ternak sapi 2
Penelitian yang dilakukan merupakan sebuah penelitian lanjutan dari hasil
ditemukannya kasus pneumoni pada paru-paru sapi yang berasal dari tempat
pemotongan hewan (TPH) di kota Gorontalo sebelumnya. Tujuan dari penelitian ini
untuk mengetahui apakah ada pertumbuhan bakteri pada paru-paru sapi yang
mengalami pneumoni dan melihat bentuk patologi dari pneumoni yang ditemukan.
Metode penelitian dilakukan dengan melakukan pemeriksaan makropatologi paru-paru
yang mengalami pneumoni. Paru-paru yang mengalami pneumoni dimasukkan ke dalam
kantung plastik steril dan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan
mikrobiologi. Isolasi bakteri kemudian dilakukan dengan melakukan penanaman isolat ke
nutrien agar (NA) dan selanjutnya dilakukan pengamatan yang meliputi bentuk koloni,
tepi, diameter, permukaan, elevasi, konsistensi koloni, status gram bakteri dan sifat
bakteri lainnya. Sebagian jaringan pneumoni diambil untuk dilakukan pemeriksaan
histopatologi. Hasil yang diperoleh disajikan secara deskriptif.
Hasil pemeriksaan makropatologi ditemukan paru-paru yang mengalami atelektasis,
pneumoni intersisial, pneumoni aspirasi dan lobarpneumoni. Hasil penanaman mikroba
ditemukan adanya pertumbuhan bakteri yang berasal dari isolat paru-paru yang
mengalami pneumoni. Hasil pemeriksaan histopatologi diketahui terjadi multifocal
necrotizing chronic fibrinous suppurative bronchopneumonia pada paru-paru yang
mengalami lobarpneumonia dan diffuse catarrhal bronchopneumonia pada kasus
atelektasis. Ada dugaan keterkaitan pertumbuhan bakteri dengan terjadinya pneumoni,
namun adanya pertumbuhan bakteri pada kasus penumonia juga dapat merupakan
bagian infeksi sekunder dari penyakit lain.
Penelitian ini merupakan sebuah
penelitian lanjutan dari hasil
ditemukannya kejadian pneumoni (radang
paru-paru) pada sapi yang dipotong di
tempat pemotongan hewan (TPH) di kota
Gorontalo. Kejadian pneumoni pada
organ paru-paru sapi yang dipotong di
tempat potong hewan di kota Gorontalo
telah ditemukan Dari 76 sampel paru sapi
yang diperiksa 49 organ mengalami
pneumoni. Sampai saat ini kejadian
itu masih sering ditemukan pada sapi
baik yang dipotong ditempat pemotongan
hewan atau pemotongan yang sifatnya
secara mandiri dilakukan. kejadian yang sama pada
saat melakukan pemeriksaan hewan
kurban, yaitu ditemukan kejadian
pneumoni seperti lobus yang ada pus
(nanah). Sampai saat ini belum diketahui
secara pasti faktor pemicu pneumoni
dan penyakit apa yang menyebabkan
pneumoni itu .
Gangguan pada paru-paru salah
satunya dapat disebabkan oleh infeksi
penyakit dan akan menimbulkan
manefestasi peradangan pada tiap
lobusnya. Peradangan yang terjadi pada
paru-paru sering disebut dengan
pneumoni atau pneumonitis , Faktor pemicu kejadian
pneumoni bisa sangat beragam. Menurut
Myint dan Carter (1989), manifestasi
pneumoni pada sapi dapat diakibatkan
oleh virus, bakteri atau kombinasi
keduanya, parasit metazoa dan agen-agen
fisik/kimia lainnya. Sebagai upaya awal
untuk mengetahui pemicu terjadinya
pneumoni pada sapi itu akan
dilakukan pemeriksaan salah satunya
dengan melakukan pemeriksaan mikroba
dan pengamatan patologi organ paru-paru
yang mengalami pneumoni..
Pengambilan Paru-paru Sapi
Pengambilan sampel dilakukan
segera setelah sapi dipotong dan paru-
paru belum dipisahkan dari sapi dan
sesegera mungkin dimasukkan kedalam
kantung plastik steril dan diberi tanda.
