Rabu, 12 Februari 2025

ternak sapi 9





Pangalengan terletak di wilayah pegunungan dengan ketinggian 1.0001.420 dpl, yang memiliki rataan temperatur 

sekitar 17,80 ± 1,46 C dan kelembapan 63,99 ± 2,74%. Kondisi ini sangat mungkin memengaruhi nilai fisiologis sapi 

perah, terutama selama periode laktasi. Namun demikian, informasi tentang nilai fisiologis sapi laktasi di 

Pangalengan sampai saat ini belum tersedia. Penelitian ini memakai  20 ekor sapi perah, dan nilai fisiologis 

diukur pada pagi, siang, dan sore hari. Kisaran frekuensi denyut jantung, respirasi, dan temperatur rektal sapi perah 

laktasi secara berturut-turut adalah 59,8272,02 kali/min, 26,0136,69 kali/min, dan 37,3238,36 C. Kisaran nilai 

hemoglobin, hematokrit, eritrosit, dan leukosit sapi perah laktasi secara berturut-turut adalah 8,299,51 g/dl, 

24,5229,70%, 6,108,18 juta/µl, dan 6.22010.600 sel/µl. Kisaran nilai diferensial leukosit sapi perah laktasi ialah 

limfosit 32,6463,14%, neutrofil 28,3453,24%, monosit 0,414,85%, eosinofil 1,5815,78%, dan basofil 0%. Kisaran 

rasio N/L pada sapi perah laktasi adalah 0,141,63. Studi ini menyimpulkan bahwa sapi perah laktasi yang dipelihara 

pada kondisi iklim Pangalengan yang sejuk masih menunjukkan nilai fisiologis yang berada dalam kisaran normal. 

Produksi susu sapi perah di Indonesia belum 

mampu memenuhi kebutuhan nasional, seiring dengan 

populasi induk sapi perah yang cenderung turun. 

Produktivitas sapi perah Friesian Holstein (FH) di 

Indonesia masih rendah. Suprayogi et al. (2013a) 

melaporkan bahwa maksimum produksi susu sapi FH 

di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) 

Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ter-

catat sekitar 16,00 ± 1,15 l/hari/ekor.  

Pangalengan merupakan salah satu kecamatan di 

Kabupaten Bandung, yang merupakan sentra peterna-

kan sapi perah di Indonesia. Secara geografis, wilayah 

Pangalengan berada pada ketinggian 1.0001.420 

mdpl memiliki suhu udara 1228 C dan kelembapan 

relatif 6070% (Qodarudin 1993). Mikroklimat suatu 

wilayah seperti temperatur udara, kelembapan, teka-

nan udara, kecepatan angin, dan arah angin meme-

ngaruhi parameter fisiologis ternak, terutama pada 

frekuensi respirasi, denyut jantung, dan suhu rektal 

Kondisi fisiologis sapi yang 

ada di wilayah peternakan dapat bergeser dari zona 

nyaman (termonetral) ke kondisi yang tidak nyaman 

(stres), sebagai akibat dari berbagai faktor diantaranya 

pergeseran iklim. Pergeseran iklim ini dapat meme-

ngaruhi kondisi fisiologis ternak dan produktivitas 

ternak sehingga nilai fisiologis ternak di suatu wilayah 

peternakan harus dipantau. Studi ini bertujuan untuk 

mengetahui nilai fisiologis sapi perah pada masa 

laktasi di wilayah peternakan dataran tinggi (Pangale-

ngan) dengan parameter hematologi, denyut jantung, 

frekuensi respirasi, dan suhu tubuh.  

Penelitian ini dilaksanakan di peternakan rakyat 

Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) 

Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dan 

Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, 

dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut 

Pertanian Bogor. Parameter lingkungan, yaitu suhu 

dan kelembapan diukur di dalam kandang dengan 

memakai  alat termohigrometer pada bulan 

JuliAgustus 2012. Pengambilan data suhu (C) dan 

kelembapan (% rel.) udara lingkungan dilakukan setiap 

jam selama tiga hari berturut-turut. Nilai rataan suhu 

dan kelembapan diperoleh dari tiga hari pengukuran di 

atas. 

Pengukuran rataan nilai fisiologis (denyut jantung, 

frekuensi respirasi, dan suhu tubuh) dilakukan pada 20 

ekor sapi perah milik peternak anggota KPBS Panga-

lengan. Seluruh sapi pada penelitian ini berada pada 

masa laktasi ke-2 dan ke-3. Pengukuran dilakukan pagi 

hari pukul 06:0008:00 WIB, siang 12:0014:00 WIB, 

dan sore 16:0018:00 WIB. 

Pengambilan sampel darah (whole blood) sebanyak 

10 ml dilakukan pada vena coccygealis ventralis, 

ditampung dalam tabung yang berisi antikoagulan 

EDTA, untuk dianalisis gambaran darahnya. Jumlah 

eritrosit dan leukosit dihitung dengan metode hemo-

sitometer, konsentrasi hemoglobin diukur dengan 

metode sahli, nilai hematokrit diukur dengan metode 

mikrokapiler, dan diferensial leukosit dihitung dengan 

metode apus darah dan diamati memakai  mik-

roskop. 


Kondisi Lingkungan Pangalengan 

Iklim merupakan faktor eksternal yang cukup domi-

nan dalam memengaruhi produktivitas dan fisiologis 

ternak. Parameter iklim (mikroklimat) antara lain me-

liputi temperatur, kelembapan, tekanan udara, kecepa-

tan angin, dan arah angin sangat memengaruhi pro-

duktivitas ternak  Hasil 

penelitian ini menunjukkan kondisi lingkungan di KPBS 

Pangalengan berada dalam kisaran termonetral, 

dengan rataan suhu udara 17,80 ± 1,46 °C dan 

kelembapan 63,99 ± 2,74%. Kondisi di Pangalengan ini 

mampu menopang kesehatan dan produktivitas sapi 

perah, mengingat iklim itu  masih dalam zona 

nyaman, dengan batas maksimum dan minimum suhu 

dan kelembapan lingkungan masih berada pada ter-

monetral. Sapi FH menunjukkan penampilan produksi 

terbaik apabila di tempatkan pada lingkungan dengan 

suhu sekitar 18,3 °C  dan ke-

lembapan lingkungan 6070% ,

Sapi perah akan mengalami stres bila berada di luar 

kondisi itu . Sapi perah laktasi yang berada di luar 

zona nyaman akan mengalami penurunan produksi 

dan komposisi susu karena adanya cekaman panas 


 

Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal 

Nilai fisiologis sapi perah laktasi di KPBS 

Pangalengan maupun di wilayah lain di Pulau Jawa 

dengan lingkungan sapi perah yang serupa, yaitu 

frekuensi respirasi, denyut jantung, dan suhu rektal 

dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai fisiologis sapi perah 

laktasi di KPBS Pangalengan juga digambarkan 

berdasar  waktu pengukuran, yaitu pagi, siang, dan 

sore hari yang disajikan pada Tabel 2. 

Tabel 1 menunjukkan bahwa sapi perah laktasi di 

Pangalengan memiliki denyut jantung pada kisaran 

59,8272,02 kali/menit. Hasil penelitian ini sesuai 

dengan penelitian yang dilakukan oleh Utomo et al. 

