Rabu, 12 Februari 2025

ternak sapi 2




Penelitian yang dilakukan merupakan sebuah penelitian lanjutan dari hasil

ditemukannya kasus pneumoni pada paru-paru sapi yang berasal dari tempat

pemotongan hewan (TPH) di kota Gorontalo sebelumnya. Tujuan dari penelitian ini

untuk mengetahui apakah ada pertumbuhan bakteri pada paru-paru sapi yang

mengalami pneumoni dan melihat bentuk patologi dari pneumoni yang ditemukan.

Metode penelitian dilakukan dengan melakukan pemeriksaan makropatologi paru-paru

yang mengalami pneumoni. Paru-paru yang mengalami pneumoni dimasukkan ke dalam

kantung plastik steril dan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan

mikrobiologi. Isolasi bakteri kemudian dilakukan dengan melakukan penanaman isolat ke

nutrien agar (NA) dan selanjutnya dilakukan pengamatan yang meliputi bentuk koloni,

tepi, diameter, permukaan, elevasi, konsistensi koloni, status gram bakteri dan sifat

bakteri lainnya. Sebagian jaringan pneumoni diambil untuk dilakukan pemeriksaan

histopatologi. Hasil yang diperoleh disajikan secara deskriptif.

Hasil pemeriksaan makropatologi ditemukan paru-paru yang mengalami atelektasis,

pneumoni intersisial, pneumoni aspirasi dan lobarpneumoni. Hasil penanaman mikroba

ditemukan adanya pertumbuhan bakteri yang berasal dari isolat paru-paru yang

mengalami pneumoni. Hasil pemeriksaan histopatologi diketahui terjadi multifocal

necrotizing chronic fibrinous suppurative bronchopneumonia pada paru-paru yang

mengalami lobarpneumonia dan diffuse catarrhal bronchopneumonia pada kasus

atelektasis. Ada dugaan keterkaitan pertumbuhan bakteri dengan terjadinya pneumoni,

namun adanya pertumbuhan bakteri pada kasus penumonia juga dapat merupakan

bagian infeksi sekunder dari penyakit lain.


Penelitian ini merupakan sebuah

penelitian lanjutan dari hasil

ditemukannya kejadian pneumoni (radang

paru-paru) pada sapi yang dipotong di

tempat pemotongan hewan (TPH) di kota

Gorontalo. Kejadian pneumoni pada

organ paru-paru sapi yang dipotong di

tempat potong hewan di kota Gorontalo

telah ditemukan  Dari 76 sampel paru sapi

yang diperiksa 49 organ mengalami

pneumoni. Sampai saat ini kejadian

itu  masih sering ditemukan pada sapi

baik yang dipotong ditempat pemotongan

hewan atau pemotongan yang sifatnya

secara mandiri dilakukan.  kejadian yang sama pada

saat melakukan pemeriksaan hewan

kurban, yaitu ditemukan kejadian

pneumoni seperti lobus yang ada  pus

(nanah). Sampai saat ini belum diketahui

secara pasti faktor pemicu  pneumoni

dan penyakit apa yang menyebabkan

pneumoni itu .

Gangguan pada paru-paru salah

satunya dapat disebabkan oleh infeksi

penyakit dan akan menimbulkan

manefestasi peradangan pada tiap

lobusnya. Peradangan yang terjadi pada

paru-paru sering disebut dengan

pneumoni atau pneumonitis , Faktor pemicu  kejadian

pneumoni bisa sangat beragam. Menurut

Myint dan Carter (1989), manifestasi

pneumoni pada sapi dapat diakibatkan

oleh virus, bakteri atau kombinasi

keduanya, parasit metazoa dan agen-agen

fisik/kimia lainnya. Sebagai upaya awal

untuk mengetahui pemicu  terjadinya

pneumoni pada sapi itu  akan

dilakukan pemeriksaan salah satunya

dengan melakukan pemeriksaan mikroba

dan pengamatan patologi organ paru-paru

yang mengalami pneumoni..


Pengambilan Paru-paru Sapi

Pengambilan sampel dilakukan

segera setelah sapi dipotong dan paru-

paru belum dipisahkan dari sapi dan

sesegera mungkin dimasukkan kedalam

kantung plastik steril dan diberi tanda.

Bagian paru-paru yang diambil untuk

diperiksa sebelumnya dilakukan

dokumentasi dengan kamera foto digital.

