ternak sapi 8
Penelitian ini mengungkapkan tentang budaya Kerapan Sapi Madura sebagai salah satu Budaya asli Madura yang
penting untuk dilestarikan. Budaya Kerapan Sapi masih terus bertahan hingga saat ini karena Budaya Kerapan Sapi
dapat menciptakan solidaritas. Proses terbentuknya solidaritas dalam Budaya Kerapan Sapi melalui unsur-unsur
tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses terbentuknya Modal Sosial warga Madura.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori sosial-kapitalis dengan paradigma humanistik, teori nilai
budaya dengan paradigma sosial sains dan teori dampak sosial dengan paradigma sosial.Metode yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian studi kasus. Hasil penelitian ini adalah
Budaya Kerapan Sapi sebagai modal sosial warga Madura dapat terbentuk melalui 3 aspek penting, yaitu pertama,
aspek penyelenggaraannya yang terbagi atas tiga tahapan yaitu persiapan, pelaksanaan, dan setelah pelaksanaan. Kedua,
aspek pihak yang terlibat yang meliputi: pemilik sapi kerapan, joki, pengibar bendera besar, dan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Bangkalan. Ketiga aspek kepentingan yang terbagi atas empat kepentingan inti yaitu:
kepentingan sosial, kepentingan ekonomi, kepentingan politik dan kepentingan budaya. Simpulan dari penelitian ini
bahwa Budaya Kerapan Sapi dapat menciptakan solidaritas sebagai modal sosial melalui unsur-unsur yang terbentuk
dari proses yaitu unsur dari tindakan, unsur dari perilaku, unsur dari simbol, dan unsur dari perkataan.
Kerapan sapi merupakan budaya asli dari tanah
Madura yang sudah dikenal sejak abad ke-14 M. Pada
zaman dahulu sapi merupakan satu-satunya alat
Transportasi tercepat yang ada di Madura dan banyak
digunakan oleh warga , khususnya warga elit
atau kerajaan. Kerapan sapi ini merupakan salah satu
contoh budaya dan hiburan bagi warga Madura yang
telah turun temurun dilaksanakan. Kerapan sapi dibuat
untuk membantu warga Madura dalam melakukan
interakasi dan komunikasi dengan orang lain. Interaksi
dan komunikasi yang terjadi melalui Budaya Kerapan
Sapi mengakibatkan terbentuknya kelompok sosial.
Aspek menarik dari kelompok sosial adalah cara
yang dilakukan dalam mengendalikan anggota-
anggotanya. Hal yang penting dari kelompok sosial
terkait tentang kekuatan-kekuatan yang saling
berhubungan dan berkembang serta memiliki peranan
dalam mengatur tindakan-tindakan anggotanya untuk
mencapai tata tertib demi kebaikan kelompok. Kelompok
sosial yang terbentuk dari interaksi dan komunikasi antar
individu atau manusia didasarkan atas hubungan
kekerabatan, usia, seks, dan terkadang atas dasar
perbedaan pekerjaan atau kedudukan (Soerjono,
2013:107). Keanggotaan masing-masing kelompok sosial
tadi memberikan kedudukan atau prestise tertentu sesuai
dengan adat istiadat dan lembaga kewarga an di
dalam warga .Namun, yang terpenting adalah
keanggotaan pada kelompok sosial tidak selalu bersifat
sukarela.
Solidaritas merupakan suatu jenis tatanan sosial
yang memandang warga sebagai sebuah komponen
yang berbeda dan memiliki hubungan satu sama lain.
Solidaritas tersebut dibagi menjadi solidaritas mekanik
dan solidaritas organik.Solidaritas mekanik terdapat
dalam warga pedesaan, sedangkan solidaritas
organik terdapat dalam warga perkotaan.Solidaritas
mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif
bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan dan
kebudayaan.warga yang ditandai dengan solidaritas
mekanik menjadi satu dan padu, karena seluruh orang
adalah generalis (George Ritzer, 2008:90-91).
Ciri-ciri atau karakteristik tersebut membuktikan
bahwa warga Madura menganut solidaritas mekanik
meskipun tidak harmonis yang dibuktikan dengan adanya
sikap warga Madura dalam Budaya Karapan Sapi
yang tidak memandang untung rugi dari pelaksanaan
Budaya Karapan Sapi. Oleh sebab itu, Penelitian ini
menjadi hal yang sangat penting karena adanya beberapa
alasan yaitu:
Pertama, warga Madura tergolong sebagai
warga tradisional karena memiliki sikap-sikap yang
bersifat komunal dan kolektif.Namun, jika ditinjau secara
historis warga Madura sulit melakukan komunikasi
diluar pekerjaan.Hal ini mengakibatkan warga
Madura menjadi sulit unuk berinteraksi satu dengan
lainnya, sehingga memicu renggangnya hubungan
diantara warga Madura.Kerenggangan hubungan ini
dapat teratasi melalui Budaya Karapan Sapi.Budaya
Karapan Sapi menjadi Budaya yang dikenal secara luas
bahkan hingga ke Mancanegara.
Kedua, pada fase modern warga Madura
menciptakan tradisi baru yang disebut dengan budaya
merantau. Data primer yang diperoleh tahun 2007 oleh
Latief Wiyata membuktikan bahwa dari 13,5 juta jiwa
penduduk Madura hanya 3 juta jiwa saja yang tinggal di
Madura, sedangkan yang lainnya pergi untuk merantau
artinya 77,8% penduduk Madura pergi merantau dan
hanya 22,2% penduduk Madura saja yang tinggal di
Madura. Budaya Merantau inilah yang memicu
terjadinya ketidakharmonisan warga Madura dalam
berinteraksi.Namun, ketidakharmonisan ini justru dapat
teratasi melalui Budaya Kerapan Sapi.
Terakhir, Budaya Kerapan Sapi dapat
mengintegrasikan nilai-nilai tradisional kedalam nilai-
nilai modern.Contoh konkritnya adalah Budaya Kerapan
Sapi yang digunakan sebagai alat untuk memperoleh
kehormatan dan kebanggan (nilai modern), dapat
dibuktikan dengan pemberian semangat dan dukungan
melalui alat-alat tradisional seperti membunyikan kaleng-
kaleng bekas dan adanya keleles pada sapi sebagai alat
tradisional khas Madura.Selain itu, Budaya Kerapan Sapi
identik dengan kekerasan terhadap hewan yang
memicu MUI mengharamkan pelaksanaan Budaya
Kerapan Sapi yang menggunakan kekerasan.
Penelitian yang dilakukan tentang budaya merantau
menggunakan teori sosial- kapitalis dengan paradigma
humanistik yang bertujuan untuk memahami respon
subjektif individual. Humanistik menekankan pada “di
dalam sini” dan cenderung tidak memisahkan “siapa
seseorang” menunjukkan “apa yang dilihatnya” karena
penekanannya pada respon subjektif (Burhan, 2009:243).
Paradigma ini sangat tepat diterapkan dalam penelitian
kualitatif yang cenderung berupa data diskriptif dengan
subjek penelitian budaya warga . Dengan demikian,
paradigma humanistik berupaya mencari fakta yang
dapat dipahami.
berdasar hal ini, maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah tentang proses terbentuknya Modal
Sosial melalui Budaya Kerapan Sapi warga Madura
Khususnya di Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan.
Tujuannya adalah untuk mengetahui proses terbentuknya
Modal Sosial melalui Budaya Kerapan Sapi yang ditinjau
Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga madura
dari 3 aspek penting yaitu aspek penyelenggaraan, aspek
yang terlibat dan aspek kepentingan.