Bagian paru-paru yang diambil untuk
diperiksa sebelumnya dilakukan
dokumentasi dengan kamera foto digital.
Penanaman pada Nutrient Agar (NA)
Sampel sebanyak 5 gram dihaluskan
secara aseptis. Sampel halus sebanyak 1
gram dimasukkan kedalam tabung reaksi
yang berisi 9 ml aquades steril untuk
selanjutnya dilakukan seri pengenceran
sampai pada taraf pengenceran 10-6.
Suspensi sampel sebanyak 1 ml dari
masing-masing pengenceran berseri pada
teknik dilusi dan dimasukkan ke dalam
cawan petri steril, cawan segera ditutup
agar terhindar dari kontaminan. Masing-
masing cawan petri berisi hasil
pengenceran ditambahkan nutrient agar
(NA). Segera setelah media dimasukkan,
cawan petri diputar secara perlahan-lahan
di atas meja horizontal untuk mengaduk
campuran media agar dengan dilusi kultur
mikroba. Setelah memadat, cawan-cawan
itu diletakkan dalam posisi terbalik.
Inkubasi dilakukan pada suhu 37ºC,
diinkubasi selama 18-24 jam. Pengamatan
pada media biakan dilakukan setelah
media biakan dikeluarkan dari inkubator
dari waktu yang sudah ditentukan. Hasil
pengamatan penanaman bakteri yang
dilakukan meliputi bentuk koloni, tepi,
diameter, permukaan, elevasi dan
konsistensi koloni. Hasil pertumbuhan
koloni bakteri kemudian diambil untuk
dilakukan pewarnaan untuk mengetahui
jenis gram bakteri. Koloni bakteri yang
tumbuh dimurnikan sebagai isolat murni
pada medium agar miring.
Pemeriksaan Histopatologi
Bagian paru-paru yang mengalami
pneumoni dipotong selanjutnya
dimasukkan dalam gelas kaca kecil steril
yang telah diberi netral buffer formalin 10
%. Selanjutnya dilakukan dehidrasi
dengan cara merendam potongan organ
secara berurutan ke dalam alkohol 70%,
80%, 95%, dan 98% selama beberapa jam.
Kemudian dilakukan clearing atau
penjernihan dengan merendam potongan
organ dalam Xylol atau Toluena atau
Benzena, kemudian infiltrasi dengan
parafin cair. Tahap berikutnya dilakukan
embedding dan blocking dimana potongan
organ ditanam pada blok yang telah
disiapkan kemudian disimpan dalam
lemari dingin selama 24 jam. Setelah itu
dilakukan sectioning atau pemotongan
dengan alat mikrotome setebal 5 mikron
dan dilanjutkan dengan pewarnaan dan
mounting dengan metode harris-
hematoxilin eosin sampai dilakukan
pengamatan dengan mikroskop.
Hasil Pemeriksaan Mikroba
Berdasarkan hasil pemeriksaan
mikrobiologi terhadap sampel paru-paru
sapi yang mengalami pneumoni
ditemukan adanya mikroba khususnya
bakteri. Adapun hasil pengamatan
terhadap morfologi koloni bakteri
sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1.
Hasil pemeriksaan terhadap
morfologi sel bakteri dan pewarnaan gram
menunjukkan bahwa isolat bakteri yang
tumbuh pada sampel paru-paru sapi yang
mengalami pneumoni rata-rata hampir
sama yaitu berbentuk batang dan bulat
dan tergolong kedalam kelompok gram
negatif dan gram positif sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 2.
Pemeriksaan Patologi Paru-paru Sapi
Hasil pemeriksaan makropatologi
ditemukan adanya kasus kejadian
pneumoni pada sapi yang telah dipotong
baik di TPH Biau maupun TPH Andalas.
Kasus pneumonia yang ditemukan sangat
beragam yang meliputi atelektasis,
pneumonia aspirasi, pneumonia intersisial
dan lobarpneumoni (gambar 3). Hasil
pemeriksaan histopatologi dari kasus
lobarpneumoni diketahui mengalami
multifocal necrotizing chronic fibrinous
suppurative bronchopneumonia dan kasus
atelektasis serta pneumoni intersisial
mengalami diffuse catarrhal
bronchopneumonia.