Penanaman pada Nutrient Agar (NA)

Sampel sebanyak 5 gram dihaluskan

secara aseptis. Sampel halus sebanyak 1

gram dimasukkan kedalam tabung reaksi

yang berisi 9 ml aquades steril untuk

selanjutnya dilakukan seri pengenceran

sampai pada taraf pengenceran 10-6.

Suspensi sampel sebanyak 1 ml dari

masing-masing pengenceran berseri pada

teknik dilusi dan dimasukkan ke dalam

cawan petri steril, cawan segera ditutup

agar terhindar dari kontaminan. Masing-

masing cawan petri berisi hasil

pengenceran ditambahkan nutrient agar

(NA). Segera setelah media dimasukkan,

cawan petri diputar secara perlahan-lahan

di atas meja horizontal untuk mengaduk

campuran media agar dengan dilusi kultur

mikroba. Setelah memadat, cawan-cawan

itu  diletakkan dalam posisi terbalik.

Inkubasi dilakukan pada suhu 37ºC,

diinkubasi selama 18-24 jam. Pengamatan

pada media biakan dilakukan setelah

media biakan dikeluarkan dari inkubator

dari waktu yang sudah ditentukan. Hasil

pengamatan penanaman bakteri yang

dilakukan meliputi bentuk koloni, tepi,

diameter, permukaan, elevasi dan

konsistensi koloni. Hasil pertumbuhan

koloni bakteri kemudian diambil untuk

dilakukan pewarnaan untuk mengetahui

jenis gram bakteri. Koloni bakteri yang

tumbuh dimurnikan sebagai isolat murni

pada medium agar miring.

Pemeriksaan Histopatologi

Bagian paru-paru yang mengalami

pneumoni dipotong selanjutnya

dimasukkan dalam gelas kaca kecil steril

yang telah diberi netral buffer formalin 10

%. Selanjutnya dilakukan dehidrasi

dengan cara merendam potongan organ

secara berurutan ke dalam alkohol 70%,

80%, 95%, dan 98% selama beberapa jam.

Kemudian dilakukan clearing atau

penjernihan dengan merendam potongan

organ dalam Xylol atau Toluena atau

Benzena, kemudian infiltrasi dengan

parafin cair. Tahap berikutnya dilakukan

embedding dan blocking dimana potongan

organ ditanam pada blok yang telah

disiapkan kemudian disimpan dalam

lemari dingin selama 24 jam. Setelah itu

dilakukan sectioning atau pemotongan

dengan alat mikrotome setebal 5 mikron

dan dilanjutkan dengan pewarnaan dan

mounting dengan metode harris-

hematoxilin eosin sampai dilakukan

pengamatan dengan mikroskop.


Hasil Pemeriksaan Mikroba

Berdasarkan hasil pemeriksaan

mikrobiologi terhadap sampel paru-paru

sapi yang mengalami pneumoni

ditemukan adanya mikroba khususnya

bakteri. Adapun hasil pengamatan

terhadap morfologi koloni bakteri

sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1.

Hasil pemeriksaan terhadap

morfologi sel bakteri dan pewarnaan gram

menunjukkan bahwa isolat bakteri yang

tumbuh pada sampel paru-paru sapi yang

mengalami pneumoni rata-rata hampir

sama yaitu berbentuk batang dan bulat

dan tergolong kedalam kelompok gram

negatif dan gram positif sebagaimana

ditunjukkan pada gambar 2.

Pemeriksaan Patologi Paru-paru Sapi

Hasil pemeriksaan makropatologi

ditemukan adanya kasus kejadian

pneumoni pada sapi yang telah dipotong

baik di TPH Biau maupun TPH Andalas.

Kasus pneumonia yang ditemukan sangat

beragam yang meliputi atelektasis,

pneumonia aspirasi, pneumonia intersisial

dan lobarpneumoni (gambar 3). Hasil

pemeriksaan histopatologi dari kasus

lobarpneumoni diketahui mengalami

multifocal necrotizing chronic fibrinous

suppurative bronchopneumonia dan kasus

atelektasis serta pneumoni intersisial

mengalami diffuse catarrhal

bronchopneumonia.