Sepulu sebuah Kecamatan di Kabupaten Bangkalan,
ProvinsiJawa Timur, Indonesia.Daerah ini terletak di
Pulau Madura. Dari sejarahnya nama Sepulu ada dua
versi, (1) Sepulu berasal dari 1 pulau kecil (se-pulau)
yang konon daerah ini jika air laut pasang maka
membentuk pulau kecil sehingga warga memberi
nama Sepulau (Sepulu). (2) Sepulu berasal dari jumlah
sumur-sumur yang dulunya dikeramatkan dan biasa
dijadikan sumber air minum oleh warga , rasanya
enak dibandingkan sumber air lainnya, sepanjang tahun
airnya takpernah kering. Sumur-sumur itu berjumlah 10
Sepulu (Sepulu) sumur (sumber), sehingga kerena air
merupakan sumber kehidupan manusia maka
dinamakanlah desa tersebut Sepulu. Sampai saat ini
sumur-sumur yang masih dijadikan sumber air minum
sebagian masih ada dan difungsikan dengan baik
Jumlah penduduk Kecamatan Sepulu sebanyak
38.809 jiwa, terdiri dari laki-laki 18.467 dan perempuan
20.340 jiwa. Kecamatan Sepulu memiliki pantai Tangket
yang sangat indah sebagai daya tarik tersendiri di
Kecamatan Sepulu sebelah barat. Mata pencaharian
utamanya adalah petani sebesar 13.826 orang sedangkan
agama mayoritasnya adalah islam. Dengan tingkat
pendidikan yaitu tamat SD dan yang memasuki usia kerja
12.185 orang.
Fungsi Budaya Kerapan Sapi
Budaya menurut Titin Listiyani (2011) dalam jurnal
penelitiannya mengungkapkan bahwa setiap kebudayaan
senantiasa berintikan seperangkat cita-cita, norma-norma,
pandangan, aturan, pedoman, kepercayaan, sikap dan
sebagainya yang dapat mendorong kelakuan manusia.
Penelitian ini menjelaskan jika, Kerapan Sapi sebagai
budaya asli Madura merupakan hasil dari pandangan,
aturan, kepercayaan, dan sikap yang mendorong
warga Madura melakukan kegiatan yang sangat
unik melalui Budaya Kerapan Sapi. Budaya Kerapan
Sapi memiliki beberapa fungsi, antara lain: a) fungsi
Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga madura
328
sosial, b) fungsi budaya, c) fungsi hiburan, dan d) fungsi
politik.
Fungsi Sosial
Perlombaan Budaya Kerapan Sapi pada warga
Madura yang daerahnya beriklim tropis sangat ditunggu-
tunggu karena dengan adanya Budaya Kerapan Sapi,
maka warga Madura akan saling berinteraksi dan
berkomunikasi satu dengan yang lain. Berlangsungnya
proses interaksi sosial didasarkan pada berbagai faktor
penting salah satunya adalah faktor sugesti (Soerjono,
2013:57). Faktor sugesti merupakan adanya pengaruh
yang dilakukan oleh seseorang yang dianggap memiliki
kedudukan dan berwibawa dalam suatu kelompok
warga .Menurut, sejarahnya Budaya Kerapan Sapi
diciptakan oleh Pangeran Katandur sebagai upaya untuk
mempersatukan warga Madura yang berprofesi
sebagai warga petani.
warga Madura yang berprofesi sebagai petani
pada waktu itu, hanya berinteraksi dan berkomunikasi
ketika musim panen tiba. Namun, setelah itu warga
Madura akan terpisah dan tidak saling berkomunikasi.
Untuk itu, Pangeran Katandur berinisiatif untuk
menciptakan Budaya Kerapan Sapi sebagai alat untuk
memperkuat hubungan persaudaraan warga
Madura.Oleh sebab itu, Budaya Kerapan Sapi menjadi
budaya khas Madura dan sangat diminati oleh warga
Madura karena memiliki fungsi untuk memperkuat
hubungan solidaritas sebagai modal sosial warga
Madura.
Selain, berfungsi untuk memperkuat solidaritas
warga Madura, Budaya Kerapan Sapi dapat
dijadikan sebagai alat untuk memperoleh kehormatan
atau kebanggan dalam masyararakat Madura.Hal
mengenai Budaya Kerapan Sapi dapat dijadikan sebagai
alat untuk memperoleh kehormatan atau kebanggan
dipaparkan oleh Bapak H. Ghozali (49 tahun) sebagai
pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru Kabupaten
Bangkalan.
Biaya besar yang dikeluarkan untuk Budaya
Kerapan Sapi tidak saya pedulikan, karena hal ini
sudah menjadi hobi bagi saya yang sudah mendarah
daging dan sebagai upaya untuk mempertahankan
kebudayaan.Selain itu, memiliki sapi kerapan
merupakan suatu kebanggan bagi warga
Madura termasuk saya sebagai pemilik sapi kerapan.
Dari pemaparan Bapak H. Ghozali (49 tahun)
sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru
Kabupaten Bangkalan tersebut bahwa Budaya Kerapan
Sapi memiliki fungsi yang sangat tinggi dalam aspek
sosial yaitu sebagai media untuk memperkuat solidaritas
warga Madura dan juga sebagai suatu kebanggaan
dan kehormatan dalam stratifikasi sosial warga
Madura. Fungsi dalam memperkuat solidaritas
warga Madura dan sebagai media untuk
memperoleh kebanggaan merupakan suatu modal sosial
yang harus terus dipertahankan agar Budaya Kerapan
Sapi dapat terus dilestarikan sebagai budaya asli
warga Madura
Fungsi Budaya
Fungsi budaya dari Budaya Kerapan Sapi tidak lain
adalah sebagai kebudayaan orisinil warga Madura.
Kerapan Sapi merupakan suatu persitiwa budaya yang
menunjukkan identitas daerah Madura sebagai budaya
asli yang perlu dilestarikan dan dicermati dari aspek
waktu baik pada saat persiapan, saat pelaksanaan, dan
setelah pelaksanaan dengan melibatkan warga
Madura sebagai pemilik sapi kerapan, penonton, dan joki
kerapan sapi. Budaya Kerapan Sapi dikatakan sebagai
sebuah kebudayaan, karena lahir dari adanya faktor
sugesti yang mengakar dan kemudian disepakati oleh
warga Madura serta dapat melahirkan kearifan
dalam warga Madura dan membentuk pola pikir
perilaku warga Madura.
Dilihat dari segi budaya, Kerapan Sapi berpengaruh
terhadap penduduk Kecamatan Sepulu Kabupaten
Bangkalan terutama bagi generasi mudanya.Hal ini
disebabkan oleh Budaya Kerapan Sapi yang merupakan
budaya pewarisan dan turun-temurun dari generasi ke
generasi.Kecanggihan media komunikasi dan informasi
yang semakin canggih tidak meurunkan semangat
generasi Madura yang memiliki ketertarikan sangat tinggi
terhadap Budaya Kerapan Sapi.Hal ini terbukti dengan
Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2014, HAL 324-342
329
banyaknya pemilik kerapan sapi yang tertarik dengan
Budaya Kerapan Sapi karena orangtuanya yang juga
pemilik kerapan sapi.Mengenai Budaya Kerapan Sapi
sebagai budaya yang diwariskan dipaparkan oleh Bapak
H. Ghozali (49 tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi
Desa Banyu Biru Kabupaten Bangkalan.
Saya menggeluti Budaya Kerapan Sapi ini sejak
tahun 1992.Dulu orang tua saya memelihara sapi
kerapan.Ketika itu saya masih kecil. Sekarang saja
anak saya yang masih kelas 6 SD sudah sangat
menyenangi dan dia nantinya yang akan
melanjutkan hobi saya ini untuk melestarikan
Budaya Kerapan Sapi.
Dari pemaparan Bapak H. Ghozali (49 tahun)
sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru
Kabupaten Bangkalan tersebut bahwa Budaya Kerapan
Sapi Madura merupakan budaya asli Madura sebagai
identitas daerah Madura yang harus terus dipelihara dari
generasi ke generasi berikutnya, agar Budaya Kerapan
Sapi tersebut tidak punah dan dapat terus dilestarikan
sebagai suatu budaya yang orisinil dan turun-temurun
untuk membentuk pola pikir perilaku warga
Madura.kebudayaan akan selalu dapat bertahan apabila
nilai-nilai yang ada dalam budaya tersebut diyakini dan
terus dilestarikan dari generasi ke generasi selanjutnya
atau adanya kontak nilai (Taliziduhu 128:2005)
Nilai budaya yang terkandung dalam Budaya
Kerapan Sapi sebenarnya dapat membentuk pola dalam
tatanan kehidupan warga .Tatanan tersebut baik yang
meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun
politik.Dalam aspek Budaya Kerapan Sapi dapat
membentuk suatu keunikan yaitu pola perilaku pemilik
sapi yang lebih menyayangi sapinya dengan bentuk
perawatan sapi yang sangat luar biasa, sehingga
membutuhkan biaya yang besar.Pola perilaku pemiliki
sapi inilah yang memicu terjadinya pergeseran nilai
dalam warga Madura yang disebabkan oleh adanya
faktor sugesti dari pihak yang memiliki kedudukan dan
berwibawa.