Beberapa kasus pneumoni
menunjukkan hasil yang berbeda dalam
pemeriksaan histopatologi. Adanya
perbedaan histopatologi terkait dari jenis
agen pemicu pneumoni dan lamanya
waktu terjadinya pneumoni. Dalam
pemeriksaan mikrobiologi ditemukan
pertumbuhan bakteri dari semua isolat
paru-paru sapi yang mengalami pneumoni.
Secara umum hasil keseluruhan penelitian
tersaji dalam tabel 1.
Pembahasan
Paru-paru merupakan salah satu
organ pernafasan bagi makhluk hidup
khususnya mamalia. Paru-paru dapat
berfungsi normal apabila dalam keadaan
sehat dan tidak terinfeksi suatu agen kimia
maupun agen biologi. Agen biologi yang
dapat bersifat patogen pada paru-paru
dapat berupa bakteri, jamur, parasit
maupun virus. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa paru-paru sapi yang
mengalami pneumoni setelah dilakukan
uji mikrobiologis ditemukan adanya
pertumbuhan mikroorganisme khususnya
adalah kelompok bakteri.
Gambar 1. Morfologi isolat
mikroorganisme dari paru-paru sapi asal
TPH di kota Gorontalo yang mengalami
pneumoni
Adanya pertumbuhan bakteri isolat
paru-paru sapi yang mengalami pneumoni
diduga merupakan flora normal yang
berasal dari sistem pernafasan bagian atas
seperti rongga hidung, laring dan trakea.
Paru-paru sapi yang sehat atau normal
idealnya tidak ada adanya bakteri
yang tergolong flora normal. Flora normal
adalah kumpulan mikroorganismeyang
secara alami ada pada tubuh hewan
atau manusia normal dan sehat.
Kebanyakan flora normal yang ada
pada tubuh hewan dan manusia adalah
dari jenis bakteri. Namun beberapa virus,
jamur, dan protozoa juga dapat ditemukan
pada host yang sehat. Untuk dapat
menyebabkan penyakit, mikroorganisme
patogen harus dapat masuk ke tubuh host,
namun tidak semua pertumbuhan
mikroorganisme dalam tubuh host dapat
memyebabkan penyakit. Banyak
mikroorganisme tumbuh pada permukaan
tubuh host tanpa menyerang jaringan
tubuh dan merusak fungsi normal tubuh.
Flora normal dalam tubuh umumnya tidak
patogen, namun pada kondisi tertentu
dapat menjadi patogen oportunistik
(ikutan). Penyakit timbul bila infeksi
menghasilkan perubahan pada fisiologi
normal tubuh. Dalam keadaan normal
darah dan jaringan merupakan bagian
tubuh yang steril dari flora normal
(Guyton, 1997). Adanya migrasi flora
normal saluran pernafasan bagian atas ke
paru-paru dan bertahan hidup di dalam
paru-paru diduga menjadi pemicu
terjadinya pneumoni. Adanya infeksi
infeksi akibat agen patogen yang lain juga
dapat menjadi munculnya infeksi
sekunder pada paru-paru.
Gambar 2. Morfologi sel bakteri yang
ditemukan pada paru-paru sapi yang
mengalami pneumoni.
Hasil penelitian ini menarik untuk
diulas mengingat sapi yang dipilih
merupakan sapi pilihan yang rata-rata
gemuk dan secara fisik tampak sehat,
namun pada kenyataannya setelah
dilakukan pemeriksaan makropatologi
terhadap organ paru-paru sapi, ada
beberapa organ ditemukan adanya kasus
pneumoni. Hal ini menunjukkan bahwa
sapi saat hidup sudah mengalami sakit
belum terlalu parah serta tidak
menunjukkan gejala klinis.