Beberapa kasus pneumoni

menunjukkan hasil yang berbeda dalam

pemeriksaan histopatologi. Adanya

perbedaan histopatologi terkait dari jenis

agen pemicu  pneumoni dan lamanya

waktu terjadinya pneumoni. Dalam

pemeriksaan mikrobiologi ditemukan

pertumbuhan bakteri dari semua isolat

paru-paru sapi yang mengalami pneumoni.

Secara umum hasil keseluruhan penelitian

tersaji dalam tabel 1.


Pembahasan

Paru-paru merupakan salah satu

organ pernafasan bagi makhluk hidup

khususnya mamalia. Paru-paru dapat

berfungsi normal apabila dalam keadaan

sehat dan tidak terinfeksi suatu agen kimia

maupun agen biologi. Agen biologi yang

dapat bersifat patogen pada paru-paru

dapat berupa bakteri, jamur, parasit

maupun virus. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa paru-paru sapi yang

mengalami pneumoni setelah dilakukan

uji mikrobiologis ditemukan adanya

pertumbuhan mikroorganisme khususnya

adalah kelompok bakteri.

Gambar 1. Morfologi isolat

mikroorganisme dari paru-paru sapi asal

TPH di kota Gorontalo yang mengalami

pneumoni

Adanya pertumbuhan bakteri isolat

paru-paru sapi yang mengalami pneumoni

diduga merupakan flora normal yang

berasal dari sistem pernafasan bagian atas

seperti rongga hidung, laring dan trakea.

Paru-paru sapi yang sehat atau normal

idealnya tidak ada  adanya bakteri

yang tergolong flora normal. Flora normal

adalah kumpulan mikroorganismeyang

secara alami ada  pada tubuh hewan

atau manusia normal dan sehat.

Kebanyakan flora normal yang ada 

pada tubuh hewan dan manusia adalah

dari jenis bakteri. Namun beberapa virus,

jamur, dan protozoa juga dapat ditemukan

pada host yang sehat. Untuk dapat

menyebabkan penyakit, mikroorganisme

patogen harus dapat masuk ke tubuh host,

namun tidak semua pertumbuhan

mikroorganisme dalam tubuh host dapat

memyebabkan penyakit. Banyak

mikroorganisme tumbuh pada permukaan

tubuh host tanpa menyerang jaringan

tubuh dan merusak fungsi normal tubuh.

Flora normal dalam tubuh umumnya tidak

patogen, namun pada kondisi tertentu

dapat menjadi patogen oportunistik

(ikutan). Penyakit timbul bila infeksi

menghasilkan perubahan pada fisiologi

normal tubuh. Dalam keadaan normal

darah dan jaringan merupakan bagian

tubuh yang steril dari flora normal

(Guyton, 1997). Adanya migrasi flora

normal saluran pernafasan bagian atas ke

paru-paru dan bertahan hidup di dalam

paru-paru diduga menjadi pemicu 

terjadinya pneumoni. Adanya infeksi

infeksi akibat agen patogen yang lain juga

dapat menjadi munculnya infeksi

sekunder pada paru-paru.

Gambar 2. Morfologi sel bakteri yang

ditemukan pada paru-paru sapi yang

mengalami pneumoni.

Hasil penelitian ini menarik untuk

diulas mengingat sapi yang dipilih

merupakan sapi pilihan yang rata-rata

gemuk dan secara fisik tampak sehat,

namun pada kenyataannya setelah

dilakukan pemeriksaan makropatologi

terhadap organ paru-paru sapi, ada

beberapa organ ditemukan adanya kasus

pneumoni. Hal ini menunjukkan bahwa

sapi saat hidup sudah mengalami sakit

belum terlalu parah serta tidak

menunjukkan gejala klinis.

Paru-paru sapi normal akan tampak

berwarna pink dan multilobularis. Pada

saat palpasi konsistensi paru-paru seperti

bunga karang atau spon (gambar 3a). Pada

kejadian atelektasis paru-paru ditemukan

dengan ukuran lebih kecil dari ukuran

normalnya (gambar 3b). Atelektasis

adalah pengkerutan sebagian atau seluruh

lobus paru-paru akibat penyumbatan

saluran udara (bronkus maupun

bronkiolus) atau akibat pernafasan yang

sangat dangkal ,pemicu 

utama terjadinya atelektasis adalah adanya

penyumbatan pada bronkus. Bronkus

merupakan percabangan utama dari trakea

yang langsung menuju ke paru-paru.