Fungsi Hiburan
Fungsi hiburan dari Budaya Kerapan Sapi adalah
sebagai sarana hiburan, menghilangkan stress, dan
berrsantai yang menjadikan penonton menjadi lebih
bersemangat dan optimis kembali untuk melakukan
kegiatannya sehari-hari.Salah seorang penonton Kerapan
Sapi berpendapat, terutama yang menyenangi adu
kecepatan sapi kerapan bahwa ketika melihat sapi
kerapan berlari kencang, maka dia merasa semangat
untuk terus menyaksikan perlombaan tersebut hingga
selesai. Jika, tidak akan merasa kepikiran tentang siapa
yang akan menjadi juara dalam kerapan sapi.
warga Madura dikenal dengan warga
yang memiliki semangat untuk terus bekerja keras dan
tidak mudah putus asa dan memiliki jiwa kompetisi yang
sangat baik. berdasar Jurnal Penelitian dari Wahyu
Purhantara (2010) Hasil penelitian yang diperoleh oleh
Wahyu menyatakan bahwa jumlah perantau tahun 2010,
sebanyak 52,29% dan 3.541.427 diantaranya
berpenghasilan 2 juta-3juta/ bulan serta 68% warga
Madura berpenghasilan diatas 2 juta. Selain itu, 62,79%
warga Madura yang merantau memiliki jiwa
kompetisi yang tinggi. Ini membuktikan bahwa
warga Madura memiliki jiwa kompetisi, sehingga
pantaslah jika warga Madura sangat menggemari
Budaya Kerapan Sapi sebagai tontonan atau hiburan.
Fungsi Politik
Fungsi politik dari Budaya Kerapan Sapi adalah
sebagai sarana untuk mengumpulkan massa atau
pengikut. Proses dalam mengumpulkan massa atau
pengikut tersebut terjadi melalui hubungan yang bersifat
horizontal antar sesama warga Madura. sehingga
seringkali Budaya Kerapan Sapi dijadikan sebagai ajang
untuk berkampanye partai politik tertentu. Hal mengenai
Budaya Kerapan Sapi memiliki fungsi politik
disampaikan oleh Bapak Syamsul Arifin (41 tahun)
sebagai pemilik kerapan sapi Desa Junok Kabupaten
Bangkalan.
Kebanyakan ya, sekarang dipartai politik orang yang
mau mencari massa terutama khusus Madura yang
menjadi alatnya memang, harus mengadakan lomba
Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga madura
330
untuk orang yang mau jadi caleg. Mengadakan
lomba secara gratis dan faktanya memang ada dan
sering sudah itu dilakukan.
Dari pemaparan Bapak Syamsul Arifin (41 tahun)
sebagai pemilik kerapan sapi Desa Junok Kabupaten
Bangkalan tersebut bahwa faktanya, Budaya Kerapan
Sapi memang sering dijadikan sebagai alat untuk
memperoleh massa baik dalam aspek sosial maupun
politik. Budaya Kerapan Sapi dalam aspek politik sering
dijadikan sebagai alat untuk berkampanye, karena
warga Madura sangat menyukai Budaya Kerapan
Sapi dan seringkali partai politik atau seseorang yang
ingin maju sebagai anggota calon legislatif mengadakan
lomba kerapan sapi secara gratis untuk menarik minat
warga Madura terutama untuk menjadikannya
sebagai anggota legislatif dari perwakilan daerah Madura.
Politik erat kaitannya dengan kepentingan dari
seseorang atau sekelompok orang.Meskipun Budaya
Kerapan Sapi sering dijadikan sebagai alat untuk
berkampanye, namun esensi atau inti dari adanya Budaya
Kerapan Sapi harus tetap ada yaitu untuk memperkuat
hubungan solidaritas dan persaudaraan warga
Madura.Politik dalam Budaya Kerapan Sapi hanya
terlihat untuk segelintir orang yang memiliki suatu tujuan
tertentu dengan modal yang besar.Sehingga menggunakan
Budaya Kerapan Sapi untuk memperlancar tujuannya
tersebut.
Keunikan Budaya Kerapan Sapi
Juara Menang
Tabel 5.1 Juara Menang Kerapan Sapi
No Nama Sapi Pemilik Alamat
1. Satelit H. Hamdan Sumenep
2. Gagak
Rimang
R.H.M. Tohir Bangkalan
3. Sonar Muda
II
H. Syaiful Bahri Sampang
(Sumber: Arsip Museum Tjakraningrat JL. Soekarno-
Hatta No.59a Kabupaten Bangkalan)
Pemilik Kerapan Sapi yang telah menjuarai
perlombaan tingkat keresidenan yang sebelumnya telah
diseleksi terlebih dahulu di tingkat Kawedanan
(Kecamatan).Setelah itu tingkat Kabupatendan yang
terakhir Se- Madura yaitu tingkat Keresidenan. Sapi
Kerapan yang menjuarai perlombaan tingkat Keresidenan,
maka nilai jualnya akan semakin bertambah mencapai
lebih dari 150 juta/pasang. Tetapi apabila sapi kerapan
memenangkan perlombaan sebagai juara menang, maka
harga jual sapi semakin mahal hingga mencapai 500
juta/pasang.
Harga jual sapi yang semakin tinggi, akan
menambah kebanggaan dan kehormatan si pemiliki sapi.
Kebanggaan dan kehormatan bagi warga Madura
menjadi hal yang sangat penting, karena warga
Madura tidak akan pernah memperhitungkan uang yang
dikeluarkan untuk kesenagan dan hobi yang disukai. Hal
inilah, yang menjadi salah satu alasan Budaya Kerapan
Sapi di Madura masih terus dilestarikan dengan segala pro
dan kontra terhdap pelaksanaan Budaya Kerapan Sapi.
Juara Kalah
Tabel 5.2 Juara Kalah Kerapan Sapi
No Nama Sapi Pemilik Alamat
1. Sonar Muda I H.Samsudin Sumenep
2. Teror
Serdad
u
Jamhari Sampang
3. Siluman Subadar Bangkalan
(Sumber: Arsip Museum Tjakraningrat JL. Soekarno-
Hatta No.59a Kabupaten Bangkalan)
Keunikan dalam Budaya Kerapan Sapi adalah
bahwa bukan hanya sapi yang menang yang mendapatkan
hadiah tetapi sapi yang kalah juga bisa mendapatkan
hadiah. Proses terbentuknya juara kalah dalam Budaya
Kerapan Sapi adalah melalui tahapan perlombaan, dimana
sapi kerapan yang menang akan di adu kembali dengan
sapi yang menang lainnya. Namun, hal tersebut tidak
menjadikan sapi yang kalah tidak dapat menjuarai
perlombaan, sebab bagi sapi kerapan yang kalah saat
pertandingan akan dilombakan kembali dengan sapi yang
kalah lainnya.
Sapi kerapan yang kalah bertanding akan
memperebutkan juara untuk katagori juara kalah yang
Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2014, HAL 324-342
331
memperebutkan tiga tempat juara. Hadiah yang
didapatkan untuk juara kalah memang tidak sebesar
hadiah yang didapatkan oleh juara yang menang yaitu
hanya sepeda motor saja.Namun, bagi orang Madura
masuk dalam kategori juara menang atau kalah menjadi
hal yang tidak dipentingkan karena sapi kerapan menjadi
juara sudah merupakan hal yang membanggakan dalam
status sosial warga Madura.Kebanggakan bagi
warga Madura merupakan hal yang penting dan
tidak dapat ditukar oleh materi maupun hal lainnya.
Proses Terbentuknya Modal Sosial Melalui Budaya
Kerapan Sapi
Budaya Kerapan Sapi dapat dijadikan sebagai
modal sosial untuk memperkuat solidaritas warga
Madura.Modal sosial sebagai solidaritas yang
diidentikkan dengan warga Madura dan terbentuk
oleh adanya ikatan-ikatan melalui kegiatan-kegiatan yang
terkait dalam Budaya Kerapan Sapi yang tercermin dalam
tindakan sosial, perilaku, simbol dan
perkataan/perkataan.