Paru-paru sapi normal akan tampak
berwarna pink dan multilobularis. Pada
saat palpasi konsistensi paru-paru seperti
bunga karang atau spon (gambar 3a). Pada
kejadian atelektasis paru-paru ditemukan
dengan ukuran lebih kecil dari ukuran
normalnya (gambar 3b). Atelektasis
adalah pengkerutan sebagian atau seluruh
lobus paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun
bronkiolus) atau akibat pernafasan yang
sangat dangkal ,pemicu
utama terjadinya atelektasis adalah adanya
penyumbatan pada bronkus. Bronkus
merupakan percabangan utama dari trakea
yang langsung menuju ke paru-paru.
Penyumbatan dapat pula terjadi pada
saluran pernafasan yang lebih kecil.
Beberapa faktor penyumbat bisa
diakibatkan oleh gumpalan lendir, tumor,
benda asing yang terhisap ke dalam
bronkus atau adanya cacing , cacing Dictyocaulus viviparus
dapat mengakibatkan paru-paru
mengalami penyumbatan. Apabila saluran
pernafasan tersumbat, udara di dalam
alveoli akan terserap ke dalam aliran
darah sehingga alveoli akan menciut dan
memadat. Jaringan paru-paru yang
mengkerut akan terisi dengan sel darah,
serum, lendir dan kemudian dapat
mengalami infeksi. Kejadian atelektasis
ini juga pernah ditemukan kasusnya pada
sapi yang dipotong di TPH kota Gorontalo
oleh Rokhyati dan Nugroho (2009).
Pneumoni interstisial adalah proses
inflamasi yang lebih atau terbatas pada
dinding alveolar dan jaringan peribroncial
atau interlobular (gambar 1c). Pada
pneumoni interstisial tampak jelas telihat
pembesaran septa interstisial dan
berwarna warna putih mencolok pada
paru-paru (3c tanda panah). Lobus paru-
paru yang mengalami pneumoni
interstisial tampak berubah warna lebih
pucat (tanda lingkaran) yang diduga
akibat kekurangan suplai darah
dibandingkan dengan lobus yang lain
yang tampak berwarna lebih pink.
Merujuk pada pernyataan Gabor (2003),
pneumoni interstisial ini termasuk ke
dalam kategori pneumoni dengan lokasi
yang dangkal, artinya eksudat ditemukan
di jaringan antara.
Bentuk pneumoni selanjutnya adalah
pneumoni aspirasi, yaitu infeksi paru-paru
yang disebabkan oleh terhirupnya bahan-
bahan ke dalam saluran pernafasan
(gambar 3d). Pneumoni ini sering sekali
dialami oleh sapi-sapi yang dipotong
(Ressang, 1984). Hal ini masih bersifat
wajar karena pada saat pemotongan
saluran pernafasan dan saluran
pencernaan dipotong secara bersamaan,
sehingga pada saat sapi bereaksi terhadap
sayatan pisau, sapi akan melakukan
inspirasi yang sangat kuat dan pada
akhirnya akan menyebabkan isi dari
saluran pencernaan terhisap masuk sampai
ke paru-paru. Kejadian seperti ini sering
ditemukan pada saat pemotongan trachea,
arteri carotis comunis, vena jugularis dan
oesophagus dilakukan secara bersamaan.
Bakteri yang tumbuh pada media diduga
merupakan bakteri kontaminan yang
berasal dari saluran pencernaan saat
dipotong.
Kasus lobarpneumoni juga
ditemukan dalam penelitian ini.
Lobarpneumoni dikategorikan juga ke
dalam pneumonia crouposa atau
pneumoni fibrinosa (Graydon dkk., 1993;
Ressang, 1984). Lobarpneumoni berbeda
dengan bronchopneumoni, jika
lobarpneumoni radang terjadi hanya pada
satu lobus tertentu sedangkan
brochopneumoni terjadi hampir pada
seluruh lobus paru-paru. Bentuk pertama
paru-paru yang mengalami
lobarpneumoni tampak mengalami edema.
Edema paru adalah akumulasi cairan di
paru-paru akibat peningkatan tekanan
intravaskular. Edema paru terjadi oleh -
Edema paru adalah akumulasi cairan di
paru-paru akibat peningkatan tekanan
intravaskular. Edema paru terjadi oleh
karena adanya aliran cairan dari darah ke
ruang intersisial paru yang selanjutnya ke
alveoli paru, melebihi aliran cairan
kembali ke darah atau melalui saluran
limfatik. Pada paru-paru tampak daerah
yang mengalami edema berwarna lebih
merah (hiperemia) dibandingkan warna
paru-paru. Terlihat adanya akumulasi
cairan darah yang terjebak dalam ruang-
ruang alveoli yang sudah tampak
mengalami kematian sel (gambar 3e).