Penyumbatan dapat pula terjadi pada

saluran pernafasan yang lebih kecil.

Beberapa faktor penyumbat bisa

diakibatkan oleh gumpalan lendir, tumor,

benda asing yang terhisap ke dalam

bronkus atau adanya cacing , cacing Dictyocaulus viviparus

dapat mengakibatkan paru-paru

mengalami penyumbatan. Apabila saluran

pernafasan tersumbat, udara di dalam

alveoli akan terserap ke dalam aliran

darah sehingga alveoli akan menciut dan

memadat. Jaringan paru-paru yang

mengkerut akan terisi dengan sel darah,

serum, lendir dan kemudian dapat

mengalami infeksi. Kejadian atelektasis

ini juga pernah ditemukan kasusnya pada

sapi yang dipotong di TPH kota Gorontalo

oleh Rokhyati dan Nugroho (2009).

Pneumoni interstisial adalah proses

inflamasi yang lebih atau terbatas pada

dinding alveolar dan jaringan peribroncial

atau interlobular (gambar 1c). Pada

pneumoni interstisial tampak jelas telihat

pembesaran septa interstisial dan

berwarna warna putih mencolok pada

paru-paru (3c tanda panah). Lobus paru-

paru yang mengalami pneumoni

interstisial tampak berubah warna lebih

pucat (tanda lingkaran) yang diduga

akibat kekurangan suplai darah

dibandingkan dengan lobus yang lain

yang tampak berwarna lebih pink.

Merujuk pada pernyataan Gabor (2003),

pneumoni interstisial ini termasuk ke

dalam kategori pneumoni dengan lokasi

yang dangkal, artinya eksudat ditemukan

di jaringan antara.

Bentuk pneumoni selanjutnya adalah

pneumoni aspirasi, yaitu infeksi paru-paru

yang disebabkan oleh terhirupnya bahan-

bahan ke dalam saluran pernafasan

(gambar 3d). Pneumoni ini sering sekali

dialami oleh sapi-sapi yang dipotong

(Ressang, 1984). Hal ini masih bersifat

wajar karena pada saat pemotongan

saluran pernafasan dan saluran

pencernaan dipotong secara bersamaan,

sehingga pada saat sapi bereaksi terhadap

sayatan pisau, sapi akan melakukan

inspirasi yang sangat kuat dan pada

akhirnya akan menyebabkan isi dari

saluran pencernaan terhisap masuk sampai

ke paru-paru. Kejadian seperti ini sering

ditemukan pada saat pemotongan trachea,

arteri carotis comunis, vena jugularis dan

oesophagus dilakukan secara bersamaan.

Bakteri yang tumbuh pada media diduga

merupakan bakteri kontaminan yang

berasal dari saluran pencernaan saat

dipotong.

Kasus lobarpneumoni juga

ditemukan dalam penelitian ini.

Lobarpneumoni dikategorikan juga ke

dalam pneumonia crouposa atau

pneumoni fibrinosa (Graydon dkk., 1993;

Ressang, 1984). Lobarpneumoni berbeda

dengan bronchopneumoni, jika

lobarpneumoni radang terjadi hanya pada

satu lobus tertentu sedangkan

brochopneumoni terjadi hampir pada

seluruh lobus paru-paru. Bentuk pertama

paru-paru yang mengalami

lobarpneumoni tampak mengalami edema.

Edema paru adalah akumulasi cairan di

paru-paru akibat peningkatan tekanan

intravaskular. Edema paru terjadi oleh -


Edema paru adalah akumulasi cairan di

paru-paru akibat peningkatan tekanan

intravaskular. Edema paru terjadi oleh

karena adanya aliran cairan dari darah ke

ruang intersisial paru yang selanjutnya ke

alveoli paru, melebihi aliran cairan

kembali ke darah atau melalui saluran

limfatik. Pada paru-paru tampak daerah

yang mengalami edema berwarna lebih

merah (hiperemia) dibandingkan warna

paru-paru. Terlihat adanya akumulasi

cairan darah yang terjebak dalam ruang-

ruang alveoli yang sudah tampak

mengalami kematian sel (gambar 3e).