(2010) pada sapi perah laktasi yang dipelihara di 

Boyolali dengan kisaran denyut jantung 67,5473,56 

kali/menit. Senada dengan hasil penelitian  bahwa denyut jantung sapi perah 

laktasi yang dipelihara di Baturraden berkisar 

46,0084,00 kali/menit. Perbedaan kisaran denyut 

jantung sapi perah laktasi ini mungkin disebabkan oleh 

faktor meteorologi maupun non-meteorologi yang 

memengaruhi kondisi fisiologis ternak ,

Peningkatan rataan denyut jantung sapi perah laktasi 

terjadi dari pagi hingga siang dan relatif konstan hingga 

sore hari. Peningkatan denyut jantung merupakan 

salah satu upaya ternak untuk menjaga keseimbangan 

suhu tubuh. Peningkatan ini merupakan respons dari 

tubuh ternak untuk menyebarkan panas tubuh hasil 

metabolisme melalui peningkatan sirkulasi perifer 

sebagai upaya percepatan pelepasan panas tubuh 

Frekuensi respirasi ternak sapi perah laktasi di 

Pangalengan memiliki kisaran 26,0136,69 kali/menit. 

Kisaran ini menunjukkan nilai yang sesuai dengan 

frekuensi respirasi sapi perah laktasi di lokasi lain. 

 bahwa kisaran frekuen-

si respirasi normal pada sapi perah laktasi di Lembang 

adalah 28,7340,77 kali/menit, dan di Boyolali dengan 

frekuensi respirasi berkisar 25,1228,52 kali/menit 

(), sedangkan di BBPTU sapi perah 

Baturraden adalah 25,3380,00 kali/menit , Rataan frekuensi respirasi pada siang 

hari terlihat lebih rendah dibandingkan dengan pagi 

hari, namun perbedaan itu  tidak nyata (p>0,05). 

Peningkatan frekuensi respirasi terlihat nyata (p<0,05) 

pada sore hari. Hal ini terjadi karena kelembapan 

lingkungan pada sore hari lebih tinggi, sehingga terjadi 

peningkatan respirasi untuk pengambilan oksigen yang 

cukup ,

Tabel 1 menunjukkan kisaran suhu rektal ternak 

sapi perah, yakni 37,3238,36 °C. Suhu rektal ternak 

sapi perah laktasi di Pangalengan ini berada pada 

kisaran yang sama dengan sapi perah di Baturraden 

, namun sedikit lebih tinggi bila dibandingkan 

dengan data yang diperoleh  di 

Boyolali, yaitu 35,5637,10 °C. Perbedaan nilai suhu 

rektal sapi perah laktasi di Boyolali diduga disebabkan 

perbedaan kondisi mikroklimat (suhu dan kelembapan) 

di Boyolali lebih tinggi bila dibanding dengan mikro-

klimat di Pangalengan. Tingginya suhu dan kelemba-

pan udara menyebabkan penurunan laju metabolisme 

tubuh ternak Penurunan laju 

metabolisme itu  sebagai upaya ternak mem-

pertahankan mekanisme fisiologi tubuh untuk men-

cegah peningkatan suhu tubuh ,

Rataan suhu rektal mengalami peningkatan dari pagi 

hingga sore hari (Tabel 2). Peningkatan suhu rektal ini 

kemungkinan disebabkan oleh panas hasil meta-

bolisme di dalam tubuh ternak ,

 

Nilai Hematologi Ternak Sapi Perah Laktasi 

Kondisi fisiologis ternak dapat juga diamati melalui 

nilai hematologi. Sampai saat ini belum ditemukan nilai 

hematologi sapi perah laktasi di Indonesia, khususnya 

di Pangalengan. Perhitungan nilai hematologi pada 

ternak sapi perah laktasi di Pangalengan disajikan 

pada Tabel 3. 

 

Nilai Hemoglobin dan Hematokrit 

Nilai hemoglobin darah ternak sapi perah laktasi di 

Pangalengan masih sesuai dengan nilai hemoglobin 

pada sapi perah laktasi di lokasi lain (Tabel 3). bahwa konsentrasi 

hemoglobin sapi perah laktasi di daerah subtropik 

adalah 8,6011,90 g/dl. , konsentrasi hemoglobin sapi 

perah laktasi di daerah subtropik adalah 7,6910,99 

g/dl, sedangkan menurut Mirzadeh et al. (2010) ber-

kisar 8,899,59 g/dl. Kadar hemoglobin dalam darah 

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya umur, 

jenis kelamin, musim, pola perilaku spesies, aktivitas 

tubuh, dan penyakit ,

Kisaran nilai hematokrit ternak sapi perah laktasi di 

Pangalengan menunjukkan nilai hematokrit yang 

masih sesuai dengan pustaka di atas. Hasil penelitian 

ini memperlihatkan kisaran nilai hematokrit ternak sapi 

perah laktasi adalah sebesar 24,5229,70%. Nilai 

hematokrit sapi perah normal adalah 23,1031,70% 

(Divers & Peek 2008). Menurut Sattar dan Mirza (2009) 

dan Mirzadeh et al. (2010), nilai hematokrit pada sapi 

perah laktasi di daerah subtropik masing-masing 

adalah 23,1731,67 dan 27,9531,55%. Nilai hemtokrit 

berhubungan langsung dengan jumlah eritrosit di-

karenakan nilai hematokrit merupakan gambaran 

persentase yang mewakili eritrosit di dalam 100 ml 

darah  Nilai hematokrit dipengaruhi 

oleh beberapa faktor yang memengaruhi jumlah dan 

ukuran eritrosit  Peningkatan 

nilai hematokrit dapat terjadi pada ternak yang 

mengalami dehidrasi, aspiksia, atau stres 

Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) 

Kisaran eritrosit ternak sapi perah laktasi di 

Pangalengan adalah sebesar 6,108,18 juta sel/µl. 


Kisaran nilai jumlah eritrosit ini masih berada pada 

kisaran normal seperti yang disebutkan yaitu antara 5,007,20 juta sel/µl. 

Sebaliknya, pada Tabel 3 terlihat jumlah eritosit lebih 

tinggi dari kisaran normal yang disebutkan Kondisi 

ini karena rendahnya rataan suhu lingkungan dan 

relatif tingginya kelembapan udara di Pangalengan 

(17,80 °C dan 63,99%) dibandingkan dengan lokasi 

penelitian Sattar dan Mirza (2009), yaitu suhu udara 

24,30 °C dengan kelembapan 37,92%, dan Mirzadeh 

et al. (2010), yaitu suhu udara 25,30 °C dengan 

kelembapan 45,20%. 

jumlah eritrosit akan meningkat pada suhu lingkungan 

rendah dan akan menurun pada suhu lingkungan yang 

tinggi.  

 

Total Leukosit  

Kisaran jumlah leukosit ternak sapi perah laktasi di 

Pangalengan adalah sebesar 6.22010.600 sel/µl. 

Jumlah ini sesuai dengan hasil penelitian ,  

. Secara rinci diferensiasi leukosit 

dan rasio N/L ternak sapi perah laktasi di KPBS 

Pangalengan disajikan pada Tabel 4. 

 

Diferensiasi Leukosit 

Menurut Divers dan Peek (2008), kisaran per-

sentase normal limfosit pada peredaran darah ternak 

sapi perah adalah 41,0073,20%, berbeda dengan 

Sattar dan Mirza (2009), bahwa persentase limfosit 

pada sapi perah laktasi berkisar antara 62,2068,20%. 