Bentuk lain lobarpneumoni yang
ditemukan adalah adanya lobus paru-paru
yang mengalami radang yang
mengandung nanah (gambar 3f). Kondisi
paru-paru seperti ini bisa disebut dengan
lobarpneumonia.
pada kejadian pneumonia lobar yang
mengalami hepatisasi grey (kelabu) fibrin
akan mengisi seluruh ruangan alveoli dan
pembuluh darah di dalam septa sekarang
tertekan dan tertututp oleh fibrin itu .
Paru-paru dalam keadaan ini sangat
kekurangan darah. Kekurangan darah dan
adanya jumlah besar leukosit di dalam
alveoli memberikan warna kelabu pada
paru-paru. Pada kasus lobarpneumonia
proses patologisnya ada beberapa fase
yaitu red hepatisation (perdarahan
hemoragic), gray hepatisation
(peradangan fibrin ditandai adanya
exsudat fibrin), yellow hepatisation
(peradangan yang disertai nanah atau
abses).
Hasil pemeriksaan histopatologi pada
paru-paru yang mengalami
lobarpneumonia diketahui paru-paru
mengalami multifocal necrotizing chronic
fibrinous suppurative bronchopneumonia,
sedangkan paru-paru yang mengalami
atelektasis dan pneumoni intersisial
diketahui paru-paru mengalami diffuse
catarrhal bronchopneumonia. Beberapa
penyakit bakteri diketahui dapat
mengakibatkan perubahan patologi pada
paru-paru sapi misalnya seperti penyakit
ngorok sapi atau sering dikenal juga
dengan Septicemia epizotica (SE),
Tuberkulosis (TBC) dan penyakit lain
yang disebabkan oleh bakteri flora normal
saluran pernafasan seperti Streptococcus
sp., Staphylococcus sp., Klebsiela sp. dan
lain sebagainya atau bisa juga akibat dari
bakteri saluran pencernaan seperti
golongan bakteri Enterobacteriaceae sp.
ada mikroba jenis bakteri pada
sampel paru-paru sapi yang berasal dari
TPH di kota Gorontalo mengalami
pneumoni. Hasil pengamatan morfologi
diduga ada 14 jenis bakteri yang
ditemukan pada paru-paru sapi yang
mengalami pneumoni yang ditandai
dengan perbedaan morfologi koloni dan
morfologi sel serta responnya terhadap
perwarnaan gram. Paru-paru yang
mengalami atelektasis secara
histopatologi mengalami multifocal
necrotizing chronic fibrinous suppurative
bronchopneumonia, sedangkan paru-paru
yang mengalami lobarpneumonia
diketahui paru-paru mengalami diffuse
catarrhal bronchopneumonia..
Daging didefinisikan sebagai semua
jaringan hewan dan semua hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut sesuai untuk
dimakan serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang
mengkonsumsinya. Organ-organ misalnya
hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa,
pankreas, dan jaringan otot termasuk dalam
definisi ini. Secara umum daging
mengandung sekitar 75% air, dengan
kisaran 68-80%, protein sekitar 19% (16-
22%), mineral 1% serta lemak sekitar 2.5%
(1.5-13.0%) (Soeparno, 1992). Protein asal
daging mengandung asam-asam amino
esensial karena merupakan bahan pangan
yang sangat baik dipakai sebagai sumber
protein hewani dalam perbaikan gizi,
walaupun masih perlu pula
dipertimbangkan masalah penyediaan dan
harganya (Purnomo dan Padaga, 1996).
Menurut Nurwantoro dan Mulyani
(2003), cooking loss atau susut masak
menggambarkan jus daging yang
merupakan fungsi suhu dan lama waktu
pemasakan atau pemanasan. Pada filamen-
filamen pemasakan 80oC, daging yang
mengalami pemendekan dingin pada pH
normal 5,4-5,8 menghasilkan susut masak
yang lebih besar daripada susut masak
(cooking loss) daging regang dengan
panjang serabut yang sama. Pemasakan
pada filamen-filamen 90oC juga dapat
menghasilkan susut masak otot. Susut
masak menurun secara linear dengan
bertambahnya umur tenak.