Bentuk lain lobarpneumoni yang

ditemukan adalah adanya lobus paru-paru

yang mengalami radang yang

mengandung nanah (gambar 3f). Kondisi

paru-paru seperti ini bisa disebut dengan

lobarpneumonia. 

pada kejadian pneumonia lobar yang

mengalami hepatisasi grey (kelabu) fibrin

akan mengisi seluruh ruangan alveoli dan

pembuluh darah di dalam septa sekarang

tertekan dan tertututp oleh fibrin itu .

Paru-paru dalam keadaan ini sangat

kekurangan darah. Kekurangan darah dan

adanya jumlah besar leukosit di dalam

alveoli memberikan warna kelabu pada

paru-paru. Pada kasus lobarpneumonia

proses patologisnya ada beberapa fase

yaitu red hepatisation (perdarahan

hemoragic), gray hepatisation

(peradangan fibrin ditandai adanya

exsudat fibrin), yellow hepatisation

(peradangan yang disertai nanah atau

abses).

Hasil pemeriksaan histopatologi pada

paru-paru yang mengalami

lobarpneumonia diketahui paru-paru

mengalami multifocal necrotizing chronic

fibrinous suppurative bronchopneumonia,

sedangkan paru-paru yang mengalami

atelektasis dan pneumoni intersisial

diketahui paru-paru mengalami diffuse

catarrhal bronchopneumonia. Beberapa

penyakit bakteri diketahui dapat

mengakibatkan perubahan patologi pada

paru-paru sapi misalnya seperti penyakit

ngorok sapi atau sering dikenal juga

dengan Septicemia epizotica (SE),

Tuberkulosis (TBC) dan penyakit lain

yang disebabkan oleh bakteri flora normal

saluran pernafasan seperti Streptococcus

sp., Staphylococcus sp., Klebsiela sp. dan

lain sebagainya atau bisa juga akibat dari

bakteri saluran pencernaan seperti

golongan bakteri Enterobacteriaceae sp.


ada  mikroba jenis bakteri pada

sampel paru-paru sapi yang berasal dari

TPH di kota Gorontalo mengalami

pneumoni. Hasil pengamatan morfologi

diduga ada  14 jenis bakteri yang

ditemukan pada paru-paru sapi yang

mengalami pneumoni yang ditandai

dengan perbedaan morfologi koloni dan

morfologi sel serta responnya terhadap

perwarnaan gram. Paru-paru yang

mengalami atelektasis secara

histopatologi mengalami multifocal

necrotizing chronic fibrinous suppurative

bronchopneumonia, sedangkan paru-paru

yang mengalami lobarpneumonia

diketahui paru-paru mengalami diffuse

catarrhal bronchopneumonia..



Daging didefinisikan sebagai semua 

jaringan hewan dan semua hasil pengolahan 

jaringan-jaringan tersebut sesuai untuk 

dimakan serta tidak menimbulkan 

gangguan kesehatan bagi yang 

mengkonsumsinya. Organ-organ misalnya 

hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, 

pankreas, dan jaringan otot termasuk dalam 

definisi ini. Secara umum daging 

mengandung sekitar 75% air, dengan 

kisaran 68-80%, protein sekitar 19% (16-

22%), mineral 1% serta lemak sekitar 2.5% 

(1.5-13.0%) (Soeparno, 1992). Protein asal 

daging mengandung asam-asam amino 

esensial karena merupakan bahan pangan 

yang sangat baik dipakai  sebagai sumber 

protein hewani dalam perbaikan gizi, 

walaupun masih perlu pula 

dipertimbangkan masalah penyediaan dan 

harganya (Purnomo dan Padaga, 1996).  

Menurut  Nurwantoro dan Mulyani 

(2003), cooking loss atau susut masak 

menggambarkan jus daging yang 

merupakan fungsi suhu dan lama waktu 

pemasakan atau pemanasan. Pada filamen-

filamen pemasakan 80oC, daging yang 

mengalami pemendekan dingin pada pH 

normal 5,4-5,8 menghasilkan susut masak 

yang lebih besar daripada susut masak 

(cooking loss) daging regang dengan 

panjang serabut yang sama. Pemasakan 

pada filamen-filamen 90oC juga dapat 

menghasilkan susut masak otot. Susut 

masak menurun secara linear dengan 

bertambahnya umur tenak. 