Penelitian ini memperlihatkan kisaran persentase 

limfosit ternak sapi perah laktasi di KPBS Pangalengan 

adalah sebesar 32,6463,14%. Nilai ini masih dalam 

kisaran yang sesuai bila dibandingkan dengan nilai 

limfosit pada pustaka di atas. Jumlah limfosit di dalam 

peredaran darah dapat dipengaruhi tingkat produksi, 

resirkulasi, dan penggunaan atau penghancuran 

limfosit. Penurunan jumlah limfosit (limfopenia) dapat 

terjadi karena penggunaan kortikosteroid, timektomi, 

radiasi, kemoterapi, penurunan produksi, dan infeksi 

virus akut. Peningkatan limfosit di peredaran darah 

(limfositosis) dapat terjadi karena fisiologis, reaktif, dan 

proliferatif ,

Neutrofil merupakan lini pertahanan pertama ter-

hadap infeksi mikroorganisme. Neutrofil berfungsi 

memfagositosis dan membunuh organisme , Kisaran persentase neutrofil ternak sapi perah 

laktasi di KPBS Pangalengan adalah sebesar 

28,3453,24%. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian 

yang dilaporkan oleh Divers dan Peek (2008). Namun 

nilai neutrofil itu  sedikit lebih tinggi bila di-

bandingkan dengan nilai yang dilaporkan oleh Sattar 

dan Mirza (2009) di daerah subtropik, yaitu antara 

20,3326,27%. 

Monosit berfungsi melindungi tubuh dari organisme 

penyerang dengan cara fagositosis (Guyton & Hall 

2008). Hasil penelitian ini menunjukkan persentase 

monosit ternak sapi perah laktasi di KPBS Panga-

lengan berkisar 0,414,85%, dan nilai ini masih dalam 

kisaran yang sama dengan nilai yang dilaporkan oleh 

Divers dan Peek (2008). Namun nilai monosit itu  

lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai yang 

dilaporkan oleh Sattar dan Mirza (2009) di daerah 

subtropik, yaitu antara 5,627,18%.  

Eosinofil diproduksi dalam jumlah besar pada 

penderita infeksi parasit dan bermigrasi ke jaringan 

Peningkatan jumlah eosinofil di 

peredaran darah (eosinofilia) merupakan respons 

adanya infeksi parasit ,Penelitian ini mem-

perlihatkan kisaran persentase eosinofil ternak sapi 

perah laktasi di KPBS Pangalengan adalah sebesar 

1,5815,78%. Nilai ini masih dalam kisaran nilai yang 

dilaporkan 

Basofil memiliki peran utama dalam membangun 

reaksi hipersensitif dan sekresi mediator yang bersifat 

vasoaktif (). Penelitian ini me-

nunjukkan nilai basofil sapi perah laktasi di KPBS 

Pangalengan masih sesuai dengan nilai yang dilapor-

kan  Namun, nilai basofil 

itu  lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai 

yang dilaporkan  di daerah 

subtropik, yaitu 0,601,00%.  

Adanya perbedaan nilai diferensial leukosit pada 

sapi perah di Pangalengan dengan wilayah lain 

mungkin saja terjadi, hal ini karena perbedaan kondisi 

lingkungan maupun manajemen peternakan sapi 

perah di setiap lokasi yang berbeda. 

 

Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) 

Stres merupakan perubahan kondisi tubuh sebagai 

respons terhadap suatu ancaman tertentu sehingga 

tubuh melakukan penyesuaian terhadap kondisi ter-

sebut. Stres pada hewan dapat diukur melalui rasio 

neutrofil/limfosit (N/L). 

ternak yang mengalami stres mengalami peningkatan 

jumlah neutrofil dan penurunan jumlah limfosit. Hal ini 

disebabkan oleh respons kortisol di dalam darah. 

profil leukosit 

dapat merefleksikan peningkatan kortisol yang di-

sebabkan oleh stres. 

peningkatan kortisol dalam peredaran darah akan 

diikuti peningkatan mobilisasi neutrofil, perpanjangan 

hidup neutrofil, dan penghancuran limfosit sehingga 

terjadi peningkatan rasio neutrofil/limfosit. 

Penelitian ini menunjukkan nilai rasio N/L ternak 

sapi perah laktasi di KPBS Pangalengan masih berada 

pada kisaran yang dilaporkan 

yaitu 1,13159. berdasar  Tabel 4, ternak sapi 

perah laktasi di KPBS Pangalengan memiliki nilai rasio 

N/L pada kisaran 0,411,63. kisaran normal rasio N/L sapi perah laktasi 

adalah 1,131,59. berdasar  hasil itu , nilai 

rasio N/L ternak sapi perah laktasi di KPBS 

Pangalengan berada pada kisaran normal, artinya sapi 

perah laktasi itu  tidak mengalami gangguan 

fisiologis (tercekam) yang nyata pada kondisi ling-

kungan di KPBS Pangalengan.  

Kisaran nilai fisiologis sapi perah laktasi, yaitu 

denyut jantung (59,8272,02 kali/ menit), frekuensi 

respirasi (26,0136,69 kali/menit), suhu rektal 

(37,3238,36 C), konsentrasi hemoglobin (8,299,51 

g/dl), hematokrit (24,5229,70%), eritrosit (6,108,18 

juta/µl), leukosit (6,2210,60 ribu/µl), dan nilai 

diferensial leukosit ialah limfosit 32,6463,14%, 

neutrofil 28,3453,24%, monosit 0,414,85%, eosinofil 

1,5815,78%, dan basofil 0% masih dalam kisaran 

normal pada kondisi lingkungan sejuk di KPBS 

Pangalengan. Selain itu, ternak sapi perah laktasi di 

KPBS Pangalengan tidak berada pada kondisi ter-

cekaman (stres) dengan nilai rasio N/L (0,141,63). 

Nilai fisiologis sapi perah laktasi di KPBS Pangalengan 

ini dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan 

produktivitas sapi perah di KPBS Pangalengan. 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen pakan ternak sapi potong di 

peternakan rakyat di Desa Sejaro Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Ilir. Metode yang 

digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yang terdiri dari data primer dan data 

sekunder. Data primer diperoleh langsung di lapangan melalui wawancara dengan setiap peternak 

sapi potong, sedangkan data sekunder didapat dari instansi-instansi yang terkait. Data yang 

diperoleh kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk deskripsi dan gambar. Hasil yang didapat 

selama pelaksanaan yaitu jenis ternak sapi yang dipelihara di desa ini adalah sapi Bali dan sapi 

Peranakan Ongole. Manajemen pakan yang diterapkan peternak masih belum tepat, di mana ternak 

hanya digembalakan untuk mencari makan sendiri pada siang hari, jumlah pakan yang diberikan 

belum memenuhi kebutuhan, ternak tidak diberi pakan berupa konsentrat, serta frekuensi dan cara 

pemberian pakan yang belum tepat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peternak rakyat di Desa 

Sejaro Sakti belum menerapkan manajemen pakan yang baik terhadap ternak sapi potong.  