Daya ikat air atau yang dapat juga
disebut Water Holding Capaity (WHC) atau
Water Binding Capacity (WBC) adalah
kemampuan daging untuk mengikat
airnyaatau air yang ditambahkan selama
ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya
pemotongan daging, pemanasan,
pendinginan dan tekanan menambahkan nilai WHC
daging dipengaruhi oleh susunan jarak
molekul dari protein myofibril terutama
miosin dan serabut-serabut (filamen-
filamen). Jika kekuatan tarik menarik antara
molekul-molekul yang berdekatan
menurun, disebabkan kenaikan muatan
netto negative diantar muatan protein atau
melemahnya ikatan hidrogen maka jaringan
protein akan membesar, pembengkakan
meningkat dan lebih banyak air yang terikat
oleh protein, sehingga akan terjadi
peningkatan WHC. Jika kekuatan tarik
menarik ini mengalami penurunan terus
menerus maka jaringan protein akan
mengalami kerusakan dan gel akan menjadi
larutan koloid. Jika kekuatan tarik menarik
antara molekul yang berdekatan naik, maka
air yang terikat akan dilepaskan kembali
sehingga nilai WHC turun.
bahwa
kesan keempukan secara keseluruhan
meliputi tekstur dan terdiri dari 3 aspek
yaitu (a) kemudahan awal penetrasi ke
dalam daging, (b) mudahnya daging di
kunyah menjadi potongan yang lebih kecil
dan (c) jumlah residu yang tertinggal
setelah pengunyahan.
Metode penelitian yang digunakan
adalah adalah percobaan dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dan diolah
menggunakan Microsoft Office Excel.
Sampel daging sapi segar dari 5 pedagang
penjual daging sapi segar yang ada di pasar
tradisional Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang. Masing-masing sampel
di ulang sebanyak 3 kali dan diambil pada
pagi hari.
Uji Kualitas Daging Sapi
Pengujian kualitas daging sapi
segar meliputi uji kadar air, uji pH, uji susut
masak (cooking loss), uji daya ikat air /
Water Holding Capacity (WHC) dan uji
tekstur.
1. Analisa kadar air menurut petunjuk
AOAC (2005) ditentukan dengan cara
oven. Prinsipnya adalah menguapkan
molekul air (H
2
O) bebas yang ada
dalam sampel.
2. Analisa pH menurut petunjuk
pH adalah derajat keasaman
yang digunakan untuk menyatakan
tingkat keasaman atau kebasaan pada
sampel.
3. Analisa susut masak (cooking loss)
4. Analisa WHC (Water Holding
Capacity) menurut petunjuk Honikel
dan Hamm(1994). WHC adalah
kemampuan matriks molekul bahan
(makromolekul) untuk menahan
keberadaan sejumlah air di dalam
matriks sampel.
5. Analisa keempukan menurut petunjuk
Carballo, Fernandez, Baretto, Solas and
Colmenero (1996). Keempukan daging
merupakan tingkat kekerasan tekstur
yang dimiliki sampel daging. Diukur
menggunakan Pnetrometer PNR6.
Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan metode analisis ragam
Rancangan Acak Lengkap (RAL), bila
terdapat perbedaan maka dilakukan Uji
Jarak Berganda Duncan (UJBD).
Data penelitian kualitas fisik daging
sapi segar di pasar tradisional Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang, yang
meliputi kadar air (%), pH, susut masak
(cooking loss) (%), daya ikat air (WHC)
(%) dan tekstur (N) dapat dilihat pada
Tabel 1.
Keterangan : Notasi a,b,c dan d pada kolom yang
sama menunjukkan pengaruh yang
berbeda nyata (P<0.05) sedangkan
notasi yang sama dari rata-rata pH
menunjukkan tidak berpengaruh.