Tradisi Budaya Kerapan Sapi Ditinjau Dari Aspek
Penyelenggaraan
Melalui Tindakan Sosial
Pembelian jamu dan telur yang dibutuhkan untuk
merawat sapi, pemilik sapi juga menyerahkan kepada
orang lain dan pemilik sapi hanya memberikan intruksi
dalam meracik jamu secara khusus sebagai resep rahasia
yang dimiliki oleh setiap pemilik kerapan sapi. Hal
menarik dari perawatan sapi kerapan ini adalah, ketika
pembelian telur ayam kampung, Pemilik kerapan sapi
tidak pernah meminta transparansi dari pembelian telur
ayam kampung tersebut.Pemilik kerapan sapi merasa
yakin bahwa orang yang membeli telur ayam kampung
tersebut tidak mungkin berbohong.Hal mengenai
transparansi pembelian telur ayam kampung disampaikan
oleh Bapak Yudha (23 tahun) sebagai pemilik kerapan
sapi Desa Torjun Kabupaten Bangkalan.
Oh tidak…karena kerapan sapi merupakan budaya
tradisional, sehingga hal utama dalam kebudayaan
ini adalah unsur kepercayaan
Dari pemaparan Bapak Yuda (23 tahun)
menjelaskan bahwa bentuk dari tindakan sosial
warga Madura sebagai upaya menguatkan
solidaritas salah satu tindakan nyatanya yaitu
kepercayaan.Kepercayaan tersebut dibuktikan dengan
sikap saling percaya antara pemilik kerapan sapi dan
orang yang membantu perawatan sapi kerapan dengan
tidak meminta transparansi terhadap pembelian telur
ayam kampung.Selain, Bapak Yuda (23 tahun)
penjelasan mengenai unsur kepercayaan dalam hal
pembelian telur ayam kampung juga disampaikan oleh
Bapak H. Ghazali (43 tahun) Desa Banyu Biru
Kabupaten Bangkalan.
Dalam hal merawat saya dibantu orang lain, namun
cara untuk jamu, makan, dan memandikan itu diatur
oleh saya sendiri. Karena takutnya terlalu panas,
maka sapi bisa lemah. Dalam hal untuk membeli
jamu dan telur ayam kampung itu saya menyuruh
orang lain untuk membeli. Saya tidak pernah
meminta kwitansi pembayaran untuk pembelian
telur dan jamu tersebut, semuanya berdasar
unsur kepercayaan saja.Dalam sehari saya bisa
membeli telur ayam kampung seratus butir per hari
untuk satu ekor sapi.
Dari pemaparan Bapak H Ghazali (43 tahun) Desa
Banyu Biru Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa
dalam hal untuk pembelian jamu dan telur, memang tidak
pernah meminta kwitansi pembayaran, sebab dalam hal
ini unsur kepercayaan menjadi hal terpenting. Selain
dalam hal pembelian jamu dan telur ayam kampung,
tindakan sosial lainnya yang mencerminkan adanya
solidaritas dalam Budaya Kerapan Sapi adalah ketika
proses percaikan jamu yang akan diberikan kepada sapi
kerapan. Hal itu ditunjukkan dengan kerjasama yang
dilakukan oleh pemilik kerapan sapi dengan kru yang
membantu perawatan sapi kerapan.
Melalui Perilaku Sosial
Bagi warga Madura, sapi boleh bertengkar
tetapi pemilik sapi tidak boleh konflik.Hal ini terjadi
karena warga Madura menganggap kesenangan dan
Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga madura
332
kecintaan terhadap Budaya Kerapan Sapi bukan berarti
membuat hubungan antara para pemilik sapi kerap tidak
harmonis.Sebaliknya, adanya Budaya Kerapan Sapi
diharapkan mampu untuk mempersatukan segala
perbedaan yang ada baik dalam segi politik, ekonomi,
dan sosial.Hal mengenai hubungan tidak adanya konflik
yang terjadi apabila terjadi perbedaan prinsip diantara
warga Madura disampaikan oleh Saudara Halul
Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan
Kabupaten Bangkalan.
Yah kalau unsur kekecewaan pasti ada mbak. Sudah
pasti mbak, tapi kan orang belum tentu satu prinsip.
Katakanlah juragan kan belum tentu satu prinsip
juga mbak. Jadi ya harus dibedakan yang ini
juragan, sehingga apabila juragan dan yang ikut
juragan, tentunya di sama-sama ingin melepas sapi
untuk menang.
berdasar pemaparan yang disampaikan oleh Saudara
Halul Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa
Senenan Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa
perbedaan prinsip dalam Budaya Kerapan Sapi,
khususnya pemberian dukungan tidak akan menimbulkan
konflik yang berlarut-larut. Rasa kecewa pasti ada,
namun yang perlu disadari dan diingat bahwa setiap
orang atau individu memiliki prinsip yang berbeda-beda
dalam menghadapi dan memilih pilihan yang
dikehendaki. Sehingga, pada dasarnya Budaya Kerapan
Sapi dapat dijadikan alat untuk menekan dan
mengantisipadi konflik yang terjadi baik di dalam
lapangan maupun di luar lapangan
Melalui Simbol-Simbol
Simbol-simbol sering digunakan untuk memberikan
suatu tanda terhadap segala sesuatu yang berhubungan
dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat rahasia atau
tersirat. Dalam pelaksanaan perlombaan kerapan sapi
juga terdapat simbol-simbol yang mencerminkan adanya
penguatan solidaritas dari warga Madura, seperti:
bendera merah dan sapi kerapan. Bendera merah
diartikan sebagai simbol kejujuran dan keberanian,
sehingga bendera besar untuk melepas sapi kerapan untuk
berlomba juga menggunakan bendera berwarna merah.
. Hal mengenai bendera merah sebagai simbol
kejujuran dan keberanian warga Madura
disampaikan secara tersirat oleh Bapak Mohammad
Nayak, M.Pd (48 tahun) sebagai panitia dan pengibar
bendera besar di Kecamatan Sepulu Kabupaten
Bangkalan.
Alhamdulillah selama saya menjadi panitia kerapan
sapi di Bangkalan ini, saya belum pernah
mendapatkan protes bahwa yang saya lakukan tidak
jujur.Sehingga, jika bendera merah diangkat di
sebelah kanan berarti yang menang adalah sapi yang
berada di Lintasan sebelah kanan.Keunggulan di
Bangkalan memang, tidak pernah ada protes-protes
yang membahayakan karena tidak jujur.
berdasar pemaparan yang disampaikan oleh
Bapak Mohammad Nayak, M.Pd (48 tahun) sebagai
panitia dan pengibar bendera besar di Kecamatan Sepulu
Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa bendera
warna merah menjadi simbol penting dalam Budaya
Kerapan Sapi, karena bendera merah sendiri dijadikan
sebagai simbol untuk menujukkan sikap jujur dan berani,
sehingga warga Madura yang mengikuti kerapan
sapi tidak merasa ada kebohongan ketika panitia pengibar
bendera besar mengangkat bendera merah sebagai untuk
kemenangan sapi yang sedang bertanding.
Melalui Perkataan
Persiapan dalam bentuk perkataan atau perkataan
yang mencerminkan adanya ikatan sosial sebagai bentuk
penguatan solidaritas warga Madura. warga
Madura selain, melakukan proses penguatan solidaritas
menggunakan tindakan, perilaku dan simbol-simbol juga
menggunakan perkataan atau perkataan untuk
memperkuat interaksi dan komunikasi antara warga
Madura seperti: adanya etika dan “saudara” dalam
melakukan Budaya Kerapan Sapi. Hal mengenai
perkataan atau omong tentang adanya etika dan “saudara”
dari Budaya Kerapan Sapi disampaikan oleh Saudara
Halul Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa
Senenan Kabupaten Bangkalan.
Pasti mbak.Kita untuk mengerap sapi itu juga harus
ada unsur etika dan sopan santunnya. Kalau kita
ingin mencari saudara istilahnya dalam warga
Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2014, HAL 324-342
333
Madura ya kita harus berbaur sama satu orang
lapangan juga mbak. Dan semua harus jadi satu,
soalnya kerapan spi itu unsurnya kan meluas gak
cuman satu kalangan, gak cuman satu lapisan.
Misalnya yang A itu miskin dan yang B itu kaya.