Daya ikat air atau yang dapat juga 

disebut Water Holding Capaity (WHC) atau 

Water Binding Capacity (WBC) adalah 

kemampuan daging untuk mengikat 

airnyaatau air yang ditambahkan selama 

ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya 

pemotongan daging, pemanasan, 

pendinginan dan tekanan  menambahkan nilai WHC 

daging dipengaruhi oleh susunan jarak 

molekul dari protein myofibril terutama 

miosin dan serabut-serabut (filamen-

filamen). Jika kekuatan tarik menarik antara 

molekul-molekul yang berdekatan 

menurun, disebabkan kenaikan muatan 

netto negative diantar muatan protein atau 

melemahnya ikatan hidrogen maka jaringan 

protein akan membesar, pembengkakan 

meningkat dan lebih banyak air yang terikat 

oleh protein, sehingga akan terjadi 

peningkatan WHC. Jika kekuatan tarik 

menarik ini mengalami penurunan terus 

menerus maka jaringan protein akan 

mengalami kerusakan dan gel akan menjadi 

larutan koloid. Jika kekuatan tarik menarik 

antara molekul yang berdekatan naik, maka 

air yang terikat akan dilepaskan kembali 

sehingga nilai WHC turun. 

bahwa 

kesan keempukan secara keseluruhan 

meliputi tekstur dan terdiri dari 3 aspek 

yaitu  (a) kemudahan awal penetrasi ke 

dalam daging, (b) mudahnya daging di 

kunyah menjadi potongan yang lebih kecil 

dan (c) jumlah residu yang tertinggal 

setelah pengunyahan.  


             Metode penelitian yang digunakan 

adalah adalah percobaan dengan Rancangan 

Acak Lengkap (RAL) dan diolah 

menggunakan Microsoft Office Excel. 

Sampel daging sapi segar dari 5 pedagang 

penjual daging sapi segar yang ada di pasar 

tradisional Kecamatan Poncokusumo 

Kabupaten Malang. Masing-masing sampel 

di ulang sebanyak 3 kali dan diambil pada 

pagi hari.  

Uji Kualitas Daging Sapi 

Pengujian kualitas daging sapi 

segar meliputi uji kadar air, uji pH, uji susut 

masak (cooking loss), uji daya ikat air / 

Water Holding Capacity (WHC) dan uji 

tekstur. 

1. Analisa kadar air menurut petunjuk 

AOAC (2005) ditentukan dengan cara 

oven. Prinsipnya adalah menguapkan 

molekul air (H

2

O) bebas yang ada 

dalam sampel. 

2. Analisa pH menurut petunjuk  

pH adalah derajat keasaman 

yang digunakan untuk menyatakan 

tingkat keasaman atau kebasaan pada 

sampel. 

3. Analisa susut masak (cooking loss) 

4. Analisa WHC (Water Holding 

Capacity) menurut petunjuk Honikel 

dan Hamm(1994). WHC adalah 

kemampuan matriks molekul bahan 

(makromolekul) untuk menahan 

keberadaan sejumlah air di dalam 

matriks sampel. 

5. Analisa keempukan menurut petunjuk 

Carballo, Fernandez, Baretto, Solas and 

Colmenero  (1996). Keempukan daging 

merupakan tingkat kekerasan tekstur 

yang dimiliki sampel daging. Diukur 

menggunakan Pnetrometer PNR6.  

Analisa Data 

Data yang diperoleh dianalisis 

menggunakan metode analisis ragam 

Rancangan Acak Lengkap  (RAL), bila 

terdapat perbedaan maka dilakukan Uji 

Jarak Berganda Duncan (UJBD).   


Data penelitian kualitas fisik daging 

sapi segar di pasar tradisional Kecamatan 

Poncokusumo Kabupaten Malang, yang 

meliputi kadar air (%), pH, susut masak 

(cooking loss) (%), daya ikat air (WHC) 

(%) dan tekstur (N) dapat dilihat pada  

Tabel 1.  


Keterangan :  Notasi a,b,c dan d  pada kolom yang 

sama menunjukkan pengaruh yang 

berbeda nyata (P<0.05) sedangkan 

notasi yang sama dari rata-rata pH 

menunjukkan tidak berpengaruh.  

