang hebat pada manusia.

Platypus termasuk hewan malam ya. Jadi, ia akan sangat aktif di malam hari. Di siang hari, mereka istirahat di dalam persembunyiaannya.

Platypus biasanya yaitu  hewan territorial. Teritori para pejantan biasanya mencapai 7 km atau hingga 4,4 miles dan biasanya bertumpukan dengan teritori pada platypus betina.

Hal paling menarik dari platypus yaitu  proses reproduksinya. Platypus jantan akan menangkap platypus betina pada bagian ekor. Setelah proses perkawinan, dua atau tiga minggu kemudian, platypus betina akan melahirkan telur-telurnya (umumnya dua ekor telur).

Telur playpus akan dierami selama 10 hari dan kemudian menetas. Bayi platypus yang kecil, buta dan tanpa bulu ini pun akan segera menyusu pada induknya. Kalau diamati, induk platypus memang tidak memiliki puting susu untuk tempat menyusu anaknya.

Inilah uniknya, induk platypus tetap bisa menyusui tanpa puting susu. Menariknya lagi, air susu yang dikeluarkan oleh platypus ini pun tidak tampak seperti air susu umumnya yang berwarna putih, melainkan lebih tampak seperti keringat.

Ada sejenis hewan yang punya paruh, tapi bentuk tubuh dan ekornya lebih mirip berang-berang. Disebut mamalia, tapi malah bertelur. Kakinya empat, tapi berselaput seperti bebek. Hewan aneh macam apa itu? Jawabannya yaitu  platipus.

Dengan semua ciri-ciri di atas, platipus rasanya pantas disebut sebagai salah satu hewan terunik di dunia. Maka tentu satwa endemik Australia ini sangat menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Jadi yuk, kita lihat 5 fakta tentang platipus yang mungkin bakal bikin kamu geleng-geleng kepala karena heran.

1. Saking anehnya, platipus awalnya dikira bukan hewan betulan

Sekilas, platipus memiliki bentuk seperti gabungan dari bebek dan berang-berang. Dan saat  pertama kali ditemukan pada tahun 1799, itulah tepatnya pikiran orang-orang. Bahkan George Shaw, naturalis yang pertama menemukan platipus sendiri mengakui bahwa platipus secara natural mirip memang seperti hewan artifisial alias buatan!

2. Meski bertelur, platipus tergolong mamalia karena menyusui anaknya

Platipus berkembang biak dengan cara bertelur. Loh, kalau bertelur lalu kenapa platipus dianggap mamalia? Itu karena platipus menyusui anaknya. Seperti mungkin kamu tahu, istilah mamalia berasal dari bahasa Latin mamma yang berarti payudara.

Tapi ternyata, platipus pun gak punya payudara lho. Lalu bagaimana cara platipus menyusui anaknya? Yaitu melalui kelenjar susu yang terdapat di sekujur tubuhnya. Susu yang keluar lalu terkumpul di bagian perutnya dan dari situlah bayi platipus menyusu. Duh, memang aneh banget ya hewan yang satu ini.

3. Platipus beracun

Selain unik, platipus juga tampak lucu. Tapi kalau suatu saat kamu bisa melihat mereka secara langsung, hati-hati ya, platipus itu ternyata hewan beracun lho. Mereka punya taji di kaki belakang mereka, dan melalui taji itulah platipus menyuntikkan racunnya.

Untungnya, racun platipus tidak mematikan bagi manusia, tapi cukup menyakitkan. Dan untungnya lagi, hanya platipus jantan yang punya racun. Para ilmuwan berpendapat bahwa racun platipus terutama digunakan untuk saling bertarung dengan sesama pejantan pada musim kawin untuk mendapatkan pasangan.

Baca Juga: 12 Hewan 'Tak Sengaja Tercipta' Melalui Eksperimen

4. Platipus gak punya gigi dan lambung

Nah kan, pasti keherananmu makin bertambah lagi membaca fakta ini. Ya benar, platipus gak punya gigi. Mereka makan dengan cara menelan makanannya bersamaan dengan batu-batu kecil, supaya makanannya lumat dengan bantuan batu-batu tersebut. Makanan platipus sendiri yaitu  cacing, udang, dan hewan-hewan kecil lain yang hidup di dasar sungai.

Makanan platipus lalu masuk ke kerongkongan dan langsung diteruskan ke usus. Mereka gak punya lambung yang berisi asam lambung untuk mencerna makanan. Ilmuwan berpendapat bahwa hal itu karena makanan platipus umumnya kaya akan kalsium bikarbonat, zat yang bisa menetralkan asam. Percuma punya asam lambung kalau pada akhirnya dinetralkan juga kan?

5. Paruh platipus yaitu  indera keenam mereka

Waktu menyelam ke dasar sungai yang berlumpur, platipus bisa dibilang buta arah. Mereka gak bisa melihat dan juga gak bisa mencium apapun. Jadi bagaimana cara mereka mencari makan? Dengan paruh mereka.

Paruh platipus punya kemampuan elektroreseptor dan mekanoreseptor alias pendeteksi aliran listrik dan pendeteksi gerakan. Itulah yang membuat mereka bisa tetap mendeteksi gerakan di dasar sungai untuk mencari makan, meski gak bisa melihat atau mencium apapun. Wah, keren juga ya?

Itulah 5 fakta menarik tentang platipus yang pasti bikin kamu heran sekaligus takjub. Gimana, ternyata memang luar biasa unik kan hewan yang satu ini?















Terminologi “fosil hidup” pertama kali digunakan oleh Charles Darwin dalam buku yang memuat tentang teori evolusi On the Origin of Species pada 1859. Dalam satu bagiannya, Darwin menyebut platypus dan ikan paru sebagai dua spesies moderen yang berasal dari masa purba. Alasannya, bentuk mereka yang sama dengan leluhurnya yang telah menjadi fosil.

saat  terminologi “fosil hidup” belum begitu dikenal, pada 1938 di Afrika Selatan, seorang kurator sejarah alam bernama Marjorie Courtenay-Latimer menyadari bahwa ikan yang sedang ia teliti tidak seharusnya ada di masa itu.