Ya misalnya yang menang yang miskin ya berarti
yang kaya harus menerima mbak. Karena disini
unsurnya untuk mempererat persaudaraan
warga Madura
Pemaparan yang disamapaikan oleh Saudara Halul
Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan
Kabupaten Bangkalan menjelaskan bahwa perkataan
seperti etika, sopan santun, dan saudara memiliki makna
yang sangat penting dalam kehidupan warga
madura. Ketika seseorang mengatakan “saudara” kepada
orang lain, maka secara langsung orang tersebut
mengganggap telah terjadi suatu ikatan yang bersifat
emosional meskipun tanpa adanya hubungan darah
maupun ikatan perkawinan yang memicu seseorang
memiliki hubungan kekerabatan.
Selain kata, saudara sering pula didengar kata “anak
sendiri” ketika orang yang kita hargai memiliki usia yang
lebih muda. Pemilik kerapan sapi menganggap orang
yang membantu merawat sapinya sebagai anak sendiri
yang harus dihargai dan disayangi sebagai sesama
warga Madura yang menyukai dan mencitai Budaya
Kerapan Sapi untuk terus melestarikannya sebagai
budaya asli Madura.Hal mengenai kata “anak sendiri”
sebagai ungkapan sayang dan rasa menghargai dari
pemilik sapi saat merawat sapi kerapan disampaikan oleh
Bapak Haji Mohammad Modin (58 tahun) pemilik
kerapan sapi Desa Ketengan Kabupaten Bangkalan.
Ya pembantu saya dinggap sebagai anak saya
sendiri dan saya dianggap olehnya sebagai orangtuanya
sendiri.
Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak Haji
Mohammad Modin (58 tahun) pemilik kerapan sapi Desa
Ketengan Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa
kata “anak sendiri” memiliki makna yang sama dengan
kata saudara yaitu sebagai perkataan yang berguna untuk
memberikan pengakuan tentang rasa sayang, menghargai
dan ungkapan tulus untuk beterima kasih terhadap segala
perbuatan dan tindakannya yang dilakukan sebagai
bentuk penguatan solidaritas masyarkat Madura yang
semakin hari kian terkikis oleh perkembangan zaman
yang modern. Budaya Kerapan Sapi juga tidak pernah
nmenghasilkan konflik yang berlarut-larut. Kata lain
yang sering diucapkan sebagai bentuk penguatan
solidaritas atau ikatan persaudaraan adalah “kebanggaan
dan mendukung”. Kata ini sering dimaknai sebagai
bentuk practice warga Madura terhadap kedudukan
dan stratifikasi sosial dlam kehidupan sosial warga
Madura. Hal ini disampaikan oleh Bapak H. Ghazali (49
tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru
Kabupaten Bangkalan.
Oh..tidak itu tidak mungkin seperti tiu, jangan
sesama saudara satu kampung saja ikut mendukung
karena itu membanggakan nama kampung.
Pemaparan yang disamapaikan oleh Bapak H.
Ghazali (49 tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa
Banyu Biru Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa
kata-kata yang diungkapkan saat tahapan persiapan
seperti dukungan dan kebanggaan secara tersirat
menegaskan warga Madura pada dasarnya sangat
memperhatikan gengsi untuk memperoleh massa atau
pengikut baik dalam aspek politik, sosial, maupun budaya
Tradisi Budaya Kerapan Sapi Ditinjau Dari Pihak-
Pihak Yang Terlibat
Pemilik Sapi Kerapan
Pemilik Sapi Kerapan dalam Budaya Kerapan Sapi
biasanya disebut sebagai “Pengerrap” dan merupakan
seorang tokoh Madura yang disegani.Sehingga, pemilik
sapi kerapan selalu diidentikkan dengan seseorang yang
memiliki pengaruh dan materi yang berlimpah.Oleh
sebab itu, Budaya Kerapan Sapi bagi pemilik sapi
kerapan bukan hanya untuk memperkuat solidaritas
warga Madura tetapi dijadikan sebagai media untuk
memperoleh kehormatan dan kebanggan.Bagi pemilik
sapi kerapan memenangkan perlombaan tidak mengejar
Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga madura
334
hadiah, namun kebanggaan dan kehormatanlah yang
diinginkan.
Sapi kerapan yang sering memenangkan
pertandingan mulai dari tingkan Kecamatan, Kabupaten,
bahkan hingga tingkat Keresidenan akan menambah
kepercayaan diri bagi pemilik sapi kerapan. Pemilik sapi
kerapan menganggap Budaya Kerapan Sapi adalah salah
satu cara yang paling efektif untuk menguatkan
solidaritas dan memupuk tali persaudaraan antar
warga Madura. Hal ini disampaikan oleh pemilik
sapi kerapan yaitu Bapak H.Ghozali (49 tahun) sebagai
pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru Kabupaten
Bangkalan yang telah berkecimbung dalam Budaya
Kerapan Sapi sejak tahun 1993 atau sudah 21 tahun.
Uang bukan lagi menjadi hal yang utama, karena
hobi bagi saya adalah suatu hal yang harus saya
lakukan.Selain untuk mempertahankan kebudayaan
Madura.Karena hobi yang sudah mendarah daging
dan untuk kesenangan.
Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak
H.Ghozali (49 tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa
Banyu Biru Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa
proses terbentuknya modal sosial dapat berawal dari
kesenangan maupun hanya sekedar hobi, apabila hal ini
berdampak positif. Selain H. Ghozali pemilik sapi
kerapan lainnya yaitu Bapak H.Modin (58 tahun) sebagai
pemilik sapi kerapan di Daerah Ketengan Kabupaten
Bangkalan
Merasa bangganya itu, saat kalau sapi yang masuk
juara itu harga sapi bisa naik.Dari yang semula
300juta menjadi setengah Miliyar atau
500juta.Namun, yang lebih penting lagi adalah
karena adanya unsur kesenangan di dalamnya.
Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak H. Modin
sebagai pemilik sapi kerapan di Daerah Ketengan
Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa unsur
kesenangan menjadi hal yang penting dalam Budaya
Kerapan Sapi.Untuk mengaplikasikan kesenangan
tersebut dalam Budaya Kerapan Sapi pemilik sapi
kerapan rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya
untuk merawat sapi kerapan dan bertanding dalam
perlombaan Kerapan Sapi.tujuannya adalah agar sapi
kerapan dapat bertanding dengan baik dan pemilik sapi
kerapan dapat memperoleh kebanggaan. Hal ini
disampaikan oleh Bapak H. Ghozali (49 tahun) sebagai
pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu Biru Kabupaten
Bangkalan yang telah berkecimbung dalam Budaya
Kerapan Sapi sejak tahun 1993 atau sudah 21 tahun.
Kalau untuk merawatnya itu orang lain, tetapi saat
meracik jamu, cara makan dan memandikan itu
saya yang mengaturnya karena takut terlalu panas,
sapi nanti bisa lemas atau loyo. Saya dalam
membeli telur itu untuk satu ekor sapi 100 butir
telur ayam kampung per hari. Apalagi mau
menjelang pertandingan Kerapan Sapi, maka untuk
pagi hari itu 41 butir telur dan menjelang siang
ditambahi lagi 101 butir telur ayam kampung per
hari untuk satu ekor sapi. Dan biayanya sangat
besar, namun karena hobi biaya menjadi hal yang
tidak penting.
Pemaparan yang dismpaikan oleh Bapak H. Ghozali
(49 tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa Banyu
Biru Kabupaten Bangkalan yang telah berkecimbung
dalam Budaya Kerapan Sapi sejak tahun 1993 atau sudah
21 tahun menegaskan bahwa dalam proses terbentuknya
modal sosial melalui tindakan yang dilakukan adalah
dengan melakukan proses perawatan sapi secara
maksimal dengan biaya yang tidak sedikit dan
membutuhkan ketelatenan. Selain Saudara Halul Huda
(19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan Kabupaten
Bangkalan yang baru saja terjun sebagai pemilik sapi
kerapan secara professional selama 1 tahun
Dalam melakukan perawatan tentunya
membutuhkan bantuan orang lain. Biaya yang
dibutuhkan untuk perawatan sapi kerapan juga tidak
sedikit.Kalau biaya sehari-hari 7 juta itu bisa untuk
merawat sapi, tetapi jika mendekati pertandingan
Kerapan Sapi bisa meningkat hingga 10-20 juta per
bulannya. Orang Madura tidak akan eker-ekeran
masalah uang yang dikeluarkan. Cuman, orang
madura ingin melestarikan Budaya yang ada
pertama. Kedua, orang Madura juga ingin mencari
nama karena orang Madura itu haus akan gengsinya.