Kadar air daging sapi sampel yang 

diambil dari pedagang penjual daging sapi 

segar, menunjukkan perbedaan pengaruh 

yang nyata (p<0,05). Pada Tabel 1 dapat 

dilihat bahwa kadar air tertinggi didapat 

pada sampel dari pedagang nomor 5, yaitu 

sebesar 77.64%. Sedangkan yang terendah 

dari pedagang nomor 2, yaitu sebesar 

74.60%. Kadar air merupakan salah satu 

faktor penyebab kerusakan bahan pangan, 

termasuk daging sapi, sebab air yang 

terkandung dalam bahan pangan merupakan 

media yang baik untuk mendukung 

pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme 

perusak bahan pangan. Lama penyimpanan 

juga akan mempengaruhi kadar air, yaitu 

semakin tingginya kadar air daging sapi. 

kadar air dalam daging berkisar antara 60 

 

70% dan apabila daging mempunyai kadar 

air yang tidak terlalu tinggi atau tidak 

terlalu rendah,  maka daging tersebut dapat 

tahan lama selama penyimpanan. 

pH daging sapi sampel yang diambil 

dari pedagang penjual daging sapi segar, 

menunjukkan tidak berpengaruh (p>0,05). 

Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa pH 

berkisar antara 5,6 

 

5,7. pH daging 

merupakan salah satu penentu kualitas 

daging, yaitu jika pH daging semakin 

rendah atau asam berarti daging 

tersebutakan lebih cepat mengalami 

pembusukan. Hampir semua bakteri 

tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7, 

tetapi pH untuk pertumbuhan optimal 

ditentuan oleh kerja stimulan dari berbagai 

variabel lain, diluar faktor pH itu sendiri.  

penurunan pH pada 

daging disebabkan karena lebih terbukanya 

struktur filamen-filamen miofibrilar, yang 

kemungkinan disebabkan oleh proses 

pemotongan karkas atau juga penggilingan, 

pada daging giling. Hal tersebut 

menyebabkan semakin banyak air yang 

masuk sehingga meningkatkan juga kadar 

daya ikat airnya (WHC).  

Soeparno (2005) menjelaskan 

bahwa perubahan pH daging setelah 

pemotongan ternak dipengaruhi oleh 

ketersediaan asam laktat di dalam otot. 

Ketersediaan asam laktat ini dipengaruhi 

oleh kandungan glikogen, dan kandungan 

glikogen dipengaruhi oleh penanganan 

ternak sebelum dipotong. Kandungan 

glikogen otot sangat rendah, yaitu pada 

kisaran 0,5 

 

1,3% dari berat daging segar. 

Dengan kata lain, penurunan pH terjadi 

secara bertahap dan membutuhkan jangka 

waktu yang lama.   

meneliti bahwa pada daging giling sapi 

yang ditambahkan ekstrak biji picung 

(Pengium edule),  cenderung meningkat pH 

nya dengan semakin meningkatnya 

konsentrasi ekstrak picung (0-6%) dan lama 

penyimpanan (0-9 hari) pada suhu dingin, 

yaitu berkisar antara 5,5 5,9. meneliti bahwa 

pH pada Sapi PO dan Sapi Silangan, tidak 

berbeda nyata. pH daging sapi PO 

(Peranakan Ongole) rata-rata  6,03 dan pH 

pada Sapi Silangan berkisar 5,96. bahwa 

keempukan daging tidak terlalu besar 

pengaruhnya diantara perbedaan bangsa 

sapi, dan sebagian besar berhubungan 

dengan reduksi sistem enzim calpain dalam 

daging. 

Cooking Loss atau susut masak 

daging sapi sampel yang diambil dari 

pedagang penjual daging sapi segar, 

menunjukkan perbedaan pengaruh yang 

nyata (p<0,05). Pada Tabel 1. dapat dilihat 

bahwa Cooking Loss atau susut masak  

tertinggi didapat pada sampel dari pedagang 

nomor 5, yaitu sebesar 27,26%. Sedangkan 

yang terendah dari pedagang nomor 2, yaitu 

sebesar 18,79%. Cooking loss merupakan 

jumlah cairan dalam daging masak, yang 

apabila mempunyai nilai yang rendah, maka 

akan mempunyai kualitas fisik yang lebih 

baik daripada daging yang mempunyai nilai 

cooking loss yang besar.  

bahwa cooking loss dipengaruhi oleh waktu 

post mati. Jangka waktu mati 

mempengaruhi cooking loss daging 

Perubahan cooking loss disebabkan 

terjadinya penurunan pH daging post 

mortem yang mengakibatkan banyak 

protein miofibriller yang rusak, sehinggga 

diikuti dengan kehilangan kemampuan 

protein untuk mengikat air yang pada 

akhirnya semakin besarnya cooking loss. 