Keberhasilan usaha ternak sapi potong 

ditentukan oleh salah satu faktor terbesar, 

yaitu pakan. Pakan adalah semua yang bisa 

dimakan oleh ternak, baik berupa bahan 

organik maupun anorganik, yang sebagian 

atau seluruhnya dapat dicerna dan tidak 

mengganggu kesehatan ternak 

Pakan yang diberikan kepada sapi 

potong harus memiliki syarat sebagai pakan 

yang baik. Pakan yang baik yaitu pakan yang 

mengandung zat makanan yang memadai 

kualitas dan kuantitasnya, seperti energi, 

protein, lemak, mineral, dan vitamin, yang 

semuanya dibutuhkan dalam jumlah yang 

tepat dan seimbang sehingga bisa 

menghasilkan produk daging yang berkualitas 

dan berkuantitas tinggi,

Pakan yang diberikan kepada sapi 

potong pada umumnya terdiri dari hijauan dan 

konsentrat. Hijauan merupakan pakan yang 

berasal dari tumbuhan yang diberikan pada 

sapi potong dalam bentuk segar, sedangkan 

konsentrat merupakan pakan penguat yang 

disusun dari biji-bijian dan limbah hasil 

proses industri bahan pangan yang berfungsi 

meningkatkan nilai nutrisi yang rendah agar 

memenuhi kebutuhan normal ternak untuk 

tumbuh dan berkembang secara sehat ,

Pemberian pakan berupa kombinasi 

kedua bahan itu akan memberi peluang 

terpenuhinya nutrien dan biayanya relatif 

murah. Namun, bisa juga terdiri dari hijauan 

ataupun konsentrat saja. Apabila pakan terdiri 

dari hijauan saja maka biayanya relatif murah 

dan lebih ekonomis, tetapi produksi yang 

tinggi sulit tercapai, sedangkan pemberian 

pakan yang hanya terdiri dari konsentrat saja 

akan memungkinkan tercapainya produksi 

yang tinggi, tetapi biaya ransumnya relatif 

mahal dan kemungkinan bisa terjadi 

gangguan pencernaan (Siregar, 2008), 

sehingga pakan dapat dimanfaatkan seefisien 

mungkin dan dapat memenuhi kebutuhan 

ternak bila ditunjang dengan manajemen 

pakan yang baik.  

Manajemen pakan yang baik yaitu yang 

memperhatikan jenis pakan yang diberikan, 

jumlah pakan yang diberikan sesuai 

kebutuhan, imbangan hijauan dan konsentrat, 

serta frekuensi dan cara pemberian pakan 

yang tepat. Bedasarkan hal itu , perlu 

dilakukan kegiatan praktek lapangan tentang 

manajemen pakan ternak sapi potong di Desa 

Sejaro Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten 

Ogan Ilir. 

 


Penelitian ini dilaksanakan Desa Sejaro 

Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan 

Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Selama 2 

bulan  

Metode yang digunakan dalam 

penelitian ini adalah dengan survei melalui 

pengamatan langsung maupun dengan 

melakukan wawancara terhadap peternak di 

Desa Sejaro Sakti dengan memakai  

kuisioner. 

Analisa Data 

Data yang diperoleh dari praktek 

lapangan ini terdiri dari data primer yang 

merupakan data hasil pengamatan langsung di 

lapangan dan data sekunder yaitu data yang 

berasal dari hasil studi pustaka dan laporan-

laporan instansi yang terkait seperti kelurahan 

dan kantor kepala desa. Analisa data yang 

diperoleh dalam kegiatan praktek lapangan  

ini dengan mengidentifikasi masalah dan 

menganalisa data primer maupun sekunder 

untuk mengetahui berbagai masalah dan 

kendala yang dihadapi peternak di Desa 

Sejaro Sakti mengenai manajemen pakan. 

Dari identifikasi masalah di lapangan yang 

memuat keadaan umum wilayah, manajemen 

pakan di desa itu  yang kemudian 

datanya dianalisa secara deskriptif. 

 

Kependudukan dan Mata Pencarian 

Hasil pengamatan di lapangan 

menunjukkan bahwa Desa Sejaro Sakti 

memiliki penduduk yang berjumlah 1.146 

jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak 

50,87% dan penduduk perempuan 49,13% 

dari seluruh jumlah penduduk. Sebagian 

perempuan di desa ini ikut berperan dalam 

peningkatan produktivitas desa, khususnya di 

bidang usaha peternakan. Menurut Mastuti 

dan hidayah (2008) bahwa perempuan juga 

terlibat dalam kegiatan usaha tani, terutama 

usaha keluarga. 

Tingkat Pendidikan di desa Sejaro Sakti 

bervariasi mulai dari TK sampai tingkat 

perguruan tinggi. Tinggi rendahnya 

Pendidikan ini dapat menjadi faktor yang 

mempengaruhi keberhasilan program 

pengembangan Desa Sejaro Sakti, khususnya 

di bidang peternakan. Desa ini memiliki 

penduduk yang sebagian besar belum sekolah 

dan tidak sekolah, yaitu secara berturut-turut 

sebanyak 21,47% dan 15,19%, sedangkan 

pendidikan tertinggi yang dimiliki penduduk 

desa ini adalah S1 dengan persentase yang 

rendah yaitu 0,61% (Tabel 1) 

Tingkat pendidikan yang relatif rendah 

menyebabkan peternakan di Desa Sejaro Sakti 

tidak mengalami perubahan yang bersifat 

progresif. Peternak rakyat di desa ini masih 

mempertahankan kebiasaan beternak mereka 

dengan cara tradisional dan tidak menerima 

kemajuan teknologi peternakan.  


 

Hal ini sesuai dengan pendapat 

Kusumawati (2004), menyatakan bahwa 

tingkat pendidikan sangat mempengaruhi 

kemampuan penerimaan informasi. 

Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah 

akan lebih baik mempertahankan tradisi‐

tradisi yang berhubungan dengan daya 

pikirnya, sehingga sulit menerima informasi 

baru. Lahan di desa ini cocok untuk dijadikan 

sebagai sarana bercocok tanam, sehingga 

banyak penduduk di desa ini yang memiliki 

mata pencarian sebagai petani. Sedangkan 

penduduk dengan mata pencarian utama 

beternak yaitu sebanyak 15,76% (Tabel 2). 

Umumnya, penduduk yang memiliki ternak di 

desa ini memiliki mata pencarian lain sebagai 

mata pencarian utama, dan beternak hanya 

sebagai mata pencarian sampingan dan 

sebagai tabungan yang dapat dijual saat 

memiliki kebutuhan mendesak. Sesuai dengan 

pendapat Siswadi et al., (2001) yang 

menyatakan bahwa usaha peternakan sapi 

potong masih bersifat sebagai usaha 

sampingan dan sapi yang dipelihara 

digunakan sebagai tabungan. 

 


Keadaan Umum Peternakan di Desa 

Sejaro Sakti 

Umumnya, peternak di Desa Sejaro 

Sakti memelihara ternak ruminansia, seperti 

sapi, kerbau, kambing, dan domba, juga 

ternak unggas seperti itik, bebek, dan ayam. 

Namun, di antara jenis-jenis ternak itu , 

ternak yang paling mendominasi di desa ini 

adalah sapi potong dan kerbau. 