Ikan tersebut berasal dari kelompok ikan yang diperkirakan punah 65 juta tahun yang lalu, dengan penyabab yang sama sebagaimana kepunahan dinosaurus. Itulah ikan coelacanth.


Coelacanth (artinya "duri yang berongga", dari perkataan Yunani

coelia , "κοιλιά" (berongga) dan acanthos, "άκανθος" (duri), merujuk pada duri siripnya yang berongga) IPA: [ˈsiːləˌkænθ] yaitu  nama

ordo (bangsa) ikan yang antara lain terdiri dari sebuah cabang

evolusi tertua yang masih hidup dari ikan berahang. Coelacanth diperkirakan sudah punah sejak akhir masa Cretaceous 65 juta tahun yang lalu, sampai sebuah spesimen ditemukan di timur

Afrika Selatan, di perairan sungai Chalumna tahun 1938. Sejak itu Coelacanth telah ditemukan di Komoro, perairan pulau Manado Tua di Sulawesi , Kenya , Tanzania , Mozambik, Madagaskar dan

taman laut St. Lucia di Afrika Selatan. Di Indonesia, khususnya di sekitar Manado, Sulawesi Utara , spesies ini oleh masyarakat lokal dinamai ikan raja laut.

Coelacanth terdiri dari sekitar 120 spesies yang diketahui berdasar  penemuan fosil .

Fosil hidup

Latimeria chalumnae di Pusat Kebudayaan Abdallah Al Salem di Kuwait

Sampai saat ini, telah ada 2 spesies hidup Coelacanth yang ditemukan yaitu Coelacanth Komoro, Latimeria chalumnae dan Coelacanth Sulawesi (manado), Latimeria menadoensis .

Hingga tahun 1938, ikan yang berkerabat dekat dengan ikan paru-paru ini dianggap telah punah semenjak akhir Zaman Cretaceous, sekitar 65 juta tahun yang silam. Sampai saat  seekor coelacanth hidup tertangkap oleh jaring hiu di muka kuala Sungai Chalumna, Afrika Selatan pada bulan Desember tahun tersebut. Kapten kapal pukat yang tertarik melihat ikan aneh tersebut, mengirimkannya ke museum di kota East London , yang saat  itu dipimpin oleh Nn. Marjorie Courtney-Latimer. Seorang iktiologis (ahli ikan) setempat, Dr. J.L.B. Smith kemudian mendeskripsi ikan tersebut dan menerbitkan artikelnya di jurnal Nature pada tahun 1939. Ia memberi nama Latimeria chalumnae kepada ikan jenis baru tersebut, untuk mengenang sang kurator museum dan lokasi penemuan ikan itu.

, di hadapan Nn. Courtenay-Latimer, kurator museum East London.]] Pencarian lokasi tempat tinggal ikan purba itu selama belasan tahun berikutnya kemudian mendapatkan perairan Kepulauan Komoro di Samudera Hindia sebelah barat sebagai habitatnya, di mana beberapa ratus individu diperkirakan hidup pada kedalaman laut lebih dari 150 m. Di luar kepulauan itu, sampai tahun 1990an beberapa individu juga tertangkap di perairan Mozambique , Madagaskar, dan juga Afrika Selatan. Namun semuanya masih dianggap sebagai bagian dari populasi yang kurang lebih sama.

Pada tahun 1998, enampuluh tahun setelah ditemukannya fosil hidup coelacanth Komoro, seekor ikan raja laut tertangkap jaring

nelayan di perairan Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara. Ikan ini sudah dikenal lama oleh para nelayan setempat, namun belum diketahui keberadaannya di sana oleh dunia ilmu pengetahuan. Ikan raja laut secara fisik mirip coelacanth Komoro, dengan perbedaan pada warnanya. Yakni raja laut berwarna coklat, sementara coelacanth Komoro berwarna biru baja.

Ikan raja laut tersebut kemudian dikirimkan kepada seorang peneliti Amerika yang tinggal di Manado, Mark Erdmann, bersama dua koleganya, R.L. Caldwell dan Moh. Kasim Moosa dari LIPI. Penemuan ini kemudian dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature .[1] Maka kini orang mengetahui bahwa ada populasi coelacanth yang kedua, yang terpisah menyeberangi Samudera Hindia dan pulau-pulau di Indonesia barat sejauh kurang-lebih 10.000 km. Belakangan, berdasar  analisis DNA-mitokondria dan isolasi populasi, beberapa peneliti Indonesia dan Prancis mengusulkan ikan raja laut sebagai spesies baru Latimeria menadoensis .

Dua tahun kemudian ditemukan pula sekelompok coelacanth yang hidup di perairan Kawasan Lindung Laut (Marine Protected Areas) St. Lucia di Afrika Selatan. Orang kemudian menyadari bahwa kemungkinan masih terdapat populasi-populasi coelacanth yang lain di dunia, termasuk pula di bagian lain Nusantara, mengingat bahwa ikan ini hidup terisolir di kedalaman laut, terutama di sekitar pulau-pulau vulkanik. Hingga saat ini status taksonomi coelacanth yang baru ini masih diperdebatkan.

Pada bulan Mei 2007, seorang nelayan Indonesia menangkap seekor coelacanth di lepas pantai Provinsi Sulawesi Utara. Ikan ini memiliki ukuran sepanjang 131 centimeter dengan berat 51 kg saat  ditangkap. [2]

Catatan lain

Coelacanth memiliki ciri khas ikan-ikan purba, ekornya berbentuk seperti sebuah kipas, matanya yang besar, dan sisiknya yang terlihat tidak sempurna (seperti batu). Di Bunaken pernah ditemukan seekor coelacanth hidup berenang dengan bebasnya. Ukurannya kira-kira 2/3 tubuh orang dewasa dan tubuhnya berwarna ungu gelap,.

Ikan Coelacanth

Coelacanth telah ada sejak 390 juta tahun lalu. Ikan ini cukup besar, pengarung dasar samudera yang panjangnya bisa mencapai dua meter.