Kadar air daging sapi sampel yang
diambil dari pedagang penjual daging sapi
segar, menunjukkan perbedaan pengaruh
yang nyata (p<0,05). Pada Tabel 1 dapat
dilihat bahwa kadar air tertinggi didapat
pada sampel dari pedagang nomor 5, yaitu
sebesar 77.64%. Sedangkan yang terendah
dari pedagang nomor 2, yaitu sebesar
74.60%. Kadar air merupakan salah satu
faktor penyebab kerusakan bahan pangan,
termasuk daging sapi, sebab air yang
terkandung dalam bahan pangan merupakan
media yang baik untuk mendukung
pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme
perusak bahan pangan. Lama penyimpanan
juga akan mempengaruhi kadar air, yaitu
semakin tingginya kadar air daging sapi.
kadar air dalam daging berkisar antara 60
70% dan apabila daging mempunyai kadar
air yang tidak terlalu tinggi atau tidak
terlalu rendah, maka daging tersebut dapat
tahan lama selama penyimpanan.
pH daging sapi sampel yang diambil
dari pedagang penjual daging sapi segar,
menunjukkan tidak berpengaruh (p>0,05).
Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa pH
berkisar antara 5,6
5,7. pH daging
merupakan salah satu penentu kualitas
daging, yaitu jika pH daging semakin
rendah atau asam berarti daging
tersebutakan lebih cepat mengalami
pembusukan. Hampir semua bakteri
tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7,
tetapi pH untuk pertumbuhan optimal
ditentuan oleh kerja stimulan dari berbagai
variabel lain, diluar faktor pH itu sendiri.
penurunan pH pada
daging disebabkan karena lebih terbukanya
struktur filamen-filamen miofibrilar, yang
kemungkinan disebabkan oleh proses
pemotongan karkas atau juga penggilingan,
pada daging giling. Hal tersebut
menyebabkan semakin banyak air yang
masuk sehingga meningkatkan juga kadar
daya ikat airnya (WHC).
Soeparno (2005) menjelaskan
bahwa perubahan pH daging setelah
pemotongan ternak dipengaruhi oleh
ketersediaan asam laktat di dalam otot.
Ketersediaan asam laktat ini dipengaruhi
oleh kandungan glikogen, dan kandungan
glikogen dipengaruhi oleh penanganan
ternak sebelum dipotong. Kandungan
glikogen otot sangat rendah, yaitu pada
kisaran 0,5
1,3% dari berat daging segar.
Dengan kata lain, penurunan pH terjadi
secara bertahap dan membutuhkan jangka
waktu yang lama.
meneliti bahwa pada daging giling sapi
yang ditambahkan ekstrak biji picung
(Pengium edule), cenderung meningkat pH
nya dengan semakin meningkatnya
konsentrasi ekstrak picung (0-6%) dan lama
penyimpanan (0-9 hari) pada suhu dingin,
yaitu berkisar antara 5,5 5,9. meneliti bahwa
pH pada Sapi PO dan Sapi Silangan, tidak
berbeda nyata. pH daging sapi PO
(Peranakan Ongole) rata-rata 6,03 dan pH
pada Sapi Silangan berkisar 5,96. bahwa
keempukan daging tidak terlalu besar
pengaruhnya diantara perbedaan bangsa
sapi, dan sebagian besar berhubungan
dengan reduksi sistem enzim calpain dalam
daging.
Cooking Loss atau susut masak
daging sapi sampel yang diambil dari
pedagang penjual daging sapi segar,
menunjukkan perbedaan pengaruh yang
nyata (p<0,05). Pada Tabel 1. dapat dilihat
bahwa Cooking Loss atau susut masak
tertinggi didapat pada sampel dari pedagang
nomor 5, yaitu sebesar 27,26%. Sedangkan
yang terendah dari pedagang nomor 2, yaitu
sebesar 18,79%. Cooking loss merupakan
jumlah cairan dalam daging masak, yang
apabila mempunyai nilai yang rendah, maka
akan mempunyai kualitas fisik yang lebih
baik daripada daging yang mempunyai nilai
cooking loss yang besar.
bahwa cooking loss dipengaruhi oleh waktu
post mati. Jangka waktu mati
mempengaruhi cooking loss daging
Perubahan cooking loss disebabkan
terjadinya penurunan pH daging post
mortem yang mengakibatkan banyak
protein miofibriller yang rusak, sehinggga
diikuti dengan kehilangan kemampuan
protein untuk mengikat air yang pada
akhirnya semakin besarnya cooking loss.