Sehingga, ada unsur kebanggaan yang dicari dalam
Budaya Kerapan Sapi ini.
Pemaparan yang disampaikan oleh Saudara Halul
Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan
Kabupaten Bangkalan yang baru saja terjun sebagai
pemilik sapi kerapan secara profesional selama 1 tahun
memperkuat pernyataan Bapak H. Ghozali (49 tahun)
Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2014, HAL 324-342
335
bahwa tindakan sosial yang dilakukan dengan merawat
sapi secara intensif dengan biaya yang besar merupakan
perwujudan untuk memperoleh kebanggan diantara
warga Madura.
Joki
Joki merupakan orang yang memacu sapi saat
bertanding dan posisi joki berada di tengah-tengah sapi
untuk mengarhkan sapi saat akan melaju di lintasan
pertandingan. Menjadi joki bukanlah hal yang mudah,
tetapi membutuhkan suatu keberanian sebab apabila saat
bertanding keadaan sapi buruk atau dalam kondisi yang
lelah, sapi bisa saja marah dan jokilah yang akan
terlempar dan terluka untuk yang pertama kali. Namun
kondisi ini seperti tidak penting bagi joki karena adanya
bayaran yang tidak begitu besar dan keinginan untuk
melestarikan Budaya Kerapan Sapi.
Joki Kerapan Sapi dapat Dibayar sebesar 200-500
ribu hingga pertandingan berakhir. Apabila, sapi yang
ditunggangi mendapatkan juara, maka bayaran yang
diterima joki dapat bertambah sebagai bonus dari pemilik
sapi. Hubungan antara pemilik sapi dan joki harus
terbangun dengan baik, sebab apabila hubungan terjalin
dengan baik akan mempermudah pemilik sapi kerapan
untuk mengarahkan joki saat akan bertanding. Hal ini
disampaikan oleh Joki Kerapan Sapi Yana Wahyudi (13
tahun) kelas 1 SMP Torjun KabupatenSampang
Saya menjadi joki dibayar 500 ribu hingga
pertandingan ini selsesai. Ketertarikan saya selain
materi menjadi joki adalah karena hobi saya
terhadap sapi kerapan dan juga saya senang, apabila
melihat sapi melaju di dalam lintasan pacu
.
Pemaparan yang disampaikan oleh Yana Wahyudi
(13 tahun) kelas 1 SMP Torjun KabupatenSampang
membuktikan bahwa menjadi Joki bukan hanya untuk
memperoleh materi saja, karena materi yang diperoleh
juga tidak tentu atau bergantung pada Pengerrap. Namun,
yang terpenting saat menjadi joki adalah dapat
menyalurkan hobi terhadap Budaya Kerapan Sapi
meskipun bukan sebagai pemilik sapi Kerapan.
Pelepas Bendera Pertandingan
Pengibar bendera pertandingan merupakan
seseorang yang bertugas dalam Budaya Kerapan Sapi
untuk mengangkat Bendera saat sapi akan dipacu.
Bendera yang digunakan disebut sebagai bendera besar
dan berwarna merah. Pengibar bendera besar akan
mengangkat bendera apabila setiap sapi yang akan dipacu
mengangkat benderanya masing-masing sebagai tanda
bahwa sapi siap untuk dipacu. Tetapi, pengibar bendera
besar harus rela bersabar di tengah lapangan dengan
waktu yang cukup lama sekitar 15-20 menit untuk
menunggu setiap sapi dalam keaadaan siap untuk
dipacu.Hal ini disampaikan oleh Bapak Moh. Nayak,
M.Pd (48 tahun) sebagai panitia dan pelepas bendera
besar selama hampir 10 tahun
Di Bangkalan sendiri syukur Alhamdulillah selama
saya menjadi panitia untuk melepaskan bendera
besar belum pernah ada yang mengatakan kalau
saya tidak jujur. Dan inilah kelebihan di Kabupaten
Bangkalan yang menjunjung tinggi kejujuran dan
protes-protes yang membahayakan serta
menerapkan Budaya Kerapan Sapi tanpa Kekerasan
hingga turunnya keputusan Presiden dan inilah yang
membanggakan Kebupaten Bangkalan terutama
untuk kebudayaan Kerapan Sapinya
berdasar pemaparan Bapak Moh. Nayak, M.Pd
(48 tahun) sebagai panitia dan pelepas bendera besar
selama hampir 10 tahun menjelaskan bahwa dalam proses
terbentuknya modal sosial yang dilakukan oleh pelepas
bendera besar melalui tindakan berupa melepaskan
bendera besar secara adil dan tidak berat sebelah,
sehingga tidak memicu protes-protes yang
membahayakan. Inilah yang menjadi bentuk dari
tindakan yang dilakukan oleh pelepas bendera besar
sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian Budaya
Kerapan Sapi.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh pelepas
bendera besar berupa menunggunya pelepas bendera
merah di tengah lapangan yang terik.Hal ini seakan tidak
dihiraukanb karena bagi pelepas bendera besar sebagai
panitia merupakan tugas dan tanggung jawab yang harus
dilakukan secara baik dan konsekuen.
Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga madura
336
Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Bangkalan
Budaya Kerapan Sapi sudah menjadi indentitas dan
budaya asli Madura.Budaya Kerapan Sapi ini merupakan
salah satu budaya kebanggaan warga Madura karena
dapat menarik perhatian wisatawan mulai dari wisatawan
lokal hingga ke mancanegara.Oleh sebab itu, Budaya
Kerapan Sapi ini mendapatkan apresiasi tinggi dari
pemerintahan Daerah Kabupaten Bangkalan khususnya
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Hal ini Disampaikan
oleh Bapak Hendra Gemma, S.Si (37 tahun) Kepala Sub
Bagian Kebudayaan Dinas Olahraga Kebudayaan Dan
Pariwisata Kabupaten Bangkalan
Kami mengadakan proses seleksi yang tradisional
mulai dari tingkat Kawedanan. Setiap Kecamatan
akan melakukan perlombaan dan pemenangnya
akan diseleksi lagi ditingkat Kabupaten. Jadi, jadwal
dari Badan Kantor Wilayah (Bakorwil) selaku
panitia utama yang beranggotakan tokoh-tokoh
Kerap memberikan sebuah jadwal, dimana biasanya
Kerapan sapi ini dilaksanakan pada musim
kemarau.Tapi karena saat ini iklim tidak dapat
diprediksi, maka Budaya Kerapasn Sapi ini
dilaksanakan pada bulan Oktober setiap tahun
menjelang musim hujan.Ada seleksi tingkat
Kabupatenyang melibatkan Persatua Kerapan Sapi
(PerKasa) Se-Kabupaten. Saat pelaksanaan kita
akan memberikan dukungan pada waktu seleksi
tingkat Kabupatendan memantau jalannya proses
persiapan dan pelaskanaan Kerapan Sapi.
Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak Hendra
Gemma, S.Si (37 tahun) Kepala Sub Bagian Kebudayaan
Dinas Olahraga Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten
Bangkalan membuktikan bahwa Budaya Kerapan Sapi ini
mendapat dukungan secara penuh dari pemerintah
Daerah Kabupaten Bangkalan. Proses terbentuknya
modal sosial melalui tindakan yang dilakukan oleh Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangkalan adalah
dengan melakukan proses seleksi mulai dari tingkat
Kawedanan (Kecamatan) sampai ketingkat
Kabupatenyang dipantau secara langsung.
Dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah
melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Bangkalan merupakan salah satu cara yang dilakukan
Pemerintah Daerah Madura untuk terus melestarikan
Budaya Kerapan Sapi, sebab
Tradisi Budaya Kerapan Sapi Ditinjau Dari Aspek
Kepentingan
Kepentingan Sosial
Kepentingan sosial merupakan salah satu tujuan
utama dari adanya Budaya Kerapan Sapi, karena tujuan
yang diharapkan dalam Budaya Kerapan Sapi adalah
untuk menguatkan solidaritas dan mendapatkan rasa
hormat serta kebanggaan dalam strata sosial warga
Madura.warga Madura meyakini bahwa Budaya
Kerapan Sapi adalah pelombaan bergengsi yang
mengadu ketangkasan sapi, sehingga diikuti oleh orang-
orang yang memiliki uang dan kedudukan tertentu
dalam warga .