Jenis ternak sapi potong yang ada di 

Desa Sejaro Sakti adalah Sapi Bali dan Sapi 

Peranakan Ongole (Tabel 3). Hal ini sesuai 

dengan yang disampaikan Sugeng (2008) 

bahwa sapi-sapi di Indonesia yang dijadikan 

sumber daging adalah Sapi Bali, sapi Ongole, 

sapi Peranakan Ongole, dan sapi Madura, dari 

populasi sapi potong yang ada, yang 

penyebarannya dianggap merata masing-

masing adalah sapi Bali, sapi PO, sapi 

Madura, dan sapi Brahman. Ternak sapi 

potong di Desa Sejaro Sakti berjumlah 294 

ekor dengan sapi dewasa berjumlah 50,66% 

dan pedet 49,32%. Sapi potong betina 

berjumlah 80,62%, sedangkan sapi potong 

jantan berjumlah 19,38% dari jumlah 

keseluruhan (Tabel 3). 

 

 

 

 

 

Sapi potong yang dimiliki peternak di 

Desa Sejaro Sakti sebagian besar adalah milik 

bersama antara beberapa orang, serta milik 

sendiri. Namun, sapi potong yang statusnya 

milik sendiri hanya berjumlah beberapa ekor, 

sesuai dengan pendapat Soeradji (1987) 

menyatakan bahwa skala usaha peternakan 

rakyat digambarkan oleh jumlah kepemilikan 

ternak yang kecil, ternak yang dimiliki petani 

hanya satu sampai beberapa ekor.  

 

Pakan Ternak Sapi 

Pakan memiliki peranan penting bagi 

ternak, baik untuk pertumbuhan ternak muda 

maupun untuk mempertahankan hidup dan 

menghasilkan produk (susu, anak, daging), 

serta tenaga bagi ternak dewasa. Fungsi lain 

dari pakan adalah untuk memelihara daya 

tahan tubuh dan kesehatan. Agar ternak 

tumbuh sesuai dengan yang diharapkan, jenis 

pakan yang diberikan pada ternak harus 

bermutu baik dan dalam jumlah cukup 

(Tilman, 2008). Namun, hal ini tidak 

diterapkan oleh peternak di Desa Sejaro Sakti. 

Pakan ternak diberikan dalam jumlah yang 

terbatas sesuai kemampuan peternak dan 

ketersediaan pakan sehingga tidak diketahui 

apakah pakan yang diberikan itu  sudah 

memenuhi kebutuhan atau tidak. Hal ini 

dikarenakan peternak belum memiliki 

pengetahuan yang mendalam mengenai pakan 

ternak yang baik, sedangkan Siregar (2008) 

menyatakan bahwa pakan yang baik adalah 

pakan yang mengandung zat makanan yang 

memadai kualitas dan kuantitasnya, seperti 

energi, protein, karbohidrat, lemak, vitamin 

dan mineral, yang semuanya dibutuhkan 

dalam jumlah yang tepat dan seimbang 

sehingga bisa menghasilkan produk daging 

yang berkualitas dan berkuantitas tinggi. 

Pakan untuk sapi potong di Desa Sejaro 

Sakti berupa rumput gajah, pucuk tebu, dan 

rumput kumpai. Sedangkan pakan konsentrat 

tidak pernah diberikan kepada ternak. 

Menurut Siregar (2008), ransum ternak 

ruminansia pada umumnya terdiri dari hijauan 

dan konsentrat. Pemberian ransum berupa 

kombinasi kedua bahan itu akan memberi 

peluang terpenuhinya nutrien dan biayanya 

relatif murah. Apabila ransum terdiri dari 

hijauan saja maka biayanya relatif murah dan 

lebih ekonomis, tetapi produksi yang tinggi 

sulit tercapai. Hal itulah yang menyebabkan 

produktivitas sapi potong di desa ini 

terhambat. 

Salah satu jenis hijauan berupa rumput 

yang dijadikan pakan ternak di Desa Sejaro 

Sakti adalah rumput kumpai. Rumput kumpai 

merupakan jenis rumput yang tersedia 

berlimpah dan mudah didapatkan di desa ini 

sehingga peternak menjadikan rumput ini 

sebagai salah satu pakan hijauan. Rumput 

kumpai (Hymenachine amplexicaulis (Rudge) 

Nees) merupakan jenis rumput yang biasanya 

tumbuh di rawa-rawa, jenis tanaman 

menahun, cepat berbiak, membentuk rumpun-

rumpun besar dengan tinggi 0,5-1 m. helai 

daun lebih panjang serta lebih lebar dibanding 

rumput Brachiaria mutica tetapi kaku dan 

kasar dengan panjang daun antara 10-30 cm 

dan lebar mencapai 2,5 cm. daun bawah 

membulat lebar dengan ujung lancip, kuncup, 

daun muda melipat ke dalam daun. Rumput 

ini tumbuh menjulur dengan batang berbuku-

buku. Pada tiap buku ditumbuhi bulu-bulu 

akar serta di dalam batang ada lapisan gabus 

(Sanderson, 2008). 

Jenis rerumputan lain yang digunakan 

sebagai pakan sapi potong di Desa Sejaro 

Sakti adalah rumput gajah. Rumput gajah 

(Pennisetum purpureum) banyak 

dimanfaatkan pada bidang peternakan yaitu 

sebagai pakan ternak seperti sapi, kambing, 

dan kuda.  

Umumnya rumput gajah yang 

digunakan di Sumatera Selatan adalah rumput 

yang tumbuh secara liar. Namun, untuk 

peternakan yang relatif besar maka rumput 

yang digunakan adalah rumput yang sengaja 

ditanaman atau dipelihara secara khusus. Hal 

ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan 

pakan ternak. Rumput-rumputan dipilih 

karena merupakan tanaman yang 

produktifitasnya tinggi dan memiliki sifat 

yang dapat memperbaiki kondisi tanah 

(Gonggo et al., 2008).  

Sapi potong di Desa Sejaro Sakti juga 

diberi pakan dari limbah perkebunan berupa 

pucuk tebu sebagai salah satu pakan. ada  

perkebunan tebu di desa ini sehingga dapat 

dimanfaatkan peternak dengan mengambil 

limbah tebu itu  sebagai pakan sapi 

potong. Pucuk tebu dapat digunakan untuk 

pakan penggemukan sapi. Namun, kandungan 

gizinya kurang memadai untuk pakan ternak, 

sehingga harus ditambah dengan pakan 

suplemen.  

Pucuk tebu yang dimanfaatkan sebagai 

pakan ternak adalah ujung atas batang tebu 

berikut 5-7 helai daun yang dipotong dari tebu 

yang dipanen untuk tebu bibit atau bibit 

giling. Pucuk tebu digunakan sebagai hijauan 

makanan ternak pengganti rumput gajah tanpa 

ada pengaruh negatif pada sapi potong.  

Pucuk tebu yang merupakan limbah 

panenan tebu, potensinya sangat tergantung 

pada luas areal panen, varietas clan produksi 

per satuan luas tanaman tebu. Seperti halnya 

limbah yang mengandung serat pada 

umumnya, pucuk tebu sebagai pakan 

mempunyai faktor pembatas, yaitu kandungan 

nutrisi dan kecernaannya yang sangat rendah, 

pucuk tebu mempunyai kadar serat kasar dan 

kadar lignin sangat tinggi sehingga tidak 

boleh diberikan dalam jumlah banyak 

Peternak di Desa Sejaro Sakti tidak 

menambahkan konsentrat ke dalam pakan 

sapi potong, sedangkan peranan konsentrat 

adalah untuk meningkatkan nilai nutrien yang 

rendah agar memenuhi kebutuhan normal 

hewan untuk tumbuh dan berkembang secara 

sehat.  