Perbedaan susut masak dari data yang
didapat, kemungkinan juga berhubungan
dengan kandungan lemak pada otot, dimana
otot yang mengandung lebih banyak lemak
akan mengalami kehilangan lemak yang
lebih tinggi pada saat pemasakan, serta
adanya perbedaaan nilai pH dan WHC atau
daya ikat airnya. meneliti
bahwa cooking loss pada daging ayam
broiler dari sampel yang diambil di pasar
tradisional Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang, berkisar antara 22,93-
34,44%.
bahwa susut masak mempunyai hubungan
negative dengan daya ikat air (WHC).
Daya ikat air (WHC) daging sapi
sampel yang diambil dari pedagang penjual
daging sapi segar, menunjukkan perbedaan
pengaruh yang nyata (p<0,05). Pada
Tabel 1. dapat dilihat bahwa WHC tertinggi
didapat pada sampel dari pedagang nomor
3, yaitu sebesar 54.32% sedangkan yang
terendah dari pedagang nomor 1, yaitu
sebesar 22,04%. Daya ikat air atau WHC
diartikan sebagai kemampuan daging untuk
menahan air yang terdapat dalam
jaringannya. bahwa besar kecilnya
daya ikat air tersebut, akan berpengaruh
terhadap warna, keempukan, kekenyalan,
juiciness dan tekstur daging.
besar kecilnya daya ikat air dipengaruhi oleh
perbandingan kadar air dan protein, tipe
protein myosin, pH, semua susunan jarak
dari protein-protein miofibril terutama
miosin dan serabut-serabut (filamen-
filamen). Kekuatan tarik menarik antara
molekul yang berdekatan bias menurun,
disebabkan kenaikan muatan negatif
diantara muatan protein atau melemahkan
ikatan hydrogen, maka jaringan protein
akan membesar, sehingga pembengkakan
meningkat dan lebih banyak air yang terikat
oleh protein sehingga akan terjadi
peningkatan nilai daya ikat air (WHC).
bahwa penurunan pH akan meningkatkan
kontraksi aktomiosin dan mengakibatkan
menurunnya WHC akibat adanya
pemecahan ATP yang cepat, yang akan
meningkatkan proses denaturasi protein.
Tekstur daging sapi sampel yang diambil
dari pedagang penjual daging sapi segar,
menunjukkan perbedaan pengaruh yang
nyata (p<0,05). Pada Tabel 1. dapat dilihat
bahwa nilai tekstur tertinggi didapat pada
sampel dari pedagang nomor 1, yaitu
sebesar 31,7 N sedangkan yang terendah
dari pedagang nomor 3 dan 5, yaitu sebesar
16,2 N. Tekstur daging juga merupakan
parameter utama penentuan kualitas daging.
Antemortem dan postmortem merupakan
dua faktor yang mempengaruhi keempukan
daging. Faktor antemortem seperti genetik,
termasuk bangsa, spesies, dan fisiologi,
jenis kelamin, umur, manajemen dan stress.
Faktor post mortem meliputi metode
chilling, refrigerasi, pelayuan dan
pembekuan, lama dan suhu penyimpanan,
metode pengolahan atau metode
pemasakan.
Perubahan nilai keempukan atau
tekstur daging sewaktu pelayuan
dipengaruhi oleh perubahan daya ikat air,
penurunan daya ikat air menyebabkan
penurunan nilai keempukan daging,
kemudian nilai keempukan daging
meningkat lagi setelah tercapainya pH
isoelektrik ,
Kualitas fisik daging sapi segar di
pasar tradisional Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang yang diambil dari
5 pedagang daging sapi segar, berpengaruh
nyata (p<0.05) pada kualitas fisik, yaitu
kadar air, cooking loss atau susut masak,
daya ikat air (WHC) dan tekstur.
Sedangkan pada pH, tidak berpengaruh atau
tidah berbeda diantara pedagang tersebut.