Perbedaan susut masak dari data yang 

didapat, kemungkinan juga berhubungan 

dengan kandungan lemak pada otot, dimana 

otot yang mengandung lebih banyak lemak 

akan mengalami kehilangan lemak yang 

lebih tinggi pada saat pemasakan, serta 

adanya perbedaaan nilai pH dan WHC atau 

daya ikat airnya. meneliti 

bahwa cooking loss pada daging ayam 

broiler dari sampel yang diambil di pasar 

tradisional Kecamatan Poncokusumo 

Kabupaten Malang, berkisar antara 22,93-

34,44%. 

bahwa susut masak  mempunyai hubungan 

negative dengan daya ikat air (WHC). 

Daya ikat air (WHC) daging sapi 

sampel yang diambil dari pedagang penjual 

daging sapi segar, menunjukkan perbedaan 

pengaruh yang nyata (p<0,05). Pada    

Tabel 1. dapat dilihat bahwa WHC tertinggi 

didapat pada sampel dari pedagang nomor 

3, yaitu sebesar 54.32% sedangkan yang 

terendah dari pedagang nomor 1, yaitu 

sebesar 22,04%. Daya ikat air atau WHC 

diartikan sebagai kemampuan daging untuk 

menahan air yang terdapat dalam 

jaringannya.  bahwa besar kecilnya 

daya ikat air tersebut, akan berpengaruh 

terhadap warna, keempukan, kekenyalan, 

juiciness dan tekstur daging.  

 besar  kecilnya daya ikat air dipengaruhi oleh 

perbandingan kadar air dan protein, tipe 

protein myosin, pH, semua susunan jarak 

dari protein-protein miofibril terutama 

miosin dan serabut-serabut (filamen-

filamen). Kekuatan tarik menarik antara 

molekul yang berdekatan bias menurun, 

disebabkan kenaikan muatan negatif 

diantara muatan protein atau melemahkan 

ikatan hydrogen, maka jaringan protein 

akan membesar, sehingga pembengkakan 

meningkat dan lebih banyak air yang terikat 

oleh protein sehingga akan terjadi 

peningkatan nilai daya ikat air (WHC).  

bahwa penurunan pH akan meningkatkan 

kontraksi aktomiosin dan mengakibatkan 

menurunnya WHC akibat adanya 

pemecahan ATP yang cepat, yang akan 

meningkatkan proses denaturasi protein. 

Tekstur daging sapi sampel yang diambil 

dari pedagang penjual daging sapi segar, 

menunjukkan perbedaan pengaruh yang 

nyata (p<0,05). Pada Tabel 1. dapat dilihat 

bahwa nilai tekstur tertinggi didapat pada 

sampel dari pedagang nomor 1, yaitu 

sebesar 31,7 N sedangkan yang terendah 

dari pedagang nomor 3 dan 5, yaitu sebesar 

16,2 N. Tekstur daging juga merupakan 

parameter utama penentuan kualitas daging. 

Antemortem dan postmortem merupakan 

dua faktor yang mempengaruhi keempukan 

daging. Faktor antemortem seperti genetik, 

termasuk bangsa, spesies, dan fisiologi, 

jenis kelamin, umur, manajemen dan stress. 

Faktor post mortem meliputi metode 

chilling, refrigerasi, pelayuan dan 

pembekuan, lama dan suhu penyimpanan, 

metode pengolahan atau metode 

pemasakan.  

Perubahan nilai keempukan atau 

tekstur daging sewaktu pelayuan 

dipengaruhi oleh perubahan daya ikat air, 

penurunan daya ikat air menyebabkan 

penurunan nilai keempukan daging, 

kemudian nilai keempukan daging 

meningkat lagi setelah tercapainya pH 

isoelektrik ,

    

Kualitas fisik daging sapi segar di 

pasar tradisional Kecamatan Poncokusumo 

Kabupaten Malang yang diambil dari          

5 pedagang daging sapi segar, berpengaruh 

nyata (p<0.05) pada kualitas fisik, yaitu 

kadar air, cooking loss atau susut masak, 

daya ikat air (WHC) dan tekstur. 

Sedangkan pada pH, tidak berpengaruh atau 

tidah berbeda diantara pedagang tersebut.