Penambahan konsentrat dalam ransum 

ternak merupakan suatu usaha untuk 

mencukupi kebutuhan zat-zat makanan, 

sehingga akan diperoleh produksi yang tinggi. 

Selain itu, dengan penggunaan konsentrat 

dapat meningkatkan daya cerna bahan kering 

ransum, pertambahan bobot badan, serta 

efisien dalam penggunaan ransum (Akoso, 

2009). 

Peternak di Desa Sejaro Sakti tidak 

memberikan konsentrat sebagai pakan ternak 

disebabkan kurangnya pengetahuan tentang 

teknologi pakan sapi potong sehingga 

peternak masih mempertahankan kebiasaan 

beternaknya dan sulit menerima informasi 

tentang teknologi pakan ternak.  

Kusumawati (2004) menyatakan bahwa 

tingkat pendidikan sangat mempengaruhi 

terhadap kemampuan penerimaan informasi. 

Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah 

akan lebih baik mempertahankan tradisi‐

tradisi yang berhubungan dengan daya 

pikirnya, sehingga sulit menerima informasi 

baru. 

 

Manajemen Pakan Ternak 

Manajemen pakan ternak merupakan 

hal yang menunjang berkembang atau 

tidaknya suatu peternakan, jika semakin baik 

manajemen pakan, maka akan semakin baik 

pula produktivitas ternak itu . 

Manajemen pakan yang harus diperhatikan 

adalah sebagai berikut. 

 

Jenis Pakan 

Umumnya, peternak di Desa Sejaro 

Sakti dalam memenuhi kebutuhan pakan sapi 

potong memanfaatkan limbah perkebunan 

seperti pucuk dan daun tebu, serta rumput 

gajah dan rumput kumpai segar yang tumbuh 

di rawa-rawa di desa itu . Pakan yang 

digunakan hanya berupa hijauan dan tidak 

ditambahkan pakan konsentrat, padahal 

konsentrat merupakan pakan penguat yang 

digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi 

ternak. Pemberian pakan hijauan saja pada 

penggemukan sapi tidak akan memberikan 

pengaruh yang signifikan terhadap 

pertambahan bobot badan yang tinggi dalam 

waktu yang singkat. Pertambahan bobot sapi 

lebih tinggi dengan waktu penggemukan yang 

relatif singkat bila sapi diberi ransum yang 

terdiri dari konsentrat dan hijauan 

Peternak di desa Sejaro Sakti tidak 

memiliki pengetahuan yang mendalam 

tentang manajemen pakan dan jenis pakan 

ternak yang memiliki kandungan nutrisi dan 

mutu yang baik terhadap ternak, sehingga 

peternak tidak memperhatikan pakan yang 

diberikan pada ternaknya apakah sudah 

mencukupi kebutuhan atau tidak. Padahal, 

mutu, jumlah pakan, dan cara-cara 

pemberiannya sangat mempengaruhi 

kemampuan produksi sapi potong, untuk 

mempercepat penggemukan, selain dari 

rumput perlu juga diberi pakan penguat 

berupa konsentrat yang merupakan campuran 

berbagai bahan pakan umbi-umbian, sisa hasil 

pertanian, sisa hasil pabrik dan lain-lain yang 

mempunyai nilai nutrien cukup dan mudah 

dicerna  

 

Jumlah Pemberian 

Ternak di Desa Sejaro Sakti diberi 

pakan dalam jumlah yang sangat terbatas, 

bahkan kurang dari kebutuhan ternak. 

Peternak tidak mengukur pakan yang 

diberikan itu .  

Pakan itu  hanya diberikan sesuai 

ketersediaan dan tidak diketahui apakah 

pakan yang diberikan itu  mencukupi 

kebutuhan atau tidak, baik secara kualitas 

maupun kuantitasnya. Hijauan yang diberikan 

kepada sapi potong itu  yaitu sekitar 5 kg 

per ekor sapi potong. Hal ini tidak sesuai 

dengan rata-rata kebutuhan konsumsi pakan 

bagi sapi potong yaitu 10% dari berat badan ,

 

Frekuensi Pemberian 

Ternak di Desa Sejaro Sakti diberi 

pakan 1 kali sehari pada sore hari dalam 

jumlah yang sangat terbatas yang berfungsi 

sebagai pakan tambahan setelah ternak 

digembalakan selama seharian. Pemberian 

pakan yang terbatas ini disebabkan pakan 

yang disediakan peternak berjumlah terbatas. 

Seharusnya pemberian hijauan dilakukan 

secara bertahap dan minimal 4 kali dalam 

sehari semalam.  

Frekuensi pemberian hijauan yang lebih 

sering dilakukan dapat meningkatkan 

kemampuan sapi itu untuk mengonsumsi 

ransum dan juga meningkatkan kencernaan 

bahan kering hijauan, peningkatan kecernaan 

bahan kering ransum akan menambah jumlah 

zat-zat gizi yang dapat dimanfaatkan untuk 

produksi, termasuk pertumbuhan ,

 

Cara Pemberian 

Peternak di Desa Sejaro Sakti 

menerapkan cara pemberian pakan dengan 

kombinasi antara penggembalaan (pasture 

fattening) dan kereman (dry lot fattening), 

yaitu dengan cara menggembalakan sapi di 

padang penggembalaan dan saat sapi 

dikandangkan diberi pakan tambahan dengan 

cara dijatah (Tangendjaja, 2009). Cara ini 

merupakan cara pemberian pakan yang 

terbaik diantara ketiga cara itu , tetapi 

walaupun kombinasi antara kedua cara ini 

baik dilakukan, peternak di ini belum 

memberikan pakan yang cukup, baik secara 

kualitas maupun kuantitas karena jumlah 

pakan yang diberikan hanya sesuai 

ketersediaan.  

Kesimpulan dari penelitian ini adalah 

peternak rakyat di Desa Sejaro Sakti belum 

menerapkan manajemen pakan yang baik 

terhadap ternak sapi potong. Hal ini 

dikarenakan kurangnya pengetahuan peternak 

tentang manajemen pakan yang baik. 



Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lampung 

adalah instansi yang bergerak dibidang pengolahan dan 

pengembangan hewan yang ada di Provinsi Lampung. 

Pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi 

Lampung monitoring perkembangan sapi dilakukan 

dengan mengelola data penilaian tumbuh kembang sapi. 

Data yang digunakan dalam monitoring perkembangan 

sapi adalah dokumen yang didalamnya terdapat isi atau 

spesifikasi yang terdiri dari beberapa sapi dalam 

peternakan, yang termasuk dalam spesifikasi sapi yaitu 

No. Eartg, nama sapi, jenis kelamin, tanggal lahir, berat 

badan, tinggi pundak, lebar dada dan panjang badan. 

Pendataan dan penilaian itu  dilakukan dengan 

penulisan di lembaran kertas dan kemudian diarsipkan. 