Budaya Kerapan Sapi telah menjadi identitas diri
warga Madura yang kuat dan Berani.Kekuatan
diartikan sebagai modal yang perlu dicapai dan diperoleh.
Semakin kuat, warga Madura akan semakin tinggi
pula kebanggan dan kehormatan yang diperoleh. Hal ini
disampaikan oleh Saudara Halul Huda (19 tahun)
pemilik kerapan sapi Desa Senenan Kabupaten
Bangkalan yang baru saja terjun sebagai pemilik sapi
kerapan secara professional selama 1 tahun
Budaya Kerapan Sapi, sangat sangat bisa jadi, jadi
kebanggaan warga Madura. Kalau masalah
merekatkan hubungan persaudaraan atau solidaritas
warga Madura, hal itu sudah pasti
mbak.Karena kita dalam mengerap sapi itu ada
unsur etika (adeb asornya) mbak.Kalau kita ingin
mencari saudara istilahnya kata orang Madura ya
kita harus berbaur dengan orang lapangan juga
mbak.Sehingga semuanya berbaur jadi satu dan
tidak ada pengkelasan di dalam pelaksananaan
Budaya Kerapan Sapi itu sendiri.
Pemaparan yang disampaikan oleh Halul Huda
(19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan
Kabupaten Bangkalan yang baru saja terjun sebagai
pemilik sapi kerapan secara professional selama 1 tahun
membuktikan bahwa menguatkan solidaritas
warga Madura menjadi unsur terpenting dalam
pelaksanaan Budaya Kerapan Sapi.
Kepentingan Ekonomi
Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2014, HAL 324-342
337
Kepentingan ekonomi melibatkan adanya unsur
materi yang ingin dicapai dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraannya.Kepentingan ekonomi pada
hakikatnya menjadi wajar, sebab manusia adalah
makhluk yang memiliki hasrat untuk memiliki segala
sesuatu yang diingingkan dan dibutuhkan.Keinginan
dan kebutuhan manusia berbanding lurus dengan
banyaknya materi yang diperlukan untuk mencapai
semua hal tersebut. Faktanya, banyak orang yang
melakukan segala cara untuk memperoleh keinginannya
tersebut, mulai dari cara-cara yang baik hingga cara
yang buruk.
Harga jual sapi yang tinggi dan hadiah yang akan
diperoleh oleh pemilik sap kerapan inilah, yang
memotivasi pemilik sapi kerapan untuk memberikan
perawatan terbaik bagi sapi-sapi kerapannya dengan
harapan sapi kerapannya dapat menjuarai perlombaan
Kerapan Sapi, mulai Tingkat Kawedenan (Kecamatan)
hingga tingkat Keresidenan yaitu seluruh Madura. Hal ini
disampaikan oleh Bapak H.Modin (58 tahun) sebagai
pemilik sapi kerapan di Daerah Ketengan Kabupaten
Bangkalan
Merasa bangganya itu, saat kalau sapi yang masuk
juara itu harga sapi bisa naik.Dari yang semula
300juta menjadi setengah Miliyar atau
500juta.Namun, yang lebih penting lagi adalah
karena adanya unsur kesenangan di dalamnya.
Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak H.
Modin sebagai pemilik sapi kerapan di Daerah
Ketengan Kabupaten Bangkalan membuktikan bahwa
selain kepentingan sosial yang diinginkan dalam
pelaksanaan Kerapan Sapi juga ada kepentingan
ekonomi yang sangat kental. Hal tersebut ditandai
dengan harga jual satu pasang sapi kerapan yang
bernilai 300 juta bahkan menjadi setengah Miliyar atau
500 juta apabila sapi kerapan menjuarai turnamen.
Kepentingan Politik
Kepentingan politik juga terjadi dalam
pelaksanaan Budaya Kerapan Sapi. Budaya Kerapan
Sapi dijadikan sebagai alat untuk menjadi bagian dari
terjadinya proses politik di Indonesia. Banyak yang
menjadikan Budaya Kerapan Sapi untuk memperoleh
massa maupun pengikut yang dapat mendukung
seseorang untuk mendapatkan kedudukan atau jabatan
penting dalam pemerintahan. Budaya Kerapan Sapi
menjadi alat untuk berkampanye maupun menarik
simpati rakyat agar dapat memilihnya saat pemilu
Pemilik Kerapan Sapi adalah salah satu pioneer
dalam pelaksanaan Budaya Kerapan Sapi. Hal itu
terjadi karena pemilik sapi kerapan adalah salah satu
pihak yang berperan secara langsung terhadap
terlaksananya Budaya Kerapan Sapi.Pemilik sapi
kerapan, terkadang memilih seseorang yang dirasa
mampu untuk mendukung terlaksananya Budaya
Kerapan Sapi.hal tersebut disampaikan disampaikan
oleh Bapak Syamsul Arifin (41 tahun) sebagai pemilik
kerapan sapi Desa Junok Kabupaten Bangkalan.
Kebanyakan ya, sekarang dipartai politik orang
yang mau mencari massa terutama khusus Madura
yang menjadi alatnya memang, harus mengadakan
lomba untuk orang yang mau jadi caleg.
Mengadakan lomba secara gratis dan faktanya
memang ada dan sering sudah itu dilakukan.
Dari pemaparan Bapak Syamsul Arifin (41 tahun)
sebagai pemilik kerapan sapi Desa Junok Kabupaten
Bangkalan tersebut bahwa kenyataannya Budaya
Kerapan Sapi sering dijadikan alat partai politik untuk
menang seperti mengadakan perlombaan-perlombaan
secara grratis, sehingga warga mengetahui siapa
orang yang akan mencalonkan diri menjadi calon
legislatif. Hal tersebut bukan hanya satu kali terjadi,
namun sudah serinng dilakukan oleh calon-calon
legislatif. Pemaparan yang serupa juga disampaikan oleh
BapakH. Ghozali (49 tahun) sebagai pemilik Kerapan
Sapi Desa Banyu Biru Kabupaten Bangkalan yang telah
berkecimbung dalam Budaya Kerapan Sapi sejak tahun
1993 atau sudah 21 tahun
Sangat bisa dek.malah, bukannya karena saya ini
tokoh kerap. Cuman saya nilai kalau untuk
warga nya, insyaallah melebihi karena mudah
untuk memupuk hubungan ini antar sesama
Pengerrap ini Se-Madura ini mudah untuk
berkomunikasi dan suatu cara untuk partai politik
mengumpulkan massa. Sehingga, insyaallah setelah
Budaya Kerapan Sapi sebagai Modal Sosial warga madura
338
itu suara yang dibutuhkan akan tinggi saa
pemilihan.
Pemaparan yang disamapaikan oleh Bapak H.
Ghozali (49 tahun) sebagai pemilik Kerapan Sapi Desa
Banyu Biru Kabupaten Bangkalan yang telah
berkecimbung dalam Budaya Kerapan Sapi sejak tahun
1993 atau sudah 21 tahun menegaskan, jika Budaya
Kerapan Sapi pasti dapat menjadi media untuk
kepentingan politik. Oleh sebab itu, menjadi hal yang
wajar, jika saat pemilu suara yang dibutuhkan akan
menjadi tinggi atau sesuai dengan yang diinginkan
Kepentingan Budaya
Kepentingan Budaya dalam Budaya Kerapan Sapi,
meliputi cara-cara yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang berkaitan dengan kebudayaan baik yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung.Setiap
warga Madura memiliki kewajiban untuk berusaha
melestarikan Budaya Kerapan Sapi, karena
mempertahankan jauh lebih sulit daripada
mendapatkannya.Begitu pula, dengan Budaya Kerapan
Sapi yang perlu dilestarikan sebagai identitas dari
Budaya Madura yang berharga.