Ada dua spesies ikan ini yang diketahui, yakni

Coelacanth Afrika dan Coelacanth Indonesia. Mereka merupakan ikan bersirip cuping yang masih hidup yang dulunya mendominasi samudera.

Penemuan colancanth ini begitu penting, terutama untuk menguak bagaiman fenomena evolusi hewan-hewan darat terjadi.

Fosil Ikan Coelacanth

Sekitar 400 juta tahun lalu, beberapa jenis ikan naik ke daratan dan “berjalan” memakai  siripnya. Para ikan penjelajah ini kemudian menjadi pemicu munculnya hewan-hewan darat, mulai dari kadal, katak, hinga burung dan beruang.

Pada 2013, para ahli menyimpulkan bahwa Coelacanth merupakan kerabat dekat dari hewan-hewan darat pertama di muka bumi. Meski begitu, penelitian lain menyimpulkan bahwa ikan tersebut bukanlah benar-benar fosil hidup. Melalui penelitian DNA dan fosil, Coelacanth yang hidup 400 juta tahun lalu tidak identik dengan coelacanth yang hidup di masa kini,PERNAHKAH Anda melihat wujud asli ikan purba yang oleh kalangan evolusionis dianggap sebagai nenek moyang ikan modern dan sudah dinyatakan lenyap dari muka bumi sejak 70 juta tahun silam Jika belum, cobalah sekali-kali mampir ke Gedung Zoologi, Puslit Biologi LIPI Cibinong, Kab. Bogor. Di sana kita bisa menyaksikan spesimen ikan purba yang diduga sudah ada sejak zaman Devonian 400 juta tahun silam. Itu berarti 200 juta tahun lebih purba dari usia dinosaurus yang baru muncul di muka bumi pada zaman Triasic. Ikan purba itu dikenal dengan nama coelacanth.

Raja laut

Nama coelacanth berasal dari kata-kata Yunani coelia (berongga) dan acanthos (duri), yang berarti ikan dengan duri berongga. berdasar  catatan sejarah, ikan coelacanth hidup pertama kali ditangkap kalangan ilmiah pada tanggal 23 Desember 1938, saat  Kapten Hendrick Goosen mendapatkannya dari Laut India, tak jauh dari mulut sungai Chalumna. Oleh Marjorie Courtenay-Latimer seorang kurator museum di East London, Afrika Selatan ikan tersebut diserahkannya kepada ahli ikan dari Universitas Rhodes, Prof. J.L.B. Smith. Untuk menghormati jasa Latimer dan Smith, ikan purba itu kemudian diberi nama Latimeria chalumnae Smith.

Pencarian lokasi tempat tinggal ikan purba itu selama belasan tahun berikutnya kemudian mendapatkan perairan Kepulauan Komoro, sebelah barat Madagaskar, sebagai habitatnya. Di situlah beberapa ratus individu diperkirakan hidup pada kedalaman laut lebih dari 150 m. Di luar kepulauan itu, sampai tahun 1990-an beberapa individu juga tertangkap di perairan Mozambique, Madagaskar, dan Afrika Selatan. Namun, semuanya masih dianggap sebagai bagian dari populasi yang kurang lebih sama dengan yang ada di Kepulauan Komoro.

Pada 1998 atau enam puluh tahun sejak temuan pertama, seekor ikan coelacanth tertangkap jaring nelayan di perairan Manado Tua, Sulawesi Utara. Ikan ini sudah dikenal lama oleh para nelayan setempat, namun belum diketahui keberadaannya oleh dunia ilmu pengetahuan. Ikan yang oleh nelayan disebut raja laut itu kemudian dikirimkan kepada seorang peneliti Amerika yang tinggal di Manado, Mark Edmann. Bersama dua koleganya, R.L. Caldwell dan Moh. Kasim Moosa dari LIPI, Mark menerbitkan temuannya di majalah ilmiah Nature, 1998.

Beda jenis

Semula, para ilmuwan mengira coelacanth yang ditemukan di perairan Sulawesi Utara itu sejenis dengan coelacanth (Latimeria chalumnae Smith) yang terdapat di Kepulauan Komoro. Namun belakangan, berdasar  analisis DNA-mitokondria dan isolasi populasi, meski masih satu ordo, kedua ikan itu berbeda. Beberapa peneliti Indonesia dan Prancis kemudian mengusulkan ikan raja laut asal Manado itu sebagai spesies baru dengan nama ilmiah Latimeria menadoensis. Spesimennya kini tersimpan di Museum Zoologi, Puslit Biologi LIPI Cibinong.

Dua tahun kemudian ditemukan pula sekelompok coelacanth yang hidup di perairan Kawasan Lindung Laut (Marine Protected Areas) St. Lucia di Afrika Selatan. Orang kemudian menyadari bahwa kemungkinan masih terdapat populasi-populasi coelacanth yang lain di dunia, termasuk pula di bagian lain Nusantara, mengingat bahwa ikan ini hidup terisolir di kedalaman laut, terutama di sekitar pulau-pulau vulkanik.

Menurut Ika Rachmatika S., dkk., dari Puslit Biologi LIPI, ada beberapa karakter morfologi dan genetika yang membedakan antara Latimeria chalumnae asal Kepulauan Komoro dan Latimeria menadoensis asal Manado. Latimeria chalumnae berwarna kebiru-biruan dengan noda putih yang tidak beraturan pada sisiknya, sedangkan Latimeria menadoensis berwarna kecokelat-cokelatan dengan noda putih yang tidak beraturan pada sisiknya. Selain itu, ada perbedaan karakter meristik. Latimeria menadoensis memiliki jumlah jari-jari pada sirip punggung kedua yang lebih sedikit, namun memiliki jumlah jari-jari sirip ekor tambahan lebih banyak. Secara keseluruhan, dari 23 karakter meristik dan morfometrik yang diamati, sekira 52 persen di antaranya berbeda.

Dari segi genetika, yang dilihat dari susunan DNA dua ruas mitokondria (yang mensandikan sitokrom b dan 12 S ribosom (RNA) terlihat adanya perbedaan atau substitusi mutasi sebanyak masing-masing 4,85 persen (transisitransversi 13:1) dan 2,85 persen (transisi-tranversi 2, 4:1) pada susunan basanya. Dengan memakai  laju substitusi nukletid 2 persen per juta tahun untuk DNA sitokhrom b, dan 1 persen per juta tahun untuk DNA 12 S rRNA, diketahui bahwa L. chalumnae dan L. menadoensis telah terpisah sekitar 1.220.000 tahun (DNA yang mensandikan sitokrom b) dan 1.420.000 tahun (DNA yang mensandikan 12 S rRNA) dari nenek moyangnya. Data ini memberi petunjuk, populasi ikan Latimeria di Kep. Komoro dan Sulawesi merupakan dua jenis yang berbeda, tetapi keduanya masih berkerabat dekat.

Ikan fosil

Ikan coelacanth tergolong ke dalam ordo Coelacanthiformes. berdasar  fosilnya, pertama kali muncul di bumi pada zaman Devonian (sekitar 400 juta tahun lalu). Selain Latimeria chalumnae dan Latimeria menadoensis, semua anggota Coelacanthiformes telah punah dan hanya menyisakan fosil. Bahkan sebelum Latimeria chalumnae ditemukan di Kep. Komoro pada tanggal 23 Desember 1938, jenis-jenis ikan coelacanth telah diperkirakan punah pada akhir Masa Kretaseus sekitar 65-70 juta tahun lalu. Karena itu, sejak pertama kali ditemukan ikan coelacanth hidup, ikan itu pun disebut ikan fosil.

Ikan ini memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh jenis-jenis lainnya seperti adanya tujuh sirip yang berlobi daging, sirip tambahan pada sirip ekornya, sambungan intrakkranial di bagian atas kepalanya, dan adanya tulang rawan yang berisi cairan sebagai penyangga tubuhnya yang disebut notokorda. Selain itu, posisi anus dan saluran reproduksinya berada tepat di tengah dua tonjolan sirip perutnya yang seolah-olah berada di tengah pangkal kedua kaki sebagaimana lazimnya pada manusia.

Dengan adanya sirip-sirip berlobi daging yang menyerupai tonjolan tangan dan kaki, ikan coelacanth diasumsikan berkerabat lebih dekat ke hewan berkaki empat (tetrapoda) dan ke ikan paru (lungfish) dari pada ke jenis-jenis ikan biasa yang kita lihat. Ikan-ikan yang biasa kita lihat atau grup Teleostei bernenek moyang ikan yang disebut Paleoniscoids yang melimpah di zaman Carbon sampai permulaan Triasic (lebih kurang 100 juta tahun lalu).

Tingkah laku yang unik

Jenis-jenis Latimeria diketahui hidup pada kedalaman antara 150-2000 m dengan suhu sekitar 18o C. Jenis ini menyukai lereng vulkanis dan bergua lava. Pada siang hari ikan ini lebih senang tinggal di dalam gua dalam kelompok kecil (sampai 14 ekor). Di malam hari ikan ini akan keluar mengikuti arah arus untuk mencari makan. Latimeria tergolong ikan predator; makanannya yaitu  ikan-ikan kecil yang hidup di dasar dan kolom pertengahan. Hal ini sesuai pula dengan struktur saluran pencernaannya yang memiliki lambung dan usus yang berdinding tebal dan berlipat-lipat.

Meski mendapat julukan raja laut dan tampang yang garang, ikan coelacanth cenderung pemalas. Mungkin karena bentuk tubuhnya yang tegap, gerak renangnya tergolong lambat. Walaupun memiliki sirip dengan tonjolan daging yang menyerupai tangan dan kaki, ikan ini tidak dapat berjalan di atas dasar perairan sebagaimana dibayangkan. Namun saat  berenang, kedua pasang sirip perut dan dadanya memperlihatkan gerakan seperti derap kuda yang berjalan perlahan. Selain itu, diketahui ikan Latimeria kadang-kadang menunggingkan tubuhnya ke dasar perairan secara vertikal dengan bagian moncongnya menyentuh dasar perairan. Dalam posisi seperti ini sirip ekornya akan bergerak atau berputar dalam posisi siku-siku terhadap tubuhnya.

Latimeria tergolong ikan yang mengalami pembuatan di dalam tubuh dan melahirkan anak. Pola perkembangbiakan ini berbeda dengan jenis-jenis ikan pada umumnya yang melakukan pembuahan di luar tubuh. Walaupun pembuahan dan perkembangan telur terjadi di dalam saluran reproduksi, telur yang berkembang tidak mendapat sari makananan langsung dari induk seperti halnya pada hewan-hewan menyusui (mamalia). Telur-telur yang dihasilkan seperti pada Latimeria chalumnae tergolong sedikit (paling banyak 26 butir) dan disimpan di dalam saluran reproduksi atau oviduct. Sesudah dibuahi memerlukan waktu yang cukup lama (sekitar satu tahun) sampai berkembang menjadi anakan yang siap dilahirkan. Potensi reproduksi yang rendah dan penyebarannya yang terbatas menjadikan ikan ini dalam status konservasi terancam punah. (Syarifah, S.P./dari berbagai sumber)

Udang Kecebong

Udang kecebong bisa jadi tampilannya terlihat lebih purba ketimbang Coelacanths. Tubuhnya memiliki karapan yang menyerupai perhiasan guna melindungi perutnya yang mirip ekor panjang.

Secara umum, Triops cancriformis ini dikenal sebagai fosil hidup karena bentuknya yang sangat mirip dengan nenek moyangnya. Namun, hasil penelitian terbaru mengungkapkan, ternyata hewan tersebut bukanlah fosil hidup karena usia mereka jauh lebih muda dari nenek moyangnya.

Peneliti menganalisis rangkaian DNA dari semua jenis udang kecebong yang telah teridentifikasi serta DNA dari kelompok crustaceae seperti kutu air dan udang brine. Hasilnya menunjukkan bahwa udang kecebong telah mengalami beberapa kali siklus perluasan evolusi dan kepunahan.

Belangkas

Belangkas ( Horseshoe crabs ) merupakan hewan yang telah ada sejak 500 juta tahun lalu. Seluruh tubuhnya dilindungi cangkang keras. Belangkas atau kepiting tapal kuda ini memiliki dua mata majemuk primer dan tujuh mata sekunder, dua di antara tujuh mata sekunder tersebut berada di bagian bawah. Ia berasal dari famili Limulidae dan merupakan jenis hewan beruas (artropoda) yang tinggal di perairan dangkal.

Belangkas tidak berbahaya. Banyak yang meyakini bahwa bentuk fosil hewan ini tidak mengalami perubahan besar sejak periode Devon. Setiap tahun, ratusan ribu belangkas diambil dari habitatnya untuk keperluan medis, karena diketahui ada zat kimia yang berguna pada darahnya yang bisa mendeteksi darah terkontaminasi.

Benarkah mereka tak berubah sejak beratus juta tahun lalu? Sebenarnya, tak ada yang namanya “fosil hidup”. Semua spesies berevolusi, meskipun tak semuanya terlihat dengan jelas oleh kita.


saat  mendengar istilah "ikan purba atau hewan purba", kira-kira apa yang terlintas di benakmu? Pasti yang ada dipikiranmu saat itu yaitu  Dinosaurus. Benar dinosaurus yaitu  salah satu hewan purba yang telah lama mengalami kepunahan.

Selain dinosaurus, sebenarnya terdapat sangat banyak hewan yang telah mengalami kepunahan. Walaupun demikian, terdapat beberapa hewan purba atau hewan prasejarah yang berhasil bertahan hingga saat ini dari kepunahan yang terjadi.

Secara umum hewan yang bisa bertahan dari kepunahan yaitu  hewan yang mampu beradaptasi. Jadi hewan purba yang bisa bertahan hingga sekarang tentu sudah mengalami perubahan baik dari ukuran, bentuk, fisik, dan habitat tempatnya untuk hidup.

Salah satu yang tak bisa dipungkiri yaitu  sebagian besar hewan purba yang masih hidup sampai sekarang yaitu  hewan purba yang habitat hidupnya di air, seperti ikan. Lantas, ikan purba apa saja yang masih hidup hingga hari ini? Berikut ulasannya.

1. Arapaima

Ikan Arapaima merupakan salah satu jenis ikan purba yang masih hidup hingga hari ini.

Ikan yang ukuran tubuhnya bisa mencapai 4,5 meter dengan berat badan sekitar 200 kg ini, diperkirakan sudah ada sejak berjuta-juta tahun yang lalu - sekitar 24 juta tahun yang lalu. Karena ukurannya yang sangat besar, maka ikan ini dikatakan sebagai ikan air tawar terbesar di dunia.

Habitat aslinya di perairan tropis Amerika Selatan, khususnya di sungai-sungai yang berada di hutan Amazon.

Seiring berjalannya waktu, keberadaan spesies ini semakin langka, sehingga sangat susah menemukan ikan Arapaima yang berukuran besar. Sekarang, ikan Arapaima yang sering dijumpai hanya berukuran 2 meter atau kurang dari itu.

Penyebab utama jumlah ikan Arapaima semakin hari semakin sedikit yaitu  karena ditangkap untuk dimakan atau diekspor ke luar negeri.

Pada tahun 2018, ikan Arapaima pernah ditangkap di sungai Berantas Mojokerto, Jawa Timur. Penangkapan ikan raksasa ini sempat heboh di tanah air karena spesies ikan ini belum pernah ditemukan di negara kita. Setelah diusut dengan saksama baru diketahui bahwa, ternyata ikan tersebut dilepas oleh seorang warga.

Setelah mengetahui hal ini, Menteri perikanan dan Kelautan Susy Pudjiastuti angkat bicara.

Menteri yang hobi menenggelamkan kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia ini mengatakan ikan Arapaima tidak boleh dilepaskan di sungai-sungai di Indonesia. Hal ini disebabkan, saat lapar ikan ini bisa memakan sebagian besar ikan lokal kita. Jika hal ini dibiarkan dalam waktu lama, maka sumber daya ikan hayati kita bisa habis.antara kita mungkin belum banyak yang tahu dengan Arapaima Gigas. Makhluk yang dianggap sebagai salah satu jenis ikan purba ini ternyata merupakan ikan air tawar terbesar di dunia. Ikan yang habitatnya di Sungai Amazon , Amerika Selatan, ini kabarnya memiliki panjang hingga 4,5 meter.

Arapaima Gigas termasuk jenis ikan purba yang tidak berevolusi dan tidak terancam punah. Jenis ikan ini berkembang biak dengan aman karena Sungai Amazon yang menjadi habitatnya terjaga kelestariannya.

Bagi kita yang ada di Indonesia, bisa menyaksikan ikan ini di akuarium Museum Air Tawar, Taman Mini Indonesia Indah. Hanya saja, Arapaima Gigas yang hidup di aquarium biasanya tidak sebesar yang hidup di alam liar.

Ikan ini termasuk hewan karnivora. Dalam rantai makanan, arapaima berada di puncak rantai makanan dan menjadi predator (pemangsa) bagi hewan lainnya. Ikan ini melahap ikan-ikan kecil, menyantap udang, kepiting, lobster, serangga air, bahkan hewan darat yang terjebak di dalam air.

arapaima gigas

Sekilas ikan ini mirip dengan arowana. Maklum, mereka masih satu keluarga, yaitu family Osteoglossodae. Jika arowana sudah sangat sulit dicari di habitat aslinya, berbeda dengan arapaima yang masih cukup mudah ditemukan di sungai dan rawa-rawa di

Amazon. Di daerah konservasi Mamiraua, Fonte Boa, Brasil, ikan

arapaima masih sangat berlimpah.

Lebih dari itu, masyarakat yang hidup di sekitar daerah konservasi itu juga turut menjaga kelestarian alam, sehingga ikan arapaima tetap berlimpah. Penduduk yang tinggal di Mamiraua tidak menangkap ikan arapaima setiap hari. Mereka menangkap ikan kalau kondisi air sedang surut, yaitu pada Juli-November.

Saa itu, ikan-ikan akan terjebak ke dalam lubuk-lubuk sungai dan danau, sehingga mudah ditangkap. Laki-laki akan berbondong-bondong datang ke sungai untuk memanennya. Dan saat  sampai di rumah, giliran perempuan yang menanganinya.

dimasak

Tak hanya dikonsumsi pribadi, sebagian ikan tangkapan juga dijual di pasar sebagai daging ikan segar, sebagian lagi diiris-iris untuk dibuat ikan asin. Meski ikan mudah ditangkap, mereka tidak boleh asal tangkap. Penduduk setempat membuat aturan sendiri. Peraturan itu, di antaranya, mereka hanya boleh menangkap ikan yang benar-benar sudah besar atau dewasa.

Khusus untuk ikan arapaima , mereka hanya boleh menangkap maksimal 30 persen dari ikan arapaima yang sudah besar atau dewasa dengan ukuran minimal 1,5 meter. Dengan cara itu, ikan arapaima dewasa tetap bisa bertelur dan berkembang biak. Sedangkan ikan-ikan arapaima kecil bisa terus berkembang menjadi besar.

Bagi penduduk yang tinggal di wilayah konservasi Mamiraua, musim menangkap ikan arapaima menjadi puncak musim panen ikan yang penuh bahagia

Penemuan seekor ikan Arapaima gigas di aliran sungai Brantas, Sidoarjo, Surabaya, menghebohkan warga sekitar. Para ahli menyarankan masyarakat untuk tidak melepaskan ikan itu kembali ke sungai.

Menurut ahli iktiologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Haryono, MSi, ikan predator Arapaima gigas sifatnya buas dan sangat ganas. Apabila dilepaskan ke sungai akan mengancam populasi ikan lokal.

"Ukuran ikan ini sangat besar dan mengancam populasi ikan di sungai. Selain itu, dikhawatirkan juga mengancam manusia, khususnya anak-anak atau balita," kata Haryono, kepada Kompas.com , Selasa (26/6/2018).

" Ikan Arapaima bukanlah ikan asli Indonesia. Panjang ikan di habitat aslinya bisa mencapai 4,5 meter. Predator ini sebetulnya sudah dilarang masuk ke Indonesia," katanya lagi.

Baca Juga: Jalan-jalan di Pantai, Seorang Perempuan Temukan Bangkai Ikan Purba

Dia melanjutkan, pelarangan tersebut sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2014.

Ikan Arapaima menjadi salah satu favorit bagi penggemar ikan di Indonesia karena ukurannya yang besar dan bentuknya yang eksotis. Namun, masih banyak pemilik ikan yang tidak berhati-hati sehingga ikan predator itu bisa lepas ke perairan umum.

"Harga ikan ini bervariasi, tergantung ukurannya. Kalau panjangnya lebih dari 1 meter bisa mencapai jutaan rupiah. Jumlah ikan ini di Indonesia, saya belum tahu, karena ada beberapa yang sudah membudidayakannya," ujar Haryono.

Untuk mengendalikan populasi ikan predator yang membahayakan populasi ikan lokal, pemerintah seharusnya mendata ulang dan menerapkan peraturan secara tegas.

Baca Juga: 400 Tahun Lalu, Hidup Ikan Dengan Moncong Panjang Mirip Platipus

Haryono mengatakan, sebaiknya, ikan jenis ini jangan dipelihara atau diimpor karena sifatnya yang buas. Apabila sudah terlanjur, pemeliharaannya harus esktra hati-hati agar tidak terlepas ke perairan umum seperti sungai, waduk dan danau.

"Untuk masyarakat yang menemukan ikan ini di perairan umum lebih baik menghubungi pihak terkait untuk menangkap ikan tersebut. Usahakan jangan sampai lepas lagi ke sungai," imbuhnya.

Sementara itu, penemuan ikan Arapaima di Indonesia ini bukanlah kali pertama. Pada tahun 2015, ikan sejenis juga pernah ditemukan di sungai Ciliwung.

Seperti dikutip dari Surya.co.id , Senin (25/6/2018), sejumlah warga di Desa Mliriprowo, Kecamatan Tarik, Sidoarjo, menemukan ikan seukuran tinggi orang dewasa di sungai Mbocok pada hari Senin, (25/6/2018). Sungai ini satu aliran dengan Sungai Brantas di Jawa Timur.

Penemuan ikan tersebut sempat menjadi perbincangan di media sosial.


 karakteristik ikan arapaima gigas, yang berasal dari sungai Amazon, Amerika Selatan serta danau di sekitarnya. Arapaima gigas merupakan salah satu ikan air tawar terbesar di dunia sebab panjangnya bisa mencapai 3 meter dan berat 220 kg.

"Habitat asli spesies ini berasal dari sungai Amazon yang mempunyai iklim tropis, sehingga penyebarannya ada pada daerah iklim tropis seperti Indonesia, Australia bagian utara, Papua Nugini, Amerika Selatan," kata Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP, Rina, di Jakarta, Kamis (28/6/2018).

Dengan demikian, peluang penyebaran di Indonesia cukup tinggi karena pada prinsipnya penyebaran secara alami bisa terjadi pada daerah yang beriklim sama dengan habitat aslinya. Di Indonesia,

Arapaima gigas termasuk dalam jenis ikan invasif menurut

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 94 Tahun 2016 tentang Jenis Invasif.

berdasar  regulasi tersebut, jenis invasif yaitu  spesies asli atau bukan yang mengkolonisasi suatu habitat secara masif sehingga dapat menimbulkan kerugian terhadap ekologi, sosial, dan ekonomi.

Selain itu, arapaima gigas juga yaitu  jenis ikan predator yang bisa memakan hampir semua hewan yang bisa ditelan, terutama ikan yang berukuran kecil dan hewan-hewan lain yang ada di permukaan air.

Arapaima gigas termasuk ikan bersifat kompetitor, yang berarti mereka bersaing dengan jenis ikan lain untuk mendapatkan makanan terutama memangsa ikan yang lebih kecil.

Disebut bersifat karnivora, makanan utama ikan arapaima gigas yaitu  ikan-ikan yang ukurannya lebih kecil, meskipun terkadang ikan tersebut bisa memakan unggas, katak atau serangga yang berada di dekat permukaan air.

Arapaima gigas juga dikenal sebagai pembawa parasit golongan protozoa, serta dapat melukai manusia pada saat ditangkap ukuran tubuhnya yang raksasa. Anak kecil yang gemar bermain di sungai akan terancam keselamatannya apabila Arapaima gigas hidup di dalam air.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menginginkan berbagai pihak dapat menyosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat terkait dengan bahayanya memasukkan hingga membudidayakan ikan arapaima di kawasan perairan nasional.

"Peristiwa (ikan arapaima) ini harus disosialisasikan atau dikampanyekan kepada masyarakat, banyak yang tidak tahu apa itu ikan arapaima dan mengapa tidak boleh dilepas-liarkan," kata Susi Pudjiastuti dalam jumpa pers di kantor KKP, Jakarta, Kamis (28/6/2018).

Perbincangan soal arapaima gigas mengemuka setelah viralnya video warganet yang melepaskan puluhan ikan arapaima gigas ke Sungai Brantas. Dalam video tersebut, si pengunggah menuliskan bahwa sebanyak 70 ekor ikan asal Amerika Selatan itu dibuang setelah sebelumnya dipelihara.Pakar Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Mukhlis Kamal menyebutkan ikan Arapima sangat berbahaya jika dilepas ke danau, waduk, dan sungai di Indonesia.

Karena ikan yang habitat aslinya berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Amazon, Amerika Selatan ini akan menjadi predator dan memakan semua jenis ikan yang ada di sungai maupun danau Indonesia.

"Tubuhnya yang raksasa menjadi kompetitor ruang bagi ikan-ikan asli. Mulutnya yang besar serta gigi yang besar dan tajam dapat dipastikan ikan ini termasuk predator yang akan memakan semua jenis ikan," kata Mukhlis, Jumat (29/6/2018).

Menurutnya, habitat ikan tersebut berasal dari perairan tropis sehingga akan sangat adaptif jika dilepas perairan Indonesia yang juga beriklim tropis.

Tak hanya itu, potensi reproduksi ikan Arapaima juga tinggi, sekali bertelur bisa mencapai 10-20 ribu butir telur. Bahkan ikan ini mampu hidup dalam lingkungan perairan yang kekurangan oksigen sekalipun.

Selain bernapas dengan insang, ikan ini dapat bernafas memakai  organ seperti paru-paru yang merupakan transformasi dari gelembung gas.

Dia menambahkan penduduk asli di wilayah DAS Amazon menyebutnya pirarucu (pira = ikan, rucu = merah) dan merupakan sumber protein hewani dari perairan tawar dari kegiatan budidaya.

Ikan Arapaima Gigas ini masuk ke Indonesia untuk dipelihara di akuarium atau kolam. Khususnya sebagai daya tarik pengunjung di lokasi wisata.

"Ikannya sangat khas karena merupakan ikan air tawar terbesar di dunia. Panjangnya dapat mencapai 3 meter," ungkap Mukhlis. Karena bukan ikan asli Indonesia dan ukurannya yang besar, ikan ini tidak memiliki predator alamiah di alam Indonesia. Hal tersebut juga yang menjadi pertimbangan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI melalui Permen KP No 41/2014 untuk melarang ikan ini masuk ke Indonesia.

"Sebab itu, kami mengajak masyarakat untuk dapat mengenali, memanfaatkan, dan lestarikan ikan-ikan yang asli Indonesia," ajaknya.








2. Arowana

Ikan purba selanjutnya yang masih hidup sampai dengan hari ini yaitu  ikan Arowana. Ikan keren yang sering dijadikan ikan hias dalam akuarium ini diperkirakan telah ada di muka bumi sejak

jaman Jurassic .

Jenis ikan Arowana sangat banyak dan sebagian besar digunakan sebagai ikan hias. Dari sekian banyak jenis ikan yang ada, beberapa di antaranya mempunyai harga yang sangat fantastis.

Sebaran ikan Arowana sangat luas. Mereka dapat dijumpai di sungai-sungai di berbagai benua, seperti benua Amerika, Afrika, Asia, dan Australia.Dikutip dari Field Guide to the Freshwater Fishes of Australia (2002) karya G.R. Allen dan kawan-kawan, arwana merupakan ikan bertulang air tawar dari keluarga Osteoglossidae yang sudah ada sejak zaman Cretaceous (zaman Kapur), periode terakhir dari era Mesozoikum (252-65 juta tahun lalu). Jadi, ikan arwana dapat dikategorikan sebagai ikan purba.

Populasi dan persebaran ikan arwana terdapat di berbagai seluruh belahan dunia, dari Amerika Selatan, dari Amerika Selatan, Afrika, Asia, bahkan Australia. Ikan arwana yang banyak terdapat di Indonesia termasuk dalam kategori arwana Asia yang punya ciri-ciri tersendiri.

Ciri khas ikan arwana Asia antara lain bentuk badannya yang panjang, letak sirip dubur yang jauh di belakang badan, dan umumnya berwarna perak. Ikan arwana Asia, kerap dikaitkan dengan mitologi naga dalam tradisi masyarakat Tionghoa sehingga sering disebut pula sebagai “ikan naga”.

Baca juga: Kesepian dan Budidaya Ikan Cupang

Ikan arwana memang diperjual-belikan. Namun, ada beberapa jenis dari ikan ini yang terbilang langka dan dilindungi. Berikut ini jenis-jenis ikan arwana yang ada di Indonesia beserta kisaran harganya, dikutip dari website Kementerian Kelautan dan Perikanan RI serta beberapa referensi lainnya:

Arwana Super Red

Ikan Arwana Super Red banyak ditemukan di Borneo, khususnya di Kalimantan Barat. Ciri-ciri umumnya yaitu  warna merah pada sirip, bibir, serta sungut, saat masih muda. Menjelang dewasa, warna merah juga akan muncul di berbagai bagian tubuh lainnya sehingga badan ikan akan terlihat mencolok namun indah.

Varian ikan Arwana Super Red ini dikelompokkan menjadi beberapa varietas, di antaranya Merah Darah (Blood Red), Merah Cabai (Chili Red), dan Merah Orange (Orange Red). Harga ikan Arwana Super Red bervariasi, antara 2 juta sampai hampir 50 juta, tergantung jenis, ukuran, dan faktor-faktor lainnya.

Arwana Banjar

Seperti namanya, jenis ikan Arwana Banjar berhabitat di wilayah Kalimantan Selatan, terutama di Banjarmasin. Ikan ini memiliki kesan warna merah namun tidak setegas Arwana Super Red. Ciri yang paling menonjol dari ikan Arwana Banjar yaitu  siripnya yang berwarna oranye dan ekor kekuningan.

Ikan Arwana Banjar bisa mencapai panjang hingga 90 cm sehingga dibutuhkan tempat yang cukup luas untuk memelihara atau membudidayakannya agar ikan yang termasuk atraktif ini dapat bergerak bebas. Harga ikan Arwana Banjar diperkirakan sekitar Rp2 jutaan.

Arwana Papua

Ikan Arwana Papua atau yang dikenal pula dengan sebutan Arwana Jardini hidup di perairan Papua hingga Australia. Jenis ikan Arwana yang bisa tumbuh hingga sepanjang 90 cm dan berat sampai 17 kg ini memiliki warna kuning keemasan namun tidak terlalu mencolok.

Ciri-ciri utama dari fisik ikan Arwana Papua yaitu  badannya yang berwarna dasar hitam kecokelat-cokelatan dengan bintik-bintik kuning keemasan, bahkan hingga di bagian kepala hingga sirip dan ekornya. Harga ikan jenis ini sekitar Rp4 jutaan.

Arwana Golden Pino

Ikan Arwana Golden Pino yang kerap disebut pula sebagai Arwana Hijau atau Green Arowana tersebar di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam, hingga Kamboja.

Keunikan yang menjadi ciri khas ikan Arwana Golden Pino yaitu  warnanya yang tampak seperti perpaduan antara kuning, emas, dan hijau. Ciri fisik mencolok lainnya terlihat pada kepala yang berukuran lebih besar ketimbang jenis ikan arwana Asia lainnya. Harga ikan Arwana Golden Pino berada di sekitar angka Rp4 jutaan.

Arwana Red Tail Golden

Jenis ikan arwana Asia satu ini juga dikenal dengan sebut Arwana Golden Red atau Arwana RTG yang dapat ditemukan di perairan Riau dan beberapa wilayah di Pulau Sumatera lainnya. Di habitat alam liarnya, ikan Arwana Red Tail Golden sangat agresif sehingga cukup susah ditangkap.

RTG merupakan salah satu varietas dari arwana Golden, namun sedikit berbeda dengan Cross Back Golden (CBG) yang biasa ditemukan di pesisir Malaysia. Ikan arwana RTG sering disebut juga Indonesian Golden Arwana.

Ciri khas ikan RTG yaitu  paduan warnanya yang terdiri dari hijau, biru, dan kuning keemasan, serta sedikit warna merah. Harga ikan jenis ini paling murah yaitu  Rp2 juta, namun bisa lebih mahal tergantung ukuran dan perpaduan warnanya.


Arwana Asia ( Scleropages formosus ), atau Siluk Merah yaitu  salah satu spesies ikan air tawar dari Asia Tenggara. Ikan ini memiliki badan yang panjang; sirip dubur terletak jauh di belakang badan. Arwana Asia umumnya memiliki warna keperak-perakan. Arwana Asia juga disebut "Ikan Naga" karena sering dihubung-hubungkan dengan naga dari Mitologi Tionghoa.

Arwana Asia yaitu  spesies asli sungai-sungai di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Ada empat varietas warna yang terdapat di lokasi:

Hijau, ditemukan di Indonesia, Vietnam, Birma , Thailand , dan

Malaysia

Emas dengan ekor merah, ditemukan di Indonesia

Emas, ditemukan di Malaysia

Merah, ditemukan di Indonesia

Arwana Asia terdaftar dalam daftar spesies langka yang berstatus "terancam punah" oleh IUCN tahun 2004 [1] . Jumlah spesies ini yang menurun dikarenakan seringnya diperdagangkan karena nilainya yang tinggi sebagai ikan akuarium, terutama oleh masyarakat Asia. Pengikut Feng Shui dapat membayar harga yang mahal untuk seekor ikan ini.

Arwana yaitu  ikan bertulang air tawar dari keluarga

Osteoglossidae , juga dikenal sebagai bonytongues.[1] Arwana sebenarnya termasuk jenis ikan purba yang hingga kini belum punah.[2] Banyak nama yang melekat padanya, diantaranya ikan siluk, ikan kayangan, ikan kalikasi, dan ikan kelasa. [3]

Habitat

Ikan siluk atau arwana (Scleropages formosus ), merupaKan ikan yang tergolong satwa langka Indonesia dengan habitat asli Kalimantan dan Papua. Ikan arwana memiliki berbagai nama lokal seperti: Ikan Naga, Barramundi, Saratoga, Pla Tapad, Kelesa, Siluk, Kayangan, Peyang, Tangkeleso, Aruwana/Arowana. Ikan yang cukup langka ini memiliki habitat sebagai tempat hidupnya yaitu pada tepian sungai yang ditumbuhi pepohonan seperti pohon engkana, putat, rasau, dan entangis di mana