Agar monitoring perkembangan sapi menjadi lebih baik, 

cepat, dan terintegritas maka dibutuhkan sebuah sistem 

informasi. Pengembangan sistem informasi monitoring 

sapi ini dimaksudkan untuk membantu pegawai atau 

Kelompok Jabatan Fungsional dalam proses pengolahan 

data perkembanganan sapi, khususnya dalam penilaian 

tumbuh kembang sapi pada saat di Lokasi Uji 

Perfomance, serta menghasilkan keluaran atau 

infromasi akurat berupa Laporan Perkembangan Sapi 

dan Laporan Keseluruhan yang akan diserahkan pada 

Kepala Dinas. Aplikasi monitoring perkembangan sapi 

yang dikembangkan dilengkapi dengan informasi 

spesifikasi sapi pada form perkembangan sapi yang 

secara otomatis tervalidasi berdasar  SNI tumbuh 

kembang sapi pada sistem.  

Sistem pengolahan data merupakan kumpulan dari sub–

sub yang saling berhubungan satu sama lain dengan 

tujuan untuk mengolah data yang berkaitan dengan 

masalah menjadi sistem informasi yang diperlukan untuk 

membantu dalam pengambilan keputusan. Dalam 

pengambilan keputusan organisasi dapat memanfaatkan 

teknologi yang ada atau melalui sistem tertentu  ,Sistem informasi terdiri dari satuan 

komponen yang saling berhubungan yang 

mengumpulkan (atau mendapatkan kembali), 

memproses, menyimpan, dan mendistribusikan 

informasi untuk mendukung pengambilan keputusan dan 

kendali dalam suatu organsasi , Hal 

ini sangat dibutuhkan dalam organisasi dalam 

menjalankan pengelolaan informasi yang dibutuhkan, 

salah satunya pada proses monitoring. Monitoring 

merupakan  langkah untuk mengkaji apakah kegiatan 

yang dilaksanakan telah sesuai dengan rencana, 

mengidentifikasi masalah yang timbul agar langsung 

dapat diatasi, melakukan penilaian apakah pola kerja dan 

manajemen yang digunakan sudah tepat untuk mencapai 

tujuan, mengetahui kaitan antara kegiatan dengan tujuan 

untuk memperoleh ukuran kemajuan  ,

Begitu juga pada Balai Pembibitan Ternak dan Pakan 

(BPTP) Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan 

Lampung yang merupakan instansi daerah bergerak 

dalam bidang pengolahan dan pengembangan beberapa 

jenis hewan yang ada diseluruh Lampung membutuhkan 

monitoring dan pengolahan data. Salah satunya pada 

monitoring perkembangan sapi.  

Data perkembangan sapi adalah beberapa dokumen yang 

didalamnya terdapat isi atau spesifikasi yang terdiri dari 

beberapa sapi dalam peternakan, yang termasuk dalam 

spesifikasi sapi yaitu No. Eartg, nama sapi, jenis 

kelamin, tanggal lahir, berat badan, tinggi pundak, lebar 

dada dan panjang badan. Pendataan dan penilaian 

itu  dilakukan dengan penulisan di lembaran kertas 

dan kemudian diarsipkan. Dengan cara itu  maka 

akan dibutuhkan waktu yang lama dalam pengolahan 

data dan penilaian tumbuh kembang sapi. Agar 

monitoring perkembangan sapi menjadi lebih baik, 

cepat, dan terintegritas dari semua pegawai yang ada 

khususnya Kelompok Jabatan Fungsional yang 

memegang peran penting dalam pengolahan data 

perkembangan sapi di lokasi uji perfomance maka 

dibutuhkan sebuah sistem informasi yang dapat 

memonitoring dan mengelola data perkembangan sapi 

agar menghasilkan informasi yang tepat waktu, akurat 

dalam pembuatan dan penyerahan laporan tumbuh 

kembang sapi yang akan diserahkan pada kepala dinas.  

 


Analisis kebutuhan perangkat lunak adalah proses 

mendapatkan informasi, model, spesifikasi sistem yang 

diinginkan pengguna  , Analisis  

kebutuhan sistem perangkat lunak menentukan apa yang 

harus dilakukan sistem dan mendefinisikan batasan 

batasan operasi dan implementasinya agar dapat 

mengomunikasikan secara tepat semua fungsi yang 

diberikan ,Analisis kebutuhan yang 

jelas dan benar sesuai dengan apa yang diinginkan 

pengguna akan membantu dalam pengembangan dan 

pembuatan perangkat lunak. Analisis kebutuhan sistem 

dapat diklasifikasikan sebagai persyaratan fungsional 

dan non-fungsional atau sebagai persyaratan domain 

yang mewakili dari sistem ini sendiri ,

a) Analisis Kebutuhan Fungsional 

Analisis kebutuhan fungsional merupakan pernyataan 

layanan yang harus diberikan kepada sistem agar dapat 

melakukan keperilakuannya dalam bereaksi terhadap 

masukan tertentu dan pada situasi tertentu . Kebutuhan fungsional harus dapat 

mengilustrasikan secara terperinci fitur-fitur yang ada 

pada sistem yang dikembangkan. Berikut ini adalah 

analisis kebutuhan fungsional sistem informasi 

monitoring perkembangan sapi : 

1. Sistem mampu melakukan penginputan data sapi. 

Kelompok Jabatan Fungsional menginputkan 

spesifikasi sapi, meliputi : kode kelompok, nama 

kelopmpok, alamat,nama sapi, no eartg, jenis 

kelamin, tanggal lahir, berat badan, tinggi pundak, 

lebar dada dan panjang badan pada form data sapi. 

2. Sistem mampu melakukan penilaian tumbuh 

kembang sapi. 

Untuk melakukan penilaian tumbuh kembang sapi 

Kelompok Jabatan Fungsional menginputkan no 

eartg, nama sapi, jenis kelamin, tanggal lahir, berat 

badan, tinggi pundak, lebar dada dan panjang badan 

pada form penilaian. 

3. Sistem mampu menampilkan laporan perkembangan 

sapi. 

Kelompok Jabatan Fungsional melakukan penilaian 

pada form laporan hasil perkembangan sapi 

bedasarkan standar SNI dan diproses menjadi laporan 

perkembangan sapi yang akan diserahkan ke Kepala 

BPTP dan Kepala Dinas. 

 

b) Analisis Kebutuhan Non-Fungsional 

Untuk persyaratan non-fungsional lebih mengarah 

kepada batasan layanan atau fungsi yang diberikan 

sistem . Dokumen kebutuhan 

non-fungsional ini mencakup batasan waktu, proses 

pengembangan dan standarisasi keluaran sebuah sistem. 

Berikut ini adalah analisis kebutuhan non-fungsional 

sistem informasi monitoring perkembangan sapi yang 

akan dikembangkan : 

1. Operational 

Menggunakan sistem operasi Microsoft Windows 10, 

bahasa Pemrograman PHP, tools editor dengan 

Adobe Dreamweaver dan database MySql 

2. Keamanan 

Sistem Aplikasi dan data base dilengkapi dengan 

password. 

3. Informasi 

Form laporan hasil yang terdapat pada dashboard 

menampilkan perkembangan sapi yang sudah 

dilakukan penilaian oleh Kelompok Jabatan 

Fungsional. 

 

Perancangan Sistem 

Dalam penelitian ini rancangan sistem digambarkan 

dengan Data Flow Diagram (DFD). DFD atau DAD 

(Diagram Arus Data) memperlihatkan gambaran tentang 

masukanproses-keluaran dari suatu sistem/perangkat 

lunak, yaitu obyek-obyek data mengalir ke dalam 

perangkat lunak, kemudian ditransformasi oleh elemen-

elemen pemrosesan, dan obyek-obyek data hasilnya akan 

mengalir keluar dari sistem/perangkat lunak ,DFD pada penelitian ini terlihat pada gambar 1, 

dimulai dari Kelompok Jabatan Fungsional (KJF) yang 

menginputkan data daerah (kabupaten, kecamatan dan 

desa) pada tabel daerah di dalam proses 1.0, 

menginputkan data kelompok (nama kelompok dan 

alamat) dalam proses 2.0, menginputkan data sapi 

(nomor eartgh, nama sapi, tanggal lahir, jenis kelamin, 

nomor pejantan, nama pejantan, nomor betina dan nama 

betina) dalam proses 3.0, menginputkan spesifikasi sapi 

(tanggal pencatatan, umur sapi, berat badan, tinggi 

pundak, lebar dada dan panjang badan). Kemudian 

dicetak berbentuk laporan perkembangan sapi yang 

diterima oleh Kepala Balai Pembibitan Terrnak dan 

Pakan, serta laporan keseluruhan (laporan perkembangan 

sapi berdasar  kelas, berdasar  kelompok petrnak 

dan grafik) yang diterima oleh Kepala Dinas. 

 


 

. Implementasi Sistem 

Pada tahap implementasi dilakukan coding berdasar  

dari perancangan dan analisa kebutuhan yang telah 

ditetapkan sebelumnya. Pada penelitian ini implementasi 

coding dengan menggunakan bahasa Pemrograman PHP, 

tools editor dengan Adobe Dreamweaver dan database 

MySql. Tampilan menu utama hasil darim implementasi 

sistem monitoring perkembangan sapi terlihat pada 

gambar 2.  

 

Langkah awal dalam melakukan penilaian tumbuh 

kembang sapi terlebih dahulu melakukan penginputan 

data daerah, yaitu pengguna harus masuk kedalam menu 

daerah dengan menginputkan nama kabupaten. Tahap 

kedua dalam pengisian data daerah adalah pengguna 

harus menginputkan nama kecamatan, dengan cara 

mamilih nama kabupaten kemudian menginputkan nama 

kecamatan. Kemudian untuk tahap terakhir dalam 

pengisian nama daerah yaitu pengguna menginputkan 

nama desa dengan terlebih dahulu memilih nama 

kabupaten dan nama kecamatan. sesudah  itu 

menambahkan nama desa yang akan masuk kedalam 

daftar nama desa yang terdapat pada bagian form sebelah 

kanan. Pada tabel desa terdapat kolom optoin yang berisi 

tombol edit untuk mengubah nama desan dan tombol 

hapus untuk menghapus nama desa seperti terlihat pada 

gamabar 3. 

Gambar 3. Menginputkan Data Daerah  

sesudah  menyelesaikan langkah pertama, pengguna 

melanjutkan  langkah kedua yaitu dengan menginputkan 

nama kelompok dengan cara  memilih nama kabupaten, 

nama kecamatan, nama desa yang telah diinputkan 

sebelumnya kemudian mengisikan nama kelompok 

seperti pada gambar 4 berikut ini. 

 

Gambar 4. Menginputkan Data Kelompok  

sesudah  mengisi data daerah dan mengisi data kelompok, 

maka langkah selanjutnya pengguna dapat menginputkan 

data peternak dan data sapi. Untuk menginputkan data 

peternak, pengguna dapat menginputkan nama peternak  

beserta mengisi alamat yang sudah terdaftar pada data 

daerah saat penginputan tahap awal pada tombol tambah 

peternak. sesudah  masuk pada tombol tambah peternak 

maka akan muncul form sepetri pada gambar 5. 

 

Gambar 5. Mengisi Data Peternak 

sesudah  menginputkan data peternak langkah selanjutnya 

yaitu mengisi data sapi. Tahap pengisian data sapi yaitu, 

pada saat sesudah  melakukan input data peternak dan data 

peternak masuk dalam tabel peternak pada kolom option 

tabel peternak terdapat tombol lihat sapi. Pengguna 

masuk dalam tombol lihat sapi kemudian menginputkan 

data sapi seperti gambar 6 berikut ini. 


sesudah  pengguna menginputkan data sapi pada tabel 

sapi yang terdapat pada bagian kanan form sapi,  maka 

pengguna masuk dalam tombol perkembangan sapi yang 

dapat pada kolom tabel data sapi seperti gambar 7 

dibawah ini. 

 

sesudah  itu pengguna menginputkan spesifikasi sapi 

seperti gambar lanjutan. Kemudian sesudah  pengguna 

menginputkan spesifikasi sapi maka data spesifikasi 

masuk dalam tabel perkembangan sapi. Pada tabel 

perkembangan sapi terdapat tombol print perkembangan 

sapi untuk hasil output penilaian sapi. Untuk laporan, 

pada sistem informasi monitoring perkembangan sapi ini 

terdapat laporan perkembangan sapi berdasar  

kelompok ternak, berdasar  kelas sapi dan grafik 

perbandingan data sapi.  

 

Pada Grafik perbandingan data sapi terdiri dari grafik 

perbandingan data perkembangan sapi berdasar  

sapi/kelas, jenis kelamin, peternak dan kabupaten. 

 

. Pengujian Sistem  

Sistem Informasi yang telah dikembangkan, sebelum 

digunakan oleh pengguna maka harus bebas dari 

beberapa kesalahan - kesalahan. Oleh karena itu, aplikasi 

harus diuji terlebih dahulu agar dapat menemukan 

kesalahan – kesalahan. Pada penelitian ini menggunakan 

metode pengujian black box testing. Black box testing 

berfokus pada spesifikasi fungsional dari perangkat 

lunak  . Tester dapat 

mendefinisikan kumpulan kondisi input dan melakukan 

pengujian terhadap spesifikasi fungsional yang telah 

ditentukan pada tahap analisa. Pengujian black box dapat 

dilihat pada tabel 1 dibawah ini : 


berdasar  pembahasan yang telah diuraikan maka 

dapat disimpulkan : 

1. Untuk mempermudah dalam memonitoring data 

perkembangan sapi kelompok jabatan fungsional 

dapat  menginputkan data daerah, data kelompok 

dan data peternak serta spesifikasi sapi pada form 

perkembangan sapi yang secara otomatis tervalidasi 

berdasar  SNI tumbuh kembang sapi pada sistem. 

Kemudian Kelompok Jabatan Fungsional dapat 

mencetak laporan data perkembangan sapi 

berdasar  kelas, kelompok ternak dan grafik pada 

form laporan. Sehingga laporan perkembangan sapi 

dapat dihasilkan menjadi informasi yang lebih 

akurat. 

2. berdasar  identifikasi masalah dan analisis 

kebutuhan, sistem mampu menginputkan data sapi, 

melakukan penilaian tumbuh kembang sapi, dan 

mampu menampilkan laporan tumbuh kembang sapi 

berupa laporan berdasar  kelas, laporan 

berdasar  kelompok ternak dan grafik. 

3. berdasar  hasil pengujian black box testing 

sistem telah dapat digunakan karena hasil pengujian 

menunjukan fungsi-fungsi pada sistem telah berjalan 

sesuai dengan fungsional sistem yang telah 

ditetapkan.