Kepentingan Budaya dalam kebudayaan kerapan
sapi yang utama dan pertama adalah untuk melestarikan
dan mempertahankan Budaya Kerapan Sapi. Hal ini
disampaikan oleh Saudara Halul Huda (19 tahun) pemilik
kerapan sapi Desa Senenan Kabupaten Bangkalan yang
baru saja terjun sebagai pemilik sapi kerapan secara
professional selama 1 tahun
Orang Madura tidak akan eker-ekeran masalah uang
yang dikeluarkan. Cuman, orang madura ingin
melestarikan Budaya yang ada pertama. Kedua,
orang Madura juga ingin mencari nama karena
orang Madura itu haus akan gengsinya. Sehingga,
ada unsur kebanggaan yang dicari dalam Budaya
Kerapan Sapi ini
Pemaparan yang disamapaikan oleh Saudara Halul
Huda (19 tahun) pemilik kerapan sapi Desa Senenan
Kabupaten Bangkalan yang baru saja terjun sebagai
pemilik sapi kerapan secara professional selama 1 tahun
membuktikan bahwa tujuan dan fungsi utama dari
Budaya Kerapan Sapi adalah untuk melestarikan budaya
yang telah ada agar tidak punah dari generasi ke generasi
selanjutnya. Pernyataan yang serupa juga disampaikan
oleh Bapak H.Modin (58 tahun) sebagai pemilik sapi
kerapan di Daerah Ketengan Kabupaten Bangkalan
Tujuannya itu untuk mempertahankan kebudayaan
agar tidak punah selain untuk menguatkan
silaturahmi warga Madura
Pemaparan yang disampaikan oleh Bapak
H.Modin (58 tahun) sebagai pemilik sapi kerapan di
Daerah Ketengan Kabupaten Bangkalan menguatkan
pernyataan yang disampaikan oleh Saudara Halul Huda
bahwa memang benar Budaya Kerapan Sapi diadakan
setiap tahunnya bertujuan untuk melestarikan
kebudayaan asli Madura yang telah ada
Unsur Solidaritas Melalui Pemilik Sapi Kerapan
Bahwa tindakan sosial yang dilakukan dengan
merawat sapi secara intensif dengan biaya yang besar
merupakan perwujudan untuk memperoleh kebanggan
diantara warga Madura.
Unsur Solidaritas Melalui Joki
Tindakan yang dilakukan oleh Joki dalam proses
terbentuknya modal sosial adalah dengan mengikuti
setiap perlombaan Kerapan Sapi dengan bayaran yang
tidak tentu.
Modal Sosial
Unsur Solidaritas Melalui Pelepas
BenderaPertandingan
Pelepas bendera besar menganggap bahwa hal ini
adalah kebanggaan karena dapat menjadi bagian dari
Budaya Kerapan Sapi yang perlu untuk dilestarikan
sebagai budaya asli warga Madura.
Unsur Solidaritas Melalui Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan
Budaya Kerapan Sapi adalah budaya asli Madura
yang dapat menjadi asset penting dalam meningkatkan
pendapatan daerah di bidang pariwisata dan kebudayaan
yang telah dikenal di Tingkat Internasional yang
dibuktikan dengan banyaknya wisatawan asing yang
datang untuk menyaksikan pelaksanaan Budaya Kerapan
Sapi.
Melalui Tindakan oleh Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Bangkalan
Hubungan Pihak-pihak Yang Terlibat Terhadap
Terbentuknya Modal Sosial
Untuk mempertegas tentang hubungan joki kerapan
dalam membentuk modal sosial warga Madura,
maka yang harus dipahami bahwa joki kerapan terdiri
dari dua jenis yaitu: 1) joki yang bersal dari keluarga joki,
2) joki yang berasal dari kerabat atau keluarga sendiri.
Joki yang berasal dari keluarga joki adalah joki yang
memang terlahir dari keturunan atau keluarga joki,
kemudian terus diturunkan kepada
keluarganya.Sedangkan, joki yang berasal dari kerabat
adalahn joki yang merupakan anggota keluarga dari
pemilik sapi seperti anaknya atau keponakaan.Pemaparan
ini dapat dijelaskan dengan menggunakan siklus berikut
ini.
Hubungan yang terbentuk dari aspek-aspek yang
terlibat yan g meliputi: pemilik sapi kerapan, joki,
pelepas bendera besar dan pemerintah setempat sehingga
dapat menjadi modal social dalam pelaksanaan Budaya
Kerapan Sapi dapat digambarkan dan dijelaskan dengan
menggunakan siklus piramida dengan saling
menguntungkan bagi aspek-aspek yang terlibat
berdasar hasil pembahasan melalui peta
pemikiran dari Budaya Kerapan Sapi yang ditinjau dari
aspek penyelenggaraan, aspek pihak-pihak yang terlibat
dan aspek kepentingan. Terbentuknya modal sosial
melalui unsur-unsur tindakan, perilaku, simbol, dan
perkataan, aspek yang memiliki pengaruh besar
terhadap terbentuknya Budaya Kerapan Sapi adalah
tinjauan dari aspek penyelenggaraan yang terdiri dari
22 unsur dengan unsur terpenting adalah melalui
perilaku yang terdiri dari ikatan emosional, interaksi,
lapang dada, kebersamaan, sportifitas, kerukunan.
berdasar pembahasan dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa proses terbentuknya penguatan
solidaritas sebagai modal sosial Budaya Kerapan Sapi
adalah melalui proses-proses tertentu yang dimulai dari
tahapan persiapan, pelaksanaan, dan setelah pelaksanaan.
Tahapan-tahapan tersebut kemudian menghasilkan unsur-
unsur yang dapat menguatkan solidaritas yang dapat
dipaparkan sebagai berikut: Pertama, berdasar
tindakan mengandung unsur: 1) Kepercayaan, 2)
Kerjasama, 3) interaksi, 4) Kesetiakawanan, 5) solidaritas
mekanik, 6) keakraban, 7) ikatan emosional
Kedua, berdasar perilaku mengandung unsur: 1)
interaksi, 2) lapang dada, 3) antusiasme, 4) kebersamaan,
5) sportifitas, 6) kerukunan. Ketiga, berdasar simbol
mengandung unsur: 1) kejujuran, 2) keberanian, 3)
kebanggaan, 4) kehormatan, 5) semangat, 6) dukungan,
7) keakraban, 8) kemenangan, 9) pengakuan. Keempat,
berdasar perkataan mengandung unsur: 1) etika, 2)
kerabat, 3) kehormatan, 4) semangat, 5) ungkapan tali
persaudaraan.
Unsur-unsur inilah yang memicu adanya
modal sosial dalam bentuk penguatan solidaritas
warga Madura, sehingga Budaya Kerapan Sapi,
meskipun memiliki banyak nilai-nilai yang bersifat relatif
seperti adanya penyiksaan terhadap binatang atau hewan
dan perjudian, juga terdapat nilai-nilai yang baik seperti
penguatan solidaritas melalui tindakan sosial, perilaku
warga madura, simbol-simbol dan perkataan atau
perkataan yang menunjukkan adanya penguatan
solidaritas diantara warga madura yang memiliki
rasa kesamaan untuk mencintai Budaya Kerapan Sapi.
Oleh sebab itu, Budaya Kerapan Sapi memamg
benar dapat dijadikan sebagai media untuk menguatkan
solidaritas sebagai modal sosial warga Madura. Hal
ini terbukti dari proses-proses terbentuknya modal sosial
melalui 3 aspek penting yaitu: aspek penyelenggaraan,
aspek pihak-pihak yang terlibat, dan aspek kepentingan.
Aspek-aspek inilah yang menjadi pedoman dalam
menciptakan kelestarian Budaya Kerapan Sapi melalui
modal sosial warga Madura..
warga harus terus mempertahankan nilai-nilai
yang ada dalam Budaya Kerapan Sapi terutama nilai
solidaritas yang menjadi salah satu faktor penting dari
lestarinya Budaya Kerapan Sapi di Madura.Adanya
kekerasan terhadap binatang, seharusnya dapat segera
dihilangkan karena hal ini dapat menjadi citra buruk dari
Budaya Kerapan Sapi yang memiliki manfaat besar
dalam menguatkan tali persaudaraan sebagai modal sosial
warga Madura.
warga madura, dikenal sebagai warga
yang haus akan kebanggan dan kehormatan. Untuk itu
dalam upaya mempertahankan Budaya Kerapan Sapi
sudah sewajarnya diberikan suatu penghargaan yang
tinggi bagi pelaku-pelaku baik yang langsung maupun t
idak langsung.Pemerintah Daerah yang dalam hal ini
diwakili oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Bangkalan harus terus memberikan
dukungannya terhadap pelaksanaan Budaya Kerapan Sapi
tanpa kekerasan, sehingga aspek negatif dari Budaya
Kerapan Sapi dapat dihilangkan dan tidak menjadi
perdebatan yang akhirnya menimbulkan konflik baik
internal maupun